View
230
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
10
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai Sebagai Unit Perencanaan Pengelolaan Lahan Kritis
Karakteristik biofisik
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan
sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan sungai dan anak-
anak sungai yang melalui daerah tersebut yang berfungsi untuk menampung air
yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, kemudian mengalirkannya
melalui sungai utama (single outlet) (Kepmenhut. No. 52/Kpts-II/2001 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS). Rumusan ini mendukung
pengertian menurut Food and Agricultural Organization dalam Sheng (1968),
Dopplet et al. (1993), bahwa daerah aliran sungai merupakan suatu kawasan yang
mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam suatu sistem aliran sungai yang
mengalir dari hulu ke muara atau tempat-tempat tertentu. Penegasan dalam
pengertian ini adalah adanya batas yang memisahkan dengan DAS lainnya yaitu
batas topografi.
Pengertian seperti dikemukakan terakhir, menggambarkan kondisi biofisik
yang menyebabkan perbedaan karakteristik setiap DAS sebagaimana dikemukakan
oleh Gunawan dan Hartono (2000), Purwanto dan Warsito (2001), bahwa
karakteristik tata air DAS ditentukan oleh berbagai aspek biofisik, seperti keadaan
iklim, geologi, geomorfologi, tanah, topografi, tutupan lahan dan sebagainya.
Berdasarkan karakteristik seperti dikemukakan di atas, para akhli sepakat
untuk membedakan wilayah fisik DAS atas tiga zona yaitu: zona hulu (up-land),
11
zona tengah (mid-land), dan zona hilir (low-land). Sistem zonasi wilayah DAS
telah diuraikan oleh Asdak (1995), bahwa zona hulu merupakan daerah konservasi
yang dicirikan oleh kerapatan drainase yang lebih tinggi, kemiringan lereng besar
(> 15%), bukan merupakan daerah banjir, dan pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh pola drainase. Zona hilir dicirikan oleh karakteristik sebagai daerah
pemanfaatan, kerapatan drainase kecil, kemiringan lereng lebih kecil hingga
mencapai < 8%, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), dan
pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi. Sedangkan zona
tengah merupakan zona peralihan dari zona hulu ke zona hilir.
Keberkaitan ke tiga zona ini telah dikemukakan oleh Supriadi (2000),
bahwa zona hulu (catchment area) merupakan zona aktif tempat terjadinya proses
awal siklus hidrologi (hidrology cycle). Karakteristik lahan umumnya memiliki
kemampuan dan kesesuaian yang terbatas, sehingga penggunaan lahan (land use)
dan teknologi yang diterapkan memerlukan perencanaan secara matang. Kesalahan
penetapan kebijakan penggunaan lahan pada zona ini, akan berdampak buruk
terhadap ke dua zona di bawahnya.
Karakteristik sosial
Pengelolaan sumberdaya alam DAS adalah kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Karena itu masyarakat sebagai social
capital harus diperhitungkan. Helweg (1985), mencontohkan keberkaitan
sumberdaya alam (natural capital) dan jumlah penduduk (social capital), antara
lain ketepatan mengestimasi kebutuhan air sangat bergantung pada keakuratan
12
proyeksi jumlah penduduk. Disinilah pentingnya pemahaman karakteristik sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat pada suatu DAS.
Disamping perbedaan karakteristik biofisik, juga terdapat perbedaan
karateristik sosial menurut zonasi tadi. Zona hulu didominasi oleh warga
masyarakat petani dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan yang
rendah. Hal ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai penyebab, bahwa
kegagalan RLKT di zona hulu disebabkan oleh keterbatasan kemampuan sosial
ekonomi masyarakat. Sitorus dan Tarigan (2000) mengklaim bahwa kegagalan
pengelolaan DAS disebabkan lemahnya petani dalam mengadopsi tindakan
konservasi sebagai akibat kepemilikan lahan yang sempit (khusus Jawa) dan
rendahnya tingkat pendidikan.
Namun untuk memotivasi petani agar mengadopsi paket teknologi tidak
cukup hanya dengan pendidikan. Menurut Sinukaban (1994, 2002), perlu
diwujudkan teknologi yang mampu mendukung sistem pertanian konservasi (SPK),
meliputi (1) komoditi pertanian yang diusahakan sebaiknya beragam dan sesuai
dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar, (2)
agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan dikembangkan oleh masyarakat
dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal, (3) sistem penguasaan/pemilikan lahan
dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security)
dan menggairahkan petani untuk terus berusaha tani, (4) laju erosi lebih kecil dari
yang dapat ditoleransikan sehingga peroduktifitas dapat dipertahankan/ditingkatkan
secara lestari, dan (5) fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga
tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan dimusim kemarau.
13
Meskipun peran social capital sangat penting sebagai bahan pertimbangan
perencanaan pengelolaan DAS, kenyataannya sumberdaya ini telah tersampingkan
sejak rejim orde baru. Menurut Kartodihardjo (1999), kekuatan sosial budaya
masyarakat tergeser oleh teknologi dan modal kerja (man made capital), padahal
kearifan budaya masyarakat terhadap hutan merupakan prasyarat yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai hutan alam yang tidak pernah diperhitungkan secara ekonomi.
Menurut Muhtaman (2002), hancurnya kekuatan-kekuatan lokal membuat rakyat
tidak mempunyai kekuatan untuk beradaptasi dalam menghadapi krisis.
Guna mengatasi kegagalan pengelolaan lahan kritis dibeberapa DAS,
diperlukan tindakan sosial (social action). Ini dapat dilakukan setelah memahami
karakteristik kelompok sosial (social group characteristic), dimana masyarakat
dipandang sebagai susunan kelompok-kelompok sosial yang seolah-olah
menduduki strata tertentu yang sangat prestisius (Hikmat 2001). Pemahaman ini
amat penting jika memandang permasalahan DAS tidak sebatas persoalan
teknologi, melainkan juga dalam konteks sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik.
Penanganan masalah DAS menurut William (1995), bahwa permasalahan
DAS adalah permasalahan lingkungan, dan penyelesaiannya dapat di tempuh
melalui dua versi. Pertama, penyelesaian permasalahan melalui solusi-solusi
konkrit, misalnya masalah erosi dan sedimentasi harus diselesaikan melalui paket
teknologi anti erosi, dan anti sedimentasi. Kedua, pandangan yang mengarah pada
solusi-solusi menyangkut tatanan sosial, ekonomi, dan budaya. Artinya penanganan
masalah lingkungan DAS tidak selamanya mengarah pada aspek fisik, melainkan
14
juga pada tatanan sosial yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan lewat
aplikasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya.
Hal inilah yang disinyalir bahwa kegagalan pengelolaan lahan kritis DAS
Bila, adalah akibat permasalahan DAS hanya dipandang sebatas masalah fisik-
teknologi, tanpa memperhitungkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakatnya. Kegagalan pengelolaan sumberdaya alam akibat adanya strategi
yang tidak memperhitungkan aspek sosial, juga disinggung oleh Suliyanti et al.
(2000), antara lain (1) konsep yang ditawarkan lebih banyak mengarah pada
masalah teknis, sementara pada umumnya stakeholders lebih cenderung mengarah
pada pertimbangan aspek sosial dan ekonomi, (2) kurang melibatkan warga
masyarakat tentang kegiatan apa dan yang bagaimana mereka inginkan.
Pengelolaan lahan kritis berbasis DAS memerlukan kerjasama dan
keswadayaan. Menurut Aliadi et al. (2000), kerjasama bisa dimulai jika (1)
masalah diketahui bersama, (2) adanya saling menghargai dan saling mendengar
pendapat, dan (3) semua stakeholders terlibat mulai dari tahap perencanaan. Ketiga
faktor ini merupakan prasyarat terciptanya koordinasi. Karena itu diperlukan
pemahaman melalui analisis kekuatan stakeholder seperti dikemukakan oleh
Mayers et al. (2001) yaitu suatu piranti untuk membantu memahami bagaimana
masyarakat mempengaruhi kebijakan dan lembaga, atau sebaliknya
Deskripsi Tentang Pengelolan Lahan Kritis
Pengertian lahan kritis
Istilah lahan kritis adalah kualifikasi buruk yang diberikan kepada lahan
berdasarkan fungsi dan peruntukannya. Dalam Kepmenhut. No. 52/Kpts-II/2001,
15
dinyatakan bahwa lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa
sehingga tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai
media produksi dan media tata air.
Pengertian ini diperjelas oleh Bermanakusumah (2001), bahwa lahan kritis
adalah lahan yang secara potensial tidak mampu berfungsi sebagai media produksi
(fungsi pertanian), pengatur tata air (fungsi hidrologis), perlindungan kelestarian
lingkungan (fungsi orologis), serta sumber pendapatan dan kesejahteraan petani
(fungsi sosial ekonomi). Berdasarkan pengertian ini, ia mengklasifikasikan lahan
kritis atas tiga bagian, yaitu:
1. Kritis secara hidro-orologis, yaitu tanah-tanah dalam suatu daerah aliran sungai
(DAS) hulu yang menimbulkan erosi dan bahaya banjir.
2. Kritis fisik-teknis, yaitu tanah-tanah yang tingkat kesuburannya terus menerus
menurun menuju ke tanah-tanah tandus akibat penggunaan tanah tanpa
memperhatikan aspek konservasi tanah dan air.
3. Kritis sosial-ekonomi, yaitu tanah-tanah di daerah padat penduduk yang
ditanami tanaman pangan melampaui batas kemampuan daya dukung
lingkungannya.
Di samping batasan pengertian seperti diuraikan di atas, Fletcher (1997)
membedakan lahan kritis dengan lahan pontensial kritis sebagai berikut:
1. Lahan pertanian kritis (kritis aktual), mencakup lahan untuk tanaman pertanian
dan padang rumput di mana kedalaman pengakaran efektif antara 15 - 45 cm,
dan diperlukan tindakan segera untuk memperkenalkan upaya-upaya budidaya
16
tanaman pertanian dan padang rumput berkelanjutan, guna mengurangi erosi
dan mencegah agar lahan tidak mengalami degradasi.
2. Lahan pertanian kritis potensial, mencakup lahan untuk tanaman pertanian dan/
atau padang rumput, dimana kedalaman pengakaran efektif antara 45 - 60 cm,
dan karena belum kritis masih ada kesempatan guna menyusun dan
melaksanakan strategi pengelolaan lahan jangka panjang yang mencakup upaya
konservasi tanah efektif, perbaikan sistem usaha tani, pembinaan untuk para
petani guna menjamin kelanjutan pertanian di lahan tersebut.
Bilamana proses erosi dan/atau daya perusakan lahan semakin berlanjut,
lahan kritis dapat berubah manjadi lahan terdegradasi. Menurut Sinukaban (1997),
degradasi lahan adalah proses penurunan kapasitas lahan pada saat ini dan/atau
masa yang akan datang untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat dibedakan
atas dua kategori, yaitu (1) berkaitan dengan pemindahan material tanah akibat
daya erosi air dan angin, dan (2) penurunan kualitas tanah setempat (on-site) baik
secara kimia maupun fisik.
Latar belakang terbentuknya dan pengelolan lahan kritis
Ada beberapa isu yang penting dipahami tentang penggunaan lahan.
Pertama, bahwa manfaat dari suatu komponen lingkungan sangat relatif baik
secara individu maupun secara umum. Anggapan warga masyarakat bahwa nilai
guna keseimbangan lingkungan hanya untuk kepentingan umum, bukan untuk
perorangan (individu). Karena itu menurut Friday et al. (1999), petani lokal akan
merehabilitasi lahan alang-alang jika mereka yakin bahwa upaya itu akan
meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Demikian pula sebaliknya, resiko
17
lingkungan apapun yang bakal terjadi, mereka tetap mengeksploitasi lahan demi
kepentingan pribadi. Sikap dan tindakan seperti inilah yang menyebabkan
terbentuknya pola penggunaan lahan yang tidak rasional. Kedua, kebijakan
penggunaan lahan khususnya lahan pertanian, adalah upaya mempertahankan, dan
meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk yang semakin
bertambah. Dengan dalih pemenuhan kebutuhan hidup, penduduk semakin
mengeksploitasi lahan dan ini menjadi motif utama petani membuka lahan di
daerah berlereng. Menurut Soelaeman (1993) dan Dent (1993), pengusahaan lahan
secara intensif di lahan berlereng tanpa usaha konservasi yang memadai
menyebabkan terjadinya erosi dan kerusakan lahan yang berlanjut sampai kondisi
lahan menjadi semakin kritis.
Pada umumnya lahan kritis mendominasi bagian hulu DAS (up-land) yang
dihuni oleh masyarakat petani miskin, kemampuan ekonomi dan pengetahuan yang
rendah, kelembagaan masyarakat yang tidak jalan, dan praktik pengelolaan lahan
yang tidak berkelanjutan (Lier et al. 1994). Dalam kaitannya dengan pengelolaan
DAS berkelanjutan, penggunaan lahan yang diharapkan adalah penggunaan lahan
yang dapat menciptakan keseimbangan lingkungan khususnya pelestarian tanah
dan air, dan peningkatan produktivitas lahan untuk kesejahteraan masyarakat.
Penggunaan lahan seperti inilah yang dimaksud dengan penggunaan lahan yang
rasional. Untuk mencapai penggunaan lahan semacam ini, diperlukan perencanaan
yang dapat memadukan antara tujuan konservasi dan tujuan produksi. Perencanaan
ini harus dirancang melalui sistem pendataan dan klasifikasi tingkat kelerengan.
Karena itu Sitorus (1995), Mitchell (1997), Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001),
18
mengemukakan bahwa tanah dengan kemiringan lereng curam > 45% tidak boleh
digunakan untuk pertanian melainkan sebagai hutan lindung. Hutan lindung ini
harus dipertahankan dan dibina untuk mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi,
memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik pada kawasan hutan yang
bersangkutan maupun kawasan sekitarnya.
Munculnya lahan kritis khususnya di DAS Bila, banyak diakibatkan oleh
adanya praktik penggunaan lahan tanpa memperhatikan kesesuaian dengan
kemampuan dan fungsi lahan. Hal ini terlihat dalam RTL-RLKT Tahun 1998/1999
dengan rencana merehabilitasi lahan seluas 47.622 ha, yang terdistribusi pada
kawasan hutan lindung 15.249 ha (32,02%), dan di luar kawasan hutan 31.000 ha.
Kekritisan lahan di bagian hulu DAS umumnya disebabkan oleh erosi, sedangkan
di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari
ketidakserasian hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dan manusia
termasuk segala aktivitasnya di bagian hulu. Dampak lanjut yang terjadi adalah
kemampuan lahan sebagai penopang kehidupan petani semakin merosot
(Hermawan et al. 1993).
Sumberdaya air adalah kunci dalam pembangunan, termasuk dalam
pengelolaan lahan kritis yang menempatkan DAS sebagai unit perencanaan.
Menurut Lier (1994), sumberdaya air mempererat hubungan antara perlindungan
sumberdaya alam dengan pengembangan daerah pertanian pada masa yang akan
datang. Sehubungan dengan itu pengelolaan sumberdaya lahan, tanah dan air dalam
sebuah DAS harus dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan fungsi ganda
sumberdaya tersebut (ekonomi, ekologis, dan sosial), secara terpadu dengan
19
menggunakan pendekatan integrated watershed management yang meliputi bagian
hulu sampai ke hilir (SMERI-UNDP, 1997).
Kelembagaan Pengelolaan Lahan Kritis Berbasis DAS
Pengertian kelembagaan
Kelembagaan (institution) seperti dikemukakan oleh Kartodihardjo et al.
(2000), adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana
masyarakat tersebut telah mengakses kesempatan-kesempatan yang tersedia,
bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak
lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus
mereka lakukan. Kesempatan yang tersedia menurut Kartodihardjo et al. (2000)
adalah kesempatan dalam lingkungan, tergantung dari aturan-aturan yang
digunakan baik yang bersifat formal seperti peraturan pemerintah, maupun non-
formal seperti kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat, dan sebagainya.
Selanjutnya Tadjuddin (1999), mengartikan kelembagaan sebagai
seperangkat tata nilai, aturan main, dan aspirasi yang bersifat unik dalam dimensi
ruang dan waktu, dimana secara formal kelembagaan itu sendiri harus bersifat
dinamis dalam arti adaptif terhadap perubahan.
Berdasarkan pandangan sebagai aturan main, dapat dipahami adanya
perbedaan pengertian antara kelembagaan sebagai institusi, dan kelembagaan
sebagai organisasi. Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), kelembagaan sebagai
aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal diartikan sebagai
seperangkat aturan baik formal, maupun informal tentang tata hubungan manusia
dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan tanggung jawab. Sedangkan
20
kelembagaan dalam konteks organisasi lebih mengarah kepada mekanisme
administrasi dan kewenangan.
Kelembagaan baik dalam arti aturan main maupun dalam arti organisasi,
juga telah dijelaskan oleh Pakpahan (1997), bahwa sebagai aturan main berarti
memberikan kesempatan sekaligus kendala (tergantung dari mana kita melihatnya)
bagi perkembangan perilaku masyarakat terhadap sumberdaya alam, misalnya tata
air. Sedangkan sebagai organisasi, dapat merupakan potensi atau sebaliknya,
tergantung apakah organisasi itu bersifat adaptif atau inovatif.
Dalam pengelolaan DAS, apakah kelembagaan itu dipandang sebagai
aturan main atau sebagai organisasi juga diuraikan oleh Danida (1998), yaitu untuk
mengembangkan perencanaan pengelolaan sumberdaya DAS dengan merangkum
seluruh pihak-pihak terkait yang multi sektor/multi disiplin, melalui kerjasama
untuk mendorong partisipasi masyarakat secara langsung dalam pengelolaan DAS.
Berdasarkan pengertian ini, berarti aturan main yang sesuai dengan tujuan yang
seharusnya dicapai akan memberikan kesempatan kepada stakeholders untuk
berperilaku yang mendukung tercapainya tujuan.
Pasaribu (1996), menjelaskan tentang status kelembagaan suatu organisasi,
dimana suatu organisasi dapat dikatakan melembaga apabila organisasi tersebut
telah mendapatkan status khusus dan pengakuan (legitimate) dari masyarakat
karena mereka telah mendapatkan kepuasan atas kebutuhan mereka. Kebijakan
tidak akan berjalan jika tidak ditunjang oleh wadah organisasi yang melembaga di
masyarakat. Gejala ketidakmelembagaan suatu organisasi merupakan salah satu
bukti lemahnya fungsi pengorganisasian (regulative institution) yang ada di
dalamnya.
21
Dalam kelembagaan terdapat tiga komponen utama yaitu (1) organisasi,
(2) fungsi, dan (3) aturan main (Didu 2001). Komponen yang ke tiga (aturan main)
mengatur organisasi (pemerintah/swasta) dan individu, agar dapat berperan
melakukan tugas sesuai dengan kewenangan masing-masing. Olehnya itu
kelembagaan merupakan suatu sistem yang mengatur apa yang seharusnya dan
yang tidak seharusnya dilakukan oleh organisasi dan/atau individu. Sebagai suatu
sistem, di dalamnya terdapat tiga aturan yang sangat mendasar, yaitu: (1) batas
kewenangan (yurisdictional boundary), (2) hak kepemilikan (property right), dan
(3) aturan perwakilan (rules of representation).
Batas kewenangan menurut Kartodihardjo et al. (2000), adalah menentukan
siapa, dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi. Sedangkan menurut Anwar
(2000), batas kewenangan terhadap sumberdaya, dana, dan tenaga dalam suatu
organisasi, termasuk mengatur laju pemanfaatan dan pendistribusian manfaat
sumberdaya sehingga dapat diperoleh keberlanjutan.
Hak kepemilikan menurut Hana dan Munasinghe (1995), adalah mengatur
seluruh aktifitas untuk mencapai keteraturan interaksi antara manusia dan
lingkungannya sehingga mencerminkan ke dua prinsip umum yaitu spesifikasi
sosial dan lingkup ekosistem. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa hak
kepemilikan adalah hak sosial yang dimiliki baik secara individu, kelompok,
dan/atau masyarakat umum atas sumberdaya tertentu yang diatur oleh aturan baik
secara formal, non-formal (adat kebiasaan) yang berlaku dan mengatur hubungan-
hubungan sosial kemasyarakatan. Hak kepemilikan yang berlaku di masyarakat
22
seperti dikemukakan oleh Kartodiharjo (1999), misalnya adanya perbedaan bentuk
kepemilikan terhadap lahan, yaitu (1) pemilikan individu (private property), (2)
pemilikan kelompok (common property), dan (3) pemilikan negara (state property).
Aturan representasi (roles of reprecentation), mengatur siapa yang boleh,
dan tidak boleh ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Menurut Fajari (2002),
aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, keputusan apa yang akan diambil, dan apa akibatnya
terhadap keragaan (performance) yang ditentukan oleh aturan perwakilan atau
reprentasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
Peran kelembagaan dalam pengelolaan lahan kritis.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa menurunnya daya dukung DAS
adalah akibat perubahan kelembagaan (institusi) masyarakat baik formal, maupun
non-formal. Karena itu diperlukan ketajaman pemahaman bagaimana peran
kelembagaan selama ini, dan bagaimana seharusnya untuk yang akan datang.
Jika kelembagaan diartikan sebagai aturan main dalam pengelolaan DAS,
hampir dapat dipastikan bahwa kelembagaan tersebut sangat menentukan
kelangsungan fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, khususnya dalam
hal pengelolaan lahan kritis. Menurut Kartodihardjo et al. (2000), terdapat dua
faktor yang menghambat sehingga fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan tidak berjalan, yaitu (1) aspek kebijakan (policy) seperti lemahnya
koordinasi antar instansi terkait dalam menyelenggarakan pengelolaan DAS (2)
aspek teknis pelaksanaan pengelolaan DAS, seperti kurangnya program
23
peningkatan SDM, rendahnya inovasi teknologi, dan belum tersedianya standar
pelaksanaan kegiatan dan standar hasil. Kedua faktor ini sudah merupakan masalah
umum kelembagaan, khususnya dalam kelembagaan pengelolaan DAS.
Pada uraian latar belakang penelitian ini telah dikemukakan empat faktor
pokok yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan masyarakat
sehubungan dengan pengelolaan DAS menurut Darajati (2001). Keempat faktor
tersebut merupakan kegiatan utama dalam pengelolaan lahan kritis, yang harus
melibatkan berbagai organisasi/kelompok dan individu baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk melibatkan berbagai organisasi, diperlukan
koordinasi dan ini merupakan faktor yang sangat penting bahkan menjadi kunci
keberhasilan pengelolaan lahan kritis. Lemahnya koordinasi sering menjadi
kendala utama sehingga hubungan antar komponen dalam sistem pengelolaan lahan
kritis berbasis DAS menjadi tidak stabil.
Sebagai suatu sistem, di dalam DAS terdapat sekian banyak komponen
yang saling berinteraksi. Karena itu dalam sebuah sistem yang stabil, pengelolaan
selanjutnya dapat dilakukan melalui pendekatan efisiensi. Tetapi jika kenyataan
sebaliknya (tidak stabil), pengelolaannya harus diarahkan melalui pendekatan
efektifitas. Implikasinya menurut Eriyatno (1999), adalah (1) apabila sistem relatif
stabil maka manajemen dititikberatkan pada operasi dan pengendalian, dan (2)
apabila sistem kurang/tidak stabil, maka perhatian kita alihkan pada perencanaan
dan analisis strategi.
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan
pengelolaan DAS yaitu (1) lemahnya sektor-sektor pemerintah daerah sebagai
24
unsur institusi yang berkaitan dengan pengelolaan lahan kritis, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas pada hal mereka adalah tenaga teknis dan fasilitator
yang paling dekat dengan DAS, (2) perencanaan pengelolaan DAS belum
sepenuhnya terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah serta masih
rendahnya partisipasi masyarakat, (3) adanya situasi yang kurang kondusif bagi
peningkatan produktivitas yang diperlukan untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat, dan sebagai usaha pelestarian keseimbangan lingkungan,
(4) adanya sikap yang kurang responsif terhadap upaya pembangunan jangka
panjang demi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan
sumberdaya alam lestari, (5) pembangunan pertanian/pembangunan pada umumnya
lebih terkonsentrasi pada daerah hilir (low-land), sehingga daerah hulu (up-land),
tidak merasa diuntungkan oleh program-program yang didanai oleh pemerintah,
dan (6) rendahnya produktivitas pertanian di beberapa daerah sehingga lahan tidak
dapat dijadikan satu-satunya penopang kehidupan masyarakat miskin di pedesaan.
Timbulnya masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai akibat
adanya fungsi perencanaan dan analisis strategi yang tidak kondusif. Menurut
Kartodihadjo et al. (2000), hal ini disebabkan oleh lemahnya aspek kebijakan dan
teknis pelaksanaan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bastaman (2000),
bahwa permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS berkaitan dengan
ketiadaan ikatan koordinatif yang kuat dalam pencapaian tujuan, sehingga
kebijakan pengelolaan DAS sering tidak sejalan dengan kebijakan masing-masing
sektor.
25
Lemahnya koordinasi juga telah dikeluhkan oleh pemerintah, baik di
tingkat pusat maupun di daerah. Hal ini diungkap dalam REPETA (2002), bahwa
program pembangunan yang akan dilaksanakan mulai tahun 2002 sebagaimana
yang tertuang dalam PROPENAS (2000 - 2004), yakni perlunya penataan
kelembagaan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Kegiatan pokok program ini antara lain (1) menata institusi dan
aparatur pengelola SDA dan lingkungan di provinsi, dan kabupaten/kota, (2)
menetapkan peraturan yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab daerah
dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, (3) menguatkan institusi
pengendalian dampak lingkungan di daerah, (4) menyusun Undang-Undang dan
perangkat hukum di bidang pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, (5)
meningkatkan peranserta dan pengakuan atas hak/kepemilikan masyarakat lokal
dan adat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan, (6) mengembangkan
kelembagaan pendanaan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup melalui
insentif/disinsentif mekanisme pasar. Sehubungan dengan ini, Sudradjat dan
Yustina (2002), mengharapkan adanya satu lembaga yang bisa menghubungkan
antara kepentingan pusat, propinsi, dan kabupaten serta seluruh stakeholder terkait
dalam pemecahan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan secara
sendiri-sendiri dalam bentuk forum kerjasama.
Lemahnya koordinasi antar instansi telah disadari sebagai masalah di dae-
rah khususnya di tiga kabupaten dalam wilayah DAS Bila. Peraturan daerah
(Perda) Kabupaten Sidenreng Rappang No. 34 Tahun 2001, mengangkat masalah
kelembagaan sebagai masalah yang perlu dipecahkan. Demikian pula dalam Perda.
26
No. 13 Tahun 2002 tentang Rencana Strategi Daerah (Renstrada) Tahun 2001-
2005, ditegaskan bahwa faktor penentu keberhasilan pembangunan daerah adalah
antara lain (1) kelembagaan pemerintah dan masyarakat yang efektif dan efisien,
serta (2) peran yang terintegrasi dari semua unit kerja pemerintah kabupaten
sebagai tim kerja terpadu melalui proses organisasi pembelajaran yang optimal dan
berkelanjutan.
Meskipun Renstrada menjadi acuan penyusunan renstra sektoral, namun
belum dibuktikan melalui penyusunan Renstra Dinas-Dinas dan Badan teknis di
daerah. Semestinya dalam penyusunan Renstra untuk pembangunan lima tahun ke
depan, koordinasi semua sektor (dinas dan badan otonom) sudah harus dimulai,
dengan meletakkan DAS Bila sebagai unit perencanaan wilayah secara terpadu.
Demikian pula bagi Kabupaten Enrekang sebagai wilayah hulu DAS Bila,
koordinasi antar instansi baru sebatas kebijakan dalam bentuk Perda. No. 22 Tahun
2001 tentang Pengendalian Lingkungan Daerah Aliran Sungai, sementara realisasi
kebijakan itu belum terwujud dalam penyusunan renstra masing-masing dinas.
Untuk mewujudkan sebagaimana dikemukakan terakhir, kapabilitas
individu (personil) merupakan faktor penting. Kapabilitas individu yang
dimaksudkan tidak hanya sebatas kemampuan intelektual, tetapi juga kemampuan
kerjasama dalam tim yang meliputi aspek psikososial seperti kemampuan
memahami pendapat orang lain, menghargai kesepakatan dan gagasan yang
berbeda-beda, serta bermoral tinggi. Hal ini telah diuraikan oleh Pakpahan (1997),
bahwa kapabilitas individu bergantung pada pengetahuan intelektual, maupun
nilai-nilai moral yang mampu mewarnai perilakunya. Karena itu, pengembangan
27
institusi tanpa diikuti pengembangan sikap dan nilai-nilai moral sebagai basis
peningkatan kapabilitas individu akan kurang bermakna bahkan sebaliknya,
kelembagaan yang ada akan melahirkan beban sosial baru bagi masyarakat.
Selain permasalahan seperti diuraikan di atas, kelembagaan pengelolaan
DAS dapat dinilai efisien tetapi tidak efektif. Menurut Kartodihardjo et al. (2000),
bahwa di satu sisi pemerintah pusat sangat kuat dalam hal penetapan kebijakan,
tetapi pada sisi lainnya tidak berdaya dalam hal pelaksanaan dan pengendaliannya.
Pemerintah dan juga masyarakat mengetahui bahwa kinerja administrasi kurang
dapat menggambarkan realita di lapangan, tetapi hal itu masih tetap dilakukan.
Sepanjang kinerja administrasi belum dapat dibenahi, akan semakin banyak
kebijakan yang hanya mampu berperan sebagai kebijakan birokrasi, yang
pertanggungjawabannya hanya sebatas laporan-laporan berkala yang tidak sesuai
dengan realita di lapangan.
Permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS bukan hanya sebatas
permasalahan seberapa banyak kebijakan yang telah dan yang akan dirumuskan.
Namun yang terpenting adalah bagaimana kebijakan yang dihasilkan dapat
diterapkan dan/atau diadopsi oleh masyarakat. Disinilah perlunya keterpaduan
antara pemangku kepentingan mulai dari aparat pemerintah hingga ke petani
sebagai pelaksana kunci di lapangan. Untuk merobah perilaku kelembagaan ke
dalam kondisi yang diharapkan, harus dimulai dari perubahan tatanan nilai-nilai,
sikap, dan moral individu antar sektor, maupun masyarakat umum.
Menurut Barlowe (1986), bahwa faktor kelembagaan yang berpengaruh
terhadap pola penggunaan lahan selain aturan dan perundang-undangan yang
28
dibuat oleh pemerintah, juga faktor-faktor yang terkait dengan sosial budaya
masyarakat. Ini relevan dengan pendapat Sys, Van Ranst dan Debaveye (1991),
bahwa selain sumberdaya fisik, sumberdaya manusia dan sumberdaya modal juga
merupakan sumberdaya utama yang mempengaruhi penggunaan lahan.
Konsep pemikiran yang dapat ditarik dari kedua pendapat ini adalah
bagaimanapun kelembagaan itu dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dinilai
bagus tetapi jika tidak sinkron dengan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat,
mustahil akan teradopsi oleh sektor-sektor terkait dan masyarakat pada umumnya.
Karena itu, kelembagaan yang baik adalah adanya lembaga yang mampu
melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat mengatur fungsi dan aktivitas
sumberdaya manusia dan penggunaan modal ke arah terwujudnya penggunaan
lahan yang rasional serta mampu menekan laju pertumbuhan lahan kritis.
Terjadinya lahan kritis dan degradasi lahan di beberapa daerah adalah
sebagai akibat ketidaksinkronan antara tujuan masyarakat (petani), dengan
kebijakan yang dibuat pemerintah. Motif petani mengacu pada tujuan untuk
memperoleh manfaat dan keuntungan sesegera mungkin, sedangkan kebijakan
pemerintah mengacu pada tujuan jangka panjang dan berkelanjutan untuk generasi
masa kini dan yang akan datang. Kesenjangan antara tujuan petani dan tujuan
pemerintah menjadi konflik kelembagaan khususnya dalam pengelolaan lahan
kritis.
Konflik kelembagaan pengelolaan DAS dapat diidentifikasi dengan
mencermati berbagai paradoks sebagaimana diuraikan oleh Kartodihardjo et al.
(2000), misalnya: (1) Lahan kritis digunakan sebagai lahan pertanian dengan hasil
29
jangka pendek yang rendah, meskipun diketahui jika ditanami tanaman jangka
panjang akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. (2) Pelaksanaan
reboisasi dan penghijauan lebih berhasil di wilayah hilir, sedangkan yang lebih
diperlukan adalah di wilayah hulu. (3) Pelaksanaan reboisasi dan penghijauan
hanya berhasil sampai tahun ke empat, sedangkan manfaat yang diharapkan dari
reboisasi dan penghijauan adalah tujuan untuk jangka panjang. Hal ini merupakan
bukti bahwa peran kelembagaan selama ini belum seperti yang diharapkan,
sehingga kebijakan yang dihasilkanpun belum memuaskan kedua belah pihak
(masyarakat dan pemerintah).
Selama orde baru, perumusan kebijakan pengelolaan DAS didasarkan pada
masalah-masalah yang menyangkut kondisi fisik DAS yaitu (1) luas dan semakin
meluasnya lahan kritis, (2) semakin berkurangnya tutupan hutan permanen, (3)
erosi dan sedimentasi yang semakin meningkat, (4) semakin besarnya fluktuasi
debit air, dan (5) terjadinya peristiwa banjir dan kekeringan yang silih berganti.
Kondisi yang tidak diinginkan ini langsung diatasi melalui berbagai kebijakan, baik
berupa perintah untuk melakukan sesuatu, dan/atau pelarangan yang disertai
petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Perumusan kebijakan
seperti ini hanya berakhir pada kalimat tanya mengapa juklak dan juknis tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan?
Menurut Kartodihardjo et al. (2000), dari pengalaman-pengalaman masa
lalu, pendekatan seperti ini terbukti tidak dapat lagi digunakan sebagai titik tolak
perumusan kebijakan. Oleh karena itu diperlukan identifikasi permasalahan melalui
30
pendekatan yang dianggap lebih akurat dalam merumuskan kebijakan yang sesuai,
yaitu kebijakan yang mampu merobah perilaku masyarakat termasuk dunia usaha.
Kebijakan pengelolaan DAS menjadi faktor penting dan penentu untuk
mencapai keharmonisan interaksi masyarakat baik dalam konteks individu atau
kelompok demi pemanfaatan sumberdaya alam DAS. Dalam Buku I Laporan Akhir
DAS Ciliwung (2000), dikemukakan tiga faktor yang dapat diidentifikasi dari
pengaturan kelembagaan, yaitu (1) koherensi kepentingan dan aktivitas
stakeholders, (2) kekuatan lembaga lokal, dan (3) manfaat untuk masyarakat lokal.
Pertama, pihak perumus kebijakan harus menyadari bahwa penguatan
kelembagaan semakin mudah dicapai jika terjadi kesamaan kepentingan di antara
stakeholders dalam DAS, dan demikian pula sebaliknya. Menurut Meyers et al.
(2001), stakeholders adalah orang-orang yang mempunyai hak dan kepentingan
dalam suatu sistem, yang dapat terdiri atas individu, komunitas, kelompok sosial,
dan/atau organisasi. Pentingnya pemahaman tentang stakeholders dapat
dikemukakan menurut Hurni (1998), yaitu sebagai pemeran (aktor) yang
kadang-kadang ditentukan menurut kelompok-kelompok berdasarkan akfivitas,
kepemilikan, atau organisasi. Mereka terbentuk menurut tingkatan-tingkatan mulai
dari keluarga sampai masyarakat internasional. Biasanya masing-masing
stakeholders memandang suatu sumberdaya dari sudut yang berbeda dan berusaha
menyamakan perbedaan prinsip dengan baik. Sering pengambilan keputusan di
tingkat lokal tidak tepat oleh karena stakeholders tidak berpartisipasi di dalam
proses perumusannya.
31
Kedua, pemahaman tentang kelembagaan lokal merupakan faktor yang
sangat penting dalam pengelolaan DAS melalui perlindungan terhadap hak
kepemilikan (proverty right), serta penguatan norma/adat tradisi lokal.
Kelembagaan lokal merupakan modal sosial (social capital) yang sangat penting
sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Harus disadari bahwa
salah satu di antara sekian penyebab kegagalan pengelolaan hutan alam adalah
adanya kebijakan pengusahaan hutan yang mengesampingkan peran lembaga-
lembaga lokal. Menurut Kartodihardjo (1999), dalam pengusahaan hutan alam,
kearifan budaya masyarakat desa hutan sebagai social capital digeser dan
digantikan oleh kekuatan teknologi dalam bentuk investasi (man made capital).
Ketiga, manfaat lokal sering menjadi bahan pertimbangan pada urutan
kedua bahkan terabaikan secara total. Hal ini diuraikan dalam Buku I Laporan
Akhir: DAS Ciliwung (2000), bahwa (1) tujuan utama pengelolaan DAS adalah
untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal termasuk pemerataan, penurunan
tingkat kemiskinan, dan (2) tujuan umum konservasi tanah dan air. Pemenuhan
kebutuhan masyarakat lokal merupakan tujuan jangka pendek sedangkan tujuan
konservasi tanah dan air merupakan tujuan sosial jangka panjang.
Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis
Perencanaan dan strategi sebagai proses
Perencanaan tidak berarti selesai setelah dihasilkannya dokumen rencana,
tetapi sebagai proses yang berulang dan mengait aktivitas-aktivitas pengelolaan
DAS. Dalam Kepmenhut. No. 52/Kpts-II/2001, Tentang Peraturan Perundang-
32
Undangan Sebagai Tindak Lanjut PP. No. 25 Tahun 2000, dikemukakan langkah-
langkah penyusunan pengelolaan DAS, yaitu (1) identifikasi karakteristik DAS (2)
indentifikasi masalah, (3) perumusan tujuan dan sasaran, (4) identifikasi dan
evaluasi alternatif kegiatan, penyusunan rencana indikatif dan kegiatan, serta
legitimasi dan sosialisasi rencana. Inilah yang dimaksudkan oleh Rustiadi et al.
(2003), bahwa proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah
pencapaian tujuan, mengkaji berbagai ketidakpastian, mengukur kemampuan
(kapasitas) yang kita miliki kemudian memilih sasaran terbaik dan menentukan
langkah-langkah untuk mencapai tujuan. Dalam memilih sasaran terbaik dan
menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan, dibutuhkan sejumlah
pengetahuan yang konprehensif. Karena itu pendekatan rasional dapat juga disebut
pendekatan yang komprehensif.
Perencanaan, kebijakan, dan strategi tidak dapat dipahami secara terpisah.
Kebijakan dan strategi adalah bagian perencanaan. Hal ini seperti dijelaskan oleh
Swastha dan Sukotjo (2000), bahwa perencanaan dapat dilihat dari enam sudut
pandang, yaitu (1) tujuan (objective), (2) kebijakan (policy), (3) strategi, (4)
prosedur, (5) aturan (rule), dan (6) program. Kebijakan adalah suatu pernyataan
atau pengertian untuk menyalurkan pikiran dalam mengambil keputusan terhadap
tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan, sedangkan strategi adalah tindakan
penyesuaian dari rencana yang telah dibuat akibat dari adanya berbagai reaksi.
Perbedaan antara kebijakan dan strategi juga dapat ditunjukkan seperti
dikemukakan oleh Didu (2001), bahwa kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanan suatu pekerjaan
33
untuk mencapai tujuan dan lebih bersifat makro. Sedangkan strategi lebih
mengarah pada aturan-aturan yang menyangkut perencanaan dan pelaksanaan
secara teknis dalam skala jangka pendek dan lebih bersifat mikro.
Jika dipandang dari kepentingan fungsi-fungsi manajemen pembangunan
(perencanaan, pelaksanaan, pengawasan), maka yang terpenting adalah fungsi
perencanaan. Semua aktivitas manajemen untuk mendukung upaya pencapaian
tujuan pembangunan harus dilaksanakan setelah fungsi perencanaan dilaksanakan
lebih dahulu (David 1998) (Swastha dan Sukotjo 2000).
Analisis sistem pengelolaan lahan kritis
Lahan, merupakan sumberdaya alam non hayati yang ada dalam DAS, dan
merupakan modal alam (natural capital) untuk mendukung aktifitas pembangunan
menuju peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Prinsip pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan hidup masyarakat, adalah pembangunan berkelanjutan
yang menuntut individu, kelompok, organisasi pemerintah/swasta, agar dalam
memanfaatkan sumberdaya tersebut sebijaksana mungkin, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan hidup generasi masa kini, dan yang akan datang. Karena itu
dalam pemanfaatan sumberdaya lahan diperlukan suatu perencanaan dengan
merumuskan tujuan sebagai sasaran program yang ingin dicapai. Meskipun
terbentuknya lahan kritis dapat disebabkan oleh proses alam, namun tidak sedikit
bahkan pada umumnya disebabkan oleh kesalahan dalam hal perencanaan,
pelaksanaan, dan atau karena lemahnya pengawasan.
Kebijakan pengelolaan DAS selama orde baru disusun dengan
berlandaskan pada masalah-masalah fisik seperti erosi dan tutupan hutan, yang
34
langsung diatasi dengan membuat kebijakan anti erosi, program reboisasi dan
penghijauan tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat. Karena itu banyak kebijakan yang berakhir tanpa mencapai tujuan.
Kegagalan program pengelolaan lahan kritis dalam sebuah DAS, disebabkan antara
lain kesalahan dan/atau ketidakcermatan dalam hal perumusan kebijakan
pendukung pelaksanaan program.
Dewasa ini pendekatan sistem sosio-teknologis di bidang pertanian, ling-
kungan hidup, dan industri semakin banyak digunakan termasuk yang berhubungan
dengan hal-hal pengambilan keputusan (decision making). Menurut Suryadi dan
Ramdhani (2000), hakekat pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan
sistematis pada suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta, penentuan secara matang
dari alternatif yang dihadapi, dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan
merupakan tindakan yang paling tepat.
Pengambilan keputusan terhadap kebijakan pengelolaan lahan kritis tidak
lepas, dan harus melibatkan organisasi (sektor-sektor terkait) dan individu
sebagaimana dikemukakan terdahulu. Keterlibatan sistem organisasi dalam
pengambilan keputusan telah diuraikan oleh Suryadi dan Ramdhani (2000), yang
paling tidak mencakup (1) faktor fisik (operasional), (2) manajemen, dan (3)
informasi. Karena itu proses pengambilan keputusan tidak terpisahkan dari ketiga
sistem tersebut.
Sistem diartikan sebagai proses yang rumit yang di dalamnya terdapat
banyak lintasan atau hubungan sebab akibat (Mize dan Cox 1968). Sedangkan
menurut Manetsch dan Park (1979), adalah seperangkat elemen-elemen yang
35
berhubungan dan/atau saling berkaitan yang diorganisasikan untuk mencapai satu
atau seperangkat tujuan. Pengertian seperti dikemukakan terakhir diperkuat oleh
Winardi (1989), bahwa sistem adalah sekumpulan elemen yang di dalamnya
terdapat interaksi saling berhubungan. Kendati demikian Eriyatno (1999)
mempertegas, bahwa tidak semua kumpulan dan gugus dapat disebut sistem.
Kombinasi dari suatu elemen atau bagian-bagian gugus yang tidak memenuhi
syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional, dan/atau tujuan yang
berguna, tidak dapat dikualifikasikan sebagai sistem. Penegasan ini relevan dengan
batasan pengertian menurut Award (1979) dan Muhammadi et al. (2001), bahwa
sistem adalah keseluruhan interaksi antara unsur dari obyek dalam batas
lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan.
Untuk mempermudah proses pengambilan keputusan dibutuhkan model
analisis sistem pendukung keputusan (decision support sistem). Ada dua alat
analisis digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) analitical hierarchy prosess
(AHP) dan (2) interpretative structural modelling (ISM).
Menurut Saaty (1988), ada enam kelebihan penggunaan analitical
hierarchy prosess dalam pengambilan keputusan, yaitu dapat (1) Memodelkan
problema yang tidak terstruktur tentang berbagai bidang keilmuan. (2) Digunakan
untuk memodelkan masalah yang dinyatakan melalui pendapat individu yang
permasalahannya sudah diprioritaskan untuk dianalisis. (3) Memodelkan hal-hal
menurut kenyataan sebenarnya, dan tidak memerlukan penyederhanaan melalui
asumsi-asumsi yang dapat menyesatkan keputusan. (4) Menggunakan semua hal
penting baik yang konkrit, abstrak, kuantitatif, dan kualitatif. (5) Menjadi alat
36
analisis pengambilan keputusan terbaik, dan (6) memanfaatkan situasi dalam
kondisi obyek yang sedang mengalami perbedaan pendapat/konflik.
Sehubungan dengan tujuan perancangan kebijakan dan strategi
pengelolaan lahan kritis di DAS Bila, mustahil dapat dilakukan tanpa melibatkan
berbagai lembaga (pemerintah dan swasta). Karena itu model-model analisis yang
bersifat integratif dan interdisipliner merupakan alat analisis yang paling tepat
digunakan. Selain AHP, ISM merupakan model analisis sistem yang sangat sesuai
untuk tujuan penelitian ini. Menurut Didu (2001), ISM adalah model dari proses
pengkajian kelompok (group learning process) untuk menghasilkan model-model
struktural guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem melalui pola
yang dirancang secara saksama dengan menggunakan grafis dan kalimat.
Pengertian analisis sistem, telah dijelaskan oleh Eriyatno (1999), yaitu
semua hal yang relevan terhadap peubah-peubah yang ditetapkan (input control)
dan peubah rancangan yang dianggap sebagai sesuatu yang mempengaruhi
kelakuan sistem, keadaan/kondisi lingkungan di mana sistem berjalan, sehingga
out-put yang tidak dikehendaki dapat dihindari. Sedangkan tujuan analisis sistem
telah diuraikan oleh Suryadi dan Ramdhani (2000), yaitu mendidik para pengambil
keputusan untuk berpikir secara sistematis dan menyeluruh, tidak sekedar
menyusun formula atau bermain dengan angka-angka melalui komputer.
Dalam penelitian ini, kelembagaan dalam pengelolaan lahan kritis berbasis
DAS dianalisis dengan menggunakan pendekatan sistem, sebagai berikut:
37
1. Analisis kebutuhan, yaitu merupakan interaksi antara respon yang timbul dari
seseorang pengambil keputusan (decision maker) terhadap jalannya sistem.
Kebutuhan ini dapat meliputi hasil survei, pendapat akhli, hasil diskusi, dan
sebagainya (Eriyatno, 1999). Sebagai kebutuhan dasar yang akan dianalisis
adalah sistem kelembagaan dalam pengelolaan lahan kritis. Dalam hal ini
Saxena (1992) membagi program atas sembilan elemen, yaitu: (1) sektor
masyarakat yang terpengaruhi, (2) kebutuhan program, (3) kendala utama, (4)
perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan program, (6) tolok ukur untuk
menilai setiap program, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan
tindakan, (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dipakai oleh setiap
aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Dari
kesembilan program ini, diambil tiga di antaranya sesuai dengan kebutuhan
sistem yang akan dianalisis, yaitu: (1) kendala utama, (2) aktivitas yang
dibutuhkan dalam perencanaan tindakan, dan (3) lembaga yang terlibat dalam
perencanaan program.
2. Persyaratan kebutuhan, yaitu dibutuhkan untuk kelangsungan indentifikasi
sistem. Setiap sistem mempunyai persyaratan kebutuhan yang berbeda-beda,
dan karena itu tidak ada ketentuan yang sifatnya mutlak. Kebutuhan yang
dianggap memenuhi syarat dalam analisis ini adalah dilihat kedekatannya
dalam konteks kelembagaan pengelolaan lahan kritis.
38
3. Identifikasi sistem, yaitu rantai hubungan antara pernyataan kebutuhan-
kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan
untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Eriyatno, 1999).
Recommended