View
223
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
In 2004, the Indonesian government committed to provide health insurance coverage to
its entire population through a mandatory health insurance program. As of 2008, its public
budget provided coverage for 76.4 million poor and near poor, but more than half of the
population still lacked health insurance. The authors of Health Financing in Indonesia develop
a baseline of current health policies, highlighting their strengths and weaknesses in light of
current epidemiological and socioeconomic trends, and provide a comprehensive framework
for reform in the key financing functions involved in providing universal coverage (UC):
revenue collection, risk pooling, and purchasing.
The book also provides an analytical framework based on global good practices, as well as
rudimentary cost options for the transition to UC. Health Financing in Indonesia will be of
interest to readers working in the areas of health care and public health, social protection, and
social analysis and policy, in Indonesia and in other countries aiming for universal coverage.
D I R E C T I O N S I N D E V E L O P M E N T
Human Development
Health Financing in IndonesiaA Reform Road Map
Claudia RokxGeorge SchieberPandu Harimurti
Ajay TandonAparnaa Somanathan
Ringkasan Eksekutif
Ringkasan Eksekutif
Pada tahun 2004 pemerintah Indonesia membuat komitmen
untuk menyediakan jaminan asuransi kesehatan bagi seluruh
masyarakat melalui suatu sistem asuransi kesehatan publik
yang bersifat wajib. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah
yang berani dengan menyediakan jaminan asuransi yang mencakup
sekitar 76,4 juta warga miskin dan hampir miskin, yang dibiayai melalui
anggaran pemerintah. Walaupun demikian, lebih dari setengah jumlah
penduduk masih belum memiliki jaminan asuransi kesehatan, dan
dampak fi skal dari program pemerintah untuk kaum miskin ini belum
sepenuhnya ditelaah atau dirasakan. Selain itu, kelemahan-kelemahan
yang signifi kan dari efi siensi dan kepemerataan sistem kesehatan yang
ada sekarang, jika tidak ditangani akan semakin meningkatkan tekanan
biaya dan dapat mengganggu penerapan efektif dari Cakupan Semesta
(Universal Coverage) dan peningkatan status kesehatan masyarakat serta
perlindungan keuangan yang diinginkan.
Bagi Indonesia, untuk dapat mencapai cakupan perlindungan
kesehatan yang menyeluruh (Cakupan Semesta), kinerja sistem
kesehatan perlu ditingkatkan dan perlu dirumuskan beberapa
pilihan kebijakan utama berkaitan dengan sistem pembiayaan
kesehatan. Sistem kesehatan Indonesia memiliki kinerja yang
baik untuk beberapa indikator status (outcome) kesehatan dan
perlindungan keuangan, tetapi masih ada banyak peluang untuk
mencapai peningkatan yang signifi kan. Dibutuhkan adanya keputusan
politik tingkat tinggi dalam beberapa unsur kunci dari paket reformasi
pembiayaan kesehatan. Isu transisi utama untuk mencapai hal tersebut
termasuk:
• Paket pelayanan yang dapat dibayar/dibeli, dan berdampak
positif pada status kesehatan (outcome), dan perlindungan
keuangan;
| 1
2 |
Ringkasan Eksekutif
• bagaimana lebih dari 50 persen dari mereka yang sekarang
belum memiliki jaminan asuransi dapat tercakup oleh
asuransi;
• bagaimana cara membayar para penyedia layanan kesehatan
untuk menjamin akses, efi siensi dan kualitas;
• mengembangkan suatu sistem administrasi yang terpadu dan
efi sien;
• bagaimana mengatasi permasalahan hambatan yang ada saat
ini dalam hal pasokan untuk menjamin ketersediaan layanan-
layanan yang dijanjikan; dan,
• bagaimana mengumpulkan pendapatan untuk membiayai
sistem tersebut, termasuk program untuk kaum miskin serta
kelompok-kelompok yang saat ini belum tercakup asuransi
yang mungkin akan membutuhkan subsidi dari pemerintah,
misalnya lebih dari 60 juta pekerja pada sektor informal, 85
persen pekerja di badan-badan usaha yang memiliki pekerja
kurang dari lima, dan 70 persen dari penduduk yang bertempat-
tinggal di daerah-daerah perdesaan.
Sementara Indonesia tengah memodernisasi dan mengembangkan
lebih lanjut sistem kesehatannya dengan berbagai reformasi besar
seperti desentralisasi dan penerapan Cakupan Semesta, transisi
demografi s, gizi dan epidemiologis akan membawa implikasi-
implikasi yang besar bagi rancangan dan biaya dari berbagai
reformasi ini. Populasi penduduk tua akan menimbulkan tambahan
beban bagi infrastruktur (butuh lebih banyak rumah sakit), para tenaga
kesehatan (lebih banyak spesialis dan perawat) serta tunjangan sosial
bagi para lansia. Pada saat yang sama, berkurangnya kesempatan
kerja yang ditandai dengan pergerakan ke dalam sektor formal yang
terhenti, akan kian meningkatkan tekanan biaya. Ada perbedaan
Ringkasan Eksekutif
| 3
yang besar dalam kemajuan transisi-transisi ini di seluruh Indonesia,
dengan provinsi-provinsi di Indonesia bagian timur masih berada pada
tahap-tahap awal transisi dan memiliki tingkat penyakit menular serta
kematian anak yang tinggi, sementara provinsi-provinsi di Jawa dan Bali
memiliki tingkat penyakit tidak menular (Non-Communicable Diseases/
NCDs) yang lebih tinggi.
Dari segi positifnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia telah
jauh membaik sejak krisis keuangan tahun 1997/8, dan negara
ini tampaknya berada dalam posisi yang baik untuk menangkal
krisis keuangan saat ini, walau pengaruhnya pada pertumbuhan
ekonomi di masa yang akan datang tetap belum jelas. Walaupun
demikian, tingkat kemiskinan masih tetap tinggi untuk sebuah negara
yang berpenghasilan rendah-menengah, walau telah ada banyak
kemajuan sejak tahun 1997/8 dan dengan adanya krisis baru yang
mengancam, tingkat kemiskinan masih menjadi masalah yang serius.
Tambahan pula, sekitar 50 persen dari penduduk masih tergolong
miskin atau hampir miskin, yang membuat sebagian besar penduduk
rentan terhadap guncangan-guncangan ekonomi maupun kesehatan
yang dapat membawa bencana (katastrofi k) dan menjerumuskan
rumah tangga ke dalam kemiskinan. Selain itu, dinamika pasar tenaga
kerja merupakan sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan dalam
mengembangkan suatu roadmap untuk menuju asuransi kesehatan
dengan cakupan yang menyeluruh–misalkan saja, besarnya proporsi
kerja informal pada pasar tenaga kerja akan mempersulit penggunaan
iuran berbasis pekerja untuk membiayai sistem tersebut.
Tujuan yang melatar-belakangi kajian pembiayaan kesehatan ini
adalah untuk memberikan masukan-masukan termutakhir dan
berbasis bukti kepada Penilaian Sektor Kesehatan menyeluruh
4 |
Ringkasan Eksekutif
(Health Sector Review) yang diadakan Pemerintah Indonesia
dan membantu pemerintah untuk mengembangkan serta
mengimplementasikan program asuransi kesehatan dengan
Cakupan Semestanya. Kajian bermaksud untuk membantu Pemerintah
Indonesia dengan mengumpulkan dasar-dasar bukti yang spesifi k
Indonesia maupun dari dunia internasional, dengan fokus spesifi k
pada pengembangan dan implementasi opsi-opsi kebijakan untuk
mencapai cakupan asuransi kesehatan semesta untuk memperbaiki
tingkat kesehatan dan perlindungan keuangan bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
Studi ini difokuskan pada fungsi-fungsi utama pembiayaan
kesehatan yaitu pengumpulan pendapatan (revenue collection),
pemusatan risiko (risk pooling), dan pembelian (purchasing) serta
tujuan mereka masing-masing yakni: (i) secara efi sien, adil dan
merata menumbuhkan pendapatan yang dapat terus dipertahankan
untuk mendukung Cakupan Semesta; (ii) melakukan risk pooling secara
efi sien, adil dan merata untuk menjamin perlindungan keuangan bagi
penduduk Indonesia; dan, (iii) membeli pelayanan kesehatan secara
efi sien dalam hal alokasi dan teknis (allocative and technical effi ciency).
Studi ini mengembangkan baseline kebijakan kesehatan Indonesia saat
ini berdasarkan analisis kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan
sistem saat ini dan kecenderungan-kecenderungan epidemiologis dan
sosio-ekonomi di masa yang akan datang, serta menyajikan sebuah
kerangka menyeluruh yang merinci isu-isu reformasi penting yang
perlu segera diselesaikan. Kajian ini juga memberikan suatu kerangka
kebijakan analitis berdasarkan bukti ‘praktik-praktik yang baik’ di tingkat
global serta beberapa opsi pembiayaan untuk beralih menuju Cakupan
Semesta. Akhirnya, studi mendiskusikan sistem penyelenggaraan
layanan di masa yang akan datang, kesehatan masyarakat, dan reformasi
Ringkasan Eksekutif
| 5
dari sisi permintaan (demand-side reforms).
Pembiayaan kesehatan sejak desentralisasi menjadi semakin
kompleks, dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tampaknya
semakin menurun, sebagian besar karena isu-isu tata pemerintahan.
Sistem kesehatan nasional belum beradaptasi terhadap kenyataan
desentralisasi, dan keputusan untuk menuju asuransi kesehatan semesta
yang wajib juga belum diikuti dengan restrukturisasi yang diperlukan.
Sistem tetap bersumber pada pemerintah dan terus didasarkan pada
prinsip-prinsip dan fi tur-fi tur Alma Ata (akses menyeluruh terhadap
layanan kesehatan dasar bagi publik), walaupun separuh dari seluruh
belanja kesehatan berada pada sektor swasta, sebagian besar berasal
dari kantong sendiri, dan hampir separuh dari mereka yang sakit mencari
layanan kesehatan dari para penyedia layanan swasta.
Kemampuan pemerintah pada semua tataran untuk melakukan
pembayaran langsung dalam bentuk pembayaran gaji dan
biaya-biaya modal serta menyediakan cakupan tambahan akan
tergantung pada kapasitas fi skal mereka. Kapasitas fi skal semacam
ini sangat tergantung pada kapasitas daerah dalam mengumpulkan
pendapatan maupun pada aliran dana-dana sistem fi skal antar
pemerintah di mana beberapa dana dianggarkan oleh pemerintah
pusat, sementara beberapa lainnya tidak, dan formula-formula yang
digunakan untuk mendistribusikan kembali dana dari pemerintah pusat
ke pemerintah-pemerintah daerah seringkali tidak mencerminkan
kebutuhan daerah dan kapasitas fi skal setempat.
Akses fi sik terhadap layanan kesehatan di Indonesia pada
umumnya tergolong memadai, walaupun ada kekurangan dalam
hal jumlah dan distribusi tenaga-tenaga kesehatan profesional.
6 |
Ringkasan Eksekutif
Dengan lebih dari 8.000 pusat kesehatan masyarakat (1 untuk setiap
23.000 penduduk), sebuah sistem yang berjangkauan luas serta lebih
dari 1.250 rumah sakit pemerintah dan swasta, akses terhadap layanan
kesehatan umumnya baik kecuali di daerah-daerah yang terpencil.
Namun demikian, kualitas infrastruktur, keberfungsian peralatan, dan
ketersediaan pasokan obat-obatan seringkali masih menjadi masalah
besar. Jumlah dokter masih terlalu sedikit, terutama para spesialis, dan
hal ini akan menjadi masalah besar dengan meningkatnya kebutuhan
untuk menangani penyakit-penyakit tidak menular. Selain jumlah
dokter dan spesialis yang terlalu sedikit, distribusi para dokter ini di
seluruh Indonesia juga tidak merata. Secara signifi kan ada lebih banyak
bidan dan perawat, dan mereka terdistribusikan dengan lebih baik,
dengan setidaknya ada seorang bidan untuk setiap desa. Walaupun
begitu, serupa dengan yang terjadi pada infrastruktur, walau jumlah
absolut tidak menjadi masalah, penyebaran dan kualitas masih menjadi
masalah.
Peningkatan pada infrastruktur kesehatan merupakan salah satu
produk dari peningkatan keseluruhan pada belanja kesehatan
yang naik dari 1,9 persen dari PDB tahun 1996 menjadi 2,2 persen
pada tahun 2006. Pada saat yang sama, pangsa pemerintah telah
meningkat secara signifi kan dari 42 persen pada tahun 1996 menjadi 50
persen pada tahun 2006. Pengeluaran kesehatan pemerintah sebagai
bagian dari anggaran telah meningkat dari 4,3 persen menjadi 5,3
persen, sementara pengeluaran rumah tangga dari kantong sendiri
berkurang sedikit dari 36 persen dari seluruh pengeluaran (62 persen
dari 58 persen dari seluruh belanja swasta) pada tahun 1996 menjadi
33 persen (66 persen dari 50 persen) pada tahun 2006. Dalam dolar AS
berbasis nilai tukar, belanja kesehatan meningkat dari $ AS 20 pada tahun
1996 menjadi $ AS 34 pada tahun 2006 dan dalam dolar internasional
dari $ 55 menjadi $ 87.
Ringkasan Eksekutif
| 7
Belanja kesehatan swasta telah secara historis memainkan peranan
yang lebih penting daripada belanja kesehatan pemerintah dalam
hal keseluruhan pembiayaan kesehatan di Indonesia. Namun,
kecenderungan ini mulai berubah pada kurun waktu 2005/6, dan
diharapkan belanja kesehatan pemerintah akan semakin memainkan
peranan yang kian penting pada tahun-tahun ke depan sejalan dengan
upaya pemerintah untuk memperluas Cakupan Semesta kepada
seluruh penduduk Indonesia. Pembentukan Jamkesmas/Askeskin pada
tahun 2004 telah membawa dampak, baik pada keseluruhan belanja
kesehatan maupun pada pangsa pemerintah atas belanja kesehatan.
Pembayaran dari kantong sendiri masih merupakan pangsa yang
cukup besar dari belanja kesehatan, dan tantangannya bagi pemerintah
adalah bagaimana menyalurkan pengeluaran-pengeluaran ini ke dalam
mekanisme pemusatan risiko (risk pooling) agar dapat memberikan
perlindungan yang efektif terhadap pengeluaran kesehatan yang dapat
menimbulkan masalah besar (katastrofi k) bagi masyarakat.
Walaupun ada ketergantungan historis pada belanja kesehatan
swasta, Asuransi Kesehatan Sukarela Swasta (Private Voluntary
Health Insurance/PVHI) belum berkembang baik di Indonesia.
Ketiga program pembiayaan kesehatan utama yang ada merupakan
milik pemerintah. Para pegawai negeri dan tanggungan mereka dicakup
dalam program ASKES, yang dikelola oleh badan usaha milik negara, P.T.
Askes. Jamkesmas pada awalnya dirancang untuk melayani kaum miskin
tetapi kemudian diperluas untuk juga mencakup mereka yang hampir
miskin. Pada mulanya program ini dikelola oleh ASKES tetapi pada tahun
2008 Departemen Kesehatan (Depkes) mengambil alih sebagian besar
fungsi-fungsi administratif utamanya, termasuk pembayaran kepada
para penyedia layanan. Jamsostek serupa dengan program asuransi
sosial klasik untuk para pegawai swasta yang bekerja dalam badan-
8 |
Ringkasan Eksekutif
badan usaha dengan jumlah pegawai 10 orang atau lebih dan juga
dikelola oleh sebuah badan usaha milik negara. Para pengusaha dapat
memilih untuk tidak turut serta, dengan mengasuransi sendiri atau
dengan membeli asuransi swasta bagi para pegawai mereka. Baik P.T.
Askes maupun Jamsostek juga menjual polis komersial swasta.
Ada tiga pendekatan yang mungkin ditempuh, berdasarkan
program-program pembiayaan kesehatan Indonesia yang ada
sekarang, diskusi kebijakan saat ini dan Undang-undang tahun
2004 tentang Jaminan Sosial, sebagai opsi untuk mencapai
Cakupan Semesta. Ketiga opsi tersebut akan dapat membantu
mewujudkan cakupan asuransi kesehatan semesta, dan ketiganya
memiliki jumlah peserta yang cukup besar untuk pemusatan risiko (risk
pooling) yang efektif. Lepas dari pendekatan yang dipilih, keputusan-
keputusan penting berkaitan dengan paket manfaat, mekanisme
berbagi biaya, pengaturan pembayaran/pengontrakkan dan modalitas
untuk menangani hambatan-hambatan dari sisi penyediaan pelayanan
kesehatan perlu dibuat. Ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai
berikut:
• Pendekatan pertama menyerupai Layanan Kesehatan Nasional
seperti yang ada di Sri Lanka dan Malaysia, dan termasuk di
dalamnya ekspansi program Jamkesmas yang didanai pendapatan
umum yang diawali untuk mencakup warga miskin dan hampir
miskin dan kemudian untuk seluruh penduduk.
• Pendekatan kedua menyerupai model Asuransi Kesehatan Sosial
‘baru’ (sekarang disebut Asuransi Kesehatan Wajib/AKW), di mana
sistem AKW didanai melalui kontribusi/iuran berdasarkan gaji bagi
para pegawai pemerintah dan sektor swasta (dan para pensiunan)
dan kontribusi dari pemerintah untuk membiayai kaum miskin dan
kelompok-kelompok lain yang kurang beruntung.
Ringkasan Eksekutif
| 9
• Pendekatan ketiga, yang dapat dianggap sebagai varian dari Opsi
2 atau kombinasi dari Opsi 1 dan 2, memberikan cakupan jaminan
kesehatan bagi kaum miskin dan kelompok-kelompok lain yang
kurang beruntung melalui sebuah sistem yang dibiayai oleh
pemerintah, sementara lain-lainnya dicakup melalui dana-dana
AKW lainnya, masing-masing dibiayai berdasarkan kontribusi/
iuran.
Jelaslah, opsi apapun yang dipilih, gerakan menuju cakupan
jaminan kesehatan semesta akan memiliki dampak yang besar
pada pengeluaran kesehatan Indonesia. Analisis-analisis mikro atas
biaya-biaya program yang ada saat ini dan pola-pola pemanfaatan
setelah diluncurkannya Askeskin/Jamkesmas dapat memberikan
proyeksi-proyeksi kasar atas biaya-biaya di masa yang akan datang.
Sebagai contohnya, perkiraan kasar atas biaya-biaya Jamkesmas di
masa mendatang dapat meningkat sekitar 20 persen bahkan sampai
meningkat enam kali lipat dari pengeluaran Jamkesmas saat ini,
tergantung pada skenario ekspansi cakupan dan asumsi infl asi kesehatan
yang dipilih.
Jika ekspansi tersebut dibiayai melalui belanja pemerintah, akan
ada ‘permintaan’ baru yang signifi kan agar ruang fi skal yang ada di
dalam anggaran dialokasikan untuk bidang kesehatan. Analisis biaya
yang disertakan di dalam laporan ini, walaupun kasar, memperlihatkan
pentingnya Indonesia mulai menangani kelemahan-kelemahan di dalam
sistemnya seperti telah disebut di atas, mengembangkan informasi
yang dibutuhkan untuk melakukan proyeksi-proyeksi yang lebih
canggih untuk masa depan, dan perlunya proses reformasi menangani
isu-isu sistem kesehatan yang lebih luas selain perubahan-perubahan
dalam pembiayaan. Jika, sebagai akibat dari Cakupan Semesta, belanja
10 |
Ringkasan Eksekutif
kesehatan Indonesia meningkat sampai tingkat yang setara dengan
negara-negara lain dengan penghasilan serupa, sementara negara ini
menerapkan kebijakan untuk menjamin efi siensi dan mengendalikan
biaya-biaya yang mengikuti kecenderungan historisnya, belanja
kesehatan pada tahun 2040 akan menjadi sekitar 6 persen dari PDB
dibandingkan dengan hanya lebih dari 2 persen saat ini. Jika hal itu
tidak terjadi dan Indonesia menghadapi tekanan-tekanan biaya seperti
yang dialami negara-negara industri maju di masa-masa lalu, belanja
kesehatan akan menjadi sekitar 10 persen dari PDB.
Salah satu cara untuk menilai ketersediaan ruang fi skal untuk
kesehatan adalah dengan memeriksa berbagai opsi melalui mana
sumber-sumber pembiayaan pemerintah untuk kesehatan dapat
ditingkatkan (dan/atau ditingkatkan secara de facto melalui efi siensi
belanja kesehatan dan/atau belanja publik lainnya yang ada sekarang).
Hal ini meliputi:
� kondisi-kondisi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi
dan kenaikan pendapatan pemerintah secara umum yang pada
gilirannya, mengarah pada peningkatan belanja pemerintah untuk
kesehatan;
� penyusunan ulang prioritas untuk kesehatan di dalam anggaran
pemerintah;
� peningkatan pada bantuan dan hibah asing spesifi k untuk
kesehatan;
� peningkatan pada sumber-sumber daya lainnya spesifi k untuk
kesehatan, misalkan saja melalui pemajakan dengan peruntukan
khusus atau pemberlakuan premi bagi asuransi kesehatan wajib;
dan
� peningkatan pada efi siensi pada pengeluaran kesehatan
pemerintah.
Ringkasan Eksekutif
| 11
Dari opsi-opsi yang disebutkan di atas, dua yang pertama berada di
luar jangkauan ranah sektor kesehatan per se. Tiga opsi sisanya berada
langsung pada ranah sektor kesehatan dan patut diberi perhatian
khusus karena mereka mengandung potensi untuk sumber-sumber
daya yang spesifi k sektor kesehatan.
Indonesia telah membangun landasan hukum yang luas untuk
maju menuju Cakupan Semesta, dan Dewan Jaminan Sosial
telah memfokuskan diri pada isu-isu implementasi yang spesifi k.
Pemerintah Indonesia juga telah mengadakan sejumlah studi bersama
para donor dan pemangku kepentingan lainnya yang memberikan
kontribusi yang relevan untuk pengambilan keputusan sementara
pemerintah terus mengembangkan dan mengimplementasikan
reformasi. Upaya-upaya ini memang berguna dalam hal menanam
pohon-pohon individual dalam hutan reformasi layanan kesehatan yang
kompleks, tetapi yang belum jelas sampai saat ini adalah konfi gurasi akhir
dari bentuk hutan itu sendiri dan peta jalan untuk akhirnya mencapai
tempat tersebut. Singkatnya, Pemerintah Indonesia perlu memutuskan
sistem Cakupan Semesta fi nal yang ingin dikembangkannya dan
kemudian menetapkan dengan hati-hati langkah-langkah transisi untuk
mencapai itu.
Dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan besar seperti
itu, Indonesia seperti juga banyak negara lainnya kekurangan
informasi kritis, baik berupa kebijakan dan data, yang dibutuhkan
untuk pengambilan keputusan yang berdasarkan informasi. Selain
itu, pilihan kebijakan secara makro dari Cakupan Semesta dan langkah-
langkah transisi menuju Cakupan Semesta hanya dapat dilakukan
bersamaan dengan pilihan-pilihan kebijakan yang sifatnya spesifi k
12 |
Ringkasan Eksekutif
mengenai isu-isu yang lebih mikro seperti penentuan kelompok-
kelompok yang berhak dicakup oleh program, mekanisme penetapan
sasaran, syarat-syarat kontribusi/iuran (individu, badan usaha, dan
pemerintah), mekanisme pembayaran penyedia layanan dan tingkat-
tingkatnya, serta kondisi lingkungan ekonomi makro di masa yang akan
datang. Pilihan-pilihan kebijakan yang rasional perlu didasarkan pada baik
dampak kuantitatif maupun kualitatif dari kebijakan-kebijakan tersebut
pada, antara lain, status kesehatan (outcome), perlindungan keuangan,
respons terhadap konsumen, akses, kepemerataan, efi siensi, biaya-biaya
(pemerintah dan swasta) dan keberlanjutan ekonomi makro.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman global, isu-isu kebijakan
penting berikut ini harus menjadi bagian dari kerangka
implementasi cakupan jaminan kesehatan menyeluruh:
1. Dibutuhkan pengembangan lebih lanjut pada Data untuk
Pengambilan Keputusan (Data for Decision making, DDM) seperti
pemutakhiran Data Akuntansi Kesehatan Nasional (NHA), data-data
klaim dari program-program yang ada, dan analisis-analisis biaya,
tingkat pemerataan (ekuitas), insiden manfaat untuk menganalisis
opsi-opsi kebijakan. Penting untuk memberikan prioritas bagi
pengembangan baseline aktuarial dari program-program asuransi
kesehatan yang ada sekarang dan yang diusulkan di masa yang
akan datang serta mendapatkan perkiraan-perkiraan yang lebih
baik akan respons-respons konsumen maupun pemasok terhadap
perubahan-perubahan dalam cakupan asuransi. Analisis ini juga
harus menyertakan pengkajian atas Paket-paket Manfaat Dasar
(PMD) yang ada, baik dalam hal keekonomisannya maupun
perlindungan keuangan terhadap pengeluaran langsung dari
kantong sendiri yang berlebihan, untuk memungkinkan adanya
pilihan-pilihan rasional atas PMD di bawah reformasi Cakupan
Semesta;
Ringkasan Eksekutif
| 13
2. Pengkajian awal berkaitan dengan hambatan-hambatan dari sisi
penyediaan pelayanan kesehatan yang berkaitan baik dengan
infrastruktur manusia maupun fi sik, menggarisbawahi sejumlah
bidang penting di mana inefi siensi masih perlu diperbaiki dan
bidang-bidang lainnya yang akan mengalami tekanan yang lebih
besar seiring dengan perubahan-perubahan pada aspek demografi ,
gizi dan epidemiologi;
3. Berdasarkan pengkajian sektor farmasi dan identifi kasi awal atas
peluang-peluang potensial dalam ekspansi Asuransi Kesehatan
Wajib, Pemerintah Indonesia disarankan untuk mengadakan
evaluasi lebih lanjut atas kebijakan-kebijakan sektor farmasi dan
atas perubahan-perubahan yang dibutuhkan untuk membantu
implementasi reformasi Cakupan Semesta
4. Desentralisasi yang tengah berjalan dan reformasi Cakupan Semesta
perlu didukung dengan penegasan atas peran-peran Depkes
di masa yang akan datang berkaitan dengan kesehatan publik
dan fungsi-fungsi kepemimpinan serta pembiayaan yang masih
dipegangnya dalam kaitannya dengan dengan sistem asuransi
publik. Dalam peran kepemimpinannya yang lebih luas, Depkes
juga harus memberi prioritas yang tinggi untuk menilai pengaruh
kebijakan-kebijakan di sektor-sektor yang lain yang mempengaruhi
kesehatan seperti pada sektor air dan pendidikan, termasuk juga
mengkaji kebutuhan akan kebijakan-kebijakan tambahan dari sisi
permintaan seperti Bantuan Langsung Tunai Bersyarat;
5. Setelah Pemerintah mengambil keputusan-keputusan berkaitan
dengan opsi-opsi pembiayaan sebagai bagian dari roadmap menuju
Cakupan Semesta, penting untuk mengembangkan, bereksperimen
dengan, dan mengevaluasi dampak berbagai alternatif mekanisme
pembayaran bagi para penyedia layanan terutama dalam hal biaya,
kualitas dan akses;
14 |
Ringkasan Eksekutif
6. Lingkup struktur administratif yang dibutuhkan untuk
melaksanakan reformasi perlu ditetapkan, termasuk menilai biaya-
biaya administratifnya dan mengembangkan sistem-sistem untuk
menjamin kualitas, menilai efi siensi serta mengevaluasi dampak-
dampak reformasi;
7. Pengalaman berbagai daerah yang kaya dalam upaya menyediakan
cakupan jaminan asuransi kesehatan perlu ditelaah dengan seksama
karena ‘eksperimen-eksperimen alamiah’ ini merupakan sumber
informasi yang berharga bagi upaya-upaya Cakupan Semesta di
tingkat nasional; dan
8. Upaya mewujudkan Cakupan Semesta kemungkinan besar akan
membutuhkan peningkatan pengeluaran pemerintah yang
sangat besar, tidak perduli opsi mana pun yang dipilih. Untuk
itulah, dibutuhkan adanya perhatian yang tidak terputus untuk
mengevaluasi situasi makro Indonesia di masa depan, termasuk
prioritas-prioritas yang saling bersaing di tengah krisis keuangan
dan ekonomi global yang tengah terjadi, dan penting juga untuk
menilai kebutuhan untuk merubah struktur fi skal antar pemerintah
yang ada saat ini.
Keberhasilan reformasi Cakupan Semesta membutuhkan
penerapan secara bertahap dan hati-hati dari kebijakan-kebijakan
yang bertarget jelas, efektif dan masuk akal secara fi skal. Dewan
Jaminan Sosial dan Depkes telah mengambil langkah-langkah
pertama yang penting, tetapi masih dibutuhkan lebih dari sekedar
itu. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM),
upaya internal Depkes sendiri untuk mengembangkan Renstranya,
dan implikasi pengeluaran yang potensial besar sekali serta mungkin
tak dapat tercukupi (dalam jangka pendek karena krisis ekonomi global
Ringkasan Eksekutif
| 15
sekarang) dari ekspansi asuransi kesehatan kepada sekitar 76 juta warga
miskin dan hampir miskin, menjadikan saat ini adalah waktu yang ideal
untuk memfokuskan ulang upaya-upaya kita pada rangkaian kebijakan
menyeluruh yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan reformasi
Cakupan Semesta dengan efektif.
Recommended