View
284
Download
8
Category
Preview:
Citation preview
i
Bidang Unggulan: Sosial Budaya
Kode/Nama Bidang Ilmu: 511/ Sastra (dan Bahasa) Daerah
(Jawa, Sunda, Batak dll)
LAPORAN AKHIR
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
RESTORASIKEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL BERBAHASA BALI
GUNA MEMPERKUAT JATIDIRI BUDAYA BALI
Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M. Hum. NIDN 0031126517 (Ketua)
Dr. Ni Made Suryati, M. Hum. NIDN 0031126073 (Anggota)
Drs. I Wayan Suteja, M. Hum. NIDN 0004105813 (Anggota)
Drs. I Nyoman Darsana, M. Hum. NIDN 0022125711(Anggota)
Drs. I Nyoman Duana Sutika, M. Si. NIDN 0012016515 (Anggota)
PROGRAM STUDI SASTRA BALI
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
JULI 2015
(DIBIAYAI OLEH DIPA PNBP UNIVERSITAS UDAYANA SESUAI SURAT
PERJANJIAN PENUGASAN PELAKSANAAN PENELITIAN
NO: 066/UN14.1.1/SPK/2015 TANGGAL 21 APRIL 2015)
ii
iii
RINGKASAN
Sastra dengan masyarakat memiliki hubungan yang timbal balik. Sebagai salah
satu kajian ilmu sastra, sosiosastra menduduki posisi dominan karena membicarakan
masalah-masalah kemasyarakatan. Ratna (2011: 24) bahkan lebih tajam menjustifikasi
bahwa karya sastra adalah masyarakat itu sendiri. Selain itu, dalam kaitan sastra dengan
budaya antropologi sastra mutlak diperlukan dengan pertimbangan kekayaan
kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang (Setya Yuwana
Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan model
baru dalam analisis karya sastra. Sejauh ini teori ini baru diperkenalkan dan belum
banyak orang yang menggunakannya (bahkan sejauh ini belum pernah digunakan
khususnya untuk mahasiswa S1). Oleh karena itu, ke depan penelitian ini diharapkan
akan menjadi salah satu model analisis karya sastra yang sejauh ini hanya berkutat pada
strukturalisme. Dengan demikian, analisis karya sastra akan semakin berkembang
dengan penerapan teori baru dan hasil yang baru pula. Implikasi lainnya adalah akan
memberi warna baru yang lebih segar dan lebih variatif lebih-lebih budaya Bali
bagaikan mozaik yang beraneka warna. Oleh karena itulah, penelitian terhadap novel
sebagai karya sastra modern berbahasa Bali penting dilakukan. Pertama, dari segi
penggunaan bahasa karya sastra novel jauh lebih banyak bahkan tidak terbatas jika
dibandingkan genre karya sastra lainnya (puisi dan drama). Kedua, improvisasi
pengarang dalam merefleksikan gagasannya lewat bahasa tersebut jauh lebih luas dan
lebih bebas, lebih dinamis dan, inovatif.
Berdasarkan klasifikasi dan pemilihan novel serta setelah dilakukan kritik, maka
beberapa buah novel dijadikan sebagai objek kajian, yaitu novel Nemoe Karma karya I
Wajan Gobiah, novel Gending Pengalu karya Nyoman Manda, novel Nembangan
Sayang karya Nyoman Manda, novel Suryak Suung Mangmung karya Djelantik
Santha. Hasil analisis menunjukkan bahwa novel-novel tersebut mengandung pesan-
pesan kearifan lokal yang patut untuk direstorasi, yakni menggali kembali nilai-nilai
kearifan lokal itu untuk dihayati, dipahami, dan disebarluaskan kembali kepada
masyarakat Bali khususnya. Nilai-nilai kearifan lokal ini diharapkan nantinya dapat
diwariskan kepada generasi mendatang sehingga identitas, jati diri budaya Bali bisa
ajeg lestari sepanjang zaman.
Beberapa kearifan lokal yang berhasil direstorasi adalah konsep Tri Kaya
Parisudha sebagai konsep sinergitas dalam berkehidupan sehari-hari khususnya dalam
iv
menata dan meniti rumah tangga dalam Nemoe Karma, etos kerja dalam Gending
Pengalu, konsep Tri hita karana dan bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa dalam
Nembangan Sayang, mulat sarira/eling (introspeksi diri) dan sesonggan :pilih-pilih
bekul bakat buah bangiang dalam Suryak Suung Mangmung, salunglung sobayantakan
dalan novel Gita Ning Nusa Alit. Secara teknis, pemilihan nama-nama tokoh yang
sesuai dengan karakter dalam cerita pengarang lebih memilih secara dramatik.
Sebaliknya, bila nama-nama tokoh tidak tercermin dalam cerita biasanya pengarang
mendeskripsikan karakter tokoh dengan analistis. Namun hal ini tidak berlaku mutlak,
di sana-sini secara fragmentaris cara dramatik dan analitik digunakan secara bergiliran.
Kearifan lokal yang direstorasi tersebut di atas harus selalu dijadikan landasan
dalam berkehidupan sosial di masyarakat sehari-hari sehingga dirasakan sebagai
kebutuhan hidup. Dengan demikian, masalah-masalah sosial seperti egoisme,
individualistik, tidak berpikir prospektif, dan sejenisnya sebagai akibat dari globalisasi
bisa diminimalisasi bahkan bisa dihilangkan. Masyarakat Bali yang dicirikan dengan
sistem komunal dan etos kerja yang kuat didasari oleh filosofi agama Hindu akan
benar-benar menjadi jati diri budaya Bali.
v
PRAKATA
Puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa)
karena atas berkat-Nya “Laporan Akhir Hibah Program Studi” dapat diselesaikan
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan penelitian ini tentu
banyak hal yang menjadi hambatan namun berkat kerja sama tim semua rintangan itu
dapat diatasi.
Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi peneliti
sehingga kualitas penelitian semakin bertambah selain itu juga untuk menambah
kuantitasnya. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan menjadi model analisis baru
terkait dengan penerapan teori Antropologi Sastra yang relatif masih baru dan belum
banyak diterapkan dalam analisis karya sastra.
Keberhasilan penelitian ini tidak terlepas juga dari peranan institusi mulai dari
tingkat jurusan/program studi atas rekomendasinya, fakultas, LPPM, dan Unud sebagai
payungnya yang telah memfasilitasi baik sarana maupun prasarana lainnya. Untuk itu,
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada Kaprodi Sastra Bali,
Dekan Fakultas Sastra dan Budaya, Ketua LPPM, dan Rektor Univ. Udayana.
Oleh karena laporan ini adalah laporan kemajuan tentu masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, kepada semua penilai, pembaca dimohon untuk memberikan
masukan sehingga hasilnya benar-benar memadai. Kami dari tim peneliti mohon maaf
atas segala kekurangannya baik yang tersurat maupun yang tersirat dan selalu terbuka
atas semua saran yang konstruktif. Semoga budi baik Bapak, Ibu, Saudara/i mendapat
pahala yang selayaknya.
Denpasar, 30 Oktober 2015
Tim Peneliti
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… ii
RINGKASAN …………………………………………………………….. iii
PRAKATA ………………………………………………………………… v
DAFTAR ISI……………………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
Latar Belakang …………………………………………………….. 1
Masalah ……………………………………………………………. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………. 4
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN …………………… 7
Tujuan Khusus ……………………………………………………. 7
Urgensi …………………………………………………………… 7
BAB IV METODE PENEITIAN………………………………………….. 9
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………… 10
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 45
Simpulan ……………………………………………………………….. 45
Saran ………………………………………………………………… 46
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 49
LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kearifan lokal merupakan kematangan masyarakat di tingkat lokal yang
tercermin dalam sikap dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam
mengembangkan potensi dan sumber lokal baik berupa material maupun nonmaterial
(Balitbangsos, Depsos RI, 2005: 5-15). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
kearifan lokal tidak lain adalahpengetahuan asli (indigenious knowledge) atau
kecerdasan lokal (local genious) suatu masyarakat yang berasal dari nilai-nilai luhur
tradisi budaya yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012: 122).
Dengan demikian, secara terminologis kearifan lokal merupakan kekhasan tersendiri
atau memiliki karakter tersendiri dalam suatu masyarakat yang dijadikan panutan
oleh anggota masyarakat yang lainnya.
Merujuk penelitian Soehartono (2010 dalam Parimartha, dkk, 2011: 43)
membuktikan bahwa telah terjadi degradasi dan kehilangan jejak nilai-nilai karakter
bangsa yang menjadi landasan pembangunan moral bangsa Indonesia sejak era
Reformasi. Hal ini dialami oleh semua masyarakat Indonesia sebagai sebuah
pengalaman kolektif yang memerlukan revitalisasi agar masa depan bangsa tidak
terjerumus di jurang kehancuran. Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah
merestorasi nilai-nilai kearifan lokal itu diangkat kembali ke permukaan agar terjadi
penguatan-penguatan sehigga eksistensi karakteristik suatu masyarakat menjadi
sebuah identitas dan jatidiri suatu masyarakat yang betul-betul nyata. Oleh karena
itu, nilai-nilai kearifan lokal menjadi modal dasar yang sangat vital dalam
pembangunan masyarakat.
2
Berkaitan dengan nilai-nilai itu, Bali sangat kaya dengan berbagai macam
kearifan lokalnya yang khas. Nilai-nilai kearifan lokal Bali bisa ditelusuri dari
berbagai ranah kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah melalui media seni
khususnya novel-novel berbahasa Bali.Sastra sebagai dunia mimesis atau tiruan
seperti yang digambarkan filosof Plato pada 2000-an tahun yang lalu bahwa seni
hanya dapat meniru dan membayangkan yang ada dalam kenyataan yang tampak
(Teeuw, 1988: 220). Khusus mengenai novel sebagai sebuah karya sastra merupakan
kronik sosial yang merefleksikan suatu kondisi sosial dalam masa tertentu (Anwar,
2012: 109). Novel sebagai sebuah karya sastra pada hakikatnya adalah proses
komunikasi antara pengarang dengan pembaca yang tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu. Oleh karena itu, sebuah novel memiliki esensi berbagai macam nilai
termasuk kearifan lokal sebagai salah satu gagasan pokoknya lebih-lebih novel yang
bercorak kedaerahan (segi bahasa dan settingnya). Kelahiran sebuah novel sangat
tergantung pada zamannya dan ditafsirkan berbeda pula oleh pembaca pada zaman
yang berbeda. Oleh karena itu, restorasi nilai-nilai kearifan lokal itu perlu digali
secara lebih mendalam selanjutnya dikembangkan untuk diaplikasikan sehingga
betul-betul menjadi ciri khas budaya Bali.
Secara historis, kelahiran sastra Bali modern tahun 1910 dengan terbitnya
cerpen-cerpen Made Pasek dan Mas Nitisastro (Putra, 2000: 9). Namun, khusus
novel berbahasa Bali ditandai dengan terbitnya novel Nemoe Karma karya I Wayan
Gobiah tahun 1931 (Putra, 2000: 17).Sejak saat itu mulai bermunculan sastra Bali
modern khusunya novel berbahasa Bali walau sebenarnya tidak terlalu banyak
(sejauh ini baru dapat dikumpulkan sebanyak 25 buah novel).
3
Masalah
Deskripsi latar belakang di atas menimbulakn permasalahan yang yang
diteliti adalah (i) aspek kearifan lokal apa saja yang ingin disampaikan pengarang?
(ii) bagaimana cara pengarang mengaktualisasikan idenya itu ke dalam karya
sebagai media komunikasi?
Adapun urgensi masalah-masalah yang akan diteliti adalah menggali potensi-
potensi yang tersembunyi secara mendalam mengenai kekayaan budaya Bali yang
adiluhung dalam bentuk novel sebagi genre sastra modern sehingga budaya Bali bisa
terus ajeg, lestari, selanjutnya dikembangkan sekaligus diaplikasikan kembali
sehingga menjadi ciri khas dan jatidiri masyarakat Bali. Hal ini dirasakan sangat
penting karena Bali sebagai bagaian dari tujuan utama wisata internasional tentu
menghadapi berbagai tantangan dan persoalan terhadap pandangan dan pola pikir
masyarakat. Selain itu, arus globalisasi yang demikian deras akan memberi pengaruh
yang signifikan terhadap penyerapan budaya asing yang cenderung pragmatis dan
hedonis. Realitas di masyarakat menunjukkan adanya perebutan warisan, kawin
paksa, kawin antarkasta, azas kegotong-royongan yang mulai memudar, janji
kesetiaan, dan lain-lain yang patut untuk diperdalam, dihayati, direnungkan kembali
sebagai wujud mulat sarira/eling (tanggung jawab moral atau introspeksi diri). Hal-
hal semacam ini akan digali selanjutnya untuk direnungkan kembali dan
dipublikasikan ke masyarakat luas. Novel berbahasa Bali tidaklah terlalu banyak
jika dibandingkan dengan novel-novel berbahasa Indonesia kurang lebih sekitar dua
puluh limaan buah. Namun demikian, tidak semua novel akan dibahas melainkan
sebagian saja sesuai dengan kriteria atau kualitas novel yang bersangkutan.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa penelitian novel berbahasa Bali yang gayut dalam penelitian ini
dideskripsikan sebagai berikut.
(1) Genua (Prosiding, 2013) denganjudul tulisan “Nilai Kehidupan dalam
Legenda Rendo Rate Rua sebagai Jatidiri Masyarakat Kabupaten Ende NTT).
Teori yang digunakan adalah teori nilai dari Scheler yang berpandangan
bahwa nilai adalah harga suatu norma dan menjadi prinsip hidup yang
menjadi pegangan seseorang. Nilai digunakan sebagai dasar untuk atau alasan
untuk melakukan dan tidak melakukan. Ada lima nilai yang ditemukan dalam
legenda tersebut sebagai berikut. (1) Nilai kesejahteraan yang menjelaskan
bahwa dengan kesejahteraan akan tercipta suatu kehidupan yang bahagia dan
harmonis, (2) nilai kesakitan, yaitu perasaan sakit mengancam ingin
membunuh Redo, (3) nilai kelelahan, yaitu tidak bisa berenang dan tidak bisa
melawan arus air yang begitu dahsyat, (4) nilai keteguhan hati, yakni
ketetapan hati walaupun harus mengorbankan jiwa dan raga, (5) nilai
kecemasan yakni nlai yang berkaitan dengan perasaan gelisah, takut atau
khawatir (Genua, 2013: 1196).
(2) Apriani (Skripsi, 2009) yang berjudul “Novel Suryak Suung Mangmung
Karya Djelantik Santha: Pendekatan Sosiologi Sastra”. Dalam penelitian ini
digunakan teori sosiologi sastra dengan pandangan mempertimbangkan segi-
segi kemasyarakatan. Sosiologi sastra menaruh perhatian besar terhadap
aspek dokumenter sastra dengan landasan sastra sebagai cerminan jamannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan karmaphala dan punarbhawa sebagai dasar
karya sastra. Dasar sosiologi yang digunakan didasarkan pada padangan
5
bahwa kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat,cipta sastra
bukanlah hanya pengungkapan realita belaka, di dalamnya diungkapkan pula
nilai-nilai yang lebih tinggi dari sekadar realita objektif itu. Hasil yang
diperoleh meiputi aspek mitos dan dalam tradisi masyarakat Bali terutama
masalah perkawinan antarkasta.
(3) Hardiningtyas (prosiding, 2014) dengan judul “Warna Lokal dalam
Kumpulan Cerpen Mandi Api: Upaya Regulasi Budaya Bali di Tengah Arus
Globalisasi. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra, antropologi,
serta teori konflik dan fungsional. Hipotesis yang diajukan adalah bawa
intensitas terjadinya perubahan-perubahan nilai sosial budaya seagai akibat
aktivitas kehidupan masyarakat Bali sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya
nilai-nilai tradisi dan adat sesuai dengan lingkungan sosial kultural yang
memberikan warna khas pada masing-masing kelompok masyarakat Bali
sehingga mampu bertahan di tengah perubahan globalisasi (Hardiningtyas,
2014: 793). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa cerpen Mandi Api
merupakan refleksi karakteristik dan relasi tokoh terhadap dinamika sosial
budaya masyarakat Bali. Kekuatan sistem kemasyarakatan di Bali menjadi
penopang perbedaan yang bersumber pada kasta, pemertahanan terhadap
sistem banjar, subak, dan sekaa berperan pranatasosial yang fungsinal dalam
masyarakat. Stratifikasi dan dinamika budaya masyarakat Bali sengaja
diciptakan kekuasaan krama banjar, tradisi catur wangsa, dan sistem sosial
yang otoriter. Bila dipandang secara tradisional maka dapat disebut sebagai
suatu keajegan dan kehadiran masyarakat tersebut dapat ditawarkan dengan
pola egaliter dan demokratis.
6
(4) Parasari (Skripsi, 2010) yang berjudul “Novel Gending Pengalu Karya
Nyoman Manda: Analisis Struktur”. Dalam penelitian ini digunakan teori
struktural yang berpandangan bahwa unsur-unsur karya sastra sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Hasil penelitian struktur intrinsik
mencakup insiden, alur, tokoh, latar, tema, dan amanat. Hasil analisis
ekstrinsik berkaitan dengan ekonomi, historis, religius.
(5) Putra (2010) dengan judul Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Buku ini
berisikan kritik terhadap beberapa karya sastra (termasuk sastra Bali). Buku
ini juga memuat perkembangan sejarah sastra Bali modern sejak awal
kelahirannya. Buku itu berisikan kritik beberapa karya sastra novel dan puisi,
biografi Wayan Gobiah sebagai penulis novel berbahasa Bali yang pertama.
(6) Alaini (Prosiding 2015) dengan judul “Tradisi Lisan Kecimol: Upaya
Penguatan Jatidiri Bangsa Melalui Kearifan Lokal”. Teori yang digunakan
adalah teori sosiologi sastra. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa syair-
syair yang dilantun kan dalam tradisi Kecimol Batik Rembang dapat
diteladani sebagai kearifan lokal masyaraakat Sasak yang berkitan dengan
kerja sama, hidup rukun, saling memaafkan, saling menghormati, dan
menjaga lisan.
Dari kelima penelitian dan buku yang diacu tersebut di atas, sama sekali
belum ditemukan penggunaan teori antropologi sastra lebih-lebih penelitian-
penelitian skripsi terjadi tumpang tindih antara sosiologi dengan pendekatan
struktural. Oleh karena itu, penggunaan teori antropologi sastra benar-benar
merupakan hal baru dan penting dalam studi sastra.
7
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai berkaitan dengan masalah yang diteliti
adalah (1) Menggali sebanyak mungkin aspek-aspek kearifan lokal budaya Bali
sebagi ciri khas budaya Bali yang harus terus dipertahankan selanjutnya
dikembangkan sekaligus diaplikasikan kembali ke masyarakat. (2) mengkaji struktur
atau pola penggarang dalam mengaktualisasikan ide karyanya itu, baik dari segi
frekuensi pengarang mengemukakan idenya itu maupun caranya (langsung atau tidak
langsung) melalui tokoh, konflik-konflik, atau melalui dialog-dialog antartokoh.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ratna (2011: 94) bahwa kearifan lokal
merupakan segmen pengikat berbagai bentuk kebudayaan yang sudah ada sehingga
disadari keberadaannya. Oleh karena lahir dan hidup di dalam semestaan yang
bersangkutan, maka kearifan lokal diharapkan dapat dipelihara dan dikembangkan
secara optimal. Lebih jauh Ratna (2011: 95) juga mengungkapkan bahwa kearifan
lokal berfungsi untuk mengantisipasi, menyaring bahkan metransformasikan
berbagai bentuk pengaruh budaya luar sehingga sesuai dengan ciri-ciri masyarakat
lokal.
Urgensi
Jika dilihat dari sudut urgensinya, selain untuk meningkatkan kompetensi
dan mutu penelitian, penelitian ini memiliki beberapa keutamaan seperti
meningkatkan kualitas materi pembelajaran baik menyangkut pengembangan teori
dan model pembelajaran. Selain itu, penelitian ini penting dilakukan karena realitas
di masyarakat tantangan modernitas demikian kuat dan perlu diimbangi dengan
8
penguatan pemahaman akan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah diwariskan secara
turun-temurun sebagai identitas orang Bali dengan budaya Balinya. Kuatnya
tantangan modernitas yang cenderung pragmatis hedonis itu tidak hanya dialami oleh
masyarakat perkotaan maupun masyarakat daerah tujuan wisata tetapi sudah lebih
jauh menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Restorasi terhadap nilai-nilai
kearifan itu kiranya penting untuk direnkonstruksi ulang sebagai pegangan dalam
bermasyarakat sehingga harkat dan martabat orang Bali dengan identitas kebaliannya
tidak lenyap ditelan zaman. Oleh karena itu, hasil-hasil terhadap analisis yang telah
dilakukan akan disebarluaskan kepada khayalak melalui media pertemuan
ilmiah/seminar maupun nasional ataupun melalui jurnal nasional.
9
BAB IV METODE PENELITIAN
Penelitian ini didasari oleh filosofis fenomenologis. Oleh karena itu akan
digunakan pendekatan kualitatif, yang diartikan sebagai bukan penghitungan
“angka” (Moleong, 1982: 2). Secara metodologis, penelitian ini dibagi dalam tiga
tahapan. Tahap pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dengan
mencari naskah novel mulai novel yang pertama kali terbit sampai novel terbitan
tahun 2014. Sampai saat ini sudah berhasil dikumpulkan 25 buah novel (termasuk
novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah sebagai novel pertama berbahasa Bali).
Setelah itu, akan dilakukan klasifikasi terhadap novel-novel yang akan dijadikan
sampel. Sampel ini akan diukur dari segi kualitas novel seperti seringnya dibicarakan
dalam berbagai pertemuan/seminar/penelitian (sudut intrinsiknya dari segi bahasa,
kompleksitas pola alur, konflik/peristiwa, dll), juara dalam sayembara penulisan
fiksi, frekuensi penerbitan, dan wawancara secara acak terhadap novel yang disukai.
Dalam analisis, akan digunakan metode kualitatif dengan teknik deskriptif analitis,
yakni dengan mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara rinci. Dalam
penyajian hasil analisis, akan digunakan metode formal dan informal. Metode formal
dengan menggunakan lambang-lambang tertentu sedangkan metode informal dengan
menggunakan bahasa biasa dibantu dengan teknik berpikir induktif-dedutif atau
sebaliknya (Mahsun, 2005: 116). Kerangka dasar teoretis didasari oleh cara kerja
Abrams (dalam Teeuw, 1988: 50) yang berpangkal pada situasi karya sastra secara
menyeluruh seperti bagan berikut.
(Semesta)
Universe
Work (Karya)
(Pencipta) Artist Audience (Pembcaca)
10
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan klasifikasi dan kritik terhadap novel-novel yang diperoleh untuk
menentukan kualitas novel seperti bahasa, terbitan, penghargaan, apresiani
masyarakat baik untuk studi ilmiah maupun nonilmiah, maka ada sejumlah novel
yang layak untuk dianalisis dan disajikan sebagai berikut ini.
5.1 Restorasi Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal
1) Nemoe Karma „Ketemu Jodoh‟(1931) oleh I Wayan Gobiah. Novel ini
merupakan novel pertama yang berbahasa Bali. Kedudukan novel ini tentu
sangat penting dalam khazanah kesusastraan Bali modern. Betapa tidak,
inilah tonggak awal yang nantinya melahirkan novel-novel berbahasa Bali
berikutnya. Oleh Putra (2010) dikatakan bahwa novel ini sangat istimewa
karena diterbitkan oleh Balai Pustaka yang dicetak dalam jumlah yang besar
dan diedarkan secara luas. Sependapat dengan Putra (2010: 23) bahwa novel
ini memiliki alur renggang dan tidak fokus pada tema sentral yang
diperankan oleh tokoh utama. Sesuai dengan judulnya Nemoe Karma
„Ketemu Jodoh‟ didasari oleh tema kawin paksa dan utang budi. Keadaan in
terjadi ketika Pan Sangga ingin menikahkan anaknya (I Sangga) dengan
Soekarsi tetapi ditolaknya karena Soekarsi sudah mencintai Soedana (saudara
angkatnya) dan Soedana juga mencintai Soekarsi (sekaligus sebagai
pembayaran utang budi Soedana kepada orang tua Soekarsi karena telah
memungutnya.
Perjodohan kedua terjadi ketika Pan Sangga ingin menjodohkan anaknya I
Sangga dengan sepupu jauhnya (mindon) Ni Wiri tetapi keduanya tidak
11
saling mencintai sehingga rumah tangganya hancur berantakan, setiap hari
terjadi perselisihan yang berujung pada perceraian.
Tri Kaya Parisudha: harmonis sinergitas
Kalau ditelaah lebih mendalam bahwa pelajaran yang bisa diambil dari
contoh di atas adalah bahwa pernikahan seharusnya dilandasi oleh cinta sejati, cinta
yang suci, cinta yang tulus dari dalam hati yang paling dalam. Bagi orang Bali tali
cinta yang sejati sebagaimana yang ditulis oleh Gobiah:
“….bisa ija ngetisin wiadin ndayoehin moeah ngeliangin idep timpal, ento madan
anak bisa tresna. Saloeloet artinne sapoeloeng rasa, gilik abesik papinehe,
pangoetpetine, kadarmane toer panglaksanane toenggal, bareng-bareng nampi
karma, ento mada saloeloet. Asih, artinne aweh, karoena, sredah, moeah sajang.
Ento madan anak asih. Dadi anake mapakoerenan patoet pesan ngelarang‟ tresna,
saloeloet moeah asih Ane patoet ngriinang mulang dasare ento, moela toeah
sangkaning laki, loehe jang pradnjan patoet mamales ban tresna, sloeloet moah
asih. Dadi ja tresna kinatresnan, loeloet kinaloeloetan, asih kinasihan. Ene madan
tali koekoeh, toesing bisa pegat satoenggoen idup. Di soebane tresna kinatresnan,
asih kinasihan, loeloet kinaloeletanmara ja lantas wetu saksi. Ane adanin tiang
saksi, artinne toenggal paliat, tunggal pakenehaan, toenggal panoedjoe, toenggal
patitis, toenggal pangutpeti toenggal panglaksana. Tjendekne toenggal saloewiring
tinangoen. Ane keto adanina soeba nemoe dikarma (hal 15-16).
Artinya:
„… dapat memberikan kesejukan atau kedamaian serta menyenangkan orang lain,
itulah yang disebut cinta (sejati). Salulut „sehati, seutuhnya‟ artinya satu rasa, (cara)
berpikir,cipta menyatu, kewajiban dan perilakunya menyatu, bersama-sama
menikmati hasil, itulah salulut. Asih „kasih‟ artinya member, cinta kasih, ramah, serta
sayang. Itulah kasih. Jadi, orang berumah tangga wajib melakukan tresna, salulut,
dan asih „cinta, satu rasa, kasih‟. Yang didahulukan/menjadi fondasi hanyalah itu,
terutama oleh kaum lelaki, perempuan hanyalah menerima cinta dan kasih sayang
itu, jika perempuan itu pintar maka dia harus juga membalasnya dengan cinta kasih
yang seutuhnya. Oleh karena itu menjadi cinta-mencintai, sayang menyayangi
seutuhnya, kasih mengasihi. Inilah yang disebut ikatan yang kuat tidak akan
terputuskan sepanjang hidup. Setelah cinta mencintai, sayang menyayangi, kasih
mengasihi maka muncullah yang disebut saksi, yakni satu sudut pandang, satu hati,
satu tujuan, satu pikiran, serta satu perbuatan. Pendek kata semuanya satu apa yang
dipikirkan, diucapkan dan dilakukan. Yang demikian itulah disebut nemu karma
„ketemu jodoh‟.
12
Kutipan di atas jelas memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan
oleh pasangan suami istri. Dalam budaya Bali yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu
disebut dengan Tri Kaya Parisudha, tiga serangkai yang wajib dilakukan sehingga
apa yang dicita-citakan bersama menjadi kenyataan yang membahagiakan. Ketiga
hal itu adalah Manacika „berpikir yang baik‟, wacika „berkata yang baik/jujur‟, dan
Kayika „berperilaku yang baik‟. Aplikasi Tri Kaya Parisudha ini sebenarnya tidak
terbatas pada hubungan suami istri yang harmonis, tetapi juga diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam rumah maupun lingkungan sekitar.
Berpikir, berkata, dan berbuat baik tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi
juga untuk kebaikan/kesejahteraan bersama. Semua perbuatan baik harus dilakukan
mulai dari ruang lingkup yang kecil dan secara otomatis memberikan dampak yang
positif bagi lingkungan. Itulah makna dari nemu karma „ketemu jodoh‟, yakni
bersatunya semua tujuan yang dicita-citakan.
Nemu karma adalah konsep sinergitas antarkomponen. Satu komponen sangat
bergantung pada komponen lain demikian sebaliknya. Bila salah satunya mengalami
malfungsi pastilah tidak menghasilkan sesuatu yang maksimal bahkan mungkin fatal
sama sekali. Dalam kaitannya dengan perkawinan di atas, laki-laki dan perempuan
atau suami dengan istri dua komponen yang saling melengkapi, tidak saling
mendominasi, tidak saling superordinasi. Keduanya harus saling memberi dan
bukan saling meminta, saling menghormati, dan seterusnya. Perkawinan bukan
semata-mata pertemuan dan persatuan secara fisik, melainkan lebih dari itu, yakni
penyatuan nonfisik secara utuh menyeluruh. Oleh karena itu, perkawinan adalah
penyatuan sehingga semuanya menjadi milik bersama, kewajiban bersama, usaha
bersama, baik buruk ditanggung bersama yang dibangun dari cita-cita bersama.
Pengertian semacam ini ditegaskan kembali dalam Himpunan Keputusan Seminar
13
Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu (1988: 34) bahwa perkawinan
adalah ikatan sekala niskala (lahir batin) antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
(satya alaki rabi). Bila sudah dipahami dan dihayati sebagaimana tersebut di atas,
maka itulah nemu karma (ketemu jodoh) yang hakiki.
2. Novel Gending Pengalu Karya Nyoman Manda
a) Tentang Pengarang
Nyoman Manda termasuk pengarang sastra Bali Modern yang cukup
produktif. Banyak buah karyanya berupa novel berbahasa Bali telah diciptakan
dan setiap buah karyanya selalu mendapat sambutan positif dari masyarakat Bali.
Demikian pula banyak buah karyanya telah dikaji dalam bentuk skripsi.
Adalah novel berjudul “Gending Pengalu” diciptakan oleh Nyoman
Manda di Pondok Tebawutu pada tanggal 28 Februari 2010. Novel ini pun tidak
terlepas dari incaran para mahasiswa yang ingin meneliti dan mendalami ide
Nyoman Manda dalam melahirkan karya novel tersebut. Begitu novel ini selesai
ditulis, pada saat itu pula Cokorda Istri Anik Parasari mahasiswa Program Studi
Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana menjatuhkan
pilihannya pada novel tersebut untuk bahan skripsi. Penelitian Cokorda Istri ini
mengkaji novel Gending Pengalu dari sudut struktur intrinsik dan ekstrinsik.
Untuk memudahkan pemahaman cerita yang diramu dalam novel Gending
Pengalu, berikut gambaran singkat isi cerita yang ditampilkan dalam bentuk
sinopsis.
14
Diceritakan ada seorang pemuda tampan bernama Nyoman Sadia berasal dari
Pedukuhan Bengkel. Ia memiliki pekerjaan sebagai seorang pengalu (pedagang
menggunakan kuda sebagai sarana transportasi). Bersama teman-temannya
membeli garam di Kusamba kemudian diangkut dengan kuda dan dengan
berjalan kaki ppuluhan kilometer ke desa lain untuk menjualnya. Di desa tempat
menjual garam tersebut, ia membeli barang-barang yang ada di sana dan dijual
kembali ke daerah Kusamba atau di sepanjang perjalanan balik. Demikian
pekerjannya sehari-hari.
Sebagai sosok yang tampan dan rajin bekerja, tentu ia menjadi idaman
para gadis. Tersebutlah ia telah berpacaran dengan Luh Widi. Luh Widi pun
menjadi incaran para jejaka karena polos, cantik, dan rajin bekerja. Keduanya
sering terlihat memadu kasih menyebabkan pemuda yang lain semakin iri
melihatnya. Nyoman Sadia dan juga teman-temannya seperti Wayan Arta dan
Made Sulastra, seperti kebiasaan di desa, mereka aktif di dalam kegiatan di desa.
Mereka sebagai sekaa tabuh gamelan.
Nyoman Sadia terkejut ketika Luh Widi memberitahu aka nada upacara
pembacaan prasasti Ida Sang Hyang Sesuhunan di Puri. Mereka berdua berjanji
akan datang pada saat upacara. Selesai menjual dagangannya, Nyoman Sadia
bersama Luh Widi ke Puri tempat upacara dilaksanakan. Saat itu suara gamelan
gong telah ramai dan indah terdengar mengiringi jalannya upacara. Demikian
juga suara alunan tembang atau kidung Wargasari sayup-sayup terdengar di
tempat upacara. Kehadiran tari Rejang di sana menambah kekhusukan jalannya
upacara yang dipimpin oleh Ida Pedanda.
15
Tibalah puncak upacara, yaitu penyampaian rangkuman isi prasasti
yang telah selesai dibaca oleh Ida Bagus Aji Putra. Saat itu diumumkan kepada
karma (warga) bahwa rangkuman selengkapnya akan dibacakan nanti pada saat
upacara Melaspas Puri Agung. Para karma dengan khidmat dan konsenterasi
menyimak paparan rangkuman isi prasasti yang sempat dibacakan saat itu.
Setelah selesai upacara, para karma segera pulang ke rumahnya masing-masing
untuk beristirahat setelah seharian ngayah (bekerja) di Puri.
Keesokan harinya para pengayah kembali mempersiapkan peralatan untuk
mendak toya ening (air suci) ke mata air Sudamala di Tugu. Iringan gong
gamelan dan Selunding menambah khusuk upacara tersebut. Pada saat itu Wayan
Arta sahabat dari Nyoman Sadia saling curi pandang dengan Nyoman Landri
teman dekatnya Luh Widi. Momen itu menjadi awal kisah cinta mereka sampai
tertinggal dari rombongan pemendak Toya Ening dan menjadi tertawaan serta
olok-olok teman-temannya.
Ketika sore harinya mereka pada pulang dari Puri, tiba-tiba Bantar telah
berada di belakang Luh Widi sambil mengganggunya serta merayunya. Cinta
Bantar terhadap Luh Widi bertepuk sebelah tangan. Bantar menjadi emosi dan
akan membuat perhitungan dengan Nyoman Sadia yang dirasakan telah
mengalahkannya dalam perebutan Luh Widi.
Pertengkaran tidak terhindarkan antara kelompok Bantar dan kelompok
Nyoman Sadia. Pertengkaran pertama, Bantar cepat berlalu karena dapat
dikalahkan oleh kelompok Nyoman Sadia. Bantar sambil berlalu menantang duel
di setra (kuburan). Tantangan itu diterima oleh Nyoman Sadia demi harga diri
dan kasih tercintanya Luh Widi.
16
Perkelahian sengit terjadi di setra, keduanya menghunus senjata keris
pusaka. Saling pukul, saling tending, dan saling tusuk. Setiap serangan Bantar
dapat dihalau oleh Nyoman Sadia. Sebagai bekal seorang pengalu tentu Nyoman
Sadia telah memiliki ilmu silat untuk jaga diri di perjalanan atau di desa-desa
yang dilalui berjualan ketika ada gangguan keamanan. Ilumu inilah yang
digunakan menepis segala serangan Bantar, apalagi Bantar seorang pemabuk
tentu kekutan serangannya tidak bertenaga lagi. Ketika Bantar sekarat, Nyoman
Sadia sujud ke Ibu Pertiwi mengucapkan terimakasih, tiba-tiba ada tombak
melesat dari semak kea rah Nyoman Sadia. Untung tombak yang dilesakkan ayah
Bantar dapat dihindari, namun akhirnya tombak itu pula yang menusuk Bantar
hingga semula sekarat menjadi tewas saat itu. Ayah Bantar muncul ke permukaan
sambil memohon maaf atas kesalahannya dan anaknya. Karena sayang pada anak
yang saat itu telah menjadi mayat, ayahnya pun menyusul kepergian putranya
dengan menusukkan keris ke dadanya sendiri.
Refleksi Budaya dalam Novel Gending Pengalu
Karya sastra adalah merupakan cermin kehidupan manusia atau
masyarakat. Oleh karena sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupanyang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan
oleh masyarakat (Ratna, 2006:332-333). Pengertian masyarakat mengacu kepada
komunitas yang terdiri dari individu-individu. Mereka beraktivitas dengan ide,
imajinasi, dan akal, yang bermuara pada suatu budaya baik budaya kolektif
maupun budaya individu di dalam sebuah komunitas.
Suatu budaya yang telah dihasilkan dan dipakai secara kolektif akan
berubah menjadi kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari buddhayah
17
(Sanskerta), sebagai bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal
(Koentjaraningrat, 1974: 80). E.B. Tylor (dalam Sardar dan Loon, 1977:4)
memperjelas pengertian kebudayaan, yaitu keseluruhan aktivitas manusia,
termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan
kebiasaan-kebiasaan lain. Pengertian kebudayaan ini masih dirasakan kurang
komprehensif karena tidak menjelaskan bagaimana kebudayaan itu bisa
diperoleh. Untuk itu Marvin Harris (1999: 19) menambahkan bahwa kebudayaan
itu seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan
cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.
Apapun pengertian budaya dan kebudayaan tersebut, jika dihubungkan
dengan novel Gending Pengalu akan dapat terungkap budaya apa yang
direfleksikan oleh pengarangnya. Sudah menjadi jamak diketahui bahwa
pengarang memiliki ide dan gagasan dituangkan dalam karya sastra melalui
tokoh cerita. Tokoh cerita lah dianggap mewakili ide dan gagasan pengarang
tersebut. Sejauh mana kita mampu mengkajinya, semakin dalam kita menelitinya,
tentu semakin dekatlah ide dan gagasan pengarang tersebut dapat terungkap.
Pengarang Novel Gending Pengalu menampilkan tokoh cerita Nyoman
Sadia sebagai tokoh protagonis sekaligus tokoh utama. Luh Widi sebagai tokoh
sekunder. Di samping itu ada beberapa nama sebagai tokoh komplementer,
diantaranya: Landri, Nerti, Arta, Sulastra. Sebagai tokoh antagonis, pengarang
menampilkan Bantar dan beberapa temannya.
Pada tahun 1970-an masa-masa berakhirnya budaya pengalu di Bali.
Kata pengalu dari kata ngalu yang artinya pergi mencari dagangan. Pengalu
berarti pedagang yang mencari dagangan dengan pergi jauh (Anom, dkk:13).
18
Pengertian kata pengalu ini jika dikaitkan dengan novel Gending Pengalu dan
arti pengalu sesungguhnya, belum komprehensif. Secara komprehensif pengalu
itu berarti sebuah profesi pedagang yang membeli barang dagangan baik di
desanya sendiri atau di desa orang lain, barang tersebut diangkut dengan kuda
untuk pengalu yang pergi jauh atau di jinjing (suun, tegen) untuk berjualan dekat.
Di samping itu juga para pengalu akan membeli barang yang ada di tempat
menjual dagangannya dan dijual kembali ke desa-desa yang dilalui ketika pulang
keasalnya.
Untuk memberikan gambaran pengalu yang merupakan budaya
masyarakat jaman dulu di Bali, pengarang menghadirkan tokoh Nyoman Sadia
yang diceritakan langsung dengan profesi sebagai pengalu.
Nyoman Sadia anak truna sane tuah seken saking Bengkel. Ipun sedina-dina
numbas uyah ring Kusamba tur keadol ring Petak, Mantring taler rauh ring
desa Sebatu (NGP,4)
„Nyoman Sadia seorang pemuda memang benar dari Bengkel. Ia sehari-hari
membeli garam di Kusamba dan dijual ke desa Petak, Mantring, sertai sampai
ke desa Sebatu‟.
Ia membeli garam di desa Kusamba (Kabupaten Klungkung) sebagai desa
penghasil garam, kemudian dengan kuda kesayangannya membawa (mondong)
garam tersebut ke desa-desa di tengah atau jauh dari laut seperti Sebatu
(Kabupaten Gianyar) dan sekitarnya. Sebatu sebagai daerah sejuk pasti tanaman
sirih bisa hidup subur. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Nyoman Sadia sebagai
barang komoditi untuk dibawa pulang dan dijual di desanya. Dengan demikian
19
sosok Nyoman Sadia ini dihadirkan pengarang sebagai pelaku ekonomi yang kini
dikenal dengan ekonomi kerakyatan.
Masyarakat Bali mayoritas memeluk agama Hindu. Pelaksanaan
keagamaan sering memunculkan budaya dan sebaliknya agama Hindu bisa eksis
karena dilandasi budaya yang kuat. Gamelan gong, tari dan kidung merupakan
budaya Bali yang sangat terkait dengan aktivitas keagamaan. Budaya ini oleh
Nyoman Manda selaku pengarang direfleksikan pada tokoh cerita. Nyoman Sadia
dan teman-temannya ikut sebagai penabuh gamelan. Nyoman Sadia hamper saja
lupa akan megambel di puri saat ada upacara karena sering menginap di desa lain
tempat berjualannya.
“Upacara? Ipun tengkejut sawireh dados sekaa penabuh gamelan yening
wenten upacara ring puri Bengkel ipun stata nyarengin” (NGP, 7).
„Upacara? Ia terkejut karena ikut menjadi sekaa (kelompok) penabuh
gamelan jika ada upacara di puri Bengkel ia selalu ikut.
Demikian pula para gadis di desa pada bisa menari yang sering dipakai
mengiringi (ngayah) ketika ada upacara. Hal ini pengarang merefleksikannya
pada tokoh Luh Widi dan kawan-kawan secara langsung.
“Wenten sekaa gong sane pinih ajeng kelangen nyaksiang bajang-bajange
punika ngigel lemuh magoleran taler Luh Widi sane adage nyempaka”
(NGP, 24).
„Ada anggota sekaa gong yang paling depan terpesona melihat para gadis
yang menari dengan lemah gemulai juga Luh Widi yang tubuhnya
semampai‟.
Bantar sebagai sosok pemuda desa dikenal sebagai pemabuk dan sering
membikin ulah. Kelakuan Bantar sesuai dengan peran yang dihidupkan
pengarang sebagai tokoh antagonis. Peran dan prilaku Bantar sesungguhnya
20
bagian dari budaya di desa yakni sering mabuk karena minuman arak (alkohol).
Minuman arak dan tuak diproduksi oleh masyarakat dan dikosumsi oleh
masyarakat pula. Fungsi arak atau tuak dalam tatanan upacara keagamaan
sebagai sarana metabuh (persembahan untuk Bhutakala). Bantar dan kawan-
kawan sering minum berlebihan sehingga sering mabuk
Agama sebagai pedoman kehidupan yang dapat berfungsi mengasah akal
dan budi yang bermuara pada kedamaian. Bantar sering kehilangan kendali yang
berakibat kematian. Sifat Bantar memunculkan konflik dalam novel ini, yaitu
memaksakan kehendak untuk mendapatkan Luh Widi sebagai pendamping
hidupnya, Luh Widi sendiri sama sekali tidak mencintai karena telah bertunangan
dengan Nyoman Sadia.
Kearifan Lokal dalam Novel Gending Pengalu
Istilah kearifan lokal merupakan padanan istilah local genius, yaitu
keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki masyarakat/bangsa sebagai hasil
pengalaman mereka pada masa lampau (Wales dalam Semadi Astra, 2004:110).
Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa kearifan lokal bisa tercermin
dalam berbagai unsur kebudayaan seperti sistem peralatan, sistem mata
pencahariansistem organisasi sosial, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan
sistem religi.
Sifat-sifat hakiki kearifan lokal tersebut meliputi: mampu bertahan
terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur
budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengintegerasi unsur-unsur budaya
21
luar ke dalam kebudayaan asli; (4) mampu mengendalikan; dan (5) mampu
memberikan arah pada perkembangan budaya (Poespowardoyo, 1986:30).
Etos Kerja: perantau
Masyarakat Bali tercermin dalam tokoh Nyoman Sadia sebagai seorang
pengalu. Dahulu di Bali memiliki budaya ngalu. Para pengalu berjasa memutar
perekonomian tradisional. Bagi pengalu yang memiliki modal lebih, mereka
memakai alat transportasi kuda. Barang-barang dagangannya diangkut dengan
kuda dan pengalunya berjalan kaki mengikuti derap langkah kuda berjalan. Bagi
mereka yang modalnya pas-pasan, memikul (negen) dagangannya dengan
berjalan kaki. Tentu saja barang yang dibawa dengan sarana kuda lebih banyak
dan para pemiliknya tidak lagi membawa atau memikul barang.
Spirit para pengalu dulu luar biasa demi sesuap nasi dan demi
menopang kebutuhan rumah tangga. Para pengalu dari kecamatan Tejakula sudah
biasa pukul satu dinihari berangkat dengan berjalan kaki sambil memikul garam
dengan berat sekitar 50 Kg. Mereka beramai-ramai dengan garam di pundak
menaiki pegunungan Kintamani menuju pasar Kintamani. Jarak yang ditempuh
kurang lebih 30 Km. Ketika pulang dari Kintamani juga membawa beras untuk
komoditi barang dagangan.
Spirit kerja seperti ini oleh Nyoman Manda direfleksikan pada tokoh
Nyoman Sadia dalam novel Gending Pengalu. Pengarang melihat fenomena di
zaman sekarang telah ada degradasi spirit terutama di kalangan anak muda untuk
bekerja. Pengarang juga melihat kearifan lokal berupa spirit kerja sudah mulai
memudar dilanda kemanjaan.
22
Peranan para pengalu dulu memutar roda perekonomian tingkat bawah.
Kalau ingin setiap saat memiliki atau memegang uang, terjunlah di bidang
perdagangan walaupun dagang kecil-kecilan. Tidak perlu ada rasa malu, gengsi,
dan sejenisnya. Apa lagi sarana berdagang zaman sekarang sudah tersedia sepeda
motor dan bukan kuda lagi. Spirit para pengalu zaman dulu tersebut dapat
dijadikan materi untuk menasehati atau memberikan arahan pada anak-anak dan
para pemuda di zaman sekarang. Dengan demikian kearifan lokal ini akan tetap
mampu menahan lajunya pengangguran.
Sekaa :
Budaya masuk kelompok (sekaa) tari di desa seperti yang dilakoni Luh Widi
dan kawan-kawan merukan kearifan local. Sebagai organisasi social dapat
berfungsi ke ranah adat atau agama dan bahkan bersifat sacral. Di samping itu
juga berfungsi secara profane. Substansi makna yang lebih penting dalam hal ini
adalah memupuk rasa kebersamaan dan pelestarian budaya.
Nyoman Manda dalam novelnya ini mereduksi kearifan local tersebut untuk
mengkanter fenomena melemahnya spirit para pemudi belajar menari untuk
kepentingan ranah sacral maupun profane. Watak individu semakin tumbuh
seiring dengan perkembangan zaman, seperti sibuk belajar di sekolah dan ada
pula karena kesibukan bekerja. Pembentuk watak individu yang paling fatal di
era sekarang adalah kehadiran teknologi informasi. Anak-anak sibuk sendiri di
depan komputer, laptop, dan hand phone.
Kearifan lokal yang lain dititipkan pada Bantar sebagai tokoh antagonis.
Kebiasaan Bantar dan teman-temannya minum tuak dan arak secara berlebihan
sering membuat dirinya mabuk. Ketika orang sedang mabuk, sudah pasti
23
keseimbangan dirinya hilang, tenaga melemah, tetapi merasa paling kuat dan
sakti. Orang mabuk serring membuat keonaran dan malapetaka, Hal ini
ditekankan Nyoman Manda bagi generasi sekarang. Intinya minuman beralkohol
tidak layak diminum secara berlebihan karena dapat merongrong fisik dan psikis.
Dalam novel diceritakan Bantar akhirnya mati karena ulahnya.
3. Novel Nembangang Sayang karya I Nyoman Manda
Pengarang dan Transformasi Ide
Novel Nembangang Sayang selesai dikarang oleh Nyoman Manda pada saat
bulan purnama tanggal 3 Maret 2007. Nyoman Manda termasuk salah satu
pengarang sastra Bali modern yang cukup aktif, kreatif, dan inovatif dalam
kepengarangannya. Kali ini ia mencoba menyusun cerita berkisah tentang kasih
anak remaja di sekolah SMA.
Anak-anak remaja seusia SMA merupakan anak-anak remaja dan persiapan
akan menuju ke dewasa. Labilitas jiwa dan bangkitnya emosi untuk mencari jati
diri ada di usia remaja. Fenomena ini ditangkap oleh Nyoman Manda sehingga
lahir ide untuk mengolah dalam sebuah novel. Bagi seorang pengarang, solusi
terhadap masalah sosial akan dituangkan dalam karyanya.
Remaja jika tidak dikendalikan dengan baik, mereka cenderung akan lebih
banyak mengadopsi hal-hal dari luar, mereka bangga menggunakan, memiliki,
dan mempelajari hal-hal yang berbau modern. Mereka kurang memperhatikan
apa yang diwariskan oleh para leluhurnya, bahkan mereka terasa kolot dan
ketinggalan zaman kalau masih berkutat dengan hal-hal yang bersifat tradisional.
24
Novel Nembangang Sayang memunculkan tokoh Wayan Landra dan Putu
Arini sebagai tokoh utama. Mereka dan tokoh-tokoh yang lain merupakan siswa
SMA Klas II IPA 1. Antara Wayan Landra dan Putu Arini sama-sama tumbuh
benih cinta di hatinya. Teman-temannya sering memainkan sehingga Putu Arini
sering jengkel di balik rasa cintanya dengan Wayan Landra.
“....Dadine nyak adung mapasangan,” ada timpalne nyeletuk. Barak muan
Putu Arinine mara ningeh munyi buka keto, nanging Wayan Landra
kalem duen, mula pangabane nengil tusing liu pesu munyi (Nembangang
Sayang, 6).
“….Jadi cocok sekali berpasangan,” celetuk temannya. Merahlah muka
Putu Arini setelah mendengar ocehan seperti itu, namun Wayan Landra
kalem saja, memang bawaannya selalu diam tidak banyak bicara.
Hadir sebagai tokoh sekunder atau antagonis adalah Gung Wirati. Gung
Wirati sosok orang kaya tetapi sombong. Ia mencintai Wayan Landra, tetapi
cintanya ditolak. Penolakan ini dipakai senjata untuk membuat Wayan Landra
dan Putu Arini tidak tenang. Bumbu kisah cinta antara Wayan Landra dan Putu
Arini semakin bersemi di acara kemah. Demikian pula rasa cemburu Gung Wirati
semakin menjadi-jadi karena semakin mesra mereka berdua semakin cemburulah
Gung Wirati.
Kearifan Lokal sebagai Pengendali Labilitas Jiwa Remaja
Nyoman Manda seorang pengarang Bali beragama Hindu. Beliau jelas karena
hidup dalam komunitas masyarakat Bali pasti banyak mengetahui budaya dan
agama di Bali. Umat Hindu percaya bahwa segala yang kita pikirkan, katakan,
dan lakukan tanpa ada restu dari Hyang Widhi/Tuhan, maka tidak akan berhasil
dengan baik. Untuk itu, agama Hindu yang dibalut dengan budaya Bali
25
menampakkan aktivitas bhakti kepada Hyang Widhi melalui persembahyangan di
pura dari tingkat pura keluarga sampai ke pura Kahyangan Jagat. Semakin sering
sembahyang di pura-pura atau Tirtha Yatra, berarti diyakini semakin dekat
dengan Hyang Widhi dan implikasinya akan mengubah karakter seseorang
menjadi lebih baik.
Aktivitas Tirtha Yatra (perjalanan suci dengan sembahyang di tempat-
tempat suci) merupakan kearifan local yang diselipkan Nyoman Manda dalam
karyanya. Idiologi ini ditanamkan dalam tokoh utama Wayan Landra. Wayan
Landra sebagai remaja aktif di Banjar dan sering sembahyang di pura-pura.
“….Dugas purnamane abulan tiang ajak sekaa teruna banjar tiange mabakti
ka Pura Kancing Gumi”. “…..Dija purane totonan Yan?” “Di desa
Batulantang paek ka Pelaga” (Nembangang Sayang 46-47).
“….Sewaktu bulan purnama sebulan yang lalu kami bersama sekaa
teruna Banjarnya sembahyang di Pura Kancing Gumi”. “… Pura itu
dimana Yan?” “Di desa Batulantang dekat dengan desa Pelaga”.
Pura yang lain yang sudah pernah didatangi untuk sembahyang oleh
Wayan Landra adalah Pura Pulaki dan Pura Menjangan di wilayah Buleleng.
“Jalan ne tembus ke Seririt, yen lewat Gobleg bias teked di Banjar. Tiang
suba taen maturan ke Pulaki terus ke Menjangan lewat mai,” Yan Landra
ngorahin timpal-timpalne (Nembangang Sayang, 66-67).
“Jalan ini tembus ke Seririt jika lewat Gobleg bias sampai ke desa Banjar.
Saya sudah pernah sembahyang ke Pura Pulaki terus ke Pura Menjangan
lewat jalan ini”. Yan Landra menjelaskan pada teman-temannya.
26
Kedekatan Wayan Landra dengan Maha Pencipta (Hyang Widhi) melalui
seringnya sembahyang manfaatnya telah dirasakannya. Ketika beberapa kali
mau dicelakai oleh Gung Wirati dengan menyerempet mobilnya, tetapi
Wayan Landra tetap selamat dan tidak marah.
“Kaden aluh nyerempet anak beneh”, “Patute tugurin Yan,” Kalem
Putu Arini ngomong. Yen suba patut, patute ento bakal nulungin
ragane” Gung Ratih makenyem, Putu Arini masi makenyem
(Nembangang Sayang, 60).
“Dikira gampang nyerempet orang tak bersalah,” “Patut (kebenaran)
itu utamakan Yan”, kalem Putu Arini ngomong. Jika kita sudah benar,
kebenaran itu akan menolong dirinya. Gung Ratih tersenyum, Putu Arini
tersenyum juga,
Kehidupan remaja penuh dengan aktivitas untuk mencari jatidiri, namun
sayangnya kebanyakan arahnya ke negatif seperti merusak lingkungan.
Budaya corat-coret dan lain-lainnya identik dengan remaja. Nyoman Manda
menangkap fenomena ini dengan memasukkan kearifan lokal. Masyarakat
Bali mengenal konsep Tri Hita Karana yang berarti hubungan harmonis
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Kearifan lokal ini dibangkitkan sebagai penyadaran para remaja dengan
menyelipkan cerita kemping di danau Tamblingan. Di situ para siswa diajak
berdialog dengan masyarakat, diajak mengenal keasrian hutan, dan
menyayangi hutan.
4. Novel Gita Ning Nusa Alit ‘Nyanyian Hening di Pulau Kecil’ oleh
Djelantik Santha (2003).
Novel ini merupakan lanjutan dari novel Sembalun Rinjani sebagaimana yang
disampaikan oleh pengarang dalam atur pangaksama (kata pengantarnya).
Kisahnya terbagi atas delapan episode. Bagian pertama diawali tentang jalinan
asmara Gusti Ngurah Darsana seorang pegawai bank dengan seorang gadis Sasak
27
Lale Dumilah. Darsana adalah sosok idaman kaum perempuan, selain sudah
bekerja Darsana adalah pemuda yang tampan, simpatik, dan sangat sopan.
Namun demikian, Darsana terlanjur jatuh cinta kepada Lale Dumilah yang
berbeda agama (Islam). Keadaan ini tentu membuat hati Lale Dumilah gundah,
takut kalau tidak direstui dan dianggap murtad dan memang demikian adanya.
Kepindahan tugas Darsana ke Atambua dan cintanya yang tulus membuat Lale
Dumilah memutuskan untuk menikah dan ikut bersamanya. Setelah menikah,
Lale Dumilah berganti nama menjadi Ratna Dumilah. Ratna Dumilah pun
berganti agama dari Islam menjadi Hindu sesuai dengan agama Darsana.
Walaupun kedua orang tuanya kecewa, namun pada akhirnya mereka disadarkan
oleh anaknya Lalu Wiradana dan merestui perkawinan mereka.
Pernikahan mereka dikarunia seorang putra dan diberi nama Gusti Ngurah
Anantha Bhuwana. Kelahiran Anantha Bhuwana membuat semua keluarga
sangat bahagia. Hal ini terlihat ketika melakukan upacara untuk Anantha Buwana
semuanya hadir. Ngurah Darsana juga berhasil mempertemukan dua bersaudara
yang terpisahkan dan bahkan tidak saling mengenali oleh keadaan darurat (huru-
hara) antara Wayan Galang dengan Meina Victoria. Kepindahan Darsana dari
dari Atambua ke Rababima Kupang membuat keluarga Lale Dumilah senang
karena memudahkan mereka untuk bertemu.
Lika-liku cinta dan kehidupan rumah tangga Ngurah Darsana dengan Ratna
Dumilah diselingi dengan berbagai daya estetis lainnya seperti rasa cemburu kepada
Darsana, penolakan dari keluarga besar Ratna Dumilah bahkan sebelumnya Ratna
Dumilah sudah dipasangkan dengan sepupunya, Raden Nuna, seorang calon camat.
Bahkan, karena cinta tak terbalaskan, Raden Nuna menggunakan ilmu hitam untuk
28
menghancurkan Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah. Oleh karena belum takdir
untuk mati, Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah berhasil ditolong.
Kearifan Lokal dalam Gita Ning Nusa Alit:
a) Salunglung Sobayantaka:
Ungkapan ini merupakan ungkapan budaya lokal masyarakat Bali tersebar
secara luas baik kalangan buruh, petani, nelayan, seniman, pegawai negeri,
dan sebainya. Ungkapan ini amatlah popular dapat diucapkan dimana saja,
baik formal maupun informal, perseorangan maupun kelompok. Secara
morfologis, ungkapan ini berasal dari kata salung-lung „sama-sama patah.
Maksudnya, apa pun yang akan terjadi dalam mewujudkan cita-cita mereka,
akibatnya akan ditanggung secara bersama. Kata sobayantaka berasal dari
kata sa-+ ubaya + antaka. Sa- „prefiks yang artinya se- dalam bahasa
Indonesia, ubaya „janji‟, antaka „mati/meninggal‟. Dengan demikian
salunglung sobayantaka berarti hidup yang senasib dan sepenanggungan
(sehidup semati) (Tim Penulis, 1984: 142). Mirip dengan ungkapan ini, di
daerah Minangkabau ada ungkapan sejenis, yang maksudnya kurang lebih
sama. Adapun ungkapan yang dimaksud adalah: Mati anak berkalang bapak,
dalam mati bapak berkalang anak”, artinya „anak dan bapak hendaklah
tolong-menolong, sandar-menyandar dalam waktu kesusahan dan sebagainya
(Pamuntjak, dkk., 2004: 341).
Secara tekstual, dalam novel Gita Ning Nusa Alit di wujudkan ketika
Ratna Dumilah mengambil keputusan untuk menikah dengan Ngurah
Darsana dengan konsekuensi Ratna Dumilah harus berhenti dari kuliahnya
dan tidak direstui oleh kedua orang tuanya. Namun, cinta mengalahkan
29
segalanya, Ratna Dumilah mengambil keputusan itu sebagaimana dalam
kutipan berikut ini.
“Badah, ene mara ya tusing nawang unduk. Sing bisa dadi pengacara
utawi pukrul. Ene Denda ane dadi pesakitan sawireh suba ngamaling isin
jejeroan cange, hati, jantung, paru-paru kayang tresnan cange palinga. Jani
pamidandane kaputus dadi kurenan/rabin cang Saumur hidup. Sing dadi
belas yadiapin suka, duka, lara, pati yen dadi tunas apang mabarengan ane
madan salunglung subayantaka”, kenten Gusti Ngurah saha nundikin
gelanne ane milu bengong mirengang hukumane ane katiba teken dewekne.
Mara raganne ngerti teken ujud pandikane Gusti Ngurah, lantas mabading
ngelut, ngecup gelanne mawanti-wanti” (hal 22).
„Wah, ini tidak tahu masalah. Tidak bisa menjadi pengacara. Ini adinda yang
menjadi pesakitan/terdakwa karena telah mencuri jantung hatiku dan juga
cintaku. Sekarang hukumannya adalah menjadi istriku seumur hidup. Tidak
boleh berpisah baik dalam keadaan suka dan duka, hidup maupun mati agar
selalu bersama seperti dalam ungkapan salunglung subayantaka / sehidup
semati baik suka dan duka, demikian Gusti Ngurah sembari mencolek
pacarnya yang terbengong-bengong mendengar hukumannya. Ketika tahu
akan maksud perkataan Gusti Ngurah lalu berbalik memeluk, mencium
pacarnya berulang-ulang”.
Perkataan Ngurah Darsana lalu dibalas oleh Ratna Dumilah seperti kutipan
berikut ini.
“Nggih, hukuman katerima. Nanging tiang masih patuh ngukum Tu Ngurah
dadi rabin tiange salawase, tusing megatang tresnane kayang kawekas,
swarga nunut neraka katut” kenten Lale Dumilah matadah gugup sawireh
Gusti Ngurah sahasa meluk raganne nganti keweh mangkihan” (hal 22).
30
„Ya, hukuman diterima, tetapi saya juga akan menghuku Tu Ngurah
(Darsana) menjadi suami saya selamanya, tidak memutuskan tali cinta
selamanya, baik di sorga maupun di neraka harus bersama” demikian Ratna
Dumilah seperti gugup karena Gusti Ngurah (Darsana) segera memeluknya
sampai susah bernafas”.
Demikianlah ungkapan romantisme antara Ngurah Darsana dengan
Ratna Dumilah. Semuanya diungkapkan dengan bahasa wajar dan lancar
dengan pengandaian atau pemakaian bahasa hokum yang menandakan bahwa
Ngurah Darsana adalah seorang yang terpelajar. Ungkapan cinta Ngurah
Darsana sebaliknya dibalas dengan peluk cium sebagai tanda akan ketulusan
cintanya. Pengungkapan salunglung sobayantaka dalam konteks kisah
romantisme ini sangat tepat karena dalam ikatan perkawinan diibaratkan
sebuah perahu yang akan berlayar mengarungi samudra luas kehidupan.
Berbagai rintangan dihadapi bersama sehingga mencapai tujuan bersama dan
kebahagiaan menjadi milik bersama. Hal ini ditegaskan dalam kutipan teks
berikut.
“… Cirin anak pinter kabisane ane bakat di sekolahan sinah patut ingetang
kayang kawekas. Nanging tresnane ane matemuang iraga nganti makurenan
patut belanin kayang mati. Apa buin cara Denda ngajak tiang jani suba dadi
aperahu, jalan layarin tuut tukade yadiapin mabias, mabatu-batu, nganti
teked ka telenging samudrane tan patepi, ane dadi uleng tetujon saluiring
tukade ane ada di gumine….” (hal. 63).
„… Ciri orang cerdas adalah mampu menerapkan pengetahuan yang
didapatkan di bangku sekolah dijadikan pedoman selamanya. Namun, cinta
yang mempertemukan kita sampai kita menikah patut dibela sampai mati.
Apalagi adinda dan saya sudah berada dalam satu perahu, marilah kita
berlayar mengikuti arus sungai walaupun berpasir, berbatu-batu, sampai ke
tengah samudra luas tiada tepi, yang menjadi tujuan dari semua tujuan
(aliran) yang ada di dunia ini….‟
Mengenai pelafalan istilah sobayantaka, ada juga yang mengucapkan
sabayantaka atau pun subayantaka. Perbedaan pelafalan itu tidak membawa
perbedaan arti. Istilah salunglung sobayantaka adalah ikrar/janji untuk saling
mempertahankan prinsip yang telah ditetapkan, prinsip yang harus terus
31
dipupuk, dibela, dan dipertahakan demi tegaknya kesatuan bersama yang
telah dibentuk bersama. Dengan demikian, dibutuhkan loyalitas yang kuat
dan pengorbanan yang ikhlas sehingga seringkali memunculkan fanatisme
dalam tindakan itu. Kesetikawanan antarindividu dalam kelompok benar-
benar diuji. Semangat salunglung sobayantakan diharapkan menjadi modal
pemersatu/perekat masyarakat sehingga mampu bertahan dari anasir-anasir
asing yang bersifat negatif.
5. Novel Suryak Suung Mangmung oleh Djelantik Santha (2007).
Novel ini merupakan salah satu dari trilogi novel Djelantik Santha. Novel ini
terbagi atas tujuh episode. Namun demikian, ketujuh episode itu merupakan satu
rangkaian yang utuh mulai dari episode satu sampai selesai (bagian tujuh).
Secara garis besarnya ceritanya sebagai berikut.
Episode satu dikisahkan seorang pegawai bank Gusti Ngurah Darsana yang
akan memasuki masa pensiun. Sebelumnya telah melaksanakan tugas di berbagai
daerah seperti BRI Cabang Mataram, terus Raba Bima, Ambon, Kendari,
Makassar, Samarinda, Padang, Medan, dan terakhir Jakarta. Ketika mengawali
karirnya bekerja di Mataram, Darsana ketemu dengan gadis Sasak namanya Lale
Dumilah dan setelah menikah diberi nama Ratna Dumilah. Oleh karena
memasuki masa pensiun, Darsana diizinkan oleh atasannya kembali pulang
kembali dan bertugas di Denpasar. Dari perkawinannya itu mereka mempunyai
tiga orang anak dan seorang cucu. Oleh karena sudah bekerja di Bali, maka
Darsana mulai menata rumahnya yang ada di Baledan Kecamatan Selat
Karangasem yang memang sudah mulai rusak sekalian sebagai persiapan untuk
upacara cucunya (Gung Widya Karana) dan juga pernikahan anak perempuannya
32
(Gusti Ayu Kendariyani). Kembali Darsana ke kampung halamannya diibaratkan
memasuki kungkungan puyung (sangkar kosong).
Bagian kedua disajikan romantika perkawinan yang sudah memasuki masa
kritis, yakni masa ketika kedua belah pihak sudah merasa tidak kuat secara fisik
lebih-lebih bagi perempuan yang memasuki masa menopause. Pada masa ini
disajikan berbagai macam tantangan dan godaan yang dihadapi serta bagaimana
cara menyikapinya. Selain itu disajikan juga tentang tanggung jawab hidup dalam
harmonisasi budaya Bali yang sangat kental dengan agama Hindu,
menyeimbangkan mulat sarira (introspeksi diri) dengan toleransi.
Episode ketiga disajikan mengenai cara mencari pasangan hidup yang baik.
Mencari pasangan memang harus memilih tetapi memilih yang tepat agar tidak
seperti pepatah orang Bali “pilih-pilih bekul bakat buah bangiang” „memilih
yang terbaik tetapi akhirnya yang paling jelek didapatkan‟. Tidaklah baik juga
jika menginginkan seorang gadis memakai guna-guna dan itu adalah dosa besar
dan dilarang oleh agama.
Episode empat mengisahkan tentang hutan yang angker. Dikisahkan bahwa di
dalam hutan menuju Pasar Agung adalah hutan yang angker yang ada penghuni
gaibnya. Memang hutan sekitar Pura Pasar Agung memiliki panorama yang luar
biasa, ke utara terlihat puncak Gunung Agung dan ke selatan hamparan hijau dan
laut yang sesekali pandangan diselimuti kabut. Episode ini juga mengisahkan
terjadi peristiwa gaib, sesaat setelah selesai persembahyangan, anak Darsana
(Gung Kendariyani) hilang secara gaib ketika terjadi angin ribut dan kabut tebal
secara tiba-tiba. Namun berkat ketulusan dan kekhusukan persembahyangan
Darsana sekeluarga dan pertolongan masyarakat sekitar akhirnya Kendariyani
pulang tanpa cacat sedikit pun. Di sinilah letak keyakinan keluarga Darsana
33
bahwa memang dari dulu ada salah seorang kerabatnya yang menjadi juru sapuh
(tukang sapu secara gaib) di Pura Pasar Agung.
Episode kelima tentang tutur kadiatmikan, yakni pengetahuan yang didasari
oleh agama Hindu di Bali yang terdiri atas tatwa, susila dan upacara.
Sesungguhnya Sanghyang Widhi (Tuhan) hanyalah satu. Untuk mencapai tujuan
ke-Tuhan-nan itu ada bermacam-macam.
Episode keenam menyajikan pernikahan Kendariyani dengan Gusti Ngurah
Wiweka yang didasari atas cinta yang tulus, cinta sejati. Upacara pernikahan
dilaksanakan dengan meriah. Cinta kasih orang tua kepada anak juga diselipkan,
yakni dengan memberikan nasihat-nasihat dan contoh yang baik.
Episode ketujuh (terakhir) adalah tentang situasi gaib yang dialami oleh
Ngurah Darsana ketika melakukan persembahyangan di Pura Dalem. Upacara itu
hanya dilakukan hanya satu hari, bukan dua atau tiga hari sebagai di tempat
lainnya dan itu pun hanya dilakukan oleh laki-laki, tidak ada perempuan karena
takut. Konon menurut cerita para penghuni alam gaib sering memperlihatkan
dirinya dalam bentuk sosok mahluk yang aneh-aneh. Pada malam itu, hanya tiga
orang yang berhasil melewati malam angker itu, yakni Ngurah Darsana, Jero
Mangku Dalem, dan Jero Bandesa. Mereka bertiga melihat sosok-sosok angker
itu dalam perujudannya yang bermacam-macam. Mereka bertiga sebagai
perwakilan masyarakat bahwa sesungguhnya penghuni gaib itu ada. Kekuatan
gaib juga ditunjukkan ketika hari suci Saraswati ketika menantu Ngurah Darsana,
Gusti Agung Wiweka beserta keluarga besarnya mohon keris pusaka miliki
leluhurnya. Suatu hari Ngurah Darsana beserta keluarganya mengalami hal gaib
lainnya ketika sembahyang di Puseh Sogra. Terdengar suara keramaian namun
tidak terlihat sesuatu, selang beberapa saat mereka melihat pasukan gaib lengkap
34
dengan senjatanya yang membuat mereka merasa takut. Sampai tiba di rumah
pun masih terngiang suara-suara gaib itu. Bahwa sesungguhnya memang betul
ada dunia lain dan harus dipercaya semua itu memiliki kekuatan.
Kearifan Lokal dalam Novel Suryak Suung Mangmung
a) Mulat Sarira/eling. Mulat Sarira (introspeksi diri) adalah konsep dalam
budaya Bali agar selalu ingat dengan diri sendiri, sadar, selalu menjauhkan
diri dari angkara murka. Selain itu, jangan pula terlalu menuruti hawa nafsu
lebih-lebih birahi yang dapat menghancurkan keluarga. Dalam novel dikutip
sebagai berikut.
“Saja Ning, tegarang baca tutur Sarasamuscayane. Mula tuara ada kewehan
teken ngeretin momo angkarane utamanne ane madan kama. Ane tonden taen
ngrasayang Makita apang nawang rasanne. Apa buin ane suba biasa
ngrasayang jaenne Makita apang tusing kapegatan rasa cara ngisep
candune. Yan maraga luh mula saking nunain, sawireh sasubane baki yen
masanggama liunan rasa sakitne timbangan teken klebete kasmaran” (hal
37).
„Benar Nak, cobala baca (ada) nasihat dalam Saramuscaya. Memang sangat
sulit untuk menahan perilaku jahat utamanya apa yang disebut nafsu. Yang
belum pernah merasakan ingin tahu seperti apa nikmatnya. Lebih-lebih yang
sudah biasa merasakan nikmatnya ingin agar tidak pernah terputus merasakan
nikmatnya seperti halnya mengisap candu. Jika perempuan memang bias
mengurangi karena jika sudah menopause jika dipaksakan bersenggama lebih
banyak terasa sakitnya dibandingkan dengan keinginan akan nikmatnya
asmara‟.
Demikianlah satu satu romantika perkawinan yang memasuki usia senja
ketika terjadi perubahan fisik terutama bagi perempuan. Namun, tidak
demikian halnya bagi laki-laki seringkali keadaan yang demikian sering kali
dimanfaatkan untuk mencari kesenangan sendiri di luar rumah. Hal inilah
yang harus selalu diingat bahwa semakin tua sudah harus mulai mengurangi
nafsu keduniawian, semakin tua sudah seharusnya semakin banyak mencari
jalan kemuliaan.
35
Kesungguhan hati Ratna Dumilah untuk mempelajari agama Hindu adalah
contoh yang baik untuk diteladani. Karena sudah terlanjur menikah dengan
Ngurah Darsana, mau tidak mau Ratna Dumilah harus mengikuti suaminya.
Baginya tentu tidak baik jika terjadi disharmonisasi kepercayaan antara suami
dengan istri. Ratna Dumilah mengambil peran yang sangat baik dalam
pendidikan anaknya, memberikan nasihat-nasihat kebaikan sesuai dengan
dasar agama Hindu, agama yang dianut suaminya. Hal ini ditegaskan dalam
kutipan berikut.
“Beh, ibu sampun nyidayang ngerti yadiapin ke dasar kelahiran ibune
malianan agama. Yen tiang yadiapin kocap madasar agama Hindu sane
kuna, nanging saking kirangan buku sastra agama Hindu lan uratian para
panglingsir adat lan agamane, ngawinang pauninge among ngadu
rarekon….” (hal 51).
„Wah, ibu sudah sangat mengerti walaupun ketika ibu lahir beda agama.
Kalau saya walaupun menganut agama Hindu yang tradisi lama, oleh karena
kekurangan buku-buku agama dan juga para tetua agama menyebabkan
pengetahuan saya hanya mengandalkan konon katanya, …..‟.
Demikianlah kesadaran diri seorang Ratna Dumilah yang waktu kecil
bernama Lale Dumilah beragama Islam telah mampu menunjukkan perannya
sebagai ibu yang sejati, menghayati dan melaksanakan ajaran agama Hindu
yang sesungguhnya. Kedalaman pemahaman ajaran agama Hindu
ditunjukkan pada bagian akhir kisah ketika dia memberi nasihat kepada
anaknya.
“Sayuwakti Gung Antha, soang-soang agama pada ngelah aturan
kapercayaanne ane madan Srada. Yen Hindu kadanin Panca Sradha luire
percaya teken Ida Sanghyang Widhi, ada Atma, ada Karma Pala, ada
Punarbawa, lan ada Moksa. Ibu ane kawitne uli agama len, sasukate nutug
Tu Ajine magama Hindu, bisa ngrasayang ada ane mabinayan. Nanging yen
runut selehin, akehan sane pateh, yadiapin mabinayan basa lan tata caranne.
Sekadi pitutur Tu Ajine, „len tukad len aliran yehne, nanging makejang
tetujonne patuh, ka segara agung tan patepi”. Eling ibu dugase bajang
matirta yatra ngiring Tu Ajine ka pucak Gunung Rinjanine. Yeh ujane saking
pucak malembah di makudang-kudang tukad. Ada ane ngajanang,
nganginang, ngalodang, nanging makejang tetujonne tuah ka segara”
36
„Benar Gung Antha, tiap-tiap agam memiliki aturan kepercayaan yang
disebut dengan Sradha, percaya dengan keberadaan Sanghyang Widhi, ada
Atma (roh), ada Karmapala, Punarbawa (reinkarnasi), dan Moksa. Ibu yang
berasal dari agama yang berbeda setelah mengikuti ayahmu yang beragama
Hindu bias merasakan perbedaannya. Tetapi jika diselidiki lebih mendalam
banyak kesamaannya walaupun berbeda bahasa dan penyebutannya.
Sebagaimana yang dikatakan ayahmu, “beda sungai beda aliran airnya, tetapi
tujuannya sama, yakni ke samudra luas. Ibu ingat ketika masih muda bersama
ayahmu dalam perjalan (suci) ke Gunung Rinjani. Air hujan yang jatuh dari
puncak gunung mengalir ke berbagai sungai. Ada yang ke utara, ke tikur, ke
selatan, tetapi tujuannya semuanya ke laut‟.
b) Pilih-Pilih Bekul Bakat Buah Bangiang
Merupakan sesonggan (pepatah) dalam budaya Bali. Pepatah ini sangat lazim
digunakan dalam berkehidupan social masyarakat Bali. Menurut Tinggen
(1995: 19) sesonggan berfungsi untuk mematahkan pembicaraan orang.
Secara terminologis, istilah sesonggan berasal dari kata {ungguh} „duduk,
tempat, tinggal‟ kemudian mendapat proses morfologis dengan konfiks {sa-}
+ {-an}. Selanjutnya, menjadi saungguhan lalu direduplikasi suku depan
(dwipurwa) dan terjadi harmonisasi vokal menjadi sesonggan „bersekeadaan,
bersekedudukan, bersepadanan, sepantun, seirama, senasib, seajal‟. Selain itu,
sesonggan juga berfungsi untuk menyindir terhadap seseorang. Dalam
mengartikan sebuah sesonggan memerlukan tiga tahapan, yaitu arti sejati, arti
peribahasa, arti perumpamaan. Oleh karena itu, sesonggan dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Pilih-pilih bekul bakat buah bangiang
Arti sejati: memilih buah bekul akhirnya mendapatkan buah bangiang. Kedua
jenis buah oleh sebagian orang sudah jarang diketahui, lebih-lebih buah
bangiang jarang sekali orang yang tahu. Buah bekul adalah sejenis buah yang
rasanya kecut ukurannya sebesar ibu jari dewasa, pohonnya berduri, daunnya
kecil-kecil. Buah ini cocok untuk asinan. Pohon ini banyak tumbuh di daerah
37
tandus seperti Bukit Jimbaran Badung. Buah bangiang adalah buah dari
tanaman ilak-ilak, sejenis perdu satu kelompok dengan jahe dan bentuknya
mirip dengan jahe. Buah ini tidak dapat dimakan bukan karena beracun tetapi
rasanya yang sangat tidak enak. Antara buah bekul dengan buah bangiang
tidak memiliki ukuran yang begitu berbeda.
Arti peribahasa: seperti orang yang terlalu memilih-milih namun pada
akhirnya yang didapatkan justru yang lebih jelek.
Arti perumpamaan seperti berikut ini.
“Saja Geg Yani, kakiang among maguyonan. Mula patut waspada yen ngalih
rabi, apang madasar ben tresna sujati, boya ja kamendriane. Cara Janine
liu anake luh, muani gumanti nguluk-nguluk cara raos jegege, ngulah alih
aluh. Ane perluanga tuah arta branan anake dogen. Pitui suba baluan,
tuanan, bocokan sing kenken.. Pokokne sugih, liu ngelah brana lakar anggon
5 M, momone ane lelima.” Pandikan Ida Pedanda sada alon.
“Suyakti Ratu Pedanda. Mangkin akeh trunane sane demen dados dados
gigolo, gumanti mamitra sareng baluan, istri-istrine sane tua kasepian.
Yening perlu, nganten taler nyak. Asal sugih. Yen anak luh bajang ngenyakin
anak tua, saking dumun sampun ketah. Sane perluanga jinah lan kemewahan.
Mawinan para bangsawane akeh madue rabi.” (hal 40-41).
„Benar Geg Yani, kakek hanya berseloroh. Mencari pasangan memang harus
berhati-hati, harus didasari oleh cinta sejati, bukan sekadar nafsu. Zaman
sekarang banyak perempuan, laki-laki suka menipu seperti katamu, cari jalan
pintas. Yang dipentingkan hanyalah kekayaan saja. Walaupun sudah
janda/duda, lebih tua, tidak tampan/cantik tidak apa-apa. Yang penting kaya
raya, banyak punya harta untuk 5 M, ketamakan. Demikian kata Ida Pedanda
perlahan.‟
“Benar Ratu Peranda. Sekarang banyak anak muda yang menjadi gigolo,
yakni berselingkuh dengan janda tua yang kesepian. Bila perlu, menikah pun
rela. Yang penting kaya. Kalau perempuan banyak yang menyukai lelaki tua
dan itu sudah berlaku dari dulu. Yang diperlukan hanyalah uang dan
kemewahan. Itulah sebabnya banyak kaum bangsawan memiliki istri‟.
Demikianlah hendaknya jangan terlalu memilih sebab salah sedikit saja bisa
menjadi salah pilih, yang lebih buruk lagi justru mendapatkan yang lebih
jelek. Perlu diingat bahwa di era yang serba hedonis ini banyak orang yang
munafik, berpura-pura, semua diukur dengan uang tanpa peduli tua atau
muda, janda atau pun duda, tampan atau pun jelek. Mencari pasangan
38
memang haruslah memilih tetapi pilihan itu rasional, tidak muluk-muluk baik
dari segi pendidikan, pekerjaan, yang terpenting bisa mengayomi keluarga.
Adalah nasihat yang baik dari seorang pendeta kepada Ngurah Darsana.
“Nah, Ngurah Darsana, Bapa among matuinget. Ngurah ngelah oka istri
buin jegeg, ngelah gegaen melah, sinah liu anake demen, mabudi nganggon
rabi. Nanging, Geg Yani saja pageh ngaba raganne, enu mapilih ngalih rabi
apang maanane paling melaha tur kacumpuin teken anak lingsir. Nah, cara
Janine ento mula sukil. Tusing ada anak ane bagus manerus. Yen matuuh
amun Geg Yanine suba antes nganten. Asal tusing ilang pasidikarane, jag
rahayuang. Keto masih Geg Yani, sampunang ja bas mapilih. Yening suba
cocok geginane, pendidikane jag kanggoang. Apang sing enggalan wayah.
Yen wayah-wayahan tebu sayan manis. Nanging cara sesonggane “Pilih-
pilih bekul bakat buak bangiang”. Sapunika pandikan Ida Pedanda satmaka
ica nguyonin Geg Yani”. (hal 40).
„Ya, Ngurah Darsana, ayah hanya mengingatkan saja. Kamu punya anak
perempuan lagi pula cantik, pekerjaannya juga bagus, pantaslah banyak orang
yang suka padanya untuk dijadikan istri. Namu, Geg Yani terlalu menahan
diri masih memilih-milih supaya dapat suami yang sempurna dan disetuji
oleh orang tuanya. Yang demikian itu di zaman sekarang amatlah sulit. Tidak
ada orang yang tampan sempurna. Jika seumur Geg Yani sudah sepantasnya
menikah. Asalkan jangan sampai meninggalkan persaudaraan, segera ambil
keputusan. Jika suda sesui dengan pekerjaannya, pendidikannya ambil
keputusannya. Andaikan tebu semakin tua semakin enak (manis) tetapi
jangan seperti pepatah “Pilih-pilih bekul bakat buah bangiang” Demikian
kata pendeta sambil tertawa ringan menggoda Geg Yani.
5.2 Strategi Pengarang
Strategi pengarang adalah cara pengarang untuk menyampaikan amanat yang
akan disampaikan melalui karyanya itu agar bisa dipahami/ditangkap oleh pembaca.
Strategi di sini menyangkut struktur karya sastra yang diperankan oleh tokoh-tokoh
yang telah dipilih dan ditetapkan dalam urutan cerita. Adapun tokoh yang
dimaksudkan itu baik sebagi tokoh utama (protagonis), tokoh sekunder (antagonis)
maupun sampingan (tokoh pelengkap). Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi
sentral terjadinya peristiwa, baik dari segi latar (tempat, waktu) sekaligus yang
menentukan insiden dan pola alur.
39
Pemberian nama seorang tokoh seringkali mencerminkan watak seorang tokoh
yang berfungsi untuk menghidupkan, menjiwai,atau mengindividualisasikan
sehingga memungkinkan terciptanya konflik-konflik cerita (narasi) sehingga tertarik
untuk membaca atau menghayatinya. Oleh karena itu, Sudjiman (1986: 58)
menyatakan bahwa penokohan merupakan penciptaan citra tokoh di dalam karya
sastra yang sesungguhnya fiktif belaka. Kehebatan seorang pengarang ketika dia
(pengarang) berhasil membawa pembaca masuk ke dalam karakter tokoh-tokoh
ciptaannya itu, apakah pembaca bersimpati ataukan membencinya. Untuk itulah
tokoh-tokoh harus dihidupkan. Nurgiyantoro (1995: 166) menyatakan bahwa
penokohan dapat menggunakan beberapa cara sehingga dapat terungkap oleh (i)
tindakannya, (ii) ujarannya, (iii) pikirannya, (iv) penampilan fisiknya, (v) apa yang
dikatakan atau dipikirkan oleh tokoh cerita.
Saad (1967: 11) mengatakan bahwa ada tiga cara dalam menampilkan
penokohan dalam karya sastra. Pertama, cara analitik, yakni pengarang memaparkan
langsung tentang watak atau karkteristik tokoh dengan menyebutkan bahwa apakah
tokoh itu keras hati, keras kepala, berhati lembut, dan sebagainya. Dalam hal ini,
pengarang turut campur dalam melukiskan tokoh-tokohnya. Kedua, cara dramatik,
yakni pengarang membiarkan tokoh-tokohnya mengungkapkan, menyatakan apa
yang ada pada dirinya melalui ucapan, komentar, atau melalui penilaian tokoh lain.
Ketiga, gabungan analitik dengan dramatik, yakni pengarang menampilkan tokoh-
tokohnya secara analitik sekaligus dramatik, atau sebaliknya.
(1) Novel Gending Pengalu Karya Nyoman Manda
Sebagaimana yang telah disajikan dalam sinopsis dengan jelas dapat
diketahui bahwa tokoh utamanya adalah Nyoman Sadia. Sebagai tokoh utama,
40
profesi seorang Sadia dijadikan judul novel ini, yakni sebagai seorang pangalu.
Istilah pangalu ini merupakan merujuk pada profesi seorang pedagang keliling.
Sebagai tokoh utama, dibutuhkan tokoh sekunder seorang gadis bernama Luh Widi.
Kehidupan tokoh utama seorang Sadia dilukiskan dari bujang sampai menikah
dengan Luh Widi dengan setting kehidupan tempo dulu ketika berdirinya kerajaan
Gianyar. Kehidupan Sadia sebagai pedagang keliling membawanya bertemu dengan
Luh Widi berlanjut dengan jalinan kisah kasih di antara mereka berdua dan akhirnya
membawa mereka ke jenjang pernikahan. Sadia sebagai tokoh utama, tentu berperan
sangat sentral dalam pola cerita. Munculnya tokoh antagonis seperti Bantar, seorang
pemuda pemabuk yang cukup kaya di desanya menguatkan citra Sadia sebagai sosok
idaman seorang gadis. Selain memiliki etos kerja yang tinggi, Sadia juga seorang
tampan, tulus, serta berbakti pada Tuhan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
tampilan tokoh dan penokohannya dilakukan secara implisit. Pembaca dibiarkan
mencari pemahamannya sendiri untuk dapat mengenali dan memahami karakter-
karakter dalam cerita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa metode yang
digunakan pengarang adalah dramatic. Sebagaimana nama tokoh utama, Nyoman
Sadia, istilah sadia artinya „bahagia, berhasil‟ adalah seorang yang sangat percaya
kepada Tuhan / Sanghyang Widhi Wasa (Hindu), di pihak lain Luh Widi, pacar Sadia
dan kelak menjadi istrinya, juga orang baik dan taat beragama. Ungkapan di
masyarakat seperti “usaha tanpa doa adalah sia-sia” adalah benar adanya sebagimana
yang diisyaratkan dalam novel ini. Seorang pedagang keliling dengan usahanya tanpa
kenal lelah akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Luh Widi, yang menjadi
inspirator dan penyemangatnya.
(2) Novel Nembangang Sayang Karya Nyoman Manda
41
Novel ini menampilkan tokoh utama Wayan Landra dan Putu Arini serta
beberapa tokoh sekunder seperti Gung Wirati, Dewa Raka, Gung Ratih.
Sebagaimana telah disajikan dalam sinopsis, kedua tokoh utama ini menjalin kisah
asmara yang romantis. Tokoh Landra digambarkan secara dramatik oleh pengarang
sebagai seorang pemuda yang kalem dan ramah melalui ucapan pacarnya. Hal ini
bisa dilihat dalam kutipan berikut. “Gung Wirati ngusap-usap anak bagus kalem di
sampingne” (hal. 98). Pengarang beberapa kali menggambarkan Landra dengan
sebutan “kalem” dalam berbagai peristiwa, misalnya saat akan melakukan
pengibaran bendera merah putih (hal 6). Demikian juga dengan ciri fisik Landra
tidak diungkapkan secara terang oleh pengarang, hanya secara sosiologis
digambarkan sebagai kolektor lukisan di Ubud yang sangat terkenal.
Penggambaran tokoh Arini tidaklah sebanyak penggambaran tokoh Landra
walaupun Arini sesungguhnya juga sebagai tokoh utama (protagonis). Namun,
secara tekstual dapat dikatakan bahwa tokoh Arini dimunculkan secara dramatik.
Tidak ditemukan penggambaran fisik dan karakter secara gamblang. Keceriaan Arini
yang masih berstatus seorang pelajar SMA adalah wajar. Kelembutan hati Arini
digambarkan ketika menasihati Landra agar hati-hati mengendai mobil karena
tanjakan di seputaran Bedugul (hal 61).
(3) Novel-Novel Djelantik Santha: Gita Ning Nusa Alit, dan Suryak Suung
Mangmung).
Kedua novel Djelantik Santha ini merupakan bagian dari trilogis novel yang
diawali oleh Sembalun Rinjani. Antara novel Gita Ning Nusa Alit dengan novel
Suryak Suung Mangmung berisikan masa kehidupan berumah tangga dengan berbagi
42
macam lika-likunya. Kedua novel tersebut masih mempertahankan I Gusti Ngurah
Darsana, seorang pegawai bank, dan Ratna Dumilah (semasa bujang bernama Lale
Dumilah), seorang gadis Sasak, akhirnya mereka menjadi suami istri yang serasi.
Tampilan sosok Ngurah Darsana adalah idaman setiap gadis, perangainya lemah
lembut, rendah hati, sabar, cerdas, perhatian, bertanggung jawab, beriman, dan suatu
saat bisa juga santai melucu. Sesuai namanya, Darsana, dalam kosa kata Bali berarti
„contoh, teladan‟ (Kamus Bali-Indonesia, 1978: 145). Secara tekstual, karakter
Ngurah Darsana seperti itu membuat dia disegani baik di kantor maupun di rumah.
Sosok Ngurah Darsana selalu menjadi kunci pemecahan masalah, menjadi tempat
untuk minta nasihat, dan sebagainya.
Tokoh utama Ratna Dumilah yang sebelumnya beragama Islam setalah
menikah memeluk Hindu sesuai keyakinan Ngurah Darsana. Nama Ratna Dumilah
secara tekstual juga menunjukkan karakter yang jujur, cantik, bersahaja, tepat
menjadi penyeimbang dengan karakter Ngurah Darsana. Dalam budaya Bali kata
“ratna” berarti „bunga ratna, mutiara‟; dumilah berarti „bercahaya, berkobar,
memancar, bersinar‟ (Kamus Jawa Kuna-Indonesia, 1998: 218). Perubahan
keyakinan yang awalnya Islam seorang Lale Dumilah menjadi Ratna Dumilah yang
menjadi Hindu adalah contoh yang baik dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Saling mengisi, toleran, suami menghargai istri, sebaliknya istri member rasa hormat
dan penuh pengabdian.
Secara tekstual karakter Ngurah Darsana disajikan secara dramatik. Pembaca
dipersilakan bebas untuk memahami Darsana dan juga karakter Ratna Dumilah yang
diwujudkan dalam alur cerita yang rapat mulai awal cerita sampai akhir cerita.
Karakter-karakter Ngurah Darsana sebagai tokoh idola dapat pula disimak melalui
43
penilaian tokoh lain (sekunder) sehingga pembaca lebih mudah untuk memahaminya.
Berikut salah satu kutipannya.
“Saja Denda. Tegarang pidenin. Amonto makelonne iraga gradag-grudug
dini. Kaden Tu Ngurah sing taen culig macanda kaliwatan teken iraga. Apa
buin ngalemesin. Enggalan iraga ane tusing tahan, bilang maekin
raganne.”….
“Ooh, saja Luh.Tiang masih marasa buka keto. Tambis-tambis tiang tusing
tahan ngerasayang apang nyidang nuduk ulungan tresnanne Tu Ngurah.
Sawireh caran raganne matimpal ngajak iraga makejang patuh. Yapin teken
Gek Sri, Luh Ade, Luh Purnama. Nganti tiang nyerah kalah”….. (Gita Ning
Nusa Alit: 3).
Terjemahannya:
“Benar Denda (Ratna Dumilah). Cobalah pikiran. Demikian lama kita bergaul
di sini. Rasanya Tu Ngurah (Darsana) tidak pernah kelewatan bercandanya.
Apalagi merayu. Justru kita yang tidak tahan bila dekat dengannya”.
“Oh ya, benar Luh. Saya juga merasakan demikian. Hampir tidak tahan saya
rasanya agar dapat mendengar kata cinta darinya. Hal itu karena caranya
berteman semuanya sama. Baik terhadap Gek Sri, Luh Ade, Luh Purnama”.
Kutipan di atas adalah percakapan antara Ratna Dumilah ketika masih gadis
dengan teman kosnya Luh Purnama. Tersirat betapa bijaknya seorang Ngurah
Darsana karena dia tidak mau menyatakan cintanya kepada Ratna Dumilah dan bila
hal itu dilakukan akan menyakiti perasaan Luh Purnama (yang juga jatuh cinta pada
Ngurah Darsana). Ngurah Darsana sadar betul di antara mereka berdua, Ratna
Dumilah dengan Luh Purnama adalah sahabat karib.
Dalam novel Suryak Suung Mangmung berisikan kehidupan rumah tangga
memasuki tahap akhir ketika Ngurah Darsana mulai pensiun dan pulang kembali ke
kampung halamannya di Desa Badeg Selat Karangasem. Dalam tahap ini karakter
Ngurah Darsana semakin arif demikian juga istrinya Ratna Dumilah. Mereka berdua
rajin bermasyarakat dan juga melakukan persembahyangan ke pura-pura yang sejak
lama tidak pernah dijalaninya. Pembelajarannya terhadap ajaran agama semakin
44
diperdalam sehingga keyakinnya semakin bertambah juga. Disadari betul bahwa
semakin tua memang harus semakin bijak dan mulai mendekatkan diri pada Tuhan.
Peristiwa demi peristiwa disajikan secara terstruktur mulai awal cerita sampai akhir.
Perannya sebagai sosok teladan ditunjukkan dengan baik oleh pengarang.
Demikianlah deskripsi Ngurah Darsana dan istrinya Ratna Dumilah digambarkan
secara implisit melalui alur cerita dan peristiwa-peristiwa yang melukiskan
karakteristik ideal kehidupan berumah tangga.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang dalam
menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita dilakukan secara implisit. Bilamana
nama-nama tokoh yang dihadirkan itu sesuai dengan karakternya yang
direpresentasikan dalam cerita maka pengarang memilih dengan cara impisit atau
dramatik. Sebaliknya, bila nama-nama tokoh tidak mengandung makna karakter
dalam cerita, pengarang lebih memilih cara analitik. Namun demikian, kedua cara
ini tidak mutlak diterapkan, di sana-sini secara parsial kedua cara ini digunakan
secara bergantian.
45
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan uraian analisis di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut
ini.
1) Novel Nemoe Karma karya I Wajan Gobiah mengajarkan konsep kearifan
lokal tentang ajaran Tri Kaya Parisudha sebagai konsep sinergitas dalam
mengambil keputusan dalam sebuah pernikahan.
2) Novel Gending Pengalu berisikan tentang etos kerja seorang perantau
bahwa kerja keras akan memberikan hasil yang memuaskan
3) Novel Nembangang Sayang karya Nyoman Manda mengajarkan tentang juga
tentang konsep Tri Hita Karana dan bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa.
4) Novel Suryak Suung Mangmung mengajarkan kearifan tentang mulat
sarira/eling dan ungkapan budaya Bali sesonggan“pilih-pilih bekul bakat
buah bangiang”, yakni memilih sesuatu khususnya pasangan hidup harus
tepat.
5) Novel Gita Ning Nusa Alit mengajarkan kearifan tentang spirit pemersatu,
patriotis salunglung sobayantaka „sehidup semati‟
6) Dari segi struktur yang menyangkut teknik pengarang dalam menampilkan
tokoh-tokoh dalam cerita, dapat disimpulkan bahwa pengarang dalam
menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita dilakukan secara implisit bilamana
nama-nama tokoh yang dihadirkan itu sesuai dengan karakternya yang
direpresentasikan dalam cerita (cara dramatik). Sebaliknya, bila nama-nama
tokoh tidak mengandung makna karakter dalam cerita, pengarang lebih
memilih cara analitik. Namun demikian, kedua cara ini tidak mutlak
46
diterapkan, di sana-sini secara parsial kedua cara ini digunakan secara
bergantian.
Restorasi kearifan lokal Bali tersebut di atas harus dimaknai kembali,
diperkuat, dipertajam, diaplikasikan selanjutnya diharapkan dapat
memperkuat budaya Bali sebagai identitas dan jati diri orang Bali.
4.2 Saran
Kearifan-kearifan lokal tersebut di atas senantiasa dapat dijadikan panduan
dalam perilaku sosial sehari-hari sehingga apa yang dicita-citakan Bali ajeg, Bali
lestari, Bali yang berbudaya dapat dapat diwujudkan dan diwariskan dari generasi
sekarang ke generasi yang akan datang. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha
nyata melalui penelitian-penelitian secara berkelanjutan.
47
DAFTAR PUSTAKA
Alaini, Nining Nur. 2015.Tradisi Lisan Kecimol: Upaya Penguatan Jatidiri Bangsa
Melalui Kearifan Lokal” (Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu VIIIdi
Denpasar tanggal 20-21 Februari 2015).
Anonim. 1988. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-
Aspek Agama Hindu I-XIV. Denpasar: Peradah Indonesia Komisariat Kec
Kuta.
Anwar, Ahyar. 2012. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak.
Apriani, Ni Nyoman. 2009. “Novel Suryak Suung Mangmung Karya Djelantik
Santha: Pendekatan Sosiologi Sastra” (Skripsi). Denpasar: Prodi Sastra Bali
Univ. Udayana.
Genua, Veronika. 2013. “Nilai Kehidupan dalam Legenda Rendo Rate Rua sebagai
Jatidiri Masyarakat Kabupaten Ende NTT (Prosiding Seminar Internasional
Austronesia 2013 ISBN978-602-776-70-8).
Hardiningtyas, Puji Retno. 2013. “Warna Lokal Kumpulan Cerpen Mandi Api:
Upaya Regulasi Budaya Bali di Tengah Arus Globalisasi” (Prosiding
Seminar Nasional Bahasa Ibu VII ISBN 978-60-7776-89-0).
Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur
Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Moleong, Lexy Y. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Oktavianus. 2015. “Nilai Budaya dalam Peribahasa dan Revolusi Mental” (Prosiding
Seminar Bahasa Ibu VIII di Denpasar tgl 20-21 Februari 2015).
Pamuntjak, K.St, N.St. Iskandar, A.Dt. dan Madjaindo. 2004. . Peribahasa. Jakarta:
Balai Pustaka.
Parasari, Cok Istri Anik. 2010. “Novel Gending Pengalu Karya Nyoman manda:
Analisis Struktur” (Skripsi). Denpasar: Prodi Sastra Bali Univ Udayana
Putra, I Nyoman Darma. 2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
48
Saad, M. Saleh. 1967. “Chairil Anwar dan Telaah Kesusastraan: Sebuah Catatan
Kecil” (dalam Lukman Edi (ed) Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal, Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan.
Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan.
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Sukasta, 1996. “Konflik Psikologis dalam Novel Mlancaran ka Sasak Suatu
Pendekatan Psikologi Sastra. (Skripsi). Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Tim Penulis. 1984. Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan
Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tinggen, I Nengah. 1995. Aneka Rupa Paribasa Bali. Singaraja: Rhineka
49
LAMPIRAN INFORMAN
Nama : Ni Luh Made Suardhiyani
Jenis Kelamin : P
Tempat/Tanggal Lahir : Tangkas Klungkung/ 26-8-1985
Agama : Hindu
Pendidikan : Sarjana
Alamat : Jl. Tukad Citarum Gg VII 5A.
Nama : Ida Ayu Nym. Manuastiti
Jenis Kelamin : P
Tempat/Tanggal Lahir : Klungkung/ 15-3-1989
Agama : Hindu
Pendidikan : Sarjana
Alamat : Desa Pesangkan Anyar Desa Duda Timur Kec. Selat
Karangasem
Nama : Ida Bagus Suarcana
Jenis Kelamin : L
Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/ 10-6-1989
Agama : Hindu
Pendidikan : Sarjana
Alamat : Br. Sintig Sibangkaja, Abiansemal, Badung
Nama : I Made Bagiastra
Jenis Kelamin : L
Tempat/Tanggal Lahir : Br. Gelogor Lodtunduh Gianyar/ 20-2-1995
Agama : Hindu
Pendidikan : Mahasiswa
Alamat : Br. Gelogor Lodtunduh Gianyar
Nama : Ida Bagus Acarya Sakayana
Jenis Kelamin : L
Tempat/Tanggal Lahir : Gianyar/ 18-11-1994
Agama : Hindu
Pendidikan : Mahasiswa
Alamat : Br. Ceboong, Desa Serongga, Gianyar
Nama : Putu Sosiawan
Jenis Kelamin : P
Tempat/Tanggal Lahir : Kayuputih, 1-9-1991
Agama : Hindu
Pendidikan : Sarjana
Alamat : Dusun Bolangan Desa Kayuputih Buleleng
Nama : Ni Putu Aristia Ulandari
Jenis Kelamin : P
50
Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/ 28-3-1992
Agama : Hindu
Pendidikan : Sarjana
Alamat : Jl. Tukad Balian Gg 43 No 1 Renon Denpasar
Nama : I Made Bagiastra
Jenis Kelamin : P
Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/ 13-5-1995
Agama : Hindu
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Kenyeri Gang Pucuk No 2 Denpasar
Recommended