View
20
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
JURNAL ILMIAH
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM
BENTUK PERJANJIAN BAKU MENURUT HUKUM DI
INDONESIA
Program StudiIlmuHukum
Oleh :
DIAH JUNIAR SAFITRI
DIA014072
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2018
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM BENTUK
PERJANJIAN BAKU MENURUT HUKUM DI INDONESIA
Oleh :
Diah Juniar Safitri
NIM. D1A014072
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) akibat hukum perjanjian kredit
bank dalam bentuk kontrak baku menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia (2) bentuk perlindungan hukum bagi nasabah debitur pada perjanjian kredit
bank dalam bentuk kontrak baku.Penelitian ini menggunakan metode normatif, yang
menggunakan metode pendekatakan peundang-undangan dan konseptual.Akibat
hukum dari perjanjian kredit bank yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan
di indonesia adalah dapat dibatalkan dan batal demi hukum. Perlindungan hukum
bagi nasabah debitur dalam perjanjian kredit bank dapat didasarkan pada perjanjian
yang para pihak buat dan sepakati, berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kata kunci : Perjanjian Kredit, Kontrak Baku
JURIDICAL REVIEW OFCREDIT CONTRACT IN STANDARDIZED
CONTRACT ACCORDING TO LAW OF INDONESIA
ABSTRACT
This research aimed to find out (1) legal consequences of standardized
contract in credit transaction according to in law of Indonesia (2) Legal protection
for debtor on standardized contract in credit transaction. This thesis is focused on
normative method, using the method of statute approach, and conceptual. Legal
consequences of standard contract which is not in accordance withthe terms of the
validity of the agreement, law of Indonesia will Void ab initioandVoidable. Legal
protection for debtorstandardized clausul in credit transaction is in accordance with
the agreements made by the parties and should follow law of Indonesia.
Keyword: Loan Agreement, Standard Contract
i
I. PENDAHULUAN
Lembaga keuangan bank (selanjutnya dalam tulisan ini disebut bank),
fungsi utamanya adalah menghimpun dana dan menyalurkan dana (kredit) kepada
masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 tentang Perbankan.
Kegiatan bank sebagai penghimpun dana dari masyarakat dapat dilihat dari aktivitas
bank dalam bentuk simpanan. Sedangkan kegiatan bank dalam penyaluran dana
kepada masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk pemberian kredit kepada
masyarakat.
Dalam praktik perbankan, umumnya perjanjian kredit dituangkan dalam
bentuk kontrak baku (standardcontract). Kontrak baku (standardcontract) itu
berprinsip take it or leave it, dalam arti hanya ada dua pilihan yaitu sepakat membuat
kontrak atau tidak sepakat membuat kontrak.1 Kontrak yang dibuat secara sepihak
dalam format tertentu dan massal (banyak) oleh pihak yang mempunyai kedudukan
dan posisi tawar-menawar yang lebih kuat, yang didalamnya memuat klausula-
klausula yang tidak dapat atau tidak mungkin dirundingkan atau diubah oleh pihak
lainnya yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar-menawar yang lebih lemah
selain menyetujui (take it) atau menolaknya (leave it).
1 Muhammad Syarifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat,
Teori, Dogmatik dan Prekatik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV. Mandar Maju,
Bandung, 2012, hlm. 216.
ii
Kedudukan para pihak yang tidak seimbang itulah yang dimanfaatkan oleh
pihak bank untuk membuat klausula yang memberatkan debitur. Pihak debitur akan
dibebani dengan sejumlah kewajiban yang merupakan hak-hak bank yang mesti
dipenuhinya, dengan lebih banyak membuat perjanjian dalam bentuk baku yang di
dalamnya memuat klausula eksonerasi (exoneratie clausule, exemption clausule).
Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengadung kondisi membatasi, atau
bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada
pihak produsen/penyalur produk (penjual).2
Penerapan klausula baku telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Larangan
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dapat ditemui dalam Pasal
18 UUPK. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang bank untuk
memberlakukan perjanjian baku yang memberatkan nasabah dan bank wajib
memenuhi keseimbangan, keadilan dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian
dengan konsumen.
Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, telah mengatur larangan
pencantuman klausulabaku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang berisi
2Ibid., hlm. 228.
iii
mengenai pengalihan tanggung jawab pelaku usaha atau bank, namun dalam
kenyataannya masih sering dijumpai adanya pencantuman klausula baku yang
memuat klausula eksonerasi pada perjanjian kredit bank.
Sehingga rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah akibat hukum
perjanjian kredit bank dalam bentuk kontrak bakuyang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di Indonesia dan apakah bentuk perlindungan hukum bagi
nasabah debitur pada perjanjian kredit bank dalam bentuk kontrak baku. Tujuan dari
penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum perjanjian kredit
bank dalam bentuk kontrak bakuyang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di Indonesia dan untuk mengetahuidan menganalisis bentuk perlindungan
hukum bagi nasabah debitur pada perjanjian kredit bank dalam bentuk kotrak baku.
Selanjutnya manfaat dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini diharapkan
dapatmemberikan sumbanganpemikiranbagi pengembangan Ilmu Hukum pada
umumnya dan khususnya mengenai Perjanjian Kredit Bank Dalam Bentuk Perjanjian
Baku dan diharapkan dapat memberikan pemikiran dan solusi yang tepat bagi
pengambilan kebijakan dalam membuat regulasi yang terkait dengan Perjanjian
Kredit Bank dalam Bentuk Perjanjian Baku.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan
sebagai norma atau kaidah yang berlaku di masyarakat. Dengan menggunakan
metode Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual
(Conceptual Approach).
iv
II. PEMBAHASAN
Akibat Hukum Perjanjian Kredit Bank Dalam Bentuk Kontrak Baku Menurut
Hukum di Indonesia
Hubunganantara bankdannasabah debitur yang diaturdalamhukumperjanjian
melahirkan akibat hukum bagi para pihak, dalam hal ini bank sebagai suatu badan
usaha dan nasabah debitur perorangan atau badan usaha mempunyai hakdan
kewajiban yang bersifat timbal balik.Dalam penelitian ini penulis menggunakan
contoh Perjanjian Kredit Modal Kerja.Akibat hukum Perjanjian Kredit Modal Kerja
sebagai salah satu contoh perjanjian kredit bank yang berbentuk kontrak baku, dapat
ditinjau menurut KUHPerdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor Nomor 01/POJK. 07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Perjanjian kredit bank dalam bentuk kontrak baku seperti Perjanjian Kredit
Modal Kerja, agar mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuanya harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian seperti ditentukan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Syarat-syarat sahnya perjanjian berkaitan dengan subjek dan objek
perjanjian. Syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua berkaitan dengan subjek
perjanjian, yang disebut dengan syarat subjektif.Syarat sahnya perjanjian yang ketiga
dan keempat berkaitan dengan objek perjanjian, yang disebut dengan syarat
objektif.Syarat subjektif mencakup kesepakatan secara bebas dari para pihak yang
v
berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan
syarat objektif meliputi segala hal yang menjadi unsur esensialia dari perjanjian yang
menjadi objek perjanjian berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut
haruslah sesuatu yang tidak dilarang, diperkenankan menurut hukum, dan
dimungkinkan untuk dilaksanakan.
Perbedaan posisipara pihakketikaperjanjiankredit bank dalam bentuk
bakudiadakantidakmemberikesempatanpada nasabah debitur untuk mengadakan
negosiasi (realbargaining)dengan pelaku usaha atau bank sebagai kreditur. Nasabah
debiturtidak mempunyai kekuasaan mengutarakan kehendak dan kebebasannya
dalammenentukanisiperjanjian, artinya ada keterbatasan pihak nasabah debitur untuk
turut serta berperan dalam menentukan isi atau syarat perjanjian kredit bank yang
bersangkutan, sehingga tidak jarang terjadi pihak nasabah debitur sebagai konsumen
berada pada posisi yang riskan.Karena ituperjanjiankredit bank dalam bentuk
bakutidakmemenuhielemenyang dikehendaki Pasal 1320 jo. Pasal1338KUH Perdata,
karena disatu sisi syarat-syarat dalam perjanjian kredit bank sangat berat bagi nasabah
debitur, tetapi di sisi lain misalnya nasabah debitur sangat membutuhkan dana
sebagai modal kerja.
Dengan asas kebebasan berkontrak, para pihak yang membuat dan
mengadakanperjanjian diperbolehkan menyusun dan membuat kesepakatan atau
perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja dilakukan, bukanlah sesuatu yang
vi
terlarang sebagaimana yang termaksud dalam pasal 1320 jo. Pasal1338 KUH Perdata.
Ketentuan Pasal 1337 KUH perdata menyatakan, bahwa :
“Suatu sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Hal ini memberikan gambaran umum bagi kita semua, bahwa pada dasarnya
semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya saja
perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang
melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.
Dengan kedudukan atau posisi bank yang lebih tinggi dibanding posisi
nasabah debitur, berpeluang besar terjadinya penyalah-gunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden) dalam perjanjian kredit bank dalam bentuk baku. Minimnya
pengetahuan para nasabah terkait dengan hukum perjanjian atau perbankan dan
lemahnya posisi nasabah selaku debitur dalam perjanjian kredit, memberikan peluang
terjadinya penyalahgunaan keadaan.
Kemudian Perjanjian Kredit Bank Dalam Bentuk Kontrak Baku Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang bertujuan , yaitu agar konsumen
dapat memperjuangkan hak-haknya. Hak-hak konsumen yang tertuang dalam UUPK,
antara lain : Hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk mendapatkan informasi,
hak untuk memilih, dan hak untuk didengar. Pasal 18 UUPK mengatur beberapa
larangan terkait pencatuman klausula baku, larangan tersebut bertujuan untuk
menyeimbangkan atau menyetarakan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha.
vii
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPK tersebut, larangan penggunaan
standar kontrak dikaitkan dengan dua hal, yaitu isi dan bentuk penulisannya. Dari
segi isinya, dilarang menggunakan standar kontrak yang memual klausula-klausula
yang tidak adil, sedangkan dari segi bentuk penulisannya, klausula-klausula itu harus
dituliskan dengan sederhana, jelas, dan terang sehingga dapat dibaca dan dimengerti
dengan baik oleh konsumen.3
Konsekuensi terhadap pelanggaran Pasal 18 UUPK adalah batal demi hukum
terhadap perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula severability of
provisions, maka yang batal demi hukum hanyalah klausula yang bertentangan
dengan Pasal 18 saja. Sedangkan terhadap perjanjian lain diluar hubungan pelaku
usaha dan konsumen, pencantuman klausula baku adalah sah-sah saja.4
Sedangkan Perjanjian Kredit Bank Dalam Bentuk Baku Menurut POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
diatur dalam Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,
berdasarkan uraian pada pasal tersebut penulis berkesimpulan bahwa perjanjian kredit
bank dalam bentuk kontrak baku, berakibat hukum dapat dibatalkan dan batal demi
hukum karena bertentangan dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, hukum
karena bertentangan dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, Undang-
3 Janus SidabalokHukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hlm. 27. 4 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Sandard) Perkembangannya di Indonesia,
dalam Salim H.S., (I), Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata Buku Satu, PT.
RajaGrafindo, Persada, Jakarta, 2006,.hlm. 55.
viii
Undang Perlindingan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Terdapat perbedaan antara UUPK dengan KUHPerdata, terkait dengan
akibat hukum perjanjian yang mengandung klausula baku. Dalam UUPK apabila
melanggar Pasal 18 Ayat (1) perjanjian tersebut dapat berakibat batal demi hukum,
sedangkan dalam KUHPerdata akibat hukum apabila tidak memenuhi syarat sah
perjanjian akibat hukumnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu batal demi hukum
dan dapat dibatalkan.
Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Debitur Pada Perjanjian Kredit
Bank Dalam Bentuk Kontrak Baku
Perlindungan hukum merupakan suatu pemberian jaminan atau kepastian
bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya,
sehingga yang bersangkutan merasa aman. Hukum tidak lain adalah perlindungan
kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaidah. Hukum sebagai kumpulan
peraturan dan kaedah mengandung isi yang bersifat umum atau normatif, umum
karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan
kepada faedah.5
Bentuk perlindungan hukum bagi nasabah debitur dalam perjanjian kredit
bank dalam bentuk baku, mencakup dua bentuk perlindungan hukum yaitu bentuk
5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal HukumSuatu Pengantar,Liberty, Yogyakarta, 2003,hlm.
39.
ix
perlindungan hukum berdasarkan perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para
pihak, dalam hal ini antara pelaku usaha jasa keuangan yaitu bank dengan
konsumen atau nasabah debitur, dan bentuk perlindungan konsumen yang
diberikan oleh Negara melalui ketentuan perundang-undangan.
Bentuk perlindungan hukum bagi Nasabah Debitur berdasarkan
perjanjian yang dibuat dan disepakati para pihak dapat dilihat pada apa yang
dimaksud dengan perjanjian secara normatif seperti yang ditentukan dalam Pasal
1313 KUHPerdata yaitu :
“Perjanjian suatu perbuatan yang mengikatkan dirinya antara satu orang
atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih.”
Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua
pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk
melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang
berlaku, kepatutan, kesusialaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif).
Sedangkan bentuk perlindungan hukum bagi Nasabah Debitur
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Secara keseluruhan perlindungan konsumen terdapat dalam Undang-Undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dibentuk oleh
pemerintah dengan tujuan agar hak-hak yang dimiliki konsumen tidak dirugikan.
Dalam Undang-Undang N o. 8 tahun 1999 diatur mengenai hak dan kewajiban baik
x
bagi konsumen maupun pelaku usaha yang terdapat dalam Bab III Pasal 4
sampai dengan 7, dengan tujuan agar pihak konsumen dan pelaku usaha dapat
mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan haknya.
Selain itu juga terdapat pengaturan tentang perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No.8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan di aturnya mengenai perbuatan
yang dilarang dilakukan pelaku usaha bisa mengantisipasi pelaku usaha agar tidak
melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai
ketentuan pencantuman klausula baku yang terdapat dalam Pasal 18. Dari segi
isinya, dilarang menggunakan standar kontrak yang memual klausula-klausula yang
tidak adil, sedangkan dari segi bentuk penulisannya, klausula-klausula itu harus
dituliskan dengan sederhana, jelas, dan terang sehingga dapat dibaca dan dimengerti
dengan baik oleh konsumen.6
Kemudia terdapat dalam Peraturan OJK Nomor 01/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Ruang lingkup perlindungan
konsumen dalam peraturan tersebut meliputi tiga hal pokok. Pertama, pengaturan
hak konsumen atas informasi. Hal ini dibuat sebagai upaya mencegah kerugian
konsumen sebelum transaksi. Ini menjadi sistem pengawasan preventif terhadap pelaku
jasa keuangan. Kedua, berisi perlindungan hak atas fair agreement. Ketiga, berisi
tentang kompensasi dan kerugian konsumen.
6 Janus Sidabalok. Op., Cit, hlm. 27.
xi
Pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai pengawasan yang
dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat
mencegah terjadinya penyimpangan. Oleh karena itu pemerintah membentuk sebuah
badan/lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan klausula
baku, untuk mencegah terjadinya kerugian yang dialami konsumen karena
keberadaan klausula baku, yaitu Badan Pennyelesaian Sengketa Keuangan (disingkat
dengan BPSK) dan Otoritas Jasa Keuangan (disingkat dengan OJK).
Pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku dengan letak atau bentuk
seperti yang diuraikan sebagai larangan dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, seperti dijelaskan di atas maka dikenakan sanksi perdata, pidana dalam
Pasal 62 ayat (1) UUPK atau beberapa hukuman tambahan yang di atur dalam Pasal
63 UUPK. Kemudian sanksi dalam POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan mengatur tentang sanksi administratif sebagaimana
di atur dalam Pasal 53 ayat (1).
xii
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan secara sistematis, maka
dapat diambil kesimpulan yang sesuai dengan rumusan masalah, yaitu akibat hukum
dari perjanjian kredit bank yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti
ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 asas kebebasan berkontrak,
dan melangggar ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen serta Pasal 22 Peraturan OJK (POJK) No. 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan adalah dapat dibatalkan dan
batal demi hukum. Mengenai Perlindungan hukum bagi nasabah debitur dalam
perjanjian kredit bank dapat didasarkan pada perjanjian yang para pihak buat dan
sepakati, berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu : Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011, dan Peraturan OJK (POJK)
No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Saran
Saran dalam penelitian ini yaitu sebaiknya Bank dalam membuatperjanjian
kredit dalam bentuk kontrak baku, harus memperhatikan dan mengindahkan
ketentuan larangan klausula-klausula seperti yang ditentukan Pasal 18 Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, larangan klausla
seperti yang diatur dalam Pasal 22 POJK No. 1/POJK.07/2013 serta SEOJK Nomor
13/SEOJK.07/2014, sehingga perjanjian kredit bank yang dibuat tidak bisa
dimintakan pembatalan ke pengadilan oleh nasabah debitur. Kemudian Untuk
xiii
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat khusus nasabah debitur
terhadap perjanjian kredit bank dalam bentuk kontrak baku, Pelaku Usaha Jasa
Keuangan (PUJK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hendaknya lebih meningkatkan
program edukasi kepada masyarakat, walaupun saat ini sudah berjalan, namun masih
belum optimal.
x
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU :
JanusSidabalok, HukumPerlindungan KonsumendiIndonesia, PT.Citra AdityaBakti,
Bandung,2006.
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Sandard) Perkembangannya di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1980.
Muhammad Syarifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik dan Prekatik Hukum (Seri Pengayaan Hukum
Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2012.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal HukumSuatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2003.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Indonesia, Undang-UndangNomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
Indonesia Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan .
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014, Tentang Kontrak
Baku.
Recommended