View
224
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP
KEDAULATAN NEGARA INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)
Oleh
Nurul Ghazy
NIM: 104033201104
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 26 Januari 2009
Nurul Ghazy
KATA PENGANTAR
Alhamdulillâhi rabbi al-‘âlamîn, mungkin hanya ungkapan itu yang patut
dan layak penulis ungkapkan saat ini mengiringi rasa syukur tiada tara atas segala
nikmat dan anugerah yang telah dicurahkan oleh Allah swt. Rabb yang Maha
Perkasa sekaligus Maha Penyayang, Maha Berkehendak sekaligus Maha Tahu,
dan Maha Kuat sekaligus Maha Lembut. Hanya dengan kehendak-Nyalah
akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam tak henti akan selalu
penulis sampaikan kepada manusia paling agung ciptaan-Nya Muhammad saw.
Rosul paling akhir yang membawa kebenaran hakiki di bumi ini, semoga penulis
termasuk manusia yang mendapat syafaatnya di hari akhir kelak.
Dalam prosesnya, penulisan skripsi ini tidak bisa dibilang mudah, namun
problema, dinamika, dan dialektika yang selalu mengiringinya akan selalu penulis
kenang sebagai salah satu bagian proses dalam hidup untuk menjadi manusia yang
lebih baik. Dalam proses tersebut penulis banyak mendapatkan bantuan berharga
dari beberapa pihak. Oleh karenanya, meskipun ungkapan terima kasih tak cukup
untuk mengganjar bantuan tersebut, izinkanlah penulis untuk mengungkapkannya.
Ungkapan terima kasih tiada tara yang pertama dan sekaligus utama penulis
sampaikan kepada Ayahanda dan Ibunda penulis: Bpk. H. Agus Sholahuddin
Mas’ud, M.Pd. & Hj. Rini Nuraini, S.Ag. kepada kalianlah penulis dedikasikan
karya ini. Doa, kasih sayang, dan dukungan materiil dari kalian yang tak
terhitung, menjadi spirit tak ternilai dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga
Tuhan mengampuni dosa kalian dan menyayangi kalian sebagaimana kalian
menyayangi penulis.
Kepada kakak dan kedua adikku: Nur Ifansyah, Nurul Fadhillah dan
Muhammad Bintang Giffari terima kasih banyak atas dukungan kalian agar
penulis secepatnya menyelesaikan skripsi dan menjadi sarjana. Semoga kalian
cepat menyusul.
Untuk Bpk. A. Bakir Ihsan, M.Si. selaku pembimbing, penulis merasa
berhutang budi atas bimbingan, saran, dan masukannya yang sangat berharga
dalam proses penulisan skripsi ini, semoga amal baik bapak diganjar dengan
anugerah berlimpah oleh Allah swt.
Kepada seluruh teman-teman penulis, mohon maaf tak dapat disebutkan
semua, baik di jurusan PPI angkatan 2004 (Aziz, Iin, Hayat, Ipeh, Acu, Hafiz,
Nurkholis, Rahmat, dll.) Maupun di dalam lingkungan Forum Mahasiswa Alumni
Lirboyo (Gus Zaenal, Gus Muin, Gus Day, Gus Ded, Gus Syarif, Tiharoh, Rofiah,
Ikhwan, Andi, Arif, Kang Soim, Kang Rosyid, dll.) terima kasih banyak atas
kesediaan kalian menemani dan menjadi kawan setia penulis dalam menjalani
perkuliahan di UIN dan selama hidup di Ciputat, sekaligus dalam proses penulisan
skripsi ini.
Khusus kepada Nurmala, segala motivasi, candaan, dan bantuannya kepada
penulis menjadi satu spirit tersendiri yang tak terlupakan. Terima kasih banyak
atas kesetiaan menemani penulis pada masa-masa sulit dari proses penulisan tugas
akhir ini.
Terakhir, terima kasih kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin & Filsafat, Bapak Dekan beserta jajarannya, Ketua & Sekretaris
Jurusan Pemikiran Politik Islam, dan seluruh dosen yang secara langsung maupun
tidak telah mentransfer ilmu kepada penulis. Semoga rahmat Allah swt. selalu
tercurah kepada kalian.
Meskipun dalam skripsi ini masih banyak ditemukan kekurangan, namun,
penulis berharap, semoga skripsi ini dapat diterima dengan baik dan bermanfaat
sekaligus menghasilkan yang baik pula bagi penulis khususnya dan semua pihak
umumnya, Amin.
Ciputat, 26 Januari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 8
D. Metode Penelitian .................................................................. 8
E. Sistematika Penulisan.............................................................. 9
BAB II TEORI DAN SEJARAH GLOBALISASI
A. Definisi Teori Globalisasi .................................................... 11
B. Sejarah Globalisasi ............................................................... 20
C. Aktor-aktor Globalisasi ........................................................ 22
BAB III PARADIGMA KEDAULATAN NEGARA
A. Makna dan Paradigma Kedaulatan Negara ........................... 25
B. Batas-batas Kedaulatan Negara ............................................ 35
C. Kedaulatan Negara di dalam Konstitusi ................................ 43
BAB IV EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA DI TENGAH
GLOBALISASI
A. Globalisasi & Peminggiran Peran Negara ............................. 49
B. Globalisasi Sebagai Bentuk Neo-Imperialisme ..................... 58
1. Intervensi Asing & Utang ........................................... 62
2. Undang-undang Penanaman Modal Asing ................... 68
C. Masa Depan Kedaulatan Negara ........................................... 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 76
B. Saran .................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 79
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini dunia sedang berhadapan dengan arus tranformasi menuju
globalisasi. Siapa atau apa pun yang ada di dunia ini tidak ada yang dapat
menghindar dari proyek besar berskala internasional ini, baik individu, kelompok,
maupun sebuah negara yang berdaulat. Proyek globalisasi ini berdampak terhadap
segala aspek kehidupan seperti politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan
bahkan peradaban. Bagi sebagian masyarakat dunia sistem ini dianggap sebagai
prospek, sebagian lainnya menganggap sistem ini sebagai ancaman, dan bahkan
adapula yang acuh tak acuh terhadap tema besar ini, meskipun secara langsung
maupun tidak mereka telah merasakan dampaknya.
Globalisasi merupakan sebuah konsep yang berasal dari perkembangan
sistem di Barat. Kemunculannya berbarengan dengan kemunculan paham
Neoliberalisme pada pertengahan 1980-an. Globalisasi yang menekankan pada
privatisasi, anti intervensi negara dalam ekonomi, dan kepercayaan absolut pada
mekanisme pasar ini, diimplementasikan lewat badan-badan dunia seperti World
Trade Organization (WTO), International Monetery Fund (IMF), World Bank atau
Bank Dunia; dan perusahan-perusahan internasional (Transnasional Corporations)
seperti Exxon, Freeport, General Motor, dan lain-lain.
Menurut Mansour Fakih, Globalisasi dalam perspektif ekonomi adalah
proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia
berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah
dicanangkan sejak zaman kolonialisme.1 Globalisasi merupakan tahapan ketiga
proses eksploitasi manusia atas manusia (penjajahan). Tahap pertama adalah
kolonialisme, kedua developmentalisme, dan terakhir globalisasi. Globalisasi
dalam arti politik merupakan wujud dari hegemoni baru negara-negara pemilik
modal dalam kerangka penguasaan negara-negara nirmodal (tidak memiliki
modal).2
Mereka yang menganggap globalisasi sebagai prospek, umumnya adalah
mereka yang merasa diuntungkan oleh proses ini yaitu negara-negara maju,
seperti Amerika Serikat, karena mereka memiliki modal, baik dalam bidang
ekonomi dan politik. Bahkan aktor-aktor globalisasi (IMF, WTO, WB, dan TNCs)
berada dalam pengaruhnya, sehingga kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan
oleh lembaga-lembaga di atas adalah untuk kepentingan negara maju tersebut.
Bagi mereka yang merasa cemas terhadap globalisasi, paling tidak memiliki
dua alasan. Yang pertama yaitu karena globalisasi menerapkan sistem ekonomi
kapitalis, dan yang kedua karena melihat ideologi Neoliberal yang menopangnya.
Kedua hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-negara miskin dan
berkembang yang terkelompokkan ke dalam negara Dunia Ketiga.
Yang pertama merujuk pada konsep Kapitalisme yang berorientasi pada
bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan meminimalisir
kerugian, serta mengakumulasi modal. Ketika orientasi tersebut telah tercapai,
maka pemilik modal akan dengan sendirinya memiliki otoritas politik dan
kekuasaan. Hal tersebut tentu membuat resah sebagian negara-negara di Dunia
1Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press,
2002), h. 209-210. 2Pravendi Januarsa, “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno,” artikel diakses pada 08
Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135
Ketiga. Asumsinya adalah ketika modal yang sudah jelas kepemilikiannya
didominasi oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional yang sebagian besar
berpusat di wilayah negara-negara maju, sebut saja Amerika Serikat, tentu melalui
mekanisme globalisasi pendapatan mereka akan semakin meningkat, mereka
menjadi semakin kaya, dan leluasa menghegemoni kehidupan negara lain, guna
merealisasikan kepentingan mereka. Sedangkan negara-negara miskin dan
berkembang akan tetap pada kategori dan berstatus sebagai negara dengan
“tangan di bawah” dan bergantung pada kebijakan negara-negara Adi Daya.3
Menyangkut ideologi Neoliberal yang menopang globalisasi, masyarakat
Dunia Ketiga melihatnya sebagai ancaman lebih luas pada peradaban mereka.
Ideologi ini secara umum dipahami sebagai ide yang membawa nilai hak dan
kebebasan individual melalui mekanisme pasar bebas, menjunjung tinggi
rasionalitas, dan mendistorsi peran agama dalam masyarakat dan politik.4 Dengan
adanya globalisasi, maka gerbang bagi penyebarluasan paham ini di berbagai
penjuru dunia semakin terbuka lebar. Padahal tiap negara yang berdaulat memiliki
batasan nilai dan landasan moral tersendiri, yang tidak bisa begitu saja menerima
nilai-nilai baru.
Dalam percaturan politik global negara-negara maju sangat berpengaruh,
karena mereka memiliki kepentingan yang sangat besar, baik dalam bidang
politik, ekonomi, maupun keamanan. Di bidang politik negara-negara maju/Barat
sangat berkepentingan untuk menyebarkan ideologi Demokrasi. Di bidang
ekonomi negara-negara Barat berkepentingan untuk mendapatkan sumber mineral
3Arief Budiman, Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 113-120. 4B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wobowo & Prancis Wahono,
ed., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), h. 70.
untuk memenuhi kebutuhannya akan sumber daya alam tersebut, Barat juga
memiliki kepentingan untuk memasarkan produk yang mereka ciptakan. Di
bidang keamanan, dengan dalih untuk menjamin keamanan dunia, Barat
melakukan kampanye perang melawan terorisme. Didukung dengan infrastruktur
yang mereka miliki seperti media komunikasi, transportasi, dan modal yang besar
peran negara-negara Barat menjadi sangat besar.5
Peran dan pengaruh Barat yang demikian besar dalam percaturan politik
global memunculkan persepsi kuat bahwa pada era globalisasi ini telah terjadi
praktek kolonialisme dan imperialisme baru. Misalnya kebijakan-kebijakan luar
negeri yang dipraktekan oleh Amerika Serikat, khususnya pasca tragedi 11/9
2001. Isu-isu seperti senjata nuklir, senjata pemusnah massal, dan terorisme
dijadikan argumentasi untuk menekan kelompok tertentu atau bahkan untuk
menginvasi negara tertentu.
Lalu bagaimana dengan negara-negara selain Barat? Pada era globalisasi ini
negara-negara berkembang dan miskin dibuat sangat tergantung dengan utang luar
negeri yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World
Bank. Masyarakat negara miskin dan berkembang dibuat kecanduan dengan
produk-produk teknologi maju melalui Konsumerisme yang disiarkan oleh media
massa. Selain itu, perusahaan-perusahaan internasional milik negara maju
(Transnational Corporations[TNCs] atau Multinational Corporations[MNCs])
menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan banyak
perusahaan-perusahaan lokal di negara miskin dan berkembang terpaksa gulung
tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan internasional yang
5“Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi,” artikel diakses pada 11 Semptember 2008
dari situs http://hildaku.blog.com/568343/
memiliki modal besar dan teknologi yang canggih. Perusahaan asing juga
memonopoli eksplorasi penambangan sumber mineral di negara-negara miskin
dan berkembang.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa TNCs merupakan bagian dari aktor
penting globalisasi selain negara-negara maju; lembaga-lembaga keuangan
internasional (IMF & WB); dan WTO. Tetapi peran TNCs dalam globalisasi tidak
berhenti pada penguasaan sumber daya mineral negara-negara miskin dan
berkembang saja. Karena untuk memuluskan tujuan penguasaan tersebut, TNCs
harus terlebih dahulu memengaruhi dan menekan pemerintah dari negara miskin
dan berkembang untuk memberlakukan peraturan yang memuluskan jalan mereka.
TNCs menekan dan memengaruhi pemerintah negara korban globalisasi
tersebut dengan cara mendesakkan kepentingannya di dalam kesepakatan–
kesepakatan yang dibuat oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, World
Bank, dan WTO. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk menekan negara
berkembang dan miskin untuk melakukan reformasi kebijakan nasionalnya.
Umumnya kebijakan negara yang harus direformasi adalah kebijakan di bidang
pertanahan, investasi, perpajakan, dan tata hubungan antara pemerintah pusat
dengan daerah (desentralisasi) yang berpotensi menghambat investasi secara
langsung.6
Kebijakan di bidang investasi, misalnya, memaksa negara untuk membuka
pasar selebar-lebarnya agar perusahaan-perusahaan asing dapat dengan bebas
berinvestasi. Pemerintah juga ditekan untuk tidak menerapkan kebijakan-
kebijakan yang dapat menghambat investasi (deregulasi) seperti penerapan pajak
6Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 219-220.
yang murah, buruh yang murah, dan kontrak karya yang panjang dan fleksibel.7
Penerapan deregulasi ini berimplikasi pada melemahnya peran negara dalam
menentukan kebijakan sesuai dengan kepentingan rakyatnya. Fakta ini juga
menunjukan bahwa globalisasi ternyata memengaruhi sikap anti-negara, dalam
arti menolak segala bentuk campur tangan pemerintah dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat.
Jalan yang ditempuh untuk menyukseskan desakan-desakan itu adalah salah
satunya melalui utang. Lembaga-lembaga atau negara-negara donor (pemberi
utang) mencantumkan syarat reformasi kebijakan tersebut sebagai salah satu
syarat utang. Dengan demikian tampak di sini bahwa utang merupakan instrumen
campur tangan asing.
Implikasi dari reformasi kebijakan nasional negara miskin dan berkembang
tersebut adalah semakin terpinggirkannya rakyat miskin, terbengkalainya nasib
para petani kecil, nelayan, pedagang, dan masyarakat adat khususnya dalam hal
perebutan sumber daya alam terutama tanah, hutan, dan laut.
Fakta di atas menampakkan melemahnya kedaulatan negara khususnya
negara miskin dan berkembang (Negara Dunia Ketiga) di tengah hegemoni
globalisasi terutama dalam hal kemandirian menentukan kebijakan-kebijakan
untuk kepentingan negeri sendiri.
Sebagaimana kita ketahui bahwa negara yang berdaulat adalah negara yang
bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom) tanpa intervensi negera
7I. Wibowo, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti-Negara,” dalam I.
Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 266.
manapun.8 Oleh karenanya ketika sebuah negara tidak lagi dapat
mengatur/menentukan urusan-urusannya kepada dirinya sendiri sebagai negara
yang berdaulat, maka visi dan misi menciptakan negara yang maju dan sejahtera
tidak akan tercapai. Betapa tidak, misalnya Indonesia sebagai bagian dari negara
Dunia Ketiga yang memiliki utang terhadap lembaga-lembaga donor harus
mengikuti apapun syarat yang diajukan oleh lembaga pemberi utang tersebut.
sedangkan persyaratan yang dipaksakan ternyata untuk kepentingan perusahaan-
perusahaan internasional, lembaga-lembaga dan negara-negara donor bukan untuk
kepentingan negara penerima utang.
Namun demikian, dalam perkembangan kontemporer, banyak negara yang
mulai menampilkan keberaniannya untuk menerapkan kebijakan di luar
mainstream kepentingan global. Misalnya Indonesia, dalam bidang politik,
dengan mendesak AS dan sekutunya agar menarik pasukan dari Irak, Abstain
dalam rapat Dewan Keamanan PBB tentang Resolusi sanksi bagi Iran. Dalam
bidang ekonomi, di dalam konstitusinya Indonesia tetap memberlakukan pasal 33
UUD 1945 yang dikenal sebagai landasan hukum bagi intervensi negara. Ini
artinya bahwa pada era hegemoni globalisasi ini kedaulatan negara tidak serta
merta hilang dan musnah begitu saja.
Dari fenomena yang dipaparkan di atas, penulis merasa tertarik untuk
meneliti lebih jauh pembahasan mengenai pengaruh globalisasi terhadap
kedaulatan negara Indonesia ke dalam sebuah karya yang berbentuk skripsi.
8Muhajir Arif Rahmani, “Arti Penting Kedaulatan Negara,” artikel diakses pada 11
September 2008 dari situs http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3763_0_3_0_M, lihat
juga dalam Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tatanegara, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 25.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Karena tema globalisasi adalah tema yang umum dan luas, maka pada
skripsi ini penulis lebih membatasi permasalahan pada globalisasi dalam
perspektif politik. Dalam perspektif ini globalisasi menjadi suatu kekuatan yang
mampu mendesak negara untuk menciptakan kebijakan yang dapat melemahkan
kedaulatannya. Dalam skripsi ini penulis juga membatasi pembahasan mengenai
kedaulatan negara pada kedaulatan dalam bidang politik, dalam arti kemandirian
negara dalam menentukan dan menjalankan kebijakan dalam dan luar negerinya.
Lebih jelasnya, untuk membatasi ruang pembahasan skripsi, penulis
merumuskannya dalam pertanyaan Bagaimana Pengaruh Globalisasi Terhadap
Kedaulatan Negara Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penulis menetapkan judul Pengaruh Globalisasi Terhadap Kedaulatan
Negara Indonesia secara akademis memiliki tujuan:
1. Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang konsep globalisasi
dan kedaulatan negara serta keterkaitan antara keduanya.
2. Mengetahui dampak globalisasi terhadap kedaulatan negara, khususnya
bagi negara Indonesia.
D. Metode Penelitian
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode
kepustakaan (library research). Sebagai sumber primer penulis menggunakan
buku-buku tentang globalisasi dan kedaulatan negara, baik yang ditulis oleh para
pakar dalam negeri maupun luar negeri, seperti Buku Globalisasi Peluang atau
Ancaman bagi Indonesia karya Budi Winarno, buku Neoliberalisme karya I.
Wibowo et.al., buku Runtuhnya Teori Pembangunan & Globalisasi karya
Mansour Fakih, buku Dasar-dasar Ilmu Tatanegara karya Budiyanto, dan lain-
lain. Adapun sebagai sumber sekundernya penulis menggunakan tulisan-tulisan
atau artikel-artikel yang tersebar di berbagai majalah, surat kabar, dan internet
yang terkait dengan pembahasan mengenai globalisasi dan kedaulatan negara.
Sedangkan metode pembahasan dalam skripsi ini penulis menggunakan
metode deskriptif analitis. Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan dan
memaparkan secara obyektif pola kerja globalisasi yang berpengaruh terhadap
eksistensi kedaulatan negara berdasarkan referensi yang digunakan. Setelah itu,
penulis akan menganalisa secara lebih mendalam baik melalui analisa sendiri
maupun dengan menggunakan bantuan para pakar. Dengan itu diharapkan akan
didapatkan pengetahuan yang obyektif dan seimbang sekaligus kritis.
Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), terbitan CeQDA UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis menyusunnya ke
dalam lima bab. Bab I akan mengungkap seputar signifikansi tema yang diangkat.
Mengapa tema yang akan ditulis ini layak diangkat sebagai sebuah skripsi. Akan
diungkapkan mulai dari landasan pemikiran sampai sistematika penulisannya.
Bab II adalah gambaran umum seputar teori dan sejarah globalisasi sebagai
landasan teoritis untuk memahami pembahasan pada bab selanjutnya. Pada bab ini
akan dijelaskan mengenai definisi teori globalisasi, sejarah, dan aktor-aktor
globalisasi.
Bab III akan membahas mengenai paradigma kedaulatan negara. Pada
pembahasan seputar kedaulatan negara ini akan dijelaskan mengenai makna dan
paradigma kedaulatan negara, batas-batas kedaulatan negara, dan sumber
kedaulatan negara Indonesia yang terdapat dalam konstitusi.
Pada Bab IV merupakan bab inti, di dalamnya penulis akan mencoba
menjelaskan mengenai pengaruh globalisasi terhadap kedaulatan negara
Indonesia. Pembahasan diawali dengan pemaparan tentang globalisasi dan
peminggiran peran negara, kemudian penulis akan mencoba mengungkapkan
proses neo-imperialisme yang bersembunyi dibalik proses globalisasi, dan bagian
terakhir merupakan analisa tentang masa depan eksistensi kedaulatan negara.
Bab V merupakan bab penutup dari skripsi ini yang berisi kesimpulan dari
tema yang diangkat yaitu bahwa globalisasi mengancam kedaulatan negara
Indonesia, dan disertai juga dengan saran-saran yang konstruktif dari penulis.
BAB II
TEORI DAN SEJARAH GLOBALISASI
A. Definisi Teori Globalisasi
Perkembangan dunia internasional dewasa ini telah memunculkan suatu
terminologi baru, yaitu globalisasi. Tentang pengertian globalisasi hingga saat ini
belum ada satu definisi baku yang dapat mewakili semua kepentingan dari
berbagai sudut pandang yang digunakan untuk memahami globalisasi. Yang pasti,
globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan
keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia
melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk
interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.9
Secara bahasa kata globalisasi berasal dari kata global, menurut kamus Dwi
Bahasa Oxford-Erlangga kata itu mengandung arti seluruh; sejagat; seantero
dunia.10
Dalam bahasa Indonesia penambahan sufiks “isasi” pada akhir sebuah
kata memiliki arti proses sehingga globalisasi diartikan sebagai pengglobalan
seluruh aspek kehidupan.11
Ada juga yang melihat globalisasi sebagai terjemahan dari bahasa Prancis
monodialisation yang berarti menjadikan sesuatu mendunia atau bersifat
internasional, yakni menjadikannya dari sesuatu yang terbatas dan terdeteksi. Oleh
karenanya, globalisasi dapat pula diartikan menghilangkan batas-batas
9“Pengertian Globalisasi,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari
http://fransis.wordpress.com/2008/02/17/pengertian-globalisasi.html 10
Joycem Hawkins, Kamus Dwi Bahasa Oxpord-Erlangga (Jakarta: Erlangga, 1996), h.
142. 11Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Populer (Surabaya: Kartika, 2001), h. 147.
kenasionalan dalam bidang ekonomi dan membiarkan segala sesuatu bebas
melintas dunia dan menembus level internasional.12
Meskipun secara bahasa globalisasi memiliki arti yang mapan. Namun,
sebagai teori globalisasi hingga saat ini belum memiliki definisi yang mapan
kecuali sekedar definisi kerja (working definition) sehingga tergantung dari sisi
mana orang memandangnya. Secara sederhana working definition ini terbagi
menjadi dua, yaitu (1) yang memaknai globalisasi sebagai sebuah proses global
dan (2) yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir dari sebuah proses.
Orang yang memandang globalisasi sebagai sebuah proses cenderung
melihat globalisasi sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah atau proses
alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat
satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-
eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya
masyarakat. Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam
interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit
dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia.
Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan, seperti bidang ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi
informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi.
Definisi seperti di atas diamini oleh Martin Albrow dengan mengatakan
”Globalisasi menyangkut seluruh proses di mana penduduk dunia terinkorporasi
ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, masyarakat global,”13 dan Malcom
12
M. Istijar, “Globalisasi; Antara Impian dan Kenyataan,” Modul Pelatihan Dasar Anti
Globalisasi LS-ADI (Ciputat: LS-ADI Press, 2003), h. 1. 13
M. Istijar, “Globalisasi Anak Kandung Kapitalisme,” Modul Pelatihan Dasar Anti
Globalisasi LS-ADI, h. 29.
Waters, seorang sosiolog Australia, yang mengatakan bahwa “Globalisasi adalah
sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan
sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang.”14
Sedangkan orang yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir sebuah
proses melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-
negara maju sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga
terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme
dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis
akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya
karena tidak mampu bersaing. Sebab globalisasi cenderung berpengaruh besar
terhadap perekonomian, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti
politik, budaya, dan agama.15 Pada definisi inilah kemudian globalisasi penulis
pandang sebagai ancaman bagi kedaulatan negara Indonesia.
Kapitalisme pada dasarnya bersumber dan berakar pada pandangan filsafat
ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith yang dituangkan dalam karyanya
Wealth of Nation (1776). Selain Adam Smith, yang umumnya disebut sebagai
tokoh perintis pandangan ekonomi klasik adalah pemikir ekonomi lainnya, seperti
David Ricardo, James Mill, Thomas Robert Malthus, dan Jean Baptiste Say.
Keseluruhan filsafat pemikiran penganut ekonomi klasik tersebut dibangun di atas
landasan filsafat ekonomi liberalisme. Mereka percaya pada kebebasan individu
(personal liberty), pemilikan pribadi (private property), dan inisiatif individu serta
14
“Pengertian Globalisasi,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari
http://sobatbaru.blogspot.com/2008/05/pengertian-globalisasi.html 15
“Globalisasi,” artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html
usaha swasta (private enterprise).16
Karl Marx menjelaskan bahwa kapitalisme berwatak universal, artinya,
Kapitalisme tidak dapat hidup dalam satu negeri. Hanya dengan berada di mana-
mana, bertempat di mana-mana, dan menjalin hubungan di mana-mana, barulah
sistem perekonomian ini bisa eksis. Watak kapitalisme inilah yang melahirkan
ekspansi dan pada akhirnya imperialisme. Berkaitan dengan hal ini, Lenin
mengatakan bahwa “imperialisme sebagai tahap akhir kapitalisme,”17
dan James
Petras menilai imperialisme adalah ungkapan yang paling tepat untuk memahami
globalisasi yang sedang terjadi saat ini.18
Upaya pendefinisian globalisasi sesungguhnya, sudah gencar dilakukan
sejak tahun 1990-an oleh para ilmuan, mulai dari ilmuan ekonomi, politik,
sosiologi, budayawan, bahkan oleh ahli geografi. Semuanya memiliki maindset
globalisasi yang beragam sesuai dengan bidang ilmu yang mereka geluti. Tetapi,
umumnya wilayah pendefinisian globalisasi cenderung mengambil perspektif
ekonomi karena memang sistem ini lahir sebagai sebuah sistem ekonomi yang
berdampak pada semua aspek kehidupan.
George Ritzer, seorang sosiolog Amerika, mengingatkan bahwa
karakteristik yang paling penting dari globalisasi adalah bias western-nya, artinya,
segala sesuatu yang berkaitan dengan globalisasi, baik ide maupun prakteknya,
selalu disesuaikan dengan perkembangan di Barat dan ide di luar dunia Barat tak
punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan ide Barat tersebut. Bahkan
16
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist
Press, 2002), h. 45-46. 17
Franz Magnis Suseno, Dalam Bayang-bayang Lenin (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 10. 18
Revrisond Baswir, “Menelanjangi Globalisasi,” pengantar dalam James Petras dan Henry
Veltmeyer, Imperialisme Abad 21. Penerjemah Agung Prihantono (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2002), h. viii.
Anthony Giddens, seperti dikutip Ritzer, secara terang-terangan mengatakan
“Globalisasi berasal dari Barat, membawa jejak kekuasaan ekonomi dan politik
Amerika”. Selain itu, menurut Ritzer juga, proses globalisasi ditandai dengan
usaha menuju homogenitas (keseragaman) seluruh aspek kehidupan, baik kultur,
ekonomi, maupun politik oleh Barat, terutama Amerika.19
Dari perspektif kultur, trend menuju homogenitas ini identik dengan istilah
imperialisme kultural atau dengan kata lain terjadinya ekspansi kultur
Barat/Amerika terhadap kultur tertentu di daerah lain. Dari berbagai budaya Barat
yang berpenetrasi ke seluruh dunia, yang paling mencolok dampaknya adalah
budaya materialistis dan sekuler. Gejala materialistis bisa kita lihat manakala
melimpahnya materi/harta benda dianggap sebagai barometer keberhasilan hidup.
Sedangkan gejala sekuler dapat kita saksikan ketika dalam tatanan bermasyarakat
dan bergaul sudah mengabaikan norma-norma susila dan norma agama.
Afirmasi terhadap “budaya global/Barat” hampir niscaya merupakan negasi
terhadap budaya lokal masyarakat-masyarakat belahan bumi Selatan. Hegemoni
budaya global mendorong pendiskreditan budaya-budaya lokal sehingga bersifat
terlalu kedaerahan (jadi tidak global), kuno (jadi tidak modern dan global), dan
ketinggalan jaman. Pendiskreditan ini dengan sendirinya diikuti oleh peminggiran
budaya-budaya tersebut. Mengingat bahwa konsumerisme bukan hanya sekedar
“gaya hidup” yang dangkal belaka, melainkan berakar pada suatu filsafat yang
lebih dalam (yaitu individualisme), penegakan budaya global juga berarti
19
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Penerjemah Alimandan
(Jakarta: Kencana, 2003), h. 588.
transformasi mendasar masyarakat-masyarakat di luar negara Barat, yang kerap
diikuti oleh benturan dan resistensi dalam prosesnya.20
Dalam bidang ekonomi logika homogenizing pun tetap berlaku. Joseph
Stiglitz, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001, melihat globalisasi sebagai
penyebaran sistem ekonomi kapitalisme neoliberal ke seluruh kawasan di dunia.21
Sesuai dengan namanya ideologi atau sistem ekonomi kapitalisme
neoliberal adalah merupakan kelanjutan dari gagasan liberalisme klasik Adam
Smith (1723-1790) pada abad ke-18, seiring dengan perkembangan sejarah paham
ini menemukan bentuk barunya di tangan ekonom terkemuka, yaitu, Freidrick von
Hayek dan Milton Friedman pada abad ke-20. Paham neoliberalisme inilah yang
menjadi pijakan ekonomi berbasis perdagangan dan pasar bebas sekaligus menjadi
ideologi globalisasi.
Pada dasarnya kedua paham tersebut sama,22 yakni menganjurkan: pertama,
liberalisasi, artinya jika ingin ekonomi maju maka perdagangan harus dibebaskan
seluas-luasnya, begitu juga dengan sektor fiskal/keuangan harus didorong lebih
liberal dan kian ketat bersaing agar terjadi peningkatan efisiensi. Kedua,
privatisasi, negara dilarang untuk menguasai aset-aset publik atau memiliki
perusahaan (seperti BUMN di Indonesia), hendaknya penguasaan aset-aset publik
tersebut diserahkan kepada individu-individu. Dan ketiga, deregulasi, negara tidak
berhak ikut campur dalam urusan ekonomi karena negara tidak memiliki alasan
20
Robert H. Imam, “Neoliberalisme, Era Baru, dan Peradaban Pasar,” dalam I. Wibowo &
Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), h. 316. 21
Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan. Penerjemah Aan Suhaeni (Tangerang: Marjin
Kiri, 2005), h. 216. 22
B. Herry Priyono mencacat ada sedikit perbedaan antara liberalisme klasik Adam Smith
dengan Neoliberalisme yaitu hanya pada peran pemerintah. Kalau pada liberalisme klasik Smith
memberi ruang pada peran pemerintah lewat penyelenggaraan tata-keadilan, oleh karenanya
akumulasi kekayaan oleh individu adalah dalam rangka pembangunan suatu bangsa (the wealth of
nation), sedangkan neoliberalisme tidak. Lihat B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran
Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo dan Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 55.
apapun untuk mencampuri dan menguasai ‘pasar’, tugas negara hanyalah sebagai
“penjaga malam” yang menjamin lancarnya kinerja tiga anjuran neoliberalisme
tersebut.23
Ketiga paket kebijakan neoliberalisme tersebut dikenal juga dengan istilah
Washington Consensus yang penerapannya dipaksakan oleh negara-negara maju
penganut neoliberalisme kepada negara-negara miskin dan berkembang melalui
organisasi-organisasi internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank.
Pada dasarnya semua proses homogenizing sistem perekonomian global ini
merupakan harapan dan hasil perjuangan dari perusahaan-perusahaan
transnasional karena merekalah yang paling diuntungkan dari proses tersebut.
Selama dasawarsa menjelang berakhirnya millenium, perusahaan-perusahaan
transnasional berskala raksasa tersebut (TNCs)24 meningkat jumlahnya secara
pesat dari sekitar 7000 TNCs pada tahun 1970 dan dalam tahun 1990 jumlah itu
mencapai 37.000 TNCs. Selain jumlahnya meningkat, TNCs juga dapat
menguasai perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi TNCs yang luar biasa
tersebut akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan. Mereka pada saat yang
lalu saja berhasil menguasai 67% dari perdagangan dunia antar TNCs dan
menguasai 34,1% total perdagangan global. Lebih lanjut, TNCs juga telah
menguasai 34,1% total perdagangan global. Ada sekitar 100 TNCs dewasa ini
menguasai ekonomi dunia. Mereka mampu mengontrol sampai 75% perdagangan
dunia.25
23
A. Tony Prasetiantono, “IMF (International Monetary Fund),” dalam I. Wibowo dan
Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 120. 24
Perusahaan transnasional/Transnational Corporation (TNC) dapat didefinisikan sebagai
perusahaan yang kegiatan bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di
beberapa negara. 25Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 214.
Perspektif politik juga menekankan pada proses menuju homogenitas, yaitu
menyebarluaskan model nation-state ke seluruh dunia dan tumbuhnya model tata
pemerintahan di seluruh dunia yang kurang lebih serupa (demokrasi). Bahkan
Benjamin Barber, seperti dikutip Ritzer, menganalisa akan terbentuknya sebuah
orientasi politik tunggal yang semakin pervasif (menyebar) di seluruh dunia, atau
ia mengistilahkannya dengan “McWorld.”26
Tesis demikian juga diperkuat dengan pendapat Ulrich Beck, seorang
ilmuan sosial penting yang menulis buku What Is Globalization?. Menurut Beck
ada perbedaan antara globalisme, globalitas, dan globalisasi. Globalisme adalah
pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikan
munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalisme yang
menopangnya. Dalam globalisme, sifat global yang multidimensionalitas
direduksi menjadi dimensi ekonomi saja.
Pandangan Beck lebih komprehensif terhadap makna globalitas. Ia melihat
proses transnasional ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga melibatkan ekologi,
kultur, politik, dan masyarakat sipil. Globalitas berarti mulai sekarang tidak ada
kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan,
kemenangan, dan bencana memengaruhi seluruh dunia.
Beck melihat globalisasi sebagai menurunnya kekuatan bangsa-bangsa dan
batas-batas nasional. Jadi, globalisasi berarti denationalization, berarti pula
bangkitnya organisasi transnasional dan mungkin negara transnasional.27
26
Ritzer, Teori Sosiologi Modern, h. 589. 27Ibid., h. 592.
Globalisasi dalam bentuk yang semakin jelas dewasa ini, seperti
diungkapkan di atas, mempunyai maksud westernisasi dunia atau dengan
ungkapan lain Amerikanisasi dunia. Martin Khor dan Mansour Fakih
menyebutnya sebagai “bentuk baru kolonialisasi,” bahkan mantan Menteri Agama
RI, Said Agil Husein al-Munawar pernah mengatakan:
“Arus globalisasi yang menggejala saat ini lebih berbentuk
‘Amerikanisasi’ karena pengaruh Amerika Serikat dalam ekonomi, politik,
dan budaya yang begitu kuat. Tujuan pokok globalisasi adalah ekonomi
yang menggunakan kekuatan politik dan budaya untuk meraih tujuan
ekonomi tersebut. globalisasi saat ini ingin mengubah dunia ke arah sistem
pasar tunggal yang didominasi oleh perusahaan multinasional, namun, tanpa
terciptanya kesamaan kesempatan. Praktek globalisasi sekarang ini
memanipulasi teori darwin. Dalam artian, praktek itu telah mengubah teori
darwin yang berprinsip ‘terbaiklah yang bertahan’ menjadi ‘terkuatlah yang
bertahan’.”28
Pandangan tentang teori globalisasi yang paling ekstrim disampaikan oleh
Mansour Fakih, ekonom Indonesia, yang mengatakan bahwa globalisasi adalah
proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia
berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah
dicanangkan sejak zaman kolonialisme.29
Menurutnya, globalisasi merupakan
kelanjutan dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain,
yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses pengintegrasian
ekonomi nasional terhadap ekonomi global menjadi sebuah ancaman bagi
Indonesia, karena negara dituntut oleh kepentingan global untuk menerapkan
kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kepentingan global tersebut ketimbang
kepentangan nasionalnya.
28
“Menteri Agama Kritik Globalisasi Barat,” Kompas, 6 Mei 2003, h. 2. 29 Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 209.
B. Sejarah Globalisasi
Sangat sulit menentukan kapan sesungguhnya proses globalisasi itu dimulai.
Kalau kita mengacu pada makna harfiahnya yang berarti pengglobalan,
sesungguhnya, globalisasi telah berlangsung sejak ribuan tahun silam, yaitu sejak
masa awal dari adanya sistem politik dan kemasyarakatan dunia. Tepatnya setelah
sistem city state (negara kota) Athena dan Sparta digantikan oleh berbagai
imperium, perluasan imperium itu menandai awal dari proses globalisasi.
Imperium-imperium tersebut antara lain adalah Byzantium; Dinasti Tang di
China; dan Kekhalifahan Islam.
Era globalisasi selanjutnya, adalah ketika masa imperium ini berganti
menjadi era kebangkitan Barat, beberapa negara di kawasan Eropa mengalami
kemajuan, dan karena kebutuhan mendesak akan bahan-bahan mentah seperti
rempah-rempah yang tak tersedia di wilayahnya maka negara-negara Eropa ini
melakukan kolonialisasi atau penjajahan ke belahan dunia lain, seperti di kawasan
Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.
Proses pengglobalan/globalisasi dunia ini terus belangsung hingga saat ini
melalui berbagai dimensi, baik kultur, ekonomi, maupun politik, dengan
memanfaatkan kemajuan di bidang industri dan informasi. Globalisasi dari masa
ke masa ini melahirkan paradoks, satu sisi menguntungkan pihak yang memiliki
keunggulan dalam berbagai bidang—seperti militer, teknologi, dan industri—dan
merugikan pihak yang tidak memiliki keunggulan tersebut.
Dari perspektif teori, seperti yang dikatakan Mansour Fakih, bahwa sejarah
globalisasi adalah kelanjutan proses sejarah dominasi manusia terhadap manusia
lainnya. Proses sejarah dominasi itu pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga
periode formasi sosial. Fase pertama adalah periode kolonialisme, yakni fase
perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik
untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah
proses dominasi manusia dengan segenap teori perubahan sosial yang
mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan secara langsung selama
ratusan tahun. Proses ini berakhir pada saat terjadinya revolusi negara-negara
jajahan segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, sekitar enam puluh tahun
silam.
Fase kedua, yaitu setelah berakhirnya era kolonialisme yang dikenal sebagai
era pembangunan atau era developmentalisme. Pada era ini dominasi negara-
negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui
kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka, atau dengan kata lain,
melalui hegemoni cara pandang dan ideologi.
Fase ketiga, yaitu globalisasi yang terjadi menjelang abad duapuluh satu,
ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui Structural
Adjusment Program (Program Penyesuaian Struktural)30
oleh lembaga finansial
global (IMF & World Bank),31
dan disepakati oleh forum GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) atau pada saat sekarang dikenal dengan WTO
30Structural Adjusment Program (SAP) adalah resep yang dipaksakan oleh lembaga
keuangan internasional (IMF & World Bank) dan WTO kepada negara-negara yang mengalami
masalah dalam hal keuangan. Isi dari resep tersebut adalah (1) liberalisasi, (2) deregulasi, dan (3) privatisasi. Lihat A. Tony Prasetiantono, “IMF (International Monetary Fund),” h. 119.
31IMF berdiri pada bulan Juli 1944 di kota kecil Bretton Woods, yang terletak di negara
bagian New Hampshire Amerika Serikat. World Bank yang dahulu dikenal dengan International
Bank of Reconstruction and Development (IBRD) juga didirikan pada tahun tersebut oleh negara
Amerika, Ingris dan 42 negara lainnya. IMF bertugas di bidang moneter sedangkan World Bank di
bidang pembangunan ekonomi. Lihat Ibid., h. 115.
(World Trade Organization).32
Sejak saat itulah suatu era baru telah muncul
menggantikan era sebelumnya, yaitu globalisasi.
Mengenai ketiga fase dominasi tersebut, Fakih menulis:
“Secara teoritis sebenarnya tidak ada perubahan ideologi dari ketiga
periode zaman tersebut, bahkan semakin bertambah canggih pendekatan, mekanisme, dan sistem yang secara ekonomis berwatak eksploitatif, secara
politik berwatak represif, dan secara budaya berwatak hegemonik dan
diskursif, dari sebagian kecil elit masyarakat yang dominan terhadap rakyat
kecil.”33
Sesungguhnya, ada perbedaan antara fase pembangunan dan globalisasi,
yaitu kalau pada fase pembangunan lebih menekankan pada pertumbuhan
ekonomi nasional dan mereka lebih melihat ke dalam negeri sendiri, dalam era
globalisasi mereka didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi
global, di mana aktornya bukan hanya negara tetapi perusahaan transnasional
(TNCs) dan bank-bank transnasional (TNBs), serta lembaga keuangan multilateral
seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), serta birokrasi
perdagangan regional dan global seperti WTO, Nafta, Apec, ASEAN, dan
sebagainya.
C. Aktor-aktor Globalisasi
Globalisasi sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam
sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama proses
tersebut. Ada tiga aktor utama, pertama, adalah perusahaan multinasional yang
32GATT adalah forum yang didirikan pada tahun 1947 dengan tujuan untuk mengatur lalu
lintas perdagangan internasional, dalam hal ini adalah perdagangan barang, dan sebagai sebuah
forum GATT sifatnya tidak mengikat. Namun, kelak forum ini mengalami evolusi menjadi lebih mengikat setelah berubah menjadi WTO pada tahun 1995, ruang lingkupnya pun menjadi lebih
luas, yakni meliputi tiga bidang: perdagangan barang (trade in goods), perdagangan jasa (trade in
service), dan hak atas kekayaan intelektual terkait perdagangan (trade related intellectual property
right). Lihat Bonnie Setiawan, “Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman Neoliberalisme pada
Tubuh WTO,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 85. 33Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 210.
besar yang dengan dukungan negara-negara yang dipengaruhi dan diuntungkan
olehnya (yaitu negara maju)34 membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan
global yang dikenal dengan WTO yang kemudian menjadi aktor kedua. Ketiga,
adalah lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia. Ketiga aktor globalisasi
tersebut menetapkan aturan-aturan seputar investasi, Intelectual Property Rights
dan kebijakan internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau
mempengaruhi serta memaksa negara-negara melakukan penyesuaian kebijakan
nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam
ekonomi global. Proses memperlicin jalan pengintegrasian tersebut ditempuh
dengan cara mengubah semua aturan kebijakan yang menghalangi ketiga aktor-
aktor globalisasi, terutama perusahaan multinasional untuk beroperasi dalam
bentuk ekspansi produksi, pasar, maupun ekspansi investasi. Berkaitan dengan hal
tersebut Fakih menulis “...sesungguhnya globalisasi tidak ada sangkut pautnya
dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara Dunia
34
Pengaruh negara-negara maju pada lembaga-lembaga internasional semacam IMF, Bank Dunia, dan WTO bisa dilihat dari sistem hak suara (voting strengths) di lembaga-lembaga tersebut.
IMF dan Bank Dunia memiliki sistem suara yang ditentukan berdasarkan saham anggota. Hal itu
dengan sendirinya akan membuat suara selalu didominasi negara yang memiliki saham lebih besar,
dalam hal ini negara-neagra maju. Sistem demikian membuat berbagai kebijakan yang diambil
lebih menguntungkan kepentingan negara maju. WTO memiliki sistem sedikit berbeda. Setiap
negara anggota memiliki satu suara, dan ini membuat negara miskin dan negara berkembang yang
bergabung di dalamnya dapat lebih berperan dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan.
Walaupun di atas kertas hal tersebut adalah benar, dalam kenyataan proses yang terjadi tidak
semudah itu. Hal ini disebabkan karena dalam berbagai perundingan, di mana terdapat perbedaan
pendapat sangat tajam, juga dilakukan pertemuan informal bersifat terbatas, baik pada tingkat
menteri maupun pejabat tinggi. Pada pertemuan-pertemuan yang dikenal dengan green room,
room F meeting, maupun Chairman Consultative Group (CCG), negara maju yang memiliki
kepentingan berbeda dengan negara berkembang dan negara miskin dapat melakukan tekanan,
terutama dengan menggunakan mekanisme bilateral untuk memastikan negara-negara berkembang
dan miskin sepakat menerima kepentingan negara maju. Lihat Riza Pramahendra, “Tata Kelola
Globalisasi dan Dampaknya Pekerjaan Rumah untuk Indonesia,” dalam Sugeng Bahagijo, ed.,
Globalisasi Menghempas Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 38-39.
Ketiga (termasuk Indonesia), melainkan lebih didorong demi motif kepentingan
pertumbuhan dan akumulasi kapital berskala global...”35
35Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 216.
BAB III
PARADIGMA KEDAULATAN NEGARA
A. Makna dan Paradigma Kedaulatan Negara
Sebelum membahas tentang kedaulatan negara, penulis terlebih dahulu akan
menjelaskan pengertian negara. Secara literal istilah negara merupakan
terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), staat (bahasa
Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata staat, state, etat itu diambil
dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan
tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Kata status atau statum lazim diartikan sebagai standing atau station
(kedudukan). Istilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup
manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae.
Dari pengertian yang terakhir inilah, kata status pada abad ke-16 dikaitkan dengan
negara.36
Penggunaan kata “negara” di Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta
nagari atau nagara, yang berarti wilayah, kota, atau penguasa.37
Secara terminologi, para pakar teori negara mengungkapkan definisi yang
berbeda-beda, di antaranya adalah Roger H. Soltau yang mendefinisikan negara
sebagai “alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau
mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat,” Harold J.
Laski mengatakan bahwa “negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan
karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih
36
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani
(Jakarta:UIN, 2004), h. 41. 37Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 3.
agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat
itu. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama
untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama,” Max Weber
mengatakan “negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk
menggunakan kekerasan terhadap warganya.” Dan masih banyak tokoh lain yang
memiliki definisi berlainan. Namun, secara sederhana negara dapat diartikan
dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, hidup di daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara
yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya masyarakat
(rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.38
Dari pengertian, dan teori negara di atas dapat kita mengerti bahwa negara
merupakan organisasi yang di dalamnya terdapat kekuasaan yang besar. Meskipun
para ahli bersepakat dengan definisi tersebut, namun, terdapat perbedaan pendapat
mengenai dari mana sumber kekuasaan tersebut diperoleh oleh negara dan siapa
atau lembaga apa di dalam negara yang memiliki wewenang memegang
kekuasaan tersebut.
Mengenai sumber kekuasaan, terdapat dua arus pemikiran yang berbeda
pendapat mengenai dari manakah asal kekuasaan negara. Pendapat yang pertama
diwakili oleh teori Teokrasi yang menyatakan bahwa asal atau sumber dari
kekuasaan itu adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada jaman abad
pertengahan, yaitu dari abad IV sampai abad XV Masehi. Penganut dari teori ini
38Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 42.
antara lain adalah Augustinus (354-430), Thomas Aquinas (1226-1274), dan
Marsilius.
Pendapat yang kedua adalah yang diberikan oleh teori hukum alam. Teori
ini menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat; kekuasaan yang ada pada
rakyat ini tidak lagi dipandang berasal dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat.
Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini, melalui kontrak sosial, diserahkan
kepada seseorang atau sekelompok orang (raja/pemerintah) untuk memerintah dan
menyelenggarakan kepentingan masyarakat. Tokoh-tokoh teori ini antara lain:
Thomas Hobbes, John Locke (1632-1704), dan J.J. Rousseau (1712-1778).39
Selanjutnya tentang pemilik kekuasaan di dalam negara. Dalam hal ini tentu
yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.
Kedaulatan berasal dari kata “daulat” yang dalam teori pemerintahan berasal dari
kata daulah (Arab), sovereignity (Inggris), souvereiniteit (Prancis), supremus
(Latin), dan sovranita (Italia) yang berarti “kekuasaan tertinggi.”40 Kekuasaan
tertinggi berarti kekuasaan untuk dapat menentukan kebijakan pada taraf tertinggi
dan terakhir. Dan secara istilah kedaulatan berarti “hak negara untuk
melaksanakan kekuasaan penuh atas status kemerdekaannya tanpa boleh ada
campur tangan dari pihak lain terhadap masalah internal maupun eksternalnya.”41
Salah satu pemikir yang mendefinisikan kedaulatan secara tegas adalah Jean
Boddin, filosof Prancis yang hidup pada abad XVI, dengan mengatakan bahwa
kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu
negara, yang sifatnya: tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal
artinya hanya negara yang memiliki. Jadi, di dalam negara tidak ada kekuasaan
39
Soehino, Ilmu Negara, cet. II (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 150. 40
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 24. 41B. N. Marbun, Kamus Politik (Jakarta: Sinat Harapan, 2007), h. 237.
lain yang berhak menentukan atau membuat undang-undang. Asli berarti
kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Abadi artinya
kekuasaan itu tetap ada selama negara itu berdiri sekalipun pemegang
pemerintahan sudah berganti-ganti. Dan tidak dapat dibagi-bagi berarti bahwa
kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang atau badan lain, baik sebagian
maupun seluruhnya. Bila ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaan
tertinggi yang dimilikinya akan lenyap.42
Mengenai siapakah yang memiliki kedaulatan di dalam negara terdapat lima
teori berbeda yang menjelaskan, yaitu (1) teori kedaulatan Tuhan, (2) teori
kedaulatan raja, (3) teori kedaulatan negara, (4) teori kedaulatan hukum, dan (5)
teori kedaulatan rakyat.
1. Kedaulatan Tuhan
Di antara teori kedaulatan lainnya, teori kedaulatan Tuhan dianggap
yang paling tua atau paling dulu muncul. Teori ini memandang bahwa
Tuhanlah yang memiliki kedaulatan dalam sebuah negara. Teori ini
berkembang pada abad IV sampai abad XV Masehi dan sangat erat
kaitannya dengan agama Kristen.
Para penganut teori ini kesemuanya adalah penganut teori teokrasi
yaitu Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Augustinus mengatakan
bahwa yang memiliki kedaulatan adalah Tuhan dan Paus menjadi wakil
Tuhan di dunia untuk menjalankan kedaulatannya. Tetapi Paus harus
berbagi tugas dengan raja; Paus dalam urusan keagamaan dan raja dalam
urusan keduniawian.
42Soehino, Ilmu Negara, h. 79.
Pandangan Marsilius agak berbeda, dia hanya menitikberatkan
pemegang kedaulatan di dunia hanya kepada raja. Akibat dari ajaran ini
pada masa itu adalah tindakan para raja yang sewenang-wenang, mereka
merasa berkuasa untuk berbuat apa saja menurut kehendaknya, dengan
alasan bahwa perbuatannya itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja
tidak merasa bertanggung jawab kepada siapapun kecuali kepada Tuhan.43
2. Kedaulatan Raja
Teori kedaulatan raja ini sesungguhnya tak berbeda jauh dengan teori
kedaulatan Tuhan. Teori ini berkembang pada sekitar abad XV. Teori ini
dilatarbelakangi oleh perkembangan kekuasaan yang sudah bergeser dari
Gereja (Paus) ke Raja. Tokoh-tokoh yang mempopulerkan teori ini di
antaranya adalah: Niccolo Machiavelli, Jean Boddin, Thomas Hobbes, dan
G.W.F. Hegel. Umumnya mereka benpendapat bahwa kedaulatan negara
terletak di tangan raja, karena raja dianggap sebagai penjelmaan kehendak
Tuhan dan raja juga merupakan bayangan dari Tuhan di bumi ini. Agar
negara kuat, raja harus berkuasa mutlak dan tak terbatas; posisi raja berada
di atas undang-undang; dan rakyat harus rela menyerahkan hak-hak asasi
dan kekuasaannya secara mutlak kepada raja.44
Contoh negara yang menerapkan teori ini adalah Prancis pada masa
dipimpin oleh Raja Louis XIV (1643-1715) dengan ucapannya yang amat
terkenal “L’Etat C’est Moi” yang berarti, “negara adalah saya.”
3. Kedaulatan Negara
43
Soehino, Ilmu Negara, h. 153. 44Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 26.
Teori ini berkembang di Eropa antara abad XV-XIX. Diilhami oleh
gerakan Renaissance dan ajaran Niccolo Machiavelli tentang negara sebagai
sentral kekuasaan. Teori ini memandang bahwa kekuasaan pemerintah
bersumber dari kedaulatan negara (staats-souvereiniteit); negara dianggap
sebagai sumber kedaulatan yang memiliki kekuasaan tidak terbatas; karena
negara abstrak, maka kekuasaannya diserahkan kepada raja atau presiden
atas nama negara; negaralah yang menciptakan hukum. Oleh sebab itu,
negara tidak wajib tunduk kepada hukum. Tokoh yang mendukung teori ini
di antaranya adalah: George Jellinek, Paul Laband, Adolf Hitler, dan B.
Mussolini. Khusus kedua tokoh yang disebutkan belakangan bahkan
mempraktekkannya ketika mereka masing-masing menjadi pemimpin
negara Jerman dan Italia. Mereka menganggap dirinya sebagai pusat
kekuasaan negara serta memerintah secara totaliter dan sentralistis.45
Kusnardi dan Bintan Saragih melihat teori ini hanya sekedar untuk
merevitalisasi teori kedaulatan raja yang sebelumnya sudah usang dan
tergantikan oleh teori kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan negara juga
mengadopsi logika teori kedaulatan rakyat, bahwa jika rakyat berdaulat,
berarti juga negara yang berdaulat karena negara adalah bentukan rakyat.
Akan tetapi karena negara itu mempunyai arti yang abstrak, timbul
pertanyaan siapakah yang memegang kekuasaan negara. Maka yang
memegang kedaulatan dalam negara tidak lain dan tidak bukan adalah raja
sendiri. Pengertian negara yang abstrak itu dikongkritkan dalam tubuh raja.
45Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 26.
Ajaran itu disebut Verkulpringstheorie yang artinya negara menjelma dalam
tubuh raja.46
4. Kedaulatan Hukum
Teori ini berkembang setelah Revolusi Prancis dan diilhami oleh
semboyan rakyat Prancis ketika itu, yaitu Liberte (kebebasan); Egalite
(persamaan); dan Fraternite (persaudaraan) yang ingin hidup lepas dari
kesewenang-wenanganan penguasa (raja). Tokohnya yang terkenal antara
lain adalah H. Krabbe, Immanuel Kant, dan Kranenburg.
Menurut teori ini yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan
tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum. Karena baik raja/penguasa,
rakyat/warganegara, maupun negara itu sendiri tunduk kepada hukum.
Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai dengan ketentuan
hukum; yang berdaulat adalah hukum; dan setiap tindakan negara harus
didasarkan pada hukum.
Lalu apa yang menjadi sumber hukum? Menurut Krabbe sumber itu
adalah rasa keadilan dan kesadaran hukum yang terdapat di dalam jiwa
masyarakat. Hukum itu tidaklah lahir dari kehendak negara, artinya hukum
itu terlepas dari kehendak negara. Hal ini berkaitan dengan teorinya yang
mengatakan bahwa hukum itu adalah salah satu dari sekian banyak jenis
perasaan kita. Krabbe menambahkan selain manusia punya rasa susila,
keindahan, keagungan dan sebagainya, ia juga punya rasa hukum. Hukum
adalah bagian dari jiwa manusia, misalnya, ketika melihat sesuatu yang
janggal pastilah jiwa kita akan berkata hal itu tidak sesuai. Oleh karenanya,
46
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama),
h. 122.
kesadaran hukum juga adalah salah satu fungsi dari jiwa manusia. Jadi,
karena hukum adalah jiwa dan perasaan kita, maka ia berada di luar
kehendak kita dan bahkan negara.47
5. Kedaulatan Rakyat
Pengaruh dari teori kedaulatan hukum di atas adalah lahirnya teori
kedaulatan rakyat, karena teori kedaulatan hukum tersebut menempatkan
rakyat tidak hanya sebagai objek, tetapi juga subjek dalam negara. Teori
kedaulatan rakyat muncul pada abad XVII dan terus berkembang hingga
sekarang. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah John Locke,
Montesquieu, dan J. J. Rouseau.
Teori ini memandang bahwa yang memiliki dan menjadi sumber
kedaulatan sebuah negara adalah rakyat. Jadi, yang berdaulat adalah rakyat.
Rakyat merupakan kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu melalui
perjanjian masyarakat (social contract), kemudian rakyat sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi memberikan sebagian haknya kepada penguasa untuk
kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak
rakyat/umum (volonte generale) melalui perwakilan yang duduk di dalam
pemerintahan. Namun, pemerintah tidak memerintah secara absolut, karena
pemerintah yang berkuasa tidak serta merta menguasai hak rakyat
sepenuhnya.48
Dari pembahasan tentang teori-teori kedaulatan di atas, tiga teori yang
dibahas terlebih dahulu (kedaulatan Tuhan, raja, dan negara) mengarah kepada
absolutisme kekuasaan negara yang pada umumnya dipegang oleh seorang raja.
47
Soehino, Ilmu Negara, h. 156-157. 48Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 26.
Namun, seiring perkembangan zaman dan pengaruh teori demokrasi modern, pada
saat ini teori-teori tersebut tergantikan oleh teori kedaualatan rakyat yang
mengidealkan kekuasaan/kedaulatan berada di tangan rakyat, karena negara
terbentuk berdasarkan kehendak rakyat, bahkan kalaupun raja yang memimpin
negara tersebut hal itu karena persetujuan dari rakyat. Karena rakyat banyak maka
tidak mungkin jika rakyat bersama-sama menjalankan pemerintahan berdasarkan
kedaulatan yang mereka miliki, akan tetapi rakyat menunjuk dan menentukan
pemerintah untuk mengatur negara sesuai dengan kehendak mereka. Paul Hirst
dan Grahame Thompson menamakan kedualatan seperti ini sebagai kedaulatan
yang demokratis.49
Selanjutnya, kedaulatan yang dimiliki tiap negara mempunyai kekuatan
yang berlaku ke dalam (interne-souvereiniteit) dan ke luar (externe-
souvereiniteit). Kedaulatan ke dalam berarti bahwa pemerintah/negara memiliki
wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kedaulatan ke
luar berarti pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada
kekuatan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.50
Demikian juga,
negara lain harus pula menghormati kekuasaan negara yang bersangkutan, dengan
tidak mencampuri urusan dalam negerinya. Hal ini senada dengan yang dikatakan
oleh Paul Hirst dan Grahame Thompson bahwa “setiap negara adalah berdaulat
dan karena itu setiap negara menentukan di dalam dirinya kebijakan internal dan
eksternalnya.”51
49
Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos. Penerjemah P. Soemitro
(Jakarta: YOI, 2001), h. 263. 50
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 25. 51Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos, h. 260.
Jadi, kedaulatan negara yang dimaksud dalam skripsi ini adalah kedaulatan
yang dimiliki oleh rakyat yang kemudian diserahkan kepada negara atau lebih
tepatnya kepada pemerintah untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara
sesuai dengan cita-cita dibangunnya negara. Lebih tegasnya, kamus politik
mengartikan kedaulatan negara sebagai “hak negara untuk melaksanakan
kekuasaan penuh atas status kemerdekaannya tanpa boleh ada campur tangan dari
pihak lain terhadap masalah internal maupun eksternalnya. Setiap negara bebas
untuk membuat keputusan sendiri.”52
Sehingga negara yang berdaulat adalah
negara yang bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom) tanpa intervensi
negera manapun.
Soekarno mencatat bahwa setidaknya negara yang memiliki kedaulatan
harus memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) berdaulat dalam bidang politik, (2)
berdikari dalam bidang ekonomi, dan (3) berkepribadian dalam budaya.53
Berdaulat dalam bidang politik mengisyaratkan bahwa secara politik negara harus
merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan, dan bebas dari intervensi
lembaga manapun dalam menentukan kebijakan. Secara ekonomi, kemandirian
sebuah negara amat penting, kemandirian perekonomian sebuah negara mencegah
terjadinya intervensi atau campur tangan pihak asing dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyatnya. Misalnya dalam hal pengelolaan sumber daya alam,
negara berhak atas apa yang terkandung di dalam wilayahnya dan mengelolanya
sebaik mungkin untuk kepentingan rakyatnya. Berkepribadian dalam budaya
menjadi penting karena kebudayaan erat kaitannya dengan karakter suatu negara-
bangsa dan rasa nasionalisme masing-masing warga negaranya. Sebuah negara
52
B. N. Marbun, Kamus Politik, h. 237. 53
Pravendi Januarsa, “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno,” artikel diakses pada 08
Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135
harus memiliki kebudayaan yang berkepribadian untuk menjaga agar
eksistensinya tetap kokoh di tengah gempuran budaya-budaya asing.
Ketiga kriteria kedualatan negara yang disebutkan oleh Soekarno seperti
dijelaskan di atas merupakan syarat mutlak agar eksistensi negara dengan
kedaulatannya tetap terjaga di tengah hegemoni globalisasi seperti yang terjadi
saat ini. Globalisasi dengan implikasi negatif yang dibawanya benar-benar
mengancam eksistensi kedaulatan negara dalam tiga bidang yang disebutkan oleh
kriteria tersebut. Dalam bidang politik negara terancam dengan intervensi negara
tertentu dalam mendesakkan kepentingannya, terutama dengan dalih menjaga
ketertiban-keamanan dunia dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam bidang
ekonomi negara juga terancam dengan ekspansi modal besar-besaran yang tak
mengenal batas negara dan cengkeraman perusahaan-perusahaan
multinasional/transnasional yang mengeruk sumber daya alamnya dengan
dukungan lembaga-lembaga internasional yang sangat berpengaruh. Dan dalam
bidang budaya, dengan dukungan kemajuan di bidang teknologi dan informasi,
negara mendapat ancaman dari budaya asing yang bertentangan dengan budaya
lokal yang mampu merangsek sampai ke pelosok suatu negara.
B. BATAS-BATAS KEDAULATAN NEGARA
Agar kekuasaan negara—dengan kedaulatannya—tidak menjadi absolut dan
jelas, maka diperlukan pembatasan-pembatasan yang jelas. Pembatasan tersebut
terjadi diberbagai aspek, seperti pada pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga
negara yang tertuang dalam bentuk pemisahan atau pembagian kekuasaan,
kemudian pembatasan kedaulatan pada wilayah kekuasaan suatu negara, dan
pembatasan kedaulatan pada hukum dasar (konstitusi), karena negara yang
berdaulat biasanya selalu diiringi dengan bentuk negara yang berdasarkan hukum,
seperti Indonesia.
Hal pertama yang harus dibatasi adalah kepemilikan kekuasaan antar
lembaga yang terdapat dalam negara. Pembatasan ini biasa disebut sebagai
pemisahan atau pembagian kekuasaan.
Doktrin mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) pertama kali
dikemukakan oleh John Locke, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704,
dalam buku Two Treaties On Civil Goverment. Dalam buku itu Locke menyebut
bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam (Trias Politica), yaitu kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan federatif.54
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang,
misalnya raja dan presiden, sedangkan kekuasaan legislatif merupakan lembaga
perumus undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental negara
lainnya. Menurut Locke kekuasaan legislatif ini tidak bisa dialihkan kepada siapa
pun atau lembaga manapun karena pada hakekatnya kekuasaan legislatif adalah
manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara.
Kekuasaan legislatif dijalankan oleh parlemen yang merupakan
pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas sosial masyarakat baik
kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun rakyat jelata. Kekuasaan suara di
parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip mayoritas.
Mengenai kekuasaan federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu
berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang,
54Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 48.
perdamaian, liga dan aliansi antar negara, dan transaksi-transaksi dengan negara
asing.55 Dengan pemisahan kekuasaan seperti ini, Locke berharap penyalahgunaan
kekuasaan oleh penguasa dapat dicegah, sekaligus menjamin hak-hak warga
negara.
Pemikiran Locke tentang pemisahan kekuasaan dikembangkan lebih lanjut
oleh filsuf Prancis Montequieu (1689-1755) dalam bukunya L’Esprit Des Lois
(The Spirit of The Laws) yang membagi Trias Politica dalam bentuk kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Mengenai kekuasaan eksekutif dan legislatif, pandangan Montesquieu tidak
berbeda dengan pendapat Locke, perbedaannya hanya pada kekuasaan yudikatif.
Menurut Montesquieu kekuasaan yudikatif adalah lembaga yang tugas utamanya
mengadili pelanggaran undang-undang. Konkritnya di Indonesia lembaga-
lembaga tersebut adalah Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah
Agung (yudikatif).
Doktrin pemisahan kekuasaan ini (terutama pandangan Montesquieu)
berlangsung di banyak negara pada masa sekarang, misalnya Amerika Serikat,
sebagian besar negara di Eropa, Indonesia, dan lain-lain. Namun, seiring
perkembangan zaman, penerapannya berbeda dengan konsep aslinya, artinya
pemisahan kekuasaan antar ketiga lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)
tidak berjalan secara tegas dan banyak mengalami perkembangan atau tegasnya,
menurut Miriam Budiarjo, telah bergeser menjadi pembagian kekuasaan (division
of powers). Misalnya seperti yang terjadi di Amerika, dengan asumsi bahwa
kekuasaan yang terdapat dalam lembaga-lembaga negara tersebut bisa saja
55Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 203.
diselewengkan oleh pemegang kekuasaannya, maka diperlukan sistem “checks
and balaces” untuk membendung kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan
tersebut.56
Sistem ini menggambarkan bahwa setiap cabang kekuasaan dapat
mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Misalnya, presiden
diberi wewenang untuk memveto rancangan undang-undang yang telah disepakati
oleh Congress, akan tetapi dipihak lain veto ini dapat dibatalkan oleh Congress
dengan dukungan 2/3 dari Majelis. Mahkamah Agung mengadakan check
terhadap badan eksekutif dan badan legislatif melalui judicial review (hak uji),
dan di lain pihak Hakim Agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif dapat
diberhentikan oleh Congress jika ternyata melakukan tindakan kriminal.
Praktek pembagian kekuasaan seperti di atas juga terjadi di Indonesia.
Badan eksekutif di Indonesia tidak hanya bertindak sebagai pelaksana undang-
undang atas persetujuan parlemen, tetapi juga bergerak dalam bidang legislatif,
misalnya, menyusun rancangan undang-undang, membuat Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, dan sebagainya. Pemerintah juga berkecimpung di bidang
yudikatif, misalnya memberi grasi, amnesti, sedangkan kekuasaan yudikatif
dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman, Komisi
Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.
Pembatasan kedaulatan yang kedua adalah dalam bidang wilayah. Oleh
karena dunia ini tidak hanya dihuni oleh satu negara tetapi banyak negara, maka
masing-masing negara memiliki kedaulatan dalam wilayah yang dikuasai atau
didiaminya. Untuk menciptakan ketertiban kepemilikan wilayah maka diaturlah
56Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.xxv (Jakarta:Gramedia, 2003), h. 153.
perjanjian internasional mengenai kedaulatan wilayah masing-masing negara, baik
di wilayah darat, air, maupun udara. Pengaturan tegas mengenai batas wilayah ini
menjadi penting karena wilayah merupakan tempat berlindung bagi rakyat
sekaligus sebagai tempat bagi pemerintah untuk mengorganisir dan
menyelenggarakan pemerintahan.
Penentuan batas-batas suatu wilayah daratan, baik yang mencakup dua
negara atau lebih, pada umumnya berbentuk perjanjian atau traktat. Misalnya:
1. Traktat antara Belanda dan Inggris pada tanggal 20 Juli 1891
menentukan batas wilayah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan.
2. Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai garis-garis
batas tertentu dengan Papua Nugini yang ditandatangani pada tanggal 12
Februari 1973.57
Mengenai wilayah lautan, pada awalnya terdapat dua konsepsi pokok
mengenai wilayah lautan, yaitu res nullius dan res communis. Res nullius adalah
konsepsi yang menyatakan bahwa laut itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-
masing negara. Konsepsi ini dikembangkan oleh John Sheldon (1584-1654) dari
Inggris dalam buku Mare Clausum atau The Right and Dominion of The Sea.
Sedangkan Res communis adalah konsepsi yang beranggapan bahwa laut itu
adalah milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh
masing-masing negara. Konsepsi ini kemudian dikembangkan oleh Grotius dari
Belanda pada tahun 1608 dalam buku Mare Liberum (laut bebas). Karena
konsepsi inilah, kemudian Grotius dianggap sebagai bapak hukum internasional.58
57
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 21. 58Ibid., h. 21.
Dewasa ini, masalah wilayah lautan telah memperoleh dasar hukum, yaitu
Konferensi Hukum Laut Internasional III tahun 1982 yang diselenggarakan oleh
PBB atau United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS) di
Jamaica. Konferensi PBB itu ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan
2 organisasi kebangsaan di dunia tanggal 10 Desember 1982.
Dalam bentuk traktat multilateral, batas-batas laut terinci sebagai berikut.59
a) Batas Laut Teritorial
Setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut teritorial yang jaraknya
sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai.
b) Batas Zona Bersebelahan
Sejauh 12 mil laut di luar batas laut teritorial atau 24 mil dari pantai
adalah batas zona bersebelahan. Di dalam wilayah ini negara pantai dapat
mengambil tindakan dan menghukum pihak-pihak yang melanggar undang-
undang bea-cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban negara.
c) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
ZEE adalah wilayah laut dari suatu negara pantai yang batasnya 200 mil
laut diukur dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara pantai yang
bersangkutan berhak menggali kekayaan alam lautan serta melakukan
kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain bebas berlayar atau terbang di atas
wilayah itu, serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah lautan itu.
Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap nelayan asing yang
kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-nya.
d) Batas Landas Benua
59Ibid., h. 22.
Landas benua adalah wilayah lautan suatu negara yang lebih dari 200 mil
laut. Dalam wilayah ini negara pantai boleh mengadakan eksplorasi dan
eksploitasi, dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat
internasional.
Sedangkan untuk masalah wilayah udara pada saat ini belum ada
kesepakatan di forum internasional mengenai kedaulatan di ruang udara. Pasal 1
Konvensi Paris 1919 yang kemudian diganti oleh pasal 1 Konvensi Chicago 1944
menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan eksklusif
di ruang udara di atas wilayahnya, artinya negara berhak mengadakan eksplorasi
dan eksploitasi di wilayah udaranya, misalnya untuk kepentingan radio, satelit,
dan penerbangan. Mengenai ruang udara (air space), di kalangan para ahli masih
terjadi silang pendapat karena berkaitan dengan batas jarak ketinggian di ruang
udara yang sulit diukur. Sebagai contoh, Indonesia, menurut undang-undang no.
20 tahun 1982 menyatakan bahwa wilayah kedaulatan dirgantara yang termasuk
orbit geo-stationer adalah 35.761 km.60
Para ahli yang berbeda pendapat mengenai batas wilayah udara di antaranya
adalah Lee, Von Holzen Dorf, dan Henrich’s yang masing-masing berpendapat:61
1. Lee
Ia berpendapat bahwa lapisan atmosfir dalam jarak tembak meriam yang
dipasang di darat dianggap sama dengan udara teritorial negara. Di luar
jarak tembak itu, harus dinyataka sebagai udara bebas, dalam arti dapat
dilalui oleh semua pesawat udara negara manapun.
2. Von Holzen Dorf
60
Ibid., h. 23. 61Ibid.
Ia menyatakan bahwa ketinggian ruang udara adalah 1.000 meter dari
titik permukaan bumi yang tertinggi.
3. Henrich’s
Ia menyatakan bahwa negara dapat berdaulat di ruang atmosfir selama
masih terdapat gas atau partikel-partikel udara atau pada ketinggian 196 mil.
Di luar atmosfir, negara sudah tidak lagi mempunyai kedaulatan.
Batasan kedaulatan negara selanjutnya adalah melalui hukum (konstitusi),
pembatasan oleh hukum seperti ini terjadi pada negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat), artinya negara dalam melaksanakan akstivitasnya (penyelenggaraan
pemerintahannya) tidak boleh berdasarkan atas kekuasaan belaka tetapi harus
berdasarkan pada hukum yang berlaku.
Kata konstitusi berasal dari bahasa Prancis Constitur yang berarti
membentuk. Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi dikenal dengan istilah
Grondwet, yang berarti undang-undang dasar. Sedangkan di Jerman dikenal
dengan istilah Grundgesetz, yang juga berarti undang-undang dasar. Secara
terminologi Konstitusi berarti sejumlah aturan-aturan dasar dan ketentuan-
ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga
pemerintahan termasuk dasar hubungan kerja sama antara negara dan masyarakat
(rakyat) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.62
Konstitusi juga
dapat dipahami sebagai bagian dari social contract (kontrak sosial) yang memuat
aturan main dalam berbangsa dan bernegara antara rakyat dan negara, di
62
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 91-
90.
dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban rakyat/warga negara dan alat-
alat pemerintahan negara.
Seperti sudah disinggung di atas bahwa konstitusi berfungsi untuk
memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik.
Namun selain itu, konstitusi juga berfungsi untuk menjamin hak-hak
warganegara, seperti yang dikatakan oleh Miriam Budiarjo:
“Undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi
kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan
hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.”63
Selain sebagai pembatasan terhadap kekuasaan negara dan cerminan bagi
terjaminnya hak-hak warganegara, konstitusi juga berfungsi sebagai gambaran
ruang lingkup kedaulatan negara. Konstitusi negara Indonesia yang kemudian
dikenal dengan Undang-undang Dasar 1945, menggambar ketiga fungsi tersebut.
C. Kedaulatan Negara di dalam Konstitusi
Di dalam teks pembukaan (prembule) UUD 1945 Indonesia menyatakan
dengan tegas kemerdekaannya, dengan bunyi kalimat “...maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya...” dan dengan kalimat “dan perjuangan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur” negara Indonesia menyatakan dirinya telah berdaulat, artinya merdeka
dan bebas dari segala bentuk penjajahan. Kemudian, kedualatan negara Indonesia
63Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 96.
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang (ayat 2 Pasal
1).64 Ini berarti bahwa kedaulatan tidaklah dipegang oleh satu atau sekelompok
orang saja. Dan dengan semangat kedaulatan rakyat maka di Indonesia dibentuk
badan-badan penyelenggara negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat
tersebut, seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, dan lain-lain.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berwenang mengubah dan
menetapkan undang-undang dasar. Majelis ini juga bertugas untuk melantik
presiden dan/atau wakil presiden, dan bahkan dapat memberhentikan mereka
dalam masa jabatannya menurut undang-undang. Keanggotaan MPR terdiri atas
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 2 & 3).
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, lembaga ini
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dewan ini
juga memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (Pasal 20
& 20A). Sedangkan DPD adalah lembaga yang anggotanya dipilih dari setiap
provinsi yang masing-masing provinsi memiliki jumlah anggota yang sama. DPD
dapat mengajukan kepada DPR dan bersama-bersama membahas rancangan
undang-undang, serta mengawasi pelaksanaan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dengan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
(Pasal 22C & 22D).
64“UUD ’45 Amandemen I, II, III, IV” (Jakarta: Bintang Indonesia, 2004), h. 3.
Lembaga-lembaga seperti MPR, DPR, dan DPD, seperti disebutkan di atas,
menurut UUD merupakan lembaga legislatif, artinya pemegang kekuasaan
legislasi. Sedangkan pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden. Presiden dan
wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal
6A).
Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan, dalam melakukan
kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden (Pasal 4); dan
dalam struktur kekuasaan eksekutif Presiden juga dibantu oleh dewan
pertimbangan yang dibentuk olehnya dan bertugas untuk memberikan nasehat dan
pertimbangan (Pasal 16); dan menteri-menteri yang dibentuk olehnya (Pasal 17);
dalam urusan dengan daerah Presiden juga dibantu oleh pimpinan daerah, seperti
Gubernur dan Bupati/walikota, yang masing-masing dipilih secara demokratis
oleh warga daerah tersebut (Pasal 18). Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR, dan Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5).
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah lembaga
Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi (Pasal 24).
Mahmakah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang
(Pasal 24A). Sedangkan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan mumutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pasal
24C). Selain dua lembaga tersebut, dalam bidang kehakiman Indonesua juga
memiliki Komisi Yudisial yang sala satu wewenangnya adalah mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B).
Kesemua tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara dijalankan
berdasarkan kemerdekaan negara, tidak boleh ada campur tangan dari manapun,
termasuk intervensi dari negara lain dan/atau dari lembaga-lembaga internasional.
Karena kekuasaan dan kewenangan suatu negara dalam mengatur kehidupan
dirinya adalah cerminan dari kedaulatan negara tersebut.
Kemerdekaan yang telah diperoleh Indonesia tidaklah diperuntukkan untuk
menjajah bangsa lain, tetapi diperuntukkan untuk memajukan kesejahteraan dan
kecerdasan rakyatnya, sekaligus juga untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD ’45 yaitu:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”65
Di sini terlihat bahwa negara yang telah memperoleh
kemerdekaan/kedaulatan memiliki fungsi untuk memajukan kesejahteraan
bangsanya. Negara Indonesia dalam hal mewujudkan kesejahteraan sosial dan
65Ibid., h. 2.
perekonomian nasional mengaturnya dalam konstitusi (UUD 1945) yang tertuang
dalam pasal 33 dan 34. Kedua pasal tersebut berbunyi:
Pasal 33 ayat (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan, (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan,
kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.66
Pasal 34 ayat (1) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara, (2) negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan, (3) negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.67
Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan
oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak,
tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang
banyak akan tertindas. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam
66
Ibid., h. 25-26. 67Ibid., h. 26.
bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Cerminan kedaulatan ekonomi dan politik negara Indonesia seperti yang
termaktub dalam konstitusi, sebenarnya juga dianut oleh negara-negara lain di
dunia. Setiap negara di dunia dengan kedaulatan yang dimilikinya berhak
mengatur dan mengeluarkan kebijakan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan
lainnya di dalam kedaulatan wilayahnya untuk kepentingan negara dan warganya.
BAB IV
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN
NEGARA INDONESIA
A. Globalisasi dan Peminggiran Peran Negara
Pada era globalisasi ini negara dituntut harus melakukan kebijakan
deregulasi, melakukan liberalisasi ekonomi, membuka selebar-lebarnya jalan bagi
investasi asing, menurunkan tarif impor, dan melakukan privatisasi. Tuntutan-
tuntutan tersebut sebenarnya mengarah kepada minimalnya peran negara karena
doktrin ekonomi-politik yang dibangun pada era globalisasi ini adalah doktrin
ideologi neoliberalisme yang memandang pertumbuhan ekonomi suatu negara
hanya akan terjadi jika negara membuka pasar selebar-lebarnya bagi investasi dan
negara tidak ikut campur dalam perekonomian biarkan pasar yang menentukan
(pasar bebas).
Teori mengenai mekanisme pasar bebas ini sebenarnya pertama kali
dicetuskan oleh Adam Smith melalui teori “absolute advantage” yang
dikemukakannya dalam buku The Wealth of Nation. Smith mengajarkan bahwa
semua bangsa akan mendapat untung jika mengadakan perdagangan dan
mendukung kebijakan laissez faire (pasar bebas). Perdagangan bebas akan
membuat sumberdaya dunia dipakai secara amat efisien dan dengan demikian
akan menghasilkan kesejahteraan dunia secara maksimal. Selanjutnya pemikirin
Smith ini dikembangkan oleh David Ricardo dengan teori “comparative
advantage” dalam bukunya Principles of Political Economy and Taxation (1817),
dengan teorinya ini Ricardo berpendapat bahwa, karena setiap negara pasti
memiliki keunggulan dalam hal produksi yang berbeda dengan negara lainnya,
maka alangkah lebih baik jika masing-masing negara mengonsentrasikan produksi
pada produk-produk unggulan tersebut dan kemudian, untuk mendapatkan produk
lain, negara melakukan perdagangan dengan negara lainnya yang memiliki
keunggulan produk yang berbeda.68
Perkembangan selanjutnya dari perkembangan perdagangan bebas ini adalah
munculnya teori “competitive advantage” yang dituangkan oleh Michael Porter
dalam bukunya The Competitive Advantage of Nation (1990). Dalam teori ini,
negara tidak hanya berdagang tetapi juga bersaing. Kalau sebuah negara ingin
memperoleh kemakmuran (diukur dengan pertumbuhan ekonomi tinggi), ia harus
bersaing dengan negara-negara lain untuk merayu modal yang dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan multinasional yang jumlahnya terbatas itu. Dalam rangka
persaingan inilah negara berlomba mengurangi hambatan untuk terjadinya
perdagangan bebas maupun masuknya investor, dan sekaligus juga
mengembangkan kekayaan yang dimilikinya seperti struktur ekonomi nasional,
nilai-nilai, kultur, dan sejarah bangsa.
I. Wibowo berpendapat bahwa teori competitive advantage merupakan
revisi radikal terhadap teori comparative advantage karena dalam teori baru itu
negara tidak hanya harus membuka pasar, tetapi juga menyediakan fasilitas-
fasilitas untuk menarik modal yang dimiliki oleh para investor, terutama investor
68
Ricardo mencohtohkan Inggris dan Portugal. Inggris yang menjadi penghasil wool ulung
lebih baik tidak mencoba untuk memproduksi anggur yang menjadi keunggulan Portugal. Inggris
tetap menjadi penghasil wool, dan Portugal penghasil anggur. Keduanya akan menikmati wool dan
anggur dengan kualitas unggul, kalau keduanya melakukan perdagangan. Lihat I. Wibowo, “Emoh
Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed.,
Neoliberalisme (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), h. 279. Lihat juga dalam Halwani, Ibid., h. 203.
global.69
Implikasi serius dari teori ini adalah bahwa negara harus semakin
mundur dari kegiatan intervensinya dalam ekonomi, terutama di bidang regulasi
dan redistribusi kekayaan. Karena pendapatan negara dari pajak menurun,
implikasi lebih jauh adalah dikuranginya alokasi dana untuk kesejahteraan sosial.
Teori inilah yang kemudian menjadi landasan bagi perdagangan bebas yang pada
era globalisasi ini berlangsung semakin massif.
Teori-teori mengenai pasar bebas inilah yang menjadi landasan bagi
peminggiran peran negara. Pasar harus berkuasa dan negara harus minggir. Ajaran
bahwa pasar harus bebas di mana-mana dengan menggunduli negara inilah yang
menjelma menjadi ajaran “neoliberalisme” yang sekaligus juga menjadi dasar bagi
globalisasi. Negara memang tidak sepenuhnya hilang, tetapi ia masih diperlukan,
setidaknya untuk menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan
menjamin keamanan.
Gejala peminggiran negara ini telah menimpa beberapa negara Barat, yaitu
Inggris dan Amerika Serikat pada tahun 1970-an, dan semakin menguat sejak
ambruknya Uni Soviet dan Blok Timur, termasuk Cina. Peminggiran negara
melanda Inggris sejak naiknya Margaret Thacther, sang Iron Lady, ke kursi
Perdana Menteri pada tahun 1979. Negara yang telah menjalankan kebijakan
untuk kesejahteraan rakyat (welfare) dikecam dan dikritik. Mulai tahun 1980-an
dan seterusnya, di Inggris terjadilah privatisasi perusahaan-perusahaan negara dan
pemangkasan kebijakan kesejahteraan (welfare policy). Pada tahun 1991
(menjelang akhir pemerintahan partai konservatif) sebagian besar keperluan
umum telekomunikasi, gas, bandara, air, dan listrik ditambah perusahaan-
69Ibid., h. 280.
perusahaan besar yang semula dikendalikan oleh pemerintah seperti BP, Cable
and Wireless, Jaguar, dan sebagainya sudah diprivatisasikan semua. Ada
seluruhnya empat wilayah dari welfare policy: pelayanan kesehatan, pendidikan,
santunan penganggur, dan pensiun hari tua, semuanya mengalami pemangkasan
oleh Thacher, diteruskan oleh Jhon Major, bahkan oleh Tony Blair dari Partai
Buruh.70
Negara harus mundur dari semua keterlibatan di bidang-bidang tersebut
karena dianggap sebagai biang keladi merosotnya pertumbuhan ekonomi, inflasi,
defisit belanja negara, dan seterusnya. Inilah negara tempat lahir ekonom
kondang, Jhon Maynard Keynes, yang mengajarkan pentingnya peran negara
dalam ekonomi, tetapi justru di Inggris dimulailah gerakan menggunduli peran
negara. Inggris yang selalu menjadi percontohan dari lahirnya sebuah welfare
state, tidak dinyana-nyana juga menjadi negara yang memelopori pembubaran
welfare state.
Kepeloporan Inggris ini bergema ke negara-negara di daratan Eropa. Prancis
dan Italia, kemudian Jerman juga menyusul dan menjiplak kebijakan yang
diterapkan di Inggris. Mereka beramai-ramai mengadakan privatisasi, mengurangi
subsidi, menurunkan pajak perusahaan, dan sebagainya. Jumlah pegawai negeri
dikurangi hingga ke tingkat minimal. Negara dirampingkan, defisit dikurangi.
Pengusaha swasta, termasuk pengusaha swasta internasional, diberi ruang seluas-
luasnya untuk beroperasi.71
Entah kebetulan entah tidak, di seberang Lautan Atlantik, di Amerika
Serikat, muncul Ronald Reagan sebagai presiden, yang tidak kalah agresif
70
Ibid., h. 269. 71
Noreena Herzt, Perampok Negara Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi.
Penerjemah M. Mustafied (Yogyakarta: Alenia, 2005), h. 17-47.
dibandingkan Margaret Thacher dalam gerakan menolak negara. Pengeluaran
untuk kesejahteraan dikurangi, kecuali program-program untuk orang usia lanjut.
Hambatan perdagangan dikurangi atau dibuang sama sekali, semacam subsidi
disingkirkan kecuali subsidi pertanian (akibat krisis pertanian tahun 1984-1985).
Regulasi terhadap bisnis dikurangi, kecuali untuk pabrik senjata. Sementara itu
pajak pada orang-orang kaya diturunkan secara dramatis pada tahun 1982 dan
1987.72
Pada belahan bumi yang lain, pada waktu yang kurang lebih sama, sejak
tahun 1980 negara Cina juga melancarkan usaha besar-besaran untuk melucuti
negara. Tokohnya adalah Deng Xiaoping, seorang yang oleh Mao Zedong
dikatakan sebagai “pejalan kapitalis no. 2.” Ramalan ini tidak meleset karena
sejak tahun itu hingga hari ini Cina menganut sistem ekonomi terencana pusat
selama 30 tahun, secara konsisten, setapak demi setapak, mengurangi peran
negara, memberi kebebasan berusaha kepada pengusaha swasta. Negara tidak lagi
membuat perencanaan terpusat terhadap ekonomi, tidak menentukan harga barang
maupun jasa, tidak memegang monopoli dalam produksi barang. Perusahaan
swasta bermunculan, juga perusahaan swasta asing. Ekonomi Cina yang lama
dilindungi oleh dinding proteksionisme yang tinggi kini terbuka terhadap
perdagangan internasional. Seperti di Eropa dan Amerika Serikat, subsidi untuk
welfare menyusut drastis.
Tidak lama sesudah Cina, gurunya, Uni Soviet, tidak malu mengikuti jejak
dalam mempreteli negara dari perannya di bidang ekonomi. Gorbachev
merupakan tokoh sentral. Rencana semula cuma mengadakan reformasi ekonomi,
72I. Wibowo, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara,” h. 269.
ternyata berubah menjadi ambruknya seluruh sistem politik. Pada tahun 1991
sistem komunisme bubar di Uni Soviet, dan diganti dengan sistem kapitalisme.
Seperti di Cina perdagangan internasional menerobos masuk pasar Rusia.73
Tetapi dua tahun sebelum Uni Soviet, sistem komunisme sudah berguguran
di negara-negara Eropa Timur yang menjadi negara satelit Uni Soviet. Mulai
dengan Polandia, negara-negara lainnya menyusul satu persatu mengganti sistem
komunisme dengan sistem kapitalisme. Secara ideologis peristiwa ini sering
dirayakan sebagai kemenangan sebuah sistem atas sistem tandingan, tetapi sama
dengan yang terjadi di Amerika Serikat maupun Eropa, inilah saat “negara”
dijadikan kambing hitam atas kegagalan ekonomi. Bersama-sama mereka
menyatakan “anti negara.”
Aktor-aktor yang menjadi juru kampanye paling meyakinkan dari ajaran
pasar bebas dan kemudian anti-negara ini antara lain adalah World Bank, IMF,
WTO, dan negara-negara Barat/maju. Kesemuanya merupakan aktor globalisasi.
World Bank, dengan statusnya sebagai institusi keuangan terkemuka di
dunia, memberi nasehat kepada negara untuk mengambil sikap yang investor
friendly seperti mengurangi aneka hambatan, termasuk hambatan yang datang dari
serikat-serikat buruh. Mengenai masalah buruh, World Bank mengingatkan agar
negara tidak melakukan tawar-menawar dengan mereka pada tingkat nasional,
sektoral, atau industrial. Kalau serikat buruh ingin memperjuangkan haknya, maka
mereka sebaiknya mengadakan bergaining pada tingkat perusahaan saja. Yang
penting negara tidak mempengaruhi jalannya mekanisme pasar bebas.
73Ibid., h. 270.
Sedangkan yang dilakukan IMF untuk mengikis peran negara adalah dengan
menuntut “structural adjustment programme” atau program penyesuaian strutural
kepada negara pengutang. Program tersebut terdiri dari tiga hal: liberalisasi
perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Banyak negara tidak bisa mengelak dari
tuntutan ini karena dalam keadaan tak berdaya, dan ini menjadi cara paling efektif
untuk mengikis peran negara sampai ke tingkat paling minimal.
WTO, sebagai institusi yang langsung berkepentingan dengan masalah
perdagangan dan investasi, mati-matian memperjuangkan agar asas perdagangan
bebas dilaksanakan oleh negara-negara anggotanya maupun oleh negara calon
anggota. WTO sangat berperan untuk membongkar dinding proteksionisme dan
melucuti semua subsidi yang diberikan oleh negara. Bagi WTO, semua aktor
ekonomi tidak boleh mendapat pertolongan dari negara, negara harus minggir.
Mereka harus bersaing di pasar bebas dunia.
Kalau desakan untuk meminggirkan negara oleh institusi multilateral masih
tidak cukup kuat, maka tugas yang sama diambil alih oleh negara Barat. Modus
desakan yang dilakukan oleh negara Barat ini adalah dengan memberikan bantuan
(utang) yang disertai dengan beberapa syarat. Misalnya, bantuan ekonomi
Amerika serikat lewat Alliance for Progress (didirikan 1961) diberikan dengan
syarat bahwa negara penerima utang akan mengadakan pembaruan di bidang
sosial dan politik. Dengan kata lain, bantuan yang diberikan mensyaratkan apa
yang disebut “political conditionality.” Artinya, harus ada perubahan politik dan
pemerintahan sebagai syarat diberikan bantuan untuk pembangunan. Ini berarti
perubahan ke arah demokratisasi dan meningkatkan hak-hak asasi manusia, dan
berarti dijalankannya “good governance.”
“Good governance” berarti administrasi yang sehat, dan sekaligus juga
politik yang demokratis, plus serangkaian keutamaan yang non-ekonomis, seperti
kesamaan, keseimbangan jender, menghormati hukum, toleransi sosial, kultural,
dan individual. Tapi dibalik deskripsi ini, sebenarnya terselip teori politik kaum
neoliberal yang mengatakan bahwa politik yang demokratis serta birokrasi yang
ramping, efisien dan akuntabel, itu perlu bagi berkembangnya pasar bebas. Ahli
pembangunan yang beraliran neolib memang percaya bahwa kegagalan
pembangunan merupakan konsekuensi langsung dari pemerintah yang otoriter dan
governance yang amburadul. Semuanya itu mereka katakan berakar dari
konsentrasi kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik secara berlebihan di tangan
negara. Jadi, tuntutan akan good governance yang semula nampak sebagai
tuntutan netral, menjadi sebuah tuntutan yang bermuatan agenda neoliberal:
meminggirkan negara.74
Contoh kasus dari proses peminggiran negara di Indonesia adalah seperti
yang terjadi dalam hal pengaturan kebijakan ketahanan pangan. Lewat LoI (Letter
of Intent) Oktober 1997 dan MEFP (Memorandum of Economic and Financial
Policies) 11 September 1998, IMF menuntut diberlakukannya tariff impor beras
sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula. Selain
itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan
dan agar melepaskannya ke mekanisme pasar. BULOG dibatasi menjadi sebatas
pedagang beras, itupun harus bersaing dengan pedagang swasta. Demikian pula
BULOG harus mengambil pinjaman dari bank komersial, tidak lagi dari dana
BLBI yang sangat ringan. Liberalisasi juga telah diberlakukan dalam hal harga
74Ibid, h. 285.
pupuk dan sarana produksi padi lainnya yang tidak lagi disubsidi pemerintah,
melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu subsidi petani lewat
KUT (kredit usaha tani) hanya sebesar Rp 1,8 trilyun (bandingkan dengan dana
BLBI). Dengan demikian kini petani menghadapi harga produksi yang mahal,
sementara harga jual padi hancur. Liberalisasi pertanian sebenarnya juga bagian
dari ratifikasi Indonesia atas Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, yang
mengatur penghapusan dan pengurangan tarif serta pengurangan subsidi.75
Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga
lebih murah dari beras hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba
untuk mendatangkan beras dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir
Maret 2000, beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta
ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal produksi beras dalam negeri sekitar
30 juta ton, sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 32 juta ton;
sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta ton. Karena
jeritan para petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor
dinaikkan menjadi 30%, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata
hal ini tetap bukan penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari
Thailand, Vietnam dan Australia dengan tetap meraih untung. Harga beras impor
dari Thailand misalnya, setelah keluar dari Tanjung Priok dijual Rp 1.600/kg, dan
beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap masih meraih laba sekitar Rp
600. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada Maret
2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di tingkat petani. Beras
impor terus saja masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi
75
Bonnie Setiawan, “Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Ekonomi Indonesia Dan
Kritiknya,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari situs Http://Www.Icrp-
Online.Org/Wmview.Php?Artid=170&Page=20
lokal terus merosot tajam, sehingga kini hanya mencapai sekitar Rp 600/kg.
Padahal harga pupuk sudah sekitar Rp 700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi
kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak ada langkah-langkah protektif
dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan dan akan menyebabkan
kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasi
pertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir
besar.76
B. Globalisasi Sebagai Bentuk Neo-Imperialisme
Imperialisme memiliki arti “kekuasan tertinggi dan unggul”. Oxford English
Dictionary (OED) mendefinisikan “imperial” sebagai “sesuatu yang mengacu
pada kemaharajaan” dan “imperialisme” sebagai “pemerintahan seorang kaisar,
raja, terutama yang despotik dan semena-mena; perbuatan yang memajukan
kepentingan-kepentingan kemaharajaan.” Oleh Lenin dan Kautsky, dalam
bukunya Imperialism: The Highest Stage of Capitalism, makna imperialisme di
hubungkan dengan kapitalisme. Imperialisme di pandang sebagai tahap tertinggi
dari kapitalisme (imperialisme as the highest of capitalism). Hal ini terjadi ketika
modal semakin berlimpah, sementara sumber daya alam dan tenaga dalam negeri
semakin terbatas. Modal lalu dipakai untuk mencari keuntungan di luar negeri
(negeri koloni).77
Menurut Edward Said, istilah “imperialisme” diartikan dengan praktek,
teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan yang menguasai suatu wilayah yang
76
Ibid. 77
Gading Sianipar, "Mendefinisikan Pascakolonialisme? Pengantar Menuju Wacana
Pemikiran Pascakolonialisme," dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Hermeneutika
Pascakolonial, Soal Identitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 16-17.
jauh; ‘kolonialisme,’ yang hampir selalu merupakan konsekuensi imperialisme,
adalah dibangunnya pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah yang jauh.
Sebagaimana di kemukakan oleh Michael Doyle: “imperium adalah suatu
hubungan, formal atau informal, di mana satu negara menguasai kedaulatan
politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya. Hal itu bisa dicapai dengan
paksa, melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan ekonomi, sosial, atau
budaya. Imperialisme adalah proses atau kebijaksanaan untuk menegakkan atau
mempertahankan imperium.” Di masa kita, kolonialisme langsung kebanyakan
telah berakhir; imperialisme, sebagaimana yang akan kita lihat, tetap hidup di
tempat ia hidup sebelumnya, dalam semacam lingkaran budaya umum maupun
dalam praktik-praktik politik, ideologi, ekonomi serta sosial tertentu.78
Sementara itu, dalam dunia modern, imperialisme tidak memerlukan
kekuasaan atas negara lain secara langsung. Karena itu, pengertian imperialisme
modern (neo-imperialisme) bukan pertama-tama soal pengambilalihan wilayah
dan perampasan sumber material, tetapi lebih sebagai sistem global yang
melakukan penetrasi bidang ekonomi, pengendalian pasar, serta tekanan politik
negara maju dan kaya terhadap negara-negara miskin (globalisasi), misalnya
kontrol “imperialisme Amerika” atas negara-negara di dunia dalam bidang
ekonomi, politik, dan militer di era globalisasi ini meskipun tidak mempunyai
kendali politis secara langsung.79
Globalisasi, seperti sudah dipaparkan pada Bab II, bukanlah fenomena baru
dalam sejarah peradaban manusia. Jauh sebelum munculnya nation-state,
perdagangan dan migrasi lintas benua telah berlangsung sejak kurang lebih lima
78
Nur Ahmad Soim, “Mafia Barkeley dan Neo-Kolonialisme Indonesia,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007), h. 31-32. 79Ibid., h. 35.
abad yang lalu. Pada masa itu perusahaan-perusahaan dari negara-negara yang
perekonomiannya sudah maju telah mulai meluaskan jangkauannya melalui
aktifitas produksi dan perdagangan. Kemudian proses globalisasi tersebut
meningkat tajam, baik dari segi intensitas maupun cakupannya, pada dekade
1980-an. Seiring dengan perkembangan tersebut, khususnya ketika dunia
memasuki abad ke-20 fenomena globalisasi dipandang sebagai gelombang masa
depan. Hal tersebut terutama sekali berkaitan dengan derasnya arus uang dan
modal internasional yang menyebar ke berbagai belahan dunia yang ditunjang
oleh massifnya pemberlakuan kebijakan liberalisasi oleh banyak negara dan
perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi.80
Meskipun demikian, sesungguhnya—seperti dikatakan Budi Winarno—
kepopuleran istilah globalisasi tidak dibarengi dengan kesadaran akan adanya
bahaya yang terkandung dalam gagasan globalisasi tersebut, yang pada
hakikatnya adalah bentuk perkembangan kapitalisme. Di masa lalu, untuk
menjamin tersedianya bahan baku dan pasar bagi barang yang diproduksi oleh
sebuah negara, kapitalisme berubah bentuk menjadi kolonialisme. Caranya adalah
dengan menaklukan negeri-negeri lain secara fisik dan menjadikan negeri-negeri
tersebut sebagai jajahan atau koloninya. Negara-negara yang lebih kuat bisa
secara paksa membeli bahan baku dengan harga yang sangat murah, selanjutnya
menjual hasil produknya dengan harga yang sangat tinggi.
Sekarang ini, cara pemaksaan seperti yang terjadi pada masa kolonialisme
tidak bisa dilakukan lagi. Ini dikarenakan cara seperti itu dianggap tidak beradab
dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui sebagai hak universal.
80
Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia (Jakarta: Erlangga,
2008), h. 2.
Oleh karena itu, agar negara-negara yang lebih kuat masih mampu membeli bahan
baku dengan harga semurah mungkin, maka negara-negara maju merumuskan
suatu cara yang lebih canggih yaitu melalui globalisasi. Hal ini senada dengan
yang dikatakan oleh Mansour Fakih, yaitu “globalisasi adalah proses
pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan
keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak
zaman kolonialisme.”81
Fenomena arus modal pada masa sekarang bisa menjadi representasi bahwa
sesungguhnya globalisasi adalah proyek yang diciptakan oleh negara-negara maju
dalam rangka mengkoloni negara miskin dan berkembang, dan lalu lintas finansial
dunia juga dapat mengancam negara yang berdaulat.
Dikatakan mengancam karena ruang lingkup lalu lintas finansial dunia
tersebut tidak mengenal batas-batas negara, oleh karenanya semakin sulit
dikontrol oleh pemerintah negara yang berdaulat. Ada beberapa faktor yang
melandasi argumen tersebut, di antaranya adalah pertama, kekuatan modal yang
dimiliki negara-negara maju telah melampaui kekuatan modal negara-negara
sedang berkembang, dan pada akhirnya menghancurkan fondasi ekonomi negara-
negara tersebut. Sebagai contoh, Pendapatan Nasional Indonesia (GNP) setiap
tahunnya hanya mencapai 136 miliar dolar Amerika Serikat (AS), sementara
peralihan atau perpindahan pasar keuangan dunia setiap harinya mencapai 1,5
triliun dolar AS. Kedua, kekuatan modal tersebut telah berdiri sendiri lepas dari
kontrol negara. Ini berarti bahwa negara tidak lagi mampu mengontrol kekuatan
modal tersebut, yang saat ini lebih banyak dipakai sebagai alat spekulasi di pasar
81
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist
Press, 2001), h. 210.
modal dan bursa dunia dibandingkan sebagai alat produksi. Ketiga, dampak yang
ditimbulkan oleh aktifitas aliran modal tersebut menyentuh sektor-sektor riil dan
perdagangan. Dalam situasi seperti ini, kaum kapitalis dapat mengeruk
keuntungan yang besar dari aktifitas spekulasi tanpa menanggung resiko atau
beban yang selama ini dipikul dunia industri dan perdagangan dalam menghadapi
red-tape birokrasi, pemogokan buruh, dan semacamnya. Bila para petualang pasar
modal ini melihat kerugian yang mungkin akan timbul, maka kaum kapitalis ini
dapat dengan mudah memindahkan modal mereka ke pasar modal di negara-
negara lainnya yang lebih menguntungkan. Keempat, kekuatan pasar secara
efektif telah mentransformasikan negara menjadi komoditi yang menarik bagi
penanaman investasi, sehingga semuanya itu meningkatkan tingkat investasi.82
Ekses negatif lainnya dari fenomena arus finansial global ini adalah ruang
gerak dan campur tangan pemerintah nasional semakin berkurang karena negara
diperlemah oleh tumbuhnya kekuatan perusahaan multinasional dan para pemilik
modal. Kekuasaan tidak lagi menjadi monopoli negara, tetapi berpindah dan
tumbuh semakin kuat pada perusahaan-perusahaan mulitinasional (MNC/TNC).
1. Intervensi Asing & Utang
Bentuk imperialisme yang dialami oleh Indonesia adalah adanya campur
tangan asing dalam proses pengambilan kebijakan negara. Intervensi asing ini
terjadi melalui berbagai cara, misalnya, dengan memberikan masukan dan ide
langsung melalui beberapa ahlinya dan LSM-LSM dalam proses pengambilan
kebijakan atau amandemen undang-undang sebuah negara, dan melalui utang.
82Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, h. 5.
Cara yang pertama terjadi di Indonesia ketika berlangsungnya amandemen
UUD 1945 tahun 2002, hal ini seperti yang diakui oleh DR. Valina Singka
Subekti (anggota Panitia Ad Hoc I MPR RI 1999-2004). Ketika itu beberapa
LSM, baik dalam negeri maupun asing (seperti Cetro, Koalisi Perempuan
Indonesia, IDEA, IFES, NDI, dll), memberi masukan secara langsung dan giat
membangun wacana publik dan meramaikannya di media massa tentang
demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi, dan lain sebagainya.
Bahkan Andrew Ellis (konsultan ahli NDI) selalu hadir dalam setiap rapat Panitia
Ad Hoc I MPR dan aktif memberi masukan, buku-buku, dan makalah-makalah
terkait pentingnya amandemen UUD 1945 kepada para anggota panitia tersebut.83
Lalu mengenai masalah utang, Teresa Hayter, seperti dikutip Revrisond
Baswir, berdasarkan hasil penelitiannya yang dibiayai Bank Dunia di empat
negara Amerika Latin: Columbia, Chile, Brazil, dan Peru, secara tegas
menyimpulkan bahwa “utang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer
sumberdaya yang bebas persyaratan.” Menurut Hayter, hal-hal yang
dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri meliputi: (a) pembelian barang
dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) peniadaan kebebasan dalam
melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing;
(c) permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi “yang
dikehendaki”, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur
tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.84
83
Usep Ranawijaya, dkk. Ancaman Terhadap Jatidiri Bangsa (Jakarta: Yayasan Kepada
Bangsaku, 2008), h. 83-86. 84
Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia,” Makalah di
sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif
Pembangunan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), h. 2.
Selanjutnya, ketika berbicara mengenai IMF, Bank Dunia, dan USAID,
Hayter secara jelas menyatakan bahwa sudut pandang ketiga lembaga itu dalam
menetapkan syarat pemberian pinjaman cenderung seragam. Fokus kebijakan
ketiganya, terutama IMF dan Bank Dunia, senantiasa mengarah pada
pengendalian inflasi serta perintah untuk memotong investasi publik dan belanja
kesejahteraan. Menurut Hayter, faktor utama di balik kecenderungan tersebut
adalah posisi dominan Amerika Serikat pada ketiga lembaga itu. Implikasinya,
walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, dalam memberikan pinjaman,
ketiganya tidak hanya mengevaluasi proyek yang akan mereka biayai, tetapi juga
negara yang akan menerima pinjaman tersebut.
Kesimpulan Hayter itu belakangan dipertegas oleh Hudson. Menurut
Hudson tujuan pemberian pinjaman oleh Amerika sejak 1960 memang tidak
dimaksudkan untuk membantu negara-negara penerima pinjaman, melainkan
untuk meringankan tekanan terhadap neraca pembayaran negara tersebut.
Kebijakan itu erat kaitannya dengan upaya pemerintah Amerika untuk mensubsidi
peningkatan ekspor berbagai barang dan jasa mereka ke seluruh penjuru dunia.85
Dalam rangka itu, sebagaimana diakui oleh John Perkins, Amerika tidak
hanya ingin bekerja melalui mekanisme hubungan ekonomi-politik biasa.
Amerika secara terstruktur mengembangkan sebuah profesi yang dikenal sebagai
preman ekonomi (economic of hitman), yang bernaung di bawah Badan
Keamanan Nasional (NSA) Amerika, yang secara khusus bertugas untuk
membangkrutkan negara-negara dunia ketiga.86
85
Ibid., h. 3. 86
John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man. Penerjemah Herman Tirtaatmaja dan
Dwi Karyani (Jakarta: Abdi Tandor, 2005), h. 3-32.
Tiga catatan penting yang perlu diangkat ke permukaan mengenai
keberadaan preman ekonomi itu adalah sebagai berikut. Pertama, preman
ekonomi bekerja di bawah Koordinasi Badan Keamanan Nasional (The National
Security Agency). Walaupun secara resmi para ekonom penjajah direkrut, dilatih,
dan bekerja di bawah koordinasi NSA, tetapi secara operasional mereka
dipekerjakan secara terselubung melalui perusahaan-perusahaan swasta Amerika.
Perkins antara lain menyebut perusahaan-perusahaan seperti Monsanto, General
Electric, Nike, General Motors, dan Wal-Mart, sebagai beberapa contoh.
Kedua, misi para preman ekonomi adalah memperoleh komitmen para
pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berbelanja secara kredit ke Amerika.
Dalam menjalankan misinya, seorang preman ekonomi diperkenankan melakukan
apa pun, termasuk melakukan cara-cara ilegal. Target mereka adalah mendorong
para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berutang sebanyak-banyaknya,
sehingga negara mereka tidak mampu membayarnya. Kata-kata Perkins di bawah
ini setidaknya menggambarkan hal tersebut:
“Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah
membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia
beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima utang yang sudah
kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian
ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai
instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah
penerima utang. Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan
bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin
dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial
lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam
pertimbangan.”87
Ketiga, kegagalan para preman ekonomi bukanlah akhir dari upaya
pemerintah Amerika dalam mewujudkan dominasinya. Dua hal dapat terjadi
87Ibid., h. 15-16.
menyusul kegagalan tersebut. Pertama, berlangsungnya operasi CIA, yaitu yang
ditandai oleh terjadinya berbagai peristiwa yang mengarah pada penggulingan
atau pembinasaan seorang pejabat negara Dunia Ketiga. Kedua, penaklukan
negara-negara Dunia Ketiga yang bersangkutan melalui operasi militer.88
Menarik untuk menyimak sejarah masuknya dominasi asing ke Indonesia
sejak era Soeharto sebagai bentuk imperialisme. Dengan naiknya Soeharto
sebagai penguasa baru di Indonesia (1966), sikap pemerintah terhadap utang luar
negeri berubah secara drastis. Hal itu tidak hanya tampak pada strategi
pembangunan yang dijalankannya, atau pada jumlah utang baru yang dibuatnya,
tetapi terutama tampak secara mencolok pada berbagai tindakan yang
dilakukannya dalam memulihkan kondisi ekonomi Indonesia.
Beberapa tindakan yang dilakukan Soeharto dalam memulihkan kondisi
ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut: pertama, memperbaiki hubungan
dengan para kreditor, terutama negara-negara blok Barat dan lembaga-lembaga
keuangan multirateral. Tujuannya adalah untuk memperoleh utang luar negeri
baru dan meminta penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri yang
diwariskan Soekarno. Hasil yang diperolehnya adalah sebagai berikut.
Pertama, menyusul pertemuan negara-negara kreditor blok Barat di Tokyo
pada September 1966, yang dikenal sebagai the Paris Club, bulan Oktober 1966
Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima pinjaman siaga sebesar 174
juta dollar AS. Selanjutnya, menyusul pertemuan serupa di Paris pada Desember
1966, Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima tambahan pinjaman
sebesar 375 juta dollar AS.
88Ibid. 3-32.
Setelah itu, menyusul pertemuan kelompok Paris di Amsterdam pada
Februari 1967, yang sekaligus menandai lahirnya Inter-Govermental Group on
Indonesia (IGGI), Indonesia kembali memperoleh komitmen pinjaman siaga
sebesar 95,5 juta dollar AS. Adapun penjadwalan kembali pembayaran utang luar
negeri Indonesia, dengan negara-negara blok Barat, baru disepakati tahun 1970.
Sedangkan dengan negara-negara blok Timur disepakati tahun 1971 dan 1972.
Pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia pada lembaga-lembaga
keuangan multirateral, berlangsung secara bertahap pada tahun 1967. Pendaftaran
kembali ke IMF berlangsung bulan Februari 1967. Pendaftaran kembali ke Bank
Dunia berlangsung bulan Mei 1967. Sedangkan pendaftaran keanggotaan ke ADB
berlangsung bersamaan dengan pendirian lembaga tersebut tahun 1968.89
Kedua, melanjutkan pelaksanaan program stabilisasi IMF serta
mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih bersahabat dengan sektor swasta dan
investasi asing. Sebagaimana diketahui, sesuai dengan persyaratan utang luar
negeri yang diminta Amerika, pelaksanaan program stabilisasi IMF ini telah
berlangsung sejak 1963. tetapi menyusul terjadinya tragedi 30 September 1965,
pelaksanaan program tersebut terpaksa dihentikan. Dalam era Soeharto, dengan
dikeluarkannya paket kebijakan 3 Oktober 1966, pelaksanaan program stabilisasi
IMF itu dilanjutkan kembali.90
Sesuai dengan permintaan IMF, hal yang harus dilakukan Indonesia untuk
meningkatkan stabilitas ekonomi dalam garis besarnya meliputi: penyusunan
anggaran berimbang, pelaksanaan kebijakan uang ketat, penghapusan subsidi dan
89
I. Palmer, The Indonesia Economy Since 1965: A Case Study of Political Economy,
(London: Frank Cass, 1978), h. 28-29. 90
Frans Seda, "Mengenang Situasi Lahirnya Peraturan 3 Oktober 1966" dalam Bustomi
Hadjid Ronodirdjo dkk, ed., Presiden Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia Evaluasi
Pembangunan Pemerintah Orde Baru, (Bandung: Harapan Bandung, 1983), h. 99.
peningkatan harga komoditas layanan publik, peningkatan peranan pasar,
penyederhanaan prosedur ekspor, dan peningkatan pengumpulan pajak.
Sehubungan dengan kebijakan untuk lebih bersahabat dengan sektor swasta
dan asing, tepat bulan Januari 1967, pemerintah Soeharto menerbitkan Undang-
Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. I/1967. UU PMA yang baru ini
lebih liberal dari pada UU yang digantikannya. Bersamaan dengan itu,
perusahaan-perusahaan swasta asing yang dinasionalisasikan Soekarno pada
1963-1965, diundang kembali untuk melanjutkan kegiatan mereka di Indonesia.91
Dengan berlangsungnya pembalikan orientasi Indonesia, yaitu dari yang
berorientasi pada peningkatan kemandirian ekonomi menuju peningkatan
ketergantungan, rasanya tidak berlebihan bila peralihan kekuasaan dari Soekarno
kepada Seoharto diwaspadai sebagai proses sistematis berlangsungnya transisi
kolonialisme di Indonesia. Artinya, setelah merdeka dari kolonialisme Belanda,
pembuatan utang luar negeri secara besar-besaran di era pemerintahan Soeharto,
patut diwaspadai sebagai proses sistematis penjerumusan Indonesia ke dalam
perangkap neoimperialisme Amerika.
2. Undang-Undang Penanaman Modal Asing
Contoh menarik lainnya untuk kasus Indonesia adalah penetapan dan
pemberlakuan kebijakan mengenai penanaman modal asing. Undang-undang atau
peraturan yang mengatur tentang hal ini terus disempurnakan dari tahun 1967
sampai dengan tahun 2007.
UU NO. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), Menurut
Jeffrey Winter, seperti dikutip Kwik Kian Gie, rancangannya dipersiapkan oleh
91Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia,” h. 8.
kelompok David Rockeffeler, ekonomon Amerika, di Jenewa bersama-sama
dengan kelompok yang oleh David Rockeffeler dinamakan Berkeley Mafia,92
isinya masih mengakui adanya cabang-cabang produksi yang dianggap menguasai
hajat hidup orang banyak, dan oleh karenanya tidak terbuka bagi modal asing,
yaitu yang dirinci dalam pasal 6 ayat 1 sebagai berikut: (a) Pelabuhan-pelabuhan,
(b) Produksi, tranmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum, (c)
Telekomunikasi, (d) Pelayaran, (e) Penerbangan, (f) Air Minum, (g) Kereta Api
Umum, (h) Pembangkitan Tenaga Atom, dan (i) Mass Media.
Undang-undang yang merupakan produk Mafia Berkeley ini, lambat laun
selalu mengalami perubahan, ini semua dilakukan untuk menuju pada liberalisasi
total. Sehingga pada tahun berikutnya muncul Undang-undang No. 6 tahun 1968
mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang pasal 3 ayat 1 sudah
mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas disebut
“menguasai hajat hidup orang banyak” itu asalkan porsinya modal asing tidak
melampaui 49%. Namun ada ketentuan bahwa porsi investor Indonesia yang 51%
harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.
92Mafia Berkeley adalah julukan bagi kaum ekonom liberalis, penganut paham ekonomi
neo-klasik dan kurang patriotik-nasionalistik serta pro modal asing dan mudah terdikte untuk
melakukan utang luar negeri, kelompok ini dimobilisasi belajar di Berkeley (Universitas
California, kemudian juga Pittsburg) dan universitas-universitas lain mitranya, seperti Cornell,
MIT, Harvard). The Ford Foundation dan The Rockefeller Foundation memobilisasi dan
membiayai sarjana-sarjana Indonesia untuk belajar di Amerika Serikat dan CIA juga aktif terlibat
di dalamnya. Itu semua dilakukan dalam rangka pencekokkan ilmu ekonomi liberal atau peng-
Amerika-an. Sumitro Djojohadikusumo dikatakan sebagai pimpinan The Berkeley Mafia, dengan
pengikut-pengikut utamanya antara lain Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto,
Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh, dan Radius Prawiro. Kita tahu pada masa Orde Baru
tokoh-tokoh Mafia Berkeley ini mengalami kejayaannya dengan memegang tempat-tempat strategis di pemerintahan presiden Soeharto. Pada masa saat ini pun mereka masih tetap
memegang kendali di pemerintahan khususnya bidang perekonomian, sebut saja Sri Mulyani dan
Boediono, lihat Sri Edi Swasono, “Berkeley Mafia VS Pemikiran Hatta”, Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembanguna Ekonomi
Indonesia (Koalisi Anti Utang, Hotel Mulia Jakarta, 5 Juni 2006). h. 1, dan David Ransom, Mafia
Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), hal. 11.
Pada tahun 1994 terbit peraturan pemerintahan nomor 20 yang pasal 5 ayat
1-nya berisi izin dibolehkannya perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang
tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak yaitu
pelabuhan, produksi dan transmisi, serta distribusi tenaga listrik umum,
telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum,
pembangkitan tenaga atom dan mass media.
Pasal 6 ayat 1 mengatakan: “Saham peserta Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus)
dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.”
PP N0. 20/1994 menentukan bahwa batas antara boleh oleh asing atau tidak,
adalah kepemilikan oleh pihak Indonesia dengan 5%. Tidak ada lagi pembatasan
waktu tentang dikuranginya porsi modal asing.93
Klimaks dari agenda liberalisasi total adalah pada tahun 2007 dengan
disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU-PMA). Salah satu
pasal yang membuat kita prihatin di Undang-Undang tersebut adalah pasal 8 ayat
3 yang mengatakan “penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan
repatriasi (pemulangan dana) dalam valuta asing secara bebas,” yang dalam
perinciannya praktis tidak ada yang tidak boleh ditransfer kembali ke negara
asalnya. Di dalamnya juga diatur bahwa Hak atas tanah menjadi 95 tahun untuk
Hak Guna Usaha, 80 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan 70 tahun untuk Hak
93
Kwik Kian Gie, “50 Tahun Berkeley Mafia; Antara Kenyataan dan Fiksi,” Makalah di
sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif
Pembangunan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), h. 6-7.
Pakai. Pengaturan semacam ini sangat sulit ditemukan dalam Undang-Undang
investasi di negara manapun.94
Misalnya, Amerika Serikat, sebagai pusat dari indoktrinasi paham seperti
yang dikemukakan di atas, menerapkan proteksi untuk melindungi warga
negaranya sendiri. Tidak saja defensif dengan menutup pintu masuk negaranya
dalam bidang apa saja dan dengan tarif setinggi berapa saja, jika dirasa perlu.
Tetapi bila perlu melakukan agresi. Irak dihancurleburkan dengan dalih
mempunyai senjata pemusnah massal yang akan dipakai untuk memusnahkan
umat manusia. Tidak kurang dari Tim Ahli PBB yang diketuai oleh Hans Blik,
yang sebelum invasi AS ke Irak menyatakan, bahwa di Irak tidak ada senjata
pemusnah massal.
Toh, Irak diserbu, Presiden Saddam Husein dihukum gantung, semua
peninggalan sejarah yang begitu penting untuk peradaban umat manusia
dimusnahkan, manusia dengan jumlah sangat besar terbunuh, dan yang sangat
penting, bagaimana nasib minyak yang bersumber di bawah tanah bumi Irak
sangatlah tidak jelas. Masalah minyak inilah yang sesungguhnya menjadi target
utama dari invasi AS.
Kalau karena minyak Irak dan Presiden Saddam Husein dihancurkan dan
diporak-porandakan, itu disebabkan karena pendirian Saddam yang demikian kuat
dalam mempertahankan kemandiriannya.
Lain halnya dengan bangsa kita. Sudah sejak lama sampai sekarang, 92%
dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing.
Tambang kita dikeduk oleh pemodal asing, dan hasil yang milik mereka itu dicatat
94
Kwik Kian Gie, “Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak 1967,” dalam Amin Aryoso dkk.,
UUD 2002 Hasil Amandemen UUD ’45 Menghancurkan Bangsa Secara Ideologi, Politik,
Ekonomi, dan Kebudayaan (Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008), h. 71.
oleh Biro Pusat Statistik sebagai Produk Domestik Bruto Indonesia. Bangsa
Indonesia kebagian royalti dan pajak yang relatif sangat kecil. Hasil tambang dan
mineral sangat mahal yang milik pemodal asing itu ketika diekspor dicatat oleh
Biro Pusat Statistik sebagai Eskpor Indonesia yang meningkat.95
Bung Karno dalam tulisannya “Mentjapai Indonesia Merdeka” menyatakan
“Sejak adanya opendeur-politiek di dalam tahun 1905, maka modal yang boleh
masuk ke Indonesia dan mencari rezeki di Indonesia bukanlah lagi modal Belanda
saja, tetapi juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga
modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain,
sehingga imperialisme di Indonesia kini adalah imperialisme yang internasional
karenya. Raksasa "biasa" yang dulu berjengkelitan di atas pada kerezekian
Indonesia, kini sudah menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang bermulut
sepuluh.”96
Dari tulisan Bung Karno ini, jelas bahwa dia juga mengartikan penanaman
modal asing sama dengan imperialisme. Oleh karena itu, sesuai dengan
pernyataan Bung Karno di atas, bahwa Undang-undang yang akan mengundang
masuk modal asing dari segala sudut dunia tidak bisa diartikan lain kecuali
memperkuat kedudukan imperialisme internasional yang sudah bercokol di negeri
kita ini.
95
Ibid., h. 73. 96
M.H. Lukman., “Penanaman Modal Asing Berarti Memperkuat Kedudukan Imperialisme
di Negeri Kita,” artikel diakses pada 10 Januari 2009 dari www.geocities.com/edicahy/anti-
imperialisme/MH-Lukman.pdf
D. Masa Depan Eksistensi Kedaulatan Negara
Melihat fenomena bahwa proses globalisasi di satu sisi menguntungkan dan
merugikan di sisi lain, tak salah jika mengatakan bahwa Globalisasi berwatak
ambigu. Bagian Dunia yang makmur dan mampu melakukan integrasi atas
struktur pasar dunia menjadi aktor yang sedang merayakan perkembangan itu.
Namun, bagi sebagian negara lainnya, termasuk kita di sini, globalisasi seperti
meletakkan masyarakat pada labirin yang gelap dan berliku. Alih-alih menjadi
pemain dan aktor kuat, sebagai penonton pun mungkin kita tak punya cukup
modal.
Negara-negara industri utama yang tergabung dalam grup delapan (G-8),
merupakan negara-negara yang mengalami keuntungan karena didukung oleh
aktor-aktor ekonomi yang mereka miliki. Sementara ketiadaan aktor ekonomi di
negara miskin dan berkembang membuat mereka menjadi negara yang mengalami
kerugian, karena ketiadaan aktor ekonomi, dan posisinya yang menjadi subordinat
dari kepentingan global.
Sistem global diatur oleh logika kompetisi pasar, dan kebijakan publik
paling baik adalah jika berada pada tingkat sekunder, karena tidak ada badan-
badan pemerintah yang dapat menandingi besarnya kekuatan pasar dunia.
Pandangan ini menganggap pemerintah nasional sebagai kotapraja dari sistem
global: perekonomiannya tidak lagi ‘nasional’ dalam arti apapun dan hanya efektif
sebagai pemerintah jika menerima peranannya yang sekedar menyediakan
pelayanan publik secara lokal yang diperluas oleh perekonomian global.97
97
Paul Hirst & Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos. Penerjemah P. Soemitro
(Jakarta: YOI, 2001), h. 275.
Meskipun kedaualatan negara mengalami penyusutan, tidak berarti
keberadaan negara dan kedaulatannya tidak menjadi penting. Mekanisme dan arus
globalisasi tetap menganggap penting peran negara. Mekanisme tersebut tidak
akan berjalan tanpa adanya negara. Negara merupakan poros dari setiap aturan,
mekanisme, dan regulasi globalisasi. Karena negara memiliki peran sebagai
sumber legitimasi di dalam menyerahkan kekuasaan atau menyetujui kekuasaan
baru baik ‘di atasnya’ maupun ‘di bawahnya’: di atas, melalui persetujuan antara
negara-negara untuk mendirikan—dan berada di situ dalam bentuk—
pemerintahan/institusi internasional (seperti IMF dan World Bank); di bawah,
melalui penataan secara konstitusional oleh negara itu di dalam teritorial
hubungan kekuasaan dan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan
lokalnya sendiri dan juga pengaturan terhadap swasta terhadap yang diakui secara
publik di dalam masyarakat sipil.98
Kemudian, negara dengan posisinya yang demikian, tidak serta merta
mengamini atau mengimplementasikan seluruh kepentingan global (Amerika).
Banyak negara, maju atau dunia ketiga, yang menerapkan kebijakan-kebijakan
yang bersebrangan dengan tuntutan global. Misalnya, China, Cuba, Venezuela,
Bolivia, dll, termasuk Indonesia. Hal demikian dapat terjadi karena negara
merupakan institusi yang harus mementingkan kepentingan warganegaranya,
karena berkat kehendak merekalah negara terbentuk, dan negara juga harus
menjalankan aturan-aturan kebijakan yang tercantum dalam konstitusinya.
Indonesia misalnya, dalam fenomena kontemporer, Indonesia tidak serta
merta menyesuaikan kebijakannya dengan kepentingan global. Dalam bidang
98Ibid., h. 292.
ekonomi Indonesia tetap memberlakukan pasal 33 UUD 1945, melunasi utangnya
dengan IMF,99 dan kemudian membubarkan forum CGI.100 Dalam bidang politik,
Indonesia mendesak agar AS dan sekutunya menarik pasukan dari Irak,101
memilih abstain dalam sidang DK PBB yang membahas tentang sanksi bagi
Iran.102
Jadi, jika selama negara-negara memiliki kemandirian dalam mengambil
sikap yang “menentang” kepentingan global untuk kepentingan dirinya, maka
tidak selamanya globalisasi menjadi ancaman bagi kedaulatan negara.
99Pelunasan utang Indonesia kepada IMF dilakukan pada tanggal 5 Oktober 2006. Lihat
dalam “IMF Sambut Baik Pelunasan Seluruh Utang Indonesia,” berita diakses pada 30 Desember
2008 dari http://www.detikfinance.com/read/2006/10/06/091514/690304/4/imf-sambut-baik-
pelunasan-seluruh-utang-indonesia 100
Forum CGI dibubarkan pada tanggal 25 Januari 2007. Lihat dalam “Pembubaran CGI
Murni Keputusan Pemerintah Indonesia,” berita diakses pada 30 Desember 2008 dari
http://www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=306&Itemid=50 101
Usulan penarikan pasukan AS di Irak disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yidhoyono ketika Presiden Amerika George W. Bush berkunjung ke Indonesia pada tanggal 6
Desember 2006. Lihat Muhammad Takdir, “Indonesia Mencari Solusi di Irak,” artikel diakses
pada 30 Desember 2008 dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/indonesia-mencari-solusi-
102Indonesia abstain dalam voting tentang penambahan sanksi bagi Iran di DK PBB pada
tanggal 4 Maret 2008. Lihat dalam “Indonesia Abstain dalam Voting Sanksi Tambahan untuk
Iran,” berita diakses pada 30 Desember 2008 dari
http://www.kompas.com/read/xml/2008/03/04/05365735/indonesia.abstain.dalam.voting.sanksi.ta
mbahan.untuk.iran
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, terdapat poin
penting yang penulis rasa patut diungkapkan di sini sebagai suatu kesimpulan
terkait dengan eksistensi kedaulatan negara di tengah hegemoni globalisasi, yaitu:
Globalisasi secara bahasa berarti pengglobalan seluruh aspek kehidupan.
Globalisasi identik dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan
antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi,
perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-
batas suatu negara menjadi bias. Sedangkan secara teori globalisasi diartikan
sebagai hasil akhir sebuah proses, yakni globalisasi tidak lain ialah kapitalisme
dalam bentuknya yang paling mutakhir.
Globalisasi ditandai dengan usaha menuju homogenitas (keseragaman)
seluruh aspek kehidupan, baik budaya, ekonomi, maupun politik oleh Barat,
terutama Amerika. Dalam perspektif budaya, homogenisasi dunia terjadi melalui
berbagai sarana, khususnya media komunikasi dan informasi. Dalam bidang
ekonomi dan politik, penyeragaman dilakukan dengan dikampanyekannya
demokrasi dan paham ekonomi neoliberalisme dan perdagangan bebas yang
dilakukan oleh negara-negara maju dengan dukungan lembaga-lembaga
internasional, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Dari sudut pandang ini jelas
terlihat bahwa negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan
ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu
bersaing.
Karena sifatnya yang global, maka globalisasi menjadi ancaman bagi
kedaulatan negara. Globalisasi telah menciptakan berbagai kebijakan dan
kepentingan yang sifatnya global, intrastate atau bahkan suprastate. Banyak
masalah yang tidak lagi bisa diatasi sendiri oleh sebuah negara secara unilateral
sehingga kerjasama internasional yang sifatnya multilateralisme menjadi pilihan
suatu negara. Begitu banyak kepentingan-kepentingan yang tidak lagi bisa
dipenuhi kecuali melalui peran kekuatan global atau melibatkan unsur suprastate.
Pada titik ini, kedaulatan sebuah negara terancam karena setiap negara—
terutama negara dunia ketiga—didesak untuk menerapkan kepentingan global
dalam setiap kebijakannya. Kepentingan global tersebut tak lain adalah
kepentingan negara-negara maju (terutama Amerika Serikat). Misalnya,
penerapan ideologi neoliberalisme dan pasar bebas dalam bidang ekonomi dan
demokrasi dalam bidang politik.
Namun, keterancaman kedaulatan negara tidak berarti menghilangkan
sepenuhnya eksistensi negara dan kedaulatannya. Bagaimanapun kuatnya desakan
kepentingan global, negara merupakan porosnya. Artinya, kepentingan global
tersebut diterapkan melalui peran negara sebagai institusi yang berdaulat atas
wilayah dan penduduknya. Negara melakukan hal ini dengan cara yang tidak
dapat dilakukan oleh badan-badan lain: negaralah poros antara badan-badan
internasional dan kegiatan sub-nasional, karena memberikan legitimasi sebagai
suara eksklusif dari penduduk yang terikat secara teritorial.
Saat ini kedaualatan negara mengalami pemaknaan baru, kedaualatan tidak
lagi berarti berkuasa atau berwenang atas semuanya di dalam teritorialnya, tetapi
sekedar mengawasi perbatasan suatu teritorial dan, sesuai dengan tingkat
kedemokrasiannya, mereka merupakan wakil warga negara di perbatasan itu.
Meskipun demikian, negara masih tetap menampilkan wajah yang mandiri
dari desakan kepentingan global, karena negara sebagai institusi yang mewaikili
warganegaranya dan menjalankan amanat konstitusinya. Misalnya, seperti yang
dilakukan oleh Indonesia dengan melunasi utang terhadap IMF, mendesak AS dan
sekutunya untuk menarik pasukan dari Irak, dan mendukung program nuklir Iran
untuk kepentingan damai.
B. Saran
Melihat fenomena hegemoni globalisasi yang amat merugikan bagi negara
Dunia Ketiga, penulis merasa perlu untuk memberikan beberapa saran yang
konstruktif, dengan harapan: (1) ke depan negara-negara Dunia Ketiga, seperti
Indonesia, tidak hanya menjadi korban dari globalisasi dan (2) terciptanya tatanan
dunia yang lebih adil.
Bagaimanapun, globalisasi—meskipun menghasilkan ketimpangan—adalah
proses yang sedang berlangsung. Oleh karenanya, pertama, negara-negara Dunia
Ketiga harus berusaha keras mencari cara menciptakan sistem ekonomi nasional
yang kuat dengan memberikan perlindungan kepada industri-industri dalam negeri
agar mampu bersaing secara sehat dikemudian hari.
Kedua, sistem ekonomi nasional yang dimaksud tentunya adalah sistem
ekonomi yang mandiri, sesuai dengan semangat kedaulatan negara. Negara harus
berani menolak bentuk kerjasama ekonomi yang tidak adil dan eksploitatif.
Misalnya, bentuk kerjasama pengelolaan sumber daya alam dengan perusahaan-
perusahaan internasional.
Ketiga, semua elemen di dunia ini harus senantiasa memperjuangkan suatu
tatanan yang lebih adil bagi negara-negara di dunia dan masyarakat umum.
Karena bagaimanapun juga suatu kebijakan nasional tidak akan pernah efektif
tanpa perubahan tatanan dunia seperti saat ini. Karena, segala rekomendasi
kebijakan yang dijalankan akan mempunyai hasil yang kurang memuaskan jika
situasi global yang menyisakan ketimpangan dan dominasi modal negara-negara
maju teru berlanjut.
Keempat, atau yang terakhir, dan sekaligus yang amat penting adalah
membangkitkan kembali rasa nasionalisme setiap negara di dunia. Nasionalisme
merupakan benteng terpenting sebuah negara dari gempuran globalisasi. Dalam
berbagai perspektif, baik ekonomi, politik, maupun budaya, revitalisasi
nasionalisme menjadi jawaban bagi melemahnya kedaulatan negara di tengah
hegemoni globalisasi seperti saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief. Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan
Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Baswir, Revrisond. “Menelanjangi Globalisasi.” Pengantar dalam James Petras dan Henry Veltmeyer. Imperialisme Abad 21.
Penerjemah Agung Prihantono. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2002
______________. “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme
Indonesia.” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional
50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti
Utang, 2006.
Budiyanto. Dasar-dasar Ilmu Tatanegara. Jakarta: Erlangga, 2003.
Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.xxv.
Jakarta:Gramedia, 2003.
“Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi.” Artikel diakses pada
11 Semptember 2008 dari situs
http://hildaku.blog.com/568343/
Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Insist Press, 2002.
Gie, Kwik Kian. “50 Tahun Berkeley Mafia; Antara Kenyataan
dan Fiksi.” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional 50
Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan
Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.
______________. “Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak 1967.”
Dalam Amin Aryoso dkk. UUD 2002 Hasil Amandemen UUD
’45 Menghancurkan Bangsa Secara Ideologi, Politik,
Ekonomi, dan Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Kepada
Bangsaku, 2008.
Gunawan, Adi. Kamus Praktis Ilmiah Populer. Surabaya: Kartika, 2001.
“Globalisasi.” Artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html
Hawkins, Joycem. Kamus Dwi Bahasa Oxpord-Erlangga. Jakarta:
Erlangga, 1996.
Herzt, Noreena. Perampok Negara Kuasa Kapitalisme Global dan
Matinya Demokrasi. Penerjemah M. Mustafied. Yogyakarta:
Alenia, 2005.
Hirst, Paul dan Grahame Thompson. Globalisasi Adalah Mitos.
Penerjemah P. Soemitro. Jakarta: YOI, 2001.
Imam, Robert H. “Neoliberalisme, Era Baru, dan Peradaban Pasar.”
Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme.
Yogyakarta: Cinderalas, 2003.
Istijar, M. “Globalisasi; Antara Impian dan Kenyataan.” Modul
Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI. Ciputat: LS-ADI
Press, 2003.
______________. “Globalisasi Anak Kandung Kapitalisme,” Modul
Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI. Ciputat: LS-ADI
Press, 2003
Januarsa, Pravendi. “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno.”
Artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-
jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135
Kusnardi, Moh. dan Bintan Saragih. Ilmu Negara, cet.III. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Lukman, M.H. “Penanaman Modal Asing Berarti Memperkuat
Kedudukan Imperialisme di Negeri Kita.” Artikel diakses pada
10 Januari 2009 dari www.geocities.com/edicahy/anti-
imperialisme/MH-Lukman.pdf
“Menteri Agama Kritik Globalisasi Barat.” Kompas, 6 Mei 2003.
Marbun, B. N. Kamus Politik. Jakarta: Sinat Harapan, 2007.
“Pengertian Globalisasi.” Artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari
http://fransis.wordpress.com/2008/02/17/pengertian-
globalisasi.html
Perkins, John. Confessions of an Economic Hit Man. Penerjemah
Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani. Jakarta: Abdi
Tandor, 2005.
Palmer, I. The Indonesia Economy Since 1965: A Case Study of
Political Economy. London: Frank Cass, 1978.
Pramahendra, Riza. “Tata Kelola Globalisasi dan Dampaknya Pekerjaan Rumah untuk Indonesia.” Dalam Sugeng Bahagijo,
ed. Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006.
Prasetiantono, A. Tony. “IMF (International Monetary Fund).” Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme.
Yogyakarta: Cinderalas, 2003.
Priyono, B. Herry. “Dalam Pusaran Neoliberalisme.” Dalam I.
Wobowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta:
Cindelaras, 2003.
Ransom, David. Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di
Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.
Rahmani, Muhajir Arif. “Arti Penting Kedaulatan Negara.” Artikel
diakses pada tanggal 11 September 2008 dari situs
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3763_0_3_0_M
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern.
Penerjemah Alimandan. Jakarta: Kencana, 2003.
Ranawijaya, Usep dkk. Ancaman Terhadap Jatidiri Bangsa. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008.
Seda, Frans. "Mengenang Situasi Lahirnya Peraturan 3 Oktober
1966." Dalam Bustomi Hadjid Ronodirdjo dkk, ed. Presiden
Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia Evaluasi
Pembangunan Pemerintah Orde Baru. Bandung: Harapan
Bandung, 1983.
Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin. Jakarta:
Gramedia, 2005.
Stiglitz, Joseph E. Dekade Keserakahan. Penerjemah Aan Suhaeni.
Tangerang: Marjin Kiri, 2005.
Soehino. Ilmu Negara, cet. II. Yogyakarta: Liberty, 1981.
Setiawan, Bonnie. “Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman
Neoliberalisme pada Tubuh WTO.” Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003
______________. “Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap
Ekonomi Indonesia Dan Kritiknya.” Artikel diakses pada 21
Oktober 2008 dari situs Http://Www.Icrp-
Online.Org/Wmview.Php?Artid=170&Page=20
Soim, Nur Ahmad. “Mafia Barkeley dan Neo-Kolonialisme Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007.
Sianipar, Gading. "Mendefinisikan Pascakolonialisme? Pengantar Menuju Wacana Pemikiran Pascakolonialisme." Dalam Mudji
Sutrisno dan Hendar Putranto. Hermeneutika Pascakolonial,
Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia, 2001.
Swasono, Sri Edi. “Berkeley Mafia VS Pemikiran Hatta.” Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley
VS Gagasan Alternatif Pembanguna Ekonomi Indonesia.
Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.
Tilaar, H. A. R. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era
Globalisasi. Jakarta: Grasindo, 1997.
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani. Jakarta: UIN, 2004.
UUD ’45 Amandemen I, II, III, IV. Jakarta: Bintang Indonesia, 2004.
Warganegara, Arizka. “Globalisasi dan Islam Politik.” Artikel diakses pada 11 September 2008 dari http://arizka-
giddens.blogspot.com/2008/09/globalisasi-dan-islam-politik-
sebuah.html.
Wibowo, I. “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti-
Negara.” Dalam I. Wibowo & Francis Wahono, ed.
Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003.
Winarno, Budi. Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia.
Jakarta: Erlangga, 2008.
Recommended