View
226
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)
2.1.1 Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus RNA yang
termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan
penurunan imunitas tubuh host (Kemenkes RI, 2012). HIV ditemukan dalam
cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu
(Depkes RI, 2006). HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag,
dan sel glia jaringan otak. HIV menyerang dan menginfeksi sel darah putih
yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Akibat menurunnya
kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah terkena berbagai penyakit
infeksi (infeksi oportunistik) yang sering berakibat fatal (Kemenkes RI,
2014).
HIV adalah jenis retrovirus, ciri khas untuk jenis retrovirus yaitu
dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai kemampuan variasi genetik yang
tinggi, mempunyai cara yang unik untuk replikasi serta dapat menginfeksi
seluruh jenis vertebra (Depkes RI, 2006). Untuk mengadakan replikasi, HIV
perlu mengubah RNA menjadi DNA di dalam sel host. Seperti retrovirus lain,
HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten
klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS (Kemenkes
RI, 2012). Berikut adalah struktur HIV pada gambar 2.1.
6
Gambar 2.1. Human Immunodeficiency Virus (Calles et al, 2010)
Terdapat dua glikoprotein utama pada lapisan lipid bilayer yaitu gp120
dan gp41. Fungsi utama dari protein tersebut adalah sebagai mediator
pengenalan terhadap sel CD4+ dan reseptor chemokine, yang memungkinkan
virus mampu berikatan pada CD4+ (Calles et al, 2010). Gp 120 merupakan
bagian dari envelope yang tertutup oleh molekul gula untuk melindungi dari
pengenalan antibodi, yang berfungsi mengenali secara spesifik reseptor dari
permukaan target sel dan secara tidak langsung berhubungan dengan
membran virus lewat glikoprotein transmembran. Gp 41 merupakan
glikoprotein transmembran yang berfungsi mempercepat peleburan dari sel
host dan membran virus dan membawa HIV masuk ke sel host (Depkes,
2006). Bagian dalam virus terdapat materi genetik RNA dimer yang dibentuk
dari 2 single strand RNA, protein dan enzim yang berfungsi untuk replikasi
dan pematangan antara lain p24, p17, reverse transcriptase, integrase, dan
protease (Calles et al, 2010).
7
Siklus hidup HIV terdiri dari enam fase (gambar 2.2). Fase pertama
yaitu binding and entry, dimana protein gp120 dan gp41 berikatan dengan
reseptor sel CD4+ dan makrofag. Kemudian inti virus masuk ke dalam sel
CD4+ dan makrofag. Enzim yang terdapat pada sel CD4+ berinteraksi
dengan inti virus dan menstimulasi pelepasan RNA virus serta enzim reverse
transcriptase, integrase, dan protease. (2) Reverse transcription, dimana RNA
dikonversi menjadi DNA single strand yang kemudian bereplikasi menjadi
DNA double strand. (3) Integrasi, dimana DNA virus dapat menembus inti
sel CD4+. Enzim integrase kemudian menyisipkan DNA virus ke dalam
DNA host. Sel CD4+ kemudian berubah menjadi sumber untuk memproduksi
lebih banyak virus. (4) Replikasi, yaitu DNA baru yang sudah terintegrasi
dengan DNA CD4+ akan mensintesis protein HIV. (5) Budding, yaitu tahap
perakitan virus baru pada sel CD4+. Virus baru kemudian keluar menembus
sel. (6) Maturasi, virus baru belum dapat menginfeksi jika virus tersebut
belum matang. Dalam proses ini, enzim protease HIV memotong protein HIV
menjadi unit fungsional kecil yang kemudian dapat dirakit kembali
membentuk virus yang matang. Virus yang telah matang kemudian siap untuk
menginfeksi sel lain (Calles et al, 2010).
8
Gambar 2.2 Siklus hidup HIV dan site action antiretroviral (Calles et al, 2010).
2.1.2 Patofisiologi
HIV secara kontinyu menggunakan sel baru host untuk bereplikasi.
Pada 24 jam pertama setelah terpapar, HIV ditangkap oleh sel dendritik pada
membran mukus dan kulit. 5 hari setelahnya, sel yang terinfeksi akan terbawa
menuju nodus limfa dan akhirnya menuju pembuluh darah perifer, dimana
replikasi virus menjadi lebih cepat. Limfosit CD4+ yang terlibat dalam
respon pada antigen virus bermigrasi ke nodus limfa dan teraktivasi kemudian
berproliferasi melalui interaksi kompleks pelepasan sitokin pada nodus limfa.
Urutan proses tersebut membuat CD4+ rentan terhadap infeksi HIV, dan hal
tersebut menyebabkan timbulnya ciri-ciri limfadenopati. Monosit yang
terinfeksi HIV membiarkan replikasi virus namun menolak kematian sel
sehingga monosit berperan sebagai reservoir HIV dan sebagai efektor
9
kerusakan jaringan pada organ seperti otak (Calles et al, 2010). Jumlah CD4+
berbanding terbalik dengan jumlah viral load HIV. Bila kadar viral load
tinggi maka CD4+ rendah (Devadas dkk, 2005). Berikut ini adalah stadium
klinis HIV menurut Kemenkes RI (2012):
Tabel 2.1. Stadium Klinis HIV
Stadium Gejala/Tanda
I (Asimtoma-
tik)
Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati generalisata persisten (Kelenjar
berukuran kecil tanpa rasa nyeri)
II
(sakit
ringan)
- Berat badan turun 5-10%
- Luka pada sudut mulut (keilitis angularis)
- Dermatitis Seboroik: Lesi kulit bersisik pada batas antara wajah dan rambut
serta sisi hidung
- Prurigo: Lesi kulit yang gatal pada lengan dan tungkai
- Herpes zoster: Papul disertai nyeri pada satu sisi tubuh, wajah, ekstremitas
- ISPA berulang: Infeksi tenggorokan berulang, sinusitis atau infeksi telinga
- Ulkus pada mulut berulang
III
(sakit
sedang)
- Berat badan turun > 10%
- Kandidiasis mulut: Bercak putih yang menutupi daerah di dalam mulut
- Oral hairy leukoplakia: Garis vertikal putih di samping lidah, tidak nyeri,
tidak hilang jika dikerok
- Lebih dari 1 bulan:
Diare: kadang-kadang intermiten
Demam tanpa sebab yang jelas: kadang intermiten
- Infeksi bakteri yang berat: Pneumonia, piomiositis dll
- TB paru
- HB < 8 g, Lekosit < 500, Trombosit < 50.000
- Gingivitis/ periodontitis ulseratif nekrotikan akut
IV
(sakit
berat/AIDS)
- HIV wasting syndrome: Sangat kurus disertai demam kronik dan/atau diare
kronik
- Kandidiasis esofagus: Nyeri hebat saat menelan
- Lebih dari 1 bulan:
Ulserasi Herpes simpleks: Luka lebar dan nyeri kronik di genitalia atau anus
- Limfoma
- Sarkoma Kaposi: Lesi berwarna gelap (ungu) dikulit dan/atau mulut, mata,
paru, usus, sering disertai edema
- Retinitis CMV
- Pneumonia pneumosistis: Pneumonia berat disertai sesak dan batuk kering
- TB Ekstraparu: contoh : pada tulang atau meningitis
- Meningitis kriptokokus: Meningitis dengan atau tanpa kaku kuduk
- Abses otak Toksoplasmosis
- Ensefalopati HIV (Gangguan neurologis yang tidak disebabkan oleh faktor
lain, seringkali membaik dengan pengobatan ARV)
10
2.1.3 Pengobatan HIV
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi HIV
(Depkes RI, 2006). Tujuan terapi ARV adala menekan replikasi virus
sebanyak mungkin dan selama mungkin, meningkatkan jumlah CD4+
menjadi normal atau mendekati normal sehingga menurunkan stadium
penyakit atau meniadakan gejala; mengurangi laju penularan HIV di
masyarakat, menurunkan komplikasi akibat HIV, memperbaiki kualitas hidup
ODHA, menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus,
serta menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV (Depkes RI, 2006).
Terapi ARV diberikan apabila pengidap HIV/AIDS telah memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan oleh IAS-USA Guidelines 2004. Kriteria
tersebut didasarkan pada stadium dan jumlah CD4 yaitu: (1) Semua pasien
HIV yang memiliki jumlah CD4≤200 sel/mm3 tanpa memperhatikan gejala
klinik, (2) Pasien yang memperlihatkan gejala klinik (AIDS atau gejala yang
lebih parah).
Terdapat 4 golongan ARV dengan mekanisme kerja dan tempat kerja
yang berbeda, antara lain:
A. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)
NRTI bekerja dengan menghambat polymerase γ mitochondrial DNA
(mtDNA) sehingga replikasi mtDNA yang bertanggung jawab terhadap
pembentukan sel terganggu yang akhirnya menyebabkan kematian sel
(Apostolova dkk, 2011; Kamerman dkk, 2012). Semua golongan NRTI
11
hanya sedikit memiliki gugus 3’ hidroksil, sehingga penggabungan enzim
ini pada proses perpanjangan gugus DNA menghasilkan penghentian
perpanjangan DNA (Craig dan Stizel, 2004). Semua NRTI berpotensi
menghasilkan gejala asidosis laktat dan hepatomegali berat yang berasal
dari efek toksik obat ini di mitokondria. Contoh: Abacavir (ABC),
lamivudin (3TC), dan zidovudin (AZT) (Craig dan Stizel, 2004). Berikut
ini merupakan efek samping beberapa obat golongan NRTI:
Tabel 2.1.3.1. Efek Samping NRTI Nama Obat Efek samping
Zidovudine (AZT)
Supresi sumsum tulang (anemi makrositik atau netropeni),
asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang); intoleransi
gastrointestinal; sakit kepala; sukar tidur; miopati; pigmentasi
kulit dan kuku (Kemenkes RI, 2011)
Lamivudine (3TC)
Efek samping asidosis laktat dengan steatosis hepatitis
(Kemenkes RI, 2011)
Diare (Kwara et al, 2005)
Abacavir (ABC)
Hipersensitivitas dengan insiden sekitar 5 – 8 % (dapat fatal).
Demam, ruam, kelelahan, mual, muntah, tidak nafsu makan
Gangguan pernafasan (sakit tenggorokan, batuk) asidosis
laktat dengan steatosis hepatitis (Kemenkes RI, 2011)
B. Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI)
Mekanisme Kerjanya yaitu berkompetisi dengan deoxyadenosine
triphosphate untuk masuk dalam enzim reverse transcriptase sehingga
menghentikan perpanjangan gugus DNA. Contoh: Tenofovir (TDF)
(Craig CR dan Stizel RE, 2004). Berikut merupakan efek samping obat
golongan NtRTI:
Tabel 2.1.3.2. Efek Samping NtRTI Nama Obat Efek samping
Tenofovir (TDF)
Insufisiensi fungsi ginjal, sakit kepala, diare, mual, muntah,
perut kembung; Penurunan bone mineral density;
Osteomalasia (Kemenkes RI, 2011).
12
C. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
Mekanisme kerjanya yaitu menghambat enzim reverse transcriptase
dengan menginduksi perubahan konformasi yang menyebabkan inaktivasi
enzim. Contoh: efavirenz (EFV), dan nevirapin (NVP) (Craig CR dan
Stizel RE, 2004). Berikut merupakan efek samping obat golongan
NNRTI:
Tabel 2.1.3.3. Efek Samping NNRTI Nama Obat Efek samping
Nevirapine (NVP)
Efek samping nevirapine yang perlu diperhatikan adalah
hepatotoksik.
Perlu dilakukan pemantauan ketat terhadap timbulnya reaksi
alergi (Kemenkes RI, 2011)
Efavirenz (EFV)
Gejala SSP: pusing, mengantuk, sukar tidur, bingung,
halusinasi, agitasi, seperti susah konsentrasi, insomnia, vivid
dream, depresi, skizofrenia.
Peningkatan kadar transaminase.
Hiperlipidemi. Ginekomasti. Ruam kulit. Potensi teratogen
(Kemenkes RI, 2011)
D. Protease Inhibitor (PI)
Mekanisme Kerjanya yaitu menghambat aktivitas enzim protease
HIV. Contoh: Amprenavir (APV), atazanavir (ATV), fosamprenavir
(FPV), indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), ritonavir (RTV), saqunavir
(SQV), dan tipranavir (TPV) (Craig CR dan Stizel RE, 2004). Berikut
adalah efek samping obat golongan PI:
Tabel 2.1.3.4. Efek Samping PI Nama Obat Efek samping
Lopinavir/ ritonavir
(LPV/ r)
Efek samping metabolik seperti hiperglikemia (diabetes),
hipercholestrolemi, lipoakumulasi perlu dimonitor pada
penggunaan jangka panjang
Intoleransi gastrointestinal, mual, muntah, peningkatan enzim
transaminase (Kemenkes RI, 2011)
13
2.2 Tuberkulosis (TB)
2.2.1 Pengertian
Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan
keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok
mengelilingi bakteri dalam paru. TB ini bersifat menahun dan secara khas
ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
bakteri TB (Mycobacterium tuberculosis) (PDPI, 2006). Berikut ini adalah
gambar gram positif M. tuberculosis.
Gambar 2.3. Gram-positif Mycobacterium tuberculosis (Bryan, 2015)
M. tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 µm dan
panjang 1 – 4 µm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari
lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai
14
panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan
glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain
yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks
tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat
warna tersebut dengan larutan asam – alkohol (PDPI, 2006).
Sifat dari bakteri ini agak istimewa, karena bakteri ini dapat bertahan
terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol sehingga sering disebut
dengan bakteri tahan asam (BTA). Selain itu bakteri ini juga tahan terhadap
suasana kering dan dingin. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi rumah
atau lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai berbulan-bulan namun
bakteri ini tidak tahan atau dapat mati apabila terkena sinar, matahari atau
aliran udara (Widoyono,2011).
2.2.2 Klasifikasi
A. Klasifikasi TB berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:
1) TB paru, adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) TB ekstra paru, yaitu TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
15
kelamin, dan lain-lain. Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu
diklasifikasikan sebagai TB paru.
B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadan ini
terutama ditujukan pada TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu
(SPS) hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi
pasien dengan HIV negatif.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
16
C. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan
BTA bisa positif atau negatif.
2) Kasus yang sebelumnya diobati
a. Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
b. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
c. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.
3) Kasus Pindahan (Transfer In), adalah pasien yang dipindahkan ke
register lain untuk melanjutkan pengobatannya.
4) Kasus lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas:
a. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
b. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
c. Kembali diobati dengan BTA negatif.
(Depkes RI, 2007)
17
2.2.3 Patofisiologi
Sumber penularan TB adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak (Depkes RI, 2007). Seseorang akan terinfeksi kuman TB jika
menghirup droplet yang mengandung kuman TB. Kuman tersebut akan
mencapai alveoli paru, yang kemudian akan ditangkap oleh makrofag dan
selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh. Orang yang terinfeksi kuman TB
dapat menjadi sakit TB bila kondisi daya tahan tubuhnya menurun. Sebagian
kuman TB akan dorman dan tetap hidup sampai bertahun-tahun dalam tubuh
manusia. Seseorang yang baru terinfeksi biasanya asimptomatik/ tanpa gejala
(Kemenkes RI, 2012).
Fase pertama adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil
berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang
pertama ini disebut afek primer. Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe di
hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah
terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis kaseosa di lesi primer dan di
kelenjar limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis regionalis ini disebut
kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa
meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis (Karnadihardja, 2004).
Kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran
milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran
milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-
18
lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru.
Penyebaran hematogen bersamaan dengan perjalanan TB primer ke paru
merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus, dapat juga terjadi
pembentukan jaringan parut dan basil TB selanjutnya mengalami dorman.
Fase ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang dorman bisa terdapat di
tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan leher,
serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap dorman selama bertahun-tahun, bahkan
seumur hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila terjadi
perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada infeksi HIV. Fase
keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan selanjutnya,
proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis
dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan
bronkiektasis melalui erosi bronkus (Karnadihardja, 2004).
2.2.4 Pengobatan TB
A. Prinsip Pengobatan
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
1) Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal
ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
19
2) Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
a. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persisten (dorman) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
(Depkes RI, 2007)
B. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Penggunaan OAT yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman TB. Aktivitas
OAT didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktivitas membunuh bakteri,
20
aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai
adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin.
1) Isoniazid (H)
Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk TB aktif,
disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko
tinggi mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-
sama dengan OAT lain. Obat ini bersifat bakterisid, dapat membunuh
90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.
Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman
yang sedang berkembang.
Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid
yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri (Depkes RI,
2005). Efek samping isoniazid antara lain tidak ada nafsu makan,
mual muntah, sakit perut, neuropati perifer, bercak kemerahan kulit
(rash) dengan atau tanpa rasa gatal, ikterus, bingung, sakit kepala,
insomnia, dan gangguan hematologi (Kemenkes RI, 2014; Arbex et al,
2010).
2) Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-
dorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja
rifampisin adalah penghambatan RNA-polimerase sehingga sintesis
RNA bakteri terganggu.
21
Efek samping rifampisin antara lain warna kemerahan pada urin,
tidak ada nafsu makan, mual muntah, sakit perut, bercak kemerahan
kulit (rash), dengan atau tanpa rasa gatal, ikterus, bingung, mual
muntah, purpura, renjatan (syok), gagal ginjal akut, gangguan
hematologi, hepatotoksik, gangguan hematologi seperti anemia
hemolitik, trombositopenia (Kemenkes RI, 2014; Arbex et al, 2010).
3) Pirazinamid (Z)
Obat ini digunakan untuk terapi TB dalam kombinasi dengan
OAT lain. Pirazinamid bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman
yang berada dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja
berdasarkan pengubahannya menjadi asam pirazinamidase yang
berasal dari basil tuberkulosa. Obat ini dapat menghambat ekskresi
asam urat dari ginjal sehingga menimbulkan hiperurikemia. Jadi
penderita yang diobati pirazinamid harus dimonitor asam uratnya
(Depkes RI, 2005).
Efek samping pirazinamid lainnya antara lain tidak ada nafsu
makan, mual muntah, sakit perut, nyeri sendi, bercak kemerahan kulit
(rash) dengan atau tanpa rasa gatal, ikterus, bingung, dan hepatotoksik
(Kemenkes RI, 2014; Arbex et al, 2010).
4) Etambutol (E)
Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis
dengan obat lain. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia
kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan visual. Bersifat
22
bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman TB yang telah
resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Mekanisme kerja obat ini
berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang
membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada
dinding sel. Jika Etambutol dipakai, maka diperlukan pemeriksaan
fungsi mata sebelum pengobatan karena efek samping yang muncul
antara lain gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta
warna dan penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal
penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol
harus segera dihentikan (Depkes RI, 2005). Efek samping etambutol
lainnya adalah kebingungan, mual muntah, dan gangguan hematologi
(Kemenkes RI, 2014; Arbex et al, 2010).
5) Streptomisin (S)
Sediaan dasar berbentuk serbuk streptomisin sulfat untuk injeksi
1,5 gram/vial yang disediakan bersama dengan Aqua pro injeksi dan
spuit. Obat ini hanya digunakan melalui suntikan intra muskular
setelah dilakukan uji sensitivitas. Obat ini digunakan sebagai
kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontraindikasi dengan 2 atau
lebih obat kombinasi tersebut. Obat ini bersifat bakterisid. Mekanisme
kerja berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman melalui
pengikatan pada RNA ribosomal (Depkes RI, 2005). Efek samping
streptomisin antara lain gangguan pendengaran (tanpa ditemukan
23
serumen), gangguan keseimbangan, bercak kemerahan kulit (rash)
dengan atau tanpa rasa gatal, bingung, mual muntah, dan penurunan
produksi urin (Kemenkes RI, 2014; Arbex et al, 2010).
C. Regimen Pengobatan
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan
tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau
selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3
atau 2HRZES/5HRE. Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat
yang dipakai, yakni : H = Isoniazid; R = Rifampisin; Z = Pirazinamid; E =
Etambutol; S = Streptomisin. Sedangkan angka yang ada dalam kode
menunjukkan waktu atau frekuensi. Angka 2 didepan seperti pada
“2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi
tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3”
artinya dipakai 3 kali seminggu (selama 4 bulan). Paduan pengobatan yang
digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB oleh Pemerintah
Indonesia :
1) Kategori 1: 2HRZE/4H3R3.
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR
diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat diberikan pada:
a. Penderita baru TB Paru BTA Positif.
24
b. Penderita baru TB Paru BTA negatif rontgen positif yang sakit
berat
c. Penderita TB Ekstra Paru berat
2) Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan
dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap
hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan
dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini
diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah
diobati, yaitu:
a. Penderita kambuh (relaps)
b. Penderita gagal (failure)
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
3) Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3.
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4
bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,
b. Penderita TB ekstra paru ringan.
Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE). Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA
positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang
25
dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan
obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (Depkes RI, 2005).
2.3 Ko-infeksi HIV-TB
Epidemi HIV di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi HIV
akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB
merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%).
Sebagian besar orang yang terinfeksi M. tuberculosis tidak menjadi sakit TB
karena memiliki sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut
dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem
imunitasnya menurun seperti ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan
mudah berkembang menjadi sakit TB aktif (Kemenkes RI, 2012).
Perkembangan infeksi M. tuberculosis dalam host manusia sebagian
besar tergantung pada respon imun bawaan dan respon imun adaptif host
(Cooper, 2009). Secara khusus, sel T CD4+ sangat penting dalam
pengendalian infeksi M. tuberculosis. Defisiensi kuantitatif dan kualitatif dari
sel-sel efektor ini pada orang yang terinfeksi HIV dapat meningkatkan resiko
penyakit primer dan reaktivasi. Risiko seumur hidup mengembangkan TB
aktif adalah sekitar 10% untuk orang dengan sistem imun yang baik setelah
infeksi awal, untuk orang dengan koinfeksi HIV risiko tahunan dapat
melebihi 10%, dan risiko reaktivasi TB meningkat sebagai jumlah CD4+
menurun (Antonucci et al, 1995; Moreno et al, 1993).
26
2.4 Pengobatan HIV-TB
Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi HIV-TB yaitu terapi ARV
dimulai pada semua individu HIV dengan TB aktif, berapapun jumlah CD4+.
Terapi ARV dimulai sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi,
secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu (Kemenkes RI, 2011).
Pengobatan kombinasi TB dan HIV dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi
dari efek samping dibandingkan dengan pengobatan infeksinya saja
(Sweetman, 2009). Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai
sebesar 90% pada tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat
populasi, dan menurunkan rekurensi TB sebesar 50% (Kemenkes RI, 2011).
Pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV yang kemudian
muncul TB aktif, maka pilihan paduan pengobatan ARV adalah seperti pada
tabel berikut:
Tabel 2.2 Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB
Paduan
ARV
Paduan ARV pada
saat TB muncul
Pilihan terapi ARV
Lini pertama 2NRTI + EFV* Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP** Ganti dengan EFV atau teruskan dengan 2 NRTI +
NVP.
Triple NRTI dapat dipertimbangkan digunakan
selama 3 bulan jika NVP dan EFV tidak dapat
digunakan.
Lini kedua 2 NRTI + PI/r Mengingat Rifampisin tidak dapat
digunakan bersamaan dengan LPV/r,
dianjurkan menggunakan paduan OAT tanpa
Rifampisin. Jika Rifampisin perlu diberikan maka
pilihan lain adalah menggunakan LPV/r dengan
dosis 800 mg/200 mg dua kali sehari). Perlu evaluasi
fungsi hati ketat jika menggunakan Rifampisin dan
dosis ganda LPV/r
Keterangan:
*) EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan janin) sehingga
penggunaan pada Wanita Usia Subur (WUS) harus mendapat perhatian khusus. Jika
27
seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 sakit TB, paduan ART yang mengandung EFV
dapat dipikirkan untuk diberikan.
**) Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan OAT yang
mengandung Rifampisin, bila tidak ada alternatif lain.
Pemberian NVP pada ODHA perempuan dengan jumlah CD4 > 250/mm3 harus hati-hati
karena dapat menimbulkan gangguan fungsi hati yang lebih berat atau meningkatnya
hipersensitifitas. Setelah pengobatan dengan Rifampisin selesai, NVP dapat diberikan
kembali. Waktu mengganti kembali (substitusi) dari EFV ke NVP tidak diperlukan lead-
in dose (langsung dosis penuh).
(Kemenkes RI, 2012)
Selama pengobatan ko-infeksi HIV-TB diperlukan dukungan terhadap
kepatuhan pengobatan karena banyaknya jumlah tablet yang harus ditelan, hal
tersebut meningkatkan risiko IRIS. Pada IRIS, gejala klinis TB bertambah
buruk yang membuat pasien dan keluarga merasa tidak nyaman (Kemenkes
RI, 2012). Manifestasi klinis IRIS antara lain demam tinggi, infiltrasi paru
yang buruk dan gangguan pernafasan, peningkatan limfadenopati, dan
kerusakan neurologi yang potensial menyebabkan morbiditas berat dan
kematian (Damani and Petros, 2010). Hal ini tidak berarti bahwa terjadi
penurunan efektifitas obat TB sehingga pengobatan TB tetap dilanjutkan.
Selain itu terdapat kemungkinan efek samping lebih banyak dan
tumpang tindih (Kemenkes RI, 2012). Berikut merupakan profil tumpang
tindih efek samping pada OAT dan ARV:
Tabel 2.3 Profil tumpang tindih efek samping OAT dan ARV
Efek samping Penyebab
OAT ARV
Ruam kulit Pirazinamid, Rifampisin, Isoniazid Nevirapine, Delavirdine,
Efavirenz, Abacavir
Mual, muntah Pirazinamid, Rifampisin, Isoniazid Zidovudine, Ritonavir,
Amprenavir, Indinavir
Hepatitis Pirazinamid, Rifampisin, Isoniazid Nevirapine, PI
Leukopenia,
anemia Rifampisin Zidovudine
(Burman and Jones, 2001)
28
Secara khusus, OAT lini pertama isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid
kemungkinan menjadi penyebab hepatotoksisitas, yang dapat diperparah oleh
penggunaan bersamaan dengan PI dan NNRTI (Burman and Jones, 2001;
Dean et al, 2002). Selain itu, gangguan pencernaan dan beban obat yang
tinggi dapat berkontribusi dalam mengurangi tolerabilitas dan kepatuhan
terhadap regimen terapi kombinasi HIV-TB (Damani and Petros, 2010).
Recommended