View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
FUNGSI PENGESAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN OLEH NOTARIS
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-
XIII/2015
Sita Ulima Ekawati (ulimasita@gmail.com)
Mahasiswa S2 Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Burhanudin Harahap (Burhanudin60@gmail.com)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Absract
This article aims to know and analyze function of ratification of the marriage
agreement agreed by the parties. Research Methods used to achieve the purpose
of this study using the method of normative approach, is descriptive. Data
collection methods used in this study are primary data with legislation and official
records, treatises in the making of legislation and judgment as well as sourced
from Islamic Law. In this study the authors use the primary legal material sourced
from legislation. The result of this research is an agreement must be in the form of
notarial deed as required in notarial deed so that it can be written dukcapil,
notarial deed has perfect and binding force for the parties Then after it is listed to
be in accordance with the provisions of the principle of publicity that is binding
both parties and applies to third parties. The notarial deed will not have binding
legal power before it is registered / registered in the civil registry office, an
important point in this case is a marriage agreement must be registered, to fulfill
the publicity element of the marriage agreement in question so that a third party
(outside of the spouse) knows and subject to the rules in the marriage agreement
that the couple has made. In this article the authors advise that the need for
socialization of the Marriage Registration Service in registering the marriage
agreement that the marriage agreement must be authenticated by the notary, if
there is no authentic deed then the marriage agreement is not legally enforceable.
Keywords: Agreement; Marriage; Endorsement.
2
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis fungsi pengesahan oleh
Notaris terhadap perjanjian perkawinan yang disepakati oleh para pihak. Metode
Penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini menggunakan
metode pendekatan normatif, bersifat deskriptif. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dengan peraturan perundang-
undangan dan catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan hakim serta juga yang bersumber dari Hukum Islam. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan. Hasil penelitian ini adalah Suatu perjanjian harus berbentuk
akta notariil sebagaimana yang telah diharuskan dlm bntuk akta notariil agar
dapat di catatkan dukcapil, akta notariil memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat bagi para pihak Kemudian setelah dicatatkan agar sesuai
dengan ketentuan asas publisitas yaitu mengikat kedua belah pihak dan berlaku
bagi pihak ketiga. Akta notaris tersebut tidak akan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sebelum didaftarkan/ dicatatkan di kantor catatan sipil, poin penting
dalam hal ini adalah perjanjian perkawinan harus didaftarkan, untuk memenuhi
unsur publisitas dari perjanjian perkawinan yang dimaksud supaya pihak ketiga
(diluar pasangan suami atau istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan
dalam perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh pasangan tersebut. Dalam
artikel ini penulis memberikan saran yaitu Perlunya sosialisasi terhadap Dinas
Pencatatan perkawinan dalam mendaftarkan perjanjian perkawinan bahwa
perjanjian perkawinan harus dengan akta otentik dari notaris, apabila tidak ada
akta otentik tersebut maka perjanjian perkawinan tidak berkekuatan hukum.
Kata Kunci : Perjanjian; Perkawinan; Pengesahan.
A. Pendahuluan
Negara Indonesia mempunyai hukum positif yang mengatur serta
melindungi warga negaranya, baik itu secara umum atau secara khusus
termasuk mengenai perkawinan. Perkawinan merupakan perilaku sakral yang
menjadikan perilaku interaksi antara lawan jenis menjadi terhormat dan
bernilai ibadah. Interaksi yang harmonis inilah yang menciptakan kehidupan
berumah tangga. Perkawinan adalah realitas sosial di mana-mana, ditemui atau
dialami oleh hampir semua orang. Akibatnya, kebanyakan orang percaya
bahwa mereka mengerti pernikahan. seperti yang akan kita lihat, keyakinan itu
dapat menghalangi pekerjaan hukum yang dapat dipertahankan mengenai
masalah perkawinan.( Monte Neil S.2008. 366)
3
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (untuk
selanjutnya disebut “UU Perkawinan”) yaitu pada Pasal 29, Kompilasi Hukum
Islam (untuk selanjutnya disebut “KHI”) yaitu pada Pasal 45 sampai dengan
Pasal 52. Berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan, mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan yang akan melangsungkan perkawinan dapat membuat
perjanjian perkawinan, adapun syarat-syarat pembuatan perjanjian perkawinan
tersebut antara lain dibuat waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat, isi perjanjian
tidak melanggar batas hukum agama, dan kesusilaan, mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan, selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak
dapat diubah, perjanjian dimuat dalam akta perkawinan (Pasal 12 PP No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
Dalam hal ini perkawinan dapat dilakukan menurut tata tertib aturan hukum
yang berlaku dari salah satu agama yang dianut oleh masing-masing pasangan
dan setiap perkawinan wajib memenuhi persyaratan administrasi dari
pemerintahan dengan cara pencatatan yang ditentukan oleh Undang-undang
yang tercantum dalam daftar catatan resmi Pemerintah yaitu pejabat yang
berwenang untuk itu. ( M. Yahya Harahap.1975. 8)
Perjanjian perkawinan yang selama ini berjalan, materinya masih terkait
dengan harta gono gini atau pembagian harta pencampuran setelah perkawinan
akan diatur sesuai kesepakatan apabila terjadi perceraian. Menurut Pasal 29
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan
perngertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian perkawinan termasuk
tentang isi dari perjanjian perkawinan. Tidak adanya pengertian yang jelas
tentang perjanjian perkawinan maka diantara para ahli terdapat juga perbedaan
dalam memberikan pengertian tentang perjanjian perkawinan dan pengertian
perjanjian perkawinan yang diberikan umumnya mengarah pada ketentuan
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. R. Subekti
memberikan pengertian perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian
mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang
4
menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang.(R.
Subekti. 1994. 21)
Pengertian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa perjanjian
perkawinan hanyalah mengatur mengenai harta kekayaan suami-istri dalam
perkawinan saja, dimana dalam perjanjian perkawinan tersebut calon suami
atau calon istri dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan,
apakah akan bersepakat untuk menyatukan harta mereka atau mereka
melakukan harta secara terbatas atau mereka memutuskan untuk tidak
melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan yang mereka
jalani.(Hilman Hadikusuma.2003.6) Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut “MK”) melalui putusannya atas permohonan uji materiil terhadap
UU Perkawinan dan UUPA dengan Nomor register 69/PUU-XIII/2015
telah membuat suatu terobosan baru mengenai perjanjian perkawinan pada
Pasal 29 UU Perkawinan. MK sendiri memang diberi kewenangan khusus
untuk melakukan pengujian isi materi dari suatu Undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1).
Adapun alasan pertimbangan hukum hakim dalam hal ini, yaitu adanya
fenomena suami istri yang karena alasan tertentu baru merasakan kebutuhan
membuat perjanjian perkawinan, sedangkan ketentuan yang ada saat ini
hanya mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum
atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Alasan lainnya yaitu pembuatan
perjanjian perkawinan selama ikatan perkawinan berlangsung di karenakan
adanya kealpaan dan ketidaktahuan mengenai perjanjian perkawinan yang
hanya dapat dibuat sebelum perkawinan berlangsung. ( I Nyoman Putu
Budiarta. 2017. 4)
Perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan akan tetapi pasca keluarnya putusan MK, Pasal
29 UU Perkawinan ayat (1) penambahan frasa “…selama dalam ikatan
perkawinan…”, mengakibatkan pembuatan perjanjian perkawinan tidak lagi
harus dilakukan pada saat sebelum atau pada saat hari dilangsungkannya
5
perkawinan, melainkan pasangan suami istri dapat membuat perjanjian
perkawinan selama ikatan perkawinan sedang berlangsung. Kemudian di ayat
(1) juga terdapat penambahan frasa “…perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris”. Sebelum adanya putusan
ini, pengesahan perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan. Pasca putusan MK, notaris juga diberikan kewenangan
untuk mengesahkan perjanjian perkawinan, yang mana hal ini bertentangan
dengan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) pada Pasal 16 ayat (1) huruf
f UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, yang pada intinya menyebutkan bahwa dalam
menjalankan jabatannya Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu
mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-
undang menentukan lain. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk
mengkaji lebih dalam mengenai fungsi pengesahan perjanjian perkawinan oleh
Notaris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian normatif, Penelitian dalam penulisan
hukum (tesis) ini bersifat preskriptif. Penelitian bersifat preskriptif yang
dimaksud adalah untuk memberikan argumentasi dari hasil penelitian yang
telah dilakukan, karena berusaha menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum tentang Implikasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 atas perjanjian perkawinan
yang dibuat setlah menikah bagi pihak ketiga, untuk selanjutnya dianalisis
dengan berpedoman dan menggambarkan aturan Hukum perkawinan yang
terdapat dalam KHI, UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Peraturan
Pelaksanaanya yaitu PP nomor 1 tahun 1975, Burgerlijk wetboek, beserta
peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teori hukum dan
praktik pelaksanaan hukum positif yang menyangkut masalah dalam penulisan
ini. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan metode penalaran deduksi. Metode penalaran deduksi ini digunakan
6
untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menuju ke dalam hal
yang bersifat khusus yang kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan. Dalam
penelitian ini penulis meneliti pertama kali mengenai Implikasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 atas perjanjian perkawinan
yang dibuat setlah menikah bagi pihak ketiga.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tujuan perkawinan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan
bahagia, keluarga merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari
suami, istri, dan anak yang berdiam dalam suatu tempat tinggal. Ahmad Azhar
Basyir menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk
memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan laki-laki dan
perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran
Allah dan Rasul-Nya.( Ahmad Azhar Basyir. 86)
Perkawinan adalah sarana pemenuhan kebutuhan alam manusia. Hanya
dengan cara itu dimungkinkan untuk membangun dan melindungi moral dan
budaya manusia. Untuk alasan ini, pernikahan telah disebut sebagai Ihsan.
(Shahzad Iqbal Sham.2011.14) Menurut hukum adat pada umumnya di
Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi
juga merupakan perikatan adat dan sekaligus juga merupakan perikatan
kekerabatan dan ketetanggaan. Ikatan perkawinan bukan semata-mata
membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan
kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban
orang tua tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan,
kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-
upacara adat dan keagamaan. Menurut hukum logika tidak bisa dikaitkan
dengan pendapat Ter Haar yang menyebutkan bahwa perkawinan itu adalah
urusan kerabat, keluarga dan masyarakat termasuk juga urusan martabat dan
urusan pribadi. Implementasi dari tujuan pernikahan mawaddah wa rahmah ini
adalah sikap saling menjaga, saling melindungi, saling membantu, saling
memahami hak dan kewajiban masing-masing. Pernikahan adalah lambang
7
dari kehormatan dan kemuliaan. Dalam melangsungkan suatu perkawinan
harus ada dasar-dasar yang mengatur didalamnya yaitu :
a) Dalam Bab I Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
b) Dalam Pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c) Dalam Pasal 3 ayat (2) menentukan bahwa pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
d) Dalam Pasal 4 ayat (1) menentukan bahwa dalam hal seorang suami
akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tesebut dalam Pasal 3
ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Dasar Perkawinan dalam KHI ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan
Pasal 10 KHI.
a) Dalam Bab II Pasal 3 KHI menyatakan bahwa Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
b) Dalam Pasal 4 menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
c) Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) KHI menentukan bahwa agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat, lalu dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) untuk memenuhi ketentuan
dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan,
8
sebagai perbuatan hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak boleh
ditinggalkan. Perkawinan menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak
lengkap. Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, jika
salahsatu rukunnya tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah. Rukun
perkawinan diantaranya calon suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi
dua orang saksi dan ijab qabul. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian
(persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat
perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap
harta kekayaan mereka. Adanya persetujuan dalam perkawinan juga penting
karena persetujuan perkawinan adalah hal yang penting karena merupakan
kesepakatan antara calon suami dan istri untuk mengikat dalam tali
perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
Ada perbedaan pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam
KUHPerdata dan UU Perkawinan. Menurut ketetntuan Pasal 147 KUHPerdata,
dengan ancaman kebatalan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta
notaris dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan
tersebut mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal 148
KUHPerdata menentukan bahwa sepanjang perkawinan berlangsung dengan
cara apapun juga perjanjian perkawinan tidak dapat diubah.
Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-
Undang.
9
Persetujuan atau kata sepakat dari calon suami istri merupakan unsur hakiki
dari perkawinan karena mengandung suatu keharusan adanya sifat akan
berlangsungnya perkawinan yang langgeng. Oleh karena itulah, persetujuan
tersebut haruslah berlandaskan kesadaran dari pihak yang bersangkutan
dan juga persetujuan itu harus bebas dari segala pengaruh tertentu yang
mengganggu kebebasan tersebut karena perkawinan pada asasnya adalah
untuk berlaku dan berlangsung langgeng selamanya atau seumur hidup.
Undang-undang memperkenankan kedua calon pasangan suami istri
untuk membuat suatu sebagai “perjanjian perkawinan”, yang umumnya
hanya menyangkut seputar pengaturan terhadap harta perkawinan, yang
dimaksudkan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin akan
timbul apabila perkawinan tersebut berakhir. Perjanjian perkawinan sebagai
suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk
dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Materi yang diatur di dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon
suami-calon istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang,
agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Perjanjian Perkawinan dapat dibuat pada
waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan waktu, sebelum
dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan dengan diadakannya akta
notaris.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur perihal
perjanjian perkawinan hanya di dalam satu pasal yaitu Pasal 29. Berdasarkan
ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan suatu perjanjian
tertulis. Selama perkawinan berlangusng perjanjian perkawinan tersebut tidak
dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk
mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Sejalan dengan
kewenangan Notaris tentang membuat akta, khususnya akta perjanjian
perkawinan sebagaimana yang ternyata dalam pasal 15 UUJN dijelaskan
wewenang yang ada pada notaris dapat dipahami dua hal yaitu;
10
1. Notaris dalam tugas jabatannya memformulasikan keinginan/ tindakan para
pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang
berlaku.
2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti
lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut
tidak benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib
membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa notaris berwenang
membuat akta otentik , sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pemberian
wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak
berarti memberikan kualifikasi sebagai pejabat umum tapi hanya menjalankan
fungsi sebagai pejabat umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan
oleh aturan hukum dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti
semula sebagai pegawai negeri. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a UU Jabatan
Notaris, Notaris, dalam jabatannya, berwenang mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam
buku khusus. Ketentuan ini, merupakan legalisasi terhadap akta di bawah
tangan, yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di
atas kertas yang bermaterai cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku
khusus, yang disediakan oleh Notaris. Poin dari legalisasi ini adalah, para pihak
membuat suratnya, dibawa ke Notaris, lalu menandatanganinya di hadapan
Notaris, kemudian dicatatkan dalam buku legalisasi. Tanggal pada saat
penandatanganan dihadapan Notaris, sebagai tanggal terjadinya perbuatan
hukum, yang melahiran hak dan kewajiban antara para pihak.
Notaris dapat pula membacakan/menjelaskan isi dari surat tersebut atau
hanya mengesahkan tanda tangan dan kepastian tanggalnya saja. Poinnya tetap
pada para pihak harus membubuhkan tanda tangannya di hadapan Notaris,
untuk kemudian tanda tangan tersebut disahkan olehnya. Notaris menetapkan
kepastian tanggal, sebagai tanggal ditandatanganinya perjanjian di bawah
11
tangan antara para pihak. Notaris kemudian menuliskan redaksi legalisasi pada
surat tersebut. Pengesahan tanda tangan dan penetapan kepastian tanggal,
dicatatkan dalam buku legalisasi. Notaris yang menyaksikan dan mengesahkan
tanda tangan, menetapkan kepastian tanggal, sebagai pejabat yang diberi
kewenangan oleh UU untuk menjelaskan/membenarkan/memastikan bahwa
benar pada tanggal sebagaimana tertulis dalam buku legalisasi, para pihak
membuat perjanjian di bawah tangan dan menghadap padanya untuk
menandatangani surat tersebut. Redaksi yang tertulis di lembar legalisasi
tersebut, sebatas itu pertanggungjawaban Notaris.
Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak
atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan
akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur
pembuatan akta notaris, sehingga jabatan notaris sebagai pejabat umum.
Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya, Notaris diperkenankan untuk menjalankan
jabatannya, adapun wewenang yang dimiliki oleh notaris meliputi;
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya.
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu
dibuat.
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta.
Mengenai kewenangan Notaris membuat akta, berkaitan dengan hal
tersebut bahwa suatu perjanjian harus berbentuk akta notariil sebagaimana
yang telah diharuskan dlm bntuk akta notariil agar dapat di catatkan dukcapil ,
akta notariil memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi
para pihak Kemudian setelah dicatatkan agar sesuai dengan ketentuan asas
publisitas yaitu mengikat kedua belah pihak dan berlaku bagi pihak ketiga.
Salah satu hal yang baru dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU/XIII/2015 adalah kewenangan notaris untuk mengesahkan
perjanjian perkawinan. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
12
69/PUU/XIII/2015 untuk sahnya perjanjian perkawinan harus ditindaklanjuti
dengan pencatatan oleh Pegawai Negeri Sipil. Adanya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015 ini notaris mempunyai fungsi untuk
mengesahkan perjanjian perkawinan. Pengesahannya yaitu dalam bentuk
perjanjian yang dibuat dalam Akta notariil. Selama ini di dalam praktek tugas
pencatatan perkawinan merupakan kewenangan dari Kantor Catatan Sipil,
notaris hanya berwenang membuat akta saja. Akta notaris tersebut tidak akan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sebelum didaftarkan/dicatatkan di
kantor catatan sipil, poin penting dalam hal ini adalah Pertama, perjanjian
perkawinan harus didaftarkan, untuk memenuhi unsur publisitas dari perjanjian
perkawinan yang dimaksud supaya pihak ketiga (diluar pasangan suami atau
istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan dalam perjanjian perkawinan
yang telah dibuat oleh pasangan tersebut. Jika tidak didaftarkan, maka
perjanjian perkawinan hanya mengika atay berlaku bagi para pihak yang
membuatnya, yakni suami dan istri yang bersangkutan. Kedua, sejak Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut berlaku, maka
pendaftaran/pengesahan/ pencatatan perjanjian perkawinan tidak lagi dilakukan
di kepaniteraan Pengadilan Negeri, untuk pasangan yang beragama islam.
Pencatatannya dilakukan oleh KUA pada buku nikah, sedangkan untuk yang
nonmuslim, pencatatan dilakukan oleh kantor catatan sipil setempat pada akta
nikah. Putusan MK Nomor 69/PUU/XIII/2015 telah membawa perubahan
besar atas norma yang selama ini berlaku.
Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan tidak berarti apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan tersebut tidak sah. Pengesahan
tersebut dilakukan dengan melakukan pembukuan atau pencatatan perjanjian
perkawinan tersebut di dalam buku daftar yang memang disediakan untuk
melakukan pencatatan..
Bentuk perjanjian perkawinan yang mana yang akan dibuat oleh suami
istri sepanjang perkawinan mereka tergantung dari tujuan dibuatnya perjanjian
perkawinan tersebut. Pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan
13
akan berakibat terhadap status hukum harta benda yang terdapat atau diperoleh
di dalam perkawinan tersebut maka tentunya pembuatan perjanjian perkawinan
tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Menjadi permasalahan adalah
bagaimana cara mengetahui adanya pihak ketiga yang dirugikan terkait dengan
pembuatan perjanjian perkawinan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU/XIII/2015 maupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan hanya menentukan bahwa apabila perjanjian perkawinan tersebut
telah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka perjanjian perkawinan
tersebut mengikat pihak ketiga. Untuk melindungi kepentingan pihak ketiga
tersebut sudah seharusnya terdapat tata cara yang harus ditempuh agar pihak
ketiga diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan terhadap perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh suami istri sepanjang perkawinan yang ternyata
merugikan pihak ketiga.
D. Simpulan
Suatu perjanjian harus berbentuk akta notariil sebagaimana yang telah
diharuskan dalam bntuk akta notariil agar dapat di catatkan dukcapil, akta
notariil memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi para
pihak. Setelah dicatatkan agar sesuai dengan ketentuan asas publisitas yaitu
mengikat kedua belah pihak dan berlaku bagi pihak ketiga. Akta notaris
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebelum didaftarkan/
dicatatkan di kantor catatan sipil, poin penting dalam hal ini adalah perjanjian
perkawinan harus didaftarkan, untuk memenuhi unsur publisitas dari perjanjian
perkawinan yang dimaksud supaya pihak ketiga (diluar pasangan suami atau
istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan dalam perjanjian perkawinan
yang telah dibuat oleh pasangan tersebut. Jika tidak didaftarkan, maka
perjanjian perkawinan hanya mengikat atau berlaku bagi para pihak yang
membuatnya, yakni suami dan istri yang bersangkutan.
E. Saran
1. Kepada Pegawai pencatat perkawinan atau kantor catatan sipil hendaknya
mengadakan sosialisasi kepada masyarakat bahwa dalam mendaftarkan
perjanjian perkawinan harus dengan akta otentik dari notaris, apabila tidak
14
ada akta otentik tersebut maka perjanjian perkawinan tidak berkekuatan
hukum.
2. Adanya perlindungan hukum terhadap pihak ketiga diakibatkan karena
adanya perjanjian perkawinan.
F. Daftar Pustaka
Abdul Rahman Ghozali. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media Group.
Ahmad Azhar Basyir. 2000. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Pres.
Hilman Hadikusuma. 2003. Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
Hilman Hadikusuma. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju.
I Nyoman Putu Budiarta. 2017. “Dilema Penegakan Hukum Putusan MK No.69/PUU-
xii/2015 (Persoalan Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin)”,
Jurnal Notariil Vol. 1, No. 2, Mei Universitas Warmadewa.
Laurensius Mamahit. 2013. “Hak dan Kewajiban Suami Isteri Akibat
Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia”, Lex
Privatum Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013 Manado: FH Universitas Sam
Ratulangi
M. Yahya Harahap. 1975. Hukum Perkawinan Nasional, Medan; Zahir.
Monte Neil S. 2008. “Marriage Facts”, Harvard Journal of Law and Public Policy Vol
31 No. 1.
R. Subekti. 1994. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa.
Shahzad Iqbal Sham. 2011. Some Aspects of Marriage and Divorce in Muslim Family
Law, Sharia Academy, International Islamic University, Islamabad.
Ter Haar. 1960. Asas-asas Susunan Hukum Adat, (terjemahan Soebakti Poesponoto
K.Ng, Jakarta : Pradnya Paramita.
Utsman Ali. Pengertian dan Tujuan Pernikahan dalam
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-tujuan-
pernikahan-perkawinan.html
Recommended