View
244
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI
ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP
NEGERI 4 AMBON
OLEH
LIDIA KASTANYA
80 2012 020
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Lidia Kastanya
NIM : 80 2012 020
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak
bebas royalty non-eksklusif (non-exclusicve royalty freeright) atas karya ilmiah saya yang
berjudul:
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA
DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan/
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada Tanggal : 31 Mei 2016
Yang menyatakan,
Lidia Kastanya
Mengetahui,
Pembimbing Utama
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Lidia Kastanya
NIM : 80 2012 020
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA
DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
Yang dibimbing oleh:
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA..
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalima atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-oleh sebagai karya sendiri
tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 31 Mei 2016
Yang memberi pernyataan
Lidia Kastanya
LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MNGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA
DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
Oleh
Lidia Kastanya
802012020
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal: 31 Mei 2016
Oleh:
Pembimbing Utama
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA.
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Kaprogdi Dekan
Dr. Chr. H. Soetjiningsih, MS Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI
ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMJA DI SMP
NEGERI 4 AMBON
Lidia Kastanya
Berta Esti Ari Prasetya
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
i
Abstrak
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui
signifikansi hubungan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dengan perilaku
agresi pada remaja pada siswa SMP Negeri 4 Ambon. Sebanyak 113 orang diambil sebagai
sampel yang dilakukan dengan teknik insidental sampling. Metode penelitian yang dipakai
dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala persepsi mengenai perilaku agresi
orang tua dan aggression questionnaire. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik
korelasi product moment. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,789 dengan
p< 0,05 yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku
agresi orang tua dengan perilaku agresi pada remaja. Hal ini bermakna bahwa persepsi remaja
yang tinggi akan diikuti dengan perilaku agresi yang tinggi.
Kata kunci : Persepsi mengenai perilaku agresi orang tua, agresi remaja
ii
Abstract
This research is a correlational study which aimed to determine the significance of the
correlation between a perception of behavior aggressive parents with aggressive behavior in
teenagers on SMP Negeri 4 Ambon. There are 113 students were taken as samples using
insidental sampling technique. Research methods using scale of perception and aggression
questionnaire. Data analysis tecnique used was product moment of correlation tecnique.
Analysis of data obtained from the data coefficient of correlation was (r) 0,789 with p<0,05,
which means there is a significant positive relationship between a perception of behavior
aggressive parents with aggressive behavior in teenangers. This mean that the higher
perception teenangers who will followed by aggressive.
Keywords : Perception regarding aggressive behavior of parents, teenagers
aggressive
1
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan salah satu periode dalam rentangan kehidupan manusia,
dimana individu meninggalkan masa anak-anaknya dan mulai memasuki masa dewasa.
Istilah adolenscene, seperti yang dijelaskan oleh Piaget memiliki arti yang lebih luas,
mencangkup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Menurut ahli teori psikologi
perkembangan, tahapan perkembangan remaja dibagi menjadi tiga tahapan dengan kisaran
umur antara 10 sampai 21 tahun. Menurut Hurlock (dalam Santrock, 2002) tahapan masa
pubertas mengarah pada kematangan fisik dan seksual dan terdiri atas masa remaja awal (pre
adolescence) pada umur 10 atau 12 tahun sampai 13 atau 14 tahun, masa remaja tengah pada
umur 13 atau 14 tahun sampai umur 17 tahun, dan remaja akhir pada umur 17 tahun sampai
21 tahun. Jika pada masa kanak-kanak keluarga dan sekolah menjadi pusat lingkungan sosial
bagi perkembangan individu, maka pada masa remaja lingkungan sosialnya menjadi semakin
luas, dengan pergaulan inilah remaja menyesuaikan diri dan memperoleh nilai-nilai baru,
teman baru, dan pola persahabatan yang baru (Susilo, 1992).
Dalam proses penyesuaian inilah akan banyak masalah yang dihadapi oleh remaja.
Apabila remaja tidak mampu memenuhi tuntutan sosial yang ada, seringkali berpengaruh
kepada emosi remaja tersebut. Menurut Hurlock (dalam Santrock, 2002) beberapa kondisi
yang membuat remaja sulit untuk mengatur keadaan emosinya adalah lebih banyak
dipengaruhi oleh kondisi sosial yang mengelilingi remaja masa kini. Hal inilah yang dapat
membuat remaja melakukan perilaku agresi untuk melindungi diri atau menghindari
perlakuan orang terhadap dirinya. Remaja yang melakukan perilaku agresi seringkali
mengalami bias dalam atribusi, terutama dalam mempersepsikan situasi-situasi sosial, dan hal
ini mendorong mereka untuk berperilaku agresi ketika menghadapi konflik yang tidak
menyenangkan.
2
Perilaku agresif menurut Krahe (2005) merupakan segala bentuk perilaku yang
dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk
menghindari perlakukan itu. Agresi menurut Myers (dalam Sarwono, 2010) adalah tindakan
yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Sama halnya
dengan yang dikemukakan oleh Buss (dalam Ramirez dkk, 2003) memberikan rangsangan
berbahaya kepada orang lain disebut dengan agresi. Perilaku agresi menurut Ramirez dkk
(2003) disebabkan oleh 2 hal yaitu nature dan nurture, dimana nature terdiri dari (a) Teori
psikoanalisis dimana seseorang melakukan agresi karena dasar atau dorongan (drive) dari
dirinya sendiri, (b) Teori etiologi agresi terjadi karena spontanitas, naluri bawaan dan drive
yang bersifat instingtif yang hanya dapat dipahami melalui analisis filogenetik, (c)
sosiobiologi interaksi agresi adalah salah satu cara meningkatkan keberhasilan reproduksi
dalam suatu lingkungan yang memiliki sumber daya yang terbatas. Selanjutnya, untuk
nurture terdiri dari (a) frustasi-agresi merupakan pelampiasan dari rasa frustasi individu, (b)
Social learning, Seorang individu dapat mempelajari agresi melalui peniruan atau
pengamatan dari satu model agresi dan (c) Teori kognitif, perilaku agresi dipelajari dan mulai
terbentuk pada masa awal kehidupan individu (6-8 tahun).
Manifestasi dari perilaku agresi remaja dapat dilihat akhir-akhir ini dengan berbagai
macam kasus kenakalan remaja. Keagresifan remaja merupakan kesalahan dalam
penyesuaian diri disuatu lingkungan. Remaja sangat rentan berperilaku agresi karena mereka
dalam proses mencari jati diri, mereka belum bisa mengendalikan luapan emosi sebagai
reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampakkan dalam bentuk pengrusakan terhadap
orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata verbal dan
perilaku non verbal (Fitriani, 2013)
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren kenakalan dan kriminalitas remaja
di Indonesia mulai dari kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis meningkat.
3
Pada tahun 2007 tercatat sebanyak 3145 remaja usia ≤ 18 tahun menjadi 2 pelaku
tindak kriminal, tahun 2008 dan 2009 meningkat menjadi 3280 hingga 4123 remaja
(BPS, 2010). Dari sejumlah kasus yang dilaporkan, tercatat 197.423 jumlah pelaku laki-laki
maupun perempuan menurut Kemenpora (2009). Dalam penelitian longitudinal terhadap
remaja, Elliott (dalam Tremblay, 2000) menemukan bahwa terdapat peningkatan tindakan
kekerasan pada anak laki-laki maupun perempuan pada usia 12 tahun sampai 17 tahun. Hal
ini menunjukan bahwa tahap perkembangan remaja tergolong rentan berperilaku agresi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru BK SMP Negeri 4 Ambon (pada
tanggal 30 Agustus 2015), yang mengatakan bahwa siswa dari kelas VII sampai kelas IX,
masih ada yang dipanggil ke ruang BK karena melanggar peraturan sekolah, mengalami
teguran dari wali kelas, atau menerima surat panggilan karena perilaku-perilaku yang
menyakiti orang lain dalam menghadapi masalah, baik masalah dengan guru, teman maupun
orang lain yang berada diluar lingkungan sekolah tersebut. Ada beberapa murid yang masih
terlibat tawuran dengan murid sekolah lain, hal ini biasanya terjadi setiap tahunnya, dan tak
jarang sekolah yang dianggap musuh adalah sekolah yang dari tahun ke tahun memang
mengalami konflik yang sama dengan mereka. Cepat terprovokasi oleh isu yang belum tentu
kebenarannya, merasa kalah dalam hal penampilan, ingin menunjukan kekuatan kepada orang
lain, merasa berkuasa, atau masalah pasangan, merasa kurang diperhatikan, tertekan, dan efek
dari tayangan kekerasan di media masa adalah beberapa alasan yang menyebabkan remaja
melakukan perilaku agresif. Perilaku agresi ini menyebabkan sakit fisik maupun sakit hati
dari korban yang mengalami perlakuan baik secara fisik maupun secara mental. Perilaku
agresi merupakan penggunaan hak sendiri dengan cara melanggar hak orang lain, sehingga
apabila perilaku agresi ini tidak dikontrol dengan baik oleh orang-orang yang berada dalam
lingkungan remaja itu sendiri, maka akan lebih memberikan efek yang buruk, bahkan
kematian dapat dialami seseorang akibat perilaku tersebut (Taganing, 2008).
4
Menurut Bush dan Perry (1992) mengklasifikasikan perilaku agresi dalam empat
macam, yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan. Agresi fisik dan agresi
verbal mewakili komponen motorik dalam agresivitas, sedangkan kemarahan dan
permusuhan mewakili komponen afektif dan kognitif dalam agresivitas :
a. Agresi fisik (Physical Agression) ialah bentuk agresif yang dilakukan dengan
menyerang secara fisik dengan tujuan untuk melukai atau membahayakan seseorang.
Perilaku agresif ini ditandai dengan terjadinya kontak fisik antara agresor dan
korbannya
b. Agresi verbal (Verbal Agression) ialah agresivitas dengan kata-kata. Agresi verbal
dapat berupa umpatan, sindiran, fitnah, dan sarkasme.
c. Kemarahan (Anger) ialah suatu bentuk indirect agression atau agresi tidak langsung
berupa perasaan benci kepada orang lain maupun sesuatu hal atau karena seseorang
tidak dapat mencapai tujuannya.
d. Permusuhan (Hostility), merupakan komponen kognitif dalam agresivitas yang terdiri
atas perasaan ingin menyakiti dan ketidakadilan.
Didalam perilaku agresi ini keempat hal ini saling berhubungan antara satu dengan
yang lainnya, terdapat pula keterkaitan antara aspek afektif, kognitif, dan arousal yang
bereaksi dan berproses terhadap stimulus yang ada dan memunculkan perasaan negatif.
Perilaku agresi bukan hanya dipicu oleh kejadian di lingkungan luar individu, namun juga
dimunculkan dari bagaimana kejadian tersebut diterima dan diproses secara kognitif atau
yang disebut atribusi diungkapkan oleh Berkowitz (1989). Dalam mencapai suatu
kematangan emosional pada remaja, bukanlah proses yang mudah, namun membutuhkan
kemauan keras dari remaja tersebut serta, kondisi sosial dan emosional lingkungan terutama
lingkungan terkecil yaitu keluarga sangat mempengaruhi individu.
5
Lingkungan keluarga menjadi sangat penting bagi individu, karena dilingkungan
inilah hubungan yang baik antara orang tua, atau antara orang tua terhadap anak, rasa saling
percaya, saling menghargai serta tanggung jawab ditunjukan dalam lingkungan ini. Apabila
keluarga memiliki lingkungan yang positif, anak diharapkan juga dapat mencapai
kematangan emosionalnya dengan baik. Namun, akan menjadi sebaliknya apabila kondisi
seperti itu tidak ada dalam keluarga, tindak kekerasan yang dilakukan dari suami kepada istri
atau sebaliknya, memukul jika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan, dibentak dengan
intonasi yang tinggi, cepat termakan omongan orang lain, kemudian hal-hal yang negatif
seperti ini dipertontonkan dan diberlakukan kepada anak, akan membentuk persepsi anak
tersebut bahwa kekerasan adalah wujud untuk merespon suatu hal yang salah (Satiadarma,
2001). Hal ini terjadi karena melihat apa yang dilakukan orang tua dan dipersepsikan oleh
anak tersebut.
Menurut penelitian dari Vissing, dkk (1991) didapatkan data dari 3346 keluarga yang
menjadi sampel bahwa agresi anak, kenakalan dan masalah dalam berhubungan dengan orang
lain disebabkan karena anak-anak tersebut pernah mengalami kekerasan psikologis dalam
keluarga. Padahal, keluarga adalah yang akan dijadikan anak tersebut sebagai contoh
dikemudian harinya, karena anak mempersepsikan perilaku dan apa yang diperhatikannya
dalam keluarga untuk kembali diwujudkan dalam tindakan dan perilakunya, inilah proses
internal yang terjadi, yang sering disebut persepsi.
Persepsi menurut Solso, Otto, & Maclin (2008) adalah sesuatu yang melibatkan
kognisi tingkat tinggi dalam hal penginterpretasian, yang kita tangkap dengan indera.
Persepsi menurut Walgito (2003) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh
proses penginderaan terhadap suatu stimulus yang kemudian diorganisasikan dan
diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang
diindera tersebut. Seseorang memilikli perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman-
6
pengalaman yang tidak sama yang menyebabkan persepsi orang terhadap stimulus atau objek
yang sama dapat berbeda-beda. Baron & Byrne (1983) menambahkan persepsi adalah proses
yang dialami seseorang untuk mengetahui dan memahami orang-orang lain. Persepsi inilah
yang akan dimiliki oleh anak, anak tumbuh dengan hubungan yang dimulai dengan orang-
orang terdekatnya yaitu orang tua, sehingga persepsi anak adalah penginterpretasian yang
dibentuk anak dari hasil tangkap indera, melalui penglihatan, pendengaran, perasa,
penciuman dan peraba yang dia temui pertama kalinya dari orang tuanya.
Anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga dapat
mengalami gangguan fisik, mental dan emosional menurut Bair dkk (dalam Margareta dkk,
2013 ). Ekspos kekerasan dalam keluarga pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman
terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan
mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku
kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya. Kekerasan
dalam keluarga adalah suatu peristiwa traumatis karena kekerasan dilakukan oleh orang-
orang yang terdekat bagi anak, keluarga yang semestinya memberikan rasa aman, justru
menampilkan dan memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut serta kemarahan
menurut Margareta, dkk (2013). Hal inilah yang membuat anak menginterpretasikan apa
yang ditemuinya dalam keluarga dalam bentuk persepsi, berdasarkan apa yang ditangkapnya
dengan alat indera.
Belajar Sosial (social learning) menjelaskan bahwa perilaku agresi terjadi karena
belajar sosial atau transmisi antar generasi anak-anak yang mengalami kekerasan, yaitu anak-
anak mempelajari penyimpangan norma-norma dan perilaku yang dapat direplikasi di dalam
hubungan saat dewasa menurut Bandura (1976). Marriott & Chebib (2014) menjelaskan
bagaimana efek belajar sosial terjadi sangat cepat bergantung pada genetika ataupun
7
lingkungan dimana individu bertumbuh dan beradaptasi. Jika sejak anak-anak sudah
menyaksikan kekerasan, dalam masa remaja mereka akan mengembangkan persepsi yang
salah tentang kekerasan; bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang tepat untuk
menyelesaikan masalah. Pembelajaran tentang orang tua inilah yang ditangkap oleh remaja
melalui alat indera kemudian dipersepsikan, dan terwujud dalam perilaku dimasa depan
(Bodenhausen dan Hugenbregh, 2009). Dalam kultur di mana tindak kekerasan adalah jarang,
orang menjadi sangat sensitif dengan setiap bentuk kekerasan dan agresi dan menolaknya.
Sebaliknya, di komunitas di mana kekerasan merupakan cara menyelesaikan masalah yang
umum, seperti zona konflik etnis, orang mungkin menjadikan pola perilaku kekerasan
tersebut sebagai norma Buckey, (dalam Erick & David, 2012).
Masalah yang ditemukan sekarang adalah remaja cendrung akan melakukan
pengulangan atas perilaku agresi yang sama jika lingkungan atau faktor eksternalnya
mendukung individu tersebut untuk melakukukan perilaku tersebut, menurut Lopez dkk
(2008). Pemikiran orang tua bahwa dengan memberi pukulan itu adalah perilaku yang
mengajarkan anak menjadi individu yang patuh, penurut dengan tujuan yang baik, tanpa
mereka sadari hal tersebut malah memberi dampak sebaliknya. Perilaku yang dilakukan oleh
orang tua kepada orang lain, dengan memukul, meneriaki dengan kata-kata kasar atau
sebagainya, menjadi hal yang biasa kepada remaja, kemudian orang tua akan mendorong
anak mereka untuk mengerti bahwa hal tersebut adalah untuk “membela diri”. Sementara itu,
dari pengalaman orang tua contoh tersebut tidak menjadi masalah bagi mereka, sehingga
orang tua berusaha untuk membuat anak mereka menyadari apa yang mereka lakukan adalah
suatu hal yang memang seharusnya dilakukan. Dengan cara seperti inilah yang akan
mempengaruhi cara didik orang tua terhadap anak tersebut, karena bila orang tua memberi
pukulan dengan pengertian “membela diri”, “demi kebaikan kamu”, anak ketika bertumbuh
akan mengulangi dan menerapkan hal yang sama di kemudian hari pada orang lain, karena
8
dia merasa yang dilakukan oleh orang tuanya adalah yang terbaik baginya, sehingga dia akan
melakukan hal yang dia anggap terbaik juga kepada orang lain, karena skema atau persepsi
yang dibentuknya sesuai dengan apa yang dirasakan dan dialaminya.
Valois, dkk (2002) dalam hasil penelitiannya tentang faktor resiko yang berhubungan
dengan kekerasan dan perilaku agresi dan Mackowicz (2014) tentang kekerasan pada siswa di
sekolah menengah pertama menemukan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor yang
beresiko terkait dengan perilaku agresi remaja, terutama untuk remaja yang berada pada
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah keatas. Lopez dkk (2008), dari hasil
penelitiannya tentang Agresi remaja pengaruh: gender, keluarga dan lingkungan sekolah
menemukan apabila lingkungan keluarga yang positif akan memberikan faktor perlindungan
yang kuat juga untuk anak perempuan maupun laki-laki dalam menghadapi masalah. Dilain
sisi, ada juga penelitian yang memiliki hasil berbeda dalam menilah perilaku agresi remaja
yaitu, Adachi & Willoughby (2011) dalam penelitiannya tentang efek dari game kompetisi
dan kekerasannpada perilaku agresi remaja, dan yang lebih memberikan efek kepada perilaku
agresi adalah game kompetisi. Penelitian lainnya yang serupa dengan Adachi dan
Willioughby adalah Anderson dkk (2010) tentang videogame kekerasan yang berpengaruh
pada perilaku agresi, empati dan sikap prososial. Berdasarkan fenomena serta hasil penelitian
yang telah ada, tentang perilaku agresif, maka penulis tertarik untuk melihat persepsi remaja
terhadap perilaku agresi orang tua dengan remaja terhadap perilaku agresif di SMP Negeri 4
Ambon.
Hipotesis
Adakah hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua
dengan perilaku agresi pada remaja di SMP Negeri 4 Ambon.
9
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel Terikat : Perilaku agresi remaja
Variabel Bebas : Persepsi mengenai perilaku agresi orang tua
Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian correlational, yaitu penelitian yang bersifat
menghubungkan (Sugiyono, 2012) dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian
ini menggunakan instrumen berbentuk skala.
Populasi dan Sampel Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data
mengenai variabel-variabel yang diteliti (Azwar, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah
keseluruhan siswa SMP Negeri 4 Ambon yang berjumblah 1095 siswa. Adapun
karakteristiknya adalah: (1) masih memiliki orang tua lengkap (ayah dan ibu), (2) tinggal
bersama kedua orang tua ayah dan Ibu.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik Insidental Sampling,
yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara
kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila
dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2012).
Saat penelitian, yang dilakukan peneliti disekolah tersebut, beberapa kelas yang dijadikan
sampel ditentukan langsung oleh pihak sekolah, sehingga saat pengisian angket pihak sekolah
yang menemani untuk menunjukan kelas berapa saja yang bisa dimintai data atau dijadikan
sampel. Maka dari 32 kelas yang ada di SMP Negeri 4 Ambon, peneliti mengambil sampel
sebanyak 4 kelas yaitu kelas VII-1 yang berjumlah 30 siswa, dengan 26 siswa sesuai
10
kateristik, dan 4 lainnya tidak, kelas VII-2 yang berjumlah 31 siswa sesuai karakteristik, kelas
VIII-1 yang berjumlah 28 siswa, dengan 27 siswa sesuai karakteristik dan 1 lainnya tidak,
dan kelas VIII-4 yang berjumlah 33 siswa, dengan 29 sesuai karakteristik dan 4 lainnya tidak.
Pemilihan kelas ditentukan langsung oleh pihak sekolah, sehingga jumlahnya adalah 113
siswa yang berpartisipasi. Pengisian Angket dilakukan 2 kali, hari pertama siswa mengisi
skala agresi, keesokan harinya mereka mengisi skala persepsi tentang orang tua.
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah Aggression
Questionnaire dari Buzz dan Perry dan Skala persepsi mengenai perilaku agresi orang tua
(seterusnya akan disingkat PAOT) yang telah dimodifikasi oleh penulis.
1. Skala Aggression Questionnaire
Skala yang digunakan adalah Aggression Questionnaire dari Buzz dan Perry
(1992) yang terdiri dari 29 item dengan menggunakan aspek-aspek anger (7 item),
verbal aggression (5 item), physical aggression (9 item), dan hostily (8 item). Dalam
penelitian ini item telah dialih bahasakan menjadi Bahasa Indonesia dan diubah
menjadi skala Likert dengan tetap mempertahankan dimensi indikator yang diukur.
Dalam pengisian alat ukur Aggression responden diminta untuk memilih dari lima
pilihan jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak dapat menentukan
dengan pasti (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Butir
pernyataan dalam skala ini bersifat favourable untuk 27 item dan 2 item lainnya
unfavorable. Rentang skor setiap butr pernyataan dari 1 sampai 5. Jika Butir
pernyataan SS diberi skor 5, jawaban S diberi skor 4, N diberi skor 3, TS diberi skor
2, dan STS diberi skor 1.
11
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala
Aggression Questionnaire sebanyak dua kali putaran, yang terdiri dari 29 item,
diperoleh item yang gugur sebanyak 5 item dengan koefisien korelasi item totalnya
bergerak antara 0,326-0,573 dengan penentuan-penentuan item yang mempunyai nilai
diskriminasi yang baik, menggunakan ketentuan Anzwar (2012) yang menyatakan
bahwa item skala pengukuran dapat dikatakan baik apabila r ≥ 0,30.
Teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas menggunakan teknik koefisien
Alpha Cronbach. Hasil koefisien Alpha pada skala Aggression Questionnaire sebesar
0,876. Hal ini berarti skala Aggression Questionnaire reliabel.
Tabel 1. Reliabilitas Skala Aggression Questionnaire
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.876 24
2. Skala Persepsi Mengenai Perilaku Agresi Orang Tua (PAOT)
Skala yang digunakan adalah skala Aggression Questionnaire dari Buzz dan Perry
(1992) ini dimodifikasi oleh penulis berdasarkan aspek-aspek persepsi menurut Baron &
Byrne (1983), yaitu: aspek konatif yang diwakilkan dengan physical aggression dan
verbal aggression, afektif yang diwakili oleh aspek anger, dan aspek kognitif diwakili
aspek hostility.
Skala PAOT ini terdiri dari 29 butir pernyataan dan memiliki lima pilihan
jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak dapat menentukan dengan pasti (N),
Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Butir pernyataan dalam skala ini
bersifat favourable untuk 27 item dan 2 item lainnya unfavorable. Rentang skor setiap
12
butr pernyataan dari 1 sampai 5. Jika Butir pernyataan SS diberi skor 5, jawaban S diberi
skor 4, N diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1.
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala paot
sebanyak dua kali putaran, yang terdiri dari 29 item, diperoleh item yang gugur
sebanyak 4 item. Maka terdapat 25 item yang dapat digunakan untuk dianalisa dalam
penelitian ini totalnya bergerak antara 0,326-0,623.
Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan
teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada skala
persepsi sebesar 0,898. Hal ini berarti skala perselingkuhan reliabel.
Tabel 2. Reliabilitas Skala Persepsi Mengenai Perilaku Agresi Orang Tua
(PAOT)
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.898 25
Teknik Analisis Data
Metode Analisis data adalah metode untuk mengolah data, menganalisis data, dan
menguji kebenarannya, kemudian dapat disimpulkan dari penelitian tersebut (Hadi, 2004).
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan metode statistik,
karena data yang diperoleh berwujud angka-angka sehingga metode statistik dapat
memberikan hasil yang objektif. Teknik yang digunakan untuk menguji hubungan antara
kedua variabel penelitian ini adalah korelasi product moment dari Pearson. Dalam penelitian
ini, analisis data akan dilakukan dengan bantuan progtam khusus komputer yaitu SPSS seri
16.0 for windows.
13
HASIL PENELITIAN
Uji Deskriptif Statistika
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar deviasi
sebagai hasil pengukuran skala aggression questionnaire dan skala persepsi mengenai
perilaku agresi orang tua (PAOT).
Tabel 3. Deskriptif Statistika
Descriptive Statistics
N Min Max Sum Mean
Std.
Deviation
Agresi 113 44 105 9162 81.08 14.556
PAOT 113 44 111 8656 76.60 15.306
Valid N
(listwise) 113
Berdasarkan tabel 3, tampak skor empirik yang diperoleh pada skala aggression
questionnaire paling rendah adalah 44 dan skor paling tinggi adalah 105, rata-ratanya adalah
81,08 dengan standar deviasi 14,556. Begitu juga dengan skala PAOT paling rendah adalah
44 dan skor paling tinggi 111, rata-ratanya adalah 76,60 dengan standar deviasi 15,306.
Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel perilaku agresi dan
paot digunakan 5 (lima) kategori, yaitu: Sangat Tinggi, Tinggi, Sedang, Rendah, dan Sangat
Rendah. Jumblah pilihan pada masing-masing item adalah 5 (lima). Maka skor maksimum
yang diperoleh dengan cara mengkalikan skor tertinggi dengan jumblah soal, yaitu: 5 x 24
item = 120 untuk variabel agresi, 5 x 25 = 125 untuk variabel PAOT, dan skor minimum
yang diperoleh dengan cara mengkalikan skor terendah dengan jumblah soal 1 x 24 item = 24
untuk variabel agresi, dan 1 x 25 item = 25 untuk variabel PAOT.
14
Tabel 4. Kategorisasi Pengukuran Skala Persepsi Mengenai Perilaku Agresi Orang Tua
(PAOT) dan Aggression Questionnaire
Skala No Interval Kategorisasi Mean N Presentase
Aggression
Questionnaire
1 100,8 ≤ x ≤ 120 Sangat Tinggi 5 4,42%
2 81,6 ≤ x ≤ 100,8 Tinggi 46 40,71%
3 62,4 ≤ x ≤ 81,6 Sedang 81,08 48 42,47%
4 43,2 ≤ x ≤ 62,4 Rendah 14 12,39%
5 24 ≤ x ≤ 43,2 Sangat Rendah 0 0 %
Jumlah 113 100 %
SD = 14,556 Min = 44 Max = 105
Persepsi
Mengenai
Perilaku Agresi
Orang tua
1 101 ≤ x ≤ 125 Sangat Tinggi 7 6,19%
2 77 ≤ x ≤ 101 Tinggi 49 43,36%
3 53 ≤ x ≤ 77 Sedang 76.60 49 43,36%
4 29 ≤ x ≤ 53 Rendah 8 7,08%
5 5 ≤ x ≤ 29 Sangat Rendah 0 0 %
Jumlah 113 100 %
SD = 15,306 Min = 44 Max = 111
Berdasarkan tabel 4 dapat disimpulkan sebagian besar subjek (42,47%) mempunyai
perilaku agresi dalam kategori sedang dan sebagaian besar subjek (43,36%) memiliki
persepsi mengenai perilaku agresi orang tua (PAOT) dalam kategori sedang yang nilainya
sama juga dengan kategori tinggi.
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji lineritas.
15
a. Uji Normalitas
Uji asumsi dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah data yang telah memenuhi
asumsi analisis sebagai syarat untuk melakukan analisis dengan teknik korelasi
Pearson Product Moment. Pengujian uji normalitas dilakukan dengan melihat hasil
uji Kolmogrov-Smirov.
Uji normalitas dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 5. Uj Normalitas
Pada skala agresi diperoleh hasil skor sebesar 0,929 dengan probabilitas (p) atau
signifikansi sebesar 0,354 (p>0,05). Sedangkan pada skor paot memiliki nilai K-S-Z
sebesar 0,508 dengan probabilitass (p) atau signifikansi sebesar 0,959 (p>0,05).
Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi normal.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Perilaku
Agresi
Persepsi
mengenai
perlaku agresi
orang tua
(PAOT)
N 113 113
Normal Parametersa Mean 81.08 76.60
Std. Deviation 14.556 15.306
Most Extreme Differences Absolute .087 .048
Positive .051 .048
Negative -.087 -.042
Kolmogorov-Smirnov Z .929 .508
Asymp. Sig. (2-tailed) .354 .959
16
b. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk menguji integritas hubungan data yaitu variabel bebas
dan variabel terikat. Dengan kata lain, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui
apakah variabel bebas berhubungan dengan variabel terikat atau tidak. Untuk
perhitungannya, uji linieritas dilakukan dengan menggunakan SPSS for windows yang
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6. Uji Linearitas
ANOVA Table
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Perilaku Agresi
Remaja *
PAOT
Between
Groups
(Combined) 19435.050 49 396.634 5.818 .000
Linearity 14777.900 1 14777.900
216.75
4 .000
Deviation from
Linearity 4657.150 48 97.024 1.423 .094
Within Groups 4295.233 63 68.178
Total 23730.283 112
Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda Sebesar 1,423 dengan signifikansi = 0,094
(p<0,05) yang menunjukan hubungan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua
dengan perilaku agresi remaja adalah linear.
c. Uji Korelasi
Perhitungan analisis data dilakukan setelah uji asumsi yang meliputi uji
normalitas dan uji liniearitas. Dari perhitungan uji korelasi antara variabel bebas dan
variabel terikat dapat dilihat pada tabel berikut :
17
Tabel 7. Hasil Uji Korelasi
Berdasarkan hasil koefisien korelasi antara persepsi mengenai perilaku agresi orang
tua dengan perilaku agresi remaja, sebesar 0,789 dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05). Hal
ini menunjukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai
perilaku agresi orang tua dengan perilaku agresi pada remaja di SMP Negeri 4 Ambon.
Correlations
Agresi Persepsi_
Agresi Pearson Correlation 1 .789**
Sig. (1-tailed) .000
N 113 113
Persepsi tentang
orang tua
Pearson Correlation .789**
1
Sig. (1-tailed) .000
N 113 113
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
18
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara persepsi mengenai perilaku agresi
orang tua dengan perilaku agresi pada siswa di SMP Negeri 4 Ambon, diperoleh hasil r =
0,789 dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang
positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua terhadap perilaku
agresi remaja, yang berarti semakin tinggi persepsi remaja tentang agresi orang tua, semakin
tinggi pula perilaku agresi. Sebaliknya, bila persepsi mengenai perilaku agresi orang tua
rendah, maka perilaku agresi pada remaja juga akan rendah.
Dalam perkembangan masa perkembangan remaja, yang dikemukan oleh Monty
(2001), bahwa perilaku agresi pada remaja dipengaruhi oleh pembentukan persepsi yang
dimulai dari keluarga. Margaretha dkk (2013) mengungkapkan efek jangka panjang dari
anak-anak yang menjadi saksi dalam peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh keluarganya,
adalah potensi untuk melakukan hal yang sama lagi dimasa depan. Padahal keluarga
merupakan lingkungan terdekat yang berada pada masa perkembangan remaja, dimana
keluarga diharapkan dapat memberikan rasa aman, namun sebaliknya malah hal-hal negatif
lah yang ditunjukan oleh orang tua dalam berperilaku. Ramirez (2003) juga menambahkan
bahwa kebanyakan anak yang diasuh oleh orang tua biologis yang memiliki hubungan genetis
dengannya, maka pengaruh-pengaruh sifat bawaan (nature) dan (nurture) dalam
perkembangan individu biasanya berjalan seiring, salah satunya social learning. Social
learning sendiri diperoleh oleh remaja dari hasil observasinya dengan lingkungan dimana
individu tersebut tinggal, yaitu keluarga menurut Bandura (1976). Marriott & Chebib (2014)
menjelaskan bagaimana efek belajar sosial terjadi sangat cepat bergantung pada genetika
ataupun lingkungan dimana individu bertumbuh dan beradaptasi
19
Jika dikaitkan dengan persepsi, berarti individu membentuk pola pemikiran dan
perilaku yang sama dengan apa yang ditemukannya dalam lingkungan tempat remaja
bertumbuh pertama kali, yaitu keluarga. Perilaku agresi yang dipersepsikan remaja inilah
yang direkamnya dari keluarga, maka tak jarang remaja akan berperilaku sama seperti apa
yang dilihat dari orang tuanya (Nike, 2013). Pembelajaran tentang orang tua inilah yang
ditangkap oleh remaja melalui alat indera kemudian dipersepsikan, dan terwujud dalam
perilaku dimasa depan (Bodenhausen dan Hugenbregh, 2009). Saat remaja mempersepsikan
perilaku agresi orang tua, beberapa aspek dari persepsi juga dikategorikan bersama. Menurut
Baron & Byrne (1983), yaitu: aspek konatif dari persepsi yang diwakilkan dengan physical
aggression dan verbal aggression, afektif yang diwakili oleh aspek anger, dan aspek kognitif
diwakili aspek hostility.
Dari hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini diperoleh rata-rata data bahwa
persepsi sebesar 76,60 yang berada pada kategori sedang dan tinggi dengan 43,36%. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar remaja di SMP Negeri 4 Ambon, mempersepsikan orang
tua mereka berperilaku agresi yang sedang dan pada presentasi yang sama juga remja
mempersepsikan perilaku agresi orang tua mereka tinggi. Dalam kultur di mana tindak
kekerasan adalah jarang, orang menjadi sangat sensitif dengan setiap bentuk kekerasan dan
agresi dan menolaknya. Sebaliknya, di komunitas di mana kekerasan merupakan cara
menyelesaikan masalah yang umum, seperti zona konflik etnis, orang mungkin menjadikan
pola perilaku kekerasan tersebut sebagai norma (Buckey, dalam Erick & David, 2012). Hal
inilah yang menyebabkan perkembangan budaya tentang agresi menjadi hal yang biasa untuk
diterapkan, perilaku agresi terbentuk karena konsep lingkungan yang mudah mengalami
konflik baik dari sosial, ekonomi maupun agama, sehingga dapat memicu konflik antara
warga daerah atau pendatang (Hadiwitanto & Sterkens, 2010).
20
Sementara, untuk perilaku agresi pada remaja SMP Negeri 4 Ambon memiliki rata-
rata sebesar 81,08 yang berada pada kategori sedang dengan presentase 42,47%. Hal tersebut
menunjukan bahwa hampir sebagian besar remaja di SMP Negeri 4 Ambon telah melakukan
perilaku agresi baik secara fisik, verbal, amarah ataupun secara permusuhan. Dorongan
kekerasan dapat berkembang menjadi pola respon, karena perilaku agresi diperoleh lewat
observasi tindakan agresi orang lain (Bandura, 1976). Orang tua yang tinggal di area
kekerasan cendrung mendorong anaknya untuk agresif dan merespon kekerasan dengan
tindakan pembalasan (Erick & David, 2012). Dan remaja dalam proses pertumbuhan akan
mengikuti apa yang ditemukannya pertama kali, baik secara konsep berpikir dari sisi sosial,
politik dan ekonomi yang diterapkan bahkan telah menjadi budaya dimana individu
bertumbuh secara turun menurun (Hadiwitanto & Sterkens, 2010).
Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat sumbangan efektif yang diberikan persepsi
terhadap kecenderungan perilaku agresi, persepsi berkontribusi sebesar 62% dan sebanyak
38% dipengaruhi oleh faktor lain diluar persepsi mengenai keluarga yang dapat berpengaruh
terhadap perilaku agresi remaja, seperti faktor dari dalam diri sendiri yaitu dorongan untuk
menyerang, lingkungan sekolah, hubungan pertemanan dengan orang lain, hingga masyarakat
atau lingkungan tempat individu tinggal (Vaoliz dkk, 2002).
21
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang
tua (PAOT) dengan perilaku agresi pada remaja di SMP Negeri 4 Ambon. Makin
tinggi persepsi tentang perilaku agresi orang tua, maka kecenderungan perilaku agresi
juga pada tingkat yang tinggi.
2. Besarnya sumbangan efektif persepsi sebesar 62%. Hal ini menunjukan bahwa
persepsi merupakan salah satu faktor besar pengaruhnya terhadap perilaku agresi
remaja.
3. Sebagian besar subjek (43,63%) memiliki tingkat persepsi mengenai orang tua pada
kategori sedang dan sebagian besar subjek (42,47%) memiliki tingkat kecenderungan
perilaku agresi pada kategori sedang.
Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan diatas maka penulis menyarankan
hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi Orang tua
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi remaja mengenai perilaku agresi
orang tua merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku
agresi, diharapkan melalui penelitian ini bagi orang tua agar jangan melakukan
perilaku agresi di depan anak-anak, kemudian juga untuk dapat mengekspresikan
penolakan dengan alasan yang tepat ataupun memberi teguran dengan cara yang lebih
22
tenang, misalnya duduk bersama menanyakan permasalahan, atau memberi nasihat,
apabila anak melakukan kesalahan.
2. Bagi Remaja
Bagi remaja, jika menghadapi permasalahan sebelum mengambil tindakan lebih baik
bertanya terlebih dahulu kepada orang tua, atau orang dewasa lainnya yang dapat
dipercaya. Mencari sumber permasalahan atau informasi kebenarannya, agar tidak
cepat terprovokasi oleh isu.
3. Bagi sekolah dan guru
Di sekolah, diadakan penyuluhan atau pendekatan lebih lanjut kepada orang tua yang
memberlakukan perilaku agresi dalam keluarga, sehingga orang tua dapat mengerti
bagaimana mendisiplinkan anak dengan lebih baik tanpa kekerasan.
4. Bagi penelitian selanjutnya
- Dapat mengaitkan perilaku agresi dengan faktor yang lainnya seperti pola asuh
atau dilihat dari jenis kelamin mana yang memiliki agresi yang tinggi.
- Dapat juga didukung dengan, penelitian namun melihat kepada keluarga yang
utuh (memiliki ayah dan ibu) dengan keluarga yang sudah berpisah (tinggal
dengan salah satu ayah atau ibu).
23
DAFTAR PUSTAKA
Adachi., C. J. & Willoughby, T. (2011). The effect of video game competition and violence
on aggressive behavior: which characteristic has the greatest influence. (1) 4, 259–274 .
Canada : Brock University.
Anderson, A. C., Nobuko, I., Bushman, J. B., & Rothstein, R. H (2010). Violent video game
effects in eastern and western countries: a meta-analytic review. Psychological bulletin.
136 (2), 259–274. American psychological association.
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Pusat Statistika (2012). Profil Kriminalitas Remaja 2010. Diakses pada 6 september
2015 melalui https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/3514.
Bandura, A. (1976). Social learning theory. New York City : General Learning Pers
Berkowitz, L. (1989). Frustration-aggression hypothesis: examination and reformulation.
Psychological Bulletin American Psychological Association 106 (1), 59-76.
Baron, A. R. & Byrne, D. (1991). Social psychology. London : Allyn and Bacon
Bodenhausen, G. V., & Hugenberg, K. (2009). Attention, perception, and social cognition.
Faculty of northwestern. Pdf. USA : Northwestern University
Buss, A. H., & Perry, M. P. (1992). The aggression questionnaire. Journal of Personality and
Social Psychology, 63, 452-45.
Erick., B. S & David, A. L. (2012). Psikologi lintas kultural : Pemikiran Kritis dan Terapan
Modern. Jakarta: Kencana.
Fitriani, N. R. (2013). Hubungan antara persepsi siswa terhadap perilaku agresi verbal guru
dengan motivasi belajar siswa pada Madrasah Ibtidaiyah Ma’Arif Bringin srumbung
magelang. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Hadi, Sutrisno. (2004). Metodologi research. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Hadiwitanto, H.& Sterkens, C. (2010). Belajar dari kekerasan bernuansa agama di Ambon.
Jurnal Penagama Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 29 (1), 57-78.
Kementerian Pemuda dan Olaraga (2009). Penyajian data dan informasi kementerian pemuda
dan olaraga 2009. Diakses pada 23 februari 2016 melalui
http://www.kemenpora.go.id/pdf/PENYAJIAN%20DATA%20INFORMASI%20KE
MENTERIAN%20PEMUDA%20DAN%20OLAHRAGA%20TAHUN%202009.pdf
Krahe, B. (2005). Perilaku agresif buku panduan psikologi sosial. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar.
Lopez, E. E., Pereza, M. S., Ochoab, M. G., & Ruiza, M. D. (2008). Adolescent aggression:
Effects of gender and family and school environments. Journal of Adolescent The
Association for Professionals in Services for Adolescents. 31, 433–450.
24
McArthur, Z. L., & Baron, M. R. (1983). Toward an ecological theory of social perception.
Physchological Review of American Psychological Association, 90 (3), 215-238.
Maćkowicz, J. (2014). Junior high school student as victim of violence at school. Batı
Anadolu Eğitim Bilimleri Dergisi (BAED), Dokuz Eylül Üniversitesi Eğitim Bilimleri
Enstitüsü, İzmir-Türkiye. ISSN 1308 - 8971. Rusia : Bati Anadolu
Margareta., Nuringtyas, R., & Rachim, R. (2013). Trauma kekerasan masa kanak dan
kekerasan dalam relasi intim. Jurnal Makara Seri Sosial dan Humaniora Mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 17(1): 33-42.
Marriott, C., & Chebib, J. (2014). The effect of social learning on individual learning and
evolution. Proceedings of the Fourteenth International Conference on the Synthesis
and Simulation of Living Systems, ALIFE '14, At New York, New York. doi:
10.7551/978-0-262-32621-6-ch118.
Nike, K. H. (2013).Hubungan antara persepsi pola asuh otoriter ibu dengan perilaku agresi
pada siswa sd. Skripsi. Fakultas Psikologi Universtas Muhamadiyah Surakarta
Ramirez, M. J. (2003). Human Aggression: A Multifaceted Phenomenon. Diakses pada 23
februari 2016 melalui http://eprints.ucm.es/10003/1/Human_Aggression_Book.pdf
Santrock, J.W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup. Edisi kelima.
Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial: individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta:
Balai Pustaka.
Satiadarma, M. P. (2001). Persepsi orang tua membentuk perilaku anak: dampak pygmalion
di dalam keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sugiyono. (2012). Metodologi penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Susilo, Budi. (1992). Psikologi perkembangan perspektif sepanjang hayat. Salatiga
Solso, R. L., Maclin, O., & Maclin K. (2008). Psikologi kognitif. Jakarta: Erlangga.
Taganing, N. M. (2008), Hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja.
Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Tremblay, E. R. (2000). The development of aggressive behaviour during childhood: What
have we learned in the past century?. Journal of Behavioral Development, 20, 129-
141. Canada : University of Montreal
Valois, F. R., MacDonals, M. J., Bretous, L., Fischer, A. M., & Drane, W. J. (2002). Risk
factors and behaviors associated violence and aggression. Journal of Medicine
National Institutes of Health, 26 (6), 454-464. USA : National Library of Medicine
National Institutes of Health
25
Vissing, M. Y., Straus, A. M., Gelles, J. R., & Harrop, W. J. (1991). Verbal aggression by
parents and psychological problems of children. Journal of Child Abuse and Ngelect,
15, 223-238. Durham : University of New Hampshire
Walgito, B. (2003). Psikologi Sosial : Suatu pengantar. Yogyakarta: Andi
Recommended