View
10
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
ko
Citation preview
Manifestasi Klinis Difteri
Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien yang pada umumnya dating untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik.
Demam jarang melebihi 38,9o
keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.:
Difteria Hidung
common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau dengan disertai gejala sistemik
ringan.
Secret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen
menyebabkan
lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin
sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat.
Difteria Tonsil Faring
Gejala difteria tonsil-faring adalah
anoreksia,
malaise,
demam ringan, dan
nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yag melekat, berwarna putih kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah
ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan perdarahan.
Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi
bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck.
Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran.
Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi.
Difteria Laring
nafas berbunyi,
stridor yang progresif,
suara parau
batuk kering.
Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan
supraklavikular.
. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas, dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun.
Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra.
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan berbau.
Diagnosis
Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler, Kultur
bakteriologik penting dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis difteri.
Dilakukan pada seluruh pasien suspek difteria dan mereka yang beresiko untuk
berkontak dengan pasien difteria. Spesimen diambil dari hidung dan tenggorokan
(swab nasofaring dan faring).
Pengambilan spesimen untuk kultur sebaiknya secepatnya ketika difteria (pada lokasi
mana saja) telah dicurigai ada, walaupun antibiotik telah diberikan dalam dosis inisial.
Pengambilan spesimen dari membran memberikan hasil yang sama baiknya dari
hidung dan tenggorokan. Jika bisa, swab sebaiknya juga diambil dari balik membran.
Peringatkan laboratorium pada kecurigaan adanya difteria karena isolasi C.
diphtheriae membutuhkan media kultur khusus termasuk tellurite. C. diphtheria dapat
tumbuh pada berbagai selektif media, termasuk agar telurite atau khususnya media
Loeffle, Hoyle, Mueller, dan Tinsdale.
Isolasi C. diphtheriae pada orang yang cenderung berkontak dengan pasien difteri
dapat mengkonfirmasi diagnosis, walaupun jika hasil kulturnya negatif.
Setelah C. diphtheriae diisolasi, ditentukan juga biotipenya: gravis, mitis, atau
intermedius (substrain).
Morfologi dan Sifat Biakan
Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak
berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphtheriae bersifat
anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan
kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan
agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis
dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae
lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini
mudah dimatikan oleh desinfektan.
Penentu Patogenitas
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi
bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri C.
diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat
dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik
dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas
gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan
toxigenesis saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan.
Namun, belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses
penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.
komplikasi difter
Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal
jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal.
Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak,
otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma
otitis media
insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi.
Pengobatan
Netralisasi toksin :
Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada
tahun 1891. Sebelum digunakan harusterlebih dahulu dilakukan test.
Test sensitivitas terhadap antitoxin serum kuda dilakukan dengan cara:
0,1ml dari antitoxin yang telah diencerkan 1:1000 dalam larutan garam, diberikan I.C. dan
diteteskan pada mata. Reaksi dikatakan positif bila dalam waktu 20menit dijumpai erythema
dengan diameter >10mm pada bekas tempat suntikan ,atau pada test mata dijumpai adanya
conjunctivitis dan pengeluaran airmata.
Bila hal ini dijumpai, pemberian dapat dilakukan dengan metoda desensitisasi, Salah satu
cara yang digunakan adalah:
0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi 5acara S.C.
0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara S.C.
0,3 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.
0,5 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.
0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara I.V.
ADS diberikan dengan dosis 40.000u dalam larutan 200ml NaCl fisiologis diberikan perinfus
dan pemberian diselesaikan dalam waktu 30-45menit.
Eradikasi kuman:
Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau
Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan
pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui
suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain
G harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan
600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Pencegahan
menjaga kebersihan diri dan
tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi.,
imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia
2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan
dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak
akan bersekolah.
Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000
unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman yang virulen,
namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan yang memang sanagt gawat.
Recommended