7
Manifestasi Klinis Difteri Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien yang pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.: Difteria Hidung common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau dengan disertai gejala sistemik ringan. Secret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. Difteria Tonsil Faring Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yag melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding

difteri baru

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ko

Citation preview

Page 1: difteri baru

Manifestasi Klinis Difteri

Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien yang pada umumnya dating untuk berobat

setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik.

Demam jarang melebihi 38,9o

keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.:

Difteria Hidung

common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau dengan disertai gejala sistemik

ringan.

Secret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen

menyebabkan

lecet pada nares dan bibir atas.

Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin

sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat

dibuat.

Difteria Tonsil Faring

Gejala difteria tonsil-faring adalah

anoreksia,

malaise,

demam ringan, dan

nyeri menelan.

Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yag melekat, berwarna putih kelabu dapat

menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah

ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan perdarahan.

Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi

bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck.

Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran.

Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.

Page 2: difteri baru

Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral disertai kesukaran

menelan dan regurgitasi.

Difteria Laring

nafas berbunyi,

stridor yang progresif,

suara parau

batuk kering.

Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan

supraklavikular.

. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang

tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.

Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga

Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas, dan terdapat membran pada dasarnya.

Kelainan cenderung menahun.

Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan

membran pada konjungtiva palpebra.

Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan berbau.

Diagnosis

Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler, Kultur

bakteriologik penting dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis difteri.

Dilakukan pada seluruh pasien suspek difteria dan mereka yang beresiko untuk

berkontak dengan pasien difteria. Spesimen diambil dari hidung dan tenggorokan

(swab nasofaring dan faring).

Pengambilan spesimen untuk kultur sebaiknya secepatnya ketika difteria (pada lokasi

mana saja) telah dicurigai ada, walaupun antibiotik telah diberikan dalam dosis inisial.

Page 3: difteri baru

Pengambilan spesimen dari membran memberikan hasil yang sama baiknya dari

hidung dan tenggorokan. Jika bisa, swab sebaiknya juga diambil dari balik membran.

Peringatkan laboratorium pada kecurigaan adanya difteria karena isolasi C.

diphtheriae membutuhkan media kultur khusus termasuk tellurite. C. diphtheria dapat

tumbuh pada berbagai selektif media, termasuk agar telurite atau khususnya media

Loeffle, Hoyle, Mueller, dan Tinsdale.

Isolasi C. diphtheriae pada orang yang cenderung berkontak dengan pasien difteri

dapat mengkonfirmasi diagnosis, walaupun jika hasil kulturnya negatif.

Setelah C. diphtheriae diisolasi, ditentukan juga biotipenya: gravis, mitis, atau

intermedius (substrain).

Morfologi dan Sifat Biakan

Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak

berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphtheriae bersifat

anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan

kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan

agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis

dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae

lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini

mudah dimatikan oleh desinfektan.

Penentu Patogenitas

Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu

1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi

bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri C.

diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat

dalam kolonisasi tenggorokan.

2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik

dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas

gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan

Page 4: difteri baru

toxigenesis saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan.

Namun, belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses

penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.

komplikasi difter

Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal

jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal.

Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak,

otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma

otitis media

insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi.

Pengobatan

Netralisasi toksin :

Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada

tahun 1891. Sebelum digunakan harusterlebih dahulu dilakukan test.

Test sensitivitas terhadap antitoxin serum kuda dilakukan dengan cara:

0,1ml dari antitoxin yang telah diencerkan 1:1000 dalam larutan garam, diberikan I.C. dan

diteteskan pada mata. Reaksi dikatakan positif bila dalam waktu 20menit dijumpai erythema

dengan diameter >10mm pada bekas tempat suntikan ,atau pada test mata dijumpai adanya

conjunctivitis dan pengeluaran airmata.

Bila hal ini dijumpai, pemberian dapat dilakukan dengan metoda desensitisasi, Salah satu

cara yang digunakan adalah:

0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.

0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.

0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi 5acara S.C.

0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara S.C.

0,3 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.

Page 5: difteri baru

0,5 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.

0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara I.V.

ADS diberikan dengan dosis 40.000u dalam larutan 200ml NaCl fisiologis diberikan perinfus

dan pemberian diselesaikan dalam waktu 30-45menit.

Eradikasi kuman:

Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau

Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan

pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui

suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain

G harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan

600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.

Pencegahan

menjaga kebersihan diri dan

tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi.,

imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia

2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan

dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak

akan bersekolah.

Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000

unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman yang virulen,

namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan yang memang sanagt gawat.