29
TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Sebagai Unit Perencanaan Pengelolaan Lahan Kritis Karakteristik biofisik Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan sungai dan anak- anak sungai yang melalui daerah tersebut yang berfungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, kemudian mengalirkannya melalui sungai utama (single outlet) (Kepmenhut. No. 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS). Rumusan ini mendukung pengertian menurut Food and Agricultural Organization dalam Sheng (1968), Dopplet et al. (1993), bahwa daerah aliran sungai merupakan suatu kawasan yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam suatu sistem aliran sungai yang mengalir dari hulu ke muara atau tempat-tempat tertentu. Penegasan dalam pengertian ini adalah adanya batas yang memisahkan dengan DAS lainnya yaitu batas topografi. Pengertian seperti dikemukakan terakhir, menggambarkan kondisi biofisik yang menyebabkan perbedaan karakteristik setiap DAS sebagaimana dikemukakan oleh Gunawan dan Hartono (2000), Purwanto dan Warsito (2001), bahwa karakteristik tata air DAS ditentukan oleh berbagai aspek biofisik, seperti keadaan iklim, geologi, geomorfologi, tanah, topografi, tutupan lahan dan sebagainya. Berdasarkan karakteristik seperti dikemukakan di atas, para akhli sepakat untuk membedakan wilayah fisik DAS atas tiga zona yaitu: zona hulu (up-land),

Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

10

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai Sebagai Unit Perencanaan Pengelolaan Lahan Kritis

Karakteristik biofisik

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan

sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan sungai dan anak-

anak sungai yang melalui daerah tersebut yang berfungsi untuk menampung air

yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, kemudian mengalirkannya

melalui sungai utama (single outlet) (Kepmenhut. No. 52/Kpts-II/2001 Tentang

Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS). Rumusan ini mendukung

pengertian menurut Food and Agricultural Organization dalam Sheng (1968),

Dopplet et al. (1993), bahwa daerah aliran sungai merupakan suatu kawasan yang

mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam suatu sistem aliran sungai yang

mengalir dari hulu ke muara atau tempat-tempat tertentu. Penegasan dalam

pengertian ini adalah adanya batas yang memisahkan dengan DAS lainnya yaitu

batas topografi.

Pengertian seperti dikemukakan terakhir, menggambarkan kondisi biofisik

yang menyebabkan perbedaan karakteristik setiap DAS sebagaimana dikemukakan

oleh Gunawan dan Hartono (2000), Purwanto dan Warsito (2001), bahwa

karakteristik tata air DAS ditentukan oleh berbagai aspek biofisik, seperti keadaan

iklim, geologi, geomorfologi, tanah, topografi, tutupan lahan dan sebagainya.

Berdasarkan karakteristik seperti dikemukakan di atas, para akhli sepakat

untuk membedakan wilayah fisik DAS atas tiga zona yaitu: zona hulu (up-land),

Page 2: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

11

zona tengah (mid-land), dan zona hilir (low-land). Sistem zonasi wilayah DAS

telah diuraikan oleh Asdak (1995), bahwa zona hulu merupakan daerah konservasi

yang dicirikan oleh kerapatan drainase yang lebih tinggi, kemiringan lereng besar

(> 15%), bukan merupakan daerah banjir, dan pengaturan pemakaian air ditentukan

oleh pola drainase. Zona hilir dicirikan oleh karakteristik sebagai daerah

pemanfaatan, kerapatan drainase kecil, kemiringan lereng lebih kecil hingga

mencapai < 8%, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), dan

pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi. Sedangkan zona

tengah merupakan zona peralihan dari zona hulu ke zona hilir.

Keberkaitan ke tiga zona ini telah dikemukakan oleh Supriadi (2000),

bahwa zona hulu (catchment area) merupakan zona aktif tempat terjadinya proses

awal siklus hidrologi (hidrology cycle). Karakteristik lahan umumnya memiliki

kemampuan dan kesesuaian yang terbatas, sehingga penggunaan lahan (land use)

dan teknologi yang diterapkan memerlukan perencanaan secara matang. Kesalahan

penetapan kebijakan penggunaan lahan pada zona ini, akan berdampak buruk

terhadap ke dua zona di bawahnya.

Karakteristik sosial

Pengelolaan sumberdaya alam DAS adalah kegiatan yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Karena itu masyarakat sebagai social

capital harus diperhitungkan. Helweg (1985), mencontohkan keberkaitan

sumberdaya alam (natural capital) dan jumlah penduduk (social capital), antara

lain ketepatan mengestimasi kebutuhan air sangat bergantung pada keakuratan

Page 3: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

12

proyeksi jumlah penduduk. Disinilah pentingnya pemahaman karakteristik sosial,

ekonomi, dan budaya masyarakat pada suatu DAS.

Disamping perbedaan karakteristik biofisik, juga terdapat perbedaan

karateristik sosial menurut zonasi tadi. Zona hulu didominasi oleh warga

masyarakat petani dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan yang

rendah. Hal ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai penyebab, bahwa

kegagalan RLKT di zona hulu disebabkan oleh keterbatasan kemampuan sosial

ekonomi masyarakat. Sitorus dan Tarigan (2000) mengklaim bahwa kegagalan

pengelolaan DAS disebabkan lemahnya petani dalam mengadopsi tindakan

konservasi sebagai akibat kepemilikan lahan yang sempit (khusus Jawa) dan

rendahnya tingkat pendidikan.

Namun untuk memotivasi petani agar mengadopsi paket teknologi tidak

cukup hanya dengan pendidikan. Menurut Sinukaban (1994, 2002), perlu

diwujudkan teknologi yang mampu mendukung sistem pertanian konservasi (SPK),

meliputi (1) komoditi pertanian yang diusahakan sebaiknya beragam dan sesuai

dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar, (2)

agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan dikembangkan oleh masyarakat

dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal, (3) sistem penguasaan/pemilikan lahan

dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security)

dan menggairahkan petani untuk terus berusaha tani, (4) laju erosi lebih kecil dari

yang dapat ditoleransikan sehingga peroduktifitas dapat dipertahankan/ditingkatkan

secara lestari, dan (5) fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga

tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan dimusim kemarau.

Page 4: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

13

Meskipun peran social capital sangat penting sebagai bahan pertimbangan

perencanaan pengelolaan DAS, kenyataannya sumberdaya ini telah tersampingkan

sejak rejim orde baru. Menurut Kartodihardjo (1999), kekuatan sosial budaya

masyarakat tergeser oleh teknologi dan modal kerja (man made capital), padahal

kearifan budaya masyarakat terhadap hutan merupakan prasyarat yang di dalamnya

terdapat nilai-nilai hutan alam yang tidak pernah diperhitungkan secara ekonomi.

Menurut Muhtaman (2002), hancurnya kekuatan-kekuatan lokal membuat rakyat

tidak mempunyai kekuatan untuk beradaptasi dalam menghadapi krisis.

Guna mengatasi kegagalan pengelolaan lahan kritis dibeberapa DAS,

diperlukan tindakan sosial (social action). Ini dapat dilakukan setelah memahami

karakteristik kelompok sosial (social group characteristic), dimana masyarakat

dipandang sebagai susunan kelompok-kelompok sosial yang seolah-olah

menduduki strata tertentu yang sangat prestisius (Hikmat 2001). Pemahaman ini

amat penting jika memandang permasalahan DAS tidak sebatas persoalan

teknologi, melainkan juga dalam konteks sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik.

Penanganan masalah DAS menurut William (1995), bahwa permasalahan

DAS adalah permasalahan lingkungan, dan penyelesaiannya dapat di tempuh

melalui dua versi. Pertama, penyelesaian permasalahan melalui solusi-solusi

konkrit, misalnya masalah erosi dan sedimentasi harus diselesaikan melalui paket

teknologi anti erosi, dan anti sedimentasi. Kedua, pandangan yang mengarah pada

solusi-solusi menyangkut tatanan sosial, ekonomi, dan budaya. Artinya penanganan

masalah lingkungan DAS tidak selamanya mengarah pada aspek fisik, melainkan

Page 5: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

14

juga pada tatanan sosial yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan lewat

aplikasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya.

Hal inilah yang disinyalir bahwa kegagalan pengelolaan lahan kritis DAS

Bila, adalah akibat permasalahan DAS hanya dipandang sebatas masalah fisik-

teknologi, tanpa memperhitungkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya

masyarakatnya. Kegagalan pengelolaan sumberdaya alam akibat adanya strategi

yang tidak memperhitungkan aspek sosial, juga disinggung oleh Suliyanti et al.

(2000), antara lain (1) konsep yang ditawarkan lebih banyak mengarah pada

masalah teknis, sementara pada umumnya stakeholders lebih cenderung mengarah

pada pertimbangan aspek sosial dan ekonomi, (2) kurang melibatkan warga

masyarakat tentang kegiatan apa dan yang bagaimana mereka inginkan.

Pengelolaan lahan kritis berbasis DAS memerlukan kerjasama dan

keswadayaan. Menurut Aliadi et al. (2000), kerjasama bisa dimulai jika (1)

masalah diketahui bersama, (2) adanya saling menghargai dan saling mendengar

pendapat, dan (3) semua stakeholders terlibat mulai dari tahap perencanaan. Ketiga

faktor ini merupakan prasyarat terciptanya koordinasi. Karena itu diperlukan

pemahaman melalui analisis kekuatan stakeholder seperti dikemukakan oleh

Mayers et al. (2001) yaitu suatu piranti untuk membantu memahami bagaimana

masyarakat mempengaruhi kebijakan dan lembaga, atau sebaliknya

Deskripsi Tentang Pengelolan Lahan Kritis

Pengertian lahan kritis

Istilah lahan kritis adalah kualifikasi buruk yang diberikan kepada lahan

berdasarkan fungsi dan peruntukannya. Dalam Kepmenhut. No. 52/Kpts-II/2001,

Page 6: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

15

dinyatakan bahwa lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa

sehingga tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai

media produksi dan media tata air.

Pengertian ini diperjelas oleh Bermanakusumah (2001), bahwa lahan kritis

adalah lahan yang secara potensial tidak mampu berfungsi sebagai media produksi

(fungsi pertanian), pengatur tata air (fungsi hidrologis), perlindungan kelestarian

lingkungan (fungsi orologis), serta sumber pendapatan dan kesejahteraan petani

(fungsi sosial ekonomi). Berdasarkan pengertian ini, ia mengklasifikasikan lahan

kritis atas tiga bagian, yaitu:

1. Kritis secara hidro-orologis, yaitu tanah-tanah dalam suatu daerah aliran sungai

(DAS) hulu yang menimbulkan erosi dan bahaya banjir.

2. Kritis fisik-teknis, yaitu tanah-tanah yang tingkat kesuburannya terus menerus

menurun menuju ke tanah-tanah tandus akibat penggunaan tanah tanpa

memperhatikan aspek konservasi tanah dan air.

3. Kritis sosial-ekonomi, yaitu tanah-tanah di daerah padat penduduk yang

ditanami tanaman pangan melampaui batas kemampuan daya dukung

lingkungannya.

Di samping batasan pengertian seperti diuraikan di atas, Fletcher (1997)

membedakan lahan kritis dengan lahan pontensial kritis sebagai berikut:

1. Lahan pertanian kritis (kritis aktual), mencakup lahan untuk tanaman pertanian

dan padang rumput di mana kedalaman pengakaran efektif antara 15 - 45 cm,

dan diperlukan tindakan segera untuk memperkenalkan upaya-upaya budidaya

Page 7: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

16

tanaman pertanian dan padang rumput berkelanjutan, guna mengurangi erosi

dan mencegah agar lahan tidak mengalami degradasi.

2. Lahan pertanian kritis potensial, mencakup lahan untuk tanaman pertanian dan/

atau padang rumput, dimana kedalaman pengakaran efektif antara 45 - 60 cm,

dan karena belum kritis masih ada kesempatan guna menyusun dan

melaksanakan strategi pengelolaan lahan jangka panjang yang mencakup upaya

konservasi tanah efektif, perbaikan sistem usaha tani, pembinaan untuk para

petani guna menjamin kelanjutan pertanian di lahan tersebut.

Bilamana proses erosi dan/atau daya perusakan lahan semakin berlanjut,

lahan kritis dapat berubah manjadi lahan terdegradasi. Menurut Sinukaban (1997),

degradasi lahan adalah proses penurunan kapasitas lahan pada saat ini dan/atau

masa yang akan datang untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat dibedakan

atas dua kategori, yaitu (1) berkaitan dengan pemindahan material tanah akibat

daya erosi air dan angin, dan (2) penurunan kualitas tanah setempat (on-site) baik

secara kimia maupun fisik.

Latar belakang terbentuknya dan pengelolan lahan kritis

Ada beberapa isu yang penting dipahami tentang penggunaan lahan.

Pertama, bahwa manfaat dari suatu komponen lingkungan sangat relatif baik

secara individu maupun secara umum. Anggapan warga masyarakat bahwa nilai

guna keseimbangan lingkungan hanya untuk kepentingan umum, bukan untuk

perorangan (individu). Karena itu menurut Friday et al. (1999), petani lokal akan

merehabilitasi lahan alang-alang jika mereka yakin bahwa upaya itu akan

meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Demikian pula sebaliknya, resiko

Page 8: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

17

lingkungan apapun yang bakal terjadi, mereka tetap mengeksploitasi lahan demi

kepentingan pribadi. Sikap dan tindakan seperti inilah yang menyebabkan

terbentuknya pola penggunaan lahan yang tidak rasional. Kedua, kebijakan

penggunaan lahan khususnya lahan pertanian, adalah upaya mempertahankan, dan

meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk yang semakin

bertambah. Dengan dalih pemenuhan kebutuhan hidup, penduduk semakin

mengeksploitasi lahan dan ini menjadi motif utama petani membuka lahan di

daerah berlereng. Menurut Soelaeman (1993) dan Dent (1993), pengusahaan lahan

secara intensif di lahan berlereng tanpa usaha konservasi yang memadai

menyebabkan terjadinya erosi dan kerusakan lahan yang berlanjut sampai kondisi

lahan menjadi semakin kritis.

Pada umumnya lahan kritis mendominasi bagian hulu DAS (up-land) yang

dihuni oleh masyarakat petani miskin, kemampuan ekonomi dan pengetahuan yang

rendah, kelembagaan masyarakat yang tidak jalan, dan praktik pengelolaan lahan

yang tidak berkelanjutan (Lier et al. 1994). Dalam kaitannya dengan pengelolaan

DAS berkelanjutan, penggunaan lahan yang diharapkan adalah penggunaan lahan

yang dapat menciptakan keseimbangan lingkungan khususnya pelestarian tanah

dan air, dan peningkatan produktivitas lahan untuk kesejahteraan masyarakat.

Penggunaan lahan seperti inilah yang dimaksud dengan penggunaan lahan yang

rasional. Untuk mencapai penggunaan lahan semacam ini, diperlukan perencanaan

yang dapat memadukan antara tujuan konservasi dan tujuan produksi. Perencanaan

ini harus dirancang melalui sistem pendataan dan klasifikasi tingkat kelerengan.

Karena itu Sitorus (1995), Mitchell (1997), Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001),

Page 9: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

18

mengemukakan bahwa tanah dengan kemiringan lereng curam > 45% tidak boleh

digunakan untuk pertanian melainkan sebagai hutan lindung. Hutan lindung ini

harus dipertahankan dan dibina untuk mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi,

memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik pada kawasan hutan yang

bersangkutan maupun kawasan sekitarnya.

Munculnya lahan kritis khususnya di DAS Bila, banyak diakibatkan oleh

adanya praktik penggunaan lahan tanpa memperhatikan kesesuaian dengan

kemampuan dan fungsi lahan. Hal ini terlihat dalam RTL-RLKT Tahun 1998/1999

dengan rencana merehabilitasi lahan seluas 47.622 ha, yang terdistribusi pada

kawasan hutan lindung 15.249 ha (32,02%), dan di luar kawasan hutan 31.000 ha.

Kekritisan lahan di bagian hulu DAS umumnya disebabkan oleh erosi, sedangkan

di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari

ketidakserasian hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dan manusia

termasuk segala aktivitasnya di bagian hulu. Dampak lanjut yang terjadi adalah

kemampuan lahan sebagai penopang kehidupan petani semakin merosot

(Hermawan et al. 1993).

Sumberdaya air adalah kunci dalam pembangunan, termasuk dalam

pengelolaan lahan kritis yang menempatkan DAS sebagai unit perencanaan.

Menurut Lier (1994), sumberdaya air mempererat hubungan antara perlindungan

sumberdaya alam dengan pengembangan daerah pertanian pada masa yang akan

datang. Sehubungan dengan itu pengelolaan sumberdaya lahan, tanah dan air dalam

sebuah DAS harus dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan fungsi ganda

sumberdaya tersebut (ekonomi, ekologis, dan sosial), secara terpadu dengan

Page 10: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

19

menggunakan pendekatan integrated watershed management yang meliputi bagian

hulu sampai ke hilir (SMERI-UNDP, 1997).

Kelembagaan Pengelolaan Lahan Kritis Berbasis DAS

Pengertian kelembagaan

Kelembagaan (institution) seperti dikemukakan oleh Kartodihardjo et al.

(2000), adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana

masyarakat tersebut telah mengakses kesempatan-kesempatan yang tersedia,

bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak

lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus

mereka lakukan. Kesempatan yang tersedia menurut Kartodihardjo et al. (2000)

adalah kesempatan dalam lingkungan, tergantung dari aturan-aturan yang

digunakan baik yang bersifat formal seperti peraturan pemerintah, maupun non-

formal seperti kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat, dan sebagainya.

Selanjutnya Tadjuddin (1999), mengartikan kelembagaan sebagai

seperangkat tata nilai, aturan main, dan aspirasi yang bersifat unik dalam dimensi

ruang dan waktu, dimana secara formal kelembagaan itu sendiri harus bersifat

dinamis dalam arti adaptif terhadap perubahan.

Berdasarkan pandangan sebagai aturan main, dapat dipahami adanya

perbedaan pengertian antara kelembagaan sebagai institusi, dan kelembagaan

sebagai organisasi. Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), kelembagaan sebagai

aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal diartikan sebagai

seperangkat aturan baik formal, maupun informal tentang tata hubungan manusia

dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan tanggung jawab. Sedangkan

Page 11: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

20

kelembagaan dalam konteks organisasi lebih mengarah kepada mekanisme

administrasi dan kewenangan.

Kelembagaan baik dalam arti aturan main maupun dalam arti organisasi,

juga telah dijelaskan oleh Pakpahan (1997), bahwa sebagai aturan main berarti

memberikan kesempatan sekaligus kendala (tergantung dari mana kita melihatnya)

bagi perkembangan perilaku masyarakat terhadap sumberdaya alam, misalnya tata

air. Sedangkan sebagai organisasi, dapat merupakan potensi atau sebaliknya,

tergantung apakah organisasi itu bersifat adaptif atau inovatif.

Dalam pengelolaan DAS, apakah kelembagaan itu dipandang sebagai

aturan main atau sebagai organisasi juga diuraikan oleh Danida (1998), yaitu untuk

mengembangkan perencanaan pengelolaan sumberdaya DAS dengan merangkum

seluruh pihak-pihak terkait yang multi sektor/multi disiplin, melalui kerjasama

untuk mendorong partisipasi masyarakat secara langsung dalam pengelolaan DAS.

Berdasarkan pengertian ini, berarti aturan main yang sesuai dengan tujuan yang

seharusnya dicapai akan memberikan kesempatan kepada stakeholders untuk

berperilaku yang mendukung tercapainya tujuan.

Pasaribu (1996), menjelaskan tentang status kelembagaan suatu organisasi,

dimana suatu organisasi dapat dikatakan melembaga apabila organisasi tersebut

telah mendapatkan status khusus dan pengakuan (legitimate) dari masyarakat

karena mereka telah mendapatkan kepuasan atas kebutuhan mereka. Kebijakan

tidak akan berjalan jika tidak ditunjang oleh wadah organisasi yang melembaga di

masyarakat. Gejala ketidakmelembagaan suatu organisasi merupakan salah satu

bukti lemahnya fungsi pengorganisasian (regulative institution) yang ada di

dalamnya.

Page 12: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

21

Dalam kelembagaan terdapat tiga komponen utama yaitu (1) organisasi,

(2) fungsi, dan (3) aturan main (Didu 2001). Komponen yang ke tiga (aturan main)

mengatur organisasi (pemerintah/swasta) dan individu, agar dapat berperan

melakukan tugas sesuai dengan kewenangan masing-masing. Olehnya itu

kelembagaan merupakan suatu sistem yang mengatur apa yang seharusnya dan

yang tidak seharusnya dilakukan oleh organisasi dan/atau individu. Sebagai suatu

sistem, di dalamnya terdapat tiga aturan yang sangat mendasar, yaitu: (1) batas

kewenangan (yurisdictional boundary), (2) hak kepemilikan (property right), dan

(3) aturan perwakilan (rules of representation).

Batas kewenangan menurut Kartodihardjo et al. (2000), adalah menentukan

siapa, dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi. Sedangkan menurut Anwar

(2000), batas kewenangan terhadap sumberdaya, dana, dan tenaga dalam suatu

organisasi, termasuk mengatur laju pemanfaatan dan pendistribusian manfaat

sumberdaya sehingga dapat diperoleh keberlanjutan.

Hak kepemilikan menurut Hana dan Munasinghe (1995), adalah mengatur

seluruh aktifitas untuk mencapai keteraturan interaksi antara manusia dan

lingkungannya sehingga mencerminkan ke dua prinsip umum yaitu spesifikasi

sosial dan lingkup ekosistem. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa hak

kepemilikan adalah hak sosial yang dimiliki baik secara individu, kelompok,

dan/atau masyarakat umum atas sumberdaya tertentu yang diatur oleh aturan baik

secara formal, non-formal (adat kebiasaan) yang berlaku dan mengatur hubungan-

hubungan sosial kemasyarakatan. Hak kepemilikan yang berlaku di masyarakat

Page 13: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

22

seperti dikemukakan oleh Kartodiharjo (1999), misalnya adanya perbedaan bentuk

kepemilikan terhadap lahan, yaitu (1) pemilikan individu (private property), (2)

pemilikan kelompok (common property), dan (3) pemilikan negara (state property).

Aturan representasi (roles of reprecentation), mengatur siapa yang boleh,

dan tidak boleh ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Menurut Fajari (2002),

aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses

pengambilan keputusan, keputusan apa yang akan diambil, dan apa akibatnya

terhadap keragaan (performance) yang ditentukan oleh aturan perwakilan atau

reprentasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan.

Peran kelembagaan dalam pengelolaan lahan kritis.

Banyak kalangan yang berpendapat bahwa menurunnya daya dukung DAS

adalah akibat perubahan kelembagaan (institusi) masyarakat baik formal, maupun

non-formal. Karena itu diperlukan ketajaman pemahaman bagaimana peran

kelembagaan selama ini, dan bagaimana seharusnya untuk yang akan datang.

Jika kelembagaan diartikan sebagai aturan main dalam pengelolaan DAS,

hampir dapat dipastikan bahwa kelembagaan tersebut sangat menentukan

kelangsungan fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, khususnya dalam

hal pengelolaan lahan kritis. Menurut Kartodihardjo et al. (2000), terdapat dua

faktor yang menghambat sehingga fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan tidak berjalan, yaitu (1) aspek kebijakan (policy) seperti lemahnya

koordinasi antar instansi terkait dalam menyelenggarakan pengelolaan DAS (2)

aspek teknis pelaksanaan pengelolaan DAS, seperti kurangnya program

Page 14: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

23

peningkatan SDM, rendahnya inovasi teknologi, dan belum tersedianya standar

pelaksanaan kegiatan dan standar hasil. Kedua faktor ini sudah merupakan masalah

umum kelembagaan, khususnya dalam kelembagaan pengelolaan DAS.

Pada uraian latar belakang penelitian ini telah dikemukakan empat faktor

pokok yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan masyarakat

sehubungan dengan pengelolaan DAS menurut Darajati (2001). Keempat faktor

tersebut merupakan kegiatan utama dalam pengelolaan lahan kritis, yang harus

melibatkan berbagai organisasi/kelompok dan individu baik secara langsung

maupun tidak langsung. Untuk melibatkan berbagai organisasi, diperlukan

koordinasi dan ini merupakan faktor yang sangat penting bahkan menjadi kunci

keberhasilan pengelolaan lahan kritis. Lemahnya koordinasi sering menjadi

kendala utama sehingga hubungan antar komponen dalam sistem pengelolaan lahan

kritis berbasis DAS menjadi tidak stabil.

Sebagai suatu sistem, di dalam DAS terdapat sekian banyak komponen

yang saling berinteraksi. Karena itu dalam sebuah sistem yang stabil, pengelolaan

selanjutnya dapat dilakukan melalui pendekatan efisiensi. Tetapi jika kenyataan

sebaliknya (tidak stabil), pengelolaannya harus diarahkan melalui pendekatan

efektifitas. Implikasinya menurut Eriyatno (1999), adalah (1) apabila sistem relatif

stabil maka manajemen dititikberatkan pada operasi dan pengendalian, dan (2)

apabila sistem kurang/tidak stabil, maka perhatian kita alihkan pada perencanaan

dan analisis strategi.

Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan

pengelolaan DAS yaitu (1) lemahnya sektor-sektor pemerintah daerah sebagai

Page 15: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

24

unsur institusi yang berkaitan dengan pengelolaan lahan kritis, baik dari segi

kuantitas maupun kualitas pada hal mereka adalah tenaga teknis dan fasilitator

yang paling dekat dengan DAS, (2) perencanaan pengelolaan DAS belum

sepenuhnya terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah serta masih

rendahnya partisipasi masyarakat, (3) adanya situasi yang kurang kondusif bagi

peningkatan produktivitas yang diperlukan untuk mendukung peningkatan

kesejahteraan masyarakat, dan sebagai usaha pelestarian keseimbangan lingkungan,

(4) adanya sikap yang kurang responsif terhadap upaya pembangunan jangka

panjang demi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan

sumberdaya alam lestari, (5) pembangunan pertanian/pembangunan pada umumnya

lebih terkonsentrasi pada daerah hilir (low-land), sehingga daerah hulu (up-land),

tidak merasa diuntungkan oleh program-program yang didanai oleh pemerintah,

dan (6) rendahnya produktivitas pertanian di beberapa daerah sehingga lahan tidak

dapat dijadikan satu-satunya penopang kehidupan masyarakat miskin di pedesaan.

Timbulnya masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai akibat

adanya fungsi perencanaan dan analisis strategi yang tidak kondusif. Menurut

Kartodihadjo et al. (2000), hal ini disebabkan oleh lemahnya aspek kebijakan dan

teknis pelaksanaan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bastaman (2000),

bahwa permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS berkaitan dengan

ketiadaan ikatan koordinatif yang kuat dalam pencapaian tujuan, sehingga

kebijakan pengelolaan DAS sering tidak sejalan dengan kebijakan masing-masing

sektor.

Page 16: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

25

Lemahnya koordinasi juga telah dikeluhkan oleh pemerintah, baik di

tingkat pusat maupun di daerah. Hal ini diungkap dalam REPETA (2002), bahwa

program pembangunan yang akan dilaksanakan mulai tahun 2002 sebagaimana

yang tertuang dalam PROPENAS (2000 - 2004), yakni perlunya penataan

kelembagaan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam dan

lingkungan hidup. Kegiatan pokok program ini antara lain (1) menata institusi dan

aparatur pengelola SDA dan lingkungan di provinsi, dan kabupaten/kota, (2)

menetapkan peraturan yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab daerah

dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, (3) menguatkan institusi

pengendalian dampak lingkungan di daerah, (4) menyusun Undang-Undang dan

perangkat hukum di bidang pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, (5)

meningkatkan peranserta dan pengakuan atas hak/kepemilikan masyarakat lokal

dan adat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan, (6) mengembangkan

kelembagaan pendanaan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup melalui

insentif/disinsentif mekanisme pasar. Sehubungan dengan ini, Sudradjat dan

Yustina (2002), mengharapkan adanya satu lembaga yang bisa menghubungkan

antara kepentingan pusat, propinsi, dan kabupaten serta seluruh stakeholder terkait

dalam pemecahan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan secara

sendiri-sendiri dalam bentuk forum kerjasama.

Lemahnya koordinasi antar instansi telah disadari sebagai masalah di dae-

rah khususnya di tiga kabupaten dalam wilayah DAS Bila. Peraturan daerah

(Perda) Kabupaten Sidenreng Rappang No. 34 Tahun 2001, mengangkat masalah

kelembagaan sebagai masalah yang perlu dipecahkan. Demikian pula dalam Perda.

Page 17: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

26

No. 13 Tahun 2002 tentang Rencana Strategi Daerah (Renstrada) Tahun 2001-

2005, ditegaskan bahwa faktor penentu keberhasilan pembangunan daerah adalah

antara lain (1) kelembagaan pemerintah dan masyarakat yang efektif dan efisien,

serta (2) peran yang terintegrasi dari semua unit kerja pemerintah kabupaten

sebagai tim kerja terpadu melalui proses organisasi pembelajaran yang optimal dan

berkelanjutan.

Meskipun Renstrada menjadi acuan penyusunan renstra sektoral, namun

belum dibuktikan melalui penyusunan Renstra Dinas-Dinas dan Badan teknis di

daerah. Semestinya dalam penyusunan Renstra untuk pembangunan lima tahun ke

depan, koordinasi semua sektor (dinas dan badan otonom) sudah harus dimulai,

dengan meletakkan DAS Bila sebagai unit perencanaan wilayah secara terpadu.

Demikian pula bagi Kabupaten Enrekang sebagai wilayah hulu DAS Bila,

koordinasi antar instansi baru sebatas kebijakan dalam bentuk Perda. No. 22 Tahun

2001 tentang Pengendalian Lingkungan Daerah Aliran Sungai, sementara realisasi

kebijakan itu belum terwujud dalam penyusunan renstra masing-masing dinas.

Untuk mewujudkan sebagaimana dikemukakan terakhir, kapabilitas

individu (personil) merupakan faktor penting. Kapabilitas individu yang

dimaksudkan tidak hanya sebatas kemampuan intelektual, tetapi juga kemampuan

kerjasama dalam tim yang meliputi aspek psikososial seperti kemampuan

memahami pendapat orang lain, menghargai kesepakatan dan gagasan yang

berbeda-beda, serta bermoral tinggi. Hal ini telah diuraikan oleh Pakpahan (1997),

bahwa kapabilitas individu bergantung pada pengetahuan intelektual, maupun

nilai-nilai moral yang mampu mewarnai perilakunya. Karena itu, pengembangan

Page 18: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

27

institusi tanpa diikuti pengembangan sikap dan nilai-nilai moral sebagai basis

peningkatan kapabilitas individu akan kurang bermakna bahkan sebaliknya,

kelembagaan yang ada akan melahirkan beban sosial baru bagi masyarakat.

Selain permasalahan seperti diuraikan di atas, kelembagaan pengelolaan

DAS dapat dinilai efisien tetapi tidak efektif. Menurut Kartodihardjo et al. (2000),

bahwa di satu sisi pemerintah pusat sangat kuat dalam hal penetapan kebijakan,

tetapi pada sisi lainnya tidak berdaya dalam hal pelaksanaan dan pengendaliannya.

Pemerintah dan juga masyarakat mengetahui bahwa kinerja administrasi kurang

dapat menggambarkan realita di lapangan, tetapi hal itu masih tetap dilakukan.

Sepanjang kinerja administrasi belum dapat dibenahi, akan semakin banyak

kebijakan yang hanya mampu berperan sebagai kebijakan birokrasi, yang

pertanggungjawabannya hanya sebatas laporan-laporan berkala yang tidak sesuai

dengan realita di lapangan.

Permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS bukan hanya sebatas

permasalahan seberapa banyak kebijakan yang telah dan yang akan dirumuskan.

Namun yang terpenting adalah bagaimana kebijakan yang dihasilkan dapat

diterapkan dan/atau diadopsi oleh masyarakat. Disinilah perlunya keterpaduan

antara pemangku kepentingan mulai dari aparat pemerintah hingga ke petani

sebagai pelaksana kunci di lapangan. Untuk merobah perilaku kelembagaan ke

dalam kondisi yang diharapkan, harus dimulai dari perubahan tatanan nilai-nilai,

sikap, dan moral individu antar sektor, maupun masyarakat umum.

Menurut Barlowe (1986), bahwa faktor kelembagaan yang berpengaruh

terhadap pola penggunaan lahan selain aturan dan perundang-undangan yang

Page 19: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

28

dibuat oleh pemerintah, juga faktor-faktor yang terkait dengan sosial budaya

masyarakat. Ini relevan dengan pendapat Sys, Van Ranst dan Debaveye (1991),

bahwa selain sumberdaya fisik, sumberdaya manusia dan sumberdaya modal juga

merupakan sumberdaya utama yang mempengaruhi penggunaan lahan.

Konsep pemikiran yang dapat ditarik dari kedua pendapat ini adalah

bagaimanapun kelembagaan itu dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dinilai

bagus tetapi jika tidak sinkron dengan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat,

mustahil akan teradopsi oleh sektor-sektor terkait dan masyarakat pada umumnya.

Karena itu, kelembagaan yang baik adalah adanya lembaga yang mampu

melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat mengatur fungsi dan aktivitas

sumberdaya manusia dan penggunaan modal ke arah terwujudnya penggunaan

lahan yang rasional serta mampu menekan laju pertumbuhan lahan kritis.

Terjadinya lahan kritis dan degradasi lahan di beberapa daerah adalah

sebagai akibat ketidaksinkronan antara tujuan masyarakat (petani), dengan

kebijakan yang dibuat pemerintah. Motif petani mengacu pada tujuan untuk

memperoleh manfaat dan keuntungan sesegera mungkin, sedangkan kebijakan

pemerintah mengacu pada tujuan jangka panjang dan berkelanjutan untuk generasi

masa kini dan yang akan datang. Kesenjangan antara tujuan petani dan tujuan

pemerintah menjadi konflik kelembagaan khususnya dalam pengelolaan lahan

kritis.

Konflik kelembagaan pengelolaan DAS dapat diidentifikasi dengan

mencermati berbagai paradoks sebagaimana diuraikan oleh Kartodihardjo et al.

(2000), misalnya: (1) Lahan kritis digunakan sebagai lahan pertanian dengan hasil

Page 20: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

29

jangka pendek yang rendah, meskipun diketahui jika ditanami tanaman jangka

panjang akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. (2) Pelaksanaan

reboisasi dan penghijauan lebih berhasil di wilayah hilir, sedangkan yang lebih

diperlukan adalah di wilayah hulu. (3) Pelaksanaan reboisasi dan penghijauan

hanya berhasil sampai tahun ke empat, sedangkan manfaat yang diharapkan dari

reboisasi dan penghijauan adalah tujuan untuk jangka panjang. Hal ini merupakan

bukti bahwa peran kelembagaan selama ini belum seperti yang diharapkan,

sehingga kebijakan yang dihasilkanpun belum memuaskan kedua belah pihak

(masyarakat dan pemerintah).

Selama orde baru, perumusan kebijakan pengelolaan DAS didasarkan pada

masalah-masalah yang menyangkut kondisi fisik DAS yaitu (1) luas dan semakin

meluasnya lahan kritis, (2) semakin berkurangnya tutupan hutan permanen, (3)

erosi dan sedimentasi yang semakin meningkat, (4) semakin besarnya fluktuasi

debit air, dan (5) terjadinya peristiwa banjir dan kekeringan yang silih berganti.

Kondisi yang tidak diinginkan ini langsung diatasi melalui berbagai kebijakan, baik

berupa perintah untuk melakukan sesuatu, dan/atau pelarangan yang disertai

petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Perumusan kebijakan

seperti ini hanya berakhir pada kalimat tanya mengapa juklak dan juknis tidak

berjalan sebagaimana yang diharapkan?

Menurut Kartodihardjo et al. (2000), dari pengalaman-pengalaman masa

lalu, pendekatan seperti ini terbukti tidak dapat lagi digunakan sebagai titik tolak

perumusan kebijakan. Oleh karena itu diperlukan identifikasi permasalahan melalui

Page 21: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

30

pendekatan yang dianggap lebih akurat dalam merumuskan kebijakan yang sesuai,

yaitu kebijakan yang mampu merobah perilaku masyarakat termasuk dunia usaha.

Kebijakan pengelolaan DAS menjadi faktor penting dan penentu untuk

mencapai keharmonisan interaksi masyarakat baik dalam konteks individu atau

kelompok demi pemanfaatan sumberdaya alam DAS. Dalam Buku I Laporan Akhir

DAS Ciliwung (2000), dikemukakan tiga faktor yang dapat diidentifikasi dari

pengaturan kelembagaan, yaitu (1) koherensi kepentingan dan aktivitas

stakeholders, (2) kekuatan lembaga lokal, dan (3) manfaat untuk masyarakat lokal.

Pertama, pihak perumus kebijakan harus menyadari bahwa penguatan

kelembagaan semakin mudah dicapai jika terjadi kesamaan kepentingan di antara

stakeholders dalam DAS, dan demikian pula sebaliknya. Menurut Meyers et al.

(2001), stakeholders adalah orang-orang yang mempunyai hak dan kepentingan

dalam suatu sistem, yang dapat terdiri atas individu, komunitas, kelompok sosial,

dan/atau organisasi. Pentingnya pemahaman tentang stakeholders dapat

dikemukakan menurut Hurni (1998), yaitu sebagai pemeran (aktor) yang

kadang-kadang ditentukan menurut kelompok-kelompok berdasarkan akfivitas,

kepemilikan, atau organisasi. Mereka terbentuk menurut tingkatan-tingkatan mulai

dari keluarga sampai masyarakat internasional. Biasanya masing-masing

stakeholders memandang suatu sumberdaya dari sudut yang berbeda dan berusaha

menyamakan perbedaan prinsip dengan baik. Sering pengambilan keputusan di

tingkat lokal tidak tepat oleh karena stakeholders tidak berpartisipasi di dalam

proses perumusannya.

Page 22: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

31

Kedua, pemahaman tentang kelembagaan lokal merupakan faktor yang

sangat penting dalam pengelolaan DAS melalui perlindungan terhadap hak

kepemilikan (proverty right), serta penguatan norma/adat tradisi lokal.

Kelembagaan lokal merupakan modal sosial (social capital) yang sangat penting

sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Harus disadari bahwa

salah satu di antara sekian penyebab kegagalan pengelolaan hutan alam adalah

adanya kebijakan pengusahaan hutan yang mengesampingkan peran lembaga-

lembaga lokal. Menurut Kartodihardjo (1999), dalam pengusahaan hutan alam,

kearifan budaya masyarakat desa hutan sebagai social capital digeser dan

digantikan oleh kekuatan teknologi dalam bentuk investasi (man made capital).

Ketiga, manfaat lokal sering menjadi bahan pertimbangan pada urutan

kedua bahkan terabaikan secara total. Hal ini diuraikan dalam Buku I Laporan

Akhir: DAS Ciliwung (2000), bahwa (1) tujuan utama pengelolaan DAS adalah

untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal termasuk pemerataan, penurunan

tingkat kemiskinan, dan (2) tujuan umum konservasi tanah dan air. Pemenuhan

kebutuhan masyarakat lokal merupakan tujuan jangka pendek sedangkan tujuan

konservasi tanah dan air merupakan tujuan sosial jangka panjang.

Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis

Perencanaan dan strategi sebagai proses

Perencanaan tidak berarti selesai setelah dihasilkannya dokumen rencana,

tetapi sebagai proses yang berulang dan mengait aktivitas-aktivitas pengelolaan

DAS. Dalam Kepmenhut. No. 52/Kpts-II/2001, Tentang Peraturan Perundang-

Page 23: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

32

Undangan Sebagai Tindak Lanjut PP. No. 25 Tahun 2000, dikemukakan langkah-

langkah penyusunan pengelolaan DAS, yaitu (1) identifikasi karakteristik DAS (2)

indentifikasi masalah, (3) perumusan tujuan dan sasaran, (4) identifikasi dan

evaluasi alternatif kegiatan, penyusunan rencana indikatif dan kegiatan, serta

legitimasi dan sosialisasi rencana. Inilah yang dimaksudkan oleh Rustiadi et al.

(2003), bahwa proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah

pencapaian tujuan, mengkaji berbagai ketidakpastian, mengukur kemampuan

(kapasitas) yang kita miliki kemudian memilih sasaran terbaik dan menentukan

langkah-langkah untuk mencapai tujuan. Dalam memilih sasaran terbaik dan

menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan, dibutuhkan sejumlah

pengetahuan yang konprehensif. Karena itu pendekatan rasional dapat juga disebut

pendekatan yang komprehensif.

Perencanaan, kebijakan, dan strategi tidak dapat dipahami secara terpisah.

Kebijakan dan strategi adalah bagian perencanaan. Hal ini seperti dijelaskan oleh

Swastha dan Sukotjo (2000), bahwa perencanaan dapat dilihat dari enam sudut

pandang, yaitu (1) tujuan (objective), (2) kebijakan (policy), (3) strategi, (4)

prosedur, (5) aturan (rule), dan (6) program. Kebijakan adalah suatu pernyataan

atau pengertian untuk menyalurkan pikiran dalam mengambil keputusan terhadap

tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan, sedangkan strategi adalah tindakan

penyesuaian dari rencana yang telah dibuat akibat dari adanya berbagai reaksi.

Perbedaan antara kebijakan dan strategi juga dapat ditunjukkan seperti

dikemukakan oleh Didu (2001), bahwa kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas

yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanan suatu pekerjaan

Page 24: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

33

untuk mencapai tujuan dan lebih bersifat makro. Sedangkan strategi lebih

mengarah pada aturan-aturan yang menyangkut perencanaan dan pelaksanaan

secara teknis dalam skala jangka pendek dan lebih bersifat mikro.

Jika dipandang dari kepentingan fungsi-fungsi manajemen pembangunan

(perencanaan, pelaksanaan, pengawasan), maka yang terpenting adalah fungsi

perencanaan. Semua aktivitas manajemen untuk mendukung upaya pencapaian

tujuan pembangunan harus dilaksanakan setelah fungsi perencanaan dilaksanakan

lebih dahulu (David 1998) (Swastha dan Sukotjo 2000).

Analisis sistem pengelolaan lahan kritis

Lahan, merupakan sumberdaya alam non hayati yang ada dalam DAS, dan

merupakan modal alam (natural capital) untuk mendukung aktifitas pembangunan

menuju peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Prinsip pembangunan untuk

mencapai kesejahteraan hidup masyarakat, adalah pembangunan berkelanjutan

yang menuntut individu, kelompok, organisasi pemerintah/swasta, agar dalam

memanfaatkan sumberdaya tersebut sebijaksana mungkin, sehingga dapat

memenuhi kebutuhan hidup generasi masa kini, dan yang akan datang. Karena itu

dalam pemanfaatan sumberdaya lahan diperlukan suatu perencanaan dengan

merumuskan tujuan sebagai sasaran program yang ingin dicapai. Meskipun

terbentuknya lahan kritis dapat disebabkan oleh proses alam, namun tidak sedikit

bahkan pada umumnya disebabkan oleh kesalahan dalam hal perencanaan,

pelaksanaan, dan atau karena lemahnya pengawasan.

Kebijakan pengelolaan DAS selama orde baru disusun dengan

berlandaskan pada masalah-masalah fisik seperti erosi dan tutupan hutan, yang

Page 25: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

34

langsung diatasi dengan membuat kebijakan anti erosi, program reboisasi dan

penghijauan tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan budaya

masyarakat. Karena itu banyak kebijakan yang berakhir tanpa mencapai tujuan.

Kegagalan program pengelolaan lahan kritis dalam sebuah DAS, disebabkan antara

lain kesalahan dan/atau ketidakcermatan dalam hal perumusan kebijakan

pendukung pelaksanaan program.

Dewasa ini pendekatan sistem sosio-teknologis di bidang pertanian, ling-

kungan hidup, dan industri semakin banyak digunakan termasuk yang berhubungan

dengan hal-hal pengambilan keputusan (decision making). Menurut Suryadi dan

Ramdhani (2000), hakekat pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan

sistematis pada suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta, penentuan secara matang

dari alternatif yang dihadapi, dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan

merupakan tindakan yang paling tepat.

Pengambilan keputusan terhadap kebijakan pengelolaan lahan kritis tidak

lepas, dan harus melibatkan organisasi (sektor-sektor terkait) dan individu

sebagaimana dikemukakan terdahulu. Keterlibatan sistem organisasi dalam

pengambilan keputusan telah diuraikan oleh Suryadi dan Ramdhani (2000), yang

paling tidak mencakup (1) faktor fisik (operasional), (2) manajemen, dan (3)

informasi. Karena itu proses pengambilan keputusan tidak terpisahkan dari ketiga

sistem tersebut.

Sistem diartikan sebagai proses yang rumit yang di dalamnya terdapat

banyak lintasan atau hubungan sebab akibat (Mize dan Cox 1968). Sedangkan

menurut Manetsch dan Park (1979), adalah seperangkat elemen-elemen yang

Page 26: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

35

berhubungan dan/atau saling berkaitan yang diorganisasikan untuk mencapai satu

atau seperangkat tujuan. Pengertian seperti dikemukakan terakhir diperkuat oleh

Winardi (1989), bahwa sistem adalah sekumpulan elemen yang di dalamnya

terdapat interaksi saling berhubungan. Kendati demikian Eriyatno (1999)

mempertegas, bahwa tidak semua kumpulan dan gugus dapat disebut sistem.

Kombinasi dari suatu elemen atau bagian-bagian gugus yang tidak memenuhi

syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional, dan/atau tujuan yang

berguna, tidak dapat dikualifikasikan sebagai sistem. Penegasan ini relevan dengan

batasan pengertian menurut Award (1979) dan Muhammadi et al. (2001), bahwa

sistem adalah keseluruhan interaksi antara unsur dari obyek dalam batas

lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan.

Untuk mempermudah proses pengambilan keputusan dibutuhkan model

analisis sistem pendukung keputusan (decision support sistem). Ada dua alat

analisis digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) analitical hierarchy prosess

(AHP) dan (2) interpretative structural modelling (ISM).

Menurut Saaty (1988), ada enam kelebihan penggunaan analitical

hierarchy prosess dalam pengambilan keputusan, yaitu dapat (1) Memodelkan

problema yang tidak terstruktur tentang berbagai bidang keilmuan. (2) Digunakan

untuk memodelkan masalah yang dinyatakan melalui pendapat individu yang

permasalahannya sudah diprioritaskan untuk dianalisis. (3) Memodelkan hal-hal

menurut kenyataan sebenarnya, dan tidak memerlukan penyederhanaan melalui

asumsi-asumsi yang dapat menyesatkan keputusan. (4) Menggunakan semua hal

penting baik yang konkrit, abstrak, kuantitatif, dan kualitatif. (5) Menjadi alat

Page 27: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

36

analisis pengambilan keputusan terbaik, dan (6) memanfaatkan situasi dalam

kondisi obyek yang sedang mengalami perbedaan pendapat/konflik.

Sehubungan dengan tujuan perancangan kebijakan dan strategi

pengelolaan lahan kritis di DAS Bila, mustahil dapat dilakukan tanpa melibatkan

berbagai lembaga (pemerintah dan swasta). Karena itu model-model analisis yang

bersifat integratif dan interdisipliner merupakan alat analisis yang paling tepat

digunakan. Selain AHP, ISM merupakan model analisis sistem yang sangat sesuai

untuk tujuan penelitian ini. Menurut Didu (2001), ISM adalah model dari proses

pengkajian kelompok (group learning process) untuk menghasilkan model-model

struktural guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem melalui pola

yang dirancang secara saksama dengan menggunakan grafis dan kalimat.

Pengertian analisis sistem, telah dijelaskan oleh Eriyatno (1999), yaitu

semua hal yang relevan terhadap peubah-peubah yang ditetapkan (input control)

dan peubah rancangan yang dianggap sebagai sesuatu yang mempengaruhi

kelakuan sistem, keadaan/kondisi lingkungan di mana sistem berjalan, sehingga

out-put yang tidak dikehendaki dapat dihindari. Sedangkan tujuan analisis sistem

telah diuraikan oleh Suryadi dan Ramdhani (2000), yaitu mendidik para pengambil

keputusan untuk berpikir secara sistematis dan menyeluruh, tidak sekedar

menyusun formula atau bermain dengan angka-angka melalui komputer.

Dalam penelitian ini, kelembagaan dalam pengelolaan lahan kritis berbasis

DAS dianalisis dengan menggunakan pendekatan sistem, sebagai berikut:

Page 28: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

37

1. Analisis kebutuhan, yaitu merupakan interaksi antara respon yang timbul dari

seseorang pengambil keputusan (decision maker) terhadap jalannya sistem.

Kebutuhan ini dapat meliputi hasil survei, pendapat akhli, hasil diskusi, dan

sebagainya (Eriyatno, 1999). Sebagai kebutuhan dasar yang akan dianalisis

adalah sistem kelembagaan dalam pengelolaan lahan kritis. Dalam hal ini

Saxena (1992) membagi program atas sembilan elemen, yaitu: (1) sektor

masyarakat yang terpengaruhi, (2) kebutuhan program, (3) kendala utama, (4)

perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan program, (6) tolok ukur untuk

menilai setiap program, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan

tindakan, (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dipakai oleh setiap

aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Dari

kesembilan program ini, diambil tiga di antaranya sesuai dengan kebutuhan

sistem yang akan dianalisis, yaitu: (1) kendala utama, (2) aktivitas yang

dibutuhkan dalam perencanaan tindakan, dan (3) lembaga yang terlibat dalam

perencanaan program.

2. Persyaratan kebutuhan, yaitu dibutuhkan untuk kelangsungan indentifikasi

sistem. Setiap sistem mempunyai persyaratan kebutuhan yang berbeda-beda,

dan karena itu tidak ada ketentuan yang sifatnya mutlak. Kebutuhan yang

dianggap memenuhi syarat dalam analisis ini adalah dilihat kedekatannya

dalam konteks kelembagaan pengelolaan lahan kritis.

Page 29: Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi … · di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari Semua ini akibat dari ketidakserasian

38

3. Identifikasi sistem, yaitu rantai hubungan antara pernyataan kebutuhan-

kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan

untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Eriyatno, 1999).