View
220
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
FUNDAMENTALISME GERAKAN
ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA/SHAM
(ISIS) DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rizqi Saefurrohman
NIM: 1110112000044
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
FUNDAMENTALISME GERAKAN
ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA/SHAM
(ISIS) DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rizqi Saefurrohman
NIM: 1110112000044
Pembimbing:
Dr. Nawiruddin, M.Ag
NIP. 19720105 200112 1 003
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
i
ABSTRAK
Skripsi ini mendeskripsikan gerakan fundamentalisme Islam, khususnya
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia. Kelompok radikal berkedok
agama ini ingin mendirikan sistem pemerintahan Islam atau khilafah di Indonesia.
Mereka menganggap bahwa perang jihad menjadi suatu keharusan untuk
melindungi sampainya dakwah Islam kepada seluruh lapisan umat. Tanpa senjata
di tangan, penyebaran Islam ini akan menghadapi berbagai rintangan, baik dalam
politik, sosial, ekonomi, kebangsaan dan geografis.
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini bersifat dokumenter, yaitu diambil
dari buku-buku, jurnal, artikel, dan wawancara. Dari hasil pengumpulan data
tersebut, kemudian diproses dengan melakukan penyusunan dan pereduksian data,
yang pada akhirnya akan ditarik menjadi kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian, skripsi ini menyimpulkan bahwa konsep dan
strategi gerakan fundamentalisme Islam seperti ISIS di Indonesia memiliki dua
bentuk, pertama adalah dari pintu ke pintu. Kedua, mereka berdakwah melalui
internet, dengan menggunakan ayat-ayat yang dimaknai radikal secara sempit dan
jihad. Pengaruh gerakan ISIS di Indonesia sangat kompleks, di antaranya yaitu
mengancam kedaulatan dan integritas negara, menyebabkan ketidakpercayaan
rakyat terhadap pemerintah, mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia dan
bahkan dunia internasional, merusak sistem perekonomian di Indonesia, merusak
citra Islam di mata agama lain, mengancam kedaulatan bangsa, integritas wilayah,
perlindungan terhadap warga negara, serta kepentingan negara, dan mengancam
seluruh unsur keamanan negara.
Adapun peran pemerintah, khususnya BNPT dalam mencegah
perkembangan kelompok radikal seperti ISIS di Indonesia memiliki dua strategi
utama, yaitu strategi kontra radikalisasi dan strategi deradikalisasi. Strategi kontra
radikalisasi ditujukan terhadap kelompok pendukung, simpatisan, dan masyarakat
yang belum terpapar paham radikal. Sementara strategi deradikalisasi lebih
ditujukan terhadap kelompok yang sudah terpapar paham teror, kelompok inti dan
militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan identifikasi, rehabilitasi,
permasyarakatan, dan reedukasi.
Kata Kunci: Gerakan Islam, Fundamentalisme Islam, ISIS.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan hidayah, rahmat dan ilmu-Nya kepada kita, serta berkat-Nya lah
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga
senantiasa terlimpahcurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah membina
umat manusia menuju jalan yang diridhai oleh Allah Swt, dan semoga kita
menjadi salah satu umat yang mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak. Amiin
Dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gerakan Fundamentalisme
Islamic State of Iraq and Syria/Sham di Indonesia” ini tentunya banyak
melibatkan berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Iding Rosyidin, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Suryani, M.Si selaku Sekretaris
Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr, Nawiruddin, M,Ag selaku pembimbing skripsi penulis yang
senantiasa membimbing, memotivasi dan menginspirasi penulis,
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini. Jazakumullah
ahsana al jaza.
4. Segenap dosen civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Khususnya Program Studi
Ilmu Politik yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas segala
iii
ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh studi di kampus
tercinta ini, baik di dalam maupun di luar kelas perkuliahan.
5. Ayahanda dan Ibunda penulis tercinta atas bimbingan moral dan
spiritual, dukungan do’a dan restunya. Semoga Allah Swt senantiasa
memberikan rahmat, keselamatan dan kesehatan kepada kalian.
Kemudian Istri tercinta yang selalu memberikan perhatian dan
supportnya, Kakak-kakak, dan Adik-adik penulis trimakasih atas
dukungannya.
6. Prof. Dr. Irfan Idris, MA selaku Ketua Umum Bidang Deradikalisasi
pada lembaga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atas
segala informasi yang diberikan.
7. Teman-teman Ilmu Politik angkatan 2010, khususnya Rizky Ilham alias
Ajo (Sumatera Barat), Masrizal (Lampung), M. Abroor (Tangerang),
Fareed Bahram Mukhttar (Kalimantan Selatan), Adi Budiman (Cirebon),
Rafsanjani (Garut), Kholil (Madure), Lay Maulana (Medan), dan teman-
teman penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas
semangat perjuangan dalam menyelesaikan studi di jurusan Ilmu Politik
FISIP UIN Jakarta.
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah .............................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 6
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 7
E. Kerangka Teoritis .................................................................. 9
F. Metode Penelitian .................................................................. 15
G. Sitematika Penulisan ............................................................. 17
BAB II KERANGKA TEORI FUNDAMENTALISME GERAKAN
POLITIK
A. Pengertian dan Konsep Fundamentalisme ............................ 19
1. Pengertian Fundamentalisme ........................................... 19
2. Teori Fundamentalisme .................................................... 21
B. Konsep dan Teori Gerakan Fundamentalisme Islam ............ 23
BAB III GAMBARAN UMUM IDEOLOGI ISIS
A. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan ISIS .......................... 31
B. Latar Belakang dan Kemunculan ISIS di Indonesia ............. 36
C. Landasan Pemikiran Ideologi Politik ISIS ............................ 40
D. Tujuan Utama Gerakan ISIS ................................................. 43
v
BAB IV GERAKAN ISIS DI INDONESIA
A. Metodologi dan Strategi Gerakan ISIS ................................. 46
B. Gerakan dan Sasaran Utama ISIS ......................................... 50
C. Eksistensi Gerakan ISIS dalam Konsep Negara Kesatuan
Republik Indonesia ................................................................ 53
D. Pengaruh Gerakan ISIS di Indonesia .................................... 55
E. Peran Pemerintah dalam mencegah Perkembangan ISIS di
Indonesia ............................................................................... 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 68
B. Saran ...................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah tentang kelompok radikal
berkedok agama yang ingin mendirikan sistem pemerintahan Islam atau khilafah
di Indonesia. Sebagian besar umat Islam bukanlah fundamentalis, dan sebagian
besar fundamentalis bukanlah teroris, namun sebagian teroris sekarang ini adalah
Muslim, dan mereka dengan bangga mengakui diri mereka sebagai Muslim. Dapat
dipahami, kaum Muslimin protes ketika media mengatakan gerakan-gerakan dan
perbuatan-perbuatan teroris sebagai gerakan dan perbuatan “Islam” dan
mempertanyakan kenapa media tidak juga menyamakan teroris dari Irlandia dan
Basque sebagai teroris “Kristen”. Jawabannya sederhana dan jelas – mereka tidak
menyatakan diri mereka sebagai teroris Kristen.1
Menurut Abdullah Azzam, munculnya agama Islam di muka bumi adalah
untuk seluruh umat manusia di seluruh permukaan bumi Allah. Maka bertolak
dari sinilah perang jihad menjadi suatu keharusan untuk melindungi sampainya
dakwah Islam kepada seluruh lapisan umat. Tanpa senjata di tangan, penyebaran
Islam ini akan menghadapi berbagai rintangan, baik dalam politik, sosial,
ekonomi, kebangsaan dan geografis.2
Sedangkan menurut Akhmad Elang Muttaqin, Radikalisme, baik dalam
karakternya yang skriptualis, opsitionalis, dan puritan sekalipun, sejatinya
merefleksikan semangat pembaruan ke arah yang lebih baik. Ia berfungsi sebagai
1 Bernard Lewis, Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror, Penerjemah: Ahmad Lukman
(Jakarta: Ina Publikatama, 2004), h. 130 2 Abdullah Azzam, Perang Jihad di Jaman Modern, Penerjemah: H. Salim Basyarahil
(Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 47
2
pengaturan kolektif agar pesan dasar perubahan tetap berpengaruh atas umat dan
berada dalam koridor-koridor Islami. Ia juga berperan penting sebagai kritik atas
modernisme yang tidak jarang melahirkan ekses-ekses negatif bagi masyarakat.
Kendatipun demikian, sangat disayangkan bila ide pembaruan tersebut kemudian
dinodai oleh kuatnya semangat absolutis maupun radikalis. Pandangan absolutis
bagaimanapun mencerminkan sebuah kedangkalan intelektual. Munculnya
kedangkalan intelektual ini telah jauh-jauh diperingatkan Fazlur Rahman, bahwa
mereka tidak mampu menciptakan sistem pendidikan, tidak mampu menciptakan
metodologi, strategi struktural untuk memahami Islam dan menafsirkan al-Qur‟an
sehingga mereka terjebak pada pandangan yang absolutis, skriptualis, puritan dan
tidak jarang radikal. Paradigma absolutis maupun radikalis juga mengerdilkan
nilai asasi dari Islam itu sendiri. Islam selalu mengajarkan kepada umatnya untuk
selalu bersikap egaliter, pluralis, dan melarang penggunaan cara-cara kekerasan.3
Dalam konteks Islam, agama senantiasa menunjukkan peran pentingnya dan
sangat serius mempengaruhi intelektualitas serta mengasah hati nurani ratusan
juta penduduk di berbagai negara Asia-Afrika.4 Antara tahun 1970 an hingga 1980
an, tampak jelas pada beberapa negara, peningkatan kasus perampasan dan
kejahatan dalam sistem sosial, ekonomi dan politik sebagai akibat pengaruh yang
datang dari luar. Nilai-nilai yang diimpor, yang sesungguhnya diformulasikan
dalam lingkungan kultural yang berbeda, telah menimbulkan pertentangan yang
3 Erlangga Husada, dkk, Kajian Islam Kontemporer (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007),
h.5 4 Victor Feodorovich Sychev, Islam Indonesia di Mata Orientalis Rusia, Penerjemah:
Wan Jamaludin Z (Jakarta: Litbang Depag RI, 2008), h.19
3
sengit dengan kondisi lokal dan struktur tradisional yang ada. Berlangsunglah
proses perombakan yang melelahkan dan destruktif selama berabad-abad.5
Seperti masa-masa sebelumnya, saat ini di kalangan umat Islam masih
terjadi perbedaan pendapat terkait makna “jihad” dan bahkan tidak jarang terjadi
perselisihan antara beberapa aliran pemikiran, ajaran, dan sekte-sekte keagamaan.
Hal ini menjadi pemicu terjadinya gerakan-gerakan radikal yang dapat merugikan
masyarakat secara umum. Benih-benih terorisme pun tumbuh subur karena
berakar pada pemahaman jihad yang salah. Ayat-ayat jihad yang semuanya turun
di Madinah, yaitu di zaman perang, mengalami distorsi ketika ayat-ayat tersebut
diartikan dengan “perang” di wilayah non-konflik dan aman seperti di Indonesia.6
Gerakan radikalisasi yang terjadi di Indonesia misalnya, yang muncul begitu
masif pasca jatuhnya Orde Baru tentu bukanlah suatu peristiwa yang bersifat
spontanitas dan reaksional atas perubahan sistem politik. Ia ada, tumbuh dan
berkembang oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhinya.
Latar belakang kemunculan mereka dapat dilacak jauh sebelum kejatuhan Orde
Baru – bahkan jauh sebelum Orde Baru terbentuk. Pemunculannya ke permukaan
hanya tinggal menunggu waktu, dan kejatuhan Soeharto adalah momentum
tersebut. Sehingga tidak lama setelah jatuhnya Soeharto, organisasi-organisasi
seperti FKASWJ, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang berhaluan puritan, berkarakter
militan, radikal skriptualis, konservatif, dan ekslusif unjuk gigi. Sedangkan para
teroris setiap saat hadir menebar ancaman. Hasilnya, Poso membara; ribuan
5 Victor Feodorovich Sychev, Islam Indonesia di Mata Orientalis Rusia, Penerjemah:
Wan Jamaludin Z (Jakarta: Litbang Depag RI, 2008), h.21-22 6 Khairul Ghazali, Aksi Teror Bukan Jihad (Jakarta: Daulat Press, 2015), h. 105
4
nyawa hilang sia-sia, Bali menggelegar; ratusan orang mati terbakar dan
kebebasan beragama terpasung oleh tentara-tentara Tuhan.7
Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, baru-baru ini muncul organisasi
radikal berkedok agama yang mengancam eksistensi Islam Indonesia, tidak lain
adalah Islamic State of Iraq and Syria/Sham (ISIS). Ini terlihat dari beredarnya
video ISIS di Youtube pasca Idul Fitri lalu (1935 H./2014 M.) di mana seorang
Abu Muhammad al-Indonesi dengan berapi-api memprovokasi warga Muslim
Indonesia untuk menyertai "jihad" ISIS di Levant (Irak dan Suriah). Dikelilingi
beberapa orang berwajah Indonesia bersenjata lengkap, video itu jelas
memperlihatkan keterlibatan sejumlah Muslim Indonesia di medan perang ISIS.8
Meski ada potensi ISIS bisa merekrut segelintir Muslim dari berbagai
penjuru dunia, pada saat yang sama ISIS mengandung lebih banyak potensi
mendapat perlawanan dari mayoritas terbesar umat Islam. Hal ini terkait terutama
dengan paham keagamaannya yang bersifat ”ultra-puritan” yang bahkan jauh
lebih ekstrem daripada paham Wahabiyah. ISIS menghancurkan banyak masjid di
wilayah yang mereka duduki, dengan alasan masjid-masjid itu jadi ”tempat
pemujaan” berbau musyrik yang bertentangan dengan akidah tauhid. Dengan
paham keagamaan "ultra-puritan", ISIS berniat menghancurkan Ka‟bah di
Mekkah yang menurut mereka telah menjadi pusat pemujaan kemusyrikan.9
Dewan Pemantau Takfiriyah Lembaga Fatwa Mesir Dar al-Ifta mencatat,
setidaknya ada 50 masjid yang dihancurkan ISIS di sejumlah negara yang mereka
7 Erlangga Husada, dkk, Kajian Islam Kontemporer (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007),
h.6 8 Azyumardi Azra, “ISIS, “Khilafah”, dan Indonesia”, diakses dari http://kompas.com
pada 17 Desember 2014. 9 Azyumardi Azra, “ISIS, “Khilafah”, dan Indonesia”, diakses dari http://kompas.com
pada 17 Desember 2014.
5
jadikan target operasi, yaitu Suriah, Irak, Yaman, dan terakhir Arab Saudi.
Bahkan Dewan Wakaf Sunni Mosul Irak menyebutkan, 211 tempat ibadah Islam
dan non-Islam telah dirusak ISIS. Mereka juga menyasar makam-makam para
sahabat, tabi‟in, dan para wali Allah Swt. Adapun sejumlah masjid dan makam
yang telah dirusak ISIS di antaranya yaitu Masjid al-Arba‟in al-Muqaddas dan 40
makam sahabat Nabi Saw di tengah-tengah Kota Tirkit (170 km utara dari
Baghdad) pada 24 September 2014, Masjid Khidhir di bagian selatan Mosul (Irak)
pada Maret 2015, Makam Nabi Yunus AS pada 2014, dan lain sebagainya.10
Walau potensi keberhasilannya relatif kecil, gagasan dan praksis ISIS dapat
menimbulkan masalah serius dalam kehidupan politik, agama, dan sosial di Tanah
Air. Hampir bisa dipastikan, pendukung utama ISIS dengan khilafah-nya adalah
sejumlah orang atau kelompok kecil radikal yang selama ini aktif di Indonesia.
Mayoritas terbesar umat Islam Indonesia sebagai arus utama yang umumnya
tergabung di NU, Muhammadiyah, dan banyak lagi di seantero Nusantara jelas
menolak "khilafatisme" dan kekerasan.11
Terlepas dari dampak negatif yang ditimbulkan, kiranya menarik untuk
diteliti lebih dalam tentang apa faktor yang melatarbelakangi munculnya ISIS di
Indonesia, dan bagaimana kelompok ini dapat bertahan di Tanah Air. Oleh karena
itu, skripsi ini penulis beri judul “Fundamentalisme Gerakan Islam: Studi Atas
Islamic State Of Iraq And Syria/Sham (ISIS) di Indonesia.”
10
Lihat Republika Online Edisi Jum‟at, 2 Oktober 2015. Diakses dari http://
republika.co.id/home/dunia-islam/khazanah.html pada 3 Juni 2017. 11
Azyumardi Azra, “ISIS, “Khilafah”, dan Indonesia”, diakses dari http://kompas.com
pada 17 Desember 2014.
6
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka pertanyaan penelitiannya
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dan strategi gerakan politik ISIS di Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh gerakan ISIS di Indonesia?
3. Bagaimana peran pemerintah mencegah perkembangan ISIS di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejauh mana gerakan ISIS di Indonesia.
2. Untuk mengetahui sejauh mana dampak negatif yang ditimbulkan
gerakan ISIS di Indonesia.
3. Untuk mengetahui sejauh mana peran pemerintah Indonesia dalam
mencegah perkembangan ISIS di Indonesia.
b. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain ialah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis, yaitu membantu mengembangkan khazanah keilmuan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam hal
organisasi radikal yang berkembang di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Memotivasi mahasiswa Ilmu Politik untuk melakukan penelitian
tentang ideologi politik yang berkedok agama di Indonesia.
7
b. Memberikan kontribusi pemikiran kepada masyarakat agar waspada
terhadap gerakan-gerakan radikal berkedok agama yang terjadi di
Indonesia.
c. Memberikan kontribusi pengalaman dan keterampilan dalam
mengaplikasikan teori secara empiris.
D. Tinjauan Pustaka
Studi yang membahas kelompok fundamentalis Islam telah banyak
dilakukan oleh para pengkaji dalam bentuk buku, artikel, skripsi, dan lain
sebagainya. Salah satu buku yang membahas tentang kelompok fundamentalis
tersebut adalah Sejarah ISIS dan Illuminati yang ditulis oleh Ahmad Yanuana
Samantho pada tahun 2014. Dalam buku tersebut dijelaskan asal-usul berdirinya
ISIS dalam bingkai perpolitikan dunia. Dimulai dari adanya konflik di wilayah
Timur Tengah, seperti perang Irak-Iran awal tahun 1980-an, Perang Teluk awal
1990-an, Gerakan Taliban, al-Qaeda, invansi AS ke Irak hingga Arab Spring.12
Buku tersebut banyak menjelaskan keadaan ISIS sebagai senjata untuk
memperburuk wilayah Timur Tengah oleh Amerika Serikat.
Buku selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini adalah ISIS:
Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, yang ditulis oleh Muhammad
Haidar Assad pada tahun 2014. Buku ini menjelaskan beberapa poin penting
terkait tentang gerakan ISIS yang menjadi sorotan dunia dengan aksinya yang
mengancam stabilitas negara. Dalam buku ini juga dijelaskan mulai dari sejarah
ISIS di Irak dan Suriah, serta perkembangannya dalam perpolitikan dunia yang
12
Ahmad Yanuana Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati (Jakarta: PT. Ufuk Publishing
House, 2014), h.7-8
8
gencar dengan sistem khilafah Islam. Menariknya dalam buku ini, juga
dipaparkan aksi ISIS di Indonesia yang mendeklarasikan dirinya di salah satu
Universitas Islam Negeri ternama di Tangerang Selatan, yakni UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.13
Selanjutnya, studi tentang salah satu kelompok fundamentalis ini juga
pernah dikaji dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Idris dengan judul
“Fundamentalisme Islam: Analisis Pemikiran Politik Bassam Tibi” (Skripsi S1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) tahun 2007. Penelitiannya lebih khusus kepada
pemikiran politik Bassam Tibi yang menganggap bahwa pembangunan sistem
sosial politik berdasarkan syariat adalah sesuatu yang tidak mungkin terwujud di
zaman modern ini, karena minimnya dukungan dari umat Islam sendiri.14
Menurut
Bassam Tibi, ide tentang negara Islam adalah konsep yang kabur atas dasar
politisasi, dan cenderung membangkitkan kembali kesewenang-wenangan dengan
menyeleksi komponen-komponen doktrin Islam tanpa menyadari bias modern ke
dalam sejarah dan pemikiran Islam klasik.15
Selain itu, ada pula yang membahas tentang “Respon Ideologi
Fundamentalisme Islam terhadap Prognosis Politik Kaum Endist” (Skripsi S1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang dikaji oleh Ade Mulyana pada tahun 2006.
Di dalam skripsinya tersebut, ia menyebutkan beberapa kaum fundamentalis Islam
seperti Hizbut Tahrir, Taliban, Ikhwanul Muslimin, dan para tokoh-tokoh
fundamentalis Islam yang menegaskan perlunya penegakkan kembali identitas
13
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
(Jakarta: Zahira, 2014), h.169-170 14
Idris, “Fundamentalisme Islam: Analisis Pemikiran Politik Bassam Tibi” (Skripsi S1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h.59 15
Idris, “Fundamentalisme Islam: Analisis Pemikiran Politik Bassam Tibi” (Skripsi S1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h.53
9
politik Islam, serta membebaskan wilayah-wilayah Islam dari akar-akar nilai,
budaya, politik, militer dan ekonomi Barat. Penjagaan dan pemeliharaan ini harus
dilakukan dengan terwujudnya Khilafah Islamiyah, penerapan sistem hukum, dan
jaminan revolusi dan mengawal khilafah Islamiyah.16
Dari beberapa studi penelitian ideologi politik Islam di atas, terdapat
perbedaan yang membuat penulis ingin meneliti sebuah kelompok fundamentalis
yang saat ini tersebar di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia, yakni ISIS.
Berbeda dengan kelompok fundamentalis sebelumnya, kelompok ini mengalami
dinamika politik yang sangat ekstrem, sehingga bentuk kekerasan dan ancaman
kerap terjadi demi terwujudnya negara Islam atau Daulah Islamiyah yang berbasis
Khilafah.
E. Kerangka Teoritis
Studi ini menggunakan teori gerakan sosial Islam Quintan Wiktorowicz
tentang gerakan organisasi radikal yang berkedok Islam, dan teori ideologi politik
fundamentalis Ian Adams tentang sistem pemerintahan dalam Islam, yakni
Khilafah. Dengan tujuan utamanya, yakni untuk memperjelas sistem Khilafah
yang diusung oleh kelompok ISIS dengan berbagai macam gerakan dan kekerasan
yang dilakukan di berbagai belahan dunia – termasuk Indonesia- demi tercapainya
sistem pemerintahan tersebut, serta menguji kebenaran bahwa terbentuknya
Daulah Islamiyah atau negara Islam dengan membentuk khilafah adalah cita-cita
yang didambakan oleh kelompok umat Islam seperti ISIS.
16
Ade Mulyana “Respon Ideologi Fundamentalisme Islam terhadap Prognosis Politik
Kaum Endist” (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 58
10
a. Gerakan Sosial Islam
Quintan Wiktorowicz mengemukakan bahwa teori gerakan sosial Islam
merupakan suatu kerangka dan agenda menyatukan, yang menyediakan bentuk-
bentuk penelitian yang efektif untuk memperluas batas-batas penelitian tentang
aktivisme Islam sebagai mobilisasi perseteruan untuk mendukung kepentingan
dan tujuan kaum Muslim. Dalam hal ini, terdapat beragam perseteruan yang
seringkali muncul atas nama Islam, termasuk gerakan-gerakan dakwah,
kelompok-kelompok teroris, tindakan kolektif yang bersumber dari simbol dan
identitas Islam, dan gerakan-gerakan politik yang berusaha untuk mendirikan
sebuah negara Islam.17
Gerakan Islam –tak jarang menggunakan kekerasan- menjadi fenomena
yang sangat menonjol menyeruak di media internasional. Menurut M. Imam Aziz,
tragedi penyerangan 11 September oleh al-Qaeda hanyalah puncak dari serentetan
drama kekerasan yang memakan korban orang-orang yang tidak mengetahui apa
yang sesungguhnya „dipikirkan‟ para pelakunya. Di negara-negara di mana
penduduk Muslim menjadi mayoritas maupun minoritas, ledakan kekerasan
seolah beruntun tidak berkesudahan. Munculnya organisasi-organisasi baru yang
dideklarasikan, dan mendemonstrasi dengan menumpahkan massa ke jalan-jalan
ibukota maupun di kota-kota kecil terus digelar. Sehingga menimbulkan
pertanyaan apakah ini adalah „khas‟ Islam?.18
Fenomena gerakan Islam masih didominasi oleh asumsi bahwa gerakan
Islam merupakan „penyimpangan‟ dari arus utama Islam, yang muncul karena
17
Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan dan Studi Kasus,
Penerjemah: Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), h. 36, 39 18
Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan dan Studi Kasus,
Penerjemah: Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), h. 1-2
11
didorong oleh rasa frustasi atas ketimpangan dan kemiskinan, sehingga mereka
terjerumus dalam tindakan tak rasional, mudah diprovokasi dan ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan di luar dirinya. Apakah memang demikian pemahaman
yang sesungguhnya?. Pemahaman yang lebih ilmiah, mengikuti alur metodologi
ilmu sosial, terhadap gejala perlawanan yang membawa bendera Islam, tak dapat
diperoleh secara memadahi.19
Sejak akhir tahun 1990-an, sejumlah peneliti gerakan Islam mulai
menjembatani kesenjangan antara studi gerakan Islam dan teori-teori ilmu sosial
tentang aksi kolektif. Premis dasarnya adalah bahwa gerakan Islam tidak sui
generis. Daripada menekankan kekhasan Islam sebagai sebuah sistem makna,
identitas, dan dasar aksi kolektif, mereka mencari kesamaan gerakan yang berakar
dalam proses: bagaimana gagasan diorganisasikan, bagaimana ide-ide dibingkai
dan disebarluaskan, bagaimana keluhan dikolektifkan, dan merancang taktik serta
strategi untuk menanggapi perubahan eksogen dan bagaimana melihat peluang
dan kendala. Maka dari pendekatan tersebut, para peneliti menekankan tiga
bingkai proses: mobilisasi sumber daya, pengambilan keputusan dan framing yang
semuanya umum ditemukan di dalam gerakan Islam maupun non-Islam.20
Dengan demikian, maka Imam Aziz menegaskankan bahwa gerakan Islam
bukanlah sekumpulan orang-orang bodoh atau menyimpang, tetapi sebuah
gerakan yang dipandu oleh pilihan rasional, yang mengetahui biaya dan resiko,
peluang dan tantangan, apalagi dengan kemampuan merekrut anggota dan
memengaruhi publik yang lebih luas dengan menggunakan bahasa dan simbol
19
Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan dan Studi Kasus,
Penerjemah: Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), h. 3 20
Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan dan Studi Kasus,
Penerjemah: Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), h. 3
12
yang cukup kreatif. Jika perspektif ini yang diambil, maka sesungguhnya
Indonesia adalah sebuah kawasan penuh kontestasi. Mungkin cukup
membahayakan, tetapi cukup menantang.21
Salah satu gerakan Islam juga sering dikenal dengan istilah “jihad”.
Menurut kalagan militan Islam, jihad dengan melawan orang kafir adalah sebuah
kewajiban suci; kalangan militan melakukan interpretasi iman Islam, meyakini
bahwa orang-orang yang sungguh-sungguh beriman wajib melawan kaum muslim
yang tidak memiliki komitmen total, dan bahwa Ahl al-Kitab juga dianggap
sebagai kafir, yang harus diperangi. Interpretasi mereka tentang jihad yang tidak
tergoyahkan, yang meremehkan perjuangan bersenjata, dan melihat jihad hanya
sebatas pencarian pahala, disebut sebagai makna revolusioner yang sebenarnya
dalam Islam.22
Di samping gerakan Islam di atas, muncul gerakan-gerakan modern Islam
yang lebih lunak dan lebih berfokus pada nasionalisme politik, seperti halnya di
Indonesia. Gerakan-gerakan modern Islam ini pada dasarnya telah tersebar luas di
seluruh wilayah Indonesia sejak berdirinya partai politik seperti Sarekat Islam
pada tahun 1911, kemudian muncul gerakan politik modern Islam selanjutnya
seperti Persatuan Muslimin Indonesia pada tahun 1930-an, Partai Islam Indonesia
pada tahun 1937, hingga muncul golongan tradisi, golongan pembaharu, dan lain
sebagainya yang bermunculan pasca kemerdekaan Indonesia.23
21
Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan dan Studi Kasus,
Penerjemah: Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), h. 7 22
John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, Penerjemah: Alwiyah
Abdurrahman dan MISSI (Bandung: Mizan, 1995), h. 150 23
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: PT Pustaka
LP3ES Indonesia, 1996), h.114
13
Dengan beragamnya gerakan-gerakan modern Islam tersebut bukan berarti
tidak adanya kesamaan di antara organisasi-organisasi pembaharu. Walaupun ada
keberagaman dalam sikap, kecenderungan dan kebijaksanaan, dasar-dasar
pemikiran mereka yang mencerminkan cita-cita pembaharu merupakan alasan
yang cukup kuat untuk dikatakan bahwa semua gerakan modern Islam di
Indonesia tersebut adalah satu gerakan.24
b. Sistem Khilafah
Bagi ISIS, khilafah adalah satu-satunya institusi atau entitas politik yang
bisa mempersatukan umat Islam seluruh dunia. Menurut mereka, hanya dengan
khilafah, umat Islam sedunia dapat mengatasi masalah semacam keterbelakangan,
kemiskinan, pengangguran, dan berbagai bentuk kenestapaan lain.25
Fazlur
Rahman berpendapat bahwa tujuan adanya khilafah atau negara Islam adalah
untuk mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara
terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun negara tersebut
sehingga setiap warganegaranya menyadari kemampuan-kemampuannya dan mau
menyumbangkan kemampuannya tersebut demi kesejahteraan warga negara.26
Hal ini terlihat karena Nabi dan para khalifahnya dianggap telah berhasil
memosisikan hubungan antara agama dan politik dalam keseimbangan yang
sempurna. Keseimbangan ini merupakan sebuah prestasi yang luar biasa jika
melihat bahwa sepanjang sejarah dunia, biasanya, otoritas politik mendominasi
24
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: PT Pustaka
LP3ES Indonesia, 1996), h.320 25
Azyumardi Azra, “ISIS, “Khilafah”, dan Indonesia”, diakses dari http://kompas.com
pada 17 Desember 2014 26
John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-
masalah, Penerjemah: Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. 482
14
otoritas agama.27
Karena itulah, dari waktu ke waktu selalu ada kelompok di
kalangan umat Islam yang mengorientasikan cita gerakan mereka untuk
pembentukan khilafah.
c. Khalifah
Pemikiran politik Islam tidak hanya berkutat di sekitar gagasan tentang
negara, tetapi juga membahas ide-ide tentang komunitas Muslim yang dipimpin
oleh Khalifah (sebagai pengganti Nabi). Khalifah menjalankan kekuasaannya
dibimbing oleh saran-saran dari ulama yang terdiri dari sarjana agama yang ahli di
bidang syariah, atau hukum Tuhan yang tertuang dalam al-Qur‟an dan hadis
Nabi.28
Kepala negara dalam negara Islam (Khalifah) merupakan pusat kekuatan-
kekuatan yang begitu besar, yang diamanatkan kepadanya dalam rangka
mengamankan kepentingan-kepentingan masyarakat muslim. Karena itu, ia secara
langsung bertanggung jawab terhadap mereka. Dengan alasan inilah kekuasaan ini
dapat dijalankan oleh seorang khalifah asalkan ia mampu, sanggup bekerja keras
dan yang perhatiannya ditujukan kepada masyarakat dan negaranya. Ia haruslah
orang yang benar-benar berwibawa dan dihormati oleh rakyat. Perlu dicatat bahwa
kesetiaan dan kejujuran, keduanya sangat diperlukan bagi pemegang jabatan
kepala negara Islam. 29
27
Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya,
Penerjemah: Ali Noerzaman (Yogyakarta: Qalam, 2004), h.428-429 28
Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya,
Penerjemah: Ali Noerzaman (Yogyakarta: Qalam, 2004), h.427 29
John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-
masalah, h. 493-494
15
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yakni
sebuah alur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif baik tertulis
maupun tidak tertulis dari objek yang diamati.30
Dalam hal ini, peneliti
mendeskripsikan hasil penelitian yang bersumber dari teknik pengumpulan data,
yang meliputi wawancara dan dokumenter.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Menurut Lexy J. Moleong, wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara dan yang
diwawancarai, yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang di ajukan. Hal ini
bertujuan antara lain: mengkonstruksi tentang manusia, kejadian, kegiatan,
organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Untuk dapat
memproyeksikan masa yang akan datang: memverifikasi, mengubah dan
memperluas konstruksi.31
Penelitian ini akan dilakukan kurang lebih selama 3 bulan, terhitung dari
bulan Oktober hingga Desember 2015. Sedangkan informan yang akan penulis
wawancarai terkait penelitian ini adalah seseorang yang ahli di bidang terorisme
dan gerakan-gerakan organisasi radikal lainnya, yakni Prof. Dr. Irfan Idris, MA
(Ketua Umum Deradikalisasi BNPT). Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) merupakan lembaga pemerintah yang berwenang mengurus hal-hal
30
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
h. 3 31
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
h. 135
16
pencegahan terorisme, sehingga kunci penelitian tentang perkembangan ISIS di
Indonesia berada di tangan BNPT. Oleh karena itu, pengambilan sampel
wawancara dari BNPT dianggap cukup sebagai sumber data penelitian.
Penelitian ini akan didokumentasikan melalui beberapa alat bantu seperti
tape recorder (alat perekam suara) atau alat perekam dari handphone untuk
mewawancarai informan yang kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk
tulisan, kemudian camera digital yang digunakan untuk mendokumentasikan
gambar-gambar atau jejak rekam gerakan ISIS saat penelitian. Dengan kata lain,
semua dokumen-dokumen yang mendukung penelitian ini akan didokumentasikan
secara optimal.
b. Dokumenter
Proses dokumenter ini dilakukan untuk memperoleh data-data yang
bersifat tertulis atau bersifat dokumen seperti buku, artikel, dan majalah. Proses
dokumenter juga dapat berupa gambar, maupun karya-karya monumental dari
seseorang. Menurut Sugiyono, studi dokumenter ini merupakan pelengkap dari
penggunaan metode wawancara dalam penelitian kualitatif.32
Studi dokumentasi
ini juga merupakan bukti atas beberapa aktivitas penelitian, dimulai dari proses
wawancara yang ditransformasikan ke dalam bentuk tulisan, maupun gambar-
gambar hasil penelitian, yang kemudian dijadikan sebagai lampiran-lampiran hasil
penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik deskriptif
analitis, yaitu metode yang menggambarkan keadaan suatu objek penelitian secara
32
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 82
17
tepat, sehingga diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan yang diteliti.
Tujuan deskriptif analitis ini yaitu memberikan deskripsi mengenai subjek
penelitian berdasarkan data variabel yang diperoleh dari subjek yang diteliti dan
tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.33
Adapun prosesnya dimulai
dengan menyusun data-data yang telah terkumpul dari hasil bacaan, wawancara
dan dokumenter. Kemudian dibaca, dipelajari, dan ditelaah secara cermat hingga
menghasilkan interpretasi data. Setelah mendapatkan interpretasi data, kemudian
ditarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut.
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku Panduan Penyusunan
Proposal dan Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terurai jelas, maka penulis
membaginya menjadi 5 (lima) bab, dan di setiap babnya terdiri atas sub-sub bab
yang saling berkaitan. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
Bab pertama adalah Pendahuluan, bab ini memuat tentang pernyataan
masalah, yang mendeskripsikan masalah-masalah tentang alasan penelitian,
kemudian pertanyaan masalah, yang dijadikan sebagai tolok ukur penelitian.
Selanjutnya tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka sebagai pembanding
penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang. Kemudian kerangka teoritis,
33
I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi, dan Tesis
(Yogyakarta: Andi Offset, 2006), h. 111
18
sebagai uraian singkat tentang teori penelitian, selanjutnya dijelaskan tentang
metode penelitian, dan terakhir adalah sistematika penulisan.
Bab kedua, yakni tentang teori fundamentalisme gerakan politik. Dalam bab
ini akan dijelaskan mengenai pengertian dan teori fundamentalisme. Selanjutnya
tentang konsep dan teori gerakan fundamentalisme Islam.
Bab ketiga membahas tentang gambaran umum ideologi dan gerakan politik
ISIS, dengan sub-sub bab yang menguraikan terkait sejarah dan perkembangan
ISIS, latar belakang dan kemunculan ISIS di Indonesia, landasan pemikiran
ideologi politik ISIS, dan tujuan utama gerakan ISIS.
Bab keempat adalah tentang konsep gerakan ISIS di Indonesia. Bab ini
merupakan hasil penelitian di lapangan sehingga nanti akan dibahas secara detail
mengenai metodologi dan strategi gerakan ISIS di Indonesia beserta gerakan dan
sasaran utamanya. Kemudian baru akan dijelaskan mengenai eksistensi gerakan
ISIS dalam konsep negara kesatuan Indonesia, dan pengaruh gerakan ISIS di
Indonesia. Kemudian sub bab terakhir akan dibahas tentang peran pemerintah
terhadap perkembangan ISIS di Indonesia.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan
penelitian. Kesimpulan dalam bab ini merupakan jawaban dari pertanyaan
masalah yang diajukan dalam bab pertama. Setelah itu terdapat saran-saran untuk
para peneliti selanjutnya agar penelitian yang akan datang menjadi lebih baik.
19
BAB II
KERANGKA TEORI FUNDAMENTALISME GERAKAN POLITIK
A. Pengertian dan Konsep Fundamentalisme
1. Pengertian Fundamentalisme
Menurut Azyumardi Azra, fundamentalisme adalah istilah relatif baru
dalam kamus peristilahan Islam. Istilah „Fundamentalisme Islam‟ di kalangan
Barat mulai populer berbarengan dengan terjadinya Revolusi Islam Iran pada
1979 yang memunculkan kekuatan Muslim Syi‟ah radikal dan fanatik yang siap
mati melawan the great satan, Amerika Serikat. Setelah peristiwa historis ini,
istilah fundamentalisme Islam digunakan untuk menggeneralisasikan berbagai
gerakan Islam yang muncul dalam gelombang yang sering disebut sebagai
„kebangkitan Islam‟ (Islamic revival). Memang, dalam beberapa dasawarsa
terakhir terlihat gejala „kebangkitan Islam‟, yang muncul dalam berbagai bentuk
intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam, yang diikuti dengan pencarian
dan penegasan kembali nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan.28
Penegasan kembali nilai-nilai Islam merupakan pemurnian yang dilakukan
oleh kaum fundamentalis. Dalam arti umum, pemurnian adalah pembebasan
unsur-unsur keagamaan (kepercayaan, upacara, struktur) yang berasal dari tradisi
suatu agama selain dari tradisi agamanya sendiri. Pemurnian atau purifikasi
berarti pembedaan tradisi-tradisi keagamaan pada tingkat personal, sehingga gaya
hidup keagamaan seseorang mencerminkan satu tradisi tunggal.29
Proyek
pemurnian ajaran ini kemudian membawa implikasi pada „pemurnian tatanan
28
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h.107 29
Riaz Hassan, Islam: dari Konservatisme sampai Fundamentalisme (Jakarta: Rajawali
Pers, 1985), h.108-109
20
sosial‟ (social order) yang bertumpu pada dua kekuatan sekaligus untuk
merealisasikan negara dan militer. Maka analisa ini bukan hanya berbicara tentang
ideologi „pembaruan ajaran‟, tetapi juga ideologi „aliansi Islam dan militer‟,
aliansi menguasai negara atas dasar „misi suci‟ kemurnian ajaran dan kemurnian
tatanan sosial politik sekaligus.30
Hal inilah yang menjadikan fundamentalisme
Islam gigih mendakwahkan doktrin-doktrinnya.
Fundamentalisme Islam bisa dikatakan merupakan bentuk ekstrem dari
gejala „revivalisme‟. Jika revivalisme dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih
berorientasi „ke dalam‟ (inward oriented) –dan karenanya sering bersifat
individual- maka pada fundamentalisme, insentifikasi itu juga diarahkan „ke luar‟
(outward oriented). Dengan kata lain, intensifikasi bisa berupa sekadar
peningkatan attachment pribadi terhadap Islam –dan sebab itu sering mengandung
dimensi esoteris- tetapi fundamentalisme menjelma dalam komitmen yang tinggi
tidak hanya untuk mentransformasi kehidupan individual, tetapi sekaligus
kehidupan komunal dan sosial. Karena itu, fundamentalisme Islam juga sering
bersifat eksoteris, yang sangat menekankan pada batas-batas kebolehan dan
keharaman berdasarkan fiqh.31
Secara historis, penggunaan istilah fundamentalisme ini berkaitan dengan
kebangkitan fundamentalisme dalam gereja Protestan, khusunya di Amerika
Serikat. Sedangkan bagi Garaudy, fundamentalisme merupakan fenomena yang
tidak terbatas pada agama, terdapat pula fundamentalisme dalam bidang politik,
sosial dan budaya. Karena baginya, „fundamentalisme‟ adalah suatu pandangan
yang ditegakkan atas dasar keyakinan, baik bersifat agama, politik ataupun
30
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Noe-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006), h.188 31
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 108
21
budaya, yang dianut pendiri dengan menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu.
Sedangkan menurut Gellner, gagasan dasar fundamentalisme adalah bahwa suatu
agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal (harfiah) dan bulat, tanpa
kompromi, reinterpretasi, dan pengurangan.32
Terdapat sejumlah istilah lain dalam bahasa Arab, yang digunakan
kalangan fundamentalis Islam untuk mengacu kelompok atau gerakan mereka. Di
antaranya yaitu Islamiyyun (kaum Islamis), ashliyyun (kaum otentik, asli), dan
salafiyyun (pengikut para sahabat utama). Sedangkan istilah mutaʻassib
digunakan kalangan non-fundamentalis untuk menunjuk kelompok militan yang
tidak ingin menggunakan kekerasan. Selain itu digunakan pula istilah-istilah
mutatarif untuk menyebut ekstrimis. Dari semua istilah-istilah ini, yang paling
lazim digunakan tentu saja adalah istilah ushuliyyun (kaum fundamentalis) dan al-
ushuliyyah al-Islamiyyah (fundamentalisme Islam).
Dari pengertian dan istilah-istilah di atas, dapat dipahami bahwa
fundamentalisme merupakan kelompok yang ingin memurnikan ajaran-ajaran
sesuai dengan nilai-nilai agama yang asli sesuai kitab suci tanpa adanya intervensi
pemikiran-pemikiran manusia.
2. Teori Fundamentalisme
Untuk lebih memperjelas fenomena fundamentalis Islam, kerangka yang
diberikan sosiolog agama, Marty, dengan beberapa modifikasi, agaknya cukup
relevan diterapkan untuk melihat gejala „fundamentalisme Islam‟. Prinsip
pertama, fundamentalisme adalah “oppositionalism” (paham perlawanan).
Fundamentalisme dalam agama maupun mengambil bentuk perlawanan –yang
32
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 108
22
bukannya tak sering bersifat radikal- terhadap ancaman yang dipandang
membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernitas atau
modernisme, sekularisasi, dan tata nilai Barat pada umumnya. Acuan dan tolok
ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam
kasus fundamentalisme Islam adalah al-Qur‟an, dan pada batas tertentu, hadis.33
Prinsip kedua, adalah penolakan terhadap hermeneutika. Dengan kata lain,
kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks
al-Qur‟an harus dipahami secara literal –sebagaimana adanya, karena nalar
dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski
bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu
sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam „kompromi‟ dan
menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. Mereka lebih memilih apa yang teks
“katakan sebenarnya,” dan dengan demikian menolak bahwa apa yang teks
“katakan sebenarnya” adalah juga bentuk interpretasi.34
Prinsip ketiga, adalah
penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis,
pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci.
Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum
fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama
muncul yang tidak hanya muncul dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci,
tetapi juga karena perkembangan sosial masayarakat yang telah lepas dari kendali
agama.35
33
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 109 34
Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas
Rasionalisme Modern, Penerjemah: Satrio Wahono (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002),
h.43-44 35
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 110
23
Prinsip keempat, adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan
sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan
sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.
Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai “as it should be”
bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus
menyesuaikan perkembangannya –kalau perlu secara kekerasan- dengan teks
kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti
perkembangan masyarakat. Karena itulah kaum fundamentalis bersifat a-historis
a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat
“ideal” –bagi kaum fundamentalis Islam seperti pada zaman kaum salaf- yang
dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.36
Dari beberapa prinsip tersebut di atas, dapat dipahami bahwa konsep
fundamentalisme lebih terikat dengan pemahaman yang tekstual dalam menerima
teks kitab suci, tidak menerima penafsiran, selalu menyeru pada pemurnian agama
yang kaku, adanya perlawanan terhadap segala bentuk bid’ah, dan menganggap
bahwa siapa saja yang tidak sepaham dengannya dianggap kafir dan harus
diperangi, karena hal itu merupakan jihad fi sabilillah.
B. Konsep dan Teori Gerakan Fundamentalisme Islam
Gerakan fundamentalisme dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
fundamentalisme pra-modern dan kontemporer, yang dapat pula disebut neo-
fundamentalisme. Fundamentalisme pra-modern muncul disebabkan situasi dan
kondisi tertentu di kalangan umat Muslim sendiri. Karena itu, ia lebih genuine dan
inward oriented –berorientasi ke dalam diri kaum Muslim sendiri. Adapun
36
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 110
24
fundamentalisme Islam pra-modern ini berupa gerakan kaum Khawarij yang
dikenal sebagai kelompok radikal yang berkembang pada masa Islam klasik.
Sedangkan pada pihak lain, fundamentalisme kontemporer bangkit sebagai reaksi
terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, politik, budaya, dan ekonomi Barat,
baik sebagai akibat kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir
Muslim –seperti kelompok modernis, sekularis, dan westernis- atau rezim
pemerintahan Muslim yang menurut kaum fundamentalis merupakan
perpanjangan mulut dan tangan Barat.37
Di antara fundamentalisme Islam
kontemporer ini tidak lain adalah kelompok al-Qaeda, Taliban, dan ISIS. Mereka
melakukan aksi-aksi radikalisme dan terorisme di berbagai negara yang
berpenduduk Muslim di seluruh dunia.
Sebenarnya radikalisme terjadi di semua agama di dunia. Setiap agama
selalu terdapat kelompok minoritas, militan, ekstrim, dan radikal. Sedangkan
dalam Islam, gejala kemunculan radikalisme telah disinyalir semenjak Rasulullah
Saw masih hidup.38
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
dikisahkan, ketika Rasulullah Saw membagi fa’i atau harta rampasan perang di
daerah Tha‟if dan sekitarnya, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-
Khuwaishirah dari Bani Tamim melayangkan protes kepada beliau, “Bersikap
adillah, wahai Muhammad!” Nabi Muhammad Saw pun dengan tegas menjawab,
“Celaka kamu! Tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang kami
lakukan berdasarkan petunjuk Allah!”. Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi
Saw bersabda: “Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang
membaca al-Qur‟an, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-
37
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 111 38
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Noe-Liberal, h. 417
25
jeleknya makhluk di dunia ini”. Maka, gelombang umat Islam radikal yang
berkembang saat ini memang harus diakui eksistensinya. Mereka sebenarnya
terpengaruh pada pola-pola Khawarij di masa periode awal sejarah umat Islam.
kelompok umat Islam radikal ini tidak hanya menggelisahkan kalangan non-
Muslim, tetapi umat Islam pun bisa terkena dampaknya. Islam sebagai rahmat,
sebagai agama harmoni, pun bisa dengan mudah distigmatisasi sebagai agama
kekerasan. Mereka itulah yang disebut sebagai fundamentalisme Islam. Gerakan-
gerakan Islam fundamentalis yang radikal tersebut muncul dan berkembang di
berbagai belahan dunia.39
Gerakan fundamentalisme di berbagai belahan dunia, khususnya di Asia
Tenggara, umumnya lahir karena ketidakadilan global dan ketidakpuasan atas
fenomena politik di masing-masing negaranya. Maraknya aksi terorisme di abad
21 ini telah mewarnai percaturan politik, baik dalam skala nasional maupun
Internasional. Gerakan tersebut muncul selain dipengaruhi oleh situasi dalam
negeri, juga dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri negara-negara Barat.40
Seperti
halnya gerakan Islam Fundamentalis dari Timur Tengah (Arab dan Persia),
sebagai basis pergerakan Islam yang merasa diperlakukan tidak adil oleh Barat,
sehingga mereka memerangi kepentingan Barat untuk menyelamatkan supplay
minyak bagi keperluan negerinya. 41
Para anggota gerakan itu menilai bahwa sistem politik yang kini
diterapkan di negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, termasuk di
39
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Noe-Liberal, h. 417 40
Wawan H. Purwanto, Terorisme Undercover: Memberantas Terorisme hingga ke Akar-
akarnya, Mungkinkah? (Jakarta: CMB Press, 2007), h. 34 41
Todiruan Dydo, Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat Barat: Percaturan
Politik dan Ideologi Internasional (T.K.P, Goden Terayon Press, T.Th), h. 6-7
26
Indonesia tidak sesuai dengan “syariat Islam,” dan karena itu harus diperjuangkan
untuk diubah agar sejalan dengan ajaran Islam.42
Islam yang secara qath’i
mengajarkan konsep spiritual (ruhaniyah), yang berkaitan dengan akidah, dan
hukum-hukum ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad, sehingga
siapapun yang mengingkari seluruhnya ataupun hanya sebagian saja, sama artinya
telah “kafir” atau “jahil”.43
Mereka menegaskan bahwa menjadi seorang Muslim
berarti terlibat konflik dengan masyarakat non-Muslim.44
Sehingga bagi mereka
solusinya adalah dengan mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat Islam,
yang menjadi bagian dari cita-cita perjuangan “gerakan-gerakan” itu. Selain itu,
mereka memandang bahwa kebijakan luar negeri negara-negara Barat, yang kini
dipimpin Amerika Serikat, khususnya dalam program demokratisasi dan
kampanye hak asasi manusia (HAM) yang menerapkan “standar ganda” telah
melahirkan ketidakadilan global. Dua konteks inilah yang memberi semangat
jihad bersenjata.45
Fundamentalisme Islam telah menjelma menjadi gerakan politik modern
sejak tahun 1920-an. Hal ini dimungkinkan karena Islam sejak awal sejarahnya
telah menjadi agama dunia yang paling politis.46
Pada tahun ini pula, efek
polarisasi fundamentalisme Islam mulai terungkap melalui kecenderungan umum
pemerintah-pemerintah di dunia Islam dan Barat, media, dan banyak analis yang
menyimpulkan bahwa fundamentalisme Islam secara inheren merupakan suatu
42
Wawan H. Purwanto, Terorisme Undercover, h. 34 43
Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual (Bogor: Al-Azhar Press,
2007), h. 7, lihat pula: Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Politik Muslim: Wacana
Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masayarakat Muslim, Penerjemah: Endi Haryono dan Rahmi
Yunita (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998), h. 12 44
Husain (Ed.), Matinya Semangat Jihad: Catatan Perjalanan Seorang Islamis
(Tangerang Selatan: Pustaka Alvabet, 2008), h. 66 45
Wawan H. Purwanto, Terorisme Undercover, h. 34 46
Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya,
Penerjemah: Ali Noerzaman (Yogyakarta: Qalam, 2004), h.426
27
ancaman global utama, tanpa memperhatikan keanekaragaman organisasi Islam
dan konteks-konteks sosial. Sadar akan kecenderungan Barat yang memandang
Islam sebagai ancaman, banyak pemerintah muslim menggunakan bahaya
radikalisme Islam sebagai dalih untuk mengendalikan atau menekan gerakan-
gerakan Islam.47
Menurut John L. Esposito, “Fundamentalisme” dan “Terorisme” dalam
benak banyak orang dapat saling berkaitan. Stereotip bahwa Islam dan kaum
Muslim merupakan para fundamentalis militan yang senantiasa mengancam.48
Wujud gerakan Islam Fundamentalis yang kaku tersebut sering diartikan sebagai
manifestasi masyarakat Islam secara keseluruhan. Kesan negatif ini telah
mendorong lahirnya banyak gagasan dari kalangan Barat yang berhaluan
pragmatis untuk merekayasa penghancuran Islam sebagai kekuatan politik dan
ideologi.49
Sebagaimana kelompok radikal ISIS yang menjadi „produk bawah
meja‟ Amerika Serikat dan sekutunya, khususnya di Timur Tengah (Arab Saudi,
Kuwait, Qatar dan Uni Emirat Arab) untuk terus mengacaukan Timur Tengah,
menebar ketakutan, membangun citra buruk, serta pada akhirnya mengintervensi
atas nama “Perang Melawan Terorisme” siapa saja yang tidak bersekutu dengan
AS atau membahayakan posisi AS dan sekutunya di regional Timur Tengah. Hal
ini berdasarkan pengakuan langsung oleh mantan Menlu AS, Hillary Clinton,
melalui bukunya yang berjudul “Hard Choice”.50
47
John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, h. 192 48
John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, Penerjemah: Alwiyah
Abdurrahman dan MISSI (Bandung: Mizan, 1995), h. 193 49
Todiruan Dydo, Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat Barat, h. 7 50
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
Jakarta: Zahira, 2014), h.77
28
Menurut Quintan Wiktorowicz, gerakan fundamentalisme Islam ini
imperatif utamanya adalah untuk membentuk sebuah masyarakat yang dapat
dikendalikan dan dipandu oleh syariah. Kontrol dan rekonstruksi lembaga-
lembaga negara mungkin merupakan suatu sarana efektif untuk mencapai
transformasi ini, namun ini hanya salah satu dari banyak jalan untuk perubahan.
Dengan kata lain, negara Islam adalah sebuah sarana untuk produksi makna,
bukan merupakan sebuah tujuan akhir dari kelompok ini.51
Wacana jihad dan terorisme dalam kaitannya dengan kecenderungan
global saat ini mengarah pada gerakan fundamentalisme Islam. Pengaitan tersebut
dimungkinkan ketika gerakan-gerakan Islam internasional dimunculkan sebagai
hasil dari konstruk „benturan peradaban‟ (the clash of civilizations) pasca-perang
dingin. Terorisme muncul ketika ramalan „benturan peradaban‟ menghendaki
adanya „the order’ yang bisa membuat clash ditingkat riil, yang kemudian
ditunjukkan dengan sebenar-benarnya dalam „spectale’ tragedi 11 September
2001 di New York.52
Data mutakhir yang dirilis National Consortium for the Study of Terrorism
and Responses (START) pada tahun 2013 menunjukkan fakta yang
mencengangkan. Lembaga ini mendokumentasikan bahwa telah terjadi 5.100
serangan teroris yang terjadi di seluruh dunia pada paruh pertama tahun 2013.
Angka tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan
8.500 serangan teroris pada keseluruhan tahun 2012. Fenomena inilah yang
kemudian oleh Karen Amstrong disebut sebagai salah satu fenomena yang paling
51
Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan dan Studi Kasus,
Penerjemah: Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), h. 61 52
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Noe-Liberal, h. 414-415
29
mengejutkan di akhir abad ke-20, yakni munculnya fundamentalisme dalam
tradisi keagamaan dunia.53
Kelompok fundamentalis dan radikal tak hanya ada dalam agama monoteis
seperti Islam, Yahudi dan Kristen, tetapi juga terdapat dalam tradisi agama besar
lainnya seperti Budha, Hindu dan Kong Hu Cu. Salah satu contoh kecilnya adalah
peristiwa bom bunuh diri yang pernah dilakukan oleh pemeluk Hindu di India
untuk membunuh Indira Ghandi.54
Para fundamentalis dan kelompok-kelompok
radikal ini melakukan aksi teror dalam berbagai bentuk seperti membunuh,
menembaki jamaah di masjid, melakukan bom bunuh diri, merusak fasilitas
publik, hingga yang paling ekstrim adalah menggulingkan pemerintahan yang sah.
Problem utama yang dihadapi saat ini adalah bahwa fenomena fundamentalisme
dan radikalisme telah menjadi bagian penting dari panggung dunia modern dan
menjadi masalah penting saat ini.55
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gerakan fundamentalisme Islam
muncul akibat ketidakadilan global dan ketidakpuasan atas fenomena politik di
masing-masing negaranya. Sehingga konsep-konsep gerakan radikal yang mereka
garap tidak lain untuk mendirikan Negara Islam dengan sistem yang dipraktikkan
pada masa sahabat, yakni Khilafah. Untuk mewujudkan hal tersebut, mereka siap
melawan AS sebagai the great satan yang mereka anggap sebagai negara kafir
dan negara-negara lain yang berbeda paham dengan mereka. Adapun pembahasan
53
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme (Pusat Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2014), h. 1 54
Muhamad Hanif Hassan, Pray to Kill (Jakarta: Grafindo, 2006), h. xix 55
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 2
30
mengenai gambaran umum ideologi gerakan politik ISIS akan dipaparkan secara
rinci pada bab selanjutnya.
31
BAB III
GAMBARAN UMUM IDEOLOGI ISIS
A. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan ISIS
Banyak orang beranggapan bahwa konflik di wilayah Timur Tengah selama
ini semata-mata terjadi akibat ulah dan tipikal bangsa Arab. Hingga saat ini masih
banyak pengamat yang secara tidak tuntas menemukan akar permasalahan
sebenarnya. Konflik pun akhirnya menunjuk pada tarik ulur beberapa negara yang
memainkan peranan penting di sana, sebut saja Arab Saudi, Israel, Kuwait, Iran,
Irak, dan Suriah. Itulah mengapa konflik tidak pernah usai dan semakin hari
semakin menghawatirkan. Mulai perang Irak-Iran awal tahun 1980-an, Perang
Teluk awal 1990-an, Gerakan Taliban, al-Qaeda, invansi AS ke Irak hingga Arab
Spring, dan kini begitu mencengangkannya fenomena ISIS. Wilayah itu pun
menjadi tanpa pernah ada kata damai. Bergejolak setiap saat dan meminta jutaan
nyawa sebagai tumbalnya.52
Sejarah ISIS dimulai sejak perang Uni Soviet-Afghanistan yang
berlangsung selama sembilan tahun, dari Desember 1979 sampai Februari 1989.
Uni Soviet ingin mempertahankan pemerintahan Marxis-Lenin di Afghanistan,
yaitu Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan, yang kala itu didorong oleh mereka
yang menamai dirinya sebagai mujahidin (al-Qaeda). Di sisi lain, AS yang
memiliki kemauan yang sama dengan para mujahidin, Gedung Putih ingin
pemerintahan Marxis-Lenin runtuh. Ini adalah sisa-sisa perang ideologi antara
Blok Timur dan Blok Barat, dengan Afghanistan sebagai medannya. Maka
terjadilah transaksi antara AS dan para mujahidin. Mujahidin yang kala itu
52
Ahmad Yanuana Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati (Jakarta: PT. Ufuk Publishing
House, 2014), h.7-8
32
hanyalah pemberontak dengan kekuatan kecil, dibentuk dan dimanfaatkan oleh
AS dan sekutunya yang juga berkepentingan, yakni Inggris dan Arab Saudi, untuk
meruntuhkan rezim Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan.53
Sikap AS yang lebih memilih mempersenjatai para mujahidin atau militan
al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden selama perang di Afghanistan
merupakan kebijakan luar negeri AS untuk menghadapi negara-negara yang
mereka anggap nakal dan tidak mau tunduk dengan mereka, walaupun kelompok
atau organisasi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mereka junjung
sendiri.54
Selain itu, pada tahun 1984, Osama bin Laden dan Abdullah Yusuf
Azzam, seorang sarjana Islam Palestina dan anggota Ikhwanul Muslimin,
membentuk Maktab al-Khidamat (MAK) di Peshawar (Pakistan) untuk
menghimpun dana khusus tambahan dari pemerintah Arab untuk disalurkan
kepada para mujahidin Afghanistan. Sumber ini tercatat menyumbangkan secara
intensif sebesar 600 juta dolar per tahun untuk keperluan tersebut. Maka, sejak
saat itulah al-Qaeda yang merupakan nenek moyang ISIS menjadi organisasi
dengan finansial kuat dan kekuatan militer mapan. Sehingga pada akhirnya Uni
Soviet terpukul mundur dan pemerintahan Marxis-Lenin runtuh di Afghanistan.55
Pada tahun 1996, al-Qaeda mengumumkan jihad untuk mengusir pasukan
asing di seluruh kepentingan asing dari afghanistan dan setiap negara atau wilayah
yang mereka nilai sebagai teritorial Islam. Bahkan pada Februari 1998, Osama
dan tangan kanannya, yaitu Ayman al-Zawahiri, seorang pemimpin Jabhat al-
Nusra (Organisasi Sayap kanan al-Qaeda), mempertegas dan mengerucutkan
53
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
(Jakarta: Zahira, 2014), h.55-56 54
Ahmad Yanuana Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati, h. 17 55
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
56-57
33
instruksinya menjadi fatwa perang bagi AS dan seluruh sekutunya, termasuk Arab
Saudi, di manapun berada. Ia juga memfatwakan agar pengikutnya membebaskan
masjid al-Aqsa dan Ka‟bah di Makkah dari cengkeraman AS dan sekutunya.
Terjadinya pengeboman di Kedutaan Besar AS di Afrika pada tahun 1998, bom
bunuh diri yang menewaskan 17 prajurut AS di Yaman pada tahun 2000, hingga
pada peristiwa 11 September 2001 yang menewaskan 2.977 orang dengan
menabrakkan empat pesawat komersil yang telah dibajak ke Pentagon dan WTC.
Semuanya itu dituduhkan kepada Mohammed Atta sebagai komandan serangan,
dan Osama, Ayman al-Zawahiri, Khalid Sheikh Mohammed, dan Hambali
sebagai perencana utamanya.56
Sementara di Suriah, telah porak-poranda akibat konflik yang telah
berlangsung lebih dari 3 tahun. Presiden Bashar al-Assad sejak awal sudah
mengingatkan adanya kelompok takfiri radikal yang mengancam semua pihak di
kawasan. Warning dari orang nomor satu di Suriah itu terbukti, ISIS sebagai
titisan dari al-Qaeda menjadi momok menakutkan bagi siapapun termasuk negara-
negara yang mendukung kelompok ini sejak awal, seperti Amerika Serikat dan
Arab Saudi.57
Kemudian pada 21 Oktober 2004, Abu Mus‟ab al-Zarqawi yang merupakan
mujahidin muda al-Qaeda bergabung dengan Al-Qaeda cabang Irak (AQI) untuk
melakukan propaganda dan serangan atas invasi AS dan NATO ke Irak. Zarqawi
memang merupakan tokoh sentral dalam sejarah kemunculan ISIS. Biografi
Zarqawi adalah semacam jembatan yang menghubungkan keterkaitan sejarah al-
Qaeda dengan ISIS. Ia benar-benar tumbuh menjadi pemuda yang sangat tinggi
56
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
59-60 57
Ahmad Yanuana Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati, h. 17-18
34
mimpinya tentang berjihad untuk menguasai dunia dan membebaskannya dari
rezim-rezim taghut.58
Sehingga ia pun disebut-sebut sebagai embrio kelompok
radikal ISIS.
Maka pada 13 Oktober 2006, AQI beserta seluruh organisasi jihad yang
berafiliasi dengan Zarqawi, ditambah afiliasi dari beberapa kabilah dan suku Irak,
memproklamirkan berdirinya al-Daulah al-Islamiyah fi al-Iraq atau Islamic State
in Iraq (ISI), atau negara Islam Iraq. Mereka mendaulat Abu Umar al-Baghdadi
sebagai Amirul Mukminin, dan membentuk susunan kabinet pemerintahannya
secara komprehensif. Namun pada 15 Mei 2010, pemimpin ISI tewas bersama
petinggi ISI lainnya. Maka hari itu juga, para petinggi menteri, dan anggota utama
ISI berkumpul untuk bermusyawarah menentukan pemimpin ISI selanjutnya.
Akhirnya, dicapai kata sepakat untuk mendaulat Abu Bakar al-Baghdadi sebagai
Khalifah ISI. Namun, untuk kali ini dipilih juga Wakil Khalifah ISI, yakni Syaikh
Abu Abdillah. ISI mengeluarkan rilis resmi tentang keterpilihan keduanya itu.
Maka, dimulailah era baru dalam kepemimpinan ISI.59
Karena kelompok radikal
ini berasal dari satu organisasi yang sama, yakni al-Qaeda yang tersebar di Iraq
dan Syria/Suriah, maka mereka menyebut nama organisasi mereka sesuai dengan
teritorial kekuasaannya, yakni ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria).
Pergantian nama menjadi ISIS ini ditolak oleh Muhammad al-Jaulani,
seorang pimpinan al-Nusrah. Karena itu, pada tahun 2014 nama ISIS berubah
menjadi Islamic State (IS). Perubahan nama ini sekaligus mencerminkan
keinginan mereka untuk menciptakan negara Islam yang diakui oleh seluruh umat
Islam di dunia. Setelah berhasil menguasai Raqqa dan Mosul, dua kota utama di
58
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h. 58 59
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
61-64
35
Suriah dan Irak, maka dimulailah pemerintahan Islam menurut versi mereka. IS
memberlakukan hukum Islam, seperti hudud, rajam, dan qishash, tanpa
memperhatikan persyaratan-persyaratannya. IS seringkali melakukan
penganiayaan terhadap kelompok yang mereka anggap kafir.60
Berdasarkan penelitian James L. Regens dan Nick Mould, IS atau ISIS di
bawah kendali al-Baghdadi telah melakukan serangan sebanyak 1.828 kali dalam
kurun waktu 2010-2014. Mereka melakukan aksi dengan memenggal kepala tiga
orang berkewarganegaraan Amerika dan dua orang berkewarganegaraan Inggris.
Kemudian mereka mempublikasikan kekejaman dan pembunuhan yang mereka
lakukan tanpa rasa sesal dan bersalah sedikitpun. Pembunuhan dengan cara
ditembak di kepala, dibakar, dan memenggal leher, hampir selalu ditampilkan di
setiap edisi majalah mereka yang bernama majalah Dabiq. Dalam pandangan
mereka, kekejaman menjadi salah satu cara untuk mendapatkan keadilan. Mereka
merujuk pada pernyataan Nabi Muhammad Saw, “Aku diturunkan ke muka bumi
ini dengan pedang, sampai semua umat manusia menyembah Allah Swt.”61
Dengan demikian dapat dipahami bahwa sejarah ISIS memang berawal dari
sebuah organisasi mujahidin al-Qaeda yang didanai oleh AS dan Arab untuk
melawan pemerintahan di negaranya. Hal ini juga tentu tidak lepas dari
kepentingan-kepentingan AS dan sekutunya dalam invasi ke negara-negara Timur
Tengah, namun AS sendiri tidak dapat membendung oraganisasi radikal yang
dibidaninya tersebut. Hingga saat ini ISIS menjadi organisasi yang senantiasa
mengancam keamanan dan ketertiban negara di seluruh dunia dengan aksi-aksi
terornya. Selain itu, gerakan mereka juga disinyalir telah meluas ke berbagai
60
Abdul Karim Munthe, dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Tangerang
Selatan: Yayasan Pengkajian Hadits el-Bukhori, 2017), h. 11-12 61
Abdul Karim Munthe, dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, h. 12
36
negara, termasuk Indonesia, untuk merekrut anggota dan melakukan jihad dengan
berperang melawan kaum kafir.
B. Latar Belakang dan Kemunculan ISIS di Indonesia
Menurut Irfan, selaku ketua umum Deradikalisasi BNPT, menyatakan
bahwa ISIS hanyalah sebuah nama (cover) gerakan militan ekstrem yang secara
implisit sudah ada sejak Indonesia merdeka. Hal ini berdasarkan wawancara
dengan beliau sebagai berikut:
“Jadi begini, ISIS itu sebuah gerakan militan ekstrem yang menggunakan
nama. Tetapi secara batin, secara implisit itu sudah ada sejak Indonesia
merdeka. ISIS itu hanya cover.”62
Sebelum datangnya ISIS ke Indonesia, pada periode 1996-1998, al-Qaeda
yang merupakan nenek moyang ISIS menempatkan perwakilan kelompoknya di
Kuala Lumpur dengan wilayah operasi Thailand dan Filipina. Karena pada saat
itu, kedua negara tersebut merupakan negara yang memiliki warga Muslim
minoritas yang harus dibantu. Baru kemudian pada 1999 sampai tahun 2000-an,
Indonesia memperoleh perhatian setelah terjadi kerusuhan di berbagai daerah,
khususnya di Ambon dan Poso. Situasi kacau merupakan potensi yang dapat
dimanfaatkan bagi kepentingan mereka. Al-Qaeda mengirim Ayman al-Zawahiri
–teman Abu Bakar al-Baghdadi- dan Mohammad Atief ke Indonesia untuk
melihat, mendengar, dan merasakan situasi secara langsung. Mereka melakukan
operasinya di daerah Jakarta, Medan, dan Makassar.63
Operasi mereka juga tidak lepas dari peristiwa Bom Bali I pada tahun 2002,
yang merupakan aksi teroris terburuk setelah peristiwa 11 September 2001.
62
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat. 63
As‟ad Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya
(Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014), h.243
37
Korban-korbannya berasal dari 20 negara, termasuk Indonesia. Ini merupakan aksi
teroris terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Sebuah mobil meledakkan klub
malam yang dipenuhi oleh turis asing di Pulau Bali, memercikkan lautan api yang
membunuh 202 orang dan melukai 300 lainnya.64
Kemudian setelah ISIS terbentuk dan memperkuat dirinya di Irak dan Syria,
mereka menggantikan aksi terorisme al-Qaeda dan berekspansi ke wilayah-
wilayah yang pernah diteliti sebelumnya, termasuk ke Indoneisa. Fenomena ISIS
yang mencengangkan dan membuka mata dunia telah menjadikannya sebuah isu
paling menggoda di pertengahan tahun 2014. Portal-portal media lokal maupun
Internasional kerap memberitakan „keberhasilan‟ ISIS saat menguasai beberapa
wilayah di Irak dan Syiria. Di kalangan Islam sendiri, isu ini membuat gempar
sebagian pihak yang sudah terlanjur mendukung gerakan radikal dan intoleran
sejak awal keberadaannya. Mereka tentunya tidak menyangka akan banyak
penolakan dari berbagai pihak atau setidaknya banyak dukungan yang kemudian
berbalik menjadi hujatan. Tidak pelak lagi sebagian pendukung ISIS khususnya di
tanah air pun ramai-ramai bungkam dan „tiarap‟. Tetapi hal tersebut tidak
membuat informasi dukungan mereka terhadap ISIS dapat disembunyikan dari
umat Islam, terutama aparat pemerintah Indonesia. Sehingga mereka membuat
„fitnah‟ sebagai senjata pamungkas untuk mengelabui dan mencari simpati di
kalangan masyarakat awam di tanah air.65
Munculnya gerakan ISIS di Indonesia dimulai dari salah satu fasilitas umum
milik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Juli
2014. Fasilitas umum itu bernama gedung Syahida Inn di lingkungan kampus dua
64
Muhamad Hanif Hassan, Pray to Kill (Jakarta: Grafindo, 2006), h. 3 65
Ahmad Yanuana Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati, h.31-32
38
UIN Jakarta. Gedung yang memang disewakan bagi umum untuk keperluan
seminar, dan lain-lain itu secara mengejutkan menjadi tempat deklarasi pertama
ISIS di Indonesia. Sekelompok orang dari berbagai daerah yang menamai dirinya
“penegak syariat Islam”, berkumpul di sana, mengibarkan bendera hitam
bertuliskan syahadat milik ISIS, dan bersama-sama meneguhkan dukungannya
kepada ISIS dan bai’at-nya pada Khalifah Abu Bakar al-Baghdadi. Rekaman
video deklarasi itu pun tersebar di internet, mengejutkan siapa saja yang
menontonnya, dan sontak menjadi tema pembicaraan di seluruh pelosok negeri
ini.66
Namun Irfan menegaskan bahwa tidak semua orang yang datang saat
deklarasi ISIS tersebut dianggap sebagai pendukung ISIS, tetapi kebanyakan dari
mereka hanya menjadi penonton, sebagaimana ungkap beliau saat wawancara,
“Belakangan, ada yang memproklamirkan (ISIS) di lapas, ada yang
membahas diskusi ISIS di mana-mana, termasuk di Ciputat mungkin, dan
semua yang datang itu tidak dianggap sebagai pendukung ISIS, mungkin
lebih banyak menjadi penonton.”67
Tentu saja deklarasi tersebut sontak ditentang oleh seluruh elemen bangsa
ini. UIN Jakarta melalui Sudarnoto Abdul Hakim, seorang Wakil Rektor Bidang
Kemahasiswaan UIN Jakarta langsung mengutuk deklarasi dan organisasi ISIS di
Indonesia, serta menegaskan bahwa UIN Jakarta tidak pernah mengetahui
sebelumnya bahwa penyewaan Syahida Inn diperuntukkan deklarasi ISIS di
Indonesia. Namun tak lama setelah itu, tersebar sebuah video yang berisi ajakan
berjihad bersama ISIS untuk orang-orang Indonesia. Video itu menampilkan
beberapa lelaki berwajah Indonesia yang berjejer dengan pimpinan bernama Abu
66
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
h.169-170 67
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat.
39
Muhammad al-Indonesi mengenakan sorban hitam di kepala yang ternyata
bernama asli Bachtum Syah dan tercatat pernah belajar di UIN Jakarta Fakultas
Dakwah dan Komunikasi jurusan Komisi Penyiaran Islam, walaupun pria
kelahiran 1984 itu tak merampungkan pendidikan tingginya di UIN Jakarta dan
hanya sampai di semester tiga. Menurut Kyai Chep Hernawan, sosok yang disebut
sebagai pemimpin ISIS regional Indonesia menyatakan bahwa Abu Muhammad
al-Indonesi merupakan penghubung antara dirinya dan Abu Bakar al-Baghdadi.68
Namun menurut Irfan, Chep Hernawan sendiri yang pernah mengaku
sebagai presiden ISIS di Indonesia tidak dapat dibawa ke dalam persidangan
dengan alasan lemahnya hukum dan bukti-bukti atas keterlibatannya terhadap
gerakan terorisme di Indonesia. Orang yang pernah mengaku menjadi pemimpin
ISIS di Indonesia menurut Irfan adalah Abu Bakar Ba‟asyir dan Oman
Abdurrahman. Hal ini ia sampaikan saat diwawancara dengan mengatakan:
“Chep Hernawan juga pernah memproklamirkan diri di Ciamis, tetapi
hukum kita sangat lemah untuk membawa mereka ke persidangan.
Pemimpin ISIS saat ini adalah Abu Bakar Ba‟asyir dan Oman Abdurrahman
yang pernah mengaku”69
Dari hal tersebut, dapat dipahami bahwa latar belakang dan kemunculan
ISIS di Indonesia merupakan stragtegi ISIS untuk merekrut dan mencari relawan
atau anggota untuk mendirikan negara Islam yang telah ada sejak Indonesia
merdeka, meskipun keberadaanya banyak terjadi penolakan dan kecaman oleh
masyarakat dan pemerintah Indonesia.
68
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
h.172-174 69
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat.
40
C. Landasan Pemikiran Ideologi Politik ISIS
Dunia ideologi (ide, gagasan, konsep, kepercayaan dan keyakinan politik)
yang menjadi fondasi tindak politik tidak akan bisa menemukan aktualisasinya
tanpa keberadaan dunia citra (tujuan dan kepentingan politik) sebagai „kendaraan‟
representasinya. Sehingga propaganda politik diperlukan sebagai mekanisme
dalam pelukisan dan pendefinisian „realitas politik‟ agar sesuai dengan ideologi
politik tertentu. Propaganda politik tersebut merupakan cara bagaimana pikiran
masyarakat dipengaruhi melalui mekanisme representasi ideologis dan manipulasi
kesadaran.70
Maka gerakan fundamentalisme Islam seperti ISIS digambarkan
sebagai ideologi suatu kelompok yang condong menggunakan segala model
tindakan politik yang ada dan menarik hati umat Islam untuk mengikuti doktrin-
doktrin mereka.71
Karena menurut Firdaus Syam, ideologi sendiri merupakan
mythos yang meliputi political doctrin (doktrin politik) dan political formula
(formula politik).72
Ideologi pada dasarnya memberikan arah dan tujuan perjuangan serta
prinsip sistem yang akan dikembangkan, apakah sistem politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan, pendidikan, dan sebagainya. Karena al-Qur‟an dan al-Sunnah
sebagai petunjuk, setiap Muslim memungkinkan membuka ruang merumuskan
ideologinya yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.73
Sedangkan fenomena kaum
fundamentalis dengan konsep jihadnya yang mereka gali dari al-Qur‟an dan
Sunnah Nabi dengan kekhususan pada makna perangnya, mereka harus melawan
70
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika
Orde Baru Soeharto (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), h. xv-xvi 71
Roxanne L. Euben, Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern,
Penerjemah: Satrio Wahono (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 61 72
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya
terhadap Dunia Ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 238 73
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, h. 297
41
negara-negara Barat dengan “perang bersenjata.”74
Fundamentalisme Islam
digambarkan sebagai ideologi suatu kelompok yang condong menggunakan
segala model tindakan politik yang ada dan menarik hati umat Islam untuk
mengikuti doktrin-doktrin mereka.75
Ideologi politik ISIS ini memiliki persamaan dengan ideologi-ideologi Islam
terdahulu yang menjustifikasi kekerasan yang pernah ada di sepanjang sejarah
Islam. Persamaan tersebut dilihat dari ideologi Islam yang arogan, radikal, serta
tidak memiliki belas kasih dengan cara membunuh siapa saja yang dianggap
memiliki perbedaan paham dan penafsiran dari teks-teks keagamaan yang mereka
yakini, kelompok tersebut tidak lain adalah kelompok Khawarij. Menurut Ahmad
Yanuana, jika pada saat itu kelompok radikal dikenal dengan nama Khawarij,
maka saat ini mungkin saja kelompok tersebut dikenal dengan nama al-Qaeda,
Taliban, Jabhat al-Nusra, Boko Haram, dan juga ISIS.76
Hal ini karena ideologi kekerasan dan takfir pertama yang muncul dalam
sejarah Islam adalah Khawarij, yang muncul pada masa Khalifah Ali bin Abi
Thalib, sebagai konsekuensi dari “fitnah al-kubra” antara tahun 656 M. dan 661
M. Kaum Khawarij terkenal dengan watak yang keras dan sikap tidak mau
berkompromi. Mereka menekankan bahwa seluruh Muslim harus diperlakukan
sama, tidak peduli suku atau ras. Bahkan budak hitam pun dapat menjadi
pemimpin dalam masyarakat Muslim.77
74
Wawan H. Purwanto, Terorisme Undercover: Memberantas Terorisme hingga ke Akar-
akarnya, Mungkinkah? (Jakarta: CMB Press, 2007), h. 36 75
Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas
Rasionalisme Modern, h. 61 76
Ahmad Yanuana Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati, h. 25-27 77
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
22-23
42
Sehingga dalam suatu komunitas keagamaan, Islam menganggap setiap
pemeluknya sebagai saudara, disebut oleh Benedict Anderson (2001) sebagai
„komunitas terbayang.‟78
Menurutnya, rasa persaudaraan itulah yang
memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan untuk
melenyapkan nyawa orang lain, merenggut nyawa sendiripun rela demi
pembayangan tentang „yang terbatas‟ (perang) itu.79
Pemahaman ekstrim, kaku
dan keras ala kelompok ini yang terus dipelihara dan diperjuangkan oleh
pengikutnya adalah hasil dari pembacaan tekstual atas sumber-sumber ajaran
Islam. Beberapa tabiat buruk Khawarij pada awal abad pertama Islam kini
diwarisi oleh kelompok al-Qaeda, Thaliban dan ISIS.80
Dari beberapa pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa landasan ideologi
politik ISIS memiliki kemiripan dengan kelompok Khawarij yang terkenal dengan
sikapnya yang radikal, sadis dan brutal. Sedangkan pemikiran politik ISIS,
diadopsi dari konsep pendirian negara Islam dengan menerapkan sistem syariah,
seperti yang dilakukan oleh kaum Wahabi terhadap politik Ibn Saud di negara
Arab. Hal ini juga ingin diterapkan kelompok ISIS, karena pada faktanya, mereka
telah banyak melakukan tindakan terorisme, penguasaan wilayah untuk dijadikan
sebagai negara Islam, terjadinya bom bunuh diri, seperti yang terjadi di Amerika,
Irak, Syria, dan termasuk juga di Indonesia.
78
Komunitas terbayang (imagined communities) adalah sebuah kumpulan orang yang
terikat atas dasar kebersamaan, kesetiakawanan dan rasa persaudaraan yang tingggi, seperti
layaknya sebuah bangsa. Lihat: M. Belanawane, “Agama, Kebudayaan, dan Kekuasaan: Catatan
Teoritik dari Seorang Salafi” (Antropologi Indonesia Vol. 32 No. 2, 2011), h. 87 79
M. Belanawane, “Agama, Kebudayaan, dan Kekuasaan..”, h. 87 80
Ahmad Yanuana Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati, h. 28
43
D. Tujuan Utama Gerakan ISIS
Tujuan dasar gerakan ISIS pada mulanya adalah membentuk kekhalifahan
di wilayah Muslim Sunni Iraq. Seiring berjalannya waktu, tujuan utamanya adalah
membentuk Negara Islam berbasis Salafi mencakup Irak, Suriah, dan wilayah
Levant, yaitu Yordania, Israel, Palestina, Lebanon, dan Turki bagian selatan.81
Namun wilayah terbanyak yang telah mereka kuasai adalah Irak dan Syria, di
mana saat ini mereka mengklaim bahwa wilayah kekuasaannya meliputi 16
wilayah. Di antaranya adalah tujuh wilayah di Irak, seperti Baghdad, Anbar,
Diyala, Kirkuk, Salah al-Din, Ninawa, dan Babil. Sedangkan sembilan wilayah
lainnya di Suriah, seperti al-Barakah, al-Kheir, Raqqa, al-Nadiya, Halab, Idlib,
Hama, Latakia, dan Damaskus. Namun tentu, hal tersebut hanya bersifat
imajinatif. Karena wilayah-wilayah tersebut tidak lain hanya wilayah yang
diidam-idamkan untuk dikuasai oleh mereka.82
Sementara tujuan gerakan ISIS di Indonesia juga tidak lepas dari substansi
pendirian negara Islam (khilafah), yakni dengan memfasilitasi orang-orang yang
bercita-cita untuk mendirikan negara Islam, dan mengganti pancasila sebagai
ideologi. Menurut Irfan, karena ruh ISIS telah ada sejak sebelum Indonesia
merdeka, maka konsep negara Islam yang rintis oleh kelompok-kelompok Islam
seperti NII, DI/TII, JI, JAT tidak lain adalah substansi ISIS. Hal ini berdasarkan
wawancara dengan beliau sebagai berikut:
“Substansi ISIS adalah ingin mendirikan khilafah. Jadi konsep negara Islam
yang dirintis oleh NII, DI/TII, JI, JAT, itu semua sudah substansi ISIS. Jadi,
81
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme (Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2014), h. 10 82
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h. 71
44
kita tidak perlu membahas tentang ISIS, karena rohnya itu sudah ada sejak
lama.”83
Salah satu aspek penting dari penjelasan teoritis tentang penguasaan wilayah
oleh gerakan Islam radikal ini adalah aspek kepemimpinan (Kekhalifahan). Ketika
mendeskripsikan tipologi kepemimpinan dalam gerakan-gerakan Islam revivalis
dan radikalis dan perkembangannya, R. Hair Dekmejian menyatakan bahwa
kepemimpinan kelompok-kelompok revivalis Islam dan evolusi mereka
tempaknya mengikuti pola tertentu yang sama dengan gerakan revivalis dan
revolusioner yang lain sepanjang sejarah. Pada awalnya, kelompok revivalis Islam
didirikan dan dipimpin oleh bentuk-bentuk kepemimpinan kharismatik yang
mengajarkan ajaran-ajaran keselamatan yang radikal bagi kelompok-kelompok
yang kecil, dengan murid-murid yang berusia muda, dan seringkali dalam suasana
yang rahasia.84
Demikian pula kelompok radikal ISIS, yang ingin menegakkan Khilafah
negara Islam dan menerapkan sistem syariah Islam. Fenomena kaum
fundamentalis tersebut dengan konsep jihadnya yang mereka gali dari al-Qur‟an
dan Sunnah Nabi, khususnya pada makna perangnya, mereka harus melawan
negara-negara Barat dengan “perang bersenjata.”85
Kelompok yang dipimpin oleh
Abu Bakar al-Baghdadi ini berpidato dan direkam untuk menarik perhatian kaum
Muslim di seluruh dunia, serta membangun citranya sebagai pemimpin Islam
yang banyak dirindukan kaum Muslim Sunni hingga hari ini. Dalam pidatonya
tersebut, ia mengimbau agar seluruh umat Muslim untuk datang ke ISIS (Irak dan
83
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat. 84
M. Belanawane, “Agama, Kebudayaan, dan Kekuasaan..”, h. 90 85
Wawan H. Purwanto, Terorisme Undercover: Memberantas Terorisme hingga ke Akar-
akarnya, Mungkinkah? (Jakarta: CMB Press, 2007), h. 36
45
Syria) sebagai rumah bagi kaum Muslim, tidak pelak memberi motivasi kepada
anak-anak muda dari berbagai penjuru dunia yang masih terbawa oleh romantisme
kekhalifahan Islam masa lalu agar berbondong-bondong datang ke ISIS melalui
berbagai jalan.86
Dari hal tersebut, M. Belanawane menegaskan bahwa identitas dalam
kelompok-kelompok revivalis militan seperti ISIS yang sebelumnya terlihat rigid,
kaku, cenderung statis, kemudian nampak seolah-olah seperti „berubah‟ atau
mengalami „pergeseran‟ ke bentuk yang cair, fleksibel atau bahkan cenderung
dimodifikasi-didekonstruksi untuk konteks yang berbeda, maka sebenarnya
kelompok tersebut memang cair sejak semula.87
Oleh karena itu, tujuan untuk mendirikan negara Islam, ISIS memerlukan
waktu yang sangat lama, salah satu tindakannya yakni merekrut masyarakat
Muslim awam dari seluruh penjuru dunia yang didoktrin untuk mengikuti dan
melaksanakan jihad fi sabilillah di negara yang sebagian telah mereka kuasai,
yakni di daerah Irak dan Syria. Adapun pembahasan tentang konsep gerakan ISIS
di Indonesia dan pengaruhnya akan dipaparkan secara komprehensif pada bab
selanjutnya.
86
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h. 10 87
M. Belanawane, “Agama, Kebudayaan, dan Kekuasaan..”, h. 90
46
BAB IV
GERAKAN ISIS DI INDONESIA
A. Metodologi dan Strategi Gerakan ISIS
Secara sadar, memang sulit untuk membayangkan bahwa bagaimana
mungkin seseorang bersedia diajak melakukan kekacauan membabibuta dan
begitu sadisnya, sebagaimana yang dilakukan ISIS dan gerakan-gerakan terorisme
sejenisnya. Apalagi hingga menjadi „pengantin‟ dengan bom yang berada di
tubuhnya untuk diledakkan di tengah keramaian orang-orang yang berbeda
agama, madzhab atau pandangan dengan mereka.86
Itu tentu mustahil dalam
logika kewajaran, namun ISIS telah membuktikan kehebatannya dalam merekrut
orang-orang agar mengikuti seluruh doktrinnya yang ekstrem dan sadis.
Namun menurut Irfan, sebenarnya ISIS tidak berdakwah, melainkan
kelompok radikalnya yang melakukan dakwah menggunakan ISIS. Startegi
gerakan mereka ada dua bentuk, pertama adalah dari pintu ke pintu. Kedua,
mereka bergerak melalui internet, dengan menggunakan ayat-ayat yang dimaknai
radikal secara sempit dan jihad. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Irfan
saat wawancara, yakni sebagai berikut:
“ISIS tidak berdakwah, tetapi kelompok radikal yang melakukan dakwah
menggunakan ISIS. Strategi dakwah (gerakan) mereka dulu dari pintu ke
pintu, kemudian sekarang melalui internet, dengan menggunakan ayat-ayat
yang dimaknai radikal secara sempit dan jihad.”87
Dengan bukti telah banyaknya orang-orang Indonesia yang bergabung dan
mendukung ISIS, itu menunjukkan bahwa mereka memiliki metodologi dan
86
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
(Jakarta: Zahira, 2014), h.145 87
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat.
47
strategi gerakan yang kuat dalam merekrut anggota baru. Di antara metode dan
strategi gerakan yang mereka gunakan untuk merekrut anggota adalah sebagai
berikut:
1) Menjanjikan kehidupan mulia serta kematian syahid (mendapat surga)
dengan menjadikan seseorang sebagai mujahidin (tentara Tuhan), kemudian
juga menganggap praktik-praktik keislaman di luar mereka sebagai bid’ah
(sesat).
2) Mengimajinasikan terbentuknya negara Islam dan menganggap
pemerintahan selain Islam seperti demokrasi sebagai bentuk penyembahan
dan ketundukan kepada taghut (berhala).88
3) Mengiming-imingi imbalan sejumlah uang sebagai jaminan ekonomi untuk
kebutuhan hidup seseorang. Sehingga orang yang tidak memiliki
pengetahuan keislaman yang cukup, dilatih dan dimodali untuk berjihad
dengan menjadi teroris. Dalam konteks ini, janji yang ditegaskan kepada
mereka adalah mati syahid dan disambut oleh bidadari-bidadari surga pasca-
kematiannya.89
4) Bergerak melalui media-media elektronik, media sosial dan sebagainya.
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya bahwa ISIS mengajak
kaum Muslim melalui internet dengan menyodorkan ayat-ayat jihad dengan
pemahaman yang sempit dan dangkal.90
Meskipun baru-baru ini pemerintah
telah berupaya memblokir situs-situs yang berindikasi situs ISIS, namun hal
88
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
146-147 89
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
148 90
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat.
48
tersebut tidak membuat dakwah ISIS berhenti, melainkan mereka mencari
cara-cara lain untuk menjalankan misinya tersebut.
Adapun sumber dana yang mereka dapatkan adalah dari para donatur atau
kelompok-kelompok yang mendukung ISIS atau merampok, seperti yang pernah
terjadi beberapa tahun lalu ISIS merampok Bank Niaga, toko emas, dan lain
sebagainya. Kelompok ISIS telah menganggap negara ini sebagai thaghut,
sehingga semua yang ada di dalamnya adalah halal. Hal ini sebagaimana yang
disampaikan Irfan dalam wawancara berikut:
“Saya hanya menduga (dana itu berasal dari) orang-orang yang bersimpati,
dari kelompok-kelompok yang mau berjuang bersama ISIS atau merampok,
seperti yang pernah dilakukan beberapa tahun, yakni merampok Bank
Niaga, merampok toko emas, karena negara ini sudah thaghut, jadi semua
halal digunakan dananya untuk berjuang.”91
ISIS telah memulai era baru terorisme yang telah diramalkan oleh Eric
Schmidt dan Jared Cohen, yakni mereka menjadi organisasi teroris yang paling
canggih dengan kekuatan media (khususnya media digital-online) yang
meyakinkan. ISIS memiliki satu lembaga khusus untuk pelayanan publik mereka
yang bernama „al-Idārah al-Islāmiyyah li al-Khidmah al-Āmmah‟ atau yang
berarti “Administrasi Islami untuk Pelayanan Publik” yang dipimpin oleh Abu
Jihad al-Syami. Salah satu urusan lembaga ini adalah menjamin ketersediaan
internet dan membangun sistem serta jaringan digital untuk kebutuhan terorisme
mereka dan „warga‟nya. Bahkan, lembaga ini terus berupaya memberikan jaringan
internet berkapasitas maksimum, dan inilah yang menjadi salah satu basis
kekuatan ISIS.92
91
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat. 92
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
151
49
Pada Maret 2013, ISIS membentuk induk utama media mereka yang
dinamai I’tisām Media Fondation dengan mendistribusikan melalui Global
Islamic Media Front (GIMF). Setahun kemudian (2014), mereka juga mendirikan
al-Hayat Media Center yang dibentuk khusus untuk menargetkan publik Barat.
Konten-konten propagandanya berbahasa Inggris, Jerman, Rusia dan Perancis.
Targetnya bukan hanya simpatisan, melainkan juga tentara. Sebab, tidak sedikit
tentara ISIS juga yang berasal dari Barat, khususnya dalam aksi terorismenya di
Suriah. Kemudian ISIS juga mendirikan Ajnad Media Foundation, yang khusus
dijadikan sebagai media propaganda yang menyiarkan nasyid-nasyid yang
menyampaikan pesan-pesan jihad.93
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa
propaganda media (termasuk media sosial) ISIS di Indonesia cukup kuat dan
masif. Mereka tercatat telah berhasil merekrut 50 tentara dari Indonesia yang
berangkat ke Irak dan Suriah untuk misi terorisme. Propaganda melalui media
sosial sangat menarik bagi ISIS bukan hanya karena mudah, murah, dan efektif,
melainkan juga karena media sosial mereka bisa „berkeliaran‟ bebas dengan akun
anonim yang bisa dibuat kapan saja dan sebanyak mungkin, tanpa jejak yang
jelas, sehingga sulit untuk ditelusuri atau dicegah. Propaganda media sosial seperi
dari twitter, facebook, dan youtube ini banyak mereka gunakan untuk merekrut
anggota secara personal, khususnya kalangan anak muda.94
Sebenarnya dalam hal perekrutan, ISIS tidak butuh atau menunggu banyak
anggota untuk melakukan teror dan kekacauan di suatu wilayah atau negara.
93
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
152 94
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
154-156
50
Bahkan, pertama kali terbentuk di bawah pimpinan Zarqawi, ketika masih
memakai nama Jamaah al-Tauhid, ISIS hanya terdiri dari belasan orang saja,
namun telah menjadi organisasi yang mengancam stabilitas Yordania dan tahta
rezim Raja Hussein pada era 1990-an dan berperan penting dalam tindak
terorisme di Afghanistan dan Irak pada era 2000-an. Hingga kini pun, ISIS dengan
segala kekacauan dan terorismenya di Irak, Suriah, regional Timur Tengah dan
bahkan global hanya diisi oleh keanggotaan yang terdiri dari ribuan orang saja.95
B. Gerakan dan Sasaran Utama ISIS
Dari penjelasan tentang metode dan strategi gerakan di atas, maka sasaran
utamanya pun dapat diketahui. Adapun sasaran utama dalam perekrutan anggota
ISIS adalah sebagai berikut:
1. Anak-anak Muda yang Galau
Menurut Irfan, ISIS menyebar ke titik-titik wilayah yang rawan, kemudian
menghasut masyarakat, khususnya anak-anak muda yang galau. Hal ini terjadi di
wilayah Poso dan Ambon. Selain itu juga ke titik-titik seperti kampus, dengan
mengajak anak-anak muda untuk bergabung dan mencuci otak mereka agar
bergabung dengan kelompoknya. Hal ini disampaikan Irfan saat wawancara,
“Kalau secara fisik, dia (ISIS) menyebar ke titik-titik di mana ada wilayah
yang rawan, dia akan ada di situ, menghasut masyarakat seperti di wilayah
Poso dan Ambon, serta titik-titik seperti kampus yang banyak anak-anak
muda bergabung untuk dicuci otak dan mencari pemuda-pemuda yang
galau.”96
95
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
149 96
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat.
51
2. Orang-orang yang menganut corak keislaman atau ideologi yang dekat
dengan ideologi ISIS.
Menurut Haidar Assad, strategi ini bertujuan agar lebih mudah untuk
didoktrin dengan yang lebih ekstrim, karena sebelumnya mereka sudah berdiri di
atas tapal batas ke-ISIS-an, hanya saja mereka masih bersifat pasif dan tak masuk
dalam gerakan saja. Oleh karenanya, ISIS terus mendorong dan mengompori
mereka agar lebih aktif untuk mewujudkan impian mereka, yakni mendirikan
negara Islam.
3. Orang-orang Muslim yang sebelumnya hidupnya carut-marut dan
tenggelam dalam kriminalitas serta kemaksiatan yang nyata.
Menurut Jalaludin Rahmat, di antara sasaran ISIS seperti ini adalah mereka
yang suka mencuri, berjudi, memperkosa, mabuk-mabukan, atau bahkan
membunuh. Termasuk seorang Muslim mantan penghuni penjara. Mereka yang
telah apatis itu diinsyafkan oleh ISIS dan diajarkan hanya dan melulu tentang ke-
syahid-an serta ditegaskan bahwa satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkannya
hanya dengan menjadi „mujahidin’ sebagai bentuk penebusan dosa dan jalan
menuju surga.97
4. Pemuda Pengangguran
sebagaimana yang disampaikan oleh Komite Intelijen Daerah (Kominda)
Bengkulu, bahwa ISIS rata-rata merekrut anak muda pengangguran atau yang
dililit masalah ekonomi yang berat. Mereka diberi jaminan ekonomi dan
mengarahkan mereka yang memiliki semangat keislaman yang tinggi dan
meledak-ledak, namun tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup. Sehingga
97
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
147
52
semangat keberislamannya itu dibelokkan ke arah yang mungkar dengan menjadi
teroris.
5. Rekrutmen di masjid-masjid
Masjid-masjid yang menjadi sasaran ISIS di antaranya yaitu masjid-masjid
di Bekasi. Mereka mempengaruhi jamaah masjid, kemudian menguasai
masjidnya, dan akhirnya menerapkan dan mendakwahkan ke-ISIS-an mereka serta
mengkafirkan dan mengusir siapa saja yang berbeda dengan mereka. Kesimpulan
ini diambil dari analisa fakta rekrutmen ISIS di delapan masjid di Bekasi.
Langkah pertama mereka adalah dengan menjadi jamaah masjid yang sangat aktif
dan perlahan-lahan mensosialisasikan atau bahkan mempengaruhi pengurus
Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) agar menganut Islam dan ideologi
sebagaimana yang mereka anut. Kemudian kelompok tersebut membuat kegiatan,
misalnya, bedah buku tentang ideologinya, dan meminta jadwal imam atau khatib
shalat jum‟at. Kucuran dana merupakan salah satu jalan masuk yang digunakan
oleh kelompok ini dalam menjalankan program-programnya di masjid. Langkah
selanjutnya adalah dengan mereka sendiri masuk dan menjadi pengurus DKM
serta melakukan berbagai upaya pembersihan DKM dan masjid dari pengaruh-
pengaruh dan orang-orang non-ISIS. Bahkan mereka tidak segan-segan mengganti
kepengurusan DKM yang lama dengan kepengurusan yang baru yang terdiri dari
ISIS dan orang-orangnya sendiri. Bagi mereka, masjid adalah pusat dakwah,
sehingga menguasainya akan berperan besar dalam kesuksesan dakwah mereka di
kawasan masjid itu.98
98
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
149
53
Saat ini ISIS memiliki jumlah anggota di Indonesia kurang lebih sebanyak
300 orang, namun angka pastinya tidak dapat ditentukan (tentatif). Karena ISIS
tidak melakukan pendaftaran anggota, mereka hanya mencari dukungan dan
partisipasi dari masyarakat Indonesia yang mau ikut berjuang mendirikan
khilafah. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Irfan saat wawancara
berikut:
“Kemarin kurang lebih 300 orang yang berangkat ke Syiria. Untuk
mengetahui secara pasti angkanya itu tidak ada pendaftaran. Jadi siapa saja
yang simpati (terhadap ISIS), maka ia sudah termasuk dari mereka, dan
angka ini tentatif.”99
ISIS memang tidak butuh banyak anggota. Sebab, mungkin mereka sadar
bahwa mustahil mereka dengan keseraman doktrinnya dan kebringasan
gerakannya itu diterima oleh banyak orang. Oleh karena itu, visi rekrutmen
mereka adalah sedikit orang namun berpikiran ekstrim, sadis dan di luar batas
kenormalan. Sehingga meskipun hanya segelintir, mereka mampu menciptakan
kekacauan yang mungkin tidak terpikirkan oleh mayoritas orang berakal normal
dan wajar.100
C. Eksistensi Gerakan ISIS dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Gerakan fundamentalisme ISIS seringkali dikaitkan dengan aksi-aksi
kekerasan, militansi dan terorisme. Secara kategoris, gerakan ini berkaitan dengan
sejarah, ideologi, masalah struktural, identitas, bahkan bergeseran dengan masalah
geostrategi dan politik global seiring dengan menguatnya arus globalisasi.
Doktrin-doktrin kitab suci yang diinterpretasikan secara tertentu dapat
menyediakan legitimasi dan berfungsi sebagai sumber daya pembingkaian
99
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat. 100
Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.
149-150
54
(framing resource) bagi aktivisme kekerasan yang sebenarnya pekat dengan
nuansa power strugle. Hal yang paling berbahaya dari keyakinan kaum
fundamentalis ini adalah keyakinan bahwa mereka satu-satunya kebenaran.101
Berbagai peristiwa terorisme di Indonesia dengan segala bentuknya hampir
selalu mengatasnamakan Islam. Begitu pula eksistensi gerakan ISIS yang mulai
menjalar ke pelosok negeri untuk menjalankan visi mereka dengan
menggaungkan nama Islam bersama doktrin jihadnya. Banyaknya pemeluk agama
Islam di Indonesia dengan beragam alirannya, membuat Indonesia dicap sebagai
sarang teroris. Perbuatan teror yang mengatasnamakan agama oleh kelompok atau
aliran tertentu tersebut muncul akibat adanya pemahaman agama yang bercorak
literal, sempit dan kurang memahami substansi ajaran yang ada di dalamnya.102
Sedangkan di antara aliran-aliran dalam Islam yang ada di Indonesia tidak sedikit
diisi oleh kelompok-kelompok yang memahami ajaran agama secara literal.
Sehingga ancaman semakin merebaknya gerakan ISIS di Negara Kesatuan
Republik Indonesia semakin terbuka.
Pada Januari 2016 lalu, di beberapa siaran televisi memberitakan terjadinya
pengeboman Pos Polisi di Sarinah-Jakarta Pusat yang dilakukan oleh kelompok
radikal. Ini merupakan salah satu bukti bahwa eksistensi kelompok radikal
tersebut kemungkinan masih ada karena telah menyebar luas di Indonesia dengan
doktrin-doktrin jihadnya.
Irfan menyatakan bahwa banyak orang yang kecewa dengan pancasila dan
oknum-oknum pancasila. Hal ini dapat dilihat dari adanya kelompok yang
101
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme (Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2014), h. 25 102
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 27-28
55
menggebu-gebu ingin menegakkan khilafah di Indonesia. Mereka menganggap
bahwa adanya pengangguran, kemiskinan, keterbelakangan dan segala bentuk
kenestapaan lain sebagai akibat dari kesalahan pemerintah yang menganut sistem
demokrasi (thaghut). Sehingga mereka memilih untuk mengganti ideologi
pancasila dengan ideologi kekhalifahan sebagai ideologi pelarian dan solusi untuk
kemakmuran Indonesia. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Irfan saat
diwawancara, yakni:
“Banyak orang kecewa terhadap pancasila dan oknum pancasila, akhirnya
(mereka) mencari ideologi lain. Ideologi pelarian itulah dia lari ke ideologi
radikal dari kelompok militan itu.”103
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa motivasi dan faktor
pendukung eksistensi gerakan ISIS di Indonesia adalah faktor politik dan agama.
Kurangnya ketegasan hukum merupakan faktor utama bagi perkembangan
kelompok tersebut untuk membuktikan eksistensi mereka melalui bentuk
kekerasan dan aksi teror yang mengatasnamakan interpretasi terhadap ajaran
agama Islam. Selain itu, ketidakmampuan negara untuk mengembangkan model
pembangunan politik dan ekonomi juga merupakan faktor munculnya gerakan-
gerakan fundamentalis Islam. Kegagalan dalam menjalankan roda politik yang
bersinergi dengan rakyat tidak hanya menumbuhkan kekecewaan, apatisme, dan
alineasi, tetapi juga memunculkan perlawanan terhadap rezim-rezim penguasa.104
Bahkan kondisi ekonomi yang semakin sulit saat ini, merupakan
kesempatan bagi kelompok ISIS untuk mendakwahkan doktrin-doktrin mereka
akan kegagalan pemerintah. Tidak hanya itu, jaminan ekonomi yang ditawarkan
103
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat. 104
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 31
56
juga merupakan negosiasi yang patut diperhitungkan. Mengingat kondisi ekonomi
di Indonesia saat ini semakin terpuruk akibat menurunnya nilai rupiah dalam
percaturan mata uang dunia.
D. Pengaruh Gerakan ISIS di Indonesia
Menurut Irfan, ISIS memiliki pengaruh yang negatif. Hal ini ia sampaikan
dengan tinjauan bahwa masyarakat Indonesia akan terbawa arus untuk
melampiaskan emosi mereka mengganti pancasila dengan dasar agama. Berikut
pernyataan beliau saat diwawancara:
“Pengaruhnya negatif, karena mereka terbawa arus untuk melampiaskan
emosi mereka mengganti pancasila dengan dasar agama, yang sudah tidak
akan mungkin dilakukan itu.”105
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memberikan
penjelasan bahwa pengaruh gerakan ISIS yang identik dengan tindak kekerasan di
Indonesia meliputi beberapa bidang, di antaranya yaitu bidang kedaulatan,
ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, pendidikan, keagamaan,
pertahanan, keamanan dan ketertiban nasional.
1. Bidang Kedaulatan
Terdapat dua hal yang sangat fundamental terkait pengaruh gerakan ISIS
terhadap kedaulatan Indonesia. Pertama, terjadinya gerakan terorisme ISIS di
Indonesia mengindikasikan bahwa Indonesia telah kehilangan kedaulatannya
karena dianggap tidak mampu melindungi dan memberikan rasa aman bagi
warganya. Kedua, gerakan ISIS tersebut bertujuan untuk merebut kedaulatan
sebuah bangsa. Aksi-aksi mereka sangat identik dengan kekerasan yang diarahkan
pada objek-objek vital dan sarana strategis negara yang signifikan terhadap
105
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat.
57
pertahanan dan keamanan nasional. Hal inilah yang secara tegas menunjukkan
bahwa perbuatan mereka adalah melanggar hukum.106
2. Bidang Ideologi
Pancasila sebagai kerangka berpikir, bertindak dan hukum di Indonesia
merupakan ideologi pemersatu bangsa yang terdiri dari berbagai ragam suku,
agama, bahasa dan budaya. Dampak ideologi yang diterapkan oleh gerakan ISIS
melalui berbagai cara jelas bertentangan dan membahayakan ideologi pancasila.
Kelompok ini mengembangkan sebuah ideologi yang membenarkan cara-cara
kekerasan untuk mencapai tujuan, serta terhadap hal-hal yang mereka anggap
tidak sepaham dan berbau sekuler. Mereka mempropagandakan bahwa pancasila
bukanlah ideologi yang harus dituruti, karena pancasila bukanlah agama.
Sementara pada sisi lain, pancasila mencerminkan nilai-nilai universal, yang
menghargai perbedaan, mengayomi seluruh keragaman, baik suku, agama,
golongan, bahkan perbedaan pendapat.107
3. Bidang Politik
Pengaruh gerakan ISIS di bidang politik di antaranya dapat menyebabkan
ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Ketika aksi-aksi teror berlangsung,
maka secara otomatis hal itu akan mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia,
bahkan dunia internasional. Dalam kejadian bom Bali misalnya, Indonesia
mengalami permasalahan yang serius dalam berdiplomasi dengan negara-negara
yang warganya menjadi korban pemboman seperti Australia, Amerika Serikat,
dan beberapa negara lain. Pemerintah di berbagai negara bahkan mengeluarkan
106
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 17 107
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 18
58
travel warning dan pembatalan beasiswa karena kasus Bom Bali tersebut. Padahal
pemulihan hubungan kenegaraan bukanlah hal yang mudah. Dengan demikian,
tampak jelas bahwa dampak dari gerakan radikal seperti ISIS dalam bidang politik
dalam dan luar negeri sangat signifikan dan merugikan. Suatu negara bahkan
dapat dikucilkan dari percaturan internasional hingga dikenai sanksi apabila
dinilai lamban, tidak agresif, bahkan menolak bekerjasama untuk menerapkan
politik, global war on terrorism (gwot) pada kelompok teroris di wilayahnya.108
4. Bidang Ekonomi
Aksi teror gerakan Islam radikal seperti ISIS dapat berdampak negatif
terhadap sistem perekonomian Indonesia. Pada kasus Bom Bali misalnya,
menyebabkan kerusakan yang parah pada 418 gedung yang menjadi sentra
perekonomian di Bali. Taksiran kerugian mencapai lebih dari lima triliun rupiah.
Dampak utama yang sangat dirasakan adalah menurunnya pendapatan asli daerah
Bali sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan nasional. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara yang terus menurun sejak
2002 sampai akhir Desember 2003. Pada tahun 2001, jumlah wisatawan yang
berkunjung ke Bali sebanyak 1.356.774 orang, sementara tahun 2003 sebanyak
1.285.844 orang atau turun sebesar 22,77%. Dibutuhkan waktu yang tidak
sebentar untuk memulihkan kondisi perekonomian seperti semula. Bahkan banyak
negara yang mengeluarkan travel warning terhadap Indonesia. Sehingga hal ini
mengakibatkan buruknya perekonomian Indonesia pada sektor pariwisata dan
informal.109
108
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 19-20 109
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 20
59
5. Bidang Sosial dan Budaya
Gerakan ISIS di Indonesia memberikan dampak serius terhadap kehidupan
sosial di masyarakat. Pertama, munculnya rasa takut dan ketidaknyamanan di
masyarakat. Tidak mudah bagi sebagian besar masyarakat, terutama bagi korban
dan keluarga korban, untuk melupakan kejadian yang telah merenggut nyawa,
harta, dan kehidupan mereka. Rasa takut dan trauma psikologis tersebut akan
memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan dan
perubahan dalam kehidupan sosial.
Kedua, munculnya sikap saling curiga terhadap sesama anggota masyarakat.
Hal ini karena aksi-aksi teror dari anggota ISIS dilakukan secara tertutup dan
tidak menunjukkan identitas, sehingga memunculkan sikap saling curiga. Ketiga,
penanganan aksi terorisme oleh masyarakat yang lambat mengakibatkan sikap
apatis oleh masyarakat terhadap kejahatan. Sehingga ketika ini terjadi, maka
kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara, khususnya penegak keamanan
telah luntur, karena masyarakat sudah tidak peduli terhadap kejahatan terorisme
dan menganggapnya sebagai kejahatan biasa.110
6. Bidang Pendidikan
Kelompok radikal seperti ISIS menilai bahwa pengawasan pendidikan di
Indonesia lemah. Sehingga mereka memanfaatkan situasi tersebut untuk mencari
dan merekrut anggota baru. Mereka meyakini bahwa anak-anak muda dan remaja
merupakan sumber daya yang sangat berharga. Karena selain mudah menerima
propaganda, remaja juga lebih mudah untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.
Selain itu, beberapa bulan terakhir di Jawa Timur juga banyak beredar buku-buku
110
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 20-21
60
agama yang dikeluarkan oleh pemerintah mengandung ayat-ayat jihad dengan
makna yang literal, intoleran dan penuh kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengawasan dalam sarana pendidikan di Indonesia juga lemah.
Hasil survei Lembaga Kajian Islam dan perdamaian pada tahun 2011 yang
dirilis majalah Tempo 2011, bahkan menunjukkan 49% siswa di wilayah
Jabodetabek menyetujui aksi kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalah terkait agama dan moral. Tidak kurang dari 60% guru dan 25% siswa
sekolah bahkan mengenal dan menyatakan persetujuan terhadap tokoh-tokoh
radikal. Bahkan, belasan siswa dalam survey ini menyetujui aksi bom bunuh diri.
Data tersebut secara kasat mata menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan juga
telah terkontaminasi ideologi teror dan paham radikal.111
7. Bidang Keagamaan
Pengaruh gerakan ISIS dalam bidang keagamaan di Indonesia tidak lain
adalah rusaknya citra Islam di mata agama lain. Islam dianggap sebagai agama
teroris, karena banyaknya peristiwa-peristiwa pemboman yang terjadi di
Indonesia mayoritas pelakunya adalah Muslim. Sehingga Islamophobia terjadi di
Indonesia, dan seringkali menghambat aktifitas dakwah Islam karena banyaknya
anggapan negatif yang lahir dari kesalahpahaman dan prasangka akibat
pergerakan jaringan teroris seperti ISIS. Tidak hanya di dalam negeri, di Amerika
misalnya, terjadi peristiwa pemboman yang sangat mengerikan pada 11
September 2001, mengakibatkan tindakan terorisme selalu dikaitkan dengan
Islam. Sehingga hal ini membuat negara-negara Barat juga bersikap anti Islam
atau Islamophobia. Citra Islam sebagai agama rahmatan li al-‘alamin akhirnya
111
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 21-22
61
tercoreng, tergantikan dengan anggapan bahwa Islam agama yang melegitimasi
kekerasan.112
8. Bidang Pertahanan
Gerakan radikal ISIS dalam bidang pertahanan ialah terancamnya
kedaulatan bangsa, integritas wilayah, perlindungan terhadap warga negara, serta
kepentingan negara. Hal ini merupakan ancaman utama sebuah bangsa. Aksi
terorisme ISIS identik dengan kekerasan dan anarkis. Aksi-aksi mereka seringkali
menggunakan senjata dan bahan peledak. Sehingga hal ini menyebabkan berbagai
negara, termasuk Indonesia, menghadapi mereka dengan kekuatan militer. Di
Indonesia sendiri, telah memiliki DENSUS 88, POLRI, TNI, dan aparatur-
aparatur negara lainnya yang digunakan untuk mencegah dan melawan aksi
terorisme ISIS di Indonesia. Karena gerakan ISIS merupakan kejahatan
transnasional, kejahatan lintas batas negara, dan kejahatan luar biasa.113
9. Bidang Keamanan dan Ketertiban Nasional
Aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok ISIS jelas akan
mengancam seluruh unsur keamanan negara. Sehingga hal ini harus dihadapi
dengan kekuatan politik, ekonomi dan militer. ISIS menjadi salah satu
permasalahan bangsa yang dapat mengancam stabilitas sosial dan politik, serta
mengancam eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dampak negatif ISIS
terhadap keamanan dan ketertiban nasional adalah kerugian immaterial, yaitu
terusiknya rasa aman, timbulnya rasa saling curiga yang memicu keresahan sosial,
112
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 22 113
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 23
62
serta tergerusnya nilai-nilai toleransi yang telah tumbuh dan berkembang di
Indonesia.114
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa ISIS memiliki pengaruh negatif yang
sangat besar apabila dibiarkan terus berkembang di Indonesia. Sehingga tindakan
pencegahan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam
meminimalisir tumbuh dan berkembangnya paham-paham radikal yang
disebarkan oleh ISIS melalui berbagai media.
E. Peran Pemerintah dalam Mencegah Perkembangan ISIS di Indonesia
Peran pemerintah dalam mencegah perkembangan ISIS di Indonesia
sebenarnya melibatkan semua elemen pemerintahan, mulai dari BNPT sebagai
lembaga yang memiliki kewenangan untuk mencegah tindak pidana terorisme,
hingga seluruh kementerian yang memiliki potensi untuk mencegah
berkembangnya kelompok radikal di Indonesia. Namun dalam hal ini, penulis
hanya fokus pada lembaga BNPT. Karena berdasarkan Perpres No.12 Tahun
2012, lembaga ini didirikan khusus untuk menangani masalah terorisme seperti
ISIS dan semacamnya. Irfan menyatakan bahwa peran pemerintah seperti BNPT
adalah menyiapkan strategi, program dan kebijakan di dalam menanggulangi
kelompok-kelompok radikal seperti ISIS. Irfan juga mengungkapkan bahwa
sebelum mereka menjadi teroris, mereka bersikap militan terlebih dahulu. Hal ini
ia sampaikan saat wawancara, yakni:
“Peran Pemerintah (yaitu) menyiapkan strategi, program dan kebijakan di
dalam menanggulangi kelompok-kelompok seperti itu, karena mereka
militan dulu. Setelah militan, baru kemudian menjadi teroris.”115
114
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 23-24
63
Ada dua strategi utama yang dilakukan oleh BNPT dalam menanggulangi
perkembangan kelompok radikal seperti ISIS di Indonesia, yaitu strategi kontra
radikalisasi dan strategi deradikalisasi. Strategi kontra radikalisasi ditujukan
terhadap kelompok pendukung, simpatisan, dan masyarakat yang belum terpapar
paham radikal. Sementara strategi deradikalisasi lebih ditujukan terhadap
kelompok yang sudah terpapar paham teror, kelompok inti dan militan terorisme
dengan melaksanakan kegiatan identifikasi, rehabilitasi, permasyarakatan, dan
reedukasi.116
1. Strategi Kontra Radikalisasi
Strategi kontra radikalisasi adalah upaya pencegahan terorisme seperti ISIS
dan semacamnya melalui penamaan nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai-nilai
non-kekerasan dalam menyelesaikan masalah serta menyikapi perbedaan. Seluruh
upaya tersebut prosesnya dilakukan melalui jalan damai, humanis, sinergis dan
melibatkan seluruh elemen masyarakat secara semesta. Strategi ini merupakan
bagian dari kebijakan pencegahan dalam arti luas dengan tujuan agar tidak terjadi
kembali aksi terorisme. Adapun kegiatan kontra radikalisasi yang dilakukan
BNPT adalah sebagai berikut:
a. Mengawasi dan memonitor berita. Artinya, informasi yang beredar di media
massa yang disebarkan oleh kelompok ISIS dan sejenisnya dilakukan kontra
dengan informasi yang benar.
115
Hasil Wawancara dengan Irfan (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat. 116
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 38-39
64
b. Memonitor dan menentukan berita dan informasi yang beredar melalui
media massa yang bermuatan propaganda kelompok radikal seperti ISIS dan
melakukan upaya-upaya pencegahan.
c. Menyiapkan pakar media massa dan pakar psikologi massa yang akan
merumuskan konsep dan strategi kontra propaganda.
d. Melakukan kontra propaganda melalui media-media cetak maupun
elektronik (website, radio, siaran televisi, buletin cetak, dan lain-lain) untuk
melakukan kontra propaganda yang disebarkan oleh kelompok terorisme
seperti ISIS.
e. Memfasilitasi kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh moderat untuk
melakukan kontra narasi terhadap ajaran-ajaran radikal yang disebarkan
oleh kelompok radikal terorisme.
f. Membuat kajian, tulisan dan sejenisnya mengenai kontra propaganda dan
menyebarkannya kepada seluruh stakeholders terkait.
g. Memonitor dakwah-dakwah radikal di setiap khutbah dan tausiyah (majelis
taklim, dan sebagainya).117
Strategi kontra radikalisasi yang dilakukan oleh BNPT sebagai upaya
pencegahan tindak terorisme meliputi beberapa bidang, yaitu bidang pengawasan,
kontra propaganda, kewaspadaan, penangkalan, dan perlindungan. Pertama,
pengawasan dilakukan baik secara administrasi maupun fisik terhadap orang,
senjata api, serta menyiapkan rumusan strategi, penyiapan bahan koordinasi,
117
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 41
65
pelaksanaan pengawasan, monitoring sampai dengan pengendalian di bidang
pengawasan.
Kedua, kontra propaganda dimaksudkan untuk memberikan perlawanan
atau menangkal terhadap propaganda radikal baik melalui media sosial, media
massa, website, serta penggalangan terhadap tokoh maupun organisasi terkait
terorisme.
Ketiga, kewaspadaan merupakan aktivitas untuk menyiapkan bahan
perumusan, koordinasi, serta pengumpulan data awal tentang pemetaan jaringan
untuk mewujudkan deteksi dan cegah dini terhadap ideologi dan organisasi terkait
terorisme.
Keempat, penangkalan di bidang ini berupa program pemantauan dan
pengendalian penyebaran ideologi radikal terorisme yang berpotensi menyebar di
tengah masyarakat, khususnya kepada kelompok rentan (mantan tahanan dan
mantan narapidana terorisme serta keluarga dan lingkungan pergaulannya).
Program ini bertujuan agar mereka tidak kembali terkait dengan kelompok dan/
atau ideologi kekerasan.
Kelima, perlindungan merupakan upaya pengamanan terhadap objek vital,
transportasi dan VVIP serta pengamanan lingkungan, baik pemukiman maupun
wilayah publik dari ancaman terorisme. Kegiatan perlindungan ini yaitu
merumuskan kebijakan dan program, koordinasi, pelaksanaan perlindungan
sampai dengan pemantauan dan pengendalian program perlindungan.118
118
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 42
66
2. Strategi Deradikalisasi
Implementasi strategi deradikalisasi dilakukan dalam bentuk program dan
kegiatan yang ditujukan pada kelompok radikal seperti ISIS. Tujuannya adalah
agar kelompok tersebut meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam
memperjuangkan misinya serta memoderasi paham radikal mereka. Adapun
cakupan program dan kegiatan deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT
meliputi:
a. Melakukan pemetaan terhadap anatomi kelompok-kelompok radikal seperti
ISIS di Indonesia yang dijadikan sebagai sasaran atau target dari program
deradikalisasi.
b. Melakukan kajian terkait program deradikalisasi yang sudah dijalankan di
negara-negara lain. Program ini dimaksudkan untuk melakukan kajian
perbandingan dan melihat kemungkinan-kemungkinannya untuk bisa
diterapkan dalam program deradikalisasi di Indonesia.
c. Melakukan kajian program deradikalisasi yang tepat bagi masing-masing
kelompok radikal. Strategi ini merupakan lanjutan dari strategi sebelumnya
agar strategi deradikalisasi bisa efektif dan efisien.
d. Melakukan koordinasi dengan seluruh komponen masyarakat, meliputi
organisasi sosial, keagamaan, kepemudaan, LSM, dan lain sebagainya yang
selama ini sudah melakukan program deradikalisasi. Kelompok-kelompok
masyarakat ini diharapkan menjadi mitra strategis dan jaringan BNPT dalam
rangka melaksanakan program deradikalisasi.119
119
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 49
67
Program deradikalisasi di Indonesia meliputi dua klasifikasi. Pertama,
program deradikalisasi di tengah masyarakat yang dilaksanakan beberapa tahapan,
seperti identifikasi, pembinaan, kontra radikalisasi, monitoring dan evaluasi.
Kedua, program deradikalisasi di dalam lapas yang dilakukan dengan beberapa
tahap pula, yaitu identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, pemasyarakatan, monitoring
dan evaluasi.120
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ada dua strategi utama yang
dilakukan oleh Pemerintah, khususnya BNPT dalam menanggulangi
perkembangan kelompok radikal seperti ISIS di Indonesia, yaitu strategi kontra
radikalisasi dan strategi deradikalisasi. Strategi kontra radikalisasi ditujukan
terhadap kelompok pendukung, simpatisan, dan masyarakat yang belum terpapar
paham radikal. Sementara strategi deradikalisasi lebih ditujukan terhadap
kelompok yang sudah terpapar paham teror, kelompok inti dan militan terorisme
dengan melaksanakan kegiatan identifikasi, rehabilitasi, pemasyarakatan, dan
reedukasi. Upaya pencegahan ini juga tentunya membutuhkan kerjasama antar
lembaga maupun masyarakat di seluruh Indonesia.
120
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print Pencegahan
Terorisme, h. 50
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, peneliti menyimpulkan tiga poin
sebagai jawaban atas pertanyaan masalah, yaitu:
1. Konsep dan startegi gerakan ISIS di Indonesia memiliki dua bentuk,
pertama adalah dari pintu ke pintu. Kedua, mereka berdakwah melalui
internet, dengan menggunakan ayat-ayat yang dimaknai radikal secara
sempit dan jihad.
2. Pengaruh negatif gerakan ISIS di Indonesia sangat kompleks, di antaranya
meliputi kedaulatan negara, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya,
pendidikan, keagamaan, pertahanan, kemanan dan ketertiban nasional.
3. Ada dua strategi utama yang dilakukan oleh Pemerintah, khususnya BNPT
dalam mencegah perkembangan kelompok radikal seperti ISIS di Indonesia,
yaitu strategi kontra radikalisasi dan strategi deradikalisasi.
B. Saran
Dari penelitian ini, akhirnya peneliti dapat memberikan saran sebagai
berikut:
1. Bagi para mahasiswa yang hendak melakukan penelitian serupa, hendaknya
bisa lebih menyeluruh, terutama metode penelitian yang digunakan. Peneliti
dalam hal ini sadar akan berbagai kelemahan dalam penelitian ini. Namun
setidaknya penelitian ini dapat memberikan kontribusi wawasan atau
pengetahuan dalam penelitian dengan objek yang serupa.
69
2. Bagi Pemerintah, terutama BNPT, hendaknya dapat mensosialisasikan anti
radikalisme kepada masyarakat luas di seluruh wilayah di Indonesia, baik di
pedesaan, perkotaan, pondok pesantren, maupun sekolah-sekolah umum
sehingga santri dan para pelajar pun dapat memahami bahaya gerakan
radikal yang telah menyebar di dunia pendidikan dan remaja.
3. Bagi masyarakat, hendaknya selalu waspada terhadap ajaran dan gerakan
fundamentalisme Islam seperti ISIS yang sangat ekstrem dan intoleran,
bahkan telah melenceng jauh dari hakikat ajaran Islam yang sebenarnya.
Sehingga perlu adanya penjelasan yang komprehensif oleh para tokoh
agama tentang ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat umum agar tercipta
kehidupan yang harmonis dan aman.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz. Diskursus Islam Politik dan Spiritual. Bogor: Al-Azhar
Press, 2007.
Adams, Ian. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa
Depannya, Penerjemah: Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam, 2004.
Adityawan S, Arief. Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas
Semiotika Orde Baru Soeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008.
Ali, As’ad Said. Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak
Terjangnya. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014.
Azra, Azyumardi. “ISIS, “Khilafah”, dan Indonesia”, diakses dari
http://kompas.com pada 17 Desember 2014.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Azzam, Abdullah. Perang Jihad di Jaman Modern, Penerjemah: H. Salim
Basyarahil. Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Draft Blue Print
Pencegahan Terorisme. Pusat Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2014.
Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Noe-Liberal. Jakarta: Erlangga, 2006.
Belanawane, M. “Agama, Kebudayaan, dan Kekuasaan: Catatan Teoritik dari
Seorang Salafi.” Antropologi Indonesia Vol. 32 No. 2, 2011.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitiaftif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik
dan Ilmu Sosial Lainya. Jakarta: Putra Grafika, 2009.
Donohue, John J. dan Esposito, John L. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi
Masalah-masalah, Penerjemah: Machnun Husein. Jakarta: Rajawali Pers,
1993.
Dydo, Todiruan. Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat Barat:
Percaturan Politik dan Ideologi Internasional. T.K.P, Goden Terayon Press,
T.Th.
Eickelman, Dale F. dan Piscatori, James. Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan
Hegemoni dalam Masayarakt Muslim, Penerjemah: Endi Haryono dan
Rahmi Yunita. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998.
71
Esposito, John L. Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, Penerjemah: Alwiyah
Abdurrahman dan MISSI. Bandung: Mizan, 1995.
Euben, Roxanne L. Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas
Rasionalisme Modern, Penerjemah: Satrio Wahono. Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2002.
Ghazali, Khairul. Aksi Teror Bukan Jihad. Jakarta: Daulat Press, 2015.
Hassan, Muhamad Hanif. Pray to Kill. Jakarta: Grafindo, 2006.
Hassan, Riaz. Islam: dari Konservatisme sampai Fundamentalisme. Jakarta:
Rajawali Pers, 1985.
Husada, Erlangga. dkk, Kajian Islam Kontemporer. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007.
Hizbut Tahrir. Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir,
Penerjemah: Abu Afif dan Nurkhalis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007.
Husain, Ed. Matinya Semangat Jihad: Catatan Perjalanan Seorang Islamis.
Tangerang Selatan: Pustaka Alvabet, 2008.
Idris, “Fundamentalisme Islam: Analisi Pemikiran Politik Bassam Tibi”. Skripsi
S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Lewis, Bernard. Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror, Penerjemah: Ahmad
Lukman. Jakarta: Ina Publikatama, 2004.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Mulyana, Ade. “Respon Ideologi Fundamentalisme Islam terhadap Prognosis
Politik Kaum Endist”. Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainya. Bandung: Rosda, 2001.
Munthe, Abdul Karim. dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis.
Tangerang Selatan: Yayasan Pengkajian Hadits el-Bukhori, 2017.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: PT
Pustaka LP3ES Indonesia, 1996.
Purwanto, Wawan H. Terorisme Undercover: Memberantas Terorisme hingga ke
Akar-akarnya, Mungkinkah?. Jakarta: CMB Press, 2007.
Republika Online Edisi Jum’at, 2 Oktober 2015. Diakses dari http://
republika.co.id/home/dunia-islam/khazanah.html pada 3 Juni 2017.
72
Samantho, Ahmad Yanuana. Sejarah ISIS dan Illuminati. Jakarta: PT. Ufuk
Publishing House, 2014.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005.
Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan
Pengaruhnya terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Sychev, Victor Feodorovich. Islam Indonesia di Mata Orientalis Rusia,
Penerjemah: Wan Jamaludin Z. Jakarta: Litbang Depag RI, 2008.
Wiktorowicz, Quintan. Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan dan Studi Kasus,
Penerjemah: Tim Penerjemah Paramadina. Yogyakarta: Gading Publishing,
2012.
Wirartha, I Made. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi, dan Tesis.
Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Wawancara:
Prof. Dr. Irfan Idris, MA (Ketua Umum Deradikalisasi BNPT) pada Kamis, 19
November 2015, pukul 12.30 WIB di Hotel Boutique – Jakarta Pusat.
Recommended