View
245
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),
Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,
27 Agustus 2016
p-ISSN: 2540-752x
e-ISSN: 2528-5726
155
PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus
novergicus L.) JANTAN GALUR SPRAQUE DAWLEY SETELAH
PEMBERIAN FORTIFIKAN NaFeEDTA DALAM SUSU KEDELAI
(Increased Blood Iron Levels in Rat (Rattus novergicus L.) male Spraque
Dawley strain after addition Fortifikan NaFeEDTA in Soy Milk)
Nova Anita1 , Agustino Zulys
2
1 Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia.
2Departemen Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia.
Email: nova.arief@gmail.com; agustinozulys@yahoo.com* Authors for correspondence
Abstract
Bioaviabilitas iron (Fe) in the body is affected by the presence of facilitators and inhibitors
of iron absorption. Phytic acid is an inhibitor of iron absorption are widely present in soy-
based processed products such as tempe, tofu and soy milk. Phytic acid form insoluble
precipitate Fe so that Fe can not be absorbed. Fortifikan NaFeEDTA is soluble in water and
has a high Fe bioaviabilitas. Fe in EDTA can not be bound by phytic acid, thereby
increasing the amount of iron absorbed from food fortification. Research has been
conducted at the Laboratory of Animal Physiology Department of Biological Science UI
which aims to determine the effect NaFeEDTA fortification in soy milk to blood iron levels
in rat (Rattus norvegicus) male Sprague-Dawley. By using Complete Random Design
(CRD), 25 rats were divided into five groups, consist of normal control group (KK 1) which
was administered with standard feeding and drinking. Treatment control group (KK 2)
which was administered with extra soy milk non fortificant, and three treatment groups
which was administered with extra soy milk added with NaFeEDTA 1.35 mg Fe/kgbw (KP
1); 2.7 mg Fe/kgbw (KP 2); 5.4 mg Fe/kgbw (KP 3). All groups were treated for 21 days
consecutively. Blood sampling isolation at baseline (t0) and the end of the experiment
(T21). Iron plasma concentration of blood was measured by Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS). One way anova test and LSD test (P<0.05) showed
significantly differences on iron concentration in all treatment groups. The highest increase
of iron concentration was detected on KP 3 on day-21 which is 31.74% to KK 1 and
23.52% to KK 2.
Keywords: phytic acid, bioaviabilitas, blood, fortification, NaFeEDTA, soy milk, rat.
Pendahuluan
Anemia masih menjadi masalah yang serius karena berkontribusi menyebabkan
20% kematian di dunia (WHO 2015: 1). Prevalensi anemia di Asia Tenggara
berdasarkan data WHO yaitu 65,5% dari 100% anak usia 0—5 tahun; 48,2% dari 100%
wanita hamil; dan 45,7% dari 100% wanita tidak hamil (usia 15—50 tahun) (WHO
Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....
156
2008: 8). Sedangkan menurut Husaini dkk. (lihat Handayani & Haribowo 2008: 38),
perkiraan prevalensi anemia di Indonesia yaitu 30—40% dari 100% anak prasekolah,
25—35% dari 100% anak usia sekolah, 30—40% dari 100% wanita tidak hamil, 50—
70% dari 100% wanita hamil, 20—30% dari 100% laki-laki dewasa, dan 30—40% dari
100% pekerja berpenghasilan rendah.
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti, defisiensi Fe, asam folat,
dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi, sebagian besar kasus anemia,
yakni sebesar 50% disebabkan oleh defisiensi Fe (WHO 2008: 1). Ada beberapa
penyebab anemia defisiensi Fe, di antaranya adalah kehilangan darah secara kronis,
peningkatan kebutuhan Fe untuk pembentukan sel darah merah, asupan Fe yang tidak
cukup dan penyerapan yang tidak adekuat (Arisman 2009: 173). Selain karena naiknya
kebutuhan zat besi dalam tubuh, anemia defisiensi besi dapat terjadi karena kurangnya
asupan zat besi pada pangan yang dikonsumsi dan penyerapan zat besi yang tidak
adekuat (Arisman 2008: 174).
Asupan zat besi yang dikonsumsi bergantung pada sumber bahan pangan yang
dikonsumsi. Sumber bahan pangan yang mengandung zat besi dapat berasal dari bahan
pangan hewani maupun nabati. Sumber pangan nabati umumnya mengandung zat besi
non heme, sedangkan sumber pangan hewani mengandung zat besi heme. Sumber
bahan pangan hewani lebih kaya kandungan zat besinya dibandingkan sumber bahan
pangan nabati (Almatsier 2001: 255; Vijayaraghavan 2005: 280). Selain kandungan zat
besinya yang lebih tinggi, pangan hewani juga memiliki angka keterserapan zat besi
yang lebih tinggi, yaitu 20—30% (Arisman 2008: 174), dibandingkan angka
keterserapan zat besi pangan nabati yang hanya sekitar 5% (Almatsier 2001: 251). Akan
tetapi, sebagian besar penduduk negara berkembang belum mampu mengjangkau bahan
pangan tersebut dan cenderung mengkonsumsi bahan pangan nabati (Arisman 2008:
174).
Penyerapan zat besi yang tidak adekuat disebabkan oleh adanya gangguan
penyerapan zat besi. Gangguan tersebut dapat terjadi karena bahan pangan yang
dikonsumsi mengandung senyawa inhibitor penyerapan besi, seperti asam fitat pada
sereal dan kacang- kacangan (Almatsier 2001: 252; Vijayaraghavan 2005: 281; Linder
2006: 268—269), tanin pada teh dan sayuran (Vijayaraghavan 2005: 281; Linder 2006:
268—269), dan polifenol pada teh dan kopi (Vijayaraghavan 2005: 281; Arisman
Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),
Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,
27 Agustus 2016
p-ISSN: 2540-752x
e-ISSN: 2528-5726
157
2008:175). Senyawa inhibitor tersebut banyak ditemukan di bahan pangan nabati.
Adanya senyawa tersebut menyebabkan terbentuknya endapan zat besi yang tidak dapat
larut sehingga zat besi tidak dapat diserap (Linder 2006: 267). Selain berasal dari
eksternal, inhibitor absorpsi Fe juga dapat berasal dari internal tubuh, yakni suasana
basa pada usus halus bagian atas serta kondisi aklorohidia yaitu relatif tidak ada
produksi HCl dalam lambung (Linder 1992: 267).
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi
anemia defisiensi besi antara lain dengan pemberian suplementasi zat besi,edukasi gizi,
pendekatan berbasis hortikultura untuk memperbaiki bioavailabilitas zat besi pada
bahan pangan, dan fortifikasi zat besi (Vijayaraghavan 2005: 283—284). Menurut
Arisman (2009: 182), fortifikasi merupakan cara yang ampuh dalam upaya pencegahan
defisiensi zat besi, karena dapat ditargetkan untuk merangkul seluruh kelompok
masyarakat. Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih mikronutrien esensial, yaitu
vitamin dan mineral, ke dalam makanan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
gizi makanan tersebut. Fortifikasi merupakan upaya yang sengaja dilakukan dalam
rangka memperbaiki atau mencegah defisiensi dan memberikan manfaat bagi kesehatan
masyarakat dengan risiko minimal untuk kesehatan (WHO 2006: 24).
Fortifikasi membutuhkan agen pengkelat atau fortifikan sebagai pengikat zat
yang akan ditambahkan ke bahan makanan. Fortifikan yang biasa digunakan untuk
fortifikasi zat besi adalah NaFeEDTA. NaFeEDTA (sodium iron (Fe3+) ethylene
diamine tetra acetic acid) merupakan fortifikan yang dapat larut dalam air (WHO 2006:
98). NaFeEDTA dipilih sebagai fortifikan karena memiliki keunggulan, yaitu memiliki
bioaviabilitas Fe yang tinggi. Fe dalam EDTA tidak dapat diikat oleh senyawa inhibitor
yang dapat menghambat absorbsi zat besi di dalam tubuh, sehingga akan meningkatkan
jumlah zat besi yang dapat diserap dari makanan fortifikasi (WHO 2006: 101). Selain
itu, menurut Fidler dkk. (2002), NaFeEDTA tidak mengubah warna dan citarasa produk
fortifikasi (Naruki dkk. 2009: 60).
Salah satu bahan pangan yang berpotensi dijadikan sebagai makanan pembawa
dalam upaya fortifikasi zat besi di Indonesia yaitu kedelai. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik mengenai Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 1985 mencatat bahwa
penduduk Indonesia lebih banyak mengkonsumsi bahan pangan nabati dibandingkan
bahan pangan hewani. Data konsumsi kedelai masyarakat Indonesia yang dihimpun
Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....
158
oleh Bappenas pada tahun 2013 mencapai 2.946.000 ton. Kedelai digemari masyarakat
Indonesia karena merupakan bahan pangan sumber utama protein bagi masyarakat
Indonesia yang terjangkau secara ekonomi dan dapat diolah menjadi berbagai bentuk
olahan makanan seperti, tahu, tempe, susu kedelai, oncom, kecap, dan tauco (Pusdatin
2013: 8).
Selain bentuk olahan tahu dan tempe, produk olahan kedelai yang juga
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia yaitu susu kedelai. Susu kedelai merupakan
produk hasil pengolahan ekstraksi kedelai (Budimarwanti dalam Darlan 2012: 18).
Meskipun angka konsumsi dalam bentuk susu kedelai tak sebanyak konsumen tahu dan
tempe yaitu kurang dari 30% angka ketersediaan kedelai di Indonesia (Susenas 2009—
2014 dalam Pusdatin 2013: 14), namun susu kedelai memiliki potensi untuk
dikembangkan karena kandungan protein dan zat besinya tidak kalah tinggi
dibandingkan susu sapi dan harganya lebih terjangkau (Budiamarwanti dalam Darlan
2012: 18). Susu kedelai juga cocok bagi masyarakat yang memiliki permasalahan alergi
laktosa yang umum terdapat dalam susu sapi (Widowati 2007 dalam Khamidah &
Istiqomah 2012: 2). Berdasarkan hal-hal tersebut tersebut, dilakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh pemberian fortifikan NaFeEDTA dalam susu kedelai secara oral
terhadap kadar zat besi plasma darah tikus jantan.
Metode
Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur
Sprague-Dawley sebanyak 25 ekor. Hewan uji tersebut berjenis kelamin jantan dengan
berat badan sekitar 180—200 gram, serta berumur 2—3 bulan. Penelitian yang
dilakukan merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap.
Kelompok perlakuan yang diberikan terhadap hewan uji adalah sebagai berikut:
a. Kelompok Kontrol Normal (KK1), yaitu kelompok hewan uji yang
diberi pakan dan minum standar selama 21 hari.
b. Kelompok Kontrol Perlakuan (KK2), yaitu kelompok hewan uji yang
diberi pakan dan minum standar, serta susu kedelai tanpa fotifikan
selama 21 hari.
Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),
Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,
27 Agustus 2016
p-ISSN: 2540-752x
e-ISSN: 2528-5726
159
c. Kelompok Perlakuan 1 (KP1), yaitu kelompok hewan uji yang diberi
pakan dan minum standar, serta susu kedelai dengan fortifikan
NaFeEDTA dosis 1,35 mgFe/kg BB selama 21 hari.
d. Kelompok Perlakuan 2 (KP2), yaitu kelompok hewan uji yang diberi
pakan dan minum standar, serta susu kedelai dengan fortifikan
NaFeEDTA dosis 2,7 mgFe/kg BB selama 21 hari.
e. Kelompok Perlakuan 3 (KP3), yaitu kelompok hewan uji yang diberi
pakan dan minum standar, serta susu kedelai dengan fortifikan
NaFeEDTA dosis 5,4 mgFe/kg BB selama 21 hari.
Proses pembuatan susu dilakukan dengan cara menimbang kedelai seberat 13,5
gram, kemudian dicuci hingga bersih lalu direndam dengan air selama 10—12 jam.
Kedelai kemudian diblender dengan 50mL akuades lalu disaring filtratnya. Ampas
kedelai lalu diblender kembali dengan 50 mL akuades kemudian disaring kembali
filtratnya. Setelah filtrat diperoleh kemudian dipasteurisasi pada suhu 70oC selama 30
menit di atas hot plate. Susu kedelai yang telah dipasteurisasi lalu didinginkan. Susu
kedelai yang sudah dingin kemudian dimasukkan ke dalam 4 gelas ukur masing-masing
sebanyak 10 mL. Gelas ukur pertama tidak berikan tambahan fortifikan NaFeEDTA
70%, gelas ukur kedua diberikan tambahan fortifikan NaFeEDTA 70% sebanyak 14,507
mgFe/kgBB untuk dosis in vivo 1,35 mgFe/kgBB, gelas ukur ketiga diberikan tambahan
NaFeEDTA 70% sebanyak 29,014 mgFe/kgBB untuk dosis in vivo 2,7 mgFe/kgBB, dan
gelas ukur keempat diberikan tambahan NaFeEDTA 70% sebanyak 58,028 mgFe/kgBB
untuk dosis in vivo 5,4 mgFe/kgBB. Gelas ukur kedua, ketiga, dan keempat kemudian
dihomogenisasi dengan menggunakan magnetic stirrer selama 30 menit. Penentuan
dosis fortifikan ditentukan dengan rumus:
Hewan uji diberikan susu kedelai secara oral selama 21 hari, sesuai dengan dosis
pada setiap kelompok perlakuan. Sampel darah hewan uji dilakukan sebanyak 2 kali,
yaitu sebelum perlakuan (t0) dan setelah perlakuan hari ke-21 (t21). Sebelum dilakukan
pengambilan sampel darah, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam.
Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....
160
Pengambilan sampel darah dilakukan dengan metode venipuncture. Sampel darah yang
akan diukur kadar zat besinya dengan AAS dipreparasi terlebih dahulu dengan metode
destruksi basah (wet ashing). Hasil destruksi kemudian diukur absorbansinya dengan
perangkat AAS dengan panjang gelombang 248,3 nm. Absorbansi yang terukur
kemudian digunakan untuk menentukan konsentrasi zat besi dengan rumus persamaan
yang diperoleh dari kurva larutan Fe standar. Data kadar zat besi dalam plasma darah
hewan uji dianalisis secara statistik menggunakan program Statistical Product and
Service Solutions (SPSS) for Windows versi 16.
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengukuran kadar zat besi awal penelitian (t0) pada seluruh kelompok
perlakuan berada pada kisaran 0,6723 mg/ml—0,8573 mg/ml dan dapat dilihat pada
tabel 1 dan gambar 1
Tabel 1. Kadar zat besi awal penelitian (t0)
Ulangan Kadar Zat Besi Awal Penelitian (t0) (mg/ ml)
KK 1 KK 2 KP 1 KP 2 KP 3
1 0,7484 0,7513 0,8514 0,8342 0,8004
2 0,7861 0,8323 0,8326 0,7978 0,8573
3 0,8095 0,7403 0,7360 0,7247 0,8017
4 0,8345 0,7256 0,7360 0,8329 0,8352
5 0,6723 0,8511 0,8037 0,8089 0,7822
Rerata 0,7702 0,7801 0,7919 0,7997 0,8153
SD 0,0632 0,0573 0,0538 0,0448 0,0303
Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),
Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,
27 Agustus 2016
p-ISSN: 2540-752x
e-ISSN: 2528-5726
161
Gambar 1. Diagram batang rerata kadar zat besi (Fe) awal penelitian (t0)
Hasil pengukuran kadar zat besi awal (t0) pada KK 1, KK 2, KP 1, KP 2, dan
KP 3 berada pada kisaran 0,6723 mg/ml—0,8573 mg/ml. Berdasarkan hasil uji
parametrik Anava terhadap rerata kadar zat besi menunjukkan bahwa kadar zat besi
antar perlakuan pada awal penelitian tidak berbeda nyata (α: 0,05). Pengukuran kadar
zat besi pada awal penelitian (t0) dilakukan untuk mengetahui keseragaman sampel
yang digunakan dalam penelitian. Kondisi tersebut diperlukan karena dapat
memperkecil bias atau deviasi terhadap hasil penelitian. Apabila kondisi awal sampel
semakin seragam maka validitas eksperimen semakin tinggi (Dempsey & Dempsey
2002: 91—121).
Selain itu ,kadar zat besi pada t0 juga berada dalam rentang normal. Penelitian
mengenai kadar zat besi darah tikus yang telah dilakukan oleh Abubakar dkk. (2004:
113—114) ; Nuraeni (2009: 82) dan Conceicao dkk. (2001: 1205) menunjukkan bahwa
1.0000 a a a a a
0.8000
0.6000
0.4000
0.2000
0.7702
0.7801
0.7919
0.7997
0.8153 0.000
0 KK 1 KK 2 KP 1 KP 2 KP 3
Kelompok Perlakuan
Keterangan: KK 1 = kelompok kontrol normal (pakan-minum standar)
KK 2 = kelompok kontrol perlakuan (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB)
KP 1 = kelompok perlakuan 1 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB + fortifikan
NaFeEDTA dosis 1,35 mg Fe/kgBB)
KP 2 = kelompok perlakuan 2 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB + fortifikan
NaFeEDTA dosis 2,7 mg Fe/kgBB)
KP 3 = kelompok perlakuan 3 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB +fortifikan
NaFeEDTA dosis 5,4 mg Fe/kgBB)
Kad
ar z
at b
esi (
mg/
ml)
Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....
162
kadar zat besi darah tikus pada kelompok kontrol normal berkisar antara 0,14—1,46
mg/ml.
Hasil pengukuran kadar zat besi akhir penelitian (t21) pada seluruh kelompok
perlakuan berada pada kisaran 0,6843mg/ml—1,0992 mg/ml dan dapat dilihat pada
tabel 2 dan gambar 2.
Tabel 2. Kadar zat besi akhir penelitian (t21)
Ulangan Kadar Zat Besi Akhir Penelitian (t21) (mg/ ml)
KK 1 KK 2 KP 1 KP 2 KP 3
1 0,8654 0,8254 0,8781 0,8297 0,9750
2 0,6843 0,7279 0,8459 0,9181 1,0992
3 0,6931 0,8901 0,8918 0,8947 1,0540
4 0,8401 0,8098 0,8732 0,9155 0,9571
5 0,7874 0,8748 0,8999 0,9181 1,0137
Rerata 0,7741 0,8256 0,8778 0,8952 1,0198
SD 0,0829 0,0640 0,0207 0,0379 0,0580
Hasil uji parametrik ANAVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata
antar kelompok perlakuan pada akhir penelitian (t21) (α: 0,05). Hasil uji LSD
menunjukkan bahwa perbedaan nyata tersebut terdapat antara kelompok KK 1 dengan
KP 1, KP 2, dan KP 3 serta antara KK 2 dengan KP 3 (α: 0,05). Diagram hasil
perbandingan antar kelompok perlakuan hasil uji LSD dapat dilihat pada gambar 2.
Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),
Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,
27 Agustus 2016
p-ISSN: 2540-752x
e-ISSN: 2528-5726
163
Dalam penelitian digunakan dua kelompok kontrol yaitu KK1 dan KK2. Pada
KK1, kadar zat besi pada t0 dan t21 relatif stabil(pada t0 0,7702 ± 0,0632 mg/ml dan
t21 yaitu 0,7741 ± 0,0829 mg/ml). Kelompok kontrol 2 (KK 2) merupakan kelompok
hewan uji yang diberikan pakan standar dan susu kedelai tanpa fortifikan. KK 2
berfungsi sebagai kelompok kontrol perlakuan negatif. Data kadar zat besi pada
kelompok tersebut dapat dijadikan pembanding kadar zat besi kelompok perlakuan 1
(KP 1), kelompok perlakuan 2 (KP 2), dan kelompok perlakuan 3 (KP 3) dengan tujuan
untuk mengetahui efektifitas penambahan agen pengkelat NaEDTA terhadap
peningkatan kadar zat besi.
Berdasarkan hasil pengukuran kadar zat besi antara t0 dengan t21 terdapat
kenaikan kadar zat besi sebesar 5,84%, sedangkan apabila kadar zat besi hewan uji KK
2 pada t21 dibandingkan dengan hewan uji KK 1 pada t21 diperoleh kenaikan sebesar
1.2000
a ab b b c
1.0000
0.8000
0.6000
0.4000
0.2000
0.7741 0.8256 0.8778 0.8952 1.0198 0.0000
KK 1 KK 2 KPI KPII KPIII
Kelompok Perlakuan
Keterangan:
KK 1 = kelompok kontrol normal (pakan-minum standar)
KK 2 = kelompok kontrol perlakuan (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB)
KP 1 = kelompok perlakuan 1 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB + fortifikan
NaFeEDTA dosis 1,35 mg Fe/kgBB)
KP 2 = kelompok perlakuan 2 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB + fortifikan
NaFeEDTA dosis 2,7 mg Fe/kgBB)
KP 3 = kelompok perlakuan 3 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB +fortifikan
NaFeEDTA dosis 5,4 mg Fe/kgBB)
Gambar 2. Diagram batang rerata kadar zat besi (Fe) akhir penelitian (t21)
Bar menunjukkan standar deviasi
Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar
kelompok perlakuan
Kad
ar z
at b
esi (
mg/
ml)
Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....
164
6,66%. Berdasarkan hasil uji LSD terhadap kadar zat besi KK 2 dan KK 1 pada t21
diperoleh hasil tidak adanya perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan tersebut.
Peningkatan kadar zat besi disebabkan oleh adanya sumber zat besi yang berasal dari
susu kedelai. Berdasarkan literatur, setiap 100 gram susu kedelai terkandung sekitar
0,64 mg zat besi (USDA 2016: 1). Tetapi susu kedelai juga mengandung senyawa
inhibitor yang banyak terdapat dalam produk kedelai yaitu asam fitat.Senyawa asam
fitat tersebut dapat berikatan dengan zat besi dalam susu kedelai sehingga terbentuk
kompleks Fe-Fitat yang sangat kuat dan bersifat tidak larut. Hal tersebut mengakibatkan
zat besi yang terikat fitat tersebut tidak dapat diserap (Linder 2006: 267; Gropper dkk.
2009: 474).
Berdasarkan hasil pengukuran kadar zat besi darah pada masing-masing
kelompok perlakuan yang diberikan fortifikan (KP 1, KP 2, dan KP 3) tersebut secara
keseluruhan menunjukkan adanya peningkatan terhadap KK 1 dan secara statistik
berbeda nyata. Peningkatan pada kelompok perlakuan KP 1, KP 2, dan KP 3 pada t21
juga melebihi peningkatan yang terjadi pada kelompok perlakuan KK 2. Peningkatan
tertinggi ditemukan pada kelompok perlakuan KP 3.
Kelompok perlakuan 1 (KP 1), kelompok perlakuan 2 (KP 2), dan kelompok
perlakuan 3 (KP 3), merupakan kelompok perlakuan yang diberikan pakan standar,
minum standar, dan susu kedelai yang diberikan fortifikan NaFeEDTA dengan dosis
1,35 mg Fe/ kg BB; 2,7 mg Fe/ kg BB; dan 5,4 mg Fe/ kg BB. Apabila kadar zat besi
KP 1 pada t21 dibandingkan dengan kadar zat besi KK 1 dan KK 2 pada t21 persentase
kenaikan yang terjadi masing-masing sebesar 13,40% dan 6,32%. Berdasarkan hasil uji
LSD terhadap kadar zat besi KP 1 dengan KK 1 menunjukkan hasil berbeda nyata,
sedangkan dibanding KK 2 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata.
Berdasarkan hasil pengukuran pada KP2; antara t0 dan t21 terjadi kenaikan
sebesar 11,94%, sedangkan apabila kadar zat besi KP 2 pada t21 tersebut dibandingkan
dengan kadar zat besi KK 1 dan KK 2 pada t21 persentase kenaikan yang terjadi
masing-masing sebesar 15,65% dan 8,43%. Hasil uji LSD terhadap kadar zat besi KP 2
dengan KK 1 menunjukkan hasil berbeda nyata, sedangkan apabila dibanding KK 2
menunjukkan hasil tidak berbeda nyata .
Hasil pengukuran kadar zat besi darah hewan uji KP 3 pada t0, dan t21
mengalami peningkatan sebesar 25,08%. Apabila kadar zat besi KP 3 pada t21 tersebut
Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),
Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,
27 Agustus 2016
p-ISSN: 2540-752x
e-ISSN: 2528-5726
165
dibandingkan dengan kadar zat besi KK 1 dan KK 2 pada t21 diperoleh kenaikan
masing-masing sebesar 31,74% dan 23,52%. Hasil uji LSD terhadap kadar zat besi KP3
dengan KK 1 dan KK 2 keduanya menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
Peningkatan kadar zat besi yang terjadi pada kelompok perlakuan (KP 1, KP 2,
dan KP 3) yang diberikan fortifikan NaFeEDTA diduga disebabkan karena EDTA dapat
mengikat ion besi feri atau fero dengan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
ligan lain seperti asam fitat, asam sitrat, dan senyawa fenol yang merupakan inhibitor
penyerapan zat besi (Chi Kong Yeung dkk. 2004: 2770). EDTA berikatan dengan Fe3+
atau Fe2+
pada empat gugus karboksil dan dua gugus amina tersier akan membentuk
kelat. Kelat tersebut akan mencegah Fe bereaksi dengan kompetitor anion lain, sehingga
kelarutannya akan meningkat (Lynch dkk. 1993: 15). Ikatan yang terbentuk antara
EDTA dengan logam Fe dapat dilihat pada Gambar 3. NaFeEDTA jika digunakan
dalam fortifikasi bahan pangan yang mengadung asam fitat yang tinggi, memiliki
tingkat absorpsi zat besi 2—3 kali lebih besar dibandingkan dengan fortifikan lain
(WHO 2006: 102).
Gambar 3. Ikatan Fe dengan NaEDTA
[Sumber: TCUHK 2004: 38].
Zat besi yang berasal dari susu kedelai maupun NaFeEDTA merupakan zat besi
non-hem yang berada dalam bentuk ion feri (Fe3+), sedangkan zat besi yang dapat
diserap oleh enterosit berada dalam bentuk ion fero (Fe2+). Oleh karena itu agar dapat
diserap oleh enterosit zat besi Fe3+ harus dikonversi menjadi bentuk Fe2+ dengan
bantuan enzim ferireduktase (Vijayaraghavan 2005: 280). Zat besi dalam bentuk Fe3+
merupakan zat besi yang stabil, tetapi memiliki afinitas yang tinggi terhadap senyawa
lainnya. Oleh karena itu, zat besi dalam bentuk Fe3+ mudah berikatan dengan senyawa
inhibitor maupun senyawa fasilitator. Apabila zat besi tersebut berikatan dengan
Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....
166
senyawa inhibitor seperti asam fitat pada susu kedelai maka akan membentuk kompleks
insoluble Fe (III)-fitat yang akan menyebabkan zat besi dalam bentuk Fe3+ tersebut
tidak dapat diserap oleh tubuh (Engle-Stone dkk. 2005: 10280). Akan tetapi, apabila zat
besi dalam bentuk Fe3+ berikatan dengan senyawa fasilitator seperti EDTA maka akan
terbentuk kompleks yang mudah larut sehingga memudahkan reduksi zat besi Fe3+
menjadi Fe2+ (Wreesmann 2014: 483). Akibatnya, zat besi tersebut dapat diserap oleh
usus.
Di lambung, NaFeEDTA yang terbawa oleh makanan pembawa akan dipecah.
Natrium (Na) akan terpisah dari Fe(III)-EDTA, sedangkan kompleks Fe(III)-EDTA
akan tetap dipertahankan. Suasana asam di dalam lambung menyebabkan ikatan Fe(III)-
EDTA semakin kuat dan stabil. Hal tersebut mengakibatkan zat besi tidak akan
berikatan dengan senyawa inhibitor. Ketika memasuki duodenum, terjadi kenaikan pH
yang menyebabkan turunnya kestabilan ikatan Fe(III)-EDTA sehingga Fe3+ dari
kompleks Fe(III)-EDTA mudah lepas. Fe3+ yang dilepaskan dari kompleks Fe(III)-
EDTA tersebut kemudian direduksi oleh enzim ferireduktase menjadi Fe2+ dan dapat
diserap oleh usus (Hurrell 1997: 215; Bothwell & MacPhail 2004: 423).
Zat besi hem (Fe2+) dari bahan pangan hewani diserap secara langsung ke
dalam enterosit oleh heme carrier protein (HCP 1) dalam bentuk kompleks porfirin
utuh. Kompleks tersebut di dalam enterosit akan dipecah oleh enzim hemoksigenase
(HO-1) sehingga zat besi akan terlepas dari cincin profirin (Almatsier 2001: 251).
Sebagian zat besi tersebut akan disimpan dalam bentuk feritin di dalam enterosit,
sedangkan lainnya akan diteruskan menuju basolateral usus dengan bantuan feroportin
(FPN). Zat besi yang diteruskan tersebut akan dikonversi menjadi Fe3+ kemudian akan
diedarkan ke seluruh jaringan (Zimmermann & Hurrell 2007: 511—512).
Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),
Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,
27 Agustus 2016
p-ISSN: 2540-752x
e-ISSN: 2528-5726
167
Peningkatan kadar zat besi paling tinggi terjadi pada KP3 jika dibandingkan
dengan dengan KP 1 dan KP 2. Selain dosis NaFeEDTA yang lebih tinggi dibandingkan
kelompok lain, kandungan EDTA dalam dosis yang digunakan pada KP 3 tidak hanya
mampu mengkelat zat besi dalam NaFeEDTA, tetapi juga mampu mengkelat sebagian
besar zat besi yang dikandung susu kedelai. Kemampuan EDTA untuk berikatan dengan
zat besi yang berasal dari susu kedelai di lumen gastrointestinal lalu membawanya
masuk ke dalam enterosit tersebut sering diistilahkan sebagai shuttle effect of EDTA.
Mekanisme tersebut dapat meningkatkan efektivitas penyerapan zat besi secara
maksimal (Wreesmann 2014: 486). Akibatnya, penyerapan zat besi yang terjadi pada
KP 3 lebih maksimal dibandingkan pada kelompok perlakuan lainnya.
Kesimpulan
Pemberian NaFeEDTA dalam susu kedelai dengan dosis 1,35 mg Fe/kgBB; 2,7
mg Fe/kgBB; dan 5,4 mg Fe/kgBB dapat memengaruhi kadar zat besi plasma darah
tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley. Dosis 1,35 mg Fe/kgBB dan 2,7
mg Fe/kg BB mampu meningkatkan kadar zat besi plasma darah tikus, namun secara
statististik peningkatan tidak signifikan, sedangkan dosis 5,4 mg Fe/kg BB mampu
meningkatkan kadar zat besi plasma darah tikus secara signifikan. Peningkatan tertinggi
Keterangan :
HCP = Heme Carrier Protein DCYTB :Duodenal Cytochrome B
DMT1= Divalent Metal 1 Gambar 4. Mekanisme Penyerapan Zat Besi
[Sumber: Zimmermann & Hurrell 2007: 512, diterjemahkan sesuai aslinya]
Keterangan :
HCP = Heme Carrier Protein DCYTB =
Duodenal Cytochrome B DMT1=
Divalent Metal 1
Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....
168
kadar zat besi darah terdapat pada dosis 5,4 mg Fe/ kg BB (KP 3) pada t21 yaitu sebesar
31,74% terhadap KK 1; dan 23,52% terhadap KK 2 pada t21.
Daftar Acuan
Abubakar, D.R. Mustika, & Sugiarto. 2004. Zat besi dari sumsum tulang sapi sebagai
suplemen untuk pencegahan anemia gizi. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner: 107—115.
Almatsier, S. 2001. Prinsip dalam ilmu gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: xi+ 333
hlm.
Arisman, M.B. 2008. Buku ajar ilmu gizi: gizi dalam daur kehidupan Ed. 2.Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta: x + 275.
Arisman. 2009. Buku ajar ilmu gizi, gizi dalam daur kehidupan edisi ke-2. EGC,
Jakarta: xvii+ 275 hlm.
Bothwell, T.H. & A.P. MacPhail. 2004. The potential role of NaFeEDTA as an iron
fortification. International Journal for Vitamin and Nutrition Research 74(6):
421—434.
Chi Kong Yeung, Le Zhu, R.P. Glahn & D.D. Miller. 2004. Iron absorption from
NaFeEDTA is downregulated in iron-loaded rats. The Journal of Nutrition 134:
2270—2274.
Conceicao de, E.C., T. Shuhama, C. Izumi & O. de Freitas. 2001. Iron supplementation
prevents the development of iron deficiency in rats with omeprazole-induced
hypochlorhydria. Nutrition research 21: 1201—1208.
Darlan, A. 2012. Fortifikasi dan ketersediaan zat besi pada bahan pangan berbasis
kedelai dengan menggunakan fortifikan FeSO4.7H2O campuran FeSO4.7H2O
+ Na2H2EDTA.2H2O dan NaFeEDTA. Tesis Departemen Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia: xi + 69 hlm.
Dempsey, P.N. & A.D. Dempsey. 2002. Riset keperawatan: buku ajar dan latihan edisi
ke-4. Terj. dari Nursing research: text and workbook 4th ed, oleh Palupi. EGC,
Jakarta: xiii+ 345 hlm.
Engle-Stone, R.. A.Yeung, R. Welch & R. Glahn. 2005. Meat and ascorbic acid can
promote fe availability from fe-phytate but not fe tannic acid complexes.
Journal of Agriculture and Food Chemistry 53: 10276
Gropper, S.S., J.L. Smith & J.L. Groff. 2009. Advanced nutrition and human
metabolism. 5th ed. Wadsworth Cengage Learning¸ Canada: xviii+ 577 hlm.
Handayani, W. & A.S. Haribowo. 2008. Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem hematologi. Salemba Medika, Jakarta: x+ 158 hlm.
Hurrell, R.F. 1997. Preventing iron deficiency through food fortification. Nutrition
reviews 55(6): 210—222.
Khamidah, A. & N. Istiqomah. 2012. Pengolahan sari kedelai sebagai dukungan
akselerasi peningkatan gizi masyarakat. Seminar nasional kedaulatan pangan
dan energi Fakultas Pertanian
Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),
Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,
27 Agustus 2016
p-ISSN: 2540-752x
e-ISSN: 2528-5726
169
Linder, M.C. 1992. Biokimia nutrisi dan metabolisme dengan pemakaian secara klinis.
Terj. dari Nutritional biochemistry and metabolism, oleh Prakkasi, A. UI Press,
Jakarta: xxi+ 781 hlm.
Lynch, S.R., T.H. Bothwell, R.F. Hurrel & A.P. MacPhail. 1993. Iron EDTA for food
fortification. The Nutrition Foundation, Washington DC: ix+ 52 hlm.
Universitas Trunojoyo, Madura: 1—9.
Naruki, S., M. Astuti, Y. Marsono & S. Raharjo. 2010. Sifat prooksidatif fortifikan
NaFeEDTA, dengan kecap kedelai manis sebagai makanan pembawa, dalam
sistem biologis (tikus). Agritech 30 (4): 237—242.
Nuraeni, T. 2009. Kadar albumin, hemoglobin (hb), dan zat besi (fe) pada tikus putih
(Rattus norvegicus) setelah pemberian makanan enteral berformulasibahan
pangan lokal. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta: 96 hlm.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Buletin konsumsi pangan volume 4
no 3. Kementrian Pertanian, Jakarta: 53 hlm.
TCUHK (= The Chinnese University of Hong Kong). 2004. Experiment 6: Synthesis of
an iron (III)-EDTA complex. 4hlm.
http://www.cuhk.edu.hk/chem/doc/s6_resourcebk/en-s_expt_06.pdf diakses
pada 22 Juni 2015 pkl. 12.10 WIB.
USDA (= United States Department of Agriculture). 2016. Basic report: 16120,
soymilk, original and vanilla, unfortified. 1 hlm.
https://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/4857?fgcd=&manu=&lfacet=&fo
rmat=&count=&max=35&offset=&sort=&qlookup=soymilk diakses pada
Kamis, 9 Juni 2016 pukul 21.00 WIB.
Vijayaraghavan, K. 2005. Anemia karena defisiensi zat besi. Dalam M.J. Gibney,B.M.
Margetts, J.M. Kearney & L. Arab (Eds.). Gizi kesehatan masyarakat (hal.
276—286). Terj. dari Public health nutrition, oleh Andry Hartono. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta: xvi + 467 hlm.
WHO (= World Health Organization). 2008. Worldwide prevalence of anaemia 1993—
2005, WHO global database on anaemia.WHO Press, Spain: vii+ 14hlm.
WHO (= World Health Organization). 2015. Micronutrient deficiencies, iron deficiency
anaemia. 1hlm. http://www.who.int/nutrition/topics/ida/en/ diakses pada 21
Januari 2015 pkl 22.05 WIB.
Wreesmann, C.T.J. 2014. Reasons for raising the maximum acceptable daily intake of
EDTA and the benefits for iron fortification of foods for children 6-24 months
of age. Maternal and Child Nutrition 10: 481—49.
Recommended