View
7
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistem Rangka Pemikul Momen
Portal merupakan struktur rangka utama dari gedung yang terdiri atas
komponen balok dan kolom yang saling bertemu pada titik simpul (Joint) yang
berfungsi sebagai penahan beban dari gedung. Jadi portal merupakan suatu sistem
rangka pemikul momen (SRPM) sebagai penahan beban yang bekerja pada
gedung yang berupa beban horizontal dan vertilal. Sistem ini terbagi menjadi 3
jenis, yaitu SRPMB (Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa), SRPMM (Sistem
Rangka Pemikul Momen Menengah), dan SRPMK (Sistem Rangka Pemikul
Momen Khusus), Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3.53 SNI 1726:2012.
Sistem rangka pemikul momen khusus yaitu sistem rangka portal yang
direncanakan bersifat daktail penuh dengan pendetailan secara khusus. Portal
yang didesain sebagai SRPMK diberi sendi plastis pada kedua ujung balok dan
kedua ujung kolom, portal SRPMK juga harus dapat menjamin bahwa kekuatan
kolom lebih tinggi dibandingkan balok. Secara detail penjelasan tentang desain
portal SRPMK terdapat pada Pasal 21.5 dan Pasal 21.6 pada SNI 2847:2013
(Persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung).
Pada penelitian Oktariansyah (2009) tentang Sistem Rangka Pemikul Momen,
mendapatkan hasil bahwa sulit terpenuhinya perilaku daktail pada struktur rangka
akibat kolom yang dibuat tidak menerus pada setiap lantai. Pemutusan atau
peniadaan kolom menyebabkan gedung memiliki tingkat lunak, waktu getar alami
6
7
struktur menjadi lebih besar, beban lateral yang mampu dipikul lebih kecil.
Tingkat pelayanan/kinerja strukturnya menjadi kurang baik karena pada titik
kinerja (performance point) beberapa elemen mengalami penurunan kekuatan
yang besar bahkan mengalami kegagalan. Jadi kesimpulannya bahwa sistem
rangka pemikul momen khusus sulit diterapkan pada sistem gedung dengan
portal yang memiliki struktur kolom yang tidak menerus.
Pada peneilitian Ridho dan Annisa (2018), komparasi detailing komponen
lentur struktur beton bertulang SRPMK dan SRPMM mendapatkan hasil bahwa
terdapat perbedaan jumlah tulangan longitudinal untuk memikul momen positif
dan negatif di sepanjang bentang balok, serta jarak tulangan transversal dan jarak
pemutusan tulangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Ridho Siagian dkk (2017), tentang
Sistem rangka pemikul momen khusus (SRPMK) dengan kombinasi pondasi
terjepit penuh dan penggunaan Base Isolator. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui besarnya perbandingan respon gempa struktur fixed base SRPMK dan
struktur SRPMK base isolator pada bangunan tingkat 10. Berdasarkan hasil yang
diperoleh bahwa struktur memenuhi peraturan SNI 03-1726-2012 untuk
penggunaan isolasi. Penggunaan base isolator dapat mereduksi gaya geser arah x
mencapai 40% dan arah y mencapai 39%, kemudian dapat memperpanjang waktu
getar alami struktur bangunan dua kali. Hal ini menyebabkan gaya gempa yang
bekerja semakin kecil dan dimensi kolom dapat diperkecil.
8
2.2 Struktur Balok Lebar
Balok lebar pada struktur beton bertulang sudah sering dipakai untuk
bangunan. Balok lebar adalah balok yang memiliki dimensi lebar balok lebih
besar dari dimensi tinggi balok (Puskas, 2012). Jadi perbandingan lebar balok
dengan tinggi balok lebih besar dari 1 (b/h > 1). Balok lebar juga difungsikan
sebagai struktur utama untuk menopang beban lantai, dinding dan kolom yang
ada diatasnya.
Menurut Gentry (1992), balok lebar bisa didefinisikan bahwa lebar balok
lebih besar dari lebar kolom yang menumpunya. Sambungan balok lebar dengan
kolom akan bekerja dengan baik jika parameter desain dikontrol dengan baik dan
hati-hati. Parameter yang dimaksud adalah ratio lebar balok dengan lebar kolom
dan sambungan angkur tulangan utama balok memanjang (tulangan longitudinal)
dengan balok transversal. Jika angkur tualangan tersebut sudah baik dilakukan,
gaya torsi yang terjadi pada balok transversal bisa dikontrol dengan baik.
Kekakuan lateral struktur dengan balok lebar lebih lemah daripada struktur
dengan balok normal. Balok lebar menurunkan kekakuan lateral dan menaikkan
periode fundamental bangunan.
Penelitian yang dilakukan oleh LaFave (1997), semua benda uji yang
memakai balok lebar mampu mencapai drift 2%, dan belum mengalami
pengurangan kekuatan lateral sampai mencapai drift 5%. Perbedaan kekakuan
lateral antara balok normal dengan balok lebar tidak besar dan lebih rendah dari
yang sudah diperkirakan. Hal tersebut juga karena partisipasi kekakuan dari pelat
lantai. Pada benda uji balok lebar menghasilkan sedikit retak geser pada join dan
balok. Mekanisme keruntuhan dan gaya geser dasar pada semua model tidak
banyak perbedaan dan relatif sama.
Sistem balok lebar ini sangat rentan terhadap gempa yang besar, kapasitas
penyerapan energi sangat rendah dan penyaluran momen lentur dari balok ke
kolom sangat rendah. Selain itu, permasalahan utamanya terjadi pada sambungan
balok kolom eksterior. Kerugian yang lain adalah lendutan yang besar sehingga
tidak efektif dipakai untuk bentang yang panjang dan luasan tulangan yang
diperlukan jauh lebih besar dari balok normal.
9
Keuntungan balok lebar adalah mengurangi jumlah total ketinggian bangunan
dengan memperpendek jarak antar lantai bangunan. Dengan demikian akan
mempermudah dalam pelaksanaan konstruksi dan mengurangi biaya. Perilaku
balok lebar pada join balok kolom eksterior terhadap beban horisontal sangat
dipengaruhi oleh ratio dari lebar balok dengan lebar kolom (Leon, et al, 1984).
Pada beberapa peraturan struktur beton bertulang tidak terdapat desain untuk
sambungan join balok lebar dengan mempertimbangkan layout tulangan dan
adanya link geser pada area joint. Kelemahan yang lain dari balok lebar adalah
kecilnya nilai EI jika dibandingkan dengan balok normal. Hal tersebut akan
berpengaruh terhadap lendutan balok dan jumlah tulangan yang akan diperlukan.
Dalam Penelitian Climent dkk (2008), menyajikan hasil eksperimen awal dari
proyek penelitian besar yang bertujuan untuk mengevaluasi kerentanan system
rangka pemikul momen beton bertulang dengan koneksi balok lebar dan kolom
yang dibangun di Spanyol pada tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an, dan untuk
mengembangkan strategi peningkatan seismik inovatif berdasarkan penggunaan
energi histeresis dissipators. Hasil yang didapat adalah tidak ada kegagalan geser
ditemukan dan pengujian menunjukkan hubungan kolom kuat dan balok lemah.
Leleh yang terjadi pada tulangan memanjang adalah dari as kolom sampai ke
tulangan kolom terluar. Artinya kapasitas sambungan terbatas tergantung pada
leleh lentur pada tulangan memanjang balok yang diangkur pada sambungan
tersebut. Leleh pertama pada balok lebar terjadi pada saat drift mencapai 2,2%
dari tinggi bangunan, dan drift ratio ultimit adalah 4,5%. Kegagalan sambungan
terjadi dari perkembangan retak akibat torsi pada bagian spandrell beams.
2.3 Struktur Kolom Pipih
Kolom berpenampang pipih adalah suatu kolom beton bertulang yang
merupakan perkembangan dari penampang persegi panjang atau segiempat,
dimana dalam prakteknya desain dari kolom berpenampang pipih setebal tembok
dengan perbandingan lebar tinggi bisa mencapai kurang dari 0,3 atau dapat
10
dikatakan tinggi penampang lebih dari 3 kali lebar penampang kolom tersebut
(Purnawan, 2011).
Dalam persyaratan disain struktur tahan gempa, penampang kolom harus
memiliki lebar penampang minimum 300mm (SNI 2847:2013). Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam pemasangan tulangan
agar kolom memiliki daerah inti beton yang cukup. Inti penampang kolom
merupakan bagian yang berperan penting dalam menyumbangkan daktilitas
kolom bila dilakukan pengekangan dengan baik. Menurut Sudarsana (2010), salah
satu faktor yang mempengaruhi kekuatan dan daktilitas kolom adalah pengaturan
tulangan longitudinal dan transversal. Konsep strong coloumn weak beam harus
dipergunakan, dimana konsep ini menuntut bahwa kolom hendaknya lebih kuat
dibandingkan dengan balok karena keruntuhan kolom dapat menjadi faktor utama
keruntuhan total suatu struktur.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sudarsana dan Ery (2014) yang
meninjau bagaimana perilaku struktur dengan kolom berpenampang pipih dengan
arah kolom yang bervariasi sehingga didapat perilaku struktur yang stabil
terhadap pengaruh beban horizontal seperti gempa. Dari hasil analisis Linier Time
History dan Static Nonlinear Pushover untuk mengetahui perilaku dinamis
struktur beton bertulang dengan berbagai konfigurasi orientasi penampang kolom
pipih dapat disimpulkan bahwa semakin meningkatnya rasio kekakuan Kx/Ky
suatu struktur, maka periode alami struktur, gaya geser dasar dan drift rasio
semakin menurun dalam Arah X, namun sebaliknya terjadi dalam Arah Y. Faktor
daktilitas struktur meningkat dengan meningkatnya rasio kekakuan Kx/Ky dalam
suatu arah yang ditinjau. Perilaku struktur yang proporsional dalam kedua arah
diperoleh apabila rasio kekakuan Kx/Ky mendekati satu.
2.4 Perencanaan Pelat
Pada struktur bangunan gedung pada umumnya tersusun atas beberapa
komponen pelat atap, pelat lantai, balok dan kolom yang pada umumnya
merupakan suatu kesatuan monolit pada sistem cetak ditempat atau terangkai
11
seperti sistem pracetak. Pelat juga di gunakan sebagai atap, dinding, tangga,
jembatan, atau dermaga di pelabuhan.
Pelat adalah struktur planar kaku yang terbuat dari material monolit dengan
tinggi yang kecil dibandingkan dengan dimensi-dimensi lainnya. Untuk
merencanakan pelat beton bertulang perlu mempertimbangkan faktor pembebanan
dan ukuran serta syarat-syarat dari peraturan yang ada. Pada perencanaan ini
digunakan tumpuan jepit penuh untuk mencegah pelat berotasi dan relatif sangat
kaku terhadap momen puntir dan juga di dalam pelaksanaan, pelat akan di cor
bersamaan dengan balok.
Pelat merupakan panel-panel beton bertulang yang mungkin bertulangan dua
atau satu arah saja tergantung sistem strukturnya. Apabila pada struktur pelat
perbandingan bentang panjang terhadap lebar kurang dari 3, maka akan
mengalami lendutan pada kedua arah sumbu. Beban pelat dipikul pada kedua arah
oleh balok pendukung sekeliling panel pelat, dengan demikian pelat akan
melentur pada kedua arah. Dengan sendirinya pula penulangan untuk pelat
tersebut harus menyesuaikan. Apabila panjang pelat sama dengan lebarnya,
perilaku keempat balok keliling dalam menopang pelat akan sama. Sedangkan bila
panjang tidak sama dengan lebar, balok yang lebih panjang akan memikul beban
lebih besar dari balok yang pendek (penulangan satu arah).
Syarat batas tumpuan tepi akan menentukan jenis perletakan dan jenis ikatan
di tempat tumpuan. Adapun jenis plat yang paling sederhana adalah pelat satu
arah yaitu plat yang didukung pada dua sisi yang berhadapan sehingga lenturan
timbul hanya dalam satu arah saja, yaitu tegak lurus pada arah sisi dukungan tepi,
sedangkan pelat dua arah adalah pelat yang didukung pada keempat sisinya yang
lenturannya akan timbul dalam dua arah yang saling tegak lurus.
2.4.1 Tumpuan Pelat
Untuk merencanakan pelat beton bertulang yang perlu dipertimbangkan
tidak hanya pembebanan saja, tetapi juga jenis perletakan dan jenis penghubung di
tempat tumpuan. Kekakuan hubungan antara pelat dan tumpuan akan menentukan
besar momen lentur yang terjadi pada pelat.
12
Pada bangunan gedung, umumnya pelat tersebut ditumpu oleh balok-balok
secara monolit, yaitu pelat dan balok dicor bersama-sama sehingga menjadi satu-
kesatuan. seperti di sajikan pada Gambar 2.1 dibawah ini:
Gambar 2.1 Tumpuan Pelat
2.4.2 Jenis Perletakan Pelat Pada Balok
Kekakuan hubungan antara pelat dan kontruksi pendukungnya (balok)
menjadi salah satu bagian dari perencanaan pelat. Ada 3 jenis perletakan pelat
pada balok, yaitu sebagai berikut:
1) Terletak Bebas
Keadaan ini terjadi jika pelat diletakan begitu saja di atas balok, atau
antara pelat dan balok tidak dicor bersama-sama, sehingga pelat dapat
berotasi bebas pada tumpuan tersebut (lihat Gambar 2.2(a)). pelat yang
ditumpu oleh tembok juga termasuk dalam katagori terletak bebas.
2) Terjepit Elastis
Keadaan ini terjadi jika pelat dan balok dicor bersama-sama secara
monolit, tetapi ukuran balok cukup kecil, sehingga balok tidak cukup kuat
untuk mencegah terjadinya rotasi pelat (lihat Gambar 2.2(b)).
3) Terjepit Penuh
Keadaan ini terjadi jika pelat dan balok dicor bersama-sama secara
monolit, dan ukuran balok cukup besar, sehingga mampu untuk mencegah
terjadinya rotasi pelat (lihat Gambar 2.2(c)).
13
Gambar 2.2 Jenis Perletakan Pelat Pada Balok
2.4.3 Sistem Penulangan Pelat
Sistem perencanaan tulangan pelat pada dasarnya dibagi menjadi 2 macam
yaitu:
• Pelat satu arah/one-way slab (Sistem perencanaan pelat dengan tulangan
pokok satu arah)
• Pelat dua arah/two-way slab (sistem perencanaan pelat dengan tulangan
pokok dua arah)
2.4.3.1 Sistem Penulangan Pelat Satu Arah
Kontruksi pelat satu arah adalah pelat dengan tulangan pokok satu arah,
biasanya akan bisa dijumpai jika pelat beton lebih dominan menahan yang berupa
momen lentur pada bentang satu arah saja. Contoh pelat satu arah adalah pelat
kantilever atau disebut juga pelat luifel dan pelat yang di tumpu oleh tumpuan
sejajar. Karena momen lenturnya hanya bekerja pada satu arah saja yaitu searah
bentang λ, maka tulangan pokok juga dipasang 1 arah yang searah bentang λ
tersebut, untuk menjaga agar kedudukan tulangan pokok tidak berubah pada saat
pengecoran beton, maka dipasang pula tulangan tambahan yang arah tegak lurus
tulangan pokok
14
2.4.3.2 Sistem Penulangan Pelat Dua Arah
Kontruksi pelat dua arah pelat dengan tulangan pokok dua arah, biasanya
akan bisa dijumpai jika pelat beton menahan beban yang berupa momen lentur
pada bentang dua arah. Contoh pelat dua arah adalah pelat yang ditumpu oleh 4
(empat) sisi yang saling sejajar. Karena momen lentur bekerja pada 2 arah, yaitu
searah dengan bentang lx dan bentang ly, maka tulangan pokok juga dipasang pada
2 arah yang saling tegak lurus (bersilangan), sehingga untuk daerah tumpuan ini
tetap dipasang tulangan pokok dan tulangan bagi. Bentang ly selalu dipilih ≥ lx,
tetapi momennya My selalu ≤ Mx , sehingga tulangan lx memiliki momen yang
besar dipasang di dekat tepi luar (urut ke-1)
2.5 Perencanaan Struktur Tahan Gempa
Sesuai dengan SNI 1726 :2012, perencanaan tahan gempa bertujuan agar
struktur gedung yang ketahanan gempanya direncanakan dapat berfungsi:
a) Menghindari terjadinya korban jiwa manusia oleh runtuhnya gedung
akibat gempa yang kuat;
b) Membatasi kerusakan gedung akibat gempa ringan sampai sedang,
sehingga masih dapat diperbaiki;
c) Membatasi ketidaknyamanan penghunian bagi penghuni gedung ketika
terjadi gempa ringan sampai sedang;
d) Mempertahankan setiap saat layanan vital dari fungsi gedung.
2.5.1 Analisis Ragam Response Spectrum
Beban gempa adalah semua beban statik ekivalen yang bekerja pada gedung
atau bagian gedung yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa
tersebut (PPPURG, 1987). Proses terjadinya gempa sangat tidak pasti, karena
dapat muncul sewaktu–waktu akibat pengaruh dari alam. Jika terjadi gempa,
maka struktur di atasnya akan mengalami pergerakan secara vertikal maupun
lateral, pergerakan vertikal relatif kecil dan pada umumnya struktur cukup kuat
menahannya, sehingga tidak perlu perhatian khusus dalam proses disain,
15
sedangkan pergerakan lateral akan memberikan beban lateral terhadap struktur
yang dapat menyebabkan struktur runtuh.
Dalam penelitian ini, untuk beban gempa dilakukan dengan menggunakan
peraturan terbaru perencanaan ketahanan gempa untuk gedung, yaitu
SNI1726:2012 menggunakan analisis ragam respons spectrum. Adapun
parameter tambahan untuk analisis ragam response spectrum adalah:
1. Skala gaya
Bila perioda fundamental yang dihitung melebihi (Cu) (Ta), maka (Cu) (Ta)
harus digunakan sebagai pengganti T dalam arah itu. Kombinasi respons
untuk geser dasar ragam (Vt) lebih kecil 85 persen dari geser dasar yang
dihitung (V) menggunakan prosedur gaya lateral ekivalen, maka gaya
harus dikalikan dengan:
tVV85,0 (2.1)
dengan,
V = geser dasar prosedur gaya lateral ekivalen
Vt = geser dasar dari kombinasi ragam yang disyaratkan
2. Simpangan antar lantai
Penentuan simpangan antar lantai tingkat disain ( ∆ ) harus dihitung
sebagai perbedaan defleksi pada pusat massa ditingkat teratas dan
terbawah yang ditinjau. Defleksi pusat massa ditingkat x ( xδ ) dalam mm
harus ditentukan sesuai dengan persamaan berikut:
e
xedx I
C δδ = (2.2)
dengan,
Cd = faktor pembesaran defleksi
xeδ = defleksi pada lokasi yang diisyaratkan yang ditentukan dengan
analisis elastik
Ie = faktor keutamaan
16
3. Skala simpangan antar lantai
Jika respons terkombinasi untuk geser dasar ragam (Vt) kurang dari 85
persen dari CsW, maka nilai simpangan antar lantai harus dikalikan:
⋅
t
S
VWC
85,0 (2.3)
4. Pengaruh P-Delta
Pengaruh P-delta pada geser dan momen tingkat, gaya dan momen elemen
struktur yang dihasilkan, dan simpangan antar lantai tingkat yang timbul
oleh pengaruh ini tidak disyaratkan untuk diperhitungkan bila koefisien
stabilitas (θ ) seperti ditentukan oleh persamaan berikut sama dengan atau
kurang dari 0,10:
dsxx
ex
ChVIP ∆
=θ (2.4)
Koefisien stabilitas (θ ) harus tidak melebihi maxθ
25,05,0max ≤=
dCβθ (2.5)
dengan,
Px = beban disain vertikal total pada dan diatas tingkat x (kN), bila
menghitung Px faktor beban individu tidak perlu melebihi 1,0
∆ = simpangan antar lantai tingkat disain terjadi secara serentak
denganVx(mm)
Ie = faktor keutamaan
Vx = gaya geser seismik yang bekerja pada tingkat ke x dan x-1 (kN)
hsx = tinggi tingkat dibawah tingkat ke x (mm)
Cd = faktor pembesaran defleksi
β = rasio kebutuhan geser terhadap kapasitas geser untuk tingkat antara
tingkat x dan x – 1. Rasio ini diizinkan secara konservatif diambil
sebesar 1,0.
17
Persyaratan Umum Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Gedung Berdasarkan
SNI 1726 :2012
a. Gempa Rencana
Pengaruh gempa rencana harus ditinjau dalam perencanaan dan
evaluasi struktur bangunan gedung dan non gedung, serta berbagai
bagian dan peralatannya secara umum. Sesuai SNI1726 :2012, gempa
rencana ditetapkan sebagai gempa dengan kemungkinan terlewati
besarannya selama umur struktur bangunan 50 tahun adalah sebesar
2%.
b. Faktor Keutamaan dan Kategori Resiko Struktur Bangunan
Untuk berbagai kategori resiko struktur bangunan gedung dan non
gedung dapat dilihat pada SNI 1726: 2012 Tabel 1-Kategori risiko
bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa. Pengaruh
gempa rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu faktor
keutamaan yang terdapat pada Tabel 2-Faktor keutamaan gempa di
SNI 1726 : 2012
c. Kombinasi dan Pengaruh Beban Gempa
Struktur, komponen-elemen struktur dan elemen-elemen fondasi
harusdirancang sedemikian hingga kuat rencananya sama atau
melebihi pengaruh beban-beban terfaktor dengan kombinasi yang
sudah ditentukan pada SNI 1726: 2012
d. Kategori Desain Seismik
Semua struktur lainnya harus ditetapkan kategori desain seismiknya
berdasasarkan kategori resikonya dan parameter respons spektral
percepatan desainnya, SDS dan SD1. Masing-masing bangunan dan
struktur harus ditetapkan ke dalam kategori desain seismik yang lebih
tinggi dengan mengacu Tabel 6 dan Tabel 7 Pada SNI 1726: 2012.
e. Arah Pembebanan Seismik
Arah penerapan beban gempa yang digunakan dalam disain harus
merupakan arah yang akan menghasilkan pengaruh beban paling kritis
18
f. Spektrum Respon Desain
Respons spektrum adalah suatu spektrum yang disajikan dalam bentuk
grafik/plot antara periode getar struktur T, lawan respon-respon
maksimum berdasarkan rasio redaman dan gempa tertentu.
g. Periode Fundamental Struktur T
Perioda fundamental struktur, T, dalam arah yang ditinjau harus
diperoleh menggunakan properti struktur dan karateristik deformasi
elemen penahan dalam analisis yang teruji. Perioda fundamental
struktur, T, tidak boleh melebihi hasil koefisien untuk batasan atas
pada perioda (Cu) dan perioda fundamental pendekatan, Ta,
h. Penentuan dan Batasan Simpangan Antar Lantai
Penentuan simpangan antar lantai tingkat desain (Δ) harus dihitung
sebagai perbedaan defleksi pada pusat massa di tingkat teratas dan
terbawah. Simpangan antar lantai tingkat desain (Δ) tidak boleh
melebihi simpangan antar lantai tingkat ijin (Δa).
2.5.2 Daktilitas Bangunan dan Faktor Reduksi Gempa
Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami
simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat
beban gempa diatas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan
pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga
struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi di
ambang keruntuhan. Daktilitas didefinisikan sebagai perbandingan deformasi
maksimum yang terjadi dengan deformasi pada saat terjadi leleh pertama.
Daktail penuh adalah suatu tingkat daktilitas struktur gedung, di mana
strukturnya mampu mengalami simpangan pasca-elastik pada saat mencapai
kondisi di ambang keruntuhan yang paling besar, yaitu dengan mencapai nilai
faktor daktilitas sebesar 5,3. Daktail parsial adalah suatu tingkat daktilitas
struktur gedung dengan nilai faktor daktilitas di antara untuk struktur gedung
yang elastik penuh sebesar 1,0 dan untuk struktur gedung yang daktail penuh
sebesar 5,3.
19
2.6 Perencanaan Tahan Gempa Berbasis Kinerja (Performance Base Desain)
Analisis riwayat waktu pada saat ini dianggap terlalu kompleks serta tidak
praktis untuk diterapkan dalam desain struktur bangunan gedung. Kemudian
muncul metode analisis nonlinear yang disederhanakan yaitu analisis beban
dorong. Bangunan yang dibangun pada daerah rawan gempa harus direncanakan
mampu bertahan terhadap gempa. Perencanaan yang terkini yaitu performance
based seismic design, yang memanfaatkan teknik analisis non-linier berbasis
komputer untuk mengetahui perilaku inelastis struktur dari berbagai macam
intensitas gerakan tanah (gempa), sehingga dapat diketahui kinerjanya pada
kondisi kritis. Selanjutnya dapat dilakukan tindakan bilamana tidak memenuhi
persyaratan yang diperlukan. Metode tersebut mulai populer sejak diterbitkannya
dokumen Vision 2000 (SEAOC 1995) dan NEHRP (BSSC 1995), yang
didefinisikan sebagai strategi dalam perencanaan, pelaksanaan dan
perawatan/perkuatan sedemikian agar suatu bangunan mampu berkinerja pada
suatu kondisi gempa yang ditetapkan, yang diukur dari besarnya kerusakan dan
dampak perbaikan yang diperlukan.
Saat ini, sebagian besar bangunan tahan gempa sudah direncanakan dengan
prosedur yang ditulis dalam peraturan perencanaan bangunan (building codes).
Peraturan dibuat untuk menjamin keselamatan penghuni terhadap gempa besar
yang mungkin terjadi, dan untuk menghindari atau mengurangi kerusakan atau
kerugian harta benda terhadap gempa sedang yang sering terjadi. Meskipun
demikian, prosedur yang digunakan dalam peraturan tersebut tidak dapat secara
langsung menunjukkan kinerja bangunan terhadap suatu gempa yang sebenarnya,
kinerja tadi tentu terkait dengan risiko yang dihadapi pemilik bangunan dan
investasi yang dibelanjakan terkait dengan risiko diambil.
Perencanaan tahan gempa berbasis kinerja (performance-based seismic
design) merupakan proses yang dapat digunakan untuk perencanaan bangunan
baru maupun perkuatan (upgrade) bangunan yang sudah ada, dengan pemahaman
yang realistik terhadap resiko keselamatan (life), kesiapan pakai (occupancy) dan
kerugian harta benda (economic loss) yang mungkin terjadi akibat gempa yang
akan datang.
20
Proses perencanaan tahan gempa berbasis kinerja dimulai dengan membuat
model rencana bangunan kemudian melakukan simulasi kinerjanya terhadap
berbagai kejadian gempa. Setiapsimulasi memberikan informasi tingkat
kerusakan (level of damage), ketahanan struktur, sehingga dapat memperkirakan
berapa besar keselamatan, kesiapan pakai dan kerugian harta benda yang akan
terjadi. Perencana selanjutnya dapat mengatur ulang resiko kerusakan yang dapat
diterima sesuai dengan resiko biaya yang dikeluarkan.
Hal penting dari perencanaan berbasis kinerja adalah sasaran kinerja bangunan
terhadap gempa dinyatakan secara jelas, sehingga pemilik, penyewa, asuransi,
pemerintahan atau penyandang dana mempunyai kesempatan untuk menetapkan
kondisi apa yang dipilih, selanjutnya ketetapan tersebut digunakan perencana
sebagai pedomannya.
Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan
(earthquake hazard), dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja
(performance level) dari bangunan terhadap kejadian gempa tersebut. Mengacu
pada FEMA-273 (1997) yang menjadi acuan bagi perencanaan berbasis kinerja
maka kategori level kinerja struktur, adalah: 1) Segera dapat dipakai (IO =
Immediate Occupancy), 2) Keselamatan penghuni terjamin (LS = Life-Safety), 3)
Terhindar dari keruntuhan total (CP = Collapse Prevention).
Gambar 2.3 Ilustrasi Rekayasa Gempa Berbasis Kinerja (ATC -58)
21
Gambar 2.3 menjelaskan secara kualitatif level kinerja (performance levels)
FEMA 273 yang digambarkan bersama dengan suatu kurva hubungan gaya
perpindahan yang menunjukkan perilaku struktur secara menyeluruh (global)
terhadap pembebanan lateral. Kurva tersebut dihasilkan dari analisis statik non-
linier khusus yang dikenal sebagai analisa pushover, sehingga disebut juga
sebagai kurva pushover. Sedangkan titik kinerja (performance point) merupakan
besarnya perpindahan titik pada atap pada saat mengalami gempa rencana.
Selanjutnya diatas kurva pushover dapat digambarkan secara kualitatif kondisi
kerusakan yang terjadi pada level kinerja yang ditetapkan agar mempunyai
bayangan seberapa besar kerusakan itu terjadi. Selain itu dapat juga dikorelasikan
dibawahnya berapa prosentase biaya dan waktu yang diperlukan untuk perbaikan.
Informasi itu tentunya sekedar gambaran perkiraan, meskipun demikian sudah
mencukupi untuk mengambil keputusan apa yang sebaiknya harus dilakukan
terhadap hasil analisis bangunan tersebut.
2.7 Analisis Statik Nonlinier (Pushover)
Analisa statik nonlinier pushover (ATC-40, 1997) merupakan salah satu
komponen performance base design yang menjadi sarana dalam mencari
kapasitas dari suatu struktur. Dasar dari analisis pushover sebenarnya sangat
sederhana yaitu memberikan pola beban statik tertentu dalam arah lateral yang
ditingkatkan secara bertahap pada suatu struktur sampai struktur tersebut
mencapai target displacement tertentu atau mencapai pola keruntuhan tertentu.
Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui nilai-nilai gaya geser dasar untuk
perpindahan lantai atap tertentu. Nilai-nilai yang didapat tersebut kemudian
dipetakan menjadi suatu kurva kapasitas dari struktur. Selain itu, analisis
pushover juga dapat memperlihatkan secara visual perilaku struktur pada saat
kondisi elastis, plastis, dan sampai terjadinya keruntuhan pada elemen-elemen
strukturnya.
Meskipun dasar dari analis ini sangat sederhana, tetapi informasi yang
dihasilkan akan menjadi berguna karena mampu menggambarkan respons
inelastic bangunan ketika mengalami gempa. Analisis ini memang bukan cara
22
terbaik untuk mendapatkan jawaban terhadap masalah-masalah analisis maupun
disain, tetapi merupakan suatu langkah maju dengan memperhitungkan
karakteristik respons non-linier yang dapat dipakai sebagai ukuran performance
suatu bangunan pada waktu digoncang gempa kuat.
Hasil dari analisis pushover berupa kurva kapasitas yang menggambarkan
hubungan antara gaya geser dasar (force) terhadap perpindahan titik acuan pada
atap (deformation) ditunjukkan pada Gambar 2.4. Kurva berbentuk nonlinear
menunjukkan peningkatan beban pascaelastik sampai kondisi plastik. Kurva
pushover tidak selalu mencapai kondisi plastik bergantung pada target
perpindahan yang ingin dicapai. Analisis pushover relevan dilakukan pada
model stuktur dengan klasifikasi beraturan, karena beban statik diaplikasikan
pada pusat massa tiap lantai.
Gambar 2.4 Kurva Kapasitas Analisis Pushover
Dokumen ATC 40 dan FEMA 273 telah membuat prosedur dan kriteria yang
bisa diterima untuk analisis pushover. Dokumen ini mendefinisikan kriteria
deformasi yang digunakan dalam analisis pushover, seperti yang diperlihatkan
pada Gambar 2.4. Lima titik yang diberi nama A, B, C, D dan E digunakan untuk
mendefinisikan perilaku deformasi pada sendi plastis. Antara titik A dan B,
struktur berdeformasi elastis selama pembebanan. Pada titik B, sendi plastis
pertama mulai terbentuk begitu pula pada titik C dan D. Antara titik B dan C,
struktur melewati batas elastis dan mulai berdeformasi inelastis. Selama
deformasi inelastis ini, ATC 40 dan FEMA 273 mendefinisikan 3 kondisi struktur
yakni IO = Immediate Occupancy (segera dapat dipakai), LS = Life Safety
(keselamatan penghuni terjamin), dan CP = Collapse Prevention (terhindar dari
keruntuhan total). Setelah berdeformasi inelastis, struktur akan memasuki kondisi
plastis (D-E) hingga mencapai keruntuhan.
23
Selain kurva pushover, analisis nonlinear statik pushover juga menampilkan
kurva spektrum kapasitas. Kurva spektrum kapasitas digunakan untuk
mengetahui perilaku stuktur yang ditinjau terhadap intensitas gempa yang
diberikan, dimana spektrum kapasitas dibandingkan dengan tuntutan (demand)
kinerja yang berupa respon spektrum dengan intensitas tertentu (wilayah gempa).
2.6.1 Tahapan Utama dalam Analisa Pushover
Tahapan utama dalam analisa pushover adalah :
1) Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur.
Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan
untuk menyusun kurva pushover.
2) Membuat kurva pushover berdasarkan berbagai macam pola distribusi gaya
lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia , sehingga
diharapkan deformasi yang terjadi hampir sama atau mendekati deformasi
yang terjadi akibat gempa. Oleh karena sifat gempa adalah tidak pasti, maka
perlu dibuat beberapa pola pembebanan lateral yang berbeda untuk
mendapatkan kondisi yang paling menentukan.
3) Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target
perpindahan). Titik kontrol didorong sampai taraf perpindahan tersebut, yang
mencerminkan perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas
gempa rencana yang ditentukan.
4) Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada
target perpindahan merupakan hal utama dari perencanaan berbasis kinerja.
Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika
memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik terhadap
persyaratan deformasi maupun kekuatan. Karena yang dievaluasi adalah
komponen maka jumlahnya relatif sangat banyak, oleh karena itu proses ini
sepenuhnya harus dikerjakan oleh komputer (fasilitas pushover dan evaluasi
kinerja yang terdapat secarabuilt-in pada program SAP2000, mengacu pada
FEMA - 356). Oleh karena itulah mengapapembahasan perencanaan berbasis
kinerja banyak mengacu pada dokumen FEMA.
24
2.6.2 Kurva Pushover
Analisis pushover menghasilkan kurva pushover yang menggambarkan
hubungan antara gaya geser dasar (V) versus perpindahan titik pada atap (D).
Kurva pushover menggambarkan kekuatan struktur yang besarnya sangat
tergantung dari kemampuan momen–deformasi dari masing–masing komponen
struktur.
Gambar 2.5 Kurva Kapasitas
Kurva kapasitas yang telah diperoleh harus diubah menjadi spektra kapasitas
yang merupakan hubungan antara spektra perpindahan dan spektra percepatan.
Spektra kapasitas ini disebut juga acceleration–displacementresponse spectrum
(ADRS). Dari spektra ini, dapat dihitung demand yang harus dipenuhi dan dapat
dicari performance point dari struktur.
2.6.3 Spektrum Demand
Spektrum demand didapatkan dari spektrum respons elastis yang pada
umumnya dinyatakan dalam satuan percepatan, Sa (m/detik2) dan periode
struktur, T (detik). Sama halnya dengan kurva kapasitas, spektrum respons ini
juga perlu diubah dalam format ADRS menjadi spektrum demand. Gambar 2.6
menunjukkan spektrum yang sama yang ditampilkan dalam format tradisional
(Sa dan T) dan format ADRS (Sadan Sd). Pada format ADRS, periode struktur
yang sama merupakan garis lurus radial dari titik nol. Hubungan antara Sa, Sd,
dan T, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
25
ad
a
d
STS
SST
2
2
2
=
=
π
π
Gambar 2.6 Spektrum Respon yang Ditampilkan dalam Format
Tradisional dan ADRS
Gempa besar menyebabkan telah terjadi plastifikasi di banyak tempat, maka
perlu dibuat spektrum demand dengan memperhatikan redaman (damping) yang
terjadi karena plastifikasi tersebut. Gambar 2.7 memberikan penjelasan mengapa
terjadi reduksi pada respon inelastis. Titik 1 menunjukkan demand elastis. Jika
terjadi reduksi kekuatan struktur akibat perilaku inelastis, periode efektif struktur
menjadi semakin besar seperti pada titik 2. Pada kondisi ini, perpindahan
bertambah sebesar ”a” dan percepatan berkurang sebesar ”b”. Jika struktur
berperilaku inelastis (nonlinier), pada periode yang sama dengan titik 2, demand
berkurang menjadi spektrum respon inelastis pada titik 3. Jadi, kembali terjadi
pengurangan percepatan sebesar ”c” dan pengurangan perpindahan sebesar ”d”.
Total pengurangan percepatan sebesar ”b+c” dan perpindahan perlu dimodifikasi
sebesar ”a-d”. Jika besarnya ”a” diperkirakan sama dengan ”d”, maka
perpindahan inelastis sama dengan perpindahan elastis (Gambar 2.7a). Jika ”a”
lebih besar daripada ”d” maka perpindahan inelastismenjadi lebih kecil daripada
perpindahan elastis (Gambar 2.7b).
(2.6)
(2.7)
26
Gambar 2.7 Reduksi Respon Spektrum
2.6.4 Titik Kinerja Struktur ( Performance Point )
Titik kinerja struktur harus berada pada lokasi yang disyaratkan sebagai
berikut :
• Harus berada pada spektra kapasitas untuk merepresentasikan pada
displacement tertentu.
• Harus berada pada spektra demand yang telah direduksi yang
merepresentasikan demand pada displacement yang sama dengan
displacement struktur.
Untuk penentuan titik kinerja struktur dilakukan dengan cara trial dan error.
Percobaan pertama biasanya dilakukan dengan menentukan titik spektra kapasitas
yang memenuhi kondisi equal displacement. Kemudian dibuat spektra demand
yang sesuai, apabila tidak berpotongan, maka dicoba lagi titik baru dan seterusnya
sampai diperoleh titik performance point yang berpotongan. Kriteria kinerja yang
ditetapkan Vision 2000 dan NEHRP adalah sebagai berikut:
27
Tabel 2.1 Kriteria Kinerja Level Kinerja Penjelasan
NEHRP Vision 2000
Operational Fully Functional
Tak ada kerusakan berarti pada struktur dan non-struktur, bangunan tetap berfungsi.
Immediate Occupancy
Operational Tidak ada kerusakan yang berarti pada struktur, dimana kekuatan dan kekakuannya kira-kira hampir sama dengan kondisi sebelum gempa. Komponen non-struktur masih berada ditempatnya dan sebagian besar masih berfungsi jika utilitasnya tersedia. Bangunan dapat tetap berfungsi dan tidak terganggu dengan masalah perbaikan.
Life Safety Life Safe Terjadi kerusakan komponen struktur, kekakuan berkurang, tetapi masih mempunyai ambang yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen non-struktur masih ada tetapi tidak berfungsi. Dapat dipakai lagi jika sudah dilakukan perbaikan.
Collapse Prevention
Near Collapse
Kerusakan yang terjadi pada komponen struktur dan non-struktur. Kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang banyak, hampir runtuh. Kecelakaan akibat kejatuhan material bangunan yang rusak sangat mungkin terjadi.
Sumber: Vision 2000 (SEAOC,1995),FEMA-273 (1997)
Sejak itu, aktivitas riset menjadi sangat intensif di dunia khususnya di USA
dan Eropa. Di USA, badan Federal Emergency Management Agency (FEMA)
bekerja sama dengan Applied Technology Council (ATC), Earthquake
Engineering Research Center (EERC) Universitas California, Berkeley, Building
Seismic Safety Council (BSSC), dan SAC Joint Venture banyak menghasilkan
publikasi yang terkait dengan perencanaan berbasis kinerja. Sehingga akhirnya
metoda tersebut dapat diterima secara luas oleh komunitas rekayasa sebagai
prosedur canggih untuk berbagai aplikasi. Meskipun saat ini perencanaan
berbasis kinerja difokuskan pada perencanaan bangunan tahan gempa, tetapi cara
yang sama dapat juga digunakan untuk perencanaan bangunan terhadap bahaya
angin topan (tornado), ledakan dan kebakaran dengan baik.
Berikut ini adalah gambaran secara umum mengenai level kinerja
strukturberdasarkan FEMA 440.
28
Gambar 2.8 Gambaran Level Kinerja Struktur ( FEMA 440 )
Tingkat kinerja struktur dapat ditentukan pada batasan deformasi. Batasan
deformasiyang ditentukan oleh FEMA 440 tertera pada Tabel 2.2 :
Tabel 2.2 Batasan Deformasi ( FEMA 440 )
Performance Level Interstory Drift Limit
Immediate Occupancy
Damage Control
Life Safety
Structural Stability
Max. Total Drift (Xmax/H)
0,01 elastic
0,01-0,02 0,02
Max. Inelastic Drift
0,005
0,005-0,015
No
limit
No limit
Catatan: Xmax yang dimaksudkan di atas adalah besarnya perpindahan maksimum yang terjadai pada atap.
2.7 Mekanisme Keruntuhan
Ketika terjadi deformasi tak terbatas pada bagian struktur tanpa diiringi
peningkatan beban yang bekerja pada struktur tersebut, maka dapat dikatakan
struktur dalam keadaan runtuh. Secara garis besar, keruntuhan struktur dibagi
menjadi dua yaitu:
29
1. Keruntuhan lokal, adalah keruntuhan yang diakibatkan oleh kegagalan
pada elemen struktur yang mengalami sendi plastis. Kegagalan ini terjadi
karena kapasitas penampang dari suatu elemen telah terlampaui. Parameter
yang digunakan untuk mengidentifikasi keruntuhan lokal adalah
kelengkungan dan sudut rotasi plastis.
2. Keruntuhan global, umumnya diasosiasikan dengan simpangan antar
tingkat (interstory drift) pada saat terjadi deformasi inelastis yang dibatasi
pada nilai tertentu tergantung periode struktur. Keruntuhan ini terjadi jika
deformasi lateral suatu struktur telah melebihi batas maksimum yang telah
ditentukan oleh peraturan yang berlaku. Interstory drift adalah selisih
deformasi lateral suatu lantai dengan lantai yang terletak dibawahnya.
Rumus yang digunakan adalah: 𝛥𝛥𝑋𝑋𝑖𝑖ℎ𝑖𝑖
= (𝑋𝑋𝑖𝑖−𝑋𝑋𝑖𝑖−1)ℎ𝑖𝑖
Dimana (𝑋𝑋𝑖𝑖 − 𝑋𝑋𝑖𝑖−1) = deformasi lateral lantai yang ditinjau
ℎ𝑖𝑖 = tinggi lantai yang ditinjau
Ada dua tipe mekanisme keruntuhan yang biasa terjadi pada analisis statik
inelastik sebagai batas analisis, yaitu beam sway mechanism dan column sway
mechanism. Beam sway mechanism yaitu keruntuhan yang disebabkan
pembentukan sendi plastis pada ujung-ujung balok, sedangkan column sway
mechanism disebabkan pembentukan sendi plastis pada kedua ujung atas maupun
bawah dari elemen struktur vertikal. Dalam perencanaan, mekanisme keruntuhan
yang diharapkan adalah beam sway mechanism, hal ini disebabkan beberapa
alasan antara lain:
• Pada beam sway mechanism, jumlah sendi plastis terbentuk dalam banyak
elemen sehingga energi yang dipancarkan akan semakin banyak.
• Pada column sway mechanism, sendi plastis hanya akan terbentuk pada
ujung-ujung kolom pada suatu lantai saja, sehingga pemencaran energi
hanya terjadi pada sejumlah kecil elemen.
(2.8)
30
• Daktilitas kurvatur yang harus dipenuhi oleh balok pada umumnya jauh
lebih mudah dipenuhi daripada kolom yang seringkali memiliki daktilitas
yang terbatas akibat besarnya gaya aksial tekan yang bekerja.
Pada beam sway mechanism, sendi plastis akan terjadi pada balok-balok
terlebih dahulu, baru pada tahap-tahap akhir sendi plastis terjadi pada ujung-ujung
bawah kolom. Hal ini dilakukan agar sejumlah besar sendi plastis terbentuk pada
struktur secara daktail yang dapat memencarkan energi melalui proses pelelehan
struktur dan diharapkan dapat menyerap beban gempa.
Mekanisme keruntuhan beam sway mechanism dan column sway mechanism
dapat dilihat pada kedua ilustrasi dibawah ini.
(a) Beam Sway Mechanism (b) Column Sway Mechanism
Gambar 2.9 Mekanisme Keruntuhan pada Struktur (Park and Paulay, 1974).
Recommended