View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap transaksi islami, senantiasa terdapat kompensasi atas setiap usaha yang
dilakukan. Setiap pedagang akan mendapatkan laba atas komoensasi usaha perdagangannya.
Seorang pekerja akan mendapatkan gaji sebagai kompensasi atas jasa yang telah ia berikan
kepada pemberi kerja. Demikian pula seorang produsen, pengusaha makelar, dan sebagainya
akan mendapatkan penghasilan karena usaha yang dicurahkannya.
Prinsip seperti ini adalah sebuah kemestian yang kita dapati dalam kehidupan ekonomi
islam. islam menghindarkan adanya bentuk kezaliman satu sama lain diantara pelaku bisnis.
Seorang pekerja tidak merasa dizalimi karena dia mendapatkan upah. Sebaliknya, pemberi kerja
juga tidak merasa dizalimi karena dia memperoleh manfaat dari pekerjaan tenaga kerja. Dengan
kata lain, semua pihak merasa mendapatkan manfaat yang menguntungkan semua pihak.
Keduanya merasa mendapatkan keadilan dan berharap transaksi tersebut dapat dilanjutkan.
Keadilan dalam transaksi akan berubah menjadi kezaliman manakala salah satu pihak
dalam transaksi merasa dieksploitasi tanpa mendapatkan manfaat apapun. Adapun satu pihak
lainnya akan mendapatkan manfaat, padahal dia tidak memberikan kontribusi apapun dalam
aktivitas ekonomi apapun yang terjadi.
Praktik ini tampak jelas dalam transaksi riba dengan berbagai bentuknya. Pemilik harta
yang meminjamkan telah memperoleh keuntungan berupa bunga tanpa bersusah-payah. Pada
dasarnya ia telah mengeksploitasi peminjam yang harus memberikan bunga, sedangkan dirinya
tak memperoleh manfaat apapun dari pemilik harta.
Kebiasaan membungakan harta, termasuk uang, telah menjadi suatu bagian penting dalam
masyarakat sekarang ini. Pada kenyataannya, bunga sudah dianggap sebagai suatu hal yang
penting demi kelancaran sistem perekonomian yang ada. Namun, islam menganggapnya sebagai
suatu kejahatan ekonomi yang telah membawa pengaruh yang sangat membahayakan bagi
perekonomian dan kehidupan social masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian riba ?
2. Apa saja jenis atau macam-macam riba?
3. Bagaimana Al-Qur’an dan Hadits memandang riba?
4. Apakah bunga bank termasuk kedalam riba?
5. Bagaimanakah pengaruh riba dalam perekonomian
C. Maksud dan Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian riba dan perbedaannya dengan bunga bank
2. Dapat mengetahui Jenis atau macam-macam riba
3. Mampu memahami Ayat dan Hadist yang melarang riba
4. Mengetahui hukum bermuamalah dengan bank konvensional.
5. Untuk mengetahui pengaruh riba dalam perekonomian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RIBA
Secara etimologi, riba berarti الزيادة (tambahan)1, seperti arti kata riba pada ayat:
… …
“ Kemudian apabila Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah.”
(QS. Al-Hajj: 5)
Adapun secara terminology, para ulama mendefenisikannya sebagai berikut:
Ibn Khazar al-Askalani berkata,’’esensi riba adalah kelebihan, apakah itu berupa barang
ataupun uang, seperti uang dua dinar sebagai pengganti satu dinar’’2
Allamah mahmud al-Hasan Taunki, riba berarti, “kelebihan atau kenaikan; jka dalam
suatu perjanjian barter (pertukaran barang dengan barang) meminta adanya kelebihan satu
benda yang sama, itulah yang disebut riba”.3
Al-quran menyebut riba untuk bunga yang secara bahasa adalah tambahan, kelebihan,
penigkatan atau surplus. Dalam ilmu ekonomi, bunga merujuk kepada kelebihan pendapatan
yang diterima oleh sipemberi pinjaman dari sipeminjam, kelebihan dari jumlah uang pokok
yang dipinjamkan, yaitu sebagai upah atas di cairkannya sebagai harta dalam waktu yang
sudah di tentukan.
Sifat yang tampak pada riba adalah adanya suatu keuntungan yang diambil oleh pemakan
riba, riba yang sebetulnya adalah hasil dari eksploitasi atas tenaga orang lain. Riba itu
semacam kompensasi yang diperoleh tanpa harus mencurahkan tenaga sedikit pun. Lagi pula
harta yang menghasilkan riba dijamin mendatangkan untung, dan tidak mungkin rugi. Ini jelas
bertentangan dengan kaidah, “Al-Gharam bi al-ghanam (kerugian itu bergandengan dengan
keuntungan)”.4
1 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) hal. 2592 Ismail Yusanto, Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press,2011) hal. 3523 Ismail Yusanto, Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press,2011) hal. 3524 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: HTI Press,2010) hal. 252
Sejumlah defenisi telah banyak dikemukakan oleh para ulama. Yang jelas semua sepakat
bahwa bunga adalah nama lain dari riba yang dapat saling menggantikan.5
Walaupun kadang-kadang masih juga kita jumpai upaya memisahkan kata bunga dengan
riba. Mereka berpendapat bahwa dalam bahasa arab kata riba hanya tercakup dalam kata
usury dalam bahasa inggris yang dalam penggunaan modern berarti suku bunga yang
mencekik. Padahal jelas bahwa riba dalam bahasa arab juga berarti tambahan meskipun
sedikit di atas jumlah uang yang dipinjamkan sehingga mencakup makna bunga.6
B. MACAM-MACAM RIBA
Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tiga jenis7, yaitu:
1. Riba Fadhl
Riba Fadhl adalah jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar)
dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini
terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah
kilogram kentang.
2. Riba Yad
Riba yad yaitu jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai
berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual
beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat
akad.
Menurut ulama hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak
dari utang.
3. Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan
harganya.5 Ismail Yusanto, Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press,2011) hal. 3526 Ismail Yusanto, Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press,2011) hal. 3537 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) hal 260
Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran
barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang,
sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu
pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al-Mutawali menambahkan, jenis riba dengan
riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada riba
fadhl.
C. DALIL KEHARAMAN RIBA
1. Dalil Al-Quran
39. Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang
berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Pada tahap pertama, Al-Quran menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada
zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan yang
mendekatkan diri kepada Allah.
Abdullah saeed, seorang pemikir yang progresif tentang bunga bank ketika
mengomentari ayat diatas mengatakan “ setelah merujuk perbedaan-perbedaan dalam
harta kekayaan orang-orang pada ayat sebelumnya, Al-Quran lalu memerintahkan umat
islam agar memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang yang memerlukan,
termasuk para kerabat, orang-orang miskin, dan para musafir. Bantuan ini harus
berdasarkan kedermawanan, bukannya riba. Sebab, orang yang memberikan bantuan
lewat dermalah yang akan memperoleh pahala berlipat di dunia dan akhirat”.8
Dawam Raharjo menjelaskan ayat pertama tentang riba ini sesungguhnya
memberikan defenisi riba. Dari ayat inilah riba itu didefenisaikan sebagai ziyadah. Yang
dimaksud dengan riba adalah nilai atau harga yang ditambahkan kepada harta atau uang 8 Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis: 2012) hal. 220
yang dipinjamkan kepada orang lain. Pada ayat di atas tidak atau belum terdapat
ketetapan hukum tentang haramnya riba. Agaknya ayat ini sekedar ancang-ancang
terhadap larangan riba dalam ayat-ayat yang turun kemudian.9
160. Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161. dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.
Mufassir Muhammad Asad dalam The Message Of The Qur’An, dahulu setelah
dibebaskannoleh Nabi Musa dari belenggu perbudakan Fir’aun, bangsa Yahudi
memperoleh mengalami berbagai malapetaka dan kesengsaraan dalam sejarah mereka.
Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka menjalankan praktek riba dan memakan
harta manusia secara batil. Padahal, pekerjaan itu, seperti di katakana Al-Quran telah
dilarang dalam kitab mereka sendiri yaitu, kitab taurat dan zabur yang dikenal sebagai
kitab perjanjian lama.
Dawam Raharjo menjelaskan bahwa reputasi bangsa Yahudi dalam bisnis
pembungaan uang memang sangat terkenal. Pada masa kini di AS, perakterk
pembungaan uang oleh sekelompok etnis Yahudi, diluar lembafa perbankan, koperasi
atau credit union, masih menjadi phenomena umum. Di negri kita, kegiatan ini dikenal
sebagai “tukang kredit”. Tapi banyak yagn belum tahu bahwa hukum tertua tentang
larangan riba terdapat dalam kode hukum Musa (Lihat perjajian lama, Leviticus XXV:36
dan deutoronomy XXIII:20), walaupun dalam prakteknya larangan itu hanya
diberlakukan di kalangan yahudi saja, sedangkan dengan mengambil riba dari bangsa lain
gentile, menurut etika mereka, diperbolehkan. Larangan riba bukan hanya milik budaya 9 Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis: 2012) hal. 220
hukum yahudi. Para filsuf yunani kuno juga telah mengembangkan teori yang mendasari
pelarangan riba di Yunani, Riba disebut sebagai rokos, yaitusesuatu yang dilahirkan suatu
makhluk organic. Menurut Aristoteles, uang adalah obyek yang bukan tergolong organic
dan digunakan sebagai medium pertukaran. Karena itu uang tidak bisa beranak. Barang
siapa meminta bayaran dari meminjamkan uang, maka tindakannya itu, oleh Aristoteles,
dinilai sebagai bertentangan dengan hukum alam.
Pada awal abad ke 11, orang-orang yaudi mulai mengubah profesi mereka
sebagai pembunga uang. Pada abad ke 14, jatidiri yahudi telah berubah dari perdagangan
menjadi bunga uang. Factor keterdesakan itulah agaknya yang membuat yahudi menjadi
unggul dalam keterbatasan uang. Keluarga pribumi Itali, Lombardia dan Cahorsia, baru
menyusul kemudian. Mereka adalah keluarga pedagang Katolik. Sekalipun berdasar
moral agama yang resmi, keluarga itu dikutuk sebagai pembunga uang, namun tidak
urung mereka mendapat penghormatan yang tinggi juga di kalangan bangsawan, bahkan
gereja sendiri.
Adapun ayat selanjutnya yang terkait dengan riba telah diwahyukan di Madinah,
segera setelah Perang Uhud (3H/625M) dan hamper sebelas tahun setelah pengecaman
riba yang pertama di makkah;
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Wahbah Al-zuhaily di dalam tafsirnya mengatakan ayat bahwa ayat ini adalah
ayat priode ketiga yang berbicara tentang marahil tadarruj al-tasyri’ fi tahrim al-riba (fase
ketiga dalam proses pengharaman riba yang berlangsung secara gradual). Ayat ini malah
menegaskan baik riba itu sedikit ( sekitar 1%) atau lebih dari itu hukumnya haram.
Saed mengatakan bahwa ayat ini berada dalam konteks sebagai pengingat kepada
orang-orang muslim mengenai apa yang salah di Perang Uhud, saat sebuah kemenangan
yang potensial berubah menjadi kekalahan yang mematikan,berakibatkan gugurnya tujuh
puluh pria muslim yang meninggalkan anak-anak yatim, para janda,dan orang-orang yang
sudah lanjut usia dalam kondisi memerlukan bantuan dan dukungan finansial. Situasi
semacam ini mempersyaratkan agar bantuan yang diberikan kepada orang-orang yang
memerlukan itu berdasarkan derma, bukan berdasarkan riba. Jadi, segera setelah
menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh terlibat dalam transaksi-transaksi riba, Al-
Qur’an memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allah, takut terhadap
neraka,mematuhi Allah dan Rasulullah, dan bersegera kepada ampunan dari Tuhan,
dengan menggambarkan mereka yang bertakwa sebagai orang-orang yang menafkahkan
(hartanya) di saat kelaparan dan kesempitan demi menghilangkan penderitaan orang-
orang yang memerlukan.
Masih mengutip Saed, ayat ini (3:130) jelas sekali melarang riba dengan
mengatakan “jangan mengkonsumsi riba.” Menjelaskan makna riba seperti digunakan
dalam ayat 3:130, Thabari (w.310/923) seorang mufassir yang sangat terkenal
mengatakan, “janganlah kalian mengkonsumsi riba setelah kalian memeluk islam
sebagaimana kalian telah mengkonsumsinya setelah memeluk islam. cara orang arab
mengkonsumsi riba adalah bahwa salah seorang dari mereka memiliki hutang yang harus
dilunasi pada tanggal tertentu. Ketika tanggal itu tiba, si kreditur menuntut di debitur. SI
debitur akan mengatakan, “tundalah pelunasann utangku, aku akan memberikan
tambahan atas hartamu.” Inilah riba yang berganda dan berlipat.
Pada tahap ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Pada saat itu (III H) pengambilan bunga dengan
jumlah yang besar banyak dilakukan orang arab. Akibanya banyak masyarakat yang
ekonominya lemah, menjadi terzalimi.
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai
Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.
Pada tahap ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan jenis tambahan
yang diambil dari pinjaman. Ayat terakhir yang terkait dengan riba di wahyukan
menjelang akhir masa kenabian Muhammad. Riwayat-riwayat yang terekam dalam tafsir
Thabari mengindikasikan tahun 8 H(630 M) atau sesudahnya. Ada kesepakatan umum
dikalanagan mufassir bahwa ayat 2:275-278 adalah ayat yang terakhir yang diwahyukan
terkait dengan pengharaman riba.
Istilah yang digunakan dalam ayat-ayat ini tidak berada dengan penggunaannya
pada ayat-ayat Al-Quran yang terlebih dahulu, demikian menurut para mufassir klasik
seperti Thabari, Zamakhsyari dan ibn katsir. Thabari misalnya menafsirkan riba dalam
ayat-ayat ini, merujuk kepada ayat yang dipraktikkan dalam pra islam, dengan
mengatakan “Allah telah mengharamkan riba yang merupakan jumlah yang ditambahkan
bagi pokok modal si pemilik atas penangguhan jatuh tempo untuk debiturnya atas
penangguhan pelunasan hutang.
Selanjutnya, M. Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh (w,1905) yang cukup
terkenal ketika mengomentari makna riba pada ayat-ayat di atas berkata, “partikel’an
dalam istilah riba pada ayat diatas menunjukkan pengetahuan dan keakraban yang berarti
“jangan mengkonsumsi riba yang akrab dengan kalian dan yang biasa kalian praktikkan
pada zaman pra islam.
Saeed mengatakan, konteks ayat-ayat tersebut juga menegaskan aspek moral yang
ditekankan oleh Al-Quran lewat pengharaman riba. Empat belas ayat yang mendahului
ayat terakhir tentang riba sangat menganjurkan “penafkahan” (infaq), menggunakan akar
kata dari istilah infaq dalam keseluruhan empat belas ayat. Penafkahan ini adalah demi
Allah untuk menghilangkan penderitaan orang-orang yang melarat dan orang-orang yang
miskin. Perasaan sipenerima tidak boleh disakiti dengan mengungkit-ngungkit kebaiakan
yang diberikan kepadanya.
2. Hadits
زنية وثالثين ة ست من أشد يعلم وهو جل الر يأكله ربا درهمPenjelasan:
Dari Abdullah bin Handzalah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan ia mengetahuinya, lebih
buruk dari tiga puluh enam kali berzina”. Hadits ini dikeluarkan oleh imam Ahmad
dalam musnadnya (no 22007) dari jalan Husain bin Muhammad haddatsana Jarir bin
Hazim dari Ayyub dari ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin Handzalah”.
Hadits ini menunjukkan bahwa riba adalah dosa yang amat berat, bahkan lebih
berat dari zina 36 kali lipat, padahal zina adalah dosa besar juga. Bahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan riba dan yang memberi
makan dengannya, beliau bersabda:
وموكله با الر وآكل والمستوشمة الواشمة وسلم عليه الله صلى النبي لعن
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato,
dan pemakan riba dan yang memberi makan dengan riba”. (HR Bukhari dari Abu
juhaifah).
Dan terlaknat juga orang yang menulisnya, saksinya dan semua pihak yang membantu
riba.
عن بير الز أبو أخبرنا هشيم حدثنا قالوا شيبة أبي بن وعثمان حرب بن وزهير اح الصب بن محمد حدثنا
لعن قال جابر( مسلم ( سواء هم وقال وشاهديه وكاتبه ومؤكله با الر آكل م وسل عليه ه الل صلى ه الل رسول
“Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan zuhairu ibn harb dan utsmann ibn
abi syaibah mereka berkata diceritakan husyaim dikabarkan abu zubair dari jabir r.a
beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba, wakilnya dan penulisnya, serta
dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka itu sama-sama
dikutuk.” Diriwayatkan oleh muslim.
هم : : وقال وشاهديه وكاتبه وموكله الربا آكل وسلم عليه الله صلى الله رسول لعن قوله
تصريح ) , هذا سواء. : . الباطل على اإلعانة تحريم وفيه عليهما والشهادة المترابين بين المبايعة كتابة بتحريم
أعلم والله
Maksudnya, Rasulullah SAW memohon do’a kepada Allah agar orang tersebut
dijauhkan dari Rahmat Allah. Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan dosa
orang-orang tersebut dan pengharaman sesuatu yang mereka lakukan.
Dikhususkan makandalam Hadits tersebut, karena itulah yang paling umum pemanfaatan
penggunaannya. Selain untuk makan, dosanya sama saja. Yang dimaksud موكله itu
adalah orang yang memberikan riba, karena sesungguhnya tidak akan terjadi riba itu
kecuali dari dia. Oleh karena itu, dia termasuk dalam dosa. Sedangkan dosa penulis dan
saksi itu adalah karena bantuan mereka atas perbuatan terlarang itu. Dan jika keduanya
sengaja serta menngetahui riba itu maka dosa bagi mereka.
Dalam suatu riwayat telah dipaparkan, beliau telah mengutuk seorang saksi
dengan mufrad (tungggal) karena dikehendaki jenisnya. Lalu juga kamu katakan hadits
yang artinya : “ Ya Allah apa-apa yang saya kutuk, jadikanlah dia sebagai rahmat, yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan dalam matan lain ”apa yang saya kutuk maka
memberatkan orang yang saya kutuk itu “, menunjukan keharamannya. Dan tidaklah
dimaksudkann do’a yang sebenarnya yang membahayakan orang beliau do’akan.
Itu jika orang yang dikutuk tersebut bukan yang melakkukan perbuatan yang
diharamkan dan tahu kutukan itu dalam keadaan Rasulullah marah.
مسعود بن الله عبد : رضي عن . مثل ايسرها بابا وسبعون ثالثة الربا م ص النبي عن عنه الله
أمه الرجل ينكح ان( ) وصجيح بتمامه والحاكم فحتصر ماجه ابن رواه المسلم الرجل عرض الربا اربى وان
Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: Riba itu ada 73
pintu. Yang paling ringan diantarannya ialah seperti seseorang laki-laki yang menikahi
ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak kehormatan seorang muslim.
(diriwayatkan oleh ibnu majah dengan rigkas dan olah al-hakim selengkapnya dan
beliau menilainya sahih.
Adapun yang semakna dengan hadits tersebut terdapat beberapa Hadits. Telah
ditafsirkan riba dalam hal merusak nama baik atau merusak kehomatan seorang muslim
sama saling mencaci maki.
Dalam Hadits tersebut disebutkan bahwa riba itu bersifat mutlak terhadap
perbuatan yang diharamkan, sekalipun bukan termasuk dalam bab riba yang terkenal itu.
Penyamaan riba yang paling ringan dengan seseorang yang berzina dengan ibunya
seperti sudah disebutkan tadi karena dalam perbuatan riba itu terdapat tindasan yang
menjijikkan akal yang normal.
. وال مثل اال الذهب التبعوا قال م ص الله رسول ان عنه الله رضى الخدرى سعيد ابي عن
بعض على بعضها تشفوا , بناخر غائبا منها تبيعوا وال بعض على بعضها تشفوا وال بمثل مثال اال لورق با الورق تبعوا وال
( عليه( متفقDari abi Said al-khudari r.a ( katanya): sesungguhnya Rasulullah
bersabda :Jangnanlah kamu menjual dengan emas kecuali yang sama nilainya, dan
janganlah kamu menjual uang dengan uang kecuali yang sama nilainnya, dan
jangganlah kamu menambah sebagian atas sebagiannya, dan jannganlah kammu
menjual yang tidak kelihatan diantara dengan yang nampak. (muttafaq Alaihih).
Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan pengharaman jual emas dengan
emas, dan perak dengan perak yang lebih kurang (yang tidak sama nilainya) baik yang
satu ada di tempat jual beli dan yang lain tidak ada ditempat penjualan berdasarkann
sabdanya “kecuali sama nilaiya”. Sesungguhnya dikecualikan dari itu dalam hal-hal
yang paling umum, seakan-akan beliau bersabda: janganlah kamu jual- belikan emas dan
perak itu dalam keadaan yang bagaimanapu, kecuali dalam keadaan yang sama nilainya
ataupun harganya emas dan perak itu sendiri.
D. ANTARA BUNGA BANK DENGAN RIBA
Persoalan bunga bank merupakan topic yang sering diperdebatkan. Pertanyaannya
adalah apakah bunga bank sama dengan riba? Seperti yang telah disebut di muka, ulama
telah sepakat bahwa riba hukumnya haram. Namun, apakah riba sama dengan bunga bank,
para ulama tampaknya berbeda pendapat.
Salah seorang pemikir ekonomi islam yang cukup produktif, Umar Chapra telah
menyelesaikan perdebatan ini dengan menyatakan, secara teknis riba (bunga) mengacu pada
premi yang harus dibayar peminjam kepada pemberi pinjaman bersama pinjaman pokok
sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Sejalan dengan hal
ini , riba mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai bunga sesuai dengan consensus
ulama fiqih.
Kendati Chaprah telah memberikan kesimpulan bahwa bunga sama dengan riba,
namun tetap saja ada yang tidak sependapat. Untuk menyebut salah satu di antaranya adalah
Muhammad Abduh. Baginya riba yang di haramkan hanyalah riba yang ad’aafan
muda’aafah (berlipat ganda). Abduh membolehkan menyimpan uang di bank dan
mengambil bunganya. Dasarnya menurut abduh adlah yang petama, maslahat mursalah. Kedua,
tabungan dibank bisa mendorong perkembangan ekonomi. Ketiga, tabungan dibank disamakan
dengan konsef kerjasama dalam islam (mudharabah dan musyarakah).
Mengenai alasan bunga yang berlipat ganda saja yang diharamkan, sedangkan tingkat suku
bunga bank yang rendah tidak dipandang riba, didasarkan pada argumentasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Memahami ayat 130 surah Ali_Imran yang telah disebut,
tidak dapat dipisahkan dari ayat riba lainnya ayat terakhir tentang riba telah menegaskan bahwa
tambahan terlepas besar atau kecilnya tetap dilaran. Dengan demikian tidak ada satu ruang pun yang
membedakan antar riba (usuri) dengan bunga (interest) karena keduanya sama-sama
mempersentasekan tambahan atau peningkatan dari pokok modal yang ada.Pada dasarnya riba sangat
bertentangan secara langsung dengan semangat koopertif yang ada dalam ajaran islam. Orang yang
kaya, seharusnya memberikan hak-hak orang miskin dengan membayar zakat dan memberi sedekah
sebagai tambahan dari zakat tersebut islam tidak ingin menjadikan kaum muslimin untuk menjadikan
kekayaannya sebagai alat untuk menghisab darah orang orang miskin. Ada beberapa kejahatan dalam
riba yaitu.10
1. Riba akan meningkatkan rasa tamak, menimbulkan rasa kikir yang berlebihan dan
mementingkan diri sendiri sendiri, karena hati sudah menjadi pemuja uang.
2. Riba akan menimbulkan kebencian, dan permusuhan.
3. Riba dapat mendorong terjadinya penimbunan dan akumulasi kekayaan dan akan
menghambat adanya investasi langsung dalaam perdagangan.
E. Pengaruh Riba dalam Perekonomian
Untuk memahami bagaimana pengaruh riba dalam perekonomian, maka kita harus
mengkaji bagaimana pandangan kalanan non-Muslim tentang riba. Meskipun, kita
menyadari bahwa pandangan mereka jelas sangat berbeda dengan pandangan islam. Namun,
setidaknya kita akan menjumpai berbagai sisi negatif dari praktik ekonomi mereka yang
bersifat ribawi.
Sebenarnya riba senantiasa dikecam diberbagai kesempatan. Hamper semua kalangan
baik kalangan agama, filosof dan penggagas ekonomi Barat semisal Keynes ikut
mengecamnya. Namun, hanya islam yang secara tegas melarang riba dalam segala
bentuknya, sedangkan meraka hanya sepakat menolak usury (mengambil bunga dengan tarif
yang tinggi).
Penolakan mereka terhadap riba belangsung hingga akhir Abad Pertengahan yang
tergambar dari St. Thomas Aquinas pada abad ke-13. Ia berkata, “Mengambil bunga dengan
tarif yang tinggi dari pinjaman uang tidaklah adil, karena hal itu berarti menjual sesuatu
yang tidak ada. Antonius dari Florence mencela usury sebagamana ungkapannya, ‘uang
10Yusuf al-Qardawi, Bunga Bank Haram, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2001 ), h.74-75
bukanlah sesuatu yang dapat memberikan keuntungan dengan sendirinya, tetapi mungkin
dapat memberikan keuntungan melalui perniagaan’.11
Para pakar ekonomi yang biasanya membenarkan bunga secara tegas juga menentang
usury. Seluruh undang-undang perdagangan menegaskan kegunaan suku bunga rendah dan
menghapus suku bunga yang tinggi.12 Sri William Petty mendukung suku bunga rendah dan
mengutuk usury. Sri Josiah Child juga menyukai suku bunga rendah dan mengutuk usury.
Sri Thomas Culpepper menyatakan bahwa suku bunga suku bunga yang tinggi membuat
orang menjadi malas dalam profesinya dan akan menjadi rentenir. Ia juga mengatakan suku
bunga yang rendah dapat meningkatkan hasil-hasil pertanian dan membangkitkan kembali
pabrik-pabrik yang sedang sekarat.13
Namun, hingga sekarang kalang ekonom kapitalis tidak pernah mampu merumuskan
seberapa tingkat bunga hingga dikatakan tingkat bunga yang rendah.14
Para ahli ekonomi semua berpendapat bahwa diantara sebab-sebab utama krisis
ekonomi adalah “bunga yang dibayar sebagai imbalan peminjam modal”.15 Dalam sistem
kapitalis, orang akan tertarik untuk meminjam dari bank untuk memperbesar modal
perusahaan mereka. Bank sendiri lalu akan menaikkan bunga pinjaman.
Oleh karena itu bunga itu terkumpul bersama harta lain dalam bank, sedangkan
perusahaan-perusahaan yang maju harus menyisihkan bagian yang cukup besar dari nilai
produksinya buat membayar bunga dari modal yang dipinjamnya, maka bagian dari bagian
produksi sebesar itu terhenti dari peredaran karena tidak menjadi bagian yang diserahkan
sebagai upah buruh, gaji para maneger, para pegawai kantor maupun untuk para pemegang
saham perusahaan.
Oleh karena mereka merupakan mayoritas kekuatan pembeli dalam masyarakat, maka
dapat kita lihat bahwa nilai bunga (riba) itu mengurangi daya beli masyarakat. Akibatnya,
persediaan barang dan jasa semakin tertimbun. Artinya bunga itu menciptakan krisis over
produksi.16
11 Ismail Yusanto, Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press,2011) hal. 36812 E. Roll, A History Of Economic Theory, hal. 98-10813 G. Cassel, Nature and Necessity Of Interest, hal. 1014 Mannan, Abdul, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam ( Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997), hal.16415 Ismail Yusanto, Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press,2011) hal. 37116 Sulaiman, Abdul Muhsin, Menaggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam,(cet. Ke-10, Bandung: Al Ma’arif, 1985), hal.262
Ketika itulah kita telah sampai kepada lunas terendah dalam siklus ekonomi, atau
kepada apa yang disebut krisis ekonomi. Pada waktu itu, maka harga bunga akan kembali
turun, dan mulailah bermunculan perusahaan-perusahaan baru, sebagai akibat dari
menurunnya harga bunga. Lalu mulailah semakin banyak orang bekerja, dan bangkit kemali
semangat mereka berproduksi sehingga mencapai mencapai puncak siklus ekonomi, yaitu
suasana serba laris yang kedua kalinya.
Krisis yang setiap kali berulang belumlah akibat yang seluruhnya disebabkan oleh
riba. Bahkan ribalah penyebab dari terjadinya peperangan yang dilancarkan oleh berbagai
Negara dengan tujuan penjajahan politik maupun ekonomi, baik itu ‘perang panas’ seperti
perang dunia I dan II maupun ‘perang dingin’ seperti yang pernah berkecamuk belum lama
ini antara blok kapitalis Barat dan blok komunis Timur. Sesungguhnys perang antar kelas
dan revolusi di Rusia dan Cina, yang dilancarkan oleh kaum buruh untuk menghancurkan
kaum kapitalis, karena dianggap kaum kapitalislah yang memegang pengaruh-pengaruh di
masyarakat kapitalis dan feudal, dan merekalah yang menimbun dan memusatkan kekayaan,
itu semua disebabkan oleh sistem ribawi yang dipegang oleh beberapa tangan saja, selain
kesulitan hidup dan kesengsaraan yang dialami olrh kaum buruh.17
Hal yang paling paling banyak mendatangkan kepahitan adalah sistem bunga yang di
buat oleh Amerika. Bahkan mempunyai pengaruh besar terhadap sistem perekonomian di
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Jika kita sedang membicarakan masyarakat yang sedang menerapkan islam secara
menyeluruh, termasuk diantaranya adalah sistem ekonomi, bukan sedang membicarakan
masyarakat dalam konteks sekarang, karena masyarakat sekarang adalah masyarakat yang hidup
berdasarkan sistem kapitalis. Karena itu, di dalamnya tampak bahwa lembaga bank adalah
17 Ibid, hal.263
sesuatu yang urgen dalam kehidupan. Pemilik harta yang mengklaim dirinya bebas dalam
memiliki harta sekaligus bebas untuk mendapatkan harta dengan cara menipu, menimbun,
berjudi, riba dan sebagainya tanpa kendali (pengawasan) dari Negara atau tanpa terikat dengan
undang-undang tentu tidak diragukan bahwa orang-orang semacam ini akan menganggap riba
dan bank sebagai sesuatu yang urgen dalam kehidupan.
Karena itu, sistem ekonomi sekarang harus dirombak dan diganti secara revolusioner dan
menyeluruh dengan sistem ekonomi islam. apabila sistem ini telah dihapus, lalu diterapkan
sistem islam, maka orangpun akan tahu bahwa masyarakat yang menerapakan islam tidak pernah
melihat peraktik riba sebagai sesuatu yang urgen. Sebab, adakalanya orang yang butuh pinjaman
itu memerlukannya untuk sekedar menyambung hidupnya, atau untuk mengelola pertanian,
islam memenuhinya dengan meminjami siapapun yang membutuhkan tanpa disertai dengan riba.
Ibnu Hibban dan Ibn Majah menuturkan hadis dari Ibnu Mas’ud ra. Bahwa Rasulullah saw.
Pernah bersabda yang artinya :
“Tidak seorang muslim pun yang meminjami muslim yang lain dengan suatu pinjaman sebanyak
dua kali, kecuali hal itu seperti sedekah sekali (HR Ibn Majah dan Ibn Hibban).
Jika riba tidak ada maka kebutuhan akan bank yang ada sekarang tentu tidak ada. Baitul
mal sajalah yang akan bertindak untuk meminjami harta tanpa ada bunga sedikitpun setelah
pemanfaatan harta pinjaman tersebut terealisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Hafidz, 2012, Diskursus Islam Politik dan Spiritual, Al-Azhar Press,
Bogor, Cet.I
An-Nabhani Taqiyuddin, 2010, Sistem Ekonomi Islam, HTI Press, Jakarta, 2010, Cet.I
As-Sabatin Yusuf, 2009, Bisnis Islami Dan Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, Al-
Azhar Press, Bogor, Cet.I
Abdullah Saeed, 2004, Menyoal Bank Syri’ah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Neo-
Ravivalois, terj. Arif Maftuhin, Jakarta
Azhari Akmal,2012, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, Cita Pustaka Media Perintis, Bandung,
Cet I
Dwi Suwikyo, 2001, Kompilasi tafsir Yusuf al-Qardawi, Bunga Bank Haram, Akbar
Media Eka Sarana, Jakarta
Muh. Zuhri, 1996, Riba Dalam Al-Qur’an Dan Maslah Perbankan, Rajawali Perss, Jakarta
Rasyid, Sulaiman, 2012, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung
Syafei, Rachmat, 2001, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung
Victoria Adi, 2012, Khilafah The Answer Catatan Ideologis Seputar Dakwah, Syariah
dan Khilafah, Kutlah, Jogjakarta, Cet.I
Yusanto Ismail, Yunus Arif, 2011, Pengantar Ekonomi Islam, Al-Azhar Press, Bogor,
Cet.II.
Recommended