View
64
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
laporan penelitian
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter.
Luka bakar berat dapat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif
tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk
penanganannya pun tinggi. Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000 orang
mengalami luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210
penderita luka bakar meninggal dunia. Di Indonesia, belum ada angka pasti
mengenai luka bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri,
angka luka bakar tersebut makin meningkat. Luka bakar menyebabkan hilangnya
integritas kulit dan juga menimbukan efek sistemik yang sangat kompleks. Luka
bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka
bakar. Beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Selain beratnya
luka bakar, umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor
yang sangat mempengaruhi prognosis1.
Penyebab amputasi terdiri dari defek lahir congenital (5%), penyakit
oklusi arterial (60%), trauma (30%), dan tumor (5%). Amputasi akibat trauma
paling sering terjadi pada usia anatara 17-55 tahun (71% pria). Lebih banyak
mengenai anggota gerak bawah dengan ratio 10:1 dibandingkan dengan anggota
gerak atas. Trauma pada ekstremitas melibatkan kerusakan pada vaskuler atau
nervus, luka bakar, dingin, dan fraktur yang tidak menyembuh. Dalam kasus
1
tersebut, dapat menyebabkan sepsis yang akan berakhir dengan kematian sehingga
amputasi seringkali merupakan pilihan terbaik2.
Kejadian amputasi pada kasus luka bakar jarang ditemukan. Pada beberapa
kasus, amputasi dapat menurunkan angka kejadian kematian. Pada penelitian yang
dilakukan pada NSW Severe Burn Injury, Concord Hospital, Australia , pada
1858 pasien dari Januari 1980 hingga Januari 2004, terdapat 34 amputasi pada 27
pasien. Dimana terdapat 23 pria (usia 14-64 tahun) dan 4 wanita (usia 34-85
tahun). Sebagian besar amputasi disebabkan oleh luka bakar setelah kecelakaan
lalu lintas dan beberapa kasus lainnya disebabkan oleh luka bakar listrik tegangan
tinggi dengan tingkat harapan hidup 89%3.
Pada beberapa penelitian, ada beberapa faktor yang berpengaruh pada
kejadian amputasi pada luka bakar yang kemudian akan berpengaruh pada angka
harapan hidup pasien. Namun hal ini belum diteliti secara menyeluruh dan
mendalam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka diperlukan suatu
penelitian untuk mengetahui gambaran karakteristik kejadian amputasi pada
pasien luka bakar di RumahSakit Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1
Agustus 2007 – 1 Agustus 2012
2
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran karakteristik kejadian amputasi pada
pasien luka bakar di RumahSakit Wahidin Sudirohusodo Makassar
periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012
1.3.2 Tujuan Khusus
a) Mengetahui gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar
berdasarkan jenis luka bakar
b) Mengetahui gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar
derajat III
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan
dan memicu penelitian lainnya, khususnya yang berkaitan dengan
kejadian amputasi pada pasien luka bakar.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
instansi terkait dalam menentukan arah kebijakan kesehatan di masa
akan datang.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi berharga untuk
meningkatkan pelayanan terhadap penderita luka bakar bagi rumah
sakit yang bersangkutan.
3
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu dan
pengalaman yang berharga bagi peneliti.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Kejadian ini
dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat
kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Luka bakar merupakan hilang
atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh suhu, listrik, atau zat
kimia1.
Amputasi berasal dari kata amputare (latin atau apocope (yunani) yang
berarti “pancung”. Pemancungan dalam arti “tindakan bedah” membuang anggota
gerak (ekstremitas) seluruh/ bagian dalam saja, sesuatu yang menonjol/ tonjolan
atau alat (organ) tubuh2.
2.2 Epidemiologi
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter.
Luka bakar berat dapat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif
tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk
penanganannya pun tinggi. Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000 orang
mengalami luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210
penderita luka bakar meninggal dunia. Di Indonesia, belum ada angka pasti
mengenai luka bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri,
angka luka bakar tersebut makin meningkat1.
5
Survey Kayne dan Newman didapatkan 5830 amputasi baru yang
disebabkan oleh beberapa sebab. Mereka menemukan 70% dari amputasi
disebabkan oleh penyakit infeksi dan vaskuler, trauma 22%, tumor 5%, dan
deformitas congenital 3%. Kebanyakan amputasi karena penyakit terjadi pada usia
61-70 thn, untuk trauma 21-30 tahun, dan untuk tumor 11-20 tahun. Perbandingan
antara pria dan wanita adalah 2,1:1 pada penyakit , 7,2:1 pada trauma, 1,5:1 pada
tumor, dan 1,5:1 pada deformitas congenital. Perbandingan antara amputasi
ekstremitas bawah dan atas adalah 1:1. Distribusi amputasi bawah lutut
berdasarkan tingkatan Syme adalah transtibial 9%, knee disarticulation 1% ,
transfemoral 35%, dan hip disarticulation 2%2.
Kejadian amputasi pada kasus luka bakar jarang ditemukan. Pada beberapa
kasus, amputasi dapat menurunkan angka kejadian kematian. Pada penelitian yang
dilakukan pada NSW Severe Burn Injury, Concord Hospital, Australia , pada
1858 pasien dari Januari 1980 hingga Januari 2004, terdapat 34 amputasi pada 27
pasien. Dimana terdapat 23 pria (usia 14-64 tahun) dan 4 wanita (usia 34-85
tahun). Sebagian besar amputasi disebabkan oleh luka bakar setelah kecelakaan
lalu lintas dan beberapa kasus lainnya disebabkan oleh luka bakar listrik tegangan
tinggi dengan tingkat harapan hidup 89%3.
2.3 Etiologi
Penyebab luka bakar yang tersering adalah terbakar api langsung yang
dapat dipicu atau diperparah dengan adanya cairan yang mudah terbakar seperti
6
bensin, gas kompor rumah tangga, cairan cairan dari tabung pemantik api, yang
akan menyebabkan luka bakar pada seluruh atau sebagian tebal kulit1.
Penyebab luka bakar lainnya adalah pajanan suhu tinggi dari matahari,
listrik, maupun bahan kimia. Bahan kimia ini bisa berupa asam atau basa kuat.
Asam kuat menyebabkan nekrosis koagulasi, denaturasi protein dan rasa nyeri
yang hebat. Asam hidrofluorida mampu menembus jaringan sampai ke dalam dan
menyebabkan toksisitas sistemik yang fatal, bahkan pada luka yang kecil
sekalipun. Alkali atau basa kuat yang banyak terdapat dalam rumah tangga antara
lain cairan emutih pakaian (bleaching), berbagai cairan pembersih, dll. Luka bakar
yang disebabkan oleh basa kuat akan menyebabkan jaringan mengalami nekrosis
yang mencair (liquefactive necrosis). Kemampuan alkali menembus jaringan lebih
dalam lebih kuat daripada asam, kerusakan jaringan lebih berat karena sel
mengalami dehidrasi dan terjadi denaturasi protein dan kolagen. Rasa sakit baru
timbul belakangan sehingga penderita sering terlambat datang untuk berobat dan
kerusakan jaringan sudah meluas.1
Luka bakar listrik tegangan tinggi lebih sering berakhir dengan amputasi
dibandingkan dengan luka bakar jenis lain. Angka amputasi pada luka bakar ini
hingga 71,4%. Kerusakan tungkai pada luka bakar listrik tegangan tinggi dapat
terjadi begitu luas sehingga dibutuhkan major amputasi. Luka bakar listrik
tegangan rendah juga dapat memicu amputasi minor4
7
2.4 Patofisiologi
Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak
baru lahir sampai 1m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan
suhu tinggi, pembuluh kapiler dibawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh
sekali pun akan rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah
kebocoran cairan intrakapiler ke interstisial sehingga terjadi udem dan bula yang
mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan
mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan1.
Kedua penyebab di atas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan
intravaskular. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme
kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih
dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti
gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun,
dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi
setelah delapan jam1.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi
anemia. Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan dari ruang interstisial ke pembuluh
darah yang ditandai dengan meningkatnya diuresis1.
Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh
8
kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem
pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas
atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial
biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap
berbagai antibiotik1.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi
invasi kuman Gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan
eksotoksin protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam
invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau
pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng
yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granu lasi membentuk nanah1.
Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng
yang mudah terlepas dengan nanah yang bayak. Infeksi yang invasif ditandai
dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang
mula-mula sehat menjadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat
dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh
kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis1.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat
sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari
sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel
kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam
9
mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gagal, kaku dan secara
estetik sangat jelek1.
Luka bakar derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami
kontraktur. Bila ini terjadi di persendian maka fungsi sendi dapat berkurang atau
hilang. Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut,
peristaltis usus menurun atau berhenti karena syok. Juga peristaltis dapat menurun
karena kekurangan ion kalium. Stres atau beban faali serta hipoperfusi daerah
splangnikus pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak
di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak
peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling atau stress ulcer. Aliran darah
ke lambung berkurang sehingga terjadi iskemia mukosa. Bila keadaan ini
berlanjut, dapat timbul ulkus akibat nekrosis mukosa lambung. Yang
dikhawatirkan pada tukak Curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil
sebagai hematemesis dan/atau melena1.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga
keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena
eksudasi, metabolisme tinggi, dan mudah terjadi infeksi. Penguapan berlebihan
dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan
tubuh pada fase ini terutama didapat pembakaran protein dari otot skelet. Oleh
karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan
menurun. Kecacatan akibat luka bakar bisa sangat hebat, terutama bila mengenai
wajah. Penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat tersebut.,
sampai bisa menimbulkan gangguan jiwa yang disebut schizophrenia postburn.1
10
2.5 Derajat dan Luas Luka Bakar
Luas luka bakar
Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh.
Pada orang dewasa digunakan “rumus 9”, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas
kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri
masing-masing 9%, sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu
untuk menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa1.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak lebih besar. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak
kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 untuk anak1.
Untuk anak, kepala dan leher 15%, badan depan dan belakang masing-
masing 20%, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas
bawah kanan dan kiri masing-
masing 15%.1
Gambar 1. Rule of Nine5
11
Derajat luka bakar
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya
pajanan suhu tinggi. Luka bakar derajat satu hanya mengenai epidermis dan
biasanya sembuh dalam 5-7 hari; misalnya tersengat matahari. Luka tampak
sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitivitas setempat. Luka
bakar derajat dua mencapai kedalaman dermis, tetapi masih ada elemen epitel
sehat tersisa. Elemen epitel tersebut, misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea,
kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya sisa sel epitel ini, luka
dapat sembuh sendiri dalam dua sampai tiga minggu. Gejala yang timbul adalah
nyeri, gelembung atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh
karena permeabilitas dindingnya meningkat. Luka bakar derajat tiga meliputi
seluruh kedalaman kulit dan mungkin subkutis, atau organ yang memungkinkan
penyembuhan dari dasar luka; biasanya diikuti dengan terbentuknya eskar yang
merupakan jaringan nekrosis akibat denaturasi protein jaringan kulit. Oleh karena
itu, untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan skin grafting. Kulit tampak
pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan
sekeliling yang masih sehat. Tidak ada bula dan tidak terasa nyeri.1
Luka bakar derajat empat yang melibatkan otot, tendon, dan tulang sering
direkomendasikan untuk amputasi atau beberapa perbaikan yang signifikan.
Dilaporkan pada 10 tahun (1995-2004) pada pusat luka bakr dengan luka bakar
derajat empat pada ekstremitas bawah, terdapat 21 pasien (40 tungkai) dengan
usia rata-rata 45 tahun dengan luas luka bakar rata-rata 24% dan luka bakar
derajat empat 9%, tujuh tungkai (18%) disarankan untuk amputasi5.
12
Gambar 2. Kedalaman Luka Bakar berdasarkan United States6
2.6 Indikasi Amputasi
Penyebab amputasi terdiri dari defek lahir congenital (5%), penyakit
oklusi arterial (60%), trauma (30%), dan tumor (5%). Amputasi akibat trauma
paling sering terjadi pada usia anatara 17-55 tahun (71% pria). Lebih banyak
mengenai anggota gerak bawah dengan ratio 10:1 dibandingkan dengan anggota
gerak atas. Trauma pada ekstremitas melibatkan kerusakan pada vaskuler atau
nervus, luka bakar, dingin, dan fraktur yang tidak menyembuh. Hal ini dapat
menyebabkan ekstremitas kurang fungsional. Dalam kasus tersebut, amputasi
awal, dalam upaya menyelamatkan anggota gerak seringkali merupakan pilihan
terbaik2.
Indikasi amputasi terbagi menjadi dua yaitu2 :
Live saving (contohnya trauma yang disertai keadaan yang mengancam
nyawa ; perdarahan dan infeksi)
Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstremitas secara
maksimal seperti pada kelainan congenital dan keganasan)
Tujuan utama amputasi adalah penyembuhan atau menghentikan penyakit,
tetapi kebanyakan penderita juga berharap adanya perbaikan fungsi, hal ini
13
tergantung pada 5 faktor yaitu kemampuan keseluruhan, mental dan fisik
penderita, ketinggian amputasi, puntung amputasi, prostetik, dan rehabilitasi2.
Berdasarkan penelitian di Department of Burnsm Ji Shui Tan Hospital,
Beijing, indikasi dilakukannya amputasi pada pasien luka bakar adalah nekrosis
total pada ekstremitas, nekrosis sekunder dikarenakan thrombosis, perdarahan
atau rupture pembulur darah besar, dan kegagalan penyembuhan jaringan lunak7.
2.7 Penatalaksanaan
Non medikamentosa
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya
dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan
pasokan oksigen pada api yang menyala. Pertolongan pertama setelah sumber
panas dihilangkan adalah merendam daerah luka bakar dalam air atau
menyiramnya dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya lima belas menit.
Upaya pendinginan ini, dan upaya mempertahankan suhu dingin pada jam
pertama akan menghentikan proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan
suhu tinggi. Yang akan terus berlangsung walaupun api telah dipadamkan,
sehingga destruksi tetap meluas. Oleh karena itu, merendam bagian yang terbakar
selama lima belas menit pertama dalam air sangat bermanfaat untuk menurunkan
suhu jaringan sehingga kerusakan lebih dangkal dan diperkecil, luka yang
sebenarnya menuju derajat dua dapat berhenti pada derajat satu, atau luka yang
akan menjadi tingkat tiga dihentikan pada tingkat dua atau satu1.
14
Pada luka bakar ringan prinsip penanganan utama adalah mendinginkan
daerah yang terbakar dengan air, mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisa-
sisa sel epitel untuk berproliferasi, dan menutup permukaan luka. Luka dapat
dirawat secara tertutup atau terbuka.
Pada luka bakar berat, selain penanganan umum seperti pada luka bakar
ringan, kalau perlu, dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukkan gejala
syok. Bila penderita menunjukkan gejala terbakarnya jalan nafas, diberikan
campuran udara lembab dan oksigen. Kalau terjadi udem laring, dipasang pipa
endotrakea atau dibuat trakeostomi. Trakeostomi berfungsi untuk membebaskan
jalan napas, mengurangi ruang mati, dan memudahkan pembersihan jalan napas
dari lendir atau kotoran. Bila ada dugaan keracunan CO, segera diberikan oksigen
murni1.
Pemberian cairan intravena
Sebelum infus diberikan, luas dan dalamnya luka bakar harus ditentukan
secara teliti. Kemudian, jumlah cairan infus yang akan diberikan dihitung. Ada
beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini1,3.
Cara Evans
1. Luas luka dalam % x BB dalam kg menjadi mL NaCl per 24 jam.
2. Luas luka dalam % x BB dalam kg menjadi mL plasma per 24 jam.
Keduanya merupakan pengganti cairan yang hilang akibat udem. Plasma
diperlukan untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh da
meninggikan tekanan osmosis sehingga mengurangi perembesan keluar
dan menarik kembali cairan yang telah keluar.
15
3. Sebagai pengganti cairan yang hilang akibat penguapan, diberikan 2.000
cc glukosa 5% per 24 jam.
Separuh jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari
pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua. Penderita
mula-mula dipuasakan karena peristaltis usus terhambat pada keadaan prasyok,
dan mulai diberikan minum segera setelah fungsi usus normal kembali. Kalau
diuresis pada hari ketiga memuaskan dan penderita dapat dikurangi, bahkan
dihentikan1,2.
Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan
rumus Baxter, yaitu luas luka bakar dalam % x BB dalam kg x 4mL larutan
Ringer. Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama diberikan kristaloid yaitu larutan
ringer laktat . Hari kedua diberikan setengah cairan pertama1.
Intinya, status hidrasi penderita luka bakar luas harus dipantau terus-
menerus. Keberhasilan pemberian cairan dapat diihat dari diuresis normal yaitu
sekurang-kurangnya 1000-1500mL/24jam atau 1 mL/kgBB/jam dan
3mL/kgBB/jam pada pasien anak. Yang penting juga adalah pengamatan apakah
sirkulasi normal atau tidak1,3.
Besarnya kehilangan cairan pada luka bakar luas disertai resusitasi yang
tidak betul dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Hiponatremia
sebagai gejala keracunan air dapat menyebabkan udem otak dengan tanda-tanda
kejang. Kekurangan ion K akibat banyaknya kerusakan sel dapat diketahui dari
16
EKG yang menunjukkan depresi segmen ST atau gelomabang U.
Ketidakseimbangan elektrolit ini juga harus dikoreksi namun bukan menjadi
prioritas utama dalam resusitasi cairan emergensi manajemen primer pasien
trauma1.
Tindakan bedah
Pemotongan eskar atau eskarotomi dilakukan pada luka bakar derajat tiga
yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh karena pengerutan keropeng dan
pembengkakan yang terus berlangsung dapat mengakibatkan penjepitan yang
membahayakan sirkulasi sehingga bagian distal bisa mati. Tanda dini penjepitan
adalah nyeri, kemudian kehilangan daya rasa sampai kebas pada ujung-ujung
distal. Keadaan ini harus cepat ditolong dengan membuat irisan memanjang yang
membuka keropeng sampai jepitan terlepas1.
Debridemen diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati
dengan jalan eksisi tangensial. Tindakan ini dilakukan sesegera mungkin setelah
keadaan penderita menjadi stabil karena eksisi tangensial juga menyebabkan
perdarahan. Biasanya eksisi dini ini dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7, dan
pasti boleh dilakukan pada hari ke-10. Eksisi tangensial sebaiknya tidak dilakukan
lebih dari 10% luas permukaan tubuh, karena dapat terjadi perdarahan yang cukup
banyak. Luka bakar yang telah dibersihkan atau luka granulasi dapat ditutup
dengan skin graft yang umumnya diambil dari kulit penderita sendiri (skin
grafting autologus). Penutupan luka bakar dengan bahan biologis seperti kulit
mayat atau kulit binatang atau amnion manusia dapat dilakukan jika terdapat
keterbatasan luas kulit penderita atau terlalu payah. Walaupun kemungkinan
17
ditolak, bahan tersebut dapat berfungsi sementara sebagai penghalang penguapan
berlebihan, pencegah infeksi yang lebih parah, dan mengurangi nyeri. Namun,
sedikit demi sedikit penutup sementara ini harus diganti dengan kulit penderita
sendiri sebagai penutup permanen1.
Sebaiknya pada penderita luka bakar derajat dua dalam dan derajat tiga
dilakukan skin grafting untuk mencegah terjadinya keloid dan jaringan parut yang
hipertropik. Skin grafting dapat dilakukan sebelum hari kesepuluh, yaitu sebelum
timbulnya jaringan granulasi1,3.
Luka bakar menyebabkan komplikasi fisik dan psikologis yang
membutuhkan rehabilitasi yang terpadu dan terkoordinasi dengan tim yang sudah
terlatih. Rehabilitasi ini terfokus pada pencegahan pada masalah jangka panjang
seperti skar, kontraktur, dan beberapa masalah lainnya. Amputasi setelah luka
bakar dapat merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kontraktur atau
kulit yang mudah pecah8.
Amputasi merupakan hal yang jarang dilakukan pada penderita luka bakar
kecuali dengan beberapa indikasi. Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis
penyakit. Batas amputasi pada kasus trauma ditentukan oleh peredarah darah yang
adekuat. Amputasi dapat dilakukan pada ekstremitas bawah ataupun ekstremitas
atas. Batas amputasi ekstremitas bawah yang lazim dipakai disebut batas amputasi
klasik. Pada ekstremitas atas tidak ada batas amputasi yang dipakai. Secara
umum, amputasi dilakukan sedistal mungkin. Amputasi juga dapat dibedakan
menjadi amputasi mayor dan minor. Amputasi mayor adalah amputasi tungkai di
atas pergelangan kaki atau lengan di atas pergelangan tangan. Amputasi minor
18
adalah amputasi suatu bagian kecil seperti jari tangan atau kaki1. Selain itu, juga
dikenal dua macam amputasi yaitu9 :
Amputasi di bawah lutut (below knee amputation)
Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada
nonischemiclimb dan ischemic limb. Hal ini dibedakan erhubungan dengan
caramenutup flap yang berbeda. Pada amputasi jenis ini dikenal
tensionmyodesis dan myoplasty. Tension myodesis adala mengikatkan
kelompok otot tulang dengan tulang, sedangkan myoplasty adalah
menjahitkan otot dengan jaringan lunak pada sisi yang lain yaitu pada otot
atau fasiasebelahnya. Cara ini berguan untuk menstabilkan stump dan
sangat ditekankan untuk penderita yang masih aktif dan masih muda.
Amputasi diatas lutut (above knee amputation
Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasiendengan
penyakit vaskuler perifer. Amputasi jenis ini merupakan tebanyak kedua
setelah amputasi bawah lutut. Pada amputasi jenis ini persendian lutut
hilang, maka harus dipikirkan yang terbaik yang dapatmenyangga berat
badan. Prosthesis yang konvensional membutuhkan jarak 9 – 10 cm dari
distal stump sehingga bisa berfungsi seperti sendi lutut. Amputasi tulang
setinggi 5 cm atau kurang dari distal trochanter minor akan mempunyai
fungsi dan kekuatan penggunaan postesis sama dengan hip disarticulation.
Amputasi menyebabkan stress fisik dan psikologis bagi pasien,
menurunkan kualitas hidup, dan pergerakan. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa adanya kondisi psikologis yang buruk pada pasien yang harus menjalani
19
amputasi. Angka mortalitas kejadian amputasi pada luka bakar dipengaruhi oleh
keputusan atau waktu dilakukannya amputasi. Penelitian yang dilakukan oleh
Yowler menujukkan bahwa amputasi yang cepat dilakukan memiliki angka
mortalitas 13,6 % sedangkan amputasi yang lambat memiliki angka mortalitas
50%. Amputasi yang lambat dilakukan dikarenakan adanya luka bakar yang
dalam sehingga menyebabkan infeksi. Ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan oleh tim kesehatan dalam pengambilan keputusan yaitu
mekanisme cedera, tingkat keparahan, dan komplikasi. Identifikasi yang cepat
mengenai kemungkinan penyembuhan tungkai dapat menurunkan kejadian infeksi
dan meningkatkan angka harapan hidup10.
Medikamentosa
Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Yang
banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap
pseudomonas. Bila ada infeksi, antibiotik diberikan berdasarkan hasil biakan dan
uji kepekaan kuman. Untuk mengatasi nyeri, paling baik diberikan opiat melalui
intravena dalam dosis serendah mungkin yang bisa menghasilkan analgesia yang
adekuat namun tanpa disertai hipotensi. Selanjutnya, diberikan pencegahan
tetanus berupa ATS dan/atau toksoid.
Luka bakar derajat satu dan dua yang menyisakan elemen epitel berupa
kelenjar sebasea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut, dapat diharapkan
sembuh sendiri, asal dijaga supaya elemen epitel tersebut tidak hancur atau rusak
karena infeksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan infeksi. Pada luka
lebih dalam, perlu diusahakan secepat mungkin membuang jaringan kulit yang
20
mati dan memberi obat topikal yang daya tembusnya tinggi sampai mencapai
dasar jaringan mati. Perawatan setempat dapat dilakukan secara terbuka atau
tertutup.
Ada beberapa jenis obat yang dianjurkan seperti golongan silver
sulfadiazine dan yang terbaru MEBO (moist exposure burn ointment). Obat
topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep atau krim. Antibiotik dapat
diberikan dalam bentuk sediaan kasa (tulle). Antiseptik yang dipakai adalah
yodium povidon atau nitras-argenti 0,5%. Kompres nitras-argenti yang selalu
dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai bakteriostatik untuk semua kuman. Obat ini
mengendap sebagai garam sulfida atau klorida yang memberi warna hitam
sehingga mengotori semua kain. Krim silver sulfadiazine 1% sangat berguna
karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup, efektif
terhadap semua kuman, tidak menimbulkan resistensi, dan aman. Krim ini
dioleskan tanpa pembalut, dan dapat dibersihkan dan diganti setiap hari.
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka
yang selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang.
Kerugiannya, bila digunakan obat tertentu, misalnya nitras-argenti, alas tidur
menjadi kotor. Penderita dan keluarga pun merasa kurang enak karena melihat
luka yang tampak kotor. Sedapat mungkin luka yang tampak kotor. Sedapat
mungkin luka dibiarkan terbuka setelah diolesi obat.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang
dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi tutupnya
sedeikian rupa sehingga masih cukup longgar untuk berlangsungnya penguapan.
21
Keuntungan perawatan tertutup adalah luka tampak rapi, terlindung, dan enak
bagi penderita. Hanya, diperlukan tenaga dan dan lebih banyak pembalut dan
antiseptik. Kadang suasana luka yang lembap dan hangat memungkinkan kuman
untuk berkembang biak. Oleh karena itu, bila pembalut melekat pada luka, tetapi
tidak berbau, sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi ditunggu sampai terlepas
sendiri.1
BAB III
KERANGKA KONSEP
22
3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Berdasarkan argumentasi ilmiah yang telah kami susun pada tinjauan
kepustakaan terdapat beberapa karakteristik yang berhubungan dengan kejadian
amputasi pada pasien luka bakar yaitu : jenis luka bakar dan derajat luka bakar.
Dari pengukuran tersebut maka variabel independen yang diteliti adalah jenis luka
bakar dan derajat luka bakar. Variabel independen ini akan diukur untuk dilihat
karakteristiknya terhadap variabel dependen dalam hal ini amputasi.
3.2 Kerangka Konsep
3.3 Variabel yang Diteliti
Variabel dependen adalah pasien luka bakar yang diamputasi
Variabel independen :
23
a) Jenis luka bakar
b) Derajat luka bakar
3.4 Definisi Operasional Variabel Penelitian dan Kriteria Objektif
1. Pasien luka bakar yang mengalami amputasi
Definisi : Pasien yang dinyatakan mengalami luka bakar dan menjalani
amputasi (pembuangan suatu anggota gerak atau anggota badan lain)
berdasarkan diagnosis dokter yang tercatat dalam rekam medis.
2. Jenis luka bakar
Definisi : Jenis luka bakar merupakan hilang atau rusaknya sebagian
jaringan tubuh yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu suhu, listrik,
atau zat kimia. Kriteria objektifnya adalah :
a. Kimia
b. Listrik
c. Api
d. Dingin
3. Derajat luka bakar
Definisi : derajat luka bakar menggambarkan kedalaman luka bakar.
Kriteria objektif nya :
a. Luka bakar derajat dua mencapai kedalaman dermis, tetapi masih ada
elemen epitel sehat tersisa. Gejala yang timbul adalah nyeri, gelembung
24
atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena
permeabilitas dindingnya meningkat.
b. Luka bakar derajat tiga meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin
subkutis, atau organ. Kulit tampak pucat abu-abu gelap atau hitam,
dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih
sehat. Tidak ada bula dan tidak terasa nyeri.
BAB IV
METODE PENELITIAN
25
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi epidemiologi deskriptif dengan
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medik. Penelitian
deskriptif ini bertujuan untuk memperoleh gambaran distribusi, frekuensi. dan
mengidentifikasi kemungkinan faktor predisposisi amputasi pada pasien luka
bakar.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin
Sudirohusodo Makassar mulai tanggal 3 September 2012 – 10 September 2012.
Alasan pemilihan lokasi ini adalah :
Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin Sudirohusodo ini adalah rumah sakit
yang merupakan tempat rujukan yang mempunyai fasilitas pengobatan untuk
penderita luka bakar.
Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin Sudirohusodo Rumah merupakan
rumah sakit pendidikan di daerah Makassar
Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin Sudirohusodo Rumah sakit ini
mempunyai dokumen medik yang memadai sehingga data-data penderita
dapat dicatat dengan baik
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
26
Semua pasien yang pernah dirawat dengan diagnosa luka bakar dan
menjalani amputasi di Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin Sudirohusodo
Makassar pada periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012.
4.3.2. Sampel
Pasien dengan diagnosa luka bakar dan mengalami amputasi yang pernah
dirawat di rumah sakit tersebut pada periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus
2012.
4.3.3. Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel adalah dengan metode total sampling
yaitu semua populasi dijadikan sebagai sampel.
4.3.4. Kriteria Seleksi
4.3.4.1. Kriteria Inklusi
Terdaftar sebagai penderita luka bakar yang mengalami amputasi di
rawat inap Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1
Agustus 2007 – 1 Agustus 2012.
4.3.4.2. Kriteria Ekslusi
Tidak terdaftar sebagai penderita luka bakar yang mengalami amputasi di
rawat inap di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1
Agustus 2007 – 1 Agustus 2012.
4.4 Jenis Data dan Insturumen Penelitian
4.4.1. Jenis Data
27
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari rekam medik subjek penelitian.
4.4.2. Instrumen Penelitian
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
daftar tilik dengan tabel-tabel tertentu untuk mencatat data yang dibutuhkan
dari rekam medik.
4.5. Manajemen Penelitian
4.5.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak
pemerintah dan instansi tempat diadakannya penelitian, dalam hal ini adalah
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar.Kemudian dilakukan
pengamatan dan pencatatan langsung berdasarkan pemeriksaan yang
dilakukan terhadap pasien dan data dari rekam medik ke dalam daftar tilik
yang telah disediakan sebelumnya.
4.5.2. Teknik Pengolahan Data dan Penyajian Data
Pengolahan dilakukan dengan menggunakan metode komputerisasi
yang selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
4.6. Etika Penelitian
28
a. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah
setempat sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian.
b. Berusaha menjaga kerahasiaan identitas pasien sehingga diharapkan tidak
ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan.
BAB V
29
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Sekilas Sejarah Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahldin Sudirohusodo
Dua tahun setelah negara Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1947 terdapat
banyak korban revolusi yang mempertahankan kemerdekaan. Para pejuang bangsa
memerlukan perawatan. Oleh karena itu dipinjamkan dua bangsal Rumah Sakit
Jiwa yang telah berdiri sejak tahun 1925 sebagai bangsal bedah dan penyakit
dalam. Kedua bangsal ini merupakan cikal bakal berdirinya Rumah Sakit Umum
Dadi. Kemudian pada tahun 1957, Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan
mendirikan RSU Dadi di lokasi rumah sakit jiwa sebagai rumah sakit propinsi
yang terletak di Jalan Benteng No. 34 (kini Jalan Lanto Dg. Pasewang).
Sejak tahun tersebut, baik Rumah Sakit Jiwa maupun Rumah Sakit Umum
Dadi masing-masing membangun gedung-gedung tanpa adanya suatu
perencanaan, akhirnya tercipta suatu kondisi yang memberikan kesan bahwa
Rumah Sakit Umum Dadi adalah rumah sakit yang sumpek, kurang penerangan,
ventilasi yang tidak memadai dan berbagai kekurangan lainnya.
Melihat kondisi tersebut, Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan (ketika itu),
Prof. Dr. Ir. H. Ahmad Amiruddin dan Menteri Kesehatan RI dr. H. Suwarjono
Soerjadiningrat membicarakan dan akhirnya sepakat memindahkan Rumah Sakit
Umum Dadi ke lokasi yang lebih strategis sebagai rumah sakit rujukan dan rumah
sakit pendidikan.
Pada tahun 1963 mulai dilaksanakan pembelian tanah di Tamalanrea tidak
jauh dari kampus Universitas Hasanuddin. Pembangunan gedung pertama
30
dilakukan pada tahun 1988 yaitu gedung adminsitrasi. Atas bantuan Rektor
Universitas Hasanuddin yang menghibahkan tanah seluas 8 ha, maka pada tahun
1990 pembangunan gedung-gedung baru mulai dilaksanakan dengan kapasitas
2100 tempat tidur. Rumah sakit ini mulai dioperasikan pada tahun 1993 dengan
status Rumah Sakit Umum Pusat Kelas A sesuai SK Menteri Kesehatan No.
283/Menkes/SK/1992, Pada tahun 1994 RS Dadi berubah menjadi rumah sakit
vertical milik departemen kesehatan dengan nama RS Dr.Wahidin Sudirohusodo
berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.540/SK/VI/1994 sebagai rumah sakit umum kelas A yang digunakan oleh
Fakultas Kedokteran sebagai tempat pendidikan calon dokter, dokter spesialis dan
subspesialis serta sebagai rumah sakit rujukan tertinggi di kawasan timur
Indonesia.
Untuk mendukung operasionalnya, berbagai fasilitas diupayakan dalam
membantu pelayanan kesehatan di kawasan timur Indonesia, maka pada saat
bersamaan diadakan penambahan tenaga medis dan paramedis, sehingga pada
bulan maret 1994 BOR di Ruang Perawatan Bedah dan Penyakit Dalam mencapai
BOR di atas 90%. Di samping itu beberapa kegiatan baru telah mulai
dilaksanakan antara lain terlaksananya operasi jantung, dibukanya spesialisasi
bedah thoraks, pengobatan batu ginjal dan ESWL dan pelayanan USG mata baik
A Scan dan B Scan melalui laser Yab dan hingga kini telah melayani
subspesialisasi.
31
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ini, pada bulan Januari 1998
lalu, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo mendapat pengakuan "Akreditasi Penuh"
dari Komite Akreditasi Rumah Sakit Pusat.
Pada tahun 1998 dengan dikelurkannya UU. No. 30 tahun 1997, maka
Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo berubah status menjadi unit Pengguna
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB). Pada tahun 2000 dengan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah RI No. 125 tahun 2000 RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo
beralih status kelembagaannya menjadi perusahaan jawatan ( Perjan ) Rumah
Sakit DR Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Pada tanggal 13 Juni 2005, Pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan
Pemerintah RI.No.23 tahun 2005 tentang perubahan status rumah sakit Dr.
Wahidin Sudirohusodo dari Perusahaan Jawatan ( Perjan ) menjadi Badan
Layanan Umum (BLU) RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
5.2 Keadaan Geografis
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo terletak di Kecamatan Tamalanrea, 11
km dari pusat kota Makassar, Rumah sakit ini dibangun di atas tanah seluas 16 ha
dengan luas gedung seluruhnya 12,6 ha dengan batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah utara : Jalan ke utara menuju daya, terdapat kantor dan asrama
kaveleri kodam VII wirabuana dan jalan poros
Makassar-Maros
2. Sebelah Selatan : terdapat bangunan Lembaga Penelitian Universitas
Hasanuddin yang diantarai oleh sebuah DAM buatan
32
3. Sebelah Barat : terdapat gedung perkuliahan dan perkantoran
Universitas Hasanuddin
4. Sebelah Timur : terdapat kantor Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan dan
Pondok Pesantren IMMIM
5.3 Sarana Dan Prasarana
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo memilki tenaga 1191 orang belum
termasuk tenaga kontrak dan dokter-dokter yang menempuh pendidikan. Adapun
rinciannya adalah sebagai berikut:
a. Dokter ahli : 136 orang
b. Dokter umum : 30 orang
c. Dokter gigi : 10 orang
d. Sarjana Kesehatan Masyarakat : 12 orang
e. Sarjana keperawatan : 1 orang
f. Paramedis perawat : 508 orang
g. Paramedis non perawat : 199 orang
h. Apoteker : 10 orang
i. Non medis lainnya : 114 orang
j. Tenaga kontrak : 119 orang
Sarana dan fasilitas yang tersedia di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
sebagai rumah sakit tipe A dan sebagai pusat rujukan dari propinsi-propinsi di
sekitarnya, yakni sebagai berikut:
33
Dua puluh dua (22) poliklinik spesialisasi dan subspesialisasi dan dilengkapi
dengan alat-alat seperti diagnostik jantung.
Sepuluh (10) buah kamar operasi untuk 11 jenis pembedahan seperti bedah
toraks, bedah saraf, bedah minor untuk THT.
Fasilitas tempat tidur
VIP : 14 buah
Kelas I : 24 buah
Kelas II : 136 buah
Kelas III : 205 buah
ICU dewasa : 8 buah
ICU anak : 7 buah
ICCU : 6 buah
5.4 Landasan Hukum
Landasan hukum badan layanan umum (BLU) RS.Dr.wahidin
sudirohudoso makassar adalah peraturan pemerintah No.23 tahun 2005.
5.5 Usaha Rumah Sakit
Usaha rumah sakit terdiri dari usaha dapur gizi, laundry, kantin, parker,
wartel, incenerator, dan sewa gedung.
5.6 Visi, Misi Dan Tujuan
Visi
34
Visi RS wahidin sudirohusodo adalah " menjadi rumah sakit yang mandiri,
prima serta unggul dalam teknologi, manajemen dan sumber daya manusia di
kawasan Indonesia timur pada tahun 2015.
Rumah sakit yang mandiri merupakan tujuan yang ingin diwujudkan dari
pelaksana manajemen RS.Wahidin sudirohusodo dalam pengelolaan uang yang
mandiri.
Prima adalah wujud pelayanan kesehatan di RS.DR.wahidin sudirohusodo
yang berorientasi pada kepentingan pelanggan dan standarisasi professional
Unggul dalam teknologi dan manajemen merupakan kemampuan RS.DR wahidin
sudirohusodo dalam memberikan pelayanan dnegan menggunakan teknologi
terdepan melalui proses manajemen yang tepat guna. Unggul dalam sumber daya
manusia merupakan impian di masa depat menjadikan sumber daya manusia di
RS DR. Wahidin sudirohusodo makassar dan cepat menghasilkan/mendidik SDM
yang mempunyai daya saing sebagai manusia unggul, baik unggul individual
maupun unggul interkoneksitas.
Misi
Untuk mewujudkan misi RS DR wahidin sudirohusodo makassar
ditetapkan misi sebagai berikut:
a. menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna, profesional dan
terjangkau
b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkualitas
c. menyelenggarakan usaha lain yang menunjang kegiatan pelayanan dan
pendidikan Tujuan
35
Tujuan
Tujuan RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
a. terlaksananya pelayanan kesehatan yang paripurna dan prima
b. tersedianya SDM yang profesional dan berkomitmen
c. tersedianya teknologi canggih yang menunjang pelayan RS DR wahidin
sudirohusodo makassar sebagai rumah sakit rujukan tertinggi di KTI
d. terlaksananya pertumbuhan financial return RS DR wahidin
sudirohusodo Makassar
5.7 Nilai
Nilai-nilai dari RS DR Wahidin Sudirohusodo makassar adalah sebagai
berikut
a. Profesionalisme : tindak tanduk yang bercirikan suatu profesi atau
orang yang ahli dalam bidangnya dengan memgang teguh etika profesi
dan standar mutu keahlian yang tinggi.
b. Ramah : sikap dan tutur kata manis, dengan berpraduga positif serta
berbudi bahasa menarik dan selalu berusaha untuk menolong
pelanggan denagan tulus dan ikhlas.
c. Peduli : berusaha untuk segera memahami dan merespon dengan
sungguh-sungguh masalah yang dihadapi pelanggan dan langsung
membantu menyelesaikan masalah tersebut dengan tuntas dan
memuaskan keinginan pelanggan.
36
d. Jujur : selalu memegang teguh ketulusan dan keikhlasan
dalam memberikan informasi atau tidak melakukan kecurangan apapun
untuk dirinya ataupun untuk kepentingan pelanggan.
e. Tanggung jawab : kewajiban untuk memikul segela akibat yang timbul
karena hasil pekerjaan dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi
pelanggan
f. Menghargai : saling menghormati serta menghargai terhadap sesame
yang lain
5.8 Motto
Adapun motto RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar adalah " Dengan
budaya sipakatau kami melayani dengan hati "
37
BAB VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
6. 1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 minggu, mulai dari tanggal 17
September – 29 September 2012 mengenai gambaran karakteristik kejadian
amputasi pada penderita luka bakar di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Sampel diambil dengan menggunakan teknik total sampling. Pada
penelitian ini, jumlah sampel yang diteliti adalah sebanyak 14 orang dan
keseluruhan adalah laki-laki. Dari 14 sampel tersebut, maka diperoleh hasil
sebagai berikut:
Tabel 6.1 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut umur di
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012
Umur N %
<18 tahun 3 21,4
18-40 tahun 9 64,2
41-65 tahun 2 14,4
>65 tahun 0 0
Total 14 100.0
Sumber : data rekam medik
38
Grafik 6.1 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut umur di
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012
Pada tabel dan grafik 6.1 di atas menunjukkan gambaran kejadian
amputasi pada pasien luka bakar menurut umur yaitu pada kelompok umur kurang
dari 18 tahun didapatkan penderita luka bakar sebanyak 3 kasus (21,4%). Pada
kelompok umur 18-40 tahun didapatkan penderita luka bakar sebanyak 9 kasus
(64,2%). Pada kelompok umur 41-65 tahun didapatkan penderita luka bakar
sebanyak 2 kasus (14,4%) dan tidak didapatkan pasien dengan kelompok umur di
atas 65 tahun.
39
Tabel 6.2 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis
kelamin di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1
Agustus 2012
Jenis kelamin N %
Laki-laki 14 100
Perempuan 0 0
Total 14 100.0
Sumber : data rekam medik
Grafik 6.2 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis
kelamin di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1
Agustus 2012
40
Pada tabel dan grafik 6.2 di atas menunjukkan gambaran kejadian
amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis kelamin dimana keseluruhan
sampel merupakan laki-laki.
Tabel 6.3 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis luka
bakar di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus
2012
Jenis luka bakar N %
Api 1 7,2
Listrik 13 92,8
Kimia 0 0
Dingun 0 0
Total 14 100.0
Sumber : data rekam medik
41
Grafik 6.3 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis
luka bakar di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1
Agustus 2012
42
Pada table dan grafik 6.3 di atas menunjukkan distribusi penderita luka
bakar yang mengalami amputasi berdasarkan jenis luka bakar. Didapatkan 13
kasus (92,8%) yang disebabkan oleh listrik, 1 kasus (7,2%) yang disebabkan oleh
api, dan tidak ada kasus yang disebabkan oleh dingin ataupun kimia.
Tabel 6.4 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut derajat
luka bakar di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1
Agustus 2012
Derajat Luka Bakar N %
Dua 1 7,2
Tiga 13 92,8
Total 14 100.0
Sumber : data rekam medik
Grafik 6.4 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis
luka bakar di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1
Agustus 2012
43
Pada tabel dan grafik 6.4 di atas menunjukkan distribusi penderita luka
bakar yang mengalami amputasi berdasarkan derajat luka bakar. Didapatkan 13
kasus (92,8%) dengan derajat 3, 1 kasus (7,2%) dengan derajat dua, dan tidak ada
kasus dengan derajat satu .
Tabel 6.5 Crosstabulation Distribusi Umur dengan Jenis Luka Bakar pada
Penderita Luka Bakar yang mengalami Amputasi di RSUP DR Wahidin
Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012
UmurApi Listrik Jumlah
N % N % N %
<18 tahun 1 33,3 2 86,7 3 100
18-40 tahun 0 0 9 100 9 100
41-65 tahun 0 0 2 100 2 100
Total 1 7,2 13 92,8 14 100
Sumber : data rekam medik
44
Grafik 6.5 Crosstabulation Distribusi Umur dengan Jenis Luka Bakar pada
Penderita Luka Bakar yang mengalami Amputasi di RSUP DR Wahidin
Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012
Pada tabel 6.5 di atas menunjukkan gambaran karakteristik kejadian
amputasi pada penderita luka bakar menurut umur dengan jenis luka bakar ,
kejadian amputasi terbanyak pada usia 18-40 tahun dimana sebagian besar
merupakan luka bakar listrik yaitu sebanyak 9 kasus.
Tabel 6.6 Crosstabulation Distribusi Umur dengan Derajat Luka Bakar pada
Penderita Luka Bakar yang mengalami Amputasi di RSUP DR Wahidin
Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012
UmurDua Tiga Jumlah
N % N % N %
<18 tahun 0 0 3 100 3 100
18-40 tahun 1 11,1 8 88,9 9 100
41-65 tahun 0 0 2 100 2 100
Total 1 7,2 13 92,8 14 100
45
Grafik 6.6 Crosstabulation Distribusi Umur dengan Derajat Luka Bakar pada
Penderita Luka Bakar yang mengalami Amputasi di RSUP DR Wahidin
Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012
Pada tabel 6.6 di atas menunjukkan gambaran karakteristik kejadian
amputasi pada penderita luka bakar menurut umur dengan derajat luka bakar ,
kejadian amputasi terbanyak pada usia 18-40 tahun dimana sebagian besar
merupakan luka bakar listrik derajat tiga yaitu sebanyak 8 kasus.
6.2 Pembahasan
Telah dilakukan penelitian tentang gambaran karakteristik kejadian
amputasi pada penderita luka bakar di RSP Dr. Wahidin Sudirohusodo periode 1
Agustus 2007 – 1 Agustus 2012. Pada penelitian ini ingin diketahui karakteristik
kejadian amputasi pada penderita luka bakar berdasarkan jenis luka bakar dan
derajat luka bakar.
46
Jumlah penderita luka bakar selama 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012
adalah 260 orang. Namun, pasien yang mengalami amputasi hanya 14 orang
sehingga jumlah ini yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Karakteristik
sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan berjenis kelamin laki-laki . Selain
itu, pada kelompok umur kurang dari 18 tahun didapatkan penderita luka bakar
sebanyak 3 kasus (21,4%). Pada kelompok umur 18-40 tahun didapatkan
penderita luka bakar sebanyak 9 kasus (64,2%). Pada kelompok umur 41-65 tahun
didapatkan penderita luka bakar sebanyak 2 kasus (14,4%) dan tidak didapatkan
pasien dengan kelompok umur di atas 65 tahun. Hal ini menunjukkan kejadian
amputasi pada pasien luka bakar terjadi pada orang-orang dengan usia produktif.
Dari tabel 6.3 dilihat penyebab luka bakar yang mengalami amputasi
sebagian besar dikarenakan listrik yaitu sebanyak 13 kasus (92,8%). Penyebab
lain yang dapat menyebabkan amputasi adalah api yaitu sebanyak 1 kasus (7,2%).
Tidak didapatkan kasus amputasi yang disebabkan oleh kimia ataupun dingin.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan kejadian amputasi lebih banyak
terdapat pada luka bakar yang disebabkan oleh listrik. Hal ini dikarenakan luka
bakar listrik dapat mencederai tunika intima pembuluh darah yang menyebabkan
thrombosis sehingga aliran darah akan berkurang dan akan berakhir menjadi
nekrosis jaringan.
Dari tabel 6.4 dilihat bahwa derajat luka bakar yang mengalami amputasi
sebagian besar adalah derajat 3 yaitu sebanyak 13 kasus (92,8%). Selain itu, luka
bakar derajat dua juga mengalami amputasi yaitu satu kasus (7,2%). Hal ini sesuai
dengan teori bahwa luka bakar yang mengalami amputasi adalah luka bakar
47
derajat tiga. Namun, ada satu kasus luka bakar derajat dua yang mengalami
amputasi dimana kasus ini disebabkan oleh luka bakar listrik. Dalam luka bakar
listrik, derajat luka bakar yang terlihat dari luar belum bisa menunjukkan secara
jelas kerusakan yang ditimbulkan karena besarnya kerusakan yang terjadi
biasanya lebih dalam dibandingkan dengan yang terlihat.
Adapun kekurangan yang ditemui dalam melaksanakan penelitian adalah
jumlah status di medical record tidak sesuai dengan jumlah register di RSUP
Wahidin Sudirohusodo. Kekurangan lainnya yang ditemui adalah kurangnya
sampel yang didapatkan.
48
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7. 1 Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian mengenai gambaran karakteristik kejadian
amputasi pada penderita luka bakar di RSP Dr. Wahidin Sudirohusodo
periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012 , maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan jenis luka bakar , persentase tertinggi kejadian amputasi pad
apasien luka bakar ditemukan pada luka bakar listrik 92,8% , api 7,2%,
dan tidak ada kasus akibat kimia ataupun dingin
2. Menurut derajat luka bakar, presentase tertinggi kejadian amputasi pada
pasien luka bakar ditemukan pada luka bakar derajat tiga 92,8%, derajat
dua 7,2%, dan tidak ada kasus pada luka bakar derajat satu.
7.2 Saran-saran
Setelah melakukan penelitian mengenai gambaran karakteristik kejadian
amputasi pada penderita luka bakar di RSP Dr. Wahidin Sudirohusodo
periode 1 Agustus 2007 – 1 Agustus 2012 , maka dapat disarankan:
1. Perlu diadakan sosialisasi mengenai penggunaan listrik maupun
pemakaian alat pelindung diri yang aman dalam pekerjaan listrik.
2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai kejadian amputasi pada
pasien luka bakar dengan jumlah sampel yang lebih besar.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong, Wim. Buku AjarIlmu Bedah . 3th ed. Jakarta : EGC ; 2011: p.103-14;
1080-2.
2. Dwi Handayani. Rehabilitasi Below Knee Amputation. Samarinda : Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman. 2010.
3. Kennedy PJ,dkk. Burn and amputation : 24 year experience. J Burn care Res,
2006; 183-8. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov
4. Abd. Al Aziz H.A. Ahmad,dkk. Evaluation of the Treatment of Protocol
Electrical Injuries in Ain Shams University Burn Unit. Egypt J.Plast
Reconstr.Surg, 2007 ; 149-158. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov
5. Brian M.Parret,dkk. Fourth-Degree Burns to the Lower Extremity with
Exposed Tendon and Bone : A Ten Year Experience. USA. Division Plastic &
Reconstructive Surgery and Division Trauma, Burns, and Critical Care. 2006
6. Matthew B.Klein. Thermal, Chemical, and Electrical Injurie In : Plastic
Surgery, 6th ed. USA : Lippincolt Williams & Wilkins. 2007 ; p.132-49.
7. Chen X, dkk. A Report of 115 Cases of Amputation after Electric Injury.
China ; Zhonghua Shao Shang Za Zhi,2006 ; 161-2.
50
8. Peter C.Esselman. Burn Rehabilitation : An Overview. USA. Departement of
Rehabilitation Medicine University of Washington Seattle.2007
9. Yowler JC,dkk. Factors Contributing to Delayed Extremity Amputation in
Burn Patients. J Trauma, 2007 ; 522-6. Available from :
www.ncbi.nlm.nih.gov
10. Charles Brunicardi, dkk. Burns In : Schwart’s Principle Surgery, 8thed. New
York : Mc.Graw Hill Company.
51
Recommended