View
56
Download
28
Category
Preview:
DESCRIPTION
mood
Citation preview
GANGGUAN MOOD
A. KARAKTERISTIK UMUM GANGGUAN MOOD
1. Depresi-Gejala dan Simtom
Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan
yang amat sangat, perasaan yang tidak berarti dan bersalah, menarik diri dan orang
lain, dan tidak dapat tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual, dan minat serta
kesenangan dalam aktifitas yang biasa dilakukan.
Depresi seringkali berhubungan dengan berbagai masalah psikologis lain seperti
serangan panik, penyalahgunaan zat, disfungsi seksual, dan gangguan kepribadian.
Simtom dan gejala-gejala depresi cukup bervariasi tergantung tingkatan usia.
Depresi pada anak-anak mengakibatkan berbagai keluhan somatik, seperti sakit
kepala atau sakit perut.pada orang-orang tua depresi ditandai oleh ketidakmampuan
untuk memusatkan perhatian dan keluhan hilangnya memori.
Simtom-simtom depresi juga menunjukan beberapa variasi antarbudaya, hal ini
mungkin disebabkan oleh berbagai perbedaan standar budaya mengenai perilaku yang
diterima. Contoh: keluhan sakit saraf dan kepala lebih umum terjadi pada etnis latin,
dan lemah serta fatik dilaporkan umum terjadi pada etnis asia.
2. Mania-Gejala dan Simtom
Mania adalah kondisi emosional atau mood yang intens, namun merupakan
kegembiraan amat sangat yang tidak beralasan atau mudah tersinggung yang disertai
hiperaktivitas, banyak berbicara, pikiran yang melompat-lompat, perhatian yang
mudah teralih, dan rencana yang tidak praktis serta kebesaran (grandiose).
Orang yang berada dalam suatu episode manik yang dapat berlangsung beberapa
hari hingga beberapa bulan dapat segera dikenali melalui rentetan kata-kata yang
diucapkan dengan keras dan tanpa henti, terkadang penuh dengan kata-kata konyol,
gurauan, puisi dan komentar tentang berbagai objek dan kejadian disekitar yang
menarik perhatian si pembicara.
3. Daftar Diagnostik Resmi Gangguan Mood
Dua gangguan mood yang terdapat dalam DSM-IV-TR adala h depresi
mayor/depresi unipolar dan gangguan bipolar.
Diagnosis Depresi. Diagnosis resmi depresi mayor dalam DSM-IV-TR
memerlukan mood depresi atau hilangnya minat dan kesenangan yang berlangsung
selama sekurang-kurangnya dua minggu. Penegakan diagnosis memerlukan empat
simtom tambahan, seperti gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi,
perasaan tidak berarti, pikiran untuk bunuh diri, dan sulit berkonsentrasi.
Gotlib, Lewinsohn, dan Seeley (1995) menemukan bahwa individu yang
mengalami kurang dari lima simtom, yaitu yang mengalami depresi subklinis juga
mengalami kesulitan dalam keberfungsian psikososial sama besar dengan individu
yang memenuhi persyaratan formal bagi diagnosis depresi.
Depresi mengalami kecenderungan untuk berulang. Sekitar 80% pendeita
kembali mengalami episode, rata-rata jumlah episode yang berlangsung selama tiga
sampai lima bulan adalah sekitar empat episeode.
Diagnosis Gangguan Bipolar. Gangguan bipolar I merupakan gangguan yang
mencakup episode mania atau episode campuran yang mencakup simtom-simtom
mania yang depresi. Sebagian besar individu yang menderita gangguan bipolar I juga
mengalami episode depresi.
Gangguan bipolar lebih sedikit terjadi dibanding depresi mayor, dengan angka
prevalensi sepanjang hidup berkisar 1% dari populasi. Rata-rata berusia 20-an dan
tingkat kejadiannya sama banyak pada laki-laki dan perempuan. Gangguan bipolar
cenderung berulang, lebih dari 50% kasus mengalami empat episode atau lebih.
4. Heterogenitas dalam Kategori
Masalah dalam klasifikasi gangguan mood adalah heterogenitasnya yang sangat
besar, orang-orang yang mendapatkan diagnosis sama dapat sangat berbeda satu sama
lain. Beberapa pasien gangguan bipolar, contohnya mengalami seluruh simtom-
simtom mania dan depresi hampir setiap hari yang disebut episode campuran.
Beberapa pasien lain hanya mengalami simtom-simtom mania atau depresi selama
episode klinis. Beberapa pasien lain mengalami episode depresi mayor yang disertai
hipomania.
5. Gangguan Mood Kronis
DSM-IV-TR mencntumkan dua gangguan yang yang berlangsung lama atau
kronis dimana terganggunya mood merupakan ciri dominan, simtom-simtom
gangguan ini harus terjadi selama sekurang-kurangnya dua tahun namun dianggap
tidak cukup banyak/tidak cukup menghambat keberfungsian sosial atau pekerjaan
sehingga tidak dapat didiagnosis sebagai episode depresif mayor atau manik.
Gangguan siklomatik, penderita sering mengalami berbagai periode mood
tertekan dan hipomania. Orang-orang yang menderita gangguan siklomatik dapat
mengalami serangkaian simtom berpasangan dalam periode depresi dan
hipomania yang mereka alami. Saat dalam depresi mereka merasa dirinya tidak
mampu, saat dalam hipomania harga diri mereka melambung. Mereka menarik
diri dari orang-orang kemudian mendekati mereka dengan gaya sangat terbuka.
Mereka tidur terlalu banyak dan terlalu sedikit.
Gangguan dismitik, orang yang menderita gangguan dismitik mengalami depres
kronis. Selain merasa sedih dan hanya merasakan sedikit kesenangan, dalam
berbagai aktivitas dan hobi yang biasa dilakukan, orang yang bersangkutan
mengalami beberapa gejala depresi, seperti insomnia atau terlalu banyak tidur,
merasa tidak mampu, tidak efektif dan kurang energi, pesimis, tidak mampu
berkonsentreasi dan untuk berpikiran jernih, dan keinginan untuk menghindari
orang lain.
Siklotimia dan distimia seringkali dianggap sebagai gangguan mood yang tidak
parah. Namun suatu studi perspektif longitudinal yang dilakukan baru-baru ini yang
memantau para pasien depresi dan distimia selama lima tahun menemukan bahwa
para pasien distimia mengalami simtom-simtom mood yang lebih parah memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mencoba bunuh diri dan dirawat dirumah sakit, dan
mengalami lebih banyak hendaya dibanding para pasien depresi (Klein dkk, 2000).
6. Gangguan Mood dan Kreativitas
Kay Jamison, seorang ahli gangguan bipolarmengumpulkan sejumlah besar data
yang mengaitkan gangguan mood, terutama gangguan bipolar, dengan kreativitas
artistik. Daftar para seniman, komposer dan penulis yang mengalami gangguan mood
sangat banyak, diantaranya Michelangelo, Van Gogh, Tchaikovsky, Schumann,
Gauguin, Tennyson, Shelley dan Whitman. Kondisi manik mendorong kreativitas
melalui mood yang melambung, peningkatan energi, pikiran yang bergerak cepat dan
kemampuan menghubungkan berbagai ide yang secara normal tidak akan terhubung.
Suatu analisis yang menarik tentang komposisi musikal Robert Schumann,
Weisberg (1994) menunjukkan bahwa Schumann menciptakan lebih banyak karyanya
dalam periode hippomania dibandingkan periode depresi. Weisberg menympulkan
bahwa berbagai perubahan mood memengaruhi motivasi untuk menciptakan karya-
karya kreatif dan bukan memengaruhi proses kreatif itu sendiri.
7. Gangguan Mood dan Emosi
Sejumlah studi menunjukkan bahwa para penderita depresi menunjukan lebih
sedikit ekspresi wajah positif dan menuturkan memiliki lebih sedikit emosi
menyenangkan ketika mendapatkan stimulus yang menyenangkan dibandingkan
dengan orang-orang yang tidak menderita depresi (Barenbaum & Oltmanns, 1992;
Sloan dkk,. 1997; Sloan, Straus & Wisner, 2011). Dengan menggunakan metode
psikofisiologis yang disebut elektrokortikal potensial, Deldin dan para koleganya
(2011) menemukan bahwa para penderita kurang merespons stimuli positif dibanding
orang-orang yang tidak menderita depresi.
B. TEORI PSIKOLOGIS TENTANG GANGGUAN MOOD
1. Teori Psikoanalisis Depresi
Freud berteori bahwa potensi depresi diciptakan pada awal masa kanak-kanak.
Dari peristiwa masa kanak-kanak tersebut, bagaimana bisa setelah dewasa menderita
depresi? Penalaran yang kompleks didasarkan pada suatu analisis terhadap rasa
berduka. Freud mengemukakan hipotesis bahwa setelah kehilangan seseorang yang
dicintai, orang yang bersangkutan meleburkan dirinya dengan orang yang
meninggalkannya sebagai upaya sia-sia untuk mengembalikan kehilangan tersebut.
Freud berpendapat, secara tidak sadar kita menyimpan berbagai perasaan negatif
terhadap orang-orang yang kita cintai, orang yang bersangkutan kemudian menjadi
objek kebencian dan kemarahannya sendiri. Selain itu, orang yang bersangkutan tidak
suka diabaikan dan merasa bersalah atas dosa-dosanya yang nyata atau yang
dibayangkan terhadap orang yang meninggalkannya tersebut.
Menurut teori tersebut, kemarahan orang yang ditinggalkan kepada orang yang
meninggalkannya terus-menerus dipendam, berkembang menjadi proses
menyalahkan diri sendiri, menyiksa diri sendiri dan depresi yang berkelannjutan.
Teori ini merupakan dasar pandangan psikodinamika yang diterima secara luas yang
menganggap depresi sebagai kemarahan terpendam yang berbalik menyerang diri
sendiri.
2. Teori Kognitif Depresi
Teori Beck mengenai depresi, orang-orang yang depresi mengembangkan skema
negatif (suatu kecenderungan untuk melihat lingkungan secara negatif) melalui
kehilangan orang tua, tragedi yang terjadi susul-menyusul, penolakan sosial oleh
teman-teman sebaya, kritik para guru atau sikap depresif para orang tua.
Skemata negatif, bersama dengan penyimpangan kognisi membentuk apa yang
disebut oleh Beck sebagai negative triad: pandangan yang sangat negatif
tentang diri sendiri, dunia dan masa depan.
Beberapa penyimpangan kognitif utama pada individu yang depresi menurut
Beck:
Kesimpulan yang subjektif (arbitrary inference) : suatu kesimpulan yang
diambil tanpa bukti-bukti cukup atau tanpa bukti sama sekali. Contohnya,
seorang laki-laki menyimpulkan bahwa ia tidak berguna karena hujan turun
ketika ia mengadakan pesta kebun.
Abstraksi selektif (selective abstraction) : suatu kesimpulan yang
diambil hanya berdasarkan satu elemen dalam banyak elemen dalam suatu
situasi. Contohnya, seorang pekerja merasa tidak berguna ketika suatu
produk gagal berfungsi meskipun ia hanya salah satu dari sekian banyak
orang yng berperan dalam produksinya.
Overgenerlisasi : suatu kesimpulan menyeluruh yang diambil
berdasarkan satu peristiwa tunggal yang mungkin tidak penting.
Contohnya, seorang mahasiswa menganggap prestasinya yang buruk dalam
satu mata kuliah pada suatu hari sebagai bukti final atas ketidakbergunaan
dirinya dan kebodohannya.
Magnifikasi dan Minimisasi : melebih-lebihkan dalam menilai kerja.
Contohnya, seorang laki-laki yakin bahwa ia telah sepenuhnya merusakkan
mesinnya (magnifikasi) ketika ia melihat goresan kecil di bamper belakang,
menanggap dirinya tidak mampu dalam hal apapun. Seorang perempuan
yakin dirinya tidak berguna (minimisasi) terlepas dari berbagai prsetasi
yang pantas dipujji yang terus-menerus dicapainya.
Evaluasi teori Beck. Ada 2 isu dalam mengevaluasi teori Beck. Pertama, apakah
pasien depresi berbeda dengan individu yang tidak depresi, berpikir secara
negatif seperti dikatakan Beck. Kedua, apakah keyakinan negatif orang-orang
yang depresi timbul karena depresi yang dialami atau faktanya menyebabkan
mood depresi. Beck dan beberapa peneliti lain menemukan bahwa depresi dan
beberapa pola pikir tertentu memiliki korelasi, namun hubungan sebab akibat
yang spesifik tidak dapat ditemukan dari data semacam itu; depresi dapat
menyebabkan pola pikir negatif atau pola pikir negatif yang menyebabkan
depresi.
Terlepas dari ketidakpastian, teori Beck memiliki kelebihan, yaitu dapat diuji,
dan telah mendorong banyak penelitian mengenai penanganan depresi. Karya
Beck telah mendorong para terapis untuk langsung memfokuskan pada pola
pikir para pasien depresi untuk mengubah perasaan mereka.
Teori Ketidakberdayaan/Keputusasaan, membahas evolusi sebuah teori kognitif
tentang depresi yang berpengaruh yang memiliki 3 teori :
Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Premis dasar
teori ini adalah kepasifan individu dan perasaan tidak mampu bertindak dan
mengendalikan hidupnya terbentuk melalui pengalaman yang tidak
menyenangkan dan trauma yang tidak berhasil dikendalikan oleh individu,
menimbulkan rasa tidak berdaya yang kemudian memicu depresi. Teori ini
bermula sebagai teori pembelajaran mediasional yang diformulasikan untuk
menjelaskan perilaku anjing yang mendapat kejutan listrik yang tidak
mungkin dihindari. Seligman (1974) berpendapat bahwa hewan
mengembangkan rasa tidak berdaya ketika duhadapkan pada stimulasi
menyakitkan yang tidak dapat dikendalikan. Selanjutnya rasa tidak berdaya
tersebut melemahkan kinerja mereka dalam situasi penuh stress yang tidak
dapat dikendalikan. Seligman menyimpulkan bahwa learned helplessness
pada hewan dapat menjadi model bagi sekurang-kurangnya beberapa
bentuk tertentu depresi manusia.
Atribusi dan learned helplessness. Seorang menjadi depresi menurut
teori ini bila mereka mengatribusikan berbagai peristiwa kehidupan yang
negatif pada berbagi penyebab yang stabil dan global. Apakah harga diri
juga hancur akan tergantung pada apakah mereka menyalahkan
ketidakmampuan mereka atas hasil yang buruk tersebut. Individu yang
memiliki kecenderungan depresi diperkirakan memiliki gaya atribusional
depresif, yaitu suatu kecenderungan untuk mengatribusikan hasil-hasil yang
buruk pada kesalahan karakter pribadi, global dan stabil. Bila orang yang
memiliki gaya ini mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan dan
menyakitkan (stressor), mereka menjadi depresi.
Teori Keputusasaaan. Beberapa bentuk depresi disebabkan oleh kondisi
putus asa yaitu kondisi adanya suatu ekspektasi bahwa hasil yang
diinginkan tidak akan terjadi atau yang tidak diinginkan akan terjadi dan
orang yang bersangkutan tidak dapat memberikan respon untuk mengubah
situasi tersebut. Seperti halnya dengan reformasi atribusional dimana
peristiwa negatif didalam hidup dianggap dapat berinteraksi dengan
diathesis dan dapat menimbulkan kondisi keputusasaan. Salah satu
diathesis adalah pola atribusional dari berbagai peristiwa negatif pada
faktor yang stabil dan global. Meskipun demikian, teori keputusasaan
dewasa ini mempertimbangkan adanya kemungkinan diathesisi yang lain
seperti harga diri yang rendah dan kecenderungan untuk menyimpulkan
peritiwa negatif dalam hidup menyebabkan konsekuensi yang berat.
Suatu studi yang dilakukan oleh Metalsky dan para koleganya menemukan
bahwa mahasiswayang harga dirinya rendah dimediasi oleh perasaan putus asa. Dan
studi yang sama juga dilakukan terhadap anak-anak yang yang duduk dikelas enam
dan tujuh memberikan hasil yang sama. Lewinshon memnemukan bahwa gaya
atribusional depresif dan harga diri yang rendah mempredikssi terjadinya depresi
pada masa remaja.
Kelebihan teori keputusasaan adalah teori ini dapat langsung menjawab masalah
komordibitas depresi dan gangguan anxieentas. Teori ini menjadi tantangan bagi
banyak teori karena teori lain hanya terkait dengan satu diagnosis. Allow menunjukan
beberapa karakteristik penting mengenai komordibitas tersebut. Pertama, kasus
kecemasan tanpa depresi relatif umum namun kecemasan tanpa depresi jarang terjadi.
Kedua,berbagai studi longitudinal mengungkapkan berbagai diagnosis kecemasan
mendahului depresi. Berdasarkan bukti terdahlu Allow dan koleganya berpendapat
bahwa ekpektasi ketidakberdayaan menimbulkan kecemasan. Bila ekspektasi
ketidakberdayaan menjadi kepastian timbul suatu sindrom dengan elemen depresi dan
kecemasan. Terakhir, jika kemungkinan yang dilihat mengenai terjadinya berbagai
peristiwa negatif menjadi suatu kepastian, timbul keputusasaan.
3. Berbagai Isu Dalam Teori Ketidakberdayaan Atau Keputusasaan.
1. Seligman mencoba menyebutkan kesamaan antara learned helplessness dan apa
yang biasa disebut dengan depresi reaktif, yaitu depresi yang diperkirakan muncul
karena peristiwa hidup yang penuh dengan stress. namun penelitian saat ini tidak
mendukung validitas tipe reaksi. Abramson yang sekarang bicara mengenai depresi
karena keputus asaan, merujuk pada asumsi penyebab depresi dan serangkaian
simpton tidak sesuai denagn kriteria DSM.
2. Bukti-bukti yang didapatkan hasil dari BDI (Block Depression Inventori) sebagai
alat ukur dalam memprediksi onset depresi klinis menunjukan menyeleksi subjek
hanya berdasarjan skor BDI tidak menghasilkan kelompok yang berperan sebagai
analogi yang baik bagi orang-orang yang menderita depresi klinis. Orang-orang skor
tinggi belum tentu yang menderita depresi klinis . lebih jauh lagi Hemmen
menemukan bahwa orang yang memiliki skor tinggi tersebut mempreoleh skor yang
lebih tinggi ketika diuji ulang dalam waktu dua atau tiga minggu kemudian.
3. Sebuah asumsi penting dalam teori ketidakerdayaan atau keputusasaan adalah gaya
atribusi depresif merupakan bagian tetap dari karater orang-orang yang depresi,. Gaya
atribusi depresi pasti sudah dimiliki ketika seseorang mengalami beberapa stresor.
4. Teori Interpersonal Depresi
Para individu yang deprsi cenderung memiliki sedikit jaringan sosial dan
beranggapan bahwa jaringan sosial hanya memberikan sedikit
dukungan .berkurangnya dukungan sosial dapat melemahkan kemampuan individu
untuk mengatasi berbagai peristiwa hidup yang negatif.(a.l Bilings)
Kurangnya dukungan sosial kemungkinan disebabkan oleh fakta bahwa orang-orang
yang depresi memiliki reaksi negatif terhadaporang lain. Ciri depresi ini telah diteliti
mulai dari cara melakukan percakapan telepon dengan pasien depresi, mendengarkan
rekaman percakapan pasien depresi hingga berpartisipasi dalam interaksi tatapmuka.
Data menunjukan orang yang depresi menimbulkan penolakan. Contohnya interaksi
dengan teman sekamar memiliki kontak yang kurang yang menyenagkan dan agresi
yang tingggi.
Untuk itu tidak mengherankan bila depresi dan perpecahan dalam perkawinan sering
terjadi bersamaan. Berbagai komentar yang berbada mengkritik dari pasangan
orang-orang yang depresi merupaka prediktor signifikan bagi berulangnya depresi.
Pasangan yang salah satu dari mereka mengalami gangguan mood menuturkan
kurangnya kepuasan dalam perkawinan daripada pasangan yang tidak memiliki
riwayat gangguan mood.
Studi menunjukan bahwa perilaku non verbal ornag-orang yang mengalami depresi
dapat berperan penting dalam hal yang lain. Penelitian yang lebih mutakhir menggali
pemikiran bahwa perilaku terus menerus mencari dukungan membuat orang lain
terganggu. Konsep diri mereka ynag negatif membuat mereka meragukan kebenaran
umpan balik positif yang mereka terima, dan upaya mereka untuk terus menerus
diyakinkan akhirnya membuat orang lain merasa jengah. Kemudian mereka benar-
benar mencari umpan balik neatif yang dalam satu hal memvalidasi konsep diri
menerka yang negatif . penolakan kahirnya terjadi dikarenakan sikapp tidak konsisten
dari orang-orang yang mengalami depresi.
Hal yang penting dalam teori interpersonal mengenai depresi adalah fakta bahwa
hubungan interpersonal bersifat bi-directional. Dengan demikina bila pada individu
yang depresi secara pasti dapat memicu reaksi negatif dari orang yang berinteraksi
dengan mereka. Dan akhirnya memberikan dampak negatif terhadap hubungan
interpersonal mereka.
Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan kausal antara hubungan
interpersonal dengan depresi. Contohnya perilaku murid-urid yang orang tuanya
depresi dinilai secara negatif oleh teman-teman mereka dan para guru. Kompetensi
sosial yang renda memprediksionset depresi padaanak-anak usia sekolah.
Keterampilan penyelesaian masalah interpersonal yang rendah memprediksi
peningkatan kondisi depresi pada remaja. Dan perpecahan dalam perkawinan
memicu terjadinya depresi dalam sample komunitas.
5. Teori Psikologis Gangguan Bipolar
Seperti halnya dalam depresi unipolar, stres kehidupan tampaknya berperan penting
dalam memicu berubah-uahnya mood pada gangguan bipolar. Dalam suatu studi
Jhonsson menemukan bahwa sukungan sosial memprediksi pemulihan yang lebih
cepat serta berkurangnya simtom-simtom depresif, namun tidak demikian dengan
simtom manik. Dalam suatu studi mengenai faktor kognitif, gaya atribusi
memprediksikan meningkatnya simtom depresi pada pasien bipolar.
Fase manik pada gangguan ini oleh sementara orang dipandang sebagian orang
dipandang sebgai pertahanan terhadap kondisi psikologisynag merusak. Kondisi
spesifik yang dihindari bervariasi antar berbagai teori. Pengalaman klinis dengan
pasien manik menunjukan bahwa mereka relatif dapat menyesuaikan diri dengan baik
ketika berada dalam episode-episode tersebut. Akan tetapi jika fase ini menjadi
pertahanan diri oleh pasien manik maka mereka bisa saja tidak menunjukan kondisi
yang akurat.
Subuah tes yang dilakukan oleh winters kepada pasien bipolar dan orang normal.
Yakni tes inventori dan tes memori. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang
diharapkan. Dalam pengukuran terhadap harga diri dengaan menggunakan tes tertulis,
para peserta merupakan pasien manik dan bukan pasien ynag memiliki skor yang
lebih tinggi terhadap skor depresi. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa
harga diri para peserta mnik dapat sangat rendah
C. Tes Biologis Gangguan Mood
1. Data Genetik
Penelitian mengenai faktor-faktor genetik dalam gangguan bipolar dan depresi
unipolar menggunakan metode keluarga, orang kembar, orang yang diadopsi. Sekitar
10 – 25 % kerabat tingkat pertama mengalami suatu episode gangguan mood
resikonya menjadi lebih tinggi di kalangan kerabat pasien yang mengalami gangguan
tersebut pada usia yang muda. Rata-rata dalam 18 studikeluarga mengenai gangguan
bipolar , resiko bagi kerabat tingkat pertama 6,45 persen. Secara keseluruhan tingkat
kesesuai untuk gangguan bipolar pada kembar identik adalah sekitar 70 persen dan
kembar faternal 25%. Informasi mengenai depresi unipolar mengidentifikasikan
bahwa faktor genetik meskipun berpengaruh kuranng berperan dibandingkan resiko
normal. Terlebih lagi, resiko ynag mereka miliki untuk depresi unipolar kurang dari
resiko yang dimiliki para kerabat pasien gangguan bipolar.
Timbulnya deprsi pada usia muda, adanya delusi dan komordibits memberikan resiko
ynag lebih tinggi pada kerabat.
Analisis keterikatan juga telah diterapkan pada gangguan mood. Pada suatu
keterikatan terhadap kaum old order amish menemukan hipotesis yang mendukung
hiotesis bahwa gangguan bippolar disebabkan oleh gen dominan pada kromoson ke
11. Penelitian mengenai keterikatan terus dilakukan dan fokusnya diperluas hingga ke
gen lain pada kromoson lain.
2. Neurokimia Dan Gangguan Mood
Ada dua neurokimia yang sering dipelajari dalam bab ini yaitu noreephinephrin dan
serotonin. Noreephinephrin merupakan yang paling relevan dengan gangguan
bipolar.. kadar noreephinephrin yang rendah memicu depresi dan kadar yang tinggi
memicu mania. Teori serotonin menyatakan bahawa kadar serotoin yang rendah
menimbulkan depresi.
Cara kerja obat-obat yang digunakan untuk menengani depresi memberikan berbagai
petunjuk yang mendasari kedua teori tersebut. Obat-obatan trisklik merupakan obat
anti depresan yang dinamai karena memiliki tiga cincin yang saling menyatu. Obat
tersebu pencegah pengembalian norephinephrin dan serotonin oleh saraf perangsang.
Bila dipelajari lebih lanjut maka kita akan menemukan bahwa cara kerja obat tersebut
menunjukan bahwa depresi dan mania memiliki keterikatan dengan serotonin dan
norephinephrin.
Terlepas dari berbagai masalah tersebut, apa yang dapat dikatakan tentang validitas
teori yang mengaitkan rendahnya kadar norephinephrin atau serotonin? Pertama
Bunney dan Murphy meneliti kadar norephinephrin dalam urin pada sekelompok
orang yang sering mengalmai siklus depresi mania dan kenormalan. Kadar
noreephinephrin berkurang ketika pasien mengalami depresi. Dan meningkat ketika
mengalami mania. Hal ini mengonfirmasi bahwa kadar norephinphrin yang rendah
memiliki kaitan dengan depresi dan kadar yang tinggi memiliki kaitan dengan mania.
Bidang peneitian mencakup metabolit utama norephinephrin. Norephinephrin yang
rendah semestinya tercatum dalam rendahnya kadar MHPG.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa obat-obatan anti depresan yang efektif akna
meningkatkan kadar norephinephrin dan serotonin dan bahwa pengetahuan tentang
cara kerjanya menjadi landasan penting teori norephinephrin dan serotonin mengenai
depresi. Namun, ternyata penjelasan efek terapeutik trisklik dan penghambat MAO
tidak semata-mata tergantung pada peningkatan kadar neorotransmitter. Berbagai
temuan terdahulu memang benar trisklik dan penghambat MAO meningkatkan kadar
norephineprin dan serotonin saat pertama kali di konsumsi, namun setelah beberapa
hari kadar norephinephirin kemali seperti semula. Baik Trisiklik maupun
MAOmemerlukan waktu 7 hingga 14 hari untuk menghilangkan depresi. Namun pada
saat itu kadar neorophinephrin telah kembali seperti semula.
Penelitian lain mengenai gangguan bipolar memfokuskan pada terganggunya cara
serotonin mengatur jaalur do[amin tertentu yang melibatkan daerah ventral tegmental
otak. Jalur tersebut terkait dengan motivasi dan perilaku imbalan.
3. Sistem Neoendokrin
Bagian limbik pada otak sangat terkait dengan emosi dan juga mempengaruhi
hipotalamus. Hipotalamus kemudian juga mengatur kelenjar pituitari dan hormon
yanng dihasilkannya. Karena releansinya denngan simptom vegetatif pada depresi
seperti gangguan makan dan tidur.
Kadar kortisol yang tinggi apda pasien depresi kemungkinan terjadi karena sekresi
yang berlebihan sehingga meningkatkan pembesaran kelenjar adrenalin. Sekresi yang
terus menerus dikaitak dengan kerusakan kelenjar adrenalin dan kerusakan
hipokampus.
Penelitian mengenai penyakit yang disebut sindrom Cushing juga mengaitkan kadar
kortisol yang tinggi dengan depresi. Pertubuhan abnormal pada korteks adrenal
menyebabkan sekresi kortisol yang berlebihan sehingga memiliki relevansi dengan
gangguan bipolar.
Hal ini membuktikan bahwa gangguan mood memiliki berbagai penyebab biologis.
4. Teori Terpadu Gangguan Bipolar
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa ganggguan bipolaar mencerminkan suatu
gangguan dalam sistem motivasional yang disebut sistem aktifasi behavioral atau
BAS. Sistem bas memmotivasi kita untuk mencari dan mendapatkan imbalan dasri
lingkungan dan hal itu terkait dengan emosional positif dan berbagai karakteristik
kepribadian seperti ekstraversi, meningkatkan energi dan berkurangnya kebutuhan
tidur. Secara biologis, sistem BAS melibatkan neurotransmitter dopamin yang sering
terkait dengan perilaku imbalan.
Penelitian yang dilakukan oleh Jhonsoon mengeai self report menyatakan berbagai
peristiwa kehidupan yang berkaitan dengan mencapai tujuan atau imbalan seperti
diterima di program sarjana atau memperoleh pekerjaan baru, memprediksi
peningkatan simton mania. Meskipun demikian berbagai peristiwa lain yang positif
dalam hidup, tidak memiliki perubahan terhadap simtom mania dan berbagai
pencapaian tujuan tidak memiliki kaitan dengan perubahan simton depresi.
D. Terapi Gangguan Mood
1. Terapi Psikologi Depresi
Terapi Psikodinamika
Depresi dianggap terjadi karena rasa kehilanngan yang direpres dan kemarahan yang
secara tidak sadar diarahkan kedalam diri , terapi ini berusaha membantu pasien
untuk memperoleh insigh atas konflik yang direpres dan sering kali mendorong
pelepasan agresifitas yang serin kali di arahkan kedalam diri. Tujuan terapi ini adalah
mengungkan motivasi laten atas depresi yang dialami pasien. Contohnya seseorang
dapat saja menyalahkan dirinya atas kurangnya kasih sayang dari orang tuanya.
Pertama terapis harus memandu pasien untuk menghadapi fakta bahwa itu memiliki
perasaan demikian mungkin membantu pasien menyadari perasaan bersalah itu tidak
mendasar.
Hanya sedikit penelitian mengenai efektifitas dati terapi psikodinamika untuk
menyembuhkan depresi dan hasilnya bervariasi. Sebagian karena tingkat variabilitas
yang tinggi diantara berbagai pendekatan dalam terapi psikodinamika. Berbagai
temuan menunjukan bahwa terapi ini berkonsentrasi pada interaksi masa sekarang
antara ornag-orang yang menderita depresi dengan lingkungan sosial- terapi
interpersonal dari klerman yang terbukti dapat menyembuhakan deprei unipolar.
Inti terapi ini membantu pasien yang mengalami depresi mempelajari perilaku
interpersonal saat ini dapat menjadi hambatan untuk mendapatkan kegembiraan
dalam hubunga n dengan orang lain. Terapi psikodinamika tidak bersifat intrapsikis
terapi ini menitik beratkan pada pemahaman yang lebih baik terhadap berbagai
masalah interpersonal. Yang diasumsikan memicu terjadinya depresidan bertujuan
memperbaiki hubungan dengan orang lain.
oleh karena itu fokusnya pada komunikasi yang lebih baik, pengujian relitas
mengembangan keterampilan sosial yang efektif, dan memenuhi persyaratan peran
sosial saat ini. Dam fokus pada kehidupan pasien saat ini bukan menggali masa lalu
pasien yang sering kali merupakan penyebab yang ditekan dari maslah ini.
Terapi Kognitif Dan Perilaku
Pada teori ini kesedihan yang mendalam dan harga diri yang hancur yang dialami
para individu yang menderita depresi disebabkan oleh skema negatif dan kesalahan
pola pikir, back dan temanya menyusun terapi yang bertujuan untuk mengubah pola
pikir maladaptif. Terapis mencoba mempersuasi orang yang depresi untuk mengubah
pendapatnya tentang berbagai peristiwa danbtentang dirinyasendir. Terapis
menginstruksikan pada pasien untuk memantau monolog pribadi dan untuk
mengidentifikasi semua pola pikir yang berkontribusi terhadap depresi. Terapis
kemudian mengajarkan pada pasien untuk memikirkan secara mendalam berbagai
keyakinan negatif yang salah untuk memahami berbahai hal tersebut mencegahnya
membuat asumsi yang lebih relistis dan positif.
Back berpendapat orang yang depresiberanggapan bahwa mereka benar-benar tidak
mampu dan tidak kompeten ketika mereka melakukan sebuah kesalahan. Beck
melibatkan komponen behavior dalam penanganan depresi seperti bangun
padatempat tidur pada pagi hari,. Dan memberikan tugas-tugas untuk melakukan
aktifitas pada pasiennya agar mereka memperoleh pengalaman keberhassilan dan
memungkinkan mereka enilai baik diri mereka sendiri. Namun titik berat secara
keseluruhan terletak pada rekonstruksi kognitif, mempersuasi pasien untuk berfikir
secara berbeda.
Program Penelitian Kolaboratif Penanganan Depresi Oleh NIMH
Pada tahun 1977 National Institute of mental health (NIMH) melakukan studi
mengenai terapi kognitif back. Tiga kriteria digunakan untuk memilih satu
psikoterapi untuk menjadi pembanding terapi beck. Terapi tersebut harus
dikembangkan untuk menangani depresi, cukup eksplisit dan terstandarisasi sehingga
dapat diinstruksikan kepada terapis lain. Satu terapi farmakologis, yaitu imipramin,
obat trisiklik yang digunakan secara luas sebagai terapi standar untuk depresi. Elkin
menganggapnya mendekati kondisi obat-plus-terapi-suportif, suportifdalam hal ini
menunjukan hubungan dokter pasien.
Kondisi selanjutnya adalah kelompok plasebo management untuk menilai efektivitas
imipramin. Kondisi inin digambarkan sebagai kontrol parsial atas kedua psikoterapi
karna adanya dukungan dan dorongan kuat.
Seluruh penanganan dilakukan 16 minggu. Disemua terapi para peneliti pasien
dipantau secara teliti dan para penjaga kemanan profesional dipekerjaakan
untukmeminimalkan risiko
Berbagai analisis data menunjukan variasi diantara berbagai lokasi penelitian antara
mereka yang menjalani penanganan hingga tuntas . beberpa temuan komplek
disajikan sebagai berikut:
Setelah berakhirnya penanganan dan tanpa membedakan pasien berdasarkan
parahnya depresi, tidak dapat perbedaan signifikan dalam berkurangnya
depresi atau meningkatkan keberfungsian secara menyeluruh antara terapi
kognitif dan terapi interpersonalatau salah satu dari terapi itu dan imipramin
plus management klinis. Secara umum, ketiga penanganan aktif tersebut
mencapai tingkat keberhasilan yang signifikan dan sebagian terbesar terletak
pada kelompok plasebo. Meskipun demikian paasien plasebo-plus-
management klinis juga menunjukan perbaikan signifikan.
Imipramin lebih cepat dibandingkan penanganan lain untuk mengurangi
simtom-simtom depresif selama penanganan. Namun pada akhir terapi kedua
psikoterapi dapat menyamai hasil terapi obat.
Dalam beberapa hal para pasien plaseboo yang tidak terlalu parah kondisinya
membaik diakhir terapi dan sama baiknya dengan orang yang tidak terlalu
depresi dalam tiga kondisi penanganan aktif
Para pasien depresi parah dalam kondisi parah dalam kondisi plasebo tidak
mengalami perbaikan kondisi sebaik para pasien dalam tiga penanganan aktif.
Terdapat bukti bahwa ipt lebih efektif dari pada Ct pada para pasien depresi
yang parah. Terutama yang patut dicatat adalah dalam hal kesembuhan .
Terdapat beberapa bukti baha beberapa penanganan tertentu menghasilkan
perubahan dalam bidang yang diharapkan
Untuk IPT dan farmakoterapi, tetapi tidak untuk CT, para pasien yang
didiagnosis mengalami gangguan kepribadian lebih mungkin mengalami
simptom depresi residual setelah terapi dibandingkan para pasien tanpa
diagnosis aksisn 2 tersebut.
Pada 18 bulan penanganan para pasien IPT menuturkan kepuasan yang lebih
besar terhadap penanganan dan pasien IPT dan CBT menuturkan efek
penenaganan yang secara signifikan jauh lebih besar pada kemampuan mereka
untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan interpersonal dan untuk
mengetahui serta memehami berbagai sumber depresi yang mereka alami
dibandingkan para pasien dan kondisi imipramin atau plasebo.
Terapi Kognitif Berbasis Pola Pikir (Mindfulness-Based Cognitive Therapy)
Terapi kognitif ini focus pada pencegahan kekambuhan setelah keberhasilan suatu
penanganan depresi (Segal dkk., 1996; Segal dkk., 2001; Teasdale dkk., 1995).
Berasumsi bahwa kerentanan kekambuhan dapat diakibatkan oleh asosiasi yang
berulang antara mood depresi dan pola pikir negative, menilai rendah diri sendiri, dan
putus asa selama berlangsungnya depresi mayor. Individu yang telah sembuh dari
depresi mayor akan mulai berfikir dengan cara yang sama dengan cara ketika mereka
benar-benar dalam kondisi depresi. Pola pikir yang diaktivasi berulang tersebut pada
akhirnya mempertahankan dan memperdalam kondisi depresi ringan.
Tujuan MBCT adalah mengajarkan pada individu untuk mengetahui kapan mereka
menjadi depresi dan mencoba mengadopsi apa yang disebut perspektif ‘desentral’,
memandang pikiran mereka hanya sebagai ‘peristiwa mental’ dan bukan aspek inti
diri mereka ‘saya bukanlah seperti yangn saya pikirkan’. Individu diajari untuk
mengembangkan hubungan yang tidak terikat dan desentral dengan berbagai pikiran
dan perasaan yang menyebabkan depresi. Prespektif ini diyakini dapat mencegah
mengingkatnya pola pikir negative yang secara actual dapat menyebabkan depresi.
Pelatihan Keterampilan Sosial
Cirri utama depresi adalah kurangnya pengalaman yang memuaskan dengan orang
lain, berbagai penanganan behavioral difokuskan untuk membantu pasien
memperbaiki interaksi sosial. Penanganan berbasis pelatihan keterampilan sosial
efektif untuk menyembuhkan depresi.
Terapi Aktivasi Behavioral
Ketidakaktifan, penarikan diri, dan kelemasan fisik merupakan perilaku yang umum
terlihat pada individu yang mengalami depresi sehingga dipandang sebagai simtom
depresi. Meskipun demikian, menurut perspektif akticasi behavioral, fungsi perilaku
tersebut dalam konteks kehidupan individu menjadi penting. Sebagian besar perilaku
individu yang depresi berfungsi sebagai alat untuk menghindar ketika individu
berusaha menghadapi lingkungan yang berciri rendahnya jumlah penguatan positif
atau tingginya jumlah situasi yang menyakitkan. Aktivasi behavioral berusaha
membuat pasien menjalankan perilaku dan aktivitas yang secara positif akan
menguatkan dan akan membantu menghentikan spiral depresi.
Terapi Pasangan Dan Keluarga
Normalitas Konflik
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam perkawinan atau dalam
berbagai hubungan jangka panjang lain. Otoritas sepakat bahwa cara pasangan
mengatasi konflik akan menentukan kualitas dan lamanya mereka hidup bersama.
Suatu strategi yang digunakan oleh pasangan adalah dengan menolak mengakui
adanya ketidaksetujuan dan konflik. Pola semacam itu dapat menjaga suasana damai
untuk sementara waktu, namun biasanya mengakibatkan disfungsi serius dalam
jangka panjang. Mereka dianggap sebagai pasangan sempurna oleh orang lain namun
tanpa terbukanya jalur komunikasi, mereka dapat terpisah jauh secara emosional.
Dari Terapi Individu Ke Terapi Bersama
Terapi keluarga dan terapi pasangan berfokus pada sekurang-kurangnya dua orang
dalam suatu hubungan. Transferensi digali, namun dalam terapi pasangan analisis
adalah transferensi antara kedua pasangan dan bukan antara klien dan terapis yang
biasanya menjadi focus. Tujuan menyeluruhnya adalah membantu pasangan untuk
melihat masing-masing dari mereka sebagaimana adanya dan bukan sebagai symbol
orang tua.
Dalam terapi ini, terapis berasumsi bahwa sesuatu yang terjadi dalam diri salah satu
atau kedua pasangan menyebabkan penderitaan dakam hubungan tersebut. Sang istri,
contohnya dapat menyimpan keyakinan irasional bahwa suaminya harus terus-
menerus memujanya. Mungkin ia akan beraksi berlebihan ketika dalam suatu
pertemuan sosial sang suami memisahkan diri dan menikmati waktunya sendiri,
bercakap-cakap dengan banyak laki-laki dan perempuan lain.
Pendekatan Dalam Terapi Pasangan Dan Keluarga
Tradisi Mental Research Institute
MRI menargetkan intervensi untuk pola komunikasi yang salah hubungan yang
dipenuhi konflik, infleksibilitas. Kepada para anggota keluarga ditunjukkan
bagaimana perilaku mereka memengaruhi hubungan mereka dengan orang lain.
Sejumlah kecil terapis keluarga yang menggunakan pendekatan MRI melibatkan
riwayat masa lalu. Berfokus pada bagaimana masalah masa kini dipertahankan dan
bagaimana cara mengubahnya.
Pendekatan Kognitif-Behavioral
Pasangan yang bermasalah tidak bereaksi satu sama lain secara sangat positif, dan
antagonism tersebut biasanya dapat langsung terlihat dalam sesi pertama. Salah satu
strategi yang diberikan adalah “hari-hari kasih sayang” yang dikemukakan oleh
sichard stuart (1976) yang menggunakan strategi operant untuk konflik pasangan.
Sang suami, contohnya, dibujuk agar agar setuju untuk mengabdikan dirinya
melakukan hal-hal yang menyenangkan istrinya sepanjang hari pada satu hari
tertentu, tanpa mengharapkan balasan apapun dari sang istri. Kesepakatannya adalah
sang istri akan melakukan hal yang sama untuknya keesokan harinya. Jika berhasil,
strategi ini dapat mencapai dua tujuan penting, yang pertama: menghancurkan
lingkaran jarak, kecurigaan dan control yang tidak menyenangkan antara satu sama
lain, kedua: menunjukkan kepada mereka bahwa melakukan hal-hal yang
menyenangkan bagi pasangan mereka dapat memberikan pengaruh positif kepada
masing-masing.
Para terapis pasangan behavioral umumnya menggunakan teori pertukaran interaksi.
Orang akan menghargai orang lain bila mereka menerima sekurang-kurangnya sama
dengan yang mereka berikan pada orang lain. Dengan demikian, terapi pasangan
behavioral berkonsentrasi pada peningkatan pertukaran postif dengan harapan tidak
hanya meningkatkan kepuasan jangka pendek, namun juga meletakkan dasar bagi
kepercayaan dan perasaan positif dalam jangka panjang, kualitas yang merupakan
karakteristik hubungan yang tidak bermasalah.
Terapi Pasangan Behavioral Integrative
IBCT menggunakan prinsip-prinsip penguatan serta hubungan behavioral dan
berbagai strategi pelatihan komunikasi, juga memasukkan teori penerimaan dan
menggunakan serangkaian prosedur yang dirancang untuk mendorong penerimaan
pada pasangan. Memfokuskan pada berbagai variable yang hanya tampak pada
permukaan dan bukan pada upaya untuk mengungkap berbagai variable pengendali
yang penting.
Terapi Berfokus Emosional
Menitikberatkan pada perasaan yang bersifat humanistic menunjukkan kepada kita
hal itu lebih penting. Mengintegrasikan berbagai komponen dalam teori kelekatan,
yang digunakan untuk mengonseptualisasi hubungan romantic pada masa dewasa dan
yang memfokuskan pada kebutuhan adaptif dalam diri terhadap perlindungan,
keamanan, dan keterkaitan dengan orang yang signifikan. Masalah dalam hubungan
timbul bila kebutuhan terhadap kelekatan tidak terpenuhi dan hubungan tersebut tidak
memberikan rasa aman bagi salah satu atau kedua pasangan.
Ciri Umum Terapi Pasangan
Dalam terapi pasangan, semua pasangan dilatih untuk mendengarkan pasangannya
dengan empati dan untuk menyatakan dengan jelas kepada pasangannya agar
mengatakan apa yang dipahaminya dan perasaan yang ada dibalik ucapan tersebut.
Terapi pasangan dan keluarga selama bertahun-tahun telah memanfaatkan secara
kreatif peralatan rekaman video. Pasangan dapat diberi suatu masalah untuk
diselesaikan sebagai bagian dalam satu sesi terapi, seperti ke mana akan pergi
berlibur, dan dapat direkam gambarnya ketika mereka berusaha memutuskannya.
Pola komunikasi dan kesalahan komunikasi dapat langsung dibedakan dengan
menggunakan cara ini.
Suatu praktik umum dalam terapi keluarga adalah memberikan tugas-tugas rumah
yang spesifik kepada pasangan untuk melatih berbagai pola interaksi baru yang telah
mereka pelajari di dalam sesi dan memulai proses penting untuk menggeneralisasi
perubahan dari ruang konsultasi ke dalam kehidupan sehari-hari.
Isu Umum Dan Pertimbangan Khusus
Satu isu penting adalah memutuskan siapakah sebenarnya yang menjadi pasien.
Istilah pasien yang teridentifikasi sering kali digunakan bila lebih dari satu anggota
keluarga menemui seorang terapis. Kesulitan juga timbul bila salah satu pasangan
ingin mengakhiri hubungan dan yang lain ingin mempertahankannya.
Terapi keluarga menjadi semakin rumit bila terjadi penyiksaan seksual atau non-
seksual. Terapis harus mempertimbangkan pengaruhnya bagi pasangan yang
mengalami penyiksaan dan bagi anak-anak yang kemungkinan juga mengalami
penyiksaan bila harus menyelamatkan hubungan karena bila terjadi penyiksaan
terhadap pasangan maka kemungkinan besar juga terjadi penyiksaan terhadap anak-
anak.
Masalah lain adalah bagaimana menghadapi pengungkapan rahasia oleh salah satu
pasangan ketika yang lain tidak hadir. Ditangani dengan menyampaikan kepada
pasangan di awal terapi bahwa tidak satu pun dari yang diceritakan oleh salah satu
pasangan kepada terapis akan dirahasiakan dari yang lain.
2. Terapi Psikologi Gangguan Bipolar
Edukasi mengenai gangguan bipolar dan penanganannya dapat meningkatkan
kepatuhan terhadap pengobatan, misalnya lithium, yang membantu mengurangi naik
turunnya mood sehingga dapat menciptakan stabilitas yang lebih besar dalam
kehidupan pasien. Obat yang efektif hanya bermanfaat jika dikonsumsi sesuai dosis
yang disarankan. Masalah yang ditemui adalah mereka kurang tercerahkan mengenai
karakteristik perilaku mereka yang tidak pantas dan menghancurkan diri sendiri.
Edukasi tentang penyakit dapat mengingkatkan dukungan sosial dari keluarga dan
teman-teman dan dapat mengarahkan pada suasana yang tidak terlalu membebani
pasien secara emosional.
Memberikan edukasi pada keluarga tentang karakteristik gangguan, melakukan hal-
hal yang dapat mengurangi stress dalam keluarga, meneruskan pemberian obat untuk
mempertahankan kondisi yang telah membaik pada pasien bipolar yang sudah keluar
dari rumah sakit, cukup efektif.
Penanganan berfokus keluarga (FFT-Family-Focused Treatment) merupakan terapi
psikososial dengan waktu terbatas bagi pasien gangguan bipolar yang dirawat jalan
dan keluarganya. Mencakup edukasi kepada keluarga mengenai penyakit terkait,
meningkatkan komunikasi dalam keluarga, dan pelatihan penyelesaian masalah.
Pemberian penanganan berorientasi keluarga bersama dengan farmakoterapu
memberikan hasil yang lebih positif pada gangguan bipolar disbanding hanya
pemberian obat.
Suatu terapi penyelesaian masalah yang disebut terapi ritme interpersonal dan sosial,
yang membantu pasien agar dapat lebih baik dalam menghadapi berbagai peristiwa
hidup yang memicu stress dan episode manic, juga memperoleh beberapa dukungan
empiris. Didasari oleh model kronobiologis gangguan bipolar, individu yang
menderita gangguan ini memiliki predisposisi genetic terhadap ritme sarkadian dan
abnormalitas siklus tidur-terjaga. Peristiwa hidup yang positif maupun negative dapat
mengganggu ritme sosial pasien. Gangguan ini pada akhirnya mengganggu ritme
sirkadian dan siklus tidur-terjaga dan memicu timbulnya simtom-simtom bipolar.
Terapi ini diberikan bersama dengan obat-obatan dan menggabungkan prinsip dasar
psikoterapi interpersonal dan teknik behavioral. Tujuannya membantu pasien
mengatur rutinitas hariannya, menyelesaikan masalah interpersonal, dan patuh
terhadappengobatan medis sesuai resep. Pasien diajari memahami bahwa episode
manic menganggu hubungan pasien dengan orang lain, bagaimana menghadapi
tantangan hidup sehari-hari tandapa membuat mood tenggelam dalam keputusasaan
dan depresif. Pemikiran perilaku berbasis kenyataan diajarkan dan didorong,
termasuk penerimaan atas kenyataan bahwa pasien mengalami gangguan kronis yang
mungkin akan dialami sepanjang hidupnya dan yang memerlukan pengobatan yang
tepat serta focus untuk merubah perilaku dan pemikirannya.
3. Terapi Biologis Gangguan Mood
Dua jenis terapi yang paling umum adalah terapi kejut elektrikonvulsif dan obat-
obatan
Terapi Elektrokonvulsif
Electroconvulsive therapy (ECT) diciptakan oleh Cerletti dan Bini. Cerletti
mengunjungi sebuah rumah jagal dimana ia melihat kejang-kejang dan kondisi tidak
sadar terjadi pada hewan karena kejutan listrik yang diberikan di kepala. Ia kemudian
menemukan bahwa dengan memberikan kejutan listrik pada sisi kepala manusia,
kejang epileptic dapat terjadi sepenuhnya. Kemudian dikembangkan pada pasien
skizofrenia.
Decade selanjutnya, ECT juga diberikan kepada pasien depresi parah. ECT mencakup
penciptaan kejang dan ketidaksadaran sementara untuk suatu tujuan dengan
mengaliran arus listrik sebesar 70 dan 130 volts ke dalam otak pasien. Elektroda pada
awalnya dilekatkan dikedua sisi kening sehingga memungkinkan arus listrik
memasuki dua belahan otak, disebut dengan ECT bilateral. Sedangkan ECT
unilateral, arus listrik hanya memasuki belahan sereberal yang tidak dominan
(kanan). Pada masa lalu pasien biasanya tetap sadar, hingga menciptakan goncangan
tubuh yang mengerikan, bahkan menyebabkan keretakan tulang. Dewasa ini, pasien
diberi anestasi singkat dan diinjeksi dengan suatu pelemas otot yang kuat sebelum
arus listrik dialirkan. Kejang konvulsif pada otot tubuh hamper tidak dapat dilihat
oleh para pengamat, dan pasien kembali sadar beberapa menit kemudian tanpa dapat
mengingat apapun tentang penanganan tersebut. Mekanisme cara kerja ECT tidak
diketahui, naum ECT secara umum mengurangi aktivitas metabolic dan sirkulasi
darah ke otak dan sekaligus dapat mengahmbat beberapa aktivitas otak yang tidak
normal.
ECT unilateral ke belahan otak kanan secara klinis sama efektifnya dengan ECT
bilateral dan menimbulkan efek samping kognitif yang lebih sedikit. Studi
pemantauan jangka panjang terhadap para pasien yang ditangani dengan ECT pada
masa remaja menunjukkan tidak adanya kerusakan memori yang berlangsung
lama.efek samping kognitif ECT dapat diminimalkan bila hormone tiroid digunakan
sebagai bagian dari penanganan. Para ahli klinis memilih menggunakan ECT bila
depresi tidak juga berkurang dan setelah mencoba berbagai penanganan yang kurang
drastic ternyata tidak memadai. Orang yang mengambil keputusan harus menyadari
berbagai konsekuensi yang timbul jika tidak memberikan penanganan sama sekali.
Terapi Obat
Tiga kategori utama obat antidepresan:
1. Trisiklik, seperti imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil)
2. Penghambat pengembalian serotonin selektif (SSRI), seperti fluoksetin
(Prozac) dan sertralin (Zoloft)
3. Penghambat monoamine oksidase (MAO), seperti tranilsipromin (Parnate)
Obat dinyatakan efektif dengan tingkat perbaikan antara 50 hingga 70 pada pasien
yang menjalani terapi hingga selesai. SSRI memiliki kelebihan karena memberikan
efek samping yang lebih sedikit, sedangkan MAO sejauh ini memiliki efek samping
yang paling serius sehingga paling jarang digunakan.
Meskipun berbagai macam antidepresan mempercepat kesembuhan pasien dari suatu
periode depresi, kekambuhan masih umum terjadi setelah pemberian obat-obatan
tersebut dihentikan. Mengonsumsi imipramin terus menerus setelah sembuh
bermanfaat untuk mencegah kekambuha bila dosis sama tingginya dengan dosis
efektif selama penanganan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa obat-obat antidepresan harus selalu diberikan
hanya kepada para pasien depresi parah. Meskipun demikian, terapi kognitif atau
interpersonal sama efektifnya dengan manfaat tambahan yaitu tidak adanya efek
samping seperti pada obat-obatan dan tidak terjadi kekambuhan bila pemberian obat
dihentikan.
Obat-Obatan Untuk Menangani Gangguan Mood
Kategori Nama Generik Nama
Dagang
Efek Samping
Antidepresan
trisiklik
Imipramin
Amitriptilin
Tofranil Elavil Serangan jantung, stroke,
hipotensi, penglihatan kabur,
kecemasan, kelelahan, mulut
kering, susah buang air besar,
gangguan pencernaan,
kegagalan ereksi, menambah
berat badan.
Penghambat
MAO
Tranilsipromin Parnate Kemungkinan hipertensi fatal,
mulut kering, pusing, mual, sakit
kepala
Penghambat
pengembalian
serotonin
selektif
Fluoksetin Prozac Kegugupan, fatik, keluhan
pencernaan, pusing, sakit
kepala, insomnia
Lithium Lithium Lithium Tremor, gangguan pencernaan,
berkurangnya koordinasi,
pusing, aritmia kardiak,
penglihatan kabur, fatik
kematian
Terapi Obat Untuk Gangguan Bipolar
Orang yang menderita gangguan bipolar dengan mood yang berubah-ubah seringkai
ditangani dengan pemberian elemen lithium. Lithium efektif untuk pasien bipolar
ketika mereka berada dalam kondisi depresi maupun manic, dan jauh lebih efektif
untuk pasien bipolar daripada untuk pasien unipolar.
Karena efek lithium timbul secara bertahap, terapi umumnya diawali dengan lithium
dan suatu obat antipsikotik, misalnya Haldol, yang memiliki efek penenang langsung.
Efek samping yang ditimbulkan akibat pemberian lithium sangat fatal, sehingga
lithium harus diresepkan dengan sangat hati-hati. Pasien harus menjalani tes darah
secara rutin untuk memastikan bahwa kadar lithium dalam darah tidak terlalu tinggi.
Terlalu tinggi akan menyebakan keracunan lithium. Gejala keracunan mulai dari
ringan, seperti tremor, mual, penglihatan kabur, vertigo, dan kebingungan, hingga
yang cukup berat seperti disritmia kardiak, kejang, koma, bahkan kematian.
Meskipun memiliki manfaat besar untuk menghilangkan episode manic dan
mencegah terjadinya episode pada masa mendatang jika diminum secara teratur,
penghentian lithium sebetulnya dapat meningkatkan resiko seseorang untuk
mengalami kekambuhan. Meskipun lithium merupakan penanganan terpilih untuk
gangguan bipolar, aspek-aspek psikologis gangguan juga perlu dipertimbangkan.
E.Depresi Pada Masa Kanak-Kanak Dan Remaja
1. Simtom Dan Pravalensi Depresi Masa Kanak-Kanak Dan Remaja
Anak-anak dan remaja berusia 7 hingga 17 tahun memiliki kesamaan dengan orang
dewasa dalam mood depresi, ketidakmampuan untuk merasakan kesenangna, datik,
masalah konsentrasi, dan pemikiran untuk bunuh diri. Simtom yang berbeda adalah
tingkat percobaan bunuh diri dan rasa bersalah yang lebih tinggi pada anak-anak dan
remaja, sedangkan pada orang dewasa lebih sering bangun lebih awal di pagi hari,
kehilangan nafsu makab, penurunan berat badan, dan depresi dini hari.
Depresi pada anak-anak terjadi berulang. Anak-anak dan remaa yang menderita
depresi mayor memiliki kemungkinan untuk tetap menunjukkan simtom-simtom
depresif yang dignifikan ketika diukur empat hingga delapan tahun kemudian.
Kadang-kadang depresi, sering disebut depresi terselubung, diseimpulkan dari
perilaku seperti tindakan agresif atau berbuat kenakalan yang pada orang dewasa
tidak akan dianggap sebagai cermin depresi yang ada dibaliknya.
Depresi terjadi pada kurang dari 1 persen anak-anak usia prasekolah dan pada 2
hingga 3 persen anak-anak usia sekolah. Pada remaja, angka kejadian depresi sama
tingginya dengan pada orang dewasa khususnya pada remaja perempuan yang
hamper 2:1 dibandingkan dengan remaja laki-laki. Suatu masalah yang merumitkan
diagnosis depresi pada anak-anak adalah tingginya komorbiditas dengan gangguan
lain. Sebanyak 70 persen dari anak-anak yang menderita depresi juga mengalami
gangguan anxietas yang signifikan. Depresi juga umum terjadi pada anak-anak yang
mengalami gangguan tingkah laku dan gangguan pemusatan perhatian. Anak-anak
yang menderita depresi sekaligus gangguan lain diketahui mengalami depresi yang
lebih parah dan lebih lama mencapai kesembuhan.
2. Etiologi Depresi Pada Masa Kanak-Kanak Dan Remaja
Apa yang menyebabkan anak0anak dan remaja menjadi depresi?genetik memegang
suatu peranan. Hanya saja pengaruh genetic tidak segera tampak. Memiliki ibu yang
mengalami depresi meningkatkan kemungkinan untuk mengalami depresi semasa
masih anak-anak atau setelah remaja, namun lebih sedikit yang diketahui mengenai
pengaruh dari sisi ayah dan penyebab keterkaitan tersebut. Depresi yang dialami
salah satu pasangan atau keduanya seringkali berhubungan dengan konflik
perkawinan, dengan demikian kita dapat memperkirakan bahwa depresi akan
menimbulkan efek negative bagi anak-anak.
Anak-anak yang mengalami depresi dan orang tua mereka saling berinteraksi secara
negative, contohnya menunjukkan kurangnya kehangatan dan lebih hostiliras satu
sama lain disbanding antara anak-anak yang tidak mengalami depresi dan orang tua
mereka. anak-anak dan remaja yang mengalami depresi mayor juga memiliki
keterampilan sosial rendah dan hubungan yang tidak baik dengan saudara-saudara
kandung serta teman-teman mereka. anak-anak dan remaja yang mengalami depresi
memiliki kontak yang lebih sedikit dan kurang memuaskan dengan teman-teman
sebaya yang seringkali menolak mereka karena tidak menyenangkan bila bersama
mereka. Interaksi negative tersebut pada akhirnya memperburuk citra diri dan rasa
bermakna negative yag telah ada pada diri anak-anak dan remaja tersebut.
Penelitian kognitif terhadap anak-anak yang mengalami depresi mengindikasikan
bahwa carra pandang mereka (skemata) leih negative disbanding cara pandang anak-
anak yang tidak mengalami depresi dan mirip dengan cara pandang orang-orang
dewasa yang mengalami depresi. Pengalaman di lingkungan rumah, terutama cara
pandang orang tua menghadapi anak-anaknya menimbulkan kognisi dan pemikiran
yang dapat memicu depresi.
3. Penanganan depresi masa kanak-kanak dan remaja
Penelitian mengenai keamanan dan efektivitas farmakoterapi untuk depresi pada
masa kanak-kanan dan remaja jauh tertingga disbanding penelitian untuk orang
dewasa. Secara umum, bukti menunjukkan bahwa penghambat pengembalian
serotonin selektif lebih baik dibandingkan antidepresan trisiklik. Meskipun demikian,
berbagai studi lain menunjukkan bahwa obat-obatan anidepresan tidak lebih baik
daripada placebo pada anak-anak dan remaja.
Terapi interpersonal telah dimodifikasi untuk digunakan bagi para remaja yang
mengalami depresi, dengan memfokuskan pada berbagai isu yang penting bagi
remaja, seperti tekanan dari teman-teman sebaya, stress yang menyertai transisi dari
masa kanak-kanak ke remaja, dan konflik antara ketergantungan pada orang tua, dan
keinginan untuk mandiri. Berbagai intervensi kognitif-behavioral yang diberikan di
sekolah ternyata efektif dan dikaitkan dengan berkurangnya simtom secara lebih
cepat dibanding terapi keluarga dan suportif. Meskipun demikian, suatu studi
mengindikasikan bahwa hasil positif tidak bertahan selama pemantauan
pascapenanganan.
Suatu intervensi kelompok kognitif-behavioral yang mencakup instruksi dalam
melakukan coping terhadap depresi diketahui efektif bagi remaja yang mengalami
depresi, terutama bila orang tua terlibat dalam penanganan. Pelatihan keterampilan
sosial dapat diharapkan membantu anak-anak dan remaja yang mengalami depresi
dengan mengajarkan cara behavioral dan verbal agar dapt terlibat dalam lingkungan
yang menyenangkan dan menguatkan, seperti menambah teman dan bergaul bersaa
teman-teman sebaya. Berbagai penanganan yang mencakup pelatihan keterampilan
sosial, penyelesaian masalah, dan teknik-teknik kognitif seperti yang digunakan pada
orang dewasa terbukti efektif.
Penanganan bagi anak-anak dan remaja yang mengalami depresi dapat memberikan
hasil terbaik dengan melibatkan si anak atau remaja terkait serta keluarga dan
sekolah. Terapi harus memfokuskan pada orang tua yang mengalami depresi selain si
anak itu sendiri. Orang tua yang mengalami depresi kemungkinan mengomunikasikan
kepada anak-anak mereka pandangan yang pesimistis terhadap diri sendiri dan dunia,
dan anak-anak sangat dipengaruhi oleh pemikiran orang tuanya. Pentingnya
mengajarkan kepada anak-anak dan remaja berbagai cara untuk menghadapi stress
interpersonal dengan perilaku terbuka yang lebih efektif.
F. Bunuh DiriBunuh diri dibahas pada bab ini karena banyak orang yang mengalami depresi dan
orang-orang yang menderita gangguan bipolar memiliki pikiran untuk bunuh diri dan
terkadang benar-benar mencoba untuk menghilangkan nyawa mereka sendiri.
Diyakini bahwa lebih dari separuh orang-orang yang mencoba bunuh diri mengalami
depresi dan putus asa pada saat mereka melakukan tindakan tersebut, dan
diperkirakan sebanyak 15 persen orang-orang yang didiagnosis menderita depresi
mayor akhirnya bunuh diri. Meskipun demikian, sejumlah besar orang yang tidak
menderita depresi juga melakukan upaya bunuh diri, beberapa di antara berhasil –
terutama orang-orang yang mengalami gangguan kepribadian ambang. Sebanyak 13
persen penderita skizofrenia melakukan tindakan bunuh diri. Fokus pembahasan ini
adalah mengenai berbagai isu dan faktor dalam bunuh diri terlepas dari berbagai
diagnosis tertentu.
1. Fakta-fakta tentang Bunuh Diri
Berdasarkan statistik, setiap dua puluh menit seseorang melakukan tindakan bunuh
diri di Amerika Serikat. Angka tersebut, dikalkulasi menjadi sekitar 31.000 tindakan
bunuh diri dalam setahun, kemungkinan merupakan perkiraan kasar di bawah angka
sebenarnya. Angka bunuh diri secara keseluruhan di Amerika Serikat adalah sekitar
12 per 100.000 penduduk. Rasio upaya bunu diri terhadap keberhasilan bunuh diri di
Amerika Serikat dapat mencapai hingga 200 berbanding 1, yang berarti terjadi upaya
bunuh diri sebanyak 6 juta kali per tahun.
Perbedaan antara upaya bunuh diri dengan berhasil bunuh diri mendapati
perbandingannya sebagai berikut :
(buat tabel)
2. Perspektif Bunuh Diri
Motif dalam melakukan tindakan bunuh diri sangat bermacam-macam, seperti yang
dikemukakan oleh Mintz: agresi yang dibalikkan ke diri sendiri; pembalasan yang
dilakukan dengan cara menimbulkan perasaan bersalah pada orang lain; upaya untuk
memaksa cinta dari orang lain; upaya untuk melakukan perubahan atas kesalahan
yang dilihat dari masa lalu; upaya untuk menyingkirkan perasaan yang tidak dapat
diterima, seperti ketertarikan seksual pada lawan jenis; keingin untuk reinkarnasi;
keinginan untuk bertemu dengan orang yang dicintai yang telah meninggal; dan
keinginan atau kebutuhan untuk melarikan diri dari stres, kehancuran, rasa sakit, atau
kekosongan emosional.
Suatu teori tentang bunuh diri yang didasari penelitian dalam bidang psikologi sosial
dan kepribadian menyatakan bahwa beberpa tindakan bunh diri dilakukan karena
keinginan kuat untuk lari dari kesadaran diri yang menyakitkan, yaitu, kesadaran
yang menyakitkan atas orang yang bersangkutan pada dirinya.
Beralih ke beberapa perspektif lain, ada beberapa aspek yang dapat memberikan titik
terang terhadap fenomena ini:
Teori Psikoanalisa Freud
Pada dasarnya, Freud menganggap bunuh diri sebagai pembunuhan, sebuah perluasan
teorinya mengenai depresi. Ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai
sekaligus dibencinya, dan meleburkan orang tersebut dengan dirinya, agresi
diarahkan ke dalam. Jika perasaan ini cukup kuat, orang yang bersangkutan akan
bunuh diri.
Teori sosiologis Durkheim
Penihilan diri sendiri dapat dipahami secara sosiologis. Dan membedakannya menjadi
3 jenis bunuh diri:
1. bunuh diri egoistik. Dilakukan oleh orang yang memiliki sedikit keterikatan
dengan keluarga, masyarakat, atau komunitas.
2. bunuh diri altruistik. Dianggap sebagai respons terhadp berbagai tuntunan sosial.
Beberapa orang yang bunuh diri merasa sangat menjadi bagian suatu kelompok dan
mengorbankan diri untuk melakukan hal yang dianggapnya akan menjadi kebaikan
bagi masyarakat.
3. bunuh diri anomik. Dipicu oleh perubahan mendadak dalam hubungan seseorang
dengan masyarakat. Terbagi menjadi dua gambaran, pertama karena disebabkan oleh
ketidakseimbangan dan yang kedua disebabkan karena dampak dari bencana alam.
Teori Shneidman terhadap bunuh diri
Pendekatan psikologis Shneidman terhadap bunuh diri terdiri dari sepuluh karakter
bunuh diri paling umum yang tidak semuanya ditemukan dalam setiap kasus.
1. sasaran bunuh diri umumnya adalah untuk mencari solusi
2. tujuan bunuh diri umumnya adalah penghilangan kesadaran.
3. stimulus bunuh diri umumnya adalah rasa sakit psikologis yang tidak dapat
ditoleransi.
4. stressor dalam tindakan bunuh diri umumnya adalah kebutuhan psikologis yang
tidak terpenuhi.
5. emosi umum yang dialami dalam bunuh diri adalah keputusasaan-
ketidakberdayaan.
6. kondisi kognitif yang umum dalam bunuh diri adalah ambivalensi.
7. kondisi perseptual yang umum dalam bunuh diri merupakan keadaan terdesak.
8. tindakan yang umum dalam bunuh diri adalah agression.
9. tindakan interpersonal yang umum dalam bunuh diri adalah pengungkapan niat.
10. konsistensi umum dalam bunuh diri adalah dengan pola coping sepanjang hidup.
Neurokimia dan bunuh diri
Kadar serotonin ternyata berhubungan dengan depresi. Penelitian juga menunjukkan
adanya hubungan antara serotonin, bunuh diri, dan impulsivitas. Rendahnya kadar
metabolit utama serotonin, yaitu 5-HIAA, ditemukan pada orang-orang dalam
beberapa kategori diagnostik – depresi, skizofrenia, dan berbagai gangguan
kepribadian – yang melakukan tindakan bunuh diri.
3. Memprediksi Bunuh Diri dengan Tes Psikologi
Aaron Beck menemukan korelasi antara niat bunuh diri dengan keputusasaan. Dalam
hasilnya menyatakan bahwa keputusasaan merupakan prediktor kuat tindakan bunuh
diri bahkan lebih kuat dari depresi. Dan dengan alat ukur self-report RFL (Reason for
Living) Inventory yang disusun oleh Marsha Linehan memfokuskan pada
negativisme dan pesimisme untuk memprediksi kemungkinan tindakan bunuh diri.
Faktor lain yang diteliti sebagai acuan prediktor penyebab tindakan bunuh diri adalah
kepuasan hidup. Orang-orang yang menunjukkan kadar ketidakpuasan yang relatif
tinggi terhadap kehidupan mereka pada awal studi secara signifikan lebih mungkin
untuk mencoba atau melakukan bunuh diri bertahun-tahun kemudian.
Sejumlah penelitian lain memfokuskan pada karakteristi kognitif orang-orang yang
mencoba bunuh diri. Telah dikatakan bahwa orang-orang yang berfikir untuk bunuh
diri memiliki pemikiran yang kurang fleksibel. Penelitian menegaskan hipotesis
bahwa bahwa orang-orang yang mencoba bunuh diri lebih kaku dibanding yang lain,
dan hal ini mendukung berbagai observasi klinis yang dilakukan Shneidman dan yang
lain bahwa orang-orang yang mencoba bunuh diri tampahnya tidak dapat mampu
memikirkan berbagai alternatif solusi terhadap berbagai masalah sehingga dapat
cenderung memutuskan bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar.
4. Mencegah tindakan Bunuh Diri
Menangani gangguan mental yang mendasari
Salah satu cara untuk melakukan pencegahan tindakan bunuh diri adalah dengan
mengecamkan dalam pikiran bahwa sebagian besar orang yang mencoba bunuh diri
menderita gangguan mental yang dapat ditangani, seperti depresi, skizofrenia,
penyalahgunaan zat, atau gangguan kepribadian ambang. Dengan demikian, bila
seseorang yang menggunakan pendekatan kognitif Beck berhasil mengurangi depresi
yang dialami pasien, resiko bunuh diri pada pasien dapat berkurang.
Menangani kemungkinan bunuh diri secara langsung
Salah satu jenis pendekatan yang paling terkenal adalah yang dikembangakan oleh
Edwin Shneidman. Ia mengembangkan strategi umum dalam pencegahannya bunuh
diri yang mencakup 3 hal:
1. mengurangi penderitaan dan rasa sakit psikologis yang mendalam
2. membuka pandangan, yaitu memperluas pandangan yang terbatas dengan
membantu individu melihat berbagai pilihan selain pilihan ekstrem dengan
membiarkannya penderitaan dan ketiadaan terus berlangsung.
3. mendorong orang yang bersangkutan untuk mundur meskipun hanya selangkah
dari tindakan yang menghancurkan diri sendiri.
Berdasarkan dari penelitiaan baru ini yang terkendali, Rudd, Joiner, dan Rajab
mengajukan beberapa hal dalam pencegahan bunuh diri sebagai berikut:
1. penyelesaian masalah, biasanya dalam kerangka kognitif behavioral yang juga
mencakup pelatihan asersi dan panduan lain dalam ketrampilan sosial.
2. panduan dalam mengendalikan emosi, terutama kemarahan, serta mentoleransi
penderitaan.
3. menciptakan hubungan terapeutik yang kuat dan empatik, membangun
kepercayaan dan harapan meskipun bila hal itu berarti mendorong orang yang berfikir
untuk bunuh diri menjadi sangat tergantung kepada terapis selama kurun waktu
tertentu.
Pusat pencegahan bunuh diri
Berbagai fasilitas semacam itu di masyarakat bernilai potensial karena orang-orang
berupaya bunuh diri biasanya memberikan tanda-tanda – tangisan minta tolong –
sebelum melakukan bunuh diri. Ambivalensi antara hidup atau mati merupakan ciri
khas kondisi ingin bunuh diri. Biasanya permintaan tolong pertama kali ditujukan
kepada keluarga dan teman-teman namun banyak orang yang berfikir untuk bunuh
diri terisolasi dari sumber-sumber dukungan emosional tersebut. Suatu pelayanan
melalui telepon dapat menyelamatkan nyawa orang-orang semacam itu.
5. Isu Klinis dan etis dalam Mengatasi Bunuh Diri
Bunuh diri dengan bantuan dokter
Bunuh diri dengan bantuan dokter selama beberapa tahun telah menjadi isu yang
sangat emosional. Isu ini mengemuka pada awal tahun 1990-an ketika seorang dokter
asal Michigan, Jack Koverkian, membantu perempuan asal Oregon berusia 54 tahun
yang menderita penyakit Alzheimer tahap awal, suatu penyakit otak degeneratif dan
fatal, melakukan tindakan bunuh diri.
6. Komentar penutup
Kasus seperti diatas tidaklah biasa. Sebagian besar para petugas kesehatan mental
berusaha mencegah tindakan bunuh diri, dan dalam konteks tersebut mereka tidak
perlu ragu-ragu untuk secara langsung menggali apakah seorang klien berfikir untuk
bunuh diri. Di atas segalanya, ahli klinis yang menangani orang yang berfikir untuk
bunuh diri harus siap untuk memberikan energi dan waktu yang lebih banyak dari
biasanya bahkan lebih dari pasien psikotik. Telepon di tengah malam dan kunjungan
ke rumah pasien dapat sering terjadi. Terapis harus menyadari bahwa ia mungkin
menjadi satu-satunya figur penting dalam hidup orang tersebut dan harus siap untuk
menghadapi ketergantungan ektrem dari pasien dan hostilitas serta kearahan yang
terkadang dihadapi dalam upaya memberikan pertolongan berisi panduan umum
untuk manghadapi pasien yang berfikir untuk bunuh diri.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Psikologi Abnormal.
Tugas ini menjelaskan mengenai Abnormalitas psikologi seseorang yang
mengalami gangguan mood.
Tidak pernah ada ciptaan manusia yang sempurna, sebab yang sempurna
hanya ciptaan Allah. Penulis menyadari dalam makalah ini banyak sekali
kekurangannya. Oleh karena itu penulis harapkan kritik dan saran dari berbagai
pihak. Penulis juga berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat
menambah pengetahuan kita tentang penderita yang mengalami gangguan mood.
Padang, Februari 2015
Penulis
PSIKOLOGI ABNORMAL
GANGGUAN MOOD DAN BUNUH DIRI
OLEH :
LULY FEBRILINDA (1210351002)
DIAN TRISNAWATI (1210352012)
NOVERANITA AMELIA (1210352013)
DERY KURNIAWAN (1210352014)
OCKY DAJZAN SURYANI (1210353010)
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2015
Recommended