View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Diskursus gerakan politik Islam telah lama menjadi perdebatan oleh sejumlah
cendekiawan. Para sarjana menjabarkan isu ini dengan sangat serius dalam berbagai
bentuk kajian seperti halnya dari segi sisi historis, teologi, politik, dan kultur
(Dabashi, 1989; Fuller & Lesser, 1995; Hefner, 2005; Hodgson, 2002; Jindan, 1979;
Springer, Regens, & Edger, 2009; Springer et al., 2009; Wahid (ed), 2009). Mereka
berargumentasi untuk mempertanyakan mengenai Islam yang benar dengan tujuan
menguatkan atau melemahkan masing-masing argumen yang saling bertentangan.
Dinamika wacana ini berselancar di seluruh jagat. Tidak hanya berkutat di Negara-
negara Islam seperti Arab Saudi dan Negara-negara Timur Tengah lain, gagasan
politik Islam juga muncul di Negara, yang secara ideologis, tidak memancangkan
agama sebagai basis utama layaknya Indonesia.
Di Indonesia, diskurus ini juga muncul. Banyak kalangan mencoba
berkontribusi dalam hal ini. Menjadi populasi muslim terbesar di dunia (Woodward,
2010), kontestasi kepentingan politik juga bergemuruh di sini. Syaifudin Jurdi (2008)
mengelaborasikan pemikirannya dalam buku bertajuk Pemikiran Politik Islam
Indonesia. Jurdi (2008, 343-348) menyatakan bahwa dalam sejarah Indonesia,
terdapat banyak macam pergerakan islam yang bermunculan di nusantara. Setelah
2
keruntuhan rezim Suharto, gerakan Islam yang sempat dibungkam selama beberapa
dekade mengemuka dan berpretensi memperlihatkan diri dengan berbagai macam
cara. Untuk sekadar menyebut macam-macam pergerakan tersebut adalah, antara lain,
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Laskar Jihad (LK), Front
Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Bangkitanya gairah gerakan Islam pasca orde baru tidak bisa dilepaskan dari
sejarah politik bangsa yang, menurut Syaifuddin Jurdi, telah melemahkan isu dan
wacana tentang Islam. Hegemoni politik tersebut, setidaknya, berlaku sejak
Demokrasi Terpimpin (1959) yang kemudian diteruskan oleh rezim berkuasa pada
1967. Imbasnya adalah terjadi politik hegemoni negara terhadap Islam. Meskipun,
pada dekade 1970-an diskursus intelektual mengenai Islam dan negara kembali
menghangat, akan tetapi tidak sesemarak pada dekade-dekade sebelumnya (Jurdi,
2006).
Antagonisme negara terhadap Islam semakin mengencang tatkala Orde Baru di
bawah kepemimpinan Soeharto berkuasa. Pada saat itu, pemerintah menaruh curiga
terhadap organisasi Islam yang berpretensi mendirikan negara Islam. Situasi ini
berlanjut hingga tahun 1980-an. Pada saat itu, umat Islam mulai akomodatif terhadap
terhadap gagasan asas tunggal yang dijadikan haluan dalam kehidupan sosial dan
politik. Diskriminasi yang diterapkan pemerintah Orde Baru terhadap Islam membuat
polarisasi di dalam tubuh umat Islam ke dalam berbagai bentuk perjuangan. Ada yang
berjuang dalam bidang kultural yang meliputi pendidikan, dakwah, kesehatan, dan
lain sebagainya. Begitu pun tak luput juga perjuangan struktural yang
termanifestasikan dalam bentuk produk hukum dan kebijakan publik (Jurdi, 2006).
3
Sebagai akibat dari sikap represif yang ditujukan kepada umat Islam selama
beberapa dekade tersebut menimbulkan euforia pada umat Islam ketika kekuasan
Soeharto runtuh pada 1998. Runtuhnya kekuasan Soeharto pada 1998 membuka
kesempatan bagi berkembangnya gerakan Islam di Indonesia (Muhtadi, 2009).
Menurut Moch Nur Ichwan (2014: 101) tumbangnya rezim Soeharto membuka
peluang transformasi politik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Hizbut at-Tahrir—yang merupakan hulu dari lahirnya HTI—sangat serius
memperjuangkan gagasan khilafah. Bagi organisasi transnasional ini, khilafah disebut
sebagai sistem politik yang telah pernah ada sejak era kepemimpinan Nabi
Muhammad sampai pada keruntuhannya pada tahun 1924. Atas klaim sepihak ini,
Ainur Rofiq mengajukan kritik sejarah yang dapat harus dipertimbangkan.
Dalam menyebarkan gagasannya, HTI menggunakan berbagai media. Salah
satunya adalah dengan menggunakan laman hizbut-tahrir.or.id sebagai media
penyebar ideologi dan gagasan mereka. Sebagai organisasi yang memiliki konsentrasi
dalam diskursus khilafah, HTI sangat diperhitungkan. Deklarasi khilafah yang
dikumandangkan oleh Abu Bakar al-Baghdady tidak mendapatkan respons positif dari
HTI. Sebagaimana dijelaskan di pembukaan tulisan ini, HTI menolak klaim
kekhalifahan yang diproklamirkan oleh Abu Bakar al-Baghdady. Namun, di saat yang
bersamaan pula, HTI masih terus mempropagandakan gagasan khilafah di sejumlah
penerbitannya.
Dalam penelitian ini dikhususkan untuk mengkaji konstruksi wacana
kontemporer terkait gagasan khilafah yang dibangun di laman hizbut-tahrir.or.id.
Wacana kontemporer dipilih untuk mengetahui dan melacak bagaimana HTI
4
membingkai dan merespons isu-isu kontemporer, yang mana menjadi tema dalam
rangka menyokong gagasan khilafah. Hal tersebut akan menunjukkan pada bidang
apa saja HTI memiliki konsentrasi sehingga akan menampilkan gambaran mengenai
isu kontemporer apa saja yang dijadikan sebagai propaganda untuk mendukung
gagasan utama HTI.
Yeni Ratnayuningsih dalam Islam, Media, and Social Responcibility in the
Muslim World (2013: 583) menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir media
internet memerankan fungsi sigfinikan dalam lapisan masyarakat. Hal tersebut
ditandai dengan menjamurnya berbagai budaya populer yang mempengaruhi budaya
anak muda, yang mana termasuk di dalamnya adalah di dunia Islam. Diskursus dunia
Islam pun bermunculan dari beragam variasi pemikiran.
Di Indonesia, pengguna internet mengalami pertumbuhan yang sangat
signifikan. Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika (http://kominfo/go.id),
pengguna internet di Indonesia mencapai angka 82 juta pengguna1. Dengan pengguna
sebanyak itu menegaskan pengaruh kuat atas informasi yang terdapat di internet.
Seturut dengan itu, menurut Imamah (2014: 16) pada tahun 2008 banyak
bermunculan media Islam, termasuk media Islam militan. Disebutkan bahwa dalam
1http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet
+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.Vqc_0Z7GpDY diakses pada 10/11/2015 Angka tersebut seolah mengamini hipotesa Don Topscott mengenai The Net Generation,
sebuah zaman di mana orang-orang memiliki akses terhadap internet sejak dari kecil, sehingga memiliki intimitas dan cara penggunaan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh generasi sebelumnya. Orang-orang dengan label The Net Generation mengakses dunia internet dengan intensitas dan produktivitas yang sama sekali berbeda. Mereka melakukan berbagai macam aktivitas dalam satu waktu; satu hal yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu (Tapscott, 2009).
5
catatan Alexa Global2 terdapat sepuluh laman terpopuler dalam lingkup media Islam
Indonesia yang dihitung dalam pemeringkatan global. Mereka antara lain dakwatuna
(12.423), arrahmah.com (16.268), islampos.com (17.743) voa-islam (18.693),
eramuslim.com (30.754), bersamadakwah.com (37.523), fimadani.com (52.391),
hidayatullah.com (60.568), islamedia.web.id (83.899), dan akhwatmuslimah.com
(85.654).
Dibandingkan dengan media-media Islam lain yang tidak secara tegas
mendeklarasikan diri sebagai penyokong utama gagasan khilafah, pemilihan hizbut-
tahrir.or.id menjadi urgen mengingat laman ini merupakan laman resmi dari
organisasi Hizbut Tahrir Indonesia. Dengan demikian, melakukan penelitian atas
laman ini terkait khilafah ini menjadi sangat representatif untuk mengetahui seberapa
jauh pandangan dan pemikiran yang tercermin dari gerakan Islam transnasional
tersebut. Perhatian yang mendalam terhadap isu khilafah ini tercermin dalam rubrikasi
―Seputar Khilafah‖. Dalam rubrik ini dimuat berbagai argumen, opini, serta impian-
impian mengenai khilafah. Hal ini menjadi penguat bahwa situs terkait memang
memiliki perhatian khusus terhadap isu ini, karena memang di samping gerakan
Hizbut Tahrir diniatkan untuk mendirikan kekhilafahan.
Hizbut-tahrir.or.id merupakan portal yang menyediakan beragam tulisan yang
mempropagandakan berdirinya khilafah. Hizbut-tahrir.or.id mendapatkan peringkat
ke-1845 dalam pemeringkatan se-Indonesia berdasarkan pemeringkatan sesuai data
2 Alexa merupakan laman yang mengalisis lalu-lintas dan menyediakan lalu-lintas
dan memperingkat status laman. Ditemukan oleh perusahaan independen pada 1996, alexa.com akhirnya diakuisisi oleh Amazon pada 1999. Alexa mengalisis lalu-lintas laman sesuai dengan kunjungan yang didapatkan dari laman tertentu. Untuk informasi lebih lanjut bisa mengunjungi https://en.wikipedia.org/wiki/Alexa_Internet. Diakses pada 2/11/2015.
6
yang peneliti rujuk dari alexa.com. Dalam skala global, hizbut-tahrir.or.id menempati
posisi 126.987 dan memiliki site-link sebanyak 551 buah.
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini ingin memperlihatkan dan
memfokuskan diri pada wacana kontemporer yang digunakan dalam laman hizbut-
tahrir.or.id terkait dengan gagasan khilafah. Wacana kontemporer menjadi urgen
mengingat bahwa wacana-wacana tersebut digunakan untuk melihat konsistensi HTI
merespons isu-isu terkini. Dengan mengetahui kesinambungan isu yang diusung akan
terlihat bagaimana peta politik yang menjadi sarana HTI dalam menyokong gagasan
khilafahnya.
1.2 Rumusan Masalah
2. Tema apa yang digunakan dalam membangun wacana khilafah terkait wacana
kontemporer pada hizbut-tahrir.or.id?
3. Metode apa yang digunakan dalam membangun wacana khilafah pada hizbut-
tahrir.or.id?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui konstruksi wacana khilafah dalam laman hizbut-tahrir.or.id. Penelitian ini
juga bermaksud mengetahui argumentasi dan legetimasi serta preferensi apa yang
dibangun, utamanya jika dihubungkan dengan konteks Indonesia. Disamping itu juga
untuk mengetahui apa saja yang imajinasi-imajinasi yang dipropagandakan oleh
hizbut-tahrir.or.id seputar khilafah. Penelitian ini berkontribusi mengetahui rekam
jejak ideologi yang disebarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), lewat medianya,
7
sehingga didapatkan gambaran mengenai preferensi politiknya. Dalam lingkup
akademik, penelitian ini akan melengkapi sejumlah literatur bacaan yang terdahulu
terkait Islam politik di Indonesia, terkhusus kaitannya dengan wacana khilafah yang
terus dipropagandakan oleh HTI dan, semoga, dapat memberikan sumbangan
terhadap penelitian-penelitian terkait.
1.4 Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, peneliti memperlihatkan sejumlah literatur yang
berkaitan dengan kajian. Sehingga akan memperlihatkan perbedaan konteks penelitian
yang dilakukan. Untuk tujuan itu, peneliti akan membaginya ke dalam dua kategori.
Pertama, literatur yang membahas mengenai doktrin khilafah. Dan kedua, mengenai
gagasan Hizbut Tahrir Indonesia.
Pada kategori pertama, terdapat beberapa rujukan literatur yang membahas
mengenai doktrin khilafah. Yunasril Ali menulis Kekhalifahan dan Tanggung Jawab
Global (2008). Tulisan dalam rangka merespons atas tulisan Nurkholish Madjid
berjudul ―Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi: Suatu Percobaan
Pendekatan Sistematis terhadap Konsep Antropologi Islam‖ ini mengurai terlebih
dulu makna yang terkandung dalam kata khalifah secara leksikal. Menurutnya Ali
kata khalifah merupakan derivasi dari kata dasar khalf, yang artinya di belakang. Oleh
karena itu, khalifah berarti ―yang datang belakangan‖.
Buku yang secara khusus membahas khilafah adalah buku berjudul
Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila (2014). Buku yang dieditori oleh
Komaruddin Hidayat ini memuat beragam perspektif dari berbagi akademisi. Haidar
8
Bagir, misalnya, lewat tulisan berjudul Islam dan Kepemimpinan Politik Antara
Otoritas dan Demokrasi menyatakan bahwa persoalan yang tak ada habisnya adalah
persoalan hubungan Islam dan kepemimpinan politik. Sejak Nabi Muhammad hingga
wafatnya, Islam selalu bersentuhan dengan hal-ihwal politik. Menurut Bagir, politik
menjadi suatu pusat dalam rangka meraih tujuan-tujuan. Manusia, sebagai entitas
Negara, harus bekerja sama untuk mengorganisasikan diri dan mengatur dan
memecahkan persoalan bersama. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam suatu
asosiasi manusia dibutuhkan suatu kepemimpinan yang dapat menjalankan roda
kehidupan dengan baik.
Sementara itu, Fuad Jabali, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah lewat tulisan Khilafah: Antara Suku dan Agama (2014) mengurai
sengkarut khilafah kaitannya dengan persoalan suku dan agama. Jabali menjelaskan
bahwa khilafah sebagai sistem politik kesukuan yang kental sempat mengendur ketika
Nabi Muhammad menyodorkan tawaran konsepsi dengan detribalisasi. Namun,
sayangnya, semangat kesukuan kembali menguat pasca wafatnya Nabi. Bahkan,
berdirinya khilafah setelah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali melambangkan
sukuisme yang tinggi. Sementara itu, Nadirsyah Hosen dalam tulisan berjudul
Khilafah Islam, Fiktif! (2014) dengan tegas menyebut mendirikan khilafah tidak
wajib. Bahkan dosen senior di University of Wolonggong ini menyamakan khilafah
dengan apa yang ada di sekitar kita. Implementasi dari pemikiran ini kemudian
menyiratkan bahwa dalam suatu perkumpulan manusia mesti harus ada yang didaulat
menjadi pemimpin.
9
Beberapa literatur di atas memberikan pemahaman mengenai diskursus
khilafah dalam berbagai bentuk analisa. Sedangkan, untuk kategori kedua akan
diperlihatkan sejumlah literatur yang membahas mengenai penetrasi gerakan HTI
dalam mempropagandakan gagasan khilafah.
Syamsul Rizal, dalam makalah berjudul Indoctrinating Muslim Youth: Seeking
Certainly Through An-Nabhanism memaparkan cara-cara yang ditempuh oleh HTI
dalam menanamkan pahamnya kepada pemuda. Di antara cara-cara tersebut adalah
halqa. Dijelaskan bahwa metode ini ditujukan bagi anggota baru di bawah bimbingan
supervisor yang telah berpengalaman. Sistem ini digunakan untuk membedakan
dengan proses yang didapatkan di sekolah ataupun universitas. Tujuan dari halqa ini
tidak sekadar dijadikan tempat untuk mendidik anggota tersebut, melainkan lebih dari
itu yakni meningkatkan apa yang telah mereka pelajari dalam kehidupan keseharian.
Melalui The Image of the Other as Enemy: Radical Discourse in Indonesia
(2006), Mohammad Iqbal Ahnaf menjelaskan problem yang dihadapi oleh dua
organisasi Islam; Majelis Mujahidin Indonesia dan Hisbut Tahrir Indonesia. Iqbal
mengawali tinjauannya dengan mengalisis kacamata pandang yang digunakan oleh
keduanya dalam menilai orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda alias non-
Muslim. (Ahnaf, 2006) . Kajian tentang HTI yang lain juga datang dari Iqbal Ahnaf
yang berjudul From Revolution to„ Refolution‟ A Study of Hizb al Tahrir, Its Changes
and Trajectories in the Democratic Context of Indonesia. Di sini, Iqbal Ahnaf
memperlihatkan telah terjadi pergeseran strategi yang dilakukan HTI dalam
mempromosikan gagasannya. Stategi tersebut adalah dengan melawan demokrasi di
negara demokrasi.
10
Buku Proyek Khilafah HTI: Perspektif Kritis (2015) mempertanyakan ulang
gagasan khilafah, baik secara historis maupun kekinian. Yang membedakan buku ini
dengan buku-buku sejenis adalah bahwa buku ini ditulis oleh seseorang yang pernah
berkecimpung sebagai aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurutnya, gagasan
Negara Islam yang diperjuangkan HTI tidak hanya memaksakan nalar berpikir. Buku
ini mempertanyakan eksistensi HTI di Indonesia dengan titik tekan kepada konsepsi
ideologi HTI. Uraian Ainur Rofiq sangat teoritis dan secara umum memotret ideologi
HTI.
Penelitian mengenai HTI yang berbasis daerah ditulis oleh Syamsul Arifin.
Penelitian ini dilakukan di Malang. Disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul
Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizbut al-
Tahrir Indonesia (Arifin, 2005) tersebut berkesimpulan Hizbut Tahrir termasuk dalam
kategori kelompok fundamentalistik. Kesimpulan tersebut didasarkan pada beberapa
alasan. Pertama, gerakan ini memiliki orientasi politik yang ditujukan untuk
menggantikan sistem politik sekuler. Ideologi yang digunakan di Indonesia, termasuk
di dalamnya ideologi Pancasila tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan dampak
krisis fundamental dan multidimensional. Kedua, berbekal sejarah, menurut Hizbut
Tahrir, Islam pernah mengalami masa kegemilangan selama 1300 tahun sebagai
konsekuensi logis dari penerapan Islam sebagai ideologi (mabda‟).
Penelitian lain datang dari Paul Danier Boyer. Thesis penelitian berjudul Bad
Ideology Leads to Bad Behaviour: Why Muslim Reformers Must Present an
Authoritative, Comprehensive, and Compelling Counter-Narrative to Islamism
menyajikan hasil penelitiannya atas laman http://english.hizbut-tahrir.org. Tesis ini
11
menganalisis ideologi dan retorika kunci para intelektual Islam yang terdapat dalam
laman tersebut di atas. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ideologi dan
retorika yang digunakan dalam laman tersebut berpotensi menjadi pelatuk akan
terjadinya penggunaan kekerasan atau setidaknya berkontribusi atas aksi-aksi
kekerasan. Penelitian ini juga menyatakan bahwa retorika dan ideologi yang
ditampilkan dalam laman terkait dapat mempengaruhi pemahaman pembaca (Boyer,
2011).
Sementara itu, penelitian yang mengkomparasikan dua kategori di atas
tercermin dari buku Mandaville, P. G. Transnational Muslim politics: reimagining the
umma (2001) dan Burhanuddin Muhtadi The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia
(2009). Gagasan mengenai ―Imagined Ummah‖, awalnya, telah dipergunakan terlebih
dahulu, namun dalam ruang lingkup pembahasan yang sangat luas. Dalam artian tidak
fokus mengalisa gagasan organisasi tertentu. Sementara Muhtadi, melakukan hal
sama, akan tetapi lebih menspesifikkan untuk kasus HTI.
Berbeda dengan berbagai literatur di atas, utamanya karya Mandaville dan
Muhtadi, penelitian ini menelisik ―The Imagined Ummah‖ menggunakan analisis
wacana. Sehingga dapat diungkap penggunaan bahasa mereka dalam
mempropagandakan restorasi khilafah.
Berbagai kajian tersebut di atas memperlihatkan berbagai kajian yang
membahas mengenai gagasan khilafah dengan bermacam perspektif. Di samping itu
juga membahas secara spesifik mengenai organisasi-organisasi yang mendukung
gagasan khilafah tetap ada. Pada penelitian ini bagaimana isu kontemporer digunakan
oleh HTI untuk melegitimasi argumentasi mengenai khilafah. Mengingat bahwa
12
dalam penelitian ini menitikberatkan pada konstruksi wacana khilafah yang
dipropagandakan melalui laman hitbut-tahrir.or.id, maka akan sangat penting untuk
mengetahui beberapa kajian yang terkait dengan beberapa hal yang disebutkan di atas.
Untuk menjelaskan perbedaan penelitian dengan penelitian, buku, dan artikel jurnal
yang telah terbit sebelumnya, akan diperlihatkan.
1.5 Kerangka teori
Ada dua konsep utama yang digunakan sebagai alat analisa dan sekaligus
perpektif dalam tesis ini yakni kajian mengenai reimajinasi ummah dan komunitas
terbayangkan (Imagined Community) dan Dua teori ini urgen untuk mendukung
analisis temuan atas konstruksi wacana yang dibangun terkait khilafah di laman
hizbut-tahrir.or.id. Yang pertama digunakan untuk membangun argumen tentang
imajinasi yang terbayangkan mengenai berdirinya khilafah. Yang kedua diniatkan
untuk menitikberatkan pada seberapa penting wacana khilafah didengungkan sebagai
imbas dari perhatian yang berkecukupan terkait isu tersebut.
1.5.1 Ummah
Dalam Islam dikenal terminologi ummah yang menjadi perbincangan dan
sekaligus perdebatan banyak pemikir. Terminologi ini sangat bersinggungan dengan
riwayat masa lalu Islam. Menurut Ejaz Akram (2007: 383) kata ummah disebut
sebanyak 62 kali di dalam al-Qur‘an dengan intensi komunitas agama. Ternyata, di
dalam al-Qur‘an, penyebutan kata ummah memiliki perkembangan kronologi
mengenai konsep ummah; dari yang semula dipahami sebagai kata umum kemudian
digunakan secara khusus untuk agama-agama abrahamik seperti Yahudi, Kristen, dan
Islam. Namun, adakalanya, penggunaan kata ummah juga dikhususkan bagi
13
komunitas Islam, yakni pada masa Nabi Muhammad tinggal di Madinah (Akram,
2007).
Kata ―Ummah‖ merupakan identitas sosial yang unik dalam Islam. Terma ini
dikhususkan bagi komunitas Islam yang mana beranggotakan orang-orang Islam (van
Nieuwenhuijze, 1959). Penelitian ini sendiri menitikberatkan pada konstruksi
pemaknaan dan penjabaran kata ummah yang termanifestasikan dalam kerangka pikir
khilafah. Menurut Ajez Akram (2007), dalam Al-Qur‘an, kata ummah muncul
sebanyak 62 kali dengan intensinya sebagai komunitas keagamaan. Dalam
kronologisnya, kata ummah juga digunakan oleh bangsa Yahudi, Kristen, selanjutnya
untuk kaum Islam. Pada saatnya, Al-Qur‘an menggunakan kata ummah yang hanya
ditujukan bagi komunitas kecil kaum Islam. Terkhusus lagi pada periode kehidupan
Nabi Muhammad di Madinah, sehingga intensi penggunaan kata ummah terkesan
eksklusif.
Menurut Elizabeth Pooley (2015: 32), konsep ummah muncul dari gagasan
bahwa muslim merupakan satu kelompok global yang terkoneksi (globally connected
group). Satu ayat Al-Qur‘an yang menjadi rujukan atas gagasan tersebut lahir dari
ayat 3: 110 yang berbunyi: ―Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh yang makruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara
merkea ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.‖
Dalam perjalanannya, terjadi evolusi makna kata ummah yang tidak hanya
tertuju pada umat Islam. Ajez Akram mencatat (2007: 386) kata ummah dalam
piagam Madinah menyertakan umat Yahudi dan yang lainnya di mana mereka hidup
14
secara harmonis bersama dengan umat Islam. Sama dengan argumentasi Ajez Akram,
Ali Bulac berargumentasi bahwa piagam madinah merupakan suatu konsensus yang
terjadi antara Nabi Muhammad, orang-orang Yahudi, dan orang-orang musyrik yang
memberikan otoritas kepada kaum muslim menguasai kota Arab, namun di saat yang
bersamaan juga melindungi hak-hak mereka (Pohan, 2014).
Konsep negara Islam sendiri datang belakangan, yakni menyambut
berakhirnya kerajaan Ottoman dan utamanya dalam rangka menyambut gagasan
Maududi dan sejumlah ikhwan al-muslimin. Meski memiliki jejak historisitas, terma
ummah datang belakangan. Tepatnya ketika para nasionalis Arab memulai
menggunakan terma ummah untuk mendeskripsikan semua Arab atau al-ummah al-
arabiyya. Penyebutan ummah tersebut tidak secara figuratif dipersonalisasikan kepada
konsep lama yang hanya secara spesifik ditujukan kepada komunitas tertentu, yang
dalam hal ini adalah Islam (Ayubi, 1991).
Sebagai sebuah ideologi, gagasan tentang ummah tentu mempengaruhi orang-
orang yang memiliki persinggungan dengan wacana ini. Ideologi, menurut Graham C.
Kinloch dalam Ideology and the Social Science (1981), ialah basis argumentasi yang
digunakan oleh golongan tertentu yang muncul dari pandangan dunia untuk
menjustifikasi suatu perilaku dan tindakan. Maka, ketika sekelompok orang
melakukan suatu tindakan tertentu, kekerasan misalnya, bisa disinyalir merupakan
imbas dari pemahaman atas ideologi yang dijadikan landasan berpikir. Pada titik ini,
jika paradigma sosial atau pandangan agama dijadikan sebagai ideologi, akan muncul
dua karakteristik. Pertama, akan terjadi formulasisasi ideologi yang dimaksudkan agar
mencapai suatu tujuan. Kedua, penggunaan ideologi digunakan agar dapat menggapai
15
tujuan politik. Dengan sederhana bisa dikatakan bahwa ideologi diposisikan sebagai
pendorong atau sebagai ―simbol senjata politik‖. Sebagai sistem simbol, ideologi
memerankan peran signifikan terhadap tindakan sosial tertentu. Pada taraf yang lebih
akut, ideologi menegasikan segala bentuk perbedaan, termasuk dalam perkara
epistiomologi. Penafsiran terhadap sesuatu, tak pelak, sangat dipengaruhi oleh
ideologi tertentu (Purnomo, 2009).
1.5.2 Imagined Community
Pembicaraan mengenai ―komunitas terbayangkan‖ atau lebih dikenal dengan
sebutan Imagined Communities tidak bisa dilepaskan dari narasi yang dibangun oleh
Benedict Anderson. Yang perlu digarisbawahi dalam penelitian ini adalah bahwa
penelitian ini menggunakan teori ―Komunitas Terbayangkan‖ bukan dalam kerangka
memahami nasionalisme. Akan tetapi sebagai sebuah gambaran mengenai suatu cita-
cita yang diharapkan oleh suatu komunitas tertentu sehingga lahir apa yang sering
disebut dengan Imagined Community. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa
kerangka pikir yang dibangun oleh Benedict Anderson dalam menteorisasiakan
―Komunitas Terbayangkan‖ tidak bisa dilepaskan dari asal-muasal pemahamannya
dan penjabarannya mengenai nasionalisme (Anderson, 1991).
Untuk memudahkan dalam memahami berbagai istilah dan penggunaannya, di
sini akan dibahas mengenai terma bangsa (nation) yang dipopulerkan oleh Benedict
Anderson (Imagined Communities,1991). Kebanyakan orang berpikir dan
berkesimpulan bahwa bangsa yang dijabarkan Anderson adalah satu perkara yang
memang terbayangkan dan tidak pernah terwujud sebelumnya. Padahal, terdapat
kompleksitas tersendiri ketika membicarakan konsepsi bangsa (nation) itu.
16
Dalam kerangka yang sama, sebagaimana dijabarkan Anderson (1991: 6),
bahwa defenisi bangsa adalah ―an imagined political community—and imagined as
both inherently limited and sovereign‖. Imajinasi yang dimaksud adalah bahwa
anggota-anggota yang tergabung di dalamnya tidak akan pernah mengetahui satu
dengan yang lain, bertemu, dan apalagi mendengar satu dengan yang lain. Imajinasi
tersebut kemudian membawa pada apa yang Ernest Gelner jelaskan: ―he assimilates
„invention‟ to „fabrication‟ and „falsity‟, rather than to „imagining‟ and „creation‟‖.
Mengenai hal ini, Anderson menjelaskan:
(In fact, communities larger than primordial villages of face to face
contact (and perhaps even these) are imagined. Communities are to be
distinguished, not by their falsity/genuineness, but by the style in which
they are imagined. (Anderson, 1991)
Dari penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa komunitas terbayangkan
(Imagined Commutiy) merupakan seperangkat impian, cita-cita yang diimajinasikan
akan terwujud di masa yang akan datang. Berbekal imajinasi-imajinasi, suatu
komunitas menjadi seolah-olah ada dan akan terwujud.
Lebih lanjut, Anderson menjelaskan, setidaknya, terdapat tiga model imajinasi
bangsa. Pertama, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai ―yang berbatas‖ (limited). Hal
itu dikarenakan meski memiliki jutaan umat manusia, namun tetap memiliki batasan.
Kedua, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai suatu bentuk kekuasaan (sovereign)
dikarenakan lahirnya konsep ini bersamaan dengan era Pencerahan dan Revolusi.
Ketiga, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai suatu komunitas (community) karena
meskipun terdapat ketimpangan namun masih dipersatukan dengan apa yang disebut
dengan ―horizontal comradeship‖ (persekawanan antarsesama) (Anderson, 1991: 7).
17
Yang harus dipahami adalah bahwa terdapat perbedaan mendasar untuk
memahami pengertian nation dan state. Apa yang dijelaskan oleh Benedict Anderson
dengan istilah ―imagined community‖, bagi Mandaville, bisa memperjelas pengertian
apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam terma tersebut. Terma ―imagination‖ yang
digunakan Anderson tidak lantas membuat menjadikan nation (bangsa) sepenuhnya
sebagai isapan jempol atau tidak nyata. Akan tetapi, yang diharapkan oleh Anderson
dengan terma nation adalah bagaimana orang-orang menyadari dirinya menjadi
bagian dari—apa yang disebut dengan—a social collective (Mandaville, 2001).
Penjelasan seperti di atas diperlukan untuk memberikan batasan mengenai apa yang
kerap disebut sebagai bangsa, nation; nasionalisme, nationalism. Sehingga tidak
terjadi perdebatan untuk memahami konsep yang akan diulas selanjutnya.
Lebih jelasnya, Mandaville menjelaskan:
Indeed, if we examine the various sociohistorical contexts in which
nations have been elaborated, we find many in which the act of
creating a nation is as much about saying who one is not, as it is about
saying who one is. It is therefore an inherently political process in the
sense that it constructs boundaries of inclusion and exclusion.
Furthermore, the nation exists in more than just space, it also endures
in time. It is a life-world which requires reproduction in order to
survive. Insofar as the nation is a discursive formation (as opposed to
a corporeal construct) it requires reiteration in order to sustain itself.
The nation is a story of identity, memory and belonging which needs to
be told and told again. It is this dimension of the nation which leads
Homi Bhabha to speak of its „narration‟. The nation is hence a living
thing: the reification of culture (language, morality, memory,
experience, „forms of life‟) into an exclusive community (Mandaville,
2001).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pengertian bangsa (nation)
merupakan satu proses politik yang mengonstruksi tentang inklusi dan eksklusi.
Terma ini menembus ruang dan waktu, oleh karenanya membutuhkan segala macam
18
pendukung untuk bisa tetap berkembang. Bangsa merupakan sejarah tentang identitas
dan memori yang harus terus dinarasikan ulang oleh satu kelompok tertentu (an
exclusive community).
Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti tidak memfokuskan untuk mengurai
apa dan menelisik batasan nasionalisme. Namun, peneliti meminjam defenisi
komunitas terbayangkan untuk digunakan menganalisa dalam wacana ummah atau
khilafah. Teori ―Komunitas Terbayangkan‖ ini peneliti gunakan untuk menganalisis
tulisan-tulisan yang ada di laman hibut-tahrir.or.id, utamanya yang terdapat dalam
rubrik ―Seputar Khilafah‖.
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan kerangka teori analisis wacana untuk mengkaji
website hizbut-tarhrir.or.id. Karena medan kajiannya adalah bahasa, maka diperlukan
pengertian dan sekaligus pembatasan agar memudahkan dalam identifikasi penelitian
ini. Menurut James Paul Gee (2006: 1), fungsi utama bahasa adalah sebagai alat
komunikasi. Setingkat level di atas itu, yakni dalam penggunaannya oleh manusia,
fungsi bahasa memerankan setidaknya dua hal: (a) untuk mendukung performa
aktivitas dan identitas sosial dan (b) untuk mendukung afiliasi manusia dengan
budaya, kelompok sosial, dan institusi. Di samping itu, bahasa selalu berpretensi
bernuansa ‗politik‘. Dalam kaitannya bahasa dan politik, James Paul Gee (2006: 2)
menjelaskan sebagai berikut:
―Politics is part and parcel of using language. But this does not meant
that analysing language is just an infitation to pontificate about our
political view. Far from exonerating us from looking at the empirical
details of language and social action, an interest in politics demands
19
that we engage with such details. Politics, in terms of social relations
where social goods are at stake, has its lifeblood on such details. It is
there that “social goods‟ are created, sustained, distributed,
redistributed. It is there that people are harmed and helped.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa analisis bahasa tidak hanya
memperlihatkan satu pandangan politik. Maka dari itu, diperlukan pemahaman sangat
mendetail untuk bersinggungan suatu wacana karena apa yang sering disebut sebagai
―social goods‖ merupakan hal yang diciptakan, diwacanakan, dan didistribusikan.
Pada titik ini akan diketahui bagaimana satu konstruksi wacana terbentuk. Pada
akhirnya, dengan memperhatikan detail bahasa yang digunakan akan memandu untuk
mengetahui ke arah mana aktivitas sosial, identitas sosial, dan arah politik yang dituju
dibanding sekadar digunakan sebagai bahasa pemberi dan penyampai informasi.
Sebagai jembatan yang menghantarkan tidak sekadar informasi, bahasa—
dengan begitu—tidak terlepas dari diskursus kebenaran (truth). Hal itu dikarenakan
hubungan bahasa dan politik yang dijelaskan di atas secara langsung meliputi
aktivitas sosial, identitas sosial, dan preferensi politik yang secara implisit terkandung
dalam bahasa yang digunakan. James Paul Lee mendefinisikan truth dengan “is a
matter of taking, negotiating, and contesting perspectives created in and trough
language” (Gee, 2006). Dengan demikian, sangat jelas posisi bahasa dalam
mengonstruksi suatu wacana mengingat ‗kebenaran‘ merupakan suatu hal yang sangat
negosiatif.
Kaitannya dengan hal tersebut, bahasa yang ditransformasikan memerlukan
media untuk mentransformasikan gagasan kepada khalayak umum. Terkait dengan hal
tersebut, Aris Badara menjelaskan (2014: 5) surat kabar memiliki kekuatan signifikan
dalam mempengaruhi wacana yang dinarasikan. Surat kabar bisa menentukan sesuatu
20
menjadi seperti apa di hadapan khalayak pembaca. Terkadang, dalam penulisan
terdapat proses marginalisasi yang tidak dirasakan oleh pembaca.
Berger dan kawan-kawan (Badara, 2014: 8) menyatakan bahwa proses
konstruksi realitas dimulai saat objektifikasi mulai dijalankan oleh sang konstruktor
atas suatu kenyataan. Dari konstruksi yang dibangun, maka akan muncul perpsepsi
yang dikemudian diinternalisasikan. Dalam proses internalisasi tersebut, alat paling
vital yang dapat menentukan wacana tidak lain adalah kata-kata suatu konsep atau
bahasa. Keberadaan bahasa tidak hanya berhenti pada sebagai alat untuk
menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atas suatu wacana yang
kemudian diterima oleh masyarakat.
Di samping itu, menurut DeFleur sebagaimana dikutip oleh Badara (2014: 9)
media mempunyai banyak cara untuk membentuk bahasa dan makna. Tidak hanya
berhenti di sana, kekuatan bahasa bahkan digambarkan oleh Badara dengan
―mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; memperluas makna;
dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dan makna baru;
memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa”.
Dalam taraf tertentu, penyebaran wacana yang dilakukan secara masif bisa
mengonstruksi realitas, utamanya dalam hal makna dan citra atas wacana yang
dibangun. Kekuatan bahasa dapat mengonstruksi realitas. Bahkan, bahasa tidak hanya
menjadi cermin atas suatu realitas, akan juga menciptakan realitas baru (Badara,
2014: 9).
Dalam memproduksi wacana, ada tiga hal yang dilakukan oleh para pekerja
media. Menurut Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, tiga hal tersebut antara lain,
21
pertama; pemilihan simbol. Simbol yang dipilih akan membentuk suatu makna
tertentu. Dalam teori semiotika, teks dinilai menyimpan berbagai makna mulai dari
penggunaan kata, istilah, frasa, dan foto yang digunakan dalam publikasi. Kedua,
stategi pembingkaian (framing). Metode ini merupakan suatu strategi menyusun
realitas sehingga melahirkan satu wacana tertentu. Pembingkaian (framing) dalam
media didasarkan pada kepentingan ideologi internal media yang bisa
merepresentasikan media tertentu. Ketiga, kesediaan memberi tempat untuk
memproduksi wacana tertentu. Dengan tempat khusus yang disediakan media yang
membahas masalah tertentu dapat tercermin intensi media tersebut terhadap suatu isu
yang coba dipropagandakan. Sebagai pembentuk makna, interpretasi media terhadap
isu-isu tertentu dapat mempengaruhi bahkan mengubah persepsi orang mengenai
realitas yang dibahas (Badara, 2014).
Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai ketiga tindakan
yang dilakukan media dalam memproduksi suatu wacana, dalam hal ini wacana
khilafah dalam laman hizbut-tahrir.or.id akan dilakukan kajian satu persatu yakni
bagaimana penggunanaan simbol digunakan dalam produksi wacana khilafah,
bagaimana strategi pembingkaian yang dilakukan oleh hizbut-tahrir.or.id, serta
kesediaan tempat yang disiapkan.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisa wacana yang
diperkenalkan oleh Teun A. van Dijk. Model analisis wacana Teun A. van Dijk adalah
―kognisi sosial‖. Teun A. van Dijk melihat struktur sosial, dominasi, dan kelompok
kekuasaan untuk memahami suatu teks (Eriyanto, 2012: 221-224).
22
Untuk memahami suatu teks, Teun A. van Dijk memerinci struktur teks ke
dalam beberapa bagian, yang meliputi tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik,
dan retoris. Adapun bagan model analisis van Dijk (Eriyanto, 2012: 228) adalah
sebagai berikut:
Struktur wacana Hal yang diamati Elemen
Struktur makro Tematik
Tema/topik yang menonjol
Topik
Superstruktur Skematik
Bagaimana bagian dan
urutan teks dibuat
Alur (skema)
Struktur mikro Semantik
Makna yang ditekankan
dalam teks
Latar, detail, maksud,
praanggapan
Struktur mikro Sintaksis
Penggunaan kalimat
(bentuk dan susunan) dari
teks
Bentuk kalimat, koherensi,
kata ganti
Struktur mikro Stilistik
Pilihan kata dalam teks
Leksikon
Struktur mikro Retoris
Bagaimana penekanan
dilakukan, termasuk
caranya
Grafis, metafora
1.6.1 Sumber Data
Dalam penentuan laman objek kajian, yakni hizbut-tahrir.or.id, peneliti
menggunakan sejumlah kriteria, utamanya jika dikaitkan dengan tema yang diangkat
dengan mempertimbangkan sejumlah hal-hal teknis yang tidak dapat dinegasikan
urgensinya. Tumbuhnya media islam berkembang pesat.
Dalam penentuan laman hizbut-tahrir.or.id sebagai objek penelitian, peneliti
mempertimbangan berbagai hal berikut ini. Pertama, media ini merupakan media
yang memiliki perhatian khusus terhadap isu khilafah. Sebagai media yang digunakan
23
oleh Hizbut Tahrir Indonesia, suara mengenai khilafah sangat terdengar nyaring dari
berbagai tulisan yang dipublikasikan di laman terkait. Kedua, kontinuitas merupakan
satu elemen penting dalam mempertimbangkan kajian ini. Dengan kontinuitas yang
dilakukan oleh hizbut-tahrir.or.id dalam mempropagandakan wacana-wacana seputar
khilafah sangat terlihat bagaimana mereka sangat berhasrat dan terlihat jelas
preferensi politik yang mereka tampilkan lewat tulisan-tulisan yang dipublikasikan.
Dalam hal rubrikasi, hizbut-tahrir.or.id terlihat tidak begitu banyak
menampilkan rubrikasi dalam laman tersebut. Dalam tampilan laman antara lain
rubrik ―Kantor Jubir‖, ―Berita‖ yang memiliki turunan rubrik menjadi dua,yakni
―dalam negeri‖ dan ―luar negeri‖, ―Media‖ yang memuat tiga turunan ―Al-Waie‖,
―Al-Islam‖, dan ―HTI Channel‖. Di samping itu terdapat juga rubrik ―Muslimah‖,
―Seputar Syariah‖, dan ―Seputar Khilafah‖. Satu rubrik lain yaitu ―Tentang Hizbut
Tahrir‖.
Adapun tampilan laman hizbut-tahrir.or.id adalah sebagaimana tersaji di
bawah ini:
24
Figure 1 tampilan laman hizbut-tahrir.or.id
Untuk membatasi kajian agar spesifik, peneliti memfokuskan pada rubrik
―Seputar Khilafah‖. Dengan menggunakan kritik analisis wacana dalam menggali
data, penelitian ini menitikberatkan pada kajian khilafah yang terdapat dalam rubrik
―Seputar Khilafah‖ sehingga akan mendapatkan fokus kajian yang spesifik sehingga
tidak melebar ke isu-isu lain. Penelitian ini tidak akan mengalisis konten yang
terdapat di sana selain teks. Video dan gambar tidak akan menjadi bahan kajian
karena hanya akan memperlebar objek kajian. Sementara itu, objek kajian yang
diteliti adalah teks yang ditampilkan seputar khilafah.
1.6.2 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian. Bab
pertama berisi tentang latar belakang, pertanyaan penelitian, kajian pustaka: diskursus
25
khilafah, hizbut tahrir indonesia, kerangka teori, metodologi penelitian, dan cara
pengkoleksian data, serta sistematika kepenulisan.
Bab kedua menitikberatkan pada pembahasan kerangka teori yang membahas
imajinasi ummah atau khilafah dan diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia.
Penjelasan mengenai ini urgen untuk mengetahui genealogi pemikiran yang berjalan
di Indonesia sehingga melahirkan gerakan Islam transnasional semacam Hizbut Tahrir
Indonesia. Penjabaran mengenai ini diharapkan dapat menuntun penelitian kepada
pemahaman yang menyeluruh atas fenomena wacana khilafah dewasa ini.
Bab ketiga merupakan bagian penting dari penelitian ini yang akan
menjabarkan secara gamblang konstruksi wacana mengenai khilafah yang terdapat di
laman hizbut-tahrir.or.id. Di bagian ini akan diperlihatkan bagaimana konstruksi
wacana khilafah dipersepsikan dan diupayakan sedemikian rupa.
Bab keempat merupakan bab yang akan mengalisis konstruksi wacana yang
ada di bab sebelumnya untuk kemudian mengkritisi wacana khilafah dalam konteks
ke-Indonesia-an. Bagian ini sekaligus menjadi tempat untuk memperlihatkan
relevansi wacana khilafah di tengah masyarakat yang pluras, apa saja rintangannya,
dan apakah wacana terkait masih tepat untuk dipropagandakan di tengah percaturan
wacana yang ada. Bab kelima berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan sedikit
catatan atas hasil temuan dalam penelitian ini.
Recommended