View
226
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue merupakan salah penyakit menular yang di sebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan
demam mendadak selama 2-7 hari tanpa penyebab yang jelas disertai dengan
lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik
merah, lebam (echymosis) atau ruam (purpura). kadang-kadang disertai dengan
mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (syok)
(Depkes RI, 2010b).
Menurut Depkes RI (2013), Demam berdarah dengue (DBD) merupakan
penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi dengan salah
satu dari empat virus dengue. Virus tersebut dapat menyerang bayi, anak-anak dan
orang dewasa. Sedangkan menurut Depkes RI (2011), Demam berdarah dengue
adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Virus DBD dan ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk (Aedes aegypti atau Aedes albopictus) yang
terinfeksi virus DBD.
Demam dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri otot,
sendi dan tulang. Penurunan jumlah sel darah putih dan ruam-ruam. Demam berdarah
dengue/dengue hemorraghagic fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai
10
Universitas Sumatera Utara
pembesaran hati dan manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi
kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran
plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS) (Mardiana, 2010).
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Pada tahun 2011 tercatat terjadi 65.432 kasus dengan 595 kematian di
Indonesia dengan angka Case Fatality Rate (CFR) DBD sebesar 0,91% dan
IR27,56/100.000 penduduk dengan daerah terjangkit mencapai lebih dari 78%
kabupaten/kota. Tiga provinsi dengan kasus DBD tertinggi adalah Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah (Depkes RI, 2012a).
2.1.2 Etiologi
Penyakit demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue dari genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes yang terinfeksi virus dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD),
Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk
dalam kelompok B Arthropod virus Arbovirosis yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4 (Depkes RI, 2010b).
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang di lakukan sejak tahun 1975 di
beberapa rumah sakit menunjukkan ke empat serotipe di temukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Depkes RI, 2012b)
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi
Secara umum, kelainan yang terjadi pada penyakit DBD akibat adanya
kebocoran plasma yang disebabkan oleh Virus dengue. Hal ini disebabkan oleh Virus
dengue yang dapat menyebabkan kerusakan pada kapiler sehingga dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan penurunan
volume plasma. Akibatnya, plasma akan keluar ke ekstravaskular (ruang interstisial
dan rongga serosa). Sedangkan pada intravaskular akan terjadi peningkatan
konsentrasi plasma (hematrokrit/HT meningkat, trombosit menurun, dan leukosit
menurun. Selain itu, akibat virus dengue menginfeksi endotel dan menyebabkan
gangguan fungsi dari endotel maka pembuluh darah tidak berfungsi dengan baik dan
mengakibatkan kebocoran darah. Apabila kebocoran ini terjadi pada pembuluh darah
kulit akan tampak bercak-cak kemerahan pada kulit yang disebut petekiae. Sedangkan
bila terjadi kebocoran pada saluran pencernaan akan menyebabkan perdarahan yang
terus menerus (Soedarmo, 2010)
Virus dengue masuk kedalam tubuh inang kemudian mencapai sel target yaitu
makrofag. Sebelum mencapai sel target maka respon imun non-spesifik dan spesifik
tubuh akan berusaha menghalanginya. Aktivitas komplemen pada infeksi virus
dengue diketahui meningkat seperti C3a dan C5a mediator-mediator ini menyebabkan
terjadinya kenaikan permeabilitas kapiler celah endotel melebar lagi. Akibat kejadian
ini maka terjadi ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke extravaskuler dan
menyebabkan terjadinya tanda kebocoran plasma seperti hemokonsentrasi,
hipoproteinemia, efusi pleura, asites, penebalan dinding vesica fellea dan syok
Universitas Sumatera Utara
hipovolemik. Kenaikan permeabilitas kapiler ini berimbas pada terjadinya
hemokonsentrasi, tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya merupakan salah satu
patofisiologi yang terjadi pada DBD (Depkes RI, 2010b).
2.1.4 Gambaran Klinis
Menurut Sudjana (2010), gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase
yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.
a. Pada fase febris, biasanya demam mendadak tinggi terus menerus berlangsung
selama 2-7 hari (380C-400C), naik turun (demam bifosik) dan tidak mempan obat
antipirektik. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 400
b. Fase kritis, Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala kliniks
menghilang setelah demam turun sertai keluarnya keringat, perubahan pada
denyut nadi dan tekanan darah, akan teraba dingin di sertai dengan kongesti kulit.
Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari
C disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva,
anoreksia, mual dan muntah dapat terjadi kejang demam. Akhir fase demam
merupakan fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada saat fase tersebut
sebagai awal kejadian syok, biasanya pada hari ke 3, 4, 5 adalah fase kritis yang
harus dicermati pada hari ke 6 dapat terjadi syok kemungkinan dapat terjadi
perdarahan dan kadar trombosit sangat rendah (<20.000/ul). Pada fase ini dapat
pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun
jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
Universitas Sumatera Utara
perembasan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Pada kasus berat,
keadaan umum pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun antara 3-7
terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba dingin dan lembab terutama pada
ujung jari kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat,
lemah kecil sampai tidak teraba dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh
disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang
biasanya berlangsung selama 24–48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh
lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit dibawah 100.000/mm3
c. Fase pemulihan,bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48–72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik
stabil dan dieresis membaik.
(trombositopeni). Pada saat akan terjadi syok pasien mengeluh nyeri perut.
2.1.5 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), klasifikasi penyakit Demam
Berdarah Dengue yaitu :
a. Dengue tanpa tanda bahaya dan dengue dengan tanda bahaya (Dengue Without
Warning Signs). Kriteria dengue tanpa tanda bahaya dan dengue dengan tanda
bahaya :
1) Bertempat tinggal di atau bepergian ke daerah endemik dengue.
2) Demam disertai 2 dari hal berikut : mual, muntah, ruam, sakit dan nyeri, uji
tournikuet positif, lekopenia, adanya tanda bahaya.
Universitas Sumatera Utara
3) Tanda bahaya adalah nyeri perut atau kelembutannya, muntah
berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan mukosa, letergis,
lemah, pembesaran hati >2cm, kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan
jumlah trombosit yang cepat.
4) Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma
tidak jelas)
b. Dengue Berat (Severe Dengue). Kriteria dengue berat : kebocoran plasma berat,
yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan distress
pernafasan. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi gangguan organ berat,
hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran, gangguan jantung dan organ
lain). Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji
tourniquet.
2.1.6 Siklus Penularan Demam Berdarah Dengue
Siklus hidup dan prilaku nyamuk Aedes aegypti :
Telur Jentik Kepompong Nyamuk
Perkembangan dari telur sampai menjadi nyamuk kurang lebih dari 9-10 hari :
1. Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir.
2. Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran ± 0,80 mm
3. Telur ini ditempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan
4. Telur itu akan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang dari 2 hari
setelah terendam air
Universitas Sumatera Utara
5. Jentik kecil yang menetas dari telur itu akan tumbuh menjadi besar yang
panjangnya 0,5-1 cm
6. Jentik Aedes aegyptiakan selalu bergerak aktif dalam air, geraknya berulang-
ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas (mengambil udara)
kemudian turun, kembali kebawah dan seterusnya.
7. Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air
biasanya berada di sekitar dinding tempat penampungan air.
8. Setelah 6-8 hari jentik itu akan berkembang/berubah menjadi kepompong
9. Kepompong berbentuk koma
10. Gerakannya lambat
11. Sering berada dipermukaan air
12. Setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk dewasa.
Nyamuk Aedes aegypti menyenangi area gelap dan benda-benda berwarna
hitam atau merah. Nyamuk ini banyak ditemukan di bawah bangku, meja, kamar
yang gelap, atau dibalik baju-baju yang di gantung. Nyamuk ini menggigit pada siang
hari (pukul 09-10) dan sore hari (pukul 16.00-17.00), demam berdarah sering
menyerang anak-anak karena anak-anak cenderung duduk didalam kelas selama pagi
sampai siang hari. (Anggraeni, 2010)
Menurut Sitio (2008), Penularan DBD antara lain dapat terjadi di semua tempat
yang terdapat nyamuk penularnya, tempat yang potensial untuk penularan penyakit
DBD antara lain :
a. Wilayah yang banyak kasus DBD atau rawan endemis DBD.
Universitas Sumatera Utara
b. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang, orang dating
dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe
virus dengue cukup besar seperti sekolah, pasar, hotel, puskesmas, rumah sakit
dan sebagainya.
c. Pemukiman baru di pinggir kota, karena dilokasi ini, penduduk umumnya berasal
dari berbagai wilayah, maka memungkinkan diantaranya terdapat penderita atau
karier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing
lokasi asal.
2.1.7 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.7.1 Distribusi Penyakit DBD
1. Distribusi Penyakit DBD Berdasarkan Variabel Umur dan Jenis Kelamin
Kasus DBD pada jenis kelamin selama ini tidak terlihat kerentanan pada
kelompok mana, berdasarkan data distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada
tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah
penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan
berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD
untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin, dan data
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun
2010 menyebutkan bahwa penyakit DBD termasuk kedalam sepluh penyakit terbesar
pada pasien rawat inap rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus pada laki-laki
30.232 kasus dan 28.883 kasus pada perempuan (Anonim, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan distribusi golongan umur pada kasus DBD di Indonesia dari tahun
1993 sampai tahun 2009 terjadi pergeseran, dimana pada tahun 1993 sampai tahun
1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur dibawah 15 tahun.
Akan tetapi, mulai dari tahun 1999 sampai tahun 2009 kelompok umur terbesar kasus
DBD cenderung pada kelompok umur diatas 15 tahun merupakan kelompok umur
dengan kasus DBD terbanyak di Indonesia. Sedangkan, penyebab kematian dengan
jumlah yang signifikan pada kasus DBD terdapat pada kelompok umur dibawah 15
tahun. Namun saat ini kasus DBD telah menyerang semua kelompok umur, bahkan
lebih banyak pada usia produktif (Anonim, 2013a).
2. Distribusi Penyakit DBD Berdasarkan Tempat
Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat dengan
ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan
suhu yang rendah siklus perkembangan Aedes aegypti tidak sempurna. Daerah yang
terjangkit demam berdarah pada umumnya adalah kota atau wilayah yang padat
penduduknya. Hal ini disebabkan dikota atau wilayah yang padat penduduk rumah-
rumahnya saling berdekatan, sehingga lebih memungkinkan penularan penyakit
demam berdarah mengingat jarak terbang Aedes aegypti 100 m. Meningkatnya
jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin
baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya
vektor nyamuk hampir diseluruh pelosok tanah air serta adanya tipe virus yang
bersikulasi sepanjang tahun (Depkes RI, 2010a)
Universitas Sumatera Utara
3. Distribusi Penyakit DBD Berdasarkan Waktu
Musim penularan demam berdarah pada umumnya terjadi pada awal musim
hujan (permulaan tahun dan akhir tahun). Hal ini dikarenakan pada musim hujan
vektor penyakit demam berdarah populasinya meningkat dengan bertambah
banyaknya sarang nyamuk diluar rumah sebagai akibat sanitasi lingkungan yang
kurang bersih, sedang pada musim kemarau Aedes aegypti bersarang di bejana yang
selalu terisi air seperti bak mandi, tempayan, drum, dan tampungan air (Depkes RI,
2010b)
2.1.7.2 Determinan Penyakit DBD
Menurut Budiarto (2003), Pada prinsipnya kejadian penyakit yang
digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan hubungan tiga
komponen penyakit yaitu pejamu (host), penyebab (agent), lingkungan
(environment).
1. Agent
Agent penyebab penyakit demam berdarah dengue adalah virus Dengue yang
termasuk kelompok arthropoda borne virus (Arboviruses). Anggota dari genus
Flavivirus, famili flaviviridae yang di tularkan oleh nyamuk Ae.aegypti dan juga
nyamuk Ae.albopictus yang merupakan vektor infeksi DBD.
2. Host (Penjamu)
Penjamu adalah manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agent
dalam penelitian ini yang diteliti dari faktor penjamu adalah (umur, pendidikan,
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan, motivasi, pengetahuan dan sikap) dalam peran serta masyarakat terhadap
kewaspadaan dini pencegahan penyakit DBD.
3. Environment
Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian agent
maupun penjamu, tetapi mampu menginteraksikan agent penjamu. Dalam penyebaran
penyakit DBD faktor lingkungan seperti tempat penampungan air sebagai perindukan
nyamuk Aedes aegypti, ketinggihan tempat suatu daerah mempengaruhi
perkembangbiakan nyamuk dan virus, curah hujan serta kebersihan lingkungan.
2.1.8 Tata Laksana Kasus Demam Berdarah Dengue
Dalam penatalaksanaan kasus demam berdarah dengue dikutip oleh WHO
(2004) menyatakan bahwa dasar pengobatan demam berdarah Dengue adalah
pemberian cairan ganti secara adekuat. Penderita DBD tanpa renjatan tersebut dapat
di beri minum banyak 1,5-2 liter perhari, berupa air putih, teh manis, sirup, susu,
oralit. Terhadap penderita DBD yang tidak disertai dengan renjatan tersebut dapat
diberikan dengan penurun panas. Karena besarnya risiko bahaya yang mengancam,
setiap orang yang diduga menderita DBD harus sesegera mungkin di bawa ke rumah
sakit.
Perawatan di rumah sakit diperlukan untuk pemantauan kemungkinan
terjadinya komplikasiyaitu perdarahan dan renjatan (shock). Pada orang dewasa
kemungkinan ini sangat kecil dan banyak terjadi pada anak-anak. Penderita biasanya
mengalami demam 2-7 hari diikuti fase kritis 2-3 hari. Pada fase kritis ini, suhu
Universitas Sumatera Utara
menurun tetapi risiko terjadinya penyakit justru meningkat bahkan bila tidak diatasi
dengan baik dapat menimbulkan kematian.
2.1.9 Pencegahan Penyakit DBD
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan
primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier (Depkes RI, 2012b).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit. Secara garis besar,
upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan khusus. Surveilans untuk
nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi, kepadatan
populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan
insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk
pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan
penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk
memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.
Pengendalian vektor, surveilans kasus, dan gerakan pemberantasan sarang nyamuk
merupakan pencegahan primer.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini murupakan upaya manusia untuk mencegah orang
yang sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan
komplikasi dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan skunder dapat dilakukan
Universitas Sumatera Utara
dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan pengadaan pengobatan yang cepat
dan tepat.
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh
petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara :
1. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan
pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat
penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke
dokter atau unit pelayanan kesehatan.
2. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD
tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan
segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi
penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya
penularan lebih lanjut.
3. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan
kejadianluar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten,
disertai dengan cara penanggulangan seperlunya serta diagnosis dan diagnosis
laboratorium.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan
dengan memaksimalkan organ yang cacat. Pengobatan penderita DBD pada dasarnya
Universitas Sumatera Utara
bersifat simptomatik dan suportifyaitu dukungan pada penderita serta mendirikan
pusat-pusat rehabilitasi medik.
2.2 Virus Dengue
Virus tersebut menyebabkan demam dengue yang bersifat asimptomatik.
Infeksi oleh salah satu jenis virus akan menghasilkan imunitas atau kekebalan yang
bersifat seumur hidup terhadap jenis virus dengue yang sama, namun tidak memiliki
perlindungan silang (cross protection) yang bersifat jangka panjang untuk melawan
ketiga jenis virus dengue lainnya. Perlindungan silang bersifat sementara yaitu hanya
bertahan selama ≤2 bulan. Infeksi oleh jenis serotip lainnya akan meningkatkan risiko
berkembangnya dengue yang lebih berat (World Health Organization-Dengue and
Severe Dengue Fact Sheet, 2012)
Genotip yang berbeda telah di Identifikasi dari masing–masing serotip,
menyorotin luas variabilitas genetik dari serotip virus dengue. Diantara semua
genotip tersebut, genotip dari virus DEN-2, DEN-3 adalah yang paling sering
berhubungan dengan dengue berat mengiringi infeksi dengue skunder. (World Health
Organization-The Virus, 2012)
2.3 Vektor Penular Demam Berdarah Dengue
Vektor demam berdarah dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut
merupakan nyamuk pemukiman, stadium pradewasanya mempunyai habitat
perkembangbiakan di tempat penampungan air/wadah yang berada di permukiman
Universitas Sumatera Utara
dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Aedes aegypti lebih banyak ditemukan
berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain bak mandi,
ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di
dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan,
sedangkan Aedes albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di
luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya
terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga ditemukan di tempat
penampungan buatan di dalam dan di luar rumah. Spesies nyamuk tersebut
mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia, di
samping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah
sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah
beberapa kali (Depkes RI, 2010b).
2.3.1 Penyebaran Nyamuk Aedes Aegypti
Menurut WHO (2004), Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan
subtropis Asia Tenggara dan terutama di sebagian besar di wilayah perkotaan.
Penyebaran Aedes aegypti di pedesaan akhir-akhir ini relatif sering terjadi yang
dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air pedesaan dan perbaikan sistem
transportasi. Di wilayah yang agak kering seperti India, Aedes aegypti merupakan
vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan
kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya
melebihi 200 cm per tahun, populasi Aedes aegypti ternyata lebih stabil dan
ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota dan daerah pedesaan. Karena
Universitas Sumatera Utara
kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar dan Thailand,
kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota dari pada di daerah
perkotaan.
Ketinggian merupakam faktor yang penting untuk membatasi penyebaran
nyamuk Aedes aegypti. Di India, Aedes aegypti dapat ditemukan pada ketinggian
yang berkisar dari nol meter sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian
yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan populasi nyamuk
sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (dia atas 500 meter) memiliki
populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara, ketinggian 1000-
1500 meter di atas permukaan laut tampaknya merupakan batas bagi penyebaran
Aedes aegypti. Di bagian lain dunia, nyamuk spesies ini dapat ditemukan di wilayah
yang jauh lebih tinggi, misalnya di Kolombia sampai mencapai 2200 meter.
2.3.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti
Menurut World Health Organization, South East Asia Region (2010), Nyamuk
Aedes aegypti memiliki fase kehidupan yang cukup kompleks dengan perubahan
bentuk, fungsi, dan Habitat. Fase kehidupan nyamuk terdiri dari empat fase meliputi :
fase telur, larva, pupa, dan dewasa. Fase kehidupan nyamuk tersebut terbagi dua,
yaitu fase aquatic atau didalam air yaitu saat fase telur larva dan pupa dan fase
terrestial atau di darat yaitu saat fase dewasa.
Nyamuk Aedes aegypti membutuhkan air yang jernih untuk tempat
perkembangbiakannya dan lebih suka tempat penampungan air yang jernih untuk
tempat perkembangbiakannya dan lebih suka tempat penampungan air yang terdapat
Universitas Sumatera Utara
didalam rumah dan digunakan dalam aktifitas rumah tangga sehingga dapat
meningkatkan keberadaan nyamuk tersebut dirumah (Kholedi, et al, 2012).
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu : telur -
jentik - kepompong - nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam
air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah
telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium
kepompong berlangsung antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk
dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes
RI, 2010b).
2.3.3 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
a. Telur
Nyamuk Aedes aegypti betina meletakkan telurnya sebanyak 50-120 telur pada
air yang mengandung materi organik didalam konteiner yang terbuka dan permukaan
konteiner gelap serta berada di tempat yang teduh dan tidak terkena matahari (World
Health Organization, South East Asia Region, 2010; Centers for Disease Control and
Prevention, 2012). Telur di letakkan satu per satu di atas permukaan air yang jernih
atau menempel pada dinding tempat penampungan air (World Health Organization-
South East Asia Region, 2010).
Kebanyakan nyamuk Aedes aegypti betina meletakkan telur di beberapa tempat
selama fase gonotropik. Perkembangan embrio biasanya berlangsung selama 48 jam
pada lingkungan yang hangat dan lembab. Ketika perkembangan embrio selesai, telur
dapat bertahan dalam periode pengawetan yang lama (lebih dari satu tahun). Telur
Universitas Sumatera Utara
akan menetas menjadi larva pada konteiner yang menggenang, tetapi tidak semua
telur menetas pada waktu yang sama. Kapasitas telur nyamuk untuk kondisi iklim
(World Health Organization-South East Asia Region, 2010; American Mosquito
Control Association, 2011).
b. Jentik (Larva)
Menurut Depkes RI (2010b), ada 4 tingkat (instar) jentik sesuai dengan
pertumbuhan larva tersebut, yaitu :
1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
2) Instar II : 2,5-3,8 mm
3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm
Lamanya perkembangan larva akan bergantung pada suhu, ketersediaan
makanan, kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi optimum waktu yang
dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa akan
berlangsung sedikitnya selama tujuh hari termasuk dua hari untuk masa menjadi
kepompong. Akan tetapi pada suhu rendah mungkin akan membutuhkan beberapa
minggu untuk kemunculan nyamuk dewasa.
c. Survei Jentik (Pemeriksaan Jentik)
Survei Jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan
Nyamuk Aedes Aegypti (dengan mata telanjang) untuk mengetahui adanya
tidaknya jentik.
Universitas Sumatera Utara
2. Jika memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar seperti bak
mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan air lainnya, jika pandangan
pertama tidak menemukan jentik maka harus ditunggu selama 1/2
3. Jika memeriksa tempat penampungan air yang berukuran kecil seperti vas bunga,
pot tanaman, dan botol yang airnya keruh, maka airnya perlu di pindahkan
ketempat lain.
-1 menit untuk
memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
4. Ketika memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh, maka di
gunakan senter (Merdawati, 2010).
d. Kepompong (Pupa)
Fase Pupa merupakan fase istirahat, dimana tidak ada pemberian makanan,
tetapi pupa sering berpindah-pindah tempat merespon perubahan cahaya dan bergerak
dengan memutar ekornya ke arah bawah atau area yang terlindungi. Pupa bergerak
dengan menggerakkan abdomen dan sirip kaudal yang mirip dayung.
Kepompong berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun lebih
ramping dibanding jentiknya. Kepompong berukuran lebih kecil jika dibandingkan
dengan rata-rata kepompong nyamuk lain. Kepompong merupakan tahapan yang
tidak memerlukan makan namun tidak seperti sebagian besar insekta, kepompong
nyamuk berenang sangat aktif dapat berenang dengan mudah saat terganggu. Tahap
kepompong pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-3 hari. Saat
nyamuk akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang kepompong,
Universitas Sumatera Utara
kepompong akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air
untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa (Depkes RI, 2010b).
e. Nyamuk Dewasa
Nyamuk dewasa setelah muncul dari kepompong akan mencari pasangan
untuk kawin untuk mengadakan perkawinan. Setelah kawin, nyamuk siap mencari
darah untuk perkembangan telur demi keturunannya. Nyamuk jantan setelah kawin
akan istirahat, dia tidak mengisap darah, tetapi cairan tumbuhan, sedangkan nyamuk
betina menggigit dan mengisap darah manusia. Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil
jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam
dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki (Depkes RI, 2010b).
2.3.4 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti
1. Perilaku Makan
Nyamuk Aedes aegypti mayoritas bersifat antropofilik, yaitu senang hidup di
dalam rumah, meskipun nyamuk tersebut dapat memperoleh makanan dari hewan
berdarah panas (World Health Organization, South East Asia Region, 2010).
Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit
biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul
09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Nyamuk Aedes aegypti tidak menggigit pada malam
hari, tetapi nyamuk tersebut dapat menggigit di malam hari pada ruangan yang
terang. Aktivitas puncak nyamuk dalam menggigit bervariasi menurut lokasi dan
musim. Tidak seperti nyamuk lain Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap
darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi
Universitas Sumatera Utara
lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai
penular penyakit (Depkes RI, 2010b).
2. Perilaku Istirahat
Setelah mengisap darah, nyamuk Aedes aegypti ini akan hinggap dan
(beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat
perkembangbiakannya. Lebih dari 90% populasi nyamuk Aedes aegypti beristirahat
biasanya di tempat-tempat yang agak gelap dan lembab, tempat yang terpencil di
dalam rumah atau bangunan, termasuk kamar, toilet, kamar mandi dan dapur. Tempat
di dalam rumah yang sering di jadikan tempat istirahat yaitu di bawah kursi, tempat-
tempat yang menggantung seperti : pakaian dan gorden, serta di dinding. Sebagaian
kecil sering pula di temukan di luar rumah seperti : pada tanaman, atau ditempat
terlindungi. Di tempat-tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya
(World Health Organization, South East Asia Region, 2010).
Nyamuk Aedes aegypti memiliki jarak terbang rata-rata 400 meter, dan dapat
terbang lebih jauh misalnya karena angin atau terbawa kendaraan (World Health
Organization, 2012). Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki masa hidup selama 3-4
minggu. Selama musim hujan, dimana kelangsungan hidup lebih lama, risiko
transmisi virus lebih besar (World Health Organization, South East Asia Region,
2010; Central for Disease Control and Prevention, 2012).
3. Tempat Perkembangbiakan
Depkes RI (2010b), menyatakan tempat perkembangbiakan utama aedes
aegypti ialah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung
Universitas Sumatera Utara
disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum,
biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat
berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti : drum,
tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti (Non TPA)
seperti : tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang
bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
c. Tempat penampungan air alamiah seperti : lubang pohon, lubang batu, pelepah
daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan
meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas
permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2
hari setelah telur terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat
mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air)
dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2ºC sampai 42ºC, dan bila tempat-tempat
tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas
lebih cepat.
Universitas Sumatera Utara
4. Jarak Terbang
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan
selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang
nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak, dengan
demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk
mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan maka jarak terbang
nyamuk menjadi terbatas.
Aktifitas dan jarak terbang nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu : faktor
eksternal dan faktor internal. Eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk seperti
kecepatan angin, temperatur, kelembaban dan cahaya. Adapun faktor internal
meliputi suhu tubuh nyamuk, keadaan energi dan perkembangan otot nyamuk.
Meskipun Aedes aeegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh, karena tiga
macam kebutuhannya yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan
tempat istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes
aegypti bersifat lebih menyukai aktif di dalam rumah. Apabila ditemukan nyamuk
dewasa pada jarak terbang mencapai 2 km dari tempat perindukannya, hal tersebut
disebabkan oleh pengaruh angin atau terbawa alat transportasi (Sitio, 2008).
2.4 Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), beberapa metode pengendalian
vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di
tingkat pusat dan di daerah yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Manajemen Lingkungan
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor
sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan
berhasil dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang
kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan. Sejarah
keberhasilan manajemen lingkungan telah ditunjukkan oleh Kuba dan Panama serta
Kota Purwokerto dalam pengendalian sumber nyamuk.
2. Pengendalian Biologis
Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi
untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan
terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari kelompok
bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda).
a. Predator
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan untuk
pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan yang paling mudah
didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di
Indonesia ada beberapa ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa digunakan
adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti
efektif dan telah digunakan di kota Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah
ikan cupang.
Universitas Sumatera Utara
Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan
larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops, Jenis ini sebenarnya jenis
Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini mampu makan larva vektor DBD.
Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain Mesocyclops aspericornis
diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar Penelitian Vektor dan
Reservoir, Salatiga.
b. Bakteri
Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk
larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vector adalah kelompok bakteri. Dua
spesies bakteri yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva
adalah Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS).
Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam
saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh
negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus
dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh
pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora
bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi.
3. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian
vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus
merugikan. Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu
Universitas Sumatera Utara
dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif
terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida
dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor.
4. Perlindungan Individu
Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat dilakukan
secara individu dengan menggunakan repellent, menggunakan pakaian yang
mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana panjang bisa
mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun sementara. Untuk mengurangi kontak
dengan nyamuk di dalam keluarga bisa memasang kelambu pada waktu tidur dan
kasa anti nyamuk. Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent:
obat nyamuk bakar, vaporize mats (VP), dan repellent oles anti nyamuk bisa
digunakan oleh individu. Pada 10 tahun terakhir dikembangkan kelambu
berinsektisida atau dikenal sebagai Insecticide Treated Nets (ITNs) dan tirai
berinsektisida yang mampu melindungi gigitan nyamuk.
5. Peraturan Perundangan
Peraturan perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan
melindungi masyarakat dari risiko penulan DB/DBD. Seperi telah penulis paparkan
diatas bahwa DBD termasuk salah satu penyakit yang berbasis lingkungan, sehingga
pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan oleh sektor kesehatan. Seluruh
negara mempunyai undang-undang tentang pengawasan penyakit yang berpotensi
wabah seperti DBD dengan memberikan kewenangan kepada petugas kesehatan
untuk mengambil tindakan atau kebijakan untuk mengendalikannya. Dengan adanya
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundangan baik undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan
daerah, maka pemerintah, dunia usaha dan masyarakat wajib memelihara dan patuh.
Salah satu Negara yang mempunyai undang-undang dan peraturan tentang vektor
DBD adalah Singapura, yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga
lingkungannya untuk bebas dari investasi larva Aedesaegypti.
6. Peran Serta Masyarakat
Pengendalian vektor dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat untuk
berperan serta meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan
kesadaran kemauan dan kemampuan serta pengembangan lingkungan sehat
(Kemenkes RI, 2010). Peran serta masyarakat merupakan proses panjang dan
memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan
motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara
berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak
masyarakat mau dan mampu melakukan 3M+
Mengingat kenyataan tersebut, maka penyuluhan tentang vektor dan metode
pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara berkesinambungan
karena vektor DBD berbasis lingkungan, maka penggerakan masyarakat tidak
atau PSN dilingkungan mereka. Istilah
tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program
pengendalian DBD, namun karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat
pendidikan, pemahaman dan latar belakangnya sehingga belum mampu mandiri
dalam pelaksanaannya.
Universitas Sumatera Utara
mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa peran dari Pemerintah daerah dan lintas
sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dan lain lain.
Dalam penelitian ini didukung oleh peran masyarakat yang lebih banyak
berperan antara lain PKK baik tingkat RT maupun RW yang termasuk di dalam
Kelurahan Puskesmas Desa Binjai serta kader kesehatannya. Mereka menyampaikan
informasi termasuk DBD dan cara pencegahannya melalui pertemuan PKK yang
dilaksanakan setiap bulan.
Dalam Peningkatan Peran masyarakat seperti itu adalah Ketua RT atau RW
lebih banyak dilakukan penyuluhan untuk kebersihan lingkungan yang secara umum
seperti Kebersihan Taman, pinggir jalan dan selokan, jadi tidak fokus pada masalah
kesehatan dalam pencegahan DBD dilaksanakan kegiatan 3M+
menghindari gigitan
Nyamuk di Lingkungan tempat tinggal/rumah tangga maupun pada institusi
pemerintah dan swasta misalnya : perkantoran, sekolah, pesantren, dan tempat-tempat
umum. Seharusnya kegiatan ini dilaksanakan secara rutin dan terprogram baik secara
tersendiri atau terintegrasi dengan program penyuluhan kesehatan lainnya di
Puskesmas, maupun di Dinkes kabupaten/kota setempat.
2.5 Faktor-faktor yang Memengaruhi Peran Serta Masyarakat
2.5.1 Pengetahuan
Menurut Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010b), Pengetahuan
merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indera yang dimilikinya (mata, telinga, dan sebagainya). Pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda. Secara
garis besar dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yakni :
a. Tahu (Know); tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah
ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
b. Memahami (Comprehension); memahami diartikan sebagai suatu objek bukan
hanya sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan
tetapi orang tersebut harus dapat mengintrepretasikan secara benar objek yang
diketahuinya tersebut.
c. Aplikasi (Application); penerapan diartikan apabila orang yang telah memahami
objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.
d. Analisis (Analysis); analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan
dan atau memisahkan kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen
yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.
e. Sintesis (Synthesis); sintesis menunjuk kemampuan seseorang untuk merangkum
dan meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki atau kemampuan untuk meringkas dengan kata-kata
dan kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dan membuat
kesimpulan.
f. Evaluasi (Evaluation); evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan
Universitas Sumatera Utara
sendirinya didasarkan pada suatu critera yang ditentukan sendiri atau norma-
norma yang berlaku dimasyarakat.
2.5.2 Motivasi
Menurut Donald dikutip oleh Sardiman (2011:73), Motif dalam bahasa
Inggrisnya motive berasal dari kata motion yang berarti gerak atau sesuatu yang
bergerak. Kata motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di
dalam subjek untuk melakukan aktifitas tertentu untuk mencapai suatu tujuan.
Berawal dari kata “motif “ itu maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak
yang telah menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk
mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak.
Menurut Donald dikutip oleh Sardiman (2011:74), Motivasi adalah perubahan
energi dalam seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului
dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian tersebut, mengandung tiga
elemen penting tentang motivasi, yaitu :
1) Motivasi mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu
manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi
dalam sistem “neurophysiological” yang ada pada organisme manusia. Karena
menyangkut perubahan energi manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam
diri manusia), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia. 2).
Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/feeling, afeksi seseorang. Motivasi
banyak mengandung hal-hal yang relevan dengan persoalan kejiwaan dan emosi
Universitas Sumatera Utara
yang dapat menemukan tingkah laku manusia. 3). Motivasi akan dirangsang
karena adanya tujuan. Jadi motivasi merupakan respons dari suatu aksi, yakni
tujuan. Motivasi sering muncul dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena
terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan.
Menurut Wood et all, 1998 dalam Notoatmodjo (2005), ada dua aliran teori
motivasi yaitu motivasi yang dikaji dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan atau
contens theory dan ada yang mengkaji dengan mempelajari prosesnya atau disebut
sebagai process theory. Teori-teori pada Content theory mengajukan cara untuk
menganalisis kebutuhan yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku tertentu,
sedangkan process theory berusaha memahami proses berfikir yang ada yang dapat
mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu.
Salah satu teori motivasi yang terkenal adalah teori kebutuhan hierarki dari
Maslow, yang membagi dua kategori besar, yaitu kebutuhan tingkat dasar dan tingkat
tinggi. Secara lebih rinci Maslow membagi kebutuhan tersebut menjadi lima
tingkatan, yaitu : 1). Kebutuhan fisiologis seperti misalnya kebutuhan untuk makan
dan minum, tidur dan seks, 2). Kebutuhan akan rasa aman, dalam hal ini setiap
manusia selalu ingin mendapatkan lingkungan hidup yang aman, kedua kebutuhan ini
disebut sebagai kebutuhan primer, 3). Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai,
kebutuhan ini mencerminkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, dimana dalam hal
ini setiap manusia selalu ingin hidup berkelompok agar dapat mencintai dan dicintai,
4). Kebutuhan untuk dihargai, yaitu kebutuhan untuk diakui oleh lingkungannya, 5).
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling tinggi
dan merupakan kebutuhan yang paling sulit untuk dipenuhi.
Berdasarkan sumber dorongan terhadap perilaku, motivasi dapat dibedakan
menjadi dua 1). Motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal
dari dalam kebutuhan sehingga manusia menjadi puas. 2). Motivasi ekstrinsik.
Motivasi ektrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar yang merupakan pengaruh
dari orang lain atau lingkungan.
2.5.3 Sikap
Menurut Berkowitz (1972) dalam Azwar (2010), sikap seseorang terhadap
suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favourable), maupun
perasaan tidak mendukung atau memihak (unfavourable) pada obyek tersebut. Secara
lebih spesifik Thurstone memformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau
negatif terhadap suatu obyek psikologis.
Sedangkan Edgley (1980) yang dikutip Azwar (2010), mendefinisikan sikap
sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara sederhana, sikap adalah respons
terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan. Hal yang sama juga dikemukakan
oleh Notoatmodjo (2010) bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktifitas, akan tetapi merupakan “predisposisi” bagi suatu tindakan atau perilaku
tertentu.
Dari bahan-bahan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak
dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu. Notoatmodjo
Universitas Sumatera Utara
(2010) menggambarkan terjadinya sikap dan reaksi tingkah laku manusia melalui
suatu rangkaian proses tertentu, seperti terlihat pada skema berikut :
Gambar 2.1 Skema Proses terjadinya Sikap dan Reaksi Tingkah Laku
Dari skema diatas dapat dijelaskan bahwa dalam diri individu sebenarnya
terdapat suatu dorongan yang didasarkan pada kebutuhan, perasaan, perhatian dan
kemampuan untuk mengambil suatu keputusan pada suatu saat terhadap suatu
perubahan atau stimulus. Proses dalam tahapan ini sesungguhnya masih bersifat
tertutup, tetapi sudah merupakan keadaan yang disebut sikap. Bila terus menerus
diarahkan, maka pada suatu saat akan meningkatkan menjadi lebih terbuka dan
berwujud pada suatu reaksi yang berupa perilaku.
2.6 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Kesehatan
Berdasarkan konsep teori Lawrence Green dan Kreuter (2005) dikutip dari
Notoatmodjo (2010), hubungan antara status kesehatan dan perilaku dapat
disimpulkan bahwa perilaku dalam memelihara kesehatannya dipengaruhi oleh
predisposing factor, factor enabling dan factor reinforcing. Perilaku ditentukan atau
terbentuk dari 3 faktor yaitu :
Rangsangan stimulus
Proses stimulus
Reaksi tingkah laku
(Terbuka)
Sikap (tertutup)
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor predisposisi (predisposing factor) yaitu merupakan faktor yang
mendahului terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku.
Faktor predisposisi mencakup antara lain : pengetahuan, sikap (suatu
kecenderungan jiwa dan perasaan yang relatif tetap terhadap kategori tertentu dari
objek, orang, atau situasi), keyakinan, nilai, dan persepsi. Faktor predisposisi
lebih cenderung merupakan bawaan pribadi atau kelompok yang mendukung atau
menghambat perilaku sehat. Faktor-faktor predisposisi yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, motivasi, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, kebiasaan,
tradisi, dan lain-lain.
2. Faktor pendukung/pemungkin (enabling factor) yaitu faktor yang terwujud dalam
lingkungan fisik tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-
sarana keselamatan kerja.
Misalnya : Puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, Jamban,
ketersediaannya APD, pelatihan, dan sebagainya.
3. Faktor pendorong/penguat (reinforcing factor) yaitu yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok
referensi dari prilaku masyarakat. Faktor penyerta perilaku yang berperan secara
menetap atau pun tidak menetap.
Misalnya : Faktor penguat/pendorong keluarga teman sebaya, guru, majikan,
petugas kesehatan, penyediaan kesehatan, ketua masyarakat, pembuat keputusan.
Apabila dihubungkan dengan status kesehatan, maka perilaku kesehatan dalam
penelitian ini adalah peran serta masyarakat (pengetahuan, sikap, dan motivasi)
Universitas Sumatera Utara
memengaruhi status kesehatan terkait dengan pencegahan DBD. Keberhasilan
program penanggulangan DBD tidak terlepas dari peran serta masyarakat. Peran serta
masyarakat masyarakat merupakan kunci awal dari menurunnya angka DBD di suatu
wilayah. Sehingga DBD dapat terjadi di wilayah mana pun, cara yang paling efektif
adalah menghindari gigitan nyamuk dengan cara menurunkan populasi. Melalui peran
serta masyarakat memahami akan pentingnya kebersihan lingkungan, secara otomatis
akan menghambat perkembangan jentik, dengan adanya kepedulian maka aplikasi
dari upaya-upaya memberantas DBD akan terealisasi, dengan begitu tidak akan
memberi kesempatan bagi nyamuk untuk berkembang.
Ditinjau dari teori yang telah disebutkan di atas, maka Demam berdarah
Dengue merupakan salah satu penyakit yang dapat dikendalikan dengan melakukan
upaya pencegahan yaitu dengan peran serta masyarakat.
Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian
Perilaku Health Behavior
Faktor-faktor Perilaku Kesehatan 1. Predisposisi (Predisposing) :
- Pengetahuan - Motivasi - Sikap
2. Pemungkin (Enabling): - Tersedianya Alat Sarana dan
Prasarana Fasilitas Pelayanan Kesehatan
3. Pendorong (Reinforcing Factors): - Keluarga - Dukungan Tokoh Masyarakat - Dukungan Tenaga Kesehatan
Masyarakat - Dukungan Tenaga Kesehatan - Kader Kesehatan - Ulama, dan Lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
Recommended