View
239
Download
29
Category
Preview:
Citation preview
Kumpulan
Cerita Wayang
Bram Palgunadi
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 2
MENGENAL KEMBALI PAGELARAN
WAYANG KULIT PURWA
Bram Palgunadi
11 Desember 2012 pukul 9:44 ·
Pagelaran wayang kulit purwa yang semarak dan sesekali juga mencekam, merupakan salah satu daya tarik. Tetapi pagelaran wayang kulit purwa masa sekarang, banyak yang melenceng jauh dari hakikatnya sebagai pagelaran wayang. Lalu 'digantikan' menjadi pagelaran lainnya, seperti campur-sari, dhang-dhutan, lawak, dan bahkan pagelaran wayangnya sendiri pelan-pelan tapi pasti, lalu berubah mengkerdil menjadi sekedar 'pelengkap penderita'. Pagelaran wayang lalu kehilangan peran dan fungsinya sebagai media untuk merenungkan hikmah kehidupan. Seperti tampak pada gambar di atas, pagelaran wayang kulit purwa berubah menjadi 'pagelaran pesindhen'; dan sederet pesindhen ini lalu dipajang, maaf, seperti layaknya barang dagangan.
Saat pertama kali mendengar kata „wayangan‟ atau „karawitan wayangan‟,
kebanyakan orang berpikir, ini merupakan suatu pagelaran yang rumit, sukar,
penuh ritual, mistis, dan memerlukan keterampilan dan pengalaman luar biasa
untuk bisa memainkannya. Ini merupakan pandangan umum, yang lazim kita
temukan pada kebanyakan orang di kalangan masyarakat awam. Benarkah
demikian?
Sebagian dari pendapat ini, harus diakui saja, memang benar. Tetapi, ada
sejumlah besar hal, yang mungkin saja tidak diketahui khalayak ramai, yang
sebenarnya mencerminkan bahwa memainkan wayang kulit, khususnya wayang
kulit purwa tidaklah seseram dan sesukar yang dibayangkan orang. Misalnya,
adanya pandangan di kalangan masyarakat luas, bahwa gendhing-gendhing
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 3
pengiring pagelaran wayangan, merupakan iringan yang maha sukar, dan
karenanya lalu memerlukan keterampilan, kemampuan khusus, pemahaman,
dan bahkan pengetahuan khusus; untuk bisa menjalankannya. Pandangan ini,
tentu saja berakibat timbulnya pendapat, bahwa pagelaran wayang kulit purwa
merupakan pagelaran yang maha sukar, dan karenanya lalu memerlukan „orang-
orang pilihan dengan kemampuan dan keahlian khusus‟. Pendapat inilah yang
hendak „dibalikkan‟. Karena nyatanya, sebuah pagelaran wayang kulit purwa
tidaklah selalu merupakan suatu pagelaran yang maha sukar.
Jadi, pertanyaannya, sebenarnya apa saja yang merupakan „kebutuhan
minimal‟ (minimum requirement) untuk bisa melaksanakan suatu pagelaran
wayang kulit purwa? Di bawah ini, dijelaskan secara singkat jawabnya. Juga
termasuk berbagai renik-renik yang merupakan kekhasan pagelaran wayang
kulit purwa.
Gendhing pengiring suatu pagelaran wayang kulit purwa
Pagelaran wayang kulit purwa memerlukan sejumlah rangkaian gendhing
sebagai pengiring seluruh pagelaran. Dalam hal ini, kebutuhan minimal jenis
gendhing yang harus dikuasai, dan sedapat-dapatnya dihafalkan; adalah: 1)
ladrang, 2) ketawang, 3) lancaran, 4) ayak-ayak, 5) srepegan, dan 6) sampak.
Meskipun demikian, keenam jenis gendhing ini, bisa diperas menjadi tiga jenis
gendhing, yakni 1) ayak-ayak, 2) srepegan, dan 3) sampak. Karena suatu
pagelaran wayang kulit purwa lazimnya dibagi atas tiga babak besar atau tiga
pathet; yaitu 1) babak pathet nem, 2) babak pathet sanga, dan 3) babak pathet
manyura; maka diperlukan sekurang-kurangnya tiga ayak-ayak, tiga srepegan,
dan tiga sampak; masing-masing untuk memenuhi keperluan iringan untuk
ketiga babak pagelaran wayang kulit purwa, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan
pathet manyura. Jadi ringkasnya, diperlukan penguasaan atas 3 × 3 gendhing =
9 gendhing.
Gendhing-gendhing utama yang harus dikuasai untuk bisa melakukan pagelaran
wayang kulit purwa, adalah ayak-ayak, srepegan, dan sampak. Menggunakan
ketiga jenis gendhing ini, seluruh pagelaran wayang kulit purwa sudah bisa
dilaksanakan. Karena, pagelaran wayang kulit purwa terdiri dari tiga babak
(pathet), maka jenis gendhing yang harus dikuasai adalah sebagai berikut.
a) Iringan minimum untuk babak pathet nem, adalah: gendhing ayak-
ayak nem, srepegan nem, dan sampak nem.
b) Iringan minimum untuk babak pathet sanga, adalah: gendhing ayak-
ayak sanga, srepegan sanga, dan sampak sanga.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 4
c) Iringan minimum untuk babak pathet manyura, adalah: gendhing
ayak-ayak manyura, srepegan manyura, dan sampak manyura.
Jadi, kebutuhan minimum (dan bersifat wajib) untuk bisa mengiring suatu
pagelaran wayang kulit purwa yang lengkap, sebenarnya hanyalah sembilan
gendhing, yakni terdiri atas tiga gendhing yang berbeda untuk tiga pathet yang
berbeda. Ya, hanya itu!
Di luar kesembilan gendhing tersebut di atas, karena merupakan pagelaran
wayang kulit purwa, maka haruslah dilengkapi dengan permainan Gendhing
Talu Wayangan, yang juga dalam kondisi „minimum requirement‟.
Tangga-nada yang digunakan
Secara tradisional, suatu pagelaran wayang kulit purwa diiringi memakai
gendhing-gendhing „laras slendro‟ (bertangga-nada slendro). Bahkan, di masa
lampau, suatu pagelaran wayang kulit purwa hanya diiringi gendhing-gendhing
laras slendro.[1] Karena itulah penyebutan babak (pathet) yang digunakan pada
pagelaran wayang kulit purwa, mengacu pada penyebutan babak (pathet) laras
slendro; yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Adapun iringan
gamelan laras pelog, secara tradisional dulunya dipakai untuk mengiringi
pagelaran wayang kulit madya,[2] wayang gedhog, dan wayang beber. Namun,
perubahan jaman rupanya besar pengaruhnya juga. Karenanya, pada jaman
sekarang, pagelaran wayang kulit purwa umumnya menggunakan seperangkat
gamelan laras slendro dan laras pelog. Meskipun demikian, penggunakan
gendhing laras slendro, tetap sangat dominan dan merupakan mayoritas. Dalam
pemahaman ini, pemakaian gendhing laras pelog pada suatu pagelaran wayang
kulit purwa, dapatlah dikatakan hanya sebagai sisipan atau pelengkap semata.
Total theater
Pagelaran wayang kulit purwa, merupakan suatu pagelaran „total theater‟, yang
amat sangat berbeda dengan pertunjukan barat (Eropa). Pada pagelaran wayang
kulit purwa, penonton berada di dua sisi panggung pagelaran, yakni di depan
dan belakang; atau berada di depan dan belakang layar wayang. Selain itu,
seluruh unsur yang ada di sekeliling dan di sekitar panggung pagelaran,
merupakan bagian dari pagelaran wayang. Karena karakternya yang seperti itu,
maka seluruh penonton, pemain, dan bahkan orang-orang yang berada di sekitar
tempat pagelaran (misalnya orang-orang yang berjualan makanan, minuman,
mainan anak-anak, cindera-mata, atau lainnya), termasuk seluruh
lingkungannya; merupakan bagian langsung dari pertunjukannya.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 5
Karena hal ini pula, maka penerapan „duduk lesehan‟ menggunakan tikar
(bukan kursi), merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi, guna
membangun suasana total theater dan juga suasana tradisional. Suasana total
theater ini akan semakin nyata, jika pagelaran dilakukan di tempat terbuka yang
dilengkapi „tarub‟ atau di pendhapa. Pagelaran yang bersifat „total theater‟,
menghasilkan suasana tidak formal, semarak, menyenangkan, penuh
kebersamaan, bebas, dan santai (relax); dengan berbagai aktifitas lainnya
berlangsung bersama-sama pagelaran wayang. Termasuk kegiatan makan,
minum, berbincang, dan bahkan tidur.
Karakter garap gendhing dan karawitan wayangan pada pagelaran
wayang kulit purwa
Garap gendhing pada suatu pagelaran wayang kulit purwa, dapat dikatakan amat
sangat berbeda, jika dibandingkan dengan garap gendhing yang dilakukan untuk
pagelaran karawitan biasa atau iringan tari (beksan). Penjelasan selanjutnya,
menjelaskan tentang hal ini.
Diawali dengan permainan gendhing Talu wayangan
Hanya pada pagelaran wayang dimainkan rangkaian Gendhing Talu Wayangan.
Ini juga merupakan salah satu kekhasan pagelaran wayang kulit purwa.
Gendhing Talu Wayangan, dimainkan sesaat sebelum pagelaran wayang
dimulai. Gendhing Talu Wayangan, merupakan „ringkasan‟ dari seluruh
perjalanan hidup manusia sejak ia belum ada dan masih dalam bentuk mimpi
indah orang tuanya, sampai ia lahir, menjadi remaja, menjadi dewasa, dan
akhirnya kembali tiada, saat ia menghadap Sang Penguasa Jagat Raya.
Sepersekian juta dari ringkasan cerita perjalanan hidup manusia itulah, yang
nantinya akan dipagelarkan selama semalam suntuk.
Menerapkan permainan ‘kosek wayangan’
Salah satu karakter khas garap karawitan yang hanya ada di karawitan
wayangan, adalah penerapan garap „kosek wayangan‟, yang diperankan oleh
ricikan kendhang. Kekhasan garap kosek wayangan, terletak pada pengaturan
kecepatan irama/laya yang relatif lebih cepat daripada laya tamban, tetapi
berada di bawah laya sesegan. Dalam beberapa hal, laya ini sering disalah-
artikan dan di sebut sebagai irama/laya tanggung. Sebenarnya, laya/irama kosek
wayangan bukanlah laya/irama tanggung. Karena sebutan „kosek wayangan‟
tidak hanya berkait erat dengan kecepatan permainan (irama/laya), melainkan
dengan pola permainan kendhang yang sangat khas, juga digunakannya „kecer
wayang‟ dan eksploitasi suara „keplok‟ para pradangga. Pengaturan laya/irama
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 6
permainan gendhing wayang, menerapkan „irama kosek‟ yang sangat khas
wayangan.
Secara ringkas, irama kosek adalah suatu garap gendhing yang menerapkan
kecepatan (laya/irama) tertentu sedemikian rupa, sehingga selama
permainannya, gendhing dapat dilengkapi permainan irama „keplok‟ (tepukan
tangan) atau „kecer‟. Laya/irama kosek, merupakan suatu laya/irama yang
berada di antara irama/laya seseg dan tamban (lambat). Indikasi bahwa irama
kosek sudah tepat penerapannya, adalah saat dilengkapi „keplok‟ atau bunyi
„kecer‟, pradangga-nya merasa nyaman dan enak terdengar di telinga.
Kecepatan laya/irama kosek wayangan, kira-kira setara dengan irama/laya
ciblon, dengan dominasi suara permainan kendhang yang sangat khas.
Memakai ‘kecer wayang’ dan ‘keplok’ sepanjang malam
„Kecer wayang‟ merupakan salah satu ricikan gamelan yang umumnya hanya
digunakan pada pagelaran wayangan, dan berperan sebagai kelengkapan
permainan yang menerapkan laya/irama kosek wayangan. Kecer wayang
seringkali juga dilengkapi dengan „keplok‟. Dalam sejumlah kasus, „keplok‟
sering menggantikan peran kecer wayang. Misalnya, jika ricikan kecer wayang
tidak tersedia pada gamelan yang digunakan sebagai pengiring pagelaran
wayang. Penggunaan kecer wayang dan/atau keplok, lazimnya dimainkan para
pradangga hampir di seluruh waktu pagelaran yang menerapkan pola permainan
„kosek wayangan‟ dan „ciblon‟; kecuali pada laya/irama tamban, saat sirep,
janturan, sampak; dan pada garap yang berhubungan dengan „tlutur‟ serta
ketawang.
Rangkaian gendhing yang berubah-ubah secara dinamis
Tidak seperti pada pagelaran karawitan biasa, yang lazimnya menerapkan
rangkaian gendhing yang teratur dan menerapkan irama/laya yang umumnya
tamban. Rangkaian gendhing yang dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang
kulit purwa lazimnya menyesuaikan diri dengan keperluan pagelaran. Termasuk
dimungkinkan mengganti, menghentikan, atau memindahkan gendhing ke
gendhing lainnya secara tiba-tiba. Dalam sejumlah hal, perpindahan atau
pergantian gendhing bahkan dimungkinkan dan boleh dilakukan, meskipun
gendhing yang sedang dimainkan belum selesai (belum mencapai akhir
permainan atau belum sampai pada gong).
Keprak dan gedhog dhalang sebagai pemberi aba-aba utama
Pada pagelaran karawitan, hampir seluruh aba-aba diberikan oleh ricikan
kendhang. Sebaliknya, pada pagelaran wayang kulit purwa, „gedhog‟ dan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 7
„keprak‟ memegang peran yang amat sangat dominan, utamanya dalam hal
sebagai pemberi aba-aba dan perintah tertentu. Sejumlah tanda atau aba-aba
yang diberikan menggunakan gedhog atau keprak, lazimnya merupakan bagian
awal dari tanda atau aba-aba yang diberikan oleh kendhang. Dalam pengertian
ini, hampir semua tanda atau aba-aba yang diberikan oleh kendhang, bisa
dilakukan dan digantikan perannya oleh gedhog dan keprak; termasuk
pengaturan irama/laya, pengaturan kecepatan permainan, tanda berhenti, tanda
perpindahan, tanda mulai memainkan, tanda menghentikan permainan, tanda
mengubah pola permainan karawitan menjadi irama rangkep atau sebaliknya,
tanda pembicaraan/dialog selesai, tanda sirepan selesai, tanda meminta sesegan,
tanda selesai janturan, tanda penghentian dalam pola sesegan atau gropak, tanda
mengubah pola permainan menjadi kebar atau kiprah, dan sebagainya.
Tanda atau aba-aba yang merupakan penggalan atau potongan tanda atau aba-
aba yang diberikan kendhang, lazimnya merupakan bagian depan tanda atau
aba-aba kendhang. Dalam sejumlah kasus, tanda atau aba-aba berupa suara
gendhog dan/atau keprak, bisa juga dilengkapi dengan suara/vokal dhalang,
yang lazimnya dalam bentuk „kombangan‟.
Sesegan dan sirepan
Hanya di pagelaran wayang ada penerapan pola sesegan dan sirepan pada garap
karawitannya. Sesegan, lazimnya digunakan sebagai pertanda sudah selesainya
penataan wayang di layar (geber), dan akan segera dilanjutkan dengan
„janturan‟, yang lazimnya merupakan narasi dhalang yang menceritakan sesuatu
suasana, kondisi, atau cerita. Janturan dilaksanakan setelah silakukan sirepan.
Suwuk sesegan atau suwuk gropak
Adalah pola penghentian permainan gendhing yang dilakukan dalam kecepatan
tinggi, menerapkan tabuh sora (gamelan dibunyikan atau ditabuh sangat keras),
serta penghentian yang dilakukan secara mendadak (tiba-tiba). Pola ini,
biasanya hanya dikenal di permainan karawitan wayangan.
Garap kebar dan kiprah dengan surak dan senggakan
Garap karawitan wayangan yang menerapkan garap kebar atau kiprah, biasanya
dilengkapi dengan surak dan senggakan yang riuh; bahkan bisa saja penuh
dengan teriakan. Hal ini, hanya ada di karawitan wayangan.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 8
Garap kebar dan kiprah dalam laya/irama seseg
Garap karawitan wayangan saat kebar atau kiprah, biasanya jauh lebih cepat
laya/iramanya, jika dibandingkan dengan pada pagelaran karawitan biasa atau
jika dibandingkan dengan pada pagelaran tari (beksan).
Sirepan yang sangat tamban
Pada saat sirepan, hanya ricikan gender barung, rebab, gender panembung
(slenthem), kendhang, kethuk, kenong, kempul, dan gong; yang dimainkan
dalam irama/laya yang sangat lambat. Ricikan/instrumen lainnya tidak
dibunyikan. Seluruh ricikan yang tetap dibunyikan ini, biasanya dimainkan
dalam pola irama/laya yang relatif sangat tamban (sangat lambat). Sirepan
lazimnya diterapkan saat dhalang sedang melakukan „janturan‟.
Semua pendukung pagelaran menghadap layar wayang
Pada pelaksanaan pagelaran wayang kulit purwa tradisional, seluruh pradangga,
pesindhen, wiraswara, dan dhalang; duduk menghadap layar wayang (geber).
Pertimbangan utamanya adalah, bahwa ini merupakan pagelaran wayang kulit
purwa, dan sama sekali bukan pagelaran sindhen, wiraswara, pradangga, atau
lainnya.
Dhalang adalah tokoh sentral dalam pagelaran wayang kulit purwa
Tokoh sentral dan utama dalam suatu pagelaran wayang kulit purwa, adalah
dhalang. Karenanya, seharusnya tidak boleh dan tidak selayaknya ada orang lain
yang dalam pagelaran wayang kulit purwa bertindak menggantikan peran dan
fungsi dhalang, meskipun hanya sejenak atau hanya sebentar; termasuk
pagelaran campur-sari, dhagelan, lawak, dhang-dhutan, penyanyi, atau lainnya.
Jika dhalang sampai bersedia digantikan perannya sebagai tokoh sentral,
meskipun hanya sebentar atau beberapa saat, maka hal ini sama saja dengan
merendahkan martabat, kehormatan, dan profesinya.
Mengeksploitasi suasana dan emosi
Pada pagelaran wayang kulit purwa, suasana memegang peran yang sangat
penting. Karenanya, mengeksploitasi suasana (oleh dhalang) menjadi salah satu
faktor yang memegang peran sangat penting, termasuk „mempermainkan emosi‟
penonton.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 9
Pagelaran delapan jam
Pagelaran wayang kulit purwa, jika dilaksanakan secara lengkap dan tradisional,
akan memakan waktu semalam suntuk (atau sehari suntuk), selama kurang-lebih
delapan jam. Yaitu, dari sejak sekitar jam sembilan malam (atau jam sembilan
pagi), sampai sekitar jam empat subuh hari berikutnya (atau jam empat sore).
Namun, harap diketahui, bahwa lama seluruh pagelarannya sebenarnya bisa
lebih dari delapan jam, jika dilaksanakan secara lengkap. Jika pagelaran wayang
kulit purwa dilakukan pada malam hari, pagelaran bisa diawali dan dilengkapi
dengan permainan „gendhing sore‟ atau „gendhing pahargyan tamu‟, lalu
dilanjutkan dengan pagelaran „karawitan wayangan‟, dan pagelaran Gendhing
Talu Wayangan.
Pembagian waktu berdasar pathet
Waktu pagelaran wayang kulit purwa, dibagi menjadi tiga babak utama, yaitu:
a) Pathet Nem
b) Pathet Sanga
c) Pathet manyura
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa pembagian waktu pada pagelaran
wayang kulit purwa yang dilaksanakan semalam suntuk, adalah a) waktu awal
(awal malam hari), b) waktu sekitar tengah malam, dan c) waktu menjelang pagi
hari. Pembagian waktu ini, berlaku tidak saja untuk pagelarannya, tetapi juga
berlaku untuk pemilihan gendhing yang dipergunakan selama pagelaran.
Meskipun demikian, jika dimainkan secara lengkap, maka urutan pathet pada
suatu pagelaran wayang kulit purwa adalah sebagai berikut.
a) Pathet Nem
b) Pathet Lindur
c) Pathet Sanga
d) Pathet Nyamat
e) Pathet Manyura
Sebagai catatan, pada pagelaran wayang kulit purwa, Pathet Lindur dan Pathet
Nyamat tidak selalu digunakan.
Mengintegrasikan berbagai hal
Pagelaran wayang kulit purwa, pada dasarnya mengintegrasikan banyak hal,
antara lain bahasa, sastra, komunikasi, musik iringan (karawitan wayangan),
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 10
cerita, narasi, skenario, suasana psikologis, termasuk emosi penonton,
keterampilan, kemampuan olah vokal, dialog, tembang (nyanyian), syair, serta
sudah barang tentu juga tari dan gerak wayang (sabetan).
Menyenangkan, semarak, dan mencekam
Pagelaran wayang, merupakan suatu pagelaran yang menyenangkan banyak
pihak, tidak hanya penontonnya, tetapi juga para pendukung pagelaran dan
semua orang yang berada di sekitarnya. Ini merupakan salah satu dampak dari
pendekatan „total theater‟ pada pagelaran wayang kulit purwa. Meskipun
demikian, suatu pagelaran wayang kulit purwa juga bisa merupakan suatu
pagelaran yang „mencekam‟ dan mempengaruhi emosi penontonnya. Misalnya,
jika cerita dan drama yang ditampilkan sedemikian memikat penontonnya.
Media untuk merenungkan makna kehidupan
Pagelaran wayang kulit purwa, dapat berfungsi sebagai media refleksi
kehidupan nyata manusia. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa
seseorang yang pernah sekali saja menikmati pagelaran wayang kulit purwa,
jika ia mengerti dan memahami isi cerita dan suasananya, maka ia akan
cenderung „kecanduan‟ dan merindukan untuk kembali menonton pagelaran
wayang.
Pada pagelaran wayang kulit purwa, apa yang kita lihat di layar wayang,
sebenarnya bukanlah pagelaran yang sesungguhnya. Sebaliknya, pagelaran yang
sesungguhnya sebenarnya ada di alam imajinasi kita. Adapun apa yang kita lihat
di layar wayang, sebenarnya lebih berperan sebagai pemicu imajinasi kita.
Sedangkan tokoh-tokoh wayang tertentu yang ditampilkan di layar wayang,
seringkali oleh penontonnya merefleksikan dan dipersonifikasikan sebagai
dirinya. Demikian pula peristiwa yang diceritakan. Karena itu pula, maka
hubungan emosional antara tokoh yang ditampilkan dengan kita sebagai
penontonnya, bisa menjadi amat sangat erat, dan bahkan bisa membawa kita
seakan-akan sebagai tokoh yang sedang ditampilkan itu.
Bisa dimainkan dalam tingkat kerumitan dan kesulitan yang berbeda
Melakukan pagelaran wayang kulit purwa, bisa dilakukan dalam bentuk yang
amat sangat sederhana, dan secara bertahap menjadi semakin sukar dan semakin
rumit. Semua itu, bisa dilakukan sesuai dengan tingkat pemahaman dan tingkat
penguasaannya. Artinya, pada tahap belajar, bisa saja pagelaran wayang
dilaksanakan dalam bentuk yang amat sangat sederhana dan mudah. Hal inilah
yang serinkali tidak disadari, baik oleh pelatih maupun oleh siswa.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 11
Pagelaran wayang kulit purwa, juga bisa dimainkan dalam penggal waktu yang
relatif amat sangat pendek. Misalnya, suatu pagelaran wayang kulit purwa bisa
dimainkan dalam pola penggal waktu selama satu jam atau bahkan kurang dari
satu jam. Hal ini, biasanya diterapkan bagi mereka yang sedang dalam tahap
belajar, atau pagelaran wayang kulit purwa yang dilaksanakan dalam rangka
peragaan.
Seperti telah disinggung selintas di awal bahasan, suatu pagelaran wayang kulit
purwa yang dimainkan secara lengkap sekalipun, sebenarnya bisa dimainkan
hanya dengan tiga jenis gendhing; yaitu ayak-ayak, srepegan, dan sampak.
Karena itulah, maka belajar melakukan pagelaran wayang kulit purwa dapat
dikatakan tidaklah sesukar yang dibayangkan orang.
_____________________________________________
[1] Pagelaran wayang kulit purwa versi Jawa yang boleh dikatakan masih asli, justru dapat dilihat
pada pagelaran wayang kulit purwa versi Bali, yang diiringi ricikan gender laras slendro.
Sebagai informasi, pagelaran wayang kulit purwa versi Jawa, pada masa lampau berkembang
pada masa perkembangan agama Hindhu dan Buddha; sebagai bagian dari pelaksanaan ritual
adat dan kepercayaan. Tetapi setelah agama Islam masuk dan berkembang di Pulau Jawa,
sebagian penduduk yang beragama Hindu, beserta berbagai bentuk kesenian asli Jawa, termasuk
pagelaran wayang kulit purwa, para pegiat dan masyarakat pendukung keseniannya,
„menyelamatkan diri‟ ke arah timur dan menyeberang ke Pulau Bali. Sebagai catatan, bentuk
asli wayang kulit Jawa pada masa awal, sama dengan dengan bentuk wayang kulit versi Bali
(yang sampai sekarang masih bisa dilihat dan relatif tidak banyak berubah bentuknya).
[2] Pagelaran wayang kulit madya, lazimnya membawakan cerita wayang yang didasarkan atas
berbagai cerita yang berkembang seusai Perang Barata-Yudha. Batas awal yang bisa dikatakan
sebagai „bagian transisi‟ antara wayang kulit purwa dan wayang kulit madya, adalah pagelaran
wayang yang menceritakan episode setelah Pandhawa memenangkan Perang Barata-Yudha.
Misalnya, cerita „Parikesit Jumeneng Nata‟. Wayang Madya adalah wayang kulit yang
diciptakan oleh Mangkunegara IV sebagai penyambung cerita Wayang Purwa dengan Wayang
Gedog. Cerita Wayang Madya merupakan peralihan cerita Purwa ke cerita Panji. Salah satu
cerita Wayang Madya yang terkenal adalah cerita Anglingdarma. Wayang madya tidak sempat
berkembang di luar lingkungan Pura Mangkunegaran. Cerita Wayang Madya menceritakan
sejak wafatnya Prabu Yudayana sampai Prabu Jaya-Lengkara naik tahta. Cerita Wayang Madya
ditulis oleh R. Ngabehi Tandakusuma dengan judul Pakem Ringgit Madya yang terdiri dari lima
jilid, dan tiap jilid berisi 20 cerita atau lakon. Wayang madya (Jawa) adalah wayang yang
menggunakan unsur „cerita sesudah zaman purwa‟. Cerita itu mengisahkan para raja Jawa yang
dianggap keturunan Pandawa. Sementara itu wayang gedog, wayang klitik, dan wayang beber
(ketiganya dari Jawa), juga wayang gambuh dan wayang cupak dari Bali, melakonkan cerita
panji.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 12
Pagelaran wayang kulit purwa di masa lampau. Seringkali merupakan bagian dari kehidupan tradisi dan ritual masyarakat.
Lukisan suatu pagelaran wayang kulit purwa di masa lampau. Menyenangkan dan penuh kenangan.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 13
Suatu pagelaran wayang kulit purwa di pedalaman. Penuh kenangan dan mengingatkan dari mana kita dulu berasal...
Melihat pagelaran wayang kulit purwa, seakan seperti melihat kembali seluruh kehidupan kita....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 14
Bayang-bayang wayang, refleksi seluruh kehidupan kita saat kita masih berada di alam janaloka....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 15
KRONIK DAN INTRIK DI ANTARA BOMA NARA
SURA, GATHUTKACA, DAN KRESNA....
Bram Palgunadi
17 Oktober 2012 pukul 14:29
Radyan Bima-Sena, tak bisa menahan diri, karena merasa puteranya secara sengaja telah dikorbankan.....
Perang besar Barata-Yudha sudah mulai menggemakan genderang perangnya di
medan laga Tegal Kuru-Setra. Negara-negara sekutu lawan masing-masing
sudah mudah mempersiapkan diri dan mengerahkan seluruh kekuatan angkatan
bersenjatanya. Bahkan, korban sudah mulai berjatuhan di pihak Kurawa
maupun Pandhawa. Lamat-lamat tembang ada-ada perang Durma terdengar
mengalun mengarungi angkasa medan perang, membuat suasana di medan
perang Tegal Kuru-Setra semakin mencekam.
Ridhu mangawur-awur wurahan,
Tengaraning ajurit,
Gong maguru gangsa,
Teteg kadya butula,
Wor panjriting turanggesti,
Rekatak ingkang,
Bajra lelayu sebit......
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 16
Di pakuwon markas besar para kerabat Pandhawa, terjadi pertemuan serius yang
amat sangat menegangkan. Persoalan serius mencuat, setelah timbul perdebatan
sengit dan polemik, siapa yang akan diangkat dan ditetapkan sebagai Panglima
Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura melawan Angkatan Bersenjata
Hastina-Pura. Dari polling di antara para pejabat tinggi Pandhawa, ternyata
terjadi perpecahan. Di kalangan kerabat Pandhawa dan sekutunya, ternyata ada
dua calon kuat, yaitu Prabu Boma Nara Sura raja Negeri Traju-Trisna dan Prabu
Anom Gathutkaca raja muda Negeri Pringgandani. Dua tokoh ini, sama-sama
mempunyai pendukung kuat dan kesempatan untuk dipilih sebagai Panglima
Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Celakanya, di masa lampau, kedua
tokoh ini juga pernah bersitegang dan mengalami gesekan politik. Pergolakan
politik yang akhirnya meluas menjadi 'perang terbatas' di antara keduanya,
bahkan juga sempat terjadi, saat pecah peristiwa perebutan wilayah tak bertuan
'Kikis Tunggarana', yang lokasinya terletak tepat di wilayah perbatasan Negeri
Traju-Trisna dan Negeri Pringgandani. Latar belakang masa lalu yang
mencekam itu, rupanya sedikit-banyak basih terbawa sampai bertahun-tahun
kemudian. Dari catatan dinas intelejen dan para pengamat militer, kedua tokoh
itu memang mempunyai reputasi yang sama-sama kelam; tetapi keduanya juga
mempunyai reputasi gemilang. Fakta intelejen menyatakan sebagai berikut.
Tentang Prabu Anom Gathutkaca
Prabu Anom Gathutkaca, mempunyai reputasi hitam
di masa lalu, karena pernah melakukan pembunuhan
terhadap pamannya, yaitu Kala Bendana; hanya
karena sang paman melaporkan dan menyatakan
secara terus terang tanpa tedeng aling-aling, soal
perselingkuhan Radyan Abimanyu dengan Dewi
Utari; pada suatu persidangan agung Negeri
Pringgandani. Saat melaporkan, kebetulan ada Dewi
Siti Sundari, isteri Radyan Abimanyu, yang sedang
'curhat' kepada Prabu Anom Gathutkaca saudara
sepupunya, soal kepergian suaminya yang tak jelas ke mana.
Jadi, Kala Bendana dianggap tidak tahu diri, tidak sopan, dan tidak mengerti
tata-krama, karena melaporkan dan menceritakan perselingkuhan Radyan
Abimanyu dengan Dewi Utari, di depan seorang isteri (Dewi Siti Sundari) yang
sedang bersedih hati karena suaminya sudah lama tidak pulang ke rumah.
Akibatnya, Dewi Siti Sundari seketika jadi mengetahui, bahwa suaminya,
Radyan Abimanyu ternyata telah berselingkuh dengan Dewi Utari. Hal ini,
membuat Prabu Anom Gathutkaca sangat marah, karena menurutnya
seharusnya laporan pamannya itu disampaikan kepadanya pada kesempatan
lain, yakni pada saat Dewi Siti Sundari sedang tidak ada bersama mereka.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 17
Namun, pamannya, Kala Bendana, terus saja bercerita soal perselingkuhan
Radyan Abimanyu dengan Dewi Utari, tanpa perduli di depannya ada Dewi Siti
Sundari, yang begitu mendengar bahwa suaminya ternyata berselingkuh, lalu
menangis tersedu-sedu penuh kesedihan.
Prabu Anom Gathutkaca tidak bisa lagi menahan amarahnya, melihat pamannya
terus bercerita soal perselingkuhan itu, lalu menampar mulut Kala Bendana.
Maksudnya, supaya pamannya itu diam dulu dan tidak melanjutkan ceritanya.
Kala Bendana menyatakan, bahwa dia pergi mencari Radyan Abimanyu atas
perintah keponakannya, Prabu Anom Gathutkaca, untuk menyelidiki dan
mencari ke mana perginya Radyan Abimanyu. Perintah ini, diberikan kepada
Kala Bendana oleh Prabu Anom Gathutkaca, guna memenuhi permintaan Dewi
Siti Sundari, yang meminta tolong Prabu Anom Gathutkaca, dan sedang
mengalami kebingungan, karena suaminya sudah lama tidak pulang ke rumah.
Kala Bendana merasa sangat terhina dan tidak habis mengerti, mengapa saat dia
melaporkan hasil penyelidikannya tanpa sedikit pun dikurangi atau ditambah,
dia kok malah dimarahi keponakannya. Karena itu, Kala Banda lalu menyatakan
protes keras atas perlakuan Prabu Anom Gathutkaca kepada dirinya. Hasilnya?
Prabu Anom Gathutkaca malah semakin marah, karena beranggapan Kala
Bendana semakin tidak tahu adat. Menurut versi Gathutkaca, pamannya, Kala
Bendana sudah diberi 'kode' supaya diam dulu, dengan cara ditampar mulutnya,
tapi malah melakukan protes keras dan bercerita keras-keras soal
perselingkuhan Radyan Abimanyu, sambil terus nerocos, berkeluh-kesah soal
perlakuan keponakannya yang keterlaluan terhadap dirinya yang jauh lebih tua
umurnya. Akibatnya, Dewi Siti Sundari tak bisa lagi menahan beban kesedihan
hatinya, lalu jatuh pingsan! Dan, terjadilah kegemparan!
Dan, karena Kala Bendana tidak diam juga, maka dengan amarah yang sangat
memuncak, untuk kedua kalinya Prabu Anom Gathutkaca lalu memukul Kala
Bendana! Kali ini, pukulan Prabu Anom Gathutkaca benar-benar luar biasa
keras, sehingga membuat tubuh Kala Bendana terpental dan rubuh seketika.
Pukulan Prabu Anom Gathutkaca ternyata telah meremukkan wajah Kala
Bendana. Sebelum menemui ajalnya, Kala Bendana meneriakkan kutukannya,
yang menyatakan bahwa Gathutkaca akan mati dengan cara yang tak lazim,
untuk itu Kala Bendana akan 'mrayang' dan selalu menunggu tibanya saat
kematian Gathutkaca, dan saat kematian Gathutkaca itu tiba, Kala Bendana
akan menjemput sukmanya, untuk pergi dari alam janaloka bersama dirinya.
Sesaat setelah meneriakkan kutukannya, Kala Bendana akhirnya
menghembuskan nafas.......
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 18
Tentang Prabu Boma Nara Sura
Prabu Boma Nara Sura, mempunyai reputasi hitam di
masa lalu, karena telah membunuh dan memutilasi
permaisurinya, Dewi Hagnyanawati serta adik
kandungnya, Radyan Samba (seorang ksatria dari
Parang-Garuda); karena keduanya tertangkap basah
saat melakukan perselingkuhan. Perselingkuhan
permaisuri Prabu Boma Nara Sura, sebenarnya di
masa lalu dilatar-belakangi oleh kutukan kutukan
Sang Hyang Endra, saat memergoki putra-putri
kesayangannya, yaitu Bathara Darma (Bathara Ulam
Derma)[1] dan Bathari Dermi (Bathari Ulam
Dermi)[2] yang ternyata melakukan hubungan inses (hubungan sex antar
saudara kandung). Dengan penuh kemarahan, kedua putra-putrinya itu lalu
dikutuk oleh Sang Hyang Endra; dan di akhir kutukannya dinyatakan bahwa
keduanya nanti akan 'nitis' kepada dua orang manusia di alam janaloka. Bathara
Ulam Derma akan me-nitis kepada Radyan Samba, adik kandung Prabu Boma
Nara Sura. Sedangkan Bathari Ulam Dermi akan me-nitis kepada Dewi
Hagnyanawati, permaisuri Prabu Boma Nara Sura.
Pada saat pelaksanaan perayaan pernikahan agung Dewi Hagnyanawati dengan
Prabu Boma Nara Sura, untuk pertama kalinya bertemulah Dewi Hagnyanawati
dengan Radyan Samba. Saat itu, keduanya seakan seperti tersengat sejuta
halilintar, dan tiba-tiba saja tumbuh perasaan cinta di antara keduanya. Sejak
saat itu pula malam pengantin dan malam-malam seterusnya, tak pernah terjadi
apapun di dalam kehidupan Prabu Boma Nara Sura dan Dewi Hagnyanawati.
Pengantin baru itu, tak memperoleh kebahagiaan yang diidamkan. Malam-
malam selanjutnya menjadi malam-malam neraka jahanam. Dewi
Hagnyanawati hilang keinginnan hatinya melayani hasrat hati dan cinta sang
Prabu Boma Nara Sura. Ia bahkan membuat syarat yang maha berat dan
diperkirakan tak akan dapat dipenuhi oleh Prabu Boma Nara Sura, yaitu
meminta jalan tol yang lurus, yang menghubungkan Negeri Traju-Trisna dengan
negeri asal sang dewi. Padahal, jika jalan tol itu dibuat, maka akan menerjang
'wilayah tanah keramat' tempat para tetua dikebumikan, yaitu wilayah Astana
Gada-Madana.
Saat jalan tol ini sedang dalam proses pelaksanaan pembuatannya, Radyan
Samba yang sedang galau hatinya (sejak bertemu dengan Dewi Hagnyanawati,
isteri kakak kandungnya), pergi menemui saudara tuanya, yaitu Sang Guna-
Dewa. Kepada saudara tuanya yang seorang pertapa, Radyan Samba curhat dan
meminta nasehat. Radyan Samba juga menanyakan, mengapa tiba-tiba dia jatuh
hati kepada Dewi Hagnyanawati, sedangkan wanita itu kakak iparnya. Sang
Guna-Dewa yang halus perasaannya dan 'weruh sak durunge winarah', segera
bisa meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi. Secara tak sengaja, Sang
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 19
Guna-Dewa kelepasan pembicaraan dan menceritakan bahwa Radyan Samba
dan Dewi Hagnyanawati adalah titisan Bathara Ulam Derma dan Bathari Ulam
Dermi, yang di masa lampau karena perbuatan dan dosa yang dilakukannya, lalu
dikutuk oleh ayahandanya Sang Hyang Endra.
Mendengar penjelasan Sang Guna-Dewa, Radyan Samba seperti memperoleh
kekuatan dan pembenaran atas perasaan cintanya kepada kakak iparnya, Dewi
Hagnyanawati. Dan atas dasar hal itu pula, Radyan Samba lalu berusaha
menemui Dewi Hagnyanawati, yang ternyata juga mengalami perasaan yang
sama. Pertemuan gelap kedua insan itu, seperti mempertemukan kembali
Bathara Ulam Derma dan Bathara Ulam Dermi dalam wujud yang lain.
Keduanya, kembali mereguk asmara seperti saat mereka berdua masih berwujud
dewata, tanpa memperdulikan hubungan kekerabatan, persaudaraan, dan
statusnya sekarang. Hubungan gelap keduanya, kemudian kepergok para
punggawa Negeri Traju-Trisna dan keduanya akhirnya ditangkap oleh pihak
sekurit Negeri Traju-Trisna. Ringkas cerita, Prabu Boma Nara Sura yang
menghadapi masalah serius itu, semula marah besar dan merasa amat sangat
terhina. Tetapi, setelah melihat yang melakukan selingkuh ternyata adik
kandungnya sendiri, akhirnya luluhlah hatinya, dan memaafkan tindakan adik
kandungnya itu. Menurut versi Prabu Boma Nara Sura, ia selama ini toh 'belum
pernah meniduri' Dewi Hagnyanawati, meskipun mereka sudah agak lama
menikah. Jadi boleh dikatakan Dewi Hagnyanawati sebenarnya masih 'perawan'
dan masih suci. Penyebabnya? Dewi Hagnyanawati baru bersedia 'ditiduri' dan
melayani hasrat cinta Prabu Boma Nara Sura, jika persyaratan dan
permintaannya untuk membuat jalan tol antara Negeri Traju-Trisna dan negeri
asal sang dewi selesai dibuat dan sudah diresmikan pemakaiannya. Atas dasar
hal itulah, maka bahkan Prabu Boma Nara Sura akhirnya memutuskan untuk
menikahkan saja kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu, dari pada terus
berselingkuh dan menjalin hubungan gelap yang memalukan.
Niat itu, akhirnya juga disampaikan ke ayahandanya Prabu Kresna, dan usul itu
disetujui. Dalam perjalanan pulang dari Negeri Dwara-Wati ke Negeri Traju-
Trisna, Prabu Boma Nara Sura bersama kedua sejoli itu (Radyan Samba dan
Dewi Hagnyanawati) menaiki kendaraan terbang ruang angkasa yang disebut
'Wilmana' atau 'Wimana' (dalam mitologi India disebut 'vimana')[3] yang
berteknologi tinggi dan merupakan kendaraan yang dapat berpikir seperti
manusia, karena mengunakan teknologi 'artifisial intellegen' (AI). Saat dalam
perjalanan, kendaraan terbang yang canggih inilah yang berulang-ulang
memprovokasi Prabu Boma Nara Sura. Akibat ulah dan provokasi kendaraan
canggih yang bisa berpikir inilah, Prabu Boma Nara Sura tidak lagi bisa
mengendalikan dirinya dan akhirnya dengan penuh kemarahan membunuh
kedua sejoli ini dengan cara mencabik-cabik dan memutilasi tubuh keduanya.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 20
Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura
Kembali pada persoalan pencalonan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura, perdebatan menjadi semakin sengit di antara para pejabat tinggi
Negeri Amarta-Pura. Latar belakang kedua calon Panglima Operasi Angkatan
Bersenjata Amarta-Pura itu menjadi perdebatan yang kelihatannya tak
terkendali dan tak berkesudahan. Padahal, waktu sudah semakin mendesak, dan
keputusan harus segera dibuat. Secara politis dan sikap personal, kedua
calon Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura sebenarnya sudah
saling berdamai dan saling menghormati, meskipun di masa lalu keduanya
pernah saling bermusuhan. Di lain pihak, keduanya juga sudah saling
mengetahui keunggulan dan kelemahan masing-masing. Pada peristiwa 'Rebut
Kikis Tunggarana', perang terbatas itu berakhir dengan tidak ada yang menang
dan tidak ada yang kalah. Karena kedua pihak akhirnya ditengahi dan
didamaikan oleh Radyan Bima-Sena (ayahanda Prabu Anom Gathutkaca) dan
Prabu Kresna (ayahanda Prabu Boma Nara Sura). Sejak dicapainya gencatan
senjata dan perdamaian di antara Negeri Traju-Trisna dan Negeri Pringgandani,
hubungan kedua tokoh itu sebenarnya sudah membaik dan saling menghormati.
Dalam ketegangan proses pemilihan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura (Amarta-Pura), Prabu Boma Nara Sura menyatakan, bahwa jika
para kerabat Pandhawa memilih Prabu Gathutkaca sebagai Panglima Operasi
Angkatan Bersenjata Amarta-Pura, maka pilihan itu sama saja dengan
menyuruh Prabu Anom Gathutkaca bunuh diri. Itu pendapat Prabu Boma Nara
Sura. Argumentasinya? Menurut Prabu Boma Nara Sura, yang pertama, pada
saat terjadi perang terbatas dalam peristiwa 'Rebut Kikis Tunggarana', Prabu
Anom Gathutkaca ternyata tidak bisa mengalahkan dan tidak bisa membunuh
dirinya. Karena Prabu Boma Nara Sura mempunyai aji-aji 'Panca-Sona' atau aji-
aji 'Rawa-Rontek', yang membuat dirinya tidak bisa mati setiap kali tubuhnya
jatuh dan bersentuhan dengan permukaan bumi.
Jadi, meskipun Prabu Boma Nara Sura dibunuh seribu kali sehari, ia akan tetap
hidup kembali, setiap kali tubuhnya bersentuhan dengan permukaan bumi.
Kedua, semua kerabat Pandhawa tahu, bahwa jika nanti Prabu Anom
Gathutkaca ternyata harus berhadapan dengan Adipati Karna, dipastikan Prabu
Anom Gathutkaca akan terbunuh. Karena senjata peluru kendali canggih milik
Adipati Karna yang disebut senjata 'Konta', akan mengejar dan 'homing' pada
diri Prabu Anom Gatht-Kaca. Sedangkan menurut laporan dinas intelejen
Amarta-Pura, para kerabat Kurawa sekarang ini sedang mempertimbangkan
pengangkatan Adipati Karna sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Kurawa (Hastina-Pura). Jadi, menurut Prabu Boma Nara Sura, sebaiknya jangan
mengangkat Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan
Bersenjata Amarta-Pura. Sebaliknya, lebih tepat dan lebih baik mengangkat
dirinya (Prabu Boma Nara Sura) sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura. Dengan demikian, kematian Prabu Anom Gathutkaca yang
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 21
dipandang sebagai sia-sia oleh Prabu Boma Nara Sura, bisa dihindarkan. Selain
itu, dengan kemampuan dan kesaktiannya, Prabu Boma Nara Sura memberikan
jaminan bahwa kemenangan besar akan jatuh di pihak Pandhawa, karena ia
tidak akan bisa dibunuh oleh orang-orang Kurawa yang manapun.
Pernyataan politik dan sikap Prabu Boma Nara Sura itu, didengar oleh seluruh
kerabat Pandhawa dan para pejabat tinggi negara dan para pejabat tinggi militer,
yang saat itu sedang mempertimbangkan siapa yang akan diangkat sebagai
Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Tetapi, diam-diam ada
seorang pejabat tinggi penasehat Negeri Amarta-Pura, yang tidak setuju! Dia,
adalah Prabu Kresna, ayahanda Prabu Boma Nara Sura! Hal ini mengejutkan
semua peserta sidang penting itu. Argumentasi Prabu Kresna adalah sebagai
berikut.
Kedua tokoh calon Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura itu,
keduanya mempunyai masa lalu yang kelam. Keduanya, harus menebus
kesalahan dan dosa-dosanya. Demikian pendapat Prabu Kresna. Selain itu, jika
Prabu Boma Nara Sura dijadikan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura, maka tidak akan ada lawan yang sepadan dengan dirinya. Di luar
persoalan itu, Prabu Kresna juga sudah mengetahui, bahwa di dalam diri Prabu
Boma Nara Sura, ikut bersemayam sukma Prabu Bomantara, yang selalu
membayangi kehidupan Radyan Suteja (nama Prabu Boma Nara Sura, saat
masih muda, sebelum berhasil mengalahkan Prabu Bomantara).[4] Sukma
kedua yang merasukinya inilah, yang seringkali mempengaruhi sikap dan peri-
laku Prabu Boma Nara Sura, sehingga Prabu Boma Nara Sura seringkali
berubah menjadi bersikap dan berwatak jahat, saat ia sedang marah.
Meskipun Prabu Boma Nara Sura merupakan putera Prabu Kresna dari Sang
Hyang Bathari Pertiwi, dari Kahyangan Sapta Pratala, namun sejak ia kerasukan
sukma Prabu Bomantara dan sejak ia melakukan pembunuhan sadis terhadap
permaisuri (Dewi Hagnyanawati) dan adik kandungnya (Radyan Samba); Prabu
Kresna merasa bahwa Prabu Boma Nara Sura telah berubah watak dan tidak
lagi seperti puteranya saat masih muda. Karena itu, Prabu Kresna diam-diam
juga menginginkan kematian puteranya (Prabu Boma Nara Sura).
Pemilihan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura, telah membuka
jalan bagi Prabu Kresna untuk 'melenyapkan' puteranya, yang di matanya sudah
bukan merupakan puteranya lagi. Karena itu pula Prabu Kresna bersikeras untuk
mencalonkan Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan
Bersenjata Amarta-Pura, meskipun semua orang tahu, hal itu sama saja dengan
mengorbankan Prabu Anom Gathutkaca. Tetapi, Prabu Kresna sebagai
penasehat tertinggi Negeri Amarta-Pura, dengan segala kekuasaan dan
kecanggihan strateginya, secara diam-diam menyampaikan kepada para tetua
dan penguasa Negeri Amarta-Pura, bahwa keputusan mengangkat Prabu Anom
Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 22
merupakan sebuah keputusan yang paling tepat, dipandang dari segala sudut dan
strategi.
Saat mendengar paparan argumentasi Prabu Kresna, seluruh kerabat Pandhawa
terdiam. Pernyataan bahwa di dalam tubuh Prabu Boma Nara Sura bersemayam
sukma lain, yaitu sukma Prabu Boma Naraka-Sura; yang bersifat sangat agresif,
intimidatif, jahat, dan buruk; membuat semua kerabat Pandhawa memikirkan
berbagai kemungkinan yang akan terjadi, jika Prabu Boma Nara Sura diangkat
menjadi Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Apalagi, jika
kemudian ternyata berhasil memenangkan seluruh pertempuran Barata-Yudha
dan memusnahkan seluruh kerabat Kurawa. Apa yang akan terjadi? Saat
kemenangan telah dicapai, dan kerabat Kurawa telah punah, tidak tertutup
kemungkinan sukma kedua dalam diri Prabu Boma Nara Sura akan
memprovokasi Prabu Boma Nara Sura. Jika hal ini terjadi, maka situasi pasca
Perang Barata-Yudha bisa berbalik!
Sukma kedua dalam diri Prabu Boma Nara Sura bisa saja memprovokasi dan
mempengaruhi sikap dan membuat Prabu Boma Nara Sura berbalik memusuhi
kerabat Pandhawa, dengan tujuan supaya seluruh kerabat Pandhawa lenyap dari
muka bumi. Jika hal ini terjadi, maka Prabu Boma Nara Sura akan menjadi
penguasa tunggal jagat raya tanpa tandingan. Menurut Prabu Kresna,
kemenangan para Pandhawa atas para kerabat Kurawa, tidak boleh menjadi
senjata makan tuan, yang bisa berakhir dengan punahnya seluruh kerabat
Padhawa. Atas dasar ini, Prabu Kresna meminta Radyan Bima-Sena untuk
merelakan dan mengiklaskan, jika memang Prabu Anom Gathutkaca harus
gugur di medan perang Barata-Yudha. Pengorbanan ini, menurut Prabu Kresna
merupakan konsekuensi logis dari sebuah keputusan, tindakan politik, dan
perjuangan menegakkan kebenaran; yang sedang diperjuangkan oleh seluruh
kerabat Pandhawa dan sekutunya. Secara jelas dan gamblang, Prabu Kresna
menjelaskan kepada seluruh kerabat Pandhawa, bahwa pada hari-hari
berikutnya, akan gugur dua putera Pandhawa dan sekutunya, yaitu Prabu Anom
Gathutkaca dan Prabu Boma Nara Sura.
Saat mendengar penjelasan Prabu Kresna, seluruh tetua dan kerabat Pandhawa
diam terpaku. Radyan Bima-Sena yang merasa bahwa puteranya secara sengaja
hendak dikorbankan oleh Prabu Kresna, merasa bahwa keputusan itu sangat
tidak adil bagi dirinya. Karenanya, Radyan Bima-Sena dengan perasaan marah
mempertanyakan, bagaimana bisa seorang penasehat tertinggi negeri Amarta-
Pura seperti Prabu Kresna, sampai tega mengorbankan Prabu Anom Gathutkaca
yang notabene adalah keponakannya sendiri, sementara anaknya sendiri, Prabu
Boma Nara Sura diam-diam diselamatkan dan sama sekali tidak dikorbankan.
Mendengar pertanyaan Radyan Bima-Sena yang disampaikan dengan penuh
kemarahan, Prabu Kresna terdiam sesaat. Suasana menjadi tegang.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 23
Dalam ketegangan yang semakin memuncak itu, Prabu Kresna berkata,
lengkingan kata-katanya menggaung di dalam ruang pakuwon: "Bima, saya juga
akan berkorban. Sama dengan pengorbananmu. Bahkan mungkin engkau tidak
terbayangkan apa yang akan terjadi, dan dosa apa yang akan ditimpakan kepada
diriku. Dengarkan penyataanku ini. Jika nanti saatnya tiba, saya sendiri yang
akan membunuh anak kesayanganku Boma Nara Sura. Engkau pasti tidak akan
bisa merasakan bagaimana perasaan hatiku saat harus membunuh anak
kesayanganku. Meskipun sekarang ia sudah berubah, karena kerasukan sukma
Prabu Boma Naraka-Sura, tetapi bagaimanapun juga ia tetap anak
kesayanganku. Karena peri-laku dia yang kerasukan sukma Prabu Boma
Naraka-Sura, saya juga sudah kehilangan anak, yaitu Radyan Samba, dan juga
kehilangan menantuku Dewi Hagnyanawati, yang sudah dibunuh oleh Boma
Nara Sura." Semua hadirin yang mendengar kata-kata Prabu Kresna, terdiam
seribu bahasa......
Maka hari itu pula, suatu keputusan yang maha sukar itu sudah dibuat. Para
kerabat Pandhawa akhirnya memutuskan, Prabu Anom Gathutkaca diangkat
menjadi Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura! Berita segera
tersebar luas! Bahkan, dalam waktu yang sangat singkat, berita itu juga telah
sampai ke telinga pada kerabat Kurawa, yang dengan segera lalu memutuskan
untuk mengangkat Adipati Karna sebagai Panglima Operasi Angkatan
Bersenjata Hastina-Pura. Kegemparan segera merebak di
seluruh pakuwon Pandhawa dan Kurawa. Semua orang memperbincangkan
pengangkatan kedua panglima perang masing-masing. Berita televisi dan radio
penuh dengan breaking news dan ulasan para pengamat militer tentang
pengangkatan kedua tokoh penting itu.
Di luar segala hiruk-pikuk itu, diam-diam Radyan Bima-Sena merasakan
kesedihan hati yang luar biasa. Perasaan bahwa putera kesayangannya telah
dikorbankan dengan sengaja oleh Prabu Kresna, tetap tak bisa dilenyapkan dari
hati sanubarinya. Hatinya tetap tidak bisa menerima. Sementara semua saudara-
saudaranya hanya melihat dirinya tanpa komentar apapun. Semuanya seakan
mendiamkan dirinya. Radyan Bima-Sena merasa, seakan-akan ikut
mengorbankan puteranya, hanya untuk melestarikan kekuasaan dirinya sebagai
kerabat Pandhawa. Ada perasaan malu, sendu, dan sedih tak bisa dikatakan; saat
memikirkan dan membayangkan bagaimana seorang ksatria ternama seperti
dirinya, bisa bertahan di pusat kekuasaan Negeri Amarta, dengan mengorbankan
putera kesayangannya.
Radyan Bima-Sena merasakan dunia begitu hampa. Ia merasa kesepian di antara
keramaian di sekitarnya. Beban emosi dan perasaan yang sedemikian berat, tak
tertanggungkan oleh seorang Bima-Sena, sehingga akhirnya tubuhnya limbung.
Dunianya semakin lama semakin gelap. Penglihatannya semakin lama semakin
kabur. Ia tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya yang tinggi besar, akhirnya rubuh.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 24
Radyan Bima Sena pingsan! Kegemparan pun terjadi. Oleh sejumlah kerabat,
tubuhnya diangkat dan dipindahkan ke ruang tidur dalam pakuwon......
Berita tentang pengangkatan Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi
Angkatan Bersenjata Amarta-Pura dalam sidang tertutup para kerabat
Pandhawa, akhirnya terdengar pula oleh Prabu Boma Nara Sura. Entah apa yang
terjadi, ia tidak bisa merasakan. Tiba-tiba saja timbul rasa marah yang luar
biasa. Seakan dendam kesumatnya kepada Prabu Anom Gathutkaca tiba-tiba
muncul kembali ke atas permukaan. Prabu Boma Nara Sura bergegas
menghadap para kerabat Pandhawa. Tanpa menunggu dan tanpa basa-basi, ia
bertanya mengapa usulannya untuk mengangkat dirinya sebagai Panglima
Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura ditolak. Semua kerabat Pandhawa
yang mendengar pertanyaan tajam itu, terdiam dan semua mata mengarah
kepada Prabu Kresna.
Suasana mendadak berubah menjadi tegang. Karena semua orang melihat
kepada dirinya, maka perlahan-lahan Prabu Kresna maju ke depan dan berusaha
menjelaskan dengan kalimat yang terasa sangat ditata, dan dinyatakan secara
perlahan-lahan. Tetapi, yang keluar dari mulut Prabu Kresna hanyalah kalimat
pendek: "Boma anakku, ketahuilah, semua manusia harus mempertanggung-
jawabkan peri-laku dan dosa-dosanya."
Mendengar kalimat ayahandanya Prabu Kresna itu, entah apa yang terjadi,
Prabu Boma Nara Sura tiba-tiba berteriak memaki: "Bangsat! Jadi, inilah yang
terjadi. Persekongkolan untuk dengan sengaja membunuh adikku si Gathutkaca!
Saya kan sudah bilang, begitu berita pengangkatan Gathutkaca sebagai
Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura tersebar dan sampai ke
telinga para bedebah Kurawa itu, pasti Adipati Karna yang akan diangkat
sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Kurawa untuk menandingi
adikku si Gathutkaca! Apa semua tetua dan para gegeduk penguasa Pandhawa
sudah sedemikian bodohnya, sampai tega mengorbankan adikku si Gathutkaca
hah....? Apa apa sih dengan kalian semua....?" Dan, masih banyak lagi kalimat
umpatan dan caci-maki yang disampaikan dengan berteriak oleh Prabu Boma
Nara Sura, tanpa memperdulikan lagi tata-krama. Seluruh yang hadir di dalam
ruang pakuwon itu terperangah. Seakan, mereka berhadapan dengan seorang
yang sangat asing. Seorang yang berkata dengan kalimat tajam di hadapan
mereka itu, seakan seperti bukan Prabu Boma Nara Sura yang selama ini
mereka kenal.
Kalimat-kalimat yang diucapkan Prabu Boma Nara Sura itu, membuat telinga
para tetua Pandhawa menjadi merah. Beberapa di antara mereka itu, berbisik-
bisik antar sesamanya. Prabu Kresna berusaha menenangkan para hadirin dan
para tetua kerabat Pandhawa. Tiba-tiba terdengar teriakan Prabu Boma Nara
Sura: "Begini sajalah...., saya menantang kalian semuanya, termasuk adikku
Gathutkaca, untuk membuktikan di hadapan kalian semua, bahwa saya Boma
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 25
Nara Sura, jauh lebih pantas menjadi Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura dibanding kalian semua!"
Mendengar kalimat tantangan itu, Prabu Kresna tiba-tiba timbul amarahnya. Ia
maju, berdiri tegak, tepat di hadapan Prabu Boma Nara Sura, sambil berkata tak
kalah keras: "Boma...., jangan banyak bicara! Coba kamu kalahkan si
Gathutkaca! Jika dia bisa kau kalahkan, maka jabatan Panglima Operasi
Angkatan Bersenjata Amarta-Pura akan diserahkan kepadamu!" Mendengar
kata-kata ayahandanya, tanpa menunggu lagi Prabu Boma Nara Sura bergegas
ke luar, menuju lapangan luas di depan pakuwon Pandhawa. Prabu Boma Nara
Sura segera menaiki kendaraan ruang angkasanya, Garuda Wilwana. Beberapa
saat kemudian Prabu Anom Gathutkaca pun ke luar menemuinya. Tiba-tiba saja
sudah terjadi pertempuran di antara keduanya.
Tanpa ada yang mengetahui, ternyata berita pertempuran keduanya, sampai juga
ke pihak Kurawa. Mereka juga segera melakukan analisis secara cermat.
Laporan intelejen yang menyatakan bahwa Prabu Boma Nara Sura tidak akan
bisa mati, meskipun terbunuh seribu kali sehari, selama tubuhnya tersentuh
permukaan bumi, membuat para kerabat Kurawa was-was. Mereka juga sampai
pada kesimpulan, jika Prabu Boma Nara Sura sampai bisa memenangkan
pertempuran melawan Prabu Anom Gathutkaca, maka seluruh kerabat Kurawa
bisa dilibas habis, karena ia dipastikan tidak akan ada yang bisa
mengalahkannya.
Dan, akhirnya para kerabat Kurawa itu sampai pula pada pemikiran untuk
menghentikan sementara Perang Barata-Yudha! Ya, harus dilakukan 'gencatan
senjata' sementara! Prabu Suyudana yang kebingungan saat mendengar laporan
dinas intelejen Hastina-Pura yang datang terus-menerus dan bertubi-tubi, tiba-
tiba membuat keputusan yang sangat penting. Ia memutuskan untuk mengirim
sejumlah besar pasukan Hastina-Pura dan sekutunya ke Amarta-Pura, dengan
tujuan 'membantu' pihak Pandhawa untuk melenyapkan Prabu Boma Nara Sura
dan kekuatan militernya. Keputusan penting lainnya yang dibuat adalah, Adipati
Karna tidak diperbolehkan ikut serta, supaya kehadiran tentara Kurawa tidak
dicurigai sebagai upaya menepuk di air keruh. Semua kerabat Kurawa sepakat,
yang harus dilenyapkan dari muka bumi lebih dahulu adalah Prabu Boma Nara
Sura. Jika hal ini bisa direalisasi, maka persoalan Gathutkaca merupakan hal
sepele, yang nantinya pasti bisa diselesaikan oleh Adipati Karna. Para kerabat
Kurawa itu tersenyum lebar, dan semuanya memuji keputusan Prabu Suyudana
yang dipandang sangat strategis, jenius, dan brilian.
Bala tentara Hastina-Pura beserta sekutunya itu, disepakati dipimpin oleh Maha
Patih Sangkuni, yang terkenal pandai berdiplomasi, licin bagaikan belut, dan
pandai memutar-balikkan fakta. Keputusan soal siapa yang menjadi pemimpin
tertinggi pasukan Hastina-Pura ini pun disambut dengan gembira. Sekali lagi,
para kerabat Kurawa memberikan tepuk tangan gegap gempita ‘mbata
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 26
rubuh’ serta pujian setinggi langit kepada Prabu Suyudana, yang secara
gemilang dan sangat cerdik telah membuat keputusan yang tepat dan sangat
strategis. Dan, pada akhir rapat sidang kenegaraan Hastina-Pura itu, juga
diputuskan untuk membekali Maha Patih Sangkuni dengan „surat penyataan
gencatan senjata‟ dan surat „pernyataan kesediaan‟ pihak Hastina-Pura untuk
membantu pihak Amarta-Pura dalam upaya memerangi dan melenyapkan Prabu
Boma Nara Sura dari muka bumi.
Empat keputusan maha penting dan sangat strategis, telah dibuat oleh Prabu
Suyudana hanya dalam beberapa menit! Wooooow…. Hal ini belum pernah
terjadi dalam sejarah panjang Negeri Hastina-Pura! Teriakan “Hidup Prabu
Suyudana” dan teriakan “Hidup Negeri Hastina-Pura” berulang-ulang bergema
gegap-gempita di dalam ruang pakuwon Hastina-Pura yang mewah dan sangat
besar itu. Senyum lebar penuh kebanggaan, tersungging di wajah sang Prabu
Suyudana. Seakan-akan kemenangan Perang Barata-Yudha sudah
diraih. Minuman dan makanan lezat segera disuguhkan kepada seluruh hadirin,
untuk merayakan dibuatnya keputusan penting hari itu. Bunyi denting gelas
minuman beradu dengan gelas minuman di tangan para hadirin, seakan
memberikan pertanda bahwa mereka semua sedang merayakan sebuah
kemenangan besar……
Sesuai dengan strategi dan kebijakan yang telah dinyatakan sang Prabu
Suyudana, segera setelah selesai dengan sidang kenegaraan yang amat sangat
penting itu, segera diadakan „konferensi pers‟. Para wartawan dalam negeri dan
luar negeri dari berbagai kantor berita, stasiun televisi, dan stasiun radio;
berdesak-desak di depan ruang pakuwon Hastina-Pura, menginginkan berita
paling mutakhir, yang dipastikan akan membuat pemirsa dan mendengar di
seluruh jagat terpana! Dalam hitungan detik, berita tentang apa yang terjadi di
Negeri Hastina-Pura itu segera menyebar ke seantero jagat.
Kegemparanpun tiba-tiba terjadi di Negeri Traju-Trisna. Panglima Tentara
Nasional Traju-Trisna, Maha Patih Pancat-Nyana, tiba-tiba menerima laporan
dinas intelejen Traju-Trisna yang menyatakan adanya gerakan mencurigakan
pasukan Hastina-Pura secara besar-besaran, yang diperkirakan sedang menuju
kepakuwon Traju-Trisna dan Pandhawa! Dinas intelejen Amarta-Pura juga
melaporkan hal yang sama. Belum lagi kebingungan para kerabat Pandhawa dan
Traju-Trisna itu selesai, di pakuwon Pandhawa tiba-tiba datang Maha Patih
Sangkuni bersama sejumlah pengawal, sambil mengibarkan bendera putih tanda
perdamaian. Kepada para tetua Pandhawa Maha Patih Sangkuni menyampaikan
surat resmi dari Prabu Suyudana. Tanpa menunda waktu, sidang darurat segera
dilakukan secara tergesa-gesa, guna membahas kedatangan Maha Patih
Sangkuni yang membawa surat permintaan 'gencatan senjata sementara' pihak
Kurawa dan sekutunya; juga tentang surat kesediaan pihak Kurawa untuk
membantu Pandhawa dalam upaya mengalahkan Prabu Boma Nara Sura dan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 27
kekuatan militernya. Semua kejadian ini sangat mengejutkan para kerabat
Pandhawa dan seluruh sekutunya.
Rapat penting kerabat Pandhawa dan sekutunya masih berlangsung, ketika tiba-
tiba datang laporan intelejen yang disampaikan kepada Maha Patih Pancat-
Nyana, yang menyatakan bahwa Prabu Boma Nara Sura dan Prabu Anom
Gathutkaca tengah terlibat pertempuran sengit. Semua itu serba
membingungkan! Lebih membingungkan lagi, tersebar berita yang belum bisa
dipastikan kebenarannya, bahwa saat ini pihak Hastina-Pura sedang melakukan
perundingan resmi dengan pihak Amarta-Pura, untuk melenyapkan Prabu Boma
Nara Sura! Maha Patih Pancat-Nyana tidak habis mengerti! Bagaimana bisa,
Prabu Boma Nara Sura yang jelas-jelas berpihak kepada kerabat Pandhawa,
dikabarkan sedang bertempur melawan Prabu Anom Gathutkaca yang juga
kerabat Pandhawa. Para analisis dinas intelejen Negeri Traju-Trisna segera
melakukan analisis dan mencernati segala laporan dan berita yang semuanya
serba membingungkan itu.
Dan, di akhir proses analisis berbagai laporan intelejen itu, para pejabat militer
Negeri Traju-Trisna sampai pada kesimpulan, „dipastikan ada provokator di
dalam tubuh pihak Negeri Amarta-Pura dan sekutunya, yang telah dengan amat
sangat sukses telah berhasil membuat seluruh persekutuan kekuatan militer
Pandhawa menjadi pecah berantakan!‟ Ini merupakan kesimpulan paling
penting, yang dibuat oleh Kepala Dinas Rahasia Negeri Traju-Trisna. Dan, yang
lebih mengejutkan lagi, tersiar berita-berita dalam laporan intelejen paling
mutakhir, bahwa yang bertindak sebagai provokator adalah Prabu Kresna,
pejabat tertinggi dalam Biro Keamanan Nasional (National Security Agency,
NSA) Negeri Amarta-Pura. Berita ini, bagaikan sambaran halilintar di siang
bolong bagi Maha Patih Pancat-Nyana! Sangat aneh dan tidak di akal Maha
Patih Pancat-Nyana, bagaimana bisa ayahanda Prabu Boma Nara Sura, justru
bertindak sebagai provokator yang bisa saja berakibat jatuh korban di pihaknya
sendiri. Bisa saja Prabu Anom Gathutkaca, Prabu Boma Nara Sura, atau
keduanya gugur dalam pertempuran sengit di antara keduanya. Memikirkan hal
ini, Maha Patih Pancat-Nyana diam terpaku, termenung, dan tak mengerti;
bagaimana semua ini bisa terjadi.
Bagaimanapun juga, Maha Patih Pancat-Nyana harus membuat keputusan,
sementara junjungannya, Prabu Boma Nara Sura sedang tidak berada di tempat.
Jika nanti ternyata ada kesalahan dalam pembuatan keputusan penting, tentu
seluruh kesalahan akan ditumpukan kepadanya. Maha Patih Pancat-Nyana
beserta keempat Kepala Staf Angkatan Bersenjata Negeri Traju-Trisna segera
melakukan rapat tertutup. Dalam rapat penting itu, akhirnya disepakati bahwa
karena Prabu Boma Nara Sura sedang tidak ada di tempat, dan diketahui sedang
dalam bahaya; maka demi menjamin keselamatan Prabu Boma Nara Sura dan
Negeri Traju-Trisna, segala keputusan dan wewenang harus diambil alih oleh
Maha Patih Pancat-Nyana.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 28
Setelah diam sesaat, Maha Patih Pancat-Nyana tanpa ragu-ragu sedikitpun
berkata: “Baiklah…., sesuai dengan wewenang, hak, dan kewajiban yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negeri Traju-Trisna, maka seluruh
wewenang Prabu Boma Nara Sura sejak saat ini saya ambil-alih sementara,
sampai sang Prabu Boma Nara Sura berada kembali di lingkungan kita dengan
selamat. Sekarang, saya perintahkan kepada seluruh jajaran wadya-bala tentara
Negeri Traju-Trisna untuk segera bersiaga dan bersikap waspada. Persiapkan
seluruh persenjataan. Jika ada gerakan pasukan yang mencurigakan, dari mana
pun itu, segera lakukan serangan secara besar-besaran. Jangan perdulikan lagi,
apakah serangan itu berasal dari pihak Pandhawa atau dari pihak Kurawa. Sejak
saat ini, kita tidak lagi bisa mempercayai pihak mana yang sebenarnya
merupakan sekutu Negeri Traju-Trisna. Sejak saat ini pula, kita tidak bisa lagi
berbagi informasi dengan pihak mana pun. Laporan intelejen paling mutakhir,
justru menunjukkan, bahwa semua pihak kerabat Kurawa dan sekutunya, yang
semula menjadi musuh para kerabat Pandhawa; ternyata telah bergabung
bersama-sama. Saya belum bisa menetapkan secara pasti, apakah hal ini
merupakan pertanda bahwa mereka semua telah berbalik dan akan memerangi
Negeri Traju-Trisna. Tetapi, jika melihat gelagat dengan telah terjadinya
pertempuran antara sinuwun Prabu Boma Nara Sura dengan Prabu Anom
Gathutkaca; saya sementara ini dapat menyimpulkan dan memastikan, bahwa
rupanya telah terjadi upaya untuk melenyapkan eksistensisinuwun Prabu Boma
Nara Sura, dan juga seluruh kekuatan Negeri Traju-Trisna. Karenanya, sejak
saat ini saya memutuskan dan memerintahkan, supaya seluruh jajaran kekuatan
militer Negeri Traju-Trisna ditarik dari persekutuan dengan Negeri Amarta-
Pura.” Semua pejabat tinggi Negeri Traju-Trisna yang terlibat dalam rapat
terbatas itu menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Dalam waktu yang amat singkat, seluruh kekuatan militer Negeri Traju-Trisna
yang terkenal sangat kompak, loyal, dan disiplin itu; sudah ditarik mundur
menjauhi wilayah sekitar Palagan Kuru-Setra. Dalam waktu yang amat singkat
pula, segera terlihat adanya dua pihak kekuatan militer yang saling berhadapan
dalam jarak yang cukup jauh. Di salah satu sisi, terlihat jajaran bala tentara
Negeri Traju-Trisna, sedangkan di sisi lainnya terlihat gabungan bala tentara
yang berasal dari enam negara, termasuk Negeri Amarta-Pura dan Hastina-Pura.
Dari sikap yang ditunjukkan, terlihat bahwa kedua jajaran bala tentara itu, siap
siaga untuk bertempur. Tinggal menunggu komando serangan saja. Di medan
tempur semuanya berlangsung secara senyap. Semua gerakan, dilakukan secara
diam-diam. Meskipun demikian, masing-masing pihak sebenarnya bisa saling
mengamati apa yang sedang terjadi di seberang tempat kedudukan masing-
masing.
Maha Patih Pancat-Nyana bersama keempat Kepala Staf Tentara Nasional
Traju-Trisna, dengan teropong jarak jauhnya, mengamati kedudukan jajaran
bala tentara yang berada jauh di seberang tempat pertahanan pasukannya. Di
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 29
kejauhan, bergerak-gerak seperti gelombang bayangan hitam, terlihat gabungan
tentara enam negara membayang di batas cakrawala. Di antara kedua jajaran
pasukan besar itu, terbentang medan Palagan Kuru-Setra yang terlihat diam
menunggu datangnya kematian dan tumpahan darah. Suasananya semakin lama
menjadi semakin mencekam. Debumangampak-ampak tertiup samirana di
Palagan Kuru-Setra, membuat pandangan menjadi kabur. Awan debu yang
tertiup angin itu, beberapa saat lamat-lamat seperti menampakkan wujud
Bathara Yama-Dipati, sang pencabut nyawa. Sesekali, juga menampakkan
bayangan seperti Bathara Kala, sang pemakan nasib manusia di alam janaloka.
Bayangan debu yang mangampak-ampak tertiup angin itu, semakin membuat
medan Palagan Kuru-Setra tampak seperti neraka yang menggelegak di
alamjanaloka. Namun, di seluruh sisi Palagan Kuru-Setra semuanya diam
membisu, meskipun memendam ketegangan luar biasa……
Jauh di ruang angkasa, pertempuran antara Prabu Boma Nara Sura dan Prabu
Anom Gathutkaca masih berlangsung sengit. Setiap kali Prabu Anom
Gathutkaca berhasil membunuh Prabu Boma Nara Sura, setiap kali pula ia
hidup kembali. Aji-aji Panca-Sona atau aji-aji Rawa Rontek bekerja baik sekali
hari ini, sehingga membuat Prabu Anom Gathutkaca habis akal. Pendar-pendar
pertempuran, dari kejauhan terlihat membiaskan warna api yang menyemburat,
ditimpa suara ledakan-ledakan dahsyat berulang kali. Seperti kata para tetua
Pandhawa yang setiap kali memberi petuah kepada Prabu Anom Gathutkaca,
“Seribu kali engkau berhasil membunuh Boma Nara Sura, seribu kali pula ia
akan hidup kembali.” Kalimat nasehat para tetua itu, selalu mengiang-ngiang di
telinga Prabu Anom Gathutkaca, seakan memberi tahu dirinya, bahwa ia tak
akan bisa memenangkan pertempuran itu.
Di antara kesibukannya melawan serangan Prabu Boma Nara Sura, tiba-tiba saja
Prabu Anom Gathutkaca seperti mendengar ada sesuatu bisikan di telinganya. Ia
seperti mengenali suara yang membisikkan itu. Bisikan itu seperti bercerita
tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Seakan mengingatkan
kembali pada perang terbatas dalam peristiwa Rebut Kikis Tunggarana. Bisikan
itu semakin jelas: “Gathutkaca…., di masa perang terbatas dalam peristiwa
Rebut Kikis Tunggarana, engkau hampir saja bisa dikalahkan oleh Boma Nara
Sura, saat topeng baja pelindung wajahmu berhasil dihancurkan oleh Boma
Nara Sura. Tetapi ada peristiwa yang sangat menguntungkan dirimu saat itu,
dan persitiwa itulah yang membuat dirimu selamat dan sampai sekarang
membuat dirimu masih bisa hidup, yaitu senjata yang dipakai Boma Nara Sura
untuk menghancurkan topeng baja pelindung wajahmu itu, ternyata ikut hancur.
Leburnya senjata milik Boma Nara Sura dan topeng baja pelindung wajahmu
itu, yang terbukti telah menyelamatkan jiwamu itu, ternyata engkau lupakan,
hanya karena engkau dan Boma Nara Sura setelah peristiwa Rebut Kikis
Tunggarana itu, berhasil mencapai perdamaian. Engkau bahkan sama sekali
tidak tahu, apa yang kemudian terjadi dengan senjata milik Boma Nara Sura dan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 30
topeng baja pelindung wajahmu itu.” Mendengar bisikan itu, Prabu Anom
Gathutkaca mulai memikirkan. Suara bisikan siapakah itu? Dan, mengapa
bisikan itu menceritakan kembali peristiwa yang sudah hampir dilupakannya?
Tetapi, kesibukan melawan serangan Prabu Boma Nara Sura, telah membuat
Prabu Anom Gathutkaca tidak bisa memikirkan lebih lanjut.
Beberapa saat kemudian, Prabu Anom Gathutkaca mendengar kembali bisikan
itu. “Topeng baja pelindung wajahmu dan senjata milik Boma Nara Sura itu,
sebenarnya merupakan dua teknologi yang amat sangat mutakhir. Engkau dan
Boma Nara Sura bahkan sama sekali tak akan bisa membayangkan apa yang
sudah terjadi dengan kedua benda itu. Engkau sama sekali tak menyadarinya.
Begitu juga Boma Nara Sura. Penyebabnya? Engkau dan Boma Nara Sura
terlanjur terbuai oleh perdamaian yang amat sangat menyenangkan dan
membahagiakan. Karena perdamaian itu telah menyelamatkan dirimu dan Boma
Nara Sura. Bahkan engkau dan Boma Nara Sura sesaat setelah berdamai, saling
berpelukan dan saling memaafkan. Dan, sejak saat itu, engkau dan Boma Nara
Sura bahkan kembali dengan bergandeng tangan layaknya saudara kandung
yang sudah lama terpisah dan tak bertemu. Tetapi, jika saja salah satu di antara
engkau berdua sadar akan hal itu, maka pertempuran hari ini tak akan ada dan
tak akan pernah terjadi. Karena dipastikan salah satu darimu, entah Boma Nara
Sura atau dirimu pasti sudah lama lenyap dari muka bumi.”
Mendengar bisikan itu, Prabu Anom Gathutkaca mencoba memikirkan kembali
seluruh peristiwa yang sudah lama terjadi dan hampir saja membuat dirinya
terbunuh. Tetapi, ingatannya hanya sebatas sampai kepada peristiwa
perdamaian yang membahagiakan dirinya. Selanjutnya, tak ada lagi yang bisa
diingatnya lagi. Atau, lebih tepat jika dikatakan bahwa ia memang tak pernah
berusaha memikirkannya lagi.
Bisikan itu mengiang lagi: “Topeng baja pelindung wajahmu dan senjata milik
Boma Nara Sura itu, sebenarnya sama sekali tidak hancur, tetapi tanpa kau
ketahui ternyata telah menyatukan diri, dan mengubah fungsinya menjadi
sebuah senjata baru yang sangat mutakhir, berupa jala raksasa yang tak nampak
oleh penglihatan manusia. Selama ini, jala raksasa yang tak nampak itu,
mengambang di atas permukaan bumi. Benda itu, dulu terlempar dan jatuh
mengambang di atas suatu lapang rumput luas padhang pangonan di wilayah
hutan Kikis Tunggarana. Tentu saja tidak ada yang berhasil menemukannya,
karena benda itu memang tidak tampak di mata manusia maupun binatang.
Sejauh ini, hanya mata para dewa yang bisa melihat keberadaannya.” Prabu
Anom Gathutkaca terperangah oleh informasi baru itu, tetapi ia memang sama
sekali tak pernah menyangka bahwa topeng baja pelindung wajahnya dan
senjata milik Boma Nara Sura bisa bersatu dan malah berhasil mengubah diri
menjadi suatu senjata baru yang tak terbayangkan kemampuannya.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 31
Telinga Prabu Anom Gathutkaca masih terdengar mengiang-ngiang bisikan:
“Engkau pasti masih ingat „kata sandi‟ yang kau pakai untuk memakai dan
membuka topeng baja pelindung wajahmu. Jika engkau bisa mengingat kembali
apa kata sandi yang harus kau ucapkan untuk „memanggil‟ topeng baja
pelindung wajahmu itu, maka engkau akan bisa „memanggil dan menempatkan‟
senjata baru itu supaya benda itu pergi ke tempatmu sekarang. Satu-satunya
kesulitan yang terjadi, adalah engkau tetap tidak akan bisa melihat keberadaan
benda itu, karena sifatnya yang tak nampak oleh mata manusia. Tetapi,
keberadaan benda itu tetap bisa kau amati dari tersangkutnya burung yang
sedang terbang dan kemudian tersangkut karena menabrak jaring raksasa yang
tak nampak itu.” Begitu mendengar bisikan yang terakhir itu, seperti tersengat
aliran listrik bertegangan jutaan volt, Prabu Anom Gathutkaca segera tersadar!
Jadi…., ia harus bisa membunuh Prabu Boma Nara Sura dan segera
menjatuhkan tubuh lawannya itu tepat di atas jaring raksasa yang tak nampak di
mata manusia. Ini merupakan pekerjaan yang tak terlampau sukar bagi Prabu
Anom Gathutkaca, andai saja ia masih segar. Tetapi karena pertempuran yang
sudah berlangsung sedemikian lamanya, ternyata telah menguras habis hampir
seluruh tenaga dan pikiran Prabu Anom Gathutkaca.
Prabu Anom Gathutkaca berusaha memikirkan dan mengingat kembali, apa
„kata sandi‟ yang dipakai untuk memanggil „benda yang terlupakan itu‟. Prabu
Anom Gathutkaca hanya ingat bahwa kata sandi itu berupa
tembang mantra sulukan dhalang yang amat panjang. Lama ia tak dapat
mengingat bait-bait syairnya, meskipun ia sudah berusaha mengingatnya.
Tetapi, perlahan-lahan ia seperti bisa melihat ada bayangan tulisan kuno yang
berisi kata sandi itu di pelupuk matanya. Tulisan berisi syairmantra tembang
kuno, yang dulu biasa ditembangkannya jika ia ingin melindungi dirinya.
Seperti terbangun dari mimpi, Prabu Anom Gathutkaca memejamkan mata,
berusaha memperjelas penglihatan batinnya. Lalu, di dalam bayangan matanya,
tiba-tiba seperti terpapar lembar-lembar ‘ron tal’ yang berisi bait-bait syair
tembang mantra sulukan dhalang. Deretan huruf kuno yang semula terlihat
membayang kabur, bergerak-gerak seperti mengambang di atas ombak samodra.
Lalu, perlahan-lahan semakin lama semakin tenang dan semakin jelas. Dan,
akhirnya Prabu Anom Gathutkaca seperti bisa melihat jelas, apa yang terbayang
di pelupuk matanya…..
O,
Kamahatmyan setyaning tanaya,
Mangaji mangastuti laku utami,
Myang ingajara ilmu kang winadi,
O,
Kayogyan ika huriping driya,
Lir pawarahing dewa,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 32
Kang winarah ing jaman parwa,
Sangsaya isti istyakara kang utama,
O,
Pindha manikam cahyanya,
O,
O……[5]
Prabu Anom Gathutkaca segera mencoba membaca bayangan kata-kata bait
tembang mantra sulukan dhalang itu. Semula tidak lancar. Lalu, perlahan-lahan
seluruh ingatannya kembali ke masa lampau. Dan, dengan suaranya merdu
tetapi sedikit parau, Prabu Anom Gathutkaca mulai menembangkanmantra
sulukan dhalang dalam nada Slendro gaya Pesisir yang terasa sendu……
Ruang angkasa terasa sepi seketika. Seakan tak ada makhluk hidup di sana. Di
kejauhan, awan-awan bergerak-gerak, seakan ada tangan raksasa yang
menguakkannya. Di batas angan cakrawala, tiba-tiba memendar cahaya
cemerlang. Semburat berkas-berkas putih cahayanya, seperti menandakan
bahwa ada sesuatu yang sedang melayang menghampiri. Pendar-pendar cahaya
itu, seperti melingkup sesuatu yang amat sangat besar. Hanya kedip-kedip
cahaya cemerlang yang tampak di ruang angkasa. Prabu Anom Gathutkaca
terpesona melihat pemandangan yang menakjubkan itu. Sesaat it lupa bahwa di
kejauhan ada Prabu Boma Nara Sura yang juga memperhatikan terjadinya
fenomena ajaib itu. Mereka sama-sama terpesona. Tak nampak apa-apa, kecuali
pendar-pendar cahaya yang menyilaukan. Pendar-pendar cahaya itu, seakan
bergerak-gerak, bergelombang seperti mengambang di atas air samodra yang
tak tampak.
Di kejauhan, entah dari mana, tiba-tiba tampak sekumpulan
burung Branjangan yang terbang cepat beriringan. Terbang berkelok-kelok tak
teratur. Lalu, burung-burung itu seperti tersihir, sayapnya tetap mengepak tetapi
berhenti terbang. Suara cicit burung-burung Branjangan itu seakan
menampakkan kepanikan, saat sayap yang mengepak tak menghasilkan gerak
kemana-mana. Prabu Anom Gathutkaca seperti dibangunkan dari mimpi saat
melihat sekumpulan burung mengepakkan sayapnya, tetapi berhenti terbang. Ia
seperti diingatkan kembali, bahwa jala raksasa yang terbentang luas itu hanya
bisa diamati keberadaannya saat ada sekumpulan burung yang terperangkap di
jaring raksasa yang tak nampak oleh penglihatan makhluk hidup.
Tersadar dari pemandangan yang menakjubkan, Prabu Anom Gathutkaca segera
sadar bahwa sekaranglah saatnya bertindak. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih
dimilikinya, Prabu Anom Gathutkaca berusaha menyerang Prabu Boma Nara
Sura. Upaya ini dilakukannya berkali-kali, tetapi rupanya antara niat dan usaha,
sudah mulai tak sejalan. Niat yang sangat kuat, sudah tidak didukung lagi oleh
tenaga yang cukup. Dalam beberapa kali upaya menyerang, bahkan Prabu Boma
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 33
Nara Sura berhasil memukul mundur serangan yang dilakukan Prabu Anom
Gathutkaca. Pada suatu ketika, dengan seluruh sisa tenaganya Prabu Anom
Gathutkaca berusaha menyerang. Tetapi suatu ledakan dahsyat terdengar di
telinganya. Kilauan cahaya yang sangat terang membuat pedih matanya. Tubuh
Prabu Anom Gathutkaca terlempar jauh. Badannya serasa remuk. Tubuh Prabu
Anom Gathutkaca melayang di ruang angkasa. Prabu Anom Gathutkaca ingin
menggerakkan anggauta tubuhnya. Tetapi ia ternyata sama sekali tak dapat
menggerakkan seluruh anggauta badannya. Seluruh tenaganya seakan lenyap.
Tubuhnya melayang-layang di angkasa. Sementara di kejauhan tampak Prabu
Boma Nara Sura mengawasinya dari dalam kendaraan Garuda Wilmana-nya.
Pertempuran kedua ksatria itu seakan berhenti seketika. Tetapi, tiba-tiba
terdengar suara gemuruh memenuhi ruang angkasa yang semula sunyi. Di sisi
batas cakrawala tampak semburat berkas cahaya yang amat sangat terang
menyeruak angkasa. Pendaran cahayanya sedemikian terangnya, sampai
membutakan sesaat semua makhluk yang melihat. Gemuruh suaranya semakin
lama semakin terdengar keras. Di antara gemuruh suara yang menggema ke
seluruh ruang angkasa itu, tampak sekilas ujung senjata Cakra Baskara yang
melesat dengan kecepatan tak terkirakan memecah awan-awan, disertai cahaya
yang amat sangat terang. Prabu Boma Nara Sura sedetik hanya sempat melihat
senjata bercahaya cemerlang itu ternyata menuju ke dirinya. Tak sempat
berpikir, tak sempat bereaksi, tubuh Prabu Boma Nara Sura tiba-tiba saja
terpental menabrak dinding logam dalam kendaraan Garuda Wilmana-nya.
Kendaraan Garuda Wilmana-nya sempat memberikan peringatan sekejab.
Terdengar lengkingan teriakan peringatan parau Garuda Wilmana yang
menyatakan bahwa badannya mulai hancur. Ledakan yang amat sangat keras
terdengar saat pendaran cahaya di ujung senjata Cakra Baskara itu menyentuh
dinding luar kendaraan Garuda Wilmana. Hanya sedetik, semuanya lebur
bertebaran menjadi pecahan dan lelehan logam disertai semburan api. Hanya
sedetik…..! Lalu semuanya menjadi sunyi kembali…….
Tubuh Prabu Boma Nara Sura dan sisa-sisa badan kendaraan ruang angkasanya
Garuda Wilmana, melayang terbanting-banting di kelamnya ruang angkasa.
Sekejab kemudian, tubuh dan sisa kendaraan ruang angkasa yang canggih itu
tiba-tiba seperti berhenti mendadak. Mengambang terguncang-guncang di atas
angkasa. Tertahan jaring yang tak terlihat mata. Tak ada suara apapun yang
terdengar. Semuanya sunyi mengerikan…. Semua mata yang melihat kejadian
itu dari kejauhan, terbelalak. Keringat dingin mengucur dari tubuh setiap orang
yang memandang kejadian mengerikan itu. Peperangan di darat terhenti
seketika!
Belum lagi hilang ketakutan orang yang melihat kejadian itu, tiba-tiba jauh di
angkasa seberkas cahaya cemerlang melintas. Dalam keremangan ruang
angkasa, tiba-tiba muncul suatu kereta angkasa yang luar biasa besar, disertai
pendaran cahaya menyilaukan. Dari kendaraan angkasa itu, tiba-tiba muncul
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 34
berkas cahaya yang menyorot ke atas jaring raksasa yang tak terlihat mata
makhluk hidup. Sekejab kemudian, tubuh Prabu Boma Nara Sura beserta
seluruh sisa-sisa kendaraan Garuda Wilmana-nya yang telah hancur lebur itu,
terlihat disinari berkas cahaya yang menyilaukan. Dan, tiba-tba saja tubuh Prabu
Boma Nara Sura dan sisa-sisa kendaraan angkasanya lenyap dari pandangan
mata, disertai suara gemuruh yang memekakkan telinga. Sesaat kemudian,
ruang angkasa menjadi sunyi kembali.
Di antara kesunyian ruang angkasa itu, tiba-tiba saja terdengar suara parau yang
entah dari mana datangnya. Suara itu seperti datang dari ruang gelap dalam
kereta angkasa yang amat sangat besar dan mengambang jauh di kedalaman
ruang angkasa. Lalu terdengar suara menggelegar: “Kresna, hari ini engkau
telah mengorbankan dua orang ksatria! Meskipun engkau titisan Sang Hyang
Wisnu, tetapi hari ini engkau adalah manusia seperti manusia lainnya. Dan,
seperti engkau sering menasehatkan kepada para ksatria, bahwa „manusia harus
bertanggung-jawab atas perbuatannya‟, maka hari ini engkau juga harus
bertanggung-jawab atas perbuatanmu. Saya…., Sang Hyang Naga-Raja, kakek
cucuku Boma Nara Sura, bersaksi bahwa saya akan membawa kembali tubuh
Boma Nara Sura ke Kahyangan Jala-Tundha. Bahkan jika engkau tetap
menyatakan bahwa Boma Nara Sura sebagai manusia yang hina dan rendah, di
mataku ia tetap cucuku, kstaria yang membela kehormatan dirinya. Meskipun
engkau mengatakan bahwa cucuku telah membunuh isterinya Hagnyanawati
dan adik kandungnya si Samba, tetapi ketahuilah ia membunuh karena
mempertahankan martabat dan kehormatannya. Bahkan jika pun pembunuhan
itu bukan karena provokasi Garuda Wilmana, aku tetap akan membela cucuku si
Boma Nara Sura, karena ia adalah suami si Hagnyanawati. Ia sejak awal
memang sangat cinta kepada si Hagnyanawati. Puteramu saja, si Samba keparat
dan menantumu si Hagnyanawati yang tak tahu diri, tak tahu adat, dan tak bisa
menjaga kehormatan dirinya sendiri; sehingga mereka berlaku rendah
dan candhala. Kelakuan mereka berdua, bukan seperti layaknya seorang ksatria
dan seorang dewi yang patut dipuja dan dihormati. Kelakuan mereka, bahkan
lebih rendah dari peri-laku binatang. Binatang saja bahkan masih punya rasa
kesetiaan dan tata-krama, mereka tidak akan merebut milik lain. Maka
saksikanlah….! Dalam beberapa hari ini dua kstaria akan menjadi tumbal atas
perbuatanmu. Dan, sesuai apa yang pernah kau katakan kepada banyak ksatria,
maka engkau akan termakan oleh kata-katamu sendiri. Akhir hidupmu akan
penuh kesengsaraan, dan karena itu pula kematianmu nanti akan penuh
kesulitan yang sangat menyakitkan; sama seperti engkau menyakiti banyak hati
para ksatria yang secara semena-mena telah engkau korbankan hanya demi
mempertahankan sejengkal tanah dan demi langgengnya sebuah
kekuasaan……”
Suara menggelegar itu lenyap seketika. Seluruh medan perang Tegal Kuru-Setra
sunyi sepi. Pasukan Negeri Traju-Trisna berhasil memukul mundur seluruh
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 35
pasukan Hastina-Pura. Tetapi, Maha Patih Pancat-Nyana dan seluruh
pasukannya yang selalu setia kepada junjungannya, Prabu Boma Nara Sura
akhirnya melakukan upacara ‘puputan’ (bunuh diri), sebagai tanda bakti kepada
junjungannya yang telah sekian lama sudah memberikan kehormatan,
kesejahteraan, dan martabat; kepada mereka semua. Kepada seluruh jajaran
pasukan Negeri Traju-Trisna, sebelum melakukan upacara ‘puputan’,Maha
Patih Pancat-Nyana sempat memberikan kata-kata terakhirnya di hadapan
seluruh pasukan Negeri Traju-Trisna: “Kita semua memang jenis bangsa
raksasa, yang seringkali dipandang rendah oleh bangsa manusia. Tetapi hari ini,
kita akan membuktikan kepada mereka semua, bahwa kita, bangsa raksasa, bisa
menjaga dan mempertahankan kehormatan, martabat, dan harga diri yang kita
pegang teguh selama ini. Junjungan kita sinuwun Prabu Boma Nara Sura telah
meninggalkan kita semua. Beliau tidak gugur, tetapi akan tetap hidup di dalam
hati setiap penduduk Negeri Traju-Trisna. Dan, karena itu pula setelah kita nanti
menyelesaikan upacara puputan, kita akan bersama beliau, kembali ke haribaan
Sang Penguasa Jagat Raya. Sinuwun Prabu Boma Nara Sura, selama hidupnya
telah memberikan semua yang kita mimpikan sebagai makhluk hidup, yang
selama ini selalu direndahkan martabatnya oleh bangsa manusia. Kita semua
bisa menjadi terhormat seperti sekarang ini, karenasinuwun Prabu Boma Nara
Sora. Jadi, sebagai balas budi dan sebagai darma bakti kita kepada seorang yang
telah membuat kita menjadi seperti sekarang; maka hanya ada satu yang bisa
dipersembahkan kepada beliau, yaitu ‘bela pati’ dalam upacara puputan. Kita
akan melakukan serangan besar-besaran. Semua perajurit Negeri Traju-Trisna
secara bersama-sama, sehati, dan seperjuangan; akan menyerang musuh sampai
titik darah terakhir dan sampai perajurit terakhir. Saya akan berdiri bersama
kalian semua saat melakukan puputan bela pati ini. Sebelum melaksanakan
perintah, tolong bacakan doa terakhir bagi kita semua……..”
Ribuan wadya-bala Negeri Traju-Trisna diam tunduk mendengar dengan hikmat
kalimat terakhir Maha Patih Pancat-Nyana. Lalu doa dan mantra ditembangkan
perlahan. Suasana berubah menjadi mencekam saat semua perajurit Negeri
Traju-Trisna itu bersama-sama mengganti baju keprajuritannya dengan
lembaran kain putih. Umbul-umbul peperangan juga diganti dengan umbul-
umbul kain berwarna putih. Lautan ribuan pasukan bangsa raksasa itu, tiba-tiba
saja berubah menjadi lautan putih. Lembar kain putih menutupi setiap tubuh
perajurit Negeri Traju-Trisna, demikian pula mahkota-mahkota yang semula
dipakai semuanya digantikan dengan ikatan kain putih. Bergelombang-
gelombang pasukan Negeri Traju-Trisna seluruhnya sudah bersiap untuk
melakukan serangan. Tidak seperti biasanya, seluruh perajurit Negeri Traju-
Trisna hari itu melakukan serangan besar-besaran sambil melantunkan
tembang mantra dan doa. Suara tembang mantra puputan bela pati dan doa-
doanya bagaikan suara jutaan kumbang…..
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 36
Hari itu, seluruh pasukan Negeri Traju-Trisna memenuhi janjinya
kepada sinuwun junjungan mereka sang Prabu Boma Nara Sura. Sejauh mata
memandang, medan perang Tegal Kuru-Setra memutih, dipenuhi tubuh ribuan
pasukan Negeri Traju-Trisna yang berselimut kain putih itu, terbaring diam di
atas permukaan tanah bumi pertiwi. Di antara tubuh-tubuh yang diam tak
bergerak itu, tampak tubuh Maha Patih Pancat-Nyana terbaring sambil tetap
memegang keris pusakanya yang dalam keadaan‘ligan’ (tak disarungkan).
Darah membasahi tubuhnya yang tinggi besar.
Beberapa hari setelah peristiwa menyedihkan itu, Perang Barata-Yudha
berkobar kembali. Dan, seperti sudah ditakdirkan, Prabu Anom Gathutkaca
gugur saat melawan Adipati Karna. Di sisi tubuh sang Prabu Anom Gathutkaca,
berdiri memaku ayahandanya Radyan Bima-Sena tak bisa berkata-kata. Baru
kali ini, orang melihat Radyan Bima-Sena menangis berjam-jam. Di kejauhan,
tampak berdiri dua orangabdi dalem Negeri Traju-Trisna, sang Teja-Mantri dan
Sara-Wita. Kedua tangan abdi dalem kinasih itu diangkat tinggi-tinggi sambil
menggumankan suara: “Sinuwun Prabu Boma Nara Sura dan seluruh perajurit
Negeri Traju-Trisna, selamat jalan. Semoga sinuwun menemukan kebahagiaan
yang abadi di alam sana, bersama seluruh rakyat Traju-Trisna yang telah
melakukan puputan bela pati.” Air mata keduanya bercucuran tak
tertahankan……
Di kejauhan terdengar tembang sendu dinyanyikan orang, seakan diam-diam
ditujukan kepada Prabu Boma Nara Sura….
Dhuh nyawa rerentenging raga,
Sun arsa ambeberaken,
Goreh runtik jroning nala,
Sun anandang lara brangti,
Dhuh puspita aneng teleng kalbu,
Gawe sun tan bisa nendra,
Mung sira pepujaningsun,
Langgeng lami salawasnya,
Karon sih lan sira nini,
Tunggal sajiwa sajati….[6]
Malam menjadi semakin dingin. Di antara sepinya malam, terdengar lamat-
lamat „Gendhing Laler Mengeng‟ dimainkan para pradangga, seakan
mengingatkan kepada seluruh riwayat hidup sang Prabu Boma Nara Sura.
Seorang ksatria yang dilupakan. Di jalan-jalan raya Negeri Dwara-Wati
sekalipun, nama Boma Nara Sura tidak pernah diabadikan menjadi nama jalan.
Sebaliknya, nama Radyan Samba selalu diabadikan menjadi nama jalan di
setiap kota dalam wilayah Negeri Dwara-Wati. Di Negeri Traju-Trisna,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 37
meskipun kekuasaan sang Boma Nara Sura telah lama digantikan, tetapi di
setiap rumah penduduknya selalu terpasang dan tersimpan lukisan atau gambar
Prabu Boma Nara Sura. Di hati rakyat Negeri Traju-Trisna, Prabu Boma Nara
Sura ternyata tetap hidup……..
PENUTUP, RENUNGKANLAH KEHIDUPANMU SAAT INI
___________________________
[1] Bathara Darma, sering disebut dengan nama lain, yaitu Bathara Ulam Derma atau Bathara
Wulan Derma. Sedangkan sebutan ‘bathara’ seringkali juga diganti dengan
sebutan ‘hyang’ ,‘sang hyang’, ‘hywang’, atau ‘sang hywang’. Karenanya, lalu sering disebut
„Sang Hyang Wulan Derma‟.
[2] Bathara Darmi, sering disebut dengan nama lain, yaitu Bathara Ulam Dermi atau Bathara
Wulan Dermi. Sedangkan sebutan ‘bathara’ seringkali juga diganti dengan
sebutan ‘hyang’ ,‘sang hyang’, ‘hywang’, atau ‘sang hywang’. Karenanya, lalu sering disebut
„Sang Hyang Wulan Dermi‟.
[3] Istilah 'vimana', pada masa sekarang justru dikenal sebagai kendaraan ruang angkasa yang
sekarang kita kenal sebagai 'UFO" (unidentified flying object)atau 'benda terbang tak dikenal',
yang dalam istilah populer sering disebut 'piring terbang' (flying saucer).
[4] Saat masih muda, Prabu Boma Nara Sura bernama Radyan Suteja atau seringkali juga disebut
Radyan Sitija. Pada saat ia berhasil mengalahkan Prabu Bomantara, sukma Prabu Bomantara
merasuki dan bersemayam dalam tubuh Radyan Sitija. Peristiwa inilah yang membuat Radyan
Sitija akhirnya dikenal mempunyai 'kepribadian ganda'. Pada saat ia sedang tidak marah, maka
sukma aslinya yang dominan. Hal ini, membuat Radyan Sitija bersikap dan berperi-laku baik,
seperti seorang ksatria. Tetapi pada saat marah, sukma Prabu Bomantara menjadi dominan dan
menguasai dirinya. Akibatnya, sikap dan peri-laku Prabu Boma Nara Sura lalu berubah menjadi
jahat dan semena-mena, seperti seorang raksasa. Pada saat Radyan Sitija berhasil membunuh
Prabu Bomantara, ia kemudian memakai gelar 'Prabu Boma Nara Sura' saat menjadi penguasa
(raja) di Negeri Traju-Trisna, menggantikan Prabu Bomantara.
[5] Bait-bait syair ini, merupakan suluk tembang dhalang, Pathetan Gagrak Pesisir Ngelik
Jangkep, Laras Slendro Pathet Nem.
[6] Suluk sendhon Langen Asmara Gagrak Pesisir, Laras Slendro.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 38
PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA
DI TENGAH HUTAN RIMBA BELANTARA
Bram Palgunadi
13 Juni 2012 pukul 19:19 ·
Pagelaran 'bayang-bayang' wayang kulit purwa, yang menggetarkan hati, mengharu-biru emosi, dan memikat hati penonton, merupakan dambaan....
Ini adalah kenangan indah saat saya masih anak-anak dan masih duduk di kelas
3 sampai kelas 6 Sekolah Rakyat (sekarang disebut Sekolah Dasar), di Kota
Jember, Jawa Timur. Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1962 – 1963. Di
masa-masa yang saat itu dikenal dengan sebutan „masa perebutan Irian Barat‟,
atau oleh kalangan masyarakat umum sering juga disebut „jaman Trikora‟. [1]
Pada masa itu, ayah saya bekerja sebagai seorang ADM (administratur) PN
Perhutani[2] di kantor KPH Jember. [3] Jika sedang masa liburan, saya
seringkali ikut truk milik PN Perhutani ke hutan. Kebetulan kita tinggal di
komples perumahan dinas PN Perhutani, yang lokasinya berhadapan dengan
garasi dan bengkel PN Perhutani, yang lokasinya di Patrang, sedikit di sisi utara
Kota Jember. Naik truk ke hutan, merupakan salah satu pengalaman yang
menyenangkan saya. Biasanya truk-truk PN Perhutani itu berangkat pagi-pagi,
sekitar jam 07.00 pagi Waktu Jawa (sekarang penyebutan waktu sudah diubah
menjadi jam 07.00 Waktu Indonesia Barat atau WIB), dan pulang dari hutan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 39
sore hari. Pada masa itu, truk-truk tua yang dipakai umumnya bertonase sekitar
3,5 ton, merknya Chevrolet, Dodge, dan Fargo. Ketiga merk truk itu, buatan
Amerika.
Pada masa itu, rute truk hutan yang paling saya sukai, adalah yang menuju
hutan di sekitar Sempolan atau Garahan, yakni ke arah timur, di jalan raya yang
menuju Kota Banyu-Wangi. Selewat kota kecil Kali-Sat, truk akan menuju
Sempolan dan akhirnya berbelok ke kiri, memasuki jalan hutan. Sebelum masuk
jalan hutan, truk-truk itu biasanya berhenti untuk melapor lebih dahulu di
kantor ‘kemantren’atau kantor KRPH (Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan)
Sempolan, yang lokasinya di sisi kiri jalan raya Jember – Banyu-Wangi. Saya
sangat senang dan karenanya juga sangat sering ikut truk yang melewati ke rute
ini dan sangat senang jika truk yang saya tumpangi mampir
ke ‘kemantren’ Sempolan ini. Mengapa? Tidak lain, karena Pak Mantri Hutan
yang tinggal di sebelah kantor kemantren ini, adalah seorang dhalang wayang.
Mantri hutan yang pada masa itu sangat terkenal ini, namanya Pak Sugondo;
yang biasanya dipanggil Pak Gondo. Disebut sangat terkenal, karena seragam
pakaiannya yang luar biasa gagah, memakai pakaian safari dan celana berwarna
cokal muda, dengan ikat pinggang kulit berukuran besar. Di ikat pinggangnya,
selalu tergatung sebuah pistol Colt „revolver‟ kaliber 38 dan sebuah „veldvles‟
(tempat air minum), serta pisau rimba berukuran besar. Sementara sepatu yang
digunakannya adalah jenis sepatu „laars‟ kulit berwarna hitam, yang tingginya
hampir mencapai lutut. Pak mantri hutan ini seringkali pergi memeriksa hutan
sambil naik kuda. Saat naik kuda ia memakai topi lebar berwarna coklat tua,
seperti topi ‘vilt’ yang biasa dipakai para koboi Amerika, tetapi dibuat dari
anyaman ‘mendong’, yang salah satu sisi sampingnya sedikit dilengkungkan ke
arah atas dan sisi samping lainnya rata. Kelihatannya gagah sekali, dan sangat
mirip dengan seorang ‘sherif’(kepala polisi „daerah pedalaman‟ Amerika).
Di samping rumah dinas tempat tinggalnya, yang letaknya hanya beberapa
meter di sebelah kanan kantor kemantren, saya bisa melihat beberapa orang
sedang ‘ngerok’ (mengikis) lembaran kulit sapi atau kulit kerbau, yang ditarik
kuat-kuat ke arah samping sampai tegang memakai tali-tali yang diikatkan pada
konstruksi batang kayu berbentuk kotak (seperti pigura lukisan). Lembaran kulit
sapi atau kerbau itu, dikikis memakai „pecok‟ (seperti pacul kecil yang
ditajamkan), supaya seluruh permukaan kulitnya rata, halus, dan hilang bulu-
bulunya. Mengikis kulit sapi atau kerbau, biasanya dilakukan pagi hari sampai
menjelang siang hari, dan dilakukan di halaman luar. Dan, yang lebih
menyenangkan hati saya, sisa kikisan kulit yang berbentuk gulungan-gulungan
kecil terputus-putus, sesudah dikeringkan, biasanya dimasak dengan cara
digoreng, dan menjadi ‘krupuk kulit’ atau ‘krupuk krecek’. Atau, dimasak
menjadi ‘sambel goreng krecek’, yang jangankan dimakan, bahkan saat melihat
saja, sudah timbul air liur saya. Lembar-lembar kulit itu, setelah kering dan rata,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 40
lalu dipotong dan dipakai untuk membuat wayang kulit, yang proses
pembuatannya juga dilakukan di teras rumah Pak Gondo.
Selain mengikuti truk hutan, saya juga sering ikut ayah melakukan pemeriksaan
wilayah hutan, yang di kalangan kehutanan kegiatan seperti ini lazim
disebut ‘tourne’. Mobil dinas milik PN Perhutani yang dipakai ayah, adalah
sebuah kendaraan jip Willys kuno, buatan tahun 1942, warna hijau tua, dengan
lampu besarnya yang sangat khas. Letak lampu depannya, di dalam lubang
besar pada panel depan kendaraan. Jip Willys kuno yang bernomor polisi P-310
ini, setiap kali akan dipakai ‘tourne’ harus diisi air dingin lebih dulu. Peralatan
baku „inventaris‟ ayah saya yang dibawa di kendaraan ini, biasanya meliputi
senapan laras ganda (double loop) berkaliber 16 mm lengkap dengan sekotak
peluru (ukuran pelurunya besar sekali, karena berkaliber 16 mm dan panjang
setiap peluru sekitar 10 cm), kompas, teropong binokular, peta petak (peta
khusus kehutanan), pisau rimba, ‘veldvles’ (tempat minum versi militer, yang
digantung di sabuk celana), sepatu ‘laars’, dan tak lupa juga sebuah jaket. Ayah
saya, biasanya memakai baju „dinas‟ berupa baju safari lengan pendek dan
celana panjang yang dibuat dari bahan „dril‟ berwarna ‘khaki’ (coklat muda). Ia
biasanya juga memakai topi pet, berwarna coklat muda. Pada masa itu, kain
yang bisa dibeli hanyalah kain dril warna cokla muda itu dan kain belacu warna
putih. Seperti juga kesenangan saya ikut truk hutan, saya juga sangat senang
jika tourne dilakukan di wilayah hutan sekitar Sempolan. Penyebabnya juga
sama, yaitu karena sering mampir di kantor kemantren Sempolan itu.
Selain bersama pengemudi jip Willys tua yang bernama Pak Saleh, seringkali
ayah saya juga melakukantourne bersama beberapa pegawai kantor KPH
Jember. Di antara mereka, yang paling sering ikut melakukan peninjauan
bersama, adalah ‘sinder hutan’ dan ‘mantri hutan’ yang menanggung-jawabi
wilayah hutan yang akan ditinjau. Pemeriksaan wilayah hutan seringkali
dilaksanakan dengan cara jalan kaki potong kompas, dengan hanya melihat peta
petak, langsung menuju petak hutan yang akan ditinjau. Jip Willys tua dan
pengemudinya, biasanya dititipkan di rumah penduduk desa setempat, diparkir
begitu saja di sisi jalan hutan, atau diminta menunggu di suatu tempat di
wilayah sekitar petak hutan yang akan dituju.
Pada masa itu, sebagian wilayah hutan di sekitar Sempolan sedang ditebang dan
diganti dengan tanaman hutan produksi jenis pohon pinus. Saat liburan, saya
juga sering ikut truk hutan yang mengangkut bibit pohon pinus, yang tingginya
sekitar 15 – 20 cm dan diletakkan (dengan media tanahnya) di keranjang-
keranjang kecil, yang dibuat dari anyaman bambu. Bibit pohon pinus yang
masih kecil ini, biasanya diambil dari tempat pembibitan, yang lokasinya dekat
dengan base campperalatan mekanik Sempolan. Beratus-ratus bibit pohon pinus
ini, kemudian diangkut ke tempat penamanan, jauh di tengah hutan. Di tempat
penaman pohon pinus itu, biasanya sudah ada sekelompok besar penduduk
desa ‘mager-sari’, yang oleh PN Perhutani diperbolehkan melakukan kegiatan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 41
bertani palawija sambil menanam dan memelihara pohon-pohon pinus yang
masih kecil. Biasanya, mereka akan tinggal selama beberapa tahun di lokasi
yang sama, sampai pohon-pohon pinus itu menjadi cukup besar dan bisa
ditinggalkan. Setelah pohon-pohon pinus itu besar (setinggi kira-kira 2 – 3
meter), mereka akan dipindahkan ke lokasi lain, untuk melakukan peran dan
kegiatan yang sama. Jika kita sekarang melakukan perjalanan dari Kota Jember
ke arah Banyu-Wangi, maka setelah melewati Sempolan, sebelum memasuki
wilayah hutan Garahan (hutan Gunung Kemitir), kita akan melewati hamparan
hutan pohon pinus yang tumbuh subur dan sekarang sudah berubah menjadi
pohon pinus yang sangat tinggi dan lebat. Melihat pemandangan ini, membuat
saya terharu dan jadi teringat masa kecil saya, saat sering ikut menanam bibit
pohon-pohon pinus kecil itu, di sekitar tahun 1962 – 1963. Waktu serasa berlalu
sedemikian cepatnya. Tak terasa, pohon-pohon pinus yang dulu terlihat sangat
kecil dan ringkih, sekarang sudah menjadi hutan pinus yang indah, lebat, teduh,
dan rindang.
Di dalam hutan Sempolan, pada suatu lokasi yang jaraknya beberapa kilometer
dari jalan-raya Jember – Banyu-Wangi, ada suatu tempat semacam base
camp, tempat para pegawai kehutanan dari bagian mekanisasi kehutanan tinggal
beserta seluruh keluarga dan alat-alat berat yang ditanggung-jawabi. Mereka itu,
merupakan kelompok pegawai mekanik kehutanan pindahan dari Saradan. [4]
Uniknya, semua pegawai mekanik ini (pengemudi traktor raksasa, pengemudi
buldozer raksasa, pengemudi truktrailer pengangkut kayu gelondongan), beserta
seluruh keluarganya, adalah pemain, penari, dan penabuh gamelan yang sangat
canggih. Saya masih ingat benar, salah seorang pengemudi traktor penyeret
kayu gelondongan bermesin diesel, beroda rantai raksasa, tipe D-9 merk Allis
Chalmers, yang beratnya sekitar 39 ton; adalah seorang penari dan pemeran
raksasa ‘cakil’ yang sangat bagus, terampil, sangat cekatan gerak tarinya.
Tubuhnya yang tinggi ramping, terlihat sangat cocok dengan peran ‘cakil’-nya
itu. Sekali sebulan, saat ada perayaan tertentu, perayaan ‘syawalan’, atau
peringatan hari kemerdekaan; mereka bisa tiba-tiba berubah menjadi
sekumpulan grup kesenian, lengkap dengan penari dan penabuh gamelan-nya.
Di base camp mereka itu, setiap bulan sekali kita bisa menyaksikan mereka
melakukan pagelaran wayang wong atau kethoprak.
Di antara sejumlah pagelaran wayang itu, beberapa kali dilaksanakan di
halaman depan kantorkemantren Sempolan. Biasanya, yang menjadi dhalang ya
Pak Mantri Sugondo itu. Sedangkan penabuh gamelan,
pesindhen, dan wiraswara-nya; para pegawai mekanik kehutanan dan
keluarganya. Tetapi ada suatu pagelaran wayang kulit purwa yang benar-benar
unik. Pagelaran wayang ini dilakukan di tengah hutan di tengah hutan rimba di
sisi barat laut Sempolan. Pada masa itu, PN Perhutan KPH Jember sedang giat-
giatnya membuat jalan rintisan (jalan tembus hutan) di wilayah pedalaman barat
luat Sempolan. Bukan membuat jalan raya, tetapi membuat jalan hutan yang
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 42
bisa dilewati truk dan jip saja. Pada saat awal, jalan hutan itu dibuat dengan cara
meratakan tanah memakai buldozer raksasa dari unit mekanisasi Sempolan dan
beberapa peralatan berat lainnya. Pembuatan jalan hutan ini memakan waktu
selama beberapa bulan. Jika menemui hambatan berupa jurang atau sungai,
biasanya dilakukan upaya untuk membuat jembatan. Biasanya yang dibangun
adalah jembatan kayu. Beberapa dari jembatan kayu itu, mempunyai bentangan
yang cukup panjang dan melewati sungai atau jurang yang cukup dalam.
Pada saat awal pembangunan, biasanya seluruh pegawai PN Perhutani yang
terlibat proses pembangunan, termasuk teknisi dan para operator peralatan berat,
dipimpin oleh kepala proyek, akan melakukan selamatan, di lokasi dekat
jembatan. Selamatan, biasanya dilakukan siang hari, dan hanya secara
sederhana saja. Peristiwa yang benar-benar menyenangkan tetapi juga agak
mencemaskan, sebenarnya bukan saat awal pembangunan, tetapi saat jembatan
itu sudah jadi dan akan diresmikan pemakaiannya. Pada saat jembatan di tengah
hutan rimba itu sudah diselesaikan, maka seperti awalnya, akan dilakukan
selamatan dan syukuran. Tetapi yang bagi saya paling menyenangkan, adalah
dilaksanakan pagelaran wayang kulit purwa lengkap semalam suntuk.
Ceritanya biasanya dipilih yang menarik dan ramai. Dhalang-nya….? Ya Pak
Gondo itulah, lengkap dengan para penabuhgamelan yang para operator
peralatan berat.
Sejak pagi hari, ‘tarub’ (tenda besar) biasanya sudah didirikan di dekat lokasi
jembatan baru. Lalu sekumpulan ibu-ibu (para isteri) keluarga operator
peralatan berat itu sudah kelihatan sibuk memasak, di sejumlah tarub kecil,
dibantu sejumlah ‘blandhong’ dan anak-anak putri mereka. Sementara, para pria
biasanya mempersiapkan penyembelihan sapi, kerbau, atau beberapa kambing.
Suasana di sekitar jembatan baru itu, benar-benar semarak dan kelihatan sangat
sibuk. Sebagian dari para pria itu, selain sibuk meletakkan deretan kursi, meja,
dan tikar mendong untuk duduk lesehan yang dibentangkan di atas
lembaran ‘gedheg’ (anyaman bambu); juga sibuk memasang selang-selang kecil
di tiang-tiangtarub, yang akan dipasang pada lampu-lampu ‘stromking’. [5]
Siang hari, sekitar jam satu siang, setelah selesai makan, saya bersama ayah
melihat-lihat berkeliling dan memperhatikan bagaimana beberapa penabuh
gamelan yang sehari-harinya adalah para operator alat berat itu
memasang ‘geber wayang’ (layar wayang) dan ‘menyimping’ (menata) wayang
kulit dan menancapkannya di atas ‘debog’ pisang panjang, di sebelan kanan dan
kiri gunungan. Saya memperhatikan saat wayang-wayang kulit itu ditata secara
berurut dan sangat rapi. Beberapa orang sibuk menata ricikan gamelan dan
mengatur letaknya, sehingga ada ruang yang cukup untuk para penabuhnya
duduk saat menabuh. Tepat di bagian tengah layar wayang, agak ke atas,
beberapa orang terlihat sedang sibuk memasang lampu stroomking. Sekitar jam
empat sore, seluruh proses penataan panggung pagelaran wayang sudah selesai.
Di mata saya, panggung wayang dan gamelan itu tampak sangat indah dan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 43
memberikan kesan semarak. Apalagi dengan rancak gamelan-nya yang
berwarna merah menyala dengan hiasan ornamen berwarna keemasan.
Sekitar jam tujuh malam, para pejabat PN Perhutani dan para undangan lainnya,
termasuk penduduk desa setempat, para sepepuh desa, lurah, carik, kepala
dukuh, serta sanak keluarga para operator peralatan berat dan seluruh pekerja
proyek jembatan; sudah pada hadir dan duduk di tempat masing-
masing. Gendhing-gendhing juga sudah mulai dimainkan. Suara gendhing-nya
biasanya bisa terdengar dari kejauhan (beberapa kilometer). Beberapa saat
kemudian, upacara pembukaan pun dimulai. Biasanya dilakukan sambutan-
sambutan resmi dari para pejabat, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa
yang dilakukan oleh kyai setempat. Setelah seluruh acara resmi dan pembacaan
doa selesai dilaksanakan, lalu dilanjutkan dengan makan bersama-sama.
Hidangan yang paling disukai adalah sate sapi dan sate kambing, dengan saus
kacang dan kecap yang pedas bercampur potongan bawang merah. Sementara
itu, ada juga hidangan gulai daging kerbau. Ada juga sayur sop dengan
potongan-potongan kecil wortel, kentang, dan kubis, yang biasanya sangat gurih
rasanya. Sudah barang tentu, kiriman makanan yang berasal dari sumbangan
Pak Mantri Sugondo yang sangat khas, yaitu ‘sambel goreng krecek’, tidak
pernah lupa disajikan. Nasi hangat (memakai beras „Raja Lele‟) yang masih
mengepul, membuat perut seluruh pengunjung semakin lapar saja. Suasana
makan bersama ini, berlangsung sekitar satu jam dengan penuh kegembiraan.
Sebagai pelengkap, biasanya disajikan rokok. Rokok putih, umumnya tidak
terlalu disukai. Sebaliknya, lazimnya disajikan rokok kretek, yang biasanya
dihidangkan dalam keadaan sudah dibuka bungkusnya dan batang-batang
rokoknya diletakkan di dalam gelas-gelas. Berbagai merk rokok kretek
dicampur begitu saja di dalam gelas-gelas. Minuman teh hangat dan kopi
umumnya menjadi minuman standar yang disajikan. Suasana malam peresmian
jembatan itu benar-benar semarak dan membuat senang seluruh yang hadir.
Deretan kursi (tidak terlampau banyak), biasanya ditempati para pejabat dan
para pamong desa, sedangkan para hadirin lainnya dan penduduk setempat
biasanya duduk lesehan di atas tikar. Seluruh yang hadir, biasanya berjumlah
sekitar 150 – 200 orang. Semuanya duduk berkumpul di bawah
naungan tarub besar itu.
Sekitar jam delapan malam, udara sudah semakin dingin. Gendhing-
gendhing dimainkan para pengrawitmenemani para hadirin makan bersama.
Bulan sudah purnama dan menyinarkan cahayanya bagaikan bola emas bersinar
terang di angkasa. Dan, sekitar jam setengah sembilan malam, Gendhing Talu
Wayang mulai dimainkan. Suasana mulai berubah menjadi
semakin ‘gayeng’ dan semarak. Hadirin sedikit demi sedikit berusaha mendekat
ke arah panggung. Mereka duduk bersila lesehan di atas tikar. Lalu sekitar jam
sembilan malam, Pak Mantri Sugondo yang sudah memakai pakaian tradisional
Jawa, seakan „berubah‟ peran dan menjelma menjadi seorang dhalang, berdiri
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 44
tegak, lalu berjalan perlahan-lahan mendekati para pejabat, sesepuh, dan
pamong desa. Sesaat, ia bersalaman dengan para pejabat dan memohon ijin
untuk memulai pagelaran wayang. Bersamaan dengan terdengarnya Gendhing
Sampak Manyura yang ditabuh bertalu-talu, ia naik ke atas panggung pagelaran.
Tepat saat Gendhing Sampak Manyura berubah menjadi melambat dan
terdengar semakin sayup-sayup karena hendak dihentikan, Pak Gondo yang
sudah menjadi dhalang pagelaran wayang kulit purwa malam itu, duduk tegak
bersila di tempatnya, tepat di depan layar wayang. Sesaat kemudian, nyala
lampu-lampustroomking dipadamkan. Dan, tinggal sebuah
lampu stroomking yang menyala di depan layar wayang. Tiba-tiba saja bau asap
kemenyan menyeruak menyebar ke seluruh bagian dalam tarub. Suasana
seketika berubah menjadi remang-remang penuh sakral. Begitu Gendhing
Sampak Manyura berhenti. Suasanya hening sejenak. Tak ada yang berkata-
kata. Hanya kesunyian yang terjadi. Dhalangmembaca mantra dan doa sesaat.
Suaranya terdengar lirih, seakan berbisik kepada Sang Penguasa Jagat Raya,
memohon berkah, rakhmat, dan karunia-Nya. Hanya terdengar suara burung-
burung malam di kejauhan dan gemerisik angin malam yang berhembus.
Lalu gedhog dhalang dibunyikan, dan tiba-tiba pagelaran wayang pun
dimulai……
Di tengah hutan rimba belantara, pagelaran wayang kulit purwa itu
menghasilkan suasana yang menggetarkan. Selama beberapa waktu,
saat gendhing jejer pathet nem mulai dimainkan, suaragamelan mengalun
seakan menyihir seluruh hadirin, yang duduk terpaku di tempatnya masing-
masing. Adegan demi adegan berlangsung di bawah sorot mata para hadirin.
Perlahan-lahan, suasana berubah menjadi semakin cair. Semakin malam suasana
semakin cair, dan semakin menyenangkan. Semua yang hadir, masuk ke
dalam tarub besar itu dan berusaha menempatkan dirinya seenak mungkin.
Sementara di luar tarub besar, jauh di atas ranting dan dahan pohon-pohon
rimba yang tegak berdiri agak jauh, samar-samar terlihat sejumlah pasangan
cahaya bulat hijau kebiru-biruan bersinar terang di dalam kegelapan. Pasangan
cahaya itu sesekali bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri. Jumlah pasangan
cahaya itu, lebih dari sepuluh pasang. Saya yang berdiri di pinggir tarub,
terpaku saat melihat pasangan cahaya yang jumlahnya cukup banyak dan selalu
bergerak-gerak. Ada sedikit rasa takut saat melihat pasangan cahaya-cahaya itu.
Saya mencoba menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas dan bertanya-
tanya dalam hati, cahaya apakah gerangan itu. Bermenit-menit saya berusaha
memperhatikan titik-titik pasangan cahaya itu, tetapi tak juga mengerti apa
sebenarnya pasangan cahaya itu.
Tanpa saya ketahui, rupanya seorang mandor hutan, melihat apa yang sedang
saya perhatikan. Dia lalu menggamit bahu saya. Saya sedemikian terkejutnya,
sampai-sampai terlonjak kaget. Mandor hutan itu lalu memberitahu saya sambil
berbisik: “Anakmas, jangan keluar dari tarub ya.” Saya terkejut dan balik
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 45
bertanya: “Kenapa Pak?” Dengan tetap berbicara perlahan-lahan, dia menjawab:
“Sebab pasangan cahaya berwarna hijau kebiru-biruan yang bergerak-gerak dan
ada jauh di atas dahan dan ranting pohon rimba di sana itu, adalah mata macan
tutul dan macan kumbang yang akan bersinar jika terkena pendaran cahaya
lampu. Harimau-harimau itu menunggu saat yang tepat untuk turun dan makan
sisa hidangan, termasuk makan sisa-sisa daging hewan yang siang tadi
disembelih di luar tarub. Jadi, sebaiknya Anakmas jangan ke luar dari tarub.
Harimau-harimau itu takut pada api dan cahaya. Karena itu, di luar tarub orang
menyalakan beberapa api unggun kecil. Api unggun ini harus tetap hidup
sampai besok pagi. Harimau-harimau itu, sangat sabar menunggu. Nanti, setelah
semua hadirin selesai menikmati makan malamnya, beberapa blandhong akan
melemparkan sisa-sisa makanan dan daging ke luar, dilempar jauh-jauh ke arah
harimau-harimau itu.” Mendengar penjelasan pak mandor hutan itu, saya jadi
bergidik dan timbul rasa takut juga. Tapi dia „ngayem-ayemi‟ (menteramkan
hati saya), dengan berkata: “ Jangan kuatir Anakmas, pokoknya jangan keluar
dari tarub ya….” Saya hanya menganggukkan kepala. Pak mandor hutan itu
rupanya tahu juga kekecutan hati saya. Ia lalu berkata kepada saya: “Begini saja
Anakmas, bagaimana kalau Anakmas saya antar naik ke atas panggung, dan
duduk di antara para penabuh gamelan?” Mendengar usulannya itu, saya
terkejut dan balik bertanya: “Apa boleh begitu?” Dia menjawab: “Ya boleh saja.
Ayo saya antar ke sana…..” Sesaat kemudian, saya diantar pak mandor hutan
dan kemudian dicarikan tempat yang agak longgar di antara para
penabuh ricikan saron dan demung yang letaknya di deretan paling belakang
para penabuh. Nah, sejak itulah, jika nonton pagelaran wayang kulit purwa,
saya selalu berusaha untuk naik ke panggung dan duduk di belakang para
penabuh ricikan balungan.
Pagi-pagi tubuh saya terasa terguncang-guncang! Ternyata saya telah tertidur
pulas di belakang badan para penabuh gamelan. Begitu membuka mata, samar-
samar saya melihat ayah saya berdiri di belakang panggung dan berkata: “Ayo
kita pulang, wayangan-nya sudah selesai dan hari sudah pagi….” Pagi itu, hari
Minggu, dengan mata masih terkantuk-kantuk kami naik jip Willys tua yang
setia, kembali ke Kota Jember. Saya tidak tahu lagi melewati mana saja
perjalanan pulang itu, karena saya tak bisa lagi menahan kantuk dan
meneruskan tidur di jok belakang jip tua itu. Sejak itulah, saya menyukai
nonton pagelaran wayang kulit purwa dalam kondisi yang sangat tradisonal.
Kenangan indah saat menonton pagelaran wayang kulit purwa di tengah hutan
rimba belantara Sempolan itu, tidak akan pernah hilang dari ingatan saya
sampai kapan pun…….
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 46
____________________________________
[1] „Trikora‟ adalah singkatan judul pidato Bung Karno, yang isinya memerintahkan rakyat
Indonesia bergabung menjadi sukarelawan dan menyerbu Irian Barat, yang saat itu masih
menjadi wilayah jajahan Belanda.
[2] PN adalah singkatan dari „perusahaan negara‟. Sekarang, sebutannya sudah berganti menjadi
PERUM, singkatan dari „perusahaan umum‟.
[3] KPH merupakan singkatan dari „Kesatuan Pemangkuan Hutan‟. Pejabat tertinggi di kantor
KPH adalah seorang „administratur‟, yang di kalangan kehutanan sering disingkat
penyebutannya menjadi ADM. Seorang ADM, biasanya membawahi beberapa „sinder‟ yang
kantornya lazim disebut „kesinderan‟. Seorang „sinder kehutanan‟, biasanya membawahi
beberapa „mantri hutan‟, yang kantornya lazim disebut „kemantren‟ atau kantor KRPH
(Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan). Seorang „mantri hutan‟, biasanya membawahi sejumlah
„mandor hutan‟. Dan, seorang „mandor hutan‟ biasanya membawahi sejumlah „blandhong‟,
yaitu pekerja yang bekerja secara langsung di hutan. Di wilayah kemantren tertentu, biasanya
terdapat suatu lokasi yang khusus melakukan pembibitan atau penyemaian tanaman hutan,
TPK (tempat penimbunan kayu) hasil tebangan hutan, dan kadang-kadang ada juga base
workshop dan base station tempat menyimpan sejumlah peralatan berat untuk keperluan
kehutanan, seperti traktor, buldozer, truk trailer, truk katrol, dan kelengkapan bahan bakar serta
minyal pelumas untuk keperluan berbagai mesin itu. Unit ini, seringkali disebut sebagai unit
peralatan mekanisasi kehutanan, yang lokasinya biasanya terpencil di tengah hutan.
[4] Saradan, adalah nama sebutan sebuah TPK (tempat Penimbunan Kayu) gelondongan kayu jati
dan pohon rimba milik PN Perhutani KPH Madiun, yang sangat terkenal dan sangat besar
kapasitasnya. Lokasinya terletak di tengah hutan jati, di sebelah timur Kota Madiun; pada jalan
raya Madiun – Jombang.
[5] ‘Stroomking’ adalah sejenis lampu seperti ‘petromax’, tetapi mempunyai tangki minyak yang
terpisah. Lampu stroomking, biasanya menerima minyak tanah bertekanan tinggi dari tangki
melalui selang-selang kecil yang dipasang di antara tangki dan lampu stroomking. Tangki
minyak tanah yang dipakai, biasanya berukuran cukup besar, karena harus bisa menyalakan
semua lampu stroomkingsemalam suntuk. Seperti pada petromax, setiap
lampu stroomking sebelum dinyalakan, harus dipanaskan lebih dahulu memakai minyak
spiritus selama beberapa menit. Sementara lampu-lampustroomking itu dipanaskan memakai
minyak spiritus, tangki minyak tanah dipompa, sehingga menghasilkan tekanan yang cukup
tinggi. Setelah lampu stroomking menjadi cukup panas dan tekanan minyak tanah sudah
mencukupi, maka keran kecil pengatur aliran minyak tanah bertekanan di lampustroomking itu
dibuka sedikit demi sedikit, sehingga nyala lampu stroomking diatur sehingga menjadi terang
benderang seperti lampu petromax. Sebagai tambahan, istilah ‘stroomking’ yang lazim dipakai
di kalangan masyarakat, sebenarnya merupakan penyebutan yang salah dari merk lampu
minyak tanah bertekanan itu. Lampu ini, sebenarnya bermerk „Storm King‟. Tetapi bagi lidah
penduduk lokal, mungkin karena sukar menyebutnya, lalu supaya mudah lalu
disebut ‘stroomking’.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 47
Pagelaran wayang beber di masa lampau. Sederhana, penuh ritual, sesaji, dan mistik.
Hutan pohon pinus yang indah, lebat, rindang, dan subur; di wilayah Garahan, yang letaknya di sebelah timur Sempolan.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 48
Terowongan kereta-api di Garahan, merupakan salah satu pemandangan unik dan indah wilayah ini.
Tanjakan jalan raya di sekitar Garahan, pada rute Jember - Banyu-Wangi.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 49
Kereta-api penumpang Sri-Tanjung sedang melewati rute di sekitar Garahan.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 50
ARJUNA SANG IDOLA
Bram Palgunadi
12 Juli 2011 pukul 20:04
Ini adalah sebuah cerita imajiner, yang selama berminggu-minggu saya
pikirkan. Sebagian besar pecinta wayang (tentu saja tidak semuanya), umumnya
sangat menyukai figur Arjuna. Dhalang yang memainkan tokoh ini di jagat
pewayangan, bahkan seringkali mengungkapkan sejumlah 'nama alias' kepada
Arjuna. Misalnya, Pandhusiwi (karena putra Pandhu), Janaka, Permadi,
Kombang Ali-ali, Panengah Pandhawa (karena ia merupakan anak ketiga di
antara lima anak), Palguna (karena lahir di musim kemarau. Palguna = musim
kemarau). Dan, tentu masih banyak lagi nama alias yang diberikan kepada
Arjuna. Dalam jagat pewayangan, Arjuna seringkali digambarkan sedemikian
sempurnanya sebagai seorang laki-laki. Atau, bolehlah dikatakan sebagai 'lelaki
idaman'. Paling tidak, hal itu sering dinyatakan oleh dhalang saat 'nyandra'
(menceritakan) Sang Arjuna. Sedemikian sempurnanya, sosok Arjuna itu,
sehingga kita sendiri seringkali menjadi terjerumus dan menjadi tidak obyektif,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 51
saat menalar tentang dirinya. Ada semacam sisi fanatisme yang kelewatan dan
sangat berlebihan. Ulasan di bawah ini, saya sampaikan untuk memberikan
gambaran sebaliknya. Bukan untuk memburuk-burukkan sosok Arjuna yang
luar biasa itu, tetapi sekedar untuk memberikan gambaran, bahwa jika kita
memandang dan memperlakukan seorang tokoh secara berlebihan, maka yang
terjadi adalah 'lupa diri'. Selain itu, juga untuk merenungkan, apakah benar
seperti itu yang tampak atau justru sebenarnya kita sama sekali tidak tahu yang
sebenarnya. Hal ini, bisa terjadi pada tokoh yang dipuja, maupun pada kita
sebagai pemuja fanatiknya. Saat membaca tulisan di bawah ini, diperlukan
imajinasi, perasaan, dan pemahaman logika; bukan fanatisme buta. Karenanya
bacalah dengan perlahan-lahan saja, sambil minum kopi, dan menikmati
makanan kecil. Pokoknya sambil santai sajalah. Bagi pendukung kuat dan
pecinta tokoh Arjuna, jangan membawa-bawa unsur emosi saat membacanya,
meskipun mungkin anda bisa saja tersinggung dan marah, saat membaca ulasan
ini. Renungkan sajalah......
Bagi saya, sosok Arjuna adalah seorang pejabat tinggi dari suatu negeri yang
terkenal di seantero jagat, dan lazim disebut 'Kerajaan Amarta' (Amarta
Kingdom), yang terkenal sangat makmur, sejahtera, dan sangat dihormati oleh
banyak negeri lainnya. Segala keteraturan dan hasil yang didapat Kerajaan
Amarta itu, tentu saja berkat usaha dan upaya para kerabat Pandhawa, yang
merupakan penguasa Kerajaan Amarta. Sangat mungkin, sukses Kerajaan
Amarta itu juga dibantu dan didukung oleh masyarakat Amarta yang memang
sangat mencintai para kerabat Pandhawa. Salah satu kerabat Pandhawa yang
sangat terkenal dan jelas sudah menjadi 'selebritas papan atas', adalah Arjuna.
Selain berperan sebagai pejabat tinggi negara di Amarta, ia memang terkenal
sangat 'dandy', banyak sekali fans-nya, dan memang harus diakui saja, ia
terkenal sangat tampan, modist, pintar, cerdik, sakti, luas wawasannya, banyak
pengetahuannya, dan apalagi didukung postur tubuh yang sangat atletis. Ia
bukan tipe seperti peragawan, yang sangat mengekspolitasi otot, tetapi kurang
mengeksploitasi akal dan otaknya. Karena hal itulah, maka sejumlah besar
selebritas pria di Amarta banyak yang iri hati dan diam-diam sangat
mengidolakan Arjuna. Sedangkan para selebritas wanita, seringkali secara sadar
atau tidak sadar, memuja Arjuna secara berlebihan.
Di Kota Metropolitan Amarta-Pura, papan-papan iklan raksasa banyak
menampilkan wajah dan tubuh Arjuna, dalam upaya untuk membujuk dan
memikat orang supaya membeli produk-produk dalam negeri Amarta. Bahkan
sejumlah produk parfum untuk wanita, yang biasanya memakai tokoh selebritas
wanita sebagai unsur penarik hati, sudah digantikan oleh selebritas yang
namanya Arjuna! Dengan senyumnya yang manis dan mempesona, foto Sang
Arjuna yang oleh perancang iklannya posenya diatur sedemikian rupa, supaya
kelihatan sangat 'sensual' itu, seakan-akan hendak merayu dan memikat hati
para wanita dan gadis Amarta, untuk membeli produk parfum yang diiklankan.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 52
Dalam suatu berita sore yang dilansir oleh stasiun televisi 'Amarta TV',
diberitakan telah terjadi sedikit kericuhan, saat produk parfum bermerk 'Gairah
Kinanthi' itu untuk pertama kali di-'launching'. Sejumlah wanita diberitakan
berdesak-desak tak terkendali, saat waktu pembelian dengan harga miring
karena dikorting, dimulai. Beberapa wanita, terutama para remaja dan janda,
dikabarkan pingsan dan ini merepotkan para petugas sekuriti yang menjaga stan
tempat 'launching' pertama produk parfum terkenal itu. Seorang reporter
'Amarta TV' memberitakan, bahwa sejumlah wanita dan remaja putri melakukan
protes dan marah kepada para SPG (sales promotion girl), karena tidak kebagian
parfum 'Gairah Kinanthi' yang diidam-idamkannya! Di layar pesawat televisi,
tampak sejumlah wanita dan remaja putri sedang mengacung-acungkan tinjunya
kepada sejumlah SPG yang kalang kabut melayani pembelian yang sudah di
luar kendali itu! Mereka yang protes dan marah itu, seperti kerasukan setan saja,
dan seakan sudah kehilangan sifat kewanitaannya yang lemah lembut! Yang
terlihat adalah sekumpulan orang yang berang dan dengan muka merah padam
karena marah, berteriak-teriak liar, meminta 'jatah parfum' idolanya!
Lalu, ada juga iklan yang di-'launch' oleh suatu perusahaan developer kompleks
perumahan mewah 'Amarta Luxury House Developer', yang memakai Sang
Arjuna sebagai tokoh idola yang sukses. Digambarkan dalam iklannya, Sang
Arjuna didampingi sejumlah wanita cantik dan sexy, sedang bercengkerama di
dalam suatu taman di depan salah satu rumah tinggal mewah yang diiklankan.
Iklannya sendiri, tetap santun dan sangat sopan. Tetapi jelas menampilkan sosok
Arjuna secara spektakuler dan sangat diekspos, sehingga ia seakan tampil di
antara sejumlah besar bidadari, sedang menikmati hari-hari bahagianya di taman
sari depan rumah tinggal yang diiklankan itu. Dalam suatu wawancara, direktur
perusahaan developer itu menyatakan, bahwa figur Arjuna sebagai tokoh
selebritas tingkat internasional, memang diakui memliliki daya pikat yang
sangat luar biasa. Dan sambil tersenyum, sang direktur itu menyatakan: "Saya
berharap, dari iklan kami itu, para wanita karir dan ibu rumah-tangga di Amarta
akan merengek kepada suami masing-masing, untuk dibelikan rumah mewah
itu". Dengan sedikit bercanda, sang direktur menambahkan: "Terus terang saja,
kami berusaha mengeksploitasi daya tarik dan daya pikat Arjuna, untuk
membuat produk kami laku Mas!" Lalu dengan bangga ia menambahkan: "Dan,
jika melihat kecenderungannya, sejak iklan kami dipasang, banyak sekali
pasangan keluarga kaya yang datang membeli atau memesan rumah mewah
kepada perusahaan kami. Hari ini saja, saya bisa memberikankabar kepada anda
semua, bahwa kami sudah hampir kehabisan stok rumah tinggal mewah. Ini
semua kan sekedar gaya hidup Mas, 'life style' kata orang kita yang sok
modern". Sang direktur, dengan wajah cerah ceria, sambil merapikan jasnya,
berjalan sambil tetap tersenyum bahagia, meninggalkan kerumunan wartawan
berbagai media, menuju mobil sedan Jaguar-nya, yang diparkir di depan tempat
pertemuan dengan para wartawan itu.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 53
Di sebuah jalan raya yang luar biasa lebarnya, yang terkenal dengan sebutan
'Amarta Boulevard Street', seorang penjaja majalah dan koran, mencoba
menarik perhatian para pejalan kaki, dengan menunjukkan sebuah kover
majalah mode terkenal 'Amarta Fashion', yang menampilkan sosok Arjuna
dalam setelan pakaian setengah formal, gaya Italia. Celana panjang agak
longgar, dengan kain campuran wool ringan yang bertenun sangat halus, ikat
pinggang kulit serasi berwarna coklat tua dengan gesper logam berwarna kuning
emas gemerlap berkilau, kemeja berwarna 'white sand' dengan setrip-setrip kecil
berwarna 'light brown' model 'mafioso', dihias sebuah dasi warna merah tua
yang sengaja dipasang longgar, dan dipasangkan dengan jaz model mutakhir.
Kemejanya hanya dikancingkan sebagian. Satu dua kancing sebelah atas,
sengaja dibuka, memperlihatkan sebagian dada bidang sang Arjuna. Seorang
model wanita yang cantik dengan pakaian yang tidak kalah sexy-nya,
ditampilkan sedang berdiri di samping kiri Sang Arjuna, dengan jari tangan
kanan yang lentik sengaja ditampilkan sedang bersandar di pundak Sang
Arjuna. Wajah ceria sang wanita, dengan senyum yang sangat menawan dan
sinar mata berbinar-binar; memandang kagum dan terpesona kepada Sang
Arjuna. Jari-jari tangan kiri sang wanita, terlihat sedang memegang sekuntum
bunga mawar merah, seakan hendak dipersembahkan kepada Arjuna pujaan
hatinya. Masih di kover depan majalah mode terkenal 'Amarta Fashion' itu,
sebagai latar belakang, ditampilkan sekelompok wanita dan remaja yang cantik-
cantik dan sexy, memakai pakaian yang sangat modist dan besutan mutakhir,
semuanya diskenariokan sedang memandang iri kepada sang wanita yang
digambarkan sangat beruntung bisa berdiri berdampingan, dengan jari-jari lentik
sedang menyentuh pundak Sang Arjuna. Beberapa pejalan kaki yang terpesona
(kebanyakan wanita), sejenak mampir melihat-lihat isi majalah mode itu, dan
kemudian dengan sedikit malu-malu membelinya. Beberapa remaja putri yang
datang bersama-sama, membeli dan melihat-lihat halaman majalah mode itu.
Dan, sambil tertawa cekikikan, mereka memandangi dengan gemas, satu per
satu foto-foto Sang Arjuna yang memang ditampilkan secara sangat sensual dan
sangat mengundang mata wanita untuk memperhatikan dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Bayangan Sang Arjuna yang memang sangat tampan,
seakan-akan selalu datang dalam mimpi-mimpi para remaja putri, yang masih
tergolong 'teenager' itu. Seorang selebritas wanita muda yang terkenal sebagai
'janda kembang', ikut-ikutan membeli majalah mode itu, sambil melirik sebal
kepada sekumpulan remaja putri yang sedang tertawa-tawa ceria, saat
memandangi foto Arjuna idolanya, yang ditampilkan dalam pose-pose yang
sangat sensual itu. Seakan si janda kembang itu seperti hendak mengatakan
kepada sekumpulan remaja putri itu: "Tahu apa kamu tentang Arjuna pria
pujaanku hah?" Sebuah lirikan mata penuh iri, bercampur dengan rasa benci
kepada para pesaingnya yang jauh lebih muda, diperlihatkan oleh si janda
kembang....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 54
Di suatu perempatan jalan, di ujung jalan 'Amarta Boulevard Street', terdapat
suatu papan iklan super besar, yang suka atau tidak suka akan membuat mata
orang yang lalu-lalang di jalan raya besar itu memandang ke arah papan iklan
besar itu. Sebuah iklan film laga paling mutakhir, yang mengangkat kisah
perjalanan Sang Arjuna, yang berjudul 'Journey to Nirwana', hasil besutan
perusahaan film terkenal 'Amarta Film Corporation', rupanya juga sedang
menampilkan pertunjukan 'primier'-nya di gedung bioskop yang terkenal mewah
dan mahal. Di depan gedung pertunjukan itu, terlihat segerombolan anak-anak
muda, pria dan wanita, dan juga sekumpulan selebritas; sibuk berbincang sambil
antri tiket pertunjukan. Rupanya, film mutakhir itu demikian menarik perhatian,
sehingga orang berjubel hendak menontonnya. Tentu saja, di dalam dan di luar
gedung pertunjukan itu, dipasang poster-poster besar tentang film 'Journey to
Nirwana' yang sedang naik daun dan laku keras. Gambar di poster-poster film
itu, jelaslah menampilkan adegan laga Sang Arjuna melawan musuh
bebuyutannya, seorang raja raksasa 'alien', yang berupa monster yang dikenal
oleh para penggemarnya sebagai 'Rivigz, The King of Long Red Hair Monster',
yang digambarkan bertubuh gempal, tinggi besar, berambut 'riwig' dan
gondrong berwarna merah api, lengkap dengan kepala bertanduk lima. Sudah
barang tentu, di akhir film itu sudah bisa ditebak, siapa pemenangnya. Tentulah
Sang Arjuna! Sejumlah wartawan, terlihat sibuk mewawancarai beberapa anak
muda penggemar film laga. Sejumlah awak stasiun 'Amarta TV' juga terlihat
sibuk mengatur peralatannya, untuk suatu acara siaran 'live', langsung dari
gedung pertunjukan itu. Pokoknya, semua sibuk mengeksploitasi Sang Arjuna.
Masing-masing disesuaikan dengan kepentingan, bisnis, dan jarahan rejeki
sendiri-sendiri. Sungguh suatu pemandangan dan kegiatan yang luar biasa!
Sejauh ini, kita sudah mulai memahami bagaimana kehidupan Sang Arjuna!
Paling tidak, dari bahasan imajiner di atas itu. "Sudah memahami?" tanya
sahabat saya secara tiba-tiba, menyadarkan saya dari segala lamunan tentang
kehidupan Sang Arjuna yang serba penuh gemerlap. Lalu sahabat saya itu,
melanjutkan bertanya: "Sudahkah kamu tahu benar apa yang sebenarnya terjadi
dengan kehidupan Sang Arjuna?" Saya hanya terbengong-bengong saja,
mendengar pertanyaan sahabat saya itu. "Mau mendengar kisah yang
sesungguhnya?", tanya sahabat saya tanpa menunggu saya bereaksi. Dan,
sebelum saya sempat berkata-kata barang sepatah katapun, sahabat saya itu
langsung saja nerocos bercerita tentang kisah hidup Sang Arjuna yang
sesungguhnya. "Coba engkau duduk di sini, dekat saya! Pesan makanan kecil
dan minuman dulu ya, biar enak ceritanya. Akan aku ceritakan kepadamu kisah
yang sebenarnya!" Makanan dan kopi hangat sudah dipesan dan sudah ada di
muka saya dan sahabat saya itu. Sambil mencicipi makanan kecil dan 'nyruput'
sedikit kopi yang terasa masih sangat panas itu, cerita sahabat sayapun
dimulailah....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 55
"Apa yang kita tahu tentang Sang Arjuna itu, sepenuhnya benar", begitu kata
sahabat saya memulai ceritanya secara tiba-tiba. "Tapi banyak bagian-bagian
dari kehidupan Sang Arjuna, yang kita sebenarnya sama sekali tidak pernah
tahu", begitu lanjutnya. Lalu ia asyik nerocos bercerita tentang kehidupan Sang
Arjuna, sementara saya hanya bisa terbengong-bengong dan manggut-manggut,
sambil menjublak terkesiap, terkesima, dan terpana; mendengar semua cerita
sahabat saya itu.....
Cobalah bayangkan siapakah Sang Arjuna itu? Kita hanya mengenal dia sebagai
seorang ksatria pejabat tinggi negara di Kerajaan Amarta, yang terlihat sukses
hidupnya, penuh dengan gemerlap, penuh dengan berbagai bintang tanda jasa,
dan penuh dengan penghormatan karena dia banyak berjasa. Banyak wanita
yang tergila-gila kepadanya, karena ia memang tampan, pintar, cerdas, banyak
pengetahuannya, luas wawasannya, dan tubuhnya itu lo benar-benar membuat
para wanita menjadi 'keblinger', lupa diri, klepek-klepek, dan gelap mata.
Mereka semua pada bermimpi ingin memiliki Sang Arjuna. Ingin bersama
dengan Sang Arjuna selamanya. Ingin dijadikan isterinya. Ingin jadi
kekasihnya. Atau, setidak-tidaknya ingin supaya namanya bisa dikenang oleh
Sang Arjuna. Kalau mereka sudah berhasil memiliki coretan tanda-namanya,
seakan-akan seluruh isi dunia ini sudah dihadiahkan kepada mereka. Jangankan
wanita lajang, janda kembang, atau remaja putri; bahkan wanita yang sudah
bersuami dan berumah-tangga pun masih juga memimpikan Sang Arjuna
sebagai pendamping hidupnya. Ini sudah keterlaluan! Lalu suami mereka itu
mau dikemanakan? Apa suami mereka itu dianggap patung, semut, belalang,
'manuk' (burung), atau angin? Lo, ini faktanya lo! Bukan isu, tapi merupakan
kenyataan! Bahkan tidak hanya wanita yang tergila-gila kepadanya, priapun
juga banyak yang tergila-gila kepada Sang Arjuna. Mereka itu, memimpikan
hendak menjadi seperti Sang Arjuna. Padahal mereka itu kan bukan Arjuna?
Bagaimana bisa mereka memimpikan dirinya menjadi Arjuna? Caranya
berpakaian ditiru, cara berbicaranya ditiru, cara berpidatonya ditiru, caranya
merayu wanita ditiru, bahkan caranya berperi-laku ditiru. Waaaaah! Semuanya
ditiru, dari urusan kepala sampai kaki kok dipakai sebagai acuan hidup.
Bagaimana mereka bisa seperti itu? Apa mereka itu sudah kehilangan
kepribadiannya? Apa mereka itu tidak mikir? Lawong kenyataannya badannya
berbeda, rejekinya berbeda, pengetahuannya berbeda, dan segalanya kan
berbeda, kok mau jadi seperti Arjuna!
Itu tadi baru urusan kesukaan dan gaya hidup lo. Cobalah memahami
bagaimana kehidupan Arjuna. Kata pak dhalang, Arjuna itu "garwanipun
sakethi kurang siji" (isterinya sejuta kurang satu). Waaaaa... Kelihatannya hidup
Arjuna jadi menyenangkan seperti 'playboy' ya? Tapi tunggu dulu! Sejuta
kurang satu! Berapa itu? Itu isterinya semua? La kalau isterinya sebanyak itu,
terus kapan Sang Arjuna mau mengunjungi mereka? Apa bisa dia mengatur
waktu untuk menggilir mereka satu per satu? Jumlah hari saja, setahun cuma
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 56
360. Jadi kalau isterinya hampir sejuta, kan dia harus mengunjungi dan
menggilir isterinya kira-kira sehari tiga atau empat isteri. Memangnya bisa
melakukannya? Dan, memangnya bisa melakukan kayak makan obat? La kalau
misalnya dia memang sanggup melakukan hal itu, maka saya yakin Sang Arjuna
itu merupakan laki-laki yang paling loyo di dunia! Dan, liat aja, nanti pas umur
40 tahun, dia sudah megap-megap kehabisan tenaga! Terus, kalau itu memang
bisa dilakukan, lalu kapan dia bekerja untuk negara? Jangan lupa lo, dia kan
pejabat tinggi negara Kerajaan Amarta! Lo, ini pertanyaan logis saja...
Hal lainnya, kalau isterinya segitu bayaknya, terus bagaimana dia menghidupi
seluruh isterinya itu? Lalu berapa besar uang belanja setiap isteri atau setiap
rumah-tangganya? Waaa, kayaknya mulai kelihatan rumit! Saya sih sangat
yakin, Arjuna tidak akan bisa hafal semua nama isterinya, lawong terlalu
banyak. Itu baru isterinya, belum lagi simpanannya, wanita-wanita yang hanya
menjadi pemujanya, dan belum termasuk pula gadis-gadis remaja yang
seringkali berebut coretan tanda-nama Arjuna sebagai 'fans'-nya. Ini masih
belum termasuk sejumlah wanita yang dengan sengaja mengaku-ngaku sebagai
isteri Arjuna! Bagaimana Arjuna bisa menolak, kalau mereka yang datang
mengaku-ngaku sebagai isterinya itu, berparas cantik, sexy, bertubuh sintal, dan
muda belia. Kalau sudah seperti ini, Arjuna biasanya lebih sering menyerah
kalah. Atau, mungkin saja, sengaja menyerah kalah. Dan, seperti biasanya,
luluhlah hati Sang Arjuna, menghadapi wanita-wanita cantik yang sangat
memujanya itu. Mau tertipu atau tidak, itu urusan belakangan. Meskipun
kenyataannya banyak juga yang menipu Arjuna dan kenyataannya Arjuna juga
sangat sering tertipu oleh muslihat seperti ini. Tapi apa boleh buat, lawong
penipunya cantik, sexy, bertubuh sintal, dan yang jelas juga pandai merayu.
Kalau sudah begini, tertipu juga nggak apa-apalah, yang penting tidak sampai
masuk berita gosip sore di stasiun 'Amarta TV' dan tidak ketahuan sama
wartawan 'paparazi' yang suka mengumbar gambar-gambar seronok di majalah
dan koran kuning. Tapi belakangan ini, Sang Arjuna agak was-was juga, karena
media 'internet' sudah membanjiri hampir seluruh wilayah Kerajaan Amarta.
Selain itu, banyak orang punya telepon genggam yang dilengkapi kamera
digital. Jadi, Sang Arjuna harus lebih ekstra 'eling lan waspada'. Yang penting,
jangan sampai dia kepergok, sehingga foto atau video dia yang sedang
bermesra-ria dengan seorang wanita, bisa terpampang di 'youtube' atau di
'internet'. Kalau hal ini sampai kejadian, waaaah, bisa perang dunia keempat
salah tempat nanti.
Masih ada lagi, gerombolan remaja putri yang seringkali 'menyerang' Sang
Arjuna dengan senyuman, lambaian tangan, dan teriakan histeris; kalau mereka
secara kebetulan bertemu Sang Arjuna. Mereka ini, masih terlampau muda
untuk bercinta. Kata orang, masih 'bau kencur'. Kebanyakan dari mereka itu,
hanya senang jika diperlakukan secara manis, dimanja-manjain, dijajanin,
dibawa makan-makan ke restauran, dan diperlakukan sebagai puteri jelita oleh
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 57
pria yang namanya Arjuna. Mereka itu, seringkali juga dibawa serta ke pesta-
pesta mewah, sambil sedikit berhura-hura, diperkenalkan dengan para selebritas
Ibu-Kota Metropolitan Amarta-Pura, dan nampang di depan kamera televisi.
Meskipun hanya sampai segitu, tapi jelas hal ini juga membawa risiko. Isteri-
isteri Sang Arjuna kan seringkali melihat foto suaminya itu, terpampang di
koran sore bersama dengan beberapa orang gadis manis dan manja-manja. Atau,
di 'facebook' suaminya tiba-tiba ada kiriman berita yang berisi ucapan 'salam
sayang' atau 'salam MPRS' (salam mesra penuh rasa sayang) untuk Sang
Arjuna. Tapi yang lebih sering, adalah ketahuan ada 'sms gelap' di HP Sang
Arjuna, saat sedang dipegang dan diperiksa oleh sang isteri, dan kalimat berita
sms-nya (yang seperti kode rahasia intelejen itu), yang terbaca adalah 'aq
cayang kmu', atau 'Arjn I love u 4ever', atau 'aa Arjn kpn dtng?', atau 'aq ign
bertemu'. Kalau melihat berita berkode rahasia seperti ini, isteri Sang Arjuna
pastilah mengernyitkan dahi dan menjadi sangat curiga. Jangan-jangan
suaminya punya 'simpanan baru' atau sekurang-kurangnya punya 'calon
simpanan baru'. Tapi itupun sebenarnya bergantung kepada isteri yang mana
yang memergoki sms gelap itu. Kalau yang memergoki Dewi Wara Subadra,
biasanya dia hanya tertunduk dan menangis sedih. Ia wanita yang sangat halus
dan amat sangat sayang kepada Sang Arjuna. Kalau sudah begitu, keluarlah
kalimat manja 'senjata andalan' Sang Arjuna: "Sudahlah Diajeng-ku yang manis.
Kan Diajeng tahu, Kakangmas memang banyak penggemarnya. Jadi jangan
digubrislah. Kan yang penting Kakangmas masih sangat sayang sama Diajeng".
Naaaah loe...., mati kutulah Sang Dewi Wara Subadra kalau mendengar rayuan
maut Sang Arjuna itu. Apalagi, kalau malam harinya rayuannya diteruskan di
peraduan. Waaaa... sudahlah, menyerah kalahlah Sang Dewi Wara Subadra di
dalam pelukan mesra Sang Arjuna. Lagi pula dia kan bukan 'tentara wanita', jadi
bisa apa dia? Kalau suaminya nanti marah kepadanya, urusannya kan malah jadi
lebih runyam. Jadi, Dewi Wara Subadra seringkali bersikap mengalah saja
kepada suaminya yang benar-benar tampan itu. Apalagi kalau malam itu lalu
berubah menjadi malam syahdu yang indah, yang selalu menjadi impian banyak
wanita lainnya.....
Tapi lain ceritanya, kalau yang memergoki sms gelap itu Dewi Wara Srikandhi.
Dalam ukuran detik Sang Dewi bisa kalap dan serta merta menantang berkelahi
sang suami. Jangan lupa lo, Dewi Wara Sri Kandhi itu kan anggauta 'tentara
wanita', bahkan pelatihnya dulu kan Sang Arjuna. Dia itu jago berkelahi dan
bukan main-main lo. Kalau sedang marah dan memukul tembok, bisa ambrol
seketika. Tenaganya luar biasa dan kuat bagaikan pria saja. Tapi apa yang
terjadi saat dia selesai dilatih Arjuna dulu itu? Apa kamu nggak ingat? Dulu,
Sang Arjuna kan dibuat menyerah kalah, dan tunduk kepada semua kemauan
Sang Dewi Wara Sri Kandhi. Tahu sebabnya nggak? Begitu 'ganasnya' peri-laku
Sang Dewi yang satu ini, sampai-sampai Sang Arjuna menyerah saja mau
diapakan juga. Saya masih sangat ingat, menurut berita gosip pada masa itu,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 58
Sang Arjuna jatuh hati kepada Dewi Wara Sri Kandhi, justru karena tampilan
sang dewi yang cantik tapi 'tomboy', dengan potongan rambut sangat pendek,
dia terihat sangat sexy. Paling tidak, itu menurut pendapat Sang Arjuna lo.
Tubuh sang dewi yang jauh lebih gempal dari pada Sang Arjuna, justru
membuat Sang Arjuna lemah lunglai dan jatuh hati setengah mati. Itu di jaman
itu lo. Entah kalau di jaman sekarang, apa Sang Arjuna masih jatuh hati atau
enggak. Kalau kejadian Sang Arjuna ditantang berkelahi melawan Sang Dewi
Wara Sri Kandhi, maka dengan serta merta Sang Arjuna akan menyapanya
dengan halus dan penuh pesona: "Diajeng Sri Kandhi, jangan marah dulu dong.
Sabar sedikitlah. Itu hanya berita gosip yang dikirim untuk merusak reputasi
Kakangmas. Bagaimanapun juga, Diajeng masih jauh lebih disayang oleh
Kakangmas. Masih ingatkah Diajeng dulu, saat kita bersama-sama belajar dan
berlatih? Bukankan Diajeng sudah mendengar janji sehidup semati Kakangmas?
Jadi, jangan gusar dan jangan pula marah. Biasaaaa, pria tampan kan memang
banyak penggemarnya. Acuhkan sajalah. Sekarang Diajeng kepingin apa?
Kepingin diapain? Sini, Kakangmas penuhi permintaanmu". Kalau Dewi Wara
Sri Kandhi mendengar ujung kalimat yang terakhir itu, rontoklah segala
'kegalakannya' dan segala 'keganasannya'. Seketika ia berubah menjadi manis
manja, dan dengan serta merta lalu balik bertanya Sang Arjuna: "Kakangmas
Arjuna yang tampan, ingin diapain sekarang?" Kalau sudah keluar kata-kata itu,
berarti Perang Barata-Yudha usai sudah. Perkelahian seketika berganti dengan
gencatan senjata. Dan keluarlah kata-kata rayuan gombal dari pasangan sehidup
semati itu. Dunia lalu seakan menjadi milik mereka berdua, sedangkan orang
lain dianggap 'ngontrak' di dunia ini!
Lo, itu kalau soal sms gelap! Tapi misalkan kita sepakat gaji Sang Arjuna itu
memang buuuesaaar sekali, pertanyaannya seberapa besar sih gaji Sang Arjuna
itu? Kalau mau dihitung, berapa sih gaji Sang Arjuna sebagai seorang pejabat
tinggi negara di Kerajaan Amarta? Semilyar? Dua milyar? Atau berapa
sebenarnya? Yang jelas, gaji dia sebagai seorang pejabat tinggi negara di
Kerajaan Amarta, nggak mungkinlah melebihi gaji kakaknya, Yudhistira, yang
seorang raja, super-eksekutif di Kerajaan Amarta. Gaji kakaknya itu, kan cuma
beberapa puluh juta sebulan. Gaji Sang Arjuna pastilah berada di bawah gaji
kakaknya. Itu sudah pasti dan nggak bisa dipungkiri! Lalu bagaimana Arjuna
bisa menghidupi seluruh isteri dan rumah-tangganya? Itu yang selama ini
menjadi pertanyaan dan mengherankan banyak orang. Jika pun gaji dia itu satu
milyar sebulan misalnya, dibagi sejuta, kan boleh dibilang habislah gaji dia!
Herannya, banyak juga yang tidak mau tahu gaji Arjuna! Aneh sekali! Lebih
aneh lagi, ternyata masih banyak wanita yang ingin diperisteri Arjuna. Kalau
nggak bisa diperisteri Arjuna, ya berharap jadi 'teman tapi mesra', atau apalah
namanya. Pokoknya berusaha mati-matian untuk bisa dekat dan merebut hati
Sang Arjuna.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 59
Cobalah juga kaubayangkan, Arjuna itu kan banyak sekali isterinya. Bayangkan
kalau saja setiap isteri itu punya satu anak saja, lalu anaknya Arjuna itu
sebenarnya berapa? Kan jadi sejuta? Jadi anggauta seluruh keluarga Sang
Arjuna itu, kan jadinya dua juta orang. Itu kalau setiap satu isteri punya satu
anak. Apa ya semuanya kenal bapaknya? Lawong ibunya saja nggak pernah
dikunjungi. Ibunya, sekali-kalinya bertemu suaminya, kan saat menikah atau
dinikahkan, lalu berbulan-madu, lalu semua berakhir begitu saja. Semua
berakhir di situ. Isterinya lalu ditinggalkan begitu saja. Sang Arjuna lalu
berkelana lagi sekehendak hatinya. Katanya sih mencari ilmu pengetahuan,
menambah wawasan, dan pengalaman. Tapi kenyataannya, yang lebih sering
terjadi kan buntut-buntutnya bertemu gadis lain dan akhirnya menikah di suatu
tempat antah-berantah. Menurut berita yang bisa dipertanggung-jawabkan
sumber dan kebenarannya, Sang Arjuna paling sering menikahi anak gadis
guru-guru spiritualnya. Namanya juga guru spiritual, jadi tempat tinggalnya
juga harus sesuai dong dengan istilah 'spiritual', jadi adanya ya di tempat-tempat
yang asing, di gunung-gunung, di hutan belantara, di gua-gua yang amat jauh
dari peradaban. Aneh juga lo. Orang yang berasal dari sebuah kota metropolitan
seperti Kota Amarta-Pura, kok bisa-bisanya jatuh cinta kepada gadis dusun yang
berasal dari pedalaman. Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Kalau menurut
berita gosip paling mutakhir, Sang Arjuna yang memang orang kota
metropolitan itu, sangat suka jika dikagumi oleh gadis remaja yang 'masih
hijau', yang cenderung tidak tahu apa-apa, apalagi soal cinta. Jadi sebenarnya
yang jatuh cinta itu, lagi-lagi adalah si gadis, bukan Sang Arjuna! Itu awalnya
saja. Adapun Sang Arjuna, awalnya bolehlah dikatakan sebenarnya hanya ingin
menyenangkan hati si gadis gunung itu. Sudahlah tentu ayah sang gadis itu akan
merasa sangat bingung, jika anak gadisnya ternyata jatuh cinta kepada orang
kota, yang sedang menjadi muridnya. Apalagi ayahnya kan juga sangat tahu,
jika Sang Arjuna itu merupakan salah satu kerabat Pandhawa dan seorang
pejabat tinggi negara di Kerajaan Amarta. Apalagi yang mau dipertimbangkan?
Anaknya mau, muridnya tidak menolak! Di lain pihak, bagi Sang Arjuna kan
juga tidak etislah kalau menolak permintaan si ayah yang notabene adalah guru
spiritualnya, untuk menikahi anak gadisnya. Jadi ini sebenarnya soal ada
kesempatan yang terjadi karena berbagai 'kebetulan'. Kebetulan Sang Arjuna
sedang jadi murid, kebetulan kenal anak gadis guru spiritualnya, kebetulan anak
gadis itu manis, kebetulan si gadis sering kepergok sedang mencuri-curi
pandang, kebetulan tinggalnya berdekatan, kebetulan sering bertemu, kebetulan
keduanya sama-sama senang, kebetulan sama-sama mau, kebetulan jauh dari
isteri, kebetulan sedang dinas luar katanya, kebetulan tidak ada yang tahu,
kebetulan ada kesempatan, kebetulan tiap hari saling berpandangan mata,
kebetulan sering membantu mengantar si gadis, kebetulan ayahnya setuju,
kebetulan akhirnya Sang Arjuna juga jatuh cinta akhirnya, dan .... ah banyaklah
kebetulan-kebetulan lainnya.....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 60
Karena peristiwa seperti inilah, maka
menurut gosip, maka Sang Arjuna
sangat sering punya isteri di wilayah
pedalaman. Tentu saja, besar
kemungkinan isteri-isterinya yang
tinggal di kota besar tidak tahu apa
yang terjadi dengan suaminya yang
suka berkelana itu. Hal yang paling
sering terjadi, adalah ke rumah dinas
Sang Arjuna, tiba-tiba datanglah
seorang remaja yang mengaku sebagai
putera atau puteri Sang Arjuna. Dengan
sedikit kalang-kabut sudahlah tentu
terjadi suatu huru-hara kecil di rumah
dinas itu. Tapi, karena bukti-buktinya
biasanya kelewat lengkap dan kelewat
kuat, apalagi di jaman sekarang sudah
ada foto digital yang bisa dibuat hanya
memakai HP, maka Sang Arjuna
biasanya segera menyerah dan segera
mengaku saja kepada isteri-isterinya
yang datang dengan muka berang
penuh amarah. Motto Sang Arjuna,
'mengaku lebih cepat lebih baek, dari
pada harus terus berbohong'.
Tapi kembali ke soal gaji, seperti sudah kuceritakan, Sang Arjuna itu kan
gajinya tidak besar, meskipun dia seorang pejabat tinggi negara dari Kerajaan
Amarta. Kalau untuk setiap isteri dan rumah-tangganya diamisalkan bisa
membelikan satu saja rumah mewah dengan beberapa mobil, lalu dari mana
uangnya? Kalau itu yang terjadi, pastilah Sang Arjuna mengkorupsi uang
kerajaan! Itu sudah bisa dipastikan! Mengapa? Karena selama ini dia dikenal
tidak punya perusahaan. Kan gaji dia cuma dari negara doang. Nah, ini dia
rahasia pribadi Sang Arjuna, mengapa dengan gaji kecil dia bisa punya isteri
segitu banyak. Ternyata menurut sebuah survei, semua isteri dia itu
melaksanakan operasi 'self supporting' alias menjadi pengusaha mandiri, dengan
pengecualian tentunya yang tinggal di rumah dinasnya, seperti Dewi Wara
Subadra dan Dewi Wara Sri Kandhi itu misalnya. Jadi, Sang Arjuna itu,
meskipun sering bingung, tapi sebenarnya pengeluaran per bulannya tidaklah
sebesar yang dibayangkan banyak orang! Gitu lo! Meskipun begitu, tetap saja
sebagai pejabat tinggi negara dia perlu banyak dana untuk melaksanakan
berbagai kegiatan sosial dan tugas-tugas kenegaraannya....
Ini adalah gambaran Sang Arjuna. Ia sama sekali tidak memakai perhiasan apapun di seluruh badannya.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 61
Bayangkan saja, kalau Sang Arjuna harus membiayai sendiri seluruh rumah-
tangga isterinya, maka saya yakin dia akan menjadi koruptor paling besar di
Kerajaan Amarta! Lawong, gajinya cuma segitu, kok punya isteri dan anak
segitu banyak. Belum lagi kalau lagi kenaikan kelas, kan anak-anaknya pada
minta hadiah dari bapaknya. Coba kamu perhatikan juga, badan Sang Arjuna
itu, kan nggak pantas sebagai pejabat tinggi negara kok kurus kering begitu! Dia
itu bukan ramping tapi kurus kering! Juga perhatikan, apa dia punya perhiasan?
Kan di seluruh tubuhnya sama sekali tidak ada perhiasan apapun. Lawong HP
aja yang megang isterinya kok! Dia itu, sebagai manusia kasihan sekali lo.
Pejabat tinggi negara lainnya, kan pakaiannya mentereng, badannya penuh
dengan berbagai perhiasan, bintang jasa, HP beberapa biji, belum lagi jam
tangannya, pakai gelang mutakhir yang katanya sebagai tanda bahwa dia ikut-
ikutan dengan tindakan sosial tertentu. Liat aja, apa Arjuna punya itu semua?
Kalau kamu cermati, semua itu nggak ada pada diri Sang Arjuna. Dia itu kayak
orang miskin aja penampilannya. Tapi dia penjabat tinggi negara! Penampilan
seperti itu sih bukan sederhana, tapi miskin! E...., saya bukan mau menghina,
tapi memang seperti itulah kenyataannya. Kebanyakan isteri, kebanyakan anak,
kebanyakan urusan cinta, kebanyakan urusan yang nggak jelas; jadinya ya
begitu. Belum lagi kalau Mbak Dewi Banowati, itu tuh isteri Raden Mas
Suyudana, minta tolong ke Mas Arjuna sang pujaan hati. Wah, tanpa menungu
waktu, tanpa pamit, langsung pergi dia ke rumah Mbak Dewi Banowati. Dia
bisa lupa segalanya.... ha ha ha
Coba kamu perhatikan apa yang dilakukan Sang Arjuna kalau sedang bingung
dan sedang ada di rumah dan nggak ada acara ke mana-mana. Paling sering, dia
itu dengerin 'klenengan' atau 'uyon-uyon nyamleng'. Dia paling suka, kan
mendengarkan 'Gendhing Jineman Gathik Glindhing', minggah 'Langgam
Rengu', yang dimainkan dengan gaya Tayuban Jawa Timuran. Kamu tau nggak,
kenapa dia sangat suka lagu 'Langgam Rengu'? Karena bunyi syairnya, bercerita
tentang seorang pria yang sangat suka mengumbar 'katresnan' (cinta) dan
berakhir dengan bingung bagaimana cara mengatasi dan menyesaikannya..... he
he he
"Nah, begitulah kisah Sang Arjuna yang sesungguhnya", kata sahabat saya
mengakhiri ceritanya yang panjang-lebar tentang Sang Arjuna itu, sambil
'nyruput' kopi panas pesenannya tadi, yang ternyata sudah mulai dingin. Dan,
saya dengan masih terbengong-bengong, ikut beranjak berdiri, lalu mulai
melangkah bersama dengan sahabat saya itu. Sambil berjalan perlahan, pulang
berdua, saya mengajukan kesimpulan saya: "Jadi, Arjuna itu orangnya ternyata
penuh kerepotan dan hidupnya penuh was-was ya?" Sahabat saya,
menghentikan langkah kakinya, dan sambil menatap saya sejenak, lalu dengan
setengah berteriak berkata keras-keras: "La iya dong, lawong hidup seperti itu,
dipuja-puja banyak orang, tapi banyak yang sama sekali nggak tau apa yang
sebenarnya terjadi. Banyak yang salah sangka. Banyak juga yang nggak tau
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 62
kalau dia itu setiap hari sebenarnya selalu kebingungan! Jangankan ngurus
negara, lawong ngurus dirinya sendiri saja dia bingung! Kan orang nggak mau
tau soal itu. Orang kan taunya semuanya beres dan indah saja. Seperti yang
terlihat setiap hari di siaran 'Amarta TV' itu!", begitu celoteh sahabat saya, dan
kita berdua lalu tertawa terbahak-bahak, merasa tertipu setiap saat oleh koran,
majalah, dan media seperti televisi seperti 'Amarta TV' itu, tetapi kita ternyata
juga menyenangi tipuan itu! Kebangetan....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 63
TEJAMANTRI, SANG KONSULTAN
Bram Palgunadi
8 Juli 2011 pukul 22:52
Dalam dunia pewayangan, kita mengenal adanya sejumlah 'panakawan', yang
secara umum artinya 'sahabat dekat'. Ini merupakan sejumlah tokoh wayang,
yang umumnya berperan sebagai penasehat, dan sekaligus juga sahabat bagi
tokoh yang diikutinya. Sejumlah tokoh panakwan ini, bolehlah kita katakan
sebagai 'tokoh abadi', karena di setiap cerita wayang yang manapun, mereka
selalu ada. Misalnya, tokoh Limbuk, Cangik, Semar, Gareng, Petruk, Bagong,
Togog, dan Sarawita. Tokoh lain yang juga abadi, adalah denawa Cakil, raksasa
Rambut Geni, dan beberapa tokoh lainnya. Mereka ini, selalu muncul di dalam
pagelaran wayang yang manapun. Dalam kehidupan kita sehari-hari, nyatanya
kita lebih sering memperhatikan tokoh-tokoh panakawan yang empat, yaitu
Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Lalu, juga dengan dua tokoh wanita, yaitu
Limbuk dan Cangik. Tetapi bagaimana dengan tokoh Togog dan Sarawita?
Karena itulah, maka kali ini kita akan sedikit berkenalan dengan dengan tokoh
Togog dan Sarawita, yang sebenarnya sama terkenalnya dengan tokoh-tokoh
panakawan lainnya.
Tokoh Togog (sering juga disebut 'Tejamantri' atau 'Wijamantri') dan Sarawita
(sering disebut 'Mbilung'), seringkali dipandang sebagai tokoh 'panakawan
jahat', hanya karena mereka berdua itu selalu berada di pihak musuh, raja jahat,
atau tokoh-tokoh yang berperangai buruk. Ini merupakan sebuah pandangan
umum, yang sangat lazim dinyatakan orang tentang kedua tokoh ini. Tetapi
apakah benar demikian?
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 64
Togog khususnya, sebenarnya sama dengan Semar, mereka berdua adalah 'dewa
yang turun ke bumi'. Masing-masing mempunyai tugas dan peran khusus.
Semar, menjadi penasehat para ksatria pembela kebenaran. Sedangkan Togog?
Apakah ia dapat dikatakan sebagai penasehat pada ksatria pembela kejahatan?
Menurut saya, di sinilah letak kesalahan-pahaman kita dalam memandang peran
dan fungsi mereka. Menurut saya, Baik Semar maupun Togog, keduanya
merupakan penasehat para ksatria. Jika kita mencermati dialog-dialog keduanya
dengan para ksatria yang diikutinya, maka semuanya akan segera menjadi jelas.
Keduanya selalu memberikan nasehat-nasehat yang baik dan berguna. Bedanya,
keduanya berdiri pada pihak yang berseberangan.
Jika kita memakai kondisi jaman sekarang sebagai analoginya, maka tokoh
Togog, adalah 'penasehat agung' atau mungkin juga bisa kita sebut sebagai
seorang 'konsultan yang bekerja di luar negeri'. Sebaliknya, Semar adalah
'penasehat agung' yang bekerja sebagai 'konsultan yang bekerja di dalam negeri'.
Secara logika, di seluruh dunia manapun, dengan tidak memandang apakah dia
konsultan asing atau dalam negeri, semestinya tidak ada konsultan yang
memberikan 'nasehat buruk'. Semua konsultan pastilah akan memberikan
nasehat yang baik dan berguna bagi orang yang mempekerjakannya. Paling
tidak, ia memperkirakan bahwa nasehatnya itu akan berguna bagi orang yang
diikutinya. Kalaupun nasehat-nasehat mereka yang jelas baik itu tidak
diperhatikan, dianggap seperti angin lalu, atau diabaikan oleh atasan masing-
masing, maka hal itu berada di luar tanggung-jawab mereka.
Dalam kasus tokoh Togog atau Tejamantri, sebagai seorang konsultan yang
'bonafide', apalagi sebagai konsultan bagi pihak asing, maka pantaslah jika ia
bertubuh tambun, berkepala botak, pandai berbicara, dan pandai pula berdebat.
Memang begitulah seharusnya. Paling tidak, dipandang dari segi 'citra' yang
diperlukan supaya pendapat dan nasehatnya diperhatikan. Ia, bahkan selalu
memakai tata-krama yang baik, berbahasa baik, santun, serta didukung oleh
segudang ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Penampilan Togog yang
'modist', juga penting untuk diperhatikan. Bukankah dia bekerja di negeri
seberang? Nah, untuk memperkuat citranya sebagai penasehat yang sangat ahli,
ia memerlukan seorang 'asisten' atau katakanlah seorang 'staf ahli'. Di sinilah
letak peran dan fungsi Sarawita. Supaya nasehatnya menjadi semakin afdol,
maka staf ahli atau asistennya, haruslah memakai bahasa asing. Dalam hal ini,
Sarawita selalu diperankan berbahasa Melayu dan sama sekali tidak berbahasa
Jawa. Fungsi utama Sarawita, adalah membenarkan dan mendukung berbagai
argumentasi yang ditampilkan Togog.
Cobalah perhatikan baik-baik, bagaimana intonasi suara dan argumentasi yang
disampaikan Togog dalam berbagai dialog 'internasional'. Ia tidak pernah
marah, tidak pernah tersinggung, dan bahkan tidak pernah langsung
menyanggah pendapat orang lain (terutama orang yang diikutinya). Ia, selalu
memikirkan lebih dahulu, dan dengan kalimat yang jelas, iramanya lambat, serta
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 65
berkata-kata dengan nada rendah dan berat; saat menyatakan pendapatnya. Ia
bahkan tidak pernah berkata-kata dengan kalimat yang dinyatakan secara cepat
dan bernada tinggi. Baginya, semua masalah pasti bisa diatasi secara baik.
Togog, adalah tipikal orang yang selalu berpikir positif. Bahkan saat atasannya
menyatakan kepadanya tentang niat dan gagasan jahatnya, ia selalu memberikan
wawasan yang tetap berkutub positif, dan sama sekali tidak pernah terbawa arus
menjadi berpendapat negatif. Meskipun lawan bicaranya berbicara dengan
berteriak-teriak, memaki, serta memakai rangkaian kalimat bernada tinggi yang
disampaikan secara sangat cepat (karena sangat emosional), Togog tetap
berperi-laku santun, tetap memegang tata-krama, dan berbahasa halus. Bahkan
nada bicaranya tidak ikut-ikut menjadi bernada tinggi. Ia tetap menggunakan
nada yang rendah, dengan kecepatan bicara yang relatif lambat, dan suara yang
berat.
Jika dalam suatu dialog, ternyata Sarawita sang asisten membuat kesalahan.
Misalnya, salah ucap atau salah berargumentasi, maka biasanya Togog dengan
sabar dan bijak, akan mengingatkan Sarawita. Jangan lupa, Sarawita adalah
tokoh yang seringkali memberikan reaksi terlalu cepat dan dengan nada bicara
yang juga cepat dan agak terburu-buru. Karenanya, bisa saja ia salah ucap,
karena belum sempat memikirkan dalam-dalam sudah mengucapkan apa yang
dirasakannya. Ia juga terkenal sebagai tokoh yang seringkali terlampau cepat
memberikan tanggapan dan persetujuan kepada boss-nya (Togog), sebelum
Togog menyelesaikan seluruh pembicaraannya. Nah, di sinilah letak kesulitan
seorang Togog. Ia memerlukan seorang staf ahli, tetapi Sarawita seringkali
malah mempersulit keadaan, dengan berkata-kata sebelum Togog
menyelesaikan kalimatnya. Maksudnya sih baik, tetapi maksud yang baik, jika
diungkapkan terlalu terburu-buru, seringkali dampaknya menjadi buruk. Dari
pasangan Togog dan Sarawita inipun, kita bisa belajar banyak. Misalnya, belajar
tentang perlunya kompak dalam menyampaikan pendapat, perlunya belajar
menyatukan pandangan, perlunya belajar saling mendukung untuk mencapai
suatu tujuan, perlunya saling berterus terang di antara anggauta tim, dan
perlunya belajar untuk selalu berdamai dan saling bertenggang-rasa dengan
kawan seiring (teman sejawat).
Seperti saya sudah sampaikan, Togog adalah tokoh baik dan bijak, ia penasehat
yang baik. Kebetulan saja ia berdiri di pihak asing atau musuh. Setiap kali
terjadi dialog dengan atasanya yang mempunyai niat atau gagasan jahat, ia
selalu berusaha untuk menasehati dan memberikan wawasan tentang berbagai
risiko yang harus ditanggung, jika niat dan gagasan jahat itu dilaksanakan. Jika
perlu, ia akan berusaha membujuk, supaya niat dan gagasan jahat itu dibatalkan
saja. Ringkasnya, ia selalu berusaha, supaya junjungannya itu berubah menjadi
orang baik. Namun, namanya juga orang jahat. Mana ada yang mau dinasehati
supaya berubah menjadi orang baik? Dalam kasus seperti ini, jelaslah Togog
tidak pernah goyah dan tidak pernah berputus asa untuk selalu menasehati
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 66
atasannya itu, supaya berubah dan menjadi berperi-laku baik. Bahkan, jika ia
dimaki-maki oleh atasannya, karena sikap dan pendapatnya itu seolah-olah
seperti ingin menggagalkan gagasan dan niat jahat atasannya, maka Togog
dengan kepala dingin tetap tidak bergeming. Bahkan ia tidak lantas membalas
memaki, membuat isu, atau melawan kata-kata yang diucapkan atasannya. Ia
lebih suka mendengarkan lebih dahulu selama beberapa saat, lalu menyatakan
pendapatnya dengan bahasa yang santun, bernada rendah, dan berimana lambat.
Suatu upaya yang sangat bijak, untuk meredam kemarahan atasannya.
Belajar dari semua hal ini, maka jelaslah bahwa kita saat ini sebenarnya sangat
memerlukan tokoh-tokoh seperti Togog, yang bekerja di kalangan para ksatria
yang berwatak jahat. Kita memerlukan banyak tokoh Togog, karena justru
negara kita sekarang ini penuh dengan para ksatria berwatak jahat, candhala,
culika, dan tidak tahu malu; yang tidak saja mempermalukan diri sendiri, tetapi
juga mempermalukan negara dengan segala kelakuan, sifat, dan tindak-
tanduknya. Kita sangat kekurangan tokoh-tokoh seperti Togog, yang tidak
pernah berhenti menasehati para ksatria jahat itu. Kita bahkan cenderung
melupakan, bahwa tokoh seperti Togog justru sangat diperlukan di dalam
kehidupan nyata kita. Sebaliknya, kita sudah amat sangat mengenal tokoh
seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; yang bekerja pada kelompok
ksatria yang berperi-laku dan berwatak baik. Tetapi harap dicatat, bahwa dalam
kehidupan nyata, gagasan dan niat buruk; bisa saja timbul bahkan tidak saja dari
para ksatria yang berperi-laku dan berwatak jahat, tetapi juga dari kalangan para
ksatria yang sehari-harinya dikenal berperi-laku dan berwatak baik. Misalnya,
saat mereka lupa diri, khilaf, atau berubah menjadi membutakan diri; karena
sedang berkuasa atau sedang berharta.
Maka sejenak kita perlu merenungkan, dengan berdiam sesaat dan
mengheningkan cipta, karsa, dan rasa kita. Berusaha merasakan kembali,
apakah kita sudah menjadi orang baik, atau masih juga menjadi orang buruk.
Masihkah kita ingat kepada Sang Penguasa Jagat Raya, yang menguasai hidup
dan mati kita, atau kita mengacuhkan dan sudah melupakan-Nya. Jika kita
memang sedang sial atau memang meniatkan diri, dan kebetulan menjadi ksatria
jahat, maka ingatlah bahwa kita memerlukan pendamping dan penasehat seperti
'Togog', sang konsultan, yang akan selalu mengingatkan dan memberikan
nasehat kepada kita, untuk selalu kembali ke jalan yang benar. Mudah-
mudahan, kita selalu bertemu dengan tokoh, orang, atau sahabat; yang bersedia
berperan sebagai 'Togog' bagi kita. Semoga kita menemukannya....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 67
CANGIK DAN LIMBUK, DUA SAHABAT DENGAN
KESETIAAN TANPA BATAS....
Bram Palgunadi
9 Mei 2011 pukul 16:03
Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewayangan, yang menggambarkan orang yang setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau 'parekan' (dayang-dayang), tetapi lebih dari itu,mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri, yang mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas.
Di dunia pewayangan, kita selalu berhadapan dengan dua tokoh wanita, yaitu
Cangik dan Limbuk. Mereka berdua, selalu ditampilkan saat tiba pada
adegan 'keputren' di suatu kerajaan. Ini merupakan suatu adegan yang boleh
dikatakan selalu ada di setiap pagelaran wayang. Saking seringnya kedua tokoh
ini tampil, sampai-sampai kita tidak pernah tahu atau tidak mau tahu, siapakah
sebenarnya mereka berdua itu. Pada judul bahasan ini, saya memakai istilah
'dua sahabat' dan bukannya memakai istilah 'dua wanita'. Memang keduanya,
Cangik dan Limbuk, adalah dua orang wanita. Tetapi keduanya sebenarnya
sudah meningkatkan level dirinya, menjadi 'dua sahabat' bagi sang putri atau
permaisuri yang diikutinya.
Kesalahan terbesar dari kita sebagai pengamat dan penikmat pagelaran wayang,
khususnya wayang kulit, adalah bahwa tokoh Cangik dan Limbuk seringkali
kita pandang sebagai dua orang dayang-dayang atau kasarnya sebagai
'pembantu' seorang putri atau permaisuri raja. Ini merupakan kesalahan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 68
pemahaman yang bisa dikatakan fatal. Mengapa demikian? Sebab mereka
berdua, Cangik dan Limbuk, sebenarnya bukanlah dayang-dayang dan bukan
pula pembantu dalam pemahaman umum seperti yang kita kenal. Mereka
berdua, adalah 'panakawan', yang artinya 'sahabat'. Jika tokoh panakawan
Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; adalah panakawan bagi para tokoh ksatria;
maka Limbuk dan Cangik adalah panakawan bagi tokoh putri atau permaisuri.
Mereka berdua, bukanlah tokoh biasa. Mereka berdua, adalah tokoh yang peran
dan fungsinya sangat luar biasa. Meskipun kenyataannya, mereka berdua kalah
pamor dengan para panakawan ksatria yang lebih banyak diekspos dan
ditampilkan.
Gambaran bahwa Cangik adalah wanita tua renta yang bertubuh jelek dan buruk
rupa, merupakan gambaran yang benar-benar menggambarkan pemahaman kita
yang salah terhadap Cangik. Begitu pula tentang Limbuk yang digambarkan
tubuhnya tambun (gemuk) dan bermuka jelek. Cangik bukanlah wanita
berwajah buruk seperti banyak dikatakan orang. Cangik, adalah gambaran
seorang wanita tua yang sangat setia kepada majikannya. Ia adalah seorang
wanita yang bertindak sebagai 'rewang' bagi majikan perempuan (misalnya:
isteri, permaisuri). Bersama anaknya, yang bernama 'Limbuk", keduanya
merupakan teman atau sahabat sejati, tempat sang putri atau permaisuri curhat,
merenungkan kehidupannya, dan mendiskusikan kegundahan hatinya. Mereka
berdua, bukanlah orang biasa! Mereka berdua adalah orang-orang dalam
lingkungan terdalam suatu istana. Kalau memakai istilah jaman sekarang,
mereka berdua itu termasuk orang-orang yang 'berada di lingkaran ring satu',
yang merupakan orang-orang kepercayaan yang berada paling dekat dan sangat
erat hubungannya dengan orang terpenting di istana. Mereka juga 'pemegang
rahasia' sang puteri atau permaisuri. Begitu dekat dan eratnya hubungan mereka
dengan junjungannya, sehingga bisa dikatakan hubungannya jauh melebihi yang
bisa dilakukan oleh seorang menteri atau mahapatih (menteri koordinator,
menko).
Cangik dan Limbuk, bukanlah 'babu' seperti yang banyak digambarkan
orang. Mereka berdua, adalah 'rewang'. Dalam bahasa Jawa, artinya 'orang yang
membantu'. Dalam pemahaman ini, mereka bukanlah 'pembantu' (babu).
Rewang, artinya 'penolong'. Istilah 'ngrewangi', artinya membantu atau
menolong. Maksudnya membantu atau menolong mendengar curhat sang
junjungan, membantu memberikan saran, membantu menenangkan sang
junjungan, membantu menyenangkan hati sang junjungan, membela
junjungannya [1], dan membantu mencarikan jalan keluar jika ada masalah.
Dalam budaya tradisional Jawa, seorang 'rewang' akan tinggal bersama, jika
perlu tidur dan menjaga di kamar sang puteri, makan menu dan makanan yang
sama dengan junjungannya. Mereka seringkali juga merawat dan membesarkan
anak-anak dari keluarga yang diikutinya.[2] Mereka bukanlah 'orang belakang',
tetapi lebih tepat disebut sebagai 'orang dalam'. Dalam kehidupan nyata, mereka
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 69
seringkali diberi kepercayaan yang sangat luar biasa, yang berhubungan dengan
harta, kekayaan, rahasia, rumah tinggal, dan anak-anak. Karena itu, mereka
berdua, bukanlah 'parekan' (dayang-dayang). Kalau di jaman sekarang, mungkin
mereka berdua itu lebih tepat disebut 'asisten pribadi'.
Cangik, lazimnya digambarkan sebagai wanita dewasa yang banyak
pengalamannya. Sedang Limbuk, lazimnya digambarkan sebagai wanita muda
sedang magang (untuk nantinya menggantikan Cangik). Mengapa Limbuk
digambarkan bertubuh gemuk dan Cangik bertubuh kurus? Sebab, seseorang
yang mengabdi tanpa pamrih kepada seseorang lainnya (junjungannya),
meskipun ia semula bertubuh gemuk, jika pengabdian itu dilakukan tanpa
pamrih, maka ia akan menjadi kurus dengan sendirinya. Kurus, menggambarkan
orang yang jujur, sederhana, tidak banyak tuntutan, hidupnya tidak mengejar
materi dan kekayaan. Juga menggambarkan sifat orang yang sederhana, tidak
neka-neka. Limbuk yang tubuhnya tambun, menggambarkan seorang wanita
yang masih muda dan masih memikirkan materi dan duniawi.
Cangik dan Limbuk, menggambarkan 'asisten pribadi' seorang putri/wanita. Di
negara/kerajaan manapun, peran keduanya ini selalu ada. Bahkan di jaman
sekarang pun (di abad ke-21) peran keduanya pun ada (dalam dunia yang
nyata). Bahagialah anda, yang masih bisa menikmati kesetiaan mereka yang
tanpa batas. Selamat merenungkan......
________________________________
[1] Saya mempunyai seorang sahabat karib (seorang pria) bersuku-bangsa Jawa, yang rumah-
tangganya berantakan, gara-gara isterinya selingkuh dengan seorang pemuda yang kost di
rumahnya. Rewangnya, seorang wanita tua, dengan berani dan tanpa ragu-ragu memarahi
majikan perempuannya dan mengusir kedua pasangan selingkuh itu dari rumah tinggalnya.
Selama bertahun-tahun setelah peristiwa itu, sahabat karib saya itu, dirawat, dilayani, dan dijaga
oleh rewangnya ini, seperti seorang ibu menjaga anaknya. Hal ini, secara jelas menunjukkan
bagaimana peran seorang rewang dalam kondisi yang sebenarnya.
[2] Saya, sewaktu masih kecil, tinggal di Yogyakarta (sekitar tahun 1952 - 1959), sempat
merasakan bagaimana seorang rewang keluarga yang bernama Mbok Wirya, setiap hari
merawat saya dan adik-adik saya. Mbok Wiryo ini, setiap hari menggendong saya dan
menimang-nimangnya seperti anaknya sendiri, seringkali sampai saya tertidur. Saya masih ingat
benar, bagaimana Mbok Wiryo, seringkali menggendong diri saya yang saat itu masih kecil,
sambil menyanyikan tembang Jawa 'Pendhidisl-pendhisil', 'Jamuran', 'Gathutkaca Edan',
'Cempe-cempe', atau 'Kebon Raja'. Sungguh merupakan kenangan indah di masa kecil saya
yang tak akan terlupakan sepanjang hayat.
________________________________________
Di bawah ini, saya tambahkan cerita Mas Yohanes Triwidiantono, yang sangat
menyentuh perasaan.
Yohanes Triwidiantono 09 Mei 5:46
Pak Bram ingkang kinurmatan, Saya juga punya kenangan sepanjang hayat
seperti panjenengan; sewaktu kecil (1962 - 1968) saya dimong oleh mbok-dhe
Karso, yang adalah suami-isteri tetangga sebelah rumah, tanpa anak. Bukan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 70
hanya mbok-dhe Karso yang nggemateni saya, namun juga pakdhe Karso. Oleh
orang-tua saya, suami-isteri ini digaduhi sepasang cempe. Tak heran, saya pun
sering ikut angon cempe ke ladang. Yang saya tahu adalah saya dijagai melebihi
apapun, termasuk memenuhi keinginan dan saya. Suatu saat saya diberi pondoh
(pucuk batang pohon kelapa), karena terasa manis lembut dan tidak keras, saya
menikmatinya, sayang hanya sedikit karena hanya pembagian entah tetangga
mana yang menebang pohon. Saya bertanya asal-usul pondoh itu, dan dijelaskan
apa adanya. Ketika suatu saat pakdhe Karso memetik kelapa, saya minta
pondoh. Ibu saya terperanjat, dan bilang bahwa yang bisa dipentik hanya
dawegan, pondoh tidak bisa dan tidak ada. Saat pakdhe turun tidak membawa
pondoh, saya ngambek. Hari berikutnya pakdhe keliling kampung mencari
orang menebang kelapa, tidak ketemu, sampai akhirnya ketemu di kampung
tetangga ada yang menebang. Dengan segala upaya pakdhe minta pondoh
kepada pemilik pohon. Sampai saya menjadi seorang bapak, olok-olok ini masih
sering saya dengar dari ayah saya, bahwa asaya minta pondoh pada pemetik
kelapa. Setelah sekolah di SD, saya diikutkan ke keluarga kakek-nenek saya
yang jaraknya sekitar 10 km. Orang-tua saya bekerja ke Malaysia (1969 - 1973).
Sepertinya, ini petaka bagi pakdhe-mbokdhe Karso, hampir tiap minggu
menjenguk saya. Keduanya tidak dapat bersepeda, hanya berjalan kaki. Lama-
lama berangsur semakin jarang menjenguk saya, tetapi saya tidak tahu
penyebabnya. Namun mereka masih tetap berkunjung, yang saya tahu mereka
pasti selalu membawa hasil kebun seperti; ketela, nangka, pisang dsb. dan masih
setia menunggui sampai saya memakannya. Kunjungan mereka masih saja terus
berlangsung hingga saya dewasa, bahkan sepasang cempe yang sudah menjadi
belasan ekor tidak pernah diakui sebagai miliknya, tetapi dianggap itu milik
saya, padahal ayah saya sudah menyerahkan semuanya kepada mereka. Ketika
ada yang dijual, uangnya diberikan kepada saya. Setelah saya dewasa dan kuliah
ke luar kota, mereka masih berkunjung ke orangtua saya, mencari-cari saya
sambil membawa hasil kebun. Setiap pulang ke Yogya, saya memang kadang
menyempatkan mampir ke rumah (sebenarnya gubuk) mereka, hanya sekedar
memberi sebotol kecil madu sebagai buah tangan, tapi malah mereka memberi
saya beras sekandi. Sekarang, mereka memang sudah tiada, pakdhe Karso sudah
sekitar 10 tahun yang lalu, dan mbokdhe sekitar 5 tahun lalu. Tidak ada barang
apapun di dunia ini yang dapat menggantikan kasih-sayang mereka kepadaku,
juga baktiku kepada mereka tidak akan mungkin sebanding. Gubuknya
ditinggali oleh anak angkat (pupon) mereka, tetapi saya tidak kenal. Saya
kadang berkunjung ke gubuk itu, tapi tidak ada kata yang dapat menjelaskan
apapun mengenai hubungan saya dengan pakdhe dan mbokdhe Karso.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 71
CINTA RAHWANA HANYA UNTUK SINTA
Bram Palgunadi
11 April 2011 pukul 2:41
Saat Rahwana menculik Dewi Sinta, perbuatannya ketahuan oleh Jatayu.
Jatayu berusaha merebut Dewi Sinta, namun gagal.
Ini merupakan obrolan antar sahabat, saat sedang suntuk dan capek bekerja.
Topiknya, sudah jelas mempertanyakan, apakah Rahwana itu raja yang jahat
atau bukan? Bagi saya dan sejumlah sahabat, ini jelas merupakan dilema yang
bisa menyebabkan saya dan beberapa sahabat saya dibenci orang. Sebabnya
jelas, kita mencoba melihat Rahwana dari sisi dia sebagai manusia. Sebagian
besar dari kita, umumnya melihat Rahwana sebagai tokoh yang jahat.
Sedangkan Rama, sebagai orang baik yang dizalimi. Itu pandangan orang pada
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 72
umumnya. Sedangkan dalam pandangan saya (dan beberapa sahabat saya
lainnya), kita bisa bersikap begitu karena kita selalu menerima 'wejangan' dari
orang tua kita, bahwa Rahwana itu orang jahat dan Rama orang baik. Kita
bahkan menerima pandangan itu begitu saja, tanpa pernah mempertanyakan, apa
saja kebaikan Rahwana dan apa pula keburukan Rama.
Dalam cerita Ramayana yang lazim disampaikan kepada kita, sesuai dengan
pakem pewayangan, diceritakan bahwa Rahwana sangat ingin memperisteri
Dewi Sinta. Padahal, Dewi Sinta saat itu sudah menjadi isteri Rama. Untuk itu,
ia berupaya memperdaya Rama dan Laksmana, supaya bisa menculik Dewi
Sinta. Penculikan itu berhasil sukses! Meskipun selama perjalanan Rahwana
diserang oleh Jatayu, tetapi halangan itu bisa diatasinya, dan Dewi Sinta bisa
diboyong Rahwana ke Alengkadiraja. Tiga tahun, Dewi Sinta ditawan di sebuah
'keputren', ditemani DewiTrijatha, adik Rahwana. Dan selama tiga tahun pula
Rahwana selalu berusaha membujuk Dewi Sinta untuk bersedia menjadi
permaisurinya. Segala upayanya untuk menjadikan Dewi Sinta sebagai
permaisuri, ditolak oleh Dewi Sinta secara halus. Jadi Rahwana sebenarnya
dapat dikatakan gagal memperisteri Dewi Sinta. Bahkan, saat Rahwana agak
kelewatan sikapnya, saat sedang membujuk Dewi Sinta, ia dihalangi oleh Dewi
Trijatha, adiknya. Tentu saja Rahwana menjadi marah, dan Dewi Trijatha
dikutuk oleh Rahwana. Kutukan Rahwana menyatakan, bahwa Dewi Trijatha
akan mendapat jodoh jika sudah menjadi 'perawan tua' dan jodohnya adalah
seorang wanara tua yang bertubuh pendek, jelek, dan buruk muka. Kutukan
Rahwana ini, membuat Dewi Trijatha sedih berkepanjangan. Keinginan
Rahwana untuk bisa menjadikan Dewi Sinta sebagai permaisurinya, telah
mengorbankan banyak hal, termasuk kekuasaan, keluarga, sanak saudara, dan
kerajaan Alengka. Rahwana, akhirnya terbunuh dalam suatu pertempuran
melawan Rama yang dibantu ribuan pasukan wanara (kera). Ia merupakan orang
terakhir dari Kerajaan Alengka yang mati di medan laga, melawan musuh.
itulah ringkasan seluruh cerita tentang Rahwana yang sangat terkenal itu.
Sekarang cobalah kita pahami barang sedikit cerita kebalikannya, ditinjau dari
sisi Rahwana. Cobalah untuk mendinginkan kepala dan tidak emosional
sewaktu membaca cerita ini. Tentu saja, cerita ini merupakan cerita imajiner,
jadi gunakanlah juga imajinasi anda saat membacanya.....
Bayangkalah, Alengkadiraja adalah sebuah negara adidaya, yang terkenal
sangat kaya dan makmur. Kerajaan ini, politiknya sangat stabil, keamanan di
seluruh wilayah Kerajaan Alengkadiraja sangat terkendali dan sangat aman.
Rakyatnya demikian sejahtera, sehingga banyak orang yang berasal dari manca
negara, datang dan akhirnya tinggal bermukim di Kerajaan Alengkadiraja.
Menurut sejarahnya, Kerajaan Alengkadiraja juga tidak pernah memperlakukan
kerajaan-kerajaan di sekitar wilayahnya sebagai negara jajahan. Alengkadiraja
juga tidak pernah menyerbu negara lain. Kerajaan Alengkadiraja, memang
bukan sebuah negara demokratis seperti Amerika. Kerajaan Alengkadiraja,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 73
memang merupakan sebuah negara monarki (kerajaan), yang dipimpin oleh
seorang diktator luar biasa besar dan sangat luas kekuasaannya, yang berjuluk
Prabu Rahwana. Kerajaan besar ini, bahkan tidak memerlukan adanya Dewan
Perwakilan Rakyat untuk membuat berbagai undang-undang. Segala aturan dan
undang-undang, cukup ditangani oleh Rahwana yang dibantu sejumlah pejabat
tinggi kepercayaannya. Sejak Kerajaan Alengkadiraja berdiri, sampai akhirnya
tumbang oleh serbuan para 'monyet' yang membantu Rama, tidak pernah ada
berita negatif sedikitpun yang menyatakan bahwa Rahwana pernah berbuat
menzalimi rakyatnya. Begitu juga para pejabat tingginya, selalu mempunyai
'track record' yang baik dan tidak tercela. Bagi rakyat di Kerajaan
Alengkadiraja, pemerintahan diktatorial nyatanya justru jauh lebih baik dari
pada pemerintahan demokratis yang centang-perenang dan tak jelas
juntrungannya.
Rahwana sangat menginginkan Dewi Sinta sebagai permaisurinya. Sebagai
manusia, itu merupakan hal yang wajar. Namanya juga naksir. Salahnya, Dewi
Sinta sudah menjadi isteri orang lain. Bahwa Rahwana menculik Dewi Sinta, itu
memang kesalahan fatal. Tapi bagaimana lagi? Namanya juga usaha! Apalagi
dilandasi rasa cinta yang membara. Segala cara bisa ditempuh. Kalau nggak
begitu, kan malah dipertanyakan orang, seberapa besar cintanya? Kan kata
pepatah juga menyatakan bahwa 'cinta itu buta'. Bahkan cinta itu, mudah
indikasinya. Orang yang benar-benar cinta, akan berada pada kondisi hilang
akal dan hilang ingatan. Kalau masih bisa berpikir jernih dan tidak hilang akal,
pastilah orang itu tidak benar-benar jatuh cinta. Mungkin hanya pura-pura jatuh
cinta. Kalau tidak hilang ingatan (terhadap banyak hal), pastilah orang itu juga
tidak jatuh cinta. Cobalah renungkan saat anda dulu jatuh cinta. Apakah benar
anda tidak hilang akal dan hilang ingatan? Contohnya, saat anda jatuh cinta,
bukankah anda menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus diperbuat?
Segala kecanggihan diri anda tiba-tiba lenyap begitu saja, saat berhadapan dan
bertemu dengan wanita idaman anda. Saat anda jatuh cinta dulu, bukankah anda
juga hilang ingatan? Lupa daratan, lupa makan, lupa tidur, dan bahkan lupa
segalanya. Anda hanya bisa mengingat satu hal saja. Yaitu wanita idaman anda!
Hal lainnya? Tentu saja anda lupakan. Ingatan anda tentang nasehat orang tua
yang mengatakan bahwa hidup harus berhati-hati, juga bisa anda abaikan
seketika. Anda tiba-tiba berubah menjadi manusia yang berani mati demi sang
pujaan hati. Woooooo..... luar biasa! Jatuh cinta, ternyata bisa mengubah
segalanya........
Begitu juga dengan Raja Rahwana yang julukan aslinya adalah 'King of Forest
Blood', dari sebuah kerajaan adidaya yang sangat terkenal di seantero jagat
maya dengan sebutan 'The Great Alengka Kingdom'. Rahwana, seorang
'manusia berdarah rimba raya' telah jatuh cinta! Ini merupakan suatu fenomena
dan peristiwa yang sangat luar biasa yang amat sangat langka, yang diliput oleh
semua stasiun televisi di seluruh dunia sebagai sebuah peristiwa besar! Ia telah
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 74
dinobatkan menjadi 'the greatest man of the year', yang selalu
ditayangkan dalam bentuk 'headline' di semua surat-kabar, majalah, harian lokal
dan internasional, internet, stasiun televisi, stasiun radio dalam negeri dan
manca negara.
Seorang Rahwana yang semula lebih dikenal sebagai penguasa sebuah kerajaan
adidaya yang sangat jarang tersenyum, tiba-tiba berubah menjadi seorang pria
yang berdandan necis dan 'dandy', dengan pakaian keluaran rumah mode
terkenal, bergaya mode mutakhir, dengan potongan rambut yang sedang trendy.
Semua orang jadi memperhatikan Rahwana yang sedang menjadi pokok
pembicaraan di mana-mana. Bahkan sejumlah anak muda Alengkadiraja yang
sebelumnya cenderung menjauhinya, tiba-tiba secara sangat antusias dan
bersuka hati, membentuk sebuah organisasi komunitas sosial yang dinamakan
'Rahwana Fans Club'. Majalah mode manca negara yang sangat terkenal, lantas
memuat foto-foto kegiatan sehari-hari Rahwana dan menobatkannya menjadi
'The man who give new inspiration to other peoples'.
Jangan lupa, Rahwana memang sudah 'sugih' (kaya raya) dari sononya. Jadi, ia
jelas bukan seorang koruptor. Saat pergi ke Istana Negara Alengkadiraja, ia
mengendarai mobil sport merk Jaguar model terbaru. Pakai mobil Jepang? No
way! Mobil bikinan Jepang kurang keren, katanya dalam suatu wawancara
eksklusif dengan sejumlah wartawan. Tanpa sungkan ia juga bercerita, bahwa ia
sekarang punya kebiasaan baru, yaitu selalu membuka semua jendela dan kap
atas mobilnya, jika sedang melakukan perjalanan memakai mobil Jaguar-nya.
Ia, selalu melambaikan tangan sambil menebar senyum gembira kepada seluruh
rakyatnya yang selalu menantikannya di pinggir jalan, saat rombongan mobil
kerajaan itu lewat di jalan protokol Kerajaan Alengkadiraja. Suasana itu, juga
menjalar ke Istana Kenegaraan Alengkadiraja. Suasana istana yang semula
terlihat angker, formal, resmi, dan kaku; lalu berubah menjadi sebuah istana
yang menyenangkan, indah, ceria, selalu penuh bunga.
Berbagai pagelaran wayang kulit, wayang wong, wayang klithik, musik
keroncong, jaipongan, wayang golek, orkestra, band musik pop, musik klasik,
jazz, rock, dan blues; lantas menjadi pagelaran yang secara rutin menghias
pendhapa istana Alengkadiraja. Hanya musik kamar (chamber music) yang
tetap tidak diijinkan Rahwana main di istana. "Musik kamar terlalu berisik,
kalau dimainkan di dalam kamar yang sempit. Saya bisa jadi 'budheg' (tuli)!
Kan saya hanya menonton dengan beberapa sahabat. Jadi kurang siplah kalau
dimainkan di dalam kamar yang sempit di istana," begitu kata Rahwana, seperti
dikutip oleh sejumlah wartawan istana.
Tetapi jika ada wartawan yang bertanya tentang Dewi Sinta yang menurut kabar
angin, selentingan, dan gosip; telah diculik dan dijadikan tawanan jelita,
Rahwana selalu diam terpaku dan selalu menjawab "no comment". Sangat nyata
terlihat di air mukanya, betapa pertanyaan seperti itu telah melukai perasaannya.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 75
Menurut berita-berita yang santer dibocorkan oleh sejumlah pejabat istana
Alengkadiraja, Rahwana akhir-akhir ini sering terlihat duduk termenung sendu,
saat sedang sendirian di Istana Alengkadiraja. Meskipun masyarakat
Alengkadiraja melihat Rahwana sebagai manusia yang sehari-hari terlihat
gembira, penuh senyum, dan seringkali menyapa rakyatnya dengan tebaran
senyumnya yang sangat khas, tetapi di balik itu semua ia ternyata menyimpan
kesedihan luar biasa. Dan, justru karena Rahwana merupakan penguasa tertinggi
di Kerajaan Alengkadiraja, maka tidak ada yang berani menanyakan kepadanya
tentang apa yang telah membuatnya gundah dan bersedih. Banyak orang hanya
menebak-nebak saja di dalam hati dan tidak pernah berani mengungkapkkannya
secara terbuka, takut melukai hati orang yang menjadi pujaannya itu.
Diam-diam, tanpa terungkap di media massa, dan tanpa pernah dipublikasikan;
ternyata banyak juga rakyat Alengkadiraja yang ikut merasa sedih atas apa yang
sedang menimpa Rahwana, raja yang sangat dihormati rakyatnya itu. Pendapat
mereka, umumnya terpecah menjadi dua. Sebagian mengatakan bahwa
Rahwana sebagai seorang raja besar, tidak sepatutya menculik Dewi Sinta,
meskipun ia sangat mencintainya. Tetapi, sebagian lagi, merasa bahwa seorang
Rahwana adalah seorang laki-laki sejati, yang berani mengambil risiko apapun
demi cinta matinya kepada Dewi Sinta, meskipun mereka juga tahu bahwa
tindakan itu salah. Tetapi, secara umum, rakyat Alengkadiraja tetap berpendapat
bahwa bagaimanapun juga, Rahwana adalah laki-laki sejati, yang menjadi
dambaan setiap wanita. Ia dimimpikan oleh banyak wanita, karena keteguhan
dan ketegaran sikapnya. Tidak banyak wanita Alengkadiraja yang mempunyai
kekasih atau suami seperti Rahwana, yaitu jika sudah jatuh cinta, apapun
rintangannya akan diterjang, apapun penghalangnya akan dilibas, dan apapun
akan dilakukan demi cintanya kepada pujaan hatinya. Rahwana sebenarnya
adalah seorang laki-laki ideal pujaan hati wanita.....
Tiga tahun sudah, Dewi Sinta disekap di dalam 'keputren' Alengkadiraja,
ditemani Dewi Trijatha yang setia. Setiap hari, Rahwana selalu datang
mengunjunginya dan dengan kata-kata yang selalu diusahakan diucapkan
sehalus mungkin, selalu ditanyakannya kepada Dewi Sinta, apakah ia bersedia
dipersunting dirinya dan dijadikan permaisuri, menjadi Ibu Negara
Alengkadiraja. Dinyatakannya juga, bahwa ia hanya mempunyai satu cinta, dan
cinta itu telah dipersembahkannya kepada Dewi Sinta. Setiap kali Rahwana
berhadapan dengan Dewi Sinta, ia seperti hilang akal dan tidak tahu apa yang
harus diperbuat. Ia merasa seakan semua kekuasaan yang dimilikinya menjadi
sama sekali tidak berarti di mata Dewi Sinta. Rahwana selalu berkata, bahwa ia
menculik Dewi Sinta karena rasa cintanya yang tiada tara. Untuk tindakannya
itu, Rahwana selalu meminta maaf kepada Dewi Sinta. Ia juga selalu
mengatakan kepada Dewi Sinta, bahwa ia bersedia berkorban apa saja, asalkan
Dewi Sinta bersedia dimuliakan dan dipersunting menjadi permaisurinya.
Namun, setiap kali ia bertanya kepada Dewi Sinta, Rahwana selalu mendapat
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 76
jawaban menolak, yang membuat hatinya remuk redam. Tiap kali Rahwana
mendapat jawaban penolakan seperti itu, setiap kali pula ia terdiam. Dan,
perlahan-lahan ia berjalan meninggalkan Dewi Sinta sendirian tanpa
mengucapkan sepata katapun. Begitulah yang terjadi setiap kali dan setiap hari.
Rahwana selalu menerima jawaban yang membuatnya merasa seakan dunia
hendak kiamat. Tetapi, entah mengapa, tiap kali Rahwana selalu kembali
memberanikan dirinya untuk menanyakan hal yang sama. Meskipun ia tahu
benar, jawaban yang akan diterimanya akan selalu sama, yaitu berupa jawaban
menolak. Tetapi, manusia hidup dari harapan dan mimpi. Selama harapan dan
mimpi itu belum pudar, maka selama itu pula manusia bisa berharap bahwa
mimpinya suatu ketika akan menjadi kenyataan. Karena itu pula, Rahwana
selalu kembali menguatkan dirinya untuk selalu datang bertanya kepada Dewi
Sinta. Meskipun ia sangat sadar, bahwa harga dirinya sebagai laki-laki,
sebenarnya sudah hancur. Rahwana telah mengambil risiko mengorbankan
harga dirinya, demi cintanya kepada Dewi Sinta. Tetapi Rahwana menganggap
hal itu sebagai sebuah konsekuensi logis yang harus ditanggungnya. Dalam
pandangannya, harga dirinya akan pulih secara perlahan-lahan, jika ia berhasil
mempersunting Dewi Sinta, dan mempersembahkannya kepada rakyatnya untuk
dimuliakan sebagai seorang Ibu Negara.
Rahwana bukanlah seorang penyair, yang bisa menulis puisi jika hatinya sedang
gundah. Ia juga bukan seorang penyanyi, yang bisa membuat tembang balada
jika hatinya sedang sedih. Ia juga bukan seorang sastrawan, yang bisa
mencurahkan isi hatinya ke dalam bentuk karya sastra, saat ia memikirkan
pujaan hatinya. Pada saat-saat seperti itu, Rahwana bahkan merasa sendirian,
kesepian, dan seperti sama sekali tak berteman. Ia merasa sendirian di tengah
keramaian dunia. Di tempat yang sangat ramai sekalipun, ia merasa tetap
kesepian. Ia selalu memimpikan bisa bergandeng tangan dengan mesra,
bercengkerama, berjalan berdua dengan Dewi Sinta, sambil menyapa lambaian
tangan rakyatnya. Mimpi-mimpi itulah yang selalu datang setiap malam, dan
membuat hatinya kuat untuk kembali menemui Dewi Sinta pada esok hari
berikutnya.
Selama tiga tahun, Dewi Sinta hampir setiap hari bertemu dengan Rahwana.
Selama itu pula, ia tidak pernah disentuh atau dijamah sekalipun oleh Rahwana.
Meskipun ada rasa rindu yang menggebu-gebu kepada Rama, tetapi sebagai
wanita dewasa Dewi Sinta juga sering mempertanyakan kepada dirinya sendiri,
apa yang telah terjadi dan bagaimana seharusnya ia bersikap. Secara jujur Dewi
Sinta juga mengakui di dalam hati (hal ini secara diam-diam juga sering
diutarakan kepada Dewi Trijatha), bahwa Rahwana dipandang dari satu segi,
memang telah melakukan kejahatan, yaitu menculik dirinya. Namun, dari segi
lainnya, selama tiga tahun disekap itu, ia selalu mendapat perlakuan yang sangat
baik dan sopan oleh Rahwana. Dari berita dan cerita yang diterimanya dari
berbagai pihak secara sembunyi-sembunyi, Dewi Sinta juga mendengar
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 77
berbagai kabar tentang Rahwana. Sebagian besar kabar yang diterimanya itu,
menceritakan bahwa Rahwana telah berubah menjadi orang yang gembira,
penuh senyum, dan bahkan suasana istana sudah sangat berubah. Semua berita
tentang Rahwana, ternyata merupakan berita yang sangat positif. Dewi Sinta
sebenarnya juga berpikir, bahwa jika Rahwana benar-benar orang jahat, maka
pada hari pertama saat ia diculik, bisa saja ia langsung diperkosa dan
ditinggalkan begitu saja oleh Rahwana. Tetapi kenyataannya, Dewi Sinta tidak
pernah mengalami hal itu. Bahkan selama disekap di 'keputren' Alengkadiraja,
disentuh atau dijamahpun tidak pernah dilakukan Rahwana.
Saat Rahwana berkunjung, ia selalu menyatakan cintanya dan menanyakan
kesediaannya untuk dipersunting menjadi permaisuri. Dan saat ia mengatakan
penolakannya, Dewi Sinta selalu melihat, betapa air muka Rahwana yang
seketika berubah menjadi sendu. Setiap kali Dewi Sinta mengatakan
penolakannya, setiap kali pula Rahwana terdiam tak bisa berkata-kata. Dan,
akhirnya Rahwana selalu berjalan perlahan-lahan meninggalkannya sendirian.
Ada perasaan galau bercampur kasihan pada diri Dewi Sinta, setiap kali
Rahwana perlahan-lahan pergi meninggalkannya sendirian.
Dewi Sinta juga sering berpikir dan mempertanyakan kepada dirinya sendiri,
tentang Rama kekasihnya. Ia juga sudah mendengar kabar yang diselundupkan
dari Ayudia. Semakin lama, serpihan demi serpihan kabar dari Ayudia itu
semakin lengkap. Sehingga akhirnya Dewi Sinta bisa mengumpulkan seluruh
serpihan berita itu secara lengkap, sehingga Dewi Sinta akhirnya bisa
memahami apa yang sebenarnya telah terjadi selepas penculikan atas dirinya.
Meskipun hanya selintas, Dewi Sinta juga sering memikirkan mengapa Rama
kekasih hatinya itu, tidak juga datang menolongnya? Apa yang telah terjadi?
Setelah tiga tahun ia tinggal di Alengkadiraja, Dewi Sinta juga seringkali
berpikir, bagaimana seharusnya sikap seorang suami jika isterinya diculik. Di
dalam benaknya, timbul sejumlah logika yang saling berbalikan. Secara logika,
jika seorang laki-laki sangat mencintai isterinya, dan tiba-tiba isterinya diculik,
maka yang yang dilakukannya adalah segera mengejar dan berusaha mencari
isterinya. Tetapi dari berita-berita yang diterimanya, Rama ternyata tidak segera
melakukan upaya mencari dirinya. Bukankah ia titisan Dewa Wisnu? Bukankah
Rama juga sakti? Mengapa ia tak melakukan usaha apapun, saat isterinya
diculik? Mengapa Rama justru mengutus 'agen rahasia' yang bernama Anoman
untuk menemui dirinya? Mengapa perintah Rama kepada Anoman, adalah
supaya mengabarkan bahwa Rama dalam keadaan baik-baik saja? Mengapa
Anoman hanya disuruh menyerahkan sebuah cincin kepadanya? Mengapa
Anoman tidak diperintahkan untuk 'menculik' Dewi Sinta dan membawanya
kembali ke Ayudia? Berjuta pertanyaan bergaung berulang-ulang di dalam
benak Dewi Sinta.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 78
Meskipun Dewi Sinta tetap mencintai Rama, tetapi penantian yang begitu lama
dan kesepian yang merajam hatinya setiap hari dan setiap malam, membuatnya
akhirnya juga berpikir. Pikiran buruk itu, juga seringkali melintas di benaknya.
Ia selalu berusaha menepis berbagai pikiran buruk itu. Tetapi, pikiran dan
bayangan itu selalu saja datang sendiri setiap kali ia merenung. Sesekali ia
sempat juga terpikir, bahwa Rama bukanlah laki-laki yang sejati. Bagaimana
bisa seorang laki-laki sejati bisa membiarkan isterinya diculik selama tiga tahun
dan ternyata ia tidak melakukan upaya apapun? Sesekali, muncul juga pikiran
yang menyatakan bahwa Rama merupakan suami yang tidak bertanggung-
jawab. Jika ia memang suami yang bertanggung-jawab, mengapa selama
bertahun-tahun membiarkan saja isterinya disekap di keputren negara
lain? Sesekali, muncul juga pikiran yang mempertanyakan sumpah dan janji
Laksmana, yang didengarnya sangat jelas, saat membuat garis 'rajah kalacakra'
pelindung, sambil mengucapkan sumpah, yang menyatakan akan selalu menjaga
dan melindungi Dewi Sinta selama hayatnya.
Dewi Sinta juga manusia biasa. Ia juga wanita seperti layaknya wanita lainnya.
Yang membedakannya hanya kedudukannya semata. Saat Rahwana datang
menemuinya, sesekali sempat juga ia memperhatikan tubuh Rahwana yang
tinggi besar, gempal, berotot, dan atletis. Bahkan tubuh Rahwana jauh lebih
tegap dari pada Rama suaminya. Rahwana, jelas jauh lebih 'macho' dan tentu
bisa membuat setiap wanita gandrung dan mabuk kepayang. Sebagai seorang
wanita muda yang sudah sekian lama tak tersentuh laki-laki. Dewi Sinta
beberapa kali juga sempat merasakan detak jantungnya tiba-tiba berdegup keras
tak terkendali. Bulu kuduknya seringkali berdiri meremang, saat
membayangkan tubuh Rahwana menyentuh dirinya. Bukan karena takut, tetapi
karena terbuai oleh bayangan indah yang tiba-tiba merangsek ke dalam
benaknya. Keringat dinginnya mengucur begitu saja di seluruh permukaan
tubuhnya. Tubuhnya, tiba-tiba berubah menjadi panas dan seketika otaknya
tidak lagi bisa berpikir jernih. Ada gejolak gairah yang tiba-tiba menyeruak
tanpa bisa dikendalikannya. Badannya bergetar hebat, lidahnya terasa menjadi
kelu dan sukar untuk berkata-kata. Jari-jari tangannya yang lentik, tiba-tiba
menjadi gemetar. Tubuhnya lemas dan seakan ia tidak mempunyai kekuatan
untuk menggerakkannya. Hatinya sejenak menjadi resah dan gelisah. Saat ia
menjawab pertanyaan Rahwana, kalimat yang terlontar dari mulut mungilnya
begitu bergetar, sehingga saat mengucapkannya menjadi terbata-bata.
Untunglah, Rahwana menganggap kalimat yang diucapkan terbata-bata itu,
sebagai ucapan seorang yang sedang dilanda ketakutan hebat. Andai saja
Rahwana tahu apa yang sedang dirasakannya, mungkin ceritanya akan menjadi
lain.....
Malam-malam yang dingin, sepi, dan hanya ditingkah oleh suara cengkerik dan
binatang malam, membuat Dewi Sinta sering melamun kesepian. Dalam
tidurnya, semakin lama semakin sering ia memimpikan Rahwana; dan semakin
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 79
lama semakin berkurang pula mimpi-mimpi tentang Rama. Mimpi-mimpi
'indah' itu selalu datang sendiri tanpa diminta. Diam-diam Dewi Sinta telah
jatuh cinta kepada Rahwana! Itulah kenyataan yang dialaminya. Ada perasaan
galau, sewaktu memikirkan betapa Rahwana sangat mencintai dirinya,
sementara Rama yang dicintainya justru tak pernah ada kabar beritanya, seakan
Rama telah membiarkan dan menelantarkan dirinya. Namun, otak dan perasaan
seringkali memang tidak sejalan. Di malam-malam yang sepi, Dewi Sinta sering
menangis, karena merasa telah berdosa. Ia merasa telah membagi dua cintanya.
Di dalam hatinya, diam-diam telah terukir nama Rahwana sebagai seseorang
laki-laki yang selalu dimimpikannya, tetapi akan pernah tidak bisa
dimilikinya.......
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 80
CERITA CINTA SINTA....
Bram Palgunadi
13 April 2011 pukul 20:00
Dewi Sinta, menjalani penantian datangnya sang kekasih Sri Rama, yang tak kunjung
datang juga....
Mas-Mas dan Mbak-Mbak sahabat kinasih saya,
Setelah terjadinya drama 'Rahwana cintanya hanya untuk Sinta', yang
menggegerkan dunia 'kangouw' (persilatan), ini saya kirimkan satu lagi copy
dari puisi karya Mbak Dorothea Rosa Herliany, yang besar kemungkinan akan
membuat sekumpulan sahabat saya menjadi kebakaran jenggot. Tapi seperti
kata saya sebelumnya, mohon dengen amat dari pada sangat, supaya jangan
membaca dengan rasa emosional. Dengan kepala dinginlah, dan ini yang
menulis kan seorang wanita lo. Jadi, bacalah dengen perlahan-lahan saja, lima
kilometer per jam saja. Selamat menikmatinya....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 81
ELEGI SINTA
(Dorothea Rosa Herliany)
Aku sinta yang urung membakar diri,
Demi darah suci,
Bagi lelaki paling pengecut bernama Rama,
Lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam,
Agar hangat gelora cintaku,
Tumbuh di padang pendakian yang paling hina.
Kuburu Rahwana,
Dan kuminta ia menyetubuhi nafasku,
Menuju kehampaan langit,
Kubiarkan terbang, agar tangan yang takut dan kalah itu tak mampu
menggapaiku.
Siapa bilang cintaku putih?
Mungkin abu,
Atau bahkan segelap hidupku,
Tapi dengarlah ringkikku yang indah,
Menggosongkan segala yang keramat dan abadi.
Kuraih hidupku, tidak dalam api,
Rumah bagi para pendosa,
Tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa,
Agar sejarahku terpisah dari para penakut dan pendusta,
Rama ....
Cinta Dewi Sinta yang mengharu-biru karena
digandrungi dua pria yang berbeda...
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 82
Dewi Sinta, cantik, manja, dan membuat Rama dan Rahwana jatuh hati.
Sinta-Sinta abad duapuluh satu! Centil, cantik, sexy, dan gaya. Jadi pantas saja Rahwana dan Rama jatuh hati setengah mati....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 83
SRIKANDHI: THE YOUNG WARRIOR PRINCESS
(PART 1)
Bram Palgunadi
7 November 2011 pukul 1:12
Srikandhi memang terkenal sebagai gadis yang cantik rupawan, sexy, sensual, dan karena itu pula banyak pria yang tergila-gila padanya. Tetapi kepandaiannya berkelahi sudah jelas
membuat ciut para pria teman-teman sebayanya.
Srikandhi sebagai seorang gadis 'tomboy' yang hidup di kalangan keluarga
istana Kerajaan Pancala Radya, memang terkenal sebagai seorang gadis yang
pandai, bengal, tangkas, pandai berkelahi, sexy, sensual, pandai bergaul, pandai
pula bicara, dan berani dalam banyak hal. Matanya yang besar dan selalu
berbinar-binar saat memandang lawan bicaranya, seolah memancarkan sihir
yang memukau lawan bicaranya. Sehari-hari Srikandhi, selalu berdandan dan
menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman. Namanya juga 'gadis masa
sekarang'. Di kampus Universitas Negeri Pancala Radya, ia lebih dikenal
sebagai seorang mahasiswi yang pintar, cerdik, berani, banyak pengetahuannya,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 84
dan sebagai seorang gadis ia dikenal suka berkata
terus terang, tanpa tedeng aling-aling. Karena ikut
grup bela diri, maka Srikandhi juga dikenal sebagai
'gadis pemberani', yang sesekali juga ikut terlibat
perkelahian jalanan atau membuat onar. Banyak
teman sebayanya, yang tentu saja kebanyakan
adalah pria, mengaguminya tetapi sekaligus juga
agak takut kepadanya. Keberanian Srikandhi,
seringkali juga membuat ciut nyali para pria yang
mau naksir dirinya. Bagaimana nggak ciut,
Srikandhi yang jago berkelahi itu kan anak
penggede pemilik negara, anak Raja Pancala Radya,
yang terkenal sebagai negara besar yang
kekuasaannya sedemikian luas, dan disegani banyak
negara asing.
Sebenarnya, Srikandhi tidak terlalu suka dikawal, ia
merasa bisa mengatasi berbagai gangguan 'pria
nakal' dan para bergajulan. Tetapi, pihak protokoler
istana selalu memaksa untuk mengawalnya
kemanapun ia pergi. Hal ini, sedikit banyak sering
membuat hatinya jengkel. Gara-gara ada pengawal
yang selalu menguntitnya, maka jika ia naksir
cowok, selalu saja bubar acaranya, bubar pula
rencananya, hanya karena di sekitarnya selalu
berdiri beberapa orang satuan pengawal pribadi,
yang dengan badan gempal, mata mengawasi
dengan tajam, dan selalu bersikap waspada;
memata-matai semua kegiatan sang putri nan cantik
dan sexy itu. Ini sangat menjengkelkan dan makin
lama, sejalan dengan bertambahnya umur sang putri
yang semakin menginjak masa remaja, justru
semakin ketat saja para pengawal pribadi itu
menjaganya. Wuuuuiiiih....! Setiap kali, ada saja
berbagai hal yang membuat sang putri ini mencak-
mencak, tidak terima, atau marah-marah. Semuanya,
gara-gara satuan pengawal pribadi yang menurutnya
semakin lama semakin ketat saja mengawasinya,
dan menurutnya mereka sama sekali tidak
memberikan kebebasan pada dirinya! "Ke kamar
kecil saja aku diawasi!" teriaknya suatu ketika, saat
sang putri ini kebelet pipis, pas sedang di jalan raya
dalam perjalanan pulang kuliah, dan ia dengan tiba-
Srikandhi, sang putri yang jago berkelahi, dikenal sebagai gadis yang juga pandai bicara.
Kepandaiannya berkelahi, telah membuat Srikandhi dikenal sebagai gadis pemberani.
Panah merupakan salah satu senjata andalan Srikandhi.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 85
tiba minta berhenti dan langsung melompat ke luar
dari mobil, lalu berlari-lari kecil masuk 'mall'
mencari 'toilet'.... Tentu saja para pengawal
pribadinya menjadi kalang kabut, dan segera ikut
meloncat ke luar dari mobil, berhamburan mengikuti
sang putri jelita yang berlari masuk ke dalam 'mall'
dan terus diikuti sampai ke depan pintu toilet yang
di atasnya bertuliskan 'ladies'....
Manajer 'mall', satuan pengamanan 'mall', dan
beberapa orang yang berada di 'mall' menjadi
gempar dan terjadilah kegaduhan, saat melihat
seorang gadis berlari cepat diikuti sejumlah 'pria
berbadan tegap berambut cepak'. Para 'pengejar' itu,
tiba-tiba diberhentikan oleh petugas keamanan 'mall'
yang meneriaki mereka: "Berhentiiii! Pria dilarang
masuk ke area toilet wanita!" Kontan, para pengejar
itu berhenti dan beberapa dari mereka mencabut
senjata laras pendeknya, dan menodongkan ke
kepala beberapa orang anggauta satuan pengamanan
'mall' sambil berteriak: "Mingggiiiiiir!
Kami pengawal istana kerajaan!" Para anggauta
satuan pengamanan 'mall' itu tiba-tiba jadi lemas
dan tak mampu berkata-kata lagi, setelah mereka
melihat kartu identitas para pengawal pribadi itu
disorongkan ke depan muka mereka. Srikandhi
sudah masuk melewati pintu yang bertulis 'ladies'.
Para pengawal tiba-tiba terhenti begitu saja di depan
'pintu sakti' itu. Semua orang, termasuk para
pengawal pribadi dan para anggauta satuan
pengamanan 'mall' berdiri termangu-mangu
bagaikan patung batu di depan pintu 'ladies' itu.
Setiap kali ada yang keluar dari dalam toilet wanita
itu, semua orang lalu memandanginya. Beberapa
wanita yang ke luar dari toilet, berjalan sambil
ngedumel: "Ngapain kamu lihat-lihat aku haaaah!?"
Dan, para pria bertubuh gempal itu lama-lama jadi
jengah juga, setiap kali ada wanita yang keluar dari
dalam toilet wanita, tiap kali pula mereka menerima
sumpah serapah seperti itu. Komandan pengawal
pribadi tiba-tiba nyeletuk, seperti berkata kepada
dirinya sendiri: "Ngapain aja ya Mbak Srikandhi?
Kok lama sekali di dalam toilet? Katanya cuma mau
Lembut, penuh perasaan, juga merupakan keanggunan Srikandhi yang tersembunyi.
Sesekali Srikandhi sebagai seorang selebriti terkenal, juga bisa ditemukan sedang 'shoping' di 'mall'.
Seperti layaknya seorang selebritis, Srikandhi sesekali juga suka nampang di majalah mode.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 86
pipis, tapi sudah lama begini kok belum keluar juga
ya?" Ada nada sedikit curiga dalam kalimatnya.....
Srikandhi yang sedang pipis, sambil tersenyum
memandangi dinding di sekeliling ruang 'pipis' itu.
Tiba-tiba, dia seperti menemukan akal bulus, setelah
melihat jendela kaca yang agak tinggi itu ukurannya
besar dan ternyata mempunyai kunci tarik di sisi
dalam dan kuncinya ternyata bisa dibuka dengan
mudah. Dengan mendongakkan kepalanya,
Srikandhi mencoba membuka jendela besar itu dan
ternyata bisa! Ia melihat ke arah luar. Rupanya,
yang dia lihat adalah halaman belakang 'mall'.
Senyum lebarnya tiba-tiba menyeruak di mukanya.
Akal bulusnya tiba-tiba muncul begitu saja di benak
kepalanya. Setelah merapihkan pakaiannya, lalu
dengan sigap tapi hati-hati dan tak menimbulkan
suara, Srikandhi segera memanjat jendela dan
meloncat ke luar! Sampai di luar, ia melihat
sekeliling, celingukan, mencoba melihat apakah
para pengawal pribadinya ada yang tahu atau tidak,
ia sudah berada di luar gedung 'mall'. Setelah
memastikan bahwa segalanya 'aman', maka
Srikandhi segera berjalan menjauhi gedung 'mall'
dan segera memanggil taxi. Dan....., lenyaplah
Srikandhi dari pantauan para pengawal
pribadinya! Di dalam taxi yang ber-AC Srikandhi
duduk sambil tersenyum penuh kemenangan. "Ke
Pantai Rose Garden Pak!" katanya kepada
pengemudi taxi, yang tidak sadar siapa
penumpangnya....
Sementara itu, di depan pintu toilet komandan
pengawal pribadi berjalan hilir-mudik tak sabar.
Lalu, ia memanggil komandan satuan pengamanan
"mall" dan berkata: "Mas....! Saya dan anak buah saya harus masuk ke dalam
Mas! Masak cuma pipis kok lama begini! Saya takut orang yang saya kawal
diculik!" Mendengar kata 'diculik', komandan satuan pengamanan 'mall' jadi
pucat pasi. Ia sudah terbayang, kalau orang yang dicari itu ternyata benar
diculik, maka iapun akan terbawa-bawa urusan yang pasti menjadikan hidupnya
jadi kusut. Tetapi ia ragu-ragu. Aturan internal dan SOP pengamanan sekalipun,
tidak membolehkan laki-laki masuk ke dalam ruang wanita. "Sebentar ya Pak,
saya hubungi dulu atasan saya, untuk minta ijin masuk ke ruang ladies itu," kata
komandan satuan pengamanan 'mall'. "Hlo...., kamu melarang kami masuk?
Srikandhi dalam pakaian fesyen bergaya Asia Tengah yang anggun.
Dalam balutan pakaian fesyen mutakhir, Srikandhi juga sering muncul pada sejumlah pesta selebritis di Ibu Kota Kerajaan Pancala Radya.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 87
Kamu kan sudah tahu siapa kami!? Apa kamu mau ditangkap!?" bentak
komandan pengawal pribadi dengan muka garang. "Bukan begitu Pak, kami
cuma menjalankan perintah atasan!" jawab sang komandan satuan pengamanan
'mall' dengan cemas. "Ya sudah, sana minta ijin! Cepaaaaat!" bentak komandan
pengawal pribadi. Dengan tergesa-gesa komandan satuan pengamanan memakai
handy-talky-nya untuk menghubungi atasannya. Dengan suara terbata-bata
karena mulai panik, ia berkata: "Pak manajer keamanan, saya mohon ijin untuk
masuk ke ruang toilet wanita!" Sesaat kemudian, terdengar jawaban yang
meledak-ledak: "Apa katamu!? Mau masuk ke ruang toilet wanita!? Kamu kan
kepala satuan keamanan, kenapa malah mau ngajari bertindak kurang-ajar? Apa
kamu lupa SOP di 'mall' ini kan melarang laki-laki masuk ke ruang wanita! Apa
kamu lupa itu haaah!?" Pucat pasi air muka sang komandan satuan pengamanan
'mall'. Keringat dingin mulai mengalir membasahi baju dinasnya. "Bukan
Pak....! Bukan itu maksud saya. Saya mau masuk tidak sendirian, tapi dengan
beberapa orang lainnya. Benar Pak, saya nggak mau masuk sendirian!" Jawaban
dari ujung lainnya, semakin menyalak: "Mau masuk dengan orang lain!? Kamu
benar-benar kurang ajar! Dibilangin sendiri saja dilarang, kok malah mau masuk
beramai-ramai! Berengsek kamu! Apa kamu mau dipecat!? Memalukan
manajemen saja kamu!" Mendengar suara yang menyalak bagaikan anjing
menggonggong itu, sang komandan satuan pengamanan 'mall' semakin ciut
nyalinya. Dengan keringat dingin mengucur deras, dia memandang komandan
satuan pengawal pribadi, dan dengan muka kecut pucat pasi dia berkata dengan
lesu: "Paaaak gagal Paaaak...... Gimana Yaaaa......?" Komandan satuan
pengawal pribadi memandang wajah komandan satuan pengamanan 'mall' tanpa
berkata-kata. Keduanya sama-sama bingung. Hilang sudah kegarangannya.
Mereka saling terdiam dan saling memandang. Lalu, tiba-tiba sang komandan
pengawal pribadi berkata: "Mas....., bagaimana kalau kita nekat masuk saja
bersama-sama? Nanti kalau ada yang marah, biar saya yang tanggung-jawab
deh!" Mereka terdiam beberapa saat. Sang komandan satuan pengamanan
menjawab perlahan: "Bagaimana ya Mas? Saya takut dimarahi atasan saya.
Saya takut dipecat Mas. Tadi aja sewaktu saya minta ijin sama dia, kan Mas
juga tahu, saya kan dimaki-maki." Diam lagi mereka berdua tak berkata-kata.
Sama-sama bingung......Lima belas menit sudah berlalu. Habislah kesabaran
sang komandan satuan pengawal pribadi. Dia lalu berkata: "Sudahlah Mas....,
kita masuk sajalah, dari pada kita sama-sama nggak punya kepastian. Soal pipis,
sudah jelas nggak masuk akal. Sudah lewat limabelas menit, masak belum
selesai juga pipisnya? Ayo! Kita masuk sajalah!" Maka dengan tergopoh-gopoh
mereka berramai-ramai masuk lewat pintu yang bertulis 'ladies'. Sejumlah
wanita terbengong-bengong melihat para lelaki itu bergegas memasuki pintu
'ladies' itu. Lalu, mereka berhenti di sebuah pintu kedua, yang merupakan pintu
masuk ke ruang toilet wanita. Pintu tertutup rapat! Tidak terdengar suara apapun
dari dalamnya! Komandan satuan pengawal pribadi berkata kepada komandan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 88
satuan pengamanan 'mall': "Kita dobrak saja ya?" Dan, tanpa menunggu
jawaban dari sang komandan satuan pengamanan 'mall', dengan suara keras
pintu didobrak! Benturan badan sang komandan satuan pengawal pribadi
membuat pintu terpelanting dengan suara gemeretak! Kuncinya gesernya
terlempar, lepas dari tempatnya, sekrupnya pada rontok! Dan......... di dalam
ruang toilet itu ternyata kosong! Sang putri Srikandhi benar-benar lenyap......!
Pucat pasilah wajah sang komandan satuan pengawal pribadi! Terbayang
sudah, hukuman, makian, dan sumpah serapah yang pasti akan diterimanya, saat
ia melaporkan peristiwanya nanti kepada atasannya! Salah seorang anak
buahnya, tiba-tiba datang membawa sebotol minuman segar. Disambarnya
minuman botol itu tanpa berkata apapun, dan langsung ditenggaknya isinya
sampai habis. Mereka semua terdiam tak tahu apa yang harus diperbuat.
Perlahan-lahan, mereka semua berjalan gontai ke luar dari ruang toilet wanita
itu. Seperti sepasukan tentara yang kalah judi, mereka berjalan bersama-sama
dan kemudian memandang ke sekeliling 'mall', dan akhirnya menemukan
deretan tempat duduk. Di tempat duduk itu, mereka semua duduk diam
berderet-deret, sambil mencangkung dan menopang dagu, seakan sedang
berpikir keras! Tidak seorangpun di antara mereka yang saling berkata-kata.
Semuanya terdiam seribu kata.
Tiba-tiba HP komandan satuan pengawal pribadi berdering keras. Suara dering
HP itu membuatnya begitu kaget, sampai-sampai pantatnya melonjak terangkat
dari tempat duduknya. Lalu dengan tergopoh-gopoh diambilnya HP-nya dari
sakunya. Dan, segera ia memencet tombol bergambar telepon berwarna hijau,
dan segera mendengarkan di telinganya. Samar-samar, orang-orang di sekeliling
sang komandan satuan pengawal pribadi itu bisa mendengar suara sang
Srikandhi yang merdu dan nakal: "Pak komandan...., sudah hilang bingungnya?
Jangan tanya saya ada di mana ya. Nanti saja, kalau urusan saya bersenang-
senang sudah selesai, Pak komandan pasti akan saya telepon lagi. Sekarang Pak
komandan dan anak buah Bapak jalan-jalan sajalah, sambil cariin saya cemilan
dan minuman kaleng kesukaan saya ya. Jangan lupa, bawain saya hamburger
ya..... Nanti akan saya beritahu deh, di mana saya, dan baru jemput saya di
tempat yang nanti saya sebutkan. Ha ha ha ha." Tawa ceria Srikandhi yang
nakal dan centil itu, terdengar samar-samar oleh semua orang yang duduk
berdekatan dengan komandan satuan pengawal pribadi. Suara telepon pun
terputus tiba-tiba......
Air muka komandan satuan pengawal pribadi itu, tiba-tiba berubah menjadi
sumringah, meskipun di wajahnya masih tampak keringat kepanikan yang dari
tadi mengalir deras. Hilang sudah rasa takutnya. "Mas...., ayo saya traktir
makan dan minum di restauran yang ada di sekitar sini!" katanya tiba-tiba
kepada komandan satuan pengamanan 'mall', yang dengan terbengong-bengong
melongo masih tak mengerti apa yang sedang terjadi.....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 89
SRIKANDHI: THE YOUNG WARRIOR PRINCESS
(PART 2)
Bram Palgunadi
11 November 2011 pukul 6:01
Srikandhi telah menjelma menjadi seorang gadis dewasa yang mempesona. Postur
tubuhnya yang tinggi semampai, wajahnya yang selalu cantik dan penuh ceria, selalu membuat para pria terpesona saat mereka memandangnya.
Sang Sasadara telah menyinarkan cahaya purnamanya ke angkasa luas.
Cahayanya bersinar keemasan di antara mega-mega, seakan hendak
menyampaikan tarian cerita sendu. Bias cahayanya, berpendar-pendar
menyeruak di antara gumpalan awan yang berjalan perlahan dengan enggan.
Sepasang burung malam, tampak terbang berputaran dengan cekatan, saling
menyambar di atas angkasa malam Pancala Radya, bagaikan menarikan bias
kehidupan manusia di alam janaloka. Lalu, dari kejauhan, terdengar samar-
samar terbawa sang Samirana, tembang Kidung Kinanthi dinyanyikan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 90
para pradangga dan waranggana, meniti lembut nada-nada Ketawang
Pangarum-arum, melantunkan cerita-cerita parwa yang menyayat hati, bercerita
tentang hidup dan perjalanan manusia, saat gamelan ditabuh memainkan
rangkaian Talu yang menyentuh pagelaran agung kehidupan anak-anak
manusia. Bercerita tentang hidup dan mati. Tentang kelahiran dan kematian.
Tentang kemegahan dan kesengsaraan. Tentang cinta dan kesedihan.
Tentang 'sangkan paraning dumadi' manusia, yang pada suatu ketika nanti
pasti akan 'bali mulih mring mula-mulanya' (kembali pulang ke asal mulanya).
Tentang kesendirian, yang membuat siapapun yang mendengarnya akan
terketuk relung hatinya dan meneteskan air mata. Maka Talu-pun dimulai,
menceritakan berbagai peristiwa kehidupan Sang Srikandhi, putri Pancala
Radya....
Wus munya gangsa ing dalu,
Angelangut gya rinukmi,
Tembanging carita parwa,
Ngarum-arum wanci ratri,
Rinengga wulan kartika,
Heneng hana hanawengi.
Wus munya gangsa gya Talu,
Suluk myang tembang respati,
Ginawa Sang Samirana,
Kidung kandha jroning ratri,
Angidung lakoning jalma,
Sesuluh laku utami. [1]
Sang Srikandhi diam termenung di malam itu. Gelisah perasaannya. Berita-
berita tentang para kerabat Pandhawa yang diusir dari Hastina-Pura oleh para
kerabat Kurawa, telah sampai pula di telinganya. Berita-berita tentang peristiwa
pengusiran kerabat Pandhawa itu, setiap hari memenuhi halaman depan koran
dan televisi Pancala Radya dan berita-berita itu selalu menjadi 'headline' yang
ditulis dengan huruf-huruf yang besar dan mencolok, disertai dengan ulasan,
bahasan, dan cerita; yang hampir semuanya menyalahkan dan memojokkan para
kerabat Pandhawa, akibat peri-lakunya kalah berjudi melawan para kerabat
Kurawa. Miris hatinya, jika merasakan bagaimana sekelompok kerabat ksatria
itu diperlakukan secara nista dan hina. Tetapi saat membaca banyak berita itu,
Srikandhi juga bisa merasakan, menimbang, serta membuat kesimpulan; bahwa
segala peristiwa itu sebenarnya dimulai dari kebodohan para kerabat Pandhawa
sendiri, yang menerima begitu saja tantangan berjudi dari para kerabat Kurawa,
tanpa tahu bahwa sebagian besar dari lawannya itu terkenal sebagai penjudi
ulung yang licik.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 91
Srikandhi, sebenarnya tidaklah begitu kenal dengan
para kerabat Pandhawa itu. Tetapi berita-berita yang
sangat gencar dan membanjirinya setiap saat,
membuatnya sedikit-banyak terpengaruh juga.
Timbul rasa kasihan setiap kali melihat tayangan di
televisi yang memperlihatkan bagaimana para
kerabat Pandhawa itu diolok-olok, direndahkan, dan
dihinakan martabatnya secara keterlaluan oleh para
kerabat Kurawa. Para kerabat Pandhawa itu, diusir
dan diperlakukan seakan seperti segerombolan
anjing kurap saja. Martabatnya direndahkan
sedemikian rupa, sehingga mereka dianggap tak
perlu diperlakukan sebagai manusia. Benar-benar
keterlaluan.....
Myat langening kalagyan,
Aglar pandham muncar....[2]
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi
bulan, dan warsa demi warsa; berlalu begitu saja tak
terasakan. Begitu lama berlalu, sehingga akhirnya
berita tentang kerabat para Pandhawa itu hilang
ditelan waktu. Seakan mereka lenyap dan musnah
dari muka bumi. Semua kehidupan, seakan kembali
seperti awal mulanya. Begitu pula Sang Srikandhi,
kembali kepada kehidupan sehari-harinya yang
penuh dengan berbagai kegiatan seperti dulu. Tak
terasakan, waktu telah berlalu begitu lama, dan Sang
Srikandhi telah menjelma menjadi seorang putri
remaja yang dewasa. Tubuhnya yang semampai,
dengan perawakan tegak tinggi bagaikan seorang
ksatria, tampil dengan berbagai kepandaian dan
kelincahan dalam berolah diri. Sahabat-sahabatnya
yang dulunya menjulukinya sebagai 'si pembuat
onar', telah lama mengganti julukannya menjadi 'si
jelita dari Pancala Radya'. Julukan ini, kelihatan
memang lebih cocok untuk Sang Srikandhi yang
sudah mulai menginjak dewasa dan seringkali
tampil lebih lembut, meskipun masih juga kelihatan
'tomboy'.
Sesekali, Sang Srikandhi menyenangkan dirinya bermain dan bercengkerama di pantai Pancala Radya...
Srikandhi yang enerjik, telah berubah menjadi wanita dewasa yang mempesona...
Seperti layaknya seorang wanita yang mulai menapak masa dewasa, mimpi-mimpi Srikandhi juga mulai mengembara jauh ke relung-relung kehidupan yang berbunga-bunga...
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 92
Hari itu, Sang Srikandhi nan jelita baru pulang dari sebuah kuliah 'stadium
generale', yang membahas tentang 'ksatria dan perannya dalam bela negara'.
Kuliah umum seperti ini, sangat disukai Sang Srikandhi. Ia merasakan,
bagaimana darahnya menggelegak, emosinya tersulut, dan semangatnya
terbakar; saat mendengar kuliah yang dibawakan sangat berapi-api oleh seorang
pejabat tinggi negara Kerajaan Pancala Radya, yang diundang secara khusus
untuk memberikan kuliah, dalam rangka menanamkan rasa nasionalisme dan
bela negara. Sambil berjalan keluar dari ruang kuliah umum, Sang Srikandhi
berbincang riuh penuh semangat dengan sejumlah sahabatnya. Suaranya yang
merdu, terdengar melengking nyaring, sesekali diseling dengan derai tawanya
yang khas. Meskipun Sang Srikandhi merupakan putri seorang raja, tetapi saat
berjalan bersama-sama dengan para sahabatnya, ia sama sekali tak terlihat
canggung, dan sama sekali tak terlihat seperti layaknya seorang putri pemilik
negeri Pancala Radya. Ia bahkan terlihat seperti remaja biasa, yang penuh
dengan idealisme. Mungkin, hal ini juga ditunjang pakaian sehari-harinya yang
cenderung terlihat praktis, seperti pakaian pria saja. Celana panjang jeans
berwarna biru tua, dengan kaos berlengan pendek warna putih, yang di bagian
depannya ada tulisan 'We love our country', seakan hendak menunjukkan bahwa
ia adalah seorang pembela negeri Pancala Radya. Memakai sepatu 'lars' yang
tingginya hampir selutut, dengan 'hak' yang agak tinggi, membuat dirinya
terlihat semakin anggun saja. Bunyi langkah dan sepatunya yang beradu dengan
ubin, menghasilkan bunyi ritmis, yang membuat semua orang berada di
sekitarnya menoleh kagum kepada Sang Srikandhi yang cantik, sexy, dan penuh
pesona.
Di dekat pintu gerbang keluar, Sang Srikandhi berhenti sejenak, dan dengan
diring senyum manisnya yang sangat khas, ia berpamitan kepada sahabat-
sahabatnya. Lalu, melambaikan tangannya kepada sahabat-sahabatnya, sambil
mengucap: "See you tomorrow...." Kemudian Sang Srikandhi berjalan menuju
para pengawal pribadinya yang sudah menunggunya di depan pintu
gerbang depan kampus Universitas Negeri Pancala Radya. Dengan sedikit
tergesa-gesa, para pengawal pribadinya itu membukakan pintu mobil dan
mempersilahkan sang putri naik. Pintu mobil sudah ditutup rapat, dan para
pengawal sudah pula duduk di mobil. Dan, perjalanan pulang pun dimulailah.
Di dalam mobil, seperti biasa pula Sang Srikandhi bertanya kepada komandan
satuan pengawal pribadinya: "Pak..., nggak lupa membelikan minuman kaleng
kesukaan saya?" Dengan cepat, komandan satuan pengawal pribadi membuka
kulkas yang ada di dalam mobil, lalu mengambil minuman kaleng kesukaan
Sang Srikandhi dan menyorongkannya kepada sang putri setelah membukakan
tutupnya. "Terima-kasih Pak", Srikandhi menerima minuman kaleng dan
langsung menenggaknya beberapa teguk.
"Eh...., Pak komandan, hari ini ada berita apa dari istana?" tanya Srikandhi tiba-
tiba kepada komandan satuan pengawal pribadinya, setelah beberapa lama
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 93
mereka berdiam diri saja. "Nggak ada berita penting kok Mbak Srikandhi.
Cuma ayahanda tadi sempat menelepon saya. Kata beliau, Mbak Srikandhi
kalau sudah sampai di istana diminta menghadap ayahanda. Cuma itu saja berita
dari istana Mbak," jawab komandan satuan pengawal pribadi itu. "Ada apa ya?
Kok agak nggak biasanya, ayah ingin saya menghadap," tanya Sang Srikandhi
sambil agak mengernyitkan dahinya. "Waaaah, saya nggak tahu Mbak. Nanti
aja ditanyakan langsung kepada ayahanda."
Dialog itu terhenti, saat mobil mulai memasuki halaman istana, lalu berbelok ke
arah samping bangunan istana. Tepat di depan pintu samping istana, mobil
berhenti. Para pengawal pribadi segera membuka pintu mobil dan meloncat
keluar, lalu segera membuka pintu tempat duduk Sang Srikandhi.
"Silahkan Mbak...." kata pengawal pribadi yang membukakan pintu mobilnya.
"Terima-kasih Mas" jawab Srikandhi kepada pengawal pribadinya.
Srikandhi dengan anggun lalu berjalan perlahan menuju ruang ayahandanya,
diiring sejumlah pengawal pribadinya. Di benaknya tersusun sejumlah
pertanyaan: "Mengapa ayahanda memanggilku?" Sesampai di depan pintu
ruang ayahandanya, para pengawal pribadinya melapor kepada pengawal istana,
dan memberitahukan bahwa Sang Srikandhi sudah sampai dan hendak
menghadap ayahandanya. Pengawal istana yang menerima laporan itu, segera
masuk melapor. Beberapa saat kemudian pengawal istana itu keluar dan
mempersilahkan Sang Srikandhi masuk ke ruang istana ayahandanya.
Di ruang istana ayahandanya itu, bunyi langkah Sang Srikandhi yang memakai
sepatu 'lars' berhak tinggi itu terdengar bergema ritmis di ruang istana yang luas
dan indah. Dari kejauhan Sang Drupada, melambaikan tangannya kepada
Srikandhi dan menyapanya: "Hei Srikandhi putriku yang cantik! Ke sinilah,
ayah ingin mengatakan sesuatu kepadamu!"
"Ya ayah", jawab Srikandhi sambil mendatangi ayahandanya dan kemudian
mencium tangan kanannya, sambil agak membongkokkan badannya. "Ke
sinilah putriku. Duduklah yang nyaman. Ayah mempunyai berita bagus
untukmu. Dengarkan ya..."
Drupada lalu menceritakan kepada Srikandhi, tentang adanya penerimaan
pegawai baru di kalangan istana. Dan, khusus untuk Srikandhi dan sejumlah
putri istana, Drupada mengatakan bahwa ia telah membuat suatu keputusan
untuk menerima seorang instruktur, yang akan bertugas melatih mereka menari
dan bela diri. Menurut Drupada, hal ini didasarkan kepada kebisaan pelamar,
yang setelah diwawancara dan diuji oleh para pejabat tinggi istana, ternyata
memenuhi dua unsur itu. Dengan cermat Srikandhi mendengarkan ayahandanya
berbicara. Ia tak berkata sepatah katapun. Hanya saja, ia merasa sangat heran,
mengapa instruktur yang ditugaskan melatih dirinya adalah seorang pria. Di
kalangan istana Pancala Radya, khususnya untuk kebutuhan keputrian, selama
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 94
ini belum pernah ada pria yang ditugaskan di sana. Jadi, jika benar instrukturnya
kali ini adalah seorang pria, maka hal ini akan merupakan peristiwa pertama kali
di Pancala Radya. Rupanya, apa yang menjadi pertanyaan di dalam hati
Srikandhi itu, tertangkap juga oleh Drupada.
"Begini Srikandhi...., ayah tahu perasaanmu yang sedikit galau dan heran,
begitu mendengar intsruktur baru yang ditugaskan melatih dirimu dan sejumlah
putri istana di keputren itu adalah seorang pria. Kan biasanya, instruktur untuk
urusan keputren Pancala Radya, diserahkan kepada wanita. Tapi, ayah kemarin
sudah bertemu orangnya. Memang benar dia seorang pria, tetapi peri-lakunya
seperti wanita. Dia itu kaum 'shemale'. Memang ayah merasa sedikit aneh juga,
karena dia mengatakan pandai menari dan awalnya dia memang melamar
sebagai instruktur tari. Ayah lalu ingat, guru tarimu yang sejak beliau
meninggal, tidak ada gantinya. Seingat ayah, banyak orang yang melamar untuk
menjadi pengganti gurumu itu, tetapi rupanya tidak ada yang mampu
menggantikannya. Hla kemarin itu, ayah sudah melihat sebentar dan selintas.
Memang belum bisa dikatakan melihat seluruh kemampuannya, tapi paling
tidak dari gerak oleh tari yang sempat diperagakan sebentar, ayah bisa membuat
kesimpulan, bahwa dia memang benar-benar penari yang sangat mumpuni. Dan,
setelah melihat dia memperagakan kebiasaannya, ayah lalu memutuskan untuk
menunjuk dia sebagai instruktur untuk mengajar tari di keputren Pancala Radya.
Ya..... karena dia kaum 'shemale', maka ayah berpendapat dia sama sekali tidak
berbahaya bagi putri-putriku. Dan lagi, kaum shemale itu hanya tertarik kepada
pria, dan sama sekali tidak tertarik kepada wanita." Sang Drupada bercerita
panjang lebar tentang instruktur tari yang baru saja diangkat dan ditugasinya.
Sejenak berhenti bercerita, Drupada lalu melanjutkan: "O ya..... Srikandhi....,
ayah hampir lupa, nama instruktur barumu itu Kandhi-Awan. Tolong diingat ya,
namanya Kandi-Awan. Nanti, kalau dia mulai bertugas tolong hormati dia
selayaknya seorang guru dan instruktur, dan jangan sekali-kali engkau meledek
atau mempermainkan dirinya ya. Jangan gara-gara dia termasuk
kaum shemale, lalu engkau meledeknya atau mempermainkannya. Jangan
sekali-kali melakukan hal itu ya....! Ingat baik-baik ya nasehat ayah yang satu
ini! Jangan sampai engkau menyinggung perasaannya! Ayah serius lo soal yang
satu ini. Bukannya apa-apa, engkau selama ini terkenal sebagai putriku yang
nakal, bengal, suka membuat onar, suka berkelahi, dan setiap kali para
pengawal pribadimu data melapor ke ayah, setiap kali pula sebenarnya ayah
merasakan pusing tujuh keliling memikirkan ulah dirimu," begitu kata-kata
nasehat Drupada secara 'khusus' kepada Srikandhi putri kesayangannya itu.
Mendengar penuturan ayahandanya, raut muka Sang Srikandhi lalu berubah
menjadi sedikit cemberut. Dan, dengan manja dan dengan gaya sedikit merajuk,
Srikandhi mengatakan kepada ayahandanya: "Ayaaaaah....., jangan begitu
doooong. Kan Srikandhi selama ini sudah banyak berubah. Masak ayah nggak
tahu? Berkelahi yaaaa masih terjadi sesekali sih, tapi kan sudah jaraaaaaaang
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 95
sekali. Yang diingat ayah itu kok cuma yang buruk-buruk saja. Aneh sekali!
Padahal, Srikandhi sudah banyak berubah hlo. Coba dong lihat nilai ujian semua
mata-kuliah yang diambil Srikandhi belakangan ini. Angkanya tinggi-tinggi
kan.... Yang diingat ayah tentang Srikandhi, kok cuma yang jelek-jeleknya aja
sih? Coba dong lihat Srikandhi dari sisi baiknya juga.......," kata Srikandhi
nerocos, seperti mau menasehati ayahandanya.
Drupada ayahandanya tersenyum dan menimpali kata-kata putrinya: "Eeeee
Srikandhi....., bukannya ayah tidak tahu perkembangan dirimu. Tapi semua itu
kan fakta semata? Selama ini engkau kan memang terkenal sebagai 'trouble
maker' di kalangan keputren. Ha ha ha ha." Sang Drupada tertawa terkekeh-
kekeh. "Reputasimu itu lo, kan sudah sangat terkenal di berbagai kalangan.
Mungkin sudah tidak terhitung lagi peristiwa yang melibatkan dirimu. Sesekali
ayahmu ini tercengang-cengang melihat dirimu di tayangan stasiun TV Pancala
Radya, yang memperlihatkan engkau baku hantam dengan sejumlah pria
bergajulan. Memang engkau seringkali menang berkelahi. Tapi mbok coba
dibayangkan ta. Engkau ini anak siapa? Apa engkau sama sekali nggak
memikirkan dampak negatifnya? Apa jadinya jika setiap hari TV Pancala Radya
isi berita dan tayangannya cuma adegan perkelahian Srikandhi......?"
Lalu, setelah menghela nafas sejenak, Drupada melanjutkan: "Jangan dikira
ayahmu ini nggak memikirkan lo. Coba bayangkan, putri seorang raja besar
Pancala Radya, tiap hari beritanya masuk TV gara-gara membuat onar dan
berkelahi. Ha ha ha ha..... Cobalah engkau pikirkan, apa yang harus ayah
katakan, jika ada wartawan yang iseng menanyakan soal ini? Memangnya ayah
harus mengatakan bahwa putri ayah yang satu ini memang ditakdirkan
jadi 'trouble maker' dan pembuat onar? Kasihan dong sama para pejabat humas
istana, yang setiap kali mendengar engkau membuat ulah, kan mereka juga yang
kusut dan harus menghadapi wartawan pada waktu terjadi 'press conference'.
Sementara engkau? Menghilang lenyap tak berbekas, bak ditelan bumi! Ha ha
ha ha...." terbahak-bahak Sang Drupada....
Mendengar penuturan ayahandanya itu, makin cemberutlah muka Srikandhi.
Lalu dengan menyorongkan mukanya yang manja, ia menimpali:
"Ayaaaaah......, kan Srikandhi yang sekarang sudah banyak berubah! Srikandhi
janji deh, nggak akan membuat ulah dan onar lagi. Srikandhi sekarang, kan
sudah dewasa dan sudah jadi anak gadis yang pintar, baik hati, dan tidak
sombong....." Begitu kata Srikandhi dengan manja sejadi-jadinya kepada
ayahandanya.
Masih dengan senyum lebar, Sang Drupada berkata: "Iyaaaaa.... iyaaa,
Srikandhi. Ayah percaya, sekarang engkau sudah banyak berubah, dan katamu
sekarang sudah menjadi anak yang baik dan tidak sombong. Anak yang baik?
Tidak sombong? Tapi sejak kapan itu? Ha ha ha ha," kembali meledak gelak
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 96
tawa terbahak-bahak Sang Drupada, terdengar nyaring memenuhi ruang istana
yang luas itu.
Lama sekali bapak dan anak itu berbincang berdua tentang berbagai hal di ruang
istana yang lengang dan sepi itu. Tak terasa hari sudah menjelang sore. Sambil
bergandeng tangan, keduanya berjalan perlahan-lahan masuk menuju ruang
dalam istana. Sang Respati sudah berada jauh di ufuk barat. Sisa-sisa sinarnya
cemerlang memancar bagaikan lajur-lajur emas bercahaya menjulur di antara
awan-awan yang berjalan perlahan, semakin lama semakin redup, sampai
akhirnya berubah menjadi malam. Perlahan-lahan Sang Sasadara yang sedang
purnama timbul, melayang di angkasa Pancala Radya, bagaikan sang dewi
malam. Haripun berubah menjadi malam. Hamparan jutaan kartika perlahan-
lahan membuai angkasa raya, berkedip-kedip seakan hendak bercerita tentang
perjalanan jutaan manusia di alam janaloka.
Di tempat peraduannya, Sang Srikandhi tiduran sambil termenung memandang
bintang-bintang di angkasa. Bayangannya melayang pada peristiwa
pertemuannya dengan ayahandanya siang tadi. Dia merasa tidak seperti
biasanya ayahandanya memperhatikan dirinya seperti itu. Rasanya itu
merupakan pertemuan dirinya dengan ayahnya yang paling lama. Biasanya
ayahnya hanya meluangkan waktu sebentar saja dengan dirinya. Biasanya
ayahandanya hanya bertanya tentang beberapa hal kecil, yang menurutnya tidak
penting. Menanyakan angka-angka hasil ujian, merupakan salah satu pertanyaan
klise yang paling sering diajukan. Dan, ia selalu menjawab juga dengan jawaban
klise juga. "Nggak ada masalah ayah.... everything under control...." Itu
merupakan jawaban yang paling sering ia gunakan untuk menjawab pertanyaan
ayahandanya. Tapi kali ini, ayahandanya seakan benar-benar meluangkan waktu
khusus untuk dirinya.
Malam semakin larut, Sang Srikandhi akhirnya tertidur lelap dengan mimpi-
mimpi indah yang melayangkan cerita berbagai peristiwa menakjubkan yang
dialaminya. Di bibirnya, tersungging senyum. Selimut yang menutupi tubuhnya,
seakan melenyapkan seluruh kehidupan hari itu dan menyimpannya di awan dan
bintang-bintang malam. Sebuah perjalanan malam penuh mimpi dimulai.........
____________________________
[1] Terjemahan bebas:
Telah berbunyi gamelan di malam hari,
Lembut mengalun bagai tersusun,
Nyanyian cerita lama,
Mengharumkan suasana malam,
Berhiaskan bulan dan bintang-bintang,
Sunyi sepi di malam hari.
Telah berbunyi gamelan hendak segera melagukan Talu,
Nyanyian suluk dan tembang nan indah,
Terbawa oleh samirana (angin),
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 97
Nanyian pembawa cerita di malam hari,
Menyanyikan perjalanan manusia,
Menjadi penerang peri-laku utama.
[2] Terjemahan bebas:
Maka dimulailah peristiwa yang menawan hati,
Tergelar menyebar luas bias cahayanya....
Recommended