View
18
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
•
494
.KORUPSI DAN PENGEWLAAN PROYEK PEMBANGUNAN
_________ Oleh : Andi HanlZah ________ -.J
Tujuan Penulisan Setelah menelaah perkara-perkara
korupsi yang diselesaikan melalui penuntut pidana ke pengadilan, temyata kelemahan-kelemahan pengelolaan pembangunan sekarang ini tidak terletak hanya pada bidang kontrol (pengawasan) seperti biasa dikatakan orang, tetapi juga di bidang perencanaan yang sangat kurang sempuma. Di sam ping itu, para pengawas pada umumnya tidak atau belum dibekali dengan pengetahuan sekitar masalah korupsi, terutama dalam arti hukum pidana, sehingga sering terjadi mereka dalam melaksanakan tugasnya memeriksa pengelolaan proyek pembangunan dan hasil pekerjaan hanya meninjau dari sudut ketentuan administrasi belaka. Mereka pun memberikan petunjukpetunjuk dan nasihat-nasihat yang melulu didasarkan atas segi administrasi itu saja. Bahkan sering terjadi bahwa apa yang dinasihatkan itu justru terjaring dalam perumusan delik korupsi. Sebaliknya yang disebutnya sebagai pelanggaran, hanya merupakan pelanggaran administrasi belaka, dengan atau tanpa sanksi administratif.
Untuk tujuan itulah, maka tulisan ini dibuat, agar dalam hal pengeiolaan proyek pembangunan baik pimpinan proyek, bendaharawan proyek maupun para pemeriksa baik yang intern instansi maupun yang ekstern selain memahami masalah tehnis administratif yang pada umumnya mereka sudah
kuasai, juga pengetahuan di sekitar ~eluk-beluk korupsi, khususnya dari sudut huk~m pidana, dalam hal ini Un dang-un dang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (disingkat: UUPTPK).
Dengan demikian, diharapkan di waktu-waktu mendatang tidak lagi menjadi penyimp'angan-penyimpangan, baik yang bersifat pelanggaran administratif, maupun pelanggaran pidana korupsi. Jika ini dapat rriembawa hasil yang bermanfaat, maka tercapailah kelancaran -proses pembangunan dan juga tujuan hukum pidana yaitu terciptanya kedamaian dalam masyarakat. Pemidanaan itu merupakan alat terakh~r dalam hukum pidana. Ia merupakan obat yang terakhir (ultimum remedium), yang baru dipergunakan jika upaya lain, seperti pencegahan atau prevensi dan pem binaan sudah tidak berj alan.
Dalam tulisan ini, diusahakan oleh penulis suatu perbandingan antara ketentuan administrasi sebagaimana dimaksud tadi dan ketentuan hukum pidana korupsi, baik yang paralel, a!tinya sejalan, maupun yang tidak paralel. Mungkin pelanggaran hukum pidana korupsi, mungkin pula tidak.
Pembatasan Ruang Lingkup Masalah
Kalau dalam tulisan ini dicantumkan istilah ketentuan adrilinistrasi ma-, ka tidak semua ketentuan administrasi yang dimaksud. Ketentuan administra-
K orupsi dan Proyek Pembangunan
si yang' sangat luas itu , yang an tara lain meliputi juga masalah perizman, lisensi dan dispensasi, pajak dan bea cukai, maka dalam tulisan ini dibatasi sehingga hanya meliputi ketentuan administrasi di bidang pengelolaan keuangan dan pembangunan fisik, khususnya ketentuan yang tercantum dalam Indische Comptabiliteits Wet (lCW) dan Keputusan Presiden Nomor 14 A Tahun 1980 dan Nomor 18 Tahun 1981, yang dapat dipandang sebagai peraturan pelaksanaan ICW terse but.
Sebagai dimaklum, dalam banyak ketentuanadministrasi yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan seterusnya tercantum juga ketentuan pidana, sebagai ketentuan akhir -in cauda venenum - yang mengandung ancaman pidana pula.
Jika hukum pidana itu yang mengandung sanksi luar biasa, ditujukan kepada kaidah hukum umum, maka disebut oleh Scholten sebagai hukum pidana umum , dan jika ditujukan kepada pelanggaran peraturan-peraturan hukum administrasi negara disebut hukum pidana pemerintahan (Prins, 1953 : 19, menunjuk Scholten, Algemeen Deel : 32) .
Tetapi penulis tidak bermaksud untuk menguraikan secara luas dalam tulisan ini ten tang hukum pidana pemerintah itu. Untuk itu, dapat di-
• baca tulisan penulis yang berjudul Delik-Delik Di Luar KUHP, Pradnya Paramita Jakarta, 1982.
J ustru dalam tulisan ini yang akan diuraikan ialah bagian hukum pidana umum itu, karena delik korupsi itu menurut pembagian Scholten tersebut, termasuk hukum pidana umum. Lebihlebih karena 74% perumusan delik korupsi yang terdapat dalam UUPTPK berasal dari KUHP (A. Hamzah , Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, 1983).
495
Pengertian Korupsi dan Masalah yang dihadapi
Dalam kamus dapat ditemukan istilah korupsi yang telah masuk keperbendaharaan bahasa Indonesia itu. la berasal dari kat a Latin corruptio, yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap , tidak berm oral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (The Lexicon: 1978).
Menilik arti asal korupsi terse but, maka ruang lingkupnya sangat luas. Dalam Kamus Indonesia susunan Poerwadarminta, arti kata korupsi terse but
•
telah diciutkan menjadi perbuatan bu- . ruk dan dapat disuap. Sekarang ini, jika kita mendengar kat a korupsi itu, kita asosiasikan sebagai perbuatan manipulasi dan curang.
Dalam peIjalanan sejarah arti istilah korupsi itu telah berkaitan erat dengan
•
sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman modern ini. Hal ini pertama kali didengungkan oleh Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg Acton, 1834-1902), seorang sejarawan Inggeris yang telah mengucapkan kata-kata termasyhur: "The power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely" (Kekuasaan itu cenderung ke korupsi, kekuasaan mutlak mengakibatkan korupsi mutlak pula).
Di dalam UUD 1945 sebenarnya telah tersurat dan tersirat suatu peringatan dan petunjuk mengenai hal ini, bahwa kekuasaan Pemerintah (Presiden) bukanlah tanpa batas. Indonesia'" adalah negara hukum. Kekuasaan Pemerintah ditentukan, diatur dan dibatasi oleh hukum. Pengaturannya terutama dalam Undang-undang Dasar sebagai hukum dasar, dalam undangundang, dalam hukum adat, dan penjabarannya dalam peraturan yang Iebih rendah tingkatnya.
Nopember 1983
496
Dalam mengendalikan negara dan melaksanakan administrasi pemerintahan, para penguasa, petugas negara dUkat oleh seperangkat peraturan admjoistrasi negara yang selain berfung-
. si sebagai pedoman pelaksanaan, juga berfungsi kontrol (pengawasan).
Sehubungan dengan pengertian karupsi tersebut, yang paling diutamakim ialah penciptaan ketentuan-ketentuan tentang pengawasan keuangan dan perbendaharaan negara. Hal ini dapat dilihat pada peIjalanan sejarah pemeriotahan. Kita dapat melihat fakta visual disekitar kita, bahwa bangunanbangunan kuno milik pemerintah di Jakarta menunjukkan bahwa penguasa (pemerintah) kolonial membangun pertama-tama benteng sebagai pusat temp at berpijak untuk menanamkan kekuasaannya, kemudian pengadilan dan penjara sebagai alat untuk mempertahankan dan mengamankan kekuasaan, diikuti dengan gedung kant or keuangan. Uang dan ekonomi merupakan nafas !1uatu kekuasaan pemerintahan. Dalam rangka pengelolaan keuangan yang rumit itu, p ertam atama diciptakan peraturan yang mengaturnya secara cermat, yaitu Indische Comptabiliteits Wet (disingkat : leW) atau diindonesiakan "Undang-undang Perbendaharaan Indonesia".
Di dalamnya penuh dengan peraturan-peraturan yang selain berfungsi kontrol, juga prevensi umum terhadap
penyalah,nnaan uang negara atau korupsi. Ketentuan bahwa kurangnya satu sen atau lebih satu sen di dalamkas, merupakan penyimpangan atau kesalahan yang dapat °mengakibatkan pemecatan bendaharawan, bahkan pe-nuntutan pidana, berfungsi sebagai
atau prevensi terhadap perbuatan mencampuradukkan ke-
dengan keuangan pribaeli, yang merupakan indikasi dini suatu perbuatan korupsi.
Hukum dan Pembangunan
Di sinilah dapat dilihat kaitan antara pengertian administrasi pemerintahan modern dan korupsi. Di zaman feodal, baik di Indonesia sebelum kedatangan Belanda dan di Belanda sendiri sebelum dijajah Perancis, tidak ada pemisahan antara keuangan pribadi penguasa atau raja dan keuangan negara. J adi, tidak teIjadi pula pemisahan yang tajam antara pengertian pajak untuk kas negara dan upeti kepada penguasa atau raja.
J adi, dalam pengertian feodal itu, sebenarnya tidak ada korupsi dalam artinya sebagai kita kenal sekarang, bahkan korupsi atau upeti itu merupakan suatu sistem. Hal ini jelas jika kita lihat "pembangkangan" Douwes Dekker atau Multatuli terhadap atasannya, karena Multatuli memakai ukuran administrasi modern untuk menilai tingkah pola Bupati Lebak, di mana "keIja bakti" dan "upeti" rakyat di situ untuk kepentingan pribadi Bupati, merupakan sistem tradisional. Untuk ini jelas jika dibaca buku Max Havelaar nya Multatulio
Sudah tentu Pemerintah Belanda pada waktu itu membela Bupati Lebak untuk kepentingan politik kolanialnya, yaitu menjajah seluruh rakyat melalui "penguasa pribadi".
Sistem administrasi modern rupanya diterapkan oleh Pemerintah Kolanial secara bertahap. Pada pengelolaan keuangan negara diadakan pengawasan ketat, tetapi ditingkat desa dan swapraja diberikan kelonggaran kepada penguasa pribumi untuk menerima penghasilan seperti hasil tanah bengkok di J awa, arajang atau kelompok di Sulawesi Selatan, yang berupa hutan yang dikuasai, pungutan-pungutan adat tertentu dari rakyat, hasH danau dan lain-lain.
Di sini pengertian "pungutan liar" "pungli" tidak dapat dipisahkan dati pengertian seperti ini. Tetapi sesudah swapraja dibubarkan dan kepala-kepala
Korupsi dan Proyek Pembangunan
desa dipegawainegerikan, maka berubahlah tata nilai tersebut. Perbuatanperbuatan memungut upeti dan kerja bakti dari rakyat yang semula merupakan adat atau tradisi, berubah bentuk menjadi korupsi dan terjaring ke dalam pelanggaran Pasal 423 dan 425 KUHP yang dimasukkan pula sebagai salah satu perbuatan korupsi menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pi dana Korupsi tahun 1971.
Di sinilah letak kesulitannya, karena mungkin manusianya sendiri belum menyadari perubahan tersebut, sehingga masih saja ada yang eenderung mengikuti irama tradisi lama itu. Dieeritakan bah wa seorang anak bupati membeli buku komik di suatu toko buku dengan peullintaan agar bon atau pembayarannya ditagih di kant or bupati. J adi, meskipun anak itu tidak mengalami zaman feodal, namun sisasisa jiwa feodal yang meneampuradukkan keuangan pribadi ayah dan
•
keuangan kantor daerah masih berse-mayam pada dirinya. Teranglah ini merupakan perbuatan korupsi (yang dilakukan oleh swasta !) seeara keeilkeeilan, pada gilirannya jika tidak dihentikan seeara dini akan meningkat dan membangkak, mungkin menjadi perusahaan "plat merah" yang ikut memborong proyek-proyek INPRES dan sebagainya, yang j~las terjaring ke dalam pasal 435 KUHP, yang ditarik pula menjadi delik korup-
• • SI menurut UUPTPK.
sebaliknya, mungkin banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap KEPRES 14 A tahun 1980 dan 18 tahun 1981, yang justru hanya berupa pelanggaran administratif belaka (bukan pidana korupsi) diteriaki sebagai perbuatan korupsi. Misalnya ditunjuk pemborong yang berasal dari luar kabupaten, jelas melanggar KEPRES Nomor 14 Tahun 1980 dan Nomor 18 Tahun 1981, tetapi tidak merupakan
497
perbuatan korupsi, sepanjang pimpinan proyek tidak menerima suap. Bahkan mungkin dapat dipandang suatu kebijaksanaan demi suksesnya pembangunan tersebut yang terkenal dengan nama das freis Ermessen yang " dapat dibenarkan oleh hukUin administrasi . .
Dalam rangka masalah korupsi dan pem bangunan ini Mahkamah Agung dengan yurisprudensinya melangkah lebih jauh, putusan pertama 1966 (era Subekti) dan putusan kedua 1977 (era Oerriar Seni Adji) merumuskan bahwa suatu perbuatan korupsi hilang sifat melawan hukumnya jika dilakukan:
1) demi untuk kepentingan umum (kepentingan umum dilayani);
2) negara tidak dirugikan; 3) pembuat tidak mendapat untung.
Ajaran Mahkamah Agung ini merupakan suatu jalan tengah, atau ajaran keseimbangan (edequate) antara kerugian yang ditimbulkan karena terjadinya pelanggaran pidana dan manfaat yang diperoleh yaitu lanearnya pembangunan.
Dalam praktek banyak terjadi masalah antara pengertian korupsi dan lanearnya pembangunan. Sesudah terjadi devaluasi banyak pemborong mengalami kesulitan. Terjadilah dua alternatif, yaitu meneruskan pekerjaan dengan resiko menderita ' kerugian yang besar, atau menghentikannya dengan resiko dapat dituntut. Jika pemborong yang bersangkutan
mempunyai modal yang besar, ' maka tidak banyak menim bulk an masalah. Tetapi pemborong di kabupaten sebagai akibat ketentuan KEPRES Nomor 14 A tumbuh sebagai eendawan di musim hujan itu banyak yang bennodal dengkul, menimbulkan masalah BO
rius, yaitu macetnya pekerjaan secara total. Serins terjadi pimpinan proyek
Nopember 1983
498
terpaksa harus memilih alternatif memerintahkan meneruskan pekerjaan dengan "kebijaksanaan tertentu", se
. perti penurunan kualitas bahan tertentu menyimpang dati bestek atau membiarkan pekerjaan terbengkalai. Begitu pula dalarn anggaran proyek INPRES tidak dicantumkan keuntungan pemborong sebesar 10% sebagairnana pada proyek Jain, menimbulkan kepastian babwa terjadi pengurangan kualitas bahan menyimpang dati bestek secara diam-diarn.
Pertanyaan sekarang ini ialah apakab pimpinan proyek dan pem borong seperti digarnbarkan terse but harus dituotut korupsi semuanya ? Jawaban atas pertanyaan seperti ini ialah hukum (pidana) tidak lagi mempunyai kata penghabisan. Benarlah yang dikatakan D. Simons lebih 50 tahun larnpau ketika baru saja undangundang hukum acara pidana Belanda tercipta, bahwa dalam hal penuntutan (pidana), bukan semata-mata merupakan masalah yutidis tehnis tetapi juga masalah politik (maksudnya politile penuntutan).
Dapat dibandingkan di sini tujuan hukum dan pengambilan keputusan atau kebijaksanaan itu. Hukum bergema untuk peristiwa yang akan datang. Ia merupakan seperangkat kaidahkaidah yang bertujuan mencapai kedamaian dalarn masyarakat dan mempunyai sifat-sifat utama, yaitu keadilan dan kemanfaatan .
•
Pengarnbilan keputusan atau kebijaksanaan yang lebih konkret itu merupakan seni tersendiri. Ia tidak
" boleh bertentangan dengan hukum dan dihiin pihak mempunyai persamaan dengan sifat hukum, yaitu kemanfaatan. Suatu keputusan atau kebijaksanaan yang diambil harus bel'lllanfaat yang juga merupakan salah satu sifat utarna hukum itu sendiri.
Dal.m situasi konkret sebagaimana
Hukum dan Pembangunan
diIukiskan di muka penegak hukum tidak boleh bersifat kaku seperti robot, karena hukum itu sendiri merupakan sarana pembangunan. Di lain pihak para pengambiI keputusan atau kebijaksanaan tidak boleh selalu berlindung di bawah ' naungan "demi suksesnya pembangunan" sebagai dalih untuk mengesampingkan hukum itu dengan sengaja.
Perbuatan-perbuatan korupsi yang menyangkut pegawai negeri dan pejabat Indonesia sudah demikian meluasnya sehingga jika semua pelaku perbuatan korupsi dipidana dengan pida-
•
na penjara, maka Pemerintah seharus-nya membuat penjara raksasa sebesar kota Bogor di mana beratur-ratus ,
pegawai dan pejabat terse but berada di dalamnya. ,
Perbuatan korupsi at au suap terjadi dimana-mana, di loket penjualan karcis
•
kereta api, di bagian kepegawaian suatu instansi, ' di bagian pem belian barang Pemerintah, di perpajakan dan bea cukai, di perkreditan bank, di lalulintas jalan, di bidang penegakan hukum, di bidang pembangunan fisik seperti jalan dan jembatan, gedung, reboisasi, penghijauan, Bimas, bantu an sosial dan di mana saja ada kegiatan pembangunan.
Di sinilah terjadi alternatif yang mesti dipilih, antara menjalani dengan tegas UUPTPK menurut bunyi peraturan atau diadakan tindakan penuntutan yang bersifat selektif. Memang tidak dapat diingkar bahwa penuntutan pidana itu tidak h~ya merupakan masalah yuridis tehnis semata-mata seperti dikatakim D. Simons tersebut.
Di dalam kasus-kasus korupsi yang •
telah diajukan ke pengadilan, ternyata bahwa benar teIjadi perbuatan-perbuatan korupsi yang sangat menyolok.
Pada kasus rcboisasi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan di Lampung, bennilyar-milyar uang negara
•
Korupsi dan Proyek Pemban~nan
telah dikorupsi. Terjadi penanaman •
pohon fiktif, .manipulasi mutu bibit, kuitansi pem bay aran rtktif. Begitu pula pada kredit Bimas, sampai terjadi "orang yang telah mati" menerima kredit (terdakwa: bekas camat MSD di Sulawesi Selatan). Dalam hal seperti ini, 'tidak ada pilihan lain selain penuntutan pidana di pengadilan.
Korupsi di Indonesia menurut Syed Husain Alatas (Tempo 1983) telah mencapai tahap ketiga (tallap lanjut yang sudah sangat kritis). Pada umumnya kasus-kasus korupsi yang disidik dalam tahun 1983 sampai bulan Juli, umumnya berkaitan dengan masalah administrasi. Pada perincian berikut ini terlukis macam-macam korupsi terse but yang ditangani oleh Kejaksaan di seluruh Indonesia sampai bulan Jull 1983.
Aceh: - manipulasi pukat harimau; - manipulasi pada sub dinas pem-
berantasan penyakit menular; dan - pemalsuan cek dan retribusi ternak;
Sumatera Utara: •
- manipulasi ganti rugi tanah; - manipulasi dana pembangunan kan-
tor Departemen Agama; - pem bangunan SD Inpres; - pungli; - tabanas; - dana proyek peremajaan rehabili-
tasi dan perluasan tanaman ekspor (PPRPTE);
Sumatera Barat :
- manipulasi KUD; - manipulasi Kredit Bimas; - manipulasi Ipeda; - manipulasi ta banas ; - pupuk palsu; dan - manipulasi dana kesehatan;
Riau: - manipulasi dana reboisasi; - manipulasi dana pembuatan jalan
I
499
•
dan jem batan; - manipulasi dana PPRPTE; - manipulasi penjualan tanah caltex; - manipulasi pembangunan gedung
kesenian Rengat; dan - manipulasi pertanian;
Sumatera Selatan:
- manipulasi ganti rugi tanah; - manipulasi proyek pemukiman kem-
bali penduduk di Muara Enim; - manipulasi KUD; , - manipulasi pajak kendaraan; - manipulasi proyek penyiapan lahan
transmigrasi ; - manipulasi penjualan bahan bakar
minyak; dan - manipulasi pasar Kodya Palembang;
Jambi:
- manipulasi proyek pencetakan sawah . ,
- manipulasi Rumah Sakit Jiwa Jam-bi; dan
- manipulasi di Kanwil Koperasi;
Bengkulu :
- manipulasi penjualan tanah di Ma-na ;
- manipulasi proyek Bimas; dan - manipulasi pembuatall jalan pro-
• • pmSl.
Lampung:
- manipulasi proyek reboisasi; - manipulasi proyek padi gogo ran-
cah; dan - manipulasi proyek Bimas.
D KI Jakarta : - manipulasi pajak; - maliipulasi keuangan IKIP Jakarta; , - korupsi di Biro Kerjasama Luar
Negeri Departemen Pertanian; manipulasi pembayaran pensillo ;
- manipulasi bunga tabanas; - kasus pupuk PT Curah Niaga; - manipulasi di PT Asuransi Jiwa-
sraya; - manipulasi di PT Cipta Niaga;
NopemHr 1983
500
- manipulasi di PN Industri Sandang; dan
- manipulasi di Ditjen Transmigrasi.
Jawa Barat :
- manipulasi proyek Bimas; - manipulasi ganti rugi tanah ; - manipulasi di Puskud ; - manipulasi.di Puskud ; - manipulasi di PT Panca Niaga; - manipulasi pembuatan jalan Inpres; - manipulasi subsidi desa ; - manipulasi pengadaan pangan; - manipulasi di PN Industri Sandang;
dan - upah fiktif perkebunan PTP XII .
Jawa Tengah :
manipulasi kredit BRI; - manipulasi pada KUD;
manipulasi proyek Bimas; - manipulasi bahan bakar minyak; - manipulasi proyek Gizi; dan - manipulasi pada PT Panca Niaga.
Di Yogyakarta :
- manipulasi kredit BRI; - manipulasi ganti rugi tanah; dan - manipulasi kas desa.
Jawa Timur:
- manipulasi pelaksanaan Prona Bojonegoro;
- manipulasi di PN Pertani Malang; manipulasi di Pertamina Surabaya ;
- manipulasi pada Perumnas Sura-baya; .
- manipulasi proyek penghijauan Pa-suruan;
- manipulasi proyek Bimas ; - manipulasi di KUD ; dan - manipulasi sebuah proyek di Sura-
baya.
Bali :
manipulasi Banpres Singaraja; - manipulasi pada Dinas Agraria
Tabanan; .
•
Hukum dan Pembangunan
- manipulasi gedung serba guna; - manipulasi Bimas di Gianjar; dan - manipulasi KIK/KMKP dari BRI
Gianjar.
Nusatengaara Barat :
- manipulasi proyek reboisasi; - manipulasi pada KUD; - manipulasi pembuatan bendungan; - manipulasi tanah; dan - manipulasi kredit BR!.
Nusatenggara Timur :
- manipulasi reboisasi; - manipulasi pencetakan sawah; - manipulasi penghijauan; - manipulasi ganti rugi; - manipulasi dinas.Kehutanan; - manipulasi KUD; - manipulasi sumbangan Negara; - manipulasi Dolog; dan - manipulasi pembelian truk tangki
air untuk NTT yang kasusnya ditangani di Jakarta.
Kalimantan Barat :
- maipulasi proyek Bimas; - manipulasi pada KUD; - mari.ipulasi pembuatan dennaga; - manipulasi reboisasi; - manipulasi pem bayaran gaji guru;
dan - manipulasi pajak tontonan.
Kalimantan Tengah :
- manipulasi kredit BR!.
Kalimantan Selatan :
- manipulasi pemberian kredit; - manipulasi pada BKKBN; - manipulasi reboisasi; - manipulasi kredit nelayan ; dan - manipulasi subsidi desa.
Kalimantan Timur :
- manipulasi BBM; - mani] ulasi reboisasi; - manipulasi SD Inpres ;
,
,
Karupsi dan Prayek Pembangunan
- manipulasi di Kanwil Penerangan; dan
- manipulasi di Kanwil Depsos.
Sulawesi Utara :
- manipulasi proyek PRPTE; - manipulasi reboisasi; - manipulasi proyek Bimas; - manipulasi pencetakan sa wah ; - manipulasi KUD; - manipulasi proyek pembangunan
pus at latihan pertanian; - manipulasi kredit BRI; - manipulasi keuangan pemda; - manipulasi gaji guru; dan - manipulasi pada kantor Agraria.
Sulawesi Tengah :
- manipulasi reboisasi; - manipulasi KUD; - manipulasi bantuan desa; dan - manipulasi tunjangan.
Sulawesi Tenggara :
manipulasi pembinaan pertanian pangan daerah transmigrasi;
- manipulasi SD Inpres; - manipulasi reboisasi; dan - manipulasi proyek transmigrasi ban-
tuan ADB.
Sulawesi Selatan :
- manipulasi reboisasi; manipulasi dana pensiun; manipulasi gaji guru; ,
- manipulasi proyek penghijauan ; manipulasi SD Inpres;
- manipulasi proyek Bimas ; - manipulasi kredit B RI;
manipulasi pada BKKBN ; - manipulasi pasar Inpres; - manipulasi KUD; - manipulasi pembangunan check
dam manipulasi pemukiman masyarakat terasing; dan
- manipulasi Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan.
•
501
Maluku:
- manipulasi subsidi desa; - manipulasi SD Inpres; .
•
- manipulasi KUD; dan - manupulasi trayek laut.
Irian laya :
- Manipulasi pertanian; - manipulasi SD Inpres; - manipulasi MPO dan PPn; - manipulasi pajak upah; dan - sebuah perusahaan daerah.
. Korupsi Menuru t UUPTPK
Yang dimaksud dengan korupsi menurut asal kata (Latin) berbeda dengan perbuatan korupsi menurut pengertian sosiologis, begitu pula dengan perbuatan korupsi menurut UUPTPK. Banyak perbuatan-perbuatan buruk dan curang merupakan korupsi dalam arti harfiah dan begitu pula korupsi dalam arti dan seperti nepotisme (memasang atau mengangkat keluarga atau ternan pada posisi tertentu, di mana yang bersangkutan tidak atau belum memenuhi syarat untuk itu), tidak termasuk korupsi dalam rumusan UUPTPK.
Demikian pula halnya dengan per" aturan administrasi seperti lew dan KEPRES Nomor 14 A Tahun 1980 dan Nomor 18 Tahun 1981, di mana banyak penyimpangan-penyimpangan menurut peraturan terse but yang tid!\k termasuk korupsi dalam arti rumusan UUPTPK.
·Rumusan delik dalam UUPTPK hanya terdapat pada satu pasal saja, yaitu Pasal 1. Tetapi Pasal 1 itu menunjuk beraneka ragam perbuatan yang dipandang sebagai delik korupsi, baik yang diciptakan sendiri oleh pembuat undang-undang maupun perumusan yang ditarik dari KUHP. Jadi, mesdisebut di dalam satu pasal saja, namun bercabang-cabang jangkauannya sehingga perumusan korupsi (pidana) terse but menjadi sangat luas. Pasal 1
Napember 1983
•
502
UUPTPK terse but berbunyi :
'Vihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
1. a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau pereko-
• nomum negara.
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423,425 dan 435 KUHP.
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabtannya atau kedudukanny a atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, ' seperti yang terse but dalam pasal-pasal 418,419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian janji tersebut kepada yang berwajib . .
•
2. Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan uruuk melakukan tindak pidllna-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini".
Kalau delik-delik terse but diberi nama (tidak semua delik di dalam Pasal 1 UUPTPK terse but mempunyai
Hukum dan Pembangunan
nama atau kualifikasi), maka secara berturut-turut sebagai berikut :
1) me1awan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang merugikan negara (Pasal 4 ayat 1 sub a);
2) menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan menyalahgunakan ' kewenangan, kesempatan atau saran a yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan negara;
3) memberi suap pegawai negeri (Pasa! 209 KUHP); ,
4) memberi suap hakim (Pasal 210 KUHP); .
5) pemborong yang me1akukan perbuatan tipu yang dapat mendatangkan bahaya bagi kese1amatan orang atau benda atau negara dalam keadaan perang, dan pengawas yang .membiarkan perbuatan tipu tersebut (Pasal 387 ayat 1 dan 2 KUHP);
6) leveransir ten tara yang melakukan perbuatan tipu yang dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan negara pada waktu perang (Pasal 388 KUHP);
7) penggelapan oleh pegawai negeri dan Pejabat (Pasal 415 KUHP);
8) pegawai negeri atau pejabat (Pasal416 KUHP);
9) pegawai negeri atau pejabat yang menggelapkan barang bukti (Pasal417 KUHP);
. 10) pegawai negeri menerima suap (Pasal418) KUHP);
11) Pegawai negeri menerima suap yang berlawanan dengan kewajibannya (Pasal419 KUHP);
12) hakim menerima suap (Pasal 420 KUHP);
Korupsi dan Proyek Pembangunan
13) peIlllintaan memaksa (Knevelarij) (Pasal 423 KUHP);
14) peullintaan memaksa (Knevelarij) pada waktu menjalankan jabatannya (Pasal425 KUHP);
15) pegawai negeri yang ~ut dalam pem borongan leveransir dan tebas (pacht) (Pasal435 KUHP);
16) memberi suap kepada pegawai negeri dalam arti pasal 2 UUPTPK (Pasal 1 ayat 1 sub d UUPTPK);
17) tanpa alasan yang wajar tidak melaporkan suapan yang ia terima (Pasal 1 ayat 1 sub e UUPTPK).
503
Jadi, ada 17 macam perbuatan yang disebut sebagai delik korupsi (tindak
. pidana korupsi) menurut Pasall UUPTPK itu, dengan catatan bahwa Ayat 2 Pasal 1 itu menyebut bahwa teIlllasuk perbuatan korupsi percobaan atau permu[akatan melakukan perbuatan korupsi yangjumlahnya 17 macam itu.
Inilah yang dimaksud dengan perbuatan korupsi menurut UUPTPK. Katau suatu pelanggaran atau penyimpangan ketentuan administrasi paralel dengan perbuatan tersebut, maka terjadilah korupsi yang berkaitan dengan ketentuan administrasi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abidin, A.Z. Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Pram ita, 1983.
Hamzah, A. Undang·Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korups; Sebagai Sarana Pembangunan, Disertasi, UNHAS, 1982.
--------- "Subyek Delik Korupsi", Majalah Caraka Adhyaksa Nomor 2 Tahun II 1983.
• Keputusan Presiden Nomor 14 A Tahun 1980 dan 18 Tahun 1981 . Panitia Pusat Penyelenggaraan Upgrading Bendaharawan Departemen Keuangan, Buku Pedoman untuk Bendaharawan, Pegawai Administrasi dan Pengawas Keuangan, J ilid I, II dan III, 1971.
•
- Slikses semenit dapat membayar kekecewaan yang te/ah berja/al/ bertahun·tahun. (Robert Drawning).
- Tetap/all merangkak sebagaimana biasanya, niscaya tercapai juga keinginan anda. (Braumarchais).
Nopemlwr 1983
Recommended