View
224
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
1
ANALISIS RENCANA PEMBANGUNAN PUSAT PRIMER GEDEBAGE
TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KOTA BANDUNG
MELALUI PENDEKATAN SISTEM DINAMIK
BUDI BUDIMAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Rencana
Pembangunan Pusat Primer Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi
Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
Budi Budiman
H152070251
3
Abstract
BUDI BUDIMAN, H152070251. Analysis of Development Plan of Primary
Center Gedebage in Bandung City Economic Development by Dynamic Systems
Approach. Supervised by SETIA HADI as the leader and SAID RUSLI as member
of supervisory commission.
Gedebage region as an area to be developed has limitations because it
includes areas that have many short comings such as lack of infrastructure and
unstable soil conditions. Therefore, in the development of the Gedebage area, the
system design is required in the form of engineering assessment of the
performance indicators of regional development based on dynamic systems
approach based on the principle of feedback between the subsystem, subsystem of
the population, and economic subsystem. The purpose of this study was to analyze
the Gedebage regional development plan especially Primary Center Gedebage in
economic development of Bandung. This research use data analysis through
modeling system that includes the land use in the region Gedebage, various
economic activities and population dynamics. The research result suggests that the
development of the Primary Center Gedebage as planned, will encourage the
economic development of Bandung city in a positive direction.
Keywords. development of the area, the system dynamic
4
RINGKASAN
BUDI BUDIMAN, H152070251. Analisis Rencana Pembangunan Pusat Primer
Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan
Sistem Dinamik, dibimbing oleh SETIA HADI sebagai Ketua dan SAID RUSLI
sebagai anggota komisi pembimbing.
Kawasan Gedebage sebagai kawasan yang akan dikembangkan memiliki
keterbatasan karena termasuk wilayah yang memiliki banyak kekurangan seperti
keterbatasan infrastruktur dan kondisi tanah yang labil. Oleh karena itu dalam
pengembangan kawasan Gedebage diperlukan desain sistem dalam bentuk
pengkajian rekayasa terhadap indikator kinerja pembangunan wilayah berdasarkan
pendekatan sistem dinamik yang didasari oleh prinsip umpan balik antar subsitem
wilayah, subsitem penduduk, dan subsitem ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis rencana pengembangan kawasan Gedebage terutama Pusat
Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung. Untuk
menjawab permasalahan dilakukan analisis data melalui sistem pemodelan yang
meliputi penggunaan lahan di kawasan Gedebage, berbagai kegiatan ekonomi,
serta dinamika populasi penduduk. Dari simpulan utama menunjukkan bahwa
pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage yang sesuai dengan yang
direncanakan akan mendorong pembangunan ekonomi Kota Bandung kearah yang
positif
Dari hasil pengaamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan
lahan untuk pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage telah ditentukan oleh
tim pemerintah kota dan swasta dengan memperhatikan berbagai aspek kelayakan
maupun peruntukkannya yaitu lahan untuk transfortasi 32,58 Ha (4,6%), untuk
kesehatan 16,55 Ha (2,30%), untuk olah raga dan rekreasi 45 Ha (6,3%), untuk
industri 26,61 Ha (8,7 %), untuk peribadatan 5,32 Ha (0.7%), hunian 196,6 Ha
(27,6%), hotel apartemen 11 Ha (1,5%), danau buatan 123 Ha (17,26%), akses
jalan tol 55,57 Ha (7,8%) dan untuk daya dukung lingkungan 31 Ha (4,4%).
Berdasarkan simulasi model sistem dinamis tentang dampak
pengembangan Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota
Bandung dapat dilihat dari perkembangan beberapa aspek, yaitu perubahan
penduduk, PDRB kota, penggunaa lahan kota, pendapatan perkapita dan Ruang
Terbuka Hijau (RTH), dan berdasarkan simulasi model, maka adanya perubahan
jumlah penduduk berupa kenaikan pada akhir tahun simulasi (2034) menjadi rata-
rata 1,61 persen per tahun. Sedangkan dalam penggunaan lahan industri,
perumahan dan jasa meningkat dari 69,73 persen menjadi 80,73 persen atau
13.506 Ha pada tahun 2034. Ini menunjukkan bahwa lahan kosong (bisa
berbentuk sawah, tegalan ataupun ruang kosong yang tersedia di Kota Bandung
pada tahun 2034 hanya 19,27 persen atau 3.223,87 Ha. Sedangkan simulasi
mengenai subsistem ekonomi di Kota Bandung dengan melihat nilai PDRB Kota
Bandung Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000, maka dari hasil simulasi nilai
PDRB terlihat adanya kenaikan PDRB kota yang pada saat ini Rp 26,979 Triliun
maka pada akhir tahun simulasi (2034) berubah menjadi Rp. 86,25 Triliun.
Dari aspek pendapatan per kapita pengembangan Pusat Primer Gedebage
memberikan sumbangan yang positif terhadap peningkatan pendapatan per kapita
5
Kota Bandung. Hal ini dapat terlihat tercapainya target pendapatan per kapita
sesuai dengan target pembangunan jangka menengah Kota Bandung 2013 seperti
pada tahun 2012 dalam data simulasi menunjukkan angka pendapatan per kapita
sebesar Rp.16,84 juta per tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung
sebesar Rp. 15,1 juta per tahun. Demikian pula pada tahun 2013 sesuai dengan
data simulasi menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 17,2 juta per
tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 16 juta per tahun.
Sedangkan dalam aspek RTH pengembangan Pusat Primer Gedebage akan
menekan luas RTH dari 8,7 persen saat ini menjadi 5,21 persen pada akhir tahun
2034. Kondisi RTH seperti ini sesungggunya tidak relevan dengan target
Pemerintah Kota dalam pencapaian luas RTH dalam target jangka pendek (2013)
yang sudah mentargetkan pencapaian luas RTH kota 16 persen, tetapi dalam
simulasi pada tahun 2013 RTH kota hanya mencapai 8.14 persen.
Skenario model pengembangan Pusat Primer Gedebage yang
direncanakan berdasarkan beberapa asumsi kondisi yang diharapkan dalam model,
yaitu dengan memperhitungkan investasi yang masuk ke kawasan Pusat Primer
Gedebage. Adapun skenario dalam model Pengembangan Pusat Primer Gedebage,
yaitu skenario 1, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai
dengan investasi saat ini berjalan sebesar Rp. 500,85 Milyar yang menghasilkan
nilai PDRB Rp. 86,250 Triliun dan pendapatan per kapita Rp. 20,75 juta. Skenario
2, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan dengan investasi yang
direncanakan sebesar Rp. 11,945 Triliun dengan hasil nilai PDRB Rp.146,875
Triliun dan pendapatan per kapita Rp. 34,10 juta per tahun
Kata Kunci. Pusat Primer Gedebage, sistem dinamik.
6
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB.
7
ANALISIS RENCANA PEMBANGUNAN PUSAT PRIMER GEDEBAGE
TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KOTA BANDUNG
MELALUI PENDEKATAN SISTEM DINAMIK
BUDI BUDIMAN
Tesis
Salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
8
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Bambang Juanda, M.S.
9
Judul Tesis : Analisis Rencana Pembangunan Pusat Primer Gedebage
Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung
Melalui Pendekatan Sistem Dinamik
Nama : Budi Budiman
NRP : H152070251
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. Ir. Said Rusli MA
Ketua Anggota
Diketahui
Tanggal Ujian: 10 Agustus 2011 Tanggal Lulus:
Ketua Program Studi
Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
10
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
terkadang pada awalnya orang akan bangga dengan pilihannya, tapi tidak semua
orang akan setia pada pilihannnya, keserakahan dan hawa nafsulah yang
membuat orang tidak setia pada pilihannya. Sejatinya yang tersulit dalam hidup
ini bukanlah memilih sesuatu tetapi bagaimana bertahan pada pilihan yang
pernah kita pilih dengan ikhlas tanpa kepura-puraan, itulah istiqomah dan sabar
yang sesungguhnya di dunia yang terus berubah dengan cobaan dan ujian.
untuk orangtua dan para guruku
yang telah mengajarkan
tentang kejujuran
Tesis ini saya persembahkan buat :
Orang Tuaku
Istri dan anak-anaku
Para guruku
11
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kepada
Allah Yang Maha Besar atas karunia dan limpahan-Nya, sehingga Tesis yang
berjudul: “Analisis Rencana Pembangunan Pusat Primer Gedebage Terhadap
Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem
Dinamik” dapat terselesaikan tanpa hambatan yang berarti. Tesis ini disusun
guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Program
Magister di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Keberadaan Komisi Pembimbing dan para pihak, sangat menentukan
dalam penyelesaian penyusunan Tesis ini. Komisi Pembimbing selalu
memberikan dorongan, arahan, dan saran penyelesaian selama proses penyusunan
berlangsung. Demikian juga para pihak yang telah membantu meringankan beban
penulis dalam perbaikan tesis. Dengan ketulusan hati, pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dalam
kesibukannya telah banyak memberikan bimbingan, arahan, serta saran
perbaikan penulisan tesis ini.
2. Ir. Said Rusli, M.A. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang sudah banyak
memberi dorongan kepada penulis dalam melakukan analisa penelitian serta
penyempurnaan dalam penyajian penulisan tesis ini.
3. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana IPB
yang telah mengijinkan penulis untuk menyelesaikan tesis, serta telah banyak
memberi ilmu ekonomi yang lebih mendasar selama penulis mengikuti
kegiatan perkuliahan.
4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk memperoleh ilmu dan menyelesaikan studinya pada program S2
Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Kepada Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menempuh pendidikan pada program S2 Sekolah Pascasarjana IPB.
12
6. Kepada Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada program S2
Sekolah Pascasarjana IPB.
7. Semua rekan Program Studi IE dan PWD IPB terutama angkatan 2007 dan
2008 yang telah memberikan dorongan, serta menyampaikan uluran kerjasama
yang sangat baik serta akrab selama mengikuti pelajaran di kelas, serta selama
proses penyusunan tesis ini. Pengalaman yang sangat berharga ini, sangatlah
sulit untuk penulis lupakan.
Penulis ingin pula menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu serta telah banyak membantu dan memberi
dorongan selama ini. Semoga amal kebaikan dari semua yang memberikan
bantuan akan mendapatkan balasan dari Allah SWT Yang Maha Pemurah dan
Penyayang.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
Budi Budiman
13
RIWAYAT HIDUP
BUDI BUDIMAN, suami dari Meli Fauziah, dan ayah dari dua putri, satu
putra, yaitu Annisa Fathia Rahmah (Nisa), Jasmine Nurul Haniyah (Hani) dan
Muhammad Rizal Budiman (Rizal). Lahir di Kota Bandung 4 Maret 1973. Tamat
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Islah Bandung (1986), SMP Negeri 3 Bandung (1989),
SMA Negeri 11 Bandung (1992), Jenjang pendidikan S1 pada Jurusan Manajemen
Dakwah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (1999),
Pada tahun 2002 lulus program S2 Program Studi Ekonomi Islam IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung (2002). Sejak 2008 kuliah di program S2 Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Sejak tahun 1999 sampai saat ini penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas
Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
14
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.4 Manfaat Penelitian 6
1.5 Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Teori Sistem Dinamis 8
2.2 Konsep Perencanaan Pembangunan 10
2.3 Konsep Pertumbuhan Ekonomi 15
2.4 Penelitian Terdahulu 17
2.5 Kerangka Pemikiran 21
III. METODE PENELITIAN 25
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 25
3.2 Jenis dan Sumber data 25
3.3 Metode Analisa Data 25
3.3.1 Analisis Model Pengembangan Kawasan 25
3.3.2 Skenario Model 27
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 28
4.1 Kondisi Geografi dan Administrasi 28
4.2 Pemerintahan 30
4.3 Kependudukan 33
4.4 Kondisi Perekonomian Kota Bandung 37
4.5 Keadaan Ketenagakerjaan 38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 45
5.1 Perkembangan Penggunaan Lahan di Kawasan
15
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung 45
5.2 Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung 65
5.3 Simulasi Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage
Kota Bandung 73
5.4 Dampak Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung. 80
5.5 Skenario Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage 86
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 88
6.1 Kesimpulan 88
6.2 Saran 89
DAFTAR PUSTAKA 90
16
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Perkembangan Indikator Pembangunan Kota Bandung
2007-2008
4
Tabel 2 Jumlah Penduduk Kota Bandung Menurut Kecamatan dan
Jumlah Kelurahan Serta rata-rata Per Kelurahan Tahun
2008
34
Tabel 3 Jumlah Penduduk Kota Bandung Menurut Kecamatan dan
Luas Wilayah Serta Kepadatan Penduduk Per Km2
Tahun
2008
35
Tabel 4 Kontribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandung dan
sekitarnya terhadap Ekonomi Jawa Barat Tahun 2008
37
Tabel 5 Perkembangan Indikator Makro Pembangunan Kota
Bandung Tahun 2006-2008
38
Tabel 6 Perkembangan PDRB Kota Bandung 2003-2008 39
Tabel 7 Kontribusi Sektor Terhadap PDRB Kota Bandung 2008 41
Tabel 8 Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha di Kota Bandung Tahun 2008
43
Tabel 9 Jumlah Pengangguran dan Tingkat Penganguran Kota
Bandung Kurun waktu 2005-2008
51
Tabel 10 Program Pemanfatan Ruang di Kawasan Gedebage 47
Tabel 11 Keterangan Pemanfaatan dan Luas Ruang dalam
Kawasan Pusat Primer Gedebage
58
Tabel 12 Kode Pemanfaatan dan Ketentuan Intensitas Ruang dalam
Kawasan Pusat Primer Gedebage
59
Tabel 13 Hasil Perhitungan Pemanfaatan Lahan serta Luas Total
Lantai yang Dapat dibangun dalam Kawasan Pusat Primer
Gedebage
60
Tabel 14 Peluang atau prospek investasi (PPP) Kawasan Pusat
Primer Gedebage
64
17
Tabel 15 Hasil Simulasi model pengembangan Pusat Primer
Gedebage Subsistem Penduduk (2009-2034)
74
Tabel 16 Hasil Simulasi model pengembangan Pusat Primer
Gedebage Subsistem Lahan (2009-2034)
77
Tabel 17 Hasil Simulasi Terhadap Perubahan PDRB Kota Bandung
Dalam Subsistem Ekonomi model pengembangan Pusat
Primer Gedebage (2009-2034)
80
Tabel 18 Hasil Simulasi Terhadap Kondisi Pendapatan Per Kapita
KotaBandung dalam Model pengembangan Pusat Primer
Gedebage (2009-2034)
81
Tabel 19 Hasil Simulasi Terhadap Kondisi Ruang Terbuka Hijau
dalam Model pengembangan Pusat Primer Gedebage
(2009-2034)
84
Tabel 20 Hasil Simulasi Perbandingan Subsistem Penduduk,
Ekonomi dan Lingkungan dalam Model Pengembangan
Pusat Primer Gedebage
85
Tabel 21 Hasil Simulasi Skenario 1 dan 2 dalam Model
Pengembangan Pusat Primer Gedebage
86
18
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengembangan Kawasan Gedebage
Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui
Pendekatan Sistem Dinamik
24
Gambar 2 Alur Berpikir Dampak Pengembangan Pusat Primer
Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota
Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik
26
Gambar 3 Peta Rencana Tata Guna Lahan Kota Bandung 2004-2013 47
Gambar 4 Kode Ruang Peruntukan Pusat Primer Gedebage Bandung 56
Gambar 5 Keterangan Tentang Kode Ruang Peruntukan Pusat Primer
Gedebage Bandung
57
Gambar 6 Alur pengelolaan kawasan Pusat Primer Gedebage 63
Gambar 7 Diagram Alir Hubungan Antar Subsistem dalam
Pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage
Kota Bandung
67
Gambar 8 Struktur Model Subsistem Penduduk dalam pengembangan
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
69
Gambar 9 Struktur Model Subsistem Lahan dalam pengembangan
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
70
Gambar 10 Struktur Model Subsistem Ekonomi dalam Pengembangan
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
72
Gambar 11 Grafik Hasil Simulasi Subsistem Penduduk 74
Gambar 12 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Pemanfaatan lahan Kota
Bandung
76
Gambar 13 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan PDRB Kota
Bandung Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000
79
Gambar 14 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan Pendapatan Per
Kapita Kota Bandung
81
Gambar 15 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan 83
19
RTH Kota Bandung
Gambar 16 Grafik Hasil Simulasi Perbandingan Subsistem Penduduk,
Ekonomi dan Lingkungan dalam Model Pengembangan
Pusat Primer Gedebage
85
20
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan sebagai suatu proses yang disusun secara sengaja dan
terencana untuk mencapai situasi yang diingingkan dengan sendirinya terdapat
proses perencanaan yang mengarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity),
pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Salah satu
indikator keberhasilan pembangunan diantaranya meningkatknya kesejahteraan
masyarakat sebagai hasil dari pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
Berkeadilan artinya kesejahteraan masyarakat bukan hanya dinikmati oleh
sebagian masyarakat saja. Wujud pemahaman ini diimplementasikan dalam
kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam mengelola sumber daya
dengan efektif dan efisien dalam bentuk kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi
yang berdaya saing tinggi.
Untuk mencapai tujuan yang kompleks itu, suatu proses pembangunan
membutuhkan perencanaan yang cermat. Perencanaan pembangunan ini
merupakan langkah strategis yang diambil untuk menghindari meningkatnya
kesenjangan pembangunan yang terjadi antar wilayah yang akan mendorong atau
menambah ketidakmerataan pembangunan. Perkembangan yang tidak merata ini
pada akhirnya menimbulkan back wash effect sebagai kerugian yang diderita oleh
wilayah-wilayah yang kurang berkembang akibat adanya ekspansi ekonomi dari
wilayah-wilayah yang maju. Seharusnya proses pembangunan dari suatu wilayah
yang berkembang bisa memberikan keuntungan bagi wilayah-wilayah
disekitarnya. Dengan kata lain ekspansi pembangunan ekonomi wilayah tersebut
harus bisa memberikan spread effects bagi wilayah-wilayah lain. Oleh karena itu
perencanaan pembangunan wilayah itu disusun semata-mata bukan hanya untuk
kepentingan wilayah yang bersangkutan, melainkan yang lebih luas lagi untuk
kepentingan pembangunan nasional secara menyeluruh.
Perencanaan pembangunan realisasinya perlu dilakukan dalam bentuk
implementasi aktivitas ekonomi dalam berbagai sektor. Selain itu dalam
pandangan Capello (2007) aktivitas ekonomi ini muncul, tumbuh, dan terbangun
21
secara maksimal serta berdampak secara positif terhadap masyarakat adalah dalam
suatu ruang (space) yang terpusat (angglomerasi). Oleh karena itu langkah
memilih lokasi sama maknanya ketika pelaku ekonomi memilih faktor-faktor
produksi dan teknologi. Dampak terbentuknya agglomerasi ekonomi ini akan
terjadi penurunan biaya yang terjadi karena kegiatan ekonomi yang dilakukan di
satu tempat dapat meminimalisir biaya-biaya lain yang disebabkan tersebarnya
kegiatan ekonomi pendukung. Dalam hal ini Isard (1975) menekankan pentingnya
dukungan pemerintah dalam menciptakan fasilitas-fasilitas yang dapat mendorong
terbentuknya ekonomi agglomerasi pada satu wilayah dengan rekayasa dalam
bentuk pengembangan suatu kawasan. Pada bagian lain Rustiadi (2007)
memaknai pengembangan kawasan (wilayah) sebagai intervensi positif yang
dilakukan oleh para pengambil kebijakan dalam berbagai aspek dengan tujuan
untuk mempercepat pembangunan suatu wilayah. Pengembangan kawasan
dilakukan bukan saja terhadap wilayah yang sedang berkembang tetapi
pengembangan kawasan baru menjadi sangat penting dilakukan bukan saja
sebagai langkah percepatan pembangunan tetapi juga tingkat efektifitas dan
efesiensi proses pengembangan kawasan itu dapat terjaga. Pemahaman ini
diterapkan oleh Pemerintah Kota Bandung yang sejak tahun 2004 yang memiliki
rencana pengembangan Pusat Primer Gedebage di wilayah timur Kota Bandung
sebagai salah satu implementasi pengembangan kawasan Gedebage.
Kawasan Gedebage sejak tahun 1987 melalui Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 16 Tahun 1987 menjadi bagian wilayah Kota Bandung yang sebelumnya
dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Bandung. Bersama dengan Wilayah
Ujungberung, pembangunan kawasan Gedebage tertinggal dari empat wilayah
lainnya, yakni Bojonegara, Tegallega, Cibeunying, dan Karees. Sesuai dengan
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 yang dirubah dengan
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Rencana Tata
Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Bandung, pada kawasan tersebut akan
dipusatkan berbagai kegiatan ekonomi dan pelayanan masyarakat sebagai bagian
dari program pembangunan Kota Bandung tahun 2004-2013.
Salah satu yang menjadi prioritas pembangunan di kawasan Gedebage
adalah rencana pembangunan Pusat Primer Gedebage sebagai pusat primer kedua
22
di Kota Bandung yang berada di kawasan Bandung Tengah. Adapun bentuk
pembangunan yang akan dilakukan di kawasan Pusat Primer Gedebage dan
sekitanya di antaranya pembangunan pusat pelayanan masyarakat dan,
pembangunan danau buatan, pengembangan kegiatan perdagangan skala nasional
dan regional, pengembangan kegiatan jasa komersial skala internasional, nasional,
wilayah dan kota, pembangunan stadion olahraga skala internasional,
pengembangan ruang terbuka hijau, pengembangan pusat kegiatan wisata dan
rekreasi, terminal bus terpadu yang terdiri dari terminal penumpang dan terminal
barang, pengembangan pergudangan dan terminal peti kemas, pengembangan
kegiatan industri kecil dan menengah berwawasan lingkungan.
Pengembangan Pusat Primer Gedebage merupakan penegasan orientasi
pembangunan Kota Bandung dalam jangka menengah yang memfokuskan
pelaksanaan pembangunan Kota Bandung mengarah ke Timur Kota Bandung
dengan proyek besarnya Pusat Primer Gedebage. Oleh karena itu pengembangan
Pusat Primer Gedebage perlu dilakukan secara terintegrasi agar pengembangan
Pusat Primer Gedebage dapat meningkatkan volume aktivitas ekonomi kawasan
yang berpengaruh terhadap ekonomi Kota Bandung secara keseluruhan.
Peningkatan ekonomi Kota Bandung perlu dilakukan segera karena fakta di
lapangan banyak hal yang harus diperbaiki dengan segera oleh Pemerintah Kota
Bandung terutama dalam pembangunan ekonomi, seperti dalam aspek
ketenagakerjaan Kota Bandung dengan jumlah penduduk tahun 2008 berjumlah
2.374.198 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,90 persen ternyata memiliki
tingkat pengangguran yang tinggi, yaitu 15,48 persen di tahun 2008. Sedangkan
tingkat perkembangan dalam bidang pembangunan manusia (IPM) yang dalam
kurun lima tahun terakhir peringkat IPM Kota Bandung menurun drastic dari
peringkat 14 melorot keperingkat 49 di tingka nasional (Bappenas 2008). Menurut
BPS Kota Bandung memiliki indeks 77,15 Tahun 2003 dan berubah menjadi 74,5
tahun 2007 dan 78,25 tahun 2008, walaupun nilai ini lebih besar daripada IPM
Jawa Barat yang mencapai 70,05 pada tahun yang sama. Sedangkan Nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bandung tahun 2008 atas harga konstan
tahun 2000 sebesar Rp. 26.978.909 Milyar, tahun 2007 sebesar Rp. 24.941.517
23
Milyar, meningkat dari Rp. 23.043.104 Milyar (2006) dan Rp. 21.370.696 Milyar
(2005).
Dengan memperhatikan berbagai fakta dan kondisi makro ekonomi
Kota Bandung, maka pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage ini perlu
dilakukan secara terintegrasi agar tujuan pengembangan kawasan ini dapat
meningkatkan volume kegiatan ekonomi Kota Bandung dan dapat memperbaiki
beberapa aspek pembangunan Kota Bandung yang pada saat ini mengalami
perkembangan negatif seperti tingkat kepadatan penduduk Kota Bandung yang
merupakan kota terpadat di dunia dengan rata-rata kepadatan penduduk 13.345
jiwa per kilometer persegi (BKKBN Jabar dan RKPD Kota Bandung 2009),
jumlah keluarga miskin terbanyak se-Jawa Barat (BPS Jabar 2008), tujuh dari
sepuluh warga kota Bandung menderita kekurangan air bersih (Basis Data LH
Tabel 1 Perkembangan Indikator Pembangunan Kota Bandung 2007-2008
No Indikator Satuan 2007 2008
1 Jumlah Penduduk Jiwa 2.329.928 2.374.198
2 Laju Pertumbuhan Penduduk persen 1,44 1,90
3 Laju Pertumbuhan Ekonomi persen 8,24 8,29
4 PDRB (ADHK2000) Milyar 24.941 26.978
6 IPM 74,5 78,25
7 Rata-rata Lama Sekolah Tahun 10,52 10,65
8 Standar Hidup Layak/Kapita Rp 577.130 577.385
9 Inflasi persen 5,21 10,23
10 Jumlah Investasi Milyar 5.405 4.006
11 Indeks Daya Beli 64,04 64,27
12 Jumlah Rumah Tangga Miskin RTM 83.500 82.432
13 Jumlah Pengangguran Jiwa 174.067 173.074
14 Tingkat Pengangguran Terbuka persen 15,73 15,48
15 Luas Ruang Terbuka Hijau Ha 1.466 1.484
16 Proporsi RTH persen 8,76 8,87
Sumber : Diolah dari LPJ Walikota Bandung 2009, Bandung dalam angka
2009 dan RPJM Kota Bandung 2009-2013
24
Bandung 2006), Kota dengan jumlah wanita rawan sosial-ekonomi terbanyak di
Jawa Barat (30.000 wanita) (Dinsos Jabar 2007), jumlah timbunan sampah di kota
Bandung mencapai 8000 m3, dengan 3000 m3 diantaranya masih tertinggal di
TPS (Kementrian Lingkungan Hidup, 2008), enam dari sepuluh murid SD di kota
Bandung beresiko menurun kecerdasannya, akibat kadar polusi di atas rata-rata
(Dept. TL ITB, BPLHD Jabar 2007), dan jumlah pengangguran terbanyak di Jawa
Barat, mencapai lebih 174 ribu orang (BPS Jabar 2007).
Agar tujuan pengembangan Pusat Primer Gedebage sesuai dengan
tujuannya itu, maka diperlukan suatu konsep desain sistem perencanaan serta
pengelolaan yang tepat guna. Desain sistem dalam pengembangan kawasan Pusat
Primer Gedebage Kota Bandung ini merupakan suatu pengkajian rekayasa
terhadap indikator kinerja pembangunan wilayah berdasarkan pendekatan sistem
dinamik. Pendekatan ini didasari oleh prinsip umpan balik (causal loops) antar
subsitem wilayah, subsitem penduduk, dan subsitem ekonomi. Salah satu
karakteristik dari proses rekayasa indikator kinerja pembangunan wilayah tersebut
adalah adanya bentuk pemodelan yang bersifat dinamis dan kuantitatif guna
menghasilkan keputusan yang rasional, terukur dan transparan dalam realisasi
pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage ini.
1.2 Perumusan Masalah
Pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung tidak
terlepas dari pemahaman bahwa angglomerasi ekonomi mempengaruhi kinerja
suatu sistem ekonomi. Oleh karena itu pengembangan kawasan Pusat Primer
Gedebage Kota Bandung memungkinkan semakin mudahnya kegiatan ekonomi
berjalan sehingga dapat memunculkan peluang bagi masyarakat di sekitar
kawasan dan Kota Bandung untuk lebih berperan dalam berbagai kegiatan
ekonomi yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi Kota Bandung.
Dari uraian latar belakang, maka peneliti mencoba menganalisis dampak
yang akan ditimbulkan dari pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage Kota
Bandung terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung dengan pendekatan
sistem dinamik. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
25
a. Bagaimana perkembangan penggunaan lahan di kawasan Pusat Primer
Gedebage Kota Bandung.
b. Bagaimana dampak pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage terhadap
pembangunan ekonomi Kota Bandung.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
a. Mengkaji dan menganalisis perkembangan penggunaan lahan di kawasan Pusat
Primer Gedebage Kota Bandung.
b. Mengkaji dan menganalisis dampak pengembangan kawasan Pusat Primer
Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan
oleh masyarakat dan Pemerintah Kota Bandung dalam mengimplementasikan dan
pengelolaan dari pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage sehingga tujuan
dari pengembangan kawasan ini dapat tercapai dengan menekan berbagai dampak
negatif yang mungkin ditimbulkannya.
1.5 Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian seperti yang diungkapkan oleh Bambang Juanda (2009)
merupakan suatu proses belajar (usaha) untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan atau untuk memperoleh jawaban masalah
penelitian. Oleh karena itu setiap penelitian memerlukan batasan topik penelitian
agar tujuan penelitian dapat tercapai dengan memperhatikan beberapa aspek yang
perlu diperhatikan dalam pemilihan topik seperti (1) sebaiknya berada dalam
jangkauan (manageble topic), (2) tersedianya data untuk membahas topik
(obtainable data), (3) menarik untuk diteliti (interesting topic), dan (4) cukup
penting (significance of topic).
Adapun batasan dari penelitian ini adalah membahas tentang
perkembangan penggunaan lahan yang akan digunakan untuk kawasan Pusat
Primer Gedebage Kota Bandung dan dampak pengembangan kawasan Pusat
26
Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung terutama aspek
investasi kawasan terhadap pertumbuhan ekonomi serta dinamika kependudukan
Kota Bandung. Selain itu pula berdasarkan kemampuan peneliti dalam berbagai
aspek, maka penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup penelitian berupa analisis
pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dengan
pendekatan sistem dinamik dengan tiga subsistem, yaitu (1) subsistem wilayah
(lahan), (2) subsitem penduduk, dan (3) subsitem ekonomi.
27
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Sistem Dinamis
Dalam pandangan Menetsch dan Park seperti yang dikutip oleh Eriyatno
(1999) setiap orang dapat menyampaikan terminologi sistem atas dasar pandangan
pribadi maupun kegunaan untuk kelompoknya, yang penting harus ada visi
tentang sesuatu yang “utuh” dan keutuhan. Oleh karenanya sistem dapat diartikan
sebagai himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk sebuah
kesatuan yang komplek dan memiliki kesatuan (unity), hubungan fungsional dan
tujuan yang berguna. Sehingga secara definitif sistem adalah suatu gugus dari
elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan atau
suatu gugus dari tujuan-tujuan tertentu.
Sistem didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari berbagai komponen atau
bagian yang saling berinteraksi membentuk suatu fungsi atau tujuan tertentu.
Teori sistem berkembang lebih jauh lagi menjadi dua bidang ilmu manajemen
utama, berpikir sistemik (system thinking) dan sistem dinamis (system dynamics).
Berpikir sistemik merupakan cara pandang baru terhadap suatu kejadian yang
menekankan keseluruhan rangkaian bagian secara terpadu. Hal ini terjadi karena
adanya kompleksitas permasalahan yang ditandai dengan keragaman yang perlu
dikaji atau dikendalikan oleh satu metode saja. Oleh karena itu perlu dicari
pemecahan melalui keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, yang
memerlukan suatu kerangka pikir baru yang dikenal dengan pendekatan sistem.
Pendekatan sistem merupakan metodologi yang bersifat rasional sampai
bersifat intuitif untuk memecahkan masalah untuk mencapai tujuan tertentu.
Permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam
pengkajiannya, yaitu permasalahan yang memenuhi karakteristik : (1) kompleks,
yaitu interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktornya ada
yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3)
probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan
maupun rekomendasi. Terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok
dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu : (1) sibernetik
(cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara
28
pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu
prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat
dilaksanakan dari pada pendalaman teoritis untuk mencapai efesiensi keputusan
(Eriyatno, 1999). Oleh karena itu telaah tentang permasalahan dengan pendekatan
sistem ditandai oleh ciri-ciri : (1) mencari semua faktor penting yang terkait dalam
mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) adanya
model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.
Untuk optimalnya pengambilan keputusan dalam permasalahan melalui
pendekatan sistem memerlukan apa yang disebut dengan Sistem Penunjang
Keputusan (SPK). Keen dan Morton (1986) seperti yang dikutip oleh Eriyatno
(1999) mendefinisikan SPK sebagai suatu sistem berbasis komputer yang
mendukung manajemen pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
permasalahan yang bersifat semi terstruktur. Sedangkan Millet dalam Eriyatno
(1999) mendefinisikan SPK sebagai suatu sistem yang menggunakan model yang
berhubungan antara keputusan dan jalan keluar untuk menunjang pemecahan
masalah yang dititikberatkan pada masalah keputusan spesifik ataupun kumpulan
masalah-masalah yang berhubungan. Minch dan Burns (1983) seperti yang diacu
oleh Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa konsepsi model SPK adalah
menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu
pengambilan keputusan, data dan model. SPK terdiri dari tiga elemen pembentuk
utama, yaitu basis data, basis model dan manajemen dialog yang terakumalasi
dalam suatu sistem yang dinamis.
Sistem dinamis sangat erat hubungannya dengan berpikir sistemik.
Sistem dinamis dibentuk untuk memberi para manajer suatu alat bantu dalam
memahami sistem kompleks yang mereka hadapi. Metodologinya adalah
menggunakan simulasi komputer untuk menghubungkan struktur sistem dengan
perilaku sistem terhadap waktu. Dengan cara ini, sistem dinamis mampu
menterjemahkan pemahaman yang diperoleh dari berpikir sistemik ke dalam
model simulasi komputer. Sistem dinamis mampu menciptakan suatu learning
environment – suatu laboratorium yang berperan seperti miniatur dari sistem.
Simulasi sistem dinamis diatur berdasarkan prinsip: (1) cause-effect
(sebab-akibat), (2) feedback (umpan-balik), dan (3) delay (tunda). Simulasi yang
29
lengkap dan komprehensif pasti menggunakan ketiga prinsip tersebut untuk
menghasilkan perilaku sistem yang mendekati dunia nyata. Rancangan causal-
loop diagram (CLD) biasanya digunakan dalam system thinking (berpikir
sistemik) untuk mengilustrasikan hubungan cause-effect (sebab-akibat).
Hubungan feedback (umpan-balik) bisa menghasilkan perilaku yang bervariasi
dalam sistem nyata dan dalam simulasi sistem nyata.
Tidak semua hubungan sebab-akibat timbul secara instan. Sering terjadi
hubungan sebab-akibat tersebut dipisahkan oleh waktu, bisa berupa detik, menit,
jam, minggu, bulan, atau tahun. Delay terjadi dimanapun di dunia nyata. Adanya
delay menghasilkan sesuatu hal yang menarik pada perilaku kompleks sistem,
ketika sistem tersebut tidak memiliki feedback dan kompleksitas cause-effect yang
terbatas. Variabel feedback yang penting adalah level dan flow. Level
menunjukkan akumulasi, sedangkan flow menunjukkan perubahan pada yang
terjadi pada variabel level.
2.2 Konsep Perencanaan Pembangunan
Perencanaan pembangunan dapat dikatakan identik dengan ekonomi
pembangunan. Bila ruang gerak ekonomi pembangunan berusaha mencari strategi
pembangunan, perencanaan pembangunan merupakan alat yang ampuh untuk
menerjemahkan strategi pembangunan tersebut dalam berbagai program kegiatan
yang terkoordinir. Koordinasi ini perlu dilakukan sehingga sasaran-sasaran, baik
ekonomi maupun sosial, yang telah ditetapkan semula dapat dicapai secara lebih
efisien untuk menghindari terjadinya pemborosan-pemboroan dalam pelaksanaan
pembangunan (Hendra, 1995). Perencanaan pembangunan ekonomi bisa juga
dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber-sumber
daya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas
sektor swasta dalam rangka menciptakan nilai sumber-sumber daya swasta secara
bertanggung jawab (Arsyad, 1999). Dengan demikian diharapkan perekonomian
wilayah dapat mencapai keadaan perekonomian yang lebih baik pada masa yang
akan datang dibanding dengan keadaan sekarang ini, atau minimal sama dengan
keadaan ekonomi sekarang.
30
Hirschman (1958) menegaskan bahwa jika terjadi perbedaan yang sangat
jauh antara perkembangan ekonomi di daerah kaya dengan daerah miskin, akan
terjadi proses pengkutuban (polarization effects), sebaliknya jika perbedaan
diantara kedua daerah tersebut menyempit, berarti telah terjadi imbas yang baik
karena ada proses penetesan ke bawah (trickle down effects). Dari pandangan ini,
dapat dikatakan bahwa perlunya perencanaan pembangunan itu semata-mata
bukan hanya untuk kepentingan wilayah yang bersangkutan, melainkan yang lebih
luas lagi seperti untuk kepentingan pembangunan nasional secara menyeluruh.
Ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan untuk menyusun
perencanaan pembangunan suatu wilayah, yaitu : (1) pendekatan atas-bawah (top-
down), (2) pendekatan bawah-atas (bottom-up), (3) pendekatan obyek, sektoral
atau bidang, (4) pendekatan gabungan atau campuran, (5) pendekatan
komprehensif, (6) pendekatan terpadu, (7) pendekatan pengkerutan (reduced), (8)
pendekatan parsial, (9) pendekatan proyek demi proyek (Mangiri, 2000).
Perencanaan pembangunan yang disusun dengan pendekatan top-down
merupakan perencanaan pembangunan yang sudah diatur pada tingkat atas
pemerintah pusat atau daerah yang tidak melibatkan masyarakat, yang kemudian
diturunkan ke tingkat lebih bawah dari suatu pemerintah (pusat atau daerah) untuk
dilaksanakan sesuai dengan petunjuknya. Pendekatan ini menitikberatkan pada
visi terlebih dahulu, kemudian misi, strategi, program dan proyek. Manfaat yang
dapat diberikan dengan pendekatan ini adalah program pembangunan yang
direncanakan akan lebih cepat terlaksana, karena yang menetapkan hanya
beberapa orang pada tingkat pimpinan yang mempunyai persepsi dan wawasan
pembangunan yang sama. Akan tetapi, sering juga pendekatan semacam ini
menimbulkan permasalahan di lapangan. Karena perencanaannya diturunkan dari
atas, bisa saja terjadi program-program pembangunan yang diajukan tidak sesuai
dengan potensi atau permasalahan pada wilayah setempat. Akibatnya apa yang
menjadi tujuan dari perencanaan tersebut tidak tercapai, bahkan bisa saja hasil
yang didapat bertolak belakang dengan tujuan yang diinginkan.
Pendekatan kedua, bottom-up, tampaknya lebih operasional atau lebih
menyentuh masyarakat, sehingga dianggap mampu memecahkan masalah-
masalah pembangunan yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Namun
31
demikian, pendekatan ini bisa menyebabkan terjadinya benturan-benturan antara
masalah wilayah yang diangkat dengan tujuan makro, dan di samping itu
menimbulkan sikap ego lokal yang lebih mementingkan wilayahnya sendiri.
Perencanaan yang disusun dari bawah, menyebabkan pula masing-masing wilayah
atau sekelompok masyarakat ingin lebih dipentingkan dari wilayah atau kelompok
masyarakat yang lain. Akibatnya muncul konflik yang bersifat horizontal, yang
akhirnya mengganggu proses pembangunan ekonomi yang dijalankan.
Pendekatan perencanaan dapat juga dilakukan dengan lebih
menitikberatkan terhadap pembangunan sektor-sektor atau bidang-bidang tertentu.
Di sini tujuan perencanaan dapat diarahkan kepada pemecahan masalah pada
sektor-sektor yang menjadi bottleneck dalam pembangunan, ataupun untuk
mengembangkan sektor-sektor yang merupakan leader dalam perekonomian
daerah. Pola perencanaan yang lebih mengedepankan pembangunan sektoral
umumnya berpijak pada konsep pertumbuhan tidak berimbang yang dinilai oleh
beberapa ahli ekonomi mempunyai keterbatasan-keterbatasan, di antaranya: (1)
kurang perhatian terhadap komposisi, arah dan saat petumbuhan tidak berimbang,
(2) mengabaikan pihak-pihak yang beroposisi terhadap pembangunan, (3)
memunculkan tekanan inflasi, (4) sulit diterapkan untuk daerah-daerah yang
kurang maju dimana fasilitas dasar dan mobilitas faktor menjadi kendala dalam
pembangunan (Jhingan, 1993).
Pendekatan ideal dalam penyusunan perencanaan pembangunan adalah
dengan menggabungkan semua kepentingan atas, bawah, sektoral ataupun bidang
pembangunan yang diakomodir dan diselaraskan dalam sebuah perencanaan yang
sistematis dan dinamis. Sistem perencanaan pembangunan ini lebih bersifat
simulasi dengan kendala tujuan target makro tetapi pelaksanaannya sesuai dengan
tingkat bawah. Hasilnya menjadi perencanaan optimal antar pusat, wilayah dan
sektor yang dianggap sebagai isu utama nasional atau daerah. Dalam prakteknya,
sangat sulit melakukan perencanaan semacam ini. Karena belum tentu tujuan yang
diutamakan bagi wilayah merupakan pula tujuan nasional, atau sebaliknya tujuan
yang diutamakan bagi nasional belum temtu merupakan tujuan wilayah.
Singkatnya, sangat sulit untuk mempertemukan antara tujuan wilayah dengan
tujuan nasional.
32
Pendekatan perencanaan pembangunan yang komprehensif diartikan
sebagai suatu pendekatan perencanaan yang terkoordinir dan terpadu dalam suatu
wilayah pembangunan, dan salah satu bentuk lain dari pendekatan komprehensif
adalah pendekatan terpadu. Pendekatan ini berusaha mengintegrasikan semua
komponen-komponen ekonomi, dan sosial ke dalam suatu perencanaan
pembangunan wilayah. Perencanaan terpadu ini mempunyai empat aspek, yaitu
(1) keterkaitan, (2) kuantitas, (3) optimasi, dan (4) risiko (Mangiri, 2000).
Sedangkan pernyusunan perencanaan dengan pendekatan parsial lebih bersifat
pemecahan persoalan (problem-solving) dalam proses pembangunan, sehingga
dengan sendirinya dalam pendekatan ini terdapat berbagai bentuk pendekatan
perencanaan. Dengan kata lain pendekatan parsial ini mirip dengan pendekatan
gabungan atau campuran. Pendekatan terakhir yang dapat diterapkan dalam
penyusunan perencanaan pembangunan wilayah adalah pendekatan proyek demi
proyek.
Setelah ditetapkan pendekatan mana yang akan diterapkan, langkah
berikutnya adalah menyusun perencanaan pembangunan yang dilakukan melalui
beberapa tahapan, : (1) pengumpulan data dan analisis, (2) pemilihan strategi
pembangunan wilayah, (3) pemilihan proyek-proyek pembangunan, (4)
pembuatan rencana tindakan, (5) penentuan rincian proyek, dan (6) persiapan
perencanaan secara keseluruhan dan implementasi (Blakely seperti yang dikutip
oleh Arsyad, 1999). Selain itu perencanaan pembangunan tidak bisa terlepas dari
pengetahuan tentang obyek perencanaan, apakah obyek itu berupa nasional,
daerah, sektor, ataupun bidang pembangunan. Dengan mengetahui berbagai
kecenderungan dari faktor-faktor atau variabel-variabel yang mempengaruhinya,
perencana dapat menetapkan strategi pembangunan suatu wilayah dengan lebih
tepat agar diperoleh hasil seoptimal mungkin. Untuk semua ini, diperlukan suatu
analisis yang teliti dan kompleks yang menyangkut berbagai aspek tentang obyek
perencanaan pembangunan. Analisis adalah penyelidikan sesuatu peristiwa untuk
mengetahui penyebabnya, dan bagaimana duduk perkaranya. Sedangkan
menganalisis ialah menyelidiki dengan menguraikan masing-masing bagiannya.
Kegunaan model perencanaan menurut Jhingan (1993) adalah : (1)
memberikan kerangka pengawasan terhadap konsistensi atau optimalisasi sasaran
33
rencana yang tertulis, (2) memberikan kerangka bagi penentuan sasaran yang
sebenarnya, (3) memberikan kerangka bagi penilaian proyek, dan (4) memberikan
pengertian yang mendalam mengenai struktur perekonomian, serta dinamikanya
guna menunjang keputusan keputusan kebijaksanaan yang lebih baik. Oleh karena
itu Jhingan (1993) membagi model-model perencanaan dalam tiga bentuk pula,
yaitu (1) model agregat, (2) model desentralisasi, dan (3) model multisektor.
Model agregat mengikuti garis optimal pertumbuhan agregat-agregat ekonomi
seperti pendapatan, tabungan, konsumsi, investasi, dan sebagainya. Model
Keynes, model Harrod-Domar, dan model two-gap adalah termasuk jenis ini.
Model yang didesentralisasi mengandung variabel sektor atau variabel tingkat
proyek yang dipakai untuk mempersiapkan model masing-masing sektor atau
proyek. Model multisektor dibangun untuk menghubungkan agregat-agregat
ekonomi makro dengan sektor-sektor yang merupakan materi operasional
perencanaan.
Pilihan model-model perencanaan pembangunan sangat tergantung
kepada kemampuan tenaga perencanaan untuk mempergunakan model tersebut,
tersedianya waktu, data dan berbagai fasilitas penunjang lainnya (aspek
infrastruktur), dan bentuk pendekatan yang akan dipergunakan di dalam
menyusun perencanaan pembangunan. Walaupun ketiga faktor tersebut sepertinya
membatasi suatu wilayah di dalam memilih model perencanaan pembangunannya,
bukan berarti setiap kali menyusun perencanaan pembangunan jangka pendek
selalu menggunakan model-model yang sama dan sangat terbatas. Perekonomian
itu berjalan dinamis, karena pola konsumsi dan produksi dalam masyarakat selalu
berubah. Akibatnya orientasi pembangunan tidak mungkin terus sama setiap
tahun.
Konsep perencanaan pembangunan hanyalah merupakan alat dan cara
untuk mencapai tujuan, target dan strategi yang telah ditentukan sebelumnya.
Sehingga menurut Arsyad (1999) perencanaan dalam pembangunan akan
memiliki fungsi : (1) Sarana komunikasi bagi semua stakeholder, (2) dasar dalam
mengatur sumberdaya dan sumberdana, (3) menjadi tolok ukur keberhasilan
fungsi pengendalian, dan (4) alat untuk melakukan evaluasi. Dari fungsi
34
perenanaan dalam pembangunan ini, maka dapat dilihat perencanaan
pembangunan yang baik, yaitu yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Punya target yang jelas. Satu daerah dengan daerah lain mempunyai target
yang berbeda yang tercantum dalam renstra daerah masing-masing.
Perencanaan yang baik apabila dari target yang dimiliki mempunyai langkah-
langkah yang jelas untuk melaksanakannya.
b. Konsisten dan Realistis. Yang sering terjadi adalah berbeda antara apa yang
direncanakan dengan apa yang dikerjakan sehingga pekerjaan tidak sesuai lagi
denga perencanaan yang dibuat dan disetujui bersama. Perencanaan juga harus
mengukur sumberdaya yang dimiliki, sehingga perencanaan yang dibuat
bukanlah yang tidak mungkin dilaksanakan.
c. Mempunyai Pengawasan yang Berkesinambungan. Dengan membentuk alur
dan sistim yang jelas sehingga perencaan akan menjadi alat kontrol yang
kontinyu.
d. Jelas Target Fisik dan Pembiayaannya. Perencanaan harus mempunyai target
pencapaian apa yang dikerjakan termasuk kualitas dan persyaratan secara fisik
lainnya. Di samping itu perencanaan juga jelas target anggarannya.
e. Terukur. Sehingga dalam pelaksanaanya perencanaan akan memudahkan
dalam menentukan indikator keberhasilannya.
f. Ada batas waktu yang jelas dari setiap pekerjaan, Arsyad (1999).
2.3 Konsep Pertumbuhan Ekonomi
Keberhasilan suatu pembangunan salah satu indikatornya dilihat
dari peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada suatu
wilayah pada dasarnya menggunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi
secara agregat. Hanya saja titik tekanan analisis pertumbuhan regional lebih
diletakkan pada akumulasi faktor produksi. Akumulasi faktor produksi
tenaga kerja dan modal dalam suatu wilayah dari satu tahun ke tahun
berikutnya, membuka peluang bagi perbedaan tingkat pertumbuhan di suatu
wilayah.
Model Harrod-Domar memberikan peranan kunci kepada investasi
di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak ganda
35
yang dimiliki investasi, yaitu: (1) investasi menciptakan pendapatan, dan
(2) investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara
meningkatkan stok modal. Yang pertama dapat disebut sebagai dampak
permintaan, dan kedua dampak penawaran investasi.
Arsyad (1999) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi
di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang
terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan tersebut diukur dalam nilai
riil atau dinyatakan dalam harga konstan. Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya
terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam suatu daerah
perekonomian. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdimensi tunggal dan
diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan.
Sukirno (1985) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yaitu: (1) tanah dan
kekayaan alam, (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerjanya, (3) barang
modal dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat, dan (5) luas
pasar sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (2004)
komponen-komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat,
yaitu: (1) akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah,
peralatan fisik dan sumberdaya alam, (2) perkembangan pendududuk, khususnya
yang menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika tingkat
kegiatan ekonominya meningkat atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Dengan kata lain, pertumbuhan baru terjadi jika jumlah barang dan
jasa secara fisik yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah besar pada
tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, untuk melihat peningkatan jumlah
barang yang dihasilkan maka pengaruh perubahan harga-harga terhadap nilai
pendapatan wilayah pada berbagai tahun harus dihilangkan. Caranya adalah
dengan melakukan perhitungan pendapatan daerah didasarkan atas harga konstan.
Kalau perhitungan pendapatan daerah menggunakan tingkat harga yang berlaku
pada waktu tersebut, hasil perhitungannya adalah pendapatan daerah menurut
harga yang berlaku pada tahun bersangkutan. Jadi perhitungan pendapatan daerah
36
dapat menggunakan harga konstan atau pendapatan riil, dapat pula menggunakan
harga yang berlaku saat itu atau pendapatan nominal.
Setiap upaya meningkatkan pertumbuhan melalui pembangunan suatu
wilayah yang dilakukan oleh pemerintah berserta masyarakatnya memiliki tujuan
utama, yaitu untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja bagi masyarakat.
Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan masyarakatnya
harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan. Oleh karena itu,
dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal maka pemerintah hendaknya selalu
melibatkan partisipasi masyarakatnya dalam memanfaatkan sumberdaya-
sumberdaya yang ada, serta harus mampu memperhitungkan potensi sumberdaya-
sumberdaya yang diperlukan untuk meraancang dan membangun perekonomian.
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian dengan menggunakan sistem dinamik sudah banyak dilakukan
di Indonesia di antaranya Tofik Hidayat, Subagyo dan Anna Maria Sri Asih
(2008) membuat Model Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
pendekatan Sistem Dinamik. Metode yang digunakan adalah Metode Net Present
Value dan Benefit Cost Ratio yang dipakai dalam penyelesaian investasi karena
metode ini mempertimbangkan faktor uang selama dan kegunaan selama proses
investasi dengan pendekatan sistem dinamik diharapkan akan terbentuk struktur
industri yang memberikan feedback, sehingga akan memberikan hasil yang
optimal. Dari hasil simulasi dan pengujian model dengan behavior reproduction
test dengan t-spaired test diketahui bahwa tidak ada selisih yang signifikan antara
output model dengan data histories. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
investasi yang ditanam mampu menekan kerugian perusahaan sebesar Rp.
67,854,605.10 dengan nilai NPV > 0 dan B-C ratio >1, maka investasi dinyatakan
feasible secara teknis. Adapun kontribusi pada penerimaan PAD sebesar Rp.
222,136,546.93. Dari uji validitas model pada tiga perusahaan di tiga
kabupaten/kota yang berbeda menunjukan bahwa model dapat bekerja dan
diterima dengan baik.
Yulia Asyiawati (2002) melakukan penelitian tentang sistem dinamik
dalam penataan ruang wilayah pesisir Kabupaten Bantul. Dengan menggunakan
37
software stella, penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika Pesisir Kabupaten
Bantul, baik wisatawan maupun petani akan mengalami perubahan yang
dipengaruhi tiga subsistem, yaitu (1) subsistem lahan, (2) subsitem penduduk, dan
(3) subsitem kegiatan ekonomi pesisir. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya
pertambahan penduduk dan pertambahan jumlah wisatawan pesisir pantai. Selain
itu pula terjadi perubahan terhadap tingkap produksi petani terutama komoditas
padi, cabe merah, ketela rambat dan kacang tanah.
Penelitian yang berkaitan dengan sistem dinamis dilakukan pula oleh
Hadi (2006) dengan kajian model dinamik penataan ruang kehutanan yang
dilakukan di Kawasan Hutan di enam provinsi yang mewakili empat klaster
wilayah berdasarkan fungsi kawasan yang berbeda yaitu: (1) klaster 1, dicirikan
oleh luas areal hutan produksi yang tinggi, diwakili Provinsi Jawa Timur dan
Kalimantan Timur, (2) klaster 2, dicirikan oleh luas areal hutan konversi yang
tinggi, diwakili Provinsi Sumatera Utara, (3) klaster 3, dicirikan oleh luas areal
yang didominasi oleh hutan produksi terbatas, konservasi, dan lindung, diwakili
Provinsi Jambi dan Sulawesi Tengah, dan (4) klaster 4, dicirikan oleh luas areal
penggunaan lain yang tinggi, diwakili Provinsi Bali.
Metode dalam penelitian ini diawali dengan mengkaji Dokumen Teknis
yang meliputi RTRWP, Laporan-Laporan Hasil Evaluasi Kegiatan Pembangunan,
Rencana-Rencana sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian, dan Peta-Peta.
Berdasarkan hasil kajian dokumen teknis disusun permasalahan-permasalahan
teknis dan informasi berbagai potensi yang ada. Selanjutnya, dilakukan verifikasi
lapangan atas informasi potensi dan permasalahan-permasalahan teknis berikut
permasalahan lain; menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik serta
manajemen. Berbagai parameter dalam aktivitas sosial, aktivitas ekonomi, dan
biofisik kawasan perlu ditetapkan sebagai dasar membuat perencanaan tata ruang,
setelah identifikasi kondisi dilakukan. Model optimasi pemanfaatan ruang,
selanjutnya dibangun berdasarkan parameter-parameter sosial dan ekonomi yang
telah diturunkan dari kondisi riil di lapang. Alat yang digunakan untuk membantu
menampung kedinamisan dalam kajian optimasi tata ruang ini adalah Program
Stella Research 5.1. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan terhadap
jumlah PDRB dan luas kawasan hutan di tiap provinsi pada tahun 2004 dan 2024.
38
Hasil penelitian yang berkaitan dengan Kota Bandung di antaranya yang
dilakukan oleh Dewi Kurniasih (2005) dengan penelitian tentang model skala
prioritas pembangunan Kota Bandung berbasis Good Governance. Dalam
penelitian ini mengungkapkan bahwa berbicara mengenai otonomi daerah, tidak
terlepas dari isu kapasitas keuangan dari masing-masing daerah. Hal ini
dikarenakan otonomi dan desentralisasi selalu dikaitkan dengan besaran uang
yang dapat dimiliki daerah. Tentu saja hal tersebut akan berkaitan langsung
dengan besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan prosentase terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penelitian ini bertujuan untuk: (1)
menyediakan suatu program dasar perencanaan pembangunan secara menyeluruh
dan terpadu dalam kerangka Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (2) mengoptimalkan
perencanaan pembangunan di Kota Bandung melalui penjaringan kebutuhan
masyarakat, dan (3) menyusun skala prioritas kegiatan pembangunan di Kota
Bandung tahun 2006. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif
eksploratif dengan teknik kuantitatif melalui penggunaan software sebagai salah
satu bentuk aplikasi e-government. Berdasarkan hasil penelitian menyimpulkaan
beberapa hal :
a. Pelibatan masyarakat sejak awal kegiatan musrenbang harus dipertahankan.
Sejak saat itulah konsep skala prioritas kegiatan dapat mulai diajukan.
b. Kelengkapan dan keseragaman data merupakan aspek yang sangat penting
dalam menentukan skala prioritas. Hal ini akan mempengaruhi scoring dan
ranking penilaian Daftar Skala Prioritas (DSP).
c. Apabila telah disepakati metodologi penilaian DSP yang akan digunakan,
seyogyanya dilakukan pelatihan guna memperoleh kesepemahaman mengenai
komponen-komponen yang harus dinilai dalam menentukan skala prioritas.
Penelitian yang berkaitan denga kawasan Gedebage dilakukan di
antaranya oleh Maman Hilman (2004) dengan penelitian tentang perkembangan
lokasi perumahan di wilayah Gedebage Kota Bandung akibat pemekaran kota.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh pemekaran kota terhadap
perkembangan luas area perumahan; (2) melihat kecepatan perkembangan luas
area perumahan; (3) mengetahui pola perkembangan lokasi perumahan. Metode
39
penelitian yang digunakan adalah metode deskriftif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage
Kota Bandung dipengaruhi oleh meningkatnya perkembangan faktor sosial
ekonomi akibat pemekaran kota. Perkembangan luas area perumahan di wilayah
Gedebage dipengaruhi oleh pemekaran kota sebesar 89,29 persen. Kecepatan
perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage lebih tinggi terjadi
setelah pemekaran kota. Rata-rata perkembangannya setelah pemekaran kota
sebesar 212.003,7 m2/tahun dan sebelum pemekaran kota 17.369 m
2/tahun. Selain
itu pola perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage menunjukkan
pola yang tidak jelas.
Selain itu penelitian di kawasan Gedebage LPM-UNPAD (2002) tentang
kajian sosial pengembangan wilayah Gedebage dengan menggunakan dua
pendekatan Policy Research dan Action Research. Policy Research (penelitian
kebijakan) merupakan sebuah proses penelitian atau analisis yang dilakukan
terhadap masalah-masalah sosial mendasar, sehingga temuan-temuan dalam
analisanya dapat direkomendasikan kepada pembuat keputusan untuk bertindak
secara praktis dalam menyelesaikan masalah. Pendekatan ini sangat relevan
dengan program pengembangan kawasan Gedebage yang masih dalam tahap
perencanaan, pada pendekatan penelitian kebijakan ini mencoba mengidentifikasi
kira-kira gejolak sosial apa yang akan terjadi pada masyarakat Gedebage,
terutama di dalam program pembangunan terminal terpadu yang biasanya akan
menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyamanan bagi penduduk sekitar. Di
samping itu suatu permasalahan yang sangat mendasar yang harus diselesaikan
secara serius adalah bagaimana alih profesi bagi masyarakat petani. Maka untuk
menjaring informasi dan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya dapat dilakukan
pendekatan partisipatory atau focus group disscusion melalui beberapa kelurahan
di kawasan inti dan penyangga yang dilakukan pada komunitas yang dianggap
homogen, seperti masyarakat petani, masyarakat ojek, masyarakat pegawai
formal, masyarakat pedagang dan lain sebagainya. Adapun kesimpulan dari
penelitian ini menunjukkan beberapa hal yang perlu dicermati, di antaranya :
a. Masalah proporsi peruntukan lahan yang belum seimbang di beberapa wilayah
kelurahan di Gedebage
40
b. Masalah struktur kependudukan dan angkatan kerja
c. Masalah struktur kepemilikan tanah
d. Masalah kerajinan dan industri
e. Masalah kesehatan dan keluarga berencana
f. Masalah pendidikan dan kebudayaan
Selanjutnya, hasil penelitian ini juga telah memberikan catatan terhadap
isu-isu strategi yang dimunculkan, diantaranya :
a. Delapan kelurahan yang menjadi objek kajian, menunjukkan adanya
kebutuhan terhadap upaya-upaya alih profesi dan profesi baru bagi anggota
masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan belum bekerja.
b. Harapan-harapan dalam pengembangan Gedebage, tidak hanya menjadi
perhatian masyarakat, melainkan juga oleh aparat pemerintah. Masyarakat
menginginkan adanya perbaikan-perbaikan dalam berbagai sektor yang selama
ini tidak atau belum tersentuh oleh kebijakan pemerintah, seperti masalah
perumahan, akses jalan tol, banjir, kesehatan masyarakat dan lingkungan,
sarana dan prasarana yang diperlukan, dan lain-lain.
c. Kelembagaan-kelembagaan yang ada tampaknya tidak mampu menampung
keinginan banyak pihak, karenanya harapan-harapan yang muncul adalah
pengembangan kelompok-kelompok potensial menjadi kelompok aktual.
2.5 Kerangka Pemikiran
Aktivitas ekonomi muncul, tumbuh, dan terbangun dalam suatu ruang.
Perusahaan, dan pelaku ekonomi secara umum akan memilih lokasi sebagaimana
mereka memilih faktor produksi dan teknologi. Sumberdaya produksi terdistribusi
secara tidak merata dalam suatu ruang: sumberdaya sering terkonsentrasi dalam
suatu area tertentu sehingga terjadi ketidakseimbangan.
Ruang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas ekonomi. Pernyataan ini
didasari oleh kenyataan bahwa setiap aktivitas produksi memerlukan ruang dan
tidak semua area geografis memberikan kesempatan atau ketersediaan yang sama
untuk (aktivitas) produksi dan pembangunan. Penyebaran bahan mentah, faktor
produksi (modal dan tenaga kerja), dan permintaan yang tidak merata membuat
perusahaan (dan aktivitas produksi secara umum) memilih lokasi sebagaimana
41
mereka memilih faktor produksi dan teknologi yang akan mempengaruhi
kapasitas produksi dan posisi perusahaan di pasar, lokasi secara krusial akan
menentukan kapasitas produksi perusahaan (secara agregat) dari area geografis di
mana perusahaan itu berlokasi.
Namun demikian pemilihan lokasi bukan satu-satunya yang dapat
menjadikan suatu wilayah dapat berkembang secara maksimal. Perkembangan
suatu wilayah yang baik dapat ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor
ekonomi wilayah tersebut, dalam hal ini terjadi transfer input output barang dan
jasa antar sektor secara dinamis. Demikian juga pengembangan Pusat Primer
Gedebage Kota Bandung akan menciptakan peningkatan kegiatan sektor-sektor
ekonomi di sekitar kawasan tersebut maupun Kota Bandung pada umumnya
sebagai indikator keberhasilan pembangunan di wilayah tersebut. Di sisi lain
pelaksanaan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung akan gagal apabila laju
pertumbuhan meningkat tetapi pendapatan masyarakat rendah. Hal ini
mengidentifikasikan bahwa pembangunan tersebut belum mampu menciptakan
spread effect kepada masyarakat.
Relevansi pemahaman ini dengan wilayah yang diteliti merupakan suatu
landasan pemikiran mengenai komponen pengembangan Pusat Primer Gedebage
Kota Bandung yang meliputi penggunaan ruang di kawasan Gedebage, berbagai
kegiatan ekonomi, serta dinamika populasi penduduk. Ketiga variabel tersebut
merupakan variabel state (pendukung) dalam membangun model konseptual.
Kemudian ditentukan variabel non-state (variabel lainnya) yang meliputi variabel
penggerak (driving), variabel pembantu (auxiliary), dan variabel tetap (constant)
yang melengkapi suatu model yang dapat menciptakan kesempatan kerja dan
pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung.
Desain sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
merupakan interaksi antar sub model ketersediaan ruang kawasan Gedebage
(lingkungan), sub model populasi penduduk serta sub model ekonomi. Setelah
dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat, kemudian
ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan itu dapat
ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian
42
dapat dibangun hubungan umpan balik (causal loop) untuk semua variabel dalam
pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dalam rantai tertutup.
Seperti yang digambarkan dalam kerangka pemikiran bahwa
pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung menunjukkan ada beberapa
faktor yang akan mempenguhi optimalisasi pembangunan kawasan ini. Faktor
wilayah, penduduk dan ekonomi merupakan faktor yang dapat menimbulkan
pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif antara lain terhadap faktor
ekonomi seperti adanya perubahan pendapatan asli daerah, pendapatan
masyarakat serta PDRB. Pengaruh negatif dapat terjadi apabila perencanaan
pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung kurang baik dalam. Selain
itu juga masalah laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol dapat
berpengaruh negatif terhadap keseimbangan penduduk di kawasan Pusat Primer
Gedebage Kota Bandung karena pusat kegiatan ekonomi pada akhirnya menjadi
tujuan bagi penduduk untuk melakukan perpindahan ke wilayah tersebut.
Sedangkan faktor pendukung yang dapat membuka peluang berhasilnya sistem
pengembangan kawasan Gedebage antara lain adalah ketersediaan ruang kawasan
Gedebage. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 1 tentang Kerangka
Pemikiran Pengembangan Kawasan Gedebage Terhadap Pembangunan
Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik.
Sebagai upaya realisasi dari Visi dan Misi Pembangunan Kota Bandung
yang ditafsirkan dalam bentuk perumusan sasaran pembangunan dan dilandasi
oleh hukum formal berupa Perda RTRW Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004
dan Nomor 03 Tahun 2006 serta sesuai dengan target makro pembangunan Kota
Bandung, baik rencana yang bersifat jangka menengah maupun jangka panjang,
maka Pengembangan Kawasan Gedebage dengan proyek utamanya pembangunan
Pusat Primer Gedebage akan menjadi prioritas pembangunan Kota Bandung yang
akan berpengaruh baik terhadap kegiatan pemerintahan maupun masyarakat, serta
kegiatan ekonomi Kota Bandung
Untuk lebih jelasnya tentang Kerangka Pemikiran tentang dampak
pengembangan Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota
Bandung melalui pendekatan sistem dinamik. dapat dilihat dari Gambar 1.
43
Model dinamik dampak
pengembangan kawasan
Gedebage Kota Bandung
Optimalisasi kawasan
Gedebage
Stakeholders
Analisis kebutuhan
Formulasi
permasalahan
Identifikasi sistem
Pemodelan sistem
Visi dan Misi Pembangunan
Kota Bandung
Implementasi
Subsistem wilayah Subsistem ekonomi Subsistem penduduk
Perda RTRW Kota Bandung Nomor 02 Tahun
2004 dan Nomor 03 Tahun 2006
Pengembangan Kawasan Gedebage
Perumusan sasaran pembangunan sesuai dengan target
makro pembangunan Kota Bandung
Analisis Dampak Terhadap
Pembangunan Ekonomi Kota
Bandung
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengembangan Pusat Primer Gedebage
Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui
Pendekatan Sistem Dinamik
44
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah Kawasan Gedebage di timur Kota Bandung
yang terletak di antara 1070 36’ Bujur Timur dan 60
0 55’ Lintang Selatan. Lokasi
Kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi, dan perekonomian.
Hal tersebut dikarenakan Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan yaitu
dari sebelah Barat - Timur yang memudahkan hubungan dengan Ibukota Negara
dan dari sebelah Utara - Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah
perkebunan (Subang dan Pangalengan). Adapun waktu penelitian dilakukan pada
rentang waktu bulan Juli-Oktober 209.
3.2. Jenis dan Sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder seperti
pendapatan daerah berupa pertumbuhan ekonomi daerah, produk domestik
regional bruto (PDRB), kependudukan dan ketenagakerjaan., kondisi geografis,
demografis yang dikumpulkan dari instansi terkait, yaitu BPS Kota Bandung,
Pemerintah Kota Bandung, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(BAPEDA), dan Dinas Tenaga Kerja.
3.3. Metode Analisis Data
3.3.1 Analisis Model Pengembangan Kawasan
Desain sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage merupakan alam
bentuk interaksi antar sub model ketersediaan ruang kawasan Gedebage
(lingkungan) berupa model pemanfatan lahan dan model kondisi RTH Kota
Bandung, sub model dinamika penduduk, dan sub model ekonomi dalam bentuk
penghitungan PDRB Kota Bandung. Adapun formulasi model untuk analisis
model pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage terdiri dari :
a. Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota(t) =
Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota(t - dt) +
(Penambahan_Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota) * dtINIT
Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota
45
b. RTH_Kota(t) = RTH_Kota(t - dt) + (Penambahan_RTH_Kota -
Pengurangan_RTH_Kota) * dtINIT RTH_Kota
c. Penduduk (t) = Penduduk(t - dt) + (Penambahan_Pddk -
Pengurangan_Pddk) * dtINIT Penduduk
d. PDRB_KOTA(t) = PDRB_KOTA(t - dt) + (Penambahan_PDRB) *
dtINIT PDRB_KOTA
Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat
dalam formulasi model (1) Luas Pemanfatan Lahan Kota, (2) Luas RTH, (3)
Dinamika Penduduk, dan (4) PDRB Kota, kemudian ditentukan hubungan yang
logis antar variabel tersebut. Dari hubungan variabel-variabel yang terlibat itu
dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan
demikian dapat dibangun hubungan dalam bentuk alur berpikir seperti yang
terlihat dari Gambar 2 dan. Dari alur berpikir yang ada, maka dibuat suatu causal
loop untuk selanjutnya dilakukan analisis dengan melakukan simulasi dengan
menggunakan alat bantu software Stella versi 9.0.2 Program Stella merupakan
perangkat lunak yang berbasis flow chart yang handal dalam membuat pemodelan
sistem dinamik baik dalam prosesnya maupun dalam melakukan simulasi.
PENGEMBANGAN
KAWASAN PUSAT
PRIMEG GEDEBAGE
KESEMPATAN
KERJ A
PERTUMBUHAN
EKONOMI
PEMBAGIAN
LAHAN PPG PENGANGGURAN INVESTASI
PENDPATAN
PER KAPITA
PENDUDUK
PERUBAHAN
PENDUDUK
Gambar 2 Alur Berpikir Dampak Pengembangan Pusat Primer Gedebage
Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui
Pendekatan Sistem Dinamik
46
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa dalam sistem pengembangan
kawasan Pusat Primer Gedebage ada pengaruh positif dan negatif. Pengaruh
positif antara lain terhadap pendapatan per kapita serta PDRB. Pengaruh negatif
dapat terjadi apabila perencanaan pengembangan Pusat Primer Gedebage kurang
baik dalam pengelolaannya terutama masalah laju pertumbuhan penduduk yang
tidak terkontrol dapat berpengaruh negatif terhadap keseimbangan penduduk di
kawasan Gedebage. Selain itu pula dapat dilihat akan adanya faktor pendukung
berhasilnya sistem pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage antara lain
adalah ketersediaan ruang di kawasan Gedebage. Oleh karena itu dari Gambar 2
menunjukkan bahwa sistem pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage
memiliki hubungan sebab akibat (causal loop) yang luas dan beragam yang
ditunjukkan dalam bentuk perubahan yang terjadi dalam subsistem yang
tergambar dalam setiap model akan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Selanjutnya dilakukan pemodelan yang merupakan abstraksi dari sebuah
objek atau situasi aktual (Eriyatno, 1999). Salah satu dasar utama untuk
mengembangkan model adalah menghubungkan peubah-peubah apa yang penting
dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian
hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Teknik kuantitatif
dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam sebuah
model.
3.3.2 Skenario Model
Dengan keterbatasan data yang mungkin didapat, maka model yang
direncanakan berdasarkan beberapa asumsi kondisi yang diharapkan dalam model.
Adapun asumsi yang dimaksud menyangkut realisasi dan harapan yang terjadi
dalam aspek investasi dan Ruang Terbuka Hijau yang ada di dalam
pengembangan Pusat Primer Gedebage dan pembangunan ekonomi Kota Bandung
yang diimplementasikan ke dalam model skenario sebagai berikut, yaitu :
a. Skenario konservatif (Skenario 1), dimana pengembangan Pusat Primer
Gedebage berjalan sesuai dengan investasi.
b. Skenario optimis (Skenario 2), dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage
berjalan sesuai dengan investasi yang direncanakan.
47
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografi dan Administrasi
Kota Bandung merupakan wilayah yang terletak pada 107º bujur timur,
6º-55º lintang selatan dan berada di ketinggian 791 m di atas permukaan laut, titik
terendahnya berada pada posisi 675 meter di sebelah selatan dan titik tertinggi
terletak pada posisi 1.050 meter yang berada di sebelah utara. Dengan luas
wilayah 16.730 Ha (Bandung Dalam Angka, 2009), secara geografik sebelah utara
Kota Bandung merupakan daerah perbukitan atau dataran tinggi dan sebelah
selatan relatif datar atau dataran rendah. Sebelah selatan pada umumnya tanah
bebatuan, sebelah utara dan timur terdiri dari tanah endapan berupa tanah
lempung atau tanah liat, sebelah barat dan tengah tersebar tanah bebatuan.
Keadaan geologis di Kota Bandung dan sekitarnya terdiri atas lapisan
alluvial hasil letusan Funung Tangkuban Perahu. Jenis material di wilayah bagian
utara umumnya jenis tanah andosol, sedangkan di bagian Selatan serta Timur
terdiri atas jenis alluvial kelabu dengan bahan endapan liat. Di bagian Tengah dan
Barat tersebat jenis tanah andosol. Iklim asli kota Bandung dipengaruhi oleh iklim
pegunungan di sekitarnya, namun pada dasarnya beberapa tahun belakangan
mengalami peningkatan suhu, hal ini disebabkan polusi dan meningkatnya suhu
global. Kota Bandung tergolong daerah yang cukup sejuk, dengan temperature
udara rata-rata 23º C (1995-2008). Temperatur ini dipengaruhi oleh ketinggian
sekitar lingkungan pegunungan atau cekungan dan berbagai danau besar yang
terletak disekitarnya, serta perubahan iklim global. temperatur rata-rat di Kota
Bandung pada Tahun 2008 terdapat temperatur maksimum yang mencapai 30.7ºC
pada bulan September 2008. hal ini mengindekasikan bahwa sebenarnya terdapat
kenaikan temperatur di Kota Bandung. Sementaraitu bila dianalisis dalam kurun
waktu yang lebih panjang, yaitu temperatur udara rata-rata maksimum dalam 20
tahun terakhir, temperatur di Kota Bandung naik sekitar 2ºC, dan kenaikan
tersebut dinilai signifikan dalam dunia meteorologi.
Kota Bandung yang secara administratif menurut Perda Kota Bandung
nomor 06 tahun 2006 tentang Pemekaran dan pembentukan wilayah kerja
48
kecamatan dan kelurahan di lingkungan Pemerintah Kota Bandung dibagi menjadi
30 Kecamatan, 151 Kelurahan, 1.500 RW dan 9.277 RT (pasca pemekaran 4
kecamatan) yang dibatasi oleh :
a. Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Lembang dan Cisarua Kabupaten
Bandung Barat.
b. Bagian Barat berbatasan dengan Kota Cimahi yaitu Kecamatan Cimahi Utara,
Cimahi Tengah dan Marga Asih.
c. Bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Cicalengka dan Cileunyi
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang.
d. Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dayeuh Kolot dan Cirangrang
Kabupaten Bandung.
Kota Bandung sebagai kota metropolitan, sekarang ini telah berkembang
dengan pesat, baik secara fisik maupun non fisik. Faktor utama yang memberikan
keuntungan bagi pembangunan di Kota Bandung adalah selain sebagai ibukota
provinsi, juga letak geografis Kota Bandung sangat strategis yang menjadikan
persimpangan dan sentra pertemuan yang berada tepat di tengah provinsi, yang
menjadikan titik temu seluruh daerah yang berada di wilayah selatan dan utara
provinsi Jawa Barat sebelum ditransfer ke Jakarta sebagai pusat perekonomian
nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Bandung telah ditetapkan sebagai salah
satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Kawasan Andalan Cekungan Bandung.
Dengan penetapan tersebut, Kota Bandung makin berkembang dan makin banyak
menarik pendatang dan penduduk dari wilayah lain disekitarnya untuk bermigrasi,
baik untuk menetap maupun untuk melakukan segala kegiatan bisnisnya sebagai
penduduk komuter. Perkembangan ini dapat menjadi daya dukung bagi Kota
Bandung dalam melakukan pembangunan tetapi sebaliknya bisa juga menjadi
beban bagi Kota Bandung jika potensi yang ada tidak memiliki kualitas yang
dibutuhkan dalam pembangunan Kota Bandung secara keseluruhan.
49
42
4.2 Pemerintahan
Sejak dibentuknya Kota Bandung menjadi suatu daerah Otonom pada
tanggal 1 April 1906, Kota Bandung telah beberapa kali mengalami perluasan
permukaan wilayah daerahnya, yaitu pada masa rentang Tahun 1906 – 1917, yaitu
pada hari pembentukan Kota Bandung menjadi daerah otonom tanggal 1 April
1906 mempunyai luas 1.922 Ha dan pada rentang waktu Tahun 1917-1942 daerah
Kota Bandung telah diperluas menjadi 2.871 Ha.
Pada tahun 1930 telah direncanakan perluasan daerah Kota Bandung
dalam jangka waktu 25 tahun berikutnya. Perlunya perluasan tersebut dari 2.871
Ha menjadi 12.758 Ha berdasarkan pertimbangan bahwa penduduk Kota Bandung
dengan pertambahan normal pada akhir 1955 diperkirakan akan menjadi 750.000
jiwa, rencana ini dikenal dengan sebutan “Plan Karsten”. Namun pada masa
Pendudukan Pemerintahan Belanda, rencana Karsten ini belum seluruhnya
Gambar 3 Peta Kota Bandung dan Batas-batas Wilayahnya
Sumber : Perda 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah
Kota Bandung
50
dilaksanakan. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) beberapa kali diadakan
perubahan luas daerah berupa pergeseran batas kota dengan cara memasukan
desa-desa dari Kabupaten Bandung dimana pada akhir masa pendudukan Jepang
luas daerah Kota Bandung berubah menjadi 5.413 Ha. Sedangkan pada masa
Negara Pasundan Tahun 1949 secara resmi Kota Bandung mengalami perluasan
menjadi 8.098 Ha. Selanjutnya pada Tahun 1987 Berdasarkan Peraturan
Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1987 wilayah Administrasi
Kota Bandung diperluas menjadi 16.730 Ha hingga saat ini.
Dari segi pelaksanaan pemerintahan Pemerintah Kota Bandung telah
mendorong upaya reformasi birokrasi yang akan dilakukan menurut tahapan-
tahapan tertentu. Saat ini telah dilakukan reorganisasi pemerintah yang diharapkan
dapat meningkatkan kinerja aparatur Pemerintah Kota Bandung. Secara umum,
implementasi SOTK baru berdasarkan PP Nomor 41 Tahun 2007, tentang
Organisasi Perangkat Daerah maka struktur organisasi Pemerintah Kota Bandung
saat ini terdiri dari sejumlah SKPD, yaitu 14 Dinas, 9 lembaga teknis daerah,
Satuan Polisi Pamong Praja, 4 perusahaan daerah, 3 rumah sakit daerah, 30
kecamatan serta sekretariat daerah. Dengan perangkat organisasi tersebut
diharapkan struktur organisasi menjadi lebih ramping, bergerak taktis dan
strategis, serta dapat mengurangi jabatan struktural yang ada guna meningkatkan
efisiensi kerja dan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, Organisasi
yang ada saat ini didukung oleh Esselon. II.A 1 orang, Esselon. II.B 32 orang,
Esselon. III.A 76 orang, Esselon. III.B 131 orang,Esselon. IV.A. 895 orang,
Esselon. IV.B 708 orang dengan jumlah pegawai, 24.341 pegawai negeri sipil dan
1.501 tenaga kontrak.
Penataan kelembagaan Pemerintah Kota Bandung pada dasarnya
diarahkan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik untuk
menghilangkan citra birokrasi sebagai penghambat pembangunan. Dengan
demikian, adanya re-organisasi berimplikasi terhadap pengurangan jabatan. Di
antara masalah yang masih menjadi tantangan di masa depan adalah kapasitas
aparatur tata kerja. Berbagai kegiatan peningkatan kinerja aparatur dilakukan
melalui peningkatan kesejahteraan, pengawasan, mengikuti pendidikan dan
latihan dan sebagainya. Namun dengan semakin kompleksnya permasalahan
51
perkotaan, dirasakan kapasitas dan kapabilitas aparatur dalam mencapai pelayanan
prima masih berada di bawah standar. Tata kerja di masa datang juga penting
untuk diperjelas dan dituangkan dalam mekanisme kerja dan job description yang
baik agar sistem dapat berjalan dengan baik. Tata kerja ini berfungsi sebagai
petunjuk operasional SOTK yang sudah ada. Dan saat ini SKPD yang telah
memiliki Standar Mutu Nasional (SMN) ISO 9000:2001 adalah sebanyak 12
SKPD. Hal lain yang akan dilaksanakan dalam rangka peningkatan pelayanan
kepada masyarakat, adalah upaya penguatan kelurahan. Sedangkan untuk
meningkatkan kualitas perijinan maka telah dibentuk Badan Penanaman Modal
dan Pelayanan Perijinan Terpadu (BMPPT) dan Bandung Elektronik Procurment
(BEP). Langkah-langkah dapam upaya reformasi pelayanan perijinan, meliputi :
a. Regulasi perijinan usaha dengan memangkas jumlah perijinan dan menata
perijinan yang tumpang tindih.
b. Birokrasi perijinan usaha melalui penyederhaan prosedur perijinan.
Dalam pelaksanaannya reformasi pelayanan perijinan diformulasikan ke
dalam pembentukan pelayanan terpadu satu pintu. Pelayanan satu pintu adalah
penyelenggaraan pelayanan perijinan dan non perijinan yang proses
pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan, sampai dengan penerbitan
dokumen secara terpadu dan dilakukan di satu tempat melalui front office untuk
meminimalisasi interaksi antara pemohon dan petugas perijinan dan menghindari
kemungkinan pungutan-pungutan tidak resmi. Seiring dengan penataan organisasi
perangkat daerah Kota Bandung sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.
41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah bentuk kelembagaan terpadu
satu pintu ditingkatkan dari setingkat kantor menjadi setingkat badan dengan
nomenklatur Badan Pelayanan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah Kota
Bandung dengan asumsi bahwa pelayanan perijinan yang diselenggarakan
berkaitan erat dengan investasi di daerah. Dengan adanya kemudahan perijinan
diharapkan akan mendorong kondusifitas iklim investasi di Kota Bandung.
Peningkatan status kelembagaan satu pintu juga dilakukan dengan perubahan
ketatalaksanaan, peningkatan kewenangan dimana Pelayanan Terpadu Satu Pintu
diberikan kewenangan dari mulai penerimaan berkas, pemprosesan ijin,
penandatanganan ijin dan penyerahan ijin, Selain itu jumlah perijinan yang
52
dikelola oleh satu pintu ditingkatkan dari 14 jenis perijinan menjadi 62 jenis
perijinan baik ijin usaha maupun non usaha. Hal-hal yang perlu dilakukan seiring
dengan peningkatan kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu meliputi:
a. Revisi Perda-perda terkait dengan prinsip-prinsip pelayanan satu pintu, seperti
penyederhaan, persyaratan dan waktu pelayanan;
b. Penyederhaan jumlah perijinan dengan menyatukan atau menghapus perijinan
yang dianggap tumpang tindih dan menyulitkan pelaku usaha;
c. Pengurangan biaya bagi kategori usaha tertentu;
d. Penetapan kebijakan untuk mengurangi pungutan-pungutan di tingkat
Kecamatan, Kelurahan, RW dan RT terutama terkait dengan persyaratan ijin.
Sebagai perwujudan political will dari penerapan pola pelayanan terpadu
satu pintu telah dianggarkan pula pembiayaan dalam operasional pelayanan satu
pintu baik dalam APBD perubahan Tahun 2007 maupun APBD Tahun 2008.
Upaya peningkatan pelayanan dilakukan melalui penerapan model pelayanan
bersifat proaktif dan standar mutu. Model pelayanan yang bersifat proaktif adalah
dengan membangun situs (web site) untuk pelayanan on line, sedangkan
pelayanan yang bersifat standar mutu adalah melalui penggunaan ISO 9001:2000
yang berguna untuk menyusun pedoman kerja yang berstandar, meningkatkan
citra, profesionalitas dan meningkatkan daya tarik investasi.
Dalam upaya efisiensi dan peningkatan pelayanan pemerintah terhadap
masyarakat Kota Bandung, maka dalam struktur pelayanan pemerinta Kota
Bandung membagi ke dalam enam wilayah pelayanan, yaitu:
1. Wilayah Pelayanan Bojonegara
2. Wilayah Pelayanan Cibeunying
3. Wilayah Pelayanan Tegallega
4. Wilayah Pelayanan Kerees
5. Wilayah Pelayanan Ujungberung
6. Wilayah Pelayanan Gedebage
4.3 Kependudukan
Penduduk Kota Bandung berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Daerah
(Suseda) adalah 2.374.198 jiwa (penduduk laki-laki 1.210.164 jiwa dan
53
perempuan 1.164.034 jiwa). Angka tersebut menentukan Laju Pertumbuhan
Penduduk (LPP) sebesar 1,90 persen. Rata-rata kepadatan penduduk Kota
Bandung 14.190,41 jiwa/Km2, dilihat dari segi kepadatan penduduk per
Kecamatan, maka Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan daerah terpadat dengan
kepadatan penduduk 39.899,01 jiwa/Km2. Salah satu upaya Pemerintah Kota
Bandung untuk mengurangi tingkat kepadatan penduduk adalah dengan Program
Transmigrasi ke daerah luar Pulau Jawa, diantaranya ke Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Tabel 2 Jumlah Penduduk Kota Bandung Menurut Kecamatan dan Jumlah
Kelurahan Serta rata-rata Per Kelurahan Tahun 2008
No Tahun Jumlah
Kecamatan
Jumlah
Kelurahan
Jumlah
Penduduk
Rata-rata
Penduduk per
Kelurahan
1 2008 30 151 2.374.198 15.723
2 2007 26 139 2.329.928 16.762
3 2006 26 139 2.296.848 16.524
4 2005 26 139 2.270.970 16.338
5 2004 26 139 2.232.624 16.062
Sumber : Bandung Dalam Angka 2009
Berdasarkan uraian Tabel 2 dan sesuai dengan hasil registrasi penduduk
pada tahun 2005, total penduduk Kota Bandung meningkat sebanyak dari
2.228.267 jiwa pada tahun 2003 menjadi 2.232.627 jiwa pada tahun 2004 dengan
laju pertumbuhan penduduk 2,65 persen. Dengan luas areal kota sebesar 16.730
hektar. Sehingga rata-rata kepadatan penduduknya sebesar 13.344 jiwa/ha (134
jiwa per km2), dengan rata-rata anggota keluarga sebanyak 4 jiwa per KK. Angka
ini tidak termasuk sejumlah besar penduduk komuter (pendatang atau penduduk
dari wilayah lain) yang bekerja dan mencari nafkah di Kota Bandung pada siang
hari, Menurut data Dinas Kependudukan Kota Bandung (2009), jumlah total
penduduk pada siang hari dapat mencapai 3,5 juta jiwa.
Sedangkan dari aspek banyaknya migrasi penduduk menetap dan
penduduk komuter dari berbagai penjuru tanah air dan bahkan ekspatriat dari luar
negeri telah menyebabkan Bandung menjadi kota yang berpopulasi tinggi dengan
kepadatan dan multi-etnis. Namun penduduk Kota Bandung relatif tidak tersebar
54
secara merata di setiap kecamatan, sehingga kepadatan penduduk antar kecamatan
di Kota Bandung sangat bervariasi. Sedangkan perkembangan penduduk di
wilayah penelitian dapat dilihat dari data di Tabel 3
Tabel 3 Jumlah Penduduk Kota Bandung Menurut Kecamatan dan Luas
Wilayah Serta Kepadatan Penduduk Per Km2
Tahun 2008
No Kelurahan Luas
(Km2)
Jumlah
Penduduk
Kepadatan
Penduduk Per Km2
1 Bandung Kulon 6,46 125,350 19,404
2 Babakan Ciparay 7,45 142,309 19,102
3 Bojongloa Kaler 3,03 120,894 39,899
4 Bojongloa Kidul 6,26 81,045 12,947
5 Astanaanyar 2,89 70,544 24,410
6 Regol 4,30 86,500 20,116
7 Lengkong 5,90 71,983 12,201
8 Bandung Kidul 6,06 51,968 8,576
9 Buahbatu 7,93 95,256 12,012
10 Rancasari 7,33 68,864 9,395
11 Gedebage 9,58 31,230 3,260
12 Cibiru 6,32 60,001 9,494
13 Panyileukan 5,10 34,621 6,788
14 Ujung Berung 6,40 61,579 9,622
15 Cinambo 3,68 23,695 6,439
16 Arcamanik 5,87 57,869 9,858
17 Antapani 3,79 59,929 15,812
18 Mandalajati 6,67 57,265 8,586
19 Kiaracondong 6,12 129,623 21,180
20 Batununggal 5,03 123,392 24,531
21 Sumur Bandung 3,40 40,035 11,775
22 Andir 3,71 106,201 28,626
23 Cicendo 6,86 103,532 15,092
24 Bandung Wetan 3,39 31,741 9,363
25 Cibeunying Kidul 5,25 111,094 21,161
26 Cibeunying Kaler 4,50 69,011 15,336
27 Coblong 7,35 126,450 17,204
28 Sukajadi 4,30 101,065 23,504
29 Sukasari 6,27 77,218 12,316
30 Cidadap 6,11 53,934 8,827
Jumlah 167,29 2.374.198 14,192
Sumber : Bandung Dalam Angka 2009
Penduduk Kota Bandung pada tahun 2007 adalah sebanyak 2.340.624
jiwa. Sebagai pusat kegiatan penting, maka disekitar Kota Bandung berkembang
daerah-daerah hinterland seperti Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, wilayah
55
Kabupaten Sumedang bagian barat serta Kota Cimahi yang dihuni oleh penduduk
yang berjumlah besar pula. Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Kota Cimahi
pada tahun 2006 dapat mencapai jumlah penduduk 5 jutaan. Dengan peran
sebagai orientasi, maka pergerakan penduduk antara pusat dan hinterland menjadi
bercampur, sehingga realitas jumlah penduduk yang beraktivitas di Kota Bandung
cenderung melebihi jumlah penduduk yang teregistrasi. Rata-rata pertumbuhan
jumlah penduduk Kota Bandung antara tahun 2002-2007 adalah sebesar
1,43persen. Dengan kondisi tersebut, maka diperkirakan pada tahun 2013 jumlah
penduduk Kota Bandung mencapai hampir 2,6 juta jiwa. Pertambahan jumlah
penduduk ini dapat menjadi beban berat apabila secara bersamaan daerah
sekitarnya juga terus mengalami pertambahan penduduk. Bila biaya hidup dan
beraktivitas di Kota Bandung semakin kompetitif dan mahal, pertumbuhan
penduduk bisa semakin melambat, hingga mencapai 2,4 juta jiwa. Jumlah ini tetap
mengisyaratkan Kota Bandung sebagai kota penting, namun penduduk yang
beraktivitas di dalamnya melakukan komuter dan tinggal di daerah sekitar Kota
Bandung. Dalam kondisi ini tetap saja beban bayangan jumlah penduduk yang
besar, menjadi isu penting Kota Bandung di masa datang. Dengan luas wilayah
sekitar 16.730 ha, maka kepadatan penduduk Kota Bandung pada tahun 2007
adalah 140 jiwa/ha. Seluruh jumlah penduduk tersebar di kecamatan yang ada.
Distribusi jumlah penduduk terbesar adalah Kecamatan Bandung Kulon, yaitu
mencapai jumlah 120.733 jiwa atau mencapai 5,5 persen dari seluruh jumlah
penduduk Kota Bandung. Kecamatan dengan jumlah penduduk tersedikit adalah
Kecamatan Cinambo, dengan jumlah penduduk sekitar hampir 20.000 jiwa atau
sekitar 0,9persen jumlah penduduk Kota Bandung. Dari kecamatan yang ada,
sekitar 50persen penduduk tinggal di 10 Kecamatan saja, yaitu Bandung Kulon,
Batununggal, Kiaracondong, Babakan Ciparay, Coblong, Bojongloa Kaler,
Cibeunying Kidul, Andir, Sukajadi dan Cicendo, yang rata-rata proporsi jumlah
penduduknya mencapai 4persen.
Selanjutnya penduduk Kota Bandung dapat dianalisis menurut struktur
umurnya. Struktur umur ini adalah informasi yang sangat penting karena berkaitan
dengan perkembangan persentase kelompok sasaran pembangunan. Misalnya
proporsi penduduk pada tingkat pendidikan dasar, menengah, tinggi, remaja, usia
56
kerja (produktif), usia lanjut. Besaran komposisi penduduk ini akan menentukan
kebutuhan layanan pada setiap kelompok. Bila dilihat dari struktur usia penduduk
Kota Bandung, yang tergolong menonjol adalah usia masa awal usia kerja (25-34
tahun) dan pada usia pendidikan tinggi (20-24 tahun). Pada kedua kelompok ini
terlihat pola lonjakan bila dibandingkan dengan usia pendidikan dasar-menangah.
Artinya secara normal sebenarnya strukturnya akan semakin menyempit mulai
dari usia balita sampai dengan usia lanjut. Lonjakan pada usia tersebut di atas,
mengindikasikan bahwa di Kota Bandung terjadi migrasi masuk yang sangat
besar, yaitu mahasiswa-mahasiswa yang melanjutkan studinya di Kota Bandung
sekaligus tempat mencari kerja pada penduduk usia-usia awal kerja.
4.4 Kondisi Perekonomian Kota Bandung
Kota Bandung memiliki peran penting dalam perekonomian Jawa Barat.
Pada Tahun 2004-2008 konstribusi ekonomi Kota Bandung di Jawa Barat
mencapai rata-rata 10persen. Dalam lingkup Kota Bandung Raya, maka kontribusi
aktivitas ekonominya menjadi sekitar 23 persen dari ekonomi Jawa Barat. Laju
pertumbuhan ekonomi Kota Bandung juga tergolong tinggi, atau di atas rata-rata
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dan bahkan nasional. Pada tahun 2006 tingkat
pertumbuhan ekonomi mencapai 7,83 persen dan pada tahun 2007 mencapai
8,24persen. Tingkat Pertumbuhan yang tinggi tersebut menunjukan bahwa Kota
Bandung adalah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang penting di
Jawa Barat maupun di Indonesia. Secara terinci konstribusi kegiatan ekonomi
Kota Bandung dan sekitarnya Ekonomi Jawa Barat dapat dilihat dalam Tabel 4
berikut :
Tabel 4 Kontribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandung
dan sekitarnya terhadap Ekonomi
Jawa Barat Tahun 2008
Kabupaten/Kota persen
Kab. Bandung
Kab. Subang
Kab. Bandung Barat
Kota Bandung
6.79
2.47
2.50
10.03
Sumber: Jawa Barat Dalam Angka 2009
57
Uraian Tabel 4 mengindikasikan bahwa Kota Bandung merupakan kota
penting bagi aktivitas ekonomi di Jawa Barat maupun nasional. Artinya Kota
Bandung menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dan memiliki banyak
kaitan aktivitas ekonomi dengan daerah sekitar dan wilayah lain. Sebagai pusat
pertumbuhan dengan tumpuan pada aktivitas perdagangan dan industri
pengolahan, Kota Bandung juga menjadi salah satu tujuan migrasi tenaga kerja
yang cukup besar. Peran lain Kota Bandung sebagai salah satu Kota Pendidikan
terpenting di Indonesia, telah menyatu dengan kehidupan ekonomi, sehingga
tingkat pertumbuhan ekonominya tergolong sangat tinggi. Laju pertumbuhan
Ekonomi Kota Bandung dari tahun 2005 hingga tahun 2008 mengalami
peningkatan. Selain LPE, beberapa indikator makro yang dapat digunakan untuk
menilai keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah dapat dilihat di Tabel 5.
Tabel 5 Perkembangan Indikator Makro Pembangunan Kota Bandung
Tahun 2006-2008
Indikator Satuan 2006 2007 2008
LPE persen 7,83 8,24 8,29
PDRB (ADHB) Juta Rp 43.792.184 50.552.182 61.152.569
PDRB/Kapita (ADHB) Rp/Tahun 19.352.441 22.616.531 24.794.604
Inflasi persen 5,33 5,21 10,23
Investasi (mRp/Th) 4.181.031 5.405.271 4.000.616
Indeks Daya Beli (IDB) 63,99 64,04 64,27
SHL/Kapita Rp 576.890 577.130 577.385
Kemiskinan RTM 84.287 83.500 82.432
Jumlah Pengangguran Jiwa 175.644 174.067 173.074
Tingkat Pengangguran
Terbuka
persen 16,09 15,73 15,48
Sumber:Bandung dalam angka 2009 dan RPJM Kota Bandung 2009-2013
PDRB Kota Bandung menunjukkan perkembangan yang cukup
meyakinkan dari Rp 17.435,72 Milyar tahun 2001 menjadi Rp 20.690,50 Milyar
pada tahun 2002 dan diperkirakan menjadi sebesar Rp 23.420,13 Milyar tahun
2003 atau berkembang dengan angka indeks 100,00 tahun 1993; 309,56 tahun
2001, dan 367,34 pada tahun 2002 dan diperkirakan 415,80 pada tahun 2003
(1993 = 100,00) untuk harga berlaku.
58
Sedangkan berdasarkan harga konstan PDRB Kota Bandung,
menunjukkan perkembangan yang cukup berarti pula yaitu dari Rp 6.266,63
Milyar pada tahun 2001 meningkat menjadi Rp 6.694,33 Milyar pada tahun 2002
dan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai Rp 7.173,86 Milyar atau berturut-
turut berkembang dengan angka indeks 103,66 tahun 2000; 111,26 tahun 2001;
118,85 tahun 2002 diperkirakan menjadi 127,37 pada tahun 2003. Laju
pertumbuhan (Riil) PDRB Kota Bandung pada tahun 2003 sebesar 7,16 persen,
lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 6,83 persen
selama tahun 2002. Sementara itu laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga
berlaku pada tahun 2003 adalah sebesar 13,19 persen lebih rendah dibandingkan
tahun 2002 sebesar 18,67 persen.
Tabel 6 Perkembangan PDRB Kota Bandung Tahun 2003-2008
Tahun PDRB Atas
Dasar Harga Berlaku
PDRB Atas
Dasar Harga Konstan
Tahun 2000
2003 23.420.126 18.490.721
2004 27.422.417 19.874.813
2005 34.792.184 21.370.696
2006 43.491.380 23.043.104
2007 50.552.182 24.941.517
2008 60.441.487 26.978.909
Sumber:Bandung dalam angka 2005 dan 2009
PDRB Kota Bandung yang dihitung atas dasar harga berlaku dari tahun
2003 sampai tahun 2005 menunjukan peningkatan yang cukup signifikan. Nilai
absolut PDRB Kota Bandung atas dasar harga berlaku tahun 2003 sebesar Rp.
23.895.430 juta dan tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 34.792.184 juta. Jika
dibandingkan dengan nilai absolut tahun 2000 maka nilai PDRB Kota Bandung
tahun 2005 berkembang dengan indeks 196,23. Sedangkan PDRB Kota Bandung
tahun 2005 yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000 mengalami
peningkatan, yaitu dari Rp. 18.490.721 juta pada tahun 2003 menjadi Rp.
21.370.696 juta pada tahun 2005.
Dari Tabel 5 dan 6 terlihat bahwa PDRB Kota Bandung dari tahun 2006
ke 2008 menunjukan kenaikan yang berarti, hal ini dapat menunjukkan
meningkatnya kegiatan ekonomi. Tingkat inflasi di Kota Bandung relatif lebih
59
tinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Jawa Barat. Dari sisi investasi
terjadi kenaikan, namun demikian investasi tersebut belum diikuti dengan
penyerapan tenaga kerja yang signifikan, dari tabel terlihat terjadi peningkatan
jumlah pengangguran dari 175.337 jiwa menjadi 175.664 jiwa pada tahun 2006,
tetapi pada tahun 2007 menurun menjadi 174.067 jiwa dan diperkirakan menurun
lagi menjadi 173.074 jiwa. Berfluktuasinya jumlah pengangguran tersebut
disebabkan oleh berbagai faktor khususnya untuk akhir tahun 2008, terjadi
Penurunan harga BBM yang mengalami perubahan sebanyak dua kali, namun
demikian pada saat yang bersaam terjadi krisis keuangan global di Amerika
Serikat dan Uni Eropa, yang akan berdampak terhadap kinerja perekonomian Kota
Bandung khususnya dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Sejalan dengan
jumlah tangga miskin, yang meningkat dari 70.419 RTM pada tahun 2005
menjadi 84.287 RTM pada tahun 2006, menurun menjadi 83.500 RTM pada tahun
2007, serta menurun lagi menjadi 82.606 RTM.
Kecenderungan aktivitas ekonomi Kota Bandung pada beberapa tahun ke
depan cenderung positif mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan.
Dalam situasi pertumbuhan ekonomi tinggi dan memiliki prospek yang relatif
bagus, maka perekonomian Kota Bandung menghadapi tantangan berat,
diantaranyaadalah dampak aktivitas ekonomi terhadap lingkungan sekitar.
Beberapa jenis kegiatan ekonomi mengancam kualitas lingkungan dan kualitas
kehidupan melalui berbagai jenis pencemaran. Kebutuhan ruang bagi aktivitas
ekonomi juga mendesak penggunaan lahan yang lain. Selain itu ketimpangan
pendapatan secara riil tampak nyata, perkiraan jumlah keluarga pra-sejahtera ada
kencederungan meningkat. Dalam situasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula,
inflasi tinggi juga mengancam. Biaya-biaya hidup yang meliputi biaya kehidupan
pangan, sandang, papan, biaya pendidikan, kesehatan dan transportasi meningkat.
Peningkatan biaya hidup ini selain dapat menstimulasikan kegiatan ekonomi yang
memiliki nilai tambah tinggi, juga sekaligus menjadi ancaman bagi masyarakat
berpendapatan rendah dan menengah. Pada jangka panjang, kenaikan biaya-biaya
ini dapat mengancam keunggulan kompetitif produk-produk dari Kota Bandung.
Selain kondisi ekonomi domestik Kota Bandung, gejolak ekonomi internasional
juga dapat menjadi ancaman berarti. Kedekatan kegiatan ekonomi Kota Bandung
60
dengan Jakarta dapat memperpendek efek gejolak ekonomi internasional,
misalnya krisis likuiditas di Amerika Serikat dan Eropa.
Nilai PDRB Kota Bandung pada tahun 2007 adalah sebesar Rp. 50,552
Trilyun dengan tingkat PDRB per kapita sebesar Rp. 22.616.531,- Tingkat
pendapatan perkapita ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan daerah
sekitarnya. Aktivitas ekonomi Kota Bandung, sebagian besar bersumber dari
sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memberikan konstribusi sekitar 36,4
persen dari seluruh kegiatan ekonomi di Kota Bandung, disusul oleh sektor
industri pengolahan sekitar 29,8 persen. Sektor pengangkutan dan komunikasi
memberikan kontribusi sekitar 10,8 persen demikian juga dengan sektor jasa-jasa.
Secara terinci kontribusi sektor terhadap PDRB dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7 Kontribusi Sektor Terhadap PDRB Kota Bandung 2008
No Sektor Persen
1 Pertanian 0,30
2 Listrik, Gas dan Air Bersih 2,30
3 Bangunan 4,90
4 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 5,30
5 Jasa-jasa 10,20
6 Pengangkutan dan Komunikasi 10,80
7 Industri dan Pengobatan 29,80
8 Perdagangan 36,40
100,00
Sumber: Bandung dalam Angka 2009
RPJM Kota Bandung 2009-2013
Berdasarkan perkembangan data PDRB Kota Bandung, Tahun 2004-
2007, terlihat bahwa kontribusi sektor industri pengolahan terus meningkat tetapi
pertumbuhan cenderung menurun, sedangkan perdagangan, hotel dan restoran,
terus meningkat, hal ini sesuai dengan fungsi Kota Bandung sebagai kota kolektif
dan distributif. Struktur ekonomi Kota Bandung didominasi oleh setor jasa dan
industri pengolahan. Laju pertumbuhannya juga relatif tinggi bila dibandingkan
Jawa Barat dan Nasional. Inflasi yang terjadi juga termasuk tinggi, bersumber dari
bahan makanan, biaya kesehatan dan transportasi. Inflasi yang tinggi dapat
menurunkan tingkat daya saing Kota Bandung
61
Pendapatan perkapita atas dasar harga berlaku mengalami peningkatan
dari Rp. 15.789.552 pada tahun 2005 menjadi Rp. 24.794.604 pada tahun 2008
atau rata-rata peningkatan per tahun mencapai 8,8 persen per tahun. Peningkatan
tersebut cukup menjadi dasar untuk memprediksikan bahwa lima tahun kedepan
cenderung akan terus meningkat.
Inflasi merupakan salah satu indikator penting yang dapat memberikan
informasi tentang dinamika perkembangan harga barang dan jasa yang
dikonsumsi masyarakat. Perkembangan harga barang dan jasa tersebut menjadi
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat daya beli. Tingkat laju inflasi
di Kota Bandung pada tahun 2005 mencapai 19,56 persen, dengan sumbangan
terbesar dari kelombok bahan dan bahan makanan, makanan jadi dan rokok,
kesehatan serta transport dan komunikasi, hal ini disebabkan oleh kenaikan BBM
sampai 112 persen pada tahun 2005. Inflasi untuk tahun 2006 dan 2007 terjadi
penurunan yaitu mencapai 5,33 persen dan 5,21 persen, sedangkan untuk tahun
2008 sampai dengan triwulan 4, inflasi meningkat lagi mencapai 2 (dua) digit
yaitu 10,23 persen, hal ini dipengaruhi oleh krisis keuangan global yang terjadi di
Amerika Serikat yang berdampak terhadap perekonomian Indonesia secara umum
dan Kota Bandung khususnya. Sumbangan Inflasi tersebut tetap didominasi oleh
kelompok bahan makanan serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan
tumbuhan. Sumbangan Inflasi dari kelompok tersebut mencapai 5,7 persen atau
membentuk lebih dari 50 persen inflasi Kota Bandung. Struktur ekonomi Kota
Bandung didominasi oleh setor jasa dan industri pengolahan. Laju
pertumbuhannya juga relatif tinggi bila dibandingkan Jawa Barat dan Nasional.
Inflasi yang terjadi juga termasuk tinggi, bersumber dari bahan makanan, biaya
kesehatan dan transportasi. Inflasi yang tinggi dapat menurunkan tingkat daya
saing Kota Bandung
Investasi baik asing, domestik maupun pemerintah, memegang peranan
penting dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi di Kota Bandung.
Pertumbuhan investasi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu iklim
investasi yang kondusif, kemudahan dan kejelasan prosedur serta kondisi makro
ekonomi daerah tersebut. Investasi di Kota Bandung mengalami peningkatan dari
Rp. 3,6 Trilyun pada tahun 2005 menjadi Rp. 5,4 Trilyun pada tahun 2007, tetapi
62
pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 4 Trilyun, hal ini dipengaruhi
oleh Pemilihan Walikota di Kota Bandung pada bulan Agustus, sehingga investor
menunda investasinya, sampai dengan triwulan 2.
4.5. Keadaan Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek makro yang sangat
diperhatikan dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah terutama pada
penyediaan lapangan kerja baru yang memadai untuk menyerap tambahan
angkatan kerja baru di suatu pasar kerja yang merupakan kegiatan ekonomi yang
mempertemukan para pencari kerja dan kesempatan kerja yang terdiri dari
pengusaha dan pencari kerja. Proses interaksi keduanya memerlukan waktu
karena baik pencari kerja maupun kesempatan kerja tidak sama kepentingannya.
Perkembangan jumlah tenaga kerja menurut lapangan usaha di Kota Bandung
tahun 2008 ditunjukkan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja
Menurut Lapangan Usaha di Kota Bandung Tahun 2008
No. Sektor Jumlah Penduduk (Jiwa)
1. Pertanian, Pertambangan dan Galian 17.819
2. Industri Pengolahan 215.303
3. Listrik, Gas & Air 2.120
4. Kontruksi 50.098
5. Perdagangan 324.436
6. Transfor dan Komunikasi 71.659
7. Keuangan 41.622
8. Jasa 229.695
Jumlah 952.752
Sumber: Bandung dalam Angka 2009
RPJM Kota Bandung 2009-2013
Tabel 8 menunjukkan perkembangan komposisi tenaga kerja menurut
lapangan usaha di Kota Bandung didominasi oleh sektor jasa, perdagangan dan
industri pengolahan yang merupakan sektor-sektor andalan dari ekonomi Kota
bandung. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di Kota Bandung dalam kurun
63
waktu 2005-2008 tergolong dalam level yang cukup tinggi da perlu menjadi
perhatian pemerintqah Kota Bandung untuk mencari solusi secepatnya untuk
menekan tingkat pengangguran terbuka yang sangat tinggi ini. Untuk lebih jelas
tentang tingkat penggguran di Kota Bandung dapat dilihat di Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran
Kota Bandung Kurun waktu 2005-2008
No Tahun Jumlah Pengangguran Tingkat Pengangguran
(persen)
1 2005 175.337 16,25
2 2006 175.644 16,09
3 2007 174.067 15,73
4 2008 173.074 15,.48
Sumber: Bandung dalam Angka 2009
RPJM Kota Bandung 2009-2013
64
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5. 1 Perkembangan Penggunaan Lahan di Kawasan Pusat Primer Gedebage
Kota Bandung
Untuk mengurangi kepadatan aktivitas di pusat Kota Bandung,
Pemerintah Kota Bandung akan memperluas pengembangan aktivitas yang
mengarah ke kawasan Gedebage. Pengembangan wilayah itu juga untuk
mengurangi kesenjangan pembangunan kawasan Bandung Timur dari kawasan-
kawasan lainnya di kota tersebut. Kepala Subbidang Sarana dan Prasarana Badan
Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung mengungkapkan,
bahwa pengembangan kawasan Gedebage memerlukan pembebasan lahan warga
sekitar 712,3 hektar. Rencana tersebut telah masuk rencana tata ruang wilayah
(RTRW) Kota Bandung. Tingkat pembangunan di Bandung Timur selama ini
cukup rendah sehingga dengan pengembangan wilayah Gedebage ini diharapkan
beban kepadatan di pusat kota bisa berkurang.
Gedebage merupakan salah satu dari dua wilayah Kabupaten Bandung,
yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 1987
pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Kota Bandung. Bersama Wilayah
Ujungberung, pembangunan kawasan itu tertinggal dari empat wilayah lainnya,
yakni Bojonegara, Tegallega, Cibeunying, dan Karees. Salah satu kendala dan
tantangan dalam pengembangan wilayah Gedebage adalah kondisi daerah tersebut
berada di dataran rendah. Akibatnya, setiap tahun daerah tersebut selalu dilanda
banjir.
Dalam perkembangan realiasi pengembangan kawasan Gedebage ini
ditandai dengan berbagai wacana tentang kelayakan pembangunan berbagai
fasilitas yang direncanakan dibangun di kawasan tersebut. Polemik paling sering
muncul di antaranya rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah
(PLTSa) di Gedebage. Pembangunan fasilitas ini menjadi polemik yang
berkepanjangan sampai saat ini, terutama dalam aspek dukungan dari masyarakat
kawasan Gedebage yang pada saat ini masih menolak dengan alasan-alasan
kelayakan fasilitas sampah tersebut dibangun berdekatan dengan fasilitas
65
perumahan yang ada di kawasan Gedebage ini. Polemik tentang pemangunan
fasilias sampah ini hingga saat ini belum selesai, bahkan DPRD Kota Bandung
meminta Pemerintah Kota Bandung mengkaji ulang semua produk hukum yang
berkaitan dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah
(PLTSa) di Gedebage. Pasalnya, industri yang tidak berwawasan lingkungan akan
direlokasi ke luar wilayah Kota Bandung.
Sesuai dengan Perda No. 2/2004 tentang RTRW (rencana tata ruang dan
wilayah) Kota Bandung jo Perda No. 3/2006, sebenarnya telah mengatur bahwa
industri yang tidak berwawasan lingkungan akan direlokasi ke luar wilayah Kota
Bandung. Dalam Peraturan Wali Kota (Perwal) No. 685/2006 tentang rencana
detail tata ruang kota (RDTRK) wilayah pengembangan Gedebage disebutkan,
salah satu kegiatan primer di wilayah Gedebage merupakan kawasan industri
nonpolutan dan berwawasan lingkungan, namun pembangunan PLTSa termasuk
dalam kategori sistem utilitas yang mendukung suatu lingkungan perumahan
masih dapat diperdebatkan. Bagaimana pun, dari sisi proses yang dilakukan,
PLTSa lebih tepat dikategorikan sebagai sebuah industri pengolahan. Sedangkan
dari sisi output-nya, PLTSa tentu tidak dapat digolongkan ke dalam industri
nonpolutan dan berwawasan lingkungan, Karena permasalahan legalitas itu, maka
pembangunan PLTSa sedikit terlambat dikarenakan Pemerintah Kota Bandung
sangat hati-hati, terkait aturan dan penerimaan masyarakat di Kawasan Gedebage.
Pemerintah Kota Bandung mengarahkan pembangunan ke arah timur
kota, yakni ke kawasan Gedebage. Pertimbangannya, Kota Bandung bagian barat
sudah terlampau padat. Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kota
Bandung, menjelaskan, Pemerintah Kota Bandung telah memiliki rencana induk
(masterplan) untuk mengembangkan wilayah Bandung timur, dalam bentuk
pengembangan Pusat Primer Gedebage. Mulai tahun 2006 Pemerintah Kota
(Pemkot) Bandung membuka peluang bagi investor untuk menanam modal di
kawasan ini. Nantinya semua investor harus mengacu pada rencana induk
Gedebage dan diperkirakan 20 tahun lagi kawasan Gedebage akan menjadi pusat
perkembangan kota kedua. Pada saat ini infrastruktur Bandung timur saat ini
belum memadai. Jalan tol yang dibutuhkan untuk jalan masuk dari arah timur
Kota Bandung belum terealisasikan. Infrastruktur yang menjadi prioritas segera
66
dibangun, selain jalan tol adalah fasilitas publik, yaitu fasilitas olahraga dan
terminal terpadu. Pemerintah Kota Bandung akan memindahkan Terminal
Leuwipanjang di Jalan Soekarno-Hatta ke Gedebage. Saat ini kondisi Bandung
barat sudah sangat padat. Semua aktivitas ekonomi, politik, budaya, dan
pendidikan terpusat di sana.
Oleh karena itu pengembangan Pusat Primer Gedebage adalah salah satu
prioritas kebijakan pengembangan Pemerintah Kota Bandung yang dituangkan
dalam RTRW Kota Bandung 2004-2013 dengan investasi Rp. 11.954 Triliun.
Pengembangan kawasan ini sangat penting, karena ditujukan untuk mendorong
perkembangan wilayah Kota Bandung bagian Timur agar mengurangi beban
wilayah Bandung Barat dan Pusat Kota Primer Kota Bandung yang lama (alun-
alun dan sekitarnya). Oleh karena itu, isu utama dalam pengembangan kawasan
ini adalah kawasan yang berkelanjutan sebagai penggerak perkembangan dengan
tingkat kualitas tinggi dan memiliki daya tarik investasi yang tinggi dengan visi
“Pusat Primer Baru untuk Kualitas Hidup yang Lebih Baik” (“A New Primary
Center for Better Urban Quality”).
Gambar 3 Peta Rencana Tata Guna Lahan Kota Bandung 2004-2013
Sumber : Perda 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah
Kota Bandung
67
Pengembangan kawasan Gedebage dengan pusat pembangunannya
berupa pembangunan Pusat primer baru untuk kualitas lingkungan kota yang lebih
baik yang diwujudkan dalam penataan ruang, kondisi fisik bebas banjir, serta
penyediaan sarana dan prasarana. Dengan kualitas tersebut, diharapkan
pembangunan di Bandung Timur dapat meningkatkan kualitas Kota Bandung
secara internal yaitu pembangunan yang berkelanjutan dan secara eksternal
dengan menciptakan lingkungan kota yang akan menarik orang untuk menetap,
bekerja dan berekreasi. Pengembangan kawasan ini telah dimulai sejak tahun
2001, yang diawali dengan pembentukan tim Asistensi Perencanaan
Pembangunan Terminal Terpadu, Akses Tol, Pusat Sarana Olah Raga dan fasilitas
pendukung lainnya (di Kelurahan Cisaranten Kidul dan Kelurahan Derwati,
Kecamatan Rancasari Kota Bandung tahun 2001).
Dalam hubungannya dengan program pembangunan Kota Bandung,
Pengembangan Kawasan Bandung Timur merupakan salah satu program strategis
pembangunan Pemerintah Kota Bandung pada saat ini dan mendatang.
Pengembangan kawasan Gedebage dengan pusat pembangunannya berupa
Pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage diproyeksikan memiliki fungsi
beragam, meliputi gembangan fungsi bisnis, komersial, olah raga, hunian maupun
reasi. Fasilitas yang sudah ada di sekitar kawasan yaitu terminal peti kemas di
Kota Bandung yang berskala pelayanan lokal, regional dan nasional. Kawasan ini
juga memiliki aksesibilitas yang tinggi baik jalan utama regional, akses dan jalan
tol, serta aksesibilitas kereta api. Selain itu, terdapat rencana penambahan struktur
penunjang generator aktivitas, yaitu terminal bus antar provinsi, sub terminal
angkutan dalam kota serta penambahan fasilitas stasiun kereta penumpang pada
kawasan. Lahan yang sebagian besar masih berupa persawahan (lahan kosong)
akan memudahkan perancangan dan pembangunannya.
Pengembangan jalan tol serta adanya jalur SUTET yang melalui
kawasan Pusat Primer gedebage menjadi batasan yang dapat dijadikan potensi dan
kekhasan dalam merancang kawasan. Selain menetapkan lokasi pengadaan tanah,
Pemerintah Kota Bandung juga membentuk Tim Asistensi Perencanaan
Pembangunan Terminal Terpadu, Akses Tol, Pusat Sarana Olah raga dan Fasilitas
Pendukung Lainnya di Kelurahan Cisaranten Kidul dan Kelurahan Derwati
68
Kecamatan Rancasari Kota Bandung pada Tahun 2001. Instansi-instansi secara
terpisah juga telah menyusun rencana pengembangannya, seperti Studi Penataan
Wilayah Gedebage dan Ujungberung Kota Bandung (2001); Perencanaan
Bangunan Intersection Sungai Buatan Menelusuri Tol dan Danau Buatan
Gedebage (2001), Rencana Penataan Terminal Terpadu Gedebage Kota Bandung
(2001); Feasibility Study Akses Tol Gedebage Kota Bandung (2002),
Perencanaan Stadion Olah Raga, RTBL Terminal Terpadu Cedebage (2002); Visi
Pengembangan/Masterplan Gedebage (2003); Skenario Pengembangan Sentra
Perdagangan dan Jasa Kawasan Bandung Timur (2003); Rencana Perbaikan
Sungai Cisaranten (2003). Namun karena tidak padu, serasi dan terintegrasi, maka
Pemerintah Kota Bandung pada Tahun 2005 menyusun Rencana Induk Kawasan
Gedebage (Pusat Primer Gedebage) sebagai upaya penyusunan rencana tata ruang
secara menyeluruh, terintegrasi dan berkelanjutan berdasarkan daya dukung
kawasan dalam bentuk pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage.
Kawasan Pusat Primer Gedebage dengan luas sekitar 712,3 Ha terletak
di Bandung Timur (WP Gedebage). Bagian utara kawasan ini dibatasi oleh Jl.
Soekarno Hatta, bagian selatan oleh Jalan Tol Padaleunyi, bagian barat oleh Jalan
Gedebage dan bagian timur dibatasi oleh Jalan Cimencrang. Kawasan
Pengembangan Pusat Primer Gedebage terletak di Kecamatan Rancasari
(Kelurahan Derwati, Kelurahan Mekar wangi, Cisaranten Kidul, Kelurahan
Derwati) dan Kecamatan Ujungberung (Kelurahan Cisaranten Wetan).
Kawasan Pusat Primer Gedebage memiliki kontur yang relatif datar
dengan kecenderungan dari arah utara ke selatan yang semakin menurun.
Kemiringan lahan dominan antara 2,5 persen dan mempunyai ketinggian antara
662-670 meter di atas permukaan laut. Kawasan Gedebage bagian selatan
(sebelum Jalan Tol Padaleunyi) merupakan cekungan dan kawasan Gedebage
terletak pada lokasi genangan/banjir. Tapak terletak pada cekungan dengan
kondisi geologi yang terdiri dan jenis lempung lanauan, lapisan gambut, lapisan
pasir, dan lempung pasiran. Jenis tanah yang tersebar di kawasan ini umumnya
berupa tanah alluvial. Kondisi mi memerlukan konstruksi yang spesifik untuk
bangunan berat atau tinggi. Kawasan Gedebage dilalui oleh beberapa sungai yang
memiliki potensi bila dikelola dengan baik maka sungai-sungai yang berada di
69
lokasi ini dapat menjadi view yang menarik (dapat diekspos menjadi kawasan
waterfront city). Adapun sungai-sungai tersebut adalah :
1. Sungai Cipamokolan, mengalir dari Utara ke Selatan sepanjang bagian barat
Kawasan Gedebage.
2. Sungai Cisaranten Kulon, mengalir dari Utara ke Selatan, melalui daerah
persawahan dekat kompleks Riung Bandung
3. Sungai Cisaranten Kidul, mengalir dari Utara ke Selatan, memotong lintasan
kereta api kemudian memotong Jalan Gedebage di wilayah Kelurahan
Cisaranten Kidul.
4. Sungai Cinambo, mengalir dari Utara ke Selatan di wilayah Kelurahan
Mekarmulya.
5. Sungai Cilamenta mengalir dari Utara ke Selatan dan bergabung dengan
Sungai Cinambo.
Penggunaan lahan dominan di Kawasan Pusat Primer Gedebage saat ini
adalah persawahan. Di luar itu penggunaan lahan campuran antara perdagangan,
industri, kawasan perumahan dan penggunaan pemerintahan/perkantoran lainnya.
Dahulunya wilayah Pengembangan Gedebage memang berfungsi sebagai kawasan
permukiman, industri, jasa dan perkantoran serta pusat kegiatan ekspor impor
berupa Terminal Peti Kemas. Kawasan industri, jasa dan perdagangan yang
memiliki skala pelayanan untuk wilayah regional dan Terminal Peti Kemas
melayani skala Kota Bandung. Dengan adanya pembangunan Terminal Induk
Gedebage, akan memberikan dampak terhadap percepatan pengembangan
Wilayah Pengembangan Gedebage dan sekitarnya. Wilayah Gedebage telah
memiliki beberapa kegiatan penting yang dapat menjadi faktor pemicu
perkembangan yaitu terminal peti kemas, pasar induk, beberapa pertokoan, dan
beberapa lingkungan permukiman baru. Di kawasan Timur Bandung ini telah
tumbuh dan berkembang berbagai kegiatan ekonomi, baik yang berskala lokal,
regional, maupun nasional.
Laju pertumbuhan penduduk di sekitar Kawasan Pusat Primer Gedebage
yaitu di WP Gedebage dan WP Ujungberung relatif tinggi (rata-rata 5,4 persen
antara tahun 2000-2009) yang diakibatkan oleh migrasi penduduk. Selain itu,
pesatnya pengembangan kawasan permukiman dan penempatan berbagai kegiatan
70
fungsional perkotaan (tempat-tempat bekerja) di kawasan ini akan berpengaruh
terhadap peningkatan kapasitas tampung minimal, yang kemudian akan
berpengaruh pula terhadap pertambahan jumlah penduduk. Tingginya
pertumbuhan pada sektor pengembangan perumahan di Wilayah Gedebage dan
wilayah Ujungberung dapat mengalihkan pertumbuhan penduduk terutama di
kawasan sekitar pusat kota dan Kawasan Bandung Utara sebagai daerah
konservasi.
Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan jumlah hunian,
diidentifikasi bahwa kebutuhan hunian akan meningkat di Kecamatan
Ujungberung akan mencapai 15.640 rumah dan di Kecamatan Rancasari 13.544
rumah pada Tahun 2013 dan berdampak pada peningkatan kebutuhan lahan
permukiman. Untuk seluruh Kota Bandung hingga tahun 2013 masih dibutuhkan
82.496 unit rumah dengan luas total kebutuhan lahan 19.780 Ha. Hal ini akan
menyebabkan Kawasan Perencanaan harus dapat memenuhi kebutuhan akan
permukiman. Hal ini menunjukkan upaya dalam pemerataan penduduk di Kota
Bandung sudah sejalan dengan kebijaksanaan dalam RTRW Kota Bandung.
Sebagian besar kawasan Pusat Primer Gedebage berupa persawahan.
Perumahan tidak terencana berkembang di sepanjang JI. Gedebage dan JI.
Cimencrang dan bagian Utara Kawasan Pusat Primer Gedebage. Perumahan
terencana yang berkembang dalam kawasan Pusat Primer Gedebage bagian
Selatan-Barat (PT. Bumi Adipura), sedang di luar kawasan berada di sebelah
Tmur adalah Perumahan Bumi Parahyangan dan di sebelah Utara adalah
Perumahan Pinus Regensi. Pengembangan kawasan perencanaan akan dilakukan
new development yaitu pembangunan baru lengkap dengan ketersediaan sarana
prasarananya sehingga memiliki daya tarik tersendiri terutama bagi perkembangan
Kota Bandung secara keseluruhan. Konsep pembangan di kawasan perencanaan
dengan menggunakan konsep pembangunan siap bangun dan lingkungan siap
bangunan (lisiba) yang berdiri sendiri, minimal 1000 unit (RTRW Kota Bandung
201 3).
71
Tabel 10 Program Pemanfatan Ruang di Kawasan Gedebage
Komponen
Pengembangan Sub Komponen
Luas Total
(Ha)
Presentase
(persen)
Transportasi
Terminal Terpadu dan fasiltas
penunjang serta Stasiun Kereta Api
dengan fasilitas penunjangnya
32.58 4.6
Fasilitas
Kesehatan
Rumah Sakit Tipe B dan Rumah
Sakit Gawat Darurat dengan
pendukungnya
16.55 2.3
Olah Raga dan
Rekreasi
Komplek olah raga dengan Stadiuon
Utama, Stadion Renang, Lapangan
Tenis, Lapangan Bulutangkis,
Lapangan Basket, Lapangan sepak
bola, lapangan voli ball, driving
range, soft ball, sport club dan
fasilitas pendukung lainnya
45 6.3
Industri
(eksisting)
Industri pertamina, sepatu 26.61 8.7
Fasilitas
Peribadatan
Mesjid Agung 5.32 0.7
Hunian Kawasan perumahan yang telah
terbangun dan akan dibangun di
kawasan perencanaan.
Hotel dan apartemen
196.6
11
27.6
1.5
Infrastruktur Kolam retensi
Jalan, jalan tol dan akses jalan tol
123
55.57
25.1
Ruang Terbuka
Hijau (termasuk
buffer zone)
Ruang terbuka fasilitas lingkungan
Ruang Terbuka sempadan sungai
Ruang Terbuka Sempadan SUTT
Ruang Terbuka sempadan jalan tol
Taman Kawasan
Theme park
31 4.4
Total kawasan yang akan dikembangkan 712.3 100
Sumber: development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006
Selain memiliki daya dukung dalam Pengembangan Kawasan Gedebage
juga memiliki keterbatasan seperti ancaman terhadap kawasan ini sebagai wilayah
yang rentan gempa, oleh karena itu dalam pembangunannya diperlukan konstruksi
bangunan tahan gempa. Dalam kondisi seperti ini, maka pengawasan dan
pengendalian dalam struktur bangunan yang akan dibangun di kawasan ini
menjadi sesuatu yang penting agar karakteristik lahan wilayah ini sebagai
pontensial bencana gempa dapat diminimalisir dengan karateristik bangunan yang
tahan terhadap kondisi jika terjadi gempa. Pengawasan dan pengendalian struktur
bangunan menjadi penting karena selama ini pelanggaran terhadap peraturan
menyangkut aspek bangunan cukup sering terjadi.
72
Keterbatasan wilayah Gedebage juga dapat dilihat dari aspek penyediaan
air bersih yang masih cukup sulit. Pelayanan PDAM di kawasan ini masih terbatas
dan kondisi sumber air lain (sungai) yang tercemar limbah domestik dan industri.
Namun demikian, hasil penyelidikan air yang dilakukan oleh PDAM Kota
Bandung menunjukan bahwa air baku di kawasan ini memiliki potensi yang besar
dengan ditemukannya sumber air tanah dangkal dan dalam serta rencana
pembangunan sistem kolam retensi dari drainase yang diharapkan akan mampu
melayani kebutuhan air di Wilayah Gedebage dengan melengkapi penambahan
instalasi pengolahan air untuk memenuhi kualitas air minum. Rencana penyediaan
air bersih dalam kawasan dirancang dengan alternatif-alternatif berupa (1) dari
luar kawasan dengan tambahan pengembangan jaringan air, (2) pemanfaatan wet
pond, dan (3) pemanfaatan air pada under ground storoge di ruang terbuka hijau.
Selain itu pula kawasan ini terletak pada cekungan dengan kondisi
geologi yang kurang begitu baik dan lokasi genangan atau banjir. Oleh karena itu
solusi yang direncanakan untuk mengantisipasi kendala-kendala ini diantaranya
dengan melakukan langkah-langkah :
1. Kondisi geologi, tanah yang kurang baik diantisipasi dengan
rencana/perancangan struktur dan pondasi yang tahan gempa dan sesuai
dengan keterbatasan kondisi geologi/tanah tersebut.
2. Genangan/banjir diantisipasi dengan rencana pengembangan/pembangunan
retention pond dan perbaikan sistem drainase untuk manajemen air hujan dan
air buangan. Upaya ini juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan
genangan dan kekurangan air pada musim kemarau. Pada musim kemarau,
diharapkan air yang diinjeksi ke dalam tanah tersebut (dengan retention pond)
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Selain itu, normalisasi sungai
juga sedang diupayakan untuk mengatasi banjir. Normalisasi sungai saat ini
dilakukan pada Sungai Cinambo untuk dapat mengatasi banjir tersebut.
Upaya yang direncanakan sebagai upaya Pengendalian Banjir di
kawasan Gedebage di antaranya adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Pembuatan kolam-kolam retensi (retention pond, dry pond dan wet pond)
untuk menampung sementara kelebihan aliran yang berasal dari hulu K.
73
Cisaranten dan K. Cinambo sebelum dilepaskan kembali pada waktu muka air
di K. Cinambo mulai turun.
2. Volume air yang perlu ditampung oleh kolam Retensi adalah: 1 juta m3 untuk
periode banjir 25 tahun dan 1,6juta m3 untuk banjir 50 setahun.
3. Kolam retensi dibuat dalam satu kesatuan atau dipecah menjadi beberapa
kolam.
4. Air dalam kolam retensi harus mampu dibuang ke saluran diversi Kali
Cinambo dalam jangka waktu 24 jam atau maksimal 48 jam. Elevasi dasar
kolam retensi harus lebih tinggi dan pada elevasi dasar saluran diversi Kali
Cinambo.
5. Sebagian areal kolam retensi dapat digunakan sebagai kolam air baku.
6. Kedalaman kolam air baku ditentukan berdasarkan kebutuhan air dan juga
besarnya perkolasi dan penguapan.
7. Untuk menghindari luapan air maka tinggi tanggul kolam retensi adalah 1,5-2
Cm.
8. Perlu dibangun tanggul disepanjang saluran diversi Kali Cinambo dengan
tinggi tanggul 1,5 m dan lebar bantaran banjir 50-100 m.
Sedangkan sistem drainase yang dirancang di Kawasan Gedebage ini
dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Memanfaatkan air hujan sebaga sumber air baku atau air bersih dengan
pendekatan storage oriented approach menggunakan kolam-kolam
penampungan air hujan (Wet Pond)
2. Perbanyak bio- rentention pada taman-taman dan ruang terbuka
3. Sistem saluran drainase air hujan dan sistem air kotor terpisah
4. Menggunakan tanaman untuk menahan erosi lahan
5. Terintegrasi dengan tata letak bangunan
Utilitas untuk menajemen air hujan dapat digunakan dengan mengikuti
langkah-langkah Penggunaan buffer dan area undisturbed, Penggunaan aliran
drainase natural., Penggunaan tanaman penahan air selain gorong-gorong dan
Pengaliran air atap ke wadah. Sedangkan dalam hal sumur resapan, maka setiap
bangunan dalam dalam blok harus dilengkapi dengan sumur resapan dengan
kapasitas yang diperhitungkan dengan luasan atap bangunan dan ruang terbuka
74
yang ada. Upaya ini dilakukan supaya air dan atap tidak langsung dibuang tetapi
dimasukkan dulu dalam wadah.
Kawasan Gedebage pada prinsipnya dikembangkan untuk mengurangi
beban aktivitas dan lalu lintas di pusat Kota Bandung terutama di wilayah tengah
dan barat Kota Bandung yang sudah mencapai kapasitas maksimal dan tidak
memiliki peluang untuk dikembangkan terutama dalam aspek penggunaan lahan
bagi fungsi yang saat ini sedang dijalankan. Keseriusan Pemerintah Kota Bandung
untuk mengembangkan kawasan ini ditindaklanjuti dengan ditetapkannya
kawasan perencanaan Gedebage sebagai Pusat Primer Timur dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Bandung 2004-2013. Dalam RTRW Kota Bandung ini,
kegiatan yang akan dikembangkan adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan (Perguruan Tinggi dan Perpustakaan)
2. Kesehatan (Rumah Sakit tipe B dan rumah sakit gawat darurat)
3. Peribadatan (mesjid dan rumah ibadah lainnya)
4. Bina Sosial (gedung pertemuan umum)
5. Komplek olahraga dengan gelanggang olahraga, Gedung seni tradisional,
Taman kota,
6. Pelayanan Pemerintah, meliputi Pusat Bisnis dan Perkantoran untuk swasta,
kantor pemerintahan, kantor pos wilayah, kantor kodim, kantor
telekomunikasi wilayah, kantor PLN wilayah, kantor PDAM wilayah, kantor
urusan agama, pos pemadam kebakaran
7. Perdagangan dan Jasa meliputi hotel dan mall, bangunan komersial,
Pertokoan, pusat belanja, bank-bank, perusahaan swasta dan jasa-jasa lain
8. Transportasi, meliputi stasiun kereta ap, terminal dan parkir umum.
Pembagian ruang yang menjadi kawasan Pusat Primer Gedebage
memiliki tujuan agar ruang yang ada menjadi ruang yang termanfaatkan secara
maksimal tanpa menimbulkan suatu resiko yang dapat mengganggu aktifitas di
kawasan Gedebage tersebut. Kondisi ini karena kawasan Gedebage memiliki
resikolebih tnggi dibandingkan kawasan lain Kota Bandung, terutama ancaman
banjir sebagai akibat kondisi kawasan yang lebih rendah dibandingkan dengan
kawasan lain Kota Bandung.
75
Rencana Jalan Tol
Perumahan
Sarana Olah Raga
Sarana Pelayanan Masyarakat
Sarana Transfortasi
Sarana Lingkungan
Gambar 4 Kode Ruang Peruntukan Pusat Primer Gedebage Bandung
Sumber: development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006
76
Berdasarkan Gambar 4 dan 5 kondisi saat ini Pusat Primer Gedebage
sebagian besar berupa persawahan. Perumahan tidak terencana berkembang di
sepanjang JI. Gedebage dan JI. Cimencrang dan bagian Utara Kawasan Pusat
Primer Gedebage. Perumahan terencana yang berkembang dalam kawasan Pusat
Primer Gedebage bagian Selatan-Barat (PT. Bumi Adipura) (Blok J), sedang di
luar kawasan berada di sebelah Timur adalah Perumahan Bumi Parahyangan dan
di sebelah Utara adalah Perumahan Pinus Regensi (Blok A). Adapun keterangan
mengenai Gambar 4 secara lengkap dapat dilihat dari Tabel 11.
Gambar 5 Keterangan Tentang Kode Ruang Peruntukan Pusat Primer Gedebage
Bandung
Sumber: development brief Pusat Primer Gedebage
dan BAPEDA Kota Bandung 2006
77
Tabel 11 Keterangan Pemanfaatan dan Luas Ruang dalam
Kawasan Pusat Primer Gedebage
BLOK Luas Blok
(Ha)
Sub
Blok Guna Lahan
Luas Total Lahan
Untuk Komponen
(Ha)
A 86,81
A1 Industri 21,68
A2 Jasa 21,16
A3 Jasa 7,16
A4 Jasa 6,40
A5 Perumahan 12,86
A6 Komplek Pertokoan 17,55
B 46,67
B1 Komplek Pertokoan 2,59
B2 Stasiun KA 17,58
B3 Terminal Bus (Kelas A) 15,00
B4 Pusat Perbelanjaan/ Mall 11,50
C 27,73 C1 Rumah Sakit (Kelas B) 16,55
C2 Komplek Pertokoan 11,18
D 29,72 D Kolam Retensi (dry pond) 36,02
E 42,07 E1 Perumahan 15,52
E2 Perumahan 31,19
F 56
F1 Kolam Retensi (dry pond) 42,60
F2 Komplek Pertokoan 5,73
F3 Komplek Pertokoan 6,82
G 45,05 G Komplek Sarana Olah Raga
(SOR) dan pendukungnya
45,05
H 23,55 H Perumahan 27,33
I 67,29
I1 Perumahan 13,49
I2 Pusat Perbelanjaan/Mall 10,92
I3 Bisnis dan Pertokoan 9,76
I4 Pusat Perbelanjaan/Mall 8,94
I5 Peribadatan (Mesjid,
Gereja, Pura, Vihara)
5,32
I6 Counvention Hall dan
Gedung Seni Tradisional
9,19
I7 Kampus Terpadu
(Perguruan Tinggi)
9,68
J 42,56
J1 Perumahan 8,72
J2 Perumahan 19,86
J3 Rumah Susun/Apartemen 13,98
K 112,02
K1 Kampus Terpadu
(Perguruan Tinggi)
14,55
K2 Ruang Terbuka Hijau (Wet
pond)
14,59
K3 Perumahan 59,35
K4 Perumahan 6,33
K5 Ruang Terbuka Hijau (Wet
pond)
30,07
Sumber: Development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006
78
Dari Tabel 11 terlihat bahwa total luas perencanaan Kawasan Pusat
Primer Gedebage adalah 712,3 Ha yang terbagi ke dalam 11 blok dengan blok K
memiliki luas peruntukkan yang paling luas. Sedangkan di blok H merupakan
blok yang paling kecil luas lahan peruntukkannya. Namun demikian dari total luas
lahan di setiap blok tidak semua lahan dapat dipergunakan karena adanya aturan
tentang intensitas pemanfaatan ruang dalam pengemangan kawasan Gedebage
akan diatur berdasarkan tiga faktor, yaitu Koefisien Dasar Bangunan (KDB),
Koefisien Lantai Bangunan dan Ketinggian Lantai Maksimum. KDB adalah
persentase luas Lantai dasar maksimum yang diperbolehkan dibangun pada luas
kavling sedangkan KLB adalah bilangan pokok atas perbandingan antara jumlah
luas lantai bangunan dengan luas kavling. Ketentuan intensitas pembangunan,
pembagian blok dan kode pemanfaatan ruang dalam kawasan Pusat Primer
Gedebage dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Kode Pemanfaatan dan Ketentuan Intensitas Ruang dalam
Kawasan Pusat Primer Gedebage
BLOK
Luas
Blok
(Ha)
Sub
Blok Guna Lahan
Intensitas
KDB max
(persen) KLB max
A 86,81
A1 Industri 40 1.2 A2 Jasa 70 2,8
A3 Jasa 50 4
A4 Jasa 50 4 A5 Perumahan 50 1,5
A6 Komplek Pertokoan 70 2,1
B 46,67
B1 Komplek Pertokoan 70 2,8
B2 Stasiun KA 50 2
B3 Terminal Bus (Kelas A) 50 2 B4 Pusat Perbelanjaan/ Mall 70 2,1
C 27,73 C1 Rumah Sakit (Kelas B) 50 2
C2 Komplek Pertokoan 70 2,1 D 29,72 D Kolam Retensi (dry pond) 15 0,3
E 42,07 E1 Perumahan 50 1,5
E2 Perumahan 50 1,5
F 56
F1 Kolam Retensi (dry pond) 15 0,3
F2 Komplek Pertokoan 70 2,8
F3 Komplek Pertokoan 70 2,1 G 45,05 G Komplek Sarana Olah Raga (SOR) dan pendukungnya 50 2
H 23,55 H Perumahan 50 1
I 67,29
I1 Perumahan 70 2,8 I2 Pusat Perbelanjaan/Mall 50 4
I3 Bisnis dan Pertokoan 50 3
I4 Pusat Perbelanjaan/Mall 70 2,1 I5 Peribadatan (Mesjid, Gereja, Pura, Vihara) 50 2
I6 Counvention Hall dan Gedung Seni Tradisional 50 1,6
I7 Kampus Terpadu (Perguruan Tinggi) 50 1,6
J 42,56
J1 Perumahan 50 1
J2 Perumahan 50 1
J3 Rumah Susun/Apartemen 25 1,25
K 112,02
K1 Kampus Terpadu (Perguruan Tinggi) 50 1,6
K2 Ruang Terbuka Hijau (Wet pond) 10 0,2
K3 Perumahan 50 1
K4 Perumahan 50 1
K5 Ruang Terbuka Hijau (Wet pond) 10 0,2
Sumber: Development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006
79
Berdasarkan Tabel 11 dan 12, maka dapat dihitung luas lahan yang dapat
digunakan dalam setiap blok di kawasan Pusat Primer Gedebage dan luas total
dari lantai yang dapat dibangun disetiap blok. Luas lantai dapat dijadikan ukuran
pula berapa tingkat ketinggian suatu bangunan yang dapat dibangun di kawasan
Pusat Primer Gedebage ini. Untuk melihat luas lahan yang dapat digunakan dan
luas total dari lantai yang dapat dibangun di setiap blok di kawasan Pusat Primer
Gedebage dapat dilihat dari Tabel 13.
Tabel 13 Hasil Perhitungan Pemanfaatan Lahan serta Luas Total Lantai yang
Dapat dibangun dalam Kawasan Pusat Primer Gedebage
BLOK Luas
Blok
(Ha)
Sub
Blok Guna Lahan
Lahan yang
digunakan
(Ha)
Luas Total
Lantai
Bangunan
(Ha)
A 86,81
A1 Industri 8.67 10.41
A2 Jasa 14.81 41.47 A3 Jasa 3.58 14.32
A4 Jasa 3.20 12.80
A5 Perumahan 6.43 9.65 A6 Komplek Pertokoan 12.29 25.80
B 46,67
B1 Komplek Pertokoan 1.81 5.08
B2 Stasiun KA 8.79 17.58 B3 Terminal Bus (Kelas A) 7.50 15.00
B4 Pusat Perbelanjaan/ Mall 8.05 16.91
C 27,73 C1 Rumah Sakit (Kelas B) 8.28 16.55 C2 Komplek Pertokoan 7.83 16.43
D 29,72 D Kolam Retensi (dry pond) 5.40 1.62
E 42,07 E1 Perumahan 7.76 11.64 E2 Perumahan 15.60 23.39
F 56
F1 Kolam Retensi (dry pond) 6.39 1.92
F2 Komplek Pertokoan 4.01 11.23 F3 Komplek Pertokoan 4.77 10.03
G 45,05 G Komplek Sarana Olah Raga (SOR) dan
pendukungnya
22.53 45.05
H 23,55 H Perumahan 13.67 13.67
I 67,29
I1 Perumahan 9.44 26.44
I2 Pusat Perbelanjaan/Mall 5.46 21.84 I3 Bisnis dan Pertokoan 4.88 14.64
I4 Pusat Perbelanjaan/Mall 6.26 13.14
I5 Peribadatan (Mesjid, Gereja, Pura, Vihara) 2.66 5.32 I6 Counvention Hall dan Gedung Seni
Tradisional
4.60 7.35
I7 Kampus Terpadu (Perguruan Tinggi) 4.84 7.74
J 42,56
J1 Perumahan 4.36 4.36
J2 Perumahan 9.93 9.93
J3 Rumah Susun/Apartemen 3.50 4.37
K 112,02
K1 Kampus Terpadu (Perguruan Tinggi) 7.28 11.64
K2 Ruang Terbuka Hijau (Wet pond) 1.46 0.29
K3 Perumahan 29.68 29.68 K4 Perumahan 3.17 3.17
K5 Ruang Terbuka Hijau (Wet pond) 3.01 0.60
Sumber: Data diolah 2011
Perubahan atau pergeseran lokasi kegiatan dalam 1 blok masih
dimungkinkan selama tidak mengubah jenis kegiatan dan luas total maksimum
intensitas pemanfaatan ruang (KDB, KLB, KLB). Pergeseran fungsi subblok
80
antarblok harus dengan persetujuan Perusahaan Pengelola Kawasan Pusat Primer
Gedebage untuk mencek kompabilitas, dampak, trip attraction, ketinggian
bangunan dan aspek teknis pembangunan lainnya. Dalam satu blok intensitas,
baik KDB, KLB dapat ditransfer ke penggunaan lain tanpa merubah intensitas
total maksimum blok tersebut.
Dalam kondisi tertentu pembangunan di Kawasan Gedebage
memerlukan Investigasi Tambahan jika pembangunan itu memiliki karakteristik
seperti :
1. Setiap pembangunan dengan intensitas tinggi (tinggi bangunan melampaui 4
lantai memerlukan investigasi tambahan untuk mengkaji kekuatan daya
dukung lahan dan penyelidikan batuan keras untuk dasar perancangan
pondasi.
2. Setiap pembangunan yang akan menyebabkan dampak lalu lintas besar
memerlukan investigasi untuk menghitung dampak lalu lintas sebagai dasar
untuk mengantisipasi penurunan tingkat pelayanan jalan.
3. Setiap pembangunan untuk fungsi-fungsi tertentu yang kemungkinan
menimbulkan dampak lingkungan (limbah atau polusi) diperlukan investigasi
untuk memperhitungkan dampak yang akan muncul dan rencana untuk
mengatasinya.
4. Setiap permohonan perubahan pemanfaatan ruang harus melalui investigasi
terlebih dahulu.
5. Setiap permohonan pembangunan baik bangunan maupun bangun-bangunan
yang belum diatur dalam rencana yang ditetapkan.
Ketentuan Investigasi tersebut meliputi Investigasi dilakukan oleh
pengembang atau pengembang dapat menunjuk lembaga atau konsultan yang
berkompeten dalam bidang investigasi, hasil investigasi menjadi persyaratan
pengajuan permohonan ijin, perusahaan Pengelola Kawasan Pusat Primer
Gedebage dibantu oleh instansi terkait dapat membentuk Tim Indepanden
Investigasi sebagai pembanding hasil investigasi yang dilakukan oleh
pengembang dan kriteria dilakukan dalam investigasi tambahan ditetapkan oleh
Perusahaan Pengelolaan Kawasan Pusat Primer Gedebage.
81
Kondisi yang terjadi pada saat ini dari 11 blok yang direncanakan baru 2
(blok) yang mulai dilakukan pembangunan, yaitu di Blok A dan Blok G. Namun
sebenarnya blok yang dalam proses pembangunan hanyalah Blok G karena
sebenarnya blok A merupakan blok yang sudah ada bangunannya yang kemudian
dimasukkan dalam kawasan Pusat Primer Gedebage, yaitu bangunan Industri
dalam bentuk depot Pertamina seluas 21,68 Ha, perumahan 21,16 Ha, pelayanan
pemerintah 7,17 Ha dan bangunan komersil seluas 17,55 Ha.
Apabila pengembang hendak melaksanakan pembangunan baik berupa
bangunan maupun bangun-bangunan serta infrastruktur dalam blok maupun sub
blok, maka setiap permohonan perijinan pembangunan baik berupa bangunan
maupun bangun-bangunan wajib menyertakan rencana dan perancangan detail
(detail plan and design). Rencana dan Perancangan Detail ini meliputi:
1. Rencana atau rancangan tata letak bangunan Blok atau Sub Blok.
2. Rencana atau rancangan bangunan (detail engineering design).
3. Rencana atau rancangan prasarana dan utilitas.
Dalam aspek administrasi pembangunan Perusahaan Pengelola Kawasan
Pusat Primer Gedebage adalah lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Kota
Bandung dengan persetujuan DPRD untuk mengelola pengembangan Kawasan
Pusat Primer Gedebage termasuk menyusun rencana teknis, menangani
administrasi, izin dan lain-lain yang terkait secara kolektif. Berdasarkan proses
seleksi yang terbuka (lelang Perusahaan Pengelola ini lebih lanjut akan dtetapkan
oleb Peraturan Walikota. Perusahaan Pengelola Pusat Primer Gedebage dapat
terdiri atas Perusahaan tunggal (BUMD atau swasta murni) dan Perusahaan
konsorsium atau patungan (BUMD dan beberapa perusahaan swasta).
Perusahaan patungan digunakan, jika tanggung jawab swasta secara
penuh tidak memungkinkan; kondisi lingkungan berisiko; aspek hukum yang
tidak membolehkan kepemilikan prasarana oleh swasta secara keseluruhan; hak
kepemilikan penuh swasta secara politis tidak dapat diterima; hukum lingkungan
tidak memungkinkan perusahaan svvasta secara keseluruhan menerima liabilitas
atau permasalahan lain yang dapat mempengaruhi formasi perusahaan.
Konsorsium ini membutuhkan perjanjian yang jelas mendefinisikan tambahan
manfaat bagi masing-masing pihak dan tanggung jawab mereka sesuai perjanjian.
82
Perusahaan Pengelola Pusat Primer Gedebage bertugas untuk
mengembangkan kawasan mulai dan pembebasan lahan, pembangunan kawasan
dan pengelolaan kawasan. Tugas pokok Perusahaan Pengelola kawasan Pusat
Primer Gedebage adalah sebagai berikut:
1. Menyusun rencana teknis
2. Menangani proses perizinan secara kolektif
3. Menilai permohonan izin pembangunan yang diajukan
4. Melaksanakan pembangunan fisik
5. Mengawasi pembangnnan fisik
6. Membebaskan lahan untuk prasarana dan sarana dasar
7. Menyediakan prasarana dan sarana dasar
Pola pengelolaan kawasan Pusat Primer Gedebage oleh Perusahaan
Pengelola serta lingkup tugas masing-masing anggota Perusahaan pengelola
ditunjukkan pada Gambar 6
Melaksanakan
Pembangunan
Kawasan
Menggunakan
Bangunan Siap
Digunakan
Pemerintah
Kota Bandung
Swasta/
Investor
I
BUMD
Perusahaan
Pengelola
Pembebasan Lahan,
Pematangan Lahan, dan
Prasarana Dasar
Pembangunan
Blok Kawasan
Lahan Siap
Bangun
Bangunan Siap
Digunkan
Investor untuk
pengembangan/pembangunan
Kawasan Pusat Primer Gedebage
Gambar 6 Alur pengelolaan kawasan Pusat Primer Gedebage
83
Adapun ruang lingkup tugas pemerintah Kota Bandung berkaitan dengan
Pengelolaan Kawasan Pusat Primer Gedebage adalah :
1. Penyedia peraturan pembangunan.
2. Perijinan dan tugas administrasi lainnya berkaitan dengan adminstrasi
pemerintahan dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage.
3. Pemrosesan perijinan secara kolektif dari pengelola kawasan
4. Memberikan insentif sesuai kewenangannya.
Sedangkan ruang lingkup tugas Pengelola Kawasan Pusat Primer
Gedebage adalah :
1. Penyedia lahan dan pematangan lahan
2. Menerima perijinan permohonan pembangunan oleh pihak yang akan
membangun
3. Mengajukan permohonan secara kolektif kepada dinas terkait
4. Bersama dengan Pemerintah Kota Bandung dalam memproses aplikasi
investasi internasional dan domestik
5. Bersama dengan Pemerintah Kota Bandung melakukan penilaian permohonan
perijinan yang diajukan oleh investor
6. Melaksanakan pengendalian pembangunan Kawasan Pusat Primer Gedebage
7. Memasarkan peluang investasi kepada calon investor
Peluang atau prospek investasi (PPP) baik oleh sektor publik maupun
swasta atau masyarakat di kawasan Gedebage dapat dilihat pada tabel Tabel 14.
Tabel 14 Peluang atau prospek investasi (PPP) Kawasan Pusat
Primer Gedebage
PUBLIK PPP SWASTA
1. Jalan dalam kawasan
Pusat Primer
Gedebage dan jalan
akses menuju ke
kawasan
2. Dry pond
3. Ruang Publik
4. Normalisasi sungai
serta pembangunan
jaringan drainase
sekunder
1. Terminal regional
2. Stasiun Kerata Api
3. Fasilitas Ibadah.
4. Telepon
5. Listrik
6. Penyedian jaringan air
bersih (dapat
dikerjasamakan
dengan sektor swasta)
1. Komersial dan bisnis
2. Perkantoran
3. Hotel
4. Apartemen
5. Convention Hall
6. Gedung seni
tradisional atau
pertunjukkan
7. Sarana olah raga
8. Kampus terpadu
9. Rumah sakit
10. Perumahan
11. Jalan tol
12. Telepon (PT. Telkom)
84
13. Listrik (PT. PLN)
14. Sarana Peribadatan
15. Pelayanan
Persampahan
16. Pelayanan Air Bersih
Sumber: Development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006
Pedoman administrasi dan investasi (administration and investment
guidelines) yang dimaksud adalah ketentuan administrasi dan investasi dalam
pengembangan Pusat Primer Gedebage. Beberapa ketentuan administrasi dan
investasi adalah sebagai berikut:
a. Investor yang akan mengembangkan bagian dan Kawasan Pusat Primer
Gedebage berurusan hanya dengan Perusahaan Pengelola. Oleh karena itu
urusan perijinan, mekanisme investasi dan urusan lainnya (pembangunan,
pemeliharaan) menjadi tanggung jawab Perusahaan Pengelola tersebut.
b. Persoalan persyaratan investasi, perijinan dan prosedur adminitrasi dapat
dibuat ketentuan sendiri oleh Perusahaan Pengelola selama tidak melanggar
ketentuan yang berlaku
Persyaratan teknis maupun tata cara investasi baik dalam negeri maupun
luar negeri harus mengikuti ketentuan-ketentuan sebagal berikut:
a. Ketentuan penanaman modal dalam negeri dan luar negeri mengikuti
ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara
Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 38/SK/1 999
tanggal 6 Oktober 1999 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan
Penanaman Modal yang Didirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalan
Negeri dan Penanaman Modal Asing.
b. Ketentuan dan Tata Cara Permohonan Ijin Pertanahan mengikuti Peraturan
Daerah Kota Bandung.
5.2 Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
Bagian ini merupakan langkah pembahasan tentang model yang
dirancang dari sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung.
Pemodelan merupakan suatu abstraksi untuk mendekati sebuah kondisi aktual.
Dalam model ini diperlihatkan suatu interaksi antara subsistem yang saling
berkaitan dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung yang
Lanjutan Tabel 14
85
menjadi stimulus terhadap dinamika yanga akan terjadi pada out put dari
pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung. Oleh kerena itu langkah
kesesuaian antara subsistem yang ada dalam model dengan yang ada pada kondisi
aktual akan menjadi suatu hal yang penting dalam menghasilkan model yang
benar-benar sesuai dengan kondisi aktualnya. Adapun yang menjadi objek kajian
dalam penelitian ini adalah sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota
Bandung dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik.
Interaksi antara subsistem ini ditandai dengan mengalirnya unsur yang
ada dalam satu susbsistem ke dalam subsistem lainnya. Unsur yang dimaksud
berupa material, informasi, pendapatan maupun tenaga kerja. Unsur-unsur inilah
yang pada akhirnya membuat model dalam sistem pengembangan Pusat Primer
Gedebage Kota Bandung bekerja untuk menghasilkan out put. Hal ini
membuktikan bahwa pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung jika
pun hanya memiliki tujuan dalam aspek ekonomi semata dipastikan tidak akan
pernah dapat menghasilkan out put tanpa memerhatikan aspek lain seperti
dinamika kependudukan dan kapasitas lahan yang ada di Kota Bandung.
Keberhasilan model untuk menghasilkan out put yang dapat mendekati
kondisi aktual dapat menjadi bahan yang berkualitas dalam memprediksi kondisi
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung pada masa yang akan datang. Oleh karena
itu unsur-unsur yang ada dalam setiap subsistem model pengembangan Pusat
Primer Gedebage Kota Bandung perlu kiranya adalah unsur-unsur yang saat ini
menjadi bagian yang terkait dengan pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota
Bandung.
Seperti yang terlihat dari Gambar 7 bahwa alur model pengembangan
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung disusun oleh tiga subsistem yang saling
berkaitan, yaitu subsistem kependudukan, subsistem lahan, dan subsistem
ekonomi. Dalam model ini ketiga subsistem akan membuat kombinasi seperti
kombinasi subsistem kependudukan dengan subsistem ekonomi, subsistem
ekonomi dengan subsistem lahan, maupun subsistem kependudukan dengan
subsistem lahan. Dengan demikian tidak ada subsistem yang dapat berdiri sendiri
karena setiap subsistem dalam alam akan dicampuri oleh kepentingan manusia
(kependudukan) sedangkan dalam pandangan falsafah sistem dinamik dapat
86
diterangkan bahwa aspek-aspek lain di luar manusia sebenarnya dapat diprediksi
perilaku dan perubahannya baik perubahan dalam segi kuantitas dan kualitas
maupun segi waktu. Namun ketika susbsistem itu sudah dicampuri oleh subsistem
manusia (kependudukan) maka perilaku dan perubahannya akan semakin tidak
beraturan. Hal ini dikarenakan dasar manusia yang memiliki sifat keinginan untuk
memuaskan dirinya bahkan lebih jauh lagi dapat menampakkan keserakahan
untuk menguasai sumber daya yang ada. Oleh karena itu dalam model
pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung subsistem kependudukan
merupakan subsistem yang penting dan tak mungkin terpisahkan dengan
subsistem-subsitem lain yang ada di lingkungan Pusat Primer Gedebage Kota
Bandung.
Untuk lebih jelasnya mengenai hubungan Antar subsistem dalam
Pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dapat dilihat di
gambar 7.
Keterangan
= Material
= Pendapatan
= Informasi
= Tenaga Kerja
Gambar 7 Diagram Alir Hubungan Antar Subsistem dalam
Pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage
Kota Bandung
Subsistem
Kependudukan
Subsistem
Lahan
Subsistem
Ekonomi
Pengembangan
Kawasan Gedebage
87
1. Subsistem Sosial Kependudukan
Dalam subsistem kependudukan terdiri dari jumlah penduduk
dikawasan. Jumlah penduduk ini diperlakukan sebagai level dimana jumlah
penduduk ditentukan oleh pertambahan dan pengurangan jumlah penduduk.
Pertambahan jumlah penduduk dipengaruhi oleh rate pertambahan penduduk baik
secara alamaih maupun rate perubahan jumlah penduduk karena imigrasi,
sedangkan pengurangan jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh rate
pengurangan penduduk baik secara alamiah yaitu mati maupun emigrasi. Jumlah
penduduk di wilayah penelitian akan terkait dengan jumlah tenaga kerja dalam
kegiatan ekonomi (susbsistem kegiatan ekonomi). Selain itu juga jumlah
penduduk akan terkait dengan kebutuhan ruang fasilitas sosial dan fasilitas umum
(subsistem lahan).
Dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
yang dimaksud dengan penduduk adalah penduduk Kota Bandung karena
kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung merupakan new development
sehingga pada saat ini kawasan ini relatif tidak ada penduduk yang dapat
dijadikan stok dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota
Bandung.
Dinamika penduduk Kota Bandung dalam model pengembangan Pusat
Primer Gedebage akan dipengaruhi oleh aspek-aspek penambahan dan
pengurangan jumlah penduduk baik secara alamiah (kelahiran dan kematian)
maupun adanya perpindahan penduduk (penduduk yang masuk atau keluar
wilayah).
Perubahan yang terjadi pada jumla penduduk Kota Bandung tentunya
akan mempengaruhi kondisi lahan yang akan menjadi kebutuhan penduduk
(pemukiman) maupun kebutuhan ekonomi (penyediaan lahan untuk industri dan
lahan untuk kegiatan jasa) baik lahan total Kota Bandung maupun lahan di
kawasan Pusat Primer Gedebage.
Mengenai struktur model subsistem penduduk dalam pengembangan
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dapat dilihat pada Gambar 8.
88
PENDUDUK
~
Penambahan Pddk
~Pengurangan Pddk
laju Masuk
laju kelahiran laju kematian
laju keluar
~
ProdIndustri
~
ProdJasa
~
ProdLain
ProduktivIndustri
ProduktivJasa
ProduktivLain
LuasIndustri
~
TambahLuIndustri
LuasJasa
~
TambahLuJasa
LuasLain
~
TambahLuLain
~
AngKerja
PersAngKerja
PersTKIndustri
RsTKIndustri
PersTKJasa
RsTKJasa
PersTKLain
RsTKLain
TambahAK
SUBSISTEM PENDUDUK
Gambar 8 Struktur Model Subsistem Penduduk dalam pengembangan
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
2. Subsistem Lahan
Subsistem lahan merupakan subsistem yang berkaitan dengan ruang
gerak dari kegiatan ekonomi dan kegiatan penduduk yang ada di wilayah
penelitian. Subsistem lahan dalam model ini berkaitan denga luas lahan yang
tersedia di kawasan Pusat Primer Gedebage yang direncanakan menjadi lahan
kegiatan ekonomi dan penduduk seluas 712,3 Ha. Semua kegiatan yang berkaitan
dengan lahan di Pusat Primer Gedebage berkaitan pula dengan dinamika
penduduk kawasan maupun penduduk Kota Bandung. Lahan yang direncanakan
menjadi Kawasan Pusat Primer Gedebage terdiri dari lahan untuk transfortasi,
89
kesehatan, olah raga dan rekreasi, industri, peribadatan, hunian (termasuk hotel
dan apartemen), danau, akses jalan tol dan untuk daya dukung lingkungan.
Luas Pemanf atan Lahan Kota
Luas Lahan Kawasan PPG
~
Penambahan Luas
Pemanf atan Lahan Kota
~
Lahan Perumahan Kota
~
lahan transf ortasi
~
lahan kesehatan
~
lahan OR dan Rekreasi
~
Lahan Industri
?~
Lahan Permukiman
~
Lahan Inf rastruktur
~
Lahan RTH
~
lahan Peribadatan
Persen lahan transf ortasi
persen lahan kesehatan
persen lahan OR dan Rekreasi
persen Lahan Industri
Persen Lahan Permukiman
Persen Lahan Inf rastruktur
Persen Lahan RTH
Persen Peribadatan
Persen Perumahan KotaPersen Luas Lahan Kawasan
RTH Kota
~
Penambahan RTH Kota
laju RTH
SUBSISTEM LAHAN
Gambar 9 Struktur Model Subsistem Lahan dalam pengembangan Pusat
Primer Gedebage Kota Bandung
3. Subsistem Kegiatan Ekonomi
Dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage Subsistem
ekonomi merupakan subsistem yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi yang
diusahakan penduduk wilayah penelitian. Namun karena Pusat Primer Gedebage
merupakan new development, maka kegiatan ekonominya tidak adanya hanya ada
dalam bentuk sumbangan investasi yang dilakukan oleh Pusat Primer Gedebage
baik dalam bentuk rencana investasi hingga investasi existing yang telah
disalurkan melalui kegiatan pengembangan Pusat Primer Gedebage ini. Oleh
karena itu subsistem ekonomi dalam model pengembangan Pusat Primer
90
Gedebage yaitu sumbangan investasi kawasan terhadap PDRB Kota Bandung dan
berfungsi sebagai converter dalam model.
Hingga saat ini investasi yang masuk ke kawasan Pusat Primer
Gedebage merupakan investasi untuk membiaya infrastruktur pembangunan
Kawasan Pusat Primer Gede Bage yang direncanakan pembangunannya sejak
tahun 2004 dan pelaksanaannya hingga saat ini baru dapat menyelesaikan
pekerjaan sebesar 10,18 persen. Nilai ini diperoleh dari hasil capaian kemajuan
pekerjaan pada tahun 2009 sebesar 6,18 persen ditambah dengan kondisi
pembangunan pada tahun 2008 yang sudah mencapai 4persen. Nilai tersebut
merupakan kontribusi dari pembangunan jembatan, terowongan dan saluran di
kawasan Pusat Primer Gedebage pada tahun 2009 sebesar 3,18 persen serta
realiasi dari persiapan dan pembangunan fisik sampai akhir 2009 sebesar 3 persen
yang meliputi Detail Enginering Design (DED), manajemen kontruksi,
penyusunan Amdal, serta pelelangan pembangunan SOR Gedebage dengan nilai
investasi Rp. 500,85 Milyar yang berada di blok G. Oleh karena itu nilai produksi
ekonomi sebagai dasar perhitungan PDRB pada model ini bisa dianggap nol
sehingga sebenarnya dapat dikatakan pula perubahan PDRB Kota dari model ini
hanyalah sebatas peningkatan kapasitas infrastruktur kawasan Pusat Primer
Gedebage.
Namun demikian karena kawasan Pusat Primer Gedebage merupakan
bagian dari kegiatan ekonomi Kota Bandung secara keseluruhan, akan ada saling
mempengruhi antara kawasan Pusat Primer Gedebage dengan kawasan Kota
Bandung. Oleh karena itu investasi yang ada pada kawasan Pusat Primer
Gedebage akan mempengaruhi pula terhadap dinamika ekonomi kota Bandung.
Dalam struktur model subsistem ekonomi dalam pengembangan Pusat
Primer Gedebage Kota Bandung akan digamarkan dalam bentuk dinamika PDRB
Kota Bandung atas dasar harga konstan tahun 2000 dengan laju pertumbuhannya
7,85 persen.. PDRB ini akan dipengaruhi oleh subsistem penduduk Kota Bandung
dan subsistem lahan (penggunaan lahan Kawasan Pusat Primer Gedebage sendiri
maupuan penggunanaan lahan Kota Bandung).
Mengenai struktur model subsistem ekonomi dalam pengembangan
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dapat dilihat pada Gambar 10.
91
PENDUDUK
Luas Pemanf atan Lahan Kota
Luas Lahan Kawasan PPG
PDRB KOTA
~
Penambahan Pddk
~Pengurangan Pddk
~
Penambahan Luas
Pemanf atan Lahan Kota
~
Penambahan PDRB
~
inv estasi per tenaga kerja
~
Pengurangan RTH Kota
~
Lahan Perumahan Kota
laju Masuk
laju kelahiran laju kematian
Laju PDRB
~
pertambahan inv estasi
laju inv estasi
laju keluar
Inv estasi Kota
~
lahan transf ortasi
~
lahan kesehatan
~
lahan OR dan Rekreasi
~
Lahan Industri
~
Lahan Permukiman
~
Lahan Inf rastruktur
~
Lahan RTH
~
lahan Peribadatan
Persen lahan transf ortasi
persen lahan kesehatan
persen lahan OR dan Rekreasi
persen Lahan Industri
Persen Lahan Permukiman
Persen Lahan Inf rastruktur
Persen Lahan RTH
Persen Peribadatan
~
inv estasi kawasan PPG
rasio inv estasi kawasan PPG
~
pendapatan per kapita
Persen Perumahan Kota
Persen Luas Lahan Kawasan
RTH Kota
~
Penambahan RTH Kota
laju RTH
~
ProdIndustri
~
ProdJasa
~
ProdLain
Produktiv Industri
Produktiv Jasa
Produktiv Lain
LuasIndustri
~
TambahLuIndustri
LuasJasa
~
TambahLuJasa
LuasLain
~
TambahLuLain
~
AngKerja
PersAngKerja
PersTKIndustri
RsTKIndustri
PersTKJasa
RsTKJasa
PersTKLain
RsTKLain
TambahAK
SUBSISTEM EKONOMI
Gambar 10 Struktur Model Subsistem Ekonomi dalam pengembangan
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
92
6.3 Simulasi Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
Proses selanjutnya dalam pengembangan model pengembangan Pusat
Primer Gedebage Kota Bandung adalah membangun suatu formula model dan
simulasi model sebagai upaya untuk mengkonversikan kontruksi logis yang
ditunjukkan oleh tiga subsistem yang selanjutnya dilakukan simulasi melalui
perangkat program stella versi 9. Adapun simulasi model menggunakan kurun
waktu 25 tahun (2009-2034).
1. Subsistem Penduduk
Dalam simulasi model penduduk perubahan kependudukan dipengaruhi
oleh natalitas, mortalitas dan migrasi yang berfungsi sebagai converter yang dapat
merubah jumlah penduduk dalam tahun simulasi. Dalam aspek kependudukan ini
formulasi model yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Penduduk(t) = Penduduk (t - dt) + (Penambahan_Pddk -
Pengurangan_Pddk) * dtINIT Penduduk = 2374198 Jiwa
b. Penambahan_Pddk = Penduduk*laju_masuk+ Penduduk
*laju_kelahiran
c. Pengurangan_Pddk = Penduduk *laju_keluar+ Penduduk
*laju_kematian
d. laju_kelahiran = persen per tahun
e. laju_keluar = persen per tahun
f. laju_kematian = persen per tahun
g. laju_Masuk = persen per tahun
Adapun hasil simulasi mengenai jumlah penduduk secara lengkap dapat
dilihat dalam Gambar 11 dan Tabel 14.
Berdasarkan Gambar 11 dan Tabel 15 dapat dilihat adanya
kecenderungan dari keadaan penduduk Kota Bandung pada masa lampau yang
memiliki laju kelahiran 1.91 persen per tahun dan laju masuk sebesar 1.45 persen,
maka jumlah penduduk pada tahun simulasi model Pengembangan Pusat Primer
Gedebage mengalami kenaikan pada tahun simulasi (2034) yang ditandai dengan
laju pertumbuhan penduduk menurun menjadi rata-rata 1,61 persen dibandingkan
93
dengan saat ini, padahal laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung dalam kurun
waktu 2005-2009 selalu mengalami peningkatan yang dimulai dengan laju
pertumbuhan penduduk yang paling rendah di tahun 2005 sebesar 1,14 persen
hingga 1,90 persen di tahun 2009.
Perubahan penduduk hasil simulasi ini jika dibandingkan dengan target
perubahan penduduk yang dicanangkan oleh pemerintah Kota Bandung adalah
relevan karena pemerintah kota dalam jangka panjang hingga tahun 2034
menargetkan penurunan laju pertumbuhan penduduk terutama dengan menekan
tingkat mortalitas dan natalitas sebagai penyumbang yang paling signifikan dalam
perubahan kependudukan sehingga laju pertumbuhan penduduk ada dikisaran
1,00-1,750 persen (Dinkes Kota Bandung, 2009). Oleh karena itu dengan
perubahan kependudukan dalam model ini, maka yang paling diuntungkan adalah
pemerintah kota karena model ini dapat diterima dalam upaya menekan tingkat
pertumbuhan penduduk.
10:20 PM Wed, Aug 17, 2011
GRAFIK PENDUDUK
Page 1
0.00 6.25 12.50 18.75 25.00
Years
1:
1:
1:
2200000
2950000
3700000
1: PENDUDUK
1
1
1
1
Gambar 11. Grafik Hasil Simulasi Subsistem Penduduk
Tabel. 15 Hasil Simulasi model pengembangan Pusat Primer Gedebage
Subsistem Penduduk (2009-2034)
Tahun ke Jumlah Penduduk (Jiwa)
0 2.374.198
1 2.423.413
2 2.472.628
3 2.521.843
4 2.571.058
94
5 2.620.273
6 2.669.488
7 2.718.703
8 2.767.918
9 2.817.133
10 2.866.348
11 2.915.563
12 2.964.778
13 3.013.993
14 3.063.208
15 3.112.423
16 3.161.638
17 3.210.853
18 3.260.068
19 3.309.283
20 3.358.498
21 3.407.713
22 3.456.928
23 3.506.143
24 3.555.358
25 atau 2034 3.604.573
Sumber : Data diolah Tahun 2011
2. Subsistem Lahan
Untuk menganalisis subsistem lahan dalam simulasi model
pengembangan Pusat Primer Gedebage maka yang dihitung adalah perubahan
yang terjadi dalam variabel luas pemanfatan lahan di Kota Bandung. Adapun yang
dimaksud dengan pemanfatan lahan dari hasil model pengembangan Pusat Primer
Gedebage adalah lahan yang digunakan untuk perumahan, kegiatan industri dan
kegiatan jasa yang berjumlah 11.606 Ha. Dalam subsistem lahan model
pengembangan Pusat Primer Gedebage, maka formulasi model yang digunakan
adalah sebagai berikut :
a. Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota(t) =
Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota(t - dt) +
(Penambahan_Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota) * dtINIT
Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota = 11606 Ha
b. Penambahan_Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota =
(Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota+Luas_Lahan_Kawasan_PPG*Pe
rsen_Luas_Lahan_Kawasan)
Lanjutan Tabel 15
95
c. Luas_Lahan_Kawasan_PPG = 712.3 Ha
d. Persen_Luas_Lahan_Kawasan= persen
Adapun hasil simulasi mengenai luas pemanfatan lahan di Kota Bandung
dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage secara lengkap dapat dilihat
dalam Gambar 12 dan Tabel 16.
10:24 PM Wed, Aug 17, 2011
GRAFIK LUAS PEMANFATAN LAHAN KOTA
Page 1
0.00 6.25 12.50 18.75 25.00
Years
1:
1:
1:
11500
12750
14000
1: Luas Pemanf atan Lahan Kota
1
1
1
1
Gambar 12 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Pemanfaatan lahan Kota Bandung
Dari Gambar 14 dan Tabel 16 menunjukkan bahwa penggunaan lahan
industri, perumahan dan jasa meningkat pada tahun simulasi dari 69,73 persen
menjadi 80.73 persen atau 13,506 Ha pada tahun 2034. Ini menunjukkan bahwa
lahan kosong (bisa berbentuk sawah, tegalan ataupun ruang kosong yang tersedia
di Kota Bandung pada tahun 2034 hanya 19.27 persen atau 3.223,87 Ha. Hal ini
menunjukkan bahwa intensitas kegiatan yang terjadi di kawasan Pusat Primer
Gedebage akan mendesak lahan kosong (bisa berbentuk sawah, tegalan ataupun
ruang kosong yang tersedia di Kota Bandung saat ini sebesar 11,36 persen dari
lahan kosong yang ada pada saat ini bahkan jika simulasi diperpanjang rentang
waktunya, maka 68 tahun yang akan datang semua lahan yang ada di Kota
Bandung akan termanfaatkan ke dalam tiga lahan peruntukkan yaitu lahan yang
digunakan untuk perumahan, kegiatan industri dan kegiatan jasa.
Kondisi ini sebenarnya telah diantisipasi oleh Pemerintah Kota Bandung
yang sangat memperhatikan akan keterbatasan lahan yang ada dengan intensitas
kegiatan yang dilakukan masyarakat menyangkut penggunaan lahan untuk
96
perumahan, kegiatan industri dan kegiatan jasa di antaranya pemanfaatan lahan
perumahan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJM) 2008-2013 yang mengarahkan pembangunan perumahan kearah
vertikal (apartemen dan rumah susun), pengendalian pertumbuhan penduduk
dengan lebih mengintensifkan program Keluarga Berencana (KB) dengan
program kemandirian ber-KB dan peningkatan keikutsertaan pria dalam ber-KB.
Selain itu untuk kenyamanan masyarakat kota, maka target Ruang Terbuka Hijau
(RTH) yang saat ini (2008) sebesar 8,7 persen akan ditingkatkan pada tahun 2013
sebesar 16 persen dari total luas lahan yang ada di Kota Bandung (16,730 Ha).
Tabel 16 Hasil Simulasi model pengembangan Pusat Primer Gedebage Subsistem Lahan (2009-2034)
Tahun ke Pemanfatan
Lahan Kota (Ha)
Proporsi Pemanfatan Lahan Terhadap Lahan yang Tersedia (persen)
0 saat ini 11.606 69,37
1 11.682 69,83
2 11.758 70,28
3 11.834 70,74
4 11.910 71,19
5 11.986 7164
6 12.062 72,10
7 12.138 72,55
8 12.214 73,01
9 12.290 73,46
10 12.366 73,92
11 12.442 74,37
12 12.518 74,82
13 12.594 75,28
14 12.670 75,73
15 12.746 76,19
16 12.822 76,64
17 12.898 77,10
18 12.974 77,55
19 13.050 78,00
20 13.126 78,46
21 13.202 78,91
22 13.278 79,37
23 13.354 79,82
24 13.430 80,27
25 atau 2034 13.506 80,73
Sumber : Data diolah Tahun 2011
97
3. Subsistem Ekonomi
Untuk menganalisis subsistem ekonomi dalam simulasi model
pengembangan Pusat Primer Gedebage maka yang dihitung adalah perubahan
PDRB Atasa Dasar Harga Konstan Kota Bandung tahun 2000. Dalam subsistem
model pengembangan Pusat Primer Gedebage, maka formulasi model yang
digunakan adalah sebagai berikut :
a. PDRB_KOTA(t) = PDRB_KOTA(t - dt) + (Penambahan_PDRB)
* dtINIT PDRB_KOTA = 26,978,909 Milyar
b. Penambahan_PDRB =
(PDRB_KOTA+Laju_PDRB*(ProdIndustri+ProdJasa+ProdLain)
+Laju_PDRB*Investasi_Kota)
c. Laju_PDRB = persen
d. ProduktivIndustri = Milyar per tahun
e. ProduktivJasa = Milyar per tahun
f. ProduktivLain = Milyar per tahun
g. Investasi_Kota = Triliun per tahun
Adapun hasil simulasi mengenai subsistem ekonomi di Kota Bandung
dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage secara lengkap dapat dilihat
dalam Gambar 13 dan Tabel 17.
Berdasarkan Gambar 13 dan Tabel 17 dan dengan melihat nilai PDRB
Kota Bandung Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 dengan laju
pertumbuhannya 7,85 persen, maka dari hasil simulasi nilai PDRB terlihat adanya
kenaikan PDRB kota. Kondisi relevan dengan teori bahwa investasi merupakan
stimulus bagi peningkatan PDRB (Blanchard, 2006). Dengan nilai investasi saat
ini yang masuk ke kawasan Pusat Primer Gedebage sebesar Rp. 500,85 Milyar
dari yang direncanakan sebesar Rp. 11,945 Triliun mengakibatkan kenaikan
PDRB kota untuk tahun simulasi (2034). Dengan nilai PDRB Atas Dasar Harga
Konstan tahun 2000 pada saat ini Rp 26,98 Triliun maka pada tahun simulasi
(2034) dengan model ini PDRB Kota berubah menjadi Rp. 86,25 Triliun.
Adapun investasi yang saat ini masuk ke kawasan Pusat Primer
Gedebage baru sebatas investasi untuk biaya infrastruktur yang tidak
98
menghasilkam volume produksi ekonomi karena kawasan Pusat Primer Gedebage
ini merupakan kawasan baru yang direncanakan pembangunannya sejak tahun
2004 dan pelaksanaannya baru dapat menyelesaikan pekerjaan sebesar 10,18
persen. Nilai ini diperoleh dari hasil capaian kemajuan pekerjaan pada tahun 2009
sebesar 6,18 persen ditambah dengan kondisi pembangunan pada tahun 2008 yang
sudah mencapai 4 persen. Nilai tersebut merupakan kontribusi dari pembangunan
jembatan, terowongan dan saluran di kawasan Pusat Primer Gedebage pada tahun
2009 sebesar 3,18 persen serta realiasi dari persiapan dan pembangunan fisik
sampai akhir 2009 sebesar 3 persen yang meliputi Detail Enginering Design
(DED), manajemen kontruksi, penyusunan Amdal, serta pelelangan pembangunan
SOR Gedebage dengan nilai investasi Rp. 500,85 Milyar yang berada di blok G. .
Sedangkan dengan skenario 2 berdasarkan Tabel 17 dan dengan melihat
nilai PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000, maka dari hasil
simulasi nilai PDRB terlihat adanya kenaikan PDRB. Dengan diasumsukan nilai
investasi yang direncanakan oleh Tim Pengelola Pusat Primer Gedebage sebesar
Rp. 11,945 Triliun yang akan masuk ke kawasan Pusat Primer Gedebage
mengakibatkan kenaikan PDRB kota untuk tahun simulasi (2034) menjadi Rp.
146,875 Triliun.
10:37 PM Wed, Aug 17, 2011
GRAFIK PDRB KOTA BANDUNG
Page 1
0.00 6.25 12.50 18.75 25.00
Years
1:
1:
1:
20000000
52500000
85000000
1: PDRB KOTA
1
1
1
1
Gambar 13 Grafik Hasil Simulasi Jumlah PDRB Kota Bandung
Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000
99
Tabel. 17 Hasil Simulasi Terhadap Perubahan PDRB Kota Bandung
Dalam Subsistem Ekonomi model pengembangan Pusat
Primer Gedebage (2009-2034)
Tahun ke PDRB (Triliun Rp)
Skenario 1 Skenario 2
Kondisi Saat ini 26,979 26,979
1 27,45 29,87
2 29,90 34,75
3 32,35 39,62
4 34,80 44,50
5 37,25 49,37
6 39,70 54,25
7 42,15 59,12
8 44,60 64,00
9 47,05 68,87
10 49,50 73,75
11 51,95 78,62
12 54,40 83,50
13 56,85 88,37
14 59,30 93,25
15 61,75 98,12
16 64,20 103,00
17 66,65 107,87
18 69,10 112,75
19 71,55 117,62
20 74,00 122,50
21 76,45 127,37
22 78,90 132,25
23 81,35 137,12
24 83,80 142,00
25 atau 2034 86,25 146,875
Sumber: Data diolah 2011
5.4 Dampak Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung.
Untuk melihat dampak yang ditimbulkan akibat pengembangan Pusat
Primer Gedebage Kota Bandung terhadap ekonomi Kota Bandung, maka
dugunakan berbagai indikator, diantaranya perubahan PDRB, pendapatan per
kapita dan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Dalam variabel pendapat per kapita pengembangan Pusat Primer
Gedebage memberikan sumbangan yang positif terhadap peningkatan pendapatan
per kapita Kota Bandung. Hal ini dapat terlihat dari Tabel 17 yang menunjukkan
100
bahwa tercapainya target pendapatan per kapita sesuai dengan target
pembangunan jangka menengah Kota Bandung hingga tahun 2013 salah satu
diantaranya dengan mengambil contoh pada tahun 2012 dalam data simulasi
(Tabel 17) menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 16,84 juta per
tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 15,1 juta per
tahun. Demikian pula pada tahun 2013 sesuai dengan data simulasi (Tabel 17)
menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 17,2 juta per tahun
melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 16 juta per tahun.
Adapun hasil simulasi mengenai pendapatan per kapita di Kota Bandung
dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage secara lengkap dapat dilihat
dalam Gambar 14 dan Tabel 18.
10:47 PM Wed, Aug 17, 2011
GRAFIK PENDAPATAN PER KAPITA
Page 1
0.00 6.25 12.50 18.75 25.00
Years
1:
1:
1:
11
16
21
1: pendapatan per kapita
1
1
1
1
Gambar 14 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan Pendapatan Per Kapita Kota
Bandung
Tabel 18 Hasil Simulasi Terhadap Kondisi Pendapatan Per Kapita
Kota Bandung dalam Model pengembangan Pusat Primer
Gedebage (2009-2034)
Tahun Ke Pendapatan Per Kapita
Kota Bandung (Juta Rp)
0 saat ini 11,37
1 11,93
2 12,46
101
3 12,98
4 13,47
5 13,95
6 14,41
7 14,85
8 15,28
9 15,69
10 16,09
11 16,47
12 16,84
13 17,20
14 17,55
15 17,89
16 18,21
17 18,53
18 18,84
19 19,13
20 19,42
21 19,70
22 19,98
23 20,24
24 20,50
25 atau 2034 20,75
Sumber: Data diolah 2011
Sedangkan dalam simulasi luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam
model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dapat dijadikan
kontrol bagi pengembangan kawasan ini. Dalam aspek Ruang Terbuka Hijau
(RTH) ini formulasi model yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. RTH_Kota(t) = RTH_Kota(t - dt) + (Penambahan_RTH_Kota -
Pengurangan_RTH_Kota) * dtINIT RTH_Kota = 1.456 Ha
b. Penambahan_RTH_Kota =
(Persen_Lahan_RTH*Luas_Lahan_Kawasan_PPG+RTH_Kota*laju_RT
H)
c. Pengurangan_RTH_Kota = (RTH_Kota-(Luas_Lahan_Kawasan_PPG-
Lahan_RTH)-Lahan_Perumahan_Kota)
d. Luas_Lahan_Kawasan_PPG = Ha
e. RTH Kota = Ha
Lanjutan Tabel 18
102
f. Laju RTH Kota = persen
Berdasarkan simulasi (Gambar 15 dan Tabel 19) dapat dilihat bahwa
luas RTH akan tertekan dari 8,7 persen saat ini menjadi 5,21 persen pada akhir
tahun 2034. Kondisi RTH seperti ini sesungggunya tidak relevan dengan target
Pemerintah Kota dalam pencapaian luas RTH dalam target jangka pendek (2013)
yang sudah mentargetkan pencapaian luas RTH kota 16 persen, tetapi dalam
simulasi pada tahun 2013 RTH kota hanya mencapai 8.14 persen (masih rendah
dari luas RTH 2010 yang memiliki proporsi 11,06%). Kondisi seperti ini
diakibatkan karena pencapaian untuk peningkatan luas RTH oleh pemerintah kota
Bandung sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Mengah Daerah Kota
Bandung (2009) dilakukan dengan cara pembebasan lahan dan pengalihfungsian
lahan-lahan pemerintah menjadi RTH yang sulit dilakukan karena keterbatasan
dana dan keengganan masyarakat yang memiliki lahan dan menjadi target
pemerintah untuk dibebaskan serta dialihfungsikan menjadi Ruang Terbuka Hijau.
Adapun hasil simulasi luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam model
pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung secara lengkap dapat
dilihat dalam Gambar 15 dan Tabel 19.
3:22 AM Thu, Aug 25, 2011
GRAFIK RUNAG TERBUKA HIJAU (RTH) KOTA BANDUNG
Page 1
0.00 6.25 12.50 18.75 25.00
Years
1:
1:
1:
850
1200
1550
1: RTH Kota
1
1
1
1
Gambar 15 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan RTH Kota Bandung
103
Tabel 19 Hasil Simulasi Terhadap Kondisi Ruang Terbuka Hijau dalam
Model pengembangan Pusat Primer Gedebage (2009-2034)
Tahun Ke
Perubahan Ruang
Terbuka Hijau Kota
(Ha)
Proporsi RTH
Terhadap Lahan yang
Tersedia (persen)
0 saat ini 1.456,00 8,70
1 1.432,50 8,56
2 1.409,00 8,42
3 1.385,50 8,28
4 1.362,00 8,14
5 1.338,50 8,00
6 1.315,00 7,86
7 1.291,50 7,72
8 1.268,00 7,58
9 1.244,50 7,44
10 1.221,00 7,30
11 1.197,50 7,16
12 1.174,00 7,02
13 1.150,50 6,88
14 1.127,00 6,74
15 1.103,50 6,60
16 1.080,00 6,46
17 1.056,50 6,32
18 1.033,00 6,17
19 1.009,50 6,03
20 986,00 5,89
21 962,50 5,75
22 939,00 5,61
23 915,50 5,47
24 892,00 5,33
25 atau 2034 871,27 5,21
Sumber: Data diolah 2011
Dengan demikian pengembangan Pusat Primer Gedebage secara
keseluruhan akan mempengaruhi kepada tiga subsistem, yaitu kependudukan,
lahan dan PDRB Kota Bandung. Adapun perbandingan ketiga susbsistem tersebut
dapat dilihat dalam Gambar 18 dan Tabel 20.
104
3:24 AM Thu, Aug 25, 2011
GRAFIK LUAS PEMANFATAN LAHAN KOTA
Page 1
0.00 6.25 12.50 18.75 25.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
5:
5:
5:
2200000
2950000
3700000
20000000
52500000
85000000
11
16
21
11500
12750
14000
850
1175
1500
1: PENDUDUK 2: PDRB KOTA 3: penda…per kapita 4: Luas …ahan Kota 5: RTH Kota
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
45
5
5
5
Gambar 16 Grafik Hasil Simulasi Perbandingan Subsistem Penduduk, Ekonomi
dan Lingkungan dalam Model Pengembangan Pusat Primer
Gedebage
Tabel 20 Hasil Simulasi Perbandingan Subsistem Penduduk, Ekonomi
dan Lingkungan dalam Model Pengembangan Pusat Primer
Gedebage
Tahun ke Penduduk
(Jiwa)
PDRB
(Triliun Rp)
Pendapatan
Per Kapita
(Juta Rp)
Luas
Pemanfaatan
Lahan Kota
(Ha)
RTH
(Ha)
0 atau saat ini 2.374.198 26,97 11,37 11.606 1.456,00
1 2.423.413 27,45 11,93 11.682 1.432,50
2 2.472.628 29,90 12,46 11.758 1.409,00
3 2.521.843 32,35 12,98 11.834 1.385,50
4 2.571.058 34,80 13,47 11.910 1.362,00
5 2.620.273 37,25 13,95 11.986 1.338,50
6 2.669.488 39,70 14,41 12.062 1.315,00
7 2.718.703 42,15 14,85 12.138 1.291,50
8 2.767.918 44,60 15,28 12.214 1.268,00
9 2.817.133 47,05 15,69 12.290 1.244,50
10 2.866.348 49,50 16,09 12.366 1.221,00
11 2.915.563 51,95 16,47 12.442 1.197,50
12 2.964.778 54,40 16,84 12.518 1.174,00
13 3.013.993 56,85 17,20 12.594 1.150,50
14 3.063.208 59,30 17,55 12.670 1.127,00
15 3.112.423 61,75 17,89 12.746 1.103,50
16 3.161.638 64,20 18,21 12.822 1.080,00
17 3.210.853 66,65 18,53 12.898 1.056,50
18 3.260.068 69,10 18,84 12.974 1.033,00
19 3.309.283 71,55 19,13 13.050 1.009,50
20 3.358.498 74,00 19,42 13.126 986,00
21 3.407.713 76,45 19,70 13.202 962,50
22 3.456.928 78,90 19,98 13.278 939,00
23 3.506.143 81,35 20,24 13.354 915,50
105
24 3.555.358 83,80 20,50 13.430 892,00
25 atau 2034 3.604.573 86,25 20,75 13.506 871,27
Sumber : Data diolah 2011
6.5 Skenario Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage
Skenario Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage yang
direncanakan berdasarkan beberapa asumsi kondisi yang diharapkan dalam model,
yaitu dengan memperhitungkan investasi yang masuk ke kawasan Pusat Primer
Gedebage. Adapun skenario dalam model Pengembangan Pusat Primer Gedebage
sebagai berikut, yaitu :
c. Skenario 1, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai
dengan investasi saat ini, yaitu sebesar Rp. 500,85 Milyar.
d. Skenario 2, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai
dengan investasi yang direncanakan sebesar Rp. 11,945.
Dari perhitungan simulasi tentang skenario Model Pengembangan Pusat
Primer Gedebage bagi pembangunan ekonomi Kota Bandung, maka dapat
dihitung perbandingan PDRB dan pendapatan per kapita dari skanario 1 dan 2
untuk tahun simulasi (2034) seperti yang terlihat dalam Tabel 21.
Tabel 21 Hasil Simulasi Skenario 1 dan 2 dalam Model Pengembangan
Pusat Primer Gedebage
Tahun ke PDRB (Triliun Rp)
Pendapatan Per Kapita
(Juta Rp)
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 Skenario 2
Kondisi Saat ini 26,979 26,979 11,37 11,37
1 27,450 29,875 1193 12,63
2 29,900 34,750 12,46 13,84
3 32,350 39,625 12,98 15,00
4 34,800 44,500 13,47 16,12
5 37,250 49,375 13,95 17,19
6 39,700 54,250 14,41 18,23
7 42,150 59,125 14,85 19,22
8 44,600 64,000 15,28 20,19
9 47,050 68,875 15,69 21,11
10 49,500 73,750 16,09 22,01
11 51,950 78,625 16,47 22,88
12 54,400 83,500 16,84 23,71
13 56,850 88,375 17,20 24,53
14 59,300 93,250 17,55 25,38
Lanjutan Tabel 20
106
15 61,750 98,125 17,89 26,30
16 64,200 103,000 18,21 27,19
17 66,650 107,875 18,53 28,06
18 69,100 112,750 18,84 28,90
19 71,550 117,625 19,13 29,71
20 74,000 122,500 19,42 30,50
21 76,450 127,375 19,70 31,27
22 78,900 132,250 19,98 32,02
23 81,350 137,125 20,24 32,74
24 83,800 142,000 20,50 33,45
25 atau 2034 86,250 146,875 20,75 34,10
Sumber : Data diolah 2011
Berdasarkan Tabel 21 dapat terlihat bahwa pengembangan Pusat Primer
Gedebage akan berdampak secara positif terhadap pembangunan ekonomi Kota
Bandung yang ditandai adanya kenaikan nilai PDRB atas dasar harga konstan
tahun 2000 maupun peningkatan pendapatan per kapita penduduk Kota Bandung.
Namun dalam aspek lain terutama luas Ruang Terbuka Hijau mengalami
penekanan hingga di akhir tahun simulasi (2034) hanya memiliki proporsi 5,21
persen dari total luas wilayah Kota Bandung (16.730 Ha). Oleh karena itu pada
akhir tahun simulasi lahan Kota Bandung akan didominasi penggunaan lahan pada
tiga fungsi lahan, yaitu lahan untuk perumahan, lahan untuk industri dan lahan
untuk kegiatan ekonomi jasa. Selain itu pula penggunaan lahan untuk perumahan
akan didominasi bentuk hunian yang bersifat vertikal (rumah susun).
Lanjutan Tabel 21
107
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil pengaamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan
lahan untuk pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage telah ditentukan oleh
tim pemerintah kota dan swasta dengan memperhatikan berbagai aspek kelayakan
maupun peruntukkannya yaitu lahan untuk transfortasi 32,58 Ha (4,6%), untuk
kesehatan 16,55 Ha (2,30%), untuk olah raga dan rekreasi 45 Ha (6,3%), untuk
industri 26,61 Ha (8,7 %), untuk peribadatan 5,32 Ha (0.7%), hunian 196,6 Ha
(27,6%), hotel apartemen 11 Ha (1,5%), danau buatan 123 Ha (17,26%), akses
jalan tol 55,57 Ha (7,8%) dan untuk daya dukung lingkungan 31 Ha (4,4%).
Berdasarkan simulasi model sistem dinamis tentang dampak
pengembangan Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota
Bandung dapat dilihat dari perkembangan beberapa aspek, yaitu perubahan
penduduk, PDRB kota, penggunaa lahan kota, pendapatan perkapita dan Ruang
Terbuka Hijau (RTH), dan berdasarkan simulasi model, maka adanya perubahan
jumlah penduduk berupa kenaikan pada tahun simulasi (2034) walaupun hal itu
ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk menurun menjadi rata-rata 1,61
persen per tahun dibandingkan dengan saat ini sebesar 1,90 persen per tahun.
Sedangkan dalam penggunaan lahan industri, perumahan dan jasa meningkat pada
tahun simulasi dari 69,73 persen menjadi 80,73 persen atau 13.506 Ha pada tahun
2034. Ini menunjukkan bahwa lahan kosong (bisa berbentuk sawah, tegalan
ataupun ruang kosong yang tersedia di Kota Bandung pada tahun 2034 hanya
19,27 persen atau 3.223,87 Ha. Sedangkan simulasi mengenai subsistem ekonomi
di Kota Bandung dengan melihat nilai PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga
Konstan tahun 2000, maka dari hasil simulasi nilai PDRB terlihat adanya
kenaikan PDRB kota yang pada saat ini Rp 26,979 Triliun maka pada tahun
simulasi (2034) berubah menjadi Rp. 86,25 Triliun.
Dalam variabel pendapat per kapita pengembangan Pusat Primer
Gedebage memberikan sumbangan yang positif terhadap peningkatan pendapatan
per kapita Kota Bandung. Hal ini dapat terlihat tercapainya target pendapatan per
kapita sesuai dengan target pembangunan jangka menengah Kota Bandung hingga
108
tahun 2013 salah satu diantaranya dengan mengambil contoh pada tahun 2012
dalam data simulasi menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 16,84
juta per tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 15,1 juta
per tahun. Demikian pula pada tahun 2013 sesuai dengan data simulasi
menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 17,2 juta per tahun
melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 16 juta per tahun.
Sedangkan dalam aspek RTH pengembangan Pusat Primer Gedebage
akan menekan luas RTH dari 8,7 persen saat ini menjadi 5,21 persen pada akhir
tahun 2034. Kondisi RTH seperti ini sesungggunya tidak relevan dengan target
Pemerintah Kota dalam pencapaian luas RTH dalam target jangka pendek (2013)
yang sudah mentargetkan pencapaian luas RTH kota 16 persen, tetapi dalam
simulasi pada tahun 2013 RTH kota hanya mencapai 8.14 persen (masih rendah
dari luas RTH 2010 yang memiliki proporsi 11,06%).
Skenario Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage yang
direncanakan berdasarkan beberapa asumsi kondisi yang diharapkan dalam model,
yaitu dengan memperhitungkan investasi yang masuk ke kawasan Pusat Primer
Gedebage. Adapun skenario dalam model Pengembangan Pusat Primer Gedebage,
yaitu : (1) Skenario 1, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan
sesuai dengan investasi saat ini, yaitu sebesar Rp. 500,85 Milyar dengan hasil
nilai PDRB Rp. 86,250 Triliun dan pendapatan per kapita Rp. 20,75 juta dan (2)
Skenario 2, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai dengan
investasi yang direncanakan sebesar Rp. 11,945 Triliun dengan hasil nilai PDRB
Rp.146,875 Triliun dan pendapatan per kapita Rp. 34,10 juta per tahun
6.2 Saran
Perlu percepatan akselerasi pembangunan kawasan Pusat Primer
Gedebage dengan melakukan sosialisasi yang lebih aktif ke masyarakat kawasan
agar mendapat dukungan maksimal dari masyarakat. Oleh karena itu penelitian
selanjutnya tentang kawasan Pusat Primer Gedebage dengan pendekatan sistem
dinamis perlu memperhatikan input sosial masyarakat agar hasil simulasi lebih
mendekati kenyataan karena saat ini kendala dalam realisasi pembangunan
109
kawasan Pusat Primer Gedebage adalah sikap penerimaan masyarakat terhadap
pembangunan kawasan ini yang belum sepenuhnya mendukung.
110
DAFTAR PUSTAKA
Agusniar A. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Perekonomian
Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat. Tesis Pascasarjana IPB, Bogor.
Ambardi, U.M. dan S. Prihawantoro. 2002. Pengembangan Wilayah dan Otonomi
Daerah. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan
Wilayah, Jakarta.
Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan
Keluarga Pahlawan Negara, Yogyakarta.
Azis, I.J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.
Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2007. Kota Bandung Dalam Angka 2007. Badan Pusat
Statistik, Bandung.
Badan Pusat Statistik. Kota Bandung Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik
Kota Bandung.
Bambang Juanda. 2009. Metode Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis, IPB Press.
Blanchard, O. 2006. Macroeconomics. 4th
edition. Prentice-Hall, New Jersey
Capello, Roberta. 2007, Regional Economics, Routledge, New York.
Dewi Kurniasih. 2005. Model Skala Prioritas Pembangunan Kota Bandung
Berbasis Good Governance, Makara, Sosial Humaniora, VOL. 9, NO. 2,
Desember.
Dinas Kesehatan Kota Bandung, Profile Kesehatan Kota Bandung 2009
Dornbusch, R., S.Fischer, and R.Startz. 2004. Macroeconomics, 9th ed., McGraw-
Hill, Boston.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Eriyatno, 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen,
IPB Press, Bogor.
Ernan, R., et., al, 2007. Perencanaan Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Forrester, 1961. The Industrial Dynamics, The MIT-John Wiley & Sons. Inc.,
New York.
111
Forrester, 2003. Economic Theory for the New Millennium, International System
Dynamics Conference, New York.
Forum Kajian Kebijakan Spasial Kehutanan P4W, 2006. Kajian Model Dinamik
Penataan Ruang Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Bogor.
Hadi, Setia. 2006. Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau dan Perencanaan
Kehutanan Berbasis Penataan Ruang, Departemen Kehutanan
Badan Planologi Kehutanan Pusat Rencana dan Statistik
Kehutanan, Bogor.
Hendra, Esmara. 1995. Perencanaan Pembangunan. PAU Ekonomi UI, Jakarta.
Hirschman, A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale University
Press, New York.
Isard, W., I.J. Azis, M.P. Drennan, R.E. Miller, S. Saltzman and E. Thorbecke.
1998. Methods of Interregional and Regional Analysis. Ashgate
Publishing Company, Brookfield Vermont.
Jhingan, M.L. 1988. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan C.V.
Radjawali, Jakarta.
Laporan Penelitian Pusat Mitigasi Bencana ITB, 2006.
LPM-UNPAD, 2002, Kajian Sosial Pengembangan Wilayah Gedebage, Bandung.
Maman Hilman, 2004, Perkembangan Lokasi Perumahan Di Wilayah Gedebage
Kota Bandung Akibat Pemekaran Kota, Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 32, No.
2, Desember.
Mangiri, K. 2000. Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom.
Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Mankiw N. Gregory, David Romer dan David N. Weil. 1990. A Contribution To
The Empirics of Economic Growth, Paper National Bureau of
Economic Research.
Nazara, S. 1997. Analisis Input-Output. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Perda No, 26 tahun 2006 tentang RTRW Kota Bandung 2013.
Richardson, 1999, Reflection for the Future of System Dinamics, Jurnal of the
operational Research Society.
112
Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Supriatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta.
Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Analisis
Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tasrif, et. al., tt, Group Model Building Intervention in Developing Country :
Lesson Learned from Developing Strategies for Clen Air. Paper, tt
Todaro, M.P. 1991. Economic Development in the Third World. Longman, New
York.
Tofik Hidayat, Subagyo dan Anna Maria Sri Asih , 2008, Model Penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan pendekatan Sistem Dinamik.
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VIII Program Studi
MMT-ITS, Surabaya.
Yulia Asyiawati, 2002, Pendekatan Sistem Dinamik Dalam Penataan Ruang
Wilyah Pesisir. Tesis Pascasarjana IPB, Bogor.
Recommended