View
221
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Ubi Jalar Oranye
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015), bahwa terjadi
kenaikan dan penurunan produksi ubi jalar tiap tahunya, karena kenaikan
dan penurunan luas panen. Namun hasil dan produktivitas ubi jalar per
hektar lahan tanaman menunjukan peningkatan, jadi optimalisasi lahan
mampu meningkatkan hasil panen. Luas panen, produktivitas, dan
produksi tanaman ubi jalar di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Berdasarkan data BPS (2015), dari tahun 2010-2014 luas lahan ubi jalar
semakin mengalami penyusutan namun produktivitas tanaman ubi jalar
semakin meningkat dari tahun ke tahun, sehingga produksinya mengalami
kenaikan.
Tabel 2.1 Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Ubi Jalar Di
Indonesia
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)
2010 181073,00 113,27 2051046,12
2011 178121,00 123,29 2196033,00
2012 178295,00 139,29 2483460,00
2013 166332,00 142,27 2366410,00
2014 156862,00 150,68 2363568,00
Sumber : BPS (2015)
Ubi jalar atau Sweet potatoes (Ipomoea batatas (L.) Lam)
merupakan salah satu tanaman umbi-umbian yang cukup terkenal di Asia
seperti Indonesia (Rukmana, 1997). Ubi jalar adalah tanaman herba yang
tumbuh menjalar didalam tanah dan menghasilkan umbi. Ubi jalar
mempunyai nama botani Ipomoea batatas (L.) Lam, termaksud golongan
famili Convolvulaceae (suku kangkung-kangkunga) yang terdiri lebih dari
400 galur atau spesies. Tetapi dari banyaknya galur yang ada hanya ubi
jalar yang mempunyai nilai ekonomis sebagai bahan pangan. Tanaman ini
dapat tumbuh diberbagai tempat baik dataran tinggi maupun dataran
rendah, dan disegala macam jenis tanah. Ubi jalar dapat ditanam ditanah
6
7
yang kurang subur asalkan tanah diolah terlebih dahulu menjadi gembur.
Namun untuk hasil yang lebih optimal sebaiknya ubi jalar ditanam pada
tanah pasir berlempung yang gembur dan halus. Tanah dengan pH 5,6-6,6
dan suhu rata-rata optimum 24-25oC dengan distribusi hujan anatara 750-
1250 mm. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ubi jalar adalah jarak
tanam, varietas, dan lokasi tanamnya (Winarti, 2010).
Menurut Juanda dan Cahyono (2000), ubi jalar termaksud jenis ubi
yang tergolong tanaman semusim (berumur pendek). Tanaman ubi jalar
dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Ubi Jalar Oranye Varietas Beta 2 (Balitkabi, 2012)
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Convolvulales
Famili : Convolvulalceae
Genus : Ipomoea
Spesies : Ipomoea batatas (L.) Lam
Ubi jalar memiliki kulit yang relatif lebih tipis dibandingkan dengan
kulit ubi kayu. Warna daging ubi jalar bermacam-macam seperti warna
putih, kuning, jingga kemerah-merahan atau ungu. Ubi jalar juga memiliki
warna kulit luar yang berbeda-beda, biasanya putih kekuningan atau merah
8
ungu dan tidak selalu sama dengan warna umbinya. Begitupula bentuk ubi
jalar tidak seragam ada yang bulat, lonjong, dan benjol-benjol. Ubi jalar
mengandung serat, banyak atau sedikitnya serat tersebut tergantung pada
jenis atau varietas ubi jalar (Muchtadi, dkk, 2010).
Menurut Juanda dan Cahyono (2000), umbi tanaman ubi jalar
memiliki tekstur daging bervariasi ada yang masir (mempur) dan ada pula
yang benyek berair. Rasa umbi tanaman ubi jalar pun bervariasi, ada yang
manis, kurang manis dan ada pula yang gurih. Bentuk umbi yang rata
(bulat dan bulat lonjong) dan tidak banyak lekukan termasuk umbi yang
berkualitas baik. Ubi jalar memiliki kandungan bahan kering antara 16-
40%, dari jumlah tersebut sekitar 75-90% adalah karbohidrat. Komponen
utama karbohidrat dalam ubi jalar adalah pati dan serat pangan.
Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi menunjukkan bahwa ubi jalar
oranye dapat berperan sebagai sumber karbohidrat (Rahman, dkk., 2015).
Ubi jalar oranye (Ipomoea batatas (L.) Lam var. Ase jantan) selain
mengandung karbohidrat, juga mengandung betakaroten (Rahman, dkk.,
2015). Warna daging umbi memiliki hubungan dengan kandungan gizi
terutama kandungan β-karotennya. Umbi yang berwarna jingga atau
oranye mengandung betakaroten lebih tinggi daripada jenis ubi jalar
dengan warna yang lebih terang. Demikian pula, daging umbi yang
berwarna oranye memiliki rasa yang lebih manis daripada daging umbi
yang berwarna lain (Juanda dan Cahyono, 2000).
Ubi jalar putih mengandung karbohidrat kompleks dalam jumlah
besar sehingga merupakan sumber serat. Ubi jalar berukuran sedang,
mengandung serat sekitar 3,5g. Ubi merah yang berwarna jingga
mengandung 9900 μg (32967 SI) betakaroten. Ubi jalar merah merupakan
sumber provitamin A. Banyak negara berkembang yang menjadikan ubi
jalar sebagai makanan pokok kedua dan berperan dalam mengatasi
kekurangan vitamin A. Ubi jalar sangat layak untuk dipertimbangkan
sebagai sumber komponen alami yang dapat meningkatkan kesehatan
karena kandungan β-karotennya sehingga berpotensi menjadi pangan
9
fungsional. Ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki dan Murasakimasari
merupakan sumber pigmen antosianin yang paling baik karena
mengandung antosianin tertinggi dan kestabilan warna paling baik
(Chayati, 2011).
Ubi jalar merupakan sumber energi yang baik dalam bentuk
karbohodrat. Komposisi kimia ubi jalar dipengaruhi oleh varietas, lokasi,
dan musim tanam. Pada musim kemarau, varietas yang sama akan
menghasilkan kadar tepung yang lebih tinggi daripada saat musim
penghujan. Komposisi kimia ubi jalar ditunjukan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.2 Komposisi Kimia dan Fisik Ubi Jalar Tiap 100 Gram Bahan
No. Kandungan gizi Umbi putih Umbi merah/oranye
1 Energi (kal) 123 123
2 Protein (g) 1,8 1,8
3 Lemak (g) 0,7 0,7
4 Karbohidrat (g) 27,9 27,9
5 Serat (g) - -
6 Abu (g) - -
7 Air (g) 68,5 68,5
8 Kalium (g) 30 30
9 Fosfor (g) 49
10 Natrium (g) - -
11 Kalsium (g) - -
12 Niacin (mg) - -
13 Vitamin A (IU) 60 7.700
14 Vitamin B (mg) 0,9 0,9
15 Vitamin B2 (mg) - -
16 Vitamin C (mg) 22 22
Sumber : Soenarjo dalam Winarti (2010).
Menurut penelitian Balitkabi (2009), varietas ubi oranye unggulan
yang telah dikembangkan saat ini, dibedakan berdasarkan tingginya
kandungan β-karoten, yaitu varietas Beta 1 mengadung β-karoten sebanyak
12.032 µg/100 gram dengan potensi hasil 35,7 ton/ha serta rata-rata hasil
25,6 ton/ha, dan varietas Beta 2 mengandung β-karoten sebanyak 4.629
µg/100 gram dengan potensi hasil 34,7 ton/ha serta rata-rata hasil 28,6
ton/ha. Sedangkan menurut analisa Kautsary,dkk., (2015), ubi jalar oranye
varietas Beta 2 menganung kadar air 74,83%, kadar abu 2,14%, kadar pati
10
18,32%, dan β-karoten 5505µg/100g pada. Kandungan gizi ubi jalar oranye
varietas Beta 1 dan Beta 2 dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kandungan Gizi Ubi Jalar Oranye Varietas Beta 1 dan Beta 2
No. Kandungan gizi Varietas
Beta 1a
Beta 2a
Beta 2b
1 Bahan Kering (%) 25,3 23,8 -
2 Serat (% b/k) 4,04 3,55 -
3 Gula reduksi (%b/k) 8,18 5,00 -
4 Pati (%b/b) 16,12 17,8 18,32
5 Amilosa (%b/k) 15,12 23,08 -
6 Abu (%b/k) 5,28 2,86 2,14
7 Air (%) - - 74,83
8 Vitamin C (mg/100g) 16,5 21,0 -
9 β-karoten (%b/b) 12.032 4.629 5505
Sumber : [a] (Balitkabi, 2009) dan [b] (Kautsary,dkk., 2015)
Ubi jalar oranye varietas Beta 2 yang didapatkan dari Balai
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Malang, Jawa
Timur, dengan umur panen 4-4.5 bulan. Ubi jalar oranye varietas Beta 2
merupakan salah satu varietas hasil pengembangan dan budidaya dari Balai
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Malang Jawa
Timur. Kulit umbi berwarna merah keunguan, bentuk umbi elip membulat,
sedangkan dagingnya berwarna oranye. Ubi jalar varietas Beta 2 pada
umumnya di kalangan masyarakat dikenal dengan sebutan Majalengka.
Bahan baku tersebut dipanen dari petani ubi jalar oranye didaerah
Tumpang. Daerah Tumpang terletak pada ketinggian 700 meter diatas
permukaan laut. Ubi jalar oranye varietas Beta 2 adalah hasil persilangan
bebas antara induk betina MSU varietas kidal dan BB 97281-16 yang
kemudian disebut MSU 010150-02 (Balitkabi, 2009).
Warna oranye pada ubi oranye diidentikan dengan komponen
bioaktif yang memberikan keuntungan kesehatan. Menurut Ekawati, dkk.,
(2013) pada bagian kulit dari ubi jalar diketahui memiliki kandungan
komponen bioaktif yang lebih tinggi dibandingkan bagian daging umbi
tetapi memiliki kandungan pati yang lebih rendah. Komponen bioaktif
merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder. Pada ubi jalar
11
umumnya komponen bioaktif terdapat pada bagian kulit, epidermis dan
daging umbi.
Hal serupa juga di ungkapkan Santoso dan Estiasih (2014), bahwa
Kulit ubi jalar ungu sering dianggap remeh dan menjadi limbah rumah
tangga yang selama ini hanya dibuang ataupun sebagai makanan ternak
padahal di dalam kulit ubi jalar ungu terdapat senyawa bioaktif yang
memiliki manfaat di dalamnya, diantaranya digunakan sebagai zat pewarna
alami pengganti zat pewarna sintetik. Kulit ubi jalar ungu memiliki
komponen bioaktif yaitu zat warna antosianin, dimana antosianin
merupakan zat pewarna yang dapat dikategorikan sebagai antioksidan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan antosianin pada bagian
kulit ubi jalar ungu lebih besar dibandingkan pada bagian dagingnya.
Ubi jalar mengandung jumlah rata-rata protein dan karbohidrat yang
lebih tinggi, terutama pati. Ubi jalar memiliki rasa yang manis, karena
umbinya mengandung beberapa gula. Kandungan karbohidrat yang tinggi
membuat ubi jalar dapat dijadikan sumber kalori. Kandungan karbohidrat
ubi jalar tergolong Low Glycemix Index (LGI 54), yaitu tipe karbohidrat
bila dikonsumsi tidak akan menaikkan gula darah secara drastis jadi aman
bila dikonsumsi oleh penderita diabetes. Sangat berbeda dengan beras dan
jagung yang mengandung karbohidrat dengan Glycemix Index tinggi,
sehingga dapat menaikkan gula darah secara drastis. Selain itu serat pangan
ubi jalar merupakan polisakarida yang tidak tercerna dan terserap didalam
usus halus, sehingga akan terfermentasi di dalam usus besar. Serat pangan
bermanfaat bagi keseimbangan flora usus dan bersifat prebiotik serta
merangsang pertumbuhan bakteri baik bagi usus, sehingga penyerapan zat
gizi menjadi menjadi lebih baik. Selain kandungan karbohidrat yang tinggi,
ubi jalar juga merupakan sumber β-karoten yang tinggi dibandingkan
dengan umbi-umbian lainnya (Murtiningsih dan Suryanti, 2011).
Ubi jalar segar dikonsumsi dengan cara direbus, dikukus, dioles
mentega kemudian digoreng, sebagai pengental dalam pembuatan saus,
sebagai dessert dan snack/ keripik. Tepung ubi jalar dapat digunakan
12
sebagai tepung komposit dengan tepung terigu dalam industri bakery.
Tepung ubi jalar dapat digunakan untuk pembuatan roti, biskuit, cake,
donat, rock buns dan pastry yang lain. Di India dan Indonesia, tepung ini
digunakan sebagai penstabil di industri es krim dan produksi permen.
Selain dengan penepungan, pemanfaatan ubi jalar dapat dalam bentuk
puree, sehingga kehilangan zat-zat gizinya tidak sebanyak proses
penepungan (Chayati, 2011). Ubi jalar varietas Beta-1 dengan warna
daging oranye tua sesuai bila digunakan sebagai bahan baku atau campuran
selai, mie, jus, bolu gulung, bakpao dan kue mangkok. Sedangkan varietas
Beta-2 memiliki warna daging oranye terang dan tekstur agak lembek,
pastanya cocok dijadikan kue-kue basah, jajanan seperti pukis, kue lumpur,
bika, terang bulan, waffel dan lainnya dengan substitusi 50% terigu, dapat
pula digunakan sebagai bahan campuran selai nanas (Olson, 2014).
2. Tepung Ubi Jalar Oranye
Ubi jalar oranye memiliki prospek dan peluang yang besar sebagai
bahan baku industri pangan. Salah satu bentuk olahan ubi jalar yang cukup
potensial dalam kegiatan industri adalah tepung ubi jalar. Tepung ubi jalar
dapat menjadi pilihan yang tepat untuk diversivikasi. Pembuatan tepung
ubi jalar oranye akan meningkatkan pemanfaatan serta menjadikannya
sebagai salah satu sumber provitamin A (Sigit, dkk., 2010). Pengolahan ubi
jalar menjadi tepung merupakan salah satu alternatif untuk memudahkan
penyimpanan dan pengawetan ubi jalar. Pemanfaatan ubi jalar dalam
bentuk tepung dapat mempermudah penggunaannya sebagai bahan baku
industri pangan maupu non pangan.
Pengolahan ubi jalar menjadi tepung dapat meningkatkan
diversifikasi produk pangan dan dapat memberi nilai tambah dan
mengangkat ubi jalar menjadi komoditas yang bernilai tinggi. Selain itu,
pengolahan ubi jalar menjadi tepung, diharapkan dapat mengurangi jumlah
ubi jalar yang terbuang percuma karena rusak ataupun busuk karena dapat
berguna sebagai bahan utama olahan produk pertanian maupun sebagai
13
bahan suplemen (Suprapti, 2003). Dalam peningkatan mutu gizi lewat
pengolahan pangan lokal berbasis tepung sangat ditentukan oleh sifat kimia
tepung tersebut, untuk itu diperlukan suatu penelitian berupa analisa
terhadap sifat kimia dari bahan pangan, dalam hal ini ubi jalar yang diolah
menjadi tepung (Liur, 2014).
Menurut Claudia, dkk., (2015), tepung ubi jalar adalah warna produk
yang beraneka ragam, mengikuti warna daging umbi bahan bakunya.
Proses yang tepat dapat menghasilkan tepung dengan warna sesuai warna
umbi bahan. Sebaliknya, proses yang kurang tepat akan menurunkan mutu
tepung, dimana tepung yang dihasilkan akan berwarna kusam, gelap, atau
kecokelatan. Untuk menghindari hal tersebut disarankan untuk merendam
hasil irisan atau hasil penyawutan dalam sodium bisulfit 0.3% selama
kurang lebih satu jam. Natrium bisulfit akan menekan reaksi pencoklatan
non-enzimatik yang dapat mengakibatkan kerusakan protein karena asam
amino sekundernya berikatan dengan gula reduksi. Berikut dapat dilihat
dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Tepung Ubi Jalar per 100 Gram Bahan
No Parameter Tepung Ubi
Jalar Putih
Tepung Ubi
Jalar Oranye
Tepung Ubi
Jalar Ungu
1 Kadar air (%) 7,00 6,77 7,28
2 Kadar abu (%) 2,14 4,71 5,31
3 Protein (%) 0,53 4,41 2,79
4 Lemak (%) 2,11 0,91 0,81
5 Karbohidrat (%) 81,74 83,19 83,81
6 Serat kasar (%) 3,00 5,54 4,72
Sumber : Susilawati & Medikasari (2008) dalam Ambarsari et. al. (2009).
Ubi jalar kuning dapat meningkatkan nilai ekonomisnya sebagai
bahan baku pengganti tepung terigu. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Kuning
adalah sebagai berikut: tahap pertama dalam pembuatan tepung ubi jalar
kuning adalah 2 kg ubi jalar kuning segar dikupas, kemudian dicuci dengan
air mengalir, diiris dengan ketebalan ± 1 mm, kemudian di blanching air
panas selama 1 menit, dikeringkan pada kabinet dryer suhu 600C selama 12
jam, didapatkan chip kering kemudian digiling, dan diayak dengan ayakan
80 mesh (Subandoro, dkk., 2013). Sedangkan menurut Amalia, dkk.
14
(2014), proses pembuatan tepung ubi jalar sebagai berikut: ubi jalar
dikupas dan dicuci kemudian diiris tipis-tipis. Setelah itu, irisan bahan
direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0,3% selama 5 menit (untuk
mencegah terjadinya pencoklatan). Kemudian irisan ubi jalar disusun pada
loyang untuk dikeringkan dalam oven pengeringan pada suhu 50oC selama
14 jam, lalu didinginkan pada suhu ruang dan digiling, kemudian diayak
dengan ayakan 80 mesh. Dihasilkan tepung ubi jalar dan dikemas di dalam
plastik dalam keadaan tertutup rapat.
3. Karakteristi Fisik Tepung
a. Daya Serap Air
Daya serap air (water absorption) adalah kemampuan tepung
dalam menyerap air (Suarni, 2009). Daya serap air merupakan salah
satu karakteristik fisik yang berhubungaan dengan sifat kelarutan
tepung ketika ditambah air (Mirdhayati, 2004 dalam Pramesta, dkk,
2012). Tepung merupakan salah satu bahan makanan yang dibutuhkan
dalam pengolahan produk pangan karena kemampuannya menyerap air
(Nide, et. Al, 2001 dalam Amajor, et al, 2014). Menurut Hidayat dkk.
(2007) semakin rendah kandungan protein maka semakin rendah daya
serap air, karena gugus amino polar (protein) memiliki kapasitas hidrasi
yang tinggi.
Menurut Purwanto, dkk., (2013), daya serap air dipengaruhi oleh
kandungan karbohidrat, baik berupa pati maupun serat kasar serta
protein dan komponen lainnya yang bersifat hidrofilik. Selain itu
penyerapan air pati tidak dapat mengembang sempurna bila
menggunakan air dingin. Tepung ubi jalar tersusun atas granula-granula
pati. Bila pati mentah dicampurkan dengan air dingin, maka granula
patinya akan menyerap air dan mengalami pembengkakan. Namun
jumlah air yang diserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang
terserap oleh pati tersebut hanya dapat mencapai 30% (Winarno, 2004).
15
Selain kandungan serat kasar, pengaruh jumlah protein dalam bahan
juga mempengaruhi nilai daya serap air.
b. Densitas Kamba
Densitas kamba (bulk density) adalah perbandingan bobot bahan
dengan volume yang ditempatinya, termasuk ruang kosong di antara
butiran bahan tersebut (Apriliyanti, Tina, 2010). Sedangkan menurut
Honestin, Trifena. (2007) Densitas kamba merupakan perbandingan
antara berat bahan dengan volume bahan itu sendiri, yang memiliki
satuan g/ml. Faktor yang mempengaruhi densitas kamba suatu bahan
adalah ukuran keseragaman dan kerataan permukaan bahan (Tamam,
dkk, 2014). Menurut Wirakartakusumah, dkk, (1992) dalam Pramesta,
dkk, (2012) densitas kamba dari berbagai makanan bubuk umumnya
berkisar antara 0,30-0,80 g/ml.
Menurut Ningrum (1999) semakin tinggi densitas kamba
menunjukkan produk semakin ringkas atau padat sehingga
mempengaruhi jumlah bahan yang bisa dikonsumsi dan biaya produksi
dari bahan tersebut. Kemudian Ade et al. (2009) mengungkapkan
bahwa bahan dengan densitas kamba yang rendah akan membutuhkan
tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan dengan densitas
kamba yang besar untuk berat yang sama sehingga tidak efisien dari
segi tempat penyimpanan dan kemasan. Densitas kamba mempengaruhi
jumlah bahan yang bisa dikonsumsi dan biaya produksi bahan tersebut.
c. Swelling Power (Rasio Pengembangan)
Swelling power merupakan kemampuan daya kembang suatu
bahan, dalam hal ini menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang
dalam air sehingga mengalami kenaikan volume dan berat maksimum
pati di dalam air (Balagopalan et al., 1988 dalam Baah, 2009). Menurut
Ratnayake et al. (2002) dalam Anggriawan (2010) ketika sejumlah pati
dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih, terjadi kerusakan pada
ikatan hidrogen struktur kristalin. Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan swelling. Swelling power dapat diukur pada kisaran suhu
16
terbentuknya pasta pati, yaitu 50- 95oC dengan interval 5
oC (Swinkels,
1985 dalam Yulia, 2007). Besarnya swelling power untuk setiap tepung
berbeda. Swelling power sangat menentukan sifat dan kegunaan dari
tepung tersebut. Semakin besar swelling power berarti semakin banyak
air yang diserap selama pemanasan, hal ini tentu saja berkaitan dengan
kandungan amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam tepung.
Tingginya nilai swelling power tepung disebabkan pada saat
pemanasan pada suhu 85o C selama 30 menit granula pati membuka
akibat energi panas. Proses pemanasan juga mengakibatkan
melemahnya ikatan hidrogen yang menghubungkan antara amilosa dan
amilosa, amilopektin dan amilopektin maupun amilosa dan amilopektin
yang mengakibatkan terganggunya kekompakan granula pati.
Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan molekul-molekul air
mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga mudah
berpenetrasi ke dalam granula pati. Air akan terikat dalam molekul
amilosa dan amilopektin yang mengakibatkan kenaikan ukuran granula
pati tersebut (Siwi dan Rukmi, 2012).
Pati ubi jalar memiliki derajat pembengkakan 20-27 ml/g dan
tergelatinisasi pada suhu 75-88oC untuk granula berukuran kecil.
Peningkatan persentase swelling power diduga disebabkan oleh sifat
hidrofilik pada granula pati, sehingga mampu berikatan dengan
hidrogen pada molekul air. Semakin lama pemanasan semakin tinggi
sifat hidrofilik pada granula pati. (Moorthy, 2000). Pemanasan yang
terus berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air
yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang larut air dengan
mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan. Hal itu karena
dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak
sehingga pengembangan volume juga semakin besar (Murillo, 2008
dalam Amin, 2013). Nilai rasio pengembangan (swelling power) perlu
diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah yang
digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati mengalami
17
swelling, wadah yang digunakan masih bisa menampung pati tersebut
(Suriani, 2008).
d. Warna L*a/b
Warna merupakan salah satu parameter penting dalam produk
pangan. Analisis warna tepung dilakukan dengan menggunakan alat
Chromameter Minolta. Uji warna dilakukan dengan sistem warna
Hunter L*, a*, b*. Warna L menunjukkan nilai kecerahan dengan nilai
0-100 berarti gelap-hitam hinnga terang-putih. Nilai a positif antara 0-
100 menunjukkan warna merah, dan negatif antara 0-80 berarti warna
hijau, sedangkan nilai b positif antara 0-70 menunjukkan warna kuning
dan negatif 0-70 berarti warna biru (Syamsir dan Honesti, 2009). Hue
angle (H*) dihitung sebagai tan-1
(b*/a*). Hue diekspresikan sebagai
derajat sudut mulai dari 0o-360
o, dimana 0
o (merah) dalam kuadran +a*,
diputar berlawanan arah jarum jam 90o (kuning) untuk +b*, 180
o (hijau)
untuk -a*, 360o (biru) untuk -b* (Mahmudatussa’adah, dkk., 2015).
4. Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Pati disusun oleh unit D-glukopiranosa. Pati terdiri dari dua fraksi yang
dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan
fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai
struktur lurus yang dominan dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan
amilopektin (mempunyai titik percabangan dengan ikatan cabang, dengan
ikatan α-(1,6)-D-glukosa. Pati dapat bereaksi dengan Iod pada daerah
amorfnya. Fraksi amilosa bereaksi dengan Iod menghasilkan warna biru,
sedangkan amilopektin bereaksi dengan Iod memberi warna kemerahan
hingga warna coklat (Winarno, 2002). Menurut Swinkels (1985) granula
pati ubi jalar berbentuk polygonal dengan kandungan amilosa 20% dan
amilopektin 80%.
Menurut Febriaanti, dkk (2015), Amilosa merupakan polimer dari
glukosa yang mempunyai ikatan α (1,4) sehingga membentuk suatu rantai
18
lurus dengan salah satu ujungnya merupakan gugus hidroksil yang
menyebabkan amilosa mudah menyerap air. Pengukuran kadar amilosa
dapat dilakukan menggunakan pengikatan iodin. Iodin akan terikat pada
struktur helix amilosa yang kemudian akan membentuk warna biru yang
diukur menggunakan spektro-fotometer dan semakin pekat warna biru
menandakan semakin banyak amilosa yang terkandung pada suatu bahan
(Siwi dan Rukmi, 2012). Apabila penyusun pati didominasi oleh
amilopektin maka akan memberikan karakter produk yang ringan, porous,
kering dan mudah patah (Febriaanti, dkk, 2015). Pati ubi jalar sendiri
terdiri dari 60-70% amilopektin dan sisanya amilosa (Koswara, 2009).
5. Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang berguna dalam membantu
mengatasi kerusakan oksidatif akibat radikal bebas atau senyawa oksigen
reaktif. Menurut Halliwell dan Gutteridge (1989) dalam Saefudin, dkk.
(2013), radikal bebas adalah molekul atau senyawa yang mempunyai satu
atau lebih elektron yang tidak berpasangan dan dapat menimbulkan
kerusakan pada biomolekul. Aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai %
kapasitas mereduksi radikal bebas dari suatu bahan. Semakin besar reduksi
radikal bebas, maka aktivitas antioksidan semakin tinggi. Antioksidan
bekerja dengan cara menyumbangkan elektron bebasnya pada senyawa
radikal bebas untuk membentuk kompleks yang stabil (Dewi, dkk, 2013).
Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron pada senyawa yang
memiliki elektron yang tidak berpasangan (radikal bebas). Antioksidan
dapat meredam atau mengurangi dampak negatif radikal bebas dengan
cara mengikatnya lalu mengubahnya menjadi tidak berbahaya bagi tubuh
(Iskandar, 2004 dalam Wulandari, dkk, 2013). Adanya elektron tidak
berpasangan menyebabkan radikal bebas secara kimiawi bersifat reaktif.
Radikal bebas yang bersifat reaktif tersebut menimbulkan perubahan
kimiawi dan merusak berbagai komponen sel hidup. Dalam tubuh
manusia, radikal bebas dianggap berperan dalam proses terjadinya
19
beberapa penyakit. antioksidan dari sumber alami ditemukan dalam
sayuran maupun buah-buahan, biji-bijian, dan kacang-kacangan.
Flavonoid, tanin, polifenol, vitamin C, vitamin E, dan karotenoid
merupakan golongan senyawa dari bahan alam yang berpotensi sebagai
antioksidan (Merliani, dkk, 2014).
Antioksidan adalah senyawa yang berguna dalam membantu
mengatasi kerusakan oksidatif akibat radikal bebas atau senyawa oksigen
reaktif (ROS = Reactive Oxygen Species). Aktivitas antioksidan suatu
bahan dapat dievaluasi dengan beberapa cara, diantaranya melalui
kemampuannya dalam mencegah peroksidasi lipid yang disebabkan
hidrogen peroksida, kemampuannya meredam anion radikal bebas
superoksida, ataupun kemampuan dalam mereduksi radikal bebas DPPH.
DPPH merupakan radikal bebas yang stabil karena elektron yang dapat
terdelokalisasi dalam molekulnya. Delokalisasi ini menyebabkan larutan
DPPH dalam metanol memberikan intensitas warna ungu yang kuat dan
absorbansi maksimum pada panjang gelombang disekitar 520 nm.
Antioksidan dapat mengubah DPPH menjadi bentuk tereduksi sehingga
intensitas warna ungu larutannya berkurang. Perubahan intensitas warna
ini sebanding dengan besar kecilnya aktivitas antioksidan suatu bahan bila
konsentrasi dibuat sama. (Wulansari dan Chairul, 2011).
6. Total Fenol
Senyawa fenol adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus
hidroksil yang menempel di cincin aromatik. Tiga jenis senyawa fenol
yang umum adalah flavonoid, asam fenolat, polifenol (tanin) dan biasanya
dianalisis sebagai total fenol. Jenis flavonoid antara lain flavonol, flavon,
flavan, flavanon, asoflavon, dan antosianin (Messina, 2003 dalam Ginting,
dkk., 2011). Polifenol merupakan salah satu kategori terbesar dari
fitokimia dan paling banyak penyebarannya di antara kingdom tanaman.
Senyawa golongan fenol diketahui sangat berperan terhadap aktivitas
antioksidan, semakin besar kandungan senyawa golongan fenol maka
20
semakin besar aktivitas antioksidan (Arditiana, dkk, 2015). Asam fenolat
terdiri atas golongan asam benzoat (seperti asam galat) dan golongan asam
sinamat (seperti asam kafeat dan asam klorogenat). Angka total fenol
biasanya dinyatakan setara dengan asam galat, jenis asam fenolat yang
banyak terdapat pada buah-buahan, bunga, dan daun tanaman. Bentuk
ester fenol yang menyusun sebagian besar umbi ubi jalar adalah asam
klorogenat dan asam isokloregenat. Secara struktural, asam klorogenat
adalah ester asam kafeat yang memiliki unit 3-hidroksil dengan rumus
C16H18O9 (Ginting, dkk., 2011).
Metode folin ciocalteu adalah salah satu metode termudah untuk
mengukur kandungan total fenol. Metode ini berdasarkan kemampuan
reagen Folin-Ciocalteu mengoksidasi gugus hidroksil (OH-) dari senyawa
golongan fenol dan menghasilkan perubahan warna yang diukur pada
absorbansi 750 nm (Arditiana, dkk, 2015). Menurut penelitian Teow, et al.
(2007) menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara metode Folin-
Ciocalteu dan DPPH mengindikasikan bahwa kandungan total fenolik
dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui aktivitas hidrofilik
antioksidan pada ubi jalar. Ubi jalar banyak mengandung senyawa fenolik
yang diketahui mempunyai sifat antioksidatif (Fennema, 1985 dalam
Anggraeni, dkk, 2015). Antioksidan bekerja dengan cara menyumbangkan
elektron bebasnya pada senyawa radikal bebas untuk membentuk
kompleks yang stabil. Namun, mekanisme tersebut bukan menjadi satu-
satunya mekanisme antioksidan. Antioksidan sekunder (tipe 2) bekerja
dengan cara memperlambat kecepatan reaksi oksidasi, salah satunya
dengan mekanisme chelating logam pro-oksidan (Dewi, dkk., 2014).
Senyawa fenol menghambat radikal bebas dengan cara mendonorkan
protonnya dan membentuk radikal yang stabil. Terbentuknya radikal stabil
ini dikarenakan elektron bebas yang terdapat pada radikal distabilkan oleh
delokalisasi elektron dengan adanya resonansi pada cincin aromatik.
Selain itu berdasarkan uji fitokimia diketahui bahwa fraksi etil asetat
mengandung senyawa golongan fenolik, flavonoid, alkaloid dan saponin
21
(Rudiansah, 2012) dalam Turisman et. al. (2012). Radikal bebas dihambat
dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian
mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil (Shi, et. al., 2011).
Senyawa fenolik yang terkandung pada kulit umbi berupa asam kafeat.
Asam kafeat memiliki dua gugus hidroksi pada cincin benzena. Asam
kafeat merupakan inhibitor enzim DOPA-dekarboksilase dan 5-
lipoksigenase (Andarwulan dan Faradilla, 2012). Asam kafeat merupakan
asam fenolik yang bisa menjadi perisai terhadap serangan virus dan
mencegah kanker (Wardayati, 2011).
Perbedaan kandungan fenolik dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Selain pada proses pengolahan, perbeda kandungan fenolik juga dapat
disebabkan karena jenis varietas ubi jalar tersebut, yang disebabkan karena
perbedaan genotif dapat mempengaruhi akumulasi kandungan fenolik oleh
perbedaan kuantitas sintesis dan juga tipe komponen fenol. Menurut
penelitian Rumbaoa, et al. (2009) menunjukkan bahwa varietas ubi jalar
dengan daging buah berwarna ungu memiliki kandungan fenol yang paling
tinggi, kemudian diikuti dengan ubi jalar dengan daging buah berwarna
oranye atau kuning dan selanjutnya kandungan fenol terendah pada ubi
jalar dengan daging buah berwarna putih.
7. β-karoten
Karatenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning,
oranye, merah oranye, serta larut dalam minyak (lipida). Karotenoid
terdapat dalam buah pepaya, kulit pisang, tomat, cabai merah, wortel, ubi
jalar. Beberapa jenis karotenoid yang banyak terdapat di alam dan bahan
makanan adalah β-karoten, likopen, kapxantin, dan biksin. β-karoten dan
likopen merupakan molekul yang serupa, perbedaannya terletak pada
cincin pada karbon ujung. Pada β-karoten cincin tertutup, sedangkan
likopen cincin terbuka (Winarno, 2002). β-karoten adalah salah satu jenis
senyawa hidrokarbon karotenoid yang merupakan senyawa golongan
tetraterpenoid (Andarwulan dan Faradilla, 2012). β-karoten (Gambar 2.2)
22
memiliki banyak ikatan rangkap konjugasi, sehingga mudah sekali
teroksidasi dan berubah bentuk dari trans menjadi cis (Penicaud, dkk, 2010
dalam Ramadani, dkk, 2013).
Gambar 2.2 Struktur β-karoten (Sumber : wikivitamin.com)
Adanya ikatan ganda menyebabkan β-karoten peka terhadap
oksidasi. Oksidasi β-karoten akan lebih cepat dengan adanya sinar, dan
katalis logam. Selain itu, dapat mengalami isomerisasi bila terkena panas,
cahaya dan asam. Isomerisasi dapat menyebabkan penurunan intensitas
warna dan titik cair. Oksidasi akan terjadi secara acak pada rantai karbon
yang mengandung ikatan rangkap. β-karoten yang kita konsumsi terdiri
atas dua gugus retinil, yang di dalam mukosa usus kecil akan dipecah oleh
enzim beta karoten dioksigenase menjadi retinol, yaitu bentuk dari vitamin
A (Adhi dan Muda, 2013). Oleh karena itu β-karoten dapat disebut
prekursor vitamin A dan berfungsi sebagai provitamin A didalam tubuh
manusia (Murtiningsih dan Suryanti, 2011).
β-karoten adalah antioksidan dan bagian dari vitamin keluarga
karotenoid. Karotenoid ditemukan dalam buah-buahan berwarna cerah dan
sayuran. Semakin merah warna buah atau sayuranan maka, semakin tinggi
kandungan β-karotennya. Selamjutnya β-karoten diubah dalam tubuh
untuk membuat vitamin A, sebagai nutrisi penting untuk penglihatan,
fungsi kekebalan tubuh, dan kulit serta kesehatan tulang. Daging ubi jalar
oranye tinggi kandungan -karoten dan karotenoid. Konsumsi daging ubi
jalar oranye dapat memberikan vitamin A yang berkelanjutan, yang
memainkan peran utama dalam mencegah rabun senja (Rose and
Vasanthakaalam, 2011). Namun, β-karoten memiliki sifat yang mudah
23
rusak akibat sinar ultraviolet, panas, kondisi asam serta kontak dengan
udara atau oksigen (Sigit, dkk., 2010).
Ubi jalar yang berwarna jingga atau oranye mengandung β-karoten
lebih tinggi daripada jenis ubi jalar lainnya, makin pekat warna oranyenya
makin tinggi kadar β-karotennya yang berperan sebagai pembentuk
vitamin A dalam tubuh. Kandungan karoten pada ubi jalar merupakan
suatu kelebihan dari kelompok umbi-umbian, karena karoten ini
merupakan provitamin A. Vitamin A sangat berperan dalam proses
pertumbuhan, reproduksi, penglihatan, serta pemeliharaan sel-sel epitel
pada mata (Sarwono, 2005). β-karoten merupakan contoh dari antioksian
sekunder. Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi
menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai
sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Kandungan beta karoten
pada bahan pangan alami dapat mengurangi risiko terjadinya stroke. Beta
karoten juga memiliki efek analgetik (anti nyeri) dan anti-inflamasi (anti
peradangan) (Adhi dan Muda, 2013).
B. Hipotesa
Hipotesa dari penelitian karakterisasi tepung ubi jalar oranye varietas
Beta 2 dengan perlakuan pengupasan adalah pada perlakuan tanpa
pengupasan (umbi utuh) dan perlakuan pengupasan (daging umbi) tepung ubi
jalar oranye varietas Beta 2 yang dihasilkan, berpengaruh terhadap
karakteristik sifat fisik, kimia dan fungsionalnya.
24
C. Kerangka Berfikir
Gambar 2.3 Kerangka Berfikir
Kulit umbi dan daging umbi mengandung komponen bioaktif
Pengolahan tepung ubi jalar oranye dapat memperpanjang umur
simpan
Ubi jalar segar memiliki umur simpan yang pendek dan mudah
busuk
Uji karakteristik fisik, kimia dan fungsional
Penepungan perbedaan perlakuan pengupasan (umbi tanpa
pengupasan dan umbi dengan pengupasan
Ubi Jalar Oranye
varietas Beta 2
Recommended