View
222
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
11
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
RITUAL KEMATIAN DAN PENGUBURAN JENAZAH
2.1. Ritual
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Ritual adalah tata cara dalam upacara
keagamaan dan ritual adalah berkenaan dengan ritus; dan hal ihwal ritus.1
Victor Turner mengatakan bahwa dalam hal agama atau yang berbicara tentang
agama dapat dikatakan bahwa, setiap simbol tentang ritus keagamaan itu sangat bersifat
kompleks. Hal itu terjadi demikian karena dalam ritus-ritus keagamaan tertuang dan
terbenam imaginasi dan emosi (perasaan) dari masyarakat pencipta dan pelaksana ritual.
Jadi ritual tidak pernah bersifat sederhana karena manusia pada dasarnya bukanlah
makhluk sederhana.2 Ritual yang adalah produk masyarakat yang beragama dalam
dogma dan praktik keagamaan memiliki fungsi yang sangat penting yaitu memelihara,
dan mentransformasi kehidupan serta struktur sosial.3
Ritual keagamaan adalah seperangkat yang merangsang bangkitnya dan
menyatunya semua rasa yang amat berkuasa seperti: benci, ketakutan, belas kasihan dan
derita. Ritual keagamaan adalah upacara dimana di dalamnya dan melaluinya terlibat
pikiran manusia dalam menanggapi masalah-masalah tentang kehidupan dan kematian.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, 1990), 883-
884. 2 Victor, W., Turner. The Ritual Process (England: Penguin Books, 1969), 3.
3 Ibid., 4.
12
Ritus-ritus keagamaan yang bentuk, jenis, dan tata laksananya beraneka ragam adalah
simbol yang memproyeksikan tentang proses kehidupan dan kematian, seperti hitam dan
putih, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.4
Marisuasai Dhavamony, mengatakan bahwa kehidupan manusia di dunia ini (baik
kolektif maupun perseorangan) tidak dapat berlangsung apabila tidak dirangsang oleh
ritus-ritus yang menjamin kesesuaian dengan kekuatan-kekuatan kosmis dan ilahi,
misalnya: ritus inisiasi, kelahiran, pemberian nama, perkawinan, waktu sakit dan
pemakaman. Tujuannya adalah untuk menjamin kontak yang sangat diperlukan dengan
sumber kehidupan (Ilahi).5 Menurut Preusz, dalam Koentjadiningrat ritus atau upacara
religi akan bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya
didasarkan pada akal rasional dan logika; tetapi secara naluri manusia memiliki suatu
emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang olehnya
tampak konkrit, dalam keteraturan dari alam serta proses pergantian musim, dan
kedasyatan alam dalam hubungan dengan masalah hidup dan maut.6
Goody dalam Marisusai mendefinisikan ritual sebagai sesuatu ”kategori adat
perilaku yang dibakukan, di mana hubungan antara sarana-sarana dengan tujuan tidak
bersifak intrinsik, dengan kata lain sifatnya entah irasional atau nonrasional”.7 Durkheim
menjelaskan ritus merupakan aturan tentang perilaku yang menentukan bagaimana
manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral.8
4 Ibid, 42-43.
5 Marisuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 203.
6 Koentjadiningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Penerbit Universitas Indonesai, Jakarta, 1987) , 70.
7 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, ibid, 175.
8 Emile Durkheim, Sejarah Agama (terj, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) 72
13
Geertz, mengemukakan bahwa dalam ritus, konsep-konsep religius dibenarkan
dan kepercayaan bahwa tujuan-tujuan religius terbukti berhasil. Di dalam semacam
bentuk seremonial tertentu sekalipun bentuk itu hampir tidak lebih dari pada resitasi
sebuah mitos, konsultasi sebuah ramalan, atau dekorasi sebuah makam- suasana-suasana
hati atau motifasi-motifasi yang ditimbulkan oleh simbol-simbol sakral dalam diri
manusia dan konsep-konsep umum tentang tata eksistensi yang dirumuskan oleh simbol-
simbol bagi manusia bertemu dan saling memperkuat satu dengan yang lain. 9
Ritus pada gaibnya memiliki hubungan yang erat dengan aspek-aspek keagamaan
(religiusitas) suatu masyarakat, Valerio Valeri menunjuk pada 4 aspek pokok dari ritus
yaitu : (1) ia berakhir pada saat dimana ia dimulai, (2) ia diarahkan kepada mahluk ilahi
yang sekaligus menjadi tujuan pelaksanaannya, (3) ia berisi berbagai tindakan/aktifitas,
termasuk pengurbanan dan perayaan (sacrifice and celebration), (4) cara pengorbanan
atau perayaan tidak bisa dipisahan dari ritus itu sendiri dan menjadi bagian pokok di
dalamnya. 10
Sistim upacara keagamaan biasanya relatif tetap, tetapi latar belakang, keyakinan,
maksud dan doktrinnya bisa berubah kalau diamati dalam pelaksanaannya ternyata,
biasanya melibatkan banyak warga masyarakat yang menganut agama yang sama,
sehingga mereka bersama-sama memiliki fungsi sosial yang sama pula yaitu untuk
mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk agama itu dituntut untuk
menjalankan kewajiban mereka melakukan upacara agamanya dengan sungguh-sungguh.
Namun ada saja anggota yang melakukan tindakan itu dengan tidak serius. Motifasi
9 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (terj), (Yogyakarta: Kanisusi, 1992) 32-33
10 Valerio Valeri, Kingship and Sacrifice:Ritual and Society in Ancient (Hawaii Chicago: University of Chicago
Press, 1985).
14
seperti ini menurut Robertson Smith adalah karena mereka melakukan itu tidak terutama
berbakti kepada Tuhan atau dewa yang disembahnya. Atau untuk mengalami kepuasan
keagaaman secara pribadi, melainkan karena mereka menganggap bahwa melakukan
upacara adalah merupakan kewajiban sosial. 11
Ritus keagamaan itu memiliki peran untuk meningkatkan dan juga sekaligus
menurunkan status seseorang anggota masyarakat. Seseorang yang berasal dari kaum
superioritas dibuat sejajar dengan kelompok yang berasal dari kaum imperioritas. Dalam
ritus keagamaan kaum superioritas dan imperioritas berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah, yang kuat dibuat lemah dan yang lemah bertindak sebagai yang kuat. 12
Ritus keagamaan yang sangat kental bermotifkan politik. Hal ini berangkat dari
krisis berupa sebuah degradasi kemanusiaan dibuat ketetapan ritual yang dipakainya
untuk meningkatkan status sosial yang meninggi dan mengkhususkan
(mengistimewakan). 13
Ritus keagamaan juga berperan untuk mencegah terjadinya kehancuran sebuah
masyarakat. Ketidak teraturan adalah bencana bagi keberlangsungan sebuah masyarakat,
oleh karena itu ritus keagamaan dibuat sebagai ketentuan yang ditata secara teratur dalam
berbagai segi dimensi dan musim yang ada di dalam kehidupan. Antara lain segi lahir,
menikah dan mati, dimensi hati, rasa dan raga, musim tabur, tunai, merakyat dan
memerintah. 14
11
Koentjadiningrat, Sejarah Teori Antropologi I , Ibid… 68. 12
Victor Turner, The Ritual Process, Ibid… 166-168 13
Ibid… 170-175 14
Ibid, 177.
15
Ritus keagamaan juga berperan untuk membersihkan masyarakat dari segala dosa,
metafora dalam pembersihan dosa berupa tindakan penyucian oleh air dan pembakaran
oleh api yang diperbuat dalam upacara ritual. 15
Ada hubungan yang sangat erat antara ritus keagamaan dengan kehidupan sosial
masyarakat. Sebagaimana kehidupan sebuah masyarakat adalah proses, maka ritus
keagamaan adalah juga sebagai sebuah jalan pencarian akan makna hidup dalam dunia
modalitas yaitu menaik dan menurun. 16
Ritus juga memiliki suatu lingkaran (ritual circel) mengandung di dalamnya
tindakan manusia, kemudian bagaimana tindakan itu mengarah kepada makhluk ilahi
yang disembah atau yang menjadi alasan dan dasar dari suatu perbuatan ritual. Lingkaran
itu adalah lingkaran kosmis yang secara langsung mambawa manusia (pelaku ritual)
masuk dalam suatu pola hubungan kosmis dengan dunia transenden di mana makhluk
ilahi itu berada. Tindakan ritus selalu melibatkan partisipasi manusia (individu dan
komunal) di dalamnya.17
Secara global, ritus dapat digolongkan dalam 2 bagian, ritual-ritual (upacara-
upacara) yang bersifat musiman dan bukan musiman. Ritual-ritual musiman terjadi pada
acara-acara yang sudah ditentukan, dan kesempatan untuk melaksanakannya selalu
merupakan suatu peristiwa dalam siklus lingkaran alam-siang dan alam-malam, musim-
musim, gerhana, letak planet-planet dan bintang-bintang, sedangkan ritual-ritual yang
bukan musiman dilaksankan pada saat-saat kritis, mengikuti kalender lingkaran hidup,
ritual-ritual musiman hampir selalu bercorak komunal dan menyelesaikan secara teratur
15
Ibid, 185. 16
Ibid, 202-203. 17
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, ibid 125.
16
kebutuhan-kebutuhan yang berulang dari masyarakat sosial, sementara ritual-ritual yang
bukan musiman mungkin atau bisa jadi tidak bercorak komunal. 18
2.2. Ritual Kematian
Ritual kematian menandai ritus peralihan penting yang terakhir dalam kehidupan
setiap manusia. Di antara orang-orang Kaguru, ritus-ritus kematian dikaitan dengan dua
persoalan: (1) orang harus memastikan bahwa si mati itu dialihkan dengan mana dari
negeri orang hidup ke dunia spiritual. Orang-orang yang barusan meninggal seperti para
remaja di hutan, ada’ ditengah-tengah dan diantara’, dan karenanya harus diurus dengan
sangat saksama, mereka tidak dapat dikendalikan seperti kita mengontrol orang-orang
yang hidup, namun pada saat yang sama mereka cukup dekat dengan orang-orang yang
masih hidup sehingga dapat mempengaruhi mereka. Dengan kata lain mereka mesti
secepat mungkin “dimapankan” sebagai orang-orang yang sudah mati. (2) lebih kepada
perlakuan kepada yang meninggal yaitu gender dikuburkan dengan muka menghadap ke
kiri, ke dunia spiritual. Jazad-jazad itu dikuburkan dengan cara yang sangat terburu-buru
karena dianggap mencemarkan dan berbahaya, namun masa perkabungan berlangsung
sekurang-kurangnya selama empat hari.19
Ritus pemakaman mendorong pada dua hal yang paradoksal yaitu untuk
memelihara ikatan yang berhadapan dengan kematian, dan menjamin dominasi kehendak
untuk hidup, serta ritus kematian untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Geertz
menulis apa yang disebut oleh Malinowski bahwa: dari segala sumber agama krisis yang
paling berat dan paling akhir adalah kematian. Kematian menimbulkan dalam diri orang
18
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama , Ibid 178-179. 19
Thomas Hylland Eriksen, Antropologi Sosial dan Budaya (Maumere:Ledalero, 1998), 238.
17
yang berdukacita suatu tanggapan cinta dan segan, suatu ambivalence emosianal yang
sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang mengancam baik dasar-dasar
psikologis maupun eksistensi manusia.20
Geertz kembali mengutip pendapat Malinowski
sebagai berikut:
“Dan disini dengan bermainnya kekuatan-kekuatan emosional ini, dilema
kematian akhir ini, agama melangkah, menyeleksi rumusan kepercayaan yang
positif, pandangan yang menghibur, kepercayaan yang secara kultural bernilai
akan kebakaan, akan jiwa yang tak tergantung dari badan, dan akan kelanjutan
hidup setelah kematian. Dalam berbagai upacara kematian, dalam peringatan dan
persatuan dengan yang ditinggalkan, dan pemujaan dengan roh-roh leluhur,
agama memberi tubuh dan bentuk pada kepercayaan-kepercayaan yang
dinyatakan. Persis fungsi yang sama yang dipenuhi juga dengan memperhatikan
seluruh kelompok. Upacara kematian yang mengikat orang-orang yang berduka
cita dengan jenazah dan memaku mereka di tempat kematian, kepercayaan-
kepercayaan akan adanya Roh, akan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan,
atau maksud-maksud jahat, akan rangkaian upacara-upacara peringatan atau
pengorbaan dalam semua ini maka agama meniadakan kekuatan-kekuatan rasa
takut yang bersifat sentrifugal, kecemasan, demoralisasi, dan menyediakan
sarana-sarana yang paling kuat untuk reintergrasi solidaritas kelompok yang
tergoncang dan penetapan kembali semangat-semangat juangnya. Singkatnya
20
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 95.
18
agama disini menjamin kemenangan tradisi atas tanggapan negatif tentang naluri
yang menghambat”21
Koentjaranirat mengemukakan pendapat Geertz dalam tulisan yang sama dalam
upacara kematian, bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat
istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif.
Dengan demikian menurutnya, upacara kematian itu harus lepas dari segala perasaan
pribadi dari orang yang meninggal tersebut, kepada orang-orang yang terlibat dalam
upacara kematian itu, dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif masyarakat tadi.
Pandangan tentang kematian dari kebanyak masyarakat Arkhais, harus selalu diartikan
sebagai suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial tertentu ke kedudukan sosial
yang lain, yaitu kedudukan sosial di dunia ini ke kedudukan sosial di dunia “sana”.
Dengan begitu, maka Hertz mengatakan bahwa upacara kematian adalah tidak lain dari
upacara inisiasi. Bagi Preusz. Serangkaian ritus dan upacara yang paling penting dalam
banyak religi di dunia adalah ritus kematian, dalam ritus-ritus kematian inti pokok
upacara itu lebih banyak melambangkan proses perpisahan antara yang meninggal
dengan yang masih hidup. Ritus kematian disadari oleh banyak orang sebagai orientasi
religi di dunia adalah konsep mengenai hidup dan kematian. Ritus kematian adalah
sumber gambaran manusia tentang hidup dan ritus kematian yang sebenarnya diciptakan
sendiri oleh manusia.22
Oleh Koentjaraningrat, kebudayaan yang terdiri dari kumpulan lambang dan
simbol serta psikis manusia itu kemudian terwujud dalam ide, tingkah laku dan benda
21
Ibid, 96 22
Koentjanidingrat, Sejarah Teori Antropologi I, Ibid 69-77.
19
fisik.23
Ketiga wujud ini tidaklah bisa berdiri sendiri. Ketiganya bercampur menjadi satu
kesatuan yang utuh. Ide akan mengilhami manusia untuk beraktifitas guna menghasilkan
karya. Di dalam kebudayaan itu sendiri terdapat berbagai unsur substansial: pengetahuan,
nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi dan etos. Kebudayaan yang terbentuk
ini kemudian dapat diidentifikasikan lebih lanjut dalam berbagai sistim. Salah satu sistim
tersebut adalah sistim kepercayaan/religi.
Tri Widiarto berpendapat24
, sistim kepercayaan/religi adalah rangkaian keyakinan
dari suatu kelompok masyarakat manusia terhadap sesuatu yang (dianggap mempunyai
kekuatan) gaib. Keyakinan ini lahir karena adanya kesadaran akan berbagai misteri
kehidupan seperti kelahiran dan kematian. Ada kehidupan di alam gaib setelah kematian.
Manusia menginginkan kehidupan yang tentram di dunia dan setelah kematian. Karena
itu manusia selalu berusaha untuk berada dalam hubungan yang baik dengan penguasa
alam gaib tersebut. Sistim keyakinan inilah yang kemudian diwariskan secara turun-
temurun baik melalui kitab suci maupun mitologi dan upacara-upacara keagamaan/ritus.
Di dalam sebuah upacara pemakaman, tersembunyi gambaran keyakinan dan
pengharapan sebuah masyarakat. Seperti yang dicatat oleh Alex Jebadu bahwa orang
Mesir kuno memiliki adat kebiasaan yang menyiratkan kasih, penghormatan dan respek
mereka yang besar kepada orang-orang mati.25
Ketiga hal ini mendorong mereka untuk
mempersiapkan pemakaman dengan sangat terperinci, membangun makam-makam
raksasa (piramida) dan sesajian makanan. Mereka percaya bahwa pemakaman yang baik
dan layak sangat penting untuk memungkinkan orang mati itu hidup lagi di dunia akhirat.
23
Tri Widiarto, Dasar-dasar A.ntropologi Budaya, (Salatiga: Jurusan Sejarah FKIP UKSW Press, 2000), 12-14. 24
Ibid, 23. 25
Alex Jebadu, Bukan Berhala! Penghormatan Kepada Leluhur, (Maumere: Seminari Tinggi Ledalero, 2009), 177-
119.
20
Menurut Kobong26
, Orang Toraja memahami kehidupan ini sebagai suatu
lingkaran siklus yang enmalig, tidak dapat terulang lagi. Kematian adalah proses
peralihan hidup dari dunia yang empirik praktis kepada dunia yang mistis transenden
tersebut. Sebelum manusia kembali dalam kehidupan semula yang mistis itu, ia masih
tetap diikat oleh aluk sola pemali (AsP) melalui kaum kerabatnya. Kehidupan empirik
praktis, di sini dan sekarang, bersifat sementara namun memberi warna dan menentukan
kehidupan di sana yang mistis transenden. Kehidupan di dalam dunia yang empirik ini
dihayati dan diamalkan dengan segala upacara ritual.
Victor Turner berpendapat bahwa simbol berfungsi untuk mengatur kehidupan
sosial, sehingga ia berpandangan bahwa ritual tidak hanya kumpulan simbol-simbol yang
saling terkait satu dengan yang lainnya tetapi juga sekaligus sebagai simbol perekat sosial
bagi masyarakat tertentu. Kebersamaan terwujud karena ada krisis yang terjadi dalam
masyarakat sehingga memungkinkan ritual dilaksanakan. Menurutnya ketika suatu
peristiwa kritis terjadi, maka upacara-upacara simbolis dipahami sebagai petualangan
masuk ke dalam dunia yang tidak diketahui.
Upacara simbolis diperlukan untuk menjamin kepergian yang aman dan
kedatangan kembali yang membahagiakan.27
Dalam hal ini, ritual berfungsi liminalitas –
pembatas ruang dan waktu. Liminalitas adalah keadaan di mana seorang individu
mengalami keadaan ambigu. Yakni, keadaan neither here nor there (tidak di sini dan juga
tidak di sana). Berarti, individu sedang masuk ke tahap betwixt (di tengah-tengah) dan
between (antara). Pengalaman liminal ini akan membuat seseorang sadar diri, sadar akan
eksistensinya.
26
Theodorus Kobong, Manusia Toraja : dari mana-bagaimana-ke mana, (TangmentoE- Tana Toraja: Institut
Theologia, 1983), 2. 27
F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 112 .
21
Pada tahap liminal itu, seorang individu yang tengah menjalani ritual inisiasi
sedang melakukan refleksi diri. Mereka telah. atau sedang meninggalkan masa tertentu
tetapi juga sedang masuk masa tertentu. Upacara pemakaman masuk sebagai bagian dari
ritual inisiasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan tahap hidup. Penerimaan
kenyataan bahwa kematian telah memisahkan orang yang hidup dengan yang sudah
meninggal.
2.3 Dimensi Sakral dalam Ritual
Bagi Mircea Eliade, ritus adalah merupakan suatu sarana bagi manusia religius,
untuk bisa beralih dari waktu profan ke waktu kudus sakral, yang transenden terhadap
kondisi hidup manusia, di mana manusia meniru tindakan kudus yang mengatasi kondisi
manusiawinya, dengan keluar dari waktu kronologis dan masuk ke waktu awal mula yang
kudus yang menjadi pusat dunia. 28
Sejalan dengan itu Dhavamony, mengemukakan bahwa ritus merupakan suatu
sarana manusia religius, berkomunikasi dengan hakikat tertinggi, yang kudus, yang
diyakini sudah ada, penuh kekuatan, serta menjadi sumber kehidupan dan dapat
mempengaruhi nasib manusia secara baik dan buruk. 29
Menurut Durkheim, Hal-hal yang melahirkan gambaran-gambaran yang sakral
adalah: kepercayaan, mitos-mitos, dogma-dogma dan cerita-cerita dahulu kala, kebajikan
28
Hary Susanto, Mitos: Menurut Pemikiran Mircea Eliade (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 56. 29
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Ibid, 176.
22
dan kekuatan yang dimilikinya. Yang sakral itu bukanlah dewa-dewa atau roh-roh saja,
suatu upacara ritus hanya dapat hidup kalau memiliki kesakralan pada taraf tertentu.30
Perbedaan sakral dan profan itu mutlak, sehingga yang sakral dan yang profan itu
selalu berada dalam pemikiran manusia sebagai dua hal yang tidak memiliki persamaan
sedikitpun. Bisa saja benda atau makhluk yang sakral menjadi yang profan, untuk beralih
dari yang profan ke sakral harus melalui syarat tertentu, yang disebut inisiasi. Tetapi
sebaliknya peralihan dari yang sakral ke yang profan sering terjadi sebagai akibat
pergeseran atau erosi nilai. 31
Bagi Eliade suatu ruang atau tempat menjadi sakral karena peristiwa hierofani.
Hierofani adalah suatu peristiwa di mana hal sakral memanifestasikan diri di tempat atau
ruang tersebut, sehingga tempat tersebut menjadi sesuatu yang sakral. Melalui peristiwa
hierofani, lewat tanda-tanda atau metode-metode tertentu semua berlaku sama. Misalnya
lewat peristiwa hierofani, maka batu, padang, gunung, sungai, pohon, benda tertentu akan
menjadi sakral, demikian juga dengan binatang atau manusia dapat menjadi sesuatu yang
sakral lewat suatu tanda yang istimewa. Semuanya itu dapat juga menjadi sakral lewat
suatu upacara. Dunia menjadi sakral karena dunia mengambil bagian dari kesakralan
pencipta-Nya. 32
Manusia religius dibagi Eliade dalam pengenalan akan tiga dunia yaitu: (1) dunia
atas, dunia Ilahi, surga, tempat para dewa, para pahlawan dan nenek moyang. (2) dunia
yang di diami oleh manusia. (3) dunia bawah, atau dunia orang mati. Ketiga dunia ini
akhirnya membentuk tiga lapisan yang dihubungkan oleh satu poros yang disebut dengan
30
Emile Durkhein, The Elementary Form Religious Life, Ibid 52. 31
Emile Durkheim, Ibid 53. 32
Hary Susanto, Mitos: Menurut Pemikiran Mircea Eliade, ibid., 23-24
23
axis mundi, poros dunia sering lambangkan dengan tiang, tangga, pohon, gunung, dan
sebagainya. Axis mundi terletak pada pusat dunia yang menembus tembok-tembok pemisah
antara lapisan yang satu dengan yang lain. Melalui axis mundi manusia religius dapat
mengadakan hubungan dnegan dunia atas dan dunia bawah. 33
Eliade memaparkan ide tentang ruang yang sakral, yang mengambarkan bagaimana
satu-satunya ruang yang “nyata” adalah ruang sakral. Ruang sakral menjadi arah bagi
ruang yang lainnya. Ia mendapatkan bahwa manusia mendiami sebuah dunia tengah
(midland), antara dunia-luar yang kacau dan dunia-dalam yang sakral, yang diperbaharui
lagi oleh praktik dan ritual sakral. Dengan mentahbiskan satu tempat dalam dunia profan,
kosmologi direkapitulasi dan yang sakral menjadi mungkin diakses. Ini menjadi sentra dari
dunia primitif. Ritual mengambil tempat dalam ruang sakral ini, dan menjadi satu-satunya
cara partisipasi dalam kosmos yang sakral ketika berupaya menghidupkan dan
menyegarkan kembali dunia profan.
Selanjutnya, Eliade mengaitkan waktu sakral dengan mitologi. Ketika “waktu
profan” adalah linear, waktu sakral kembali pada permulaan manakala segalanya nampak
lebih “nyata” daripada keadaannya sekarang. Lagi-lagi ritual memainkan peran penting.
Waktu digerakkan kembali dengan menjadikannya baru kembali sementara ritual-ritual
mengikat kembali para penganut kepada keaslian kosmos yang sakral. Maka, siklus satu
tahun menjadi paradigma bagi pembaharuan kembali masyarakat dan dunia genesis yang
sakral.34
33
Ibid., 27-29 34
Mircea Eliade, Sakral dan Profan. Nurwanto (terj) (Yogyakarta Fajar Pustaka Baru, 2002),142
24
Eliade menganalisa bagaimana sejumlah unsur alam secara khusus bermain di
dalam pengalaman yang sakral. Ia melihat air, pohon sakral, rumah dan tubuh. Ia mencatat
bahwa “tidak ada tubuh manusia modern, seateis apapun, yang sepenuhnya tidak
merasakan daya tarik alam”. Simbolisme kosmik menambahkan satu nilai baru kepada
objek atau tindakan tanpa menggeser nilai-nilai yang inheren. Manusia religius
mendapatkan dalam dirinya kesucian yang sama dengan yang ia temukan dalam kosmos.35
Dalam bukunya “Sakral Dan Profan”, Eliade memaparkan perbedaan antara
homo religiosus dan manusia profan. Manusia non-religius mendapatkan bahwa segala
sesuatu telah didesakralisasi. Ini akan merusak sekaligus juga memiskinkan karena semua
tindakan dan kejadian telah tercabut dari signifikansi spiritualnya. “kepekaan religius dari
penduduk kota sangatlah dangkal dan miskin. Liturgi kosmik, disertakannya misteri alam
dalam drama kristologis, tidak dapat diakses lagi pada kehidupan orang Kristen di kota
modern. Pengalaman religius mereka tidak lagi terbuka bagi kosmos. Dalam analisa
terakhir, ia adalah pengalaman yang sangat pribadi; keselamatan adalah sebuah persoalan
yang menguras perhatian manusia untuk mengurusi Tuhannya; kebanyakan manusia
mengakui bahwa ia bukan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Namun hubungan
manusia-Tuhan-sejarah ini tidak meluangkan tempat sama sekali bagi kosmos.36
Menurut Eliade, yang sakral adalah unsur esensial pengalaman religius yang
nonrasional, yaitu pengagaman numinous, (bhs Latin yang artinya Tuhan) artinya sakral,
dalam arti kesakralan nonmoral, yang sakral inilah yang dihayati manusia beriman.
35
Ibid., 157. 36
Eliade, Ibid. 181.
25
Dengan singkat yang sakral adalah Tuhan yang mengatasi segala kenyataan yang ada di
dunia ini.37
Bagi Durkheim ritus adalah aturan-aturan dalam tingkah laku yang memberikan
pedoman bagaimana seseorang harus menempatkan diri dalam keadaan hadirnya hal-hal
yang sakral itu.38
Tingkah laku manusia dalam sistim upacara dalam kehidupan sehari-
hari dapat saja mempengaruhi perkembangan sistim keyakinan dan ajaran agama karena
apa yang telah berulang-ulang dan terus menerus dilakukan itu akan menyebabkan
manusia yang melaksanakannya sebagai sesuatu yang memang demikian. Bagi Van
Gennap, ritus dan upacara religi secara universal secara azasnya berfungsi sebagai
aktifitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga
masyarakat39
.
Menurut Van Gennap kehidupan sosial manusia di dunia ini adalah berulang-
ulang dalam jangka waktu tertentu sehingga ada masanya manusia itu akan jenuh dan
dalam keadaan seperti itu semangat kehidupan sosial itu akan menurun. Dan dengan
demikian diperlukan cara-cara untuk menimbulkannya kembali. Antara lain, dengan cara
melakukan upacara-upacara religius tersebut, dan untuk meningkatkan kembali semangat
itulah lalu diadakan upacara-upacara keagamaan melalui upacara itu semangat sosial
dapat ditumbuhkan kembali.40
37
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane, terjemahan Willard R. trask, (San Diego New York-London: A
harvest/HBJ Book, 1959) Ibid 8-11. 38
Durkheim, The Elemtary form of Religius Life, terjemahan (Joseph Wrd Swain), ( London, Geroge Allen dan
Unwin Ltd, 1976),41. 39
Koentjadiningrat, ibid, 74. 40
Koentjodiningrat, Sejarah Teori Antropologi, I, Ibid., 70.
26
Dalam kehidupan keagamaan ada simbol sakral. Simbol sakral itu membawa
manusia kepada pelaksanaan ritus, karena dalam ritus itulah tingkah laku manusia
dijadikan keramat/sakral. Melalui ritus-ritus tertentu yang di dalamnya terdapat suasana
hati dan motifasi, dibedakan dengan konsep metafisis, yang kalau keduanya
dipertemukan akan membentuk kesadaran spiritual dalam masyarakat. Durkheim
menghubungkan ritus dengan kesadaran kolektif, bahwa kesadaran kolektif itu
merupakan kebutuhan azasi dalam diri setiap manusia sehingga perlu diaktifkan kembali
dengan upacara-upacara religius yang dianggap keramat. Menurut Otto van Gennap, bila
manusia menghadapi hal-hal yang gaib dan keramat (sakral), manusia akan bersikap
penuh emosi yang disebabkan dari sikap takut-terpesona. 41
Seperti yang dikemukan menurut Durkheim di dalam agama ada 2 unsur penting
yaitu, kepercayaan dan upacara ritual atau ritus. Artinya upacara ritual adalah bagian
integral dari agama. Syarat-syarat pelaksanaan ritus ditentukan oleh agama. Itulah
sebabnya tidak ada upacara ritual yang profan. Menurut Mariasusai ciri-ciri yang sakral
itu dapat jelas terlihat, apabila kita mengamati suatu pelaksanaan ritus. Ciri-ciri yang
sakral ini sangat diperlukan, agar kita dapat lebih mengerti dan menangkap makna dari
yang sakral itu.
41
Koentjodiningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Ibid, 71.
Recommended