View
192
Download
12
Category
Preview:
Citation preview
LAPORAN KASUS
Terapi Cairan pada Operasi Laparotomi
Oleh:
Erlangga Husada 1061030000
Resti Cahyani 109103000003
Salwa 109103000043
Pembimbing
Dr. Nella Abdullah, Sp.An
KEPANITRAAN KLINIK RSUP FATMAWATI
SMF ANASTESI
PERIODE 28 JANUARI – 22 FEBRUARI 2013
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
BAB I
LAPORAN KASUS1. Identitas
• no RM : 0942922
• nama : Ny. Lili Sumarsih
• usia : 40 tahun
• agama : islam
• alamat : jl. muhidin no 60 cipayung RT/RW 001/002 kab depok jawa barat
• pendidikan terakhir : SLTA
2. Anamnesis
A : tidak ada alergi, maupun asma
M : pasien sudah mendapatkan pengobatan asam mefenamat 3x500mg dan
hemobion 1x1
P : DM (-), hipertensi (-)
L : pasien sudah puasa 6 jam SMRS
E : nyeri perut hebat saat menstruasi sejak 3 bulan yang lalu, dan menstruasi
lebih banyak daripada biasanya, cepat merasa lelah, dan badan menjadi lebih
kurus dari biasanya, hpht 2 januari 2013, pasien mempunyai 4anak, menikah
1x
3. Pemeriksaan Fisik
- keadaan prabedah
• kesadaran : Compos Mentis
• TD : 111/67 mmHg,
• Nadi : 82x/menit,
• suhu : afebris
• BB : 70 kg,
• TB : 160cm
• Gol darah : AB, Rh (+)
• Hb : 9,7g/dl
• CA : -/-
• Status ASA : 2
• Penyulit anastesi : anemia
• Jenis anastesi : general anastesi, dengan ETT 7
• Monitoring EKG lead II, SpO2, IV line, NIBP, urin kateter
- Pemeriksaan Fisik
• Kepala : mata CA -/-, SI : -/- , leher : JVP tidak meningkat
• Dada : jantung BJ I II reg, m(-), g(-); paru vesikuler, rh -/-, wh -/-
• abdomen : supel, datar, hepatomegali (-), splenomegali (-)
• ekstrimitas : akral hangat
- pemeriksaan penunjang
Lab :
4. Laporan Anesthesi Durante Operasi
Jenis anestesi : RA dilanjutkan GA – Intubasi Teknik anesthesia : Intubasi Oral
Sleep Apneu, ETT size 7, cuff (+), oropharyngeal airway (+) Lama anestesi 14.30 –
17.30 WIB Lama operasi : 14.45 – 17.00 WIB
5. Tindakan Anestesi
Awalnya pasien dianastesi spinal dengan fentanyl dan marcain, kemudian setelah 2
jam setelah didapatkan perdarahan yang banyak, pasien di anastesi umum (general
anastesi)
Obat berikut dimasukkan secara intravena:
a. Fentanil 80µg
b. Propofol 20mg
- Pasien diberi oksigen 100% 10 liter dengan metode over face mask
- Pemberian oksigen (preoksigenasi) 100% 10 liter dilanjutkan dengan metode face
mask selama 2-5 menit
- Dipastikan apakah airway pasien paten
- Dimasukkan muscle relaxant atracurium 25mg intravenous dan diberi bantuan
nafas dengan ventilasi mekanik
- Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk
dilakukan intubasi ETT
- Dilakukan intubasi ETT dilakukan ventilasi dengan oksigenasi
- Cuff dikembangkan, lalu cek suara nafas pada semua lapang paru dan lambung
dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan dada mengembang secara simetris
ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilator
- Maintenance dengan inhalasi oksigen 2 lpm, N2O 3 lpm, dan isofluran MAC 1%
- Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tanda-tanda
komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri)
- Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, nafas spontan dan ada reflek-
reflek jalan napas atas, dan dapat menuruti perintah sederhana.
Status Anastesi – keadaan pra bedah
• kesadaran : Compos Mentis
• TD : 111/67 mmHg,
• Nadi : 82x/menit,
• suhu : afebris
• BB : 72 kg,
• TB : 160cm
• Gol darah : AB, Rh (+)
• Hb : 9,7g/dl
• CA : -/-
• Status ASA : 2
• Penyulit anastesi : anemia
• Jenis anastesi : Regional anastesi dilanjutkan GA, ETT no 7,0
• Monitoring EKG lead II, SpO2, IV line, NIBP, urin kateter
Prosedur
• infus : tangan kanan 20
kaki kanan 18
• posisi terlentang
Monitoring
Jam TD (mmHg) Nadi (x/menit) SaO2 Obat-obatan
14.30 110/60 81 99%
14.40 100/60 82 100% Ondansetron 4mg
Milos 2mg
14.50 115/60 83 100%
15.00 90/59 82 100%
15.10 80/45 83 100% Dopamin 4 mg
15.20 120/63 80 100%
15.30 75/47 90 100% Dopamin 4mg
15.40 119/60 78 100%
15.50 90/40 80 100%
16.00 80/60 82 100%
16.10 70/50 90 100% Vascon 0,01 mg
Ketamine 5 mg
16.20 130/40 80 100% Milos 2g
16.30 120/40 79 100%
16.40 80/40 92 100% Ketamine 30 mg
Transamin 1000 mcgit 200
mg
Fentanyl 30 mcg
Propofol 20 mg
Atracurium 20mg
16.50 110/65 80 100% Farmadol 1000 mg
Tramadol 100 mg
17.00 90/60 95 100%
17.10 90/60 95 100%
17.20 90/60 90 100%
17.30 100/60 78 100%
Pemantauan
SpO2 : 100 %
Cairan infus : Asering 1000 cc
Voluven 500 cc
Gelafusin 500 cc
Darah : PRC 750 cc
Jumlah Perdarahan : ± 1600 cc
Urin : ± 200 cc
Pemulihan
Jam TD Nadi
17.30 120/70 86
17.40 120/80 85
17.50 120/80 80
18.00 110/80 88
Selesai Operasi
• Ondansetron 4 mg
• Reverse SA + prostagmin 2:2
• Pasien sadar ekstubasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA2.1. ADENOMIOSIS
Definisi
Adenomiosis adalah pertumbuhan jinak dari endometrium kedalam otot uterus,
terkadang disertai dengan pembesaran (hipertrofi). Adenomiosis lebih sering ditemukan pada
multipara dalam masa premenopause, frekuensi adenomiosis berkisar antara 10-47%.
Gambaran Klinik
Gejala yang paling sering ditemukan adalah menoragia, dismenorea sekunder, dan
uterus yang makin membesar. Kadang-kadang terdapat di samping menoragia,dispareunia
dan rasa berat di perut bawah terutama dalam masa pra haid. Menoragia makin lama makin
banyak karena vaskularitas jaringan bertambah dan mungkin juga karena otot-otot uterus
tidak dapat berkontraksi dengan sempurna karena adanya jaringan endometrium ditengah-
tengah, mungkin juga karena disfungsi ovarium. Dismenorea yang makin mengeras kiranya
disebabkan oleh kontraksi tidak teratur dari miometrium, karena pembengkakan endometrium
yang disebabkan oleh perdarahan pada waktu haid.
Tabel 2.1. presentasi klinis adenomiosis
Tata laksana Adenomiosis
Histerektomi merupakan tatalaksana yang paling tepat untuk adenomiosis.
Histerektomi biasanya dilakukan pada pasien dengan multipara, usia >40 tahun. Namun,
pasien dengan usia muda dan belum memiliki anak, histerektomi merupakan pilihan yang
sulit. Biasanya pasien tersebut diterapi hormonal. Terapi hormonal tidak dapat
menghilangkan adenomiosis tersebut, terapi hormonal hanya menghilangkan rasa sakit.
2.2 TERAPI CAIRAN DAN TRANSFUSI
2.2.1 Penilaian Volume Intravaskuler
Penilaian dan evaluasi klinis volume intravascular biasanya dapat dipercaya, sebab
pengukuran volume cairan kompartemen belum ada. Volume cairan intravascular dapat
ditaksir dengan menggunakan pemeriksaan fisik atau laboratorium atau dengan bantuan
monitoring hemodynamic yang canggih. Dengan mengabaikan metoda yang ada, evaluasi
serial diperlukan untuk mengkonfirmasikan kesan awal dan panduan terapi cairan. Lebih dari
itu, perlu melengkapi satu sama lain, sebab semua parameter tidak langsung, pengukuran
volume nonspesifik, kepercayaan pada tiap parameter mungkin salah.
2.2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik preoperative adalah yang paling dapat dipercaya .Tanda- tanda
hipovolemia meliputi turgor kulit, hidrasi selaput lendir, denyut nadi yang kuat, denyut
jantung dan tekanan darah dan orthostatic berubah dari yang terlentang ke duduk atau posisi
berdiri, dan mengukur pengeluaran urin. Banyak obat yang pakai selama pembiusan, seperti
halnya efek fisiologis dari stress pembedahan, mengubah tanda-tanda ini dan memandang tak
dapat dipercaya periode sesudah operasi. Selama operasi, denyut nadi yang kuat (radial atau
dorsalis pedis), pengeluaran urin, dan tanda tidak langsung, seperti respon tekanan darah ke
tekanan ventilasi yang positive dan vasodilatasi atau efek inotropic negative dari anestesi,
adalah yang paling sering digunakan.
Pitting edema-presacral pada pasien yang tidur atau pada pretibial pada pasien yang
dapat berjalan- peningkatan pengeluaran urin adalah tanda hypervolemia pada pasien dengan
dengan jantung, hepar, dan fungsi ginjal yang normal. Gejala lanjut dari hypervolemia yaitu
tachycardia, pulmonary crackles, wheezing, cyanosis, dan frothy pulmonary secretion.
Tabel 2.2. Tanda-Tanda Kehilangan Cairan (Hipovolemia)
2.2.3 Evaluasi Laboratorium
Beberapa pengukuran laboratorium digunakan untuk menilai volume intravascular
dan ketercukupan perfusi.jaringan Pengukuran ini meliputi serial hematocrits, seperti pH
darah arteri, berat jenis atau osmolalitas urin, konsentrasi klorida atau natrium dalam urin,
Natrium dalam darah, dan creatinin serum, ratio blood urea nitrogen (perbandingan BUN).
Ini hanya pengukuran volume intravascular secara tidak langsung dan sering tidak bisa
dipercaya selama operasi sebab dipengaruhi oleh beberapa variabel dan hasilnya sering
terlambat. Tanda-tanda laboratorium dari dehidrasi yaitu peningkatan hematocrit progresif
acidosis metabolic yang progresif, berat jenis urin >1.010, Natrium dalam urin <10 mEq/L,
osmolalitas > 450 mOsm/kg, hypernatremia, dan ratio BUN- -kreatinin >10:1. Tanda-tanda
pada foto roentgen adalah meningkatnya vaskularisasi paru dan interstitiel yang ditandai
dengan ( Kerly " B") atau infiltrasi difus pada alveolar adalah tanda-tanda dari overload
cairan.
2.2.4 Pengukuran Hemodinamik
Monitoring CVP diindikasikan pada pasien dengan jantung dan fungsi paru yang
normal jika status volume sukar untuk dinilai dengan alat lain atau jika diharapkan adanya
perubahan yang cepat. Pembacaan CVP harus diinterpretasikan nilai yang rendah(< 5 mm
Hg) mungkin normal kecuali jika ada tanda-tanda hypovolemia. Lebih dari itu, respon dari
bolus cairan ( 250 mL) yang ditandai dengan: sedikit peningkatan ( 1-2 mm Hg) merupakan
indikasi penambahan cairan, sedangkan suatu peningkatan yang besar (> 5 mm Hg)
kebutuhan cairan cukup dan evaluasi kembali status volume cairan.. CVP yang terbaca >12
mmHg dipertimbangkan. hypervolemia dalam disfungsi ventricular kanan, meningkatnya
tekanan intrathorakal, atau penyakit pericardial restriktif.
Monitoring tekanan arteri Pulmonary dimungkinkan jika CVP tidak berkorelasi
dengan gejala klinis atau jika pasien mempunyai kelainan primer atau sekunder dari fungsi
ventrikel kanan, kelainan fungsi tubuh; yang juga berhubungan dengan paru-paru atau
penyakit pada ventrikel kiri. Pulmonary Artery Occlusion Pressure (PAOP) <8 mmHg
menunjukkan adanya hypovolemia ,dikonfirmasi dengan gejala klinis; bagaimanapun, nilai
<15 Mm Hg berhubungan dengan pasien yang hipovolemia relative dengan compliance
ventrikel lemah. Pengukuran PAOP >18 mmHg dan biasanya menandakan beban volume
ventrikel kiri yang berlebih. Adanya penyakit katup Mitral (stenosis), stenosis aorta yang
berat, atau myxoma atrium kiri atau thrombus mengubah hubungan yang normal antara
PAOP dan volume diastolic akhir ventrikel kiri. Peningkatan tekanan pada thorak dan
tekanan pada jalan nafas paru terlihat adanya kesalahan; sebagai konsekwensi, semua
pengukuran tekanan selalu diperoleh pada waktu akhir expirasi .
2.2.5 Cairan Intravena
Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi
kedua-duanya. Solusi cairan kristaloid adalah larutan mengandung ion dengan berat molekul
rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat
molekul tinggi seperti protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan oncotic plasma
dan sebagian besar ada di intravascular, sedangkan cairan kristaloid dengan cepat
didistribusikan keseluruh ruang cairan extracellular.
Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid untuk pasien
dengan pembedahan. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga plasma tekanan
oncotic plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume intravascular dan curah
jantung.Ahli yang lain mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan
dalam jumlah yang cukup.
Beberapa pernyataan dibawah ini yang mendukung :
1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid dalam
mengembalikan volume intravascular.
2. Mengembalikan deficit volume intravascular dengan kristaloid biasanya memerlukan
3-4 kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid.
3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami deficit cairan
extracellular melebihi deficit cairan intravascular..
4. Defisit cairan intravascular yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan
menggunakan cairan koloid.
5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan edema
jaringan.
Beberapa kasus membuktikan bahwa, adanya edema jaringan mengganggu transport
oksigen, memperlambat penyembuhan luka dan memperlambat kembalinya fungsi
pencernaan setelah pembedahan.
2.2.5.1 Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien dengan syok
hemoragik dan septic syok seperti pasien luka bakar, pasien dengan trauma kepala untuk
menjaga tekanan perfusi otak, dan pasien dengan plasmaphersis dan reseksi hepar. Jika 3-4 L
cairan kristaloid telah diberikan, dan respon hemodinamik tidak adekuat, cairan koloid dapat
diberikan.
Ada beberapa macam cairan kristaloid yang tersedia. Pemilihan cairan tergantung dari
derajat dan macam kehilangan cairan. Untuk kehilangan cairan hanya air, penggantiannya
dengan cairan hipotonik dan disebut juga maintenance type solution. Jika hehilangan
cairannya air dan elektrolit, penggantiannya dengan cairan isotonic dan disebut juga
replacement type solution. Dalam cairan, glukosa berfungsi menjaga tonisitas dari cairan atau
menghindari ketosis dan hipoglikemia dengan cepat. Anak- anak cenderung akan menjadi
hypoglycemia(< 50 mg/dL) 4-8 jam puasa. Wanita mungkin lebih cepat hypoglycemia jika
puasa (> 24 h) disbanding pria.
Kebanyakan jenis kehilangan cairan intraoperative adalah isotonik, maka yang biasa
digunakan adalah replacement type solution, tersering adalah Ringer Laktat. Walaupun
sedikit hypotonic, kira-kira 100 mL air per 1 liter mengandung Na serum 130 mEq/L, Ringer
Laktat mempunyai komposisi yang mirip dengan cairan extraselular dan paling sering dipakai
sebagai larutan fisiologis. Laktat yang ada didalam larutan ini dikonversi oleh hati sebagai
bikarbonat. Jika larutan salin diberikan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan dilutional
acidosis hyperchloremic oleh karena Na dan Cl yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi
bikarbonat plasma menurun dan konsentrasi Clorida meningkat.
Larutan saline baik untuk alkalosis metabolic hipokloremik dan mengencerkan
Packed Red Cell untuk transfusi. Larutan D5W digunakan untuk megganti deficit air dan
sebagai cairan pemeliharaan pada pasien dengan restriksi Natrium. Cairan hipertonis 3%
digunakan pada terapi hiponatremia simptomatik yang berat (lihat Bab 28). Cairan 3 – 7,5%
disarankan dipakai untuk resusitasi pada pasien dengan syok hipovolemik. Cairan ini
diberikan lambat karena dapat menyebabkan hemolisis.
2.2.5.2 Cairan Koloid
Aktifitas osmotic dari molekul dengan berat jenis besar dari cairan koloid untuk
menjaga cairan ini ada di intravascular. Walaupun waktu paruh dari cairan kristaloid dalam
intravascular 20-30 menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh dalam
intravascular 3-6 jam. Biasanya indikasi pemakaian cairan koloid adalah :
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deficit cairan intravascular yang berat (misal: syok
hemoragik) sampai ada transfusi darah.
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau keadaan dimana
Kehilangan protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien luka bakar,
koloid diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan tubuh atau jika > 3-4 L larutan
kristaloid telah diberikan lebih dari 18-24 jam setelah trauma. Beberapa klinisi menggunakan
cairan koloid yang dikombinasi dengan kristaloid bila dibutuhkan cairan pengganti lebih dari
3-4 L untuk transfuse. Harus dicatat bahwa cairan ini adalah normal saline ( Cl 145 – 154
mEq/L ) dan dapat juga menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik.
Banyak cairan koloid kini telah tersedia. Semuanya berasal dari protein plasma atau
polimer glukosa sintetik. Koloid yang berasal dari darah termasuk albumin ( 5% dan 25 % )
dan fraksi plasma protein (5%). Keduanya dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk
meminimalkan resiko dari hepatitis dan penyakit virus lain. Fraksi plasma protein berisi alpha
dan beta globulin yang ditambahkan pada albumin dan menghasilkan reaksi hipotensi. Ini
adalah reaksi alergi yang alami da melibatkan aktivasi dari kalikrein.
Koloid sintetik termasuk Dextrose starches dan gelatin. Gelatin berhubungan dengan
histamine mediated- allergic reaction dan tidak tersedia di United States.Dextran terdiri dari
Dextran 70 ( Macrodex ) dan Dextran 40, yang dapat meningkatkan aliran darah
mikrosirkulasi dengan menurunkan viskositas darah. Pada Dextran juga ada efek antiplatelet.
Pemberian melebihi 20 ml/kg/hari dapat menyebabkan masa perdarahan memanjang
(Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat juga bersifat antigenic dan anafilaktoid ringan
dan berat dan ada reaksi anafilaksis. Dextan 1 ( Promit ) sama dengan Dextran 40 atau
dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaxis berat.;bekerja seperti hapten dan mengikat
setiap antibody dextran di sirkulasi.
Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat molekul
berkisar 450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi oleh ginjal dan molekul besar
dihancurkan pertama kali oleh amylase. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander
dan lebih murah disbanding albumin.. Lebihjauh, Hetastarch bersifat nonantigenik dan reaksi
anafilaxisnya jarang. Studi masa koagulasi dan masa perdarahan umumnya tidak signifikan
dengan infus 0.5 – 1 L. Pasien transplantasi ginjal yang mendapat hetastarch masih
controversial. Kontroversi ini dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch pada pasien
yang menjalani bypass kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch dengan berat molekul
rendah, sedikit efek tambahannya dan dapat menggantikan hetastarch.
2.3 TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan cairan
normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan darah.
Kebutuhan Pemeliharaan Normal
Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan
cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung,sekresi gastrointestinal,
keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat
diestimasi dari tabel berikut:
Tabel Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan
Berat Badan Kebutuhan
10 kg pertama 4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam
Masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam
Preexisting Deficit
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan
dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam,
perhitingannya (40 + 20 + 50) ml / jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini
dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal. Kehilangan cairan abnormal sering
dihubungkan dengan defisit preoperatif. Sering terdapat hubungan antara perdarahan
preoperatif, muntah, diuresis dan diare.
Penggantian Cairan Intraoperatif
Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit
cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan intraoperative (darah, redistribusi dari
cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur
pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan
adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua
prosedur yang lain Ringer Lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya,
kehilangan darah harus digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara
volume cairan intravascular (normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih
(dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfuse sel darah
merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21 - 24%).
Hb < 7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen tetap normal.
Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang berhubungan dengan jantung
dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah
yang terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4
kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai
dicapai Hb yang diharapkan.
Tabel. Perkiraan Volume Darah Rata-Rata (Average Blood Volumes)
UMUR VOLUME DARAH
Neonates Premature 95 Ml/Kg Full-Term 85 Ml/KgInfants 80 Ml/KgAdults Men 75ml/Kg Woman 65 Ml/Kg
Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan
perkiraan volume darah. Pasien dengan hematocrit normal biasanya ditransfusi hanya setelah
kehilangan darah >10-20% dari volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada
kondisi pasien dan prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang
untuk penurunan hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai berikut:
Estimasi volume darah dari Tabel estimasi volum darah.
Estimasi volume sel darah merah (RBCV) hematocrit preoperative (RBCV preop).
Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume darah
normal.
Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematocrit 30% adalah
RBCV lost = RBCV preop - RBCV 30%.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien kehilangan darah
melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi penurunan hematocrit
hingga 24% (hemoglobin < 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya
darah yang hilang, contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika
kehilangan darah 800 mL.
Tabel. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan
DERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN PENAMBAHAN CAIRAN
MINIMAL (contoh hernioraphy) 0 – 2 ml/Kg
SEDANG ( contoh cholecystectomy) 2 – 4 ml/Kg
BERAT (contohreseksi usus) 4 – 8 ml/Kg
Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut:
1. Satu unit sel darah merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit
2-3% (pada orang dewasa); dan
2. 10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 3g/dL dan
hematocrit 10%.
Menggantikan Hilangnya Cairan Redistribusi dan Evaporasi
Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat manipulasi
dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan. Kehilangan cairan
tambahan ini dapat digantikan menurut tabel di atas, berdasar pada apakah trauma jaringan
adalah minimal, moderat, atau berat. Ini hanyalah petunjuk, dan kebutuhan yang sebenarnya
bervariasi pada masing-masing pasien.
Transfusi Intraoperatif
Packed Red Blood Cells
Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat mengoptimalkan
penggunaan dan pemanfaatan bank darah. Packed Red Blood Cell ideal untuk pasien yang
memerlukan sel darah merah tetapi tidak penggantian volume ( misalnya, pasien anemia
dengan congestive heart failure). Pasien yang dioperasi memerlukan cairan seperti halnya sel
darah merah; kristaloid dapat diberikan dengan infuse secara bersama-sama dengan jalur
intravena yang kedua untuk penggantian volume cairan.
Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati dicek dengan
kartu dari bank darah dan identitas dari penerima donor darah. Tabung transfusi berisi 170-
J.m untuk menyaring gumpalan atau kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda
digunakan untuk mengurangi leukocyte isi untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile
pada pasien yang sensitif. Darah untuk transfusi intraoperative harus dihangatkan sampai
37°C. terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan
hypothermia. Efek tambahan hypothermia dan secara khas 2,3-diphosphoglycerate ( 2,3-
DPG) konsentrasi rendah dalam darah yang disimpan dapat menyebabkan suatu pergeseran
kekiri ditandai hemoglobin-oxygen kurva-disosiasi dan, menyebabkan hipoxia jaringan.
Penghangat darah harus bisa menjaga suhu darah > 30°C bahkan pada aliran rata-rata sampai
150 ml/menit
Fresh Frozen Plasma
Fresh Frozen Plasma ( FFP) berisi semua protein plasma, termasuk semua factor
pembekuan. Transfusi FFP ditandai penanganan defisiensi faktor terisolasi, pembalikan
warfarin therapy, dan koreksi coagulopathy berhubungan dengan penyakit hati. Masing-
Masing unit FFP biasanya meningkatkan faktor pembekuan 2-3% pada orang dewasa. Pada
umumnya dosis awal 10-15 mL/kg. Tujuannya adalah untuk mencapai 30% dari konsentrasi
faktor pembekuan yang normal.
FFP boleh digunakan pada pasien yang sudah menerima transfusi darah masive.
Pasien dengan defisiensi ANTI-THROMBIN III atau purpura thrombocyto-penic thrombotic
dapat diberikan FFP transfusi. Masing-Masing unit FFP membawa resiko cepat menyebar
yang sama sebagai unit darah utuh. Sebagai tambahan, pasien dapat menjadi peka terhadap
protein plasma. ABO-COMPATIBLE biasanya diberi tetapi tidak wajib. Seperti butir-butir
darah merah, FFP biasanya dihangatkan 37°C sebelum transfusi.
Platelets
Transfusi Platelet harus diberikan kepada pasien dengan thrombocytopenia atau
dysfunctional platelets dengan pendarahan. Profilaxis Transfusi trombosit dapat diberikan
pada pasien dengan hitung trombosit 10,000-20,000 oleh karena resiko perdarahan spontan.
Hitung trombosit kurang dari 50,000 x 109/L dihubungkan dengan peningkatan perdarahan
selama pembedahan. Pasien dengan thrombocytopenia yang mengalami pembedahan atau
prosedur invasive harus diberikan profilaxis transfusi trombosit sebelum operasi, hitung
trombosit harus meningkat diatas 100,000 x 109/L. Masing-Masing unit platelets mungkin
diharapkan untuk meningkatkan 10,000-20,000 x 109/L dari trombosit. Plateletpheresis unit
berisi yang sejenisnya enam unit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat diharapkan
pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi dapat meningkatkan perdarahan pada
pembedahan bahkan ketika trombosit normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan
memeriksa masa perdarahan. Transfusi platelet diindikasikan pada pasien dengan disfungsi
trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan.
Komplikasi Transfusi
Komplikasi Imun
Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan sensitisasi donor ke
sel darah merah, lekosit, trombosit atau protein plasma.
Reaksi Hemolytic
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah
yang ditransfusikan oleh antibody resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah
merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah merah.Trombosit
konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting faktor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah
kecil plasma dengan anti-A atau anti-B ( atau kedua-duanya) alloantibodies. Transfusi
dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis intravascular. Reaksi Hemolytic
biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed ( extravascular).
Reaksi Imun Nonhemolitik
Reaksi imun Nonhemolytic adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke
donor lekosit, platelets, atau protein plasma.
Reaksi Febrile (peningkatan suhu)
Reaksi Urtikaria
Reaksi Anafilaksis
Edema Pulmonary Noncardiogenic
Purpura Posttransfusi
Komplikasi Infeksi
1. Infeksi virus Hepatitis
2. Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS )
3. Infeksi Virus Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr
4. Infeksi parasite
5. Infeksi Bakteri
BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien dengan keluhan nyeri perut (dysmenorrhea) dan perdarahan saat menstruasi
yang lebih banyak dari biasanya (menorraghia) menguatkan diagnosis terdapatnya kelainan
pada system reproduksi wanita (uterus), tetapi perlu pemeriksaan lebih lanjut seperti
pemeriksaan fisik dan USG. Pada pemeriksaan fisik ginekologi teraba uterus yang lebih
besar, pada VT didapatkan perdarahan (+), nyeri saat digerakkan.
Menurut kriteria diagnosis adenomiosis, seperti dysmenorrhea, menorraghia, dan
pembesaran uterus dengan factor resiko multipara, usia 45 tahun ke atas menambah kuat
dugaan adenomiosis. Pemeriksaan USG juga didapatkan penebalan myometrium dan terdapat
gambaran seperti kelenjar.
Penatalaksanaan adenomiosis bergantung pada usia dan status paritas pasien, pada
pasien ini dengan p4 dan usia 40 tahun, histerektomi merupakan pilihan penatalaksanaan
adenomiosis yang tepat.
3.1 Preoperative
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre
operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan
terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya
kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di
gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan
pasien secara keseluruhan, dokter anestesi dapat menentukan cara anestesi dan pilihan obat
yang tepat pada pasien. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian
salah identitas dan salah operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi
klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA.
Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan
terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan
tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor
yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila
hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna
dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.
Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan
terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.
Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa
pembedahan.
Pada pasien ini dari anamnesis tidak didapatkan riwayat alergi, dan pasien baru
terdiagnosis adenomiosis sekitar 2 minggu, sehingga medikasi / obat-obatan yang didapat
baru asam mefenamat dan suplemen besi (hemobion), adapun penyakit seperti DM,
Hipertensi, dan penyakit jantung yang dapat menjadi penyulit anastesi juga disangkal. Pasien
mulai dipuasakan 6 jam sebelum operasi sehingga nanti saat pemberian cairan, hilangnya
cairan selama 6 jam juga harus digantikan.
Pemberian cairan perioperatif
Seperti yang sudah disebutkan dalam tinjauan pustaka, bahwa cairan dalam tubuh
manusia terbagi menjadi cairan intraseluler, cairan ekstraseluler dan cairan intravaskuler.
Ketiga komponen cairan ini harus terpenuhi untuk mendapatkan keadaan yang seimbang
sesuai dengan keadaan fisiologis. Pada pasien kali ini, dengan melihat tabel estimasi cairan
tubuh.
Cairan Pria Wanita
Total cairan tubuh 600 mL/kg 500 mL/kg
Whole blood 66 mL/kg 60 mL/kg
Plasma 40 mL/kg 36 mL/kg
Eritrosit 26 mL/kg 24 mL/kg
Wanita,berat badan 70 kg, maka
a. total cairan tubuh 500 x 70 ±35000 ml,
b. Whole blood sekitar 60 x 70 = 4200 ml,
c. Plasma 36x70 = 2520 ml
d. Eritrosit 24 x 70 = 1680 ml
1. Kebutuhan cairan maintenance normal dapat dihitung berdasarkan rumus pada tabel :
Maka kebutuhan cairan maintenance pada pasien wanita BB 70 kg, adalah
40+20+50= 110ml/jam
2. Mengganti cairan yang hilang (saat puasa)
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan
karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.pada pasien ini terapi cairan sebagai pengganti cairan yang hilang
selama 6 jam adalah 660ml/jam.
Pada pasien kali ini dilakukan laparotomy (histerektomi radikal) yang tergolong
operasi besar, sehingga perkiraan cairan yang hilang sekitar (4-8ml) x 70 kg =
(280 sampai 560ml).
Cairan yang dapat digunakan sebagai cairan maintenance adalah cairan kristaloid
(asering, RL) dengan perhitungan perbandingan 3:1, sedangkan cairan maintenance yang
kedua adalah koloid dengan perbandingan 1:1.
TERAPI CAIRAN pada Ny. 40 thn, BB = 70 kg
Maintanance (M) 10 kg pertama x 4 ml10 kg kedua x 2 ml10 kg berikutnya dikali 1
40+20+50 110 ml
Pre Operatif(pengganti puasa/ P)
Lama puasa (jam) x Maintanance
6 x 110 660 ml
Intra Operatif
1 jam pertama M + ½ P + OO (jenis operasi)
110 + 330 + 280= 720 ml
1830 ml1 jam kedua M + ¼ P + O 110 + 165 + 280
= 555 ml1 jam ketiga M + ¼ P + O 110 + 165 + 280
= 555 ml
Berdasarkan perhitungan diatas, cairan yang harus diberikan kepada pasien pada saat
pre operatif sebesar 660 ml. Cairan tersebut bertujuan untuk menggantikan cairan yang hilang
saat pasien puasa selama 6 jam.
Sedangkan untuk kebutuhan cairan selama berlangsungnya operasi sebesar 1830 ml
dalam kurun waktu 3 jam. Cairan yang diberikan dapat berupa kristaloid, koloid, maupun
kombinasi keduanya. Pada pasien ini, diberikan sejumlah cairan sbb:
Kristaloid (Asering) 1000 cc
Koloid (Gelafusin & Voluven) 1000 cc
Jumlah cairan yang diberikan intraoperative sebesar 2000 cc.
Jumlah cairan yang keluar : urin 200 cc + perdarahan 1600 cc = 1800 cc
Balans cairan : 2000-1800 = 200 cc.
3. Menghitung perdarahan
Pada perempuan dg BB 70 kg
Ht pre op : 30 %/dl
Hb pre op : 9,7 g/dl
Ht post op : 29 %
Hb post op : 9,4 g/dl
EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :
EBV = 65 ml/kg x 70 kg
= 4550 mlL
RBCV 30 % = 4550 x 30 % = 1365 mL.
RBCV30% = 4550 x 21 % = 955 mL
Kehilangan sel darah merah pada 30% = 1365 – 955 = 410 ml
ABL (Allowable Blood Loss)/Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 410 mL = 1230 mL.
Pada pasien mengalami perdarahan yang banyak. Hal tersebut terjadi karena adanya
kesulitan saat operasi yaitu adanya perlengketan ketika akan dilakukan histerektomi. Adanya
perlengketan tersebut mengakibatkan semakin lama durasi operasi, dan semakin banyak
darah yang keluar.
Pasien telah kehilangan darah ± 1600 cc, dan ini termasuk kedalam perdarahan kelas
III. Perdarahan kelas III merupakan perdarahan yang sangat banyak. Biasanya pasien akan
mengalami takikardi, takipneu.
Tabel. Klasifikasi Perdarahan
Menentukan jumlah perdarahan yang hilang ketika operasi sangat penting, karena hal tersebut dapat menentukan seberapa banyak cairan yang kita berikan baik berupa kristaloid, koloid ataupun transfuse darah.
Pada pasien mendapatkan tranfusi PRC sebesar 750 cc sehingga kehilangan cairan tersebut dapat terpenuhi dengan pemberian PRC tersebut. Pemberian PRC dapat menggantikan Hb yang hilang saaat perdarahan. Hb sangat penting untuk mengangkut O2 ke jaringan. Pemberian PRC sebesar 10 ml/kgBB dapat menaikan Hb sampai 3 g/dl dan hematocrit sampai 10%.
Untuk menaikan Hb dapat dihitung dengan rumus:
PRC : ΔHb x BB x 4
Pada pasien ini, tidak dapat dihitung seberapa banyak transfuse yang diperlukan untuk menaikkan Hb, karena tidak diperiksanya Hb saat intraoperasi. Dan data yang didapatkan pada pasien adalah Hb setelah operasi.
Hb pre op = 9,7
Hb post op + post transfuse PRC 750 cc = 9,4
Recommended