View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
DAMPAK PEMBUKAAN HUTAN BAKAU
Dl PESISIR PANTAI TIMUR KABUPATEN LANGKAT
PROVINSI SUMATERA UTARA
Skripsi
Disusun oleh:
MAHYU DANIL
NIM. 2091725/P
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2004
INTISARI
Di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Langkat, wilayahnyasebagian besar merupakan kawasan pesisir terutama pada bagian timur.Penggunaan tanahnya dicirikan dengan hutan rawa ataupun hutan bakau.Namun akhir-akhir ini, kawasan pesisir Kabupaten Langkat, sebagianbesar penggunaan tanahnya berubah dari hutan bakau menjadipertambakan, sehingga dikhawatirkan hutan bakau tersebut menjadirusak.
Masalah dalam penelitian ini meliputi (a) . Bagaimana pembukaanhutan bakau yang terjadi di pesisir pantai timur Kabupaten Langkat, dan(b) Bagaimana dampak dari pembukaan hutan bakau di pesisir pantaitimur Kabupaten Langkat. Tujuan penelitian ini meliputi (a) Untukmengetahui luas, distribusi dan wujud pemanfaatan baru dari tanah pascapembukaan hutan bakau di pesisir pantai timur Kabupaten Langkat, dan(b) Untuk mengetahui dampak dari pembukaan hutan bakau di pesisirpantai timur Kabupaten Langkat ditinjau dari aspek jenis penggunaantanah, sosial ekonomi dan pertanahan.
Penelitian ini dilaksanakan di pesisir pantai timur Kabupaten Langkat,dengan pertimbangan bahwa di lokasi ini telah terjadi praktek pembukaanhutan bakau yang semakin meningkat dan mengancam kelestarianlingkungan serta meresahkan masyarakat. Dalam penelitian ini datadikumpulkan dengan metode survei, dan data-data diolah denganpendekatan deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian meliputi : (a) Luas bakau di kawasan lindung 9 520Ha, yang dibuka seluas 1.981 Ha (20,8%), dan luas hutan bakau dikawasan produksi 35.000 Ha, yang dibuka seluas 25.000 Ha (72%) telahberubah penggunaan tanahnya berupa tambak dan pemanfaatan arang(b) Dampak negatif aspek biotis dari eksploitasi hutan bakau ini adalahsumber makanan bagi ikan, udang dan sejenisnya yang ada disekitarpesisir pantai menjadi musnah. Dampak negatif dari aspek sosial adalahKecemburuan sosial terjadi di sekitar masyarakat pesisir.dan dampaknegatif aspek ekonomi adalah penurunan pendapatan masyarakat secaradrastis dan dampak negatif aspek pertanahan adalah adanya keresahandari masyarakat yang menguasai tanah secara fisik agar permohonan hakyuridisnya dapat segera diproses dan dikabulkan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
INTISARI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
BAB
BAB
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKAPEMIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka
B. Kerangka Pemikiran
C. Anggapan Dasar
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
B. Populasi
C. Jenis dan cara Pengumpulan DataD. Teknik Analisis Data
Halaman
i
ii
iii
v
vi
viii
ix
x
1
5
7
8
16
19
20
20
21
25
BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN LANGKAT
A. Kondisi Fisik Tanah 27
1. Letak, Luas dan Batas 27
2. Geologi, Geomorfologi dan Tanah 313. Iklim 32
4. Topografi 33
5. Hidrologi 33
6. Vegetasi dan Fauna 34
B. Penggunaan Tanah 34
C. Penduduk, Mata Pencaharian dan Sosial 37Ekonomi Kabupaten Langkat
1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan 37Penduduk
2. Mata Pencaharian dan Sosial Ekonomi 39
BABV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATAA. Perubahan Pembukaan Hutan bakau di Pesisir 40
Pantai Timur Kabupaten Langkat
1. Potensi Pesisir Pantai Timur Kabupaten 40Langkat
2. Status dan Luas Hutan Bakau di Pesisir 45Pantai Timur Kabupaten Langkat
3. Distribusi dan Wujud Penggunaan Tanah 52Pasca Pembukaan Hutan Bakau di PesisirPantai Timur Kabupaten Langkat
B. Dampak Pembukaan Hutan Bakau
1. Aspek Biotis
2. Aspek Sosial Ekonomi 683. Aspek Pertanahan -,.
C. Pembahasan Umum 78
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 81B. Saran 83
DAFTAR PUSTAKA
65
65
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Arah kebijaksanaan pembangunan dalam TAP MPR
No.IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004,
di antaranya adalah mengembangkan kebijaksanaan pertanahan untuk
meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil,
transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak masyarakat
setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan
tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.
Sejalan dengan itu, penduduk terus berkembang, baik jumlahnya
maupun kebutuhannya, yang menuntut adanya peningkatan usaha-usaha
pembangunan di segala bidang. Usaha-usaha tersebut pada akhirnya,
langsung atau tidak langsung memerlukan tanah sebagai tempat untuk
melaksanakan pembangunan.
Penyediaan tanah yang tidak didasari pertimbangan-petimbangan
fisik tanah dan keadaan lingkungan, akan mengakibatkan pemborosan
penggunaan tanah dan kerusakan lingkungan, seperti berkurangnya
lahan-lahan subur, meningkatnya pemanfaatan tanah di daerah marginal,
baik di di daerah hulu maupun hilir (daerah pantai) serta pencemaran
lingkungan.
Menurut Arief Budiarsyah (2002; 1), Indonesia merupakan sebuah
dunia yaitu 17.500 pulau dan garis pantai sepanjang 81.781 Km (Garis
pantai Indonesia ini adalah garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah
negara Kanada). Dengan garis pantai yang panjang ini, Indonesia memiliki
wilayah pesisir yang sangat luas. Mengingat wilayah pesisir salah satu
ekosistem yang sangat produktif di perairan laut, maka banyak negara
memusatkan pembangunan pada laut dan di wilayah pesisir (DKP,2002).
Pemerintah Indonesia pada tanggal 7 Mei 1999 menetapkan
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang ini membawa implikasi baru bagi pembangunan di
wilayah pesisir. Bila sebelumnya seluruh wilayah perairan laut Indonesia
berada pada wewenang pemerintah pusat, maka dengan Undang-undang
No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah memiliki wewenang atas sebagian
wilayah perairan laut. Hal ini tentu saja memberikan peluang yang lebih
besar bagi daerah untuk mengelola dan memanfaatkan potensi pesisir
dan kelautannya bagi kesejahteraan daerah. Namun di sisi lain juga
menciptakan kemungkinan eksploitasi sumberdaya hanya untuk memacu
pertumbuhan daerah.
Fenomena yang umum terjadi di kawasan pesisir hutan bakau
{mangrove) pada akhir-akhir ini adalah merosotnya kawasan hutan bakau.
Menurut Susilobudi dalam Hotman Manurung (2002;2), hutan bakau yang
tumbuh dan tersebar di banyak wilayah pantai di berbagai pulau di
Indonesia, dalam masa tiga dekade ini, temyata telah mengalami
hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan hutan bakau mengalami
gangguan.
Lebih jauh Hotman Manurung (2002) menyebutkan bahwa hutan
bakau di Indonesia, pada awalnya banyak tersebar di berbagai wilayah
pesisir seperti di bagian timur pulau Sumatera, pesisir utara Pulau Jawa,
di berbagai kawasan pesisir di Kalimantan, pesisir barat Pulau Sulawesi
dan pesisir Papua (Irian Jaya), sehingga dengan luas total areal hutan
bakau yang mencapai 2.490.185 hektar, maka dapat dikatakan bahwa
Indonesia memiliki hutan bakau terluas di dunia.
Menurut Maskur Riyadi ( 2002,1), pada tahun 1970-an luas seluruh
hutan bakau di Indonesia mencapai sekitar 4,25 juta hektar atau sekitar 30
persen dari seluruh luas hutan bakau dunia, yang mencapai 17 juta
hektar. Namun demikian dari waktu ke waktu, kelestarian hutan tersebut
terus terancam akibat aktivitas manusia, misalnya dilakukan penebangan
liar untuk keperluan kayu bakar dan arang, mengkonversi hutan bakau
menjadi areal pertambakan, untuk keperluan perumahan dan fungsi-fungsi
lainnya yang dinilai sangat mengabaikan ekosistem dan kelestarian
lingkungan.
Di Provinsi Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Langkat,
wilayahnya sebagian besar merupakan kawasan pesisir terutama pada
bagian timur. Penggunaan tanahnya dicirikan dengan hutan rawa, hutan
bakau {mangrove). Namun belakangan ini, kawasan pesisir di Kabupaten
menjadi pertambakan, pertanian dan pemukiman, sehingga dikhawatirkan
hutan bakau tersebut menjadi rusak. Bupati Langkat baru-baru ini,
mengeluarkan surat perintah penghentian pembukaan tambak pada
kawasan hutan bakau di Kabupaten Langkat, karena dikhawatirkan
kawasan pantai semakin rusak yang menyebabkan masyarakat nelayan
dan petani menjadi resah (lihat Lampiran 1).
Dari gambaran tersebut, apabila perubahan penggunaan tanah di
kawasan pesisir terus berlanjut, maka dikhawatirkan hutan bakau yang
mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomis menjadi terganggu.
Menurut Susilobudi dalam Hotman Manurung (2002;4), sebagai fungsi
ekologis hutan bakau mampu menjaga keseimbangan alam serta
berfungsi melindungi sekitar hutan. Secara alamiah, daun-daun yang
berjatuhan ke dalam air merupakan sumber bahan organik yang penting
dalam mata rantai makanan di sebuah sistem kehidupan di perairan,
menjadi rumah bagi berbagai jenis satwa liar, sebagai bumper penahan
abrasi pantai, serta menahan intrusi air laut terhadap cadangan air tawar.
Sebagai fungsi sosial ekonomi, hutan bakau merupakan tempat
kehidupan beberapa satwaseperti udang, kepiting, kerang dan ikan.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian sebagai skripsi dengan judul :
"DAMPAK PEMBUKAAN HUTAN BAKAU Dl PESISIR PANTAI TIMUR
KABUPATEN LANGKAT PROVINSI SUMATERA UTARA"
B. Perumusan Masalah
Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah
pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna tanah dan
pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, hutan bakau dengan
cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis.
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap
habitat hutan bakau bersumber dari keinginan manusia untuk
mengkonversi areal hutan bakau menjadi areal pengembangan
perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain
itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan
eksploitasi berlebihan terhadap hutan bakau. Kegiatan lain adalah
pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan
kontribusi terbesar bagi pengrusakan hutan bakau. Dalam situasi seperti
ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh
lebih besar dari nilai penggantinya.
Dari semua ancaman yang serius bagi hutan bakau adalah persepsi
di kalangan masyarakat umum yang menganggap hutan bakau
merupakan sumberdaya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk
tempat pembuangan sampah atau dikonversikan untuk keperluan lain.
Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi hutan bakau berasal dari
pemikiran bahwa lahan hutan bakau jauh lebih berguna bagi individu,
perusahaan dan pemerintah daripada hanya sebagai lahan yang
maka masa depan hutan bakau Indonesia dan juga di dunia akan menjadi
sangat suram.
Bertitik tolak dari uraian sebelumnya, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pembukaan hutan bakau yang terjadi di pesisir pantai timur
Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.'
2. Bagaimana dampak dari pembukaan hutan bakau di pesisir pantai timur
Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.
Adapun batasan operasional dalam penelitian ini adalah luas,
distribusi, wujud penggunaan tanah dan dampak yang terjadi dari aspek
biotis, sosial ekonomi dan pertanahan.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui luas, distribusi dan wujud pemanfaatan baru dari
tanah mulai tahun 80-an akibat pembukaan hutan bakau di pesisir
pantai timur Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.
b. Untuk mengetahui dampak dari pembukaan hutan bakau di pesisir
pantai timur Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara ditinjau
dari aSDek bintis finsial Pknnnmi riart rwartonohon
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
a. Dari aspek teoritis dapat memberikan informasi yang dipakai
sebagai bahan masukan bagi penelitian yang serupa.
b. Dari segi praktis hasil dari penelitian diharapkan dapat
memberikan masukan yang berguna untuk mengambil langkah-
langkah di bidang pertanahan khususnya dalam hal pengelolaan
pesisir pantai timur Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian di lapangan dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perubahan penggunaan tanah oleh penduduk sekitar dan
pengusaha-pengusaha untuk pembangunan tambak dan
pembukaan hutan bakau untuk dijadikan arang. Diperkirakan
perubahan lahan kawasan hutan lindung sudah mencapai 1.981 Ha
dari total seluas 9.520 Ha dan jenis penggunaan tanah pasca
pembukaan hutan bakau adalah sebagai tambak seluas 600 Ha,
pemanfaatan arang seluas 1.381 Ha sedangkan perubahan lahan
kawasan hutan produksi sudah mencapai 25.300 Ha dari total luas
35.000 Ha, dan jenis penggunaan tanah pasca pembukaan hutan
bakau adalah sebagai tambak seluas 9.500 Ha, pemanfaatan
arang seluas 15.800 Ha.
2. Dampak yang terjadi:
a) Dampak negatif yang ditimbulkan dari aspek biotis di kawasan
hutan bakau adalah kualitas vegetasi bakau yang rendah
82
masa yang lalu, sehingga hutan bakau di kawasan hutan
lindung dan hutan produksi tidak berfungsi optimal sebagai
habitat satwa liar, terutama bagi berbagai jenis burung dan
berdampak negatif dengan hilangnya sumber makanan bagi
mahluk hidup di sekitar hutan bakau seperti udang, ikan,burung.
b) Dampak negatif yang ditimbulkan dari aspek sosial akibat
pembukaan hutan bakau adalah adanya kecemburuan sosial
antar masyarakat dengan masyarakat lainnya, dampak positif
dari aspek ekonomi yakni adanya kenaikan pendapatan dari
masyarakat ketika hutan bakau mulai dibuka namun ketika
perlahan-lahan hutan bakau telah sebahagian besar habis
dibuka maka dampak negatif yang ditimbulkan yakni
pendapatan masyarakat secara drastis mengalami nenurunan.
c) Dampak negatif dari aspek pertanahan yang ditimbulkan
akibat pembukaan hutan bakau adalah sebagai berikut:
1. Bahwa tanah yang dikuasai oleh masyarakat adalah secara
fisik sedangkan secara yuridis tanah tersebut dikuasai oleh
negara.
2. Adanya keresahan dari masyarakat yang mengusai tanah
secara fisik agar permohonan hak yuridisnya dapat segera
diproses dan dikabulkan
83
B. Saran
1. Untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup hendaknya dalam
perubahan tanah hutan bakau menjadi tambak, harus
memperhatikan pola penggunaan tanah yang seimbang (optimal),
dimana seharusnya perubahan tersebut menyisakan tanah hutan
bakau sebagai pelindung agar dampak negatif yang dapat
merugikan masyarakat dapat dihindari.
2. Untuk berhasilnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
di wilayah pesisir diperiukan peraturan perundangan yang tegas,
yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam di wilayah tersebut
yang berwujud Peraturan Daerah .
3. Ditingkatlkan koordinasi lintas sektoral yang melibatkan instansi
terkait di dalam pengambilan kebijakan terutama masalah
penguasaan dan pemilikan tanah kawasan hutan bakau.
4. Diharapkan peran serta pemerintah dalam hal penyuluhan-
penyuluhan pertanahan serta tentang kelestarian lingkungan.
5. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap kawasan pantai yang berguna
untuk penyediaan data dasar bagi perencanaan tanah wilayah
pesisir.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian. Suatu PendekatanPraktek. P.T. Rineka Cipta, Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2003, RencanaPengembangan Strategis Kawasan Pesisir KabupatenLangkat.(tidak dipublikasikan)
Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, 2002, Kabupaten LanakatDalam Anoka.
Badan Pusat Satistik Kabupaten Langkat, 2002, Produk DomestikRegional Bruto Kecamatan di Kabupaten Langkat.
Budiarsyah, Arief, 2002. Mangrove sebagai Alternatif Menceoah AbrasiPantai, Makalah Pengantar Falsafah Sains. Bogor.
Bupati Kepala Daerah Langkat, 1997, Ekspose Bupati Keoala DaerahTingkat II Langkat Dalam Rangka Penjelasan Masalah UsahaPertambakan Udang dan Pelestarian Hutan Bakau di KabupatenLangkat, Disampaikan pada Rapat tanggal 11 Nopember 1997 diMakodam I Bukit Barisan, Medan.
Dahuri, Rokhmin, dkk, 2001, Pengelolaan Sumber Dava Wilavah Pesisirdan Lautan Secara Terpadu Cetakan Kedua, Edisi RevisiPenerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Harsono, Boedi, 2000, Hukum Aoraria Indonesia. Himounan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Djambatan, Jakarta.
1997j Hukum Aoraria Indonesia. Seiarah PembentukanUndanq-Undang Pokok Aoraria. Isi dan PelaksanaannyaDjambatan, Jakarta.
Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Utara, 2001 Materi PengelolaanHutan Pantai SM.Lanokat Timur Laut di Kabupaten LanakatMedan.
Manurung, Hotman, 2002. Perubahan Penggunaan Lahan KawasanPesisir dan Pennarnhnva TorhaHon Q/->oi^i cri^„«. R/l~ !._i
Muin, Abdulrsni dkk, 2000, Hutan Mangrove Sebaoai Qbvek SainsMakalah Pengantar Falsafah Sains, Bogor.
Nuryanto, Agus, 2003, Pendekatan Pemanfaatan Hutan MangroveSecara Lestari, Makalah Pengantar Falsafah Sains, Bogor.
Parlindungan.A.P,1983, Aneka Hukum Agraria, Alumni, Bandung.
2002> Rencana Strateois Pengelolaan Wilavah PesisirKabupaten Langkat
Riyadi, Maskur, 2002, "Pulau-pulau Kecil dan Pesisir Berada DalamTekanan. Media Indonesia (26 Oktober 2002).
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2003, Pedoman PenulisanProposal Penelitian dan Skripsi, Yogyakarta.
Silalahi, S.B, 1982. Penggunaan Tanah dan Faktor-Faktor YanoMempengaruhinva di daerah Pedesaan Propinsi Sumatera Utara
Soemadi, Herutomo, 1997. Kebijaksanaan Tata Ruang dan Tata GunaTanah. Yogyakarta.
Sofyan, 2001. Desentralisasi Pengelolaan Sumber Dava Pesisir dan IantMakalah Pengantar Falsafah Sains. Bogor
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIGUNAKAN
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber DayaAlam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan LingkunganHidup.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana TataRuang Wilayah Nasional.
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang PengelolaanKawasan Lindung.
Recommended