View
222
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya Tanaman Anggrek
Anggrek secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam Phylum
Spermatopytha, yaitu digolongkan ke dalam tumbuhan berbiji, Kelas
Angiospermae atau berbiji tertutup, Subkelas Monokotiledonae atau bijinya
berkeping satu, Ordo Gynandrae karena alat reproduksi jantan dan betina
bersatu sebagai tugu bunga, Famili Orchidaceae atau keluarga anggrek
(Puspitaningtyas et al. 2003). Orchidaceae merupakan famili tanaman terbesar,
terdiri dari sekitar 900 genera dan hampir 35.000 spesies. Dendrobium, genus
terbesar dalam famili Orchidaceae terdiri dari sekitar 1100 spesies (Cordel
1999).
Anggrek dapat diperbanyak secara generatif dari biji atau secara
vegetatif (konvensional dan kultur in vitro). Tanaman anggrek hibrida diperoleh
dari biji hasil silangan dan perbanyakannya dilakukan secara vegetatif untuk
mempertahankan hibrida yang telah diseleksi. Penggunaan teknik pembiakan
vegetatif konvensional, potensinya terbatas karena hanya sejumlah kecil
tanaman yang dapat dihasilkan dalam satu kurun waktu tertentu (George 1996).
Beberapa jenis tanaman anggrek yang populer di masyarakat antara lain:
Oncidium, Cattleya, Phalaenopsis, Dendrobium, Vanda dan Aranthera. Anggrek
dipasarkan dalam bentuk bunga potong maupun tanaman dalam pot. Anggrek dari
genus Dendrobium menghasilkan anakan dari umbi semu yang disebut dengan
keiki yang seringkali berakar tapi masih melekat pada tanaman, dan hanya
membutuhkan pemisahan untuk ditanam untuk mendapatkan tanaman baru
(George 1996).
Dendrobium
Dendrobium adalah salah satu genus dari Famili Orchidaceae. Genus
Dendrobium memiliki lebih dari 600 spesies yang menyebar di daerah tropis Asia
Selatan dan Tenggara, mulai dari Himalaya, Filipina sampai ke Australia.
Dendrobium dibedakan menjadi dua macam yaitu evergreen Dendrobium atau
Dendrobium yang selalu berwarna hijau berasal dari Australia dan deciduous
Dendrobium atau yang berganti daun berasal dari sebelah utara Equator (Logan
& Lloyd 1955). Saat ini sudah banyak jenis Dendrobium spesies yang telah
10
ditemukan antara lain adalah D. aureum, D. brymerianum, D. chrysotoxum, D.
jamesianum, D. phalaenopsis, D. saisar.
Anggrek Dendrobium tumbuh menyebar di Asia Selatan, India, dan
Srilanka. Di Asia Timur bunga ini banyak dibudidayakan oleh masyarakat
Jepang, Taiwan dan Korea. Kebanyakan anggrek Dendrobium tumbuh liar di
daerah tropis seperti Asia. Di Asia Tenggara, tanaman ini menjadi andalan
Negara Thailand, Singapura, Indonesia dan Filipina. Sebarannya pun meluas ke
Papua, Selandia Baru dan Tahiti. Dalam jumlah terbatas ditemukan di Selatan
Amerika Serikat, dan daerah jajahan Inggris. Di Indonesia, Dendrobium banyak
ditemukan di hutan Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua,
Maluku dan Nusa Tenggara. Beberapa spesies menyebar secara sangat luas,
diantaranya D. anosmum, tersebar dari India sampai Papua (Chan et al. 1994).
Dendrobium termasuk anggrek epifit (menempel pada tanaman lain tetapi
tidak merugikan tanaman induk yang ditumpanginya) (Ashari 1997). Dendrobium
tergolong anggrek simpodial, yaitu anggrek dengan pertumbuhan ujung batang
yang akan terhenti bila telah mencapai maksimum dan pertumbuhan anggrek
akan dilanjutkan dengan pertumbuhan anakan baru. Batang anggrek
Dendrobium berbentuk menggelembung dan berdaging, karena batang ini
berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan dan air (Arditi 1984).
Batang anggrek ini berbentuk gada, pada bagian pangkal kecil dan pada bagian
tengah membesar kemudian bagian ujung batang anggrek ini mengecil lagi.
Daun berbentuk lanset dengan ujung yang tidak simestris, panjang daun sekitar
12 cm dengan lebar 2 cm. Bunga tersusun dalam satu rangkaian yang
berbentuk tandan yang tumbuh pada buku batangnya dan agak menggantung
dengan panjang tandan sekitar 60 cm, jumlah bunga dalam tiap tandan sekitar 6-
24 kuntum dengan diameter sekitar 6 cm (Sastrapraja et al. 1976). Akar anggrek
umumnya lunak dan mudah patah. Ujung akar meruncing, licin, sedikit lengket
dan berwarna putih. Akar anggrek mempunyai lapisan velamen yang
mengandung klorofil dan berongga sebagai tempat penyimpanan air. Akar
memiliki daya lekat pada bagian yang bentuknya agak pipih mengikuti
permukaan batang penyangga dan terdapat rambut-rambut yang pendek untuk
menyerap air dan makanan (Arditi 1984; Puspitaningtyas et al. 2003).
11
Phalaenopsis
Salah satu genus yang ada pada Famili Orchidaceae adalah Phalenopsis.
Genus Phalaenopsis terdiri atas 60 spesies yang menyebar dari Himalaya ke
berbagai negara seperti Thailand, Indo-Cina, Malaysia, Indonesia, New Guinea,
Australia, Taiwan dan Cina Selatan. Di Indonesia, plasma nutfah anggrek
Phalaenopsis tumbuh secara alami dalam habitat hutan di berbagai wilayah,
misalnya Maluku, Sulawesi, Pulau Seram, Ambon, Buru, Kalimantan, Sumatra
dan Jawa (Setiawan 2002).
Pada tahun 1753, Linnaeus memberikan nama Epidendrum amabila pada
spesies anggrek bulan di Nusa Kambangan. Pada tahun 1825 spesies ini diberi
nama P. amabilis oleh seorang ahli botani Belanda yang bernama Prof.C.L.
Blume, karena beliau melihat sekumpulan kupu-kupu yang hinggap di dahan dan
tidak mau bergerak dari tempatnya, ketika didekati ternyata sekumpulan anggrek
kupu-kupu atau anggrek bulan. Sejak saat itu hingga sekarang, anggrek bulan
dikategorikan dalam genus Phalaenopsis (Rukmana 2000).
Phalaenopsis tumbuh monopodial yang berarti hanya mempunyai batang
utama yang tumbuh terus ke atas dan tidak terbatas. Batang pendek dan tidak
mempunyai pseudobulb. Akar berdaging muncul dari batang atau buku bagian
bawah. Tangkai bunga tumbuh menembus upih daun, seringkali bercabang,
agak pendek atau panjang, berbunga sedikit atau banyak. Bunga mekar
bersamaan atau tidak, ukuran kecil, sedang atau besar, tidak berbau atau berbau
harum, warna putih, kuning atau ungu (Nursandi 1997).
Oncidium Oncidium merupakan genus yang terdiri dari lebih 750 spesies, terbanyak
ditemukan di Amerika Selatan, beberapa di Amerika Tengah dan Kepulauan
Karibia, dan sedikIt di Florida. Oncidium pada umumnya epifit dan beberapa
diantaranya merupakan anggrek tanah. Oncidium memiliki pseudobulb, tetapi
beberapa diantaranya tidak memiliki psudobulb (Shuttleworth et al. 1970).
Menurut Morrison (2000) genus Oncidium dikarakterisasi oleh adanya
pseudobulb unifoliat dan bifoliat dari internode tunggal yang terlindung oleh
pelepah daun yang menggelembung. Infloresens dihasilkan dari ujung pelepah
tersebut, bagian dasar dari tangkai keluar dari pseudobulb. Spesies dari genus
ini dapat tumbuh pada ketinggian 4000 m dpl.
12
Bunga umumnya berwarna kuning, namun terdapat juga yang berwana
merah muda dan coklat. Ukuran bunga bervariasi antara ¼ inchi sampai di atas
4 inchi. Beberapa dari spesies Oncidium disebut sebagai dancing ladies sebab
memiliki rangkaian tangkai bunga yang panjang dengan membentuk formasi
seperti kelompok penari balet. Beberapa contoh jenis Oncidium diantaranya
adalah O. nubigenum dari Kolombia, O. triquetrum dari Jamaika, O. bicallosum
dari Meksiko dan Guatemala serta O. cebolleta dari Meksiko dan Paraguay
(Shuttleworth et al. 1970).
Kultur Jaringan Tanaman Anggrek
Kultur jaringan secara luas dapat didefinisikan sebagai usaha
mengisolasi, menumbuhkan, memperbanyak, dan meregenerasikan protoplast,
sel utuh atau bagian tanaman seperti meristem, tunas, daun muda, batang
muda, ujung akar, kepala sari, dan bakal buah dalam suatu lingkungan aseptik
yang terkendali. Pada awalnya metode ini merupakan penelitian laboratorium
sebagai bagian dari penelitian fisiologi tentang pertumbuhan dan perkembangan
tanaman (Gunawan 1992). Kultur jaringan menggunakan teori sel seperti yang
dikemukakan oleh Schleiden & Schwann pada tahun 1839. Menurut kedua ahli
itu, sel mempunyai kemampuan otonom (mampu tumbuh mandiri), bahkan
mempunyai kemampuan totipotensi yaitu kemampuan sel atau jaringan untuk
tumbuh dan berkembang seperti sel zigot karena memiliki susunan genetik yang
sama (Wattimena et al. 1992).
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara in vitro ditentukan oleh
faktor yang kompleks, meliputi hara anorganik, faktor fisik, dan substansi
organik. Faktor bahan tanaman yang turut menentukan keberhasilan kultur
jaringan antara lain genotipe tanaman, status fisiologi, ukuran, sumber, dan umur
eksplan (Pierik 1987). Keberhasilan pertumbuhan jaringan juga sangat
dipengaruhi oleh adanya hubungan timbal balik antara tanaman itu sendiri
dengan faktor lingkungan, seperti komposisi media dan pH, cahaya, suhu,
kelembaban, dan kadar oksigen. Selain itu, juga diperlukan keahlian dalam
memotong bahan tanaman yang akan ditanam dalam media steril dan dalam
mendesinfeksi jaringan, dasar pengetahuan Kimia dan Biologi yang memadai,
serta ketekunan dan ketelitian kerja yang tinggi. Kelengkapan sarana yang
memadai juga dapat meningkatkan persentase jaringan yang tumbuh
(Widiastoety 1997).
13
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi dan dengan
ditemukannya auksin dan sitokinin serta prinsip pengaturan perimbangan
kedua zat pengatur tumbuh tersebut, regenerasi dari sel menjadi tanaman
lengkap pada banyak spesies sudah berhasil dilakukan (Gunawan 1992).
Dewasa ini kultur jaringan telah digunakan untuk tujuan perbanyakan tanaman
seperti kentang, jahe, pisang, asparagus, dan beberapa tanaman hias seperti
anggrek, krisan, dan Dianthus (Wattimena et al. 1992). Beberapa kebun
pembibitan dan pengembangan anggrek kemudian menerapkan metode ini
untuk memperoleh klon-klon anggrek yang sangat eksklusif. Perbanyakan anggrek secara kultur jaringan dapat dilakukan melalui
eksplan berupa mata tunas, biji, dan meristem untuk tujuan tertentu.
Perbanyakan vegetatif anggrek melalui kultur meristem dapat dibagi dalam tiga
tahap yaitu transformasi meristem menjadi protocorm like body (plb),
perbanyakan protocorm dengan memotongnya menjadi potongan yang lebih
kecil, dan perkembangan protocorm-protocorm tersebut berakar dan berpucuk
(Pierik 1987). Istilah plb merupakan istilah untuk struktur yang mirip protocorm
yang terbentuk dari jaringan tanaman dan atau kalus secara in vitro. Istilah ini
pertama kali diperkenalkan oleh Georges Morel (Arditti & Ernst 1992). Sumber
lain menyebutkan bahwa istilah protocorm diperkenalkan pertama kali oleh
Melchior Trueb, yang pernah menjabat sebagai direktur Botanical Gardens di
Bogor (sekarang Kebun Raya Bogor), untuk menggambarkan suatu tahap dalam
perkembangan lumut (Arditti & Ernst 1992). Kemudian Noel Bernard
menggunakan istilah tersebut untuk anggrek antara tahun 1899 dan 1910. Istilah
tersebut sekarang digunakan untuk menggambarkan suatu badan yang mirip
bulatan-bulatan umbi kecil yang terbentuk pada biji-biji anggrek yang
berkecambah (Arditti & Ernst 1992; Ratnadewi et al. 1991).
Individu Protocorm saat dipisah-pisahkan dan disubkultur sering
menghasilkan protocorm adventif (George 1996). Massa protocorm yang
dipisah-pisahkan dan ditumbuhkan di media serupa yang baru akan
memperbanyak diri menjadi massa protocorm yang baru. Bila pisahan
protocorm tersebut ditumbuhkan dalam media lain yang mengarah ke proses
pendewasaan dan perakaran, maka protocorm akan tumbuh menjadi tanaman
baru yang sempurna dan siap dipindahlapangkan (Gunawan 1992).
Biji-biji anggrek mengandung embrio berdiameter kurang Iebih 0,1 mm,
tidak mengandung endosperm atau kotiledon. Saat berkecambah, embrio ini
14
akan membentuk protocorm, suatu struktur seperti corm yang berwarna hijau
dan mampu melakukan fotosintesis. Tunas dan akar akan terbentuk bila
kandungan senyawa-senyawa organik dalam protocorm cukup, dan kecambah
normal terbentuk (Wattimena et al. 1992).
Kultur Jaringan dan Virus Tumbuhan
Kultur jaringan tanaman sejak lama telah digunakan untuk mengatasi
penyebaran penyakit. Penghambatan penyebaran penyakit dapat dilakukan
dengan menghasilkan plantlet yang bebas penyakit dengan perlakuan tertentu
pada eksplan. Teknik kultur jaringan menjadi metode yang sering digunakan
untuk manipulasi genetik dan eliminasi virus melalui kultur meristem apikal.
Pemanfaatan kultur jaringan untuk pengendalian virus dilakukan dalam hal
tahapan untuk perlakuan lain yang akan dilakukan. Misalnya untuk menghasilkan
tanaman tahan terhadap virus dengan memberikan perlakuan pada kalus yang
ditumbuhkan pada kultur menggunakan kemoterapi (actinomycin-D, Ribavirin, 2-
thiouracil) (Srivastava et al. 1999). Hal lain yang dilakukan adalah perlakuan
seleksi kalus yang diberikan perlakuan penyinaran sinar Gamma seperti
dilaporkan Mukerji et al. (1999) untuk ketahanan terhadap TMV. Untuk
perlakuan mediasi menggunakan Agrobacterium, DNA transfer langsung,
electroporation, microprojectil, juga menggunakan kultur jaringan pada tahapan
penumbuhan kalus (Srivastava et al. 1999).
Wattimena et al. (1992) menyatakan bahwa tanaman hasil kultur jaringan
dapat dinyatakan bebas penyakit sistemik tertentu jika telah diidentifikasi dan
telah dihilangkan dari tanaman. Hal ini dilakukan pada penyakit yang bersifat
sistemik yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma. Eliminasi patogen dapat
dilakukan melalui termoterapi, kultur meristem, kombinasi keduanya,
pembentukan tunas adventif dan teknik penyambungan mikro (Pierik 1987).
Eliminasi dengan termoterapi dan kultur meristem paling umum dilakukan.
Tanaman hasil perlakuan kemudian diuji telah terbebas dari virus dengan
menggunakan tanaman indikator, serologi dan mikroskop elektron. Tanaman
kultur jaringan yang bebas virus akan menjadi sumber bahan tanaman baik untuk
keperluan penukaran plasma nutfah, pelestarian plasma nutfah, bahan
perbanyakan dan bahan untuk pemuliaan.
Purwito & Wattimena (1991) menggunakan kombinasi ribavirin dan kultur
meristem untuk eliminasi virus pada tanaman kentang. Hasil yang diperoleh
15
menunjukkan konsentrasi ribavirin 30 mg/l cukup efektif mengeleminasi Potato
virus X (PVX), Potato virus Y (PVY), Potato leaf roll virus, Potato virus S, dan
Potato virus M. Lopez-Delgado et al. (2004) mengkombinasikan perlakuan asam
salisilat dan termoterapi untuk mengeliminasi PVX pada umbi mikro kentang.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa umbi mikro yang diberi perlakuan
asam salisilat dengan konsentrasi 10-5 M dapat meningkatkan toleransi terhadap
paparan pemanasan hingga 42 oC selama 30 hari. Toleransi ini menyebabkan
dapat mengeliminasi PVX yang tidak tahan terhadap suhu tinggi. Paludan
(1985) melaporkan bahwa perlakuan pendinginan (5 oC) pada titik tumbuh kultur
meristem tanaman Chrysanthemum morifolium selama satu bulan dapat
meningkatkan keberhasilan menghasilkan tanaman bebas dari Chrysanthemum
chlorotic mottle viroid. Perlakuan pendinginan juga dilaporkan Lizarraga et al.
(1980) pada kultur jaringan awal tanaman kentang dengan perlakuan 5 oC-15 oC
dapat mengeliminasi Potato spindle tuber viroid.
Beberapa Virus Tanaman yang Menginfeksi Anggrek
Cucumber mosaic virus (CMV) Cucumber mosaic virus (CMV) pertama kali deskripsi secara rinci pada
tahun 1916 pada tanaman mentimun dan Cucurbitaceae lainnya oleh Doolittle
dan Jagger. Saat ini diketahui bahwa CMV menginfeksi banyak tanaman
pertanian dan hortikultura di seluruh dunia pada iklim sedang maupun tropis.
Perkembangan ketahanan genetik untuk CMV pada sayuran telah memberi
kontribusi yang berharga bagi manajemen penyakit virus yang penting ini (Zitter
& Murphy 2009). CMV dilaporkan mampu menginfeksi lebih dari 40 famili
tanaman dikotil maupun monokotil (Gibbs & Harrison 1970 ).
CMV merupakan anggota genus Cucumovirus famili Bromoviridae.
Partikel CMV terdiri dari tiga partikel berbentuk bulat, masing-masing berukuran
diameter sekitar 28 nm. Genom CMV terdiri dari tiga molekul RNA beruntai
tunggal (ssRNA), dengan berbagai ukuran (Tabel 2.3 dan Gambar 2.3). Setiap
molekul RNA dienkapsisasi dalam CP dengan masing-masing menjadi satu
partikel berbentuk bulat. Jadi CMV terdiri dari tiga partikel, satu partikel
mengandung RNA 1, partikel yang lain mengandung RNA 2 dan yang ketiga
mengandung RNA 3. Partikel RNA 3 dapat berisi untai RNA keempat, disebut
sebagai RNA 4, yang mengkode gen CP. Jenis strategi translasi CMV disebut
16
sebagai RNA subgenomic, terdiri dari untai RNA yang dihasilkan terpisah selama
replikasi (Zitter & Murphy 2009).
Tanaman dapat mengaktivasi mekanisme ketahanan ketika CMV
menginfeksi sehingga dapat menghambat pergerakan virus untuk menginvasi
jaringan baru. Tipe ketahanan ini disebut sebagai gene silencing, namun protein
CMV 2b mampu menghambat inisiasi sinyal gene silencing (silencing
suppressor) pada tanaman di bagian jaringan yang jauh dari titik infeksi,
sehingga memungkinkan CMV untuk terus menginvasi dan menginfeksi jaringan
muda tanaman yang berkembang. Gen CP merupakan protein yang hanya
berasosiasi dengan partikel virus dan merupakan satu-satunya penentu untuk
transmisi oleh vektor kutu dan. Mutasi pada gen 1a, 2a dan 2b berpengaruh
pada pergerakan virus dalam beberapa inang (Zitter & Murphy 2009).
Tabel 2.1 Organisasi genom CMV
Genom (Protein)
Ukuran nukleotida
(basa) Fungsi
RNA1 (1a) 3.350 Replikasi, methyltransferase, helikase RNA2 (2a, 2b) 3.050 N-proksimal, replikasi, RNA-dependent
RNA polimerase RNA3 (3a) 2.200 Protein movement berperan dalam
pergerakan virus dari sel ke sel ataupun dalam pembuluh tanaman
RNA4 (CP) 1.030 Protein selubung (CP)
(Sumber: ICTVdB Management 2006b)
Gambar 2.1 Skema representasi organisasi genom CMV (Sumber: Zitter & Murphy 2009).
CP
1a
2a
MP
2b
RNA 1
RNA 2
RNA 3
RNA 4 CP
17
Beberapa strain CMV memiliki RNA satelit (RNA 5 atau satRNA).
satRNA adalah molekul untai tunggal berukuran panjang sekitar 332-342
nukleotida dan benar-benar tergantung pada CMV untuk replikasi. Selain itu,
satRNA dienkapsidasi dalam partikel CMV, yang memungkinkan menyebar dari
satu tanaman ke tanaman bersama dengan CMV, oleh vektor kutudaun.
satRNA, tidak memberikan fungsi yang penting pada CMV (helper virus). Adanya
CMV satRNA kemungkinan tidak berpengaruh pada gejala atau dapat
memperparah gejala klorosis atau nekrosis sistemik atau sebaliknya mungkin
menyamarkan gejala (Zitter & Murphy 2009).
Sejumlah strain CMV di seluruh dunia diklasifikasi ke dalam dua subgrup,
I dan II, berdasarkan kriteria berbagai variasi gejala, serologi (Wahyuni et al.
1992; Hu et al. 1995; Ilardi et al. 1995), hibridisasi asam nukleat (Owens &
Palukaitis 1988, Palukaitis et al. 1992), sekuen gen (Owens et al. 1990; Szilassy
et al. 1999), dan restriction fragment length polymorphism (RFLP) (Rizos et al.
1992; Sialer et al. 1999). Subgrup strain I dibagi lagi menjadi IA dan IB,
berdasarkan perbedaan patogenisitas pada kacang tunggak (Vigna unguiculata).
Strain IA menginduksi gejala-gejala mosaik sistemik dan strain IB menginduksi
lesio lokal nekrotik pada daun yang diinokulasi. Selain berdasarkan gejala, CMV
subgrup I sekarang ini dibagi menjadi IA dan IB berdasarkan sekuen gen CP
strain CMV dan analisis filogenetik. Strain CMV Asia dikelompokkan dalam
subgrup IB (Palukaitis & Zaitlin 1997; Roossinck et al. 1999; Roossinck 2002).
Beberapa strain CMV yang spesifik inang, menginfeksi inang tertentu dalam
famili yang sama seperti strain CMV legum. CMV secara serologi berhubungan
dengan Tomato aspermy virus dan Peanut stunt virus (Zitter & Murphy 2009).
Potyvirus Potyvirus adalah merupakan grup terbesar dari 34 grup virus tanaman
dan famili saat ini diketahui (Ward & Shukla 1991). Genus ini terdiri dari
setidaknya 180 anggota definitif (91 spesies resmi dan 89 spesies tentatif).
Sebanyak 30% dari semua virus tanaman yang diketahui menyebabkan kerugian
signifikan dalam bidang pertanian, tanaman pakan ternak, tanaman hortikultura
dan tanaman hias (Ward & Shukla 1991; van Regenmortel et al. 2000).
Partikel Potyvirus berbentuk filamen lentur, tanpa envelop berukuran
panjang 680-900 nm dan lebar 11-15 nm. Material genetik Potyvirus berupa
poliprotein tunggal, untai tunggal, utas positif dengan panjang 10 kb. Genom
18
RNA terdiri dari satu open reading frame (ORF) yang mengekspresikan satu
poliprotein prekusor berukuran 350 kDa. Prekursor poliprotein tersebut kemudian
ditranslasi menjadi tujuh protein kecil yang memiliki berbagai fungsi, dinotasikan
sebagai P1, helper component (HC), P3, cylindrical inclusion (CI), nuclear
inclusion A (NIa), nuclear inclusion B (NIb), capsid protein (CP), serta dua protein
putatif kecil yang dikenal sebagai 6K1 dan 6K2 (Shukla et al. 1994) (Tabel 2.4
dan Gambar 2.4). Pada bagian terminal 3’ diakhiri dengan motif poly-A tail (Hari
et al. 1979; Takahashi et al. 1997).
Untuk menghasilkan protein utama, genom virus mengkode poliprotein
dengan diproses oleh tiga proteinase virus. Dua proteinase diantaranya, P1 dan
helper HC-Pro (Helper componen-proteinase) yang mengkatalisis reaksi
autoproteolitik masing-masing hanya pada Terminal C (Carrington et al. 1989;
Verchot et al. 1991). Satu proteinase lainnya reaksinya dikatalisis oleh NIA-Pro
(nuclear inclusion protein) melalui mekanisme trans-proteolitik atau
autoproteolitik (Carrington & Dougherty 1987).
Tabel 2.2 Organisasi genom Potyvirus
Protein Fungsi
P1 Proteinase;pergerakan antar sel.
HC-Pro transmisi oleh kutudaun; Proteinase; pergerakan antar sel. P3 Belum diketahui CI Replikasi genom (RNA helikase); membran pengikat; stimulasi asam
nukleat aktivitas ATPase ; pergerakan antar sel. CP Encapsidasi RNA; berperan dalam transmisi oleh vektor; pergerakan
antar sel. NIa-VPg Replikasi genom (Primer untuk inisiasi sintesis RNA). NIa-Pro Proteinase NIb Replikasi genom (RNA-dependent RNA polimerase [RdRp]). 6K1 & 6K2 Belum diketahui, namun diduga berperan pada: Replikasi RNA,
pengatur untuk penghambatan translokasi nuclear NIa, membran pengikat proses replikasi.
(Sumber: Winterhalter 2005).
P1 HC-Pro P3 CI NIa VPg
NIb Pro NIb CP
Gambar 2.2 Skema representasi organisasi genom Potyvirus (Sumber:
Winterhalter 2005)
33kDA 32kDA 41kDA 6kDA 71kDA 6kDA 22kDA 27kDA 59kDA 31kDA
6k1 6k2
19
Tospovirus
Virus dalam genus Tospovirus menyebabkan kerugian yang signifikan
pada pertanian di seluruh dunia. Nama genus ini berasal dari nama anggota
pertama yaitu Tomato spotted wilt virus (TSWV). Awal infeksi virus ini terjadi
pada penyakit layu tanaman tomat di Australia pada tahun 1915, kemudian
dibuktikan dengan identifikasi penyebabnya adalah TSWV. TSWV awalnya
dianggap sebagai satu-satunya anggota kelompok TSWV sampai awal 1990-an.
Namun saat ini berdasarkan identifikasi dan karakterisasi beberapa virus,
ternyata beberapa jenis virus lain mirip TSWV sehingga digolongkan dalam
genus Tospovirus bagian dari famili Bunyaviridae. Lebih dari 12 jenis virus yang
masuk dalam genus ini seperti Impatiens necrotic spot virus (INSV), Peanut bud
necrosis virus (PBNV), Groundnut ringspot virus (GRV), Watermelon silver mottle
virus (WSMV), Zucchini lethal chlorosis virus (ZLCV) dan Iris yellow spot virus
(IYSV) (Adkins et al. 2005; Baker et al. 2007).
TSWV memiliki kisaran inang yang besar (800 spesies tanaman) dan
sebagian besar penyakit yang disebabkan virus ini ditemukan pada tanaman di
lapangan. INSV memiliki kisaran inang yang lebih kecil dan sebagian besar virus
yang ditemukan menginfeksi tanaman hias di rumah kaca (Baker et al. 2007).
Kedua virus telah dilaporkan menginfeksi tanaman anggrek sejak awal 1990-an
(Hu et al. 1993, Koike & Mayhew 2001).
Di antara virus tanaman, Tospovirus memiliki morfologi partikel,
organisasi genom dan strategi ekspresi yang unik. Partikel virus berbentuk
pleomorfik berukuran 80-120 nm dan memiliki envelop pada permukaan yang
terdiri dari lipid dan dua glikoprotein. Genom Tospovirus terdiri atas tiga ssRNA
negatif sense utas tunggal RNA. Setiap genom RNA dienkapsidasi oleh banyak
salinan protein nukleokapsid virus untuk membentuk struktur ribonucleoprotein
juga dikenal sebagai nukleokapsid (Adkins et al. 2005; Hull 2002)
Anggrek Phalaenopsis yang bergejala infeksi virus seperti klorosis bercak
cincin telah diamati dan berhasil diisolasi di Taiwan pada tahun 1998 (Chen et
al. 1998). Virus yang telah diisolasi tersebut, ketika diinokulasi kembali ke jenis
anggrek yang sama tidak berhasil menimbulkan gejala dan perunutan gen
nukleokapsid untuk taksonomi virus belum dilakukan pada saat itu. Patogen
penyebab penyakit pada anggrek ini belum jelas sehingga saat itu dideskripsikan
sebagai “virus Taiwan”. Hasil penelitian yang dilakukan Zheng et al. (2008)
berdasarkan isolasi, inokulasi kembali, serologi dan karakterisasi molekuler, virus
20
yang menyebabkan klorosis bercak cincin pada Phalaenopsis anggrek di Taiwan
ini berhasil diidentifikasi penyebabnya adalah Tospovirus .
Cymbidium Mosaic Potexirus (CymMV) CymMV saat ini oleh sebagian ahli dimasukkan dalam Famili
Flexyvirideae dan sebagian ahli menyatakan tidak mempunyai famili yang tepat,
sehingga langsung tergolong dalam genus Potexvirus (Adams et al. 2004;
Fauquet & Mayo 1999). Partikel Potexvirus berbentuk filamen lentur dengan
ukuran panjang 470-580 nm dan diameter 13 nm. Partikel virus ini mengandung
linear, positive-sense, single stranded (ss)-RNA dengan ukuran 5,9-7,0 kb,
dibungkus oleh banyak subunit coat protein (CP) berukuran 18-27 kDa. RNA
diakhiri dengan polyadenilasi pada terminal 3’. Genom dari beberapa anggota
genus ini telah berhasil disekuen dan memperlihatkan adanya 5 open reading
frame (ORF). Beberapa diantaranya memiliki ORF keenam yang kecil yang
melengkapi ORF kelima, namum fungsi dari protein yang dikode oleh ORF ini
belum diketahui seperti pada Cassava common mosaic virus (CsCMV),
Narcissus mosaic virus (NMV), Strawberry mild yellow edge virus (SMYEV), dan
White clover mosaic virus (WClMV) (Hull 2002). Saat ini sudah 11 spesies dari
genus Potexvirus, termasuk CymMV, telah berhasil disekuen secara lengkap
seperti NMV, PVX, WClMV, Bamboo mosaic virus (BaMV), Clover yellow mosaic
virus (ClYMV), Foxtail mosaic virus (FoMV), Potato acuba mosaic virus (PAMV),
Papaya mosaic virus (PapMV), Plantago asiatica mosaic virus (PlAMV) dan
Strawberry mild yellow edge virus (SMYEaV) (Wong et al. 1997). CymMV
termasuk ke dalam kelompok Potexvirus dengan partikel berbentuk memanjang
lentur dengan ukuran panjang ± 475-490 nm (Frowd & Tremaine 1977; Steinhart
& Oshiro 1990).
Genom CymMV berukuran kira-kira 6-7 kb (Srifah et al 1996). Protein CP
terdiri atas 257 asam amino dengan berat molekul 27.600 dalton, dengan
perbandingan komposisi basa (G, A, C dan U) RNA virus yaitu 21,1 : 28,9 : 24,4 :
25,6 (Frowd & Tremaine 1977). Seperti halnya kelompok utas positif RNA
monopartit, ORF yang mengkode CP berada pada terminal 3’ (Chia et al. 1992).
Sinyal polyadenylasi bermotif AATAAA ditemukan pada terminal 3’-UTR (Ryu et
al. 1995). Organisasi genom CymMV terdiri dari 5 ORF dengan berbagai fungsi
(Tabel 2.1 dan Gambar 2.1)
21
Tabel 2.3 Organisasi genom CymMV
Genom (Protein)
Ukuran protein (kDa)
Posisi nukleotida Fungsi
gp1 160 1-4326 Pengkode untuk produksi RNA polimerase, Methyltransferase, helikase
gp2 26 4333-5022 RNA helikase gp3 13 5010-5348 Pergerakan antar sel dan pergerakan melalui
pembuluh tanaman gp4 10 5203-5478 Protein selubung (CP) gp5 24 5481-6152 Protein selubung (CP)
(Sumber: Wong et al. 1997; ICTVdB Management 2006a)
Gambar 2.3 Skema representasi organisasi genom CymMV. Terminal 5’ dan 3’ noncoding region terletak pada bagian ujung. Angka-angka menunjukkan posisi awal dan akhir urutan genom (ICTVdB Management 2006a).
Gejala infeksi virus ini pada helaian daun muda dicirikan berupa adanya
area klorotik yang tersamar. Kemudian bercak kecil tersebut membesar dan
berubah menjadi bercak mosaik hijau cerah. Kontras antara area bercak cerah
dan gelap menjadi lebih nyata ketika daun menjadi tua dan gejala menjadi lebih
menyolok. Bercak nekrosis ditemukan pada daun kultivar tertentu, gejala pada
bunga jarang terjadi tetapi ditemukan pada beberapa kultivar berupa bercak
nekrosis coklat pada kultivar Cymbidium hibrida.
Odontoglossum ringspot virus (ORSV)
ORSV pertama kali diisolasi dan dikarakterisasi dari spesies anggrek
Odontoglossum grande yang memperlihatkan gejala bercak cincin (ringspot)
pada daun. Virus ini juga menyebabkan gejala belang (mottle) berbentuk berlian,
mosaik dan warna bunga pecah pada Cymbidium serta gejala warna bunga
pecah pada Cattleya (Jensen & Gold, 1951). Warna bunga pecah (color break)
pada anggrek juga dilaporkan terjadi pada jenis Odontoglossum, Cymbidium,
Vanilla, Epidendrum, Encyclia, Oncidium, Phalaenopsis dan beberapa genus
RdRp TGB CP
gp1
gp2
gp3 gp5
gp45’‐ ‐3’ Poly A
1 4326
43335203
5022
5010 5348
5478
6125 5481
22
anggrek lainnya. Warna pecah dapat terjadi bila disebabkan infeksi dua strain
virus berbeda, yang lemah dan ganas. Pecah warna dikarakterisasi dengan
variasi warna pada bunga, warna normal pada petal dan sepal diselingi oleh
bagian warna yang lebih terang atau redup tidak beraturan (Burnett 1965). ORSV
dapat menyebabkan nekrosis coklat bergaris dan malformasi serta distorsi pada
rangkaian bunga Cattleya (Afieri et al. 1991; McMillan & Vendrame 2005). ORSV
diketahui dapat menginfeksi pada 31 genus anggrek lainnya (Chen et al. 2006).
ORSV merupakan anggota genus Tobamovirus famili Virgaviridae.
Anggota Tobamovirus lainnya yaitu Cucumber green mottle mosaic virus
(CGMMV), Cucumber green mottle mosaic virus (CGMMV), Cucumber virus 4
(CV4), Frangipani virus (FV), Ribgrass mosaic virus (HRV), Sammons' opuntia
virus (SOV), Sunn-hemp mosaic virus (SHMV), Tobacco mosaic virus (TMV) dan
Tomato mosaic virus (ToMV) (Sammons & Chessin 1961; Siegel & Wildman
1954).
Partikel ORSV berbentuk batang kaku memanjang, tidak diselubungi
envelop, terdiri atas molekul ssRNA berukuran 6 kb. Ukuran partikel virus ini 300
nm x 18 nm, sama seperti TMV (Paul 1975). Organisasi genom ORSV terdiri
dari 6.618 nt dengan 5 ORF (Tabel 2.2 dan Gambar 2.2).
ORSV dapat dibedakan dari TMV dan Tobamovirus lainnya berdasarkan
kisaran inang, serologi dan urutan nukleotida pada daerah terminal 3' (Ikegami &
Inouye 1996). Uji proteksi silang pada tanaman tomat dengan strain TMV lemah
menunjukkan pengurangan suseptibilitas tanaman terhadap strain virulen TMV
lainnya, hal ini diduga berhubungan dengan terjadinya mutasi pada coat protein
(Zaitlin 1976).
Tabel 2.4 Organisasi genom ORSV
Genom (Protein)
Ukuran protein (kDa)
Posisi nukleotida Fungsi
gp1 181 1-4860 Methyltransferase, RNA helikase, RdRP-2 (RNA dependent RNA polimerase)
gp2 126 70-3408 RNA replikase gp3 52 3484-4860 Belum diketahui
gp4 34 4814-5725 pergerakan virus antar sel dan dalam pembuluh tanaman
gp5 18 5728-6204 Protein selubung (CP)
(Sumber: ICTVdB Management 2006b)
23
Gambar 2.4 Skema representasi organisasi genom ORSV (Sumber: ICTVdB
Management 2006b) .
Induksi Ketahanan Secara Sistemik
Induksi ketahanan secara sistemik dengan agen penginduksinya patogen
atau bahan kimia (systemic acquired resistance/SAR) merupakan metode yang
telah lama dikembangkan untuk menghasilkan tanaman yang lebih tahan
terhadap penyakit. Induksi ketahanan atau imunisasi atau ketahanan buatan
adalah suatu proses stimulasi ketahanan tanaman inang tanpa introduksi gen-
gen baru. Induksi ketahanan menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur
sistem ketahanan menjadi aktif dan atau menstimulasi mekanisme ketahanan
alami yang dimiliki oleh inang. Imunisasi tidak menghambat pertumbuhan
tanaman, tetapi dapat meningkatkan hasil pada beberapa tanaman meskipun
tanpa adanya patogen dan memberikan suatu cara bertahan terhadap tekanan
lingkungan (Stomberg 1994; Tuzun & Kuc 1991).
Perlakuan dengan agen penginduksi dapat mengaktifkan secara cepat
berbagai mekanisme ketahanan tanaman. Diantaranya akumulasi fitoaleksin dan
peningkatan aktivias enzim kitinase, β-1,3-glukanase, dan β -1,4-glukosidase.
Salah satu senyawa fenol yang sangat sederhana, 2-hydroxybenzoic acid atau
asam salisilat, telah diketahui berperan penting sebagai molekul sinyal dari
beberapa respon ketahanan tanaman (Smith-Becker et al. 1998).
Asam salisilat ditemukan secara tidak sengaja untuk pertama kali oleh
White pada tahun 1979 yang mengamati aspirin (acetylsalicylic acid) yang dapat
menginduksi ketahanan pada tembakau (Sticher et al. 1997). Dari semua derivat
asam benzoat yang terhidroksilasi, hanya asam salisilat dan 2-dihidroxybenzoic
acid yang aktif sebagai agen penginduksi. Ekspresi SAR sangat tergantung dari
4814
Subunit replikasi kecil
Gp3
gp 1
gp2
gp45’‐ ‐3’
gp5
Subunit replikasi besar
Subgenomic RNA
‐3’
‐3’
5’‐
5’‐
1
486070 3408
5725
5728 6204
24
adanya akumulasi asam salisilat dan berasosiasi dengan pathogenesis-related
protein (PR protein) yang mempunyai aktivitas sebagai anti patogen (van Loon
2000). Asam salisilat adalah komponen yang dibutuhkan dalam jalur sinyal
transduksi untuk induksi SAR sebagai bentuk peningkatan ketahanan tanaman
melawan patogen berspektrum luas. Invasi oleh mikroorganisme menyebabkan
gen penghasil ketahanan terinduksi untuk mensintesis asam salisilat dan
mengaktifkan SAR. Seringkali pengenalan ini disertai oleh respon hipersensitif;
suatu bentuk kematian sel inang secara cepat pada bagian sekitar titik masuk
patogen.
Ketahanan terinduksi pertama kali diteliti secara sistematik oleh Ros pada
tahun 1961, yang melakukan pengamatan terhadap tembakau yang terinfeksi
TMV. Pengamatan dilakukan terhadap gejala yang ditimbulkan, yakni terjadi
reaksi hipersensitif yang tidak terbatas pada sekitar bercak lokal nekrosis tetapi
meluas pada bagian tanaman lainnya. Jaringan di sekitar perkembangan bercak
sepenuhnya sukar ditembus oleh infeksi berikutnya. Asam salisilat diduga
memegang peran dalam sinyal SAR dan ketahanan terhadap patogen. Hal ini
terbukti dari adanya peningkatan konsentrasi asam salisilat yang dijumpai pada
ratusan tembakau atau mentimun setelah diinfeksi patogen (Huang 2001).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara
konsentrasi asam salisilat dengan peningkatan ketahanan tanaman terhadap
penyakit. Salah satu bukti terhadap hal tersebut adalah dengan menginduksi
tanaman Arabidopsis thaliana dan tembakau dengan cara transfer gen bakteri
Pseoudomonas putida penghasil gen NahG yang mengkode enzim salisilat
hidroksilase. NahG yang diketahui sebagai katalisator perubahan asam salisilat
menjadi komponen inaktif yang dikenal sebagai Catechol. Berdasarkan hasil
percobaan tersebut tanaman yang disisipkan gen NahG dan diinfeksi patogen
tidak mengakumulasi asam salisilat, juga tidak mampu meningkatkan respon
SAR tarhadap patogen. Hal ini menunjukkan bahwa untuk induksi SAR
diperlukan konsentrasi asam salisilat yang tinggi (Delaney 1997).
Aplikasi asam salisilat secara eksogen pada konsentrasi 1-5 mM sejauh
ini diketahui menginduksi ekpresi gen Pathogen Related (PR) dan ketahanan
melawan berbagai patogen mikroba (Xie & Chen 1998). Dua senyawa yang
tergolong asam salisilat eksogen yang sudah dikenal yaitu INA (2,6-
dichloroisonicotinic acid) dan BTH (benzo(1,2,3)thiodiazole-7-carbothioic acid S-
methyl ester) (Friedrich et al. 1996; Sticher et al. 1997).
25
Strategi pengendalian dengan mediasi CP membutuhkan tahapan awal
kultur jaringan untuk penumbuhan kalus maupun tahapan multiplikasi kalus.
Kultur jaringan juga sekaligus digunakan dalam tahapan seleksi in vitro hasil
transformasi gen CP untuk mengetahui keberhasilan insersi gen. Seleksi pada
tahap in vitro dapat mengurangi biaya dan waktu seleksi yang lama dibandingkan
seleksi di lapangan. Seleksi in vitro telah dilakukan pada semua kalus/plantlet
hasil transformasi gen. Metode ini didasari pada pemikiran bahwa kultur sel
tanaman menyediakan suatu populasi ideal materi genetik yang homogen. Satu
botolan kultur suspensi sel embriogenik secara teoritis menghasilkan jutaan
tanaman yang dapat secara efektif diseleksi. Seleksi in vitro untuk ketahanan
penyakit pertama kali dicobakan untuk tanaman tembakau tahan terhadap
wildfire menggunakan methionine sulfoximine yang memiliki struktur analog
dengan toksin wildfire (Jayasankar & Gray 2003).
Komponen utama yang berperan dalam SAR Sinyal transduksi SAR berfungsi sebagai modulator mekanisme
ketahanan penyakit. Pada saat SAR aktif, terjadi interaksi patogen dengan inang
secara kompatibel, sebaliknya pada saat SAR inaktif interaksi inkompatibel bisa
menjadi interaksi yang kompatibel. Mekanisme bagaimana modulasi ini terjadi
masih belum diketahui. Namun sedikitnya sebagian dari respon ketahanan yang
dimiliki tanaman dapat diekspresikan oleh gen SAR.
Ada dua komponen utama yang berperan dalam mekanisme SAR, yaitu
gen penanda molekuler SAR dan asam salisilat. Meskipun kajian tentang SAR
telah dilakukan selama hampir 100 tahun, namun demikian informasi tentang
SAR kurang terungkap bagaimana secara kuantitatif respon SAR dianalisa.
Untuk itu sangat penting dilakukan studi tentang identifikasi dan isolasi senyawa-
senyawa yang terlibat dalam SAR, yang dapat digunakan sebagai penanda
spesifik SAR. Penanda tersebut kemudian disebut sebagai gen SAR, dan telah
diidentifikasi sebagai penginduksi yang erat hubungannya dengan awal
terjadinya SAR pada daun yang tidak terinfeksi.
Hasil analisa terhadap protein (disebut sebagai protein SAR)
diklasifikasikan sebagai PR protein, berhasil diidentifikasi dari akumulasi protein
yang terjadi setelah infeksi TMV pada tembakau. Sedikitnya terdapat 9-14 jenis
protein SAR. Protein penanda ini sangat bervariasi jenisnya, tergantung dari dan
jumlah patogen serta spesies tanaman. Karena gen-gen SAR dengan kuat
26
diekspresikan pada saat ketahanan tanaman secara sistemik, dimana
pengkodean protein oleh gen-gen tersebut berperan, maka dapat dikatakan
bahwa protein yang dikode oleh gen-gen SAR selalu berasosiasi dengan
ketahanan penyakit.
Komponen kedua yang bertanggung jawab terhadap kejadian SAR
adalah asam salisilat. Senyawa ini untuk pertama kali diidentifikasi sebagai
komponen penginduksi secara endogen dari produksi panas yang dihasilkan
oleh sejumlah tanaman yang menyukai kondisi panas (thermogenic plants).
Senyawa ini merupakan senyawa metabolit sekunder yang berupa bubuk kristal
dengan titik cair 157-159 oC, dapat larut dalam air dan pelarut organik lainnya,
dengan pH sekitar 2,4 dan dapat dengan mudah dideteksi pada tanaman, karena
menghasilkan flouresensi pada panjang gelombang 412 nm (Raskin 1992).
Biosintesa Asam Salisilat Untuk mengetahui pentingnya peran asam salisilat dalam ketahanan
penyakit, maka perlu dipelajari juga bagaimana alur biosintesa dari komponen
tersebut yang mungkin dapat mengungkapkan faktor pengendali utama dari
respon ketahanan tanaman. Biosintesa asam salisilat diawali dari perubahan
phenylalanin ke trans cinnamic acid (asam sinamat) yang dikatalisa oleh enzim
phenylalanine ammonialyase (PAL). Ada jalur biosintesa diusulkan untuk
konversi asam sinamat, hasil dari PAL membentuk benzoic acid sebelum
menjadi asam salisilat. Jalur pertama yaitu rantai samping dari asam sinamat
diduga dioksidasi sesaat dengan β-oksidasi dari asam lemak dan diikuti oleh
hidrolisis thioester. Rute ini akan menghasilkan trans-cinnamoyl-CoA sebagai
senyawa intermediet, kemudian reaksi berlanjut membentuk benzoyl CoA hingga
akhirnya terhidrolisis menjadi benzoic acid. Jalur kedua yaitu rantai sisi asam
sinamat diperpendek secara non-oksidatif untuk membentuk asam p-
hydroxybenzoat, kemudian menghasilkan benzaldehide dan akhirnya terbentuk
benzoic acid. Benzoic acid dari kedua jalur tersebut kemudian berubah menjadi
menjadi asam salisilat yang dikatalisis oleh enzim benzoic acid 2-hidroksilase
(Gambar 2.5) (Ribnicky et al. 1998; Leon et al. 1993; Lee et al. 1995).
Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa asam salisilat disintesis
melalui jalur acetat-malonat dan jalur Sikimat-phenyl propanoid (Vickery &
Vickery 1981; Sticher et al. 1997). Phenylalanine dikonversi menjadi asam
sinamat yang mungkin ditransformasi menjadi asam koumarik atau asam
27
benzoat. Kedua senyawa ini adalah prekusor dari asam salisilat, tergantung
spesies tanaman, jaringan tanaman, atau kondisi lingkungan (Sticher et al.
1997). Namun demikian biosintesa asam salisilat hingga kini secara pasti belum
digambarkan dengan lengkap karena beberapa siklus masih belum diketahui.
Akumulasi asam salisilat sangat diperlukan dalam mediasi SAR. Menurut
penelitian Smith-Becker et al. (1998), akumulasi asam salisilat ternyata mampu
meningkatkan aktivitas enzim PAL pada bagian batang dan petiol tanaman
mentimun. Beberapa laporan menyebutkan bahwa PAL merupakan enzim kunci
dalam sintesa asam salisilat dan SAR.
Gambar 2.5 Biosintesis asam salisilat pada tanaman (Sumber: Ribnicky et al.
1998).
28
Mekanisme Induksi Ketahanan dengan Asam Salisilat
Proses translokasi sinyal ketahanan Tanaman yang memiliki ketahanan terhadap infeksi patogen umumnya di
kenali dengan adanya reaksi hipersensitif pada bagian daun yang diinokulasi.
Gejala hipersensitif ditandai oleh terbentuknya gejala lesio lokal di daerah infeksi.
Gejala ini terbentuk karena tanaman segera mengaktifkan program cell death
agar virus terlokalisir di sekitar sel yang terinfeksi dan tidak terjadi cell-to-cell
movement ataupun long distance movement. Proses ini dimulai dari pengenalan
inang terhadap virus karena adanya gen avr pada patogen dan gen R pada
inang. Kemudian melalui serangkaian proses terbentuk pertahanan yang
melibatkan gen ketahanan (Morel & Dangi 1997). Proses pengaktifan gen
ketahanan ini melibatkan asam salisilat. Asam salisilat yang terbentuk tidak
hanya berpengaruh di sekitar area infeksi namun juga ditranslokasikan bagian
lain tanaman.
Adanya asam salisilat yang berhasil diisolasi pada floem mentimun enam
jam setelah diinokulasi P.syringae telah dibuktikan melalui percobaan tentang
transportasi asam salisilat pada mentimun yang diinokulasi Tobacco nekrosis
virus (TNV) (Molders et al. 1996). Bukti kedua adalah tembakau NahG yang
telah diinokulasi TMV menunjukkan akumulasi asam salisilat dalam jumlah
sedikit di floem jika disambungkan dengan tembakau liar (Ryals 1996).
Transduksi sinyal SAR Untuk mengetahui tahapan yang terjadi dalam alur transduksi sinyal SAR
dan pola hubungan patogen dengan inang, telah diteliti pada tanaman model A.
thaliana. Tanaman ini mempunyai sistem untuk analisa gen mutan dan isolasi
gen yang baik.
Skema hipotesis alur transduksi sinyal menurut Ryals et al. (1996), bahwa
respon ketahanan terjadi melalui beberapa tahapan. Hal ini dibuktikan dengan
beberapa percobaan untuk menghambat alur sinyal pada situs-situs tertentu
misalnya pada tanaman transgenik yang menghasilkan NahG menyebabkan
tidak terakumulasinya asam salisilat. Percobaan lain yaitu pada tanaman mutan
yang disisipkan gen nim1 (non inducible immunity1), npr1 (non expressor of
PR1), ndr1 (non race specific disease resistance1) juga menyebabkan
terhambatnya akumulasi asam salisilat. Skema alur transduksi tersebut juga
menunjukkan adanya stimulus oleh komponen bahan kimia yang diberikan
29
secara eksogen (BTH/benzo (1,2,3) thiadiazole-7-carbothioic acid S-methyl
ester atau INA/2,6-dichloroisonicotinic acid) dan beberapa mutasi yang membuat
sistem pertahanan tanaman menjadi lebih kuat.
Alur tersebut pada awalnya dipicu oleh adanya interaksi antara patogen
dan tanaman yang dapat menginduksi gejala nekrosis yang mengaktifkan
ketahanan secara lokal dan ketahanan sistemik. Rangkaian reaksi tersebut
melibatkan asam salisilat endogen dan dibuktikan dapat dihambat pada tanaman
mutan NahG yang menyebabkan tidak terakumulasinya asam salisilat karena
terbentuknya salisilat hidroksilase. Pada tanaman mutan NahG dan tanaman
mutan lsd1 (lesions simulating disease) dan lsd6 dapat membentuk lesio setelah
diberikan senyawa asam salisilat eksogen (INA dan BTH) yang mengaktifkan
SAR. Meskipun telah diketahui bahwa alur transduksi sinyal dari SAR
merupakan pusat dari ketahanan tanaman terhadap penyakit, namun masih
banyak yang belum terjawab, seperti misalnya identitas dari sinyal yang
ditranslokasikan, bagaimana asam salisilat dapat disintesa setelah terjadi infeksi
patogen, serta bagian apo-reseptor tanaman untuk mengenali asam salisilat.
Alur transduksi sinyal menurut Delaney (1997) diaktivasi oleh adanya
patogen yang direspon oleh inang melaui gen R yang berinteraksi dengan gen
Avr patogen (Gambar 2.6). Proses alur tersebut terdiri dari tahapan:
A. Sinyal-sinyal tersebut terkumpul pada suatu tempat pada tanaman yang
disebut intregator (INT), yang berfungsi sebagai reaksi pertahanan adanya
sinyal-sinyal yang masuk ke tanaman, untuk selanjutnya memberi reaksi
hipersensitif yang mungkin dibutuhkan atau tidak untuk proses sinyal SAR.
B. SAR teraktivasi dengan adanya akumulasi asam salisilat yang membutuhkan
produk gen NIM1/NPR1, menimbulkan induksi gen PR.
C. Beberapa bentuk ketahanan dihasilkan. Asam salisilat juga berperan penting
dalam pertahanan tanaman di luar yang dihasilkan oleh NIMI.
D. Berfungsinya sinyal oleh NIMI akan menyebabkan tanaman dengan cepat
bereaksi dan memainkan peranannya dalam gene-for-gene resistance.
Peran tersebut bisa bersifat rapid activation/cepat (berperan dalam
ketahanan genetik), therapeutic (berperan dalam recovery/sembuh kembali,
dan persisten (berperan dalam ketahanan berspektrum luas/SAR).
30
Gambar 2.6 Alur transduksi signal yang mengatur terjadinya ketahanan (Sumber : Delaney 1997)
Kedua alur transduksi sinyal menurut Ryals et al. (1996) dan Delaney (1997)
tersebut menunjukkan substansi yang sama bahwa mekanisme SAR akan terjadi
melalui tiga fase yaitu:
- Fase pertama: Fase induksi. Induksi dapat terjadi oleh adanya infeksi
patogen atau faktor abiotik (bahan kimia), yang menyebabkan respon nekrosis
yang terjadi terus menerus. Respon ini kemungkinan bisa berasosiasi dengan
respon lokal lainnya seperti reaksi hifersensitif, pembentukan papilla, dll.
- Fase kedua: Fase sinyal. Bersifat sistemik, ditranslokasikan melalui floem,
bisa dipindahkan melalui grafting/penyambungan, berspektrum luas(tidak spesifik
kultivar, spesies, genus).
- Fase ketiga: Fase Ekspresi. Fase ini hanya akan terjadi jika terjadi infeksi
berikutnya setelah infeksi awal, jika ini tidak ada, maka hanya terjadi mobilisasi
tanpa diikuti ekspresi gen. Ekspresi gen ini dapat berupa bentuk ketahanan
tanaman, bisa berupa ketahanan fisik/struktural, kimia, maupun genetik.
Mekanisme induksi SAR oleh Asam Salisilat Asam salisilat sering diujicobakan dengan cara penyemprotan sebanyak
5 mM untuk mempelajari induksi dan penghambatan pertumbuhan karena SAR,
penguningan daun dan nekrosis tepi yang biasanya terjadi pada tanaman yang
sensitif, seperti Arabidopsis. Pengaruh asam salisilat untuk menginduksi
ketahanan tanaman tidak akan sistemik jika disemprotkan atau diinjeksikan ke
daun, tetapi efek sistemik dari asam salisilat baru akan tampak jika diaplikasikan
ke tanah. Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa kalau asam salisilat
diinjeksikan ke daun akan tersimpan di vakuola sel sebagai glukosa, dan jika
diaplikasikan ke tanah akan diserap oleh akar dan ditransportasikan keseluruh
tanaman (van Loon 2000).
Sinyal Interaksi
Gen R:AVR
Mekanisme pertahanan
lain
INT
HR
HR SA
Respon SA lain
Gen PR
NIM1/NPR1
Reaksi Ketahanan
Aktivasi cepat
Therapeutic
Persisten
Peran :
Ketahanan Genetik
Penyembuhan dari penyakit
Ketahanan spektrum luas (SAR)
A B C D
31
Adapun mekanisme bagaimana asam salisilat dapat menginduksi SAR
belum diketahui dengan pasti, namun ada beberapa hipotesis yang telah
dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu:
1. Hidrogen peroksida (H202) berperan sebagai second messanger dari asam
salisilat dalam pensinyalan SAR. Hal ini diketahui adanya asam salisilat
binding protein, yang diidentifikasi sebagai katalase, ternyata mampu
dihambat aktivitasnya oleh asam salisilat, yang diawali dengan konsentrasi
H202 yang meningkat.
2. H202 bertindak sebagai agen sinyal dari asam salisilat. Hal ini dibuktikan
dengan adanya peningkatan konsentrasi H202 pada bagian daun tembakau
yang tidak diinfeksi selama aktivasi SAR.
Sesungguhnya senyawa peroksida tersebut dimiliki oleh hampir semua
tanaman tingkat tinggi yang merupakan hasil detoksifikasi tanaman terhadap
oksigen reaktif yang berbahaya. Adapun reaksi penghasil senyawa peroksida
tersebut adalah sebagai berikut (Huang 2001): Superoksida dismutase 2O2- + 2H+ H2O2 + O2 Peroksidase H2O2 + AH2 2H2O + A Katalase H2O2 H2O + ½ O2
Pengertian senyawa second messanger menurut Huang (2001)
merupakan senyawa metabolit yang memediasi pemindahan sinyal secara
intraseluler. Beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh metabolit untuk dapat
bertindak sebagai second messanger ada tiga yaitu, (1) senyawa tersebut ada
dalam sel tanaman pada konsentrasi yang mampu mengelisitor respon fisiologi
tanaman, (2) sel tanaman mempunyai mekanisme untuk menanggapi
keberadaan senyawa tersebut untuk kemudian ditranslasi menjadi respon
fisiologi tanaman, serta (3) adanya mekanisme pemblokiran untuk mencegah
timbulnya respon fisiologi lebih lanjut.
Akumulasi asam salisilat berhubungan erat dengan enzim yang
merombak prekusor phenylalanine yaitu enzim phenylalanine ammonialyase
(PAL). Pola aktivitas PAL diinduksi di petiol dan batang menunjukkan bahwa
jaringan tersebut merespon pergerakan sinyal yang berasal dari daun yang
diinokulasi. Peningkatan aktifitas PAL diduga karena peningkatan ekspresi gen
32
untuk enzim dan/atau meningkatnya tingkat penurunan produk asam trans-
sinamat (Smith-Becker et al. 1998). Asam sinamat merupakan suatu inhibitor
kuat kegiatan PAL yang bertindak untuk mempercepat berkurangnya enzim dan
untuk menghambat de novo produksi enzim (Shields et al. 1982). Salah satu
kemungkinan adalah bahwa sinyal awal dari daun yang diinokulasi mengarah
untuk aktivasi enzim atau kelompok enzim precursor PAL yang mengkonversi
asam sinamat menjadi asam salisilat (Leon et al. 1993).
33
DAFTAR PUSTAKA
Adams MJ, Antoniw JF, Bar-Joseph M, Brunt AA, Candresse T, Foster GD,
Martelli GP, Milne RG, Zavriev SK, Fauquet CM. 2004. The new plant virus family Flexiviridae and assessment of molecular criteria for species demarcation. Arch Virol 149: 1045–1460
Adkins S, Zitter T, Momo T. 2005. Tospoviruses (Family Bunyaviridae, Genus Tospovirus). Florida: Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida
Afieri Jr. SA, Langdon KK, Kimbrough JW, El-Ghol NE, Wehlburg C. 1991. Diseases and disorders of plants in Florida. Bul FDACS DPI No. 14.
Arditti J. 1984. Orchid Biology. Reviews and Perspectives III. Ithaca: Cornell University Press.
Arditti J, Ernst R. 1992. Micropropagation of Orchids. New York: Departement of Developmental and Cell Biology University of California.
Ashari S. 1997. Hortikultura Aspek Budidaya. Jakarta: UI Press.
Baker C, Davidson D, Scoates C. 2007. White Phalaenopsis ringspots – mystery solved. Plant Pathol Circ No. 406.
Burnett HC. 1965. Orchid Diseases. Vol 1 No. 3. Florida: State of Florida Dept. Of Agronomi.
Carrington JC, Dougherty WG. 1987. Small nuclear inclusion protein encoded by a plant Potyvirus genome is a protease. J of Virol 61: 2540-2548.
Carrington JC, Freed DD, Sanders TC. 1989. Autocatalytic processing of the Potyvirus helper component proteinase in Escherichia coli and in vitro. J of Virol 63: 4459-4463.
Chan CI, Lamb A, Shim PS, Wood JJ. 1994. Orchid of Borneo. Introduction and Selection of Spesies. London: The Sabah Society Kota Kinabalu in Association with The Royal Botanical Garden Kew.
Chang CA. 2010. Orchid virus diseases in Taiwan and their control strategies. The 2010 Taiwan International Orchid Show and Symposium. Taiwan, 6-15 Maret 2010, Taiwan: International Commercial Orchid Growers Organization. Hal 1-54.
Chang C, Chen YC, Hsu YH, Wu JT, Hu CC, Chang WC, Lin NS. 2005. Transgenic resistance to Cymbidium mosaic virus in Dendrobium expressing the viral capsid protein gene. Transgenic Res 14: 41-46
Chen TC, Hsu HT, Yeh SD. 1998. A new Tospovirus like virus isolated from orchid. [Abstrak] Di dalam: The 4th International Symposium on Tospoviruses and Thrips in Floral and Vegetable Crops, Netherlands.
Chen L, Kawai H, Oku T, Takahashi C, Niimi Y. 2006. Introduction of Odontoglossum ringspot virus coat protein gene into Cymbidium niveo-marginatum mediated by Agrobacterium tumefaciens to produce transgenic plants. J Japan Soc Hort Sci 75 (3): 249–255.
34
Chia TF, Chan YS, Chua NH. 1992. Characterization of Cymbidium mosaic virus coat protein gene and its expression in transgenic tobacco. Plant Mol Biol 18: 1091–1099.
Cordel GA. 1999. Introduction to Alkaloids. A Biogenic Approach. New York: A Willey-Interscience Publication John Willey.
Delaney TP. 1997. Genetic dissection of acquired resistance to diseases. Plant Physiol 113: 5-12.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2010. Basis data statistik pertanian. Anggrek. www.Deptan.go.id [terhubung berkala] http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp /newkom.asp# [16 Desember 2010]
[Ditjen PPHP Deptan] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Departemen Pertanian. 2005. Road Map Pasca Panen dan Pemasaran Anggrek, 2005-2010. Jakarta : Ditjen PPHP Departemen Pertanian.
Elliott MS, Zettler FW, Zimmerman MT, Barnet Jr. OW, LeGrande MD. 1996. Problems with interpretation of serological assay in a virus survey of orchid species from Puerto Rico, Ecuador, and Florida. Plant Dis 80 : 1160-1164.
Eun CAJ, Huang L, Chew FT, Yau Li-SF, Man Wong S. 2002. Detection of two orchid viruses using quartz crystal microbalance-based dna biosensors. Phytopathology 92: 654-658.
Fauquet MC, Mayo MA. 1999. Abbreviations for plant virus names – 1999. Arch Virol 144: 1249-1272.
Francki RIB, Milne RG, Hatta T. 1985. Atlas of plant viruses, Vol. II . Boca Raton: CRC Press.
Friedrich L, Lawton K, Dincher S, Winter A, Staub T, Uknes S, Kessmann H, Ryals J. 1996. Benzothiadiazole induces systemic acquired resistance in tobacco. Plant J 10: 61-70.
Frowd JA, Tremaine JH. 1977. Physiological, chemical and serological properties of Cymbidium mosaic virus. Phytopathology 67: 43–49.
George EF. 1996. Plant Propagation by Tisue Culture. Part 1. In Practice. 2nd Edition. London: Exegetics Ltd
Gibbs AJ, Harrison BD. 1970. Cucumber mosaic virus. http://www.dpvweb.net/ dpv/showdpv.php?dpvno=1. [ 2 Desember 2011]
Grisoni M, Davidson F, Hyrondelle C, Farreyrol K, Caruana ML. Pearson M. 2004. Nature, incidence, and symptomatology of viruses infecting Vanilla tahitensis in French Polynesia. Plant Dis 88: 199-124.
Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Hari V, Siegel A, Rozek D, Timberlake WE. 1979. The RNA of Tobacco etch virus contains poly(A). Virology 92: 568-571.
Hsu YC, Yeh TJ, Chang YC. 2005. A new combination of RT-PCR and reverse dot blot hybridization for rapid detection and identification of Potyvirus. J of Vir Methods 128: 54–60
35
Hu JS, Ferreira M, Wang M, Xu MQ. 1993. Detection of Cymbidium mosaic virus, Odontoglossum ringspot virus, Tomato spotted wilt virus, and Potyvirus infecting orchids in Hawaii. Plant Dis 77: 464-468.
Hu JS, Li HP, Barry K, Wang M, Jordan R. 1995. Comparison of dot blot ELISA and RT-PCR assays for detection of two Cucumber mosaic virus isolates infecting banana in Hawaii. Plant Dis 79: 902–206
Huang JS. 2001. Plant Pathogenesis and Resistance: Biochemistry and Physiology of Plant-microbe Interactions. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. New York: Academic Press.
[ICTVdB] International Committee on Taxonomy of Viruses database Management. 2006a. 00.056.0.01.007. Cymbidium mosaic virus. In: ICTVdB - The Universal Virus Database, version 4. Büchen-Osmond, C. (Ed.). New York: Columbia University. http://www.ncbi.nlm.nih.gov /ICTVdb /ICTVdB/
[ICTVdB] International Committee on Taxonomy of Viruses database Management.. 2006b. 00.071.0.01. Tobamovirus. In: ICTVdB - The Universal Virus Database, version 4. Büchen-Osmond, C. (Ed). New York: Columbia University. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/ICTVdB/
Ikegami M, Inouye N. 1996. Genomic organization of Odontoglosum ringspot virus (Cy-1 Strain) RNA and comparison with that of Korean strain. Bull Res Ins Biores Okayama Univ 4: 137-147.
Ilardi V, Mazzei M, Loreti S, Tomassoli L and Barba M. 1995. Biomolecular and serological methods to identify strains of Cucumber mosaic cucumovirus on tomato. EPPO Bull 25: 321–327
Jayasankar S, Gray DJ. 2003. In vitro selection for diseases resistance in plants – an alternative to genetic enginering. Ag Biotech net 5: 1-5.
Jensen DD. 1950. Mosaic of Cymbidium orchids. Phytopathology 40: 966–967.
Jensen DD, Gold HA. 1951. A virus ringspot of Odontoglossum Orchid: Symptoms, transmission and electron microscopy. Phytopathol 41: 648-653.
Khalimi K. 2008. Deteksi dan karakterisasi Cymbidium Mosaic Virus (CymMV) isolat anggrek [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Koike ST, Mayhew DE. 2001. Impatiens necrotic spot virus found in Oncidium. Orchids. The Magazine of Am Orc Soc 70: 746-747
Lakani I, Suastika G, Mattjik N, Damayanti TA. 2010. Identification and molecular characterization of Odontoglosum ringspot virus (ORSV) from bogor, Indonesia. Hayati J of Biosci 17: 101-104.
Lee H-I, Leon J, Raskin I. 1995. Biosynthesis and metabolism of salicylic acid. Proc Natl Acad Sci USA 92: 4076-4079.
Leon J, Yalpani N, Raskin I, Lawton M. 1993. Induction of benzoic acids 2-hydroxylase in virus-inoculated tobacco. Plant Physiol 103: 323-328.
36
Lizarraga RE, Salazar LF, Roca WM, Schilde RL. 1980. Elimination of Potato spindle tuber viroid by low temperature and meristem culture. Phytopatology 70: 754-755.
Logan HB, Lloyd GC. 1955. Orchids Are Easy to Grow. New Jersey: Pentice Hall Inc. Englewood Cliff.
Lopez-Delgado H, Mora-Herrera ME, Zavaleta-Mancera HA, Cadena-Hinojosa M, Scott IM. 2004. Salicylic acid enhances heat tolerance and Potato virus X (PVX) elimination during thermotherapy of potato microplants. Am J of Pot Research 81: 171-176.
Mattjik NA. 2011. Membangun usaha tanaman hias dan bunga ptong dengan mengaplikasikan bioteknologi khususnya kultur jaringan [Orasi purnabakti]. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB.
McMIllan Jr. RT, Vendrame WA. 2005. Color break in orchid flower. Proc Fla State Hort Soc 118: 287-288.
Molders W, Buchala A, Metraux JP. 1996. Transport of salicylic acid in Tobacco necrosis virus-infected cucumber plants. Plant Physiol 112: 787-792
Moles M, Delatte H, Farreyrol K, Grisoni M. 2007. Evidence that Cymbidium mosaic virus (CymMV) isolates divide into two subgroups based on nucleotide diversity of coat protein and replicase genes. Arch Virol 152: 705–715
Morel J-B, Dangi JL. 1997. The hypersensitive response and the induction of cell death in plants. Cell Death and Differ 4: 671-683.
Morrison A. 2000. The Illustrated Encyclopedia of Orchids. Portland: Timber Press.
Mukerji KG, Chamola BP, Upadhyay RK. 1999. Biotechnological Approaches in Biocontrol of Plant Pathogens. New York: Kluwer Academic.
Murphy AM, Chivasa S, Singh DP, Carr JP. 1999. Salicylic acid-induced resistance to viruses and other pathogens: a parting of the ways?. Trend Plant Sci 4:155–160.
Navalinskiene M, Raugalas J, Samuitiene M. 2005. Viral diseases of flower plants. Identification of viruses affecting orchids (Cymbidium Sw.). Biologija 2: 29- 34
Nursandi F. 1997. Karakterisasi keturunan hasil persilangan anggrek Phalaenopsis berdasarkan morfologi dan pola pita izosim [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Owens J, Palukaitis P. 1988. Characterization of Cucumber mosaic virus. I. Molecular heterogeneity mapping of RNA 3 in eight CMV strains. Virology 69: 496–502
Owens J, Shintaku M, Aeschleman P, Tahar S F and Palukaitis P. 1990. Nucleotide sequence and evolutionary relationships of Cucumber mosaic virus (CMV) strains, CMV RNA 3. J Gen Virol 71: 2243–2249
Paludan N. 1985. Inactivation of viroids in Chrysanthenum by low-temperature treatment and meristem-tip culture. Acta Hortic 164: 181-186.
37
Palukaitis P, Zaitlin M. 1997. Replicase-mediated resistance to plant virus diseases. Adv Virus Res 48: 349–377
Palukaitis P, Roossinck MJ, Dietzgen RG, Francki RIB. 1992. Cucumber mosaic virus. Adv in Virus Res 41:281-348.
Paul HL. 1975. Odontoglossum ringspot virus. CMI/AAB Descriptions of Plant Viruses, no. 155.
Pierik RLM. 1987. In vitro Culture of Higher Plant. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publisher.
Purwito A, Wattimena GA. 1991. Kombinasi teknik kultur meristem dan ribavirin pada eliminasi beberapa virus kentang [Laporan Penelitian]. Bogor. Lab Bioteknologi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Puspitaningtyas DM, Mursidawati S, Sutrisno, Jauhari A. 2003. Anggrek Alam Di Kawasan Konservasi Pulau Jawa. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Raskin I. 1992. Role of salicylic acid in plants. Ann Rev Plant Physiol 43: 439-463.
Ratnadewi DL, Suseno R, Sandra E. 1991. Merekayasa klon anggrek Laeliocattleya Laurie Lynn Westernberger bebas virus melalui kultur meristem apikal. J Ilmu Pert Indonesia Vol 1: 67-71.
Ribnicky DM, Shulaev V, Raskin I. 1998. Intermediates of salicylic acid biosynthesis in tobacco. Plant Physiol 118: 565-572.
Rizos H, Gunn LV, Pares RD, Gillings MR. 1992. Differentiation of Cucumber mosaic virus isolates using the polymerase chain reaction. J Gen Virol 73: 2099–2103
Roossinck MJ. 2002. Evolutionary history of Cucumber mosaic virus deduced by phylogenetic analysis. J Virol 76: 3382-3387.
Roossinck MJ, Zhang L, Hellward K, 1999. Rearrangement in the 5’ nontranslated region phylogenetic analysis of Cucumber mosaic virus RNA 3 indicate radial three subgroup. J Virol 76: 6752-6758.
Rukmana. 2000. Budidaya Anggrek Bulan. Jakarta: Kanisius
Ryals JA, Neuenschwander UH, Willits MG, Molina A, Steiner HY, Hunt MD. 1996. Systemic acquired resistance. The Plant Cell 8: 1809-1819.
Ryu KH, Yoon KE, Park WM. 1995. Cloning and sequencing of a cDNA encoding the coat protein of a Korean isolate of Cymbidium mosaic virus. Gene 156: 303-304.
Sammons IM, Chessin M. 1961. Cactus virus in The United States. Nature 191: 517.
Sastrapradja SD, Gandawidjaja D, Imelda M, Nasution RE. 1976. Anggrek Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka
Schneider M, Schweizer P, Meuwly P, Metraux JP. 1996. Systemic acquired resistance in plants. Int J Cytol 168: 303-40.
38
Seoh ML, Wong SM, Zhang L. 1998. Simultaneous TD/RT-PCR detection of Cymbidium mosaic potexvirus and Odontoglossum ringspot tobamovirus with a single pair of primers. J Virol Methods 72: 197–204
Setiawan. H. 2002. Usaha Pembesaran Anggrek. Jakarta. Penebar Swadaya
Sherpa AR, Bag TK, Hallan V, Zaidi AA. 2006. Detection of Odontoglossum ringspot virus in orchids from Sikkim, India. Aust Plant Pathol 35: 69-71.
Sherpa AR, Hallan V, Zaidi AA. 2004. Cloning and sequencing of coat protein gene of an Indian Odontoglossum ringspot virus isolate. Acta Virol 48: 267–269
Shields S, Wingate V, Lamb C. 1982. Dual control of phenylalanine ammonialyase production and removal by its product cinnamic acid. Eur J Biochem 123:389–395
Shukla DD, Ward CW, Brunt AA. 1994. The Potyviridae. Wallingford: CAB International.
Shuttleworth FS, Zim HS, Dillon G. 1970. Orchids. New York: Golden Press Western Publishing Company Inc.
Sialer MM, Cillo F, Barbarossa L, Gallitelli D. 1999. Differentiation of Cucumber mosaic virus subgroups by RTPCR RFLP. J Plant Pathol 81: 145–148
Siegel A, Wildman SG. 1954. Some natural relationships among strains of Tobacco mosaic virus. Phytopathology 44: 277-282.
Smith-Becker J, Marois E, Huguet EJ, Midland SL, Sims JJ, Keent NT. 1998. Accumulation of salicylic acid and 4-hydroxybenzoic acid in phloem fluids of cucumber during sistemic acquired resistance is preceded by a transient increase in phenylalanine ammonia-lyase activity in petiols and stem. Plant Physiol 116: 231-238.
Srifah P, Loprasert S, Rungroj N. 1996. Use of reverse transcriptionpolymerase chain reaction for cloning of coat protein-encoding genes of Cymbidium mosaic virus. Gene 179: 105–107.
Srivastava PS, Iqbal M, Mughal MH. 1999. Role of tissue culture in plant disease control. Di dalam: Mukerji KG, Chamola BP, Upadhyay RK, Editor. Biotechnological Approaches in Biocontrol of Plant Pathogens. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers. hlm 197-245
Steinhart WL, Oshiro MA. 1990. Gene products encoded by Cymbidium mosaic virus RNA: proteins translated in vitro. Plant Sci 72: 141–147.
Sticher L, Mauch-Mani B, Metraux JP. 1997. Systemic acquired resistance. Ann Rev Phytopathol : 35: 235-270
Stomberg A. 1994. Induced systemic resistance in potato late blight [Dissertation]. Sweden: Swedish University of Agricultural Science.
Suharto. 2002. Potensi pasar anggrek Luar Negeri [tidak dipublikasikan]. Dialog Interaktif Peranggrekan dalam rangka ulang tahun Kebun Raya Bogor ke 185. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Szilassy D, Sala´nki, Bala´zs E. 1999. Molecular Evidence for the existence of two distinct subgroups in Cucumber mosaic cucumovirus. Virus Genes 18: 221–227
39
Takahashi Y, Takahashi T, Uyeda I. 1997. A cDNA clone to Clover yellow vein potyvirus genome is highly infectious. Virus Genes 14: 235-243.
Tuzun S, Kuc J. 1991. Plant Immunization: an Alternative to Pesticides for Control of Plant Diseases in The Greenhouse and Field. Petersen JB (editor). Tsukuba: Japan-OECD Joint Workshop.
van Loon. 2000. Sytemic induced resistance. Di dalam : Slusarenko A, Fraser RSS, Van Lonn LC, Editor. Mechanism of Resistance to Plant Diseases. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.hlm 521-574.
van Regenmortel MHV, Carstens EB, Estes MK, Lemon SM, Maniloff J. 2000. Virus taxonomy: classification and nomenclature of viruses. In: Seventh Report of the International Committee on Taxonomy of Viruses. San Diego: Academic Press, 1162 p.
Verchot J, Koonin EV, Carrington JC. 1991. The 35-kDa protein from the N-terminus of the potyviral polyprotein functions as a third virus-encoded proteinase. Virology 185: 527-535.
Vickery ML, Vickery B. 1981. Secondary Plant Metabolism. London: The MacMillan Press Ltd.
Wahyuni WS, Dietzgen RG, Hanada K, Francki RIB. 1992. Serological and biological variation between and within subgroup I and II strains of Cucumber mosaic virus. Plant Pathol 41:282-297.
Ward CW, Shukla DD. 1991. Taxonomy of Potyviruses: current problems and some solutions. Intervirology 32: 269-296.
Wattimena GA, Gunawan LW, Nurhayati AM, Syamsudin E, Wendi NMA, Ernawati A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikti-Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
Widiastoety D. 1997. Kultur jaringan pada tanaman anggrek. Buletin Perhimpunan Anggrek Indonesia. No. 10 Thn. V: 12-13.
Winterhalter AC. 2005. Potyvirus: Genome Structure, Organisation, Processing And Possible Functions Of Mature Proteins. Virology Down Under. http://www.uq.edu.au /vdu/ VDUPotyvirus.htm [2 Desember 2011].
Wisler GC. 1989. How to Control Orchid Viruses. The Complete Guidebook. Gainesville: Maupin House Publ.
Wong SM, Mahtani PH, Lee KC, Yu HH, Tan Y, Neo KK, Chan Y, Wu M, Chung CG. 1997. Cymbidium mosaic potexvirus RNA: complete nucleotide sequence and phylogenetic analysis. Arch Virol 142: 383-391
Xie Z, Chen Z. 1998. Salicylic acid induces rapid inhibition of mitochondrial electron transport and oxidative phosphorylation in tobacco cells. Plant Physiol 120: 217-226.
Zaitlin M. 1976. Letter to the Editor. Viral cross protection: more understanding is need. Phytopathology 66: 382–383.
Zettler FW, Ko NJ, Wisler GC, Elliot MS, Wong SM. 1990. Viruses of orchids and their control. Plant Dis 74: 621–626.
40
Zheng YX, Chen CC, Chen YK, Jan FJ. 2008a. Identification and characterization of a Potyvirus causing chlorotic spots on Phalaenopsis orchids. Eur J Plant Pathol 121:87–95
Zheng YX, Chen CC, Yang CJ, Yeh SD, Jan FJ. 2008b. Identification and characterization of a Tospovirus causing chlorotic ringspots on Phalaenopsis orchids. Eur J Plant Pathol 120: 199-209
Zitter TA, Murphy JF. 2009. Cucumber mosaic. The Plant Health Instructor. http://www.apsnet.org/edcenter/intropp/lessons/viruses/Pages/Cucumbermosaic.aspx [ 2 Desember 2011]
Recommended