View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
Ancaman pembangunan ekonomi ekstraktif dan
pembangunan infrastruktur yang mengkonversi
lahan-lahan produktif pertanian, atau mengubah
pertanian skala rumah tangga menjadi skala
korporasi. Banyak media memberitakan atas
hasil olah data BPS 2012 yang melaporkan
adanya konversi lahan pangan sejumlah 100.000
ha/tahun, dan jumlah petani berkurang 3,1
juta/tahun (7,42% populasi). Akan tetapi
kebijakan pemerintah di banyak kabupaten di
Indonesia seakan menutup mata proses
penghilangan lahan pangan ini. (Kompas, 12
Juni 2012).
A. Latar Belakang
Kajian ini menjelaskan tentang manajemen konflik berbasis
komunitas dengan pemanfaatan CDR (Community Dispute Responsibility)
sebagai instrumen berbasis komunitas dalam manajemen konflik tambang
pasir besi di Kulon Progo. Konflik merupakan hal yang sangat rentan terjadi
dalam kehidupan sosial masyarakat. Konflik tambang pasir besi Kulon
Progo merupakan konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang sudah lama
berlangsung. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan instrumentasi
CDR (Community Dispute Responsibility) dalam manajemen konflik
berbasis komunitas pada konflik tambang pasir besi di Kulon Progo.
Meskipun konflik tersebut sudah lama berlangsung namun penelitian ini
tetap menarik karena terdapat perkembangan relasi kuasa antar aktor di
lapangan dan juga peran komunitas masyarakat terkait pertambangan pasir
besi sekarang ini. Berikut ini peneliti sajikan uraian secara komprehensif
terkait latar belakang yang menjadikan penelitian ini menarik dan perlu
dilakukan.
2
Konflik ini memuncak saat pengesahan kontrak antara Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo dengan investor yang akan menambang pasir besi
di lahan pesisir pantai Kulon Progo pada akhir tahun 2008. Kebijakan
pemerintah yang dinilai masyarakat tidak pro rakyat membuat rakyat
semakin marah dan tidak terima akan kebijakan tersebut. Kawasan
masyarakat yang dijadikan tambang pasir besi oleh pemerintah dan swasta
membuat masyarakat pro dan kontra. Masyarakat yang kontra terhadap
penambangan adalah mereka yang sehari-harinya menggantungkan dirinya
bekerja menjadi petani penggarap lahan pantai. Sedangkan mereka yang pro
penambangan adalah sekelompok masyarakat yang mendukung keberadaan
tambang pasir besi oleh PT. JMI, juga masyarakat yang tergabung dalam
Sekretariat Bersama Petani Penggarap Tanah Pakualam dan juga
masyarakat yang tidak berprofesi sebagai petani penggarap lahan pantai
serta tidak terkena dampak langsung dengan adanya penambangan pasir besi
di pesisir pantai Kulon Progo. Adapun pihak swasta yang berperan dalam
penambangan pasir besi adalah PT. Jogja Magasa Iron (JMI) di mana
pemilik saham terbesarnya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X serta
Pakualam IX.1
Pemerintah berdalih bahwa dengan adanya proyek penambangan
pasir besi di Kulon Progo akan meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup
masyarakat setempat namun jika dikaji lebih lanjut masyarakat sangat
paham akan dampak yang ditimbulkan akibat penambangan pasir. Rusaknya
ekosistem laut terutama lahan pesisir pantai yang menurut masyarakat
menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga masyarakat sangat
khawatir mereka akan kehilangan mata pencahariannya sebagai petani
penggarap lahan pantai. Masyarakat juga takut jika dampak penambangan
berakibat pada sumur-sumur yang mereka miliki akan menjadi asin karena
intrusi air laut ke daratan (karena tidak adanya pembatas lagi), air sumur
1 Data diambil dari riset Eka Zuni Lusi Astuti yang kemudian dipublikasikan dalam “Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Volume 16 Nomor 1 pada bulan Juli tahun 2012 (62-74). Tulisan ini merupakan perngembangan dari hasil penelitian penulis pada tahun 2010 yang berjudul “Konflik Pasir Besi: Studi tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pesisir Pantai Selatan Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo”.
3
yang asin tidak akan bisa digunakan untuk mengairi lahan pertanian mereka,
selain itu air sumur yang asin akan mengganggu reproduksi perempuan.
Bentuk protes ataupun demonstrasi yang mereka lakukan tidak lain adalah
bentuk resistensi masyarakat Kulon Progo terhadap kebijakan pemerintah
yang tidak memihak kepada mereka.2
Pemerintah lebih memilih dan mendukung elit politik serta pemilik
modal dalam hal ini pihak swasta yaitu PT. JMI yang dimiliki oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alaman IX. Masyarakat yang
diwakili dalam sebuah komunitas berusaha memperjuangkan haknya yang
diberi nama PPLP-KP 3 (Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo),
komunitas masyarakat ini berupaya untuk melakukan advokasi ke berbagai
pihak untuk mengakomodir kepentingan kolektif maupun kepentingan
masyarakat sekitar tambang pasir Kulon Progo. Sudah tidak terhitung
berapa kali PPLP-KP melakukan protes ke pemerintah namun aspirasi
mereka kurang didengar. PPLP-KP juga beraliansi dengan beberapa LSM
untuk merealisasikan usaha penolakan penambangan pasir di pesisir pantai
Kulon Progo. Pesisir pantai Kulon Progo memiliki garis pantai sepanjang
±1,8 kilometer dengan kondisi tanah yang berupa pasir.4
Lahan pasir seluas 2000 meter dari permukaan laut diperkirakan
mencapai 3600 hektare (Anshori, 2011) dan sebanyak 2500 hektar
digunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Potensi yang dimiliki
daerah Kulon Progo ini membuat daerah ini menjadi incaran berbagai pihak.
Selain kesuburan daerah Kulon Progo, banyak penelitian yang membuktikan
bahwa tanah pasir yang berada di pesisir pantai mengandung Titanium.
Penelitian pada proyek penambangan sudah direncanakan sejak tahun 1973.
Pemerintah serta investor masing-masing memiliki kepentingan terhadap
potensi yang dimiliki Kulon Progo. Sedangkan PT. Jogja Magasa Iron
merupakan korporasi yang dimiliki oleh keluarga Sultan yang memang
2 ibid 3 Petani penggarap lahan pantai Kulon Progo merupakan kelompok tani terbesar yang menolak
dan muncul akibat penambangan pasir besi Kulon Progo. 4 ibid
4
memiliki kepentingan khusus terhadap pasir besi Kulon Progo. Adanya
kepentingan tersebut disinyalir untuk kepentingan komersil dalam rangka
menambah pundi-pundi kekayaan yang dimiliki keluarga Keraton. Oleh
karena itu Sultan memihak pada korporasi keluarga ini yaitu PT. Jogja
Magasa Iron. Kekompakan pemerintah dan juga pihak korporasi membuat
posisi masyarakat Kulon Progo khususnya petani lahan pantai sangat sulit.
Sulit bagi mereka untuk memperjuangkan haknya bahkan mereka memaksa
Bupati dan Ketua DPR untuk membatalkan kesepakatan antara pemerintah
Kabupaten Kulon Progo dengan pemilik modal.5
Tarik ulur kepentingan pemerintah propinsi, korporasi dan juga
masyarakat semakin menyebabkan konflik pasir besi semakin sulit
diselesaikan. Sultan dan Pakualam memihak PT. Jogja Magasa Iron karena
menurut pihak mereka lahan pantai yang digunakan sebagai mata
pencaharian petani lahan pantai sehari-hari merupakan Sultan Ground dan
Pakualam Ground6 sehingga para penguasa ini merasa dengan bebas dapat
mengambil alih lahan menguntungkan yang notabene menjadi mata
pencaharian masyarakat selama berpuluh tahun. Masyarakat pesisir sangat
bergantung dengan lahan pesisir pantai. Pergulatan kepentingan antara
korporasi dan petani saling memperebutkan produksi pasir besi selain
karena mendatangkan keuntungan secara komersil bagi korporasi, pasir besi
juga mampu menopang kehidupan ekonomi masyarakat lahan pantai. Begitu
sulitnya masyarakat mengakses hak mereka sehingga komunitas masyarakat,
PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo) melakukan
berbagai macam upaya advokasi ke berbagai pihak untuk mencari dukungan
serta solusi dari konflik tambang pasir besi. PPLP-KP terbentuk tahun 2006
dan berfungsi sebagai gerakan sosial (social movement) dan gerakan politik
5 ibid 6 Sultan Ground merupakan tanah yang selama ini diakui oleh masyarakat DIY sebagai milik
Kesultanan yang meliputi tanah keprabon (tanah untuk bangunan istana dan pendukungnya) dan bukan keprabon (tanah yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak dan tanpa alas hak). Sedangkan Pakualam Ground merupakan tanah yang selama ini diakui oleh masyarakat DIY sebagai milik Kadipaten Pakualam meliputi tanah keprabon dan bukan keprabon. Sultan Ground (SG) dan Pakualam Ground (PAG) memiliki pengertian tanah milik Sultan/Pakualam secara pribadi.
5
(political movement) dari para petani lahan pantai yang ingin
memperjuangkan haknya.7
Banyak kendala yang dihadapi komunitas masyarakat seperti
PPLP-KP dalam memperjuangkan hak petani. Selain adanya tekanan dari
korporasi dan pemerintah setempat baik pemerintah lokal maupun
pemerintah propinsi juga harus menghadapi persepsi masyarakat yang pro
terhadap privatisasi penambangan pasir ini. Masyarakat yang bersifat pro
setuju dan mendukung segala kebijakan yang dikendalikan oleh Sultan
sehingga pengaruh Sultan seringkali sulit dihindarkan dari benak mereka.
Selain membawa dampak negatif bagi masyarakat setempat yaitu
penggusuran pemukiman penduduk, tergesernya lahan pertanian,
masyarakat juga sangat khawatir dengan adanya proyek tambang pasir besi
karena benteng yang digunakan untuk memecah ombak akan hilang
sehingga potensi dilanda tsunami semakin besar. Kekhawatiran masyarakat
makin parah ditambah dengan adanya Undang-Undang Tata Ruang
Kabupaten Kulon Progo yang menyebutkan bahwa kawasan pesisir pantai
diperuntukkan untuk kawasan pertambangan. Konflik juga berkepanjangan
karena menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa
masyarakat berhak mengelola sepanjang lahan pesisir karena masyarakat
memiliki sertifikat sah tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Pemerintah
lebih pro pada kepentingan korporasi yang berupaya mendapatkan
keuntungan namun tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat pesisir
pantai.8
Berbagai upaya yang dilakukan masyarakat untuk memperjuangkan
hak-haknya selalu tidak berhasil karena kekuatan pemerintah. Pemerintah
selalu menghindar ketika dimintai penjelasan serta pertanggungjawaban
bahkan pemerintah masih tetap saja melegalkan penambangan pasir besi di
kawasan pesisir pantai. Ditambah lagi dengan keputusan Kementerian
ESDM yang sudah sepakat dan mendukung konsep perubahan
7 ibid 8 ibid
6
pengembangan dan pengelolaan proyek pengolahan pasir besi satu-satunya
di pulau Jawa. Meskipun area yang dibangun menjadi pabrik terbatas yaitu
di wilayah timur desa Karangwuni, kecamatan Wates yang memang sudah
dibebaskan, masyarakat tetap berupaya menolak sekuat tenaga keberadaan
pabrik yang akan semakin diperluas.9
Masyarakat yang tergabung dalam PPLP-KP (Paguyuban Petani
Lahan Pantai Kulon Progo) terus berusaha melakukan advokasi demi
masyarakat meskipun sering menemukan ‘jalan buntu’. Namun hal ini tidak
menghentikan langkah PPLP-KP sebagai komunitas masyarakat untuk terus
menyuarakan aspirasinya pada pemerintah. Seringkali PPLP-KP melakukan
demonstrasi menuntut ketegasan sikap pemerintah dan pada akhirnya tidak
menghasilkan apa-apa karena tidak ada respon dari pihak pemerintah.
PPLP-KP terus menyuarakan aspirasi masyarakat untuk mempertahankan
hak-hak mereka dan juga menolak keberadaan PT. Jogja Magasa Iron di
kawasan tambang pasir besi Kulon Progo. Tidak adanya ketegasan sikap
dan kepedulian pemerintah terhadap masyarakat. Kebijakan pemerintah
lebih pro pada korporasi penguasa dibandingkan dengan nasib masyarakat
yang ada di kawasan tersebut. Saat itu, banyaknya korban mogok makan
dalam demonstrasi serta beberapa petani lahan pasir yang ditangkap polisi
membuat masyarakat semakin marah dan anti terhadap pemerintah.
Masyarakat menuntut pemerintah untuk segera membebaskan petani lahan
pasir yang ditahan.10 Pemerintah berdalih kebijakan penambangan berasal
dan diputuskan oleh pusat sehingga pemerintah propinsi kurang memiliki
kewenangan dalam memutuskan kebijakan.
Meskipun pemerintah bersikeras memberikan pengertian kepada
masyarakat bahwa kelak dengan adanya keberadaan proyek tambang pasir
besi akan membawa dampak positif bagi masyarakat yaitu terbukanya
lapangan pekerjaan, menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir pantai. Masyarakat juga
9 ibid 10 ibid
7
bersikeras bahwa dengan adanya proyek tersebut akan membawa dampak
negatif lebih banyak dibandingkan dampak positif. Hilangnya lahan
pertanian pesisir pantai yang biasanya digunakan untuk bercocok tanam dan
juga berkebun, akan hilangnya benteng pemecah ombak yang digunakan
untuk mencegah potensi tsunami, tergesernya lahan pemukiman warga
masyarakat pesisir pantai, sumur-sumur mereka yang akan menjadi asin
karena air laut sehingga air sumur tidak dapat digunakan untuk kehidupan
sehari-hari dan juga membahayakan kesehatan serta reproduksi perempuan
di kawasan tersebut. Dengan adanya proyek tambang pasir besi juga akan
membuat lahan pesisir pantai tidak lagi subur seperti sebelumnya sehingga
diperlukan waktu lama untuk mengembalikan tanah pesisir pantai untuk
subur kembali.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “Bagaimana fisibilitas implementasi Community
Dispute Responsibility (CDR) dalam penyelesaian konflik tambang pasir
besi di Kulon Progo?”
C. Tujuan Penelitian
Creswell (2010) mengemukakan bahwa tujuan penelitian
merupakan kumpulan pernyataan yang menjelaskan sasaran-sasaran,
maksud-maksud atau gagasan-gagasan umum diadakannya suatu penelitian.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi berbagai karakteristik dan watak CDR yang
digunakan dalam manajemen konflik berbasis komunitas di proyek
tambang pasir besi.
2. Mendapatkan deskripsi dan realitas secara jelas terkait konflik yang
terjadi antara pemerintah, korporasi dan masyarakat dalam proyek
tambang pasir besi.
8
3. Menjelaskan proses resistensi masyarakat terhadap pemerintah
Kabupaten Kulon Progo dan juga PT. Jogja Magasa Iron.
4. Menjelaskan pihak-pihak yang terkait seperti PPLP-KP, LSM, LBH,
Walhi serta pemerintah setempat.
5. Menunjukkan implikasi dari adanya manajemen konflik berbasis
komunitas dan berbagai gerakan sosial dari pihak masyarakat sekitar
serta komunitas masyarakat terhadap keberlangsungan lingkungan
pesisir Kulon Progo.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain:
1. Memberikan deskripsi terkait konflik yang terjadi dan pengembangan
resolusi konflik melalui fisibilitas implementasi Community Dispute
Responsibility (CDR) yang dilakukan.
2. Mengetahui adanya proses manajemen konflik berbasis komunitas pada
konflik tambang pasir besi di Kulon Progo melalui implementasi
Community Dispute Responsibility (CDR).
E. Literature Review
Dalam penelitian ini juga digunakan beberapa literature review
yang dijadikan acuan dan komparasi terhadap fokus penelitian yang akan
dijelaskan dalam tulisan ini. Pembahasan terkait pengelolaan Sumber Daya
Alam (SDA) sudah banyak dikaji namun terdapat beberapa hal yang
membedakan penelitian ini dengan beberapa penelitian lain yang pernah
dipaparkan maupun dipublikasikan sebelumnya. Dalam Jurnal Ilmu Sosial
dan Politik Volume 16 tahun 2012 yang berjudul “Konflik Pasir Besi: Pro
dan Kontra Rencana Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo”
yang membahas tentang pertarungan kepentingan antara pemerintah
Kabupaten dan masyarakat setempat dalam hal pengelolaan sumber daya
alam di daerah pesisir.
9
Selain itu dijelaskan juga dalam Tesis yang berjudul “Potensi
Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Papua” (Studi tentang
Pengoperasian PT. BP LNG Tangguh di Daerah Kepala Burung Propinsi
Papua) terkait pengelolaan sumber minyak bumi dan gas di daerah Kepala
Burung oleh BP Tangguh yang berada dalam wilayah tanah adat milik
masyarakat setempat. Belum ada kesepakatan jelas antara BP Tangguh
dengan seluruh masyarakat adat pemilik lokasi penambangan namun
pemerintah lebih dahulu memberikan ijin. Potensi konflik didominasi oleh
kepemilikan hak atas tanah yang belum diakui penuh oleh pemerintah
sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan keterlibatan militer
di dalamnya. Upaya meminimalkan konflik dilakukan secara simultan dan
bersama-sama antara pemerintah, BP Tangguh, masyarakat adat setempat
dengan membangun kesamaan persepsi di antara semua pihak yang terlibat.
Terdapat pula Tesis yang berjudul “Manajemen Konflik dalam
Kasus Pertanahan di Kabupaten Labuhan Batu” (Studi Kasus PT. Grahadura
Leidong Prima dengan Masyarakat Desa Air Hitam Kecamatan Kualuh
Hulu dan Masyarakat Desa Sukarame Kecamatan Kualuh Leidong)
menjelaskan bahwa penyebab terjadinya konflik pertanahan yaitu
ketidaksesuaian luas areal dalam pemberian hak guna usaha, penyimpangan
prosedur dalam kegiatan pembebasan tanah, ketidakjelasan batas tanah,
tumpang tindih kepemilikan dan sebagainya sehingga pemerintah
melakukan manajemen konflik terhadap penyelesaian masalah pertanahan
tersebut dengan melakukan pendekatan konsiliasi, mediasi dan arbitrasi.
Tesis lain yang berjudul “Organisasi sebagai Sarana Manajemen Konflik
Common Pool Resources” (Kasus Pengelolaan Konflik Nelayan di Pantai
Depok, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dibahas
mengenai manajemen konflik yang digunakan oleh organisasi 45 dengan
membolehkan (enabling) nelayan andon untuk mengambil ikan di pantai
dan melarang (constraining) dalam memanfaatkan lahan pantai untuk
kegiatan produktif sedangkan masyarakat asli dibolehkan untuk melakukan
keduanya. Beberapa riset sebelumnya menjelaskan tentang deskripsi konflik
yang terjadi, pengelolaan konflik dan juga resolusi konflik yang dilakukan
10
oleh beberapa stakeholder seperti pemerintah contohnya pemerintah daerah,
pihak yang berlaku sebagai mediator, sedangkan dalam tesis saya akan
dibahas mengenai manajemen konflik berbasis komunitas dengan
background pemanfaatan atau intrumentasi tools yang dinamakan CDR
(Community Dispute Responsibility) sebagai pengembangan resolusi konflik
tambang pasir besi di Kulon Progo di mana masyarakat yang tergabung
dalam komunitas-komunitas yang bergerak dan melakukan perjuangan
memiliki peran penting dan memiliki preferensi arah pengembangan
resolusi konflik menurut mereka sendiri yang kemudian menarik untuk
diteliti.
PENELITIAN ISI
Jurnal Ilmu Sosial dan Politik
Volume 16 tahun 2012 yang
berjudul “Konflik Pasir Besi: Pro
dan Kontra Rencana
Penambangan Pasir Besi di
Kabupaten Kulon Progo” Oleh
Eka Zuni Lusi Astuti
Pertarungan kepentingan antara
pemerintah Kabupaten dan masyarakat
setempat dalam hal pengelolaan
sumber daya alam di daerah pesisir.
Tesis yang berjudul “Potensi
Konflik Pengelolaan Sumber
Daya Alam Papua” (Studi tentang
Pengoperasian PT. BP LNG
Tangguh di Daerah Kepala
Burung Propinsi Papua) Oleh:
Margaretha Safkaur tahun 2005
Pengelolaan sumber minyak bumi dan
gas di daerah Kepala Burung oleh BP
Tangguh yang berada dalam wilayah
tanah adat milik masyarakat setempat.
Belum ada kesepakatan jelas antara BP
Tangguh dengan seluruh masyarakat
adat pemilik lokasi penambangan
namun pemerintah lebih dahulu
memberikan ijin.
Tesis yang berjudul “Manajemen
Konflik dalam Kasus Pertanahan
di Kabupaten Labuhan Batu”
(Studi Kasus PT. Grahadura
Leidong Prima dengan
Masyarakat Desa Air Hitam
Kecamatan Kualuh Hulu dan
Masyarakat Desa Sukarame
Kecamatan Kualuh Leidong)
Oleh: Abdi Yoso tahun 2005
Penyebab terjadinya konflik
pertanahan yaitu ketidaksesuaian luas
areal dalam pemberian hak guna
usaha, penyimpangan prosedur dalam
kegiatan pembebasan tanah,
ketidakjelasan batas tanah, tumpang
tindih kepemilikan dan sebagainya
sehingga pemerintah melakukan
manajemen konflik terhadap
penyelesaian masalah pertanahan
tersebut dengan melakukan
pendekatan konsiliasi, mediasi dan
arbitrasi.
Tesis yang berjudul “Organisasi Manajemen konflik yang digunakan
11
sebagai Sarana Manajemen
Konflik Common Pool
Resources” (Kasus Pengelolaan
Konflik Nelayan di Pantai Depok,
Kabupaten Bantul, Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta)
Oleh: Tri Lindawati tahun 2010
oleh organisasi 45 dengan
membolehkan (enabling) nelayan
andon untuk mengambil ikan di pantai
dan melarang (constraining) dalam
memanfaatkan lahan pantai untuk
kegiatan produktif sedangkan
masyarakat asli dibolehkan untuk
melakukan keduanya.
F. Kerangka Teori
1. Community Dispute Responsibility (CDR)
Community Dispute Responsibility (CDR) merupakan salah satu
mekanisme penyelesaian konflik atau sengketa secara alternatif. Salah
satu karakteristik proses penyelesaian konflik atau sengketa tersebut
adalah menggunakan cara-cara non litigasi atau di luar pengadilan.
Selain itu, cara-cara tersebut biasanya selain biayanya murah juga
berlangsung secara cepat dan lebih fleksibel. Penyelesaian semacam ini
dapat digunakan sebagai solusi dan alternatif di tengah masyarakat saat
kondisi proses pengadilan sedang carut marut dan mulai dipertanyakan
akuntabilitas serta kredibilitasnya.
Permasalahan terkait sengketa ataupun konflik tidak dapat
terlepas dari kehidupan bermasyarakat karena sudah menjadi bagian
dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan sengketa terjadi antar sesama
keluarga, rekan bisnis, antar teman, suami-istri, dan sebagainya.11
“Like conflict, Alternative Dispute Resolution (ADR) permeates
our lives. Everyone engages in ADR everyday: you negotiate
with your co-worker about where to go to lunch, you call in your
neighbor to “mediate” as you and your spouse try to reach
agreement on what color to paint the living room, you arbitrate
by deciding whether your son or your daughter will get the
11 Widipto Setiadi. “Penyelesaian Sengketa melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)”, dalam
http://www.legalitas.org/node/21.
12
family car for the evening based on the strength of their
respective arguments.”12
Konflik dapat terjadi dalam kehidupan sederhana manusia setiap
harinya. Misalnya kita bernegosiasi dengan asisten kita terkait di mana
kita akan makan siang, kita bernegosiasi dengan anak saat mereka harus
berkendara malam berikut dengan cara mereka mempertahankan
argumennya. Sengketa yang terjadi perlu untuk dicari penyelesaiannya.
Penyelesaian tersebut dapat melalui dua cara yaitu litigasi (melalui
pengadilan) maupun non litigasi (di luar pengadilan). Kelompok
masyarakat seperti PPLP-KP terbentuk karena gagasan-gagasan yang
sama tentang penolakan keberadaan tambang pasir besi. Berkaitan
dengan terbentuknya kelompok masyarakat tersebut baik bentuknya
komunitas, organisasi, paguyuban dan semacamnya yang melakukan
upaya bersama seperti penolakan terhadap keberadaan tambang pasir
besi, penolakan terhadap upaya pemerintah daerah menurut Sigmeund
Freud dalam Sarlito Wirawan (2008: 137) berpendapat ada beberapa
fungsi dari kelompok itu sendiri yaitu:
a. Fungsi kelompok masyarakat adalah untuk menghambat dan
me-repress impuls-impuls naluri perorangan. Ketertiban
masyarakat ditentukan atas kemampuan ego-ego masyarakat
yang bersangkutan untuk menyesuaikan dengan tuntutan
masyarakat yang berlaku.
b. Manusia dan lingkungan sosialnya selalu berada dalam konflik
yang tiada henti. Masyarakat berada di atas kepentingan
individu.
c. Keadilan sosial timbul dari perasaan saling membutuhkan dan
saling memenuhi antar anggota masyarakat.
d. Pranata-pranata sosial seperti hukum dan agama dibentuk untuk
melindungi umat manusia dan masyarakat dari perilaku dan
insting-insting agresif.
12 Cathy A. Costantino, Christina Sickles Merchant. Foreword by William L. Ury. “Designing
Conflict Management Systems (A Guide to Creating Productive and Healthy Organizations)”.
13
Selain itu, dengan berkelompok maka pranata-pranata sosial seperti
sikap sosial berdasarkan persamaan nasib dan budaya dibentuk untuk
melindungi setiap anggota kelompok masyarakat dari perilaku dan
insting-insting agresif yang dianggap sebagai ancaman bersama.
Masyarakat menganggap dengan mereka bersatu dan membentuk
PPLP-KP, mereka akan mempunyai kekuatan untuk melindungi diri
dari kekhawatiran akan perasaan termarjinalkan dari tempat tinggalnya
akibat adanya proyek tambang pasir besi.
Dalam bukunya, Cathy A. Costantino, Christina Sickles
Merchant menjelaskan bahwa terdapat enam prinsip untuk sistem
penyelesaian sengketa. Adapun enam prinsip tersebut digambarkan
pada gambar di bawah ini:
Pertama adalah fokus terhadap kepentingan. Hal ini berarti
setiap penyelesaian sengketa harus dimulai dengan proses (baik
negosiasi langsung atau melalui mediasi) di mana terdapat pihak yang
mencoba untuk memecahkan masalah dengan menggunakan tawar
menawar berbasis kepentingan. Hal tersebut adalah cara terbaik untuk
menemukan solusi yang dapat memuaskan semua pihak. Hanya ketika
cara tersebut tidak berhasil, kemudian dapat beralih ke proses berbasis
14
hak (seperti arbitrasi) atau proses berbasis kekuasaan (seperti pemilu).
Kedua, pemenuhan hak-hak berbiaya rendah dan dukungan
kekuasaan. Arbitrasi, voting dan protes merupakan alternatif berbiaya
rendah untuk pemenuhan hak-hak dan kontes atau ajang kekuasaan.
Meskipun hal tersebut lebih banyak memerlukan biaya dibandingkan
negosiasi, ketiga hal tersebut lebih menekan biaya daripada melakukan
ajudikasi maupun kekerasan. Ketiga, membangun loop-back untuk
negosiasi. Strategi yang berbasis hak-hak dan kekuasaan untuk
menyelesaikan sengketa jarang perlu dimainkan sampai
akhir. Sebaliknya, apabila telah jelas siapa yang akan menang, pihak
dapat kembali (yang Cathy A. Constantino dan Sickles Merchant
menyebutnya loop-back pada negosiasi untuk mengembangkan solusi
yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka, serta hak-hak
mereka). Sebuah contoh umum dari proses loop-back tersebut adalah
ketika pihak menyelesaikan gugatan di luar pengadilan. Dengan begitu,
menjadi jelas pihak yang akan menang, hal ini menguntungkan bagi
kedua belah pihak untuk menghindari biaya dan ketidakpastian litigasi
lebih lanjut, dan menegosiasikan solusi untuk sengketa mereka.
Keempat, membangun konsultasi sebelumnya, kemudian
feedback (umpan balik) setelahnya. Meningkatkan pembagian informasi
adalah strategi dasar dalam mengatasi semua konflik. Mekanisme
konsultasi dan umpan balik di antara pihak memberikan konsistensi dan
metode pembagian informasi yang dapat diandalkan. Kelima,
pengaturan prosedur dalam urutan biaya rendah hingga biaya
tinggi. Sistem resolusi konflik biasanya memiliki serangkaian
langkah. Jika seseorang memiliki keluhan atau konflik dengan orang
lain atau suatu organisasi, hal pertama yang harus dilakukan adalah
mencoba menyelesaikannya sendiri, dan kemudian mencari bantuan
dari seorang pengacara, dan sebagainya. Ury, Brett, dan Goldberg
menyarankan bahwa dengan mengatur prosedur penyelesaian sengketa
dalam urutan biaya rendah hingga ke biaya tinggi dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya eskalasi secara cepat. Meminimalkan
15
kecenderungan ke arah eskalasi cepat memiliki manfaat dalam
mengurangi pertikaian dan meningkatkan keyakinan pada kemampuan
sistem untuk menyelesaikan dasar konflik.
Keenam, perlunya pemenuhan motivasi, keterampilan, dan
sumber daya. Sebuah alternatif sistem dapat berfungsi hanya jika orang
masuk ke dalamnya. Orang menciptakan kebiasaan, dan hal ini
merupakan batas limit untuk perubahan sistemik berbasis
luas. Meskipun mungkin ada perlawanan aktif dari beberapa kelompok
terhadap sistem sengketa-resolusi baru, masalah yang lebih besar adalah
menyebar keterampilan, pengetahuan, dan kebiasaan yang dapat
memperkuat sistem baru. Hal tersebut merupakan tugas para elit dalam
konflik, dan pihak ketiga sebagai penengah untuk menyediakan sumber
daya dan waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kerjasama dengan
sistem baru.
Terdapat enam kategori yang menjadi pilihan dari Alternative
Dispute Resolution (ADR) yaitu: pencegahan (preventive), negosiasi
(negotiated), fasilitasi (facilitated), pencarian fakta (fact finding),
penasehat (advisory), imposed. Adapun penjelasan kategori tersebut
akan dijelaskan dalam gambar berikut ini:
16
Gambar 1. Dinamika teknik Alternative Dispute Resolution (ADR)
Metode preventive digunakan untuk mendahului adanya perselisihan,
mekanisme penyelesaian sengketa tersebut diputuskan terlebih dahulu
oleh pihak untuk mengatur cara dan upaya penanganan perselisihan
atau konflik. Metode negosiasi termasuk yang didasarkan pada
kepentingan (juga dikenal sebagai prinsip saling menguntungkan, win-
win solution), posisi (menang-kalah didasarkan pada kekuasaan) dan
pemecahan masalah (problem solving) yaitu menyepakati masalah yang
akan diselesaikan serta menetapkan agenda penyelesaian masalah yang
biasanya menggunakan prinsip-prinsip metode tersebut. Metode
fasilitasi melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral untuk membantu
pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai resolusi konflik yang
memuaskan pihak-pihak yang bertikai. Metode pencarian fakta
mungkin akan mengikat atau tidak mengikat tergantung kesepakatan
yang telah disetujui para pihak yang terlibat. Metode advisory, ditandai
dengan adanya keterlibatan pihak ketiga yang bersifat netral (biasanya
dipilih oleh pihak-pihak yang terlibat) yang dapat mengulas aspek-
Imposed ADR
- binding arbitration Preventive ADR
- ADR clauses
- Partnering
- Consensus building
- Negotiated rule
making
- Joint problem solving
Advisory ADR:
- Early neutral
evaluation
- Private judging
- Summary jury trials
- Minitrials
- Nonbinding arbitration
Fact finding ADR
- Neutral expert fact
finding
- Masters
- Magistrates
Negotiated ADR
- Principled
- Positional
- Problem
solving
Facilitated ADR
- Mediated
- Conciliation
- Ombudsperson
n
17
aspek sengketa dan memberikan pendapat atau nasehat untuk
kemungkinan hasil yang dapat dicapai. Metode terakhir adalah imposed
di mana pihak ketiga membuat keputusan yang mengikat terkait
keuntungan atau manfaat dari sengketa. Perhatian ke arah penyelesaian
konflik berdasarkan community based approach menjadi sebuah pilihan
yang perlu dikembangkan. Peralihan paradigma pengelolaan konflik
dari pendekatan kekuasaan menuju pendekatan komunitas pada
awalnya harus melalui sebuah perdebatan konseptual yang panjang.
Misalnya oleh Thomas Hobbes, salah satu pemikir yang menegaskan
kapasitas masyarakat dalam mengatur dirinya sendiri.
Penyelesaian konflik menggunakan Community Dispute
Responsibility (CDR) termasuk jenis penyelesaian sengketa non litigasi
karena putusannya di luar pengadilan dan bersifat informal. Meskipun
begitu, keputusan yang dihasilkan tetap bersifat mengikat dan
disepakati atas persetujuan masing-masing pihak yang berkonflik. Cara
paling mudah dan sederhana dalam menyelesaikan konflik adalah
masing-masing pihak yang berkonflik menyelesaikan konflik itu sendiri.
Kemudian cara lain yang dapat digunakan adalah menggunakan jalur
formal yaitu proses pengadilan dan jalur informal di mana Community
Dispute Responsibility (CDR) termasuk di dalamnya.
Community Dispute Responsibility (CDR) dapat dikatakan
sebagai konsep yang berbentuk penyelesaian konflik melalui proses
selain peradilan, melalui cara-cara yang sah menurut hukum baik
berdasarkan pendekatan konsensus seperti negosiasi, mediasi dan
konsiliasi maupun tidak berdasarkan konsensus seperti arbitrasi yang
berlangsung atas dasar pendekatan adversarial (pertikaian) yang
menyerupai proses peradilan sehingga menghasilkan adanya pihak yang
menang dan pihak yang kalah. Penyelesaian konflik secara konsensus
dilakukan dengan menekankan pada upaya musyawarah mufakat,
kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. Semacam Alternative
Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan
18
menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), CDR digunakan oleh
masyarakat untuk memperoleh keputusan dengan segala prosesnya dan
berbagai macam cara sehingga keputusan tersebut dapat diterima oleh
masing-masing pihak yang berkonflik. Dalam banyak permasalahan
biasanya, orang lebih suka mengusahakan suatu dialog (musyawarah)
dan meminta pihak ketiga, kepala desa atau suku untuk bertindak
sebagai mediator (perantara), konsiliator atau bahkan sebagai arbiter.
Dalam hal ini CDR dapat digunakan oleh komunitas-komunitas yang
ada di masyarakat untuk memperoleh penyelesaian dalam suatu konflik.
Komunitas masyarakat melakukan upaya untuk mendapatkan hak
masyarakat yang aspirasinya disuarakan pada komunitas tersebut.
Advokasi yang sudah dilakukan komunitas masyarakat seperti PPLP-
KP baik advokasi dengan pemerintah setempat maupun pemerintah
pusat. Bila mempersempit lingkungan organisasi maka dua orang pakar
penulis dari Amerika Serikat ini yaitu, Cathy A Constantino, dan
Chistina Sickles Merchant mengatakan dengan kata-kata yang lebih
sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses
mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan
yang tidak terealisasi. Kedua penulis tersebut sepakat bahwa konflik
pada dasarnya adalah sebuah proses.
2. Manajemen Konflik
Manajemen konflik adalah mengatur, membimbing dan
memimpin semua orang yang menjadi bawahannya agar usaha yang
sedang dikerjakan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan
reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik.
Manajemen konflik termasuk dalam suatu pendekatan yang berorientasi
pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi termasuk
tingkah laku dari pelaku maupun pihak luar dan cara mereka
mempengaruhi kepentingan (interest) dan interpretasi. Bagi pihak luar
(di luar pihak yang berkonflik) sebagai pihak ketiga yang diperlukan
19
adalah informasi yang akurat tentang situasi dan kondisi konflik. Hal ini
karena komunikasi afektif diantara pelaku dapat terjadi jika ada
kepercayaan terhadap pihak ketiga. Simon Fisher (2000) menyatakan
bahwa ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam usaha
mengendalikan konflik dalam upaya membangun manajemen konflik.
Adapun upaya-upaya tersebut antara lain:
a. Pencegahan konflik yaitu suatu upaya yang bertujuan untuk
mencegah timbulnya konflik yang lebih keras. Intinya adalah
berusaha agar potential conflict tidak ‘meletus’ menjadi actual
conflict.
b. Pengelolaan konflik yaitu suatu usaha yang bertujuan untuk
membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong
perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
c. Resolusi konflik yaitu suatu bentuk usaha untuk menangani
sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru
dan bisa bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang
bermusuhan.
d. Transformasi konflik yaitu suatu upaya yang dilakukan untuk
mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih
luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif menjadi kekuatan
sosial dan politik yang positif. Dengan kata lain berupaya untuk
mentransformasikan potential conflict menjadi hal yang positif
bagi masyarakat yang bersangkutan.
Misi awalnya adalah untuk memperagakan kemungkinan-
kemungkinan merubah paradigma dan metode-metode dari
penyelesaian konflik melalui konfrontasi dan permusuhan yang
digunakan dalam kehidupan bermasyarakat dalam komunitas kearah
penyelesaian dan pemecahan konflik yang lebih kontekstual dengan
mengelola akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya atau ter-
ekskalasi-nya konflik (Nasdian, 2004).
20
Menurut Nasdian (2004) proses mengelola konflik akhirnya
melibatkan pula unsur-unsur pencegahan konflik itu sendiri (conflict
anticipation), analisis konflik, penyiapan kondisi untuk menyelesaikan
konflik sampai pada pelaksanaan berbagai pilihan penyelesaian
termasuk misalnya melalui negosiasi. Sedangkan proses penyelesaian
konflik dilakukan dengan mendayagunakan pertemuan-pertemuan
diupayakan utnuk mencapai rekonsiliasi atau perdamaian, pemecahan
perselisihan dan penyelesaian bersama. Pada kesempatan tersebut dapat
pula dilakukan proses-proses lain seperti mediasi, fasilitasi dan
negosiasi.
Keterampilan manajemen konflik untuk mengubah situasi
konflik menjadi sesuatu yang produktif. Sebuah konflik yang awalnya
sangat sederhana tetapi apabila tidak segera diselesaikan atau salah
dalam melakukan pendekatan penyelesaian maka konflik tersebut dapat
menjadi sebuah konflik yang rumit dan kompleks sehingga sulit untuk
diselesaikan dan menemukan jalan tengah yang bersifat win-win
solution. Fisher mempunyai pandangan bahwa resolusi konflik
menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan
baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang
bermusuhan. Apabila konflik sudah mencapai kesepakatan atau
konsensus maka tidak akan berdampak pada konflik yang berkelanjutan
sehingga kedua belah pihak merasa tidak direndahkan dan
dipermalukan dengan adanya kesepakatan bersama atau konsensus yang
telah disetujui. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa konflik
dapat diselesaikan apabila masing-masing pihak dapat melakukan
perubahan terhadap posisi, kepentingan dan pola pikir masing-masing
pihak.
Resolusi konflik adalah upaya menemukan cara agar dapat
bergerak dari posisi yang zero sum dan destruktif menuju kondisi
positif sum dan konstruktif. Tujuannya adalah membangun proses
penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak dan efektif
21
dalam menyelesaikan konflik (Azar dan Burton, 1986). Resolusi
konflik dimaksudkan Burton sebagai upaya transformasi hubungan
yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku
konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Ada perbedaan antara
resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik
dengan resolusi sebagai penanganan (settlement) konflik dengan cara-
cara paksa (coercive) atau dengan cara tawar-menawar (bargaining)
atau perundingan (negotiation). Beberapa strategi yang dilakukan untuk
melakukan pengembangan resolusi konflik antara lain yaitu Konsiliasi
di mana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk
mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang mendominasi dan
memonopoli pembicaraan bahkan memaksakan kehendak. (Dahrendorf,
1959). Konsiliasi dilakukan dengan mengidentifikasi masalah serta
memahami fakta dan keadaan, mendiskusikan masalah, merundingkan
penyelesaian konflik dan memahami kebutuhan masing-masing pihak
sehingga dapat dicapai kesepakatan yang disetujui satu sama lain.
Kemudian Mediasi di mana kedua pihak mencari pihak ketiga sebagai
mediator atau penasehat namun rujukan atau nasehatnya tidak bersifat
mengikat (Dahrendorf, 1959). Mediasi juga merupakan intervensi pihak
ketiga dalam konflik yang tujuannya membawa konflik pada suatu
kesepakatan yang dapat diterima oleh masing-masing pihak dan
konsisten dengan apa yang telah disepakati bersama.
Manajemen konflik yang dilakukan dalam konteks ini dilakukan
oleh komunitas sehingga dikatakan sebagai manajemen konflik berbasis
komunitas. PPLP-KP sebagai komunitas masyarakat yang berupaya
“menyambung lidah” masyarakat baik pada pihak perusahaan maupun
pada pemerintah. PPLP-KP mempunyai banyak fungsi dan juga peran
jika dilihat dari perspektif masyarakat. Selain itu, PPLP-KP juga
memanfaatkan atau menginstrumentasikan CDR (Community Dispute
Responsibility) sebagai upaya untuk melakukan manajemen konflik
agar menemukan jalan tengah antara pemerintah, korporasi, masyarakat
dan stakeholder lainnya yang terkait dengan konflik tersebut.
22
Berhubung konflik yang terjadi bukan hanya konflik vertikal saja tetapi
juga konflik horizontal sehingga dibutuhkan instrumentasi suatu upaya
yang disebut CDR (Community Dispute Responsibility). Konflik yang
muncul ke permukaan tidak hanya berupa aksi perlawanan petani
kepada pemerintah terkait dengan kegiatan proyek tambang pasir besi
tetapi juga konflik-konflik lain dengan korporasi dan juga pihak-pihak
lain yang terkait dengan penambangan pasir besi. Keterlibatan
masyarakat yang diwakili suaranya oleh komunitas masyarakat sangat
berperan dalam instrumentasi CDR (Community Dispute Responsibility)
dalam manajemen konflik berbasis komunitas di tambang pasir besi
Kulon Progo.
3. Resolusi Konflik
Robbins (1996) dalam Organization Behavior menjelaskan
bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya
ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh
atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh
negatif. Sedangkan teori sumber konflik seperti yang dikemukakan
Fisher, et al (2000: 8-9) adalah:
a. Teori hubungan masyarakat, yang menganggap bahwa konflik
disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan
permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu
masyarakat. Sasarannya yaitu meningkatkan komunikasi dan saling
pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta
mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling
menerima keragaman yang ada di dalamnya.
b. Teori kebutuhan manusia, menganggap bahwa konflik yang
berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental
dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering
menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan,
partisipasi, dan otonomi. Sasarannya adalah mengidentifikasi dan
23
mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi,
serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
c. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan
oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan
tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasarannya adalah membantu pihak yang berkonflik untuk
memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan
memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan
kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan
kedua belah pihak atau semua pihak.
d. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas
yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasarannya
adalah melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak
yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman
dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan
rekonsiliasi di antara mereka.
e. Teori kesalahpahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik
disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di
antara berbagai budaya yang berbeda. Sasarannya adalah
menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai
budaya pihak lain, mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki
tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antar
budaya.
f. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang
muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasarannya
adalah mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi,
meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara
pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk
24
mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian,
pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
Sedangkan resolusi konflik merupakan bagian dari manajemen
konflik yang sangat penting. Selain resolusi konflik juga terdapat
pencegahan dan transformasi konflik. Ketiga hal tersebut mempunyai
peran penting dalam proses manajemen konflik. Bloomfield dan Reilly
(1998) 13 mengemukakan bahwa:
“Conflict management is the positive and constructive handling
of difference and divergence. Rather than advocating methods
for removing conflict, (it) addresses the more realistic question
of managing conflict: how to deal with it in a constructive way,
how to bring opposing sides together in a cooperative process,
how to design a practical, achievable, cooperative system for
constructive management of difference.”
Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine (1998: 3)
adalah tindakan mengurai suatu permasalahan, pemecahan,
penghapusan atau penghilangan permasalahan. Resolusi konflik adalah
upaya menemukan cara agar dapat bergerak dari posisi yang zero sum
dan destruktif menuju kondisi positif sum dan konstruktif. Tujuannya
adalah membangun proses penyelesaian konflik yang dapat diterima
oleh semua pihak dan efektif dalam menyelesaikan konflik (Azar dan
Burton, 1986). Mengenai resolusi konflik dalam kenyataan banyak
dilakukan dengan cara represif dan jarang dilakukan dengan
memanfaatkan potensi pengetahuan lokal.
Teori resolusi konflik dikembangkan dari teori atau pendekatan
konflik itu sendiri. Miall, Ramsbotham dan Woodhouse (2000:7-33),
menawarkan banyak alternatif tentang resolusi konflik, mulai dari
pemikiran klasik hingga pada pemikiran kontemporer. Pemikiran
resolusi konflik berangkat dari asumsi bahwa konflik sebagai aspek
13 D. Bloomfield and Ben Reilly. 1998. The Changing Nature of Conflict and Conflict Management. In Peter Harris and Ben Reilly (1998) Democracy in Deep-rooted Conflict. Stockholm: Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), hlm 18.
25
intrinsik yang tidak mungkin dihindarkan dari perubahan sosial.
Weitzman & Weitzman (dalam Morton & Coleman 2000: 197)
mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan
masalah bersama (solve a problem together). Berbeda dengan Fisher et
al (2001: 7) yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha
menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan
baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.
Menurut Mindes (2006: 24) resolusi konflik merupakan kemampuan
untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan
aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral yang memerlukan
keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta
mengembangkan rasa keadilan. Dari pemaparan teori menurut para ahli
tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela.
Sedangkan Bodine dan Crawford (Jones dan Kmitta, 2001: 2)
merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam
menumbuhkan inisiatif resolusi konflik antara lain:
a. Kemampuan orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi
pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang
menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi,
harga diri.
b. Kemampuan persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk
dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang
lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain
melihatnya (empati) dan menunda untuk menyalahkan atau
memberi penilaian sepihak.
c. Kemampuan emosi
26
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup
kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk
di dalamnya rasa marah, takut, frustasi dan emosi negatif
lainnya.
d. Kemampuan komunikasi
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi
kemampuan mendengarkan orang lain yaitu memahami lawan
bicara, berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami dan me-
resume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan
emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang
emosional.
e. Kemampuan berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi
kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah
dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
f. Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik yaitu suatu
kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi
konflik yang sedang dialami.
Tidak jauh berbeda, Scannell (2010: 18) juga menyebutkan
aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan
meresolusi sebuah konflik meliputi keterampilan berkomunikasi,
kemampuan menghargai perbedaan, kepercayaan terhadap sesama dan
kecerdasan emosi. Oleh karena itu, dari pemaparan ahli tersebut di atas
dapat diketahui bahwa dalam proses resolusi konflik diperlukan
kemampuan-kemampuan tertentu untuk mencari solusi konflik secara
konstruktif. Kemampuan tersebut diantaranya adalah kemampuan
orientasi, kemampuan persepsi atau menghargai perbedaan,
kemampuan emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi,
kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan berfikir kritis.
27
Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang
lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan
memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik untuk
memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan
melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu
pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya. Resolusi
konflik dimaksudkan Burton sebagai upaya transformasi hubungan
yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku
konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Secara umum penyelesaian
konflik dapat dilakukan melalaui dua cara yaitu melalui mekanisme
pengadilan (litigation process) dan penyelesaian di luar pengadilan
(non litigation process). Akan tetapi proses litigasi mendapat banyak
protes. Menurut (Wijoyo, 1998) terdapat proses pengadilan “adversarial”
atau berlangsung atas dasar saling bermusuhan atau pertikaian antara
para pihak. Proses pengadilan selalu menghasilkan bentuk penyelesaian
yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang (a winner) dan
pihak lain sebagai pihak yang kalah (a loser). Dengan dasar asumsi itu
penyelesaian konflik mencari bentuk lain yaitu penyelesaian di luar
pengadilan ini dikenal dengan nama Alternative Dispute Resolution.
Konsep Alternative Dispute Resolution ini merupakan ekspresi
responsif atas ketidakpuasan penyelesaian konflik melalui proses
litigasi yang konfrontatif. Ada perbedaan antara resolusi sebagai
perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi
sebagai penanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksa
(coercive) atau dengan cara tawar-menawar (bargaining) atau
perundingan (negotiation). Pada hakekatnya resolusi konflik dipandang
sebagai upaya penanganan sebab akibat konflik dan berusaha
membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompok-
kelompok bermusuhan. Beberapa strategi yang dilakukan untuk
melakukan pengembangan resolusi konflik antara lain yaitu konsiliasi
di mana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk
mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang mendominasi dan
28
memonopoli pembicaraan bahkan memaksakan kehendak (Dahrendorf,
1959). Konsiliasi dilakukan dengan mengidentifikasi masalah serta
memahami fakta dan keadaan, mendiskusikan masalah, merundingkan
penyelesaian konflik dan memahami kebutuhan masing-masing pihak
sehingga dapat dicapai kesepakatan yang disetujui satu sama lain.
Kemudian mediasi di mana kedua pihak mencari pihak ketiga sebagai
mediator atau penasehat namun rujukan atau nasehatnya tidak bersifat
mengikat (Dahrendorf, 1959). Mediasi juga merupakan intervensi pihak
ketiga dalam konflik yang tujuannya membawa konflik pada suatu
kesepakatan yang dapat diterima oleh masing-masing pihak dan
konsisten dengan apa yang telah disepakati bersama. Selain itu, karena
pentingnya keberimbangan kekuatan bagi resolusi konflik, bukan tidak
biasa jika pihak ketiga bersikap memihak di dalam kontroversi yang
mereka tengahi. Sebelum pihak-pihak yang berkonflik termotivasi
untuk berusaha menuju ke arah penyelesaian, mereka seringkali perlu
merasakan bahwa diri dan lawannya memiliki kekuatan yang relatif
berimbang. Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh pihak ketiga dalam
hal ini adalah menyeimbangkan situasi yang menampakkan adanya
perbedaan kekuatan dengan memihak kepada pihak yang lebih lemah,
paling tidak untuk sementara. Pelaku konflik memandang diri mereka
memiliki kekuatan yang seimbang mungkin akan melihat situasi ini
sebagai ‘kemandekan’ yang mendorong mereka untuk menerapkan
taktik-taktik problem solving, termasuk berkolaborasi dengan pihak
ketiga. Sebagai contoh, dengan menyarankan agar pembicaraan
dilakukan di tempat pihak yang lebih lemah atau bahkan dengan
menampakkan sikap lebih cocok dengan kepentingan dan pendirian
pihak yang lebih lemah, pihak ketiga mungkin akan mampu
menciptakan kondisi yang lebih ideal untuk melakukan problem
solving.14 Dahrendorf menjelaskan konflik sangat erat berkaitan dengan
dua hal yaitu otoritas atau kekuasaan dan kepentingan. Menurut
14 G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin. 1986. Social Conflict (Escalation, Stalemate and Settlement). McGraw-Hill, Inc.
29
Dahrendorf konflik merupakan akibat dari adanya ketimpangan dalam
distribusi kekuasaan yang dilakukan secara sistematis. Sementara
otoritas dan kepentingan merupakan dua hal saling berkaitan yang
menjadi pemicu terjadinya konflik. Kekuasaan telah melahirkan dua hal
yaitu yang berkuasa dan dikuasai, di antara dua hal tersebut muncul dua
hal berbeda yang saling bertabrakan kemudian menjadi pemicu konflik
(dikutip dalam Ritzer, 2007: 154-155).
Pada awal mula konflik masih sering diwarnai banyaknya
pertikaian yang terjadi antara beberapa pihak dan tidak jarang juga
menimbulkan korban sehingga pihak yang mengupayakan resolusi
konflik berusaha untuk menemukan waktu dan situasi yang tepat untuk
memulai (entry point) proses pengembangan resolusi konflik. Hal yang
selanjutnya harus dilakukan adalah melakukan transformasi konflik
dengan tujuan untuk mengalihkan permusuhan ke arah proses
perdamaian. Untuk melakukan transformasi konflik masing-masing
pihak harus mengurangi tuntutannya agar dapat tercapai penyelesaian
yang memadai. Oleh karena itu, cara kolaborasi atau kerjasama sangat
berguna jika masing-masing pihak yang mempunyai tujuan berbeda
tetapi kompromi belum mungkin akan dilakukan (Santoso, 2002).
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik
secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang
keras. Kemudian, Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri
perilaku kekerasan melalui persetujuan damai. Sedangkan Pengelolaan
Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan
mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
Tahap selanjutnya adalah Resolusi Konflik, yaitu menangani sebab-
sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa
tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Tahap
terakhir adalah Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber
konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah
30
kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik
yang positif. Tahapan-tahapan di atas merupakan satu kesatuan yang
harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing
tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik
akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.
Definisi Konseptual dan Definisi Operasional
Sebagai landasan pemahaman dan pedoman dalam upaya memahami
permasalahan penelitian secara umum berikut penekanan beberapa variabel
yang akan diteliti sehingga dengan adanya pemaparan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa batasan konseptual variabel yang digunakan adalah:
1. Community Dispute Responsibility (CDR) merupakan suatu konsep
di mana penyelesaian konflik dilakukan melalui proses selain
peradilan (non litigasi) yaitu melalui cara-cara yang sah menurut
hukum baik berdasarkan pendekatan konsensus seperti negosiasi,
mediasi dan konsiliasi maupun tidak berdasarkan konsensus seperti
arbitrasi yang berlangsung atas dasar pendekatan adversarial yang
menyerupai proses peradilan sehingga menghasilkan adanya pihak
yang menang dan pihak yang kalah. Penyelesaian konflik secara
konsensus dilakukan dengan menitikberatkan pada upaya
musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya.
Oleh karena itu, fisibilitas CDR terlihat dari progresivitas karakter
atau watak, kelemahan hingga tantangan dalam implementasinya.
Dengan setting konflik tambang pasir besi Kulon Progo, maka
dalam hal ini peneliti menekankan pada upaya penyelesaian konflik
yang berkepanjangan melalui implementasi CDR yang dapat
diidentifikasi fisibilitasnya melalui karakteristik dan wataknya.
Adanya prinsip yang harus dipenuhi serta aturan main yang harus
dilakukan oleh para pihak yang berkonflik. Selain itu, aktor-aktor
yang yang berkonflik masing-masing memiliki kekuatan (bargaining
position) sehingga harus dicari penyelesaian yang bersifat win-win
31
solution melalui upaya implementasi CDR sesuai dengan prinsip dan
prasyaratnya (Cathy A Constantino, Christina S Merchant, 1996).
2. Manajemen Konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi baik
dari pihak internal maupun eksternal konflik. Dalam penelitian ini,
peneliti secara spesifik menjelaskan bahwa manajemen konflik yang
diupayakan pada konflik tambang pasir besi di Kulon Progo yaitu
manajemen konflik berbasis komunitas, di mana wadah atau
organisasi yang diakomodir oleh masyarakat diberikan ruang dan
keleluasaan untuk menyelesaikan konflik menggunakan modal
kekuatan yang dimiliki baik yang bersifat material maupun
immaterial. Komunitas yang bergerak di sini adalah PPLP-KP yang
bersifat dinamis dan memiliki SDM serta relasi yang menjanjikan
untuk penyelesaian konflik.
3. Resolusi Konflik merupakan pengelolaan konflik dan penyelesaian
konflik yang dapat diterima oleh masing-masing pihak. Adapun
resolusi konflik dalam penelitian ini digunakan peneliti sebagai ‘pintu
masuk’ untuk menganalisa model penyelesaian konflik yang
dilakukan tanpa melalui proses litigasi karena dalam penelitian ini,
peneliti secara spesifik membahas CDR yang merupakan bagian
ataupun tools lain dari bentuk alternatif resolusi konflik.
32
I. Kerangka/Alur Pemikiran
Penjelasan singkat:
Aktor besar yang berkonflik memperebutkan kuasa atas Sumber Daya
Alam yaitu tambang pasir besi menimbulkan konflik berkepanjangan dan
bersifat fluktuatif sehingga dari pihak masyarakat menginisiasi alternatif
SDA
Pasir Besi
Masyarakat
(PPLP-KP)
Negara
Swasta
PT. JMI
Konflik SDA
Pemetaan Aktor
& Pemetaan
Konflik
CDR
Resolusi
Konflik
Manajemen
Konflik Ala
PPLP-KP
33
resolusi konflik menurut versi mereka dengan manajemen konflik berbasis
komunitas PPLP-KP melalui fisibilitas implementasi Community Dispute
Responsibility (CDR). Selain itu terdapat beberapa faktor yang menjadi
modal PPLP-KP memiliki kekuatan untuk meredam konflik dan
mengembangkan relasi dengan modal yang mereka miliki.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang
menggunakan metode studi kasus. Penelitian kualitatif merupakan
jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk hitung lainnya. Selain itu, penelitian
kualitatif dapat menjadi sumber bagi deskripsi dan eksplanasi terkait
proses-proses yang terjadi dalam konteks lokal karena melalui
penelitian kualitatif, peneliti memasuki dunia informan serta mencari
perspektif informan sehingga peneliti dapat menjalin hubungan
keakraban dengan informan karena dengan begitu, peneliti dapat
mengetahui konstruksi konflik pasir besi yang terjadi di lapangan.
Penggunaan metode studi kasus sendiri bermula dari kerangka
pemikiran awal terjadinya konflik hingga proses eskalasinya yang
digunakan yang bertujuan untuk mengupayakan penyelesaian
konflik melalui implementasi CDR sebagai bagian dari ADR serta
menganalisa kelemahan CDR yang menghambat proses terjadinya
resolusi konflik dengan community based approach.
Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian
berdasarkan suatu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam,
mendetail, dan komprehensif (Moleong, 2009)Keunggulan-
keunggulan penggunaan metode studi kasus antara lain:
34
a. Studi kasus dapat memberikan informasi yang penting
mengenai hubungan antar konsep serta proses-proses yang
membutuhkan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas.
b. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh
wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia
melalui penyelidikan intensif peneliti dapat menemukan
karakteristik dan hubungan-hubungan yang mungkin tidak
diharapkan atau diduga sebelumnya.
c. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan
yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar
permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar
dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Metode studi kasus juga tidak terlepas dari beberapa
kelemahan antara lain:
(1) Pada konteks yang dilakukan selama ini, studi kasus masih
kurang memberikan dasar yang kuat untuk melakukan suatu
generalisasi ilmiah.
(2) Kedalaman studi yang dilakukan tanpa disadari ternyata
justru mengorbankan tingkat keluasan yang seharusnya
dilakukan sehingga sulit digeneralisasikan dengan keadaan
yang berlaku umum.
(3) Studi kasus memiliki kecenderungan kurang mampu
mengendalikan bias subjektivitas peneliti. Kasus yang dipilih
untuk diteliti lebih cenderung pada sifat dramatiknya bukan
karena sifat khas yang dimilikinya sehingga pandangan
subjektivitas peneliti dikhawatirkan terlalu jauh mencampuri
hasil penelitian.
Beberapa alternatif yang merupakan terobosan-terobosan
cerdas yang kemudian diambil oleh (Yin, 2003) untuk mengatasi
beberapa kelemahan studi kasus yaitu: Pertama, studi kasus harus
signifikan. Hal tersebut berarti kasus yang diangkat mengisyaratkan
35
sebuah keunikan dan memang khas serta menyangkut kepentingan
publik atau masyarakat umum. Oleh karena itu bukan hanya
disebabkan sifat dramatiknya saja. Kedua, studi kasus harus lengkap.
Kelengkapan ini terdiri dari beberapa hal yaitu:
a) Kasus yang diteliti mempunyai batas-batas yang jelas yaitu
terdapat perbedaan yang jelas antara fenomena dan
konteksnya.
b) Tersedianya bukti-bukti relevan yang meyakinkan.
c) Mempermasalahkan ketiadaan kondisi buatan tertentu yaitu
meskipun menghadapi berbagai keterbatasan, kasus yang
diangkat haruslah diselesaikan secara tuntas. 15
Penelitian kualitatif merupakan data yang dikumpulkan baik
berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini
disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu,
semua yang dikumpulkan kemungkinan menjadi kunci terhadap apa
yang diteliti. Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis bertujuan
untuk mendapatkan data dalam wawancara dari orang-orang yang
dianggap mampu memberikan jawaban yang diinginkan, serta
menuangkannya dalam bentuk deskripsi. Penelitian kualitatif juga
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain (Sugiyono, 2008). Secara holistik, dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah. Penelitian ini berusaha memahami fenomena
manajemen konflik berbasis komunitas dengan instrumentasi CDR
(Community Dispute Responsibility) sebagai pengembangan resolusi
konflik pada tambang pasir besi di Kulon Progo.
15Robert K. Yin. 2003. Metode Penelitian Studi Kasus. Jakarta: Raja Grafindo
36
2. Sumber Data
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung di
lapangan baik melalui wawancara kepada masyarakat. Data
sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari dokumen
baik pribadi maupun resmi, buku, jurnal, modul, laporan
pertanggungjawaban baik dari instansi maupun sebagainya. Sumber
data yang ingin ditemukan dalam penelitian ini adalah kondisi
lingkungan dan setting atau tempat di mana konflik berlangsung.
Kemudian informan baik dari pihak komunitas masyarakat maupun
pihak lain yang terkait seperti korporasi dan pemerintah setempat.
Selain itu, peneliti juga mengumpulkan dokumen baik sifatnya
tertulis maupun tidak tertulis.
Sumber data diperoleh secara bergulir atau snow ball dari
informan kunci yang telah peneliti wawancarai sebelumnya.
Penelitian diawali dengan penggalian informasi dari tokoh-tokoh
formal. Informan mempunyai arti orang yang diperkirakan
menguasai dan memahami data, informasi maupun fakta dari konflik
tambang pasir besi yang terjadi. Data yang ingin ditemukan dalam
penelitian ini adalah informasi yang diperoleh dari informan yang
terlibat dalam proses manajemen konflik berbasis komunitas pada
tambang pasir besi di Kulon Progo. Peneliti juga menggunakan
observasi untuk mengamati proses interaksi sosial masyarakat dalam
komunitas saat melakukan proses manajemen konflik berbasis
komunitas dengan instrumentasi CDR (Community Dispute
Responsibility) serta dokumen tertulis dan tidak tertulis yang
mendukung argumentasi.
Peneliti tidak berniat membatasi jumlah informan yang
menjadi subjek penelitian namun mementingkan ketercukupan data
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Peneliti memutuskan jumlah
informan telah cukup dan tidak perlu ditambah apabila terjadi
pengulangan data. Menurut Sugiyono (2011) menjelaskan bahwa
37
penentuan informan dianggap telah memadai apabila telah sampai
kepada taraf redundancy (kejenuhan data, penambahan informan
tidak menambah informasi baru).
3. Teknik Pengumpulan Data
Setting penting dalam penelitian ini adalah fisibilitas
implementasi CDR dalam penyelesaian konflik tambang pasir besi.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibutuhkan berbagai jenis
sumber data yang dapat digunakan untuk menganalisa terkait
karakteristik dan watak CDR dalam penyelesaian konflik. Oleh
karena itu, data ditemukan dari informasi yang dilakukan dengan:
1) Wawancara
Proses wawancara menggunakan bantuan pedoman
umum wawancara sehingga data yang peneliti butuhkan dari
informan tidak terlewatkan. Menurut Bungin (2011: 110)
mengungkapkan bahwa metode pengumpulan data kualitatif
yang paling independen salah satunya adalah wawancara
mendalam (in-depth interview). Peneliti menggunakan
bantuan alat perekam berupa voice recorder untuk
mendokumentasikan wawancara agar tidak terdapat
hambatan pada proses wawancara dengan informan dalam
penelitian. Pengamatan atau observasi dalam penelitian ini
menggunakan teknik observasi. Dokumentasi yang
digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang
sudah diolah dalam bentuk arsip tertulis.
2) Observasi lapangan
Observasi dilakukan untuk menggali informasi tidak
tertulis dalam interaksi sosial antar para aktor yang terlibat di
dalam aktivitas politik informal seperti manajemen konflik
berbasis komunitas. Namun juga bisa bersifat formal ketika
38
komunitas masyarakat melakukan advokasi hingga ke
pemerintah pusat. Teknik ini juga akan melengkapi informasi
dokumentasi yang belum dapat diperoleh dari teknik
wawancara serta menemukan dokumentasi baik tertulis
maupun tidak tertulis. Dalam obervasi ini yang menjadi fokus
peneliti adalah kesesuaian pernyataan informan yang
berhubungan dengan situasi dan kondisi lokasi tambang pasir
besi serta lingkungan tempat tinggal informan. Hasil
observasi tersebut berupa catatan tertulis ataupun rekaman
audio visual yang berguna untuk mempertajam data yang
didapatkan.
3) Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan dengan melihat atau
menganalisa dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek
penelitian sendiri maupun oleh orang lain terkait dengan
subjek penelitian. Beberapa fakta dan data tersimpan dalam
bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data
yang biasanya tersedia adalah surat-surat, catatan atau
dokumen harian, laporan, foto dan sebagainya. Sifat utama
data ini tidak terbatas pada ruang dan waktu sehingga
memberikan peluang pada peneliti untuk mengetahui hal-hal
yang pernah terjadi di waktu silam.
4. Instrumen Penelitian
Berkaitan dengan proses collecting data (pengumpulan data),
peneliti membutuhkan instrumen sebagai alat bantu penelitian.
Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pedoman Wawancara
Pedoman wanwancara digunakan agar wawancara
yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.
39
Pedoman wawancara ini disusun tidak hanya berdasarkan
tujuan penelitian tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti. Adapun informan dalam
penelitian ini adalah:
1. Masyarakat Kulon Progo dari kelompok yang pro dan
kontra terhadap penambangan pasir besi untuk
mengetahui lebih jauh terkait realita konflik yang terjadi,
proses penyelesaian konflik yang berbasis komunitas
serta sistem sosial masyarakat setempat dalam
memandang resolusi konflik menggunakan CDR.
2. Aktivis STTB (Solidaritas Tolak Tambang Pasir Besi)
dan FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat Agraris)
untuk mendapatkan informasi lebih jauh terkait relasi atau
jaringan, aktivitas dan resolusi konflik berbasis komunitas
yang diupayakan.
3. Akademisi untuk mendapatkan analisisnya atas konflik
dan resolusi konflik melalui implementasi CDR.
4. NGO yang bergerak di bidang lingkungan untuk
mengetahui peran serta sejauh apa keterlibatannya dalam
menangani konflik tambang pasir besi di Kulon Progo.
5. Masyarakat Kulon Progo yang ditemui secara acak dalam
rangka mencari sejauh mana upaya resolusi konflik
melalui fisibilitas implementasi CDR. Batasan
masyarakat ditentukan sampai pada data jenuh
(redundancy) yang didapatkan.
b. Pedoman Observasi
Pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat
melakukan observasi atau pengamatan sesuai tujuan
penelitian. Pedoman observasi disusun berdasarkan hasil
observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan
observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara serta
40
pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan informasi yang
muncul saat wawancara berlangsung.
c. Alat Perekam
Penggunaan kamera untuk tujuan dokumentasi
sekaligus menggunakan voice recorder untuk merekam
selama kegiatan wawancara berlangsung. Alat perekam
berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara agar peneliti
dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa
harus banyak berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari
subjek. Pada pengumpulan data, alat perekam baru dapat
digunakan setelah mendapat ijin dari subjek penelitian untuk
menggunakan alat tersebut selama wawancara berlangsung.
5. Teknik Analisis Data
Setelah keseluruhan data yang diperlukan terkumpul, untuk
menjawab rumusan masalah maka data tersebut perlu dianalisis
dengan menggunakan teknik kualitatif. Adapun langkah-langkah
yang ditempuh dalam teknik analisa data yang dilakukan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
a. Reduksi data dimaksudkan untuk memilih dan memilah data
mentah yang masih beragam untuk dikelompokkan dalam
pokok-pokok persoalan sesuai fokus penelitian. Tujuannya
agar data yang sama segera terkelompok pada bagian yang
relevan dan mudah ditelusuri jika diperlukan.
b. Kemudian data data yang tersusun secara sistematis di-
display. Data-data yang di-display berupa tabel, matriks,
grafik dan sebagainya. Dengan demikian peneliti dapat
mempelajari data dengan mudah dan tidak terbebani oleh
banyaknya data.
41
c. Pengambilan kesimpulan atau verifikasi data atas pertanyaan
penelitian. Data-data yang telah disusun sedemikian rupa
dikaitkan dengan pola, model, hubungan kausalitas atau
sebab akibat dan persamaan pendapat lain akan muncul
kesimpulan dari objek yang telah diteliti.
Dalam bukunya Qulitative Inquiry and Research Design:
Choosing, Among Five Traditions menurut John W. Creswell (1998)
proses analisa data dalam studi kasus tidak berbeda dengan
penelitian kualitatif lainnya. Lebih lanjut Creswell menjelaskan
bahwa untuk studi kasus analisisnya terdiri dari deskripsi terinci
terkait kasus serta settingnya. Apabila suatu kasus menunjukkan
kronologis suatu peristiwa maka menganalisisnya memerlukan
banyak sumber data untuk menentukan bukti pada setiap fase dalam
evolusi kasusnya. Terlebih lagi untuk setting kasus yang unik
hendaknya informasi dianalisa untuk menentukan bagaimana
peristiwa terjadi sesuai dengan settingnya sehingga dengan demikian
data-data yang diperoleh dari lapangan kemudian dideskripsikan
secara terinci dengan terlebih dahulu menjelaskan setting sosial
historis dari peristiwa atau kasus yang menjadi objek dalam
penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dipaparkan dalam lima bab yaitu:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
terjadinya konflik, deskripsi konflik yang terjadi dan alasan pemilihan topik,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, literature review
terkait manajemen konflik SDA, kerangka teori, definisi kontekstual,
definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan bab pada
penelitian manajemen konflik berbasis komunitas pada konflik tambang
pasir besi di Kulon Progo.
42
Bab II dalam bab ini akan dibahas secara lengkap terkait deskripsi daerah
penelitian, gambaran umum, profil masyarakat serta kasus terkait
manajemen konflik berbasis komunitas, gerakan sosial yang dilakukan
komunitas serta konflik sosial yang terjadi serta pihak-pihak atau aktor yang
terlibat dan bertikai.
Bab III Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil penelitian untuk
menjelaskan otoritas dan peran yang dimiliki pihak yang terlibat,
kemunculan gerakan masyarakat (social movement) utamanya gerakan yang
dilakukan oleh komunitas PPLP-KP di sekitar tambang serta kepentingan
pada konflik yang terjadi di lapangan dengan studi kasus konflik yang
terjadi pada tambang pasir besi di Kulon Progo,
Bab IV menjelaskan terkait detail hasil penelitian lapangan berdasarkan
kerangka teori yang digunakan untuk menjelaskan fenomena konflik yang
terjadi kemudian pemaparan manajemen konflik berbasis komunitas dan
menganalisa upaya pengembangan resolusi konflik yang dilakukan pihak
komunitas masyarakat. Penjelasan mengenai elaborasi pengembangan
resolusi konflik dan transformasi konflik serta manajemen konflik berbasis
komunitas dengan background instrumentasi Community Dispute
Responsibility (CDR).
Bab V Kesimpulan dan Saran untuk menjawab rumusan masalah yang telah
disebutkan dalam Bab I. Kesimpulan dari hasil penelitian juga akan
dihubungkan dengan kerangka teori yang digunakan. Bab ini juga meliputi
kritik terhadap teori yang digunakan jika memang temuan di lapangan
menunjukkan fenomena baru.
Recommended