View
222
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai modus operandi tindak
kecurangan yang diungkap oleh Direktorat Investigasi Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) di Instansi Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah, serta metode deteksi dalam proses audit investigasi tindak
kecurangan tersebut. Tindak kecurangan yang dibahas adalah kasus-kasus kecurangan
atau penyimpangan yang diungkap oleh Direktorat Investigasi BPKP pada tahun 2009
dikarenakan kasus sudah tuntas dalam proses hukum sehingga tidak ada lagi
perkembangan atau tindak lanjut.
Pembahasan pada tindak kecurangan di Instansi Pemerintah diawali dengan
pengelompokan data atas keseluruhan kasus kecurangan yang diungkap oleh Direktorat
Investigasi BPKP yaitu pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset, pengeluaran
anggaran, dan pengelolaan utang. Kemudian pembahasan lebih mendalam mengenai
jenis kecurangan dan modus operandi yang terdapat di tiap 3 kelompok tersebut, serta
metode deteksi yang dilakukan oleh auditor investigasi BPKP. Terakhir adalah
pembahasan atas jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari tindak kecurangan di
Instansi Pemerintah.
Pembahasan pada tindak kecurangan di BUMN dan BUMD diawali dengan
pengelompokan data atas keseluruhan kasus kecurangan yang diungkap oleh Direktorat
Investigasi BPKP yaitu pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset, pengeluaran
anggaran, dan kecurangan pada laporan keuangan. Kemudian pembahasan lebih
mendalam mengenai jenis kecurangan dan modus operandi yang terdapat di tiap
59
kelompok tersebut, serta metode deteksi yang dilakukan oleh auditor investigasi BPKP.
Terakhir adalah pembahasan atas jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari tindak
kecurangan di BUMN dan BUMD.
IV.1 Tindak Kecurangan di Instansi Pemerintah
Berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus kecurangan di Instansi Pemerintah
yang diungkap oleh Direktorat Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap
keuangan dan pembangunan negara, tindak kecurangan di instansi pemerintah secara
garis besar dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kecurangan terhadap
penerimaan anggaran dan pengelolaan asset, pengeluaran anggaran pengadaan barang
dan jasa, serta non pengadaan barang dan jasa (pengeluaran anggaran biaya rutin dan
khusus), dan pengelolaan utang. Yang dimaksud Instansi Pemerintah adalah satuan
organisasi kementerian/departemen, lembaga pemerintah non departemen dan
kesekretariatan lembaga tinggi negara.
BPKP menjelaskan bahwa kecurangan yang terjadi di Instansi Pemerintah dapat
berupa kecurangan dalam penerimaan anggaran baik anggaran pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Kecurangan dalam penerimaan anggaran adalah tindakan yang
mengakibatkan sisi penerimaan keuangan Negara maupun Daerah tidak sepenuhnya
diterima oleh Rekening Kas Negara. Hal tersebut dapat berupa hilangnya
sumber/kekayaan Negara dan penerimaan sumber/kekayaan yang jumlahnya lebih kecil
dari yang seharusnya diterima. Penerimaan Negara berupa penerimaan perpajakan untuk
pajak non migas dan pajak minyak dan gas alam, serta bea dan cukai. Penerimaan kas
untuk Pemerintah Daerah sendiri berupa pendapatan yang berupa pajak daerah dan
60
retribusi. Selain itu, penerimaan keuangan pemerintah juga berasal dari penerimaan
bukan pajak, yaitu dapat berupa pendapatan pertambangan umum dan pendapatan
kehutanan. Penerimaan Negara bukan pajak dapat berupa hasil penjualan atau sewa
aktiva milik Negara/Dearah, penerimaan selisih kurs mata uang asing, dan potongan atau
diskon untuk Negara.
Tindak kecurangan pada pengeluaran anggaran Negara/Daerah meliputi
penyimpangan atas kegiatan pembayaran yang dikeluarkan dari anggaran belanja
pemerintah. Dalam pengeluaran rutin penyimpangan yang sering terjadi adalah
pembayaran ganda, biaya perjalanan fiktif, pengeluaran tanpa bukti pertanggung-
jawaban, pengeluaran tidak sesuai dengan mata anggaran, dan pengeluaran pribadi yang
dibebankan ke pengeluaran Negara. Pada pengeluaran pembangunan penyimpangan
yang terjadi dapat berupa pengadaan barang dan jasa maupun non barang dan jasa.
Penyimpangan tersebut terdapat di seluruh tahapan kegiatan pengadaaan dari tahap
perencanaan yang meliputi kegiatan pembentukan panitia, dokumen pengadaan,
penentuan persyaratan peserta lelang dan pendaftaran, tahap pelaksanaan yang meliputi
pengumuman lelang, penjelasan, dan pembukuan dokumen, hingga tahap penetapan
pemenang lelang. Selain kecurangan pengeluaran anggaran pada pengadaan tindak
kecurangan lainnya dapat terjadi pada dana perimbangan, yaitu kecurangan atas
penentuan alokasi dana, penempatan dana, pengunaan dana alokasi umum.
Pada pengelolaan asset, kecurangan yang terjadi mengakibatkan hilangnya hak
Negara/Daerah yang seharusnya dimiliki menurut aturan yang berlaku atau hak
Negara/Daerah yang diterima lebih kecil dari seharusnya diterima. Kecurangan pada
pengelolaan utang atau pengelolaan pembiayaan defisit anggaran pendapatan dan
belanja Negara berhubungan dengan privatisasi, restrukturisasi perbankan dan pinjaman
61
luar negeri yang seharusnya tidak ada atau yang menyebabkan kewajiban Negara yang
jumlahnya lebih besar.
Berdasarkan data kasus-kasus kecurangan Direktorat Investigasi BPKP di
instansi pemerintah yang diperoleh, jumlah kasus kecurangan yang telah diungkap dan
tuntas dalam perkara hukumnya di instansi pemerintah pada tahun 2009 secara umum
sebagai berikut:
Tabel IV.1
Kecurangan di Instansi Pemerintah
No
KecuranganJumlah Kasus
Jumlah Jenis Kecurangan
Jenis Kecurangan
1. Kecurangan terhadap penerimaan anggaran dan pengelolaan asset
9 3 Skimming, Lapping, Larceny.
2. Kecurangan terhadap pengeluaran anggaran pengadaan barang dan jasa dan non pengadaan barang dan jasa.
24 6 Expense reimbursement schemes, Bid rigging. Pass-through vendors, Billing scheme -Shell company, Check tampering, Billing scheme-personal purchase
3. Kecurangan terhadap pengelolaan utang 1 1 Overstated liabilities
Total 34 10
Tabel diatas menunjukkan bahwa kecurangan paling banyak dan paling sering
terjadi pada pengeluaran anggaran pemerintahan baik untuk pengadaan barang dan jasa,
maupun pengeluaran anggaran belanja rutin pemerintahan atau alokasi dana dari
Pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa selama periode tahun sebelum 2009 kerap
62
terjadi kecurangan-kecurangan yang timbul dari lemahnya pengawasan terhadap
kegiatan pengeluaran anggaran pemerintahan/daerah dibanding pada penerimaan
anggaran dan pengelolaan aset dan pengelolaan utang. Kecurangan berikutnya yang juga
terjadi di instansi pemerintah yaitu pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset
sebanyak sembilan kasus dan pada pengelolaan utang sebanyak satu kasus.
Dari kecurangan yang terjadi di ketiga klasifikasi diatas, variasi kecurangan
paling banyak terjadi di pengeluaran anggaran. Modus operandi yang beragam dilakukan
oleh pelaku untuk mengambil keuntungan dari aktifitas pengeluaran anggaran
pemerintahan, yaitu enam modus operandi kecurangan pada pengeluaran anggaran
pemerintahan. Tiga modus operandi kecurangan dalam penerimaan anggaran dan
pengelolaan aset, dan satu modus operandi kecurangan pada pengelolaan utang.
IV.1.1. Tindak Kecurangan pada Penerimaan Kas Negara dan Pengelolaan Aset
Selama tahun 2009 Direktorat Investigasi Instansi Pemerintah BPKP telah
menyelesaikan pengungkapan beberapa kasus yang berindikasi kecurangan dalam
penerimaan kas negara baik pemerintah pusat maupun daerah. Kasus tersebut juga telah
selesai didalam proses persidangan sehingga tidak ada lagi perkembangan di dalam
proses penyidikan maupun persidangan. Terdapat sembilan kasus yang digolongkan ke
dalam kecurangan pada penerimaan negara dan pengelolaan aset. Dari kesembilan kasus
yang telah diungkap dan selesai di pengadilan selama tahun 2009 tersebut, berikut
adalah tabel pengelompokkan menurut jenis kecurangan yang diklasifikasikan oleh
AFCE dalam tabel IV.2 lampiran 1
63
Berdasarkan kasus-kasus dalam tabel IV.2, empat dari sembilan kasus
merupakan tindak kecurangan Skimming, tiga kasus merupakan tindak kecurangan
Lapping, dan sisanya dua kasus merupakan kecurangan larceny atau penjarahan atas aset
milik negara. Dari kesembilan kasus tersebut, lima kasus terjadi di lingkungan
pemerintah daerah, dan sisanya empat kasus terjadi di KBRI dan Departemen
Pemerintahan.
1. Skimming
Dari data mengenai kasus kecurangan yang terkait dengan penerimaan anggaran
terlihat bahwa penerimaan kas adalah akun yang paling berisiko terjadi kecurangan di
Instansi Pemerintah. Tindak kecurangan yang paling sering terjadi adalah skimming,
dimana pencurian atau penjarahan uang dilakukan sebelum uang tersebut secara fisik
masuk ke perusahaan atau dicatat didalam pembukuan.
a. Modus Operandi
Modus skimming yang terjadi di Departemen Kehutanan pada umumnya
merupakan tindakan pelanggaran kontrak maupun kewajiban yang seharusnya dilakukan
oleh rekanan/perusahaan yang telah mendapat izin dari pemerintah. Berikut adalah
modus operandi pada kasus yang terkait dengan skimming di Departemen Kehutanan:
1) Dalam kasus pelaksanaan program pembangunan kelapa sawit sejuta hektar di
Kalimantan Timur yang diikuti Penerbitan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada
tahun 1999 – 2002 yang tidak sesuai ketentuan, pencurian uang yang terjadi
dilakukan oleh 10 perusahan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang pada
awalnya mengajukan permohonan rekomendasi pembangunan perkebunan
kelapa sawit. Kesepuluh perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajibannya
64
melakukan pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi kepada
Pemerintah. Sepuluh perusahaan tersebut juga tidak melaksanakan kewajiban
membangun perkebunan kelapa sawit. Kerugian negara yang ditimbulkan atas
penjualan kayu oleh 10 perusahaan tersebut, setelah dikurangi jumlah yang
disetorkan ke negara adalah Rp346.823. 970.564,24.
2) Kecurangan pencurian uang lain yang terjadi di departemen kehutanan adalah
dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHKHT) di Kabupaten P-R tahun 2001
sampai dengan 2006. Lima belas perusahaan yang telah diberikan IUPHHKHT
oleh Kadiv Kehutanan Provinsi kab. P-R melakukan pemanfaatan atas kayu
milik negara dengan melakukan penebangan hutan dan menjual kayu tebang
tersebut. Seharusnya dalam pemberian IUPHHKHT lahan yang
digunakan/diberikan adalah lahan yang telah menjadi lahan kosong atau tidak
terdapat pohon berdiameter lebih dari 10 cm dan kurang dari 200 batang per
hektar. Lima belas perusahaan tersebut tidak meyetorkan uang hasil penjualan
kayu milik negara tersebut. Hal ini mengakibtakan negara mengalami kerugian
sebesar Rp1.208.625.819.554,22.
Modus operandi skimming yang dilakukan di lingkungan KBRI terkait dengan
penetapan tarif keimigrasian dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, para
pelaku pada umumnya mencuri dan menggunakan uang tersebut karena adanya
kesempatan dari ketidakjelasan penetapan peraturan mengenai tarif keimigrasian dan
terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat KBRI. Berikut adalah modus
operandi pada kasus yang terkait dengan skimming di KBRI:
65
1) Pada kasus Dugaan tindak pidana korupsi dalam pungutan biaya kawat (telex)
pada kedutaan besar RI di C tahun 2000 sampai dengan 2004, pencurian uang
dilakukan oleh Duta Besar RI untuk C dengan tidak meyetorkan uang pungutan
biaya kawat (telex) dalam tarif keimigrasian ke Kas Negara. Dari kecurangan
tersebut negara mengalami kerugian sebesar ¥10.273.238,47 atau sejumlah
Rp93.371.307.073,75.
2) pada Kantor Konsulat Jendral Republik Indonesia di Kota Kinabalu (KJRI KK)
di T dan kantor penghubung KJRI KK di K-M yang memberlakukan tarif ganda
dalam memberikan pelayanan keimigrasian sehingga merugikan negara.
Pencurian uang yang dilakukan dengan menerapkan tarif tertinggi sebagai dasar
pemungutan biaya jasa keimigrasian di wilayah kota Sr dan Sb oleh Konjen RI
penghubung, lalu menerapkan tarif terendah sebagai dasar untuk menghitung dan
menyetornya ke Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Bendahara KJRI di KK.
Selisih tarif yang diambil oleh oknum KBRI selama periode September 1999
sampai dengan Oktober 2005 adalah senilai RM4.219.830,- atau senilai dengan
Rp11.222.764.479,9
Kecurangan pada penerimaan anggaran negara/derah ini terjadi karena lemahnya
pengendalian di pemerintahan terkait dengan penentuan kriteria perusahaan serta
pengawasan atas pelaksanaan proyek tersebut, selain itu juga lemahnya pengawasan
terhadap implementasi peraturan pemerintah.
b. Metode Deteksi
Untuk pendeteksian tindak kecurangan skimming, metode deteksi yang dilakukan
auditor adalah dengan melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti dokumen yang
terkait seperti kontrak dan peraturan pemerintah. Selanjutnya, auditor investigasi BPKP
66
melakukan perbandingan atas catatan pembukuan penerimaan kas dengan jumlah
perhitungan fisik kas atau jumlah yang terdapat di rekening koran bank. Dalam beberapa
kasus kecurangan dimana perusahaan/rekanan harus menyetorkan uang ke Kas
Negara/daerah, auditor melakukan perhitungan atas kemungkinan (ekspektasi) terhadap
jumlah penerimaan yang akan diterima dan membandingkannya dengan jumlah realisasi
yang didapat. Terakhir, auditor melakukan konfirmasi terhadap pihak independen
seperti bank tentang jumlah uang yang terdapat di rekening. BPKP berkerjasama dengan
Instansi Penyidik (Jaksa & Polisi) untuk pelaksanaan permintaan bukti dan informasi
terkait yang ada di bank, karena penyidik memiliki wewenang untuk meminta barang
bukti.
2. Lapping
Kecurangan yang juga sering terjadi pada penerimaan anggaran negara adalah
lapping, yaitu praktik dimana penerimaan kas disalahgunakan untuk menyembunyikan
penerimaan fiksi. Kecurangan lapping identik dengan penundaan proses penerimaan
atau penyetoran kas sehingga pelaku dapat menggunakan uang tersebut lebih dahulu.
Lapping juga dilakukan dengan melakukan transfer atau pengiriman uang melalui
rekening bank yang seharusnya ke kas umum namun dikirim ke rekening pribadi atau
rekening pihak lain yang diuntungkan.
a. Modus Operandi
Dari kecurangan dalam bentuk lapping yang terjadi di Instansi Pemerintah,
modus yang sering dilakukan oleh pelaku adalah membuka rekening baru yang
digunakan sebagai media untuk menampung uang yang akan diambil dan menutupi
tindak kecurangan. Pelaku tidak melakukan transfer langsung ke rekening pribadi atau
67
orang lain. Dari seluruh kasus yang terkait dengan lapping, selalu terjadi keterlambatan
dalam penyetoran uang penerimaan negara. Berikut adalah modus operandi pada tiap
kasus yang terkait dengan lapping:
1) Pada kasus indikasi penyimpangan hasil pungutan jasa kepelabuhan yang
diterima dari para agen pelayaran dan para pemilik Dermaga Untuk Kalangan
sendiri (DUKS), modus kecurangan lapping yang dilakukan PNS AR dan S
adalah dengan melakukan pembukaan rekening bank milik AR selaku jabatannya
sebagai Kasie Penjagaan dan Penyelamatan dan S selaku Kasie Angkatan Laut
dan Kepelabuhan. Kemudian pelaku tidak menyetorkannya pungutan jasa
kepelabuhan yang semestinya ke rekening Kas Daerah melainkan ke rekening
baru tersebut. Akibatnya negara harus mengalami kerugian sebesar
Rp6.126.626.476,94.
2) Pada kasus dugaan penyimpangan penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) Kabupaten KH Tahun 2001 sampai dengan
2004. Lapping dilakukan oleh Sdr. D yang ditugaskan untuk melakukan
penagihan dan penyetoran atas Penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan dan
Dana Reboisasi dengan memindahkan sebagian penerimaan berupa 48 bilyet giro
dari total 72 bilyet giro ke pihak lain. Kemudian, Sdr. D menyetor kembali 29
bilyet ke kas Daerah, namun sisanya masih dikuasai dan digunakan pihak lain.
Pada akhirnya Sdr. D menerima imbalan atas pinjaman sementara tersebut.
Akibat tindakan tersebut negara mengalami kerugiaan sebesar
Rp7.182.946.846,00.
3) Pada kasus Penyalahgunaan Penerimaan PBB dan BPHTB bagian Kabupaten
dan bagian Provinsi yang dikelola oleh Bupati Kabupaten BT, modus lapping
68
yang dilakukan oleh pelaku berawal dari perubahan nomor rekening Kas Daerah
untuk peneriman PBB dan BPHTB bagian Kabupaten BT. Rekening tersebut
tidak dikelola oleh Bendahara Umum Daerah, sehingga tidak tercatat dalam
APBD baik dalam saldo kas maupun rincian neraca. Kemudian Bupati BT
melakukan pencairan atas rekening tersebut dan melakukan setoran atas sebagian
penerimaan tersebut, lalu sebagian dana yang diambil dari penerimaan kabupaten
BT tanpa mekanisme APBD, serta penerimaan provinsi KT yang sebagian juga
tidak diserahkan. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan adalah Rp
27.537.600.000,00.
Dari modus operandi kasus diatas menunjukkan bahwa pengawasan terhadap
jumlah penerimaan yang harus masuk ke kas negara sangat lemah, tidak adanya sistem
yang mengingatkan atau me-notifikasi waktu penerimaan kas. Di dalam sistem
penerimaan itu sendiri tidak adanya pembagian tugas dan otoritas yang jelas terhadap
penerimaan kas tersebut maupun kepemilikian rekening sebagai akun yang menampung
penerimaan tersebut.
b. Metode Deteksi
Dalam pendeteksian tindak kecurangan lapping, auditor BPKP menggunakan
konfirmasi sebagai kunci dalam pengungkapan. Sebelum melakukan konfirmasi auditor
lebih dahulu melakukan peninjauan terhadap Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dari
kegiatan penerimaan uang dan pencatatan pembukuan sebagai dasar untuk melakukan
konfirmasi. Auditor melakukan perbandingan atas tanggal transaksi didalam pembukuan
dengan tanggal pada slip/voucher maupun SPJ sehingga terlihat apakah terdapat
perbedaan waktu.
69
3. Larceny
Kecurangan penyalahgunaan (misuse) terhadap pengelolaan aset di instansi
pemerintah kerap terjadi di Pemerintah Daerah.
a. Modus Operandi
Kecurangan pada pengelolaan aset milik negara yang terjadi di instansi
pemerintah selalu terkait dengan pihak ketiga diluar pemerintah, modus yang dilakukan
oleh pelaku dengan menjadikan aset negara yang ada sebagai suatu proyek baru, melalui
perbaikan maupun tukar tambah. Pelaku mengambil keuntungan dari proses pembaruan
atau pemindahan aset negara tersebut dan mengambil uang milik negara dengan tidak
melunasi kewajibannya atau dengan menetapkan biaya atas pengeloaan aset yang terlalu
tinggi. Berikut adalah modus operandi pada kasus yang terkait dengan penjarahan aset:
1) Pada kasus pelaksanaan perjanjian kerja sama yang menyimpang dan tanpa
persetujuan DPRD, terdapat penyimpangan atas pembangunan pasar IA milik
pemerintah daerah kota B dimana kerja sama tersebut tanpa persetujuan dari DPRD.
Pada kasus tersebut terdapat perjanjian antara PT. GJW dan Pemerintah Daerah B
tentang kewajiban PT. GWJ untuk membayar kepada pemerintah atas retribusi pasar
IA selama 2 tahun pembangunan pasar tersebut dan kompensasi subsidi pergantian
uang sewa selama 25 tahun, serta melunasi kredit inpres pasar IA setelah bangunan
selesai utuh, namun nyatanya PT. GWJ hanya menyetor ke Kas Daerah sebesar
Rp1.000.000.00,00. PT. GWJ yang ditunjuk untuk mengelola 17 sarana pendukung
pasar IA selama 3 bulan sejak 30 mei 2004 hingga 30 agustus 2004 namun PT. GWJ
mengembalikan pengelolaan tersebut kepada pemerintah daerah kota B pada tanggal
2 juni 2007 dan selama masa itu tidak ada penyetoran ke Kas Daerah. Dari penyalah-
70
gunaan aset pemerintah daerah tersebut, negara harus mengalami kerugian sebesar
Rp7.332.361.516,00.
2) Kasus dugaan tindak pidana korupsi pada kasus Ruislag dan ganti rugi tanah dan
bangunan eks Bupati L tahun 2004 yang merupakan tindakan penjualan aset
pemerintah berupa tanah dengan sistem persetujuan Ruislag (tukar-menukar) dengan
PT. V, sebagai pertukarannya pemerintah kota mendapatkan pembangunan gedung
baru di tempat pemindahan Ibu kota baru Kabupaten LB. Setelah dilakukan kembali
perhitungan atas nilai tanah yang dijual kepada PT. V dan nilai gedung baru yang
dibangun ternyata nilainya tidak sesuai, sehingga negara mengalami kerugian
sebesar Rp36.540.159.818,00.
Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan pemerintah daerah terhadap
pengelolaan aset yang dilakukan oleh pihak ketiga sangat lemah. Hal tersesbut
mengakibatkan timbulnya kecurangan yang merugikan negara, karena tidak adanya
monitoring berkala yang dilakukan instansi pemerintah.
b. Metode Deteksi
Dalam pengungkapan penjarahan atas aset negara, auditor melakukan
pengecekan fisik atas aset pemerintah. Auditor juga melakukan penghitungan kembali
atas aset maupun uang kas, kemudian melakukan perbandingan atas data dalam
pencatatan dengan data hasil penghitungan sendiri tersebut.
IV.1.2. Tindak Kecurangan pada Pengeluaran Anggaran Negara
Tindak kecurangan yang terjadi pada aktifitas pengeluaran anggaran di instansi
pemerintah yang diungkap oleh BPKP berkaitan erat dengan aktifitas pengadaan dalam
bentuk barang dan jasa serta aktifitas non pengadaan barang dan jasa. Didalam aktifitas
71
pengadaan barang dan jasa kecurangan yang kerap terjadi adalah dengan mengarahkan
pemenang tender pada rekenan tertentu, melalui proses pelelangan atau penunjukan
langsung yang tidak sesuai dengan ketentuan, serta kecurangan didalam pembuatan
Berita Acara Pemeriksaan dan atau penerimaan pekerjaan, dan beberapa kecurangan
lainnya.
Tindak kecurangan lainnya yang terjadi dalam pengeluaran anggaran non
pengadaan barang dan jasa adalah penyalah-gunaan dalam penggunaan anggaran dana
yang telah dianggarkan atau dialokasikan kepada berbagai kegiatan di lingkungan
instansi pemerintah.
Kasus kecurangan yang berkaitan dengan proses pengadaan barang dan jasa serta
penggunaan dana anggaran pemerintah yang telah diungkap dan selesai pada tahun 2009
terdapat dua puluh empat kasus. Dari kasus-kasus tersebut, berikut adalah tabel
pengelompokkan menurut jenis kecurangan yang diklasifikasikan oleh AFCE dalam
tabel IV.3 lampiran 2.
Berdasarkan tabel kasus tersebut, terdapat tiga belas kasus yang berkaitan dengan
kecurangan pada aktifitas pengadaan baik dalam bentuk barang maupun jasa, serta
sebelas kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan pengeluaran dana anggaran
pemerintah. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada pengeluaran pemerintahan,
kecurangan sering terjadi pada proses pengadaan. Dari keseluruhan data kecurangan
diatas yang terjadi di instansi pemerintah terkait dengan pengeluaran anggaran
pemerintah kasus kecurangan yang paling banyak terjadi yaitu sepuluh kasus adalah
kecurangan Expense reimbursement schemes. Tiga kasus termasuk kedalam bid rigging.
Lima kasus terkait dengan kecurangan jenis pass-through vendors. Satu kasus termasuk
check tampering atau pemalsuan cek. Dua kasus termasuk Billing Scheme – shell
72
company atau perusahan fiktif. Tiga kasus termasuk dalam Billing scheme – Personal
Purchase. Dari keseluruhan kecurangan pengeluaran anggaran di instansi pemerintah 13
kasus terjadi di pemerintah daerah dan sisanya di berbagai departemen pemerintah di
pusat maupun daerah.
1. Expense reimbursement schemes
Expense reimbursement schemes merupakan kecurangan yang terkait dengan
pembayaran biaya atau beban yang disalahgunakan. Terdapat sebelas kasus yang terkait
dengan kecurangan dengan skema pembayaran beban atau biaya. Expense
reimbursement schemes juga terdiri dari beberapa kecurangan yaitu mischaracterized
expense, yaitu kesalahan dalam karakterisasi pengeluaran, overstated expense yaitu
pengeluaran yang ditinggi-tinggikan, fictious expense, yaitu pengeluaran fiksi atau palsu,
dan multiple reimbursement, yaitu pembayaran yang berlipat.
a. Modus Operandi
Pada kecurangan expense reimbursement scheme di Instansi pemerintahan
modus yang dilakukan pelaku dengan meninggikan jumlah biaya pengeluaran atas
kegiatan-kegiatan khusus, seperti pengadaan, permohonan bantuan dana,
penyelenggaraan pertemuan atau seminar dan juga membuat pengeluaran fiktif. Untuk
mempertanggungjawabkannya pelaku membuat SPJ palsu dengan kerjasama dengan
pihak ketiga atau rekanan. Pelaku juga cenderung akan menyebarkan
penerimaan/pembayaran atas beban/biaya tersebut ke beberapa rekening pihak lain,
sehingga sulit untuk diawasi. Berikut adalah modus operandi dari kasus yang terkait
dengan expense reimbursement scheme:
73
1) Pada kasus penggunaan tenaga ahli yang tidak sesuai dengan kontrak dalam
pengadaan jasa Kegiatan Penyusunan Rencana Tata Kota 4 wilayah Kecamatan
Kabupaten L Tahun 2006 merupakan overstated expense. Modus operandi yang
dilakukan dengan meninggikan jumlah biaya tenaga ahli. Pekerjaan penyusunan
laporan Rencana Tata Ruang Wilayah untuk 4 kecamatan di Kabupaten L
diberikan kepada CV C, kemudian dalam pelaksanaan jumlah tenaga ahli dan
asisten tenaga ahli yang digunakan lebih sedikit dibandingkan jumlah menurut
kontrak dan tidak diketahui spesifikasi keahliannya. Selisih pembayaran tersebut
menimbulkan kerugian negara sebesar Rp402.814.699,00.
2) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dan adanya
Laporan Perkembangan fiktif dalam pembangunan gedung rawat inap kelas III
RSUD Soe pada Kabupaten TTS provinsi NTT tahun anggaran 2007 merupakan
tindak kecurangan overstated expense. Modus operandi yang dilakukan adalah
dengan memberikan laporan palsu atas pekerjaan pembangun gedung. PT AS
sebagai rekanan dalam pembangunan gedung rawat inap kelas III RSUD Soe
memiliki jangka waktu kontrak yang berakhir pada 30 Deccember 2007.
Berdasarkan laporan bulanan konsultan pengawas sampai dengan akhir masa
kontrak, realisasi fisik pekerjaan baru mencapai 8,72%, namun untuk
mengamankan anggaran panitia FHO dan FHO membuat berita acara
pemeriksaan penyelesaian pekerjaan 100%. Berdasarkan dokumen terkait sisa
dana sebesar Rp1.637.799.520,00. sebesar Rp1.522.902.870,00 setelah dikurangi
retensi kontrak dicairkan dari Kas Daerah ke rekening rekanan, kemudian
ditransfer kembali ke rekening penampung milik RSUD Soe dan lalu ditransfer
kembali ke rekanan sebesar Rp 1.408.006.220,00. Hasil pemeriksaan fisik oleh
74
para ahli ada kekurangan pekerjaan senilai Rp65.075.187,00 yang menjadi
kerugian negara.
3) Pada kasus penyimpangan pada pengadaan tanah untuk perluasan Waduk/Situ
Bambon di Kelurahan Kelapa Dua Wetan kecamatn C Kotamadya JT tahun
anggaran 2006 merupakan tindak kecurangan fictious expense. Modus operandi
yang dilakukan oleh Pengelola Anggaran dalam Panitia Pengadaan Tanah (P2T)
Kotamadya JT dengan menyusun daftar nominatif fiktif dalam rangka realisasi
pembayaran ganti rugi tanah untuk perluasan waduk. Dalam merealisasikan
pembayaran Pengelola Anggaran tidak melaksanakan pembayaran sesuai dengan
nama dan nilai pembayaran yang tertera dalam daftar nominatif yang dibuat dan
pelaksanaan realisasi pembayaran tidak disaksikan oleh P2T. Terdapat
pembayaran diluar kantor Suku Dinas PU tata air Kotamadya JT dan
merealisasikan pembayaran kepada pihak-pihak yang tidak berhak. Akibat
tindakan tersebut negara mengalami kerugian sebesar Rp17.984.545.800,00.
4) Pada kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi pada proyek penanggulangan bencana
alam provinsi B tahun anggaran 2007 merupakan tindak kecurangan overstated
expense. Modus operandi yang dilakukan Dinas PU Provinsi B dengan
mencairkan dana dari Kas Daerah sebesar Rp7.836.453.693,00 dan dimasukkan
kedalam rekening Dinas PU dalam rangka penyediaan dana untuk pekerjaan
penanggulangan bencana alam. Pekerjaan tersebut dibagi dalam 12 paket dan
dilaksanakan oleh seluruh rekanan tanpa ada ikatan kontrak lebih dulu. Pencairan
dana dari rekening dinas untuk pembayaran rekanan dilakukan dengan cek atas
nama rekanan yang ditanda-tangani oleh PNS 1 dan PNS 3. Namun ternyata
jumlah yang benar-benar dibayarkan kepada rekanan hanya sebesar
75
Rp4.268.397.554,00 sehingga sisanya tidak dibayarkan ke rekanan dan tidak
jelas pertanggungjawabannya. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari
kecurangan tersebut adalah sebesar Rp2.712.084.489,00.
5) Pada kasus perubahan belanja stimulan menjadi dana talangan pada APBD Kota
B tahun 2004/2005 merupakan tindak kecurangan mischaracterized expense.
Belanja stimulan merupakan pos belanja dalam APBD pemda Kota B. Belanja
stimulan untuk merelokasi 1930 PKL yang tersedia dalam APBD tahun anggaran
2004/2005 dalam pelaksanaanya dirubah menjadi dana talangan (pos
pembiayaan) dengan cara memberikan pinjaman kepada pengelola PKL (CV
UM) untuk menyewa gedung dari pihak ketiga seharga Rp 2,5 M selama 5 bulan.
Pengelola berhak menarik uang sewak lapak dari PKL dengan tarif yang
ditentukan oleh pengelola, dan pada akhir masa sewa CV UM wajib
mengembalikan dana talangan tersebut. Kenyataannya dana talangan tersebut
tidak pernah dikembalikan oleh CV UM ke kas daerah. Akibat dari tindak
kecurangan ini negara mengalami kerugian sebesar Rp2.500.000.000,00.
6) Pada kasus penyalahgunaan Silpa (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran) tahun
2002-2007 untuk investasi ke pihak III dan dana tidak kembali ke pemerintah
merupakan tindak kecurangan mischaracterized expense. Modus operandi yang
terjadi bermula dari adanya tujuan untuk memperoleh Penerimaan Asli Daerah
yang lebih tinggi. Dana dari kas daerah yang belum digunakan sebesar
Rp86.093.000.000,00 ditempatkan dalam bentuk deposit on call (DOC) di Bank
B agar mendapatkan bunga lebih tinggi. Namun, realisasinya dana tersebut
diinvestasikan ke PT. SAF dan atau PT SAU dengan perantara Bank B, dimana
bentuk investasi dan prosedur investasi tidak transparan dan tidak sesuai dengan
76
undang-undang yang berlaku. Dana tersebut dikembalikan lagi oleh PT SAU
sebesar Rp42.343.000.000, namun ada indikasi kuat oknum pejabat Pemkab S
dan Kepala Cabang Bank B serta pihak ketiga menerima hasil keterkaitan
penempatan dana di PT SAF dan PT SAU sebesar Rp7.244.329.729,00 dan
akibatnya negara mengalami kerugian sejumlah tersebut.
7) Pada kasus Penyalahgunaan anggaran Belanja Makan-Minum Sekretaris Daerah
Kabupaten M tahun anggaran 2008 merupakan tindak kecurangan
mischaracterized expense. Modus operandi yang dilakukan bendahara
pengeluran Sekretaris Daerah Kabupaten Kota M dengan mencairkan dana
sebesar Rp4.258.190.950,00 yang telah dipergunakan dan
dipertanggungjawabkan dalam SPJ. Atas SPJ tersebut diantaranya sebesar
Rp481.592.000,00 dilangkapi bukti yang sah, sedangkan sisanya merupakan
pengeluaran yang tidak benar. Dari tindakan tersebut negara mengalami kerugian
sebesar Rp3.776.598.950,00.
8) Pada kasus dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah Kota B tahun
2006 merupakan tindak kecurangan fictious expense. Sdr. I melakukan modus
kecurangan dengan pencairan dana Kas Daerah Kota B yang tersimpan di dua
bank sebesar Rp18.744.061.686,00. Sdr. I menerbitkan cek tunai yang ditanda-
tangani Sdr. I sebanyak 19 kali senilai Rp9.212.802.600,00 dan pemindahan
buku dengan surat perintah Sdr. I dari rekening Kas Derah ke Rekening pihak
lain atau rekening pribadi sebanyak 11 kali sebesar Rp 9.531.259.286,00. Untuk
mempertanggung-jawabkan penggunaan dana sebesar Rp 18.78.813.607,00
tersebut maka Sdr. I dibantu pejabat dan pegawai pemerintah Kabupaten B serta
pihak ketiga membuat rekayasa pembuatan bukti-bukti pengeluran seolah-olah
77
dana tersebut digunakan untuk kegiatan bantuan bibit tanaman dan biaya tanam
untuk kelurahan se-kota B, pembuatan taman kota B, pembangunan dan
rehabilitasi gedung sekolah, pengadaan kendaraan dinas roda empat,
pemeliharaan jalan provinsi dan kota, pengadaan tanah, penadatan dan
pematangan tanah lokasi gedung kantor, dan proposal bantuan. Dari tindakan
yang dilakukan pihak-pihak yang ingin menguntukan diri sendiri dan orang lain
tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp18.744.061.686,00.
9) Pada kasus pertanggungjawaban penggunaan dana untuk biaya pengurusan dana
perimbangan dan biaya pengurusan bantuan bus tidak didukung bukti yang sah
merupakan tindak kecurangan fictious expense. Pada kasus tersebut terdapat
anggaran belanja untuk pihak ketiga – Biaya Jasa Tenaga Kerja Non Pegawai
yaitu berupa biaya pengurusan dana perimbangan ke pusat sebesar Rp
1.081.319.008,00 dan biaya pengurusan Bus subsidi BBM sebesar Rp
60.000.000,00 yang disalahgunakan. Pemegang Kas BPKD Kabupaten X Sdr N
dengan diketahui dan disetujui oleh Sdr k mengajukan Surat Permintaan
Pembayaran kepada Bupati X. selanjutnya dikeluarkan SPMU untuk penyetujuan
SPM tersebut, dan kemudian atas dasar SPMU tersebut Sdr N mencairkan dana
secara tunai dan bertahap di Kas Kabupaten Daerah X di Bank A. uang tersebut
kemudian diserahkan ke kepala BPKD yaitu Sdr K. Penggunaan dana oleh
saudara K terjadi sejak januari 2004 sampai dengan November 2004, yaitu
sebanyak 25 kali. Dalam bukti pengeluaran kas tersebut pada bagian penerima
uang ditandatangani oleh Sdr K. Bukti ini kemudian dipertanggungjawabkan
sebagai pengeluaran definitive tanpa disertai rincian pengeluaran dan bukti
78
pendukung pengeluaran lainnya yang sah. hal ini menimbulkan kerugian negara
sebesar Rp 1.141.319.088,00.
10) Pada kasus pemotongan Dana Bantuan Sosial melaui anggota dewan merupakan
tindak kecurangan overstated expense. Modus operandi yang terjadi yaitu
pemerintah daerah JB memberikan bantuan sosial kepada organisasi masyarakat
yaitu kepada mesjid dan pondok pesantren, dan sebelum menerima bantuan
tersebut organisasi masyarakat calon penerima mengajukan prosposal terlebih
dahulu. Dalam pelaksanaanya dana bantuan sosial tersebut tidak diterima secara
utuh dan sebagian besar digunakan oleh anggota DPRD untuk konstituennya dan
untuk kepentingan pribadi. Jumlah bantuan yang disalahgunakan dan menjadi
kerugian negara adalah sebesar Rp 1.475.012.000,00.
Dari kesepuluh modus operandi tersebut membuktikan bahwa dalam aktifitas
pengendalian tidak adanya peraturan khusus yang menetapkan prosedur pembayaran
atas beban atau pengadaan barang dan jasa, serta dalam penilaian risiko instansi
pemerintah masih lemah, karena tidak ada penilaian yang lengkap dan teliti terhadap
harga maupun rekanan. Di instansi pemerintah juga tidak terdapat control antar
pembukuan, karena biasanya dalam instansi pemerintah hanya ada satu pembukuan
(single journal).
b. Metode Deteksi
Dalam mengungkap kasus yang terkait dengan expense reimbursement scheme,
auditor investigasi mengandalkan konfirmasi sebagai bukti yang kuat. Auditor akan
melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait atas aktifitas dan jumlah biaya yang
sebenarnya terjadi. Auditor cenderung lebih percaya dengan konfirmasi karena pada
dokumen pembukuan dan SPJ biasanya pelaku telah melakukan rekayasa, sehingga dari
79
segi pencatatan akuntansi akan terlihat betul semua. Auditor sebelumnya melakukan
penelusuran terhadap dokumen terkait dan slip/voucher atas transaksi untuk mengetahui
jumlah uang dan pihak-pihak yang terlibat.
2. Bid rigging
Bid rigging, merupakan tindak kecurangan dimana para pegawai/pejabat dengan
sengaja membantu vendor untuk memenangkan sebuah kontrak atau proyek pengadaan.
Vendor atau rekanan biasanya telah menerima informasi terlebih dahulu dari pihak
dalam yaitu pegawai/pejabat tentang proyek pengadaan tersebut, sehingga mereka
melakukan kolusi dalam proses penunjukan pemenang rekanan hingga proses akhir
pelaksanaan proyek tersebut.
a. Modus Operandi
Dari ketiga kasus yang terkait dengan bid rigging di instansi pemerintah, modus
operandi yang dilakukan pegawai/pejabat pemerintahan dengan tetap melakukan proses
pelelangan secara umum seperti yang diatur dalam peraturan, namun proses tersebut
hanya rekayasa. Mereka sudah menyatakan dan menunjuk pemenenang pengadaan
sebelumnya dan membuat data-data atau dokumen palsu tentang proses pelelangan
tersebut. Dalam proses lelang, harus ada pembandingan dari 3 sumber yang lain selain
rekanan yang akan ditunjuk, tetapi biasanya para rekanan sudah melakukan rekayasa
atas data 3 sumber tersebut, sehingga dia pasti dimenangkan. Berikut adalah modus
operandi kasus yang terkait dengan bid rigging:
1) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran
V 80 ASM yang menggunakan dana APBD Provinsi R tahun Anggaran 2003,
modus operandi yang dilakukan PT. IS sebagai rekanan yang ditunjuk secara
80
langsung oleh Gubernur R yang pada awalnya telah diberitahu oleh Dirjen
OTODA untuk menganggarkan pengadaan mobil kebakaran dalam APBD. Hal
ini merupakan bid rigging karena gubernur R secara sengaja langsung
memenangkan PT. IS dalam proyek pengadaan tanpa proses pelelangan umum
yang telah ditetapkan didalam peraturan pemerintah. Pada akhir proyek
pengadaan, tim tenaga ahli dari ITB melaporkan dalam Laporan Pemeriksaan
Fisik dan Teknis bahwa harga yang ditetapkan oleh PT. IS terlalu tinggi, hingga
mengakibatkan kerugian yang dibebankan ke negara/daerah sebesar
Rp4.719.020.005,00.
2) Pada kasus dugaan pengadaan tinta Pemilu Legistlatif tahun 2004 di KPU,
modus yang dilakukan oleh panitia pengadaan di KPU adalah dengan
memenangkan delapan perusahaan yang menjadi rekanan pengadaan tinta sidik
jari untuk Pemilu. Dalam proses pelelangan tidak ada bukti dokumen tertulis
mengenai evaluasi prakualifikasi yang sebelumnya diumumkan oleh Ketua
Divisi Logistik KPU untuk diadakan proses prakualifikasi. Terjadi pula selisih
nilai pembayaran pengadaan tinta antara jumlah yang tertera di kontrak dengan
jumlah yang dinegosiasikan. Karena hal tersebut negara mengalami kerugian
sebesar Rp1.382.367.515,00.
3) Pada kasus dugaan tindak pidana pengadaan obat-obatan dan alat kesehatan di
Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan tahun 2007, modus yang dilakukan
oleh pelaku adalah dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan dan Penerimaan
Barang yang tidak benar. Dalam proses pelelangan pantia langsung menunjuk
PT. HM sebagai rekanan pengadaan obat-obatan dan alat kesehatan melalui
rekaya dan membuat beberapa dokumen bagian dari proses pelelangan setelah
81
tanggal proses pelelangan. Panitia hanya menandatangani dokumen-dokumen
pengadaan yang dibuat oleh YA dan tidak ada Berita Acara Hasil Evaluasi
Penawaran. Pada pelaksanaanya PT. HM juga tidak memenuhi kewajibannya
sesuai dengan yang tertera di kontrak. Tindakan kecurangan ini menyebabkan
kerugian negara sebesar Rp1.460.893.120,00.
Dalam tahapan pembayaran proyek pengadaan, negara selalu membayar lebih
tinggi dari nilai yang tertera di kontrak maupun lebih tinggi dari nilai wajar, yang pada
akhirnya menimbulkan kerugian bagi negara. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian
terhadap pelaksanaan pengadaan sangat lemah. Walaupun sudah ada ketetapan yang
mengatur bahwa proyek pengadaan harus dengan proses pelelangan didalam penetapan
perusahaan yang menjadi rekanan, namun dalam pelaksanaanya masih ada instansi
pemerintah yang menunjuk langsung rekanan atau dengan merekayasa proses
pelelangan. Hal ini timbul karena adanya konflik kepentingan antara pegawai/pejabat
pemerintahan dengan perusahaan yang menjadi rekanan.
b. Metode Deteksi
Dalam pendeteksian bid rigging, auditor investigasi melakukan konfirmasi ke
para peserta lelang umum dan melakukan wawancara terhadap peserta yang kalah.
Auditor melakukan penelaahan terhadap berita acara dalam proses pelelangan, dan
melihat apakah terdapat hal-hal yang ganjil atau yang menjadi indikasi kecurangan.
Dalam penunjukkan langsung, auditor akan melakukan perbandingan perjanjian
kerjasama dengan peraturan pemerintah apakah sesuai atau tidak. Penunjukkan langsung
bisa dilakukan apabila barang yang ingin diadakan merupakan barang yang spesifik, hal
tersebut yang harus diyakinkan oleh auditor apakah barang tersebut spesifik, dengan
82
melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang paham atau mengerti dengan barang
tersebut.
3. Pass-through vendors
Pass-through vendors adalah kecurangan dimana vendor mengirimkan barang
yang dipesan tetapi harga yang dibayar terlalu tinggi. Pelaku membuat perusahaan semu
untuk menipu karyawan agar membayar sejumlah barang atau jasa yang dipesan dan
kelebihannya diambil untuk pelaku
a. Modus Operandi
Modus operandi yang cenderung dilakukan pelaku adalah dengan membuat
perusahaan semu untuk memenangkan proyek kemudian menyerahkan proyek yang
akan ditangani ke perusahaan lain dibandingkan harus membuat perusahaan semu lalu
mengerjakan proyek tersebut sendiri dan mengambil keuntungan. Pelaku membuat
perusahaan semu (bayangan) atau perantara dan mengambil imbalan dari selisih harga
yang ditetapkan ke instansi pemerintah dengan harga yang mereka ambil dari pihak lain.
Hanya satu kasus yang melakukan modus operandi dengan membuat perusahaan semu
lainnya untuk kepentingan administratif. Pada dasarnya perusahaan yang melakukan
tindak kecurangan pass-through vendor tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
proyek pengadaan karena bukan dibidangnya, namun mereka telah menyiapkan
perusahaan cadangan untuk mengerjakan proyek tersebut. Biasaya perusahaan yang
mendapatkan proyek merupakan perusahaan-perusahaan kecil.
Tindak kecurangan perusahaan semu ini sering terjadi di lingkungan instansi
pemerintah. Banyak pegawai yang berkolusi dengan pihak ketiga untuk membuat
perusahaan palsu agar bisa mendapatkan proyek pengadaan tersebut. Biasanya ada
83
seorang makelar yang bisa memberikan nama-nama perusahaan, sesuai dengan yang
diinginkan oleh pelaku. Makelar tersebut mengambil dan menyalin data-data atau
dokumen dari berbagai perusahaan yang ada dan diikutsertakan dalam pelelangan tanpa
sepengetahuan perusahaan tersebut. Berikut adalah modus operandi tiap kasus yang
terkait dengan pass-through vendor:
1) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pekerjaan pembangunan jembatan pada
Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten PB tahun anggaran 2007, modus operandi
yang dilakukan adalah dengan melakukan pemindahan pemegang proyek dari
semula PT BS menjadi AS yang kemudian diserahkan lagi ke WBA. Oleh WBA
pekerjaan tersebut diberikan lagi ke CV PBP dan D2. Menurut Kepala Dinas
Kimpraswil pekerjaan tersebut adalah milik AS, kemudian PT BS setuju untuk
memberikan proyek tersebut kepada AS dengan ganti rugi pengurusan tender.
Pada tanggal 18 desember 2007 realisasi pembangunan jembatan telah sampai
74.447% atas dasar realisasi fisik, sehingga dilakukan pembayaran kepada PT.
BS. Ternyata setelah dilakukan uji terhadap jembatan tersebut, kualitas mutu dan
beton jembatan dinyatakan tidak layak dan tidak dapat diterima. Hal tersebut
mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp1.555.747.250,00.
2) Pada kasus pemecahan paket pengadaan dalam kasus dugaan tindak pidana
korupsi pengadaan bibit kakao pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota S
tahun anggaran 2005, modus operandi yang dilakukan oleh pelaku dengan
melakukan pemisahan pada paket pengadaan bibit kakao menjadi 19 paket agar
bisa langsung menunjuk rekanan tanpa ada proses lelang. CV. L yang ditunjuk
langsung mengerjakan 3 paket pengadaan penangkaran bibit kakao dan sisanya
16 paket diberikan ke rekanan baru yang langsung ditunjuk. Ternyata seluruh 19
84
paket tersebut bukan hasil penangkaran rekanan, namun berasal dari pembelian
dari penangkar lain. Jumlah kerugian negara yang timbul dari selisih pembayaran
dengan kontrak adalah sebesar Rp290.770.000,00.
3) Pada kasus penyimpangan dalam pengadaan bibit sawit pada Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten TJT, modus operandi yang dilakukan pelaku yaitu
dengan menjadikan CV A sebagai perusahaan semu yang melakukan
penangkaran bibit sawit bersertifikat. Dari 36.000 bibit sawit, CV A membeli
24.996 bibit dari perusahaan lain yang bersertifikat dan sisanya 9.004 batang
merupakan bibit palsu yang tidak dilengkapi sertifikasi dari IP2MB Dinas
Perkebunan J sehingga harus dimusnahkan. Padahal awalnya Pantia
Pemeriksa/Tim Pengawas Penerima Pekerjaan telah menyatakan bahwa
pekerjaan telah selesai 100% dan sesuai dengan kontrak. Akibat penyimpangan
tersebut negara harus mengalami kerugian sebesar Rp 177.829.000,00.
4) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi atas kegiatan pengadaan tanah oleh
pemerintah kota P tahun anggaran 2007, modus operandi yang dilakukan oleh
pelaku adalah dengan membentuk pantia pengadaan tanah yang beranggotakan
pegawai pemerintah itu sendiri dan Walikota P sebagai Ketua Panitia. Panitia
pengadaan tanah menetapkan harga tanah lebih tinggi dari nilai wajar yang
dihitung oleh Ahli penilai tanah dari KPP Kota P dan melakukan pembayaran ke
pemilik tanah lebih rendah dari harga penetapan tersebut. Kerugian negara yang
ditimbulkan dari tindak kecurangan ini adalah sebesar Rp1.363.625.000,00.
5) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan pengadaan komputer
untuk Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) penerima Blockgrant tahun anggaran
2006, modus operandi yang dilakukan dengan penunjukan langsung tujuh
85
perusahaan yang menjadi rekanan pemasok komputer untuk SKB. Pengadaan
tersebut hanya dilaksanakan oleh 2 perusahaan dan 5 perusahaan lainnya
merupakan perusahaan fiktif yang dibuat untuk memenuhi persyaratan
administratif. Dalam pelaksanaannya rekanan menetapkan harga barang yang
lebih tinggi dari harga resmi dari distributor dan mengambil keuntungan dari
selisih tersebut. Hal tersebut menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar
Rp3.489.013.242,00.
Kecurangan ini timbul karena tidak adanya sistem penilaian awal terhadap
rekanan yang menjadi pemenang dalam pengadaan dan tidak adanya evaluasi bahwa
tidak ada unsur konflik kepentingan antara rekenan dengan pegawai pemerintahan.
Dalam penilaian awal nama perusahaan, jenis perusahaan, bentuk perusahaan,
keberadaan perusahaan, dan bagaimana operasional perusahaan tersebut harus jelas,
sehingga dapat mengurangi dan mencegah timbulnya keikutsertaan perusahaan semu
dalam proses pelelangan.
b. Metode Deteksi
Untuk mendeteksi perusahaan fiktif, auditor melakukan konfirmasi kepada
perusahaan-perusahaan yang didaftarkan dalam proses pelelangan apakah benar
perusahaan tersebut ada dan ikut dalam pelelanganm, namun terkadang sulit
mendapatkan pernyataan tertulis dari perusahaan tersebut, karena mereka cenderung
tidak ingin terlibat. Sebelum melakukan konfirmasi, auditor melakukan penelusuran
ulang atas berita acara lelang maupun SPJ atas pengadaan, mengurutkan kejadian dari
awal hingga akhir kemudian baru melakukan konfirmasi atas kejadian tersebut kepada
pihak-pihak yang terkait.
86
4. Check Tampering
Check tampering merupakan tindakan kecurangan dengan melakukan pemalsuan
terhadap cek. Pemalsuan tersebut dapat berupa pemalsuan atas tanda-tangan yang
memiliki otoritas, pemalsuan atas nama atau alamat tujuan, atau pemalsuan atas
dokumen pendukungnya.
a. Modus Operandi
Modus yang biasanya terjadi adalah orang-orang tertentu sudah mengetahui dan
mendapatkan informasi mengenai pengadaan tersebut contohnya pengadaan tanah dan
gedung, kemudian pelaku melakukan kolusi dengan orang tertentu mengenai negosiasi
harga. Lalu pihak ketiga biasanya melakukan pemalsuan terhadap surat kuasa agar
mendapatkan dana sesuai dengan negosiasi dari pemerintah kemudian membeli tanah
tersebut dengan harga yang lebih murah. Berikut adalah modus operandi kasus yang
terkait dengan check tampering:
1) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan tanah untuk gedung
workshop Dinas PU Kabupaten K tahun anggaran 2007. Modus operandi yang
terjadi adalah dengan memalsukan surat kuasa atas tanah yang akan dibeli oleh
Pemerintah. Tanah yang awalnya milik A dijual kepada N dan kemudian dijual
lagi ke DZ tanpa melibatkan PPAT, sehingga sertifikat tanah masih milik A.
melalui perantara N Dinas PU membeli tanah dari DZ dengan menyertakan surat
kuasa dari A kepada N untuk melaksnaakan transaksi jual beli tanah beserta
sertifikatnya. Kemudian dilakukan pembayaran uang muka kepada N pada 10
juli 2006 dan pelunasan pada tanggal 27 november 2007 yang totalnya sejumlah
Rp150.000.000,00. Berdasarkan musyawarah ganti rugi tanah oleh PPAT dan N
pada tanggal 14 september 2007, harga tanah menjadi Rp256.000.000.00 dengan
87
PPh final 5% yaitu Rp12.800.000,00. Lalu diterbitkan SP2D untuk pengadaan
tanah dicairkan pada 22 desember 2007 sebesar Rp256.000.000,00 dengan
potongan BPHTB final sebesar Rp12.800.000,00 dan untuk biaya admnistrasi
Rp85.056.000,00 dengan potongan pajak-pajak sebesar Rp3.900.000,00., tetapi
pada akhirnya pihak BPN tidak dapat memproses usulan pengajuan hak untuk
balik nama sertifikat dari A ke Pemkab K, karena adanya pengakuan bahwa surat
kuasa terhadap jual beli palsu. Karena tindak kecurangan ini, negara mengalami
kerugian sebesar Rp324.356.000,00.
Kecurangan ini timbul karena tidak adanya pengecekan terhadap keotentikan
surat-surat maupun dokumen yang terkait dengan transaksi jual-beli. Kecurangan ini
juga terjadi karena kurangnya informasi yang terkait dengan proyek tersebut.
b. Metode deteksi
Kecurangan ini dapat dideteksi dengan peninjauan langsung kepada barang atau
tanah, dan melakukan penelaahan atau pengujian keotentikan dokumen-dokumen yang
terkait, serta melakukan konfirmasi kepada pemilik maupun orang-orang disekitarnya.
5. Billing scheme – Shell Company
Dari kasus-kasus kecurangan pada pengeluaran anggaran, hanya terdapat dua
kasus yang berkaitan dengan perusahaan fiktif (Shell company). Perbedaan antara shell
company dengan pass-through vendor adalah pada shell company perusahaan yang akan
didanai/dibayar sepenuhnya merupakan perusahaan fiktif atau palsu, sehingga dana yang
diberikan sepenuhnya langsung ke pelaku, sedangkan pass-through vendor pelaku
membuat perusahaan perantara untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan tetap
memberikan atau melaksanakan kewajibannya.
88
a. Modus Operandi
Modus operandi yang terjadi di dua kasus terkait dengan perusahaan fiktif, para
pelaku membentuk perusahaan/organisasi fiktif yang bertujuan untuk mengambil dana
dari pengeluaran anggaran. Pencairan atas dana yang dialokasikan kepada perusahaan
tersebut tidak diberikan langsung ke pengelola perusahaan/organisasi melainkan ke
pejabat pemerintahan yang mengajukan permohonan dana
1) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pada bantuan perkuatan dana untuk
pengembangan usaha produksi di Bidang Pengadaan pabrik pencetak briket
batubara tahap II kepada Koperasi Serba Usaha (KSU) RM di Kabupaten L
tahun anggaran 2006, modus operandi adalah dengan pengajuan permohonan
modal kerja dan investasi pengembangan briket batu-bara oleh Kantor Koperasi
Kabupaten L untuk Koperasi Serba Usaha (KSU) RM. Kemudian Menteri
Negara Koperasi dan UKM RI menerbitkan SPM pada tanggal 12 december
2006 ke Bendaharawan Umum KPPN Jakarta 1 perihal pemberian modal kerja
sebesar Rp910.000.000,00. untuk KSU RM Kabupaten L yang ditransfer melalui
bank. Kemudian pengurus Koperasi RM secara bertahap mencairkan dana
tersebut.Faktanya pada tanggal 14 juli 2008 Camat W Kabupaten L menyatakan
bahwa KSU RM tidak pernah ada di Keacamatan W Kabupaten L, pengurus
KSU RM juga tidak berdomisili disana, dan tidak pernah ada pembangunan
pabrik pengolahan/pencetakan briket batu-bara. Akibat dari penyimpangan
tersebut, keuangan negara mengalami kerugian sebesar Rp910.000.000,00.
2) Pada kasus tindak pidana korupsi penyimpangan penyaluran bantuan dana APBD
kepada Yayasan B tahun anggaran 2003. Yayasan B didirikan untuk
menyediakan keperluan anggota DPRD kabupaten P dan kegiatan sosial
89
kemasyarakatan lainnya, namun pada nyatanya Yayasan B tidak pernah
melakukan kegiatan/usaha yang sebagaimana tertera didalam akta pendiriannya
dan tidak pernah menyelenggarakan pembukuan. Pada tahun anggaran 2003
bantuan kepada Yayasan B dianggarkan dalam RAPBD setelah pengurus
Yayasan B meminta bantuan melalui pembicaraan informal dengan Bupati,
Ketua, dan Sekretaris Tim Anggaran Eksekutif. Kemudian penyaluran bantuan
terdiri atas dua tahap yang totalnya berjumlah Rp2.837.500.000,00. Setelah dana
itu diterima langsung dibagikan kepada pimpinan dan anggota DPRD kabupaten
P. Dari tindakan tersebut negara mengalami kerugian sebesar
Rp2.837.500.000,00.
Dengan munculnya kasus kecurangan ini membuktikan bahwa pengawasan
pemerintah pusat terhadap unitnya di daerah sangat lemah, yaitu tidak adanya sistem
monitoring berlanjut atas pendanaan dan tidak adanya sistem pemeriksaan awal atau
penilaian awal atas pengajuan permintaan dana.
b. Metode Deteksi
Auditor investigasi dalam mengungkap kecurangan ini dengan melakukan
konfirmasi atas keberadaan dan kegiatan perusahaan tersebut kepada orang-orang
disekitar perusahaan tersebut. Auditor juga melakukan analisa terhadap bentuk, jenis,
operasi dan legalitas perusahaan tersebut apakah layak dan wajar.
6. Billing scheme – Personal Purchase
Kecurangan yang berkaitan dengan billing scheme di Instansi Pemerintah
terdapat pada tiga kasus. Satu kasus terjadi di pemerintah daerah dan dua kasus terjadi di
dinas pendidikan.
90
a. Modus Operandi
Dalam kecurangan personal purchase, pelaku membebankan pembelian untuk
kepentingan pribadinya kepada pemerintah. Untuk menutupi tindak kecurangannya
tersebut, para pelaku pasti melakukan pembuatan laporan atau SPJ fiktif.
1) Pada kasus penyalahgunaan dana APBD pemerintah Kabupaten TB dari mata
anggaran alokasi penyertaan modal pemerintah kepada PT. TBJ digunakan untuk
kepentingan pribadi, kecurangan billing scheme yang dikategorikan kedalam
personal purchase ini menggunakan modus operandi dengan merealisasikan
penyertaan modal kepada BUMD PT TBJ dari anggaran Pemerintah Kabupaten
TB sebesar Rp2.000.000.000,00, sehingga pada tanggal 20 december 2006
bendahara daerah membuat Bukti Pengeluaran Kas (BPK) dan lalu diserahkan ke
PNS bagian perekonomian yang seharusnya langsung diserahkan ke PT TBJ.
Kemudian dikeluarkanlah Surat Permintaan Pembayaran Beban Tetap oleh
Kepala Bakuda tentang penyertaan modal pemda tersebut dan melakukan
pembayaran kepada rekening Bank L (milik PNS staf bagian perekonomian)
yang sama dengan tertera di BPK. Pada tanggal 27 December 2006, dana
tersebut masuk ke rekening Bank L dan dana tersebut digunakan tidak sesuai
dengan ketentuan. Dari tindakan kecurangan ini negara mengalami kerugian
sebesar Rp2.000.000.000,00.
2) Pada kasus Penyalahgunaan dana program non regular dan kerja sama sertifikasi
Politeknik Negeri S tahun 2003 dan 2004, modus operandi yang dilakukan oleh
pelaku awalnya dengan menampung penerimaan pembayaran SPP Politeknik
Negeri S selama tahun ajaran 2002/2003 dan 2003/2004 langsung ke rekening
91
Bendaharawan yang dibuka untuk penerima dan pengguna Program D III non
regular dan kerjasama sertifikasi. Kemudian atas perintah SB sebagai direktur
politeknik negeri S dan HS Ketua Program Non Reguler dan Kerjasama
Sertifikasi, bendaharawan penerima Program D III non regular dan kerjasama
sertifikasi menarik dana sejumlah Rp1.575.120.000,00 untuk disetorkan ke
rekening lain yang dibuka oleh SB dan HS atas nama yang bersangkutan.
Kemudian dana tersebut tidak dapat dipertanggung-jawabkan penggunaanya
serta tidak ada bukti-bukti mengenai penggunaan dana tersebut. Akibat tindak
kecurangan ini negara mengalami kerugian sebesar Rp1.575.120.000,00.
3) pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pemotongan dan pengeluaran fiktif
Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan tahun anggaran 2007 pada
Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten L, modus operandi yang dilakukan
dengan memotong Dana Alokasi Khusus oleh Kepala Dinas kepada 75 sekolah
dengan alasan pungutan pajak yang ternyata untuk kepentingan pribadi sebesar
Rp3.290.067.270,00. Kepala Dinas juga membuat SPJ fiktif seolah-olah dari
kepala sekolah tentang pengadaan sarana pendidikan sebesar Rp607.000.000,00
dan membuat SPJ seolah-olah ada jasa pengawasan untuk sekolah dengan
pembuatan kontrak fiktif antara kepala sekolah dan konsultan, dan juga membuat
daftar nominatif honor fiktif dari biaya monitoring sebesar Rp90.460.000,00.
Tindak kecurangan ini menimbulkan kerugian negara sebesar Rp
4.147.527.270,00.
Tindakan ini terjadi karena lemahnya lingkungan pengendalian di instansi
pemerintah, dimana lingkungan yang terbentuk tidak ada integritas, nilai etis, dan gaya
92
manajemen yang dimilki oleh petingginya buruk. kecurangan tersebut juga terjadi
karena lemahnya pengawasan terhadap pengeluaran rutin anggaran.
b. Metode Deteksi
Dalam pendeteksian tindak kecurangan ini auditor dapat melihat dari catatan
pembukuan dan SPJ, serta melakukan konfirmasi kepada pihak yang terkait apakah
pengeluaran/kejadian tersebut terjadi dan dalam jumlah yang benar. Kecurangan ini juga
dapat dideteksi dengan melihat dan menganalisa tren jumlah dan jenis pengeluaran yang
terjadi apakah masih wajar atau tidak.
IV.1.3. Tindak Kecurangan pada Pengelolaan Utang
Kecurangan pada pengelolaan utang pada pemerintahan merupakan tindak
kecurangan yang mengakibatkan timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih
besar dari seharusnya. Kasus yang terkait dengan kecurangan pada pengelolaan utang
yang diungkap dan tuntas secara hukum pada tahun 2009 hanya terdapat 1 kasus, yaitu
kasus penyelesaian utang PT PPSU oleh pemerintah Provinsi SU lebih besar dari saldo
utang yang seharusnya diselesaikan.
a. Modus Operandi
Pada kasus tersebut terjadi tindak kolusi dari seluruh pihak yang terkait atas
pemasluan terhadap data utang yang dimiliki oleh PT PPSU pada Program Penjualan
Aset Kredit 3 (PPAK 3). Hal ini dilakukan agar Pemerintah membayar utang lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah yang sebenarnya.
Kepemilikan saham PT PPSU 19% dimiliki oleh Pemprov SU, 44% Pemprov B,
dan sisanya milik Pemkab M.B,B dan pihak swasta. PT PSPU yang mempunyai kredit
macet di Bank E, yang kemudian dilikuidasi. Status kredit macet PT PSSU dialihkan ke
93
BPPN dengan jumlah utang sebesar Rp 88.116.362.061,00. Akhirnya pada bulan maret
2003 BPPN memasukkan aset kredit PT PPSU ke dalam Program Penjualan Aset Kredit
3 (PPAK 3) yakni lelang. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh tim negosiasi utang PT
PPSU (terdiri dari tim eksekutif dan legistlatif Provinsi SU). Untuk mempersiapkan
perusahaan pembeli PT PSSU melalui lelang memanfaatkan perusahaan jasa konsultasi
PT TM. Asisten Ekonomi dan Pembangunan yang menerima kuasa dari Gubernur SU
menunjuk PT TM sebagai konsultan keuangan untuk mencari lembaga dan perusahaan
yang ikut lelang (PT.BS), menyiapkan perusahaan khusus yang menampung utang PT
PSSU (PT KPS), dan escrow account (Agen Penampung untuk melaksanakan hak dan
kewajiban yang ditetapkan dalam Perjanjian) atas nama JS dan PT TM sebesar Rp 18 M
pada Bank B. setelah pihak BPPN memasukkan PT PPSU ke dalam lelang - PPAK 3,
segera PT TM, Tim negosiasi utang PT PPSU dan PT BS serta melibatkan oknum BPPN
membuat rekayasa peserta lelang. Untuk mendapatkan bukti formal bahwa penguasaan
aset kredit PT PPSU tidak lagi di PT BS maka dibuat rekaya jual beli piutang PT PPSU
antara PT BS dengan PT KPS pada 9 februari 2004. Pemerintah Provinsi SU
mengeluarkan dana dari kas daerah untuk penyelesaian utang PT PPSU sebesar Rp 18
M, namun nilai rill penyelesaian utang hanya Rp 8,6 M sehingga negara mengalami
kerugian sebesar Rp11.199.548.325,00.
Tindak kecurangan ini terjadi karena pengawasan pelaksanaan lelang.
Pemerintah juga tidak melakukan penilaian risiko atas aktivitas pengelolaan utang,
terhadap pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian utang
b. Metode Deteksi
Pendeteksian kecurangan yang dilakukan untuk mengungkap kasus ini pertama
dengan melakukan pengumpulan bukti dokumen terkait dengan kepemilikan entitas,
94
laporan keuangan, dan kontrak. Kemudian auditor juga melakukan analisa terhadap
kemampuan keuangan entitas dan hubungan antar pihak-pihak yang terkait. Auditor juga
melakukan konfirmasi kepada oknum-oknum dan pihak bank.
IV.1.4. Kerugian Negara dari Kecurangan di Instansi Pemerintah
Dari keseluruhan data kecurangan di instansi pemerintah yang diperoleh, berikut
adalah tabel jumlah kerugian negara yang ditimbulkan oleh kecurangan pada
penerimaan anggaran dan pengelolaan aset, pengeluaran anggaran dan pengelolaan
utang:
Tabel IV.4
Jumlah Kerugian Negara di Pemerintahan
No. Kecurangan Jumlah Kasus Total1. Kecurangan terhadap penerimaan
anggaran dan pengelolaan asset 9 Rp 1,744,763,556,329.05
2. Kecurangan terhadap pengeluaran anggaran pengadaan barang dan jasa dan non pengadaan barang dan jasa.
24 Rp 82,279,610,030.00
3. Kecurangan terhadap pengelolaan utang 1 Rp 11,199,548,325.00
TOTAL 34 Rp 1,838,242,714,684.05
Tabel diatas menunjukkan bahwa tindak kecurangan yang paling banyak
menimbulkan kerugian pada keuangan negara adalah kecurangan pada penerimaan
anggaran dan pengelolaan aset. Hampir 95% atau keseluruhan kerugian diakibatkan oleh
adanya tindak pidana atas hilangnya atau berkurangnya hak negara atas uang maupun
aset lainnya. Jumlah kerugian negara atas tindak kecurangan pada penerimaan dan
pengelolaan aset tersebut adalah Rp 1,74 Triliun, sedangkan pada pengeluaran anggaran
95
pemerintahan Negara/Daerah jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari berbagai
tindak kecurangan sebesar Rp 82 Miliar, dan kecurangan pada pengelolaan utang hanya
Rp 11 Miliar. Tindak kecurangan yang terjadi pada pengeluaran anggaran yang memiliki
24 kasus kecurangan hanya memberikan kerugian 4,5% dari total keseluruhan kerugian
di instansi pemerintahan. Pada pengelolaan utang jumlah kerugian hanya sebesar Rp 11
Miliar atau sekitar 0,5%.
Tabel IV.5 lampiran 4 menjelaskan kerugian negara pada penerimaan anggaran
dan pengelolaan asset yang dikelompokkan berdasarkan jenis kecurangan. Dari data
tabel IV.5 lampiran 4, skimming merupakan tindak kecurangan yang paling banyak
menimbulkan kerugian pada negara, bahkan pada keseluruhan kerugian negara yaitu
sebesar Rp 1,66 Triliun atau sebesar 95% dari keseluruhan jumlah kerugian yang
diakibatkan kecurangan penerimaan anggaran dan pengelolaan aset. Kasus yang paling
besar memberikan dampak atas kerugian negara adalah kasus dugaan tindak pidana
korupsi dalam pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman (IUPHHKHT) di Kabupaten P-R Tahun 2001 sampai dengan 2006, kurang
lebih Rp 1,2 Triliun.
Pada ketiga kasus lapping yang terjadi di instansi pemerintahan total kerugian
yang ditimbulkan sebesar Rp 40 Milliar atau sebesar 2,3% dari total keselurahan
kerugian pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset. Pada kasus yang berkaitan
dengan larceny atau pengambilan aset atau keuangan negara atas pengelolaan aset
pemerintah merugikan keuangan negara sebesar Rp 43 Milliar atau sebesar 2,2% dari
total keselurahan kerugian pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset.
Dalam tindak kecurangan atas pengeluaran anggaran tabel IV.6 lampiran 6
menunjukkan data kerugian negara berdasarkan jenis kecurangan yang terjadi. Dari tabel
96
IV.6 lampiran 6 menunjukkan bahwa kerugian yang jumlahnya paling banyak
ditimbulkan oleh tindak kecurangan expense reimbursement schemes atau skema
kecurangan yang berkaitan dengan kegiatan pembayaran atas beban atau biaya dengan
total kerugian negara yang ditimbulkan sekitar Rp 56 Miliar atau sebesar 68% dari total
keseluruhan kerugian pada pengeluaran anggaran. Kasus dugaan penyimpangan
pengelolaan keuangan daerah Kota B tahun 2006, merupakan kasus yang paling banyak
menimbulkan kerugian pada pengeluaran anggaran yaitu sebesar Rp 18 Miliar. Rata-rata
jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari jenis kecurangan expense reimbursement
schemes adalah sebesar Rp 5 Miliar.
Jumlah total dari ketiga kasus bid-rigging yang terjadi di instansi pemerintah
adalah sebesar Rp 7,5 Miliar atau sebesar 9% dari total keseluruhan Rp 82,2 Miliar.
Jumlah kerugian tertinggi dari bid rigging adalah Rp 4,7 Miliar dan sisanya Rp 1,4
Miliar dan Rp 1,3 Miliar. Pada kecurangan pass through vendors total kerugian yang
ditimbulkan sebesar Rp 6,8 Miliar. Pada check tampering sebesar Rp 324 Juta. Pada
kecurangan shell company sebesar Rp 3,7 Miliar dan personal purchase sebesar Rp 7,7
Miliar. Pada pengelolaan utang hanya terjadi satu kasus yang menimbulkan kerugian
kepada negara senilai Rp 11 Miliar atau sebesar 13%.
Jumlah kerugian keuangan tersebut tersebut menjadi bahan pertimbangan oleh
pengadilan dalam memberikan putusan hukum kepada pihak-pihak yang terkait atau
yang sudah ditetapkan menjadi pelaku oleh pengadilan. Kerugian negara tersebut diganti
dengan penarikan/penyitaan aset dari para pelaku yang jumlahnya ditentukan oleh hakim
di persidangan dan pemberian hukuman pidana yang berupa kurungan penjara.
97
IV.2 Tindak Kecurangan di BUMN dan BUMD
Berdasarkan penelitian terhadap 26 kasus kecurangan di BUMN dan BUMD
meliputi kecurangan yang terjadi pada penerimaan kas dan pengelolaan aset,
pengeluaran anggaran/kas berupa pengadaan barang dan jasa dan pengeluaran rutin
maupun alokasi dana, serta kecurangan pada laporan keuangan (fraudulent
misstatement).
Dari data kasus-kasus kecurangan di instansi pemerintah yang didapat, jumlah
kasus kecurangan yang telah diungkap dan tuntas dalam perkara pada BUMN dan
BUMD se-Indonesia di tahun 2009 secara umum sebagai berikut:
Tabel IV.7
Tindak Kecurangan di BUMN dan BUMD
No Kecurangan Jumlah
KasusJumlah Jenis Kecurangan
Jenis Kecurangan
1. Kecurangan terhadap penerimaan kas dan
pengelolaan asset
7 3 Skimming,
Lapping, Larceny.
2. Kecurangan terhadap pengeluaran anggaran
pengadaan barang dan jasa dan non pengadaan
barang dan jasa.
18 5 Expense
reimbursement
schemes, Pass-
through vendors,
Check tampering,
Billing scheme,
payroll scheme
3. Kecurangan terhadap laporan keuangan 1 1 Asset
overstatement
Total 26 9
98
dari data tabel diatas terlihat bahwa kecurangan terhadap pengeluaran anggaran
pengadaan barang dan jasa dan non pengadaan barang dan jasa adalah kecurangan yang
paling banyak terjadi di BUMN dan BUMD di seluruh Indonesia. Dari 26 kasus yang
diungkap oleh Direktorat Investigasi BPKP, delapan belas kasus merupakan kecurangan
pada pengeluaran anggaran, tujuh kasus merupakan tindak kecurangan atas penerimaan
anggaran, dan satu kasus yang termasuk dalam kecurangan terhadap laporan keuangan.
IV.2.1. Tindak Kecurangan pada Penerimaan Kas dan Pengelolaan Aset Badan
Usaha Milik Negara/Daerah
Terdapat tujuh kasus yang digolongkan ke dalam kecurangan pada penerimaan
negara dan pengelolaan aset. Dari ketujuh kasus yang telah diungkap dan selesai di
pengadilan selama tahun 2009 tersebut, tabel IV.8 lampiran 9 menunjukkan
pengelompokkan menurut jenis kecurangan yang diklasifikasikan oleh AFCE.
Tabel IV.8 lampiran 9 menunjukkan tindak kecurangan pada penerimaan kas dan
pengelolaan aset atas BUMN & BUMD berupa skimming, lapping, dan larceny, namun
terdapat kemungkinan bahwa 2 jenis unsur kecurangan sekaligus. Hal ini diakibatkan
dari kompleksitas tindak kecurangan yang terjadi, lemahnya pengendalian internal dan
kemungkinan untuk melakukan kolusi sangat besar. Dari keseluruhan kecurangan dalam
penerimaan dan pengelolaan aset negara tersebut, jenis kecurangan yang paling banyak
terjadi adalah skimming.
99
1. Skimming
a. Modus Operandi
Dari keempat kasus yang terkait dengan skimming, satu kasus merupakan
tindakan penyalahgunaan jabatan untuk mengambil uang kas atau piutang dari penjualan
dan dua kasus lainnya merupakan pengambilan atas uang dari pengembalian dana
bantuan dan pemutusan kontrak yang seharusnya disetorkan kembali ke kas
perusahaan/organisasi. Pada beberapa kasus kecurangan yang terjadi merupakan
tindakan kolusi antara pejabat dengan perusahaan rekanan dengan mengambil
keuntungan dari rendahnya penjualan kepada rekanan. Berikut adalah modus operandi
tiap kasus yang terkait dengan skimming:
1) Pada kasus dugaan penggelapan Jabatan Atas Pengelolaan Keuangan pada unit
pabrik es SPT CLP tahun buku 2006 dan 2007 tindak kecurangan yang terjadi
adalah pencurian atas uang penerimaan. Modus operandi yang dilakukan manajer
unit pabrik es SPT CLP secara berkala memerintahkan secara lisan kepada
Kepala Urusan Promosi dan Penjualan untuk menyerahkan uang hasil penagihan
piutang penjualan es kepada Manajer Unit yang akan digunakan untuk
pengembangan usaha. Permintaan tersebut ditindaklanjuti dengan menyerahkan
uang hasil tagihan dan setiap penyerahan dibuatkan bukti bon sementara yang
ditandatangani Manajer unit dan Kaur Promosi dan Penjualan, selanjutnya
dicatat dalam buku catatan pribadi. Selama periode Oktober 2006 hingga
Oktober 2007 jumlah uang yang diserahkan sejumlah Rp375.500.000,00.
Penerimaan piutang tersebut tidak pernah disetorkan ke kas, dan bukti pelunasan
oleh customer tidak diserahkan ke Seksi Administrasi. Manajer unit juga
100
mengambil uang dari kasir dengan alasan pengembangan bisnis sebesar
Rp215.000.000,00. Sesuai dengan job description kasir adalah akan
mengeluarkan uang berdasarkan perintah atasan langsung dan ada bukti fiat dari
Manager, dan atasan kasir adalah Seksi Administrasi. Hal ini mengakibatkan
negara mengalami kerugian sebesar Rp587.500.000,00.
2) Pada kasus penyimpangan dalam proses pengadaan dan pemasangan pipa
transmisi PM 350mm kabupaten KLK, B kecurangan yang terjadi adalah
salahnya penetapan dasar hukum yang seharusnya berpedoman kepada Keppres
7 tahun 1998 tentang kerjasama pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam
pembangunan dan atau pengelolaan infrastruktur malah mengacu pada Keppres
80 tahun 2003. Selain itu rekanan tidak menyerahkan jaminan pelaksanaan
sebagaimana diatur dalam Keppres 80/2003 pasal 31 yang digunakan sebagai
dasar perjanjian kerjasama. Panitia tidak menyusun HPS sendiri, HPS yang ada
disusun oleh Konsultan Perencana Pengadaan. Panitia tidak mengumumkan
pengadaan pekerjaan dan tidak melakukan penilaian terhadap kualifikasi
penyedia pengadaan dan tidak melakukan evaluasi administrasi dan evaluasi
teknis karena dokumen penawaran tidak dilengkapi persyaratan administrasi dan
teknis. Pada akhirnya terdapat pemutusan kontrak. Atas kelalaian dan tindakan
sengaja dari pihak-pihak yang terkait kegiatan pengadaan dan pemasangan pipa
transmisi tersebut, terdapat hak negara yang tidak disetorkan oleh PT. MDKU
berupa uang muka dan denda keterlambatan setelah diperhitungkan dengan nilai
realisasi fisik yang tidak sesuai dengan kontrak, sebesar Rp662.553.478,39. dan
belum dapat dimanfaatkannya pipa transmisi terpasang senilai
101
Rp1.666.211.521,61 yang berpotensi merugikan negara senilai fisik tersebut jika
pekerjaan tersebut tidak dilanjutkan.
3) Pada kasus dugaan penyimpangan penyaluran dan pengembalian Dana Kredit
Usaha Tani tahun penyediaan 1998/1999 dan 1999/2000 oleh pengurus KUD dan
Kelompok Tani di kabupaten DS. Terdapat Dana KUT yang tidak disalurkan
oleh kelompok tani, kelompok tani SRH melakukan pencairan KUT sebesar
Rp144.625.000,00 namun yang disalurkan ke petani dalam bentuk uang tunai
dan barang hanya sebesar Rp135.725.000,00 dan terdapat pengembalian pupuk
dan pestisida senilai Rp7.758.500, sehingga jumlah yang tidak disalurkan
sebessar Rp16.658.500,00. Kelompok tani SDN tidak menyalurkan dana sebesar
Rp17.800.000,00 karena pada saat disalurkan petani sudah panen dan yang
diberikan hanya pupuk dan obat-obat yang seharusnya berupa uang. Pengurus
kelompok tani GTM tidak menyetorkan kembali pengembalian KUT dari petani
kepada KUD SHT dan digunakan untuk kepentingan pribadi sebesar Rp
20.000.000,00 dengan pengakuan bahwa uang tersebut hilang saat ingin disetor
tanpa ada bukti laporan kehilangan oleh polisi. Koperasi tani CBS tidak
menyalurkan dana KUT kepada anggota kelompok taninya sebesar Rp
16.710.000,00 dan tidak melakukan penyetoran pengembalian atas dana tersebut
sebesar RP 10.990.000,00. Pada pencairan dana KUT pengurus KUD SHT
melakukan pemotongan 8% atas nilai yang dicairkan dengan alasan untuk
tabungan anggota/petani guna menutupi tunggakan anggota. Dari pemotongan
tersebut KUD SHT meminjamkan dana sebesar Rp 30.000.000,00 kepada UD R
dan tidak ada pengembalian maupun bukti peminjaman. Akibat dari tindak
102
kecurangan oleh pihak-pihak tersebut, negara mengalami kerugian sebesar
Rp112.158.500,00.
4) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi atas penjualan gula di bawah harga
pasar pada PTPN Z (Persero) modus operandi yang dilakukan oleh PTPN Z dan
dua perusahaan yang menjadi rekanan dalam penjualan gula tersebut yaitu PT
AJS dan PT GMP. Nilai kompensasi yang diberikan kepada PT AJS tidak
didasarkan pada evaluasi perkembangan harga sebagai bahan pertimbangan
direksi dan terdapat indikasi rekayasa penetapan harga penjualan kepada PT AJS.
PTPN Z juga melakukan penjualan kepada PT GMP sebelum dilakukannya
produksi untuk mendapatkan dana talangan dan biaya dana produksi dan
operasional. Akibat dari perbedaan/selisih harga pasar dengan penetapan harga
jual di kontrak kepada dua perusahaan tersebut, negara mengalami kerugian
sebesar Rp7.230.000.000,00.
Kecurangan yang terjadi pada BUMN dan BUMD tersebut pada dasarnya
diakibatkan dari penyalahgunaan wewenang oleh atasan/pimpinan
perusahaan/organisasi, dengan jabatan yang dimilikinya, mereka dengan mudahnya
mengatur bawahan/pegawainya untuk mengikuti perintahnya melakukan kecurangan.
b. Metode Deteksi
Dalam pendeteksian skimming auditor investigasi BPKP melakukan pemahaman
atas prosedur yang terkait dengan akun penerimaan kas dan dokumen-dokumen terkait
lainnya seperti kontrak kerjasama dan peraturan pemerintah. Auditor kemudian
melakukan pengujian terhadap transaksi dan melakukan perbandingan perhitungan atas
catatan pembukuan perusahaan dengan fisik uang kas yang ada. Auditor juga melakukan
konfirmasi terhadap pihak-pihak independen untuk memperkuat temuannya.
103
2. Lapping
a. Modus Operandi
Dalam kasus ini terdapat penggunaan atas penerimaan kas dalam bentuk dana
bantuan dan pembayaran piutang oleh anggota yang dilakukan untuk membiaya hal yang
lain, dan dilengkapi dengan dokumen pendukung yang tidak jelas dan tidak melakukan
pencatatan atas transaksi tersebut. Para pejabat/pegawai juga melakukan pengambilan
uang kas dan tidak melakukan pengembalian ke kas daerah. Berikut adalah modus
operandi kasus lapping:
1) Kecurangan yang merupakan tindakan lapping terjadi pada kasus dugaan tindak
pidana korupsi pada koperasi serba usaha (KSU) LEPP-M3 DLP Kota G tahun
2005 dan 2006 modus operandi yang dilakukan oleh pelaku adalah dengan
mengambil dana koperasi yang berasal dari dana ekonomi produktif (DEP) pada
proyek PEMP kota G. KSU LEPP-M3 DLP kota G telah ditetapkan sebagai
koperasi penerima dana program PEMP sesuai surat kepala dinas pertanian Kota
G dan alokasi dana seluruhnya masuk ke KSU LEPP-M3. Kemudian KSU
LEPP-M3 mendapatkan transfer sebesar Rp536.326.000,00 yang ditransfer ke
Bank B cabang kota M, karena Bank B tidak memiliki cabang di kota G, maka
KSU LEPP-M3 mentransfer dan mencairkan dana sebesar Rp500.000.000,00
dari rekening Bank S milik USP Swamitra dan dibukukan oleh USP Swamitra
atas, dan sisanya Rp36.326.000,00 masih di Bank B dijadikan sebagai penjamin
bunga. Kemudian, pada tanggal 9 november 2005 dana sebesar
RP628.988.000,00 langsung ditransfer ke rekening KSU di Bank Z cabang G dan
cairkan sebesar Rp595.100.000 sebanyak 10 kali pencarian sejak tanggal 1
104
February 2006 sampai dengan 11 September 2006. Sisanya sebanyak
Rp33.888.000,0 dijadikan sebagai penjamin bunga oleh Bank Z, namun atas
pencairan tersebut Rp484.000.000,00 dibukukan oleh USP Swamitra, sedangkan
sisanya Rp110.000.000 tidak dibukukan melainkan digunakan untuk membiaya
Unit Solar Packaged Dealer Nelayan (SPDN). Dan pada tanggal 19 Desember
2005 senilai Rp144.680.000,00 ke rekening Bank z atas nama KSU, dana
tersebut diperuntukan pada kegiatan kedai pesisir, namun pencairan sejumlah
Rp20.000.000 tidak dibukukan untuk membiayai unit SPDN. Ketua koperasi
menyalahgunakan wewenangnya dengan mengambil uang dari koperasi sebesar
Rp411.227.012,00 untuk kepentingan pribadi dengan melakukan pinjaman dan
tidak mengembalikannya, pinjaman anggota koperasi yang tidak diserahkan ke
yang bersangkutan, dan setoran piutang nasabah USP yang tidak diserahkan ke
Kas Koperasi. Sekretaris koperasi juga mengambil uang koperasi sebesar
Rp9.838.332,00 untuk kepentingan pribadi. Akibat dari tindakan tersebut negara
mengalami kerugian sebesar Rp421.065.344,00.
Hal tersebut terjadi dikarenakan lemahnya sistem penerimaan kas di organisasi
tersebut, tidak adanya prosedur sistem akuntansi yang ditetapkan. Otorisasi atas
penerimaan dan kepemilikan rekening penerima juga tidak jelas, sehingga sulit
melakuka pengawasan atas uang yang beredar.
b. Metode Deteksi
Dalam upaya pengungkapan kecurangan lapping, auditor melakukan
pembandingan atas pencatatan penerimaan kas perusahaan dengan jumlah uang di kas
maupun rekening serta melakukan konfirmasi dengan pihak independen terkait yaitu
bank.
105
3. Larceny
a. Modus Operandi
Dari dua kasus tindak kecurangan larceny, motif pelaku melakukan kecurangan
tersebut adalah untuk menutupi kekurangan atas persediaan yang hilang atau rusak,
pelaku cenderung akan membuat laporan atau dokumen fiktif untuk menutupi
tindakannya tersebut, para pelaku dengan sengaja mengeluarkan dan menjual persediaan
tersebut untuk menguntungkan pribadi maupun kelompoknya tanpa adanya dokumen
pendukung yang sah. Modus operandi dari kasus tindak kecurangan larceny adalah
sebagai berikut:
1) Pada kasus tindak kecurangan yang terjadi pada pengeluaran gabah kering giling
hasil pengadaan tahun 2006 dari gudang filial Perum B sub divisi regional LT
sebanyak 45.000 kg tanpa didukung dokumen yang sah, modus operandi yang
dilakukan oleh pelaku dengan mengambil persediaan yang ada untuk menutupi
persedian yang hilang. Penggiling Padi (PP) STT merupakan pihak yang
melakukan perjanjian kerjasama dengan Perum B yang melakukan pinjam pakai
gudang milik Perum B tanpa biaya. Gabah kering yang diterima dan disimpan di
gudang filial Perum B yang dipinjam oleh PP STT. Sampai tanggal 11 januari
2006 telah dilakukan 7 kontrak penggilingan sebanyak 2.400.000 kg. setiap
kontrak dilengkapi dengan SPK giling gabah DN, dan surat perintah terima
barang kepada Kepala Gudang GSP G. Sampai dengan 20 Januari 2006 PP STT
telah menyerahkan Beras Hasil Giling sebanyak 1.485.060 kg atau setara dengan
2.313.710 kg gabah. Setelah dilakukan survey ternyata 226.520 kg beras ditolak
karena tidak sesuai dengan standar. Untuk menutupi kekurangan dan biaya
106
operasional tersebut, PP SPT mengambil gabah digudang filial tanpa dukungan
dengan dokumen yang sah yaitu surat perintah pengiriman barang. Akibat dari
tindakan tersebut keuangan negara mengalami kerugian atas gabah yang dikirim
tanpa dokumen pendukung sebesar Rp1.010.273.500,00.
2) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan PERUM B divisi
regional STH terjadi kecurangan terkait dengan pengadaan beras yang merugikan
negara. Terdapat penyalahgunaan persedian beras di GBB T sebanyak 178.913
kg. Hal ini terjadi karena terdapat kekerurangan stock beras di gudang, kemudian
GG selaku kepala gudang memerintahkan MM untuk membuat nota timbang dan
rekapitulasi penerimaan barang yang lebih besar atas realisasi beras masuk dari
mitra pengadaan. GG juga melakukan penjualan atas beras ke mitra dan pihak
ketiga dengan total sebanyak 125.660 kg atau senilai Rp537.196.500,00 dan
tidak membuat rekapitulasi pengeluaran barang dan hasil penjualan digunakan
untuk kepentingan pribadi. Di dalam lingkungan Perum B terdapat pedoman
mengenai penyelesaian klaim, karena GG bersedia melakukan ganti rugi, maka
ditetapkan Rp536.414.175,00 sebagai piutang klaim intern, namun hingga 30 juli
2007 GG tidak melakukan pembayaran. Dihitung berdasarkan penilaian fisik di
gudang, jumlah kerugian negara akibat kekurangan tersebut adalah senilai
Rp764.853.075,00. Pada tahun 2003 HH sebagai Kepala Gudang GBB O
melakukan rekapitulasi penerimaa fiktif dengan kerjasama dengan II Dirut FF
selaku mitra pengadaan dengan melakukan pengalihan pengiriman beras jenis
lain ke GBB O untuk menutupi kekurangan yang seharusnya dikirim ke GBB T
dan GBB L. karena HH bersedia bertanggung-jawab atas kekurangan tersebut,
maka kekurangan tersebut dijadikan Piutang Klaim Intern, namun sampai
107
tanggal 30 juli 2007 tidak terdapat pembayaran atas piutang tersebut. Hal ini
merugikan negara hingga Rp576.718.490,00. Pada penyalahgunaan persedian
beras di GBB L terjadi juga kekurangan yang mengakibatkan negara mengalami
kerugian senilai Rp1.487.500.541 yang diakibatkan dari banyaknya pengeluaran
beras yang tanpa didukung dengan Surat Perintah Pengiriman Barang/delivery
order dan dua kali pencatatan atas DO yang sama. Terjadi juga penyalahgunaan
modal kerja di UPGB T yang mengakibatkan kerugian negara sebesar
Rp389.300.000,00 yang dilakukan oleh KK selaku Site Manager UPGB T
dengan mengeluarkan uang kas untuk pembelian beras untuk menutupi sebagian
sisa kewajiban giling yang harus diselesaikan kepada divre STH, namun
kewajiban tersebut tidak dicatat dalam neraca tahun 2004. KK juga membuat
pengeluaran fiktif sebesar Rp12.000.000,00 untuk membayar bunga bank dan
membukukan uang muka (piutang) fiktif atas nama AG sebesar Rp
232.300.000,00. Tindak kecurangan yang dilakukan Satgas ADA(Satuan Tugas
Operasional Pengadaan Gabah Dalam Negeri) yang diketuai ZZ melakukan
kerjasama dengan FF untuk membeli beras kepada petani. ZZ memberikan FF
dana Satgas sebagai uang muka untuk FF memberli beras yang nilainya lebih
murah, sehingga terdapat margin keuntungan. Dari tindakan ini pemerintah
dirugikan senilai Rp286.600.000,00. Pada pengangkutan beras yang dilakukan
oleh FF terjadi pengiriman beras yang tidak diterima oleh gudang penerima
dengan total kerugian senilai Rp783.298.896,00. Dari berbagai tindak
kecurangan yang terjadi total keseluruhan kerugian keuangan negara yang
ditimbulkan adalah Rp4.287.670.912,00.
108
Dari modus yang dilakukan oleh pelaku, terlihat bahwa terdapat kelemahan
didalam sistem persedian di perusahaan tersebut yaitu otorisasi atas bukti pengiriman
dan pencatatan, serta lemahnya monitoring terhadap pelaksanaan penerimaan dan
pengiriman barang.
b. Metode Deteksi
Dalam pendeteksian kecurangan atas penjarahan aset atau persediaan
perusahaan, auditor melakukan penelaahan terhadap proses yang terkait dengan
penerimaan dan pengiriman persedian, serta penelahaan terhadap kontrak/perjanjian
kerjasama antar perusahaan dengan pihak ketiga yang terkait dengan pengelolaan
persedian. Auditor juga melakukan physical examination atas persedian dengan
menghitung jumlah persedian yang ada dan membandingkannya dengan pencatatan
persediaan dalam pembukuan, auditor turut membandingkan jumlah persedian dengan
perjanjian yang ada di kontrak, apakah jumlah yang terdapat digudang sudah sesuai
dengan yang ditetapkan di dalam perjanjian. Dalam pengungkapan kecurangan ini, juga
dilakukan permintaan konfirmasi dari pihak-pihak yang terkait.
IV.2.2. Tindak Kecurangan pada Pengeluaran Anggaran Perusahaan Milik
Negara/derah
Tindak kecurangan yang terjadi pada pengeluaran anggaran di BUMN dan
BUMD yang diungkap oleh BPKP berkaitan erat dengan aktifitas pengadaan dalam
bentuk barang dan jasa serta aktifitas pembiayaan rutin maupun alokasi dana khusus.
Didalam aktifitas pengadaan barang dan jasa kecurangan yang kerap terjadi adalah
skema kecurangan yang berkaitan dengan pembayaran biaya atau beban, yang berupa
kesalahan dalam karakterisasi atau klasifikasi beban, beban yang dilebihkan, dan biaya
109
atau beban fiksi, kecurangan dalam billing scheme, yang berupa personal purchase atau
pembelian untuk pribadi yang dibebankan kepada perusahaan, pass - through vendors
dengan mengambil keuntungan dari kelebihan bayar ke vendor, dan check tampering
dengan melakukan pemalsuan atas cek, voucher, dan bukti dokumen yang terkait.
Kasus kecurangan yang berkaitan dengan proses pengadaan barang dan jasa serta
penggunaan dana anggaran di dalam BUMN dan BUMD terdapat delapan belas kasus.
Berikut adalah tabel IV. 9 lampiran 9 pengelompokkan menurut jenis kecurangan yang
diklasifikasikan oleh AFCE:
Dari tabel IV. 9 lampiran 9 menunjukkan bahwa jenis kecurangan yang paling
banyak terjadi pada pengeluaran kas BUMN dan BUMD adalah Expense reimbursement
schemes yaitu 12 kasus dari 18 kasus yang terjadi. Expense reimbursement schemes
yang terjadi adalah mischaracterize expense pada tujuh kasus dan sisanya merupakan
fictious and overstated expense pada lima kasus. Kasus kecurangan yang lain adalah
kredit palsu yang dilakukan oleh bank milik negara dua kasus, personal purchase 1
kasus , Pass – through vendors 1 kasus, payroll scheme 1 kasus dan check tampering 1
kasus. Kecurangan pada pengeluaran kas dinilai lebih bervariasi dibandingkan pada
penerimaan dan pengelolaan aset maupun kecurangan pada laporan keuangan, sehingga
modus yang dilakukan oleh pelaku sangat beragam.
1. Expense reimbursement scheme – mischaracterized expense
Kesalahan dalam karakterisasi atau identifikasi beban merupakan tindak
kecurangan yang dilakukan dengan sengaja agar perusahaan atau pemerintah membayar
atas beban yang sebenarnya bukan tanggungan/kewajiban pemerintah.
a. Modus Operandi
110
Modus operandi yang terjadi pada kecurangan mischaracterized expense di
BUMN dan BUMD biasanya terjadi perubahan atas mata anggaran biaya atau beban.
Pelaku merubah alokasi dana yang sudah ditetapkan menjadi pengeluaran atas biaya atau
beban yang lain. Tujuan dari modus operandi ini adalah agar beban atau biaya yang
seharusnya bukan tanggungan pemerintah menjadi tanggungjawab pemerintah sehingga
mengurangi beban untuk perusahaan. Dari 5 kasus tentang mischaracterized expense,
semuanya merupakan kasus yang terkait dengan Prokespen (rescue package), adanya
tambahan tunjangan kerja dan biaya manfaaat dengan malakukan tambahan pembayaran
premi atas polis asuransi karyawan. Biaya ini oleh perusahaan dijadikan sebagai cost
recovery yaitu biaya operasional yang bisa dikembalikan atau diganti oleh negara,
padahal dalam peraturan pemerintah mengenai cost recovery, jelas bahwa biaya
additional remunerating dan Benefit cost bukan merupakan biaya operasional dan tidak
termasuk dalam biaya yang mendapatkan pengembalian. Berikut adalah modus operadi
pada kasus tindak kecurangan mischaracterized expense:
1) Pada kasus pembebanan Dana Rescue Package sebagai Cost Recovery pada PT
Y tahun 2001 dan tahun 2002 yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku modus yang dilakukan oleh PT Y dengan mengajukan
manajemen Kontraktor Production Sharing (KPS) menyertakan karyawannya
dalam proteksi kesehatan pensiunan (Prokespen). Diketahui bahwa Dirut PTM
telah menyetujui pembebanan dan rescue package Prokespen dari PT Y ke PT
ATJM sebagai cost recovery melalui additional remunerating & benefit cost. Hal
tersebut menyimpang dari UU No. 8 tahun 1971 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 10 tahun 1974. Karena pembebanan tersebut mempengaruhi
anggaran PTM, seharusnya terlebih vahulu mendapatkan persetujuan Dewan
111
Komisaris Pemerintah untuk PTM. Dana rescue package juga tidak dapat
dikategorikan sebagai biaya operasi (operating cost) sebagimana diatur dalam
perpanjang kontrak bagi hasil PTM dengan PT Y tanggal 11 Januari 1997. Hal
tersebut mengingat dana rescue package Prokespen merupakan tambahan dana
kumulatif premi yang harus dikembalikan PT AJM kepada karyawan PT Y
peserta Prokespen, pengembalian tersebut sehubungan dengan pemutusan polis.
Penyimpangan tersebut mengakibatkan keuangan negara mengalami kerugian
sebesar Rp1.605.963.522,00.
2) Pada kasus pembebanan dana rescue package sebagai cost recovery pada
VINDO tahun 2001 sampai dengan 2003 tidak sesuai dengan undang-undang
dan Kontrak Bagi Hasil dengan PRT. Pada 24 mei 1993 VINDO membuka polis
di PT AJTM untuk Program Kesehatan Pensiunan untuk karyawan. Kemudian
kepala BPPKA-PRT asal usulan tim kecil yang membahas prokespen membuat
usulan menambahkan Additional remunerating dan Benefit cost pada anggaran
biaya pada 11 KPS (Kontraktor Production Sharing) tahun 2000 dan 2001, pada
periode 29 Juni 2001 sampai dengan 2003 VINDO membayar tambahan premi
(rescue package) prokespen sebesar Rp3.361.315.120,00 yang dibebankan
sebagai cost recovery. Dari jumlah tersebut yang menjadi kerugian keuangan
negara adalah sebesar Rp2.391.703.437,00.
3) Kasus pembebanan dana rescue package sebagai cost recovery pada UI company
tidak sesuai dengan undang-undang dan Kontrak Bagi Hasil dengan PRT. Kepala
BPKKA-PRT menganjurkan manajemen KPS menyertakan karyawannya dalam
Prokespen. UI company pada tanggal 22 Juni menutup Asuransi Prokespen
dengan PT AJTM. Kemudian kepala BPPKA-PRT asal usulan tim kecil yang
112
membahas prokespen membuat usulan menambahkan Additional remunerating
dan Benefit cost pada anggaran biaya pada 11 KPS (Kontraktor Production
Sharing) tahun 2000 dan 2001 untuk 103 peserta. Pada periode 10 December
2001 UI membayar tambahan premi (rescue package) prokespen sebesar
Rp2.789.878.192,00 yang dibebankan sebagai cost recovery. Dari jumlah
tersebut yang menjadi kerugian keuangan negara adalah sebesar
Rp1.985.1004.349,00.
4) Kasus pembebanan dana rescue package sebagai cost recovery pada KP S.A
tahun 2000 sampai dengan 2002 tidak sesuai dengan undang-undang dan
Kontrak Bagi Hasil dengan PRT. KP S.A pada 24 mei 1993 membuka polis di
PT AJTM untuk Program Kesehatan Pensiunan untuk karyawan. Kemudian pada
tanggal 26 Oktober 2000 kepala BPPKA-PRT asal usulan tim kecil yang
membahas prokespen membuat usulan menambahkan Additional remunerating
dan Benefit cost pada anggaran biaya pada 11 KPS tahun 2000 dan 2001 untuk
KP S.A, pada periode januari 2001 sampai dengan 31 mei 2002 VINDO
membayar tambahan premi (rescue package) prokespen sebesar
Rp2.123.242.261,00 yang dibebankan sebagai cost recovery. Dari jumlah
tersebut yang menjadi kerugian keuangan negara adalah sebesar
Rp1.554.516.958,00.
5) Kasus pembebanan dana rescue package sebagai cost recovery pada CI Inc.ltd
tahun 2001 tidak sesuai dengan undang-undang dan Kontrak Bagi Hasil dengan
PRT. Kepala BPKKA-PRT menganjurkan manajemen KPS menyertakan
karyawannya dalam Prokespen. CI Inc.ltd pada tanggal 22 Juni menutup
Asuransi Prokespen dengan PT AJTM. Kemudian kepala BPPKA-PRT asal
113
usulan tim kecil yang membahas prokespen membuat usulan menambahkan
Additional remunerating dan Benefit cost pada anggaran biaya pada 11 KPS
(Kontraktor Production Sharing) tahun 2000 dan 2001 untuk CI Inc.ltd. Pada
periode 30 Januari 2001 dan 30 april 2001 PT ATJM mengajukan nota tagihan
tambahan premi sebesar Rp619.155.672,00. Pada 20 Februari 2010 dan 14 Mei
2010 CI Inc.ltd membayar tambahan premi (rescue package) prokespen sebesar
Rp619.155.672,00 yang dibebankan sebagai cost recovery. Dari jumlah tersebut
yang menjadi kerugian keuangan negara adalah sebesar Rp440.552.789,00.
Timbulnya kasus kecurangan ini dikarenakan lemahnya arus informasi dan
komunikasi di lingkungan pemerintahan sehingga seseorang bisa merubah informasi
sesuai dengan kehendaknya.
b. Metode Deteksi
Dalam pengungkapan jenis kecurangan dan modus operandi seperti ini, auditor
investigasi BPKP melakukan penelaahan dan mempelajari kontrak bagi hasil antara PRT
dengan kontraktor dan meneliti kesesuaian pembebanan rescue package Prokespen yang
dibebankan oleh perusahaan ke negara dengan UU no. 7 tahun 1991, dan melakukan
perhitungan kembali atas biaya rescue package Prokespen yang dibebankan ke
PRT/pemerintah.
2. Expense reimbursement scheme – fictious and overstated expense
a. Modus Operandi
Dari kasus-kasus yang terkait dengan biaya fiksi, modus operandi yang
dilakukan oleh pelaku dengan mengajukan permohonan dana untuk pekerjaan yang
sebenarnya tidak ada atau tidak dilakukan dan membuat dokumen rekayasa untuk
114
mempertanggungjawabkannya. Pada tindakan melebih-lebihkan biaya modus yang
dilakukan oleh pelaku juga dengan melakukan rekayasa terhadap laporan
pertanggungjawaban pekerjaan, sehingga nilai pekerjaan setelah dilakukan perhitungan
ulang sangat berbeda dengan nilai yang seharusnya ada di dalam kontrak. Berikut adalah
modus operandi kasus-kasus:
1) Tindak kecurangan pada kasus pencairan dan penggunaan dana bantuan
perkuatan dalam bidang produksi oleh KSU LS kecamatan CLG Kabupaten L
provinsi B tahun anggran 2006 adalah adanya pencairan atas dana bantuan dana
sebesar Rp850.025.000,00 dari Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah oleh pengurus koperasi melalui Bank Z tanpa didukung berita acara
kemajuan pekerjaan dan berita acara serah terima pekerjaan yang diketahui oleh
Dinas Koperasi Kabupaten L. Diawali dengan adanya permohonan modal kerja
dan investasi untuk biaya produksi dan pengelolaan budidaya Jarak menjadi
Crude Jatrophia Oil (JCO) oleh pengurus KSU LS. Pada tanggal 10 Oktober
2006 pengurus KSU membuat dokumen pendukung pencairan dana, serta
pemohonan pencairan dana untuk ditransfer ke Bank Z atas nama pengurus KSU
LS, serta kwitansi penerimaan dana bantuan yang diketahui oleh Kepala Kantor
Koperasi dan UKM Kabupaten L. Selanjutnya pengurus koperasi mencairkan
dana tersebut sejumlah Rp850.000.000,00 yang tanda didukung Berita Acara
kemajuan Pekerjaan dan penyelesaian akhir pekerjaan yang dituangkan dalam
Berita Acara Serah Terima Pekerjaan yang diketahui oleh Kepala Dinas Koperasi
serta kontrak tertulis yang diketahui Kepala Dinas Koperasi. Sesuai dengan
Laporan Pelaksanaan Tugas Monitoring dan Evaluasi Program Budidaya Jarak
Pagar pada Koperasi di L tahun 2007 yang dibuat kepala seksi FPSP Kantor
115
Koperasi dan UKM kab. L dilaporkan tidak ditemukan pengurus lima koperasi
yang dimonitor diantaranya pengurus KSU LS kecamatan C. akibat dari
penyimpangan ini keuangan negara mengalami kerugian sebesar
Rp850.000.000,00. Terdapat 4 kasus lain yang memiliki modus operandi dan
jumlah kerugian negara yang sama dengan kasus sebelumnya karena pemberian
dana bantuan tersebut dilakukan kepada 4 KSU, kasus tersebut adalah kasus
penyimpangan pencairan dan penggunaan dana bantuan perkuatan dalam bidang
produksi oleh koperasi serba usaha RBY Kecamatan P Provinsi B tahun
anggaran 2006, kasus penyimpangan pencairan dan penggunaan dana bantuan
perkuatan dalam bidang produksi oleh koperasi kelompok tani BSA Kecamatan
C Provinsi B tahun anggaran 2006, Dan terakhir kasus indikasi tindak pidana
korupsi dalam pencairan dana bantuan perkuatan dalam bidang produksi untuk
koperasi serba usaha NI tahun anggaran 2006.
2) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penggunaan dana APBD pada
Rumah Sakit Umum Daerah BA kabupaten PWK, terjadi penyalahgunaan atas
pengeluaran anggaran pada dana pembelian obat, dana pembelian film radiologi,
dana pembelian bahan perlengakapan laboratorium, proyek renovasi gedung
farmasi ASKES, rehabilitasi rumah dinas paramedis, dan proyek rehabilitasi
sarana dan prasarana kesehatan. Dalam pembelian obat, RSUD BA telah
mengalokasikan dana sebesar Rp5.500.000.000,00 dan dilakukan pembayaran
kepada 34 Pedagang Besar farmasi (PBF) sejumlah Rp4.242.402.100, namun
didalamnya termasuk obat yang dikembalikan kepada PBF sebesar Rp
22.382.090,00, tagihan faktur yang dibatalkan sebesar Rp19.312.150,00 dan
kelebihan pembayaran atas pembelian gas sebesar Rp6.462.500,00, sehingga
116
terdapat pertanggungjawaban yang tidak benar atas dana sebesar Rp
48.156.740,00. Terdapat juga pertanggunjawaban yang tidak benar atas dana
pembelian bahan perlengakapan laboratorium sebesar Rp33.969.288,00.dengan
pembuatan Berita Acara Pemeriksaan palsu atas pembelian alat yang sebenarnya
tidak ada dan pengembalian barang kepada PBF. Pada pelaksanaan fisik
pembangunan gedung rumah sakit terjadi pembuatan Berita Acara Pekerjaan
telah selesai 100%, namun nyatanya tedapat kekurangan fisik atas pelaksanaan
tersebut sebesar Rp10.952.300,00. Berbagai tindak kecurangan yang terjadi
tersebut mengakibatkan keuangan negara/daerah mengalami kerugian sebesar
Rp93.078.328,00.
3) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi terhadap dana pengaspalan bantuan PT
PRT regional jawa dan pemda S untuk desa J kecamatan S kabupaten S panitia
perbaikan jalan tersebut dipimpin dan dibentuk oleh kepala desa J tanpa ada
uraian tugas personal, terdapat sellisih pembayaran karena perbedaan material
batu yang digunakan menggunakan harga satuan standar Bupati dengan Harga
rill hasil konfirmasi. Hasil pemeriksaan fisik dilapangan yang dilakukan oleh
Dinas PU Kabupaten SBG dan Bawasda SBG menunjukkan bahwa material batu
yang dibutuhkan hanya 1.061,20 m3 dan jika dikalikan dengan harga material
batu adalah Rp106.120.000,00, namun panitia melakukan pembayaran 3 kali
dengan total Rp123.404.008,00. dari hasil rekayasa Sdr M, sehingga terjadi
kelebihan pembebanan yang merugikan keuangan negara sebesar
RP23.230.000,00.
4) Dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di RSHJ dalam pengadaan alat
kesehatan habis pakai tahun anggaran 2005-2007 terjadi penerimaan diskon
117
dimuka oleh Sdr A, B, C, dan D atas pembelian alat kesehatan kepada PT MMP
yang digunakan untuk mendanai biaya studi banding dokter ke Jerman, namun
kontrak perjanjian pembelian tersebut tidak bernomor dan tidak tercatat dalam
pembukuan dan kegiatan studi banding tersebut juga tidak memiliki dasar karena
tidak ada dalam RKAP tahun 2005 dan tidak disahkan oleh RUPS. Dana tersebut
juga digunakan oleh direksi untuk biaya keamanan saat ada demo karyawan,
namun pengeluaran tersebut tidak dibukukan. Dari tindak kecurangan tersebut
kerugian negara/perusahaan yang ditimbulkan adalah sebesar Rp884.444.072,00.
Timbulnya kecurangan ini dikarenakan lemahnya pengendalian pemerintah atas
otorisasi transaksi dan lingkungan pengendalian yang diciptakan oleh petinggi/pejabat
yang buruk, tidak adanya integritas, nilai etis, pembagian tugas, dan filosofi manajemen
yang bagus.
b. Metode Deteksi
Dalam pengungkapan kecurangan ini auditor investigasi melakukan
pengumpulan dan pemahaman atas ketentuan-ketentuan yang berlaku di pemerintahan
dan di perusahaan. Kemudian auditor melakukan pengumpulan data terkait dengan
pencairan dana, selanjutnya melakukan pengujian terhadap penyaluran dana dan
pengembalian dana, melakukan perbandingan atas dokumen pencatatan dengan SPJ
maupun kontrak dan terakhir auditor melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak yang
terkait atas jumlah dan kegiatan penyaluran dana tersebut.
3. Billing scheme – fictious loan
a. Modus Operandi
118
Modus operandi yang dilakukan pelaku dalam pemberian kredit palsu dengan
melakukan pengajuan kredit baru maupun penambahan jumlah kredit atas nama nasabah
yang telah menyelesaikan angsurannya. Pelaku juga melakukan administrasi sendiri atas
proses pengajuan kredit tersebut. Berikut adalah modus operandi pada 2 kasus
kecurangan kredit fiktif:
1) Didalam kasus dugaan kredit fiktif pada PD. B bank pasar Kabupaten XYZ tahun
2005 terjadi penyimpangan berupa pembuatan kredit pensiunan fiktif oleh
petugas pelayanan kredit pensiunan yang digunakan untuk kepentingan pribadi.
Pegawai 01 ditugaskan secara lisan oleh Direksi untuk melakukan pelayanan
pemberian kredit pensiunan di Kantor Pelayanan Kas Pembantu PD. B. dalam
melaksanakan tugasnya pegawai 01 melakukan sendiri proses pemberian kredit
pensiunan tersebut dan mengadministrasikan kredit kedalam sistem informasi
manajemen. Setiap melaksanakan tugasnya pegawai 01 meminta sebagian uang
dari pegai 02 dan 03 di kantor pusat PD. B. dan tidak digunakan untuk
kepentingan kredit sebagian digunakan untuk kepentigan pribadi. Agar
penggunaan uang tersebut tidak diketahui perusahaan, pegawai 01 merekayasa
buku kas bantu dan buku bantu kredit, seolah-olah ada pemberian kredit. Dari
tindak kecurangan ini kerugian keuangan pemerintah kabupaten XYZ sebesar
Rp1.223.147.128,00 dan terdapat kehilangan pendapatan bunga sebesar
Rp354.054.052,00 atas uang tidak disalurkan sebagai kredit.
2) Pada tindak kecurangan dugaan penyimpangan pemberian kredit pada PD. B DT
Kabupaten SRG tahun 2006-2007 terdapat penyimpangan dalam penyaluran
kredit dan tidak menyetorkan sebagian angsuran pinjaman serta merubah input
data mengenai bunga yang akan diterima pada rekening Koran nasabah. Dalam
119
rangka meningkatkan pelayanan kepada nasabah serta memudahkan segala
urusan nasabah, Sdr A membuat kebijakan tertulis untuk mengangkat beberapa
staff sebagai petugas kredit pada pos pelayanan Tanon, dan pengangkatan
petugas tersebut tidak disertakan uraian tugas secara tertulis. Dalam prakteknya
petugas melakukan lapping dengan tidak menyetorkan seluruh penerimaan
angsuran nasabah ke Kasir di PD B DT kabupaten SRG. Ditemukan fakta bahwa
petugas tersebut melakukan penundaan pembayaran sebesar Rp75.759.203,00.
Selama menjabat pertugas kredit di Kec. Tanon, sekurang-kurangnya telah
membuat 13 permohonan kredit tanpa permintaan kredit dari nasabah senilai Rp
380.000.000, setelah dilakukan klarifikasi dengan pihak terkait nyatanya berkas
kredit tersebut tidak lengakap, tidak ada buku tabungan dan laporan penilaian
jaminan. Posisi 13 kredit fiktif tersebut atas 1 juli 2007 dan 1 agustus 2007
setelah dikurangi angsuran sebesar Rp24.066.900,00 dan ditambah denda bunga
Rp11.263.176,00. Jumlahnya menjadi Rp367.196.816,00. Petugas tersebut juga
meninggikan kredit terhadap 1 nasabah senilai Rp12.032.842.00. dari tindakan
kecurangan tersebut mengakibatkan keuangan daerah/PD. B DT sebesar
Rp64.988.083,00.
Dari dua kasus diatas terlihat lemahnya sistem pengendalian atas infomasi dan
komunikasi di dalam perusahaan tersebut serta otorisasi atas transaksi.
b. Metode Deteksi
Dalam pengungkapan kecurangan ini auditor investigasi pertama melakukan
pemahaman atas ketentuan-ketentuan perkreditan yang berlaku, memperoleh dokumen
yang terkait dengan pemberian dan pencairan kredit, kemudian melakukan klarifikasi
120
kepada pihak yang terkait kepada proses pencairan kredit, dan melakukan konfirmasi
kepada nasabah atas kredit tersebut.
4. Billing scheme – personal purchase
a. Modus Operandi
Modus operandi pada tindak kecurangan personal purchase di BUMN dan
BUMD biasanya dilakukan oleh pejabat atau top management dari perusahaan. Para
pelaku membuat pengeluaran anggaran untuk membiaya pembelian untuk dirinya
sendiri. Mereka membuat SPJ fiktif atas pengeluaran yang sebenarnya tidak pernah
terjadi. Berikut adalah modus operandi kasus pada tindak kecurangan personal
purchase:
1) Pada kasus penyimpangan dana perusahaan oleh Direksi PT MP (Persero) modus
operandi yang dilakukan oleh pelaku adalah dengan menggunakan dana
perusahaan untuk perjalanan dinas fiktif. Selama tahun 2004 sampai dengan
2007 Direktur personalia dan umum telah melakukan 15 kali perjalanan dinas ke
luar negeri dan 146 kali perjalan dinas dalam negeri, namun setelah dilakukan
audit investigasi terdapat 6 perjalanan dinas keluar negeri dan 5 perjalanan dalam
negeri yang fiktif. Pelaku membuat SP2D mengenai perjalanan dinas tersebut
untuk uang harian, pesawat, dan akomodasi/hotel kemudian tidak dapat
mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut dengan bukti yang lengkap
dan terdapat beberapa kwitansi yang dibuat sendiri oleh pelaku untuk beberapa
perjalanan dinasnya. Pelaku juga menggunanakan fasilitas perjalanan luar negeri
untuk kepentingan pribadi, dengan melakukan realisasi anggaran atas pertemuan
121
kerja atau persiapan training, namun dalam pelaksanaanya pelaku melakukan
liburan dengan keluarga dan tidak menghadiri acara tersebut, dan kemudian
menyediakan bukti pendukung fiktif. Dari kecurangan yang dilakukan oleh
pelaku, negara mengalami kerugian sebesar US$105,990.44 dan
Rp84.432.100,00
Dari kasus diatas terlihat lemahnya sistem pengendalian atas infomasi dan
komunikasi di dalam perusahaan tersebut serta penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
di perusahaan.
b. Metode Deteksi
Dalam pengungkapan kasus ini auditor melakukan penelahaan terhadap surat
keputusan direksi, surat edaran, surat direksi utama dan dewan komisaris, kemudian
memperoleh dan menelaah dokumen perjalanan dinas, kwitansi, atau bukti pendukung
lainnya. Auditor kemudian melakukan konfirmasi kepada Biro Perjalanan dan
penginapan serta melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang terkait.
5. Pass – through vendors
a. Modus Operandi
Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku pada tindak kecurangan di BUMN
dan BUMD adalah dengan tidak menyalurkan barang ke pengecer resmi, sehingga
pelaku mendapatkan keuntungan dari selisih harga penjualan atau penyaluran barang
tersebut. Berikut adalah modus operandi kasus pada kecurangan pass – through vendors:
1) Modus operandi pada kasus kecurangan penyimpangan atas penyaluran pupuk
urea bersubsidi di wilayah provinsi XYZ tahun anggaran 2004 – 2005, yang
delapan distributor resmi dengan tidak menyalurkan pupuk bersubsidi kepada
122
pengecer resmi sesuai dengan jumlah yang ditebus PT PSR pemasaran daerah
XYZ. Depalan distributor resmi tersebut yang telah ditunjuk oleh PT PSR PD
XYZ membuat laporan yang tidak benar atas realisasi distribusi pupuk, seolah-
olah pupuk yang telah didistribusikan kepada pengecer resmi yang ditunjuk,
namun kenyataanya hanya sebagian yang disalurkan melalui pengecer resmi.
Akibat dari tindakan tersebut negara mengalami kerugian sebesar
Rp3.408.749.782,00 atas subsidi yang seharusnya tidak dikeluarkan oleh
pemerintah.
Tindak kecurangan ini terjadi karena lemahnya sistem pengendalian dalam
pengawasan terhadapat pelaksanaan kontrak tersebut, rekanan sengaja membuat daftar
pengecer resmi dalam rangka pemberian bantuan subsidi, namun pada kenyataanya
rekanan menjual ke pengecer tidak resmi dengan harga yang tinggi untuk mendapatkan
keuntungan.
b. Metode Deteksi
Dalam pengungkapannya, auditor melakukan penelaahan terhadap hasil audit
BPK atas subsidi pupuk tahun 2005 dan 2006, melakukan reviu atas konfirmasi dari
pihak-pihak terkait dan laporan bulanan penjualan/penyaluran yang dilakukan oleh
rekanan dan melakukan perbandingan hasil pupuk penjualan pada SPJB pupuk antara
rekanan dengan pengecer resmi dengan laporan penerimaan/pemasukan pupuk pada
pengecer resmi.
6. Payroll scheme
a. Modus Operandi
123
Modus operandi yang dilakukan pelaku adalah dengan melakukan laporan tenaga
kerja yang direkayasa. Hal tersebut dilakukan agar pemerintah/perusahaan membayar
tenaga kerja lebih besar daripada realisasi sebenarnya. Berikut adalah modus operandi
kasus pada kecurangan payroll scheme:
1) Tindak kecurangan dalam pembayaran kepada PT NU atas pelaksanaan
outsourcing roll out CR PT P (Persero) terlalu besar adalah dengan melakukan
berbagai tindak penyimpangan yang mengakibatkan biaya yang telah dibayar PT
P atas pengadaan jasa terlalu besar. Penunjukan PT NU sebagai perusahaan yang
melakukan pekerjaan outsourcing roll out pelaksanaan Customer Information-
System – Rencana Induk Sistem Informasi dilakukan dengan penunjukan
langsung dan telah dilakukan evaluasi, namun pada saat negosiasi, tim PT P
tidak memiliki HPS yang dikalkulasi secara keahlian dan HPS yang ada
merupakan negosiasi dengan PT NU. Dalam pelaksanaan kontrak terdapat
kelebihan bayar atas jumlah personil PT NU yang melakukan pekerjaan sebesar
Rp41.745.491.869,00, PT P juga telah melakukan pembayaran atas biaya sewa
kantor selama 22 bulan untuk PT P dan terjadi kelebihan bayar menurut
perhitungan luas bangunan oleh SE Bappenas sejumlah Rp 124.080.000. terjadi
juga kelebihan bayar dalam biaya sewa kendaraan yang dilakukan oleh PT P dari
PT JMS sebanyak 52 sampai dengan 54 unit selama 22 bulan dengan total
kelebihan bayar sebesar R 343.800.000,00 dengan menggunakan nama PT JMS
yang harganya ditinggikan dan mempertanggungjawabkan penggunaan
kendaraan yang sebenarnya perjanjian sewa atas nama PT SDI. Pelaksanaan
pekerjaan outsourcing roll out CR tersebut sebenarnya tanpa persetujuan RUPS.
124
Dari tindak kecurangan tersebut, kerugian keuangan negara sebesar
Rp43.945.618,00.
Tindak kecurangan ini terjadi karena tidak adanya pengawasan didalam proses
pelaksanaan lelang dan pembayaran atas outsourcing pekerja, sehingga rekanan dapat
melakukan tindakan kecurangan dengan leluasa, hal tersebut juga terjadi karena PT. P
tidak memiliki pengetahuan dan penilaian terhadap barang atau jasa yang ingin diadakan
dan kompetensi rekanan dalam menyediakan pengadaan. Selain itu juga terdapat biaya-
biaya yang ditinggikan oleh rekanan.
b. Metode deteksi
Dalam pendeteksian jenis kecurangan ini, metode deteksi yang dilakukan auditor
adalah dengan mengumpulkan dan melakukan penelaahan terhadap dokumen yang
terkait dengan kontrak kerjasama dan pengadaan, menguji ketaatan pengadaan tersebut
berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan, mendapatkan perhitungan dan pendapat
ahli mengenai jasa yang diberikan, menguji kewajaran pengeluaran biaya langsung
personil dan non personil dengan menghitung kembali, dan membandingkannya dengan
kontrak dan laporan hasil pekerjaan dengan mempertimbangkan pendapat dari ahli,
auditor juga melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait untuk menguji
pengeluaran tersebut.
7. Check tampering
a. Modus operandi
Modus operandi yang dilakukan pelaku pada tindak kecurangan check tampering
di BUMN dan BUMD adalah dengan menambahkan jumlah pencairan dana atas
pengeluaran biaya. Pelaku merupakan pejabat di perusahaan yang memerintah kepada
125
pegawai keuangannya untuk mengubah jumlah pencairan dana dan kemudian
mengambil kelebihan dana tersebut untuk kepentingan pribadi. Berikut adalah modus
operandi tindak kecurangan check tampering:
1) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengeloaan keuangan PM
Kabupaten L tahun 2005 sampai dengan 2008 terjadi pengambilan uang oleh A
dari kas perusahaan yang dikelola oleh Sdr C untuk kepentingan pribadi. Dalam
melaksanakan kegiatan operasonal PM sebagai perusahaan milik negara
penyedia sarana publik untuk masyarakat, masing-masing bagian mengajukan
rencana biaya atau tagihan definitif kepada bagian keuangan yang selanjutnya
diverifikasi oleh D dan dibuatkan bukti pengeluaran berupa voucher. Voucher
tersebut ditanda-tangani oleh D dan B selaku atasan serta ditanda-tangani oleh A
sebagai pejabat pemberi persetujuan pengeluaran kas, dan kemudian C
melaksanakan penarikan ke bank. Atas kegiatan tersebut C membuat Daftar
Pengeluaran Harian dan Laporan Haran Has. Tindakan kecurangan yang
dilakukan oleh A adalah dengan memerintah C untuk menambahkan jumlah nilai
rupiah dalam slip/cek penarikan bank atas jumlah biaya operasional yang akan
dicairkan C. selanjutnya kelebihan uang tersebut diminta oleh A tanpa dicatat
dalam pembukuan perusahaan. Hal tersebut dilakukan terus-menerus dari bulan
mei 2005 sampai dengan februari 2008, sehingga mengakibatkan keuangan
negara mengalami kerugian sebesar Rp2.235.000.000,00.
Dalam tindak kecurangan ini terdapat penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
karena lemahnya pengendalian di dalam lingkungan pengendalian perusahaan itu
sendiri, tidak adanya integritas dan nilai etis yang dimiliki oleh pejabat tinggi sebagai
126
“tone at the top” dalam perusahaan. Dalam pemberian otoritas juga tidak jelas siapa
yang paling bertanggungjawab.
b. Metode Deteksi
Dalam pengungkapan kasus yang terkait dengan pemalsuan cek, auditor
investigasi melakukan perbandingan terhadap jumlah saldo kas pada pembukuan dengan
saldo kas yang ada pada rekening koran, maupun data dari perhitungan kembali uang
kas yang ada. Auditor juga melakukan vouching atas transaksi yang ada dalam laporan
harian kas dan laporan pengeluaran harian.
IV.2.3. Tindak Kecurangan pada Laporan Keuangan BUMN dan BUMD
1. Asset Overstatement
Pada kecurangan laporan keuangan ini, tindak kecurangan dilakukan oleh
entitas/perusahaan yang sebagian besar sahamnya merupakan milik salah satu BUMN di
Indonesia. Entitas tersebut melaporkan aset yang ternyata tidak diketahui keberadaanya.
Manipulasi atas laporan keuangan tersebut menyebabkan mislead terhadap BUMN
tersebut sebagai pemegang saham.
a. Modus Operandi
Kecurangan yang terjadi pada kasus penyertaan saham PT X pada PT NPI
adanya penyertaan saham PT X di PT NPI diawali dengan laporan keuangan dengan
overstatement aset atas PT NPI, karena nilai aset dari penyertaan modal berupa peralatan
Napsite oleh PT ISM yang berada di luar negeri ternyata tidak dapat dibuktikan
keberadaannya, sehingga penilaian aset atas PT NPI dinilai tidak wajar dan tidak adanya
pengungkapan yang wajar dan cukup mengenai hal tersebut.
127
Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam investasi penyertaan saham PT
X pada PT NPI adanya penyertaan saham PT X di PT NPI sebesar US$7.025.445,92 dan
tagihan PT X di PT NPI atas pencairan deposito valas yang dijaminkan kepada Bank M
sebesar Rp4,502,559.49 untuk pendanaan PT NPI merugikan negara karena PT NPI
sudah tidak beroperasi lagi. Penyetoran modal yang dilakukan oleh PT ISM sebesar 68%
dalam bentuk peralatan Napsite milik PT ISM di USA ternyata tidak pernah dilihat, PT
NPI hanya sebatas verifikasi data/dokumen berupa kuitansi, bukti barang kirim, dan
tagihan. Saat investasi PT X tidak menemukan adanya data dan fakta bahwa PT X telah
melakukan observasi keandalan mitranya melalui proses due dilligance. Jumlah
kepemilikan saham PT X di PT NPI yang semula 32% menjadi 60% senilai
US$7.025.445,92. Besarnya nilai pembelian saham tersebut didasarkan penelitan pihak
business development group PT X terhadap PT NPI.PT NPI juga mendapatkan 2 kali
fasilitas kemudahan kredit Bank M dengan jaminan valas milik PT X dengan nilai
jaminan USD4.600.000,00, karena PT. NPI tidak dapat melakukan pelunasan, maka
Bank melakukan pencairan atas valas tersebut. Akibat dari penyimpangan yang terjadi
keuangan negara harus mengalami kerugian sebesar USD11.528.005,41.
Tindak kecurangan ini timbul dari lemahnya penilaian resiko terhadap entitas
tersebut, tidak ada observasi dan penilaian terhadap perusahaan itu sebelumnya sehingga
tidak ada proses due dilligance dalam pelaksanaan investasi.
b. Metode Deteksi
Dalam pengungkapan kasus ini auditor investigasi di BPKP melakukan
pengumpulan atas dokumen-dokumen mengenai peraturan yang berlaku di perusahaan
dan peraturan mengenai pernyertaan saham dan laporan keuangan, kemudian auditor
128
melakukan analisa bukti-bukti atas dokumen yang berkaitan dengan pendirian
perusahaan. Auditor juga melakukan wawancara terhadap pihak-pihak terkait lainnya
IV.2.4. Kerugian Negara dari Kecurangan di BUMN & BUMD
Dari keseluruhan data kecurangan di BUMN dan BUMD yang diungkap oleh
BPKP dan tuntas secara hukum pada tahun 2009, berikut adalah tabel jumlah kerugian
negara yang ditimbulkan oleh kecurangan pada penerimaan anggaran dan pengelolaan
aset, pengeluaran anggaran dan pengelolaan utang:
Tabel IV.10
Jumlah Kerugian Negara di BUMN dan BUMD
No. Kecurangan Jumlah Kasus
Total
1. Kecurangan terhadap penerimaan anggaran dan pengelolaan asset 7
Rp 14,311,221,734.392. Kecurangan terhadap pengeluaran anggaran
pengadaan barang dan jasa dan non pengadaan barang dan jasa.
18 Rp 37,304,756,166.00
$ 105,990.003 Kecurangan terhadap laporan keuangan 1 $ 11,528,005.00
26Rp 51,615,977,900.39
TOTAL $ 11,633,995.00
dari tabel diatas terlihat bahwa dari total keseluruhan jumlah kerugian negara
yang ditimbulkan oleh berbagai tindak kecurangan, jumlah kecurangan yang paling
banyak merugikan negara adalah kecurangan dalam penyertaan modal yang dilakukan
pada perusahan lain akibat dari kecurangan yang dilakukan dalam pelaporan keuangan
perusahaan, yaitu sebesar US$11,528,000.00, kemudian kecurangan pada anggaran
merupakan tindak kecurangan yang paling banyak terjadi dan paling banyak merugikan
negara kedua setelah kecurangan terhadap laporan keuangan yaitu sekitar Rp 37 Miliar
129
dan US$105,000 dan pada penerimaan kas dan pengelolaan aset jumlah kerugian negara
yang ditimbulkan adalah sebesar Rp 14,3 Miliar.
Pada tabel IV.11 lampiran 11 merupakan kerugian negara pada penerimaan
anggaran dan pengelolaan asset BUMN dan BUMN yang dikelompokkan berdasarkan
jenis kecurangan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa dari seluruh jumlah kerugian negara
atas tindak kecurangan penerimaan dan pengelolaan aset lebih dari setengahnya
diakibatkan dari tindakan skimming yaitu sebesar Rp 8,5 Miliar atau sebesar 60% dari
total keseluruhan kerugian dari tindak kecurangan pada penerimaan dan pengelolaan
aset. Dari empat kasus skimming, tiga kasus merugikan negara dalam jumlah kisaran
ratusan juta rupiah, namun ada satu kasus yang mencapai miliaran rupiah yaitu kasus
penjualan gula dengan kerugian negara senilai Rp 7,2 Miliiar. Kerugian ini yang jumlah
yang paling besar dari keseluruhan tindak kecurangan pada penerimaan kas. Dari tindak
kecurangan lapping jumlah kerugian negara di BUMN dan BUMD yang ditimbulkan
adalah sebesar Rp 421 Juta atau sebesar 3% dari total keseluruhan Rp 14,3 Miliar. Pada
pengelolaan aset milik negara kerugian yang ditimbulkan senilai Rp 5,3 Miliar dari 2
kasus yang terjadi atau sebesar 37% dari total keseluruhan kerugian pada penerimaan
anggaran dan pengelolaan aset.
Dalam tindak kecurangan atas pengeluaran anggaran, berikut adalah tabel IV.12
lampiran 12 mengenai data kerugian negara berdasarkan jenis kecurangan yang terjadi:
Dari tabel IV.12 terlihat menunjukkan akibat dari tindak kecurangan pada
pengeluaran kas BUMN dan BUMD jumlah keseluruhan kerugian negara yang
ditimbulkan adalah sebesar Rp 3,7 Miliar dan USD 105,990. Kasus yang memberikan
kerugian paling besar adalah dari tindak kecurangan personal purchase, yaitu kasus
tindak korupsi yang dilakukan oleh direksi BUMN tersebut. Jumlah kerugian tersebut
130
adalah Rp 84 juta dan USD 105,990. Tindak kecurangan expense reimbursement scheme
– mischaracterize expense juga mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah yang
signifikan yaitu Rp 25,8 Miliar. Dari 5 kasus yang terkait dengan expense
reimbursement scheme – mischaracterize expense, rata rata kerugian yang ditimbulkan
adalah sebesar Rp 3,7 miliar. Pada expense reimbursement – fictious and overstated
expense dari 7 kasus yang terjadi jumlah kerugian yang ditimbulkan sebesar Rp 4,4
Miliar. Dari tindak kecurangan kredit palsu yang terjadi di 2 bank BUMN kerugian yang
ditimbulkan adalah sebesar Rp 1,2 Miliar. Dari kecurangan pass – through vendors yang
terjadi pada 1 kasus, kerugian yang diakibatkan sebesar Rp 3,4 Miliar. Pada kecurangan
payroll scheme kerugian negara yang ditimbulkan senilai Rp 43 juta. Dan terakhir pada
check tampering kerugian yang ditimbulkan sebesar Rp 2,2 miliar.
Pada kecurangan yang ditimbulkan oleh kecurangan pada laporan keuangan
negara mengalami kerugian sebesar US$11,633,995.00 yang berupa investasi kepada
entitas lain. Kerugian negara dalam mata uang asing ini sangat merugikan negara,
karena mata uang asing memiliki nilai lebih dibanding mata uang rupiah. dari jumlah
kerugian sebesar US$11,633,995.00, sebesar US$7,025,445.00 merupakan kerugian
atas penyertaan modal dan US$4,502,559.49 merupakan kerugian atas pencairan
deposito valas milik BUMN.
Dari berbagai tindak kecurangan yang terjadi di BUMN dan BUMD yang telah
diungkap dan selesai dalam proses hukumnya, jumlah kerugian keuangan tersebut
tersebut menjadi bahan pertimbangan oleh pengadilan dalam memberikan putusan
hukum kepada pihak-pihak yang terkait atau kepada pelaku oleh pengadilan. Sebelum
terdapat putusan oleh hakim, seluruh aset pelaku dibekukan agar tidak ada tindakan
lanjut oleh pelaku dalam upaya penyembunyian asetnya. Kerugian negara tersebut
131
Recommended