View
7
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENGARUH TEACHER BEHAVIOR, KEBUTUHAN DASAR
PSIKOLOGIS DAN JENIS KELAMIN TERHADAP
SCHOOL ENGAGEMENT PADA SANTRI
SMA X BOARDING SCHOOL
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh:
Nur Amalina
NIM: 11140700000128
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Dan janganlan kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab
kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.
(QS. Ali Imran: 139)
“Stop Dreaming and Start Doing”
Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orang tua dan keluarga
tercinta
vi
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi
B) Agustus 2018
C) Pengaruh Teacher Behavior, Kebutuhan Dasar Psikologis, dan Jenis
Kelamin terhadap School Engagement pada Santri SMA X Boarding
School.
D) Nur Amalina
E) xiv + 91 halaman + 23 lampiran
F) Penelitian ini didasarkan oleh pemahaman terkait pentingnya memiliki
keterlibatan yang positif dengan kegiatan pembelajaran atau kegiatan
sekolah. Namun kenyataannya, masih terdapat banyak siswa yang
menampilkan perilaku dimana mencerminkan bentuk dari rendahnya
keterlibatan siswa dengan kegiatannya di sekolah. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh teacher behavior (dukungan otonomi,
keterlibatan, dan struktur), kebutuhan dasar psikologis (kebutuhan untuk
mandiri, kebutuhan untuk berkompeten, dan kebutuhan untuk
berhubungan), dan jenis kelamin terhadap school engagement pada santri
SMA X Boarding School.
Responden pada penelitian ini adalah sebanyak 257 santri laki-laki dan
santri perempuan. Teknik yang digunakan adalah probability sampling
yaitu stratified random sampling. Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan alat ukur School Engagement Measurement (Blumenfeld
dan Fredricks, 2005), Teacher as Social Context (Belmont, Skinner,
Wellborn, dan Connell, 1993), dan Basic Psychological Need Satisfaction
in General (Deci dan Ryan, 2000). Pengujian Confirmatory Factor
Analysis (CFA) dilakukan untuk menguji validitas tiap-tiap alat ukur,
sedangkan uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Multiple Regression Analysis.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan sebesar
26.5% dari teacher behavior, kebutuhan dasar psikologis, dan jenis kelamin
terhadap school engagement pada santri SMA X Boarding School. Uji
hipotesis menunjukkan dari tujuh dimensi terdapat lima dimensi yang
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap school engagement yaitu
autonomy support, involvement, structure, need for autonomy, dan need for
competence. Sedangkan dimensi need for relatedness dan jenis kelamin
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap school engagement. Saran
untuk penelitian selanjutnya adalah diharapkan untuk meneliti pengaruh
dari variabel independen lain diluar penelitian ini terhadap school
engagement, melakukan pengukuran school engagement menggunakan
metode teacher report, dan melakukan adaptasi alat ukur dengan maksimal.
Temuan penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan kepada guru
dalam merancang program pembelajaran yang kreatif dan interaktif,
melakukan pelatihan dan seminar secara berkala kepada guru dan
merancang program untuk meningkatkan kesadaran siswa terkait
pentingnya school engagement.
G) Bahan bacaan: 54; Buku: 6 + jurnal: 40 + tesis: 2 + skripsi: 2 + artikel: 4
vii
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology
B) August 2018
C) Nur Amalina
D) The effect of teacher behavior, basic psychological needs, and gender towards
school engagement on students of SMA X Boarding School.
E) xiv + 91 pages + 23 appendix
F) This research is based on an understanding of the importance of a students
having a positive involvement with learing activities or school activities. But
in reality, there are still many students displaying behaviors that reflect the low
involvement of students with their activities in school. This study aims to
determine the effect of teacher behavior (autonomy support, involvement, and
structure), basic psychological needs (need for autonomy, need for
competence, and need for relatedness), and gender towards school engagement
on students of SMA X Boarding School.
Respondents in this research were 257 of male students and female students.
The technique used is probability sampling that is stratified random sampling.
In this study, researcher used measuring instruments namely School
Engagement Measurement (Blumenfeld and Fredricks, 2005), Teacher as
Social Context (Belmont, Skinner, Wellborn, and Connell, 1993), and Basic
Psychological Need Satisfaction in General (Deci and Ryan, 2000). The
validity test of the measurements using Confirmatory Factor Analysis (CFA)
technique and and test hypotheses using Multiple Regression Analysis (MRI).
The results showed that there was a significant effect of 26.5% from teacher
behavior, basic psychological needs, and gender towards school engagement
on students of SMA X Boarding School. Hypothesis test showed there are five
dimensions from seven dimensions that affect significantly on school
engagement that is autonomy support, involvement, structure, need for
autonomy, and need for competence. While two other dimensions are need for
relatedness and gender showed no significant effect on school engagement.
Suggestions for further research are expected to examine the influence of
independent variables outside this research on school engagement, do school
engagement measurements using the teacher report method, and adapt the
measuring instrument to the fullest. The findings of this study can also be used
as a reference for teachers in designing creative and interactive learning
programs, conducting training and seminars regularly to the teacher and
designing program to increase students awareness regarding the importance of
school engagement.
G) References: 54; Books: 6 + journals: 40 + theses: 2 + essay: 2 + articles: 4.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melipahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan kemudahan-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta sahabat, keluarga dan pengikutnya
hingga akhir zaman nanti.
Skripsi ini dapat terwujud bukan hanya karena hasil kerja keras penulis
sendiri, tetapi karena terdapat banyak pihak-pihak yang ikut pula terlibat dalam
penyelesaian skripsi penulis. Pada kesempatan ini, izinkan penulis untuk
mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, seluruh dosen, dan seluruh civitas akademika
Fakultas Psikologi.
2. Ibu Solicha, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan
memberikan bimbingan, waktu, dan masukan untuk skripsi ini.
3. Ibu Sitti Evangeline Imelda Suaidy, M.Psi selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukannya selama
penulis menjalani perkuliahan di fakultas psikologi ini.
4. Kepala Sekolah SMA X beserta para guru yang telah memberikan izin
kepada penulis serta memudahkan semua prosedurnya untuk melakukan
penelitian di sekolah sehingga penulis bisa mendapatkan data responden.
5. Kedua orang tua tercinta dan adik-adik penulis sebagai pemberi dukungan
utama baik moril dan materil yang senantiasa memberikan doa dan kasih
sayangnya serta menjadi penguat disetiap drama perskripsian penulis.
6. Sahabat-sahabat penulis, Tri, Adzillah, Rifda, Leli, Azizah, Diday, Amel
dan Alim yang telah mendengarkan setiap keluh kesah, menemani di setiap
ix
perjalanan perkuliahan penulis, memberikan bantuan, masukan dan
semangatnya yang begitu berarti bagi penulis.
7. Para mentor statistik, Ka Wahyu, Rizal dan Taufan yang telah sabar
membimbing penulis selama proses oleh data penelitian.
8. Seluruh teman dan rekan seperjuangan tercinta Psikologi angkatan 2014
terutama kelas E, Forkat An-Naml Psikologi, LDK Syahid 21, Komda
Psikologi 2016 yang telah menjadi bagian dari hidup peneliti.
9. Semua pihak yang telah berinteraksi kepada penulis dan memberikan
semangat serta inspirasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih dan mohon maaf atas segala
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa
masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skrispsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh pembaca.
Wassalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Jakarta, Agustus 2018
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1-15
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 11
1.2.1 Pembatasan masalah .............................................................. 11
1.2.2 Perumusan masalah ............................................................... 12
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 13
1.3.1 Tujuan penelitian ................................................................... 13
1.3.2 Manfaat penelitian ................................................................. 14
BAB 2 KAJIAN TEORI .............................................................................. 16-42
2.1 School Engagement ........................................................................ 16
2.1.1 Definisi School Engagement ................................................. 16
2.1.2 Dimensi School Engagement ................................................. 17
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi School Engagement ...... 19
2.1.4 Pengukuran School Engagement ........................................... 25
2.2 Teacher Behavior ........................................................................... 29
2.2.1 Definisi Teacher Behavior .................................................... 29
2.2.2 Dimensi Teacher Behavior .................................................... 31
2.2.3 Pengukuran Teacher Behavior .............................................. 32
2.3 Kebutuhan Dasar Psikologis........................................................... 33
2.3.1 Definisi Kebutuhan Dasar Psikologis .................................... 33
2.3.2 Dimensi Kebutuhan Dasar Psikologis ................................... 34
2.3.3 Pengukuran Kebutuhan Dasar Psikologis ............................. 36
2.4 Kerangka Berpikir .......................................................................... 36
2.5 Hipotesis Penelitian ........................................................................ 42
BAB 3 METODE PENELITIAN ............................................................... 43-60
3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ..................... 43
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ................................ 43
3.3 Instrumen Pengumpulan Data ........................................................ 45
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 45
xi
3.3.2 Instrumen Penelitian .............................................................. 46
3.4 Uji Validitas Konstruk .................................................................... 49
3.4.1 Uji Validitas Konstruk School Engagement .......................... 51
3.4.2 Uji Validitas Konstruk Teacher Behavior ............................. 52
3.4.3 Uji Validitas Konstruk Kebutuhan Dasar Psikologis ............ 55
3.5 Teknik Analisis Data ...................................................................... 58
BAB 4 HASIL PENELITIAN .................................................................... 61-71
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian .............................................. 61
4.2 Hasil Analisis Deskriptif ................................................................ 61
4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ............................................ 63
4.4 Hasil Uji Hipotesis ......................................................................... 64
4.4.1 Analisis Regresi Variabel Penelitian ..................................... 64
4.4.2 Proporsi Varians .................................................................... 70
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN.................................... 72-86
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 72
5.2 Diskusi ............................................................................................ 72
5.3 Saran ............................................................................................... 83
5.3.1 Saran teoritis .......................................................................... 83
5.3.2 Saran praktis .......................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 87
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue Print Skala School Engagement ............................................... 47
Tabel 3.2 Blue Print Skala Teacher Behavior .................................................. 48
Tabel 3.3 Blue Print Skala Kebutuhan Dasar Psikologis ................................. 49
Tabel 3.4 Muatan Faktor Item School Engagement .......................................... 52
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Autonomy Support ............................................ 53
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Involvement ...................................................... 54
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Structure ........................................................... 55
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Need for Autonomy .......................................... 56
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Need for Competence ....................................... 57
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Need for Relatedness ....................................... 58
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian ............................................................. 61
Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif ................................................................... 62
Tabel 4.3 Norma Kategorisasi Skor Variabel Penelitian .................................. 63
Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian .............................................. 63
Tabel 4.5 R Square ........................................................................................... 65
Tabel 4.6 Hasil Uji F ......................................................................................... 66
Tabel 4.7 Koefisien Regresi .............................................................................. 67
Tabel 4.8 Proporsi Varians ............................................................................... 70
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Diagram Hasil Studi Pendahuluan Kedua ............................................ 6
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir Penelitian ................................................. 41
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Alat Ukur School Engagement
Lampiran 3 Alat Ukur Teacher Behavior
Lampiran 4 Alat Ukur Kebutuhan Dasar Psikologis
Lampiran 5 Kuesioner
Lampiran 6 Hasil Uji Validitas
Lampiran 7 Hasil Analisis Data Penelitian
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kegiatan siswa di sekolah tidak selamanya berjalan mulus, seringkali terdapat
permasalahan yang dialami oleh siswa dan dikeluhkan oleh para pendidik serta
orang tua. Pada umumnya masalah tersebut yakni seperti terjadinya kebosanan,
keterasingan siswa, prestasi yang rendah hingga putus sekolah. Para peneliti,
pendidik bahkan para pembuat kebijakan sekalipun seperti pemerintah akhirnya
berusaha mencarikan solusi untuk meminimalisir permasalahan ini melalui studi
atau riset tentang keterlibatan siswa di sekolah (Fredricks & McColskey, 2012).
Para peneliti mengistilahkan keterlibatan siswa dengan berbagai macam
terminologi. Macam-macam istilah terebut yaitu student engagement, school
engagement, academic engagement, engaged time, student engaged learning,
academic responding, engagement in class, dan engagement in school work
(Fredricks, McColskey, Meli, Mordica, Montrosse, & Mooney., 2011). Perbedaan
terminologi ini dicirikan oleh jumlah dimensi yang mencakup dalam sebuah
konstruk yang berbeda-beda serta pandangan tokoh dalam mengkonseptualisasikan
masing-masing terminologi tersebut (Fredricks & McColskey, 2012).
School Engagement merupakan keterlibatan siswa di dalam aktivitas
akademik dan non-akademik (sosial dan ekstrakurikuler) yang meliputi tiga
dimensi engagement yaitu behavioral, emotional dan cognitive (Fredricks,
Blumenfeld, & Paris., 2004). Fredricks et.al (2011) menyebutkan bahwa behavioral
2
engagement mengacu pada gagasan partisipasi dan mencakup keterlibatan dalam
kegiatan akademik, sosial, atau ekstrakurikuler. Hal ini dianggap penting untuk
mencapai hasil akademik yang positif dan mencegah terjadinya putus sekolah.
Emotional engagement berfokus pada tingkat reaksi emosional positif dan negatif
terhadap situasi pembelajaran baik di kelas maupun sekolah. Emotional
engagement yang positif diduga menciptakan ikatan siswa dengan institusi dan
mempengaruhi kesediaan siswa untuk bekerja. Sedangkan cognitive engagement
didefinisikan sebagai tingkat investasi atau perencanaan siswa dalam pembelajaran.
Hal ini mencakup pemikiran dan tujuan dalam menyikapi tugas sekolah dan
bersedia memberikan usaha yang diperlukan untuk memahami gagasan kompleks
atau keterampilan yang sulit dikuasai.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Fredricks, et.al (2004) dikatakan
bahwa hasil yang ditemukan pada penelitian terdahulu menunjukkan hubungan
yang positif antara behavioral engagement dengan prestasi belajar pada siswa SD,
SMP dan SMA. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Connell, Spencer dan Aber
(1994) & Skinner, Wellborn dan Connell (1990) menunjukkan hasil bahwa terdapat
hubungan antara prestasi dan kombinasi pengukuran pada emotional engagement
dan behavioral engagement. Nystrand dan Gamoran (dalam Fredricks, et.al., 2004)
juga menemukan bahwa substantive engagement (serupa dengan cognitive
engagement) di kelas secara positif berhubungan dengan keterlibatan siswa yang
berdampak kepada skor hasil tes akademik yang dilakukan untuk mengukur
pemahaman siswa secara mendalam.
3
Dalam artikel penelitian yang dikemukakan oleh Fredricks, et.al (2004),
konsep school engagement telah banyak menarik minat para peneliti karena konsep
ini dianggap dapat menjadi cara untuk memperbaiki tingkat prestasi akademis yang
rendah, tingkat kebosanan dan ketidakpuasan siswa yang tinggi, serta tingkat putus
sekolah yang tinggi di daerah perkotaan. Perilaku siswa yang memperlihatkan
kurangnya partisipasi dalam kegiatan belajar seperti mengobrol di dalam kelas saat
guru sedang mengajar, mengerjakan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan
kegiatan belajar, tidur saat kegiatan belajar sedang berlangsung, datang ke sekolah
atau kelas dengan terlambat, dan perilaku membolos, merupakan bentuk dari
rendahnya student engagement dalam belajar. Dalam artikel yang ditulis oleh
Fredricks, et.al (2004), dikatakan bahwa siswa memandang sekolah sebagai hal
yang membosankan, dimana mereka mengupayakan usaha di dalamnya sesedikit
mungkin.
Di Indonesia sendiri, rendahnya school engagement salah satunya
digambarkan seperti perilaku membolos. Berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan oleh Sari (2014) pada tanggal 20 sampai 22 Januari 2014 di salah satu
SMA Negeri Kota Solok, terlihat adanya peserta didik yang membolos dari pagi
hari dan ada yang membolos pada jam pelajaran tertentu serta ada pula yang
berkeliaran di lingkungan sekolah saja. Selain perilaku membolos, Mustika dan
Kusdiyati (2015) melakukan wawancara pada guru di salah satu SMA swasta Kota
Bandung. Berdasarkan keterangan dari guru bahwa siswa yang memiliki prestasi
rendah menampilkan perilaku seperti sering tidak hadir di kelas serta tidak
4
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Selain itu ketika di dalam kelas siswa
pasif tidak berusaha bertanya tentang materi yang diterangkan oleh guru.
Menurut studi pendahuluan pertama yang dilakukan oleh penulis pada bulan
Desember 2017 yang dilakukan pada 43 siswa SMA, 26 diantaranya mengatakan
memiliki masalah dengan sekolahnya. Diantara semua permasalahan yang
disebutkan oleh siswa, masalah seputar belajar yang paling banyak disebutkan.
Masalah belajar yang dimaksud adalah seperti tidak memahami materi pelajaran,
terlalu banyak tugas yang diberikan dan tidak memiliki motivasi dalam belajar.
Masalah-masalah belajar yang diungkapkan oleh para siswa terutama berkaitan
dengan motivasi, dapat mengarah kepada perilaku menyimpang seperti membolos.
Sari (2014) menyebutkan bahwa jika tidak ada motivasi dalam diri peserta didik
untuk belajar maka tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar tidak akan
tercapai. Tidak ada motivasi untuk belajar maka akan ada dorongan bagi peserta
didik untuk membolos.
Temuan lain yang didapatkan oleh penulis dari studi pendahuluan pertama
yakni berkaitan dengan perilaku siswa yang ditampilkan selama di kelas.
Berdasarkan penuturan yang disampaikan para siswa diantaranya adalah tidur
karena lelah belajar, makan di kelas, mengobrol untuk menghilangkan rasa kantuk,
melakukan hal yang tidak berhubungan dengan pelajaran, bermain handphone dan
bercanda dengan teman. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa perilaku yang
menunjukkan kurangnya partisipasi siswa, pasif dengan kegiatan di sekolah,
terutama saat di dalam kelas merupakan bentuk dari rendahnya behavioral
engagement para siswa (Mustika & Kusdiyati, 2015).
5
Penelitian kali ini difokuskan untuk mengungkapkan fenomena school
engagement yang terjadi di sekolah berasrama yakni pesantren yang berada pada
jenjang pendidikan SMA. Situasi sekolah berasrama akan berbeda dengan situasi
sekolah di SMA pada umumnya. SMA pada umumnya akan menekankan proses
belajar di ruang lingkup sekolah saja, sedangkan pada sekolah berasrama proses
belajar dilakukan sepanjang hari dan berkesinambungan antara lingkungan sekolah
dan lingkungan asrama. Secara konsep, pengkondisian situasi belajar seperti ini
akan meningkatkan school engagement pada siswa (Polii, 2015). Selain itu, pada
siswa yang menempuh pendidikan di sekolah berasrama juga memiliki kesempatan
yang luas untuk membentuk hubungan sosial yang lebih hangat dengan teman, guru
dan staff sekolah lainnya sehingga memungkinkan siswa untuk terlibat lebih
banyak dengan berbagai macam aktivitas di sekolah (Martin, Papworth, Ginns, &
Liem., 2014).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan kedua dengan menggunakan metode
snowball pada bulan Januari 2018, penulis melakukan survei menggunakan
kuesioner yang disebar melalui daring terkait keterlibatan siswa dalam kegiatan
akademik dan non akademik. Responden yang ikut serta dalam studi pendahuluan
ini adalah 22 santri perempuan dan laki-laki yang sedang menempuh pendidikan
jenjang SMA pesantren yang tersebar di Provinsi Jawa Barat. Pada kegiatan non
akademik, ditemukan bahwa 22 santri telah terlibat dalam kegiatan non akademik
di sekolah yaitu OSIS, ekstrakurikuler, dan kepanitiaan acara sekolah.
Pada kegiatan akademik yang sebagian besar dilakukan di dalam kelas,
siswa diberikan pertanyaan terkait perilaku yang paling sering ditampilkan saat
6
kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, dimana sebanyak 11 siswa memilih
untuk memperhatikan guru dan 11 siswa lainnya memilih untuk tidur, mengobrol
dan membolos. Kemudian siswa diberikan juga pertanyaan seputar perilaku yang
cenderung ditampilkan ketika menghadapi mata pelajaran yang tidak disukai,
dimana sebanyak satu siswa memilih untuk tetap memperhatikan guru dan 21 siswa
lainnya memilih untuk tidur, melamun, mengobrol, dan membolos. Untuk
pertanyaan terakhir, siswa diberikan pertanyaan yang berkaitan dengan sikap yang
diambil siswa ketika mendapat tugas yang sulit. Pada hasilnya sebanyak 15 siswa
memilih untuk berdiskusi dengan teman, berusaha untuk mengerjakannya sendiri,
dan bertanya pada guru, sedangkan tujuh siswa lainnya memilih untuk tidak
mengerjakan, melihat jawaban teman, dan tidak mengikuti kelas tersebut.
Gambar 1.1
Diagram Hasil Studi Pendahuluan Kedua
0
5
10
15
20
25
Kegiatan belajar mengajarsedang berlangsung
Menghadapi mata pelajaranyang tidak disukai
Menghadapi tugas yang sulit
Bentuk engagement yang ditampilkan oleh santri
Engagement positif Engagement negatif
7
Berdasarkan studi pendahuluan kedua yang dilakukan oleh penulis terhadap
santri yang menempuh pendidikan SMA berasrama (pesantren) di wilayah Jawa
Barat, didapatkan gambaran bahwasannya santri yang bersekolah di SMA
berasrama tidak menjamin tingginya tingkat school engagement. Masih terdapat
santri yang menunjukkan perilaku negatif dalam kegiatan akademik dengan
menampilkan perilaku bercanda selama kegiatan belajar, tidur bahkan membolos.
Perilaku yang mencerminkan rendahnya partisipasi ini merupakan bentuk dari
behavioral engagement santri yang cenderung rendah. Hasil dari studi pendahuluan
ini juga menunjukkan rendahnya emotional dan cognitive engagement pada santri
yang terlihat dari emosi negatif yang ditampilkan dan rendahnya usaha yang
dilakukan santri dalam mengerjakan tugas yang sulit sebagai tantangan.
Fredricks et.al (2011) menyebutkan bahwa bagi banyak siswa, putus
sekolah menjadi langkah terakhir ketika siswa telah melewati disengagement yang
panjang. Englund, Egeland dan Collins (2008) menyatakan bahwa pada siswa
SMA, selain kemiskinan, prediktor yang juga mempengaruhi terjadinya putus
sekolah adalah masalah perilaku dan sosial serta kesulitan belajar yang
menyebabkan rendahnya prestasi siswa. Berdasarkan data yang diambil dari Pusat
Data dan Statistik Sekolah Menengah Atas (2017), sebanyak 36.419 siswa atau
0.78% dari 4.659.542 total keseluruhan siswa SMA di Indonesia tercatat putus
sekolah. Untuk data pada tiap provinsi, Jawa Barat menjadi urutan pertama pada
tingginya tingkat putus sekolah dari seluruh provinsi di Indonesia, yakni sebanyak
5.626 siswa SMA.
8
Berdasarkan uraian dari teori-teori yang telah dikemukakan di atas dan studi
pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, didapatkan ketidaksesuaian fakta dan
fenomena yang ada di lapangan. Secara teoritis, siswa seharusnya memiliki tingkat
school engagement yang tinggi karena school engagement memiliki pengaruh yang
sangat penting terhadap prestasi belajar siswa di sekolah dan dapat meminimalisir
resiko dari terjadinya putus sekolah. Pada kenyataannya di lapangan, siswa banyak
menampilkan fenomena perilaku-perilaku disengagement di sekolah seperti
rendahnya partisipasi, emosi yang cenderung negatif, serta usaha yang kurang
dalam menghadapi tugas/tantangan yang sulit.
School engagement dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi school
engagement adalah school size (Stevens & Peltier, 1994), peran guru (Skinner &
Belmont, 1993; Erdogdu, 2016), peran teman sebaya (Kindermann, 2016; Erdogdu,
2016), iklim sekolah (Sujisha & Manikandan, 2014), dan status sosial ekonomi
(Ripski & Gregory, 2009; Santrock, 2009). Sedangkan faktor internal yang
memempengaruhi school engagement yakni jenis kelamin (Skinner, Kindermann
& Furrer, 2009), dan kebutuhan dasar psikologi (Niemiec & Ryan, 2009).
Siswa yang memiliki school engagement rendah umumnya menampilkan
perilaku, emosi dan usaha yang cenderung rendah atau negatif untuk lebih
melibatkan diri dalam kegiatannya di sekolah. Pada situasi di sekolah, guru
merupakan seseorang yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan
kesan terhadap siswa-siswi di sekolah. Tentunya apabila guru dalam perannya
berhasil memberikan kesan/impresi yang baik terhadap siswa, hal ini akan
9
berdampak terhadap kenyamanan siswa selama berada di lingkungan sekolah yang
kemudian akan berdampak pula terhadap keterlibatan siswa. Peran yang diberikan
oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar siswa di sekolah disebut dengan teacher
behavior (Skinner & Belmont, 1993).
Beberapa literatur menunjukkan bahwa teacher behavior memiliki
pengaruh terhadap school engagement. Furrer dan Skinner (2003) menyebutkan
bahwa siswa yang merasa dihargai oleh guru, cenderung memiliki keterlibatan
dalam aktivitas akademik dan juga siswa akan merasa lebih bahagia dan nyaman
selama di kelas. Lebih lanjut, hasil penelitian yang dilakukan oleh Erdogdu (2016)
menyebutkan bahwa siswa yang mempersepsikan peran guru secara positif dan
telah mendukung secara emosional, siswa tersebut memiliki tingkat school
engagement yang lebih tinggi. Selain itu hasil penelitian Klem dan Connell (2004)
juga menyebutkan bahwa siswa yang mempersepsikan bahwa guru mereka dapat
menciptakan lingkungan belajar yang terstruktur dengan baik, siswa tersebut
cenderung menunjukkan keterlibatan yang baik di sekolah. Oleh karena itu, teacher
behavior dipandang dapat menjadi variabel prediktor yang penting terhadap school
engagement karena siswa merasa perlu untuk mendapat dukungan dari guru mereka
di sekolah agar dapat memiliki keterlibatan yang baik dengan sekolahnya yang
kemudian akan meningkatkan prestasi dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
pendidikan mereka (Klem & Connell, 2004).
Siswa yang merasa bahwa kebutuhan psikologisnya telah terpenuhi dengan
baik juga di prediksi mampu meningkatkan keterlibatannya di sekolah. Niemiec
dan Ryan (2009) dalam artikelnya menyatakan bahwa ketika siswa telah
10
mengalami kepuasan kebutuhan psikologis, siswa akan menginternalisasi nilai
pembelajaran dalam dirinya dan meningkatkan motivasi serta engagement dalam
aktivitas kelas. Deci dan Ryan (2000) menyebutkan bahwa kebutuhan dasar
psikologis memiliki 3 dimensi yakni kebutuhan untuk kompeten (need for
competence), kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain (need for
relatedness), dan kebutuhan untuk mandiri (need for autonomy).
Berdasarkan hasil studi literatur, penulis menemukan perbedaan dari
temuan penelitian-penelitian sebelumnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Gagnon (2007) dan Jang, Reeve, Ryan dan Kim (2009) menemukan bahwa ketiga
dimensi dari kebutuhan dasar psikologis yakni need for autonomy, need for
competence dan need for relatedness memiliki hubungan yang signifikan dengan
school engagement pada siswa. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Fauzie (2012) ditemukan bahwa dimensi need for relatedness dari variabel
kebutuhan dasar psikologis tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan school
engagement pada siswa dan dua dimensi lainnya yakni need for autonomy dan need
for competence memiliki hubungan yang signifikan dengan school engagement
pada siswa. Ditemukannya perbedaan hasil penelitian-penelitian kebutuhan dasar
psikologis dan school engagement terdahulu menjadikan penulis tertarik untuk
menelitinya lebih lanjut.
Selain faktor eksternal (teacher behavior) dan internal (kebutuhan dasar
psikologis), penulis juga memilih faktor demografis yakni variabel jenis kelamin
sebagai variabel bebas yang akan diteliti pengaruhnya terhadap school engagement
karena penulis menemukan perbedaan hasil dari beberapa penelitian yang
11
mengambil jenis kelamin sebagai variabel independen. Pada hasil penelitian yang
dilakukan oleh Skinner, et.al (2009) mengungkapkan bahwa jenis kelamin memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap school engagement namun temuan yang didapat
oleh Pagar (2016) adalah sebaliknya dimana pengaruh yang diberikan tidak
signifikan. Selain itu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Akmal dan
Arlinkasari (2017) mengungkapkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, sampel
perempuan maupun sampel laki-laki memiliki tingkat school engagement yang
cenderung sama. Sedangkan, King (2016) menyatakan bahwa berdasarkan hasil
penelitiannya dapat disimpulkan bahwa tingkat school engagement pada
perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki.
Berdasarkan uraian fakta dan fenomena di atas, penelitian ini dianggap
penting dilakukan lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor psikologi yang dapat
mempengaruhi school engagement di berbagai jenjang pendidikan. Sebagai upaya
dalam merealisasikan hal di atas, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul
“Pengaruh Teacher Behavior, Kebutuhan Dasar Psikologis dan Jenis Kelamin
terhadap School Engagement pada Santri SMA X Boarding School”
1.2 Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan masalah
Batasan permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai pengaruh teacher
behavior, kebutuhan dasar psikologis dan jenis kelamin terhadap school
engagement pada santri SMA X Boarding School. Adapun pengertian konsep yang
digunakan adalah sebagai berikut:
12
a. School Engagement yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keseluruhan
bentuk keterlibatan siswa di sekolah yang mencakup sejumlah aspek perilaku
atau partispasi, aspek afektif, serta aspek kognitif baik dalam kegiatan
akademik maupun non akademik (Fredricks, et.al., 2004).
b. Teacher Behavior yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi siswa
atas peran yang diberikan oleh guru dalam memberikan kesempatan untuk
mengeskplorasi dan menentukan pilihan secara mandiri, membangun
hubungan interpersonal yang sehat dan hangat, serta memberikan kejelasan
harapan dan konseksuensi secara tegas. Dalam konteks penelitian ini, teacher
behavior terbagi menjadi tiga dimensi yaitu autonomy support, involvement
dan structure (Skinner & Belmont, 1993).
c. Kebutuhan Dasar Psikologis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kebutuhan yang bersifat menetap dalam diri setiap individu yang penting untuk
keberlangsungan pertumbuhan psikologis, integritas, dan kesejahteraan
individu. Terdapat tiga kebutuhan dasar psikologis yakni kebutuhan untuk
mandiri (need for autonomy), kebutuhan untuk kompeten (need for
competence), dan kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain (need for
relatedness) (Deci & Ryan, 2000).
d. Responden dalam penelitian ini adalah santri dan santriwati pada kelas 10 dan
11 SMA X Boarding School.
1.2.2 Perumusan masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
13
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan teacher behavior, kebutuhan dasar
psikologis dan jenis kelamin terhadap school engagement santri SMA X
Boarding School?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi autonomy support dari variabel
teacher behavior terhadap school engagement santri SMA X Boarding School?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi involvement dari variabel
teacher behavior terhadap school engagement santri SMA X Boarding School?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi structure dari variabel teacher
behavior terhadap school engagement santri SMA X Boarding School?
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi need for autonomy dari variabel
kebutuhan dasar psikologis terhadap school engagement santri SMA X
Boarding School?
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi need for competence dari
variabel kebutuhan dasar psikologis terhadap school engagement santri SMA
X Boarding School?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi need for relatedness dari
variabel kebutuhan dasar psikologis terhadap school engagement santri SMA
X Boarding School?
8. Apakah ada pengaruh yang signifikan variabel jenis kelamin terhadap school
engagement santri SMA X Boarding School?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
14
a. Membuktikan ada atau tidaknya pengaruh variabel teacher behavior,
kebutuhan dasar psikologis dan jenis kelamin terhadap school engagement
pada santri SMA X Boarding School.
b. Membuktikan ada atau tidaknya pengaruh serta seberapa besar kontribusi dari
aspek-aspek teacher behavior yaitu autonomy support, involvement, dan
structure terhadap school engagement pada santri SMA X Boarding School.
c. Membuktikan ada atau tidaknya pengaruh serta seberapa besar kontribusi dari
aspek-aspek kebutuhan dasar psikologis yaitu need for autonomy, need for
competence, dan need for relatedness terhadap school engagement pada santri
SMA X Boarding School.
d. Membuktikan ada atau tidaknya pengaruh serta seberapa besar kontribusi yang
diberikan variabel jenis kelamin terhadap school engagement pada santri SMA
X Boarding School.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan
sumbangan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam ranah psikologi
pendidikan serta menjadi langkah awal untuk penelitian selanjutnya mengenai
school engagement.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi para organisasi/instansi
pendidikan, pemerintah serta masyarakat luas agar dapat mengambil strategi
dalam rangka meningkatkan engagement pada siswa dalam setiap jenjang
15
pendidikan sebagai salah satu cara mengantisipasi dan menanggulangi
terjadinya fenomena yang mencerminkan rendahnya engagement pada
kalangan siswa.
16
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 School Engagement
2.1.1 Definisi School Engagement
Definisi school engagement pada siswa telah berkembang selama dua dekade
terakhir dan terus mengalami perkembangan variasi dalam mendefinisikan
kontstruk ini. Pada awalnya, Finn (1989) mengartikan school engagement dalam
model participation-identification. Participation diartikan sebagai perilaku yang
dapat diamati pada siswa seperti perilaku kehadiran, membolos, dan kenakalan
yang kemudian diartikan sebagai aspek behavioral dalam keterlibatan siswa di
sekolah. Sedangkan identification diartikan sebagai keadaan internal dalam diri
siswa yang terdiri dari dua komponen yaitu belonging dan valuing yang kemudian
dalam konteks keterlibatan siswa di sekolah, identification diartikan sebagai aspek
emotional engagement. Penelitian terbaru yang dikemukakan oleh Newmann,
Wehlage dan Lamborn (1992) menambahkan aspek kognitif ke dalam definisi
school engagement. Aspek kognitif diartikan sebagai investasi siswa dalam belajar,
ketekunan dalam menghadapi tantangan, serta penggunaan strategi dalam belajar.
Berdasarkan literatur dan penelitian-penelitian sebelumnya, Fredricks et.al
(2004) mengemukakan bahwa school engagement memiliki tiga dimensi yakni
behavior, emotional dan cognitive. Keterlibatan perilaku (behavioral engagement)
di definisikan sebagai gagasan untuk berpartisipasi dan termasuk di dalamnya
keterlibatan dengan kegiatan akademik, sosial dan ekstrakurikuler. Keterlibatan
17
emosi atau afeksi (emotional engagement) berfokus pada reaksi positif dan negatif
siswa terhadap guru, teman sekelas, akademisi, dan sekolah. Keterlibatan kognitif
(cognitive engagement) di definisikan sebagai investasi siswa dalam pembelajaran
dan strategi regulasi diri yang digunakan oleh siswa.
Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan oleh para peneliti terkait
konstruksi school engagement di atas, penelitian ini menggunakan definisi school
engagement yang dikemukakan oleh Fredricks et.al (2004) dikarenakan telah
mencakup tiga dimensi dari school engagement. Berdasarkan definisi yang
disebutkan oleh Fredricks et.al (2004), penulis menyimpulkan bahwa school
engagement adalah keseluruhan bentuk keterlibatan siswa di sekolah yang
mencakup sejumlah aspek perilaku atau partispasi, aspek afektif, serta aspek
kognitif baik dalam kegiatan akademik maupun non akademik.
2.1.2 Dimensi School Engagement
Fredricks et.al (2004) mengungkapkan bahwa school engagement dapat dianggap
sebagai meta-konstruk karena school engagement merupakan sebuah konstruksi
multidimensional yang menyatukan tiga komponen dimensi secara bermakna
dimana ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan. Ketiga dimensi school
engagement tersebut adalah sebagai berikut:
1. Behavioral Engagement (keterlibatan perilaku)
Behavioral engagement di definisikan dalam tiga cara. Pertama, behavioral
engagement dijelaskan dalam perilaku positif seperti patuh pada peraturan dan
norma kelas yang berlaku serta tidak adanya perilaku yang dapat mengganggu
kegiatan sekolah. Kedua, behavioral engagement berfokus pada keterlibatan
18
dalam tugas belajar dan akademik yang mencakup perilaku seperti usaha,
tekun, konsentrasi, perhatian, mengajukan pertanyaan, dan ikut serta dalam
diskusi kelas. Ketiga, behavioral engagement diartikan sebagai partisipasi
dalam kegiatan yang berhubungan dengan sekolah. Secara umum, definisi dari
dimensi behavioral engagement adalah partisipasi siswa dalam kegiatan
akademik dan non akademik di sekolah.
2. Emotional Engagement (keterlibatan emosi)
Emotional engagement diartikan sebagai reaksi afeksi atau emosi siswa di
dalam kelas seperti ketertarikan, kebosanan, bahagia, sedih, dan cemas.
Beberapa peneliti yakni Lee dan Smith & Stipek (dalam Fredricks et.al., 2004)
kemudian menambahkan bahwa emotional engagement adalah reaksi emosi
siswa terhadap guru dan sekolahnya. Kemudian, Finn (1989) mendefinisikan
emotional engagement sebagai identifikasi dengan sekolah. Identifikasi yang
dimaksud yakni berupa rasa memiliki (pentingnya menjadi bagian dari
sekolah) dan nilai yang ada pada diri siswa (apresiasi atas keberhasilan diri
terhadap hasil akademik).
1. Cognitive Engagement (keterlibatan kognitif)
Pada beberapa definisi, cognitive engagement berfokus pada investasi
psikologis dalam pembelajaran, keinginan untuk mengerahkan upaya yang
diperlukan, serta menguasai tantangan yang sulit dicapai. Definisi cognitive
engagement yang disebutkan oleh Connell dan Wellborn (1991) yakni
mencakup fleksibilitas dalam pemecahan masalah, kecenderungan untuk
bekerja keras, dan menghadapi kegagalan dengan sikap yang positif. Siswa
19
yang memiliki cognitive engagement yang baik digambarkan seperti siswa
yang senantiasa mengapresiasi pembelajaran yang telah ia dapat dan memiliki
keinginan yang kuat untuk dapat menguasai dan menambah pengetahuan.
Cognitive engagement dapat terjadi dengan baik ketika individu memiliki
strategi dalam pembelajaran dan dapat meregulasi dirinya sendiri.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi School Engagement
Fredricks et.al (2004) memaparkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi school engagement. Selain itu penelitian-penelitian yang berkaitan
dengan school engagement menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan menjadi faktor internal
dan eksternal. Adapun faktor internal adalah sebagai berikut:
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin siswa dipandang sebagai salah satu prediktor school engagement
pada siswa. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Skinner et.al (2009)
mengungkapkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap school engagement. Selain itu, perbedaan tingkat school engagement
pada laki-laki dan perempun juga di teliti oleh studi-studi terdahulu sebagaimana
dikemukakan oleh King (2016) bahwa tingkat school engagement pada
perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini didukung oleh
ungkapan Erdogdu (2016) bahwasannya siswa perempuan cenderung lebih
memiliki tanggung jawab di sekolah, lebih termotivasi untuk sukses, dan sense
of belonging yang lebih tinggi terhadap sekolahnya daripada siswa laki-laki pada
umumnya.
20
2. Kebutuhan Individu
Individu pada dasarnya memiliki kebutuhan dasar psikologis yang harus
terpenuhi. Kebutuhan tersebut yakni kebutuhan untuk mandiri (autonomy),
kebutuhan untuk kompeten (competence) dan kebutuhan untuk berhubungan
dengan orang lain (relatedness).
1) Kebutuhan untuk mandiri (need for autonomy)
Beberapa penelitian telah menguji hubungan antara keterlibatan dan
kebutuhan untuk mandiri. Patrick et.al (dalam Fredricks et.al., 2004)
menyebutkan bahwa siswa yang terlibat dengan alasan otonomi, seperti
melakukan kegiatan yang diluar ketertarikannya atau hanya untuk
kesenangan saja, memiliki hubungan yang positif dengan behavioral
engagement (seperti tingkat partisipasi dan keterlibatan dalam bekerja) dan
emotional engagement (seperti ketertarikan dan kesenangan).
2) Kebutuhan untuk kompeten (need for competence)
Kompetensi melibatkan kontrol, strategi dan kapasitas. Ketika seseorang
butuh untuk berkompetensi, mereka percaya akan dapat menentukan
kesuksesan mereka, dapat mengerti apa yang harus dilakukan dan percaya
untuk mencapai kesuksesan. Beberapa penelitian terdahulu yakni Connell
et.al, Rudolph et.al, dan Skinner et.al (dalam Fredricks et.al., 2004) telah
menguji hubungan antara persepsi terhadap kompetensi dengan engagement.
Persepsi terhadap kompetensi dan keyakinan untuk mengendalikan diri
berhubungan dengan behavioral dan emotional engagement.
21
3) Kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain (need for relatedness)
Furrer dan Skinner (2003) menyatakan bahwa hubungan yang dirasakan oleh
siswa dengan guru, orang tua, dan teman sebaya memiliki kontribusi terhadap
emotional engagement. Selain itu, Ryan et.al (dalam Fredricks, 2004)
menemukan bahwa siswa sekolah menengah yang merasa aman dan nyaman
dengan guru di sekolah memiliki behavioral dan emotional engagement lebih
tinggi.
Adapun faktor eksternal yang dapat mempengaruhi school engagement adalah:
1. School Size
Penelitian penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa faktor sekolah
memiliki hubungan dengan behavioral engagement dan terdapat sedikit bukti
bahwa terdapat hubungan dengan emotional dan cognitive engagement
(Fredricks et.al., 2004). Berdasarkan faktor sekolah, ukuran sekolah (school size)
dapat meningkatkan behavioral dan emotional engagement pada siswa. Barker
dan Gump (dalam Fredricks et.al., 2004) menemukan bahwa peluang siswa
untuk berpartisipasi dan mengembankan hubungan sosial adalah lebih besar di
sekolah dengan ukuran yang kecil daripada sekolah dengan ukuran yang besar.
Semakin diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh National Educational
Longitudinal Study (dalam Fredricks et.al., 2004) menemukan bahwa siswa di
sekolah yang memiliki lebih banyak elemen organisasi yang melibatkan siswa
di dalamnya menunjukkan engagement yang lebih tinggi dan kemungkinan yang
lebih besar dalam memiliki peningkatan engagement dari waktu ke waktu.
22
2. Iklim Sekolah
Sujisha dan Manikandan (2014) menyebutkan bahwa tingkat keterlibatan siswa
di sekolah berada pada level yang rendah ketika lingkungan tersebut tidak
memiliki dukungan sekolah yang memadai seperti kurikulum yang menantang,
guru yang peduli, tujuan pembelajaran yang jelas dan konsisten, dan komunitas
sekolah yang menekankan dukungan dan kepemilikan. Namun, beberapa siswa
mungkin akan memiliki keterlibatan yang baik walau dalam iklim sekolah yang
tidak baik. Oleh karena itu, iklim sekolah yang baik dipandang dapat menjadi
salah satu prediktor dalam meningkatkan school engagement siswa. Witcher
(1993) berdasarkan literatur pendidikan mendukung pentingnya iklim sekolah
dan menggunakan pengukuran iklim sekolah sebagai prediktor dari efektivitas
sekolah. Iklim sekolah merupakan variabel yang penting karena berkaitan
dengan performa dan prestasi para siswa di sekolah (Townsend, 1997).
3. Peran Guru
1) Autonomy Support
Dukungan otonomi yang diberikan oleh guru telah terbukti dapat
mempengaruhi engagement dalam ketiga aspek yakni behavioral, emotional
dan cognitive. Connell (dalam Fredricks, 2004) menyatakan bahwa konteks
yang mendukung otonomi siswa diperkirakan dapat meningkatkan
engagement. Guru yang memberikan dukungan otonomi ditandai dengan
adanya pemberian alternatif pilihan, pengambilan keputusan secara mandiri,
dan tidak adanya kontrol eksternal, seperti nilai atau penghargaan dan
hukuman, sebagai alasan untuk melakukan tugas sekolah atau berperilaku
23
dengan baik. Karena dengan mengendalikan lingkungan akan mengurangi
ketertarikan atau minat dan keinginan untuk menghadapi tantangan dan
ketekunan dimana perilaku tersebut merupakan bagian dari aspek
engagement.
2) Involvement
Battistich, Solomon, Watson dan Schaps (dalam Fredricks et.al., 2004)
menyebutkan bahwa dukungan dan kepedulian guru berkorelasi dengan
berbagai aspek keterlibatan perilaku, termasuk partisipasi yang lebih tinggi
dalam pembelajaran. Dukungan guru dalam konteks engagement dapat
berupa dukungan secara akademik maupun interpersonal dengan siswa.
Skinner dan Belmont (1993) menyatakan dukungan guru sebagai pemberian
dukungan untuk kemandirian siswa dan keterlibatan serta kepedulian guru
memiliki hubungan yang signifikan dengan keterlibatan siswa.
3) Structure
Struktur menurut Connell (dalam Fredricks et.al., 2004) mengacu pada
kejelasan harapan guru terhadap perilaku akademis dan sosial serta
konsekuensi apabila mereka gagal memenuhi harapannya tersebut. Guru yang
memiliki harapan yang jelas dan memberikan respon yang konsisten akan
memiliki siswa yang lebih tinggi pada tingkat behavioral engagement. Dalam
beberapa studi lain yang meneliti tentang engagement menunjukkan bahwa
guru di kelas yang memiliki keahlian dalam menciptakan norma kelas dan
menerapkan prosedur secara efisien memiliki hubungan dengan penyediaan
24
waktu yang lebih banyak terhadap tugas dan memiliki masalah disiplin yang
lebih sedikit, kedua hal ini merupakan indikator dari behavioral engagement.
4. Teman sebaya
Penerimaan dan penolakan dalam teman sebaya di kalangan anak-anak dan
remaja seringkali dijadikan teori untuk meneliti teman sebaya dan engagement
(Fredricks et.al., 2004). Penerimaan teman sebaya pada anak-anak dan remaja
memiliki keterkaitan dengan tingkat kepuasan siswa di sekolah, dimana hal
tersebut merupakan aspek dari emotional behavior. Penerimaan teman sebaya
juga terbukti memiliki hubungan dengan perilaku sosial dan usaha yang
berkaitan dengan akademik, hal tersebut merupakan aspek dari behavioral
engagement.
5. Karakteristik Tugas
Newmann (dalam Fredricks et.al (2004) mengungkapkan bahwa engagement
dalam pembelajaran dapat meningkat dalam situasi kelas dimana adanya
karakteristik tugas yang bersifat autentik, memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengasumsikan konsepsi, eksekusi, dan evaluasi, memberi kesempatan
siswa untuk berkolaborasi, mengizinkan beragam bentuk talenta, dan
memberikan kesempatan untuk mengerjakannya dengan situasi menyenangkan.
Marks (dalam Fredricks et.al., 2004) menguji pengaruh instruksi yang otentik
dan dukungan sosial pada keterlibatan di sekolah dengan tujuan untuk
meningkatkan prestasi dimana hasil menunjukkan bahwa persepsi siswa sekolah
dasar, menengah pertama, dan menengah atas terhadap peluang untuk dilibatkan
dalam pengajaran otentik adalah prediktor engagement yang kuat. Sejalan
25
dengan penelitian yang dilakukan oleh Fredricks et.al (dalam Fredricks et.al.,
2004) yang menguji pengaruh tantangan tugas, norma kerja, dukungan guru, dan
dukungan sebaya pada keterlibatan perilaku, emosional, dan kognitif pada siswa
sekolah dasar dimana hasil menunjukkan bahwa persepsi tentang tantangan
tugas secara unik memiliki korelasi dengan setiap aspek engagement.
6. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi dipandang dapat mempengaruhi school engagement pada
siswa. Berdasarkan hasil penelitian Ripski dan Gregory (2009), status sosial
ekonomi secara statistik merupakan prediktor yang signifikan terhadap school
engagement. Dimana siswa yang menampilkan tingkat school engagement yang
rendah berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi menengah kebawah
(Juwita & Kusdiyati, 2015).
2.1.4 Pengukuran School Engagement
Fredricks et.al (2011) menyebutkan bahwa terdapat 3 metode pengukuran school
engagement yakni dapat menggunakan lapor diri pada siswa (student self-report),
laporan dari guru (teacher report), dan metode observasi. Semua macam metode
pengukuran ini dapat digunakan pada semua tingkat sekolah yakni sekolah dasar,
sekolah menengah pertama dan atas serta perguruan tinggi.
Dari berbagai macam alat ukur yang tersedia, masing-masing alat ukur
memiliki karakteristik tersendiri yakni mengukur dimensi yang berbeda dari school
engagement tersebut. Terdapat alat ukur hanya mengukur satu dimensi saja
(unidimensional), seperti Academic Engagement Scale (AES) dan School
Engagement Questionnaire (SEQ) yang hanya mengukur dimensi behavioral,
26
Identification with School Questionnaire (ISQ) yang mengukur dimensi emotional
dan Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) yang khusus
mengukur dimensi cognitive saja. Sedangkan alat ukur yang mengukur dua dimensi
(bidimensional) yakni seperti Research Assessment Package for School (RAPS)
yang mengukur dimensi behavioral dan emotional, Attitude Towards Mathematics
Survey (ATM) yang mengukur dimensi behavioral dan cognitive dan Student
Engagement Instrument (SEI) yang khusus mengukur dimensi emotional dan
cognitive.
Pengukuran atas konstruk school engagement terus berkembang sehingga
tersedia banyak alat ukur yang dikembangkan dari berbagai tokoh. Selain instrumen
yang hanya mengukur unidimensional atau bidimensional, terdapat pula pilihan
instrumen yang mengukur ketiga dimensi engagement (multidimensional). Dalam
artikel yang tulis oleh Fredricks et.al (2011) disebutkan berbagai jenis pengukuran
pada school engagement menggunakan metode student self-report. Berikut adalah
macam-macam instrumen yang mengukur ketiga dimensi pada engagement :
1. 4-H Study for Positive Youth Development: School Engagement Scale (4-H)
Skala ini dikembangkan oleh Dr. Richard dan teman-temannya di Universitas
Tufts. Skala ini pernah diberikan kepada siswa kelas 5 SD hingga kelas 11
SMA diberbagai negara dan berbagai latar belakang ras/etnis. Skala ini
merupakan kuesioner yang bersifat student self-report dan mengukur ketiga
dimensi pada school engagement dengan total item sebanyak 15 (masing-
masing dimensi terdiri dari 5 item). Respon jawaban dari alat ukur ini adalah
skala rating dari 0 (sangat setuju) sampai 3 (sangat tidak setuju). Skala ini
27
melaporkan skor alpha cronbach pada masing-masing subsala yaitu 0.7
(behavioral), 0.82 (emotional), 0.90 (cognitive). Li et.al (2008) telah
melaporkan bukti validitas kriteria melalui korelasi yang posoitif antara
emotional dan behavioral engagement dan prestasi serta melalui korelasi
negatif antara emotional dan behavioral engagement dan perilaku beresiko dan
depresi.
2. High School Survey of Student Engagement (HSSE)
Skala pengukuran HSSE dikembangkan oleh Center for Evaluation and
Education Policy (CEEP) di Universitas Indiana. Sampel yang dapat
digunakan oleh skala ini adalah siswa SMA dari berbagai sekolah yang terdapat
di desa maupun kota besar. Skala ini merupakan kuesioner yang bersifat
student self-report dan mengukur ketiga dimensi pada school engagement
dengan total item sebanyak 121 (cognitive sebanyak 65 item, behavioral
sebanyak 17 item, dan emotional sebanyak 39 item). Kekurangan dari skala ini
adalah belum terdapat laporan hasil validitas dan reliabilitas atas skala
pengukuran HSSE.
3. Motivation and Engagement Scale (MES)
Skala pengukuran MES dikembangkan oleh Dr. Andrew J.Martin di
Universitas Sydney dan dipublikasikan oleh Lifelong Achievement Group.
Skala MES memiliki dua versi yakni The MES-Junior School (untuk siswa
tingkat SD dan SMP) dan The MES-High School (untuk siswa tingkat SMA).
Skala ini merupakan kuesioner yang bersifat student self-report dan skala ini
dapat dikerjakan melalui internet website selain melalui tes tertulis. Skala MES
28
untuk siswa SMA terdiri dari 44 item yang terbagi dari 11 subskala pertanyaan.
Alpha Cronbach dari 11 subskala ini adalah 0.79 (untuk sekolah menengah).
Martin (2009) menunjukkan bukti validitas kriteria melalui korelasi yang
signifikan antara prestasi dan hasil akademik lainnya.
4. School Engagement Measure (SEM)
Alat ukur ini dikembangkan oleh Phyllis Blumenfeld dan Jennifer Fredricks.
Pada awalnya, alat ukur ini digunakan hanya pada sampel di perkotaan,
keluarga dengan penghasilan rendah, etnis kulit hitam dan siswa pada kelas 3
hingga 5 SD. Kemudian, alat ukur ini dipergunakan kepada siswa dengan
tingkatan sekolah yang lebih tinggi dari SD yakni SMP, SMA dan perguruan
tinggi. Skala ini merupakan student self-report yang memiliki 19 item (5 item
dimensi behavioral, 6 item dimensi emotional, 8 item dimensi cognitive)
dengan 5 skala likert, skala satu untuk “tidak pernah” hingga skala lima untuk
“selalu”. Reliabilitas alat ukur SEM berdasarkan laporan alpha cronbach
adalah sebesar 0,72-0,77 untuk behavioral engagement, 0,83-0.86 untuk
emotional engagement, dan 0,55-0,82 untuk cognitive engagement. Validitas
alat ukur SEM telah dibuktikan oleh beberapa hasil analisis yang
menginformasikan validitas konstruk (Fredricks et.al., 2005).
5. Student School Engagement Survey (SSES)
Skala pengukuran SSES dikembangkan oleh National Center for School
Engagement (NCSE). Skala ini sebelumnya pernah diberikan kepada 150 siswa
SD hingga SMA dan tersebar ke berbagai macam etnis atau ras serta kepada
siswa dengan keluarga berpenghasilan rendah. Skala SSES merupakan student
29
self-report dengan item yang terdapat dalam kuesioner adalah sebanyak 45
item (16 item dimensi emotional, 22 item dimensi cognitive, 7 item dimensi
behavioral) yang dapat dijawab menggunakan skala “sangat setuju” hingga
“sangat tidak setuju”. Studi tahun 2009 yang dilakukan oleh National Center
for School Engagement menggunakan lima item dari masing-masing subskala
melaporkan internal consistencies 0,75-0,78 (behavioral), 0,77-0,82
(cognitive), dan 0,81-0,83 (emotional). Untuk validitas, National Center for
School Engagement (2006) melaporkan bukti validitas kriteria melalui korelasi
positif dari tiga subskala dengan nilai dan kehadiran.
Berdasarkan berbagai jenis pengukuran pada school engagement yang telah
disebutkan di atas. Alat ukur yang digunakan oleh peneliti adalah memodifikasi
Skala School Engagement Measure (SEM) yang terdiri dari 19 item menjadi 18
item. Peneliti memilih alat ukur SEM dikarenakan mengukur dimensi school
engagement yang sesuai dengan penelitian ini dan juga merupakan alat ukur yang
dikembangkan oleh Phyllis Blumenfeld dan Jennifer Fredricks dimana pada
penelitian ini, peneliti menggunakan teori yang dikemukakan oleh pengembang alat
ukur SEM.
2.2 Teacher Behavior
2.2.1 Definisi Teacher Behavior
Social context dipandang sebagai salah satu prediktor yang dapat menumbuhkan
motivasi dan keterlibatan belajar pada siswa. Social context disini yakni mencakup
perilaku guru (teacher behavior) dan perilaku orang tua (parent behavior) yang
dapat berpengaruh terhadap motivasi belajar dan pencapaian akademik pada siswa
30
(Skinner & Belmont, 1993 ; Tucker et.al., 2002). Guru dipandang sebagai orang
dewasa yang menjadi tokoh utama dalam domain akademik dan memiliki peranan
yang penting dalam sosialisasi remaja terutama dalam lingkup sekolah (Ryan,
Stiller & Lynch., 1994).
Brophy (1986) mendefinisikan teacher behavior sebagai peran yang
dibangun oleh guru secara kuantitas maupun kualitas. Perilaku kuantitas ini dapat
dijelaskan melalui perilaku guru dalam mengalokasikan waktu dalam kegiatan
sekolah, senantiasa hadir untuk memberikan bimbingan kepada siswa dan mengatur
situasi di dalam kelas agar lingkungan belajar dapat lebih efisien dan kegiatan
belajar dapat berjalan dengan lancar. Selain itu perilaku kuantitas dapat dilihat dari
bagaimana guru dalam memberikan instruksi dan informasi yang jelas kepada
siswa, memberikan pertanyaan seputar materi pelajaran dan memberikan feedback
atas setiap respon siswa sebagai dukungan interaksi selama pembelajaran.
Skinner dan Belmont (1993) mendefinisikan teacher behavior sebagai
peran yang diberikan oleh guru dalam konteks autonomy support kepada siswa
dengan memberikan kesempatan untuk menentukan dan mengeksplorasi
pilihannya, memberikan kepedulian dan keterlibatannya dengan aktivitas siswa di
sekolah yang diartikan dalam aspek involvement, serta memberikan harapan dengan
jelas beserta dengan konsekuensi secara adil dan tegas yang diartikan dalam aspek
structure.
Teacher behavior dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat academic
engagement pada siswa (Tucker et.al., 2002). Para siswa yang telah menunjukkan
engagement positif di sekolah, mereka tidak hanya merasa bangga dan puas atas
31
pencapaian mereka, namun juga dapat meningkatkan kompetensi mereka yang
sebenarnya secara optimal (Skinner & Belmont, 1993).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori yang diungkapkan oleh
Skinner dan Belmont (1993) dimana teacher behavior adalah persepsi siswa atas
peran yang diberikan oleh guru kepada siswa dalam memberikan kesempatan untuk
mengeskplorasi dan menentukan pilihan secara mandiri, membangun hubungan
interpersonal yang sehat dan hangat, serta memberikan kejelasan harapan dan
konseksuensi secara tegas.
2.2.2 Dimensi Teacher Behavior
Terdapat tiga aspek dalam teacher behavior menurut Skinner dan Belmont (1993),
yaitu :
1. Autonomy support (dukungan kemandirian)
Autonomy support mengacu pada pada sejumlah kebebasan yang diberikan
kepada siswa untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Apabila guru tidak
memberikan support tersebut, maka siswa cenderung akan menjadi terpaksa
dan tergantung kepada pilihan yang diberikan oleh guru. Guru dapat
memberikan autonomy support dengan membiarkan anak-anak bebas
mengeksplorasi keingintahuannya dalam kegiatan belajar mereka dan dengan
menyediakan informasi tentang hubungan antara kegiatan sekolah dan minat
para siswa.
2. Involvement (keterlibatan)
Involvement mengacu pada kualitas hubungan interpersonal siswa dengan
guru. Apabila guru tidak memberikannya, siswa akan cenderung menjadi
32
seseorang yang abai dan lebih banyak menolak. Guru dapat memberikan
involvement kepada siswa yakni seperti memberi waktu untuk melibatkan diri
ketika siswa membutuhkannya, memberikan dan mengungkapkan kasih
sayang, menikmati setiap interaksi yang terjadi antara guru dengan siswanya,
serta mendedikasikan segala sesuatunya sebagai guru (waktu, tenaga,
peralatan) untuk para siswa.
3. Structure (struktur)
Struktur mengacu pada sejumlah informasi yang diberikan oleh guru tentang
bagaimana mencapai hasil yang diinginkan secara efektif. Apabila guru tidak
memberikan structure yang jelas dan konsisten maka akan menyebabkan
situasi kelas yang cenderung kacau. Guru dapat memberikan structure secara
jelas dengan mengkomunikasikan harapan guru terhadap siswa, memberikan
konsekuensi yang jelas dan konsisten. Pemberian structure oleh guru harus
disertai dengan dukungan dan bantuan yang terus diberikan guru selayaknya
kepada siswa dan juga menyesuaikan strategi pengajaran yang tepat kepada
siswa berdasarkan level usianya.
2.2.3 Pengukuran Teacher Behavior
Terdapat dua pilihan metode pengukuran dalam mengukur teacher behavior.
Pertama, melalui laporan dari guru (teacher’s report) mengenai interaksinya
dengan masing-masing siswa di kelas yang dikembangkan oleh Wellborn, Connell,
Skinner, & Pierson. Kedua, persepsi siswa terhadap teacher behavior menggunakan
laporan individu siswa (student’s report) terkait interaksi siswa dengan guru
33
mereka yang dikembangkan oleh Belmont, Skinner, Wellborn dan Connell yang
diberi nama Teacher as Social Context Questionnaire (Skinner & Belmont, 1993).
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari alat
ukur sebelumnya yang bernama Teacher as Social Context (TASC) dan telah di
desain ulang dalam jumlah item yang lebih sedikit oleh Jeff Altman, Michael
Belmont, Jennifer Herman, Thomas Kindermann, Michael Lynch, Cynthia Mellor-
Crummey, Marianne Miserandino, Cara Regan, Peter Usinger, dan James
Wellborn. Alat ukur ini dinamakan TASCQ- Short Form yang terdiri dari 24 item
yang kemudian dimodifikasi oleh peneliti menjadi 23 item. Skala ini mengukur
ketiga dimensi teacher behavior yakni autonomy support, involvement, dan
structure dengan masing-masing alpa cronbach 0.79 (autonomy support), 0.8
(involvement), dan 0.76 (structure).
2.3 Kebutuhan Dasar Psikologis
2.3.1 Definisi Kebutuhan Dasar Psikologis
Deci dan Ryan (2000) mengungkapkan bahwa Self Determination Theory adalah
sebuah model pendekatan motivasi dan kepribadian yang berfokus pada pentingnya
sumber daya manusia dalam rangka pengembangan kepribadian dan perilaku pada
individu. Dalam prosesnya, disebutkan bahwa terdapat kebutuhan dasar psikologis
yang menjadi dasar untuk motivasi diri dan integrasi kepribadian pada individu.
Teori ini berargumen bahwa terdapat tiga kebutuhan dasar psikologis tersebut,
yakni kebutuhan untuk mandiri (need for autonomy), kebutuhan untuk kompeten
(need for competence), dan kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain (need
for relatedness).
34
Dalam model Self Determination Theory, kebutuhan dasar psikologis
diartikan sebagai asupan (nutrisi) bawaan dalam konteks psikologis yang penting
untuk keberlangsungan pertumbuhan psikologis, integritas, dan kesejahteraan
individu. Kebutuhan ini diartikan juga sebagai kebutuhan yang melekat pada sifat
dasar manusia, bukan merupakan kebutuhan yang dipelajari (Deci & Ryan, 2000).
Self Determination Theory mendefinisikan kebutuhan pada level psikologis
bukan level fisiologis seperti makanan, minuman dan perilaku seks. Krapp (2005)
mendefinisikan pentingnya kebutuhan psikologis sama seperti kebutuhan biologis
yakni sebagai suatu kebutuhan alami. Pemenuhan kebutuhan psikologis yang cukup
adalah kebutuhan yang diperlukan untuk fungsi pertumbuhan dan perkembangan
kehidupan yang optimal dan kesehatan psikologis (Deci & Ryan, 2008).
Niemiec dan Ryan (2009) dalam artikelnya menyatakan bahwa kebutuhan
dasar psikologis telah di teliti dalam konteks pendidikan. Dalam artikel ini
menunjukkan bahwa ketika siswa telah mengalami kepuasan kebutuhan psikologis,
siswa akan menginternalisasi nilai pembelajaran dalam dirinya dan meningkatkan
motivasi dan engagement mereka dalam aktivitas kelas.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori yang digunakan oleh Deci
dan Ryan (2000) yang mendefinisikan kebutuhan dasar psikologis sebagai asupan
(nutrisi) bawaan dalam konteks psikologis yang penting untuk keberlangsungan
pertumbuhan psikologis, integritas, dan kesejahteraan individu.
2.3.2 Dimensi Kebutuhan Dasar Psikologis
Terdapat tiga aspek dalam kebutuhan dasar psikologis menurut Deci dan Ryan
(2000), yaitu :
35
1. Need for Autonomy
Kebutuhan untuk mandiri mengacu pada kebutuhan untuk merasa bahwa
perilaku yang ditampilkan oleh individu bersumber dan berasal dari dirinya
sendiri bukan dipengaruhi oleh faktor eksternal. Human autonomy
direfleksikan sebagai seseorang yang mampu memilih dan mengatur
tindakannya sendiri. Self Determination Theory mengartikan autonomy sebagai
self-organization dan self-regulation yang dapat memberikan banyak
keuntungan dalam penyesuaian diri individu tersebut.
2. Need for Competence
Kebutuhan untuk kompeten mengacu pada kebutuhan untuk merasa berhasil
dan efektif dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial dan mendapatkan
kesempatan untuk melakukan dan menunjukkan kapasitas diri. Efek positif
yang dapat dihasilkan adalah individu secara umum akan menjadi lebih adaptif
dalam menghadapi lingkungan dan menerima tantangan baru.
3. Need for Relatedness
Kebutuhan untuk berhubungan mengacu pada kebutuhan untuk membangun
jaringan dan koneksi interpersonal secara luas, sehat dan hangat. Relatedness
diartikan sebagai suatu bagian dari kecenderungan yang umum pada individu,
karena sebagai organisme sosial, seorang individu akan mampu menjalankan
fungsinya secara optimal ketika dapat membangun suatu hubungan sosial
maupun terlibat dalam hubungan sosial yang lebih luas.
36
2.3.3 Pengukuran Kebutuhan Dasar Psikologis
Pada penelitian ini, alat ukur yang digunakan bernama Basic Psychological Need
Satisfaction in General yang dikembangkan oleh Deci dan Ryan (2000). Peneliti
memilih alat ukur ini karena alat ukur ini mengukur kebutuhan dasar psikologis
secara umum dan juga alat ukur ini mengukur dimensi yang sama dengan teori yang
digunakan peneliti. Alat ukur Basic Psychological Need Satisfaction in General
mengukur pemenuhan ketiga aspek kebutuhan dasar psikologis, yakni competence,
relatedness, autonomy. Alat ukur ini memiliki 21 item secara keseluruhan yang
terbagi menjadi 7 item yang mengukur need for autonomy, 6 item mengukur need
for competence, 8 item mengukur need for relatedness.
2.4 Kerangka Berpikir
School Engagement adalah keseluruhan bentuk keterlibatan siswa di sekolah yang
mencakup sejumlah aspek perilaku atau partispasi, aspek kognisi, serta aspek afeksi
baik dalam kegiatan akademik maupun non akademik. Siswa yang memiliki
engagement yang tinggi akan merasa lebih bersemangat dan menampilkan perilaku
antusias, emosi yang positif dan usaha yang besar dalam mengikuti berbagai
kegiatan di sekolah, sedangkan siswa dengan engagement yang rendah akan
cenderung menampilkan perilaku yang mencerminkan kurangnya partisipasi, bosan
dan tidak bersemangat dalam mengikuti berbagai kegiatan tersebut.
Tinggi atau rendahnya school engagement pada siswa tidak terjadi begitu
saja, tentu ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat engagement ini.
Berdasarkan kajian dari berbagai literatur, school engagement dapat dipengaruhi
oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang dimaksud salah
37
satunya adalah konteks sosial. Skinner dan Belmont (1993) menyebutkan bahwa
peran guru merupakan salah satu kontributor penting dalam menentukan tinggi atau
rendahnya engagement yang ditampilkan oleh siswa di sekolah. Peran guru dalam
kegiatan belajar mengajar siswa di sekolah disebut dengan teacher behavior.
Teacher behavior terdiri dari tiga dimensi, yaitu autonomy support, involvement,
dan structure.
Dimensi pertama pada teacher behavior adalah autonomy support yang
diartikan sebagai sejumlah kebebasan yang diberikan guru kepada siswa dalam
rangka menentukan perilaku atau tindakan yang diambilnya secara mandiri
sehubungan dengan pembelajaran dan kehidupan seputar sekolah. Yu, Li, Wang,
dan Zhang (2016) menyatakan apabila siswa telah memandang guru sebagai
seseorang yang telah memberikan autonomy support dengan baik, siswa akan
cenderung lebih menikmati kehidupan sekolah dan termotivasi untuk berpartisipasi
dalam kegiatan sekolah serta berinvestasi dalam pembelajaran, yang pada
gilirannya akan mendorong penyesuaian yang lebih besar. Oleh karena itu, dapat
diartikan bahwa semakin tinggi autonomy support maka semakin tinggi pula
engagement siswa di sekolah.
Dimensi kedua dalam teacher behavior yakni involvement diartikan sebagai
kualitas hubungan interpersonal yang dibangun antara guru dengan siswa.
Hubungan interpersonal tersebut dapat dibangun oleh guru dengan
mengekspresikan kepedulian dan kasih sayangnya kepada para siswa. Pada
dasarnya seorang siswa sangat menginginkan untuk memiliki hubungan positif
yang produktif dengan guru mereka. Siswa yang mempersepsikan bahwa dirinya
38
memiliki hubungan yang positif dengan gurunya akan cenderung memiliki motivasi
intrinsik yang lebih besar untuk belajar dan menunjukkan keterlibatan dalam
pembelajaran yang lebih tinggi pula (Ormrod, 2009). Oleh karena itu, dapat
diartikan bahwa semakin tinggi involvement maka semakin tinggi pula engagement
siswa di sekolah.
Dimensi ketiga dalam teacher behavior adalah structure yang diartikan
sebagai sejumlah informasi yang diberikan oleh guru berkaitan dengan cara dan
strategi untuk mencapai prestasi di sekolah secara efektif. Strategi atau cara ini
dapat ditempuh melalui pemberian dan penegakan aturan yang jelas serta
mengkomunikasikan harapan oleh guru kepada siswa. Pada banyak kasus, siswa
seringkali kedapatan bermasalah yakni seperti tidak mengerjakan tugas, tidak
memperhatikan pelajaran, menghindari tugas, dan berkelakuan buruk, sehingga
perlu adanya strategi dari guru dalam rangka mendisiplinkan perilaku siswa ini
(Santrock, 2009). Apabila guru telah maksimal dalam memberikan dan menerapkan
strategi tersebut, hal ini dapat memberikan efek positif pada keterlibatan siswa
dengan kegiatan di sekolah. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa semakin tinggi
structure maka semakin tinggi pula engagement siswa di sekolah.
Selain itu, terdapat faktor internal yang dapat mempengaruhi tinggi atau
rendahnya school engagement, salah satunya adalah variabel kebutuhan dasar
psikologis. Niemiec dan Ryan (2009) menyatakan siswa yang mengalami kepuasan
kebutuhan psikologis, mereka akan menginternalisasi nilai pembelajaran dalam
dirinya dan meningkatkan motivasi dan engagement mereka dalam aktivitas kelas.
39
Kebutuhan dasar psikologis memiliki tiga dimensi yakni need for autonomy, need
for competence, dan need for relatedness.
Dimensi pertama pada variabel kebutuhan dasar psikologis yakni need for
autonomy yang diartikan sebagai kebutuhan untuk merasa bahwa perilaku yang
ditampilkan oleh individu bersumber dan berasal dari dirinya sendiri. Perilaku
otonom yang dimaksud dalam pengertian need for autonomy yakni kecenderungan
untuk memilih tindakannya sendiri atas dasar kemauan inidvidu tersebut tanpa
dipengaruhi oleh faktor eksternal. Ketika siswa telah termotivasi untuk
menampilkan perilaku secara otonom, siswa cenderung dapat mengatasi stress
belajar dengan baik serta mempertahankan tujuannya dalam mengejar prestasi yang
diharapkan (Evans & Freer, 2017). Dalam hal ini tentunya siswa akan menunjukkan
usaha yang lebih tinggi agar tujuan yang diinginkannya dapat tercapai. Oleh karena
itu, dapat diartikan bahwa semakin tinggi need for autonomy maka semakin tinggi
pula engagement siswa di sekolah.
Dimensi kedua pada variabel kebutuhan dasar psikologis adalah need for
competence yang merupakan aspek dari variabel kebutuhan dasar psikologis
diartikan sebagai kebutuhan pada diri individu untuk merasa berhasil dan efektif
dalam menghadapi lingkungan dan menerima tantangan baru serta mendapatkan
kesempatan untuk menunjukkan kapasitas dirinya. Nurttila, Ketonen, dan Lonka
(2015) melakukan penelitian sense of competence terhadap academic engagement
yang menunjukkan hasil bahwa siswa dengan engagement yang tinggi merupakan
siswa yang mencerminkan sikap optimis dan keyakinan bahwa ia berkompeten
dalam menghadapi tantangan dalam konteks akademik. Hal ini dikarenakan siswa
40
tersebut mendorong dirinya sendiri untuk keluar dari zona nyaman yang
memungkinkan siswa untuk melibatkan dirinya lebih aktif dengan kegiatan
pembelajaran maupun kegiatan sekolah. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa
semakin tinggi need for competence maka semakin tinggi pula engagement siswa
di sekolah.
Dimensi ketiga pada variabel kebutuhan dasar psikologis adalah need for
relatedness. Dimensi ini diartikan sebagai kebutuhan untuk membangun dan
mempertahankan koneksi interpersonal secara luas, sehat, dan hangat. Menurut
Furrer & Skinner (2003), individu yang merasa telah menjadi bagian yang penting
dan spesial dengan mitra sosialnya, dapat memicu terjadinya peningkatan perilaku
(usaha, ketekunan, dan partisipasi) dan emosi secara positif (minat dan antusiasme).
Terjadinya peningkatan perilaku dan emosi ke arah yang positif ini merupakan
bentuk dari tercapainya keterlibatan (engagement) yang semakin tinggi pada siswa.
Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi need for relatedness maka semakin
tinggi pula engagement siswa di sekolah.
Selain variabel teacher behavior dan kebutuhan dasar psikologis, faktor lain
yang juga dirasa dapat mempengaruhi tinggi dan rendahnya school engagement
pada siswa yaitu variabel demografis, salah satunya adalah variabel jenis kelamin.
Skinner, et.al (2009) mengungkapkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap school engagement. Jenis kelamin dipandang sebagai variabel
bebas yang dapat mempengaruhi perbedaan keterlibatan siswa di sekolah.
Perempuan dipandang lebih memiliki tingkat school engagement yang tingi
dibandingkan dengan laki-laki (King, 2016; Skinner et.al., 2009; Fernandez et.al.,
41
2015). Hal ini dapat dikarenakan perempuan cenderung lebih bertanggung jawab
dengan kehidupannya di sekolah, memiliki motivasi untuk sukses yang tinggi dan
memiliki sense of belonging terhadap sekolah yang lebih besar (Erdogdu, 2016)
Secara skematis kerangka berpikir dari penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis ditunjukkan dengan bagan sebagai berikut:
2.5 Hipotesis Penelitian
Gambar 2.1
Skema Kerangka Berpikir Penelitian
1. Autonomy Support
2. Involvement
3. Structure
Teacher Behavior
Kebutuhan Dasar
Psikologis
1. Need for Autonomy
2. Need for Competence
3. Need for Relatedness
Jenis Kelamin
School
Engagement
42
2.5 Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh yang signifikan dari teacher behavior (autonomy support,
involvement, structure), kebutuhan dasar psikologis (need for autonomy, need for
competence, need for relatedness), dan jenis kelamin terhadap school engagement
santri SMA X Boarding School.
H1 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi autonomy support pada variabel teacher
behavior terhadap school engagement santri SMA X Boarding School.
H2 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi involvement pada variabel teacher
behavior terhadap school engagement santri SMA X Boarding School.
H3 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi structure pada variabel teacher
behavior terhadap school engagement santri SMA X Boarding School.
H4 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi need for autonomy pada variabel
kebutuhan dasar psikologis terhadap school engagement santri SMA X
Boarding School.
H5 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi need for competence pada variabel
kebutuhan dasar psikologis terhadap school engagement santri SMA X
Boarding School.
H6 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi need for relatedness pada variabel
kebutuhan dasar psikologis terhadap school engagement santri SMA X
Boarding School.
H7 : Ada pengaruh yang signifikan variabel jenis kelamin terhadap school
engagement santri SMA X Boarding School.
43
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah santri dan santriwati SMA X Boarding School
Bogor tahun ajaran 2017/2018 yang berjumlah sebanyak 620 santri dengan
spesifikasi kelas 10 berjumlah 198 santri, kelas 11 berjumlah 248 santri, dan kelas
12 berjumlah 174 santri.
Sampel dalam penelitian ini adalah santri dan santriwati kelas 10 dan 11
SMA X Boarding School Bogor yang berjumlah 257 santri dengan spesifikasi kelas
10 berjumlah 143 santri dan kelas 11 berjumlah berjumlah 114 santri.
Pada penelitian ini teknik pengambilan sampling dengan menggunakan
teknik probabilty sampling dengan menggunakan stratified random sampling
dimana anggota sampel diambil secara acak dari setiap strata (kelas). Pengambilan
data penelitian ini dilakukan selama satu hari yakni pada tanggal 03 Mei 2018.
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel terikat (dependent
variabel) yakni school engagement dan variabel bebas (independent variabel) yakni
teacher behavior, kebutuhan dasar psikologis, dan jenis kelamin. Berikut adalah
variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu :
1. School engagement (Y)
2. Autonomy support (X1),
3. Involvement (X2)
44
4. Structure (X3),
5. Need for autonomy (X4),
6. Need for competence (X5),
7. Need for relatedness (X6),
8. Jenis Kelamin (X7)
Untuk mengukur setiap variabel dibutuhkan indikator-indikator atau aspek-
aspek dari tiap variabel. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teacher behavior, kebutuhan dasar psikologis, jenis kelamin, dan school
engagement. Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. School Engagement adalah keseluruhan bentuk keterlibatan siswa di sekolah
yang mencakup sejumlah aspek perilaku atau partispasi, aspek afektif, serta
aspek kognitif baik dalam kegiatan akademik maupun non akademik.
2. Teacher Behavior adalah persepsi siswa atas peran yang diberikan oleh guru
dalam memberikan kesempatan untuk mengeskplorasi dan menentukan pilihan
secara mandiri, membangun hubungan interpersonal yang sehat dan hangat,
serta memberikan kejelasan harapan dan konseksuensi secara tegas. Adapun
variabel teacher behavior memiliki tiga dimensi yaitu :
a. Autonomy support merupakan peran guru dalam memberikan kebebasan
kepada siswa untuk menentukan pilihan yang akan diambil secara mandiri.
b. Involvement merupakan peran guru dalam memberikan perhatian,
kepedulian serta keterlibatannya kepada siswa.
45
c. Structure merupakan peran guru dalam memberikan aturan dan
mengkomunikasikan harapan secara jelas serta menegakkan konsekuensi
kepada para siswa dengan konsisten.
3. Kebutuhan dasar psikologis adalah kebutuhan yang bersifat menetap dalam diri
setiap individu yang penting untuk keberlangsungan pertumbuhan psikologis,
integritas, dan kesejahteraan individu. Adapun kebutuhan dasar psikologis
memiliki tiga dimensi yaitu :
a. Need for autonomy merupakan kebutuhan untuk merasa bahwa perilaku
yang ditampilkan oleh individu bersumber dan berasal dari dirinya sendiri
bukan dipengaruhi oleh faktor eksternal.
b. Need for competence merupakan kebutuhan untuk merasa berhasil dan
efektif dalam menghadapi lingkungan dan menerima tantangan baru serta
mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kapasitas dirinya.
c. Need for relatedness merupakan kebutuhan untuk membangun dan
mempertahankan koneksi interpersonal secara luas, sehat dan hangat.
4. Jenis kelamin didefinisikan sebagai laki-laki atau perempuan.
3.3 Instrumen Pengumpulan Data
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berbeda untuk masing-masing
variabel. School Engagement diukur menggunakan model skala rating yang
memiliki lima pilihan jawaban, yakni: (1) tidak pernah, (2) jarang, (3) kadang-
kadang, (4) sering, (5) sangat sering. Pengukuran terhadap variabel teacher
behavior menggunakan model skala likert yang memiliki empat pilihan jawaban,
46
yakni: sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), setuju (S), dan sangat setuju
(SS). Pengukuran terhadap variabel kebutuhan dasar psikologis menggunakan
model respon jawaban dalam skala 1-7 (1: sangat tidak setuju – 7: sangat setuju).
Pengukuran terhadap variabel jenis kelamin juga menggunakan pertanyaan yang
menanyakan jenis kelamin dari setiap responden apakah laki-laki atau perempuan.
Responden diminta untuk memilih salah satu jawaban dari pilihan jawaban yang
masing-masing jawaban menunjukkan kesesuaian pernyataan yang diberikan
dengan keadaan yang dirasakan oleh responden. Alat ukur dalam penelitian ini
terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable).
3.3.2 Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data penelitian dalam penelitian ini terdiri dari tiga skala
ukur, yaitu:
3.3.2.1 Skala School Engagement
Pengukuran school engagement pada penelitian ini menggunakan adaptasi dari alat
ukur yang dikembangkan oleh Blumenfeld dan Fredricks yakni skala School
Engagement Measurement (SEM– McArthur) yang terdiri dari 19 item. Peneliti
kemudian memodifikasi alat ukur SEM sehingga menjadi 18 item. Skala ini
mengukur tiga dimensi dari school engagement yaitu behavioral engagement,
emotional engagement dan cognitive engagement. School Engagement diukur
menggunakan model skala rating yang memiliki lima pilihan jawaban, yakni: (1)
tidak pernah, (2) jarang, (3) kadang-kadang, (4) sering, (5) sangat sering.Berikut
adalah blueprint dari alat ukur yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.1 sebagai
berikut:
47
Tabel 3.1
Blueprint Skala School Engagement
No. Dimensi Indikator No Item Contoh Item
1. Behavioral
Engagement Mematuhi peraturan sekolah 1, 2*
Saya
menyelesaikan
tugas tepat waktu
Mengerjakan tugas tepat
waktu
5
Berpartisipasi aktif dalam
kegiatan di kelas
3*, 4
2. Emotional
Engagement Menunjukkan reaksi
emosional terhadap kegiatan
dan tugas di sekolah
6, 7, 8, 10,
11* Saya menyukai
berada di sekolah Menunjukkan minat
terhadap kegiatan di sekolah
9
3. Cognitive
Engagement Menunjukkan usaha dan
kerja keras dalam
mengerjakan tugas dan
memahami materi pelajaran
12, 14, 16,
17
Saya tetap belajar
di asrama bahkan
ketika saya tidak
memiliki ujian Melakukan aktivitas yang
berhubungan dengan
akademik dan non akademik
diluar jam sekolah
13, 15, 18
Total Item 18
Keterangan: * = item unfavorable
3.3.2.2 Skala Teacher Behavior
Pengukuran teacher behavior pada penelitian ini menggunakan alat ukur yang telah
diadaptasi dari alat ukur sebelumnya yang bernama Teacher as Social Context
(TASC) yang dikembangkan oleh Belmont, Skinner, Wellborn, & Connell yang
kemudian di desain ulang dalam jumlah item yang lebih sedikit oleh Jeff Altman,
Michael Belmont, Jennifer Herman, Thomas Kindermann, Michael Lynch, Cynthia
Mellor-Crummey, Marianne Miserandino, Cara Regan, Peter Usinger, dan James
Wellborn. Alat ukur ini dinamakan TASCQ- Short Form yang terdiri dari 24 item
yang kemudian di adaptasi oleh peneliti sehingga menjadi 23 item. Skala penelitian
ini menggunakan empat pilihan jawaban yaitu (STS) Sangat Tidak Setuju, (TS)
Tidak Setuju, (S) Setuju, (SS) Sangat Setuju. Alat ukur ini mengukur ketiga dimensi
48
Teacher Behavior yakni autonomy support, involvement, dan structure. Adapun
blueprint dari alat ukur yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.2 sebagai berikut:
Tabel 3.2
Blueprint Skala Teacher Behavior
No. Dimensi Indikator No Item Contoh Item
1. Autonomy
Support Persepsi siswa atas
pemberian berbagai pilihan
oleh guru kepada siswa
17, 18*
Guru
mendengarkan
ide-ide saya
Persepsi siswa atas bentuk
apresiasi/ penghargaan yang
diberikan oleh guru kepada
siswa
19*, 20, 21*
Persepsi siswa atas
penyediaan informasi
tentang hubungan sekolah
dengan kehidupan yang
diberikan oleh guru kepada
siswa
22, 23*
2. Involvement Persepsi siswa atas kasih
sayang yang diberikan oleh
guru
1, 2, 3, 4*
Guru mengenal
saya dengan
baik
Persepsi siswa atas
pemberian waktu dan usaha
oleh guru kepada siswa
5,6
Persepsi siswa atas
kepercayaan dan kehandalan
yang diberikan guru kepada
siswa
7*, 8*
3. Structure Persepsi siswa atas kejelasan
harapan dan pemberian
konsekuensi yang konsisten
oleh guru
9,10, 11*,
12*
Guru tidak
memperjelas
apa yang
diharapkan dari
saya di kelas
Persepsi siswa atas
pemberian dukungan/
bantuan oleh guru
13,14
Persepsi siswa atas
pengaturan/ pemantauan
yang diberikan oleh guru
15, 16
Total Item 23
Keterangan: * = item unfavorable
3.3.2.3 Skala Kebutuhan Dasar Psikologis
Pengukuran kebutuhan dasar psikologis pada penelitian ini menggunakan alat ukur
yang dikembangkan oleh Deci dan Ryan yakni skala Basic Psychological Need
49
Satisfaction in General. Skala ini terdiri dari 21 item yang mengukur tiga dimensi
dari kebutuhan dasar psikologis yaitu need for autonomy, need for competence, dan
need for relatedness. Skala penelitian ini menggunakan tujuh pilihan jawaban mulai
dari (1) Sangat Tidak Setuju hingga (7) Sangat Setuju. Adapun blueprint dari alat
ukur yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.3 sebagai berikut:
Tabel 3.3
Blueprint Skala Kebutuhan Dasar Psikologis
No. Dimensi Indikator No Item Contoh Item
1. Need for
autonomy Menunjukkan kebebasan untuk
memilih dan mengatur
tindakannya sendiri
1, 4*, 8,
11*, 20* Saya merasa
tertekan dalam
hidup Menunjukkan persepsi atas
kesesuaian tindakan dan
harapan yang diinginkan
14, 17
2. Need for
competence Menunjukkan persepsi atas
kemampuan yang dimiliki
individu
3*, 5,
15*, 19*
Saya sering
merasa tidak
mampu Menunjukkan usaha dan
keyakinan untuk berhasil dalam
menguasai keterampilan atau
tantangan
10, 13
3. Need for
relatedness Menunjukkan minat untuk
membangun hubungan dan
komunikasi dengan orang lain
2, 6, 7*,
9 Orang-orang
dalam hidup
saya peduli
pada saya
Menunjukkan persepsi bahwa
individu telah memiliki
hubungan sosial yang sehat dan
hangat
12, 16*,
18*, 21
Total Item 21
Keterangan: * = item unfavorable
3.4 Uji Validitas Konstruk
Untuk menguji validitas konstruk terhadap alat ukur dalam penelitian ini, penulis
menggunakan uji CFA (Confirmatory Factor Analysis) dengan bantuan software
LISREL 8.70. Berikut adalah logika CFA yang dikemukakan oleh Umar (2011):
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan
secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk
50
mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap
faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.
2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap
subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes
bersifat unidimensional.
3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks
korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional.
Matriks korelasi ini disebut dengan sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan
matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar
(unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ -
matriks S atau bisa juga dinyatakan degan ∑ - S = 0.
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi
square. Jika hasil chi square tidak signifikan p > 0.05, maka hipotesis nihil
tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat
diterima bahwa item ataupun sub tes instrumen hanya mengukur satu faktor
saja. Sedangkan jika nilai chi-square signifikan (p<0.05), artinya item tersebut
mengukur lebih dari satu faktor atau bersifat multidimensional. Maka perlu
dilakukan modifikasi terhadap model pengukuran dengan cara membebaskan
parameter berupa korelasi kesalahan pengukuran.
5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya adalah menguji apakah item
signifikan atau tidak mengukur apa yang hendak diukur, dengan menggunakan
t-test. Jika hasil t-test tidak signifikan (t < 1.96) atau koefisien muatan
51
faktornya negatif, maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur apa
yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian dikeluarkan dan sebaliknya.
6. Apabila telah dilakukan langkah-langkah yang telah dijelaskan di atas dan telah
mendapatkan item dengan muatan faktor yang signifikan dan positif, maka
langkah selanjutnya adalah item-item yang signifikan (t > 1.96) dan positif
tersebut dapat diolah lebih lanjut.
3.4.1 Uji Validitas Konstruk School Engagement
Pada uji validitas konstruk School Engagement, peneliti menguji apakah 18 item
bersifat unidimensional mengukur school engagement atau tidak. Hasil awal
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, termyata tidak fit, dengan
Chi-Square = 728.01, df = 135, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.131. Karena hasil
awal didapatkan model satu faktor yang tidak fit, maka peneliti melakukan
modifikasi, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lain. Setelah dilakukan modifikasi, didapatkan model satu
faktor yang fit dengan Chi-Square = 112.47, df = 93, P-Value = 0.08281, dan
RMSEA = 0.029.
Setelah didapatkan model satu faktor yang fit, langkah selanjutnya adalah
melihat T-Value dan koefisien muatan faktor setiap item. Jika T-Value > 1.96 dan
koefisien muatan faktor positif maka item tersebut dapat dilanjutkan untuk
dimasukkan ke dalam analisis berikutnya yakni uji hipotesis.
Berdasarkan tabel 3.4, semua item memiliki koefisien muatan faktor yang
positif dan terdapat tiga item dengan t-value < 1.96 yakni item nomor 2, 3 dan 17
52
sehingga ketiga item tersebut harus di-drop dan tidak dapat ikut serta pada analisis
berikutnya.
Tabel 3.4
Tabel Muatan Faktor Item School Engagement No Item Koefisien Standar Eror T-Value Signifikan
1 0.33 0.06 5.16
2 0.09 0.06 1.38
3 0.05 0.06 0.80
4 0.54 0.06 8.47
5 0.28 0.06 4.43
6 0.87 0.05 16.65
7 0.82 0.05 15.57
8 0.64 0.06 10.80
9 0.77 0.06 13.41
10 0.72 0.05 13.23
11 0.51 0.06 8.56
12 0.23 0.06 3.53
13 0.28 0.06 4.44
14 0.18 0.07 2.69
15 0.29 0.06 4.71
16 0.18 0.06 2.86
17 0.03 0.07 0.40
18 0.30 0.06 4.84
Keterangan: tanda = signifikan (t > 1.96), tanda = tidak signifikan
3.4.2. Uji Validitas Konstruk Teacher Behavior
3.4.2.1 Autonomy Support
Pada uji validitas konstruk Autonomy Support, peneliti menguji apakah 7 item
tersebut bersifat unidimensional mengukur autonomy support atau tidak. Hasil awal
uji validitas konstruk yang dilakukan dengan model satu faktor, termyata tidak fit,
dengan Chi-Square = 128.41, df = 14, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.179. Karena
hasil awal didapatkan model satu faktor yang tidak fit, maka peneliti melakukan
modifikasi, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lain. Setelah dilakukan modifikasi, didapatkan model satu
faktor yang fit dengan Chi-Square = 11.40, df = 7, P-Value = 0.12217, dan RMSEA
= 0.050.
53
Setelah didapatkan model satu faktor yang fit, langkah selanjutnya adalah
melihat T-Value dan koefisien muatan faktor setiap item. Jika T-Value > 1.96 dan
koefisien muatan faktor positif maka item dapat dilanjutkan untuk dimasukkan ke
dalam analisis data berikutnya.
Tabel 3.5
Tabel Muatan Faktor Item Autonomy Support No Item Koefisien Standar Eror T-Value Signifikan
1 0.71 0.07 10.87
2 0.67 0.07 9.55
3 -0.32 0.07 -4.36
4 0.65 0.06 10.36
5 0.66 0.06 10.47
6 0.68 0.06 10.81
7 0.55 0.07 8.39
Keterangan: tanda = signifikan (t > 1.96), tanda = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.5, terdapat koefisien muatan faktor item yang negatif
dan t-value < 1.96 yakni pada item nomor 3 sehingga item tersebut harus di-drop
dan tidak dapat ikut serta pada analisis berikutnya.
3.4.2.2 Involvement
Pada uji validitas konstruk Involvement, peneliti menguji 8 item apakah bersifat
unidimensional mengukur involvement atau tidak. Hasil awal uji validitas konstruk
yang dilakukan dengan model satu faktor, termyata tidak fit, dengan Chi-Square =
106.62, df = 20, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.130. Karena hasil awal didapatkan
model satu faktor yang tidak fit, maka peneliti melakukan modifikasi, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain.
Setelah dilakukan modifikasi, didapatkan model satu faktor yang fit dengan Chi-
Square = 23.17, df = 15, P-Value = 0.08056, dan RMSEA = 0.046.
Setelah didapatkan model satu faktor yang fit, langkah selanjutnya adalah
melihat T-Value dan koefisien muatan faktor setiap item. Jika T-Value > 1.96 dan
54
koefisien muatan faktor positif maka item dapat dilanjutkan untuk dimasukkan ke
dalam analisis data berikutnya.
Tabel 3.6
Tabel Muatan Faktor Item Involvement No Item Koefisien Standar Eror T-Value Signifikan
1 0.78 0.06 13.57
2 0.77 0.06 13.34
3 0.65 0.06 10.64
4 0.64 0.06 10.43
5 0.40 0.07 6.13
6 0.46 0.07 7.04
7 0.08 0.07 1.15
8 0.35 0.07 5.22
Keterangan: tanda = signifikan (t > 1.96), tanda = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.6, tidak terdapat item yang memiliki koefisien muatan
faktor negatif dan terdapat satu item dengan t-value < 1.96 yakni pada item nomor
7 sehingga item tersebut harus di-drop dan tidak dapat ikut serta pada analisis
berikutnya.
3.4.2.3 Structure
Pada uji validitas konstruk Structure, peneliti menguji 8 item apakah bersifat
unidimensional mengukur structure atau tidak. Hasil awal uji validitas konstruk
yang dilakukan dengan model satu faktor, termyata tidak fit, dengan Chi-Square =
299.09, df = 20, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.233. Karena hasil awal didapatkan
model satu faktor yang tidak fit, maka peneliti melakukan modifikasi, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain.
Setelah dilakukan modifikasi, didapatkan model satu faktor yang fit dengan Chi-
Square = 16.68, df = 11, P-Value = 0.11769, dan RMSEA = 0.045.
Setelah didapatkan model satu faktor yang fit, langkah selanjutnya adalah
melihat T-Value dan koefisien muatan faktor setiap item. Jika T-Value > 1.96 dan
55
koefisien muatan faktor positif maka item dapat dilanjutkan untuk dimasukkan ke
dalam analisis data berikutnya.
Tabel 3.7
Tabel Muatan Faktor Item Involvement No Item Koefisien Standar Eror T-Value Signifikan
1 0.16 0.06 2.74
2 0.29 0.06 4.93
3 1.06 0.06 17.32
4 -0.70 0.06 -11.32
5 0.38 0.10 3.79
6 0.27 0.06 4.59
7 0.34 0.06 5.68
8 0.49 0.06 8.02
Keterangan: tanda = signifikan (t > 1.96), tanda = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.7, terdapat koefisien muatan faktor item yang negatif
dan t-value < 1.96 yakni pada item nomor 4 sehingga item tersebut harus di-drop
dan tidak dapat ikut serta pada analisis berikutnya.
3.4.3 Uji Validitas Konstruk Kebutuhan Dasar Psikologis
3.4.3.1 Need for Autonomy
Pada uji validitas konstruk need for autonomy, peneliti menguji 7 item apakah
bersifat unidimensional mengukur need for autonomy atau tidak. Hasil awal uji
validitas konstruk yang dilakukan dengan model satu faktor, termyata tidak fit,
dengan Chi-Square = 45.52, df = 14, P-Value = 0.00003, RMSEA = 0.094 karena
hasil awal didapatkan model satu faktor yang tidak fit, maka peneliti melakukan
modifikasi, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lain. Setelah dilakukan modifikasi, didapatkan model satu
faktor yang fit dengan Chi-Square = 16.47, df = 11, P-Value = 0.12463, dan RMSEA
= 0.044.
Setelah didapatkan model satu faktor yang fit, langkah selanjutnya adalah
melihat T-Value dan koefisien muatan faktor setiap item. Jika T-Value > 1.96 dan
56
koefisien muatan faktor positif maka item dapat dilanjutkan untuk dimasukkan ke
dalam analisis data berikutnya.
Tabel 3.8
Tabel Muatan Faktor Item Need for Autonomy No Item Koefisien Standar Eror T-Value Signifikan
1 0.25 0.11 2.30
2 0.11 0.07 1.70
3 0.95 0.37 2.59
4 -0.10 0.06 -1.58
5 0.18 0.09 2.09
6 1.01 0.38 2.62
7 0.14 0.07 1.93
Keterangan: tanda = signifikan (t > 1.96), tanda = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.8, terdapat item yang memiliki koefisien muatan faktor
negatif yakni item nomor 4 dan terdapat dua item dengan t-value < 1.96 yakni pada
item nomor 2, 7 sehingga item nomor 2, 4 dan 7 harus di-drop dan tidak dapat ikut
serta pada analisis berikutnya.
3.4.3.2 Need for Competence
Pada uji validitas konstruk need for competence, peneliti menguji 6 item apakah
bersifat unidimensional mengukur need for competence atau tidak. Hasil awal uji
validitas konstruk yang dilakukan dengan model satu faktor, termyata tidak fit,
dengan Chi-Square = 38.75, df = 9, P-Value = 0.00001, RMSEA = 0.114 karena
hasil awal didapatkan model satu faktor yang tidak fit, maka peneliti melakukan
modifikasi, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lain. Setelah dilakukan modifikasi, didapatkan model satu
faktor yang fit dengan Chi-Square = 6.82, df = 5, P-Value = 0.23456, dan RMSEA
= 0.038.
Setelah didapatkan model satu faktor yang fit, langkah selanjutnya adalah
melihat T-Value dan koefisien muatan faktor setiap item. Jika T-Value > 1.96 dan
57
koefisien muatan faktor positif maka item dapat dilanjutkan untuk dimasukkan ke
dalam analisis data berikutnya.
Tabel 3.9
Tabel Muatan Faktor Item Need for Competence No Item Koefisien Standar Eror T-Value Signifikan
1 0.29 0.11 2.66
2 0.09 0.06 1.58
3 0.03 0.05 0.56
4 0.22 0.09 2.32
5 0.31 0.12 2.68
6 1.31 0.43 3.07
Keterangan: tanda = signifikan (t > 1.96), tanda = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.9, tidak terdapat item yang memiliki koefisien muatan
faktor negatif, namun terdapat dua item dengan t-value < 1.96 yakni pada item
nomor 2 dan 3 sehingga kedua item tersebut harus di-drop dan tidak dapat ikut serta
pada analisis berikutnya.
3.4.3.3 Need for Relatedness
Pada uji validitas konstruk need for relatedness, peneliti menguji 8 item apakah
bersifat unidimensional mengukur need for relatedness atau tidak. Hasil awal uji
validitas konstruk yang dilakukan dengan model satu faktor, termyata tidak fit,
dengan Chi-Square = 130,87, df = 20, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.147 karena
hasil awal didapatkan model satu faktor yang tidak fit, maka peneliti melakukan
modifikasi, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lain. Setelah dilakukan modifikasi, didapatkan model satu
faktor yang fit dengan Chi-Square = 21.33, df = 15, P-Value = 0.12668, dan RMSEA
= 0.041.
Setelah didapatkan model satu faktor yang fit, langkah selanjutnya adalah
melihat T-Value dan koefisien muatan faktor setiap item. Jika T-Value > 1.96 dan
58
koefisien muatan faktor positif maka item dapat dilanjutkan untuk dimasukkan ke
dalam analisis data berikutnya.
Tabel 3.10
Tabel Muatan Faktor Item Need for Relatedness No Item Koefisien Standar Eror T-Value Signifikan
1 0.15 0.07 2.12
2 -0.09 0.07 -1.32
3 0.55 0.07 8.21
4 0.23 0.07 3.33
5 0.41 0.07 5.98
6 0.85 0.07 12.55
7 0.53 0.07 7.97
8 0.42 0.07 6.22
Keterangan: tanda = signifikan (t > 1.96), tanda = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.10, terdapat satu item yang memiliki koefisien muatan
faktor negatif dan t-value < 1.96 yakni pada item nomor 2 sehingga item tersebut
harus di-drop dan tidak dapat ikut serta pada analisis berikutnya.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian ini
menggunakan analisis regresi berganda. Dalam hal ini yang dijadikan dependent
variable adalah school engagement, sedangkan yang dijadikan independent
variable (variabel prediktor) adalah autonomy support, involvement, structure,
need for autonomy, need for competence, need for relatedness dan jenis kelamin.
Berdasarkan analisis faktor yang menggunakan metode CFA, maka di
dapatkan data variabel yan berupa true-score yang selanjutnya data tersebut
dijadikan input untuk dianalisis menggunakan regresi berganda. Adapun persamaan
regresi berganda untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + e
59
Keterangan:
Y = School Engagement
a = Konstan intersepsi
b = Koefisien regresi untuk masing-masing X
X1 = Autonomy Support
X2 = Involvement
X3 = Structure
X4 = Need for autonomy
X5 = Need for competence
X6 = Need for relatedness
X7 = Jenis Kelamin
e = Residu
Melalui analisis regresi berganda ini akan diperoleh nilai R2, Dari R2 ini
dapat diketahui besarnya pengaruh variabel independen (X) terhadap variabel
dependen (Y). R2 didapat dari rumusan sebagai berikut:
𝑅2 =𝑆𝑆𝑟𝑒𝑔
SSy
Keterangan:
R2 = Proporsi varians
Ssreg = Sum of square regression
Ssy = Sum of square Y
Untuk mengetahui apakah hasil dari R2 yang didapat signifikan atau tidak,
maka dilakukan uji F. Uji F bisa didapatkan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
𝐹 =𝑅2/𝑘
(1 − 𝑅2)/(𝑁 − k − 1)
N merupakan jumlah sampel dan k adalah banyaknya variabel independen.
Apabila nilai F signifikan (p<0.05), dapat diartikan bahwa seluruh variabel
60
independen secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel dependen.
Setelah mengetahui proporsi varians dan signifikansinya, peneliti
selanjutnya melakukan uji T (t-test) terhadap setiap koefisien regresi. Uji T
dilakukan untuk menguji signifikansi pengaruh masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen. Adapun rumus Uji T adalah sebagai
berikut:
𝑡𝑖 =𝑏𝑖𝑆𝑏𝑖
Dimana bi adalah koefisien regresi untuk IV(i) dan Sbi adalah standar deviasi
sampling dari bi. Seluruh perhitungan analisis berganda pada penelitian ini akan
dilakukan dengan menggunakan software SPSS 20.0.
61
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah 257 santri laki-laki dan perempuan kelas X dan
XI di SMA X Boarding School. Selanjutnya akan dijelaskan gambaran subjek lebih
rinci pada tabel 4.1
Tabel 4.1
Gambaran Subjek Penelitian Jumlah Persentase
Jenis Kelamin Laki-Laki 131 50.97%
Perempuan 126 49.02%
Jenjang Kelas X 143 55.64%
XI 114 44.35%
Total 257 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sampel yang berpartisipasi
dalam penelitian ini lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yakni sebanyak 131
santri (50.97%) daripada perempuan yang hanya berjumlah 126 santri (49.02%).
Sedangkan pada kategori jenjang kelas yang di tempuh, sampel yang paling banyak
berpartisipasi adalah santri kelas X yang berjumlah 143 santri (55.64%) kemudian
disusul dengan perbedaan jumlah yang tidak terlalu jauh dengan kelas XI yakni
sebanyak 114 santri (44.35%).
4.2 Hasil Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan t-score, dimana data mentah
yang di dapatkan (raw score) diubah menjadi z-score yang bertujuan untuk
menghindari estimasi bias dari kesalahan pengukuran. Kemudian untuk
menghilangkan bilangan yang masih bermuatan negatif pada z-score, maka z-score
62
harus diubah menjadi t-score. Berikut adalah perhitungan analisis deskriptif yang
dilakukan menggunakan software SPSS 20.0 dan hasil deskriptif penelitian pada
tabel 4.2.
Tabel 4.2
Hasil Analisis Deskriptif
N Minimum Maksimum Mean Std. Deviation
School Engagement 257 19.94 73.64 50.0000 9.32860
Autonomy Support 257 23.05 71.78 50.0000 8.98000
Involvement 257 18.28 71.59 50.0000 8.71250
Structure 257 29.52 77.33 50.0000 8.77384
Need for Autonomy 257 31.74 64.02 50.0000 6.45249
Need for Competence 257 31.30 67.79 50.0000 8.83258
Need for Relatedness 257 22.04 65.33 50.0000 8.50114
Valid N (listwise) 257
Berdasarkan tabel 4.2, dapat diketahui bahwa jumlah subjek penelitian
adalah sebanyak 257 santri. Variabel school engagement memiliki nilai minimum
19.94, nilai maksimum 73.64, mean 50 dan standar deviasi 9.32860. Variabel kedua
yakni autonomy support memiliki nilai minimum 23.05, nilai maksimum 71.78,
mean 50.000 dan standar deviasi 8.98000. Variabel ketiga yakni involvement
memiliki nilai minimum yakni 18.28, nilai maksimum 71.589, mean 50.0000 dan
standar deviasi 8.71250. Variabel keempat yakni structure memiliki nilai minimum
29.52 , nilai maksimum 77.33, mean 50.0000 dan standar deviasi 8.77384. Variabel
kelima yakni need for autonomy memiliki nilai minimum 31.74, nilai maksimum
64.02, mean 50.0000 dan standar deviasi 6.45249. Variabel keenam yakni need for
competence memiliki nilai minimum 31.30, nilai maksimum 67.79, mean 50.0000
dan standar deviasi 8.83258. Variabel ketujuh adalah need for relatedness memiliki
nilai minimum 22.04, nilai maksimum 65.33, mean 50.0000 dan standar deviasi
8.50114.
63
4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
Setelah diketahui deskripsi statistik variabel penelitian, maka dapat dilakukan
kategorisasi skor variabel penelitian. Dari hasil kategorisasi ini dapat diketahui
seberapa banyak responden yang terdapat pada kategori skor rendah, sedang dan
tinggi pada tiap variabel. Berikut yang di tampilkan pada tabel 4.3 merupakan
norma kategorisasi skor variabel.
Tabel 4.3
Norma Kategorisasi Skor Variabel
Norma Kategorisasi
X < Mean – 1 SD Rendah
Mean – 1 SD ≤ X ≤ Mean + 1 SD Sedang
X > Mean + 1 SD Tinggi
Berdasarkan norma kategorisasi skor yang telah di tentukan pada tabel 4.3,
maka dapat dilakukan kategorisasi skor variabel penelitian melalui bantuan
software SPSS 20.0. Pada tabel 4.4 akan di tampilkan kategorisasi skor variabel
penelitian.
Tabel 4.4
Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
Variabel Kategori Skor dan Frekuensi
Rendah % Sedang % Tinggi %
School Engagement 34 13.2% 188 73.2% 35 13.6%
Autonomy Support 37 14.4% 190 73.9% 30 11.7%
Involvement 34 13.2% 188 73.2% 35 13.6%
Structure 33 12.8% 189 73.5% 35 13.7%
Need for Autonomy 13 5.1% 228 88.7% 16 6.2%
Need for Competence 37 14.4% 177 68.9% 43 16.7%
Need for Relatedness 37 14.4% 188 73.2% 32 12.5%
N = 257 (100%)
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa hasil kategorisasi skor pada
variabel school engagement di dominasi oleh kategori sedang yakni sebanyak 188
santri (73.2%), kemudian diikuti oleh kategori tinggi yakni sebanyak 35 santri
64
(13.6%) dan kategori rendah sebanyak 34 santri (13.2%). Pada variabel autonomy
support hasil kategorisasi skor di dominasi oleh kategori sedang yakni sebanyak
190 santri (73.9%), kemudian diikuti oleh kategori rendah sebanyak 37 santri
(14.4%) dan kategori tinggi sebanyak 30 santri (11.7%). Pada variabel involvement
hasil kategorisasi skor di dominasi oleh kategori sedang yakni sebanyak 188 santri
(73.2%), kemudian diikuti oleh kategori tinggi sebanyak 35 santri (13.6%) dan
kategori rendah sebanyak 34 santri (13.2%). Pada variabel structure hasil
kategorisasi skor di dominasi oleh kategori sedang yakni sebanyak 189 santri
(73.5%), kemudian diikuti oleh kategori tinggi sebanyak 35 santri (13.7%) dan
kategori rendah sebanyak 33 santri (12.8%). Pada variabel need for autonomy hasil
kategorisasi skor di dominasi oleh kategori sedang yakni sebanyak 228 (88.7%),
kemudian diikuti oleh kategori tinggi sebanyak 16 santri (6.2%) dan kategori
rendah sebanyak 13 santri (5.1%). Pada variabel need for competence hasil
kategorisasi skor di dominasi oleh kategori sedang yakni sebanyak 177 (68.9%),
kemudian diikuti oleh kategori tinggi sebanyak 43 santri (16.7%) dan kategori
rendah sebanyak 37 santri (14.4%). Pada variabel need for relatedness hasil
kategorisasi skor di dominasi oleh kategori sedang yakni sebanyak 188 (73.2%),
kemudian diikuti oleh kategori rendah sebanyak 37 santri (14.4%) dan kategori
tinggi sebanyak 32 santri (12.5%).
4.4 Hasil Uji Hipotesis
4.4.1 Analisis Regresi Variabel Penelitian
Pada tahapan uji hipotesis penelitian, penulis menggunakan teknik analisis regresi
berganda (Multiple Regression Analysis) menggunakan bantuan software SPSS
65
20.0 seperti yang sudah dijelaskan pada bab tiga teknik analisis data. Dalam teknik
analisis regresi, terdapat tiga hal yang dapat dilihat. Pertama, melihat nilai R Square
untuk mengetahui variasi dari variabel dependen yang disebabkan oleh semua
variabel independen yang diteliti. Kedua, melihat hasil dari Uji F untuk mengetahui
apakah keseluruhan variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel dependen atau tidak. Ketiga, melihat hasil dari Uji T untuk mengetahui
koefisien regresi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen
beserta signifikansinya.
Pada langkah pertama, dari nilai R Square yang didapatkan akan diketahui
berapa persentase variasi variabel dependen yang disebabkan oleh keseluruhan
variabel independen. Variabel dependen pada penelitian ini adalah school
engagement dan variabel independen dalam penelitian ini adalah autonomy
support, involvement, structure, need for autonomy, need for competence, need for
relatedness dan jenis kelamin. Selanjutnya untuk tabel R Square dapat dilihat pada
tabel 4.5 sebagai berikut:
Tabel 4.5
R Square
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .515a .265 .245 8.10830
a. Predictores: (Constant), jeniskelamin, nf_relatedness, nf_autonomy, structure, nf_competence,
involvement, autonomy_support
Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa nilai R Square adalah sebesar 0.265
atau 26.5%. Nilai tersebut memiliki arti bahwa sebesar 26.5% variasi dari school
engagement dapat dijelaskan oleh autonomy support, involvement, stucture, need
66
for autonomy, need for competence, need for relatedness dan jenis kelamin.
Sedangkan 73.5% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian ini.
Setelah nilai R Square didapatkan, selanjutnya penulis melakukan uji F
untuk menganalisa apakah seluruh variabel independen (autonomy support,
involvement, structure, need for autonomy, need for competence, need for
relatedness dan jenis kelamin) berpengaruh secara signifikan terhadap school
engagement. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.6 sebagai berikut:
Tabel 4.6
Hasil Uji F
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 5907.479 7 843.926 12.836 .000b
Residual 16370.368 249 65.744
Total 22277.848 256
b. Predictors: (Constant), jeniskelamin, nf_relatedness, nf_autonomy, structure, nf_competence,
involvement, autonomy_support
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa nilai signifikan adalah 0.000 yang
berarti Sig < 0.05. Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesis nihil
yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari autonomy
support, involvement, structure, need for autonomy, need for competence, need for
relatedness dan jenis kelamin terhadap school engagement ditolak. Artinya, ada
pengaruh yang signifikan autonomy support, involvement, structure, need for
autonomy, need for competence, need for relatedness dan jenis kelamin terhadap
school engagement.
Setelah melihat nilai R Square beserta signifikansinya, langkah terakhir
yang dilihat dari analisis regresi berganda ini adalah melihat signifikansi koefisien
regresi dari setiap variabel independen (autonomy support, involvement, structure,
67
need for autonomy, need for competence, need for relatedness dan jenis kelamin).
Apabila sig < 0.05, maka koefisien regresi berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel dependen (school engagement). Koefisien regresi didapatkan dari hasil uji
T. Adapun koefisien regresi dari setiap variabel independen dapat dilihat pada tabel
4.7 sebagai berikut:
Tabel 4.7
Koefisien Regresi
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig
B Std. Error Beta
1 (Constant) -14.044 9.130 -1.538 .125
Autonomy_Support .269 .084 .259 3.222 .001
Involvement .300 .078 .280 3.871 .000
Structure .236 .079 .222 2.977 .003
NF_Autonomy .232 .084 .161 2.774 .006
NF_Competence .143 .064 .136 2.245 .026
NF_Relatedness .095 .069 .087 1.375 .170
Jeniskelamin .517 1.022 .028 .505 .614
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa koefisien regresi setiap variabel
independen, dan dapat dibuat persamaan regresi sebagai berikut:
School Engagement = -14.044 + 0.269 Autonomy Support + .300 Involvement +
0.236 Structure + 0.232 Need for Autonomy + 0.143 Need for Competence + 0.095
Need for Relatedness – 0.517 Jenis Kelamin + e.
Untuk mengetahui koefisien regresi yang signifikan dapat dilihat pada
kolom nilai signifikan pada setiap variabel independen. Apabila Sig < 0.05, maka
variabel independen tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel
dependen. Berikut adalah penjelasan koefisien regresi pada setiap variabel
independen:
1. Nilai koefisien regresi pada variabel autonomy support sebesar 0.259 dengan
nilai sig sebesar 0.001 (sig < 0.05). Dalam hal ini ada pengaruh yang signifikan
68
dimensi autonomy support pada variabel teacher behavior terhadap school
engagement santri SMA X Boarding School. Dalam penelitian ini autonomy
support memiliki arah hubungan positif yang mengandung arti bahwa semakin
tinggi autonomy support yang dimiliki maka semakin tinggi pula school
engagement, begitu juga sebaliknya.
2. Nilai koefisien regresi pada variabel involvement sebesar 0.280 dengan nilai sig
sebesar 0.000 (sig < 0.05). Dalam hal ini ada pengaruh yang signifikan dimensi
involvement pada variabel teacher behavior terhadap school engagement santri
SMA X Boarding School Dalam penelitian ini involvement memiliki arah
hubungan positif yang memiliki arti bahwa semakin tinggi involvement yang
dimiliki maka semakin tinggi pula school engagement, begitu juga sebaliknya.
3. Nilai koefisien regresi pada variabel structure sebesar 0.222 dengan nilai sig
sebesar 0.003 (sig < 0.05). Dalam hal ini ada pengaruh yang signifikan dimensi
structure pada variabel teacher behavior terhadap school engagement santri
SMA X Boarding School. Dalam penelitian ini strucure memiliki arah hubungan
positif yang memiliki arti bahwa semakin tinggi structure yang dimiliki maka
semakin tinggi pula school engagement, begitu juga sebaliknya.
4. Nilai koefisien regresi pada variabel need for autonomy sebesar 0.161 dengan
nilai sig sebesar 0.006 (sig < 0.05). Dalam hal ini ada pengaruh yang signifikan
dimensi need for autonomy pada variabel kebutuhan dasar psikologis terhadap
school engagement santri SMA X Boarding School. Dalam penelitian ini need
for autonomy memiliki arah hubungan positif yang memiliki arti bahwa semakin
69
tinggi need for autonomy yang dimiliki maka semakin tinggi pula school
engagement, begitu juga sebaliknya.
5. Nilai koefisien regresi pada variabel need for competence sebesar 0.136 dengan
nilai sig sebesar 0.026 (sig < 0.05). Dalam hal ini ada pengaruh yang signifikan
dimensi need for competence pada variabel kebutuhan dasar psikologis terhadap
school engagement santri SMA X Boarding School. Dalam penelitian ini need
for competence memiliki arah hubungan positif yang memiliki arti bahwa
semakin tinggi need for competence yang dimiliki maka semakin tinggi pula
school engagement, begitu juga sebaliknya.
6. Nilai koefisien regresi pada variabel need for relatedness sebesar 0.087 dengan
nilai sig sebesar 0.170 (sig > 0.05). Dalam hal ini tidak ada pengaruh yang
signifikan dimensi need for relatedness pada variabel kebutuhan dasar
psikologis terhadap school engagement santri SMA X Boarding School. Dalam
penelitian ini need for relatedness memiliki arah hubungan positif yang memiliki
arti bahwa semakin tinggi need for relatedness yang dimiliki maka semakin
tinggi pula school engagement, begitu juga sebaliknya.
7. Nilai koefisien regresi pada variabel jenis kelamin sebesar 0.028 dengan nilai sig
sebesar 0.614 (sig > 0.05). Dalam hal ini tidak ada pengaruh yang signifikan
variabel jenis kelamin terhadap school engagement santri SMA X Boarding
School.
Berdasarkan tabel 4.7 dan penjelasan yang telah dijabarkan diketahui bahwa
tedapat lima variabel yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap school
engagement, yaitu variabel autonomy support, involvement, structure, need for
70
autonomy dan need for competence. Untuk mengetahui variabel independen yang
memberikan pengaruh paling besar dapat dilihat dari nilai beta, karena nilai beta
merupakan nilai baku yang sudah berada pada satuan yang sama sehingga dapat
digunakan untuk membandingkan data. Berdasarkan nilai beta yang terdapat pada
tabel 4.7 diketahui bahwa variabel involvement memberikan pengaruh paling besar
terhadap school engagement daripada variabel independen lainnya yakni dengan
nilai beta sebesar 0.280.
4.4.2 Proporsi Varians
Untuk mengetahui besaran sumbangan dari setiap variabel independen, penulis
melakukan perhitungan R-Square Change dengan cara melakukan analisis regresi
satu per satu pada setiap variabel independen. Berikut dijelaskan pada tabel 4.8.
Tabel 4.8
Proporsi Varians
Model R
Square
Change Statistics
R Square
Change
F Change df1 df2 Sig F
Change
Autonomy Support .107 .107 30.536 1 255 .000
Involvement .182 .075 23.383 1 254 .000
Structure .199 .017 5.408 1 253 .021
NF Autonomy .237 .037 12.339 1 252 .001
NF Competence .259 .022 7.434 1 251 .007
NF Relatedness .264 .006 1.953 1 250 .163
Jenis Kelamin .265 .001 .255 1 249 .614
1. Sumbangan yang diberikan variabel autonomy support terhadap school
engagement adalah sebesar 10.7%. Sumbangan tersebut signifikan dengan nilai
sig 0.000 (sig < 0.05).
2. Sumbangan yang diberikan variabel involvement terhadap school engagement
adalah sebesar 7.5%. Sumbangan tersebut signifikan dengan nilai sig 0.000 (sig
< 0.05).
71
3. Sumbangan yang diberikan variabel structure terhadap school engagement
adalah sebesar 1.7%. Sumbangan tersebut signifikan dengan nilai sig 0.021 (sig
< 0.05).
4. Sumbangan yang diberikan variabel need for autonomy terhadap school
engagement adalah sebesar 3.7%. Sumbangan tersebut signifikan dengan nilai
sig 0.001 (sig < 0.05).
5. Sumbangan yang diberikan variabel need for competence terhadap school
engagement adalah sebesar 2.2%. Sumbangan tersebut signifikan dengan nilai
sig 0.007 (sig < 0.05).
6. Sumbangan yang diberikan variabel need for relatedness terhadap school
engagement adalah sebesar 0.6%. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan
nilai sig 0.163 (sig > 0.05).
7. Sumbangan yang diberikan variabel jenis kelamin terhadap school engagement
adalah sebesar 0.1%. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan nilai sig 0.614
(sig > 0.05).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat lima variabel
independen, yaitu autonomy support, involvement, structure, need for autonomy
dan need for competence yang signifikan memberikan sumbangan terhadap school
engagement.
72
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji hipotesis yaitu dengan melihat nilai R square dan
signifkansinya, pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan autonomy support, involvement, structure, need for autonomy, need for
competence, need for relatedness, dan jenis kelamin secara bersama-sama terhadap
school engagement santri SMA X Boarding School.
Berdasarkan uji hipotesis dengan melihat koefisien regresi dan signifikansi
dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen yang dalam
penelitian ini adalah school engagement, di dapatkan hasil bahwa dari tujuh
variabel independen terdapat lima variabel dengan koefisien regresi yang signifikan
mempengaruhi school engagement. Variabel independen tersebut adalah autonomy
support, involvement, structure, need for autonomy, dan need for competence. Dua
variabel independen lainnya yang tidak memiliki pengaruh secara signifikan
terhadap school engagement adalah need for relatedness dan jenis kelamin.
Berdasarkan perhitungan proporsi varians, diketahui variabel independen yang
paling besar memberi sumbangan terhadap school engagement adalah autonomy
support.
5.2 Diskusi
Berdasarkan uji hipotesis yang telah dilakukan, diketahui bahwa dari tujuh variabel
independen yang diteliti terdapat lima variabel yang masing-masing signifikan
73
mempengaruhi school engagement. Kelima variabel tersebut antara lain autonomy
support, involvement, structure, need for autonomy, dan need for competence.
Setiap individu memiliki tingkat school engagement yang berbeda-beda
yang disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu variabel yang mempengaruhi
school engagement secara signifikan dalam penelitian ini adalah teacher behavior.
Ketiga dimensi dari variabel teacher behavior terbukti mempengaruhi school
engagement. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erdogdu
(2016) yang menyebutkan bahwa siswa yang mempersepsikan peran guru secara
positif dan telah mendukung secara emosional, siswa tersebut memiliki tingkat
school engagement yang lebih tinggi.
Dimensi pertama dari teacher behavior adalah autonomy support. Dalam
hasil penelitian ini, autonomy support memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
school engagement dengan nilai koefisien regresi sebesar +0.259 dan nilai
signifikasi sebesar 0.001. Hal ini dapat diartikan bahwa dimensi autonomy support
secara positif mempengaruhi school engagement dan signifikan. Dimana semakin
tinggi autonomy support maka semakin tinggi pula school engagement. dengan
demikian, maka H1 penelitian yang menyatakan ada pengaruh yang signifikan
autonomy support terhadap school engagement diterima.
Teacher autonomy support mengacu pada sejauh mana siswa memandang
guru sebagai seseorang yang menyediakan kesempatan kepada siswa untuk
memilih dan mengambil keputusan sehubungan dengan pembelajaran dan
kehidupan seputar sekolah. Hasil penelitian dimensi autonomy support terhadap
school engagement ini selaras dengan Yu et.al (2016) yang menyatakan bahwa
74
teacher autonomy support dapat membantu meningkatkan kemandirian pada siswa
yang kemudian akan mendorong kesediaan atau motivasi siswa untuk terlibat dalam
kegiatan di sekolah. Wang, Liu, Ding, Xu, Liu, dan Zhen (2017) dalam jurnal
penelitiannya menyimpulkan bahwa teacher autonomy support merupakan suatu
konteks sosial yang memiliki peranan penting dalam terjadinya kebosanan pada
siswa. Kebosanan pada siswa ini merupakan bentuk dari emotional engagement
yang rendah.
Wang et.al (2017) menyebutkan siswa yang mempersepsikan bahwa guru
telah mendukung otonomi siswa, siswa tersebut akan memiliki tingkat kebosanan
(emotional engagement) yang rendah karena siswa merasa telah memiliki kapasitas
untuk belajar (self-efficacy) dan merasa bahwa kegiatannya di sekolah merupakan
hal yang menarik dan menyenangkan. Penelitian ini mengungkapkan bahwa apabila
siswa telah mendapat dukungan otonomi dari guru, hal ini akan menampilkan
perilaku siswa yang menjadi semakin kreatif dalam memilah dan memilih terkait
apa yang menjadi pilihan siswa, lebih menikmati dan memberikan usahanya
terhadap limgkup pembelajaran yang lebih besar.
Dimensi kedua dari teacher behavior adalah involvement. Dalam hasil
penelitian ini, involvement memiliki pengaruh yang signifikan terhadap school
engagement dengan nilai koefisien regresi sebesar +0.280 dan nilai signifikasi
sebesar 0.000. Hal ini dapat diartikan bahwa dimensi involvement secara positif
mempengaruhi school engagement dan signifikan. Dimana semakin tinggi
involvement maka semakin tinggi pula school engagement. Dengan demikian, H2
75
penelitian yang menyatakan ada pengaruh yang signifikan involvement terhadap
school engagement diterima.
Involvement diartikan sebagai kualitas hubungan interpersonal yang
dibangun antara guru dengan siswa. Hubungan interpersonal tersebut dapat
dibangun oleh guru dengan mengekspresikan kepedulian dan kasih sayangnya
kepada para siswa. Hasil penelitian ini selaras dengan Ormrod (2009) dimana ketika
siswa telah mempersepsikan bahwa dirinya memiliki hubungan yang positif dengan
gurunya, siswa akan memiliki motivasi intrinsik yang lebih besar untuk belajar dan
self efficacy yang lebih tinggi sehingga akan berpengaruh terhadap keterlibatan
dalam pembelajaran yang lebih tinggi pula. Selain itu, siswa juga menampilkan
perilaku yang cenderung tidak nakal dan berprestasi di tingkat yang lebih tinggi.
Sehingga jelas bahwa siswa yang memiliki hubungan yang sehat dan hangat dengan
guru tentu akan menampilkan school engagement yang juga positif yang juga akan
berdampak baik terhadap prestasi belajar siswa.
Hasil penelitian dimensi involvement terhadap school engagement ini juga
semakin diperkuat dengan pernyataan yang disimpulkan oleh Roorda, Koomen,
Spilt, dan Oort (2011) bahwa hubungan siswa dengan guru dianggap dapat
menstimulasi perilaku belajar pada siswa dan mendukung siswa untuk dapat
mengatasi dan menangani dengan baik berbagai tuntutan yang ada dalam konteks
sekolah. Oleh karena itu jelas apabila guru telah memulai untuk membangun
hubungan dan memberikan perhatian yang lebih baik kepada siswa, hal ini akan
berdampak terhadap perilaku yang ditampilkan dalam situasi belajar di sekolah
yang semakin terlibat secara perilaku, emosi dan kognisi siswa.
76
Roorda et.al (2011) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa hubungan
yang dibangun oleh guru merupakan indikator yang sangat penting bukan hanya
terhadap siswa pada umumnya, tetapi juga dikhususkan untuk siswa yang secara
akademis memiliki masalah atau beresiko. Hal ini dapat diasumsikan ketika siswa
memiliki masalah secara akademis, guru yang mampu memulai untuk membangun
hubungan secara personal dengan siswa dengan lebih hangat dan mampu
mempertahankannya tentu akan membuat siswa merasa lebih aman secara afektif
atau emosional sehingga siswa akan lebih nyaman untuk mengeksplorasi
lingkungan pembelajarannya. Penelitian ini mengungkapkan bahwa siswa yang
mempersepsikan gurunya telah memberikan involvement dengan baik, maka siswa
tersebut akan merasa nyaman untuk menjalin hubungan, bertanya, atau bahkan
berdiskusi dengan guru sehingga siswa akan memiliki motivasi yang lebih tinggi
untuk terlibat dengan kegiatannya di sekolah.
Dimensi ketiga dari teacher behavior adalah structure. Dalam hasil
penelitian ini, structure memiliki pengaruh yang signifikan terhadap school
engagement dengan nilai koefisien regresi sebesar +0.222 dan nilai signifikasi
sebesar 0.003. Hal ini dapat diartikan bahwa dimensi structure secara positif
mempengaruhi school engagement dan signifikan. Dimana semakin tinggi
structure maka semakin tinggi pula school engagement. Dengan demikian, H3
penelitian yang menyatakan ada pengaruh yang signifikan structure terhadap
school engagement diterima.
Structure diartikan sebagai sejumlah informasi yang diberikan oleh guru
berkaitan dengan cara dan strategi untuk mencapai prestasi di sekolah secara
77
efektif. Hasil penelitian ini sejalan dengan Tucker et.al (2002) bahwa apabila guru
telah memberikan structure secara positif melalui pemberian harapan yang jelas,
aturan yang adil dan konsisten, hal ini dapat mendorong persepsi diri siswa di kelas
menjadi semakin positif sehingga mampu meningkatkan keterlibatan siswa di
dalam kelas. Saravani, Marziyeh, dan Jenaabadi (2017) menyatakan apabila guru
telah menerapkan structure dengan baik, siswa akan lebih percaya diri dan
mengurangi kekhawatiran ketika siswa mengajukan pertanyaan seputar hal-hal
yang ingin diketahuinya lebih lanjut dimana dalam hal ini emosi yang ditampilkan
siswa adalah positif yakni lebih menikmati setiap pembelajaran yang diberikan.
Ormrod (2009) menyebutkan bahwa kelas yang diatur dengan baik adalah
kelas dimana siswanya selalu terlibat dalam aktivitas belajar yang produktif dan
perilaku mereka jarang mengganggu tercapainya tujuan pengajaran. Dalam hal ini
dapat diartikan bahwa peran guru dalam memberikan dan menerapkan structure di
dalam kelas sangat berdampak terhadap keberhasilan aktivitas siswa di dalam kelas.
Berkebalikan dengan guru yang tidak dapat memberikan structure dengan baik,
situasi kelas yang ditampilkan oleh para siswa akan sangat kacau dan ribut dalam
konteks yang negatif yang dapat disebabkan karena guru tidak merencanakan
pelaksanaan pembelajaran dengan matang dan mempersiapkan segala
kemungkinan masalah yang ditampilkan oleh siswa dengan baik.
Penelitian ini mengungkapkan apabila siswa telah mempersepsikan bahwa
guru telah memberikan struktur dengan baik, hal ini akan membuat siswa semakin
positif dalam menampilkan perilaku, emosi serta usahanya terhadap kegiatan
belajar di sekolah. Sehingga dapat disimpulkan dalam hasil penelitian ini bahwa
78
apabila semakin tinggi struktur yang diberikan oleh guru maka semakin tinggi pula
school engagement pada siswa.
Variabel berikutnya yang diteliti memprediksi school engagement adalah
variabel kebutuhan dasar psikologis. Variabel kebutuhan dasar psikologis memiliki
tiga dimensi, namun dalam penelitian ini hanya dua dimensi yang memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap school engagement yakni dimensi need for
autonomy dan dimensi need for competence. Berdasarkan penelitian ini dimensi
need for relatedness tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap school
engagement.
Dimensi pertama pada variabel kebutuhan dasar psikologis adalah need for
autonomy. Dalam hasil penelitian ini need for autonomy memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap school engagement dengan nilai koefisien regresi sebesar
+0.161 dan nilai signifikasi sebesar 0.006. Hal ini dapat diartikan bahwa dimensi
need for autonomy secara positif mempengaruhi school engagement dan signifikan.
Dimana semakin tinggi need for autonomy maka semakin tinggi pula school
engagement. Dengan demikian, H4 penelitian yang menyatakan ada pengaruh yang
signifikan need for autonomy terhadap school engagement diterima.
Hasil penelitian dimensi need for autonomy terhadap school engagement ini
sejalan dengan pernyataan Evans dan Freer (2017) bahwa ketika siswa telah
memiliki keyakinan untuk menampilkan perilaku secara otonom, siswa cenderung
dapat mengatasi stress belajar dengan baik serta mempertahankan tujuannya dalam
mengejar prestasi yang diharapkan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa siswa
79
akan lebih terlibat secara perilaku, emosi dan kognisi dengan kegiatan di
sekolahnya dalam mengejar prestasi yang diharapkan.
Appleton, Christenson dan Furlong (2008) menyatakan bahwa siswa yang
memiliki otonomi dalam dirinya akan menampilkan karakteristik rasa ingin tahu
yang lebih tinggi dan meningkatkan ketekunannya dalam mengerjakan tugas-tugas
akademik. Sehingga dapat disimpulkan dalam penelitian ini bahwa semakin tinggi
otonomi yang dirasakan maka semakin tinggi pula school engagement pada siswa.
Dimensi kedua pada variabel kebutuhan dasar psikologis adalah need for
competence. Dalam hasil penelitian ini need for competence memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap school engagement dengan nilai koefisien regresi sebesar
+0.136 dan nilai signifikasi sebesar 0.026. Hal ini dapat diartikan bahwa dimensi
need for competence secara positif mempengaruhi school engagement dan
signifikan. Dimana semakin tinggi need for competence maka semakin tinggi pula
school engagement. Dengan demikian, H5 penelitian yang menyatakan ada
pengaruh yang signifikan need for competence terhadap school engagement
diterima.
Hasil penelitian dimensi need for competence terhadap school engagement
ini sejalan dengan penelitian Nurttila et.al (2015) yang menunjukkan hasil bahwa
siswa dengan engagement yang tinggi merupakan siswa yang mencerminkan sikap
optimis dan keyakinan bahwa ia berkompeten dalam menghadapi tantangan dalam
konteks akademik. Hal ini dikarenakan bahwa siswa yang meyakini kompetensi
dalam dirinya bisa jadi cenderung lebih jarang dalam menghindari tugas dan lebih
80
sering mengalami tantangan yang lebih tinggi dalam kegiatan pembelajaran di
sekolah.
Wang dan Eccles (2013) menyatakan bahwa siswa yang meyakini
kompetensi atas dirinya, siswa tersebut akan mengetahui cara yang efektif dalam
mencapai hasil yang diinginkan dimana dalam situasi pembelajaran proses dalam
memberikan usaha yang efektif untuk mencapai hasil yang diinginkan merupakan
bagian dari bentuk keterlibatan siswa di sekolah. Dalam penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi kompetensi yang dirasakan, maka semakin
tinggi pula school engagement pada siswa.
Dimensi ketiga pada variabel kebutuhan dasar psikologis adalah need for
relatedness. Dalam hasil penelitian ini need for relatedness tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap school engagement dengan nilai koefisien
regresi sebesar +0.087 dan nilai signifikasi sebesar 0.170. Hal ini dapat diartikan
bahwa dimensi need for relatedness secara positif mempengaruhi school
engagement tetapi tidak signifikan. Dimana semakin tinggi need for relatedness
maka semakin tinggi pula school engagement walaupun secara statistik tidak
signifikan. Dengan demikian, H6 penelitian yang menyatakan ada pengaruh yang
signifikan need for relatedness terhadap school engagement ditolak.
Hasil penelitian need for relatedness terhadap school engagement ini tidak
sejalan dengan penelitian Furrer dan Skinner (2003) yang menyatakan bahwa
relatedness memiliki pengaruh unik yang signifikan terhadap school engagement.
Hasil penelitian ini bisa jadi dikarenakan siswa memiliki hubungan yang hangat
dan dekat dengan mitra sosial (orang tua, guru, teman sebaya atau significant others
81
lainnya) yang tidak atau kurang memotivasi siswa untuk dapat meningkatkan
perilaku (partisipasi), emosi (minat dan antusiasme) dan kognitif (perencanaan
siswa dalam belajar) ke arah yang lebih positif sehubungan dengan pembelajaran
maupun kehidupan di sekolah.
Selain variabel teacher behavior dan kebutuhan dasar psikologis, adapula
jenis kelamin sebagai variabel demografis yang juga diteliti pengaruhnya terhadap
school engagement. Berdasarkan hasil penelitian ini, variabel jenis kelamin tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap school engagement dengan nilai
koefisien regresi sebesar +0.028 dan nilai signifikasi sebesar 0.614. Hal ini dapat
diartikan bahwa jenis kelamin secara positif mempengaruhi school engagement
tetapi tidak signifikan. Dimana semakin tinggi jenis kelamin maka semakin tinggi
pula school engagement walaupun secara statistik tidak signifikan. Dengan
demikian, H7 penelitian yang menyatakan ada pengaruh yang signifikan jenis
kelamin terhadap school engagement ditolak.
Hasil penelitian jenis kelamin terhadap school engagement ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pagar (2016) dimana jenis kelamin
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap school engagement. Selain itu,
hasil penelitian yang dilakukan oleh Masruri, Riva’ie dan Buwono (2014) juga
mengungkapkan bahwa peran jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap keaktifan belajar siswa. Hal ini dapat disebabkan karena peran gender
dapat berubah-ubah seiring waktu, dapat berbeda antara satu kultur dengan kultur
lainnya dan sangat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang ekonomi.
82
Pada santri dan santriwati SMA X Boarding School hasil penelitian ini tidak
berpengaruh signifikan mungkin dikarenakan oleh kultur yang terdapat di sekolah,
dimana SMA X Boarding School merupakan sekolah berasrama yang
memungkinkan terjadinya kecenderungan perlakuan yang diberikan oleh pihak
sekolah kepada santri dan santriwati adalah sama. Selain itu dapat juga dikarenakan
oleh latar belakang keluarga santri dan santriwati yang sebagian besar merupakan
dari keluarga kelas menengah dimana semakin tinggi latar belakang sosial ekonomi,
maka kesadaran peran gender akan semakin baik dalam lingkungan tersebut
(Masruri et.al., 2014). Hasil penelitian ini membuktikan adanya perbedaan yang
sangat tipis skor school engagement antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
cenderung lebih terlibat dalam kegiatan di sekolah daripada perempuan, walaupun
hal ini tidak signifikan secara statistik.
Penelitian ini tentunya tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan
sehingga harus dilakukan evaluasi lebih lanjut untuk penelitian yang akan
dilakukan selanjutnya. Peneliti menyadari bahwa terdapat beberapa hal yang
menjadi keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, pengambilan data dari setiap
responden yang dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas sedang
berlangsung, hal ini tentunya sedikit banyak mempengaruhi kontrol siswa dalam
menjawab setiap pernyataan yang diberikan dalam kuesioner. Kedua, peneliti juga
menemukan banyaknya siswa yang kurang memahami maksud kata dan kalimat
dari beberapa pernyataan yang diajukan dalam kuesioner, hal ini mungkin saja
dapat membuat bias hasil penelitian.
83
5.3 Saran
Pada penelitian ini, penulis membagi saran menjadi dua kategori, yaitu saran teoritis
dan saran praktis. Saran teoritis merupakan bahan pertimbangan untuk
perkembangan penelitian selanjutnya, sedangkan saran praktis merupakan bahan
masukan untuk setiap pembaca sehingga dapat mengambil manfaat dari penelitian
ini.
5.3.1 Saran Teoritis
1. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa dari tujuh
variabel independen yang diteliti menyumbang sebesar 26.5%. artinya,
proporsi dari school engagement yang dijelaskan oleh teacher autonomy
support, teacher involvement, teacher structure, need for autonomy, need
for competence, need for relatedness, dan jenis kelamin dalam penelitian ini
adalah sebesar 26.5% sedangkan 73.5% lainnya dipengaruhi oleh variabel
lain diluar penelitian ini. Disarankan bagi penelitian school engagement
selanjutnya untuk menggunakan variabel lain diluar variabel independen
pada penelitian ini seperti school climate, teman sebaya, dan school size.
2. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk menggunakan variabel demografis
selain jenis kelamin sebagai variabel prediktor, yakni seperti status sosial
ekonomi.
3. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan pada pengukuran school
engagement menggunakan metode student self-report dan juga teacher
report agar dapat membandingkan hasil engagement pada siswa
berdasarkan kedua metode tersebut.
84
4. Penelitan lebih lanjut disarankan untuk melakukan adaptasi alat ukur
menggunakan ahli penerjemah dan ahli konstruk sebanyak minimal tiga kali
untuk dapat meminimalisir terjadinya faking good atau faking bad pada saat
pengisian kuesioner dan juga untuk meminimalisir banyaknya item-item
yang di drop pada analisis CFA (Confirmatory Factor Analysis).
5.3.2 Saran Praktis
1. Berdasarkan hasil penelitian, ketiga dimensi dari variabel teacher behavior
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap school engagement. Maka hal
praktis yang dapat dilakukan adalah upaya dari pihak sekolah untuk
meningkatkan kompetensi dan peran guru di sekolah. Salah satu usaha yang
dapat diberikan adalah menyediakan pelatihan-pelatihan kepada guru di
sekolah dengan tujuan mencapai kesadaran para guru terkait pentingnya
peranan guru di sekolah dan hal apa dari guru yang sangat diperlukan oleh
siswa terkait proses pembelajaran di sekolah. Selain itu dapat pula
diberlakukannya program evaluasi secara rutin terhadap kinerja guru di
sekolah. Secara bertahap guru diawasi oleh kepala sekolah dan kepala
sekolah diawasi oleh pengawas sekolah. Sehingga kinerja yang diberikan
oleh guru terpantau dengan baik.
2. Hasil temuan ini dapat menjadi inspirasi bagi guru untuk merancang
program pembelajaran yang lebih kreatif dan tidak monoton. Contohnya,
memanfaatkan berbagai media pembelajaran yang ada, membuat sesi
kegiatan belajar mengajar yang lebih interaktif seperti pembelajaran
berbasis diskusi serta memberikan pelayanan individu kepada para siswa
85
dimana hal ini diharapkan akan dapat menjembatani hubungan yang positif
antara guru dengan siswa.
3. Hasil ini juga menunjukkan bahwa kebutuhan dasar psikologis yakni
kebutuhan untuk otonomi, dan kebutuhan untuk kompeten memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap school engagement. Hal ini dapat
diartikan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar psikologis pada siswa sangat
penting pengaruhnya terhadap keterlibatan siswa di sekolah. Oleh karena
itu, penting bagi orang-orang disekitar siswa untuk menyediakan
pemenuhan kebutuhan dasar psikologis pada siswa. Hal yang dapat
dilakukan adalah orang orang disekitar siswa perlu mengenal dan
memahami tingkat kebutuhan siswa, sehingga dapat membantu dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka melalui berbagai aktivitas
kependidikan, termasuk aktivitas pembelajaran. Upaya yang dapat
diberikan oleh pihak sekolah adalah dengan menyediakan program
bimbingan dan konseling. Dengan mengadakan program ini, pihak sekolah
tentunya dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhan apa yang masih perlu
ditingkatkan secara psikologis dari diri siswa.
4. Siswa juga diharapkan dapat memahami pentingnya memiliki school
engagement yang tinggi sehingga siswa dapat memaksimalkan pencapaian
dalam pendidikannya di sekolah dan mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan secara maksimal. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan
memberikan training motivasi untuk berprestrasi pada siswa yang
memungkinkan untuk timbulnya kesadaran dalam diri siswa terkait
86
pentingnya memiliki keterlibatan secara optimal dengan setiap kegiatan di
sekolah.
87
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, S.Z., & Arlinkasari, F. (2017). Hubungan antara school engagement,
academic self-efficacy dan academic burnout pada mahasiswa. Humanitas.
1(2), 81-102.
Appleton, J.J., Christenson, S.L., & Furlong, M.J. (2008). Student engagement with
school: Critical conceptual and methodological issues of the construct.
Psychology in the School.45(5), 369 – 386.
Basic Psychological Needs Satisfaction Scale. Diunduh pada tanggal 19 Desember
2017 dari http://selfdeterminationtheory.org/basic-psychological-needs-
scale/.
Brophy, J. (1986). Teacher influences on student achievement. American
Psychologist. 41(10), 1069-1077.
Connell, J.P., & Wellborn, J.G. (1991). Competence, autonomy, and relatedness: A
motivational analysis of self-system processes. Dalam Gunnar, M.R., &
Sroufe, L.A (ed.), The Minnesota symposia on child psychology, Vol. 23.
Self processes and development (pp. 43-77). Hillsdale, NJ, US: Lawrence
Erlbaum Associates, Inc.
Connell, J.P., Spencer, M.B., & Aber. J.L. (1994). Educational risk and resilience
in african-american youth: Context, self, action, and outcomes in school.
Research in Child Development. 65, 493-506.
Deci, E.L., & Ryan, R.M. (2000). Self determination theory and the facilitation of
intrinsic motivation, social development, and well-being. American
Psychologist. 55(1), 68-75.
Deci, E.L., & Ryan, R.M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human
needs and the self determination of behavior. Psychological Inquiry: An
International Journal for the Advancement of Psychological Theory. 11(4),
227-268.
Deci, E.L., & Ryan, R.M. (2008). Self-determination theory: A macrotheory of
human motivation, development, and health. Canadian Psychology. 49(3),
182-185.
Englund, M.M., Egeland, B., & Collins, W.A. (2008). Exceptions to high school
dropout predictions in a low-income sample: Do adults make a difference?.
Journal of Social Issues. 64(1), 77-93.
Erdogdu, M.Y. (2016). Analysis of student’s school engagement in terms of
friendship and teacher’s behavior. Educational Research and Reviews.
11(22), 2057-2064
88
Evans, P., & Freer, E. (2017). Psychological needs satisfaction and value in
student’s intentions to study music in high school. Psychology of Music. 1-
15. doi : 10.1177/0305735617731613.
Fauzie, F.M. (2012). Hubungan antara pemenuhan kebutuhan dasar psikologis dan
keterlibatan siswa dalam belajar. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Fernandez, A.Z., Goni, E., Camino, I., & Zulaika, L.M. (2015). Family and school
context in school engagement. European Journal of Education and
Psychology. 1-9. doi : 10.1016/j.ejeps.2015.09.001.
Finn, J.D. (1989). Withdrawing from school. Review of Educational Research
Summer. 59(2), 117-142.
Fredricks, J.A., Blumenfeld, P.C., & Paris, A.H. (2004) School engagement:
Potential of the concept, state of the evidence. Review of Educational
Research Spring. 74(1), 59-109.
Fredricks, J.A., Blumenfeld, P., Friedel, J., & Paris, A. (2005). Chapter 19: School
engagement. Dalam Moore, K.A & Lippman, L.H (ed). What Do Children
Need to Flourish?. (305-321). London: Springer.
Fredricks, J., McColskey, W., Meli, J., Mordica, J., Montrosse, B., & Mooney, K.
(2011). Measuring Student Engagement in Upper Elementary through High
School: A Description of 21 Instruments. (Issues & Answers Report, REL
2011–No. 098). Washington, DC: U.S. Department of Education, Institute
of Education Sciences, National Center for Education Evaluation and
Regional Assistance, Regional Educational Laboratory Southeast.
Fredricks, J.A., & McColskey, W. (2012). Chapter 37: The measurement of student
engagement: A comparative analysis of various methods and student self-
report instruments. Dalam S.L. Christenson et al. (ed). Handbook of
Research on Student Engagement. (763-782). London: Springer
Furrer, C., & Skinner, E. (2003). Sense of relatedness as a factor in children’s
academic engagement and performace. Journal of Educational Psychology.
95(1), 148-162.
Gagnon, H. (2007). Need satisfaction, conflict, and academic disengagement: An
extension of self-determination theory. Thesis. Department of Psychology
McGill University Montreal.
Jang, H., Reeve, J., Ryan, R.M., & Kim, A. (2009). Can self-determination theory
explain what underlies the productive, satisfying learning experiences of
collectivistically oriented korean students? Journal of Educational
Psychology. 101(3), 644-661.
Juwita, Y.L., & Kusdiyati, S.(2015). Hubungan antara parent involvement dengan
student engagement pada siswa kelas XI di SMK TI Garuda Nusantara
89
Cimahi. Prosiding Penelitian Sivitas Akademika Unisba (Sosial dan
Humaniora). 252-261.
Kindermann, T. (2016). Chapter 3: Peer group influences on student’s academic
motivation. Dalam Wentzel, K.R & Ramani, G.B. (ed). Handbook of Social
Influences in School Context, Social-Emotional, Motivation, and Cognitive
Outcomes. (31-47). London: Routledge.
King, R.B. (2016). Gender differences in motivation, engagement and achievement
are related to student’s perceptions of peer- but not of parent or teacher –
attitudes toward school. Learning and Individual Differences. 52, 60-71.
Klem, A.M., & Connell, J.P. (2004). Relationships matter: Linking teacher support
to student engagement and achievement. Journal of School Health. 74(7),
262-273.
Krapp, A. (2005). Basic needs and the development of interest and instrinsic
motivational orientations. Learning and Instruction. 15, 381-395. doi :
10.1016/j.learninstruc.2005.07.007.
Martin, A.J., Papworth, B., Ginns, P., & Liem, G.A.D. (2014). Boarding school,
academic motivation and engagement, and psychological well-being: A
large-scale investigation. American Educational Research Journal. 51(5),
1007-1049.
Masruri, M.K., Riva’ie, W., & Buwono, S. (2014). Pengaruh gender terhadap
keaktifan belajar siswa pada mata pelajaran sosiologi di SMA. Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran. 3(8), 1-11.
Mustika, A.R., & Kusdiyati, S. (2015). Studi deskriptif student engagement pada
siswa kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung. Prosiding Penelitian
Sivitas Akademika Unisba (Sosial dan Humaniora). 244-251.
Newmann, F.M., Wehlage, G.G., & Lamborn, S.D. (1992). Chapter 1: The
significance and sources of student engagement. Dalam F.M Newmann (ed).
Student Engagement and Achievement in American Secondary Schools. (11-
39). Newyork and London: Teachers College, Columbia University.
Niemiec, C.P., & Ryan, R.M. (2009). Autonomy, competence, and relatedness in
the classroom, applying self-determination theory to educational practice.
Theory and Research in Education. 7(2), 133-144.
Nurttila, S., Ketonen, E., & Lonka, K. (2015). Sense of competence and optimism
as resources to promote academic engagement. Procedia – Social and
Behavioral Sciences. 171, 1017-1026.
Ormrod, J.E. (2009). Psikologi Pendidikan, Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang (Vol.6, 2nd ed). Jakarta: Penerbit Erlangga.
90
Pagar, A.A. (2016). The effect of gender and perceived control on student
engagement. 1-17. Diakses dari : https://www.researchgate.net/publication
/305305552.
Polii, E.E.V. (2015). School engagement pada siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith
Muntilan. Jurnal Ilmiah Universitas Kristen Maranatha. 4(1), 39-44.
Ripski, M.B., & Gregory, A. (2009). Unfair, unsafe, and unwelcome: Do high
school student’s perceptions of unfairness, hostility, and victimization in
school predict engagement and achievement?. Journal of School Violence.
8, 355-375. doi : 10.1080/15388220903132755
Roorda, D.L., Koomen, H.M.Y., Spilt, J.L., & Oort, F.J. (2011). The influence of
affective teacher-student relationships on student’s school engagement and
achievement: A meta-analytic approach. Review of Educational Research.
81(4), 493-529.
Ryan, R.M., Stiller, J.D., & Lynch, J.H. (1994). Representations of relationships to
teachers, parents, and friends as predictors of academic motivation and self-
esteem. Journal of Early Adolescence. 14(2), 226-249.
Santrock, J.W. (2009). Psikologi Pendidikan (Vol.2, 2nd ed). Jakarta: Salemba
Humanika.
Saravani, S., Marziyeh, A., & Jenaabadi, H. (2017). The relationship of the
dimensions of perceived teaching style with student’s mathematics
achievement and self-efficacy. IEJME – Mathematics Education. 12(2),
349-358.
Sari, R.P. (2014). Faktor penyebab perilaku membolos peserta didik dan upaya guru
BK dalam mengatasinya, studi terhadap peserta didik di SMA Negeri 1 Kota
Solok. E-Jurnal Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Sumatera Barat.
Skinner, E.A., Wellborn, J.G., & Connell, J.P. (1990). What it takes to do well in
school and whether i’ve got it: A process model of perceived control and
children’s engagement and achievement in school. Journal of Educational
Psychology. 82(1), 22-32.
Skinner, E.A., & Belmont, M.J. (1993). Motivation in the classroom: Reciprocal
effects of teacher behavior and student engagement across the school year.
Journal of Educational Psychology. 85(4). 571-581.
Skinner, E.A., Kindermann, T.A., & Furrer, C.J. (2009). A motivational perspective
on engagement and disaffection: Conceptualization and assessment of
children’s behavioral and emotional participation in academic activities in
the classroom. Educational and Psychological Measurement. 69(3), 493-
525.
Statistik Sekolah Menengah Atas (SMA) 2016/2017. Pusat Data dan Statistik
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakata: Setjen, Kemdikbud.
91
Stevens, N.G., & Peltier, G.L. (1994). A review of research on small-school student
participation in extracurricular activities. Journal of Research in Rural
Education. 10(2). 116-120.
Sujisha, T.G., & Manikandan, K. (2014). Influence of school climate on school
engagement among higher secondary school students. International Journal
of Social Science & Interdisciplinary Research. 3(6), 188-198.
Teacher as Social Context (TASC). Two Measures of Teacher Provision of
Involvement, Structure, and Autonomy Support. Diunduh pada tanggal 19
Desember 2017 dari https://www.pdx.edu/sites/www.pdx.edu.psy/files/
Assessment-12-TeacherAsSocialContext.doc.
Tucker, C.M., Zayco, R.A., Herman, K.C., Reinke, W.M., Trujillo, M., Carraway,
K., Wallack, C., & Ivery, P.D. (2002). Teacher and child variables as
predictors of academic engagement among low-income african american
children. Psychology in School. 39(4), 477-488.
Umar, Jahja. (2011). Confirmatory factor analysis: Bahan Ajar Perkuliahan.
Fakultas Psikologi UIN Jakarta.
Wang, M., & Eccles, J.S. (2013). School context, achievement motivation, and
academic engagement: A longitudinal study of school engagement using a
multidimensional perspective. Learning and Instruction. 28, 12-23.
Wang, J., Liu, R., Ding, Y., Xu, L., Liu, Y., & Zhen, R. (2017). Teacher’s autonomy
support and engagement in math: Multiple mediating roles of self-efficacy,
intrinsic value, and boredom. Frontiers in Psychology. 8, 1-10.
Yu, C., Li, X., Wang, S., & Zhang, W. (2016). Teacher autonomy support reduces
adolescent anxiety and depression: An 18-month longitudinal study.
Journal of Adolescence. 49, 115-123.
LAMPIRAN
I. Lampiran Surat Izin Penelitian
II. Lampiran Alat Ukur School Engagement
School Engagement Measurement (SEM)
Fredricks & Blumenfeld
No. Item
1. I follow the rules at school
2. I get in trouble at school
3. When I am in class, I just act as if I am working
4. I pay attention in class
5. I complete my work on time
6. I like being at school
7. I feel excited by my work at school
8. My classroom is a fun place to be
9. I am interested in the work at school
10. I feel happy in school
11. I feel bored in school
12. I check my schoolwork for mistakes
13. I study at home even when I don't have a test
14. I try to watch TV shows about things we do in school
15. When I read a book, I ask myself questions to make sure I understand
what it is about
16. I read extra books to learn more about things we do in school
17. If I don't know what a word means when I am reading, I do something
to figure it out
18. If I don't understand what I read, I go back and read it over again
19. I talk with people outside of school about what I am learning in class
III. Lampiran Alat Ukur Teacher Behavior
Teacher as Social Context (TASC) – Short Form
Belmont, Skinner, Wellborn, & Connell
No. Item
1. My teacher likes me
2. My teacher really cares about me
3. My teacher knows me well
4. My teacher just doesn’t understand me
5. My teacher spends time with me
6. My teacher talks with me
7. I can’t depend on my teacher for important things
8. I can’t count on my teacher when I need him/her
9. Everytime I do something wrong, my teacher acts differently
10. My teacher keeps changing how he/she acts towards me
11. My teacher doesn’t make it clear what he/she expects of me in class
12. My teacher doesn’t tell me what he/she expects of me in school
13. My teacher shows me how to solve problems for myself
14. If I can’t solve a problem, my teacher shows me different ways to try to
15. My teacher makes sure I understand before he/she goes on
16. My teacher checks to see if I’m ready before he/she starts a new topic
17. My teacher gives me a lot of choices about how I do my schoolwork
18. My teacher doesn’t give me much choice about how I do my schoolwork
19. My teacher is always getting on my case about schoolwork
20. It seems like my teacher is always telling me what to do
21. My teacher listens to my ideas
22. My teacher doesn’t listen to my opinion
23. My teacher talks about how I can use the things we learn in school
24. My teacher doesn’t explain why what I do in school is important to me
IV. Lampiran Alat Ukur Kebutuhan Dasar Psikologis
Basic Psychological Need Satisfaction in General
Deci & Ryan
No. Item
1. I feel like I am free to decide for myself how to live my life
2. I really like the people I interact with
3. Often, I do not feel very competent
4. I feel pressured in my life
5. People I know tell me I am good at what I do
6. I get along with people I come into contact with
7. I pretty much keep to myself and don't have a lot of social contacts
8. I generally feel free to express my ideas and opinions
9. I consider the people I regularly interact with to be my friends
10. I have been able to learn interesting new skills recently
11. In my daily life, I frequently have to do what I am told
12. People in my life care about me
13. Most days I feel a sense of accomplishment from what I do
14. People I interact with on a daily basis tend to take my feelings into
consideration
15. In my life I do not get much of a chance to show how capable I am
16. There are not many people that I am close to
17. I feel like I can pretty much be myself in my daily situations
18. The people I interact with regularly do not seem to like me much
19. I often do not feel very capable
20. There is not much opportunity for me to decide for myself how to do
things in my daily life
21. People are generally pretty friendly towards me
V. Lampiran Kuesioner
Kuesioner Penelitian
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Selamat Pagi/Siang/Sore
Perkenalkan, Saya Mahasiswi Psikologi semester 8 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Saya meminta bantuan anda untuk menjadi responden dalam penelitian skrispi saya.
Saya mengharapkan kesediaan dari anda untuk mengisi pernyataan-pernyataan
berikut ini secara jujur dan apa adanya. Dalam skala ini tidak ada jawaban benar
maupun salah. Adapun informasi atau data yang anda berikan akan sangat
bermanfaat bagi penelitian ini dan aka terjamin kerahasiaannya, serta hanya
digunakan untuk kepentingan pengumpulan data.
Apabila anda menyetujui, maka dengan ini penulis mohon kesediaan untuk
menandatangani lembaran persetujuan dan memberi respon pada pernyataan-
penyataan yang penulis ajukan. Saya selaku peneliti memohon maaf apabila
terdapat kesalahan dalam penulisan. Atas kerja sama dan bantuannya, saya ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.
Peneliti,
Nur Amalina
LEMBAR PERSETUJUAN
Saya telah membaca penjelasan pada lembaran pertama, saya memahami bahwa
penelitian ini tidak berakibat buruk kepada saya serta identitas dan informasi yang
saya berikan akan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk
kepentingan pengumpulan data penelitian saja.
Maka dari itu saya menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian yang
akan dilakukan oleh peneliti dan kan memberikan respon jawaban saya dengan
sebenar-benarnya.
Demikianlah persetujuan ini saya tanda tangani dengan sukarela tanpa ada paksaan
dari pihak manapun.
Responden,
(.................................)
DATA DIRI RESPONDEN
Nama / Insial :
Usia :
Kelas :
Jenis Kelamin : Laki-Laki / Perempuan
Ekstrakurikuler yang diikuti :
Pendidikan Terakhir Ayah : SD / SMP / SMA / D1 / D2 / D3 / S1 / S2 / lainnya
Pendidikan Terakhir Ibu : SD / SMP / SMA / D1 / D2 / D3 / S1 / S2 / lainnya
Pekerjaan Ayah :
Pekerjaan Ibu :
Penghasilan Total Orang Tua : a. < 5.000.000
b. 5.000.000 – 15.000.000
c. 15.000.000 – 30.000.000
d. > 30.000.000
Petunjuk Pengisian Skala 1
Pada pernyataan dibawah ini, anda diminta untuk memberikan jawaban atas setiap
pernyataan sesuai dengan keadaan diri anda saat ini secara jujur dan objektif.
Jawablah setiap pernyataan dengan memberi tanda (√) pada salah satu dari lima
pilihan jawaban yang tersedia di kolom sebelah kanan dari masing-masing
pernyataan.
Jika jawaban anda :
Tidak Pernah, beri tanda pada angka 1
Jarang, beri tanda pada angka 2
Kadang-Kadang, beri tanda pada angka 3
Sering, beri tanda pada angka 4
Sangat Sering, beri tanda pada angka 5
Contoh
No. Pernyataan Skala
1. Saya akan mempelajari kembali di asrama
tentang materi yang baru saja dipelajari di
sekolah
1 2 3 4 5
SKALA 1
No. Pernyataan Skala
1. Saya mengikuti peraturan di sekolah 1 2 3 4 5
2. Saya mendapat masalah di sekolah 1 2 3 4 5
3. Ketika di kelas, saya hanya bertindak seolah-
olah saya sedang belajar 1 2 3 4 5
4. Saya memperhatikan di kelas 1 2 3 4 5
5. Saya menyelesaikan tugas tepat waktu 1 2 3 4 5
6. Saya menyukai berada di sekolah 1 2 3 4 5
7. Saya merasa senang dengan aktivitas saya di
sekolah 1 2 3 4 5
8. Kelas saya adalah tempat yang menyenangkan
untuk dikunjungi 1 2 3 4 5
9. Saya tertarik dengan kegiatan di sekolah 1 2 3 4 5
10. Saya merasa senang di sekolah 1 2 3 4 5
11. Saya merasa bosan di sekolah 1 2 3 4 5
12. Saya memeriksa tugas sekolah saya dari
kesalahan 1 2 3 4 5
13. Saya tetap belajar di asrama bahkan ketika saya
tidak memiliki ujian. 1 2 3 4 5
14. Ketika saya membaca sebuah buku, saya
bertanya kepada diri sendiri untuk memastikan
bahwa saya mengerti makna dari bacaan
tersebut
1 2 3 4 5
15. Saya membaca buku-buku tambahan untuk
belajar lebih banyak tentang hal-hal yang saya
lakukan dan pelajari di sekolah
1 2 3 4 5
16. Jika saya tidak mengetahui makna dari kata
yang saya baca, maka saya akan melakukan
sesuatu untuk mencari tahu
1 2 3 4 5
17. Jika saya tidak mengerti apa yang saya baca,
saya kembali untuk membacanya lagi 1 2 3 4 5
18. Saya berbicara dengan orang-orang di luar
sekolah tentang apa yang saya pelajari di kelas. 1 2 3 4 5
Petunjuk Pengisian Skala 2
Pada pernyataan dibawah ini, anda diminta untuk memberikan jawaban atas setiap
pernyataan berkaitan dengan persepsi anda terhadap guru anda sesuai dengan
keadaan diri saat ini secara jujur dan objektif. Jawablah setiap pernyataan dengan
memberi tanda (√) pada salah satu dari empat pilihan jawaban yang tersedia di
kolom sebelah kanan dari masing-masing pernyataan.
Jika jawaban anda :
Sangat Tidak Setuju, beri tanda pada kolom STS
Tidak Setuju, beri tanda pada kolom TS
Setuju, beri tanda pada kolom S
Sangat Setuju, beri tanda pada kolom SS
Contoh
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Guru peduli terhadap masalah saya √
SKALA 2
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Guru saya menyukai saya
2. Guru sangat peduli dengan saya
3. Guru mengenal saya dengan baik
4. Guru tidak memahami saya
5. Guru menghabiskan waktu bersama saya
6. Guru berbicara dengan saya
7. Saya tidak dapat bergantung dengan guru pada
beberapa hal.
8. Saya tidak dapat mengandalkan guru ketika saya
membutuhkannya.
9. Setiap kali saya melakukan kesalahan, guru
mengambil tindakan yang berbeda
10. Guru terus berubah bagaimana dia bertindak
terhadap saya
11. Guru tidak memperjelas apa yang dia harapkan
dari saya di kelas.
12. Guru tidak memberi tahu saya apa yang dia
harapkan dari saya di sekolah.
13. Guru menunjukkan kepada saya bagaimana cara
memecahkan masalah untuk diri saya sendiri.
14. Jika saya tidak dapat memecahkan masalah,
guru menunjukkan cara yang berbeda untuk
dilakukan.
15. Guru memastikan saya telah mengerti sebelum
ia melanjutkan materinya.
16. Guru akan memeriksa untuk melihat apakah
saya sudah siap sebelum ia memulai topik
materi baru.
17. Guru banyak memberikan pilihan tentang
bagaimana saya mengerjakan tugas sekolah
18. Guru tidak memberi saya banyak pilihan tentang
bagaimana cara mengerjakan tugas sekolah
19. Sepertinya guru selalu memberitahu saya apa
yang harus dilakukan.
20. Guru mendengarkan ide-ide saya.
21. Guru tidak mendengarkan pendapat saya
22. Guru menjelaskan tentang bagaimana saya
dapat menggunakan hal-hal yang telah saya
dapat dan pelajari di sekolah untuk kehidupan
saya
23. Guru tidak menjelaskan alasan kepada saya
tentang mengapa sekolah penting untuk
kehidupan saya.
Petunjuk Pengisian Skala 3
Silahkan baca dan pahami baik-baik dari setiap pernyataan dibawah ini. Anda
diminta untuk merespon dari setiap pernyataan berkaitan dengan seberapa besar
masing-masing pernyataan tersebut berhubungan dengan hidup anda. Jawablah
dengan cara memberi tanda (√) pada salah satu dari tujuh pilihan angka yang telah
tersedia di kolom sebelah kanan. Pastikan anda tidak meninggalkan pernyataan
apapun yang belum terjawab.
Jika jawaban anda :
1-------2-------3-------4-------5-------6-------7
Sangat Tidak Setuju Sangat Setuju
Contoh
No. Pernyataan Skala
1. Saya merasa sangat kompeten dalam
bidang yang saya tekuni 1 2 3 4 5 6 7
SKALA 3
No. Pernyataan Skala
1. Saya merasa bahwa saya bebas
memutuskan sendiri bagaimana akan
menjalani hidup
1 2 3 4 5 6 7
2. Saya sangat menyukai orang yang
berinteraksi dengan saya 1 2 3 4 5 6 7
3. Seringkali, saya merasa tidak sangat
kompeten 1 2 3 4 5 6 7
4. Saya merasa tertekan dalam hidup 1 2 3 4 5 6 7
5. Orang yang saya kenal memberi tahu
bahwa saya pandai melakukan apa
yang saya lakukan
1 2 3 4 5 6 7
6. Saya bergaul dengan orang yang saya
kenal 1 2 3 4 5 6 7
7. Saya cukup banyak menyimpan
segala sesuatunya untuk diri sendiri
dan tidak memiliki banyak kontak
sosial
1 2 3 4 5 6 7
8. Saya biasanya merasa bebas untuk
mengekspresikan ide dan pendapat 1 2 3 4 5 6 7
9. Saya menganggap orang-orang yang
sering berinteraksi dengan saya
merupakan teman saya
1 2 3 4 5 6 7
10. Saya telah belajar keterampilan baru
yang menarik baru-baru ini 1 2 3 4 5 6 7
11. Dalam keseharian, saya sering
melakukan apa yang diperintahkan
orang lain
1 2 3 4 5 6 7
12. Orang-orang dalam hidup saya peduli
pada saya 1 2 3 4 5 6 7
13. Hampir setiap hari saya merasakan
pencapaian dari apa yang saya
lakukan
1 2 3 4 5 6 7
14. Orang-orang yang berinteraksi dengan
saya setiap hari cenderung
mempertimbangkan perasaan saya
1 2 3 4 5 6 7
15. Dalam hidup, saya tidak mendapatkan
banyak kesempatan untuk
menunjukkan kemampuan saya
1 2 3 4 5 6 7
16. Tidak banyak orang yang dekat
dengan saya 1 2 3 4 5 6 7
17. Saya merasa bahwa saya bisa menjadi
diri sendiri dalam keseharian saya. 1 2 3 4 5 6 7
18. Orang-orang yang berinteraksi dengan
saya secara teratur tampaknya tidak
menyukai saya
1 2 3 4 5 6 7
19. Saya sering merasa tidak mampu 1 2 3 4 5 6 7
20. Tidak banyak kesempatan bagi saya
untuk memutuskan sendiri bagaimana
melakukan berbagai hal dalam
kehidupan sehari-hari
1 2 3 4 5 6 7
21. Orang-orang pada umumnya cukup
ramah terhadap saya 1 2 3 4 5 6 7
VI. Lampiran Hasil Uji Validitas
a. School Engagement
UJI VALIDITAS KONSTRUK SCHOOL ENGAGEMENT DA NI=18 NO=257 MA=PM LA ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7 ITEM8 ITEM9 ITEM10
ITEM11 ITEM12 ITEM13 ITEM14 ITEM15 ITEM16 ITEM17 ITEM18 PM SY FI=schoolengagement.COR MO NX=18 NK=1 LX=FR TD=SY LK SE FR TD 17 14 TD 13 12 TD 17 16 TD 16 14 TD 8 4 TD 4 3 TD 5 2 TD 15
13 TD 11 10 TD 18 16 TD 2 1 TD 15 14 TD 9 6 TD 14 6 TD 18 5 TD 10
8 TD 4 1 TD 18 10 TD 18 17 TD 15 12 TD 15 9 TD 12 5 TD 6 4 TD 15 2
TD 11 2 TD 9 8 TD 12 9 TD 7 4 TD 16 15 TD 17 15 TD 16 2 TD 3 1 TD
14 9 TD 12 2 TD 12 7 TD 17 6 TD 15 1 TD 5 1 TD 9 1 TD 5 4 TD 14 5
TD 18 4 PD OU TV SS MI
b. Autonomy Support
UJI VALIDITAS KONSTRUK AUTONOMY SUPPORT
DA NI=7 NO=257 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7
PM SY FI=AS.COR
MO NX=7 NK=1 LX=FR TD=SY PH=ST
LK
AS
FR TD 5 4 TD 7 1 TD 2 1 TD 3 1 TD 6 2 TD 4 3 TD 6 3
PD
OU TV SS MI
c. Involvement
UJI VALIDITAS KONSTRUK INVOLVEMENT
DA NI=8 NO=257 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7 ITEM8
PM SY FI=INV.COR
MO NX=8 NK=1 LX=FR TD=SY PH=ST
LK
INV
FR TD 8 7 TD 7 6 TD 7 3 TD 6 5 TD 6 4
PD
OU TV SS MI
d. Structure
UJI VALIDITAS STRUKTUR
DA NI=8 NO=257 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7 ITEM8
PM SY FI=STR.COR
MO NX=8 NK=1 LX=FR PH=ST TD=SY
LK
STR
FR TD 8 7 TD 6 5 TD 2 1 TD 5 4 TD 5 1 TD 5 3 TD 7 6 TD 8 6 TD 7 5
PD
OU SS TV MI
e. Need for Autonomy
UJI VALIDITAS KONSTRUK NEED FOR AUTONOMY
DA NI=7 NO=257 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7
PM SY FI=NFA.COR
MO NX=7 NK=1 LX=FR TD=SY PH=ST
LK
NFA
FR TD 7 2 TD 7 4 TD 6 3
PD
OU TV SS MI
f. Need for Competence
UJI VALIDITAS KONSTRUK NEED FOR COMPETENCE
DA NI=6 NO=257 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6
PM SY FI=NFC.COR
MO NX=6 NK=1 LX=FR PH=ST TD=SY
LK
NFC
FR TD 3 2 TD 4 2 TD 5 2 TD 5 1
PD
OU TV SS MI
g. Need for Relatedness
UJI VALIDITAS KONSTRUK NEED FOR RELATEDNESS
DA NI=8 NO=257 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7 ITEM8
PM SY FI=NFR.COR
MO NX=8 NK=1 LX=FR PH=ST TD=SY
LK
NFR
FR TD 4 2 TD 8 1 TD 8 5 TD 5 1 TD 4 1
PD
OU TV SS MI
VII. Lampiran Hasil Analisis Data Penelitian
a. Deskripsi Statistik
b. R-Square
c. Anova/ Uji F
d. Koefisien Regresi
e. Proporsi Varians
Recommended