View
151
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
xxx
Citation preview
PENGELOLAAN FRAKTUR BASIS CRANII
I. PENDAHULUAN
Statistik negara-negara yang sudah maju bahwa trauma kapitis mencakup
26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang mengakibatkan seorang tidak
bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka waktu panjang. Jika kita
meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat trauma kapitis, maka
50% ternyata disebabkan oleh trauma secara langsung dan 50% disebabkan oleh
gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung
pada trauma. Komplikasi ini berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral,
perubahan-perubahan yang menyangkut sistem kardiopulmonal yang biasa
menyebabkan gangguan pada tekanan darah, PO2 atau keseimbangan asam-basa.
Fraktur basis kranial sekitar 21% dari semua semua patah tulang tengkorak dan
4% dari semua kasus cedera kepala. Secara klinik, fraktur basis kranial lebih
sering diidentifikasi berdasarkan temuan klinis, seperti kelumpuhan saraf kranial
dan kebocoran CSF.1,2
Otak manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa.
Otak menerima 20% dari curah jantung dan memerlukan sekitar 20% pemakaian
oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan
jaringan yang paling banyak memakan energi dalam tubuh manusia. Metabolisme
otak merupaka proses yang kontinue, tanpa adanuyaa masa istirahat. Bila aliran
darah terhenti selama 10 detik maka sudah akan kehilangan kesadarn, dan
penghentian dalam beberapa menit dapat menyebabkan kerusakan irreversible.3
II. ANATOMI
Kegunaan dari tulang kepala adalah melindungi otak dari cedera. Kepala
terdiri atas kulit kepala, tengkorak dan otak. Kulit kepala terdiri atas lima lapis
jaringan lunak yang membungkus tengkorak. Lapisan paling dalam disebut galea
yang terdiri atas jaringan konektif kasar. Tulang tengkorak dibentuk oleh kranium
dan tulang-tulang fasialis dimana hanya dapat bergerak pada temporomandibulare
join. Kranium terdiri atas 8 tulang yang menyatu dan dihubungkan oleh sutura.
Tulang-tulang tersebut yaitu frontal, parietal, temporal, sphenoid, occipital dan
ethmoid, yang kemudian dihubungkan oleh sutura.4,5
Dasar cavum intrakranial dibagi dalam tiga area. Fossa anterior terdapat
diatas tulang orbita, tempat lobus frontal otak. Fossa posteromedia ke puncak
stenoid merupakan temapt dari lobus temporal cerebellum dan batang otak tedapat
pada fossa posterior, dibelakang puncak petrous. Daerah yang terbuka atau
foramen, pada daerah paling belakang dari aspek midline fossa posetrios adalah
foramen magnum tempat keluarnya batang otak menuju ke spinal cord dalam
canalis spinalis.4
Struktur anatomi yang paling penting difossa cranial anterior adalah orbita
dan sinus paranasal. Tulang orbita merupakan rute untuk penyebran infeksi dan
tumor karena sangat dekat dengan fossa anterior. Dinding posterior sangat tipis
dan berbatasan dengan sinus sagital dan dura lobus frontal. Aspek posterior
termasuk kanal opyik, fisura orbital superior dan fisura orbital inferior. Celah
orbitall superior membawa oculomotor, troklearis, abdusen dan nervus
ophtalmicus, serta pembuluh darah mata. Fisura orbital inferior mentransmisikan
nervus maksilaris dan pembuluh darah infraorbital, juga berhubungan dengan
fossa infratemporal dan fossa pterygomaksilaris. Bagian lateral fisura orbita
inferior merupakan penanda bedah penting untuk osteotomi orbital lateral selama
reseksi anterior basis cranii. Canal optik mentransmisikan nervus optikus dan
arteri ophtalmicus.6
Menings, tiga membran yang membungkus susunan saraf pusat. Dari
lapisan terluar hingga terdalam, dura mater, arachnoid mater dan pia mater.
Duramater adalah selaput tidak elastis kuat yang terdiri dari dua lapissan.
Biasanya kedua lapisan tersebut melekat erat, tetapi dibagian-bagian tertentu
keduanya terpisah dan membentuk rongga berisi darah, sinus dura, atau pada
rongga yang lebih besar, sinus vena. Darah vena yang berasal dari otak mengalir
kesinus-sinus ini untuk dikembalikan ke jantung.7
Arachnoid mater adalah lapisan lunak yang memiliki banyak pembuluh
darah dengan gambaran seperti jaring laba-laba. Ruang antara arachnoid dan
piamater dibawahnya disebut ruang subarachnoid, terisi oleh CSF. Penonjolan-
penonjolan jaringan arachnoid yaitu sinus arachnoidalis, menembus celah dura
siatasnya dan menonjol kedaalam sinus dura. Melalui permukaan vilus inilah CSF
direarbsorpsi kedalam darah yang beredar didalam sinus-sinus.7
Lapisan menings paling dalam adalah piamater. Piamater adalah lapisan
yang paling rapuh. Lapisan inibanyak mengandung pembuluh darah dan melekat
erat kepermukaan otak, mengikuti setiap tonjolan dan lekukan. Didaerah-daerah
tertentu lapisan ini menyelam kedalam otak untuk membawa pasokan pembuluh
darah yang kaya berkontak dengan sel ependim yang melapisi ventrikel.7
Otak terdiri atas batang otak, cerebellum dan cerebrum. Batang otak terdiri
atas tiga bagian yaitu medulla oblongata, pons dan midbrain. Medulla oblongata
mengontrol bermacam-macam fungsi vegetatif seperti denyut nadi, tekanan darah,
respirasi. Pons merupkan relay station antara cerebrum, batang otak, cerebellum
dan juga mengandung nukleus nervus kranial.4
Midbrain metupakan bagian yang penting pada trauma kepala kepala
karena midbrain terletak paa posisi yang mudah terluka oleh takik tentorial.
Kemampuan mempertahankan kesadaran, oculomotor (N.III) nuclei (reflek
cahaya) dan peduncel cerebral mengandung motor fibers turun dari cerebrum ke
batang otak dan spinal cord semuanya terdapat dalam midbrain. Ini merupakan
tempat kemampuan mempertahankan kesadarn. Gangguan pada midbrain dapat
mengakibatkkan koma, dilatasi pupil dan respon motor abnormal. Portio medial
lobus temporal terletak pada salah satu sisi midbrain dan hipotalamus langsung
terletak didepannya.4
Gambar 1. Basis cranii
Fossa anterior
Fossa kranialis anteror terdiri atas dua tulang yaitu tulang ethmoid dan
tulang frontal. Inilah yang membentuk dasar, samping dan dinding anterior basis
cranii. Batas ke fossa media adalah lesser wing tulang sphenoid. Pada basis cranii
anterior terdapat sepasang rongga orbita dan pada bagian atas dari cavum nasal.
Prosesus clinoid anterior dan planum sphenoidale, membentuk atap sinus
sphenoid, yang menandakan batas posterior. Tulang frontal membentuk batas
lateral. Tulang frontal merupakan tempat foraminia supraorbital, yang bersama
sinus frontalis membentuk 2 penanda bedah yang penting dalam pendekatan yang
melibatkan anterior basis cranii.6,8
Ditengah fossa kranial anterior ada plate cribriform, yang merupakan
bagian dari tulang ethmoid. Nervus olfaktorius melintasi plate cribirform yang
dilindungi oleh dura dan ditertutup oleh ruang subarachnoid. Terdapat perbedaan
ketinggian antara tulang ethmoid dan plate cribriform. Ditengah plate cribriform
merupakan prosesus tulang sagital, crista galli yang kadang terjadi pneumotisasi.
Falx cerebri membagi dua bagian otak bermuara di crista galli.8
Dinding medial paling dekat dengan apex dan dibentuk oleh prosesus
orbital, lacrimal, ethmoid dan tulang sphenoid. Dinding medial mentransmisikan
arteri ethmoid anterior dan posterior melalui foraminanya masing-masing.
Formina membantu dalam mengindetifikasi sutura line frontoethmoid, yang
menandakan batas inferior dari fossa cranial anterior. Foramen arteri ethmoid
posterior juga penting bagi lokalisasi kana optik dan saraf optik, yang terletak
sekitar 0,5cm dari posterior.6
Sinus ethmoid ditemukan di inferior dari fossa cranial anterior dan medial
orbita. Sinus frontalis sebagai evagination sel-sel udara ethmoid kedalam tulang
frontal dan mempunyai dinding anterior yang tebal dan dinding posterior yang
tipis. Dinding posterior berbatasan dengan sinus sagitalis suoerior dan dura lobus
frontal. Proses infeksi dan tumor dapat berlanjut hingga intracranial oleh
hubungan ini.6
Duramater menempel dipuncak anterior frontal crest dan crista galli untuk
membentuk falx cerebri, yang menghubungkan sinus sagitalis superior dan
inferior. Sinus drain sagital superior dan vena diploic frontal breschet, membentuk
jalur yang potensial untuk menyebarkan infeksi hingga intracranial sehingga dapat
menyebabkan komplikasi seperti trombosis sinus sagital, empiema dan abeses.6
Fossa media
Fossa media dibagi atas fossa pitutary (sella tursica), yang berisi kelenjar
hipofisis ditengahnya. Disisi posterior fossa hipofisis, clivus turun kearah
posterior. Fossa hipofisi dibentuk oleh sphenoid body dengan lesser wing dan
greater wing tulang sphenoid.8
o Greater wing tulang sphenoid terdiri dari dua plate tulang yang turun dari
kedua sisi fossa hipofisis dan membentuk bagian dari dasar dari fossa
kranii media.
o Lesser wing tulang sphenoid berjalan horizontal kearah lateral fossa
cranial.
Diantara lesser wing dan greater wing tulang sphenoid terdapat gap, fisura
orbita superior, yang berisi saraf trochlearis, saraf abdusen, saraf oculomotoris,
saraf oftalmikus dan pembulh darah orbital superior.8
Sphenoid body membentuk bagian tengah dari fossa media dan tempat untuk
sella tursica. Sella tursica dapat ditemukan antara prosesus clinoid anterior dan
posterior. Tuberculum sellae berbentuk olive dan berada dianterior antara sulcus
chiasma dan sella tursica. Hipofiseal atau fossa pituitari terletak tepat diposterior
tuberculum sellae. Dorsum sellae merupakan yang paling posterior, didaerah ini
terletak alur sigmoid untuk arteri carotis interna yang melintasi apex petrosa
melalui sinus cavernosus.6
Fossa kranial media dibentuk oleh tulang temporal, yang terdiri dari petrosa,
skuamosa dan timpani. Atap rongga timpani dan antrum merupakan bagian dasar
dari fossa cranii media.8
Kanal optik, mengandung saraf oprtk dan arteri oftalmik, terletak difossa
cranial media. Dari lateral hingga apex petrous merupakan ganglion trigeminal
dari nervus trigeminal. Ganglion tigeminal muncul sebagai saraf mandibula
foramen ovale dan sebagai saraf maksilaris dari foramen rotundum. Foramen
spinosum mentransmisika arteri meningeal media. Foramen lacerum,
mentransmisikan saraf petrosal superfisial, yang terletak didepan kanal karotid
dimana terdapat arteri karotid.8
Setelah memasuki rongga tengkorak, arteri carotis interna berjalan dari canalis
carotis lateral ke sinus cavernosus.8
Dasar dan dinding lateral mempunyai lekukan untuk arteri meningeal media,
yang berjalan anterolateral dari foramen spinosum dan terbagi menjadi cabang
frontal dan parietal, yang menyebrang ke pterion dan berjalan keposterior. Pterion
adalah sutura berbentuk H, ditulang frontal dan pertemuan dengan tulang parietal.
Sutura ini berukuran sekitar 3,5 cm dibelakang sutura zygomaticofrontal dan 4 cm
diatas arkus zygomatic. Pterion terbuat dari tulang yang tipis dan dapat dengan
mudah patah dsaat trauma. Jika retak, dapat mengakibatkan cedera pada cabang
anterior dari arteri meningeal media dan dapat menyebabkan epidural hematom.6
Bagian petrosa dari tulang temporal membentuk batas posteromedial dari
fossa kranial media. Sinus petrosus superior menciptakan lekukan longitudinal
dipunggung petrosa. Ujung petrosa anteromedial merupakan tempat untuk
ganglion trigeminal atau ganglion gasserian yang biasa disebut sebagai meckle
cave. Sepanjang superomedial tulang petrous temporal, atap dari kanal karotis dan
sering sekali pecah.6
Fisura orbita superior, foramen ovale dan foramen spinosum terletak didalam
anteroposterior dan mediolateral plane. Berawal dari prosesus clinoid anterior,
fisura orbita superior dan menuju ke apex orbita lalu mentransmisikan nervus
okulomotoris, nervus trochlearis, cabang lacrimal, frontal serta nasosiliaris dan
nervus abdusen. Juga mentransmisikan vena optalmikus superior.6
Fossa posterior
Fossa kranial posterior dipisahkan dari fossa cranial media oleh tepi dari
piramida petrosa. Ditengah petrosa merupakan pembukaan dari meatus acusticus
internus, yang mentransmisikan nervus vestibulocochlearis, nervus fasialis dan
pembuluh darah labirin. Dasar tengkorak posterior terutama terdiri dari tulang
oksipital, dengan kontribusi dari tulang sphenoid dan tulang temporal. Bagian
basal tulang oksipital dan basis sphenoid membentuk basis kranii posterior. Dua
daerah ini bergabung membentuk clivus midline.6,8
Piramida berbatasan langsung dengan sinus sigmoid, yang mengalir ke
bulbus jugulasir dan keluar dai fossa cranial bersama dengan nervus
glossofaringeal, nervus vagus dan nervus accesorius melalui foramen jugularis.
Foramen magnum merupakan foramen terbesar difossa kranial posterior, yang
memungkinkan masuknya medulla oblongata dan arteri vertebra ke cavum
kranial.8
Yang menutupi otak adalah duramater, yang terdiri dari lapisan dalam dan
luar. Lapisan luar membentuk periosteal penutup dari tulang tengkorak.
Periosteum internal tersebut menempel dekat dengan crista galli. Pada dinding
sinus frontal, periosteum secara bertahap berpisah dari tulang.8
Sulkus sigmoid dapat ditemukan diaspek lateral fossa kranial posterior
dibagian mastoid tulang temporal dan berakhir diforamen jugularis. Sulkus untuk
sinus petrosal inferior berada diposterior clivus dan anterior apex petrous. 8
III. FISIOLOGI
Tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure)
Sangat penting untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada
penderita cedera kepala agar tekanan perfusi otak tetap normal. Hal ini sama
pentingnya dengan tekanan intrakranial.9
Tekanan perfusi otak adalh tekanan arteri rata-rata dikurangi tekanan
intrakranial.9
CPP ~MAP – ICP
CPP = Cerebral Perfusion Pressure
MAP = Mean Systemic Arterial Pressure
ICP = Intrakranial Pressure
Tekanan perfusi otak kurang dari 70 mmHg secara umum behubungan
dengan rendahnya luaran cedera kepala.9
Aliran darah otak
Normal aliran darah otak kira-kira 50cc per 100gr otak permenit. Dibawah
20-25cc per 100gr permenit, aktifitas EEG secara bertahap menghilang dan pada
sekitar 5cc per 100gr permenit terjadi kematian sel atau kerusakan irreversibel.
Pada orang-orang yang tidak mengalami cidera, mekanisme autoregulasi akan
menjaga aliran darah otak tetap konstan pada tekanan darah rata-rata antara 50-
160mmHg. Dibawah 50mmHg terjadi penurunan aliran darah otak bertahap dan
diatas 160mmHg terjadi dilatasi pasif dari pembuluh darah otak dan peningkatan
aliran darah otak. Mekanisme autoregulasi ini sering terganggu pada penderita
cedera kepala, dengan akibat penderita dapat mengalami cedera otak sekunder
karena iskemia yang disebabkan oleh episode hipotensif.9,10
Jaringan saraf pusat sangatlah lembut (lunak). Sifat ini ditambah dengan
kenyataan bahwa sel saraf yang rusak tidak dapat digantikan karena neuron tidak
mampu membelah diri, menyebabkan jaringan rapuh dan tidak tergantikan ini
harus terlindung dengan baik. Terdapat empat keistimewaan yang melindungi SSP
dari cedera.7
1. SSP terbungkus oleh struktur tulang yang keras. Kranium (tengkorak)
melindungi otak dan kolumna vertebralis mengelilingi korda spinalis.
2. Tiga membran yang melindungi dan mengandung zat makanan, yaitu
menings, terletak antara tulang penutup dan jaringan saraf.
3. Otak “terapung” dalam suatu bantalan cairan serebrospinal (CSF)
4. Sawar darah otak yang sangat selektif dan membatasi akses zat-zat
didalam darah kedalam jaringan otak yang rentan.
VI. ETIOLOGI
Cedera kepala sering terjadi dinegara industri, menyerang pada pasien
pada saat-saat prima dalam kehidupan. Untuk menekankan betapa besarnya
masalah medis dan sosial dari masalah ini, hanya perlu diketahui bahwa hampir
10 juta orang maerika menderita cedera kepala setiap tahunnya, 20% cukup serius
untuk menyebabkan kerusakan otak. Diantara laki-laki dibawah usia 35 tahun,
kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama kematian dan lebih dari 70%
melibatkan cedera kepala.11
Pukulan pada tengkorak menyebabkan fraktur jika toleransi elastik dari
tulang terlampui. Lesi intrakranial bermakna yang menyertai dua pertiga fraktur
tengkorak, dan adanya fraktur tengkorak meningkatkan kesempatan berkali-kali
lipat terjadinya hematom subdural atau epidural. Akibatnya, fraktur dianggap
mempunyai kepentingan primer sebagai penanda dari tempat dan keparahan
cedera. Fraktur juga menyebabkan cedera saraf kranialis yang berat dan
menimbulkan jalan masuk kedalam cairan serebrospinal (CSF) untuk bakteri
(meningitis) dan udara (pneumosefalus). Fraktur diklasifikasikan sebagai linear,
basilaris, gabungan atau depresi; fraktur linear merupaka 80% dari semua fraktur
tengkorak dan paling sering berkaitan dengan hematom subdural atau epidural.11
Fraktur tengkorak basiler kebanyakn tidak berkomplikasi, tetapi dapat
menybabkan kebocoran CSF, pneumosefalus atau fistula kavernosakarotis.
Fraktur dari tulang tengkorak basilaris sering disertai oleh tanda hemotimpanum
(darah dibelakang membran timpani), ekimosis tertunda diatas prosesus
mastoideus (battle sign), atau ekimosis periorbital (racoon eyes). Cairan CSF
biasanya bocor melalui lamina kribriformis atau sinus yang berdekatan dan timbul
sebagai sekret berair dari hidung (rinore CSF). Adanya rinore atau meningitis
rekuren merupakan suatu indikasi bedah untuk perbaikan dura yang robek
dibawah fraktur.11
V. PATOFISIOLOGI
Cedera pada basis cranii dapat dibedakan menjadi burst fracture dan bending
fracture
o Fraktur bending disebabkan trauma langsungdan tepat kearah tengkorak.
Yang akan menghasilkan depresi tulang pada sisi yang terkena impact
dengan ciri fraktur kominutif atau perforasi.
o Fraktur burst disebabkan oleh benda yang permukaannya luas dan trauma
tidak langsung ke tulang tengkorak. Kekuatan yang dihasilkan
diteransmisikan dan di daerah yang tulangnya tipis, karena ealstisitas yang
minimal menyebabkan kerusakan.
Gambar . (a)fokus trauma menyebabkan
pembentukan fisura primer pada sisi tulang yang
berlawanan (b)dampak diarea yang luas pada
tulang menyebabkan kompresi dan akhirnya terjadi
burst fraktur
Pukulan pada tengkorak menyebabkan fraktur jika toleransi elastik dari
tulang terlampui. Lesi intrakranial bermakna yang menyertai dua pertiga fraktur
tengkorak, dan adanya fraktur tengkorak meningkat berkali-kali lipat kesempatan
hematom subdural atau epidural. Akibatnya, fraktur dianggap mempunyai
kepentingan primer sebagai penanda dari tempat dan keparahan cedera. Fraktur
juga dapat menyebabkan cedera saraf kranialis berat dan menimbulkan jalan
masuk kedalam cairan serebrospinal untuk bakteri dan udara atau kebocoran CSF.
Fraktur diklasifikasikan sebagai linear, basilaris, gabungan atau depresi.11
Fraktur tulang tengkorak terjadi karena benturan kecelakaan, kompresi
atau tembakan. fraktur dapat terjadi ditempat benturan maupun tempat yang jauh
dari benturan,termasuk pada dasar tengkorak.12
VI. DIAGNOSA
Fraktur tulang dasar tengkorak biasanya berdiri sendiri, kadang saja
merupakan lanjutan dari fraktur kalvarium. Pada umunya terjadi pada os
petrosum, atap orbbita, atau pada basis, atau pada basis oksiput. Diagnosis
berdasarkan anamnesis dan gejala klinis sperti pendarahan dari hidung atau
telinga serta hematom disekitar mastoid atau orbita. Fraktur yang menyilang fosa
media dapat menimbulkan gangguan kelenjar hipofisis berupa diabetes insipidus.
Robekan duramater dapat menimbulkan rinorea atau otorea. Likuorea dapat
terjadi beberapa saat setelah trauma.12
VI.I. Gejala klinis
Eyelid hematoma (hematoma keloopak mata)
Hematoma pada kelopak mata dapat itmbul akibat cedera pada cedera
kraniofasial atau pada atap orbita. Kelainan ini dapat timbul unlateral atau
bilateral dan juga berwarna biru pada tahap awal. Pembengkakan dapat mengnggu
pembukaan kelopak mata.8
Kelopak mata dibagi oleh septum orbita, yang memungkinkan lokalisasi
cedera diwilayah orbita. Cedera kraniofasial mengakibat terlihatnya hematoma
ventral yang hanya terdapat pada septum orbita, yang mana dapat dilihat segera
setelah trauma.8
Cedera dari basis cranii memperlihatkan hematoma pada dorsal dan
ventral ke esptum orbita, karena semakin panjang jarak kekelopak mata,
hematoma ini dapat diamati segera setelah cedera terjadi.8
Jika udara masuk ke apparatus kelopak mata dari hidung dan sinus
paranasal (misalnya pada cedera atap sinus ethmoid, yang meluas ke orbita roof),
dapat menyebabkan emfisema pada kelopak mata. Hal ini dapat didentifikasi
dengan adanya krepitasi. 8
Seiferth Sign
Seiferth sign adalah hematoma submucosal yang terlihat pada atap faring
yang dapat terjadi dengan fraktur yang melibatkan sinus sphenoid atau ethmoid
posterior. Fleksibel endoskopi digunakan untuk mengevaluasinya. 8
Gangguan Penciuman
Gangguan penciuman dapat disebabkan oleh cedera langsung (avulsi
nervus olfaktori pada plate cribriform) atau trauma tidak langsung pada nervus
olfaktori. Berbagai metode dapat digunakan untuk menguji kemampuan
penciuman. 8
Bau memiliki ambang deteksi dan pengenalan bau. Pengujian zat dapat
dibagi menjadi:
o Bau murni yang hanya dapat merangsang saraf penciuman (kopi, vanili,
kayu manis)
o Bau yang juga merangsang saraf trigeminal (mentol, formalin, amoniak,
cuka)
o Bau yang juga merangsang indra perasa (chloroform, piridin)
Disfungsi penciuman , hanya mempengaruhi saraf trigeminal dan sensasi rasa
yang dirasa. Bensin adalh salah satu contoh zat yang cocok untuk melakukan uji
sederhana kemampuan penciuman (tes uji kemampuan penciuman subjektif).
Sebuah kapas yang dicelupkan kedalam bensin diletakkan didepan satu lubang
hidung (dengan lubang hidung lainnyta ditutup). Jika penciuman pasien intak
maka dia dapat mencium bau bensin tersebut. 8
Uji simulasi dengan menempatkan aroma murni (misalnya peppermint atau
kayu manis) dilidah. Jika pasien anosmia, ia akan mengalami sensasi manis atau
dingin. Jika pasien memiliki ageusia, maka ai akan mengakami sensasi sejuk. 8
CSF Rhinorea
Kebocoran cairan serebrospinal dapat terjadi sebagai trauma cedera primer
maupun sekunder (beberapa minggu hingga bulan setelah trauma). Rinorea cairan
serebrospinal dapat terjadi hanya jika ada fistula cairan serebrospinal (terdapat
hubungan antara ruang intrakranial dan ruang udara di tulang wajah. 8
Kebocoran cairan serebrospinal dapat didiagnosis dengan menggunakan
endoskopi, tes imunologi, contras radiografi atau dengan metode dye. 8
CSF otore
CSF otore disebabkan oleh hancurnya pertahanan yang memisahkan
telinga tengah dengan CSF diotak. Ketika itu terjadi maka CSF akan keluar dari
telinga.13
CSF otore yang terjadi setelah trauma seringkali akan berhenti dengan
spontan dalam 1-2 minggu. Jika tidak maka diperlukan tindakan operasi.13
Pneumocephalus
Pneumochepalus yaitu adanya udara diintrakranial. Penigkatan tekanan
dihidung dan sinus paranasal meyebabkan udara bocor melalui defect pada basis
cranii yang akan mengakibatkan adanya udara di epidural,subdural/subarachnoid
maupun intracerebral.8
Meningitis
Meningitis terjadi dalam hitungan jam atau hari setelah cedera. Hal ini
disebabkan oleh infeksi keventrikel. Tanda-tanda khas dari meningitis adalah
mengantuk, leher kaku, kernig atau lasgue sign positif. 8
VI.II. Laboratorium
Evaluasi rinorea cairan serebrospinal
Dasar metode untuk mendeteksi adanya basilar skull injuri disertai dengan
kebocoran CSF yaitu sebagai berikut:
Glukosa/Protein Analisis
Kosentrasi glukosa dan protein lebih tinggi pada cairan cerebrospinal
dibandingkan dengan discharge pada hidung. Salah satu metode untuk mendeteksi
kebocoran cairan serebrospinal yaitu dengan menentukan kandungan glukosa dan
protein sekresi pada hidung. Nilai diagnostik dari tes ini terbatas, karena
kemungkinan kontaminasi dengan darah, sekresi lakrimal atau air liur. Pengujian
harus dilakukan dengan menggunakan strip test standar. 8
Diagnosis Immunologi kebocoran CSF
Deteksi beat-2 transferin dianggap sebagai standar untuk mengevaluasi
ketika kita mensuspek adanya kebocoran CSF. Pengujian sangat penting dan
dilakkukan untuk menyingkirkan cedera basis cranii. 8
Sebuah sampel uji dikumpulkan dalam botol kecil atau spons kecil yang
ditempatkan disalah satu lubang hidung atau telinga untuk beberapa saat. Cairan
ini kemudian diuji untuk beta-2 transferin menggunakan elektroforesis gel yang
sudah dimodifikasi. Positif bila beta-2 transferin ditemukan dalam serum pasien. 8
Metode Dye
Metode dye menggunakan pewarna intratekal untuk mengamati
ekstravasasi kedalam hidung dan sinus paranasal sebagai bukti adanya kebocoran
CSF. Metode yang sering digunakan meliputi pewarnaan sodium fluorescein dan
CSF skintigrafi, yang keduanya digunakan terutama unutk medteksi kebocoran
CSF. 8
Diagnostik Imaging Fraktur Basis Cranii Anterior
Standar saat ini dalam mendiagnosis fraktur yang dicurigai sebagai fraktur
basis cranii anterior adalah dengan menggunakan computer tomography (CT).
Gambar diambil di axial (sinus frontal dan dinding lateral sinus sphenoid) dan
koronal (plate cribriform dan atap ethmoid). 8
Radiografi konvensional harus dibatasi penggunaannya sebagai alat
skreening untuk fraktur. Untuk CT imaging dan evaluasi fraktur basis cranii
anterior akibat pergeseran osseous, kenaikan antara setidaknya 2mm untuk
memastikan visualisasi; untuk pencitraan sinus sphenoid, kenaikan antara irisan
haru 4 mm. 8
Gambar. (a)fraktu disisi kanan basis kranii (b)fraktur disisi kiri basis cranii
(c)terlihat kebocoran iotrolan disinus paranasal
Adanya udara diintraserebral merupakan tanda pasti dari fistula (walaupun
tanpa disertai pergeseran osseous). Lokalisasi dari pneumocephalus bisa di
subdural, subarachnoid atau epidural. 8
VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya
cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh
suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf.
Radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus
ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalana dari
tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi,
sampai keruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa
memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.14
1. Pengelolaan Pra Rumah Sakit
Pengelolahan pasien dewasa dengan trauma kepala harus
berdasarkan pemeriksaan klinis dan Glasgow Coma Scale dan Galsgow
Coma Scale Score. Kru ambulans juga harus sepuhnya terlatih dalam
penggunaan Glasgow Coma Scale untuk dewasa dan pediatrik, serta dalam
mendeteksi cedera walaupun tanpa kecelakaan dan harus
menyampaikannya ke UGD ketika tanda dan gejala-gejala tersebut
muncul. Prioritas kerja mereka yakni mengobati ancaman terbesar terlebih
dahulu dan menghindari kerusakan lebih lanjut. Prioritas pengelolaan
semua pasien gawat darurat adalah stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi (ABC) sebelum memperhatikan cedera lainnya. Diagnosis
penurunan kesadaran akibat keracunan hanya dapat ditegaakan setelah
kemungkinan cedera otak telah disingkirkan.15,16
Pasien yang menderita cedera kepala dan memiliki resiko berikut harus
dilakukan immobilisasi leher, seperti:16
o GCS < 15 pada penilaian awal oleh tenaga kesehatan profesional
o Nyeri atau kaku pada leher
o Defisit neurologis fokal
o Parestesia di ekstremitas
o Kecurigaan klinis lainnya mengenai cedera tulang leher
Immobilisasi leher harus dipertahankan sampai semua pemeriksaan klinis
dan pencitraan (jika perlu) menunjukkan hasil yang aman untuk melepas
immobilisasi.16
Glasgow Coma Scale dan turunannya Glasgow Coma Scale Score
digunakan secara luas untuk menilai pasien, baik sebelum mupun setelah tiba
di Rumah Sakit. GCS menyediakan kerangka kerja untk menggambarkan
keadaan pasien melalui tiga aspek respon membuka mata, verbal, dan motorik,
masing-masing bertingkat sesuai dengan tingkat keparahan. Skor GCS
merupakan indeks yang dibuat dengan menambahkan ketiga respon tersebut.
Skor ini dapat memberikan ringkasan yang berguna dan dasar untuk sistem
klasifikasi, namun memiliki informasi yang kurang dari deskrimpsi secara
terpisah dari ketiga respon tersebut.15
Pemeriksaan nervus kranial, reaksi pupil, dan pemeriksaan neurologis
pada ekstremitas, pola dan kekuatan gerakan, dapat memberikan informasi
tambahan mengenai penyakit dan tingkat keparahan kerusakan otak. Informasi
mengenai mekanisme cedera, luka, dan komplikasi lainnya juga harus
diperhatikan.15
Pasien dengan cedera kepala dapat dinilai dengan mengunakan bantuan
GCS atau skor GCS.15
Mencegah atau meminimalkan penyebab cedera otak sekunder, seperti
hioksemia dan hipotensi, merupakan komponen penting dari perawatan pra
Rumah Sakit. Episode hipoksemia dan hipotensi dapat memberikan prognosis
yang buruk. Sebuah studi menemukan bahwa pasien cedera otak yang disertai
hipoksemia pra Rumah Sakit (didefinisikan sebagai sianosis atau apneu)
prognosisnya lebih buruk. Hipoksemia dan hipotensi juga tidak jarang
dijumpai pada trauma pediatrik. Intubasi endotrakeal pasien anak sering
berhasil jika dilakuakn oleh tenaga yang berpengalaman, namun tidak selalu
tersedia dalam pengelolaan pra Rumah Sakit. Intubasi nasotrakeal harus
dihindari jika terdapat kemungkinan adanya fraktur basis kranii atau facial
karena komplikasinya yakni beralihnya selang nasotrakeal ke otak. Tulang
belakang leher harus selalu distabilkan karena sebagian besar cedera tulang
belakang pada pasien pediatrik adalah pada regio leher akibat kepala anak-
anak yang relatif besar, otot-otot dan ligamen leher yang masih lemah, dan
ossifikasi tulang leher yang belum lengkap. Pedoman-pedoman saat ini sangat
menyarankan bahwa pasien trauma kepala pediatrik harus langsung diabawa
ke pusat trauma pediatrik.17
2. Pengelolaan Rumah Sakit
Pasien yang telah didiagnosis menderita cedera kepala harus langsung
diangkut ke fasilitas yang telah diidentifikasi memiliki sumber daya yang
diperlukan untuk keperluan resusitasi, investigasi, dan pengelolaan awal
setiap pasien dengan multipel trauma. Diharapkan setiap Rumah Sakit dan
semua unit neurologiyang menerima pasien langsung dari tempat trauma
memiliki sumber daya yang sesuai untuk usia pasien.16
Pasien yang masuk ke gawat darurat dengan penurunan kesadaran (GCS <
15) harus dinilai segera, dan pasien dengan GCS kurang dari atau sama
dengan 8 harus lebih awal ditangani untuk segera dirawat oleh tenaga
profesional dalam memberikan pengelolaan jalan napas dan membantu
resusitasi serta dilakukan pemeriksaan radiologi.16
Fokus utama dari penilaian gawat darurat pada pasien dengan cedera
kepala adalah adanya resiko cedera otak dan fraktur cervikal .16
Semua pasien dengan cedera kepala harus segera dinilai oleh tenaga
terlatih maksimal dalam 15 menit setelah tiba di Rumah Sakit. Selanjutnya
dilakukan dengan menetapkan apakah pasien tersebut memiliki resiko tinggi
atau rendah cedera otak dan atau fraktur servikal dengan menggunakan
pemeriksaan klinis dan pencitraan (kepala dan servikal).16
Pada pasien yang dianggap berisiko tinggi untuk cedera otak dan atau
fraktur servikal, pemeriksaan harus diperluas keseluruh pemeriksaan klinis
dan permintaan CT-scan kepala dan atau servikal.16
Pasien yang telah menjalani pemeriksaan awal, dan dianggap memiliki
resiko rendah untuk menderita cedera otak dan atau fraktur servikal, harus
diperiksa kembali dalam waktu 1 jam setelahnya.16
Nyeri harus dikelola secara efektif karena dapat menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial. Bidai anggota badan yang fraktur sangat membantu,
kateterisasi juga akan mengurangi iritabilitas. Analgetik hanya boleh
diberikan di bawah pengawasan dokter.16
3. Rujukan ke Unit Bedah Saraf
Rujuk ke Unit Bedah Saraf
Semua pasien baru dengan kelainan radiologi harus didiskusikan oleh ahli
bedah saraf. 15
Seorang pasien, baik dewasa maupun anak-anak, dengan trauma kepala
harus dirujuk ke hali bedah saraf jika:15
o Hasil CT scan di Rumah Sakit menunjukkan adanya lesi intrakranial
o Ketika pasien memenuhi kriteria untuk CT scan namun fasilitas tidak
memadai
o Ketika pasien memiliki gejala klinis yang membutuhkan pemeriksaan,
monitoring, ataupun menejemen yang sesuai dari ahli bedah saraf, terlepas
dari hasil CT scan
o Tanpa memperhatikan hasil CT scan, alasan lainnya pasien haeus dirujuk
ke bedah saraf termasuk coma yang menetap (GCS kurang dari sama
dengan 8) setelah resusitasi awal, kebingungan yang dialami lebih dari 4
jam, pemburukan GCS, tanda neurologis fokal progresif, kejang tanpa
perbaikan, dicurigai atau ditemukan luka tembus, ditemukannya cairan
serebrospinal.
Semua pasien dengan cedera kepala berat (skor GCS 8/15 atau kurang)
harus di transfer dan di rawat sistem 24 jam di ICU.15
Dalam merujuk pasien, harus ditetapkan konsultan yang ditunjuk sebagai
penanggung jawab messkipun proses transfer pasien sangat mendesak,
resusitasi dan stabilisasi awal pada pasien harus selesai dimonitoring
menyeluruh sebelum pasien dikirim untuk mecegah komplikasi selama
perjalanan. Seorang pasien yang hipotensi persisten meskipun telah
diresusitasi, tidak boleh di bawa sampai penyebab hipotensi telah
diidentifikasi dan pasien telah stabil. Semua pasien dengan GCS kurang dari
sama dengan 8 yang membutuhkan rujukan ke unit bedah saraf, harus
diintubasi dan diventilasi.15
Intubasi dan ventilasi harus dilakukan segera pada keadaan-keadaan berikut:
o Coma-tidak mengerjakan perintah, tidak bicara, tidak membuka mata
(yakni GCS ≤ 8)
o Hilangnya refleks laring
o Insufisiensi ventilasi yang dinilai dari analisa gas darah: hipoksemia (PaO2
< 13 kPa) atau hiperkarbia (PaCO2 > 6kPa)
o Hiperventilasi spontan yang menyebabkan PaCO2 < 4 kPa
o Respirasi irreguler
Langkah pertama dalam pengobatan setiap pasien adalah untuk
mengevaluasi dan mengelola serius cedera yang mengancam jiwa. Pengelolaan
definitif fraktur basis cranii yang mengancam jiwa dengan kebocoran CSF harus
ditunda hingga kondisi pasien stabil dan optimal untuk hasil bedah yang baik.
Pasien yang tidak memerlukan perawatan operasi diamati selama 48 jam hingga
terjadi kebocoran CSF berhenti spontan. Bedah intervensi dilakukan segera
mungkin pada pasien dengan cedera otak terbuka, terdapat benda asing, fratur
depresi atau kerusakan tengkorak yang luas. Kebocoran CSF yang disertai
komplikasi intrakranial seperti meningitis, abses intrdural atau subdural dan
empiema, merupakan indikasi lain untuk dura repair.18
Tidak adanya fistula CSF, patah tulang temporal, kelumpuhan wajah,
gangguan pendengaran atau kebutaan maka pengelolaan fraktur basis kranii yaitu
nonoperatif. Pengobatan konservatif meliputi pemberian antibiotik intravena
selama 5 hari hingga terjadi penyembuhan dura.19
Penanganan operatif diindikasikan untuk fistula CSF pasca trauma dengan
meningitis, fraktur tulang petrosa yang melintang dengan keterlibatan kapsul
optik, patah tulang temporal dengan kelumpuhan kelumpuhan wajah lengkap.
Pengobatan termasuk subtotal petrosectomi. Operasi terdiri dari exenteration
traktus sel udara tulang temporal dan obliterasi tuba eustacius. Setelah struktur
terluka diperbaiki (misalnya nervus fasialis atau arteri karotis) atau terexenterasi
(misalnya kapsul optik), rongga yang dihasilkan dengan graft lemak endogen dan
flap otot temporalis.19
Pengobatan medika mentosa
Pendekatan perawatan intensif cedera kepala berat berhasil menurunkan
mortalitas dari sekitar 50% pada tahun 1970 menjadi 36% pada saat ini. Tujuan
utama protokol perawatan intensif adalah mencegah kerusakan sekunder terhadap
otak yang sudah mengalami kerusakan primer. Prinsip utama ialah bagaimana
memberikan lingkungan yang optimal terhadap neuron yang cedera sehingga
terjadi perbaikan yang mengarah pada proses normal. Sebagai tambahan bagi
tindakan fisiologis yang dapat memberikan lingkungan optimal terhadap sel otak,
banyak obat-obat baru yang secara klinis telah diuji pada cedera kepala berat.
Namun demikian pemakaian obat-obat tertentu memerlukan konsultasi dengan
ahli bedah saraf.9
Cairan intravena
Cairan intravena diberikan untuk resusitasi dan menjaga agar penderita
tetap normovolemia. Konsep dehidrasi yang diperkenalkan pada masa lalu,
sekarang jauh lebih merugikan dibanding faedahnya terhadap penderita.
Walaupun demikian, jangan memberikan cairan yang berlebihan. Secara khusus
ditekankan, jangan memberikan cairan hipotonis. Pemberian cairan glukose dapat
menyebabkan hiperglisemia, yang sudah diketahui berbahaya bagi otak yang
mengalami cedera. Oleh karena itu cairan yang dianjurkan adalah garam normal
atau ringer laktat untuk resusitasi pemeriksaan kadara sodium harus dilakukan
dengan hati-hati. Hiponatremia berhubungan dengan edema otak, harus dicegah
atau diterapi dengan agresif.9
Hiperventilasi
Hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati. Hiperventilasi berfungsi
menurunkan Pco2 dan menyebabkan kontriksi pembuluh darah otak. Penurunan
volume intrakranial menolong untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Hiperventilasi yang agresif dan berkepanjangan dapat menyebabkan iskemia otak
karena vasokonstriksi yang berat yang justru menyebabkan iskemia otak karena
vasokonstriksi yang berat menyebabkan penurunan perfusi otak. Pada masa kini
hiperventilasi digunakan secara moderat dan jangka waktu terbatas yang
dimungkinkan. Secara umum, dijaga agar Pco2 berada pada level 30mmhg atau
lebih. Level antara 25 dan 30 mmhg masih dapat diterima bila terjadi peninggian
tekanan intrakranial. Namun demikian, segala cara harus dilakukan untuk
mencegah hiperventilasi penderita dengan Pco2 dibawah 25mmHg.9
Manitol
Manitol 20% digunakan secara luas untuk menurunkan tekanan
intrakranial. Dosis yang secara luas diterima adalah 1g/kg berat badan secara
bolus intravena. Dosis besar manitol tidak boleh diberikan pada penderita yang
hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi kat pemberian manitol
adalh penderita komatous yang sebenarnya normal, normal pupil yang kemudian
menjadi dilatasi tanpa atau dengan hemiparesis. Pada kasus ini diberikan dosis
besar (1g/kg) bolus intravena, cepat (5menit) dan penderita segera dibwa untuk
CT-Scan ataupun langsung kekamar operasi. Manitol juga diindikasikan pada
penderita dengan dilatasi pupil bilateral tanpa reaksi yang tidak hipotensif.9
Furosemida
Obat ini digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Diuresis dapat
ditingkatkan dengan kjombinasi kedua onat ini. Dosis yang diberikan antara 0,3-
0,5 mg/kg berat badan intravena. 9
Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% dari semua penderita yang masuk
rumah sakit dengan cidera kepala tertutup dan 15% pada cidera kepala berat. Tiga
faktor utama yang berhubungan dengan terjadinya epilepsi. 9
o Kejang yang timbul pada minggu pertama
o Pendarahan intraserebral
o Fraktur depresi
Penelitian terdahulu menunjukan adanya keuntungan yang bermakna pada
pemberian antikonvulsan untuk pencegahan, namun demikian, penelitian yang
lebih baru menunjukan bahwa phenytoin menurunkan insiden kejang pada
minggu pertama trauma, tetapi tidak setelahnya. Studi tersebut nampak
menyarankan menghentikan pemberian antikonvulsan pencegahan setelah minggu
pertama. Diazepam atau lorazepam dapat digunakan untuk mengontrol kejang
secara cepat. 9
Operatif
1. Basis cranii anterior
a. Pertimbangan umum
Craniotomi basal bifrontal setelah insisi koronal memungkinkan
ispeksi ke seluruh basis cranii anterior termasuk kedua lateral serta
bagian sentral. Namuan diperlukan perhatian khusus untuk melakukan
kraniotomi basal sejauh mungkin, bahkan jika sinus frontal harus
dibuka. Manajemen sinus frontal yang benar sangat dianjurkan untuk
menghindari kemplikasi operasi, seperti mucocels. Hal ini dapat
dicapai dengan dua cara:20
I. Kranialisasi lengkap sinus frontal diikuti dengan pemisahan
yang cermat terhadap sinus paranasal dan rongga hidung dari
fosa kranial.
II. Rekronstruksi sinus frontal dapat dipertimbangkan pada kasus
tertentu. Tindakan ini mengharuskan ductus nasofrontal dapat
mengalir.
b. Perbaikan frontobasal dengan menggunakan periosteal flap20
1) Melokalisasi defek dura, lalu memisahkan dura dari dasar
tengkorak anterior. Ini dilakukan untuk mengurangi penarikan
kembali oleh lobus frontal. Setelah itu menggunakan dissector
untuk membebaskan dura dari dasar tengkorak anterior.
2) Melokalisasi arteri ethmoid anterior dan posterior saat keluar
dari tulang. Membedah dura disekeliling plate cribriform untuk
memisahkan saraf olfactori.
3) Jumlah diseksi posterior tergantung sejauh mana fraktur.
Elevasi dura subfrontal dari planum sphenoidale dapat
mencapai sejauh tuberculum sella dan punggung sphenoid
medial. Hal ini memungkinkan untuk menarik kembali lobus
frontal jauh kedalam basis kranial anterior dengan
menggunakan retraktor penahan disetiap sisi.
4) Melokalisasi segmen fraktur dan/atau defek dura dan
menghilangkan fragmen tulang yang bergeser.
5) Dalam beberapa kasus, untuk kelancaran dan ketajaman sudut
mungkin cukup dengan burr.
6) Flap perikranium dimasukkan dan harus reline dengan defek
fraktur basis kranial.
7) Bila mungkin, flap pericranial harus dijahit ke dura.
8) Menyambung dura ke flap tulang sangat dianjurkan untuk
menghindari epidural hematom pasca operasi.
9) Penggantian bone flap menggunakan internal fixation dengan
tekhnik fiksasi tiga titik.
10) Rekonstruksi defek tulang. Dengan menggunakan tulang
pengganti untuk mengisi defek tulang agar menghindari
deformitas kosmetik.
c. Endoscopi repair untuk kebocoran CSF20
1) Rinore CSF trauma yang terjadi fosa kranial anterior dan/atau
menengah dapat diobati dengan tekhnik endoscopi dengan
intratekal lumbal fluorescein.
2) Injeksi lumbar intratekal fluorescein. Pasien dapat diposisikan
terlentang dimeja operasi dengan tubuh diangkat hingga sudut
antara 10-45 derajat. Kepala dapat diputar keahli bedah jika
perlu. Endoskopi dimasukkan kedalam lubang hidung
(kanan,kiri atau keduanya) dan penanda anatomi
divisualisasikan. Penggunaan alat seperti set data fusion, CT
dan MRI sangat membantu.
3) Identifikasi defek. Dengan menggunakan fluorescein blue light
filter system dan fluorescein barrier filter yang dipasang pada
lensa endoskopi sehingga dapat membantu untuk
memvisualisasikan lokalisasi defek dura. CSF fistula dapat
terlihat dengan cahaya hijau yang khas.
4) Perbaikan defek. Beberapa tekhnik yang ada untuk perbaikan
defek dan graft dapat digunakan termasuk autolongus nsal,
extra nasal dan graft heterolongus. Defek tulang dapat
diperbaiki dengan menggunakan tulang rawan septum, bagian
dari turbinate hidung tengah, vomer dan lainya. Graft
autolongus ekstranasal yang paling sering adalah lemak perut
atau fascia lata. Pada defek yang lebih besar , flap vaskularisasi
nasoseptal dapat digunakan.
5) Setelah defek tertutup, efektivitas dan kehandalan diperiksa
dengan menggunakan manuver valsava dan dalam kasus-kasus
khusus, tes fluorescein intraoperatif.
d. Post-operatif20
o Perawatan intensif 24 jam
o Rawat inap 5-8 hari (untuk mencegah kebocoran CSF
berulang)
o Penggunaan antibiotik spektrum luas
o Dan setelah 5-7 hari direkomendasikan radiologi kontrol secara
rutin hari berikutnya setelah keluar dari ICU
2. Basis kranii media20
a. Perhatian umum
Kraniotomi lateralis setelah insisi kulit memberikan kemungkina
untuk inspeksi seluruh lateral basis kranii termasuk bagian atas tulang
petrous. Perhatian khusus harus dilakukan untuk melakukan
kraniotomi sejauh mungkin setelah pengangkatan temporari dari arkus
zygoma.
Salah satu perhatian bahwa rekronstruksi basis kranii lateral setelah
trauma hanya diperlukan pada sejumlah kecil kasus. Biasanya, setelah
fraktur kejadian rinore dapat diselesaikan dengan konservatif.
b. Perbaikan ekstradural fossa media menggunakan fascia flap20
1) Setelah trepanasi subtemporal dilakukan, elevasi secara hati-hati
lobus temporal dilokasi fraktur basis kranii dilakukan.
2) Melokalisasi segmen-segmen fraktur dan/atau dura defek dan
menghilangkan fragmen tulang
3) Dalam beberapa kasus, mungkin cukup dengan burr.
4) Memotong flap fascia pedikel temporal dari tulang yang
mendasarinya
5) Flap fascia pedikel temporal dibawa kedalam ruang intrakranial
dan disitu fossa kranial media ditutup.
6) Tergantung dari ukuran laserasi dura, flap fasci dura temporal yang
harus dijahit kedura. Untuk mencapai penutupan yang sempurna,
penggunaan tekhnik sealant sangat dianjurkan.
7) Memposisikan dura ke margin tulang dengan 4-5 jahitan
8) Ganti flap tulang menggunakan internal fiksasi dengan tekhnik
fiksasi tiga titik. Suspensi jahitan dura dan flap tulang sangat
dianjurkan untuk menghindari kemungkinan epidural hematom
pasca operasi.
c. Post-operatif20
o Perawatan intensif 24 jam
o Rawat inap 5-8 hari (untuk menyingkirkan kebocoran CSF
berulang)
o Penggunaan antibiotikk spektrum luas selama dan setelah prosedur
untuk 5-7 hari berikutnya dianjurkan
o Kontrol radiologi secara rutin pada hari berikutnya setelah
meninggalkan ICU.
3. Basis kranii posterior20
a. Modalitas pengobatan
Fraktur dasar tengkorak posterior jarang dan terjadi hanya 5% dari
semua fraktur dasar tengkorak. Namun, mereka memerlukan perhatian
khusus karena tingkat kematiannya yang tinggi. Tiga komplikasi yang
paling penting yang terkait dengan patah tulang basis kranii posterior
adalah:
o Kompresi otak akibat efek massa (epidural hematom atau
intracerebellar hematom)
o Hidrosefalus akut akibat oklusi ventrikel ke-4
o Ketidakstabilan kranioservikal akibat fraktur occipital codylar.
b. Modalitas penganan dalam kasus lesi massa fossa posterior
1) Fraktur fossa posterior berhubungan dengan epidural hematom
membutuhkan kraniotomi yang cukup luas untuk melihat
seluruh area yang berdarah. Menggunakan tipikal burr
holes(kadang hanya perlu satu lubang)
2) Lesi massa epidural dieksplorasi dan dihapus dengan
menggunakan perangkat hisap dan dissector. Dalam kasus
pembengkakan otak yang signifikan, flap tulang tidak diganti
pada saat ini, namun flap tulang disimpan dalam frezer (-72 °C)
dan diganti pada saat operasi kedua, biasanya 3-6 bulan setelah
operasi pertama. Ketika tidak ada pembengkakan, bone flap
diganti dan diperbaiki saat operasi primer.
3) Dalam kasus subdural hematom fossa posterior, dura langsung
dibuka tepat diatas hematoma dengan menggunakan insisi
bentuk-X.
4) Subdural hematom dievakuasi dengan menggunakan suction
dan dissector untuk menghindari cedera korteks serebral.
Ketika pembengkakan menjadi parah, extended duraplsty
dilakukan dan flap tulang tidak diganti pada saat ini.
c. Post-operatif20
o Perawatan intensif 24 jam
o Rawat inap 5-8 hari (untuk menyingkirkan terlangnya CSF)
o Penggunaan antibiotik spektrum luas selama dan setelah
prosedur untuk 5-7 hari berikutnya dianjurkan.
o Kontrol radiologi dilakukan secara rutin pada hari berikutnya
setelah pasien meninggalkan ICU
Recommended