View
231
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PERILAKU POLITIK DAN ELITE
(Studi tentang Pengaruh Pilihan Politik Elite PWNU
pada Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017
Terhadap Khittah 1926)
Skripsi
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Diah Lestari
1113112000002
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang pengaruh perilaku elite (Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama) PWNU Jakarta. NU adalah organisasi sosial keagamaan yang
tidak berpolitik sesuai dengan nilai-nilai khittah 1926 hasil Muktamar ke-27 di
Situbondo, Jawa Timur. Tujuan penelitian ini adalah ingin membahas mengenai
faktor yang dapat mempengaruhi perilaku elite dalam menentukan pilihan politik
di pilkada Jakarta tahun 2017. Berdasarkan hasil khittah 1926 menegaskan bahwa
NU adalah organisasi yang netral. Tetapi faktanya, elite PWNU sering dijadikan
sebagai vote getter dan nahdliyin dijadikan target utama pasangan calon gubernur
karena dianggap sebagai penyumbang suara terbesar akibatnya PWNU keluar
batas sebagai organisasi yang tidak berpolitik menjadi organisasi yang berpolitik,
karena elitenya membawa PWNU Jakarta pada tataran politik.
Ketidaknetralan PWNU sebagai organisasi di pilkada Jakarta tahun 2017
yang pertama elite PWNU hanya mengundang Agus-Sylvi ke kantor PWNU
dalam acara silahturahmi antara pengurus bukan seluruh pasangan calon. Kedua,
keikutsertaan PWNU pada aksi bela Islam 212, padahal terdapat larangan seluruh
NU cabang dan wilayah tidak boleh ikut berpartisipasi karena ingin menjaga
netralitas NU sebagai organisasi. Ketiga, Rais Syuriah PWNU mendukung Anis-
Sandi pada pilkada putaran kedua. Dukung-mendukung calon diperbolehkan
karena individu memiliki pilihan politik masing-masing, yang tidak diperbolehkan
adalah jika membawa nama jabatan seperti Rais Syuriyah atau Tanfidziyah hanya
untuk mendukung satu pasangan calon.
Penelitian ini dilakukan oleh penulis menggunakan studi pustaka dan
wawancara. Penulis menggunakan teori faktor yang dapat mempengaruhi aktor
dalam mengambil keputusan politik menurut pandangan Miriam Budiardjo ada
empat yaitu lingkungan sosial politik tidak langsung, lingkungan politik langsung,
struktur kepribadian elite dan lingkungan sosial politik berdasarkan situasi.
Keempat faktor yang mempengaruhi elite PWNU dalam mengambil keputusan
politik adalah sebagai dasar dari elite mengendalikan sikap organisasi. Untuk
menganalisa mengenai perilaku peneliti menggunakan teori pendukung yaitu
budaya politik dari Almond dan Verba. Untuk meneliti individu yang memiliki
pengaruh dalam organisasi dalem membuat suatu keputusan penulis menggunakan
teori Robert Putnam, yaitu analisis posisi, analisis reputasi dan analisis keputusan.
Kata Kunci: perilaku elite, PWNU, pengaruh, pilkada Jakarta 2017.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih dan maha
penyayang, berkat rahmat, inayah dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat serta para pengikut beliau
dari dulu, hingga akhir zaman. Penulus ingin mengucapkan terimakasih kepada
pihak yang membantu dalam penelitian, penyusunan dan penulisan yang berupa
dukungan moril dan materilnya motivasi dan doa dari teman-teman. Untuk itu
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pembantu rektor, yang meliputi Pembantu Rektor Bidang
Akademik, Pembantu Rektor Bidang meliputi Adminstrasi Umum,
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pembantu Rektor Bidang
Pengembangan Kelembagaan.
2. Prof. Dr. Zulkifli sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh dosen, staf dan
jajarannya.
3. Dr. Iding Rosyidin Hasan, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Politik.
4. Suryani, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Politik
5. Idris Thaha, M.Si sebagai dosen pembimbing terbaik yang pernah saya
temui, membimbing, momotivasi penulis dalam melakukan penelitian
dari awal sampai dengan akhir.
6. Narasumber KH Manan Abdul Ghani (Ketum PBNU Jakarta), KH OS
Abdurrahman Mahmud, MA (Wakil Syuriyah PWNU), Drs. KH Munahar
Mutchar (Wakil Tanfidziah PWNU).
iii
7. H Yunus Wahab, M.Pd yaitu Ketua Perguruan Tinggi NU Jakarta atas
bantuannya penulis dapat bertemu dengan narasumber.
8. Kedua orangtua dan keluarga besar yang telah mendoakan dan membantu
secara finansial penelitian ini.
9. Direktur Laznas BSM beasiswa mahasiswa Rizqi Okto Priansyah dan
Amelia Pantouw selaku pembina beasiswa yang telah memberikan penulis
beasiswa penuh dari semester tiga hingga akhir.
10. Sahabat-sahabat terbaik di Program Studi Ilmu Politik yaitu Isnaini Anis
Farhah, Restiana Firda, Amelia Stefanie, Anissa Suciati.
11. Kelompok mentoring kemiri (kelompok mirip bidadari) UIN Jakarta.
12. Ikatan Remaja Masjid Mardhotillah (IRMM) atas motivasi yang telah
diberikan.
13. Enterpreneur Mardhotillah yang selalu memberikan kritik dan saran untuk
penelitian ini.
Penulis berusaha sesuai dengan kemampuan menjadi yang terbaik tetapi
kesempurnaan hanyalah milik Allah. Masih banyak kekurangan penulis yang
harus diperbaiki. Demi terwujudnya kesempurnaan dari skripsi ini penulis
meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Jakarta, 10 Juni 2017
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ......................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 8
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 8
E. Metodelogi Penelitian ...................................................................... 13
F. Sistematika penulisan ....................................................................... 16
BAB II KERANGKA TEORI
A. Perilaku Politik ................................................................................ 19
A.1 Pengertian Perilaku Politik ........................................................ 19
A.2 Model Perilaku Politik .............................................................. 22
A.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik ............................ 23
B. Budaya Politik ................................................................................. 24
B.1 Tipologi Budaya Politik ............................................................ 26
C. Teori Elite ........................................................................................ 28
BAB III PILKADA DKI JAKARTA TAHUN 2017 DAN SIKAP NU
KEMBALI PADA KHITTAH 1926
A. Pilkada DKI Jakarta: Dinamika Kiai dan Politik ........................... 31
A.1 NU pada Pilkada Jakarta ........................................................... 35
A.2 Hubungan Kiai dengan Politik................................................. 42
B. Sikap NU kembali pada khittah 1926 .............................................. 45
v
BAB IV PENGARUH PERILAKU ELITE PWNU PERIODE 2016-2021
PADA PILKADA DKI JAKARTA TAHUN 2017
A. Elite dalam PWNU Jakarta .............................................................. 54
B. Faktor Pengaruh Perilaku Politik Aktor ........................................ 57
B.1 Perilaku Sosial Politik Tidak Langsung .................................. 57
B.2 Lingkungan Politik Langsung ................................................. 59
B.3 Struktur Kepribadian Elite ...................................................... 62
B.4 Lingkungan Sosial Politik Berdasarkan Situasi ...................... 65
C. Perilaku elite PWNU di Pilkada Jakarta............................................67
C.1 Pilkada Putaran Pertama .......................................................... 67
C.2 Pilkada Putaran Kedua ............................................................. 68
D. Bentuk Ketidaknetralan PWNU Jakarta .......................................... 69
D.1 Dukungan Elite PWNU kepada Agus-Sylvi .......................... 71
D.2 Keikutsertaan dalam Aksi 212 ............................................... 73
D.3 Dukungan Mengatasnamakan Syuriyah ................................. 74
BAB V PENUTUP
Kesimpulan dan Saran...................................................................................... 76
Daftar Pustaka ............................................................................................. vii
Lampiran-lampiran
vi
DAFTAR TABEL
Tabel III.A.1 Koalisi Partai Pilkada Jakarta 2017 Putaran Pertama ................ 33
Tabel III A.2 Koalisi Partai Pilkada Jakarta 2017 Putaran Kedua ................. 34
Tabel III.A.3 Agama dan Kepercayaan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015..... 37
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Pemilihan umum adalah kegiatan politik yang erat kaitannya dengan
kekuasaan.1 Jadi perjuangan pada pilkada Jakarta merupakan suatu perjuangan
politik dari masing-masing calon untuk mendapatkan simpati dari masyarakat
Jakarta, tokoh masyarakat dan organisasi massa Islam seperti Nahdlatul Ulama
(NU). Sebagai organisasi massa Islam, NU tidak berhak dukung-mendukung atas
nama organisasi pada pemilu. Karena dalam internal organisasi, NU sudah
memiliki peraturan untuk kembali pada khittah 1926. Artinya NU sudah bukan
lagi menjadi partai politik tetapi berubah menjadi organisasi sosial keagamaan.
Netralitas NU dibuktikan dengan hasil muktamar NU ke-27 di Sitobondo,
Jawa Timur yang menegaskan bahwa NU sudah kembali pada khittah 1926.
Makna kembali ke khittah mengembalikan NU pada cita-cita awal didirikan NU
yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan.
Hasil muktamar ke-27 di Situbondo menghasilkan keputusan Nomor
02/MNU-27/1984 yaitu kembalinya NU pada khittah 1926 yang memiliki tiga
esensi pokok. Pertama, bahwa jam’iyah NU harus kembali pada struktur
pemula, yakni peranan ulama Syuriyah lebih dominan pada Tanfidziyah. Kedua,
NU secara jam’iyah tidak lagi memiliki ikatan organisatoris dalam bentuk apapun
dengan organisasi kekuatan sosial politik. Ketiga, NU jam’iyah menitikberatkan
1 Nasir Yusuf, Menggugat Khittah NU, (Bandung: Humaniora Press, 1994), hal.79.
2
program dan kegiatannya dalam pendidikan, dakwah, keagamaan dan
kesejahteraan sosial.2
Makna dari kembalinya NU pada khittah 1926 sebagai organisasi tidak
boleh berpolitik. Artinya, NU memberikan hak sepenuhnya kepada nahdliyin
untuk mendukung calon tertentu pada pilkada Jakarta sesuai dengan hak yang
dimiliki oleh individu, tetapi dukungan tersebut tidak boleh mengatasnamakan
NU sebagai organisasi.
Jakarta dihadapkan dengan situasi politik yang dinamis yang secara tidak
langsung berhubungan dengan NU secara organisasi. Pertama, petahana yang
mencalonkan diri menjadi Gubernur Jakarta berasal dari non muslim, sedangkan
menurut pandangan Islam bertentangan dalam konsep memilih pemimpin, hal
tersebut menurut sebagian ulama sudah ditetapkan pada Al-Qur’an.
Kedua, kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama.
Banyaknya ormas Islam, tokoh agama menjelang pilkada melakukan aksi bela
Islam 410, 411, dan paling banyak mengumpulkan massa Islam dari berbagai
daerah adalah pada aksi 212.3
Ketiga, tindakan yang tidak menyenangkan Basuki terhadap Rais Aam
PBNU kiai Ma’ruf Amin pada persidangan ke-8 kasus penistaan agama. Membuat
kemarahan nahdliyin, akibatnya PWNU Jakarta harus mengeluarkan pernyataan
sikap terkait kekecewaan terhadap cara Basuki memperlakukan kiai Ma’ruf Amin.
Rais Aam yang paling dihormati di NU.
2Nasir Yusuf, Menggugat Khittah NU, hal.69.
3Budi Raharjo, “Menghitung Jumlah Peserta Aksi 212”, http://www.republika.co.id/, 05 Desember
2016.
3
Keempat, PWNU Jakarta mempermaslahkan istighosah bersama Basuki
yang mengatasnamakan PWNU Jakarta. Istighosah tersebut dibuat oleh mantan
ketua PWNU Jakarta Djan Faridz sekaligus ketua PPP.4 Jadi dengan demikian
pengurus PWNU Jakarta mengeluarkan beberapa pernyataan sikap menanggapi
hal tersebut.
Keempat perubahan situasi politik seperti yang sudah peneliti sebutkan yang
dapat mempengaruhi perilaku Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU)
dalam menentukan sikap politik di pilkada Jakarta tahun 2017. Perubahan situasi
politik dapat mempengaruhi individu dalam menentukan keputusan politik selain
dipengaruhi oleh situasi perilaku individu juga dipengaruhi oleh kiai khususnya
adalah peran Syuriyah, seperti untuk membuat pilihan politik terhadap pasangan
calon yang setiap saat selalu meminta fatwa dari kiai.5
Dalam komunitas Islam, ulama, kiai, guru ngaji, dan mubaligh menjadi
sumber utama sosialisasi Islam.6 Kiai adalah kekuatan simbol untuk nahdliyin,
oleh karenanya nahdliyin memiliki nilai kepatuhan terhadap kiai. Kiai dapat
mengubah dengan mudah keputusan politik pengikutnya karena kiai memiliki
kemampuan menerjemahkan bahasa politik menjadi bahasa agama pada mimbar-
mimbar dakwah.
Peneliti akan membahas mengenai perilaku politik individu yang dapat
memiliki pengaruh terhadap organisasi, seperti individu yang masuk di dalam
4 Wahyu Aji, “PPP Djan Faridz Akan Boyong Ahok Hadiri Istigosah di Lima Wilayah Jakarta”,
http://www.tribunnews.com/, 20 Februari 2017. 5 Khamami Zada dan Ahmad Fawaid Sjadzili, ed., Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan
Politik Kenegaraan, (Jakarta: Buku Kompas, 2010), hal.47. 6 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Pola Perilaku dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987,
(Jakarta: Rajawali Press, 1989), hal.17.
4
struktur organisasi yang disebut dengan elite pimpinan organisasi atau pengurus
organisasi. Dalam organisasi perilaku politik dari individu tersebut tidak
diarahkan melalui aturan-aturan resmi dan prosedur yang ada dalam organisasi
atau lembaga secara formal, tetapi perilaku politik yang di miliki oleh individu
dapat berpengaruh terhadap keputusan organisasi.7
Elite pimpinan dapat diartikan sebagai minoritas-minoritas pribadi yang
dipilih atau diangkat untuk melayani suatu kolektivitas secara efektif dan
bertanggung jawab kepada mereka. Elite pimpinan itu adalah individu yang
masuk kedalam struktural PWNU. Golongan elite pemimpin itu memiliki makna
sosial karena bertanggung jawab dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan
sosial dari suatu kolektivitas yang memilih atau mengangkatnya.8 Artinya elite
PWNU dipilih untuk menimplementasikan tujuan organisasi yaitu sebagai
organisasi sosial keagamaan.
Elite PWNU Jakarta secara individual boleh berpolitik. Hanya
permasalahannya adalah dapatkah dipisahkan secara tegas dan jelas antara
tindakan tokoh sebagai individu yang memiliki hak untuk berpolitik dengan
sikap NU sebagai organisasi. Misalnya kiai yang secara struktural masuk ke
dalam kepengurusan organisasi, tentunya kiai tersebut memiliki sikap politik
secara pribadi. Tetapi sulit untuk membedakan antara tindakan pribadi, dengan
kiai yang dengan sengaja membawa NU pada tataran politik sehingga resmi
menjadi keputusan organisasi.
7 Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, (Yogyakarta: UII Press,2002), hal.7.
8 Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, hal.9.
5
Pada konteks pilkada Jakarta ada tiga permasalahan yang mengindikasikan
ketidaknetralan PWNU Jakarta sebagai organisasi. Pertama, Ketidakjelasan antara
sikap individu atau organisasi dibuktikan dengan PWNU hanya membuat
undangan silahturahmi yang hanya ditujukan pada pasangan Agus dan Sylvi.9
Padahal menurut khittah 1926, NU adalah organisasi yang netral. Netralitas
PWNU akan terlihat jika PWNU mengundang ketiga calon Gubernur dan Wakil
Gubernur untuk dapat hadir pada acara silahturahmi. Karena apabila hanya salah
satu calon saja yang diundang dapat mengindikasikan bahwa PWNU melalui
elitenya hanya mendukung pilihan politik tertentu.
Menurut pandangan peneliti, undangan khusus yang hanya ditujukan
kepada pasangan Agus-Sylvi mengindikasikan ketidaknetralan PWNU Jakarta.
Pertama, undangan khusus yaitu silahturahmi antara pengurus dan Agus-Sylvi
dilaksanakan di kantor PWNU Jakarta. Kedua, elite PWNU berfoto bersama di
bawah lambang NU sebagai organisasi dan menggunakan simbol-simbol
pemenangan Agus-Sylvi. Ketiga, hak politik yang diberikan oleh individu
terhadap NU digunakan untuk mendukung secara tersirah Agus-Sylvi yaitu
dengan membawa label NU secara organisasi dengan harapan dapat memudahkan
pemenangan Agus-Sylvi karena PWNU dapat memobilisasi suara nahdliyin.
Ketidaknetralan elite PWNU yang kedua adalah menuntut segera
diprosesnya kasus Basuki Tjahya Purnama yang juga calon Gubernur DKI
Jakarta.10
Padahal Ketua Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siraj melarang NU
9 Liputan6.com,” AHY dapat Dukungan Moril dari PWNU Jakarta”, http://pilkada.liputan6.com/ ,
22 Januari 2017. 10
Pizaro, “ Satu Tujuan, di Aksi 212 PWNU DKI Kerahkan Seluruh Pengurus & Kader Tuntut
Penjarakan Ahok”,https://www.salam-online.com/, 3 Desember 2016.
6
pada tingkat wilayah dan cabang untuk hadir pada aksi tersebut, hal tersebut untuk
menjaga netralitas NU sebagai organisasi.11
Tetapi PWNU Jakarta atas perintah
Rais Syuriyah, tidak menghiraukan perintah dari Tanfidziyah PBNU, sehingga
PWNU memilih sikap yang berbeda dan ikut dalam aksi bela Islam 212. Apakah
ini artinya menjadi dukungan politik terselubung dalam arti elite PWNU
mendukung Agus-Sylvi tetapi disatu sisi menunjukan ketidaksukaannya terhadap
pasangan calon lain.
Indikasi ketidaknetralan PWNU yang ketiga adalah dukung-mendukung
terhadap calon tertentu. Karena Agus-Sylvi tidak masuk kedalam kualifikasi
untuk maju pada putaran kedua pilkada, dukungan elite berubah dan mendukung
Anies-Sandi satu-satunya Gubernur muslim di Jakarta.
Saya sebagai Rais Syuriyah PWNU mendukung Anies-Sandi dan berkewajiban
menyampaikan dan mensosialisasikan warga nahdliyin di DKI wajib memilih
gubernur muslim. Perintah itu merujuk pada hasil muktamar Nahdlatul Ulama
ke-30 di Lirboyo pada November 1999. Hasil muktamar kala itu memutuskan
agar warga nahdliyin berkewajiban memilih pemimpin muslim.12
Secara organisasi NU menjamin hak politik yang di miliki oleh masing-
masing individu tetapi permasalahannya adalah Rais Syuriyah PWNU melalui
pernyataan yang diberikan, mendukung pasangan calon dengan membawa label
Rais Syuriyah dalam memberikan dukungan terhadap salah calon tertentu dan itu
bertentangan dengan aturan internal NU pada khittah 1926 yang sudah menjadi
suatu keputusan bersama dalam organisasi.
11
Fathoni, “PBNU Minta Aksi 212 Jilid 2 Tidak Catut Nama NU”, http://www.nu.or.id/, 17
februari 2017. 12
Avid Hidayat, “Rais Syuriyah NU dukung Anies Sandi”, https://pilkada.tempo.co/, 16 April
2017.
7
Untuk melihat perilaku organisasi harus dilihat terlebih dulu perilaku politik
elite. Karena perilaku politik aktor/individu biasanya akan mencerminkan perilaku
organisasi. Dari pernyataan masalah tersebut, peneliti merumuskan faktor apa saja
yang dapat mempengaruhi perilaku politik elite PWNU periode 2016-2021 dalam
mengambil keputusan politik di pilkada Jakarta.
Apakah dukungan terhadap Agus-Sylvi di putaran pertama merupakan
suatu bentuk indikasi dari ketidaknetralan NU, sehingga perilaku politik elite
PWNU secara pribadi dapat berpengaruh terhadap NU sebagai organisasi yang
tidak berpolitik. Berdasarkan pernyataan masalah sebagaimana peneliti sebutkan,
judul yang peneliti bahas dalam penelitian ini adalah Perilaku Politik dan Elite
(Studi tentang Pengaruh Pilihan Politik Elite PWNU pada Pilkada DKI Jakarta
Tahun 2017 Terhadap Khittah 1926).
B. Pertanyaan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah yang dijelaskan peneliti. Peneliti
menganalisa masalah dengan menggunakan teori perilaku politik dan elite.
Peneliti ingin meneliti pengaruh perilaku politik elite PWNU periode 2016-2021.
Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka penelitian ini berfokus pada
pertanyaan di bawah ini:
1. Faktor apa yang dapat mempengaruhi perilaku politik elite PWNU
periode 2016-2021 dalam mengambil keputusan politik pada pilkada
Jakarta 2017 ?
2. Apakah bentuk ketidaknetralan elite PWNU pada pilkada Jakarta?
8
C. Tujuan dan Manfaat
C.1 Tujuan
a. Menjelaskan faktor apa saja yang dapat mempengaruhi perilaku politik
elite PWNU DKI Jakarta terkait dengan pilihan politik kiai secara
pribadi.
b. Menganalisa perilaku politik elite PWNU Jakarta pada putaran pertama
dan kedua pilkada.
c. Menjawab permasalahan apakah perilaku elite PWNU Jakarta dapat
membuat PWNU secara organisasi netral atau tidak dalam konteks
pilkada Jakarta tahun 2017.
C.2 Manfaat
Manfaat penelitan terbagi menjadi dua, yatu manfaat akademis dan manfaat
praktis:
a. Manfaat akademik penelitian ini berfungsi untuk memberikan informasi
dan refrensi mengenai perilaku politik elite PWNU Jakarta periode
2016-2021. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur Program
Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat praktis mengatahui periaku elite yang masuk ke dalam struktur
organisasi mengenai orientasi politik di pilkada Jakarta tahun 2017.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan literatur yang dapat
memperjelas sekaligus menjadi pelengkap atas penelitian yang dilakukan peneliti.
9
Tinjauan pustaka yang dimaksudkan juga akan memberikan keragaman perspektif
yang dapat menjadi pertimbangan sekaligus perbandingan dalam melakukan
penelitian mengenai perilaku politik ini, adapun penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Pertama, penelitian Fatmawati13
yang menggambarkan dinamika politik
Muhammadiyah yang bukan hanya terjadi di tingkat elite pusat, tetapi juga terjadi
di daerah atau tingkat pimpinan Wilayah dan Kabupaten/Kota. Kota Makassar
dipilih untuk penelitian S2, karena Kota Makassar memiliki peran yang penting
dalam dinamika perkembangan Muhammadiyah pada Wilayah Timur Indonesia.
Hasil tesis Fatmawati dengan menggunakan pendekatan fenomenalogi dan
wawancara yang menggambarkan bahwa perilaku politik elite Muhammadiyah
Makassar cenderung mengalami pergeseran dan keragaman orientasi politik
terhadap banyaknya partai politik pasca Orde Baru serta konfigurasi elite yang
menunjukkan minat elite Muhammadiyah Makassar merespon kehadiran partai
politik baru, misalnya partai politik yang didirikan oleh mantan ketua PP
Muhammadiyah yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) maupun partai politik Islam
lainnya.
Kesimpulan hasil penelian Fatmawati ada tiga. Pertama, elite
Muhammadiyah tetap konsisten dengan khittah. Elite tersebut tidak berafilasi
dengan partai politik apapun. Muhammadiyah memberikan kebebasan individu
untuk berpolitik sepanjang tidak menyimpang dari khittah yang telah ditentukan.
Kedua, elite Muhammadiyah mendukung Amien Rais mendirikan PAN. Ketiga,
13
Fatmawati, “Perilaku Politik Elite Muhammadiyah Pasca Orde Baru di Makassar (1999-2004)”,
(Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program Pascasarjana Sosiologi Universitas Gajah
Mada, 2014), hal.152.
10
elite Muhammadiyah mendukung PAN karena memiliki ideologi Islam.
Harapannya dengan didirikan PAN dapat mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.
Kedua, penelitian Muhammad Anis Sumaji14
yang menjelaskan sikap
politik elite Muhammadiyah dan NU tentang pemilu presiden di Surakarta Jawa
Tengah. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif ini, peneliti menjawab
pertanyaan masalah bahwa sikap politik elite Muhammadiyah dan NU terbagi
menjadi tiga varian.
Pertama, sikap moderat idealistik yang orientasi sikapnya menuju pada
Islam ideal sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Kedua, sikap realistik-kritis
yang melihat keterkaitan antara dimensi substantif daripada doktrin agama,
dengan konteks sosial masyarakat. Ketiga, sikap akomodatif-pragmatis yang
meletakkan sikapnya pada posisi kooperatif, bahkan terkadang kompromistis
dengan pihak-pihak yang menurut kelompok ini menguntungkan. Perbedaan dan
persamaan sikap para elite diidentifikasi secara komparatif sehingga jelas elite
yang setuju dan tidak setuju terhadap pemilu presiden secara langsung.
Ketiga, penelitian oleh Sugeng Wibowo15
yang menggambarkan bahwa elite
Muhammadiyah diketahui memiliki pandangan yang kuat tentang arti pentingnya
Muhammadiyah untuk mencoba memasuki wilayah politik praktis dengan
melibatkan diri pada pemilihan langsung Bupati Ponorogo, Jawa Timur. Dasar
14
Muhammad Anis Sumaji, “Sikap Politik Elit Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Ulama di
Surakarta: Sebuah Studi Komparatif", (Tesis S2 Program Studi Pemikiran Islam, Program
Magister Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2016), hal.xi. 15
Sugeng Wibowo, “Penguatan Peran Civil Society dalam Politik Lokal: Telaah Perilaku Politik
Warga Muhammadiyah dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Ponorogo”, Jurnal
Fenomena, (Vol. 5, No. 2, Juli 2008), hal.75.
11
argumentasinya adalah efektivitas dakwah Muhammadiyah yang akan lebih cepat
tercapai tujuannya apabila menggunakan sarana kekuatan berupa kekuasaan pada
pemerintah daerah. Selama ini pemerintah daerah dianggap kurang mengakomodir
masukan-masukan yang telah diberikan Muhammadiyah dalam membangun
Ponorogo.
Keempat, penelitian Hafis Muaddab16
mengenai perkembangan politik
demokratis yang tidak bisa dipisahkan dari pesantren sebagai entitas politik, selain
sebagai lembaga pendidikan yang merupakan basis gerakan NU. Persaingan para
elite NU dalam memperebutkan kekuasaan pusat dan lokal menunjukan bahwa
NU telah masuk dalam liberasi politik. Elite NU yang memilih terjun dalam
politik pragmatis ini membuat mereka terfragmentasi di partai politik. Faktanya
NU hanya dimanfaatkan menjadi pengumpul suara (vote getter) bukan sebagai
mitra strategi pemerintah dalam membangun hubungan demokrasi yang lebih
baik. Agar komunikasi politik berjalan dengan baik, maka keberadaan ormas
menjadi penting sebagai perantara komunikasi politik sesuai khittah 1926 NU
perlu berperan sebagai opinion leader.
Kelima, penelitian Ahmad Solikin17
menjelaskan mengenai sikap netralitas
organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dalam menentukan sikap
politiknya dalam proses politik electoral, kedua poin utama yang dibahas peneliti.
Pertama, tentang bagaimana bentuk netralitas politik elektoral Muhammadiyah.
Kedua, mengapa terjadi deviasi netralitas politik elektoral Muhammadiyah antara
16
Hafis Muaddab, " Nahdlatul Ulama Sebagai Opinion Leader Dalam Politik Demokrasi di
Indonesia: Sebuah Kajian Teoritik", Jurnal Politika, (Vol.1, Nomor.1 September 2015),hal.38. 17
Ahmad Solikin, “Deviasi Sikap Politik Elektoral Muhammadiyah Antara Pusat dan Daerah :
Studi Kasus Sikap Politik Elite Muhammadiyah pada Pilihan Presiden 2014 dan Pilkada 2010 di
Sleman dan Maros ”, (Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2015), hal.158.
12
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah
dalam menentukan kebijakan politiknya.
Faksionalisasi dalam elite internal PP Muhammadiyah berakibat pada
terjadinya deviasi netralitas politik elektoral Muhammadiyah pada level lokal.
Penelitian Ahmad Solikin berada di wilayah Sleman dan Maros sebagai
Kabupaten yang didukung secara kelembagaan oleh PD Muhammadiyah pada
masing-masing daerah ini. Ketika para elite di daerah mengambil keputusan
untuk mendukung salah satu kadernya dalam proses pilkada, mereka mendapatkan
legitimasi sikap tersebut dari elite PP yang masih menunjukkan sikap politik
individunya dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden.
Netralitas politik elektoral Muhammadiyah selama ini dimaknai sebagai
sebuah sikap ambigu yang sering dimanfaatkan oleh elite Muhammadiyah sesuai
dengan kepentingan masing-masing daerah. Jarak politik dan gesekan politik yang
lebih terasa di daerah membuat elite di daerah lebih berani dalam mengambil aksi
dukung-mendukung salah satu kader Muhammadiyah dalam politik elektoral.
Selain lima literatur yang peneliti deskripsikan di atas, terdapat sumber yang
digunakan peneliti untuk refrensi penelitian, seperti: skripsi Anisa Hidayati,
dengan judul “Nahdlatul Ulama (NU) di Era Reformasi: Studi tentang Muslimat
NU Periode 2011-2014 dan Khittah NU 1926”18
. Skripsi Anisa Hidayati
mengagambarkan bahwa pertama, Muslimat NU tidak konsisten dalam
menjalankan khittah 1926 karena masih ada kader pengurus yang mencalonkan
diri menjadi Gubernur Jawa Timur. Kedua, substansi khittah 1926 perlu adanya
18
Anisa Hidayati, “Nahdlatul Ulama (NU) di Era Reformasi: Studi tentang Muslimat NU Periode
2011-2014 dan Khittah NU 1926”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program Studi
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), hal.140.
13
tinjauan ulang. Karena khittah itu tidak cocok jika diimplementasikan di
Indonesia yang memiliki siste politik multipartai. Untuk itu diperlukan penafsiran
ulang makna khittah.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya membahas mengenai
perilaku politik dan elite pada perpolitikan daerah atau membahas ketokohan
yang dihubungkan oleh khittah seperti penelitiannya Muhammad Anis Sumaji.
Perbedaannya adalah penelitian Anisa Hidayati, yang membahas khittah
dihubungkan dengan organisasi otonom seperti Muslimat NU.
Berdasarkan penelitian tersebut sebagian besar hanya membahas mengenai
perilaku dan elite tetapi tidak membahas mengenai khittah atau aturan internal
dalam organisasi. Untuk itu fokus penelitian peneliti adalah mengenai perilaku
politik dan elite organisasi seperti PWNU Jakarta dalam mengimplementasikan
khittah 1926 pada pilkada Jakarta 2017.
E. Metode Penelitian
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk
mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dalam menganalisa kualitas-
kualitasnya.19
Pendekatan ini menghasilkan data deskriptif berupa deskripsi dari
unit analisis yang diteliti. Mengenai pengumpulan data peneliti mengumpulkan
melalui teknik wawancara yaitu ada tiga narasumber yang peneliti wawancarai, 30
buku, satu jurnal, 20 sumber dari internet. Peneliti menggunakan buku pedoman
penelitian terbitan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
19
Deddy Mulyana, Metodelogi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial lainnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal.150.
14
E.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik untuk melakukan pengumpulan data merupakan hal yang penting,
instrumen yang akan digunakan dalam pengumpulan data penelitian adalah:
a. Wawancara
Menurut Deddy Mulyana, wawancara adalah bentuk komunikasi
antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi
dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berdasarkan tujuan tertentu.20
Wawancara merupakan proses yang sering
digunakan oleh para peneliti. Melalui wawancara peneliti mendapatkan
informasi langsung dari narasumber yang masuk ke dalam kualifikasi untuk
diwawancarai, dalam membahas mengenai perilaku politik elite.
Peneliti melakukan wawancara langsung kepada wakil Tanfidziyah,
wakil Syuriyah PWNU sebagai objek dari penelitian mengenai perilaku.
Pada penelitian ini peneliti memilih informan yang dianggap layak dalam
pemberian data yakni elite PWNU dengan rincian sebagai berikut:
1. KH. Manan Abdul Ghani (Ketua Tanfidziyah PBNU)
2. KH. OS. Abdurrahman Mahmud (Wakil Rais Syuriyah PWNU
Jakarta periode 2016-2021)
3. KH. Munahar Mutchar (Wakil Tanfidziyah PWNU Periode 2016-
2021 dan Ketua MUI Jakarta Barat)
20
Deddy Mulyana, Metodelogi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial lainnya, hal. 180.
15
a. Dokumentasi
Dokumentasi adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau
peristiwa pada waktu yang lalu, dan dokumentasi juga merupakan teknik
pengumpulan data mengenai hal-hal atau masalah yang akan diteliti melalui
30 literatur buku, tiga catatan wawancara dari ketiga narasumber
wawancara, satu transkip, dan 20 sumber dari internet. Dokumentasi
diperlukan untuk mempermudah peneliti untuk memberikan jawaban dan
kejelasan dari permasalahan penelitian.
b. Teknik Analisa Data
Dalam bagian analisa data, peneliti akan menggunakan metode analisa
penelitian secara deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan hal-
hal yang menjadi objek penelitian atau menggambarkan suatu keadaan
secara tepat, sehingga diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan
tersebut. Proses ini terbagi dalam tiga bagian yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan.21
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan lapangan. Reduksi data adalah pemilihan data dengan
membuang data yang tidak perlu, data yang di reduksi akan mempermudah
peneliti untuk memperoleh gambaran data. Data perlu di reduksi dilakukan
untuk mempermudah dalam menganalisa masalah.
21
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,
(Jakarta: Erlangga, 2009), hal.148.
16
Setelah data di reduksi selanjutnya adalah penyajian data, penyajian
data dalam bentuk uraian, penyajian data dalam bentuk tersebut dapat
mempermudah peneliti untuk menyusun data tersebut sehingga akan
mempermudah kesimpulan yang diperoleh.
F. Sistematika Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, untuk mempermudah memahami isi dari
penelitian yang disusun, maka peneliti membagi skripsi ini terdiri dari lima bab,
tiap bab yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematikanya
sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan, sebagai bab pembuka yang terdiri dari beberapa
komponen yaitu: pernyataan masalah, pertanyaan masalah, tujuan dan
manfaat, tinjauan pustaka serta sistematika penelitian. Pada pernyataan
masalah fokus penelitian ini adalah mengenai perilaku politik elite PWNU
pada pilkada DKI Jakarta 2017. Pertama, pada pilkada putaran pertama
jajaran pengurus PWNU hanya mengundang Agus-Sylvi untuk datang
dalam rangka bersilahturahmi ke kantor PWNU Jakarta. Indikasi
ketidaknetralan pengurus PWNU, pertama, dibuktikan dengan pengurus
organisasi hanya mengundang pasangan Agus- Sylvi, tetapi kedua pasangan
calon tidak diundang. Kedua, seluruh pengurus PWNU melakukan foto
bersama ditandai dengan menggunakan simbol pemenangan pasangan
Agus-Sylvi. Ketiga, NU memang memberikan kebebasan memilih sesuai
dengan pilihan individu masing-masing termasuk pengurus yang masuk
kedalam struktur organisasi. Metode yang digunakan oleh peneliti kualitatif.
17
Peneliti mengumpulkan data menggunakan studi kepustakaan, sumber dari
internet, wawancara terhadap tokoh dapat memberikan informasi tambahan
untuk peneliti dalam menjawab dari masalah penelitian.
Bab II: Kerangka teori, Peneliti akan memaparkan mengenai teori
sebagai pendukung penelitian yaitu teori perilaku politik dan elite yang akan
menjawab pertanyaan masalah mengenai faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi elite sebagai individu dalam mengambil keputusan politik
pada pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan apakah pengaruh perilaku politik
elite tersebut akan berdampak langsung terhadap penerapan nilai-nilai
khittah 1926. Fokus penelitian peneliti adalah perilaku politik dan elite.
Peneliti menggunakan pandangan Ramlan Surbakti dan Miriam Budiharjo
untu melihat teori perilaku politik pada aktor. Untuk mendukung teori
perilaku peneliti menggunakan teori Almond dan Verba tentang budaya
politik dan tipologi budaya. Sedangkan untuk teori elite peneliti
menggunakan pandangan Robert Putnam, Gaetano Mosca dan Vilfredo
Pareto.
Bab III: Pilkada Jakarta tahun 2017 dan Sikap NU kembali pada
khittah 1926. peneliti akan membahas mengenai pilkada Jakarta 2017 dan
sikap kembalinya NU pada khittah 1926. Artinya elite PWNU tidak boleh
membawa NU secara organisatoris ke dalam ranah politik. Pada bab ini
peneliti akan memfokuskan pada hal-hal yang sifatnya baru yaitu pilkada
DKI Jakarta tahun 2017, sikap politik NU sebagai organisasi, hubungan kiai
dan politik.
18
Bab IV: Pengaruh Prilaku Politik Elite PWNU Jakarta pada pilkada
Jakarta 2017, peneliti akan menjawab pernyataan masalah yaitu yang
pertama, faktor perilaku politik elite PWNU dalam mempengaruhi
keputusan politik. Ada empat faktor menurut teori Miriam Budiardjo.
Pertama, lingkungan sosial politik tidak langsung. Kedua, lingkungan sosial
politik langsung. Ketiga, struktur kepribadian elite. Keempat, lingkungan
sosial politik berdasarkan situasi. Dengan keempat faktor yang
mempengaruhi perilaku politik elite dalam menentukan keputusan politik.
Kedua, bentuk ketidaknetralan PWNU di pilkada Jakarta. Perilaku politik
elite dapat menjadi pertimbangan politik elite secara pribadi sehingga tanpa
sadar membawa PWNU secara organisasi untuk berpolitik.
Bab V: Kesimpulan dan saran, peneliti akan menjabarkan kembali
hasil temuan-temuan ilmiah yang terdapat pada bab IV, dari hasil penelitian
ini nantinya akan memperoleh suatu kesimpulan yang nantinya dapat
direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya. menjadi penutup dari bab-
bab sebelumnya. Oleh karena itu, dalam bab V peneliti memamaparkan
kesimpulan dari awal hingga akhir penelitian mengenai perilaku politik elite
PWNU periode 2016-2021. Bab ini diakhiri dengan saran-saran yang dapat
memberikan pengatahuan baru bagi peneliti maupun pembaca.
19
BAB II
KERANGKA TEORI
Bab ini akan menjelaskan mengenai teori pendukung penelitian yaitu teori
perilaku politik dan elite yang akan menjadi pisau analisa dalam menjawab
pertanyaan masalah. Peneliti menggunakan pandangan Ramlan Surbakti dan
Miriam Budiardjo untuk melihat teori perilaku politik pada aktor yang akan
dibahas secara definisi, model perilaku politik dan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku politik aktor.
Perilaku politik aktor adalah sebuah teori yang tidak bisa berdiri sendiri,
karena itu peneliti menggunakan teori pendukung lainnya yaitu teori budaya
politik Gabriel Almond dan Sidney Verba. Peneliti akan membahas mengenai
definisi budaya politik, orientasi dan bentuk-bentuknya. Sedangkan untuk teori
elite peneliti menggunakan pandangan Robert Putnam, Gaetano Mosca dan
Vilfredo Pareto.
A. Perilaku Politik
A.1 Pengertian Perilaku Politik
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan perilaku adalah tanggapan atau
reaksi individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap, tidak saja badan dan
ucapan, dan politik tetapi segala urusan dan tindakan seperti kebijakan, siasat dan
sebagainya mengenai pemerintah negara atau negara lain.1 Teori mengenai
perilaku politik adalah bagian dari dasar pemikiran kaum behavioralisme yang
memandang bahwa kehidupan politik tidak terlepas dari perilaku-perilaku politik
1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal.671.
20
yang menyertainya.2 Dalam kaitannya dengan perilaku politik, pertanyaan yang
muncul adalah siapakah yang melakukan kegiatan politik, individu atau struktur
dalam pendekatan behaviorisme, individu yang dipandang secara aktual
melakukan kegiatan politik, sedangkan perilaku organisasi pada dasarnya
merupakan perilaku individu dengan pola tertentu.
Menurut Ramlan Surbakti yang dimaksud dalam struktur adalah seperti
lembaga-lembaga politik dan pemerintahan. Dalam membuat suatu keputusan dan
melakukan tindakan politik misalnya untuk keputusan partai atau keputusan
legislatif, adalah murni dari tindakan individu yang berada pada struktur
pemerintahan bukan lembaganya.3 Oleh karena itu untuk menjelaskan perilaku
suatu lembaga, yang perlu ditelaah bukan hanya lembaganya, melainkan latar
belakang tindakan individu tersebut.
Behaviorisme biasanya memusatkan perhatian pada hubungan antara individu
dan lingkungan mereka. Dalam behaviorisme sosial, aktor adalah pendefinisi
dalam suatu proses interaksi.4 Aktor sebagai pendefinisi dalam proses interaksi.
Artinya, aktor sebagai subjek utama tindakannya dan perilakunya dapat diteliti
melalui interaksi yaitu hubungan antara individu dengan individu. Individu
dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok.
Dalam menjelaskan perilaku suatu organisasi yang perlu ditelaah bukan
organisasinya, melainkan latar belakang individu yang perilakunya secara aktual
dapat mempengaruhi organisasi. Demikian kegiatan kelompok-kelompok
2Varma, SP, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2007), hal.99.
3Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2010), hal. 168.
4Yahya Muhaimin, “Persoalan Budaya Politik Indonesia”, Jakarta: dalam Alfian dan Nazarudin
Sjamsuddin, Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal.51.
21
kekuatan politik di luar pemerintah dan individu-individu warga negara lebih
ditekankan pada aktivitas sumber daya manusianya, sebagai pelaku politik.5
Menurut Miftah Thoha perilaku organisasi adalah hasil-hasil interaksi antara
individu-individu dalam organisasinya, oleh karena itu untuk memahami perilaku
organisasi sebaiknya terlebih dahulu mengatahui perilaku politik dari individu
sebagai pendukung organisasi.6 Individu sebagai pendukung organisasi adalah
pengurus dari organisasi/elite yang dapat mengendalikan arah organisasi, dengan
perilaku politik yang dimiliki.
Menurut Ramlan Surbakti, secara terminalogis perilaku politik adalah
interaksi antara pemerintah dan masyarakat, lembaga-lembaga dengan
pemerintah, dan interaksi antara kelompok individu dengan masyarakat. Dalam
rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.7
Pihak yang selalu melakukan kegiatan politik adalah pemerintah dan partai
politik. Untuk itu perilaku politik dibagi dua, pertama, perilaku politik lembaga-
lembaga dan pejabat pemerintah yang bertanggungjawab membuat,
melaksanakan, dan menegakkan keputusan politik. Kedua, perilaku politik warga
negara biasa (baik individu maupun kelompok) yang memiliki hak untuk
memengaruhi pihak yang pertama dalam menjalankan fungsinya, karena apa
yang dilakukan pihak pertama menyangkut kehidupan pihak yang kedua.
Kegiatan politik pihak yang kedua yaitu perilaku politik warga negara biasa baik
individu atau kelompok yang disebut dengan partisipasi politik.8 Perilaku individu
5Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, (Semarang: IKIP Semarang Press,1995), hal.13.
6 Miftah Thoha, Kepemimpinan dan Manajemen, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal.34.
7 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 20.
8 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 21.
22
sebagai aktor politik dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
keputusan politik seperti perencanaan, pengambilan keputusan, dan penegakan
keputusan.9
A.2 Model Perilaku Politik
Dalam melakukan kajian terhadap pendekatan perilaku politik dapat dipilih
tiga kemungkinan analisis, menurut Ramlan Surbakti yaitu individu aktor politik,
agregasi politik dan tipologi kepribadian politik.
A.2.1 Individu Aktor Politik
Maksud dari aktor politik adalah pemimpin, aktivis politik dan individu
warga negara biasa.10
Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku politik individu
aktor politik. Pertama, lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem
politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Kedua, lingkungan
sosial politik langsung yang memengaruhi dan membentuk kepribadian aktor,
seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok pergaulan.
Dari lingkungan sosial politik langsung seorang aktor mengalami sosialisasi
dan internalisasi nilai dan norma masyarakat, termasuk nilai dan norma kehidupan
bernegara, dan pengalaman-pengalaman hidup pada umunya. Lingkungan
langsung ini dipengaruhi oleh lingkungan tidak langsung. Ketiga, struktur
kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.
A.2.3 Agregasi Politik
Individu atau aktor politik (pemimpin) organisasi, aktivitas politik, dan
individu warga negara biasa. Individu aktor politik secara kolektif, seperti
9 Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, hal.13.
10Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal.169.
23
kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik dan lembaga-lembaga
pemerintahan atau bangsa.
A.2.3 Tipologi Kepribadian Politik
Tipologi politik adalah melihat tipe pemimpin dari kepribadiannya misalnya
apakah termasuk pemimpin yang otoriter atau demokrat yang dapat
mempengaruhi suatu keputusan politik. Salah satu aktor yang dapat
mempengaruhi keputusan politik adalah pemimpin. Kepemimpinan dikategorikan
sebagai bagian dari perilaku politik. Kepemimpinan secara definisi adalah sebuah
aktivitas untuk mempengaruhi orang lain untuk berusaha mencapai tujuan
bersama.11
Karena kepemimpinan dapat mempengaruhi perilaku politik
seseorang.
A.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik
Perilaku politik aktor politik seperti perencanaan, pengambilan keputusan,
dan penegakan keputusan dipengaruhi oleh berbagai latar belakang yang
merupakan bahan dalam pertimbangan politik aktor.
Individu atau kelompok dalam perilaku politik tidak akan dapat terlepas dari
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan peran dan fungsi yang saling memiliki
hubungan satu sama lain seperti latar belakang yang dapat mempengaruhi aktor
dalam pengambilan sikap politik. Menurut Miriam Budiardjo faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi aktor dalam mengambil keputusan politik ada empat yaitu:12
Pertama, lingkungan politik tidak langsung, seperti sistem politik dan
sistem ekonomi. Kedua, lingkungan politik langsung yang membentuk
11
Paul Hersey dan Kennerg H. Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi Pendayagunaan
Sumber Daya Manusia, penj. Agus Dharma (Jakarta: Erlangga: 1982), hal.98. 12
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal.134.
24
keperibadian aktor politik seperti keluarga, agama, pendidikan, sekolah dan
kelompok pergaulan.
Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu yang
dipengaruhi oleh tiga basis fungsional sikap yaitu kepentingan, penyesuaian diri
dan pertahanan diri.
Faktor keempat lingkungan sosial politik langsung berupa situasi yaitu
keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan
suatu kegiatan, seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang
lain, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya.
Dari keempat faktor tersebut untuk memahami perubahan yang terjadi
dalam suatu masyarakat adalah hal yang sulit dalam membahas mengenai
perilaku. Karena faktor dapat mempengaruhi aktor yang saling berinteraksi
dengan satu dengan yang lain dan mudah untuk berubah. Karena itu dibutuhkan
teori pendukung dalam menganalisa perilaku politik tersebut yaitu teori budaya
politik.
B. Budaya Politik
Perilaku manusia dalam masyarakat, termasuk di dalamnya adalah perilaku
politik, dipengaruhi oleh pola orientasi yang dimiliki dan proses belajar yang
dialami oleh seseorang dalam masyarakat. Dengan demikian, untuk memahami
perilaku politik harus memahami kebudayaan politik masyarakatnya.
Salah satu wujud budaya akan tercermin dalam pola hubungan yang terjadi
antara individu (anggota kelompok) yang satu dengan yang lainnya, antara
individu dengan kelompoknya, dan antara kelompok dengan kelompok. Pola
25
hubungan dalam sistem politik masyarakat tertentu itu dinamakan budaya politik,
(Political Culture).13
Yang dimaksud dengan budaya politik adalah,
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya
terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
Sebenarnya istilah budaya politik tertentu inheren (melekat) pada setiap
masyarakat, yang terdiri dari sejumlah individu yang hidup baik dalam sistem
politik tradisional maupun modern.14
Menurut Almond dan Verba budaya politik adalah bagaimana seseorang
memiliki orientasi, sikap, dan nilai-nilai politik yang tercermin dalam sikap dan
perilaku politiknya. Pengertian budaya politik menunjuk kepada suatu sikap
orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu.15
Lebih lanjut menurut Almond dan Verba, warga negara senantiasa
mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga-lembaga
kenegaraan, perilaku tokoh-tokoh politik, keputusan alat kebijakan yang
dihasilkan oleh sistem politik, serta bagaimana seharusnya ia berperan dalam
sistem politik.
Dari sinilah akan dapat dilihat pola orientasi dari tiap warga negara terhadap
sistem politik sebagai dasar dalam penentuan klasifikasi tipe kebudayaan politik.
Orientasi warga negara tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan evaluatif
13
Aim Abdulkarim, Sistem Politik Indonesia Modul UT PKN 14422, (Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka, 2015), hal. 1.2 14
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, (Bandung: Sinar Baru,
1983), hal, 29 15
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di
Lima Negara , (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),hal. 20.
26
yang ditujukan kepada sistem politik secara umum, aspek-aspek input dan output,
serta kepada sejumlah pribadi sebagai aktor politik.16
Orientasi kognitif warga negara menunjuk kepada pengetahuan dan
kepercayaan atas politik, peranan, dan segala kewajibannya serta input dan
outputnya. Orientasi ini lebih menunjuk kepada sejauh mana pemahaman
seseorang terhadap sistem politik maupun perilaku para aktor politik, kebijakan
yang diambil oleh tokoh politik, serta implikasinya terhadap kepentingan dirinya.
Sedangkan orientasi afektif menunjuk kepada perasaan terhadap sistem
politik; peranan, para aktor, dan penampilan. Dilihat dari aspek ini, maka
seseorang dimungkinkan untuk memiliki perasaan subjektif tertentu terhadap
berbagai aspek dari pilihan politik, sehingga ia dapat menerima ataupun menolak
pilihan politik itu pada bagian tertentu maupun sistem politik secara keseluruhan.
Orientasi evaluatif menunjuk kepada keputusan dan pendapat warga negara
tentang politik berdasarkan apa yang ia ketahui dan ia rasakan terhadap keadaan
politik maupun perilaku aktor-aktor politiknya. Keputusan dan pendapat
seseorang mengenai perilaku politik ini ditentukan oleh kemampuannya dalam
menilai moralitas politik, pengetahuan, dan cara-cara mereka dalam membuat
penilaian politik, serta dalam menyampaikan pendapat.
B.1 Tipologi Budaya Politik
Gabriel Almond dan Sidney Verba membagi budaya politik dalam tiga
jenis. Pertama, budaya politik parokial yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat
rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif
16
Aim Abdulkarim, Sistem Politik Indonesia Modul UT PKN 14422, hal. 1.3.
27
rendah). Kedua, budaya politik kaula yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif
maju tetapi masih bersifat pasif. Ketiga, budaya politik partisipan yaitu budaya
politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.17
Budaya politik
Gabriel Almond dan Sidney Verba adalah sebagai berikut.
B.1.1 Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial (parochial political culture) biasanya terdapat
dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dalam peranan politik tingkat
partisipasi politik rendah, orientasi kognitif dapat mempengaruhi pandangan
politik seseorang.
B.1.2 Budaya Politik Kaula
Budaya politik kaula memiliki frekuensi orientasi-orientasi yang tinggi
terhadap sistem politiknya, namun perhatian dan intensitas orientasi mereka
terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluar (output)
sangat rendah.
B.1. 3 Budaya Politik Partisipan
Budaya politik partisipan adalah suatu budaya politik dimana seseorang
memilki orientasi politik yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara
keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Dengan
demikian, perhatian dan intensitas terhadap masukan maupun keluaran dari
sistem politik sangat tinggi. Dalam budaya politik partisipasi seorang dianggap
aktif dalam kehidupan politik, ia memiliki kesadaran terhadap hak dan tanggung
jawabnya.
17
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di
Lima Negara, hal. 27.
28
C. Teori Elite
Istilah elite berasal dari bahasa Inggris elite yang juga berasal dari bahasa
latin eligere, yang berarti memilih.18
Istilah elite digunakan pada abad ke-17 untuk
menyebut barang-barang dagangan yang mempunyai keutamaan khusus, yang
kemudian digunakan juga untuk menyebut kelompok-kelompok social tinggi
seperti kesatuan-kesatuan militer atau kalangan bangsawan.19
Teori elite menegaskan bahwa setiap masyarakat terbagi menjadi dua
kategori yang luas dan mencakup20
:
1. Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya
menduduki posisi untuk memerintah, dan
2. Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah
Konsep dasar teori yang lahir di Eropa ini mengemukakan bahwa di
kelompok penguasa (the ruling class), selain ada elite yang berkuasa (the ruling
elite) juga ada elite tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika
elite yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah.
Pembahasan tentang elite dalam kerangka teoritik ini merujuk pada makna
yang telah dikonsepsikan Robert Putnam, Vilfredo Pareto, dan Gaentano Mosca.
Definisi elite menurut Robert Putnam21
, adalah sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan politik yang lebih dibandingkan dengan yang lain.
18
Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit (Jakarta: Rajawali, 1995), hal.3. 19
T.B. Bottomore, “Kelompok Elit Dalam Masyarakat”, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 24. 20
S.P Varma, Teori Politik Modern (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal.200. 21
Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2000), hal. 91.
29
Menurut Pareto22
setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang
yang memiliki kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada
kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat
kekuasaan adalah selalu yang merupakan yang terbaik. Mereka dikenal sebagai
elite.
Menurut Mosca dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas penduduk, satu
kelas yang dikuasai. Kelas penguasa jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan
semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, sedangkan yang kedua, kelas yang
jumlahnya lebih banyak.23
Berdasarkan konsepsi Mosca dan Putnam, elite dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kelompok sebagaimana yang dikemukakan oleh Pareto dan dikutip
ulang oleh Bottomore.24
Pertama, elite yang memerintah (governing elite), terdiri
dari individu individu yang secara langsung atau tidak langsung memainkan
peranan yang besar dalam pemerintahan. Kedua, elite yang tak memerintah (non
governing elite) yang mencakup sisanya.
Untuk menganalisa siapa yang berpengaruh besar dan yang berkuasa dalam
membuat keputusan kolektif dalam suatu masyarakat Putnam menggunakan tiga
model yaitu analisis posisi, analisis reputasi dan analisis keputusan.25
Analisis
posisional menempatkan elite sebagai kelompok yang berada pada posisi
struktural organisasi, mereka itulah yang paling banyak memberi andil dalam
proses pengambilan keputusan untuk masyarakat. Analisis reputasional
22
S.P Varma, Teori Politik Modern , hal. 202. 23
TB Bottomore, Elite dan Masyarakat, hal.4. 24
TB Bottomore, Elite dan Masyarakat, hal.2. 25
Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, hal.80.
30
memposisikan elite sebagai kelompok yang mempunyai pengaruh atas keputusan-
keputusan suatu organisasi, sekalipun ia tidak berada dalam struktur organisasi
atau dalam posisi informal dalam masyarakat.
Analisis keputusan memposisikan elite sebagai kelompok yang memiliki
pengaruh dalam organisasi, sehingga ide-ide dan pemikirannya dapat dijadikan
sumber atau preferensi bagi keputusan organisasi. Dengan kata lain elite diartikan
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan kolektif.26
Posisi elite27
dalam wilayah yang politis yang memberikan pandangan
dalam pengambilan kebijakan dalam sebuah organisasi. Elite merupakan
sekelompok kecil orang dalam sebuah masyarakat/organisasi yang memegang
posisi dan peranan penting. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka
keberadaan dan peranan elite tidak dapat dilepaskan dari sebuah proses politik dan
kekuasaan yang berlangsung dalam suatu masyarakat atau organisasi tempat
dimana para elite tersebut tinggal.
26
Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, hal.91. 27
Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, hal..30.
31
BAB III
PILKADA DKI JAKARTA TAHUN 2017
DAN SIKAP NU KEMBALI PADA KHITTAH 1926
Bab ini peneliti akan membahas mengenai pilkada Jakarta 2017 dan khittah
1926. Pada pilkada 2017, NU dihadapkan dengan situasi politik yang memanas.
Pertama kasus penistaan agama Islam Basuki Tjahya Purnama. Kedua, tindakan
yang tidak menyenangkan Basuki terhadap Rais Aam PBNU pada persidangan
ke-8. Pada bab ini peneliti ingin menjelaskan respon pimpinan NU terhadap
tindakan yang tidak menyenangkan Basuki terhadap KH Ma‟ruf Amin Rais
Syuriyah PBNU.
Selain itu, peneliti juga membahas khittah 1926 sebagai landasan berpikir,
bersikap yang harus menjadi pedoman dalam tingkah-laku perseorangan maupun
organsiasi dalam mengambil suatu keputusan yang di dalamnya terdapat sejarah,
tujuan dan makna, khittah 1926 hasil muktamar ke-27 di Situbondo.
A. Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017: Dinamika Kiai dan Politik
Pemilu merupakan tolak ukur negara demokratis. Artinya Negara bisa
dikatakan demokratis apabila sudah melaksanakan pemilu. Demokrasi Indonesia
mengalami perubahan yaitu dengan adanya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
secara langsung oleh rakyat setelah sebelumnya pemilihan kepala daerah dipilih
secara keterwakilan melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Perubahan cara
pemilihan didasari pada revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 yang
berubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan disetujui secara aklamasi pada
32
rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 29 September 2004.1 Hasil
perubahannya tiap-tiap daerah di Indonesia memilih pemimpin daerahnya melalui
pemilihan secara langsung. Jakarta sudah menyelenggarakan tiga kali pilkada
yang langsung dipilih oleh rakyat yaitu pada tahun 2007, 2012 dan 2017.
Pilkada Jakarta merupakan barometer dari perpolitikan Indonesia. Pilkada
Jakarta tahun 2017 menjadi pusat perhatian semua kalangan karena banyak
peristiwa yang terjadi menjelang pilkada. Pertama, kasus penistaan agama Basuki
Tjahya Purnama yang juga sebagai calon Gubernur. Kedua, tekanan datang dari
ormas Islam dan ulama kepada pemerintah, untuk segera memperoses kasus
petahana terkait dengan kasus penistaan agama. Sehingga menjelang pilkada
ormas Islam dan ulama sepakat menyelenggarakan aksi bela Islam 410, 411, dan
aksi yang paling banyak mengumpulkan massa pada aksi 212.2 Ketiga,
banyaknya isu agama dan etnis di pilkada, karena petahana berasal dari etnis
Tionghoa dan non muslim.
Meskipun ketiga peristiwa tersebut terjadi, tetapi pilkada Jakarta berjalan
secara demokratis dan aman. Pada pilkada putaran pertama terdapat tiga calon
yang pertama, Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Kedua, Basuki
Tjahya Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Ketiga, Anies Rasyid Baswedan dan
Sandiaga Salahuddin Uno. Ketiga pasangan calon tersebut saling berkompetisi
merebutkan suara masyarakat Jakarta melalui koalisi yang dibangun bersama
1Lihat UU 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Ramdina Prakasa, 2004),
hal.1. 2Sri Lestari, “Isu SARA Meningkat di Pilkada DKI Jakarta”, http://www.bbc.com/indonesia/, 24
Maret 2017.
33
partai. Berikut merupakan peta koalisi partai, pada pilkada Jakarta putaran
pertama.
Tabel III.A.1
Koalisi Partai Pilkada Jakarta 2017 Putaran Pertama3
Agus-Sylvi Basuki-Djarot Anies-Sandiaga
1. Partai Demokrat
2. PAN
3. PKB
4. PPP
1. PDIP
2. Partai Nasdem
3. Partai Hanura
1. PKS
2. Partai Gerindra
Sumber: http://nasional.kompas.com/
Banyaknya partai yang berkoalisi dengan pasangan Agus-Sylvi nampaknya
tidak berpengaruh terhadap hasil. Berdasarkan hasil resmi yang dirilis oleh KPUD
Jakarta. Pilkada putaran pertama menetapkan pasangan Basuki-Djarot unggul
pada urutan pertama dengan 2.357.785 suara, sedangkan Anies-Sandi menduduki
posisi kedua dengan memperoleh 2.193.530 suara. Urutan ketiga pasangan Agus-
Sylvi memperoleh 936.461 suara.4
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun
2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
Walikota. Cagub dan cawagub DKI harus memperoleh suara lebih dari 50 persen
untuk menjadi pemenang. Sebagaimana dijelaskan pada pasal 36 PKPU Nomor 6
Tahun 2016 ayat (1) dan (2) yang mengatur syarat kemenangan dalam Pilgub DKI
Jakarta.5
3Danu Prabowo, “Pilkada Jakarta diprediksi tiga calon”, http://nasional.kompas.com/, 15
September 2016. 4KPU Provinsi DKI Jakarta, “Hasil Hitung TPS (Form C1) Provinsi Dki Jakarta”,
https://pilkada2017.kpu.go.id/, 15 Februari 2017. 5Lihat UU Komisi Pemilihan Umum, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2016,
Pasal 36 Ayat (1)dan (2).
34
(1) Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur di DKI Jakarta yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima
puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
(2) Dalam hal tidak terdapat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di DKI Jakarta yang memperoleh suara
lebih dari 50% (lima puluh persen), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh
suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Jika tidak meraih kemenangan lebih dari 50 persen, menurut pasal 36 PKPU
Nomor 6 Tahun 2016 diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran
kedua. Berdasarkan UU yang disebutkan oleh peneliti, pilkada putaran kedua akan
diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
pada putaran pertama, pasangan Basuki-Djarot dan Anies-Sandiaga yang
memenuhi kualifikasi untuk maju pada pemilu putaran kedua pilkada Jakarta.
Pada pilkada putaran kedua, sejumlah partai dari koalisi kekeluargaan Agus-
Sylvi menentukan sikap politik akan berkoalisi dengan kedua calon. Satu partai
merapat ke pasangan Anies-Sandi yaitu partai PAN. Partai lain seperti PKB dan
PPP merapat ke Basuki-Djarot, sedangkan partai demokrat memilih netral.
Berikut tabel peta koalisi pilkada putaran kedua.
Tabel III.A.2
Koalisi Partai Pilkada Jakarta 2017 Putaran Kedua6
Basuki-Djarot Anies-Sandiaga
1. PDIP
2. Partai Nasdem
3. Partai Hanura
4. PPP
5. PKB
1. PKS
2. Partai Gerindra
3. PAN
Sumber: http://megapolitan.kompas.com/
6 Herzaky Mahendra Putra,”Peta Baru Koalisi Parpol, Penentu Hasil Pilkada Jakarta 2017”,
http://megapolitan.kompas.com/, 18 April 2017.
35
Pada putaran kedua, pasangan Anies-Sandiaga dengan koalisi tiga partai
memperoleh urutan pertama dengan memperoleh 3.240.332 suara. Urutan kedua,
pasangan Basuki-Djarot dengan koalisi lima partai, memperoleh suara 2.351.245.
Data masuk 13.034 dari total TPS 13.034. Jumlah keseluruhan suara adalah
5.591.577 suara.7 Sehingga KPUD Jakarta menetapkan secara resmi Gubernur dan
wakil Gubernur periode 2017-2022 yaitu Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga
Salahuddin Uno.
A.1 NU pada Pilkada Jakarta
Hubungan antara NU dengan politik tidak dapat dipisahkan. Dalam
perjalanan sejarah organisasi hubungan antara NU dengan politik sangat dekat
karena NU pernah memasuki dunia politik dan menjadi bagian dari partai
Masyumi pada 1945. Kemudian NU keluar dari partai Masyumi dan mendirikan
partai NU pada 1952 dan menjadi partai Islam yang memiliki basis massa
terbesar. Kemudian pada tahun 1973 NU bergabung pada PPP karena adanya
perintah partai politik harus difusi menjadi tiga bagian yaitu partai Golkar, PDIP,
PPP.
Pada orde baru NU mengalami pengalaman pahit karena di PPP para wakil
NU tidak mendapatkan posisi penting dalam kabinet atau struktur pemerintahan,
karena ketidakharmonisasan Soeharto dengan NU.8 Sebenarnya keterlibatan NU
dalam politik tidak memiliki keuntungan untuk organisasi, karena aktivitas NU
hampir setiap harinya didominasi oleh aktivitas politik. Akibatnya, berbagai
7KPUD Provinsi DKI Jakarta, “Hasil Hitung TPS (Form C1) Provinsi Dki Jakarta”,
https://pilkada2017.kpu.go.id/, 19 April 2017. 8Gustiana Isya Marjani, Wajah Toleransi NU, (Jakarta: RMBOOKS, 2012), hal. 138.
36
persoalan sosial keagamaan yang seharusnya menjadi bidang garapan NU
terabaikan.
Membuat NU memutuskan untuk kembali pada organisasi keagamaan
sesuai dengan makna dan cita-cita organisasi, meninggalkan politik praktis.
Karena selama menjadi organisasi politik NU belum bisa menjalankan fungsi
organisasi dengan baik karena elitenya sibuk dengan urusan politik.
Kedekatan NU pada politik, membuat NU menjadi magnet tersendiri bagi
pasangan calon dalam memobilisasi suara walaupun dari kalangan nahdliyin
karena dianggap memiliki suara yang besar. Tetapi sebenarnya NU bukan
menjadi organisasi politik, dukung-mendukung dan mencampuri urusan politik
tidak diperkenankan secara organisasi.
Pada dinamika perpolitikan Jakarta, masyarakat sebagai pemilih dihadapkan
oleh persoalan agama dan etnis karena Basuki Tjahya Purnama9 merupakan
petahana yang berasal dari kalangan non muslim dan berasal dari etnis Tionghoa
dan menjadi terdakwa dalam kasus penistaan agama Islam.10
Kasus penistaan agama Islam mendapat pandangan pro dan kontra dari
masyarakat. Sebagian memahami Basuki menista agama, sebagian kalangan
menyatakan yang dikatakan di kepulauan seribu adalah bagian dari pendidikan
politik. Perbedaan pandangan dari beragam masyarakat membuat kondisi
perpolitikan Jakarta memanas. Masyarakat Jakarta sebagai pemilih dihadapkan
oleh persoalan agama dalam memilih pilihan politiknya.
9Larissa Huda, “Kasus Penistaan Agama, Ahok: Makin Cepat Sidang Makin Baik”,
https://nasional.tempo.co/, 25 November 2016. 10
Kristian Erdianto, “Hanya Isu Suku, Agama, dan Ras yang Dapat Menjegal Ahok-Djarot Pada
Putaran Kedua”, http://megapolitan.kompas.com/, 18 Februari 2017.
37
Berdasarkan tebel dari kelima wilayah Jakarta menjelaskan jumlah agama
yang di anut oleh masyarakat Jakarta terdapat tujuh agama yaitu Islam, Protestan,
Khatolik, Budha, Hindu dan Kepercayaan. Kelima wilayah Islam paling sedikit
berada di wilayah kepulauan seribu dan mayoritas berada di wilayah Jakarta
Timur. Jadi dari komposisi penduduk di lima wilayah, mayoritas penduduk
Jakarta bergama Islam. Sedangkan posisi agama Protestan, Khatolik, Hindu,
Kepercayaan, sama seperti Islam mayoritas berada di Jakarta Timur dan paling
sedikit di Kepulauan Seribu. Agama Budha dan Konghucu mayoritas di Jakarta
Utara paling sedikit di kepulauan seribu.
Tabel.III.A.3
Jumlah Agama dan Kepercayaan Provinsi DKI Jakarta Tahun 201511
Agama dan
Kepercayaan
Jakarta
Pusat
Jakarta
Utara
Jakarta
Barat
Jakarta
Selatan
Jakarta
Timur
Kep.
Seribu
DKI
Jakarta %
ISLAM 893.929 1.312.073 981.290 1.967.929 2.593.075 25.519 7.773.815 85,45 %
PROTESTAN 107.264 176.083 106.429 108.223 231.619 11 729.629 8,03%
KHATOLIK 50.494 82.998 69.526 55.548 77.995 0 336.561 3,70%
HINDU 3.837 3.988 1.736 3.627 5.281 0 18.469 0,20%
BUDHA 42.075 119.929 49321 11.353 15.257 5 237.940 2,62 %
KONGHUCU 109 214 191 70 169 0 753 0,00%
KEPERCAYAAN 44 6 12 54 106 0 222 0,00%
Sumber: Arsip Dinas Kependukan dan Catatan Sipil Tahun 2015
Tabel 3.A.1 menunjukan bahwa agama yang paling banyak dianut di kelima
wilayah Jakarta adalah Islam. Sebagai organisasi massa Islam seperti NU,
Muhammadiyah, FPI dan lain-lain di tengah mayoritas penduduk beragama Islam
giat mengkampanyekan untuk memilih gubernur dari kalangan muslim. Hal
11
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, Jumlah Agama dan Catatan
Sipil Provinsi DKI Jakarta.
38
tersebut disebabkan karena kekhawatiran ormas Islam dan ulama. Karena pada
pilkada putaran pertama, petahana Basuki-Djarot menang dengan urutan
pertama.12
Ormas Islam banyak yang mengkampanyekan untuk memilih Gubernur
muslim. Sebagai ormas Islam menjadi kewajiban saling mengingatkan sesama
muslim, tetapi permasalahannya terdapat peraturan dari negara yang melarang
ormas untuk berpolitik. Peraturan tersebut ada pada UU Nomor 17 Tahun 2013
ayat (1) tentang organisasi kemasyarakatan, UU Pasal 59 ayat (2) tersebut ormas
dilarang.13
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau
golongan;
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama
yang dianut di Indonesia;
c. Melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban
umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
e. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. Menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan
dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
g. Mengumpulkan dana untuk partai politik;
h. Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila.
Kembalinya NU dari organisasi politik menjadi organisasi sosial keagamaan
yang hanya mengurusi bidang agama, pendidikan, sosial dan ekonomi.
Menegaskan NU adalah organisasi yang netral. Selain itu, UU ormas membatasi
12
Komaruddin Bagja Arjawinangun, “Ini Hasil Rapat Pleno KPU Hasil Pilkada DKI Putaran
Pertama”, https://metro.sindonews.com/, 4 Maret 2017. 13
Lihat UU Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013, “Organisasi Kemasyarakatan”, Bab XVI
Larangan, Pasal 59 ayat (2).
39
ruang gerak organisasi untuk berpolitik, NU secara internal juga memiliki aturan
untuk menjadi pedoman kembalinya pada khittah 1926.
Peran elite kiai yang masuk kedalam struktural NU mejadi sebuah
keharusan meskipun peraturan negara dan internal NU sudah mengatur secara
organisasi NU tidak boleh berpolitik. Hal yang menyebabkan NU memiliki
pandangan politik pribadi pada pilkada Jakarta, karena perilaku petahana yang
memicu kemarahan nahdliyin. 14
Pada persidangan ke-8 kasus penistaan agama Islam pada 31 Januari 2017.
Rais Aam PBNU, KH Ma‟ruf Amin mendapatkan tindakan yang menyenangkan
dari Basuki. Dalam persidangan Basuki menuding Ma‟ruf memberikan kesaksian
palsu dihadapan majelis hakim dan Basuki akan memproses kesaksiaan palsu
Ma‟ruf pada secara hukum.15
Pernyataan dari Basuki tersebut menyebabkan pro dan kontra dikalangan
masyarakat khususnya adalah nahdliyin. Rais Aam merupakan sosok sentral untuk
NU dan jam‟iyah NU. Menurut Ketua GP Anshor Yaqut C. Qoumas.16
1. KH. Ma‟ruf Amin adalah Rais „Aam PBNU, sekaligus pimpinan tertinggi
dalam jam’iyah NU;
2. Dalam sidang kasus penistaan agama dengan Terdakwa Basuki Tjahja
Purnama, KH. Ma‟ruf Amin dihadirkan ke persidangan untuk memberikan
Keterangan Ahli;
3. KH. Ma‟ruf Amin dalam hal ini, berdasarkan kompetensinya sebagai ahli
hukum islam, maupun kapasitasnya sebagai Rais „Aam Syuriah PBNU –
pimpinan tertinggi sekaligus yang memberikan arah gerak hukum (Islam)
dalam tubuh NU, maupun sebagai Ketua Umum MUI, merupakan seseorang
yang ahli dalam hal agama, dan sudah tepat untuk dihadirkan ke persidangan
14
Dadang Kurnia, “Perilaku Ahok Bisa Picu Kemarahan Nasional Warga NU”,
http://nasional.republika.co.id, 1 Februar 2017. 15
Inge Klara Safitri dan Friski Riana,” Soal Dugaan Saksi Palsu, Ahok Diminta Tak Tuntut Ma'ruf
Amin”, https://nasional.tempo.co/ ,1 Februari 20017. 16
Erwin Dariyanto, “Respons Sikap Ahok ke Ma'ruf Amin”, GP Ansor: Siaga Satu Komando”,
https://news.detik.com/, 1 Februari 2017.
40
untuk dimintai sebagai Keterangan Ahli dalam hal kasus penistaan agama
(Islam);
4. Keterangan yang diberikan oleh KH. Ma‟ruf Amin, berdasarkan pengamatan
kami, sudah sesuai dengan kompetensi maupun kapasitasnya sebagai Ahli
Agama Islam, baik sebagai Fuqaha, Rais „Aam PBNU maupun sebagai
Ketua Umum MUI;
5. GP Ansor menyayangkan sikap, perilaku maupun kata-kata dari Terdakwa
maupun Tim Pengacaranya, dengan alih-alih menolak Keterangan Kiai
Ma‟ruf Amin sebagai Ahli justru memelintir situasi dan seolah-olah
menempatkan Kiai Ma‟ruf sebagai Terdakwa. Bahkan cecaran-cecaran
pertanyaan maupun tuduhan serta kata-kata kasar yang ditujukan kepada
Kiai Ma‟ruf Amin lebih merupakan sikap yang menonontonkan
Argumentum Ad Hominem atau menyerang pribadi Kiai Ma‟ruf daripada
mematahkan argumen yang terkait keahlian beliau;
6. GP Ansor tidak akan tinggal diam dan dengan ini menyatakan siap
mendampingi dan membela Kiai Ma‟ruf Amin, sebagai pimpinan tertinggi
kami, secara lahir dan batin dalam koridor hukum; dan menyerukan kepada
seluruh kader Ansor dan Banser untuk siaga satu komando.
Ketua lembaga dakwah PBNU, KH. Maman Imanulhaq menyatakan
pernyataan sikap. Menurut Maman Karena itu, seyogyanya nahdliyin terus saling
menjaga diri jangan sampai terjebak oleh permainan kelompok yang menggiring
opini publik untuk membenturkan sesama anak bangsa. Sikap tegas menghormati
proses hukum yang adil dan beretika. Dan sebagai warga nahdliyin, kita
mempunyai kewajiban menjaga marwah ulama dan para tokoh bangsa yang akhir-
akhir ini menjadi sasaran hinaan, dan kebencian dari pihak yang rabun sejarah.
Pernyataan sikap Maman terhadap Basuki adalah.17
1. Menghormati kehadiran KH. Ma'ruf Amin di pengadilan dalam
kapasitasnya sebagai ahli hukum agama, bukan sebagai terdakwa.
Kehadiran beliau sebagai sikap warga negara yang taat, menghargai dan
menghormati proses hukum. Beliau dihadirkan ke persidangan untuk
memberikan Keterangan sebagai seorang ahli (vide: Pasal 184 ayat (1) jo.
Pasal 186 KUHAP);
2. Keterangan yang diberikan oleh KH. Ma‟ruf Amin, berdasarkan
pengamatan kami, sudah sesuai dengan kompetensi maupun kapasitasnya
sebagai ahli agama Islam, baik sebagai fuqaha;
3. Kami menyayangkan sikap, perilaku maupun kata-kata dari terdakwa dan
tim pengacaranya, dengan alih-alih menolak keterangan KH Ma‟ruf Amin
17
Jpnn.com , “Sikap Lembaga Dakwah PBNU: Ahok Sudah Menyerang Pribadi, http://m.
jpnn.com, 1 Februari 2017.
41
sebagai ahli justru memelintir situasi dan seolah-olah menempatkan KH.
Ma‟ruf sebagai terdakwa. Bahkan cecaran-cecaran pertanyaan maupun
tuduhan serta kata-kata kasar yang ditujukan kepada KH. Ma‟ruf Amin
lebih merupakan sikap yang mempertontonkan argumentum ad hominem -
atau menyerang pribadi KH. Ma‟ruf daripada mematahkan argumen yang
terkait keahlian beliau. Padahal ada tata cara menyampaikan keberatan
yaitu di kesimpulan atau pledoi;
4. Kita harus menghormati dan belajar dari KH. Maruf Amin. Beliau Rais
Aam NU dan Ketua Umum MUI yang telah memberi contoh bagaimana
cara menghormati hukum, bertanggungjawab dan berani datang sendiri
tanpa pengawalan dan pengerahan masa;
5. Saat ini, Indonesia memasuki ujian terberat dalam kehidupan bernegara.
Kita kehilangan jati diri bangsa. Sikap saling menghargai dan menghormati
berubah jadi saling menghakimi dan saling menghabisi. Kita paceklik nilai
luhur bangsa.
PWNU Jakarta, mengeluarkan sikap dalam menanggapi pernyataan Basuki
Tjahya Purnama yang menyudutkan Rais Aam PBNU KH Ma‟ruf Amin pada
persidangan ke-8 kasus penistaan agama. Hal tersebut tentunya membuat
kemarahan nahdliyin dan elite PWNU Jakarta. Sikap yang diambil oleh Syuriyah
PWNU Jakarta.18
1. PWNU DKI Jakarta mengecam keras perlakuan saudara terdakwa, Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok dan pengacaranya kepada Kiai Ma‟ruf Amin,
dengan ucapan yang kasar, tidak beradab, mengancam dan sangat
melecehkan seorang ulama yang menjadi simbol dan muru‟ah Nahdlatul
Ulama;
2. Meminta kepada saudara Basuki Tjahya Purnama alias Ahok, untuk
meminta maaf, baik secara bertemu langsung dengan Dr. KH. Ma‟ruf Amin
dan meminta maaf kepada seluruh warga nahdliyin di Indonesia melalui
media cetak maupun elektronik;
3. Meminta kepada pengacara terdakwa saudara Basuki alias Ahok, untuk
meminta maaf serta mencabut segala macam ucapan yang sangat tendensius,
mengintimidasi serta menyerang pribadi kiai Ma‟ruf Amin;
4. Meminta kepada seluruh warga NU di Jakarta khususnya anggota Banser
NU untuk bisa menahan diri dan ikut menjaga stabilitas keamanan di
Ibukota.
Respon nahdliyin terhadap kasus Ma‟ruf menandakan bahwa tradisi
kepatuhan terhadap kiai yang kemudian melahirkan sikap, persepsi dan perilaku
18
Frachman, “Ahok Lecehkan KH Ma'ruf Amin, Inilah Sikap PWNU DKI Jakarta”
http://www.beritash.com/, 5 Februari 2017.
42
seseorang. Menurut padangan peneliti, pandangan kiai dalam pilkada Jakarta
dapat memberikan pengaruh kepada masyarakat tertentu seperti pada kalangan
nahdliyin kiai adalah sosok yang paling dihormati dan Rais Aam tokoh sentral NU
dalam organisasi.
A.2 Hubungan Kiai dan Politik
Istilah kiai pada umumnya dipakai oleh masyarakat jawa untuk menyebut
orang lain, bentuk jamak dari alim dalam bahasa arab adalah ulama dalam tradisi
masyarakat muslim. Kiai biasanya memiliki kharisma dan pada umumnya
memimpin sebuah pesantren, mengajarkan kitab-kitab kuning atau memiliki
keterikatan pada kelompok Islam tradisional.19
Dalam NU, posisi kiai di tempatkan pada posisi yang istimewa yaitu sebagai
elite agama. Tradisi keharusan yang menempatkan kiai karena masyarakat
beranggapan kiai mendapatkan legitimasi dari agama, ulama berperan sebagai
pewaris nabi. Sosiolog Bryan S Turner menggambarkan bahwa tradisi umum
keagamaan cenderung menempatkan umat sebagai lapisan “kelas dua” yang
bergantung pada paham keagamaan yang ditawarkan pemimpin/tokoh mereka.20
Dalam realitas sosial, kiai sebagai elite agama menduduki posisi ganda,
yaitu sebagai pemimpin spiritual, pelayanan masyarakat maupun juga aktivitas
dalam politik. Keberadaan kiai sebagai elite agama memiliki peran khas di
tengah-tengah masyarakat, yaitu sebagai pemimpin spiritual. Sebagai pemimpin
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1986), hal.55. 20
Bryan S Tuner, Relegion and Social Theory (New Delhi: Sage Publication, 1991), hal.88.
43
spiritual sehari-hari kiai memimpin kegiatan ibadah seperti sholat, khutbah, doa,
puasa, zakat dan haji.21
Kiai jika dilihat dari orientasinya dapat diklasifikasikan menjadi empat
kategori22
: Pertama, kiai spiritual yaitu pengasuh pondok pesantren yang lebih
menekankan pada upaya dengan mendekatkan diri pada Tuhan melalui amalan
ibadah. Kiai spiritual sebagian besar menganut salafi murni, agama difungsikan
untuk menjaga ketenangan batin, statis dan konservatif, lebih berorientasi pada
kehidupan akhirat, tanpak lebih tertutup pada sentuhan pembaruan/modernisasi,
termasuk menentukan afilasi politik yang akan dipilih.
Kedua, kiai advokatif yaitu pengasuh pondok pesantren yang selain aktif
mengajar para santri dan ja’maah juga memperhatikan permasalahan yang ada
dihadapi oleh masyarakat. Penggunaan nama advokasi ini adalah sebagai wujud
kepedulian kiai pada nasib jamaah. Kiai ini memiliki ciri-ciri terbuka dan dinamis
agama difungsikan sebagai motivasi penggerak, politik digunakan sebagai alat
dakwahnya, menempatkan kehidupan dunia seimbang dengan kebutuhan akhirat,
afilasi politiknya tidak tampak jelas.
Ketiga, kiai dan politik, yaitu pengasuh pondok pesantren yang senantiasa
peduli pada organisasi politik dan juga kekuasaan. Misalnya kiai yang terdapat
pada pesantren NU mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dan meminta
dukungan dari santri. Kiai ini disebut dengan kiai kritis karena keberaniannya
mengambil sikap yang berbeda dengan kekuatan dominan, sekalipun berposisi.
21
Imam Suprayogo, Kiai dan Politik: Membaca Citra Politik Kiai, hal. 32. 22
Imam Suprayogo, Kiai dan Politik: Membaca Citra Politik Kiai, hal.123.
44
Posisi kiai dalam pelayanan masyarakat adalah kiai sering dijadikan tempat
tempat bertanya atau tumpuan orang-orang meminta nasihat.23
Keberadaan kiai
dengan umatnya bersifat emosional, dalam jarak yang dekat, membentuk
hubungan bapak-anak (paternalis) dan patron klien, sebagai pemberi dan penerima
nasihat mampu membentuk ikatan yang kukuh. Pola hubungan seperti ini akan
melahirkan sikap-sikap loyal dan kepatuhan yang tinggi kepada patron.
Tiga alasan kiai sebagai pemuka (elite) agama memasuki politik. Pertama,
bisa ditelusuri dari sumber ajaran agama Islam itu sendiri, yang memiliki lingkup
tidak hanya ada pada aspek ritual dan bimbingan moral, tetapi juga nilai pada
semua sisi kehidupan, baik dalam ilmu ekonomi, hukum, sosial maupun persoalan
politik yang bersumber pada hukum tertinggi yaitu Al-Qur‟an.
Kedua, dilihat dari sisi sejarahnya, peran kiai dalam politik di mulai sejak
zaman kesultanan Mataram II di Jawa. Kiai NU bersama nahdliyin mengatur
strategi melawan penjajah. Kiai memberikan dukungan moral, ekonomi dan
politik.
Ketiga, posisi kiai sebagai elite agama yang memiliki pengikut (jamaah)
dan pengaruh yang luas di tengah-tengah masyarakat, menjadikan mereka ikut
dalam pengambilan keputuasan bersama, kepemimpinan, penyelesaian problem-
problem sosial, pengembangan pendidikan dan kemasyarakatan. Keberdaan kiai
memiliki peran yang sangat penting.
23
Imam Suprayogo, Kiai dan Politik: Membaca Citra Politik Kiai, hal.4.
45
Faktor penting mengapa keberadaan kiai di masyarakat penting.24
Pertama
tingginya derajat mobilitas kiai dalam membangun jaringan dengan komunitas di
luarnya, baik mobilitas sesama kiai ataupun pertemuan dengan jaringan-jaringan
tertentu. Sehingga memungkinkan mereka memperoleh informasi baru yang
dimiliki santri dan masyarakat sekitarnya.
Kedua, posisi sentral dan ketokohan kiai di desa dan di pesantrennya,
menjadikan mereka sebagai sumber rujukan bagi orang dari luar desa dan para
pengikutnya tidak bisa mengabaikan eksistensi dari peran kiai. Ketiga, sebagai
dampak langsung dan tidak langsung posisinya, kiai memiliki kelebihan material
dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya, termasuk memiliki akses informasi
yang lebih baik.
B. Sikap NU kembali pada Khittah 1926
Muktamar ke-27 di Situbondo adalah muktamar bersejarah karena
mengembalikan NU organisasi sosial kegamaan bukan organisasi politik. NU
selama menjadi partai politik mengalami ketidakjelasan identitas. NU hanya
terpaku pada prestasi dan prestise politik daripada menanggapi persoalan
keagamaan padahal awal didirikan NU pada 31 Januari 1926, sebagai organisasi
keagamaan.
Latar belakang NU kembali ke khittah 1926 didasari dengan pengalaman
politik orde baru. NU sebagai organisasi tidak membawa manfaat untuk umat.
Sejak NU menjadi partai, hubungan antara NU dan pemerintahan Soeharto tidak
24
Titik Triwulan Tutik dan Joenadi Effendi, Membaca Peta Politik Nahdlatul Ulama: Skesta
Politik Kiai & Muda NU, hal.63.
46
harmonis. Karena NU lebih terfokus pada mobilisasi politik dan cenderung
mengabaikan bidang sosial keagamaan.
Kembalinya NU sebagai organisasi keagamaan pada muktamar ke-27
adalah keputusan yang tepat. Khittah 1926 ciri khas NU sebagai organisasi
kegamaan yang dipimpin oleh ulama. NU melalui ulama berusaha menghimpun
umat Islam untuk melakukan kegiatan dengan tujuan menciptakan kemaslahatan
masyarakat, kemajuan bangsa.25
Faktor eksternal dan internal kembalinya NU pada khittah 1926. Pada
faktor internal NU sebagai organisasi politik resmi keluar dari PPP. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh tiga faktor.26
Pertama, adanya intervensi pemerintah secara
langsung dan tidak langsung melalui berbagai kebijakan. Intervensi langsung
tersebut adanya larangan pegawai negeri mengikuti organisasi selain Golkar.
Karena hal tersebut banyak nahdliyin yang ketakutan dan mengembalikan kartu
anggota NU. Kedua, konflik internal di PPP. NU diperlakukan secara tidak adil
karena pada tahun 1980 DPR menyepakati RUU Pemilihan Umum tanpa
partisipasi dari wakil-wakil NU. Ketiga, kesadaran kelompok internal NU yang
melihat NU telah menyimpang dari tujuan awal didirikan organisasi.
Faktor eksternal kekecewaan NU sebagai organisasi yang menjadi
organisasi politik, semakin bertambah. Situasi ini menimbulkan keprihatian di
kalangan nahdliyin. Tuntutan untuk kembali pada khittah 1926 semakin
meningkat. Faktor eksternal ini adalah berasal dari nahdliyin menuntut NU secara
organisasi untuk kembali pada khittah merupakan respon dari kekecewaan
25
Einer Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal.197. 26
Gustiana Isya Marjani, Wajah Toleransi NU, hal.138.
47
nahdliyin terhadap pemerintahan orde baru yang tidak adil. Sehingga NU
mendapatkan tekanan dari luar organisasi.
Keprihatinan tentang yang dirasakan oleh NU tidak hanya terjadi pada
kelompok elite NU yang ada di Jakarta. Kalangan NU di tingkat daerah dari
tingkat elite hingga anggota biasa mengalami keprihatian yang sama. Kelompok
NU Jakarta berinisiatif untuk menerima aspirasi yang datang dari daerah lain
melalui korespondensi. Kelompok Jakarta membuat kelompok yang dikenal
sebagai kelompok G yang kemudian menerbitkan jurnal khittah dan risalah
nahdliyin.
Selain itu, kelompok kerja mengadakan pertemuan pada 12 Mei 1983
kelompok tersebut terdiri dari 24 orang, kelompok tersebut namanya adalah
majelis 24. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk membuat tim yang
bernama “Tim Tujuh untuk Pemulihan Khttah NU 1926”. Tim tujuh ini dipimpin
oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai ketua dan dipersiapkan untuk menjadi
ketua pada muktamar ke-27.27
Alasan Gusdur menjadi calon ketua, karena Gusdur adalah cucu KH
Hasyim Asy‟ari tokoh pendiri NU selain itu Gusdur tokoh muda yang cerdas dan
memiliki potensi. Tim tujuh yang dipimpin oleh Gusdur berhasil merumuskan ide
yaitu prinsip perintisan, prinsip kontinuitas, dan asas kebutuhan yang ada pada
saat itu. Tiga agenda penting yang dirumuskan oleh Tim Tujuh pada muktamar
ke-27.
27
Gustiana Isya Marjani, Wajah Toleransi NU, hal.139.
48
Sikap kembalinya NU pada khittah 1926, terdapat tiga persepsi di
kalangan internal NU.28
Pertama, NU adalah organisasi keagamaan, kedua, peran
ulama akan berada pada posisi tertinggi dalam organisasi, peran Syuriyah akan
berada dalam posisi pembuat keputusan, kontras dengan sebelum NU kembali
pada khittah peran Tanfidziyah sangat mendominasi dalam proses pembuat
keputusan.
Peran Syuriyah telah mengalami penyimpangan, karena peran Syuriyah
sering sekali dimarginalkan dan dianggap tidak strategis.29
Padahal dalam
ketentuan organisasi, Syuriyah memiliki otoritas tertinggi dalam mempelajari
urusan agama, memberi fatwa, mengawasi dan membimbing badan-badan lain
dalam organisasi. Sementara Tanfidziyah memiliki posisi di bawah Syuriyah
dalam struktur organisasi. Oleh karena itu, meskipun kepengurusan Tanfidziyah
itu adalah dari ulama, mereka harus menerima keputusan dari Syuriyah.
Langkah untuk mengembalikan posisi Syuriyah dilatar belakangi oleh
beberapa hal yaitu posisi Tanfidziyah yang dipimpin oleh KH Idham Chalid,
kekuasaannya terhadap organisasi lebih dominan dan sulit untuk dikendalikan.
Selain itu, kiai Idham Chalid dinilai gagal menjadi pengurus harian NU karena
terkait dengan ketidakadilannya PPP dalam pembagian kursi di parlemen.
Perlunya penegasan posisi Syuriyah dan Tanfidziyah sesuai dengan fungsi yaitu
Tanfidziyah yang seharusnya tunduk pada Syuriyah, untuk itu Ahmad Sidiq
menulis30
.
28
Gustiana Isya Marjani, Wajah Toleransi NU, hal.133. 29
Badrun Alaena, NU: Kritisme Pergeseran Makna Aswaja, (Yogyakarta: Tiara Wancana
Yogya,2000), hal.80. 30
Badrun Alaena, NU: Kritisme Pergeseran Makna Aswaja,hal. 83.
49
Sungguh penting merumuskan lebih lanjut posisi Syuriyah sebagai NU. Semua
jajaran pengurus NU yang menjadi anggota Syuriyah, hanya pimpinan Syuriyah
yang dipilih melalui konferensi, para fungsionarisnya yaitu anggota
(Tanfidziyah) diangkat dan diberhentikan oleh Syuriyah setelah melalui proses
musyawarah. Karena itu sangat penting artinya membuat kualifikasi calon
Syuriyah secara ketat.
Pernyataan Ahmad adalah ingin mempertegas kembali peran Syuriyah.
Sehingga persoalan tersebut akan menjadi agenda penting dalam upaya
memperbaiki dan meluruskan keberadaan organisasi. Fungsi dari perlunya
dipertegas kembali posisi Syuriyah diharapkan dapat megontrol Tanfidziyah
dalam menjalankan organisasi sesuai dengan tujuan dan cita-cita NU yaitu
menjadi organisasi keagamaan (jam’iyah diniyah).
Ketiga, NU tidak harus meninggalkan politik. Artinya individu boleh
berpolitik sesuai dengan pilihan masing-masing yang tidak boleh
mengatasnamakan NU sebagai organisasi mendukung calon atau menjadi elite
partai padahal masih merangkap jabatan menjadi pengurus NU secara struktural.
Ketiga agenda penting Tim Tujuh berhasil merumuskan yang akan dibahas
pada muktamar ke-27 dari tiga agenda penting berhasil disepakati menjadi 4 poin
utama yaitu hasil muktamar ke-27 di Situbondo berhasil merumuskan beberapa
keputusan penting31
.
1. Menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar organsiasi
NU;
2. Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan
supermasi Syuriyah atas Tanfidziyah dalam status dan hukum;
3. Penarikan diri dari politik praktis dengan cara melarang pengurus NU
secara bersama-sama memegang kepengurusan di dalam partai politik;
4. Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih
menekankan pada bidang-bidang non politik.
31
Chorul Anam, Jejak Langkah Sang Guru Bangsa Suka Duka Mengikuti Gusdur Sejak 1978,
(Jakarta: Duta Aksara Mulia,2010), hal.30.
50
Pada muktamar ini Abdurrahman Wahid terpilih menjadi ketua Tanfidziyah
PBNU dan Ahmad Siddiq menjadi Rais Aam. Keputusan muktamar ini memang
tidak terlepas dari hasil muktamar sebelumnya, yaitu muktamar yang ke-26 di
Situbondo pada 18-21 Desember 1983. Hasil muktamar ke-26 menghasilkan yang
menjadi dasar muktamar ke-27. Pertama, NU merupakan sebuah organisasi yang
menerima Pancasila dan memulihkan makna khittah 1926.
Kedua, hasil dari muktamar ke-26 menghasilkan dua keputusan terbesar
kemudian dikukuhkan pada muktamar ke-27 yang berlangsung di Situbondo.
Hasil muktamar menegaskan bahwa NU mundur dari panggung politik, sehingga
pengurus PBNU direkomendasikan untuk mengeluarkan aturan yang melarang
rangkap jabatan semua pengurus.32
NU meninggalkan hingar bingar politik praktis, memperkuat kembali
kedudukan NU sebagai organisasi kemasyarakatan Islam, yang hanya mengurusi
sosial kaeagamaan. Keputusan kembali pada khittah 1926 pada dasarnya NU
bukan melarang pilihan politik secara pribadi, tetapi mengambil jarak secara
organisatoris dengan keterlibatan politik praktis.
Tafsiran tentang khittah NU tahun 1926 yang menjadi pedoman dalam
berpolitik maupun kehidupan sosial lainnya pentingnya menegakan etika dan
moralitas dalam berpolitik. Untuk mengimplementasikan kebijakan kembali pada
khittah tahun 1926 yang kemudian menjadi pedoman berpolitik jamaah NU.
Hal tersebut tercantum pada lembar Keputusan Muktamar NU No.06/MNU-
28/1989 tentang masalah umat yang didalamnya memuat pandangan dan sikap
32
Badrun Alaena, NU: Kritisme dan Pergeseran makna Aswaja, hal.86.
51
NU terhadap politik pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta tahun 1989. Sembilan
pokok pedoman bagi warga NU dalam bidang politik, tampak seperti di bawah
ini.33
1. Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan
pancasila dan UUD 1945.
2. Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju
integrasi bangsa dengan langkah- langkah yang senantiasa menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan
dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan
kehidupan di akhirat.
3. Politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang
hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari
hak, kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan
bersama.
4. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan
beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
33
Badrun Alaena, NU: Kritisme dan Pergeseran makna Aswaja, hal.96.
52
5. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran murni dan
moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-
norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme
musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus nasional,
dan dilakukan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan
ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
7. Berpolitik bagi NU, dengan dalil apapun, tidak boleh dilakukan dengan
mengorbankan kepentingan bersama dan memecah-belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus
tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu' dan saling
menghargai satu sama lain, sehingga didalam berpolitik itu tetap dijaga
persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.
9. Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal
balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang
memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih
mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat
untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam
pembangunan.
Sebagai upaya mempertegas identitas NU setelah kembali ke khittah 1926
sembilan adalah penegasan kembali dari apa yang pernah dirumuskan dalam
muktamar Situbondo tahun 1984, dalam rumusan tersebut semoga warga NU
memahami bahwa adanya khittah 1926 hasil Muktamar tahun 1984 bukan berarti
53
membuat nahdliyin pasif dalam politik, hanya bedanya menurut Abdurrahman
Wahid setelah khittah politik NU perannya tidak lagi identik dengan jabatan
kekuasaan dan jabatan politik lainnya melainkan harus fokus pada NU sebagai
organisasi artinya tidak boleh merangkap jabatan.34
34
Badrun Alaena, NU: Kritisme dan Pergeseran makna A
swaja, hal.99.
54
BAB IV
PENGARUH PERILAKU POLITIK ELITE
PWNU PERIODE 2016-2021 PADA PILKADA DKI JAKARTA
TAHUN 2017
NU adalah organisasi yang memberikan kebebasan kepada nahdliyin dan
elite yang berada pada struktur organisasi, untuk memilih sesuai dengan
pandangan politik secara pribadi. Elite yang masuk kedalam struktur organisasi
kepengurusan PWNU Jakarta secara individual boleh berpolitik. Tetapi
permasalahannya dapatkah dipisahkan secara tegas dan jelas antara tindakan
tokoh sebagai individu yang memiliki hak untuk berpolitik, dengan sikap NU
sebagai organisasi.
Karena elite dalam organisasi adalah orang berpengaruh dalam
mengendalikan arah organisasi apakah organisasi tersebut ingin netral atau
sebaliknya semuanya tergantung pada perilaku elite. Untuk itu peneliti membahas
mengenai elite dalam PWNU Jakarta.
A. Elite dalam PWNU Jakarta
Untuk menganalisa yang paling berpengaruh dalam membuat keputusan
bersama menggunakan tiga analisis dari Robert Putnam. Putnam menggunakan
tiga model utama yaitu analisis posisi, analisis reputasi dan analisis keputusan.1
Analisi posisi adalah elite yang berada pada struktur organisasi, mereka
yang paling berpengaruh dalam membuat keputusan untuk masyarakat. Analisis
reputasi elite yang tidak masuk dalam struktur organisasi tetapi memiliki
1 Mohtar Mas’oed dan Colin Andrews, Perbandingan Sistem Politik, hal.80.
55
pengaruh terhadap masyarakat. Analisis keputusan elite yang keputusannya selalu
menjadi refrensi dalam masyarakat.
Pada konteks PWNU Jakarta elite yang memiliki pengaruh khususnya di
kalangan masyarakat adalah elite yang masuk ke dalam struktur organisasi yang
memeggang kendali organisasi. Elite yang masuk dalam struktural PWNU yang
paling berpengaruh adalah Syuriyah dan Tanfidziyah.
Elite organisasi biasa disebut dengan pengurus organisasi PWNU. Dalam
organisasi PWNU sebutan elite organisasi disebut dengan kiai. Panggilan kiai
tidak ada pengkotak-kotakan antara tua dan muda tetapi sebutan kiai diberikan
kepada orang-orang yang memiliki posisi strategis diantaranya masuk ke dalam
struktur organisasi.
Elite PWNU Jakarta yang jika di analisa masuk ke dalam analisis posisional
menempatkan elite yang memiliki jabatan di PWNU Jakarta yang memiliki peran
dalam mempengaruhi perilaku masyarakat dalam hal ini nahdliyin untuk membuat
suatu keputusan politik.
Menurut Pareto elite yang berkuasa jumlahnya lebih sedikit melaksanakan
suatu fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan mendapatkan keistimewan-
keistimewaan. Sedangkan yang kedua jumlahnya itu lebih banyak diperintah dan
dikendalikan yang pertama.2
2 T.B Bottomore, Elite dan Masyarakat, (Jakarta: Akbar Tadjung Institute,2006), hal.4.
56
Menurut Mosca kekuasaan minoritas tidak dapat dilawan oleh masing-masing
individu dalam mayoritas, yang berdiri sendiri dihadapkan oleh minoritas yang
terorganisir.3
Dengan demikian, Pareto dan Mosca mengartikan elite sebagai kelompok
orang yang secara langsung menggunakan atau berada dalam posisi memberikan
pengaruh. Elite PWNU yang masuk kedalam struktur organisasi mampu
mempengaruhi keputusan politik nahdliyin dan memberikan pengaruh. Ada tiga
faktor yang dapat memperkuat elite PWNU dalam memberikan pengaruh
keputusan politik.
Pertama, kiai itu memiliki kedekatan terhadap nahdliyin, akan melahirkan
sikap, persepsi dan perilaku politik. Kedua, nahdliyin terbiasa dengan
pengambilan keputusan secara bersama-sama dengan arahan yang jelas dari kiai.
Ketiga, secara organisasi kiai setiap pekannya diberikan legitimasi untuk dapat
bersilahturahmi memberikan ceramah dari masjid ke masjid khususnya Mesjid
NU yang ada di Jakarta, jadi kiai dapat mengubah dengan mudah keputusan
politik pengikutnya karena kiai memiliki kemampuan menerjemahkan bahasa
politik menjadi bahasa agama pada mimbar-mimbar dakwah.
Menurut pandangan peneliti sangat penting untuk diteliti mengenai faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi perilaku politik elite PWNU dalam mengambil
suatu keputusan politik pada pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Ada empat faktor
menurut teorinya Ramlan Surbakti dan Miriam Budiardjo.
3 T.B Bottomore, Elite dan Masyarakat, hal.5.
57
B. Faktor Pengaruh Perilaku Aktor
B.1 Faktor lingkungan tidak langsung
Menurut Ramlan Surbakti faktor yang dapat mempengaruhi perilaku politik
dalam mengambil suatu keputusan politik dipengaruhi oleh lingkungan politik
tidak langsung. Hal yang mempengaruhi lingkungan politik tidak langsung
dipengaruhi oleh sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media
massa.4 Perilaku politik merupakan interaksi dapat mempengaruhi keputusan
politik seseorang. Setiap masyarakat berbeda antara masyarakat umum dengan
elite.
Menurut Almond dan Verba budaya politik adalah bagaimana seseorang
memiliki orientasi, sikap, dan nilai-nilai politik yang tercermin dalam sikap dan
perilaku politiknya. Pengertian budaya politik menunjuk kepada suatu sikap
orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu.5
Faktor lingkungan sosial tidak langsung elite PWNU dalam menentukan
suatu keputusan politik dipengaruhi oleh budaya. Menurut Almond dan Verba
terdapat tiga tipologi pertama, budaya politik budaya politik parokial yaitu tingkat
partisipasi politiknya sangat rendah. Kedua, budaya politik kaula yaitu masyarakat
bersangkutan sudah relatif maju tetapi masih bersifat pasif. Ketiga, budaya politik
4 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persda, 2007), hal.169.
5Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di
Lima Negara , (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),hal. 20.
58
partisipan yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat
tinggi.6
Berdasarkan definisi dari tipologi budaya politik Almond dan Verba,
menurut Manan budaya politik elite PWNU adalah partisipan. Hal tersebut
ditandai dengan keikutsertaan pengurus organisasi dalam mengawal kegiatan
politik khususnya di pilkada DKI Jakarta. PBNU adalah organisasi pusat dari NU
cabang dan wilayah, Manan menjelaskan,
Konteks PBNU sebenarnya adalah Indonesia, Pengurus Pusat adalah
“bapaknya” dari NU wilayah dan cabang. PBNU ini bukan organisasi mewakili
daerah. Tetapi karena lokasi PBNU di ibukota dengan sendirinya hadir
mengawali kesuksesan atas pelaksanaan pilkada Jakarta. Ranah NU bukan pada
politik, tetapi ini murni dari budaya partisipan pengurusnya atau kiai-kiai,
seperti NU melakukan tekanan ke pemerintah, menuntut kasus Basuki, adalah
salah satu bukti yang menunjukan bahwa perilaku pengurus dipengaruhi oleh
budaya partisipan.7
Diskusi politik, kritik dari kebijakan adalah ciri-ciri dari budaya partisipan,
yang dapat mempengaruhi cara pandang aktor dalam menentukan sikap politik.
Munahar menambahkan,
PWNU aktif berdiskusi mengenai perkembangan politik, misalnya pada pilkada
Jakarta. Pengurus PWNU selalu mengikuti diskusi-diskusi politik, mengkritisi
suatu kebijakan, misalnya kasus Ahok yang belum diproses hukum kita kritisi
melalui media NU, tulisan NU dan lain-lain.8
Lingkungan PWNU elitenya memiliki budaya politik partisipan hal
tersebut dibenarkan oleh wakil Syuriyah PWNU. Menurut Oong,
6 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di
Lima Negara, hal. 27. 7 Wawancara dengan Ketua Tanfidziyah PBNU KH.Manan Abdul Ghani pada 11 April 2017 di
Kantor PBNU Jakarta. 8Wawancara dengan Wakil Tanfidziyah PWNU Jakarta KH.Munahar Mutchar pada 4 April
2017 di Kantor MUI Jakarta Barat.
59
Budaya politik elite PWNU partisipan, karena pengurus yang berada di PWNU
ikut dalam pembahasan isu-isu strategis, dan itu ada lembaganya tersendiri yaitu
Lakpesdam NU.9
Menurut Munahar dan Oong dapat disimpulkan bahwa elite PWNU
budaya politiknya adalah partisipan yang dapat dihubungkan dengan teori
orientasi evaluatif Almond dan Verba menunjuk kepada keputusan dan pendapat
warga negara tentang politik berdasarkan apa yang ia ketahui dan ia rasakan
terhadap keadaan politik maupun perilaku aktor-aktor politiknya.10
Secara tidak langsung budaya politik partisipan sudah melekat di kalangan
pengurus PWNU Jakarta, elite PWNU memiliki kesadaran politik tinggi seperti
elite PWNU Jakarta peduli terhadap isu-isu politik mengenai kasus Basuki pada
konteks pilkada tahun 2017.
Jadi keputusan dan pendapat seseorang mengenai perilaku politik ini
ditentukan oleh kemampuannya dalam menilai moralitas politik, pengetahuan, dan
cara-cara mereka dalam membuat penilaian politik, serta dalam menyampaikan
pendapat. Dan cara PWNU Jakarta dalam mengkritisi pemerintah melalui website
khusus berita NU dan tulisan-tulisan yang dipublikasikan pada pilkada Jakarta
merupakan salah satu faktor dalam mempengaruhi perilaku politik aktor.
B.2 Lingkungan Sosial Langsung
Menurut miriam budiardjo lingkungan politik langsung yang membentuk
keperibadian aktor politik seperti keluarga, agama, pendidikan, sekolah dan
kelompok pergaulan.11
9 Wawancara dengan Wakil Syuriyah PWNU Jakarta KH. Oong Suyatno pada 9 Mei 2017 di
Kantor Ranting NU Kedaung Kali Angke Jakarta Barat. 10
Aim Abdulkarim, Sistem Politik Indonesia Modul UT PKN 14422, hal. 1.3. 11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal.134.
60
Faktor yang mempengaruhi elite dalam mengambil keputusan politik adalah
lingkungan langsung yang dipengaruhi oleh agama. Pada pilkada, Jakarta
dihadapkan pada persoalan pertama, kasus penistaan Agama Islam petahana
Basuki Tjahya Purnama. Kedua, sebagai ormas NU mendapatkan tekanan sosial
dari masyarakat Jakarta untuk ikut serta pada aksi bela Islam walaupun PWNU
organisasi netral. Ketiga. tindakan tidak menyenangkan Basuki terhadap Rais
Aam NU. Berdasarkan ketiga faktor persoalan politik Jakarta yang secara
langsung dapat mempengaruhi perilaku elite ditambah dengan di dalamya terdapat
persoalan agama.
Agama menjadi salah satu faktor utama yang menjadi pengaruh pilihan
politik elite dalam konteks pemilihan gubernur DKI Jakarta, Oong berpendapat
secara pribadi, menurutnya:
Agama untuk saya adalah faktor nomor satu, dan yang kedua adalah
akhlak dari pemimpin yang menjadi dasar untuk memilih Gubernur,
program kerja adalah alasan terakhir dalam memilih.12
Agama menjadi salah satu faktor elite PWNU memilih pilihan politik
karena pertama, seluruh aktivitas manusia termasuk dengan pilihan politik harus
berdasarkan ajaran-ajaran agama.
Teori otoritas dogmatis (Kebenaran yang bersifat mutlak) dalam Islam
sangat kuat yaitu kebenaran Islam yang diyakini mutlak dan tidak dapat diubah.
Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah wahyu terakhir
untuk menuntun kepentingan hidup umat manusia.13
Munahar menjelaskan,
12
Wawancara dengan Munahar Mutchar pada 4 April 2017. 13
M Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta:Paramadina,1995), hal.155.
61
NU adalah organisasi Islam maka diperintahkan untuk seluruh dipersilahkan
untuk memilih sesuai dengan kehendaknya tetapi karena NU didirikan oleh para
ulama maka secara otomatis berpeggang teguh pada Al Qur’an. Karena
berpeggang teguh kepada Al Qur’an maka kita menyarankan kepada seluruh
warga nahdlyyin untuk memilih pemimpin muslim jangan sampai melanggar
Al-Qur’an.14
Kedua, essensi politik dalam pandangan elite PWNU adalah pengaturan
persoalan-persoalan hidup yang ada pada Al-Qur’an, bukan dengan merubah
konstitusi. Oong menambahkan,
Pada pilkada Jakarta haram hukumnya memilih pemimpin non muslim, karena
penjelasannya sudah jelas ada pada Al-Qur’an dan NU secara organisasi juga
melarang untuk memilih pempimpin non muslim hal tersebut sudah terjawab
pada muktamar di Lirboyo tahun 1999.15
Pernyataan dari Oong ini menjawab bahwa sebenarnya kai-kiai NU di
pilkada, ingin mengingatkan sesama muslim agar tidak memilih pemimpin non
muslim. Untuk sebagian kalangan menurut Oong,
Untuk kalangan yang engga suka banget sama NU itu bisa diterjemahkan
menjadi sebuah sikap NU sebagai organisasi yaitu tidak netral karena
menghalangi calon lain yang tidak masuk kireteria pemimpin NU. Bukan
menjadi bagaian dari ketidaknetralan NU sebagai organisasi dan melanggar
khittah 1926 tetapi menjadi kewajiban tokoh agama seperti saya dalam
mendakwahkan apa yang dilarang oleh Al-Qur’an.16
Dari pernyataan tersebut peneliti memiliki tiga pandangan Pertama, sebagai
organisasi sosial keagamaan NU berkewajiban mengingatkan pada ranah
keagamaan seperti larangan memilih Gubernur non muslim. Kedua, sebagai elite
struktur organisasi sudah menjadi kewajiban mensosialisasikan hasil muktmar di
Lirboyo larangan memilih pemimpin non muslim. Ketiga, langkah kai-kiai
menghimbau untuk memilih pemimpin muslim bukan bagian dari politik, tetapi
14
Wawancara dengan Munahar Mutchar pada 4 April 2017. 15
Wawancara dengan Oong Suyatno pada 9 Mei 2017. 16
Wawancara dengan Oong Suyatno pada 9 Mei 2017.
62
menjalankan amanah khittah sebagai organisasi keagamaan walaupun ranahnya
politik. Oong mengungkapkan,
Tiga hari sebelum pilkada PWNU mengadakan sosialisasi hasil muktamar
Lirboyo dengan harapan dapat mengingatkan warga NU bahwa memilih
pemimpin non muslim itu haram. Kita harus sa’mina waa’tona dengan
keputusan para kiai Syuriyah dan kiai sepuh NU.17
Kesimpulan dari pendekatan politik langsung adalah pendekatan
behaviorisme menjawab bahwa individu yang secara langsung melakukan
kegiatan politik, sedangkan perilaku lembaga pada dasarnya merupakan perilaku
individu yang terpola tertentu. Sehingga suatu lembaga seperti PWNU mampu
diidentifikasi sikap politik yang dilatar belakangi oleh agama jika terlebih dahulu
mengatahui pilihan politik elitenya secara langsung.
Kesimpulannya adalah orientasi pilihan elite ini tidak akan mengarah pada
pasangan Basuki Tjahya Utama dan Djarot Saiful Hidayat karena Basuki berasal
dari non muslim dan sudah menjadi kesepakatan bersama ulama NU dan fatwa
MUI dari Rais Syuriyah PBNU KH Ma’ruf Amin, haram hukumnya memilih
pemimpin non muslim.
B.3 Struktur Kepribadian Elite
Struktur kepribadian tercermin dalam sikap individu. Elite sebagai
kelompok yang memiliki pengaruh dalam organisasi, sehingga ide-ide dan
pemikirannya dapat dijadikan sumber atau preferensi bagi keputusan organisasi.
Elite diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan
keputusan kolektif.
17
Wawancara dengan Oong Suyatno pada 9 Mei 2017.
63
Syuriyah memiliki peran sentral dalam organisasi dan memiliki peran yang
strategis dalam NU. Syuriah adalah pembuat keputusan tertinggi. Dalam
organisasi, menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (ADART).
Secara wewenang tugas, Syuriyah bertugas merumuskan kebijakan umum
organisasi, mengarahkan dan mengawasi Tanfidziyah serta melakukan konsolidasi
Syuriah pada tingkat bawahannya.18
Syuriyah dapat mengendalikan kemana arah organisasi hal tersebut dapat
dihubungkan dengan teori kekuasaan, teori Charles Wright Mills menyatakan
bahwa elite yang berkuasa terdiri dari orang-orang yang memiliki posisi tertentu,
yang memungkinkan mereka untuk mengatasi lingkungan sekitarnya. Keputusan
elite dapat sangat berpengaruh pada kalangan nahdliyin. Terutama struktur
kepribadian yang dimiliki Syuriyah, pandangan Syuriyah menjadi refrensi politik
elite NU dan nahdliyin.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka keberadaan dan peranan elite
tidak dapat dilepaskan dari sebuah proses politik dan kekuasaan yang berlangsung
dalam suatu masyarakat atau organisasi tempat dimana para elite tersebut tinggal
dan kekuasaan tersebut ada di Syuriyah. Karena untuk dapat mengatahui perilaku
politik dari kepengurusan PWNU maka diteliti terlebih dahulu kireteria pemimpin
sesuai dengan kepribadian Syuriyah. Kireteria pemimpin menurut Syuriyah
PWNU,
Kriteria memilih pemimpin itu meliputi pertama, agama yang dianut (agama
yang diikuti) yaitu agama Islam, yang kedua, pemimpin punya kekuasaan
kuat sehingga bisa menguasai umat yang ketiga, keadilan yang merata,
18
Lihat, ART NU BAB XVIII, Pasal 57 Poin Kedua.
64
keempat, kemanan yang merata secara umum. Kelima, kemakmuran yang
langgeng yang keenam adalah memiliki perencanaan yang luas.19
Wakil Syuriyah PWNU Oong suyatno memiliki pandangan yang sama
terkait dengan kriteria pemimpin seperti yang dikemukakan oleh Mahfud. Hal ini
dipertegas dengan pernyataan,
Kriteria pemimpin menurut saya pribadi adalah yang pertama dia layak sebagai
seorang pemimpin dengan kireteria hukum positif yang ada di negeri kita.
Kedua tentu pemilih ini memiliki aspirasi sebagai muslim, ia akan mengikuti
panduan secara agamis pasti seorang muslim mewujudkan apa yang Allah
perintahkan, jadi sebenarnya dua saja secara UU pilkada dan Al-Qur’an. Ketiga
yang bersangkutan punya motivasi yang kuat. Maksud jadi pemimpin itu apa
minimal menjadi bekal untuk akhirat. Sekecil apapun harus berdampak
kemaslahatan untuk memperbaiki dari segala bidang yang ketika mencari
pemimpin yang Islam.20
Menurut pandangan peneliti, sebagai Syuriyah PWNU jika dihadapkan
dengan situasi politik langsung misalnya karena Jakarta ada calon Gubernur dari
non muslim, Syuriyah sebagai pengendali dari organisasi tidak bisa diam.
Syuriyah menjalankan fungsi organisasi sebagai organisasi keagamaan yang
bergerak pada dakwah khususnya.
Dari kedua pandangan peneliti dapat dihubungkan dengan teori
kepemimpinan kharismatik lebih kokoh daripada kepemimpinan birokatif yang
cenderung legal formalistik. Model legitimasi ini pememimpin yang memiliki
kharisma seperti “kiai” NU apalagi sebagai Rais Syuriah PWNU, dapat
mempengaruhi suatu keputusan dan orientasi politik.
Pemimpin yang memiliki kharisma masih menempati ruang-ruang
sosial.21
Legitimasi yang dimiliki Rais Syuriah PWNU berperan aktif
19
Official NUTV, Kireteria Pemimpin Menurut Syuriyah PWNU DKI Jakarta,
https://youtube.com/, 21 November 2016. 20
Wawancara dengan Oong Suyatno pada 9 Mei 2017. 21
Laode Ida, Kaum Muda NU, Kaum Progresif dan Sekularisme Bar. (Erlangga: Jakarta, 2004)
65
mendominasi kepemimpinan terutama dalam masyarakat tradisional. Apalagi
masyarakat tradisional terikat dengan klaim patron. Hal ini tidak dapat dipungkiri
karena NU adalah tradisi, maka dapat diidentifikasikan bahwa warga mayoritas
pada umumnya memiliki pemikiran yang tradisional maupun tindakan sehingga
mengikuti pandangan politik Syuriyah.
Jadi faktor yang dapat mempengaruhi elite organisasi NU seperti pengurus
yang masuk ke dalam struktural organisasi NU dalam mengambil keputusan
politik dipengaruhi oleh keputusan Rais Syuriyah yang memiliki posisi tertinggi
pada organisasi. Jadi apa yang direkomendasikan oleh Rais Syuriyah dianggap
sebagai keputusan yang paling tepat dan paling banyak ditunggu oleh nahdliyin
dan elite NU yang masih memiliki ketergantungan pada politik kiai dan keputusan
dari Syuriyah.
Faktor yang dapat melatarbelakangi elite PWNU seperti tanfidziyah dan
lain-lain dipengaruhi oleh sikap politik yang dimiliki oleh Syuriyah yaitu
memiliki otoritas tertinggi dalam organisasi.
B.4 Lingkungan Sosial Politik Berdasarkan Situasi
Lingkungan sosial politik langsung yang dapat mempengaruhi aktor adalah
ketika hendak melakukan kegiatan adalah dihadapkan oleh situasi kelompok salah
satu faktor utama. Pada pilkada Jakarta, NU dihadapkan oleh tiga situasi politik
yang mempengaruhi elite PWNU dalam mengambil keputusan politik.
Dalam konteks pilkada Jakarta 2017, Pertama, perilaku elite PWNU
dihadapkan dengan situasi persoalan pilkada Jakarta yang calon Gubernurnya
66
berasal dari kalangan non muslim ditambah lagi menistakan agama. Ketiga
situasi politik yang menjadikan kemarahan elite PWNU terhadap Basuki, Menurut
Munahar,
Sebagai umat Islam saya marah terhadap Ahok, karena buat saya Ahok itu
sudah menistakan agama. Kita tidak boleh diam saja ketika agama Islam dihina.
Kalau soal aqidah tidak boleh dilanggar.22
Kedua, istighosah yang dilakukan ketum PPP Djan Faridz mantan ketua
PWNU Jakarta bersama pasangan calon Basuki Tjahya Purnama
mengatasnamakan PWNU Jakarta tanpa mengkonfirmasi. Munahar menjelaskan,
Alasan Djan Faridz membawa nama PWNU dalam istighosah bersama dengan
Ahok itu karena mereka anggepnya PWNU ini memiliki basis massa yang
banyak, kiai-kiai yang masuk dalam struktural juga terlibat mangkanya kita
bakalan menindak tegas, malemnya juga saya bersama Syuriyah menggelar
konfrensi Pers, bahwa semua yang dilakukan oleh Djan Faridz itu semua
bohong.23
Sikap yang diambil oleh Syuriyah PWNU dan wakil Tanfidziyah atas nama
KH Mahfud Asirun dan Munahar Mucthar melalui konfrensi pers24
,
Berkaitan dengan diadakan acara Istighosah kebangsaan warga nahdliyin
Jakarta bersama Basuki Tjahya Purnama di jalan Talang nomor 3 Menteng
Jakarta Pusat, Minggu 5 Februari 2017. Dengan ini PWNU DKI Jakarta
menegaskan,
1. Acara ini tanpa sepengatahuan dan tidak ada sangkut pautnya dengan
pengurus PWNU DKI Jakarta;
2. PWNU DKI tersinggung dan tetap mengecam keras perlakuan Basuki
Tjahya Purnama (Ahok) dan pengacaranya terhadap Rais Aam PBNU
KH. Ma’ruf Amin;
3. PWNU DKI mendukung pernyataan tegas ketua Tanfidziyah PBNU,
Prof. Dr. Aqil Siraj, bahwa saudara Ahok bersalah dan masyarakat NU
tidak akan memilih Ahok;
4. Akan menindak tegas jika ada pengurus yang berberan aktif di acara
istighosah bersama Ahok sesuai dengan ketentuan organisasi.
22
Wawancara dengan Munahar Mutchar pada 4 April 2017. 23
Wawancara dengan Munahar Mutchar pada 4 April 2017. 24
Pemberian Transkip Hasil Konfrensi Pers oleh Munahar Mutchar pada 4 April 2017.
67
Ketiga, dalam mengawal kasus sidang ke-8 terdapat pernyataan yang
menyinggung warga nahdliyin dan elite PWNU Jakarta atas pernyataan Basuki
Tjahaya Purnama yang menyudutkan Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin.
Dari ketiga persoalan tersebut menurut pandangan peneliti salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi elite PWNU adalah disebabkan karena situasi. Seperti
yang sudah dijelaskan oleh peneliti sebelumnya, bahwa yang menjadi faktor
lansung yang dapat mempengaruhi perilaku politik elite PWNU adalah agama.
Karena itu faktor yang ada pada lingkungan sosial langsung seperti agama
ditambah dengan situasi politik di Jakarta. Sehingga orientasi elite NU mampu
terjawab dengan jelas.
C. Perilaku elite PWNU di Pilkada Jakarta
C.1 Pilkada putaran pertama
Elite PWNU Jakarta tidak memilih Basuki Thahya Purnama karena
berdasarkan agama yaitu lingkungan sosial politik tidak langsung. Orientasi
politik elite PWNU Jakarta mengarah kepada Agus-Sylvi dipengaruhi oleh
lingkungan sosial politik langsung karena pertama, kesamaan suku, rata-rata
pengurus PWNU berasal dari Betawi dan Jawa. Agus-Sylvi adalah representasi
tentang itu.
Kedua, budaya yang terbentuk di lingkungan adalah budaya partisipan aktif
dalam menyuarakan isu-isu tentang pilkada Jakarta seperti kasus penistaan agama
Islam Basuki di Kepulauan Seribu, caranya melalui budaya diskusi politik dan
menulis lalu diterbitkan menekan pemerintah untuk segera memproses kasus
Basuki di peroses.
68
Ketiga, posisi Syuriyah menempati tempat yang sentral yaitu keputusan
politiknya dapat digunakan sebagai refrensi politik yang lain. Pada periode
pertama Syuriyah PWNU lebih dekat dengan Agus-Sylvi. Dukungan berlangsung
secara khusus terhadap Agus-Sylvi di kantor PWNU Jakarta.
Keempat, Situasi politik Jakarta yang menyebabkan elite PWNU tidak akan
memilih Basuki Tjahya Purnama. Karena seperti yang sudah peneliti bahas di atas
ketiga faktor dari situasi Jakarta yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi
orientasi pengurus NU.
C.2 Pilkada putaran kedua
Pada putaran kedua, faktor yang paling dominan mempengaruhi elite dalam
menentukan perilaku politik dipengaruhi oleh lingkungan tidak langsung, agama
tetap faktor yang paling dominan. Karena pada putaran kedua Agus-Sylvi tidak
masuk ke dalam kualifikasi putaran kedua, calon Gubernur Jakarta yang muslim
hanya Anies-Sandi.
Orientasi dukungan berubah Anies-Sandi karena faktor agama. Selain faktor
agama yang paling dominan adalah faktor struktur kepribadian elite posisi
Syuriyah sebagai kiai yang paling dihormati di kalangan organisasi maupun di
luar NU sehingga keputusannya diartikan sebagai suatu keputusan organisasi
meskipun dalam memilih adalah hak dari masing-masing individu elite, analisis
posisi Putnam menempatkan Syuriyah adalah yang paling berpengaruh dalam
organisasi dan di kalangan masyarakat nahdliyin.
Pada putaran kedua faktor situasi juga mempengaruhi orientasi politik
pengurus karena elite nahdliyin berdasarkan situasi politik yang berhubungan
69
dengan NU secara tidak langsung sudah terlanjur tidak menyukai Basuki-Djarot
karena faktor utama yaitu agama dan situasi politik atas tindakan yang tidak
menyenangkan Basuki terhadap Rais Aam PBNU turut menentukan elite NU
dalam menentukan pilihan politik.
D. Bentuk ketidaknetralan PWNU Jakarta
Untuk dapat menganalisa mengenai perilaku politik suatu organisasi netral
atau tidak seperti PWNU Jakarta. Menurut pandangan Ramlan Surbakti perilaku
suatu lembaga, yang perlu ditelaah bukan hanya lembaganya, melainkan latar
belakang tindakan individu tersebut. Ramlan juga menganalogikan dalam
pengambilan suatu keputusan di partai politik, untuk mengatahui perilaku politik
suatu partai yang ditelaah individu yang memiliki posisi strategis di partai yaitu
elite yang dapat mempengaruhi keputusan organisasi.25
Pandangan Ramlan sesuai dengan permasalahan yang diteliti oleh peneliti
yaitu tentang elite yang berada di PWNU Jakarta, untuk menganalisa netralitas
NU secara organisasi yang diteliti bukan hanya organisasinya tetapi penting untuk
meneliti perilaku politik individu yang berada pada organisasi karena yang
membawa arah organisasi adalah individu sebagai elite yang mengendalikan
organisasi.
Pernyataan dari Manan tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Miftah Thoha bahwa perilaku organisasi adalah hasil-hasil interaksi antara
individu-individu dalam organisasinya, oleh karena itu untuk memahami perilaku
25
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal.20.
70
organisasi sebaiknya terlebih dahulu mengatahui perilaku politik dari individu
sebagai pendukung organisasi.26
NU adalah organisasi keagamaan bukan menjadi organisasi politik
berdasarkan hasil muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Kenetralan NU
berdasarkan hasil khittah 1926. ` Hasil muktamar ke-27 di Situbondo
menghasilkan keputusan Nomor 02/MNU-27/1984 yaitu kembalinya NU pada
khittah 1926 yang memiliki tiga esensi pokok. Pertama, peranan ulama Syuriyah
lebih dominan pada Tanfidziyah. Kedua, NU secara jam’iyah tidak lagi memiliki
ikatan organisatoris dalam bentuk apapun dengan organisasi kekuatan sosial
politik. Ketiga, NU jam’iyah menitikberatkan program dan kegiatannya..27
Untuk menjaga kenetralan PWNU sebagai organisasi harus dimulai dari
individu sebagai elite organisasi. Elite organisasi yang netral akan menghasilkan
organisasi yang netral begitupun dengan sebaliknya. Artinya teori Ramlan
Surbakti dan Mifthah Thoha tersebut membuktikan untuk membahas mengenai
perilaku politik yang ditelaah bukan hanya organisasinya tetapi aktor yang ada di
dalamnya seperti elite yang masuk dalam kepengurusan PWNU Jakarta. Jawaban
dari perilaku aktor yang akan peneliti bahas selanjutnya akan mempengaruhi
perilaku politik PWNU dalam menjaga kenetralan PWNU secara organisasi.
Bentuk ketidaknetralan PWNU, salah satunya adalah dipengaruhi oleh perilaku
elite PWNU yang secara sengaja memberikan dukungan mengatasnamakan
organisasi, atau mengatasnamakan Rais Syuriyah untuk mendukung calon.
Terdapat tiga bentuk ketidaknetralan elite PWNU adalah sebagai berikut.
26
Miftah Thoha, Kepemimpinan dan Manajemen, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal.34. 27
Nasir Yusuf, Menggugat Khittah NU, hal.69.
71
C.1 Dukungan elite PWNU Jakarta kepada Agus Sylvi
Ketidakjelasan antara sikap individu atau organisasi dibuktikan dengan
PWNU hanya membuat undangan silahturahmi yang hanya ditujukan pada
pasangan Agus dan Sylvi.28
Padahal menurut khittah 1926, NU adalah organisasi
yang netral. Netralitas PWNU akan terlihat jika PWNU mengundang ketiga calon
Gubernur dan Wakil Gubernur untuk dapat hadir pada acara silahturahmi
tersebut. Karena apabila hanya salah satu calon saja yang diundang dapat
mengindikasikan bahwa PWNU melalui elitenya hanya mendukung pilihan politik
tertentu dan elite PWNU secara sengaja membawa organisasi pada wilayah
politik. Hal tersebut tentunya dibenarkan oleh Munahar,
PWNU mendukung Agus-Sylvi karena pertama, Agus-Sylvi adalah muslim.
Kedua, program kerjanya sesuai. Ketiga, kiai-kiai PWNU rata-rata dari Betawi
dan Jawa. Agus adalah representasi dari Jawa dan Betawi.29
Menurut pandangan peneliti, undangan khusus yang hanya ditujukan
kepada pasangan Agus-Sylvi mengindikasikan ketidaknetralan PWNU Jakarta.
Pertama, undangan khusus yaitu silahturahmi antara pengurus dan Agus-Sylvi
dilaksanakan di kantor PWNU Jakarta. Kedua, elite PWNU berfoto bersama di
bawah lambang NU sebagai organisasi dan menggunakan simbol-simbol
pemenangan Agus-Sylvi.
Ketiga, hak politik yang diberikan oleh individu terhadap NU digunakan
untuk mendukung secara tersirah Agus-Sylvi yaitu dengan membawa label NU
secara organisasi dengan harapan dapat memudahkan pemenangan Agus-Sylvi
karena PWNU dapat memobilisasi suara nahdliyin. Selain kiai dapat dijadikan
28
Liputan6.com,” AHY dapat Dukungan Moril dari PWNU Jakarta”, http://pilkada.liputan6.com/
, 22 Januari 2017. 29
Wawancara dengan Munahar Mutchar pada 4 April 2017.
72
sebagai vote getter, NU adalah sebuah organisasi yang memiliki basis massa besar
dan memiliki nilai kepatuhan terhadap kiai yang kuat.
Ada faktor internal lain yang menyebabkan dukungan tersebut. Sebenarnya
kalau dilihat kiai-kiai nahdliyin paling tidak setuju ketika perempuan menjadi
pemimpin. Menurut peneliti ada faktor internal lain yang peneliti belum bisa
ungkap yang mempengaruhi dukungan terhadap Agus-Sylvi bukan hanya faktor
yang dipengaruhi oleh kesamaan agama atau budaya atau hanya sebagai refrensi
politik karena Gubernur di Jakarta ada yang berasal dari kalangan non muslim.
Dukungan terhadap Agus-Sylvi jelas melanggar apa yang diamanahkan oleh
khittah 1926. Karena seharusnya PWNU secara organisasi harus menjadi
organisasi yang netral yang tidak memiliki hubungan terhadap organisasi sosial
politik lainnya seperti pada poin kedua hasil muktamar. PWNU belum dapat
mengimplementasikan khittah 1926 secara baik dan benar, hal tersebut dibenarkan
oleh Munahar,
PWNU Jakarta sampai kapanpun akan mengimplementasikan khittah dengan
baik secara organisasi. Tetapi ada sebuah kondisi dimana Jakarta darurat
pemimpin muslim. Artinya masyarakat Jakarta telah mengalami krisis
pengatahuan tentang agama. Faktanya putaran pertama, Ahok menang. Kalau
sudah begini PWNU secara organisasi harus memiliki pandangan politik,
mensosialisasikan kepada masyarakat pemimpin yang ideal menurut Islam,
walaupun itu melanggar khittah.30
Tafsir mengenai khittah NU nampak tidak jelas. Khittah itu relevan saat
elitenya mengatakan “iya” tetapi disaat yang lain “tidak”. Pemaknaan khittah
1926 tergantung pada perilaku elitenya dalam menafsirkan. Jadi untuk menjaga
kenetralan NU secara organisasi dipengaruhi oleh komitmen elitenya menjadikan
PWNU organisasi yang netral atau tidak. Perilaku politik elite PWNU dukung
30
Wawancara dengan Munahar Mutchar pada 4 April 2017.
73
mendukung salah satu calon merupakan suatu bentuk ketidaknetralan PWNU
sebagai organisasi.
C.2 Keikutsertaan dalam aksi 212
Ikutnya PWNU pada aksi 212 untuk menuntut segera diprosesnya kasus
Basuki Tjahya Purnama yang juga calon Gubernur DKI Jakarta. Padahal Ketua
Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siraj melarang NU pada tingkat wilayah dan
cabang untuk hadir pada aksi tersebut, hal tersebut untuk menjaga netralitas NU
sebagai organisasi.31
PWNU Jakarta atas perintah Rais Syuriyah, tidak menghiraukan perintah
dari Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, sehingga PWNU memilih sikap yang
berbeda dan ikut dalam aksi bela Islam 212. Pelaksanaan harian PWNU juga ikut
dalam mendukung keputusan tersebut karena ingin menghormati supermasi
Syuriyah sebagai elite tertinggi dalam organisasi. Munahar menjelaskan,
Saya sebagai wakil Tanfidziyah mengikuti apa yang diperintahkan oleh kiai
Mahfud. Pertama, sudah menjadi kewajiban saya menjalankan perintah Rais
Syuriyah. Kedua, sebagai warga Jakarta saya merasa terpanggil sebagai tuan
rumah untuk menyediakan fasilitas seperti makanan dan minuman untuk warga
Jakarta.32
Keikutsertaan PWNU Jakarta dalam aksi 212 didasari dengan keterpanggilan
sebagai ormas Islam dan masyarakat Jakarta yang mayoritas Islam, Munahar
menambahkan,
Sebenarnya ini adalah keputusan kita bersama PWNU dalam waktu singkat kita
rapat yang dipimpin oleh Rais Syuriyah, yang hadir itu pasti banyak warga
nahdliyin niat kita yang pertama adalah perjuangan membela Al-Qur’an. Kedua,
kebersamaan. Ketiga kita ini tuan rumah banyak sasaudara-saudara kita datang
dari jawa timur, tengah apasalahnya sih kalau kita menyiapkan apakadarnya.33
31
Fathoni, “PBNU Minta Aksi 212 Jilid 2 Tidak Catut Nama NU”, http://www.nu.or.id/, 17
februari 2017. 32
Wawancara dengan Munahar Mutchar pada 4 April 2017. 33
Wawancara dengan Munahar Mutchar pada 4 April 2017.
74
Himbauan dari Ketua Umum Tanfidziyah PBNU untuk menjaga
kenetralan NU sebagai organisasi. Karena keikutsertaan aksi 212 dari kalangan
eksternal NU dapat dipahami bahwa nahdliyin memiliki pandangan politik untuk
ikut membenci Basuki Tjahya Purnama, padahal sikap tersebut tidak dibenarkan.
Jika hanya untuk sekedar mengingatkan untuk memilih pemimpin non muslim itu
dilarang oleh agama, tentunya sudah menjadi suatu kewajiban PWNU sebagai
organisasi agama, yang tidak boleh adalah ketika keikutsertaan di aksi 212 untuk
eksternal NU sikap PWNU Jakarta tidak netral.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan keikutsertaan PWNU Jakarta ada
faktor lain yang menyebabkan keikutsertaan PWNU Jakarta pada aksi bela Islam
bukan hanya faktor yang disebutkan oleh Munahar. Ada faktor lain dalam internal
NU yang harus diteliti lebih lanjut yaitu pertama, elite PWNU Jakarta tidak
mendengarkan himbauan dari Tanfidziyah PBNU menimbulkan pertanyaan
sebenarnya elite PWNU ikut karena ditunggangi oleh pasangan calon.
Kedua, PWNU Jakarta memilih untuk mengambil keputusan sendiri dan
tidak melaksanakan himbauan dari PBNU menandakan adanya hubungan yang
tidak harmonis antara PBNU dan PWNU Jakarta.
C.3 Dukungan mengatasnamakan Syuriyah
Karena Agus-Sylvi tidak masuk kedalam kualifikasi untuk maju pada
putaran kedua pilkada, dukungan elite berubah dan mendukung Anies-Sandi satu-
satunya Gubernur muslim di Jakarta.
Saya sebagai Rais Syuriyah PWNU mendukung Anies-Sandi dan berkewajiban
menyampaikan dan mensosialisasikan warga nahdliyin di DKI wajib memilih
gubernur muslim. Perintah itu merujuk pada hasil muktamar Nahdlatul Ulama
75
ke-30 di Lirboyo pada November 1999. Hasil muktamar kala itu memutuskan
agar warga nahdliyin berkewajiban memilih pemimpin muslim.34
Sebagai elite yang memiliki hak untuk berpolitik secara individu dibenarkan
memilih salah satu calon tertentu. Tetapi yang tidak dibenarkan adalah ketika
bentuk dukungan tersebut menggunakan jabatan tertentu pada PWNU. Seperti
menggunakan “Syuriyah”.
Cara Mahfud menggunakan “Syuriyah” menurut pandangan peneliti bentuk
ketidaknetralan PWNU secara organisasi. Kalau Mahfud menggunakan kata
Syuriyah sebagai suatu jabatan yang diamanatkan untuk menyampaikan dakwah
ke umat misalnya memilih pemimpin non muslim itu haram adalah bagian dari
memfungsikan kembali PWNU sebagai organisasi yang hanya mengurusi
persoalan keagamaan, tanpa harus membawa dukungan terhadap salah satu
pasangan calon.
34
Avid Hidayat, “Rais Syuriyah NU dukung Anies Sandi”, https://pilkada.tempo.co/, 16 April
2017.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaruh faktor perilaku politik elite PWNU ada 4 yaitu Pertama,
lingkungan sosial politik tidak langsung yaitu dipengaruhi oleh budaya
politik partisipan yang mempengaruhi cara pandang perilaku politik individu
dalam menentukan perilaku politik. Kedua, lingkungan sosial politik
langsung yaitu faktor agama menjadi penentu dan menjadi dominan dalam
menentukan perilaku politik. Ketiga, struktur keperibadian elite, peran
Syuriah dalam PWNU sangat berpengaruh mempengaruhi pengurus lainnya
dalam menentukan sikap politik.
2. Perilaku politik elite PWNU Jakarta periode 2016-2021 pada pilkada Jakarta
putaran pertama dalam memilih pasangan calon dipengaruhi oleh faktor
lingkungan tidak langsung agama adalah faktor yang dominan dalam
menentukan pilihan politik. Selain itu lingkungan sosial langsung
mempengaruhi yaitu kesamaan budaya karena pengurus PWNU Jakarta
sukunya adalah Jawa dan Betawi. Pada putaran pertama perilaku politik elite
PWNU berorientasi ke pasangan Agus-Sylvi karena dipengaruhi oleh
Syuriyah yang dekat dengan Agus. Tidak akan memilih Ahok-Djarot karena
faktor agama dan situasi politik pada saat itu yang berhubungan secara tidak
langsung dengan NU secara organisasi.
3. Karena Agus-Sylvi tidak masuk kedalam putaran kedua, perilaku politik elite
PWNU tetap dipengaruhi oleh agama sebagai faktor yang dominan. Posisi
77
Syuriyah yang dekat dengan Anies-Sandi pada putaran kedua pilkada
mengubah piihan politik elite PWNU Jakarta lebih ke Anies Sandi karena
ketidaksukaan elite NU terhadap Basuki yang disebabkan oleh situasi yaitu
tindakan yang tidak menyenangkan Basuki terhadap Rais Aam PBNU.
4. Bentuk ketidaknetralan PWNU Jakarta karena perilaku elite PWNU Jakarta
yang secara sengaja membawa NU secara organisasi kedalam wilayah politik
yaitu pertama, dukungan elite terhadap Agus-Sylvi. Kedua, keikutsertaan
PWNU Jakarta pada aksi bela Islam 212. Ketiga, dukungan
mengatasnamakan Syuriyah terhadap salah satu pasangan calon.
B. Saran
NU memberikan kebebasan berpolitik untuk pribadi. Kenyataannya pada
tataran elite kepengurusan PWNU praktek politik yang sifatnya tersirat dan
tanpa sengaja membawa PWNU dalam politik masih terlihat. Dari semua itu,
terdapat gambaran bahwa PWNU belum sepenuhnya konsisten dengan makna
kembali ke khittah 1926.
Hal tersebut karena khittah sampai hari ini sifatnya yang multitafsir. Oleh
karena itu, saran dari penulis. Tahun ke 33 muktamar di Situbondo berlalu perlu
adanya NU meninjau reaktualisasi dari pemaknaan khittah tahun 1926. Setelah
itu dapat dipertegas kembali mengenai posisi aturan khittah secara tertulis jelas
dan rinci agar NU sebagai organisasi keagamaan yang benar-benar netral dalam
berpolitik.
v
DAFTAR PUSTAKA
Alaena, Badrun. NU: Kritisme dan Pergeseran makna Aswaja, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2000.
Almond, Gabriel A dan Sidney Verba. Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Anam, Chorul. Jejak Langkah Sang Guru Bangsa Suka Duka Mengikuti Gusdur
Sejak 1978, Jakarta: Duta Aksara Mulia, 2010.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1981.
Dhofier, Bryan S. Relegion and Social Theory, New Delhi: Sage Publication,
1991.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3S, 1986.
Gafar, Afan. Politik Indonesia Transisi Menuju Dernokrasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Hersey, Paul, dan Kennerg H. Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi
Pendayagunaan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Erlangga: 1982.
Ida, Laode. Anatomi Konflik: NU, Elite Islam dan Negara, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1996.
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif, Jakarta: Erlangga, 2009.
Kantaprawira, Rusadi. Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar,
Bandung: Sinar Baru, 1983.
Karim, Aim Abdul. Sistem Politik Indonesia Modul UT PKN 14422, Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka, 2015.
Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elit, Jakarta: Rajawali, 1995.
Marjani, Gustiana Isya. Wajah Toleransi NU, Jakarta: RMBOOKS, 2012.
Mas’oed, Mohtar dan Colin Mac Andrews. Perbandingan Sistem Politik,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.
Muhaimin, Yahya.“Persoalan Budaya Politik Indonesia”, Jakarta: dalam Alfian
dan Nazarudin Sjamsuddin, Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1991.
vi
Mulkhan, Abdul Munir. Perubahan Pola Perilaku dan Polarisasi Umat Islam
1965-1987, Jakarta: Rajawali Press, 1989.
Mulyana, Deddy. Metodelogi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001.
Sastroatmodjo, Sudijono. Perilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press,
1995.
Sitompul, Einer Martahan. NU dan Pancasila, Yogyakarta: LKiS, 2010.
Sumbangan Program Sarjana Ekstensi Fisip UI, Implemenatasi Khittah Nadhliyin:
Menuju Indonesia Mutamaddin, Jakarta: Panitia Muktamar NU ke 30,1999.
Suprayogo, Imam. Kiai dan Politik: Membaca Citra Politik Kiai, Malang: UIN
Malang Press, 2009.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2010.
Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, Yogyakarta: UII Press,2002.
Thoha, Miftah. Kepemimpinan dan Manajemen, Jakarta: Rajawali, 1983.
Tutik, Titik Triwulan dan Joenadi Effendi. Membaca Peta Politik Nahdlatul
Ulama: Skesta Politik Kiai & Muda NU, Jakarta Publisher, 2008.
Varma, SP. Teori Politik Modern, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Yusuf, Nasir. Menggugat Khittah NU, Bandung: Humaniora Press, 1994.
Zada, Khamami dan Ahmad Fawaid Sjadzili, ed. Nahdlatul Ulama: Dinamika
Ideologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Buku Kompas, 2010.
Karya Ilmiah
Fatmawati, “Perilaku Politik Elite Muhammadiyah Pasca Orde Baru di Makassar
(1999-2004)”, Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program
Pascasarjana Sosiologi Universitas Gajah Mada, 2014.
Muhammad Anis Sumaji, “Sikap Politik Elit Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama Ulama di Surakarta: Sebuah Studi Komparatif", Tesis S2 Program
Studi Pemikiran Islam, Program Magister Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2016.
vii
Wibowo, Sugeng.“Penguatan Peran Civil Society dalam Politik Lokal: Telaah
Perilaku Politik Warga Muhammadiyah dalam Pemilihan Kepala Daerah di
Kabupaten Ponorogo”, Jurnal Fenomena, Vol. 5, No. 2, Juli 2008.
Muaddab, Hafis. “Nahdlatul Ulama Sebagai Opinion Leader Dalam Politik
Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kajian Teoritik”, Jurnal Politika, Vol.1,
Nomor.1 September 2015.
Solikin, Ahmad. “Deviasi Sikap Politik Elektoral Muhammadiyah Antara Pusat
dan Daerah : Studi Kasus Sikap Politik Elite Muhammadiyah pada Pilihan
Presiden 2014 dan Pilkada 2010 di Sleman dan Maros ”, Tesis S2 Program
Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Hidayati, Anisa, “Nahdlatul Ulama (NU) di Era Reformasi: Studi tentang
Muslimat NU Periode 2011-2014 dan Khittah NU 1926”, Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015.
Undang-undang
UU Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013, “Organisasi Kemasyarakatan”.
UU 32 Tahun 2004, “Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta: Ramdina Prakasa,
2004”.
UU Komisi Pemilihan Umum, “Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6
Tahun 2016”.
Arsip
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Transkrip Pernyataan Sikap PWNU Jakarta Mengenai Istighosah Kebangsaan.
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, Jumlah
Agama Tahun 2015
Internet
Aji, Wahyu. “PPP Djan Faridz Akan Boyong Ahok Hadiri Istigosah di Lima
Wilayah Jakarta”, http://www.tribunnews.com/, 20 Februari 2017.
Dariyanto, Erwin. “Respons Sikap Ahok ke Ma'ruf Amin”, GP Ansor: Siaga Satu
Komando”, https://news.detik.com/, 1 Februari 2017.
viii
Erdianto, Kristian. “Hanya Isu Suku, Agama, dan Ras yang Dapat Menjegal
Ahok-Djarot Pada Putaran Kedua”, http://megapolitan.kompas.com/, 18
Februari 2017.
Fathoni, “PBNU Minta Aksi 212 Jilid 2 Tidak Catut Nama NU”,
http://www.nu.or.id/, 17 februari 2017.
Frachman, “Ahok Lecehkan KH Ma'ruf Amin, Inilah Sikap PWNU DKI Jakarta”
http://www.beritash.com/, 5 Februari 2017.
Herzaky Mahendra Putra. ”Peta Baru Koalisi Parpol, Penentu Hasil Pilkada
Jakarta 2017”, http://megapolitan.kompas.com/, 18 April 2017.
Hidayat, Avid. “Rais Syuriyah NU dukung Anies Sandi”,
https://pilkada.tempo.co/, 16 April 2017.
Huda, Larissa. “Kasus Penistaan Agama, Ahok: Makin Cepat Sidang Makin
Baik”, https://nasional.tempo.co/, 25 November 2016.
Jpnn.com , “Sikap Lembaga Dakwah PBNU: Ahok Sudah Menyerang Pribadi,
http://m. jpnn.com, 1 Februari 2017.
Komaruddin Bagja Arjawinangun, “Ini Hasil Rapat Pleno KPU Hasil Pilkada DKI
Putaran Pertama”, https://metro.sindonews.com/, 4 Maret 2017.
KPU Provinsi DKI Jakarta. “Hasil Hitung TPS (Form C1) Provinsi Dki Jakarta”,
https://pilkada2017.kpu.go.id/, 15 Februari 2017.
KPUD Provinsi DKI Jakarta. “Hasil Hitung TPS (Form C1) Provinsi Dki
Jakarta”, https://pilkada2017.kpu.go.id/, 19 April 2017.
Kurnia, Dadang. “Perilaku Ahok Bisa Picu Kemarahan Nasional Warga NU”,
http://nasional.republika.co.id, 1 Februar 2017.
Lestari, Danu.“Pilkada Jakarta diprediksi tiga calon”,
http://nasional.kompas.com/, 15 September 2016.
Lestari, Sri. “Isu SARA Meningkat di Pilkada DKI Jakarta”,
http://www.bbc.com/indonesia/, 24 Maret 2017.
Liputan6.com,” AHY dapat Dukungan Moril dari PWNU Jakarta”,
http://pilkada.liputan6.com/, 22 Januari 2017.
NUTV, Official. Kireteria Pemimpin Menurut Syuriyah PWNU DKI Jakarta,
hhtps://youtube.com/, 21 November 2016.
ix
Pizaro, “ Satu Tujuan, di Aksi 212 PWNU DKI Kerahkan Seluruh Pengurus &
Kader Tuntut Penjarakan Ahok”, https://www.salam-online.com/,03
Desember 2016.
Raharjo, Budi. “Menghitung Jumlah Peserta Aksi 212”,
http://www.republika.co.id/, 05 Desember 2016.
Safitri, Inge Klara dan Friski Riana.” Soal Dugaan Saksi Palsu, Ahok Diminta
Tak Tuntut Ma'ruf Amin”, https://nasional.tempo.co/ , 01 Februari 20017.
Wawancara:
Drs. KH.Munahar Mutchar sebagai Wakil Tanfidziyah PWNU Jakarta pada 4
April 2017 di Kantor MUI Jakarta Barat.
KH Manan Abdul Ghani sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU pada 11 April 2017
di Kantor PBNU Jakarta.
KH.OS Abdurrahman Mahmud, MA sebagai Wakil Rais Syuriah PWNU Jakarta
pada 9 Mei 2017 di Kantor Ranting NU Kedaung Kali Angke.
Struktur Organisasi PWNU Jakarta
Mustasyar : KH. Maulana Kamal Yusuf
Habib Zein bin Umar bin Smith
KH. Syarifuddin Abd. Ghoni
KH. Hambali Ilyam
Drs.KH. Ahmad Shodri, H.M
Dr. Habib Ali Hasan Bahar
KH. Zufa Mustofa, M.Y
Ir.H. Tubagus Robby Budiansyah
KH. Anshori Ya’qub
KH. M. Mu’min
KH. Ahmad Ma’ruf Asirun
Drs.KH. Ahmad Sualdy, MBA
KH. Abdul Gofur Ali
KH. Abdul Rosyad
KH. Rohidi Usman
KH. Abu Na’im Khofifi
KH. Ilyas Marwal
Dr.KH. Makhtub Effendi
Drs.KH. Khudri Hasbullah, MM
KH. Ahmad Syakrim
Drs.H. Yusuf Mujenih
Dr.MGS. KH. Idrus Ali
Drs.H. Tabroni, MA
Drs.H. Ahmad Fauzi Marzuqi, M.S
Rois Syuriyah : KH Mahfudz Asirun
Wakil Rois : KH. Ibnu Abidin
KH. Yusuf Aman, MA
KH. Ibrahim Karim
Drs. KH.OS. Abdurrahman, MA
Drs.KH. Zuhri Ya’qub
KH. Syahroni Hadi
KH. Zarkasih Saiman
KH. Adnan Idris
Drs. KH. Shodikin Maksudi
KH. Nawawi Hakam
KH. Bahrudin Ali
Katib : KH. Ahmad Zahari, S.Pd, MA
Wakil Katib : KH. Jamaludin F. Hasyim, SH.I
KH. Auza’I Anwari, MA
KH. Balya Isa
KH. Lukman Hakim Hamid
Lutfi Zawawi
Habib Ali Bin Abdurrahman Al Habsyi
H.M. Taufik, Lc
Drs.H.M Sholeh Asri, M.A
Drs.KH. Ahmad Rofi’I, M.Ag
KH. Mudahir, R.D
Drs.H. Hasanudin, M.M
A’wan : H. Hasbiallah Ilyas
Habib Sholeh Bin Baqir Al Attos
KH. Ahmad Hariri
KH. Marullah Matali
KH. Zaini Mukri
KH. Hafidz Hasyim
KH. Oman Sya’roni
KH. Wahid Nuruddin
KH. Machdum
KH. Ahmad Rohimin
H. Ahmad Ruslan
H. Sudirman
H. Mawardi
KH. Nursasi
H. Abdul Mu’in, M.Pd
Abdul Azis HAsbi
H. Amin Haji
Tanfidziyah : Dr.H. Saefullah, M.Pd
Wakil Ketua : Dr. KH. Samsul Ma’arif, MA
Dr. KH. Luthfi Fathullah, MA
Drs. KH Munahar Mutchar
Dr. H. Mardhani Zuhri, S.pd.I, MA
Dr. H. Zuri Ardiantoro
Drs. H. Ahmad Yais, M.Si
KH. Ahmad Mahmud Iskandar, SQ
Dr.KH. Abdul Azis Khofifi, S.Si, M.Si
Dr.H. Amsani Idris, M.Pd
Sekretaris : Drs.H. Mualif, ZA
Wakil Sekretaris : H. Haikal Shodri
H. Beky Mardani
Drs.M. Mastur Anwar
Agus Salim, S.Ag
Husny Mubarok Amir
Dr.H. Mulawarman Hanato
Hazami Romli, S.Ag
Abdurrahman Hasyib
H. Djunaidi Sahal, S.IP
Faisal Romdonih
Bendahara : Drs.H. Ahmad Firdaus, M.Si
Wakil Bendahara : H. Sutrisno Lukito Disastro
Billy Haryanto
Yusuf Hamka
H. Jubaedi Adih
Butir-Butir Pertanyaan Wawancara
Narasumber : KH. Manan Abdul Ghani
Jabatan : Ketua Tanfidziyah PBNU
Bagaimana pendapat Bapak sebagai Tanfidziyah PBNU dalam menanggapi
pilkada Jakarta tahun 2017, Untuk menganalisa mengenai perilaku tentunya
penting untuk melihat budayanya terlebih dahulu. Kalau dilihat dari budaya
politik, pengurus PBNU termasuk budaya politik yang seperti apa?
Konteks PBNU ini sebenarnya adalah Indonesia. Pengurus pusat adalah
“bapaknya” dari NU wilayah dan cabang. PBNU bukan organisasi mewakili
daerah. Tetapi karena PBNU lokasinya di Ibukota Jakarta dengan sendirinya hadir
mengawal kesuksesan pada pilkada Jakarta. Ranahnya NU bukan politik, tetapi
karena NU budaya pengurusnya atau kiai-kiainya itu adalah budaya partisipan
seperti pada pilkada Jakarta ini NU melakukan tekanan terhadap pemerintah
menuntut kasus penistaan agama, merupakan salah satu bukti bahwa budaya
politik yang dimiliki oleh elitenya adalah budaya partisipan.
Menurut Bapak kiai, pengurus NU memiliki budaya politik partisipan.
Bentuk-bentuk budaya partisipan itu seperti apa?
Bentuknya diskusi-diskusi antara pengurus, aktif di berbagai media massa seperti
elektronik hanya untuk menentukan sikap terhadap isu-isu tertentu.
Apakah NU termasuk organisasi yang netral pada pilkada Jakarta tahun
2017?
NU sampai kapanpun akan menjadi sebuah organisasi yang netral sesuai dengan
yang diamanahkan oleh khittah tahun 1926. NU sudah bukan menjadi organisasi
politik jamiyah dinayah siyasah tetapi menjadi jamiyah dinayah ibtidaiyah.
Bagaimana membedakan antara keputusan individu dengan keputusan
organisasi?
Untuk membedakan perilaku murni individu dengan dirinya misalnya sebagai
pengurus sangat sulit, karena banyak pengurus yang membawa NU pada politik
secara tersirah.
Untuk melihat perilaku organisasi tentunya saya harus melihat terlebih
dahulu perilaku individu dalam mengambil keputusan politik. Karena disatu
sisi NU sebagai organisasi memberikan hak individu baik itu sebagai
pengurus atau nahdliyin dalam menentukan sikap politik, tetapi kesulitan
dari luar ketika warga nahdlyin meminta fatwa politik. Bagaimana Bapak
menjaga kenetralan NU sebagai organisasi di pilkada Jakarta tahun 2017?
PBNU itu netral pada pilkada Jakarta khususnya seperti sekarang atau pada
Pilpres. Bahkan saya sering menemui warga nahdlyin datang meminta
rekomendasi terkait dengan pilihan politiknya, sebagai Tanfidziyah saya bilang ke
mereka saya netral tetapi sebagai Manan Abdul Ghani saya memiliki pilihan
politik tersendiri. Kalau saya sebutkan pilihan saya memposisikan sebagai
Tanfidziyah saya bisa membawa PBNU organisasi yang tidak netral, tetapi saya
selalu menjaga kenetralan PBNU dengan tidak membawa PBNU masuk dalam
politik praktis.
Karena pilkada Jakarta ini konteksnya adalah wilayah. Bagaimana menurut
pak kiai agar PBNU sebagai organisasi pusat menjaga netralitas NU wilayah
di pilkada Jakarta?
Untuk menjaga kenetralan NU sebagai organisasi pada pilkada Jakarta tentunya
dibutuhkan kerjasama NU wilayah, cabang dan ranting untuk tetap menjaga
netralitas NU sebagai organisasi keagamaan, karena dukung-mendukung atas
nama organisasi tidak dibenarkan.
Untuk melihat mengenai khittah 1926 tentunya harus dilihat dari perilaku
pengurus terlebih dahulu dalam menjaga netralitas NU sebagai organisasi.
Menurut pandangan pak kiai apakah khittah 1926 relevan di pilkada Jakarta
tahun 2017?
Khittah itu relevan menjadi pedoman karena khittah hasil mukatamar di
Situbondo sudah dibuat menjadi buku pedoman.
Menurut Bapak kiai, bagaimana elite/pengurus NU menerapkan nilai-nilai
khittah 1926 pada pilkada Jakarta ?
PBNU kembali mengaktualisasi nilai-nilai khittah pada elite yang memimpin
tingkat wilayah dan cabang, agar nilai-nilai khittah tetap relevan mengikuti
situasi politik yang ada. Pada konteks pilkada Jakarta PBNU sudah
mensosialisasikan khittah pada NU wilayah.
Menurut pandangan bapak kiai, apakah khittah itu sudah jelas mengatur
mengenai NU secara organisasi memiliki batasan agar tidak memasuki
ranah politik ?
NU itu sudah jelas mengatur batasan politik, untuk menjaga agar eksistensi
khittah dapat terjaga dengan baik. Tentunya kita butuh kerjasama dari pengurus
wilayah, cabang, ranting untuk mengimplementasikannya, agar khittah tetap
relevan. Tetapi kalau tidak ada kerjasama khittah multitafsir penjelasannya.
Menurut bapak kiai, agar khittah tersebut tidak multitafsir penjelasannya.
Hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh PBNU untuk tetap menjaga
nilai-nilai khittah 1926 ?
Untuk tidak multitafsir diperlukan, pertama satu tafsiran mengenai khittah 1926
harus seragam terlebih dahulu maknanya sesuai dengan pedoman khittah 1926
secara tertulis hasil muktamar, karena kalau dilihat sejarahnya saja. Khittah itu
multitafsir maknanya. Kedua, komunikasi antara tingkat serta yang ketiga,
sosialisasi antara pengurus. PBNU sudah berusaha hadir untuk memenuhi ketiga
hal tersebut.
Cara PBNU menjaga eksistensi khittah 1926 itu seperti apa?
Khittah sampai hari ini dipertahankan sebagai organisasi NU netral baik dalam
politik. Hal tersebut dipertegas dengan hasil muktamar ke-33 di Jombang 2015,
harus menjaga khittah dan mengkokohkan Islam Nusantara.
Butir-Butir Pertanyaan Wawancara
Narasumber : KH Munahar Mutchar
Jabatan : Wakil Tanfidziyah PWNU Jakarta 2016-2021
Dalam PWNU bapak kiai menjabat sebagai apa?
Dalam PWNU saya wakil Tanfidziyah. Saya juga menjabat sebagai Ketua MUI
Jakarta-Barat.
Apakah bapak kiai aktif dalam berbagai kegiatan di PWNU Jakarta ?
Secara pribadi, saya sebagai wakil Tanfidziyah aktif ikut serta dalam
menyelenggarakan berbagai acara seperti pengajian di kantor PWNU Jakarta
hingga rapat-rapat internal organisasi, hampir tidak pernah absen untuk itu.
Apakah selama bapak memimpin, dapat mengenal satu sama lain. Termasuk
bisa menjelaskan ke saya mengenai lingkungan pengurus PWNU Jakarta,
misalnya pengurus PWNU Jakarta dalam menentukan sikap politik lebih ke
arah mana?
Ya, saya mengenal pengurus tentunya sebelum saya menjadi wakil Tanfidziyah
PWNU Jakarta. Untuk sikap politik saya menjelaskan terlebih dahulu mengenai
lingkungan dikalangan pengurus saja ya, karena kalau untuk urusan politik itu
apalagi pilihan secara pribadi sifatnya itu adalah rahasia. Tapi kalau dilihat dari
lingkungan misalnya di lingkungan PWNU sendiri, itu adalah hal yang dapat
mempengaruhi individu sebagai pengurus dalam menentukan sikap politik.
Untuk menganalisa mengenai perilaku politik, tentunya ada budaya yang
mempengaruhi sesorang dalam mengambil sebuah keputusan politik,
menurut Bapak kiai, di lingkungan PWNU Jakarta budaya politik seperti
apa yang sudah terbangun pada konteks pilkada Jakarta ?
Budaya yang sudah terbangun itu adalah budaya partisipan dikalangan pengurus.
PWNU aktif berdiskusi mengenai perkembangan politik. Misalnya, pada pilkada
Jakarta ini pengurus PWNU selalu mengikuti diskusi-diskusi politik, mengkritisi
suatu kebijakan. Misalnya kasus Ahok yang belum diproses hukum kita kritisi
melalui media NU, tulisan NU dan lain-lain.
Menurut pandangan politik bapak secara pribadi, apakah keputusan warga
nahdliyin tentang politik berdasarkan apa yang diketahui tentang pasangan
calon, dan apakah itu merupakan bagian dari indikator pengaruh perilaku
politik di kalangan pengurus ?
Tentunya iya, pertama kalau dilihat kan budaya politik lingkungan PWNU adalah
partisipan, tentunya secara tidak langsung pengurus maupun pandangan politik
saya secara pribadi selalu melihat dulu calonnya. Saya harus mengatahui terlebih
dahulu visi-misi atau program calon. Baru saya memilihnya tetapi tetap saja yang
dipertimbangkan adalah agama.
Kenapa pengurus PWNU melihat agama menjadi pertimbangan utama
dalam memilih pilihan politik ?
NU adalah organisasi Islam maka diperintahkan untuk seluruh nahdliyin maupun
pengurus untuk memilih sesuai dengan kehendaknya. Tetapi karena NU didirikan
oleh para ulama, maka secara otomatis berpeggang teguh pada Al-Qur’an. Karena
berpeggang teguh kepada Al-Qur’an maka kita menyarankan kepada seluruh
warga nahdliyin untuk memilih pemimpin muslim, jangan sampai melanggar Al-
Qur’an.
Selain dari agama, apakah budaya dari lingkungan pengurus PWNU juga
dapat mempengaruhi ?
PWNU Jakarta berasal dari Jawa dan mayoritas adalah Betawi. Untuk dapat
memilih pasangan calon tetap agama adalah hal yang harus diutamakan. Tetapi
yang menjadi faktor untuk memilih pasangan calon berdasarkan identitas
kesamaan suku. Nah, kalau di PWNU kebetulan kebanyakan suku Jawa dan
Betawi. Saya pribadi sebagai orang NU memilih pasangan dari orang-orang
Betawi yaitu Agus-Sylvi, karena bagi saya Agus-Sylvi dari praktik sehari-hari
dekat dengan NU.
Maksud Agus-Sylvi dekat dengan praktik sehari-hari NU itu bagaimana ?
Agus itu dekat dengan PWNU khususnya karena Agus dan tim suksesnya sering
mengikuti pengajian yang dilaksanakan PWNU Jakarta.
Menurut pendapat bapak kiai sebagai wakil Tanfidziyah, apakah posisi
Syuriyah PWNU menjadi faktor yang dapat mempengaruhi pengurus dalam
menentukan sikap politik ?
Kalau dilihat dari ART NU posisi Syuriyah adalah posisi yang penting. Kemana
arah organisasi tentunya dipengaruhi oleh keputusan Syuriyah. Begitupun dengan
keputusan politik Syuriyah tidak ada pesan khusus sebenarnya kalau secara
tersirah tentu iya. Tetapi sudah menjadi budaya bagi warga NU untuk mengikuti
perintah dari kiai khususnya bagi saya.
Apakah dengan adanya calon Gubernur dari kalangan non muslim sekaligus
di duga sebagai orang yang menistakan agama Islam, menjadi salah satu hal
yang mempengaruhi perilaku politik pengurus PWNU. Dan apa tanggapan
bapak mengenai situasi seperti ini?
Sebagai umat Islam saya marah terhadap Ahok, karena buat saya Ahok itu sudah
menistakan agama. Kita tidak boleh diam saja ketika agama Islam dihina. Kalau
soal aqidah tidak boleh dilanggar.
Istighosah yang mengatasnamakan Djan Faridz mengatasnamakan PWNU
Jakarta, apakah dapat mempengaruhi perilaku politik pengurus PWNU, apa
tanggapan bapak menganai hal tersebut ?
Alasan Djan Faridz membawa nama PWNU dalam istghosah bersama dengan
Ahok itu karena mereka anggepnya PWNU ini memiliki basis massa yang
banyak, kiai-kiai yang masuk kedalam struktural juga terlibat mangkanya kita
bakalan menindak tegas, malamnya juga saya bersama Syuriyah menggelar
konfrensi pers bahwa yang dilakukan oleh Djan Faridz itu semua adalah bohong.
Situasi Jakarta, menyebabkan PWNU harus mengambil keputusan
tersendiri untuk mengikuti aksi 212 padahal sudah jelas adanya larangan
dari Tanfidziyah PBNU untuk ikut dalam aksi tersebut. Menurut pandangan
bapak seperti apa?
Saya sebagai wakil Tanfidziyah mengikuti apa yang diperintahkan oleh kiai
Mahfud. Pertama, sudah menjadi kewajiban saya menjalankan perintah dari Rais
Syuriyah. Kedua, sebagai warga Jakarta saya sebagai warga Jakarta merasa
terpanggil sebagai tuan rumah untuk menyediakan fasilitas seperti makanan dan
minuman untuk warga Jakarta. Sebenarnya ini adalah keputusan kita bersama
warga nahdlyin niat kita yang pertama adalah perjuangan membela Al-Qur’an.
.Kedua, kebersamaan. Ketiga, kita ini tuan rumah banyak saudara-saudara kita
datang dari Jawa Timur, tengah apasalahnua sih kalau kita menyiapkan
apakadarnya.
Apakah khittah NU 1926 tetap relevan pada pilkada Jakarta?
Sampai kapanpun khittah masih relevan secara organisasi harus mengikuti khittah
1926. Karena Khittah ibaratnya adalah rambu-rambu orang NU.
Bagaimana PWNU mengimplementasikan khittah 1926 di pilkada Jakarta ?
PWNU Jakarta sampai kapanpun akan mengimplementasikan khittah dengan baik
secara organisasi. Tetapi ada sebuah kondisi dimana Jakarta darurat pemimpin
muslim. Artinya masyarakat Jakarta telah mengalami krisis pengatahuan tentang
agama. Faktanya putaran pertama, Ahok menang. Kalau sudah begini PWNU
secara organisasi harus memiliki pandangan politik, mensosialisasikan kepada
masyarakat pemimpin ideal menurut Islam waaupun melanggar khittah 1926.
Butir-Butir Pertanyaan Wawancara
Narasumber : KH.OS Abdurrahman Mahmud
Jabatan : Wakil Syuriyah PWNU Jakarta
Dalam PWNU bapak kiai menjabat sebagai apa?
Sebagai wakil Syuruyah PWNU periofe 2016-2021.
Apakah bapak kiai aktif dalam berbagai kegiatan di PWNU Jakarta ?
Saya aktif pada kegiatan PWNU seperti PWNU sering mengadakan pengajian
satu bulan di minggu kedua per pekan, saya hadir di dalamnya sebagai wadah
silahturahmi antar pengurus.
Apakah selama bapak memimpin, dapat mengenal satu sama lain. Termasuk
bisa menjelaskan ke saya mengenai lingkungan pengurus PWNU Jakarta,
misalnya pengurus PWNU Jakarta dalam menentukan sikap politik lebih ke
arah mana?
Rata-rata pengurus PWNU selain menjadi pengurus juga menjadi pengajar di
pesantren dan ada yang memiliki pesantren. Saya kenal dengan kiai-kiai yang
menjadi pengurus PWNU Jakarta dari sebelum pelantikan. Jadi saya kenal ada
yang teman saya di pesantren dahulu sama-sama berjuang di NU. Dan sebagian
kita dipertemukan di PWNU sebagai sebuah struktur.
Untuk menganalisa mengenai perilaku politik, tentunya ada budaya yang
mempengaruhi sesorang dalam mengambil sebuah keputusan politik,
menurut Bapak kiai, di lingkungan PWNU Jakarta budaya politik seperti
apa yang sudah terbangun pada konteks pilkada Jakarta ?
Budaya politik pengurus PWNU adalah partisipan, ciri-cirinya ditandai pengurus
yang berada di PWNU ikut membahas dalam isu-isu strategis, dan itu ada
lembaganya tersendiri yaitu Lakpesdam NU.
Menurut pandangan politik bapak secara pribadi, apakah keputusan warga
nahdliyin tentang politik berdasarkan apa yang diketahui tentang pasangan
calon, dan apakah itu merupakan bagian dari indikator pengaruh perilaku
politik di kalangan pengurus ?
Buat saya pribadi tentunya iya, saya mengatahui terlebih dahulu mengenai
pasangan calon baru saya dapat menentukan pilihan.
Kenapa pengurus PWNU melihat agama menjadi pertimbangan utama
dalam memilih pilihan politik ?
Agama untuk saya adalah faktor nomer satu, dan yang kedua adalah akhlak dari
pemimpin yang menjadi dasar untuk memilih Gubernur, program kerjanya adalah
alasan terakhir untuk memilih.
Selain dari agama, apakah budaya dari lingkungan pengurus PWNU juga
dapat mempengaruhi ?
Sebagai orang Jawa saya akan tertarik dengan pasangan calon yang sama sukunya
dengan saya. Tetapi sekali lagi saya tekankan misalnya di Jakarta ada tiga calon,
dua calon buka berasal dari suku saya. Hanya satu yang berasal dari suku saya
yaitu Jawa tetapi dia non musim. Saya tidak akan memilih dia. Buat saya agama
adalah sesuatu yang tidak dapat dikesampingkan. Mayarakat luar NU itu sering
banget, mengartikan pilihan politik ptibadi dengan pandangan politik secara
organisasi. Contohnya kaya saya nih yang ketika dilantik terus kebetulan ada
orang yang hadir juga dan ada videonya. Menjadi viral sekarang karena saya
dianggap dukung dia. Padahal itu video udah lama banget.
Apakah dengan adanya calon Gubernur dari kalangan non muslim sekaligus
di duga sebagai orang yang menistakan agama Islam, menjadi salah satu hal
yang mempengaruhi perilaku politik pengurus PWNU. Dan apa tanggapan
Bapak mengenai situasi seperti ini?
Pada pilkada Jakarta haram hukumnya memilih pemimpin non muslim, karena
penjelasannya sudah jelas ada pada Al-Qur’an dan NU secara organisasi juga
melarang untuk memilih pemimpin non muslim hal tersebut sudah terjawab pada
muktamar di Liboryo tahun 1999.
Apakah dengan mensosialisasikan untuk memilih Gubernur non muslim
kepada nahdliyin merupakan bagian dari ketidaknetralan NU sebagai
organisasi Islam, padahal Jika menurut khittah 1926 NU adalah organisasi
yang netral ?
Untuk kalangan yang tidak suka banget dengan NU ini bisa diterjemahkan
menjadi sebuah sikap NU sebagai organiasi yang tidak netral karena menghalangi
calon lain yang tidak masuk kireteria oemimpin NU, bukan menjadi
ketidaknetralan NU sebagai organisasi dan melanggar khittah 1926 tetapi menjadi
kewajiban untuk tokoh agama seperti saya dalam mendakwahkan apa yang
dilarang oleh Al-Qur’an.
Menurut pendapat bapak kiai sebagai wakil Syuriyah, apakah posisi
Syuriyah PWNU menjadi faktor yang dapat mempengaruhi pengurus dalam
menentukan sikap politik ?
Tentu iya, sekedar informasi saja tiga hari sebelum pilkada PWNU mengadakan
sosialisasi hasil muktamar Lirboyo dengan harapan dapat mengingatkan warga
NU bahwa memilih pemimpin non muslim itu haram. Kita harus sa’mina
waa’atona dengan keputusan Syuriyah dan kiai sepuh NU. Itu adalah bentuk
nyata bahwa pengurus-pengurus NU tunduk dan masih mendengarkan
pertimbangan dari Syuriyah, termasuk dalam menentukan pilihan. Karena itu
sudah membudaya.
Sebagai wakil Syuriyah, kriteria pemimpin seperti apa untuk Jakarta ?
Kireteria pemimpin menurut saya pribadi adalah yang pertama dia layak sebagai
seorang pemimpin dengan kireteria hukum positif yang ada di negeri kita. Kedua,
tentu pemilih ini memiliki aspirasi sebagai muslim, ia akan mengikuti panduan
secara agamis pasti seorang muslim akan mewujudkan apa yang Allah
perintahkan. Jadi sebenarnya dua saja secara UU pilkada dan Al-Qur’an. Ketiga,
yang bersangkutan punya motivasi yang kuat. Maksud jadi pemimpin itu apa
minimal menjadi bekal untuk akhirat. Sekecil apapun harus berdampak pada
kemaslahatan untuk memperbaiki dari segala bidang, ketika kita mencari
pemimpin Islam.
Menurut bapak kiai, apakah khittah tetap relevan pada pilkada Jakarta?
Bukti khittah masih relevan itu dibuat dalam bentuk buku pedoman NU.
Sebenarnya untuk menjaga khittah itu relevan atau tidak ya harus dari warga NU
itu sendiri. PWNU Jakarta melihat khittah adalah sebagai pedoman.
Menurut pandangan pak kiai, pada putaran pertama orientasi politik
pengurus PWNU lebih dominan ke pasangan calon mana ?
Agus- Sylvi karena pertama dia dekat dengan NU, Syuriyah PWNU putaran
pertama juga dekat dengan Agus. Dari PBNU nya sendiri Rais Aam juga
mendukung Agus secara pribadi.
Menurut pandangan pak kiai, setelah Agus-Sylvi tidak lolos di pilkada
Jakarta, lingkungan pengurus PWNU orientasi politiknya kemana ?
Anies-Sandi karena satu-satu calon yang muslim, selain itu Syuriyah PWNU
dekat dengan Anies setelah kunjungan Anies ke pesantren Al-itqon Jakarta.
Wawancara dengan Ketua Tanfidziyah PBNU Periode 2015-2020, KH. Manan
Abdul Ghani di Kantor PBNU Jakarta, 11 April 2017.
Wawancara dengan Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jakarta Periode 2016-
2021, Drs. KH. Munahar Mutchar di Kantor MUI Jakarta Barat, 4 April 2017.
Wawancara dengan Wakil Rais Syuriyah PWNU Jakarta Periode 2016-2021
KH. OS. Abdurrahman Mahmud, MA di Kantor Ranting NU Kedaung Kali
Angke, 9 Mei 2017.
Recommended