View
226
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Seksual
1. Perilaku (Practice)
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik dapat diamati
secara langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dimana perilaku
terdiri dari persepsi (percepstion), respon terpimpin (guided respos), mekanisme
(mechanisme), adaptasi (adaptation) (Notoatmodjo, 2003).
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi
karena perilaku merupakan hasil dari perubahan dari berbagai faktor, baik
internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya perilaku manusia
dapat terlihat dari 3 aspek yaitu aspek fisik, psikis dan sosial. Akan tetapi dari
aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku
manusia. Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleks
dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,
motivasi, persepsi, sikap.
Perilaku seseorang atau subyek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-
faktor baik dari dalam maupun dari luar subyek. Dalam perilaku kesehatan
menurut Lawrence Green terbagi tiga teori penyebab masalah kesehatan yaitu :
a. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara
lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi.
b. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya faktor
pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya
perilaku kesehatan.
c. Faktor-faktor penguat (reinforing factors) adalah faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku berawal dari adanya
pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor di luar tersebut
(lingkungan) baik fisik maupun non fisik, kemudian pengalaman dan lingkungan
diketahui, dipersepsikan, diyakini, sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk
bertindak, yang akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa perilaku.
2. Perilaku Seksual Bebas (Sexsual Free Practice)
Perilaku seksual bebas adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis tanpa aturan dan
dalam bentuk tingkah laku ini bermacam-macam atau menyimpang yang dimulai
dari perasaan tertarik pada lawan jenis sampai yang berlanjut pada tingkah laku
berkencan, bercumbu dan bersenggama. Obyek seksual berupa orang lain atau
diri sendiri. Sebagian dari tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa
pada dirinya, terutama jika tidak ada akibat fisik yang dapat ditimbulkannya,
tetapi pada kenyataannya, sebagian perilaku seksual yang lain dimana dapat
dilakukan melalui berbagai cara untuk memulai dari berfantasi, berpegangan
tangan, ciuman kening, ciuman bibir, meraba, berpelukan, menempelkan alat
kelamin (petting), sampai intercouse (memasukkan alat kelamin laki-laki ke alat
kelamin perempuan) (Mu’tadin, 2002).
Hubungan seks mempunyai arti hubungan kelamin sebagai salah satu
bentuk kegiatan penyaluran dorongan seksual. Sedangkan hubungan seksual
bebas adalah melakukan hubungan seksual sebelum adanya ikatan perkawinan,
baik hubungan seks yang penetratif (penis dimasukkan ke dalam vagina, anus,
atau mulut) maupun yang non penetratif (penis tidak dimasukkan ke dalam
vagina) (Munajat, 2000). Sedangkan hubungan seksual bebas memberikan
dampak yang negatif pada anak jalanan baik secara fisik maupun sosial. Secara
fisik yaitu dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan, terkena
Penyakit Menular Seksual dan aborsi. Secara psikis dan sosial menimbulkan
perasaan tertekan, depresi dan berakibat mereka hidup tidak mempunyai arah.
Apabila hal ini terjadi pada anak jalanan akan semakin beresiko yang berakibat
mereka akan terjun ke lembah hitam misalnya menjadi PSK. Pelecehan seksual
juga akan membayangi mereka terutama perempuan sebagai korban dan laki-laki
sebagai pelakunya. Tanpa adanya rasa malu karena mereka didukung oleh
lingkungan yang keras yaitu di jalanan (Munajat, 2000).
Kehidupan sebagai anak jalanan memberikan berbagai pengalaman.
Dimana pengalaman tersebut antara lain melihat atau mengalami sendiri
perlakuan hubungan seksual yang menyimpang, entah atas dasar suka sama suka
atau karena pemaksaan. Sebagian besar anak jalanan yang pernah berhubungan
seksual melakukan secara heteroseksual, tetapi sebagian kecil dari mereka juga
melakukan secara homoseksual. Bahkan ada yang melakukan keduanya baik
secara heteroseksual maupun homoseksual. Remaja jalanan sering terpapar
pelecehan dan mendengar obrolan tentang pengalaman seks anak jalanan yang
lain, tanpa memikirkan dampaknya bagi kesehatan sistem reproduksi mereka.
Hal ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak jalanan dalam hal
melakukan hubungan seksual bebas (Wahyu, 1999).
Dengan matangnya fungsi-fungsi organ seksual pada anak jalanan umur
12-20 tahun, maka timbul dorongan dan keinginan untuk pemuasan seksual.
Dimana mereka mencari kepuasan dengan berkhayal, melampiaskan seks dengan
temannya, atau memutar film porno yang berujung pada hubungan seks bebas
pada anak jalanan (Purwanto, 1999).
B. Kesehatan Sistem Reproduksi
1. Definisi Kesehatan Sistem Reproduksi
Kesehatan sistem reproduksi adalah suatu keadaan dimana fisik, mental
dan sosial berlangsung baik serta tidak hanya absennya penyakit namun
berhubungan dengan sistem reproduksi beserta fungsi dan prosesnya. Maka
untuk memelihara kesehatan sistem reproduksi perlu adanya pencegahan perilaku
seksual bebas terutama pada anak jalanan (Warsito, 2002).
Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat yang menyeluruh,
meliputi aspek fisik, mental dan sosial, bukan hanya sekedar tidak adanya
penyakit atau gangguan di segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi,
fungsinya, proses reproduksi itu sendiri. Kesehatan reproduksi menyiratkan
bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan
menyenangkan dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi, serta
memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering mereka ingin
bereproduksi (Hidayana, 2004).
Sistem reproduksi pada manusia mengatur perkembangbiakan secara
seksual artinya untuk menciptakan individu baru harus ada sperma laki-laki dan
ovum perempuan. Oleh sebab itu pendidikan seks perlu diberikan dalam bentuk
penyuluhan tentang kesehatan sistem reproduksi.
2. Organ Reproduksi
Organ reproduksi wanita bagian luar (genitalia eksterna) meliputi mons
pubis/mons veneris, bibir besar (labia mayor), bibir kecil (labia minor), klitoris,
vulva, uretra (saluran kencing), hymen (selaput dara), sedangkan organ
reproduksi wanita bagian dalam (genitalia interna) meliputi vagina, tuba fallopi,
uterus (rahim), cervik (leher rahim) (Wahyudi, 2000).
Gambar 1. Alat Reproduksi Wanita Bagian Luar (Bagus, 1999)
Gambar 2. Alat Reproduksi Wanita Bagian Dalam (Bagus, 1999)
Pada pria organ reproduksinya meliputi penis, uretra (saluran kencing),
kelenjar prostate, vesikula seminalis, vas deferens (saluran sperma), epididimis,
testis (pelir) (Wahyudi, 2000).
Gambar 3. Alat Reproduksi Pria (Bagus, 1999)
3. Perkembangan Seksual Remaja Anak Jalanan
Remaja anak jalanan dikenal sebagai periode yang duduk pada tahap
perkembangan fisik dimana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya.
Perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam
pertumbuhan seorang remaja. Sedangkan perubahan psikologis muncul antara
lain akibat dari perubahan-perubahan fisik itu. Diantara perubahan fisik tersebut
yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan
tubuh, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi yang ditandai menarche
(menstruasi pertama kali) pada wanita dan mimpi basah pada pria (Rochmah,
2005).
Menstruasi adalah peristiwa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang
banyak mengandung pembuluh darah (endometrium). Menstruasi umumnya
mulai terjadi pada usia 8-13 thn. Siklus haid pada setiap wanita tidak sama,
biasanya berlangsung kurang lebih 28 hari. Siklus menstruasi dapat dipengaruhi
oleh kondisi tertentu, seperti stress, pengobatan dan latihan olahraga. Gejala
yang menyertai sebelum dan saat menstruasi antara lain adalah perasaan malas
bergerak, badan menjadi lemas, mudah merasa lelah, nafsu makan meningkat,
emosi menjadi lebih labil, mengalami kram perut (dismenorhoe) dan nyeri kepala
(Wahyudi, 2000).
Pada remaja pria salah satu tanda yang menunjukkan bahwa organ
reproduksinya sudah mulai berfungsi adalah mimpi basah. Mimpi basah adalah
pengeluaran cairan sperma yang tidak diperlukan secara alamiah. Mimpi basah
pertama terjadi pada remaja sekitar usia 9-14 tahun. Mimpi basah umumnya
terjadi secar periodik berkisar antara 2-3 minggu (Wahyudi, 2000).
4. Kehamilan, Persalinan dan Abortus
Kehamilan adalah pertemuan sel telur dengan sel sperma. Pertemuan
terjadi setelah telur lepas sekitar 12 jam dan spermatozoa melalui proses
kapasitasi disebut fertilisasi, pembuahan ”konsepsi” atau impregnancy. Setelah
masuknya kepala spermatozoa ke dalam telur (ovum) dengan meninggalkan
ekornya terjadilah pertemuan inti masing-masing dengan kromosom mencari
pasangannya. Mula-mula terjadi pembelahan menjadi dua dan seterusnya,
sehingga seluruh ruangan ovum penuh dengan pembelahan sel, dan disebut
morula. Pembelahan berlangsung terus sehingga bagian dalam terbentuk ruangan
yang mengandung cairan disebut blastokist. Bagian luar dinding telur (ovum)
timbul rumbai-rumbai yang disebut villi, yang siap menerima dalam bentuk
reaksi desi dua. Tanda-tanda kehamilan yang biasa dialami oleh ibu yaitu tidak
datang haid, pusing, mual, buah dada agak membesar dan lebih keras, muka
biasanya terdapat bercak kecoklatan dan perut membesar (Bagus, 1999).
Setelah masa kehamilan maka terjadi masa persalinan. Masa persalinan
adalah masa bayi sebagai hasil fungsi reproduksi dilahirkan. Persalinan normal
adalah lahirnya bayi diikuti oleh keluarnya ari-ari (plasenta) melalui jalan biasa,
yang terjadi dengan sendirinya dan hanya dengan kekuatan si ibu. Tanda-tanda
yang mendahului persalinan adalah his, mules di daerah perut bagian bawah dan
daerah pinggang, keluar lendir dan air ketuban. Tahap-tahap persalinan meliputi
pembukaan, pengeluaran janin dan pengeluaran plasenta (Bagus, 1999).
Salah satu efek negatif dari kehamilan adalah abortus. Abortus adalah
berakhirnya atau gugurnya kehamilan sebelum kandungan mencapai usia 20
minggu, yaitu sebelum janin dapat hidup di luar kandungan secara mandiri.
Abortus dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abortus spontan dan
provokstus. Jenis abortus provokatus ada dua yaitu abortus provokatus
therapevticus dan abortus provokatus criminalis. Abortus provokatus
therapevticus adalah pengguguran kehamilan yang biasanya menggunakan alat-
alat dengan alasan kehamilan membahayakan ibu sedangkan abortus provokatus
criminalis adalah pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah dan
dilarang oleh hukum (Munajat, 2000).
5. Penyakit Menular Seksual
Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang menular dari
seseorang ke orang lain melalui hubungan seksual dan dapat disebarkan oleh
bakteri, virus atau jamur yang dapat dilihat melalui alat pembesar (mikroskop)
karena sangat kecil, tidak dapat dilihat oleh mata. PMS terutama ditularkan
dengan cara hubungan seksual antara alat reproduksi penis, vagina, anal dan oral.
Jenis PMS yaitu gonore, sifilis, herpes genitalis, trikomoniasis vaginalis,
chancroid, klamida, candiloma akulminata (Munajat, 2000).
C. Sikap
1. Pengertian Sikap
Banyak teori yang mendefinisikan sikap, antara lain adalah sikap
seseorang adalah predisposisi untuk memberikan tanggapan terhadap rangsang
lingkungan yang dapat memulai atau membimbing tingkah laku orang tersebut.
Secara definitif sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan berfikir yang
disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang
diorganisasikan melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau
tidak langsung pada praktik/tindakan (Notoatmodjo, 2003).
Sikap sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap dikatakan
sebagai respon yang hanya timbul bila individu dihadapkan pada suatu stimulus.
Sikap seseorang terhadap sesuatu obyek adalah perasaan mendukung atau
memihak (Favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
(Unfovarable) pada objek tertentu (Notoatmodjo, 2003).
Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi
dengan rangsang yang diterimanya. Jika sikap mengarah pada obyek tertentu,
berarti bahwa penyesuaian diri terhadap obyek tertentu dipengaruhi oleh
lingkungan sosial dan kesediaan untuk bereaksi dari orang terhadap obyek
(Mar’at, 1984). Sikap merupakan persiapan untuk bereaksi terhadap obyek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek.
New Comb (Notoatmodjo, 2003) salah seorang ahli psikologi sosial
mengatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak
dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktifitas akan tetapi merupakan prodisposisi tindak suatu perilaku,
sikap itu masih meupakan reaksi tertutup, bukan bukan merupakan reaksi terbuka
atau tingkah laku yang terbuka, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap obyek-obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap
obyek.
2. Tingkatan Sikap
Sikap juga terdiri dari berbagai tingkatan, menurut Notoatmodjo (2003).
a. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (obyek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan. Misalnya sikap anak jalanan terhadap hubungan
seksual bebas yang mereka ketahui dan dampaknya apabila dilakukan.
b. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena itu suatu usaha
untuk menjawab suatu pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan itu
benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi bersikap.
d. Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
3. Faktor-faktor Mempengaruhi Pembentukan Sikap Menurut Azwar (1998) antara lain:
a. Pengalaman Pribadi
Apa yang dialami seseorang akan mempengaruhi penghayatan dalam
stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar dalam pembentukan
sikap. Untuk dapat memiliki tanggapan dan penghayatan seseorang harus
memiliki tanggapan dan penghayatan seseorang harus memiliki pengamatan
yang berkaitan dengan obyek psikologis. Menurut Breckler dan Wiggins
(Azwar, 1998) bahwa sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan
menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Pengaruh
langsung tersebut dapat berupa predisposisi perilaku yang akan direalisasikan
hanya apabila kondisi dan situasi memungkinkan.
b. Orang Lain
Seseorang cenderung akan memiliki sikap yang disesuaikan atau
sejalan dengan sikap yang dimiliki orang yang dianggap berpengaruh antara
lain adalah: orang tua, teman dekat, teman sebaya.
c. Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup akan mempengaruhi pembentukan sikap
seseorang.
d. Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dalam membawa pesan-
pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarah pada opini yang kemudian
dapat mengakibatkan adanya landasan kognisi sehingga mampu membentuk
sikap.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Keagamaan
Lembaga pendidikan serta lembaga agama suatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar
dan pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik
dan buruk antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
f. Faktor Emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap merupakan
pernyataan yang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam
penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap
demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu. Begitu
frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap lebih persisten
dan bertahan lama (Mar’at, 1984).
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan untuk
terwujudnya agar sikap menjadi suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
harus didukung dengan fasilitas, sikap yang positif. Disamping fasilitas menurut
teori Lawrence Green (Purwanto, 1997) untuk mempengaruhi perilaku
diperlukan faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedianya
atau tidak fasilitas atau sarana kesehatan, juga diperlukan faktor dukungan dari
pihak lain.
D. Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari ’tahu’, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yaitu penglihatan, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu obyek tertentu, termasuk didalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu
merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping
berbagai pengetahuan lainnya (Notoatmodjo, 2003).
2. Tingkatan Pengetahuan
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam
tingkatan (Notoatmodjo, 2003) yaitu :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai pengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk di dalam pengetahuan, tingkatan : mengingat kembali
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari/rangsangan
yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkatan pengetahuan
yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan mendefinisikan, dan
sebagainya, misalnya anak jalanan dapat menyebutkan tanda-tanda dari
penyakit menular seksual.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang belum paham terhadap obyek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari, misalnya dapat
menjelaskan mengapa bisa terjadi penularan penyakit menular seksual.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata. Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi penggunaan kaidah, metode, prinsip, dan
sebagainya sesuai konteks dan situasi tertentu.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau
suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain.
Kemampuan abstrak ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan atau membuat bagan, membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menggabungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru,
dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untul menyusun formasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkasnya dan menyelesaikan terhadap suatu teori
atau rumusan-rumusan yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian–penilaian itu
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria–
kriteria yang telah ada.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan (Notoatmodjo, 2003) a. Tingkat Pendidikan
Kemampuan belajar yang dimiliki manusia merupakan bekal yang
sangat pokok. Sudah barang tentu tingkat pendidikan dapat menghasilkan
suatu perubahan dalam pengetahuan orang tua.
b. Informasi
Dengan kurangnya informasi tentang cara mencapai hidup sehat, cara
pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan akan menurunkan
tingkat pengetahuan orang tua tentang hal tersebut.
c. Budaya
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang,
karena informasi-informasi baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan
budaya yang ada dan agama yang dianut.
d. Pengalaman
Pengalaman disini berkaitan dengan umur, dengan tingkat pendidikan
seseorang, maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman akan lebih luas
sedang umur semakin bertambah.
E. Anak Jalanan
1. Pengertian
Anak jalanan merupakan sebagian dari anak-anak yang hidup dan tumbuh
di jalanan tanpa ada pemantauan dan tumbuh secara mandiri (Irwanto, 2003).
Kehidupan di jalanan bagi sebagian anak jalanan mempunyai dampak yang
positif misalnya anak menjadi tahan kerja keras karena sudah terbiasa kena panas
dan hujan, anak jalanan bisa belajar bekerja sendiri, bertanggung jawab dan
membantu ekonomi orang tuanya (Sarwoto, 2002).
Salah sati program pembangunan sosial dan budaya adalah program
kesehatan dengan kegiatan pokok memberdayakan anak terlantar termasuk anak
jalanan. Program upaya kesehatan tersebut bertujuan meningkatkan status
kesehatan sistem reproduksi bagi wanita usia subur pada anak dan remaja jalanan
(Wahyu, 1999).
2. Karakteristik Anak Jalanan
a. Usia Anak Jalanan
Usia anak jalanan berperan dalam pembentukan perilaku seseorang,
karena usia berpengaruh dalam penerapan pola asuh terhadap anak jalanan.
Anak jalanan di Kota Semarang dari 56 anak jalanan perempuan yang berusia
10-17 tahun, sebanyak 71,39% berusia 14-16 tahun (Yayasan Setara, 2002).
b. Jenis Kelamin Anak Jalanan
Jenis kelamin anak jalanan mempengaruhi dalam berperilaku dan di
dalam keluarga akan berbeda dalam menerapkan pola asuh. Anak jalanan
laki-laki lebih banyak daripada anak jalanan perempuan. Hal ini terbukti di
Semarang dimana jumlah anak jalanan perempuan sekitar 20-30% dari
populasi anak jalanan di Kota Semarang (Yayasan Setara, 2002).
c. Pendidikan Anak Jalanan
Kemampuan belajar yang dimiliki manusia, merupakan bekal yang
sangat pokok. Sudah barang tentu tingkat pendidikan dapat menghasilkan
suatu perubahan dalam sikap tingkah laku yang dapat dipandang bercorak
negatif.
Sebagian besar pendidikan anak jalanan masih rendah (SD sampai
SMP), bahkan ada yang putus. Anak jalanan setiap hari sibuk mencari nafkah
atau berada di jalanan sehingga tidak ada kesempatan untuk mendapatkan
pengetahuan tentang kesehatan sistem reproduksi yang benar. Di Semarang
sebanyak 50% anak jalanan yang pernah diteliti berstatus putus sekolah
dengan tidak atau memperoleh ijasah SD, SLTP atau SMU (Wahyu, 2000).
d. Pekerjaan Anak Jalanan
Pekerjaan anak jalanan beraneka ragam, dimana kegiatan anak jalanan
laki-laki dan perempuan tidak berbeda yaitu mengamen, menyemir sepatu,
menjual koran atau asongan, membersihkan mobil atau motor, memulung,
mencopet, memeras, mencuri, menemani orang berjudi dan menawarkan jasa
seksual.
Anak jalanan tidak mengandalkan satu jenis pekerjaan atau kegiatan
tertentu saja untuk mendapatkan uang atau makanan dalam rangka
mempertahankan kelangsungan hidupnya atau melindungi diri dari berbagai
ancaman.seiring dengan aktivitas anak jalanan ini, maka mereka mempunyai
mobilitas yang tinggi. Sedangkan lama kerja anak jalanan bervariasi, dimana
anak jalanan bekerja 6-8 jam per hari, 9-12 jam sampai 13 jam (Bagong,
2000).
e. Penghasilan Anak Jalanan
Penghasilan anak jalanan bervariasi dari Rp 300,- sampai dengan Rp
15.000,- perhari (Bagong, 2000). Dimana penghasilan anak jalanan ini
dimanfaatkan lebih banyak untuk kepentingan diri sendiri yaitu untuk
menambah uang saku, membeli pakaian, makanan dan untuk bersenang-
senang. Pemanfaatan lain adalah untuk orang tuanya (Depsos, 2000).
f. Hubungan dengan Orang Tua
Pada anak jalanan yang tidak berhubungan dengan orang tuanya
sebanyak 16%, anak jalanan yang berhubungan tidak teratur dengan orang
tuanya sebanyak 41%, anak jalanan yang berhubungan teratur dengan orang
tuanya sebanyak 43% (DepKes, 2000).
F. Kerangka Teori
Faktor yang mempengaruhi perilaku : Predisposisi
a. Pengetahuan b. Sikap c. Jenis Kelamin d. Usia
Faktor Pengetahuan – Tingkat Pendidikan – Informasi – Budaya
Gambar 4. Menurut Lawrence Green, dalam Notoatmodjo, 2003
Perilaku Seksual Bebas pada Anak Jalanan Usia 12-20 Tahun
G. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Tingkat pengetahuan tentang kesehatan sistem reproduksi
Sikap tentang kesehatan sistem reproduksi
Perilaku Seksual Bebas pada Anak Jalanan Usia 12-20 Tahun
Gambar 5. Kerangka Konsep
H. Hipotesis
1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kesehatan sistem reproduksi
dengan perilaku seksual bebas pada anak jalanan berusia 12-20 tahun di Rumah
Singgah Jangli Semarang.
2. Ada hubungan antara sikap dengan perilaku seksual bebas pada anak jalanan
berusia 12-20 tahun di Rumah Singgah Jangli Semarang.
Recommended