58
DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis PADA SAPI PERAH DI KABUPATEN BANDUNG DAN BANYUMAS RAHMAT SETYA ADJI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis PADA

SAPI PERAH DI KABUPATEN BANDUNG DAN BANYUMAS

RAHMAT SETYA ADJI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

Page 2: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Deteksi

Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan

dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2008

Rahmat Setya Adji

NRP. B151060081

Page 3: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

ABSTRACT RAHMAT SETYA ADJI. Detection of Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis in Dairy Cattle in Bandung and Banyumas Regency. Under direction of FACHRIYAN H. PASARIBU and LILY NATALIA

Paratuberculosis or Johne’s Disease is a granulomatous enteritis chronic disease of domestic and wild ruminants caused by infection with Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis. The disease commonly infects dairy cattle with clinical signs of chronic diarrhoea, decreased body weight, low milk production, oedema, anemia and occasionally infertility. The aim of this research is to study M. paratuberculosis infection in dairy cattle. One hundred eigthy four samples of serum and faeces were taken from dairy cattle in Bandung and Banyumas regency. Three diagnostic methods used in this study were serological test by Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), culture and Polymerase Chain Reaction (PCR) IS900 and F57 as confirmation test. Results of serological test showed 8 positives for paratuberculosis out of 184 samples. PCR test from all faecal sample showed negative results. Twelve culture isolates were grown in Herrold’s Egg Yolk Medium (HEYM) with mycobactin J for 24 weeks incubation period, but only 2 isolates were confirmed M. paratuberculosis by PCR IS900 and F57. These data revealed that M. paratuberculosis have infected dairy cattle in Bandung and Banyumas regency with 2 % of prevalence. Key words : Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis, dairy cattle, ELISA,

PCR

Page 4: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

RINGKASAN RAHMAT SETYA ADJI. Deteksi Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis Pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas. Dibimbing oleh FACHRIYAN H. PASARIBU dan LILY NATALIA

Paratuberkulosis atau lebih dikenal dengan Johne’s Disease merupakan penyakit enteritis granuloma kronik yang terutama menyerang hewan ruminansia baik domestik maupun liar dan juga merupakan penyakit zoonosis potensial. Penyakit ini lebih sering menginfeksi sapi perah dengan klinis berupa berupa diare, penurunan berat badan dan produksi susu, oedema, anemia dan dapat menyebabkan kemandulan sehingga sangat merugikan secara ekonomi. Penyebab Johne’s Disease adalah Mycobacterium paratuberculosis yang termasuk dalam kelompok Mycobacterium avium complex. Bakteri ini berbentuk batang, non motil, Gram positif, merupakan bakteri tahan asam dan sangat tergantung dengan mycobactin untuk pertumbuhannya. Di beberapa negara seperti Australia dan New Zealand prevalensi penyakit ini pada kelompok sapi perah relatif cukup tinggi, yaitu 17 % dan 22 %. Indonesia pernah mengimpor bibit sapi dari negara tersebut untuk pengembangan peternakan, baik sapi perah ataupun sapi potong, hal ini memungkinan penyakit tersebut terbawa masuk ke Indonesia dan menginfeksi hewan terutama sapi perah karena masa inkubasi penyakit yang sangat lama (2-4 tahun), yaitu sejak hewan masih muda (umur 0-6 bulan) dan penyakit akan muncul setelah umur 2 tahun ke atas karena bersifat kronis. Paratuberkulosis pada hewan terutama sapi perah di Indonesia, masih belum banyak diteliti, sehingga data – data tentang penyakit ini masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi tentang infeksi M. paratuberkulosis pada sapi perah baik secara serologi dengan teknik ELISA, deteksi material genetik bakteri dengan PCR maupun secara kultur.

Metode dalam penelitian ini meliputi pengambilan sampel serum dan feses sapi perah dari Kabupaten Bandung (Lembang dan Pangalengan) dan Banyumas (Baturaden) sebanyak 184 sampel. Pengambilan sampel tersebut menggunakan winepiscope 2.0 sofware dengan asumsi prevalensi 2 % dan tingkat kepercayaan 95 %, artinya prevalensi akan terpenuhi jika minimal ada 1 yang positif paratuberculosis dari jumlah sampel tersebut. Selanjutnya sampel tersebut diuji dengan berbagai teknik, meliputi uji serologi dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) menggunakan ruminants serum paratuberculosis confirmation kit (LSI, Perancis), sedangkan sampel feses dikultur dengan menggunakan Herrod’s Egg Yolk Medium Agar (HEYM) dengan dan tanpa ditambah mycobactin J. Sampel feses tersebut juga diuji langsung dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi material genetik M. paratuberculosis yang mungkin ada dalam sampel tersebut. Isolat yang tumbuh pada HEYM juga diuji menggunakan PCR untuk

Page 5: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

konfirmasi hasil. Isolat acuan yang digunakan adalah M. paratuberculosis (A6/ Jerman dan ATCC 19698) dan M. avium (B6/Jerman). Primers yang digunakan untuk PCR adalah IS900 (TJ1-TJ2) dan F57.

Hasil uji serologi menunjukkah ada 8 sampel yang positif paratuberkulosis dari 184 sampel, yaitu 2 dari Kabupaten Bandung dan 6 dari Kabupaten Banyumas. Intepretasi hasil ELISA ini menggunakan % E/P, yaitu jika % E/P di bawah 40 adalah negatif dan jika sama dengan atau lebih besar dari 40 adalah positif. Hasil PCR dengan sampel feses semuanya negatif, sedangkan hasil kultur menunjukkan ada 12 isolat yang tumbuh pada media HEYM, tetapi hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis setelah dikonfirmasi dengan PCR IS900 dan F57.

Data di atas memperlihatkan bahwa ada 8 sampel yang positif secara serologi dan hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis. Hal ini karena respon imun humoral (antibodi) terhadap paratuberkulosis dapat dideteksi 6 bulan pasca infeksi tanpa diikuti dengan adanya bakteri yang dikeluarkan melalui feses, disamping itu mungkin juga karena jumlah bakteri yang dikeluarkan melalui feses belum cukup banyak, sehingga hasil isolasinya negatif. Hasil positif secara serologi mungkin juga karena adanya reaksi silang dengan infeksi M. avium dan M. intraseluler sehingga menimbulkan positif palsu. Metode uji ini sering digunakan dan direkomendasikan untuk program screening dan kontrol paratuberkulosis karena biaya lebih murah dan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kultur maupun PCR, tetapi untuk menentukan status infeksi harus diikuti dengan uji lain berupa faecal culture dan PCR. Uji serologi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas ELISA terhadap kultur 25 % dengan tingkat spesifitas 96,8 %.

Isolasi dan identifikasi bakteri dengan metode kultur dari sampel feses merupakan gold standard uji. Metode ini relatif lebih mahal dan lama (12 – 24 minggu) dibandingkan dengan ELISA dan PCR , tetapi cara ini masih sebagai acuan dalam pengujian dan direkomendasikan untuk penentuan status infeksi suatu peternakan dan program eradikasi. Hasil kultur dari sampel feses memperlihatkan adanya beberapa bakteri tahan asam yang tumbuh pada media HEYM dengan mycobactin J (12 isolat) tetapi setelah dikonfirmasi dengan PCR hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis. Inkubasi dari dua isolat tersebut memerlukan waktu yang sangat lama yaitu masing – masing 19 minggu dan 22 minggu. Data di atas menunjukkan bahwa mycobateria yang ada di lingkungan terutama dalam feses dapat tumbuh pada media tersebut, sehingga dapat menggangu pertumbuhan M. paratuberculosis yang waktu inkubasinya sangat lama (lebih lama daripada jenis mycobacteria lain). Disamping itu juga ada kontaminasi dari jamur ataupun bakteri lain yang ada di feses sehingga sangat menganggu dan berpengaruh pada kemampuan tumbuhnya. Pada beberapa kasus terutama awal kejadian penyakit ataupun kasus subklinis, shedding bakteri melalui feses sering tidak teratur dengan jumlah bakteri yang sangat sedikit serta prosesing sampel yang bertahap, mungkin menyebabkan bakteri akan kehilangan kemampuan tumbuhnya.

Metode diagnosis dengan PCR pada umumnya menggunakan primers IS900, tetapi beberapa peneliti melaporkan masih ada reaksi silang dengan Mycobacterium

Page 6: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

avium complex, sehingga pada penelitian ini digunakan primers IS900 dengan urutan basa yang berbeda yaitu TJ1-TJ2. Uji dengan menggunakan primers ini dilaporkan tidak menunjukkan reaksi silang dengan Mycobacterium avium complex Disamping menggunakan primers IS900 juga digunakan primers F57 untuk memastikan hasil yang didapat dengan primers sebelumnya. Primers F57 dilaporkan mempunyai spesifitas dan sensitifitas yang tinggi, karena mampu mendeteksi sampai 1 cfu, sehingga PCR dengan dua primers ini sangat direkomendasikan untuk meningkatkan validitas uji. Teknik ini dapat langsung digunakan untuk sampel feses ataupun susu dan cukup baik untuk konfirmasi terhadap kultur. Hasil PCR sampel feses semuanya negatif, tetapi ada 2 yang positif dari sampel kultur. Hal ini kemungkinan karena jumlah bakteri yang ada dalam sampel sangat sedikit, karena paratuberculosis dapat dideteksi dengan PCR langsung dari feses jika kandungan bakteri dalam sampel tersebut minimal 102 cfu/g. Disamping itu ekstraksi DNA terhadap kuman ini sangat sulit karena mempunyai struktur dinding yang komplek, dan mengandung zat lilin sehingga sangat sulit untuk dilysiskan. Hal ini dapat menyebabkan konsentrasi DNA yang didapat kemungkinan juga rendah dan akan mempengaruhi dalam hasil PCR.

Hasil PCR terhadap isolat yang tumbuh (12 isolat) menunjukkan hasil 2 positif M. paratuberculosis baik itu menggunakan primers IS900 ataupun F57. Hal ini karena uji PCR terhadap isolat untuk uji konfirmasi cukup bagus dan akurat , yaitu untuk IS900 dapat mendeteksi bakteri kurang dari 20 cfu dan dengan F57 mampu mendeteksi 1 cfu. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa telah terjadi infeksi M. paratuberkulosis pada sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas. Prevalensi penyakit tersebut berkisar 2%, karena dari 184 sampel yang diambil ada 2 yang positif paratuberkulosis.

Kata – kata kunci : Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis, sapi perah, ELISA, PCR

Page 7: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang – Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 8: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis PADA

SAPI PERAH DI KABUPATEN BANDUNG DAN BANYUMAS

RAHMAT SETYA ADJI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

Page 9: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Deteksi Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis Pada

Sapi Perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas

Nama : Rahmat Setya Adji

NRP : B 151060081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu drh. Lily Natalia, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sains Veteriner

Dr. drh. Bambang Pontjo P., MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 10 September 2008 Tanggal Lulus : 15 September 2008

Page 10: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayah-Nya sehingga tesis berhasil diselesaikan dengan baik. Penelitian

dilaksanakan dari Bulan Januari 2008 sampai dengan Juli 2008 dengan judul Deteksi

Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis Pada Sapi Perah Di Kabupaten

Bandung dan Banyumas.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan H.

Pasaribu dan Ibu drh. Lily Natalia, MS selaku pembimbing yang telah banyak

memberikan arahan dan saran dalam penelitian dan penulisan tesis. Ucapan terima

kasih juga saya sampaikan kepada Dr. drh. Bambang Pontjo P., MS. selaku ketua

program studi Sains Veteriner. Disamping itu, ucapan terima kasih juga saya

sampaikan kepada drh. Widagdo, M.Si. yang telah banyak membantu dengan

memberikan isolat M. paratuberculosis (A6/German) dan M. avium (B6/German)

yang digunakan sebagai isolat acuan dalam penelitian. Penghargaan dan ungkapan

terima kasih juga disampaikan kepada ibu, istri dan anak tercinta atas doa dan kasih

sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2008

Rahmat Setya Adji

Page 11: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 26 Oktober 1974 dari Ayah

W. Sadji dan Ibu Siti Umilah. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas

Kedokteran Hewan UGM, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2006, penulis mendapat

kesempatan untuk melanjutkan program magister di Program Studi Sains Veteriner

pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf peneliti di bagian Bakteriologi, Balai Besar

Penelitian Veteriner, Bogor sejak tahun 2001.

Page 12: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv

PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

Latar Belakang .................................................................................... 1

Tujuan Penelitian ................................................................................ 3

Hipotesis ............................................................................................. 3

Manfaat Penelitian ….………………………………………………. 3

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………. 4

Paratuberkulosis (Johne’s Disease) ...………………………………. 4

Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) …….………………. 11

Polymerase Chain Reaction (PCR) ...………………………………. 12

BAHAN DAN METODE ......………………………………………………. 14

Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 14

Metode Penelitian ............................................................................... 14

Analisis Data ..………………………………………………………. 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 20

KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 32

Kesimpulan .......................................................................................... 32

Saran .................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 33

LAMPIRAN ..................................................................................................... 40

Page 13: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Daftar antibiotik yang peka terhadap M. paratuberculosis ................... 10

2. Intepretasi hasil ELISA .......................................................................... 15

3. Hasil uji serologi, kultur dan PCR terhadap paratuberkulosis ............... 20

Page 14: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur mycobactin ............................................................................... 6

2. Respon imun humoral dan shedding bakteri .......................................... 23

3. Morfologi koloni M. paratuberculosis pada HEYM .............................. 25

4. Mikroskopik M. paratuberculosis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen .... 25

5. Hasil PCR IS900 (TJ1-TJ2) sampel feses …..…………........................ 27

6. Hasil PCR F57 sampel feses ...………………………………………… 28

7. Hasil PCR IS900 (TJ1-TJ2) isolat ......………………………………… 29

8. Hasil PCR F57 isolat ..………………………………………………… 30

Page 15: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Gambar patologi anatomi usus besar kasus paratuberkulosis koleksi

LPPH 1958 (sekarang BBalitvet) ......................................................... 40

2. Gambar hasil ELISA paratuberkulosis ................................................ 40

3. Gambaran mikroskopik acid fast bacteria (AFB) dari

feses yang positif (isolat Baturaden) .................................................... 41

4. Gambaran mikroskopik acid fast bacteria (AFB) dari

feses yang positif (isolat Lembang) .................................................... 41

5. Gambar hasil PCR feses IS900 sampel no. 23-43 (1-21) …………... 42

6. Gambar hasil PCR feses F57 sampel no. 23-43 (1-21) .…….............. 42

7. Gambar kit ELISA (ruminants serum t paratuberculosis

confirmation kit) .................................................................................. 43

8. Gambar kit ekstraksi DNA dari feses (QIAmp stool mini kit) ............. 43

Page 16: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi perah merupakan salah satu ternak yang relatif banyak dipelihara untuk

memproduksi susu. Populasi sapi perah di Indonesia sampai saat ini sebanyak

± 377.772 ekor. Sapi perah yang ada di Indonesia sebagian besar berjenis Friesian

Holstein (FH) dan diimpor dari luar negeri, terutama dari Eropa, Australia dan New

Zealand (Ditjennak 2007). Minum susu masih belum membudaya pada masyarakat di

Indonesia, tetapi akhir – akhir ini ada kecenderungan peningkatan minat untuk

mengkonsumsi susu. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya taraf pendidikan dan

kesadaran akan kebutuhan protein dan gizi bagi pertumbuhan dan kecerdasan terutama

bagi anak – anak. Adanya peningkatan kesadaran akan konsumsi susu ini tidak

diimbangi dengan produksi dan ketersediaan susu secara nasional. Produksi susu dalam

negeri pada tahun 2007 sebesar ± 638.957 ton , sedangkan kebutuhan susu secara

nasional mencapai ± 2.555.273 ton. Produksi susu nasional tersebut masih belum

mampu mencukupi permintaan pasar, sehingga harus menambah kebutuhan susu

tersebut dengan mengimpor produk susu dari luar negeri sebanyak ± 1.772.200 ton

(Ditjennak 2007).

Kualitas dan keamanan susu yang dikonsumsi oleh masyarakat harus baik, hal

ini karena target utama pemasaran susu dan produk olahannya adalah anak – anak.

Kondisi ini perlu diperhatikan mengingat tatacara peternakan di Indonesia, terutama

sapi perah masih kurang higienis. Sapi perah yang dipelihara peternak rakyat

di Indonesia terkadang mengalami penurunan produksi, penurunan berat badan dan

diare yang bersifat sporadis. Kondisi ini sering dianggap sebagai hal yang biasa,

sehingga kurang menjadi perhatian peternak. Kondisi ini kemungkinan dapat terjadi

karena infeksi bakteri Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis

(M. paratuberculosis), dan salah satu gejala klinik dari penyakit ini adalah diare, kurus

dan terjadinya penuruan produksi (OIE 2004).

Page 17: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

2

Paratuberkulosis atau lebih dikenal Johne’s Disease (JD) merupakan penyakit

enteritis granuloma kronik yang terutama menyerang pada ternak ruminansia. Penyakit

ini disebabkan oleh bakteri M. paratuberculosis. Gejala klinis penyakit pada ternak

ruminasia bersifat enteritis kronis dengan gejala-gejala, antara lain : diare, penurunan

berat badan pada kondisi penyakit yang progresif, penurunan produksi susu sapi

sehingga sangat merugikan secara ekonomi (Bannantine et al. 2003; OIE 2004).

Penyakit ini bersifat zoonosis potensial, karena bakteri M. paratuberculosis dilaporkan

juga dapat menginfeksi manusia dan lebih dikenal dengan sebutan Crohn’s Disease

(CD). Hal ini dapat mengancam kesehatan manusia dan merugikan bagi masyarakat.

Paparan penyakit ini pada manusia umumnya pada umur 15 – 24 tahun dan terkadang

pada keluarga dengan kualitas higiene yang baik (Anonim 2000; Grant et al. 2002).

Paratuberkulosis banyak dilaporkan terjadi di berbagai belahan dunia baik

negara maju, seperti: Australia, New Zealand, Belanda, Jerman, Denmark, Inggris,

Austria, Amerika Serikat ataupun negara sedang berkembang. Prevalensi penyakit ini

sangat beragam di antara negara – negara tersebut. Di Australia dilaporkan bahwa ada

1 negara bagian yang merupakan endemik paratuberkulosis dengan prevalensi penyakit

kurang lebih 14 - 17%, sedangkan di New Zealand prevalensinya mencapai 60%.

Di Amerika Serikat prevalensi penyakit ini berkisar antara 10 – 22% dan kerugian

ekonomi akibat paratuberkulosis ini diperkirakan dapat mencapai US $ 1,5 milyard per

tahun (Floron et al. 1999; Harris & Barletta 2001). Dalam pengembangan peternakan

di Indonesia, pernah diimpor bibit ternak sapi dari negara-negara tersebut di atas

terutama dari Australia dan New Zealand. Hal tersebut memungkinkan penyakit

paratuberkulosis terbawa masuk bersama ternak impor, karena masa inkubasi penyakit

tersebut sangat lama, yaitu sejak hewan masih menyusu induknya dan baru muncul

setelah ternak tersebut dewasa, jadi penyakit ini bersifat kronis

(Harris & Barletta 2001). Penyakit paratuberkulosis pada hewan terutama sapi perah

dan penyakit Croh’n Disease pada manusia di Indonesia, masih belum banyak diteliti,

sehingga data – data tentang penyakit ini masih sangat terbatas.

Pengendalian terhadap penyakit paratuberkulosis didasarkan pada identifikasi

hewan terinfeksi dan melakukan pengafkiran pada ternak tersebut. Teknik deteksi dan

Page 18: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

3

diagnosa terhadap penyakit ini dilakukan terutama dengan metode bakterioskopi

(mikroskopik), kultur, Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Polymerase

Chain Reaction (PCR). Deteksi keberadaan penyakit ini di Indonesia secara pasti dan

akurat dengan berbagai teknik terutama pada sapi perah sangat perlu dilakukan.

Informasi ini sangat penting dalam rangka pengendalian penyakit dan menjamin

kesehatan masyarakat. Hal inilah yang mendasari untuk melakukan penelitian studi

tentang infeksi M. paratuberkulosis pada sapi perah baik secara serologi dengan teknik

ELISA, deteksi material genetik bakteri dengan PCR maupun secara kultur.

Tujuan Penelitian

Untuk melakukan studi tentang infeksi M. paratuberculosis pada sapi perah di

Kabupaten Bandung dan Banyumas secara serologi, kultur dan PCR

Hipotesis

Penyakit paratuberkulosis telah ada dan menginfeksi sapi perah di Kabupaten

Bandung dan Banyumas.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi gambaran data yang pasti dan akurat tentang

keberadaan penyakit paratuberkulosis pada sapi perah, sehingga dapat digunakan

sebagai dasar dalam pengendalian penyakit, peningkatan kesehatan dan higiene susu

dalam menjamin kesehatan masyarakat.

Page 19: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Paratuberkulosis (Johne’s Disease)

1.1 Sejarah Penyakit

M. paratuberculosis pertama kali ditemukan di Jerman oleh H.A. Johne dan

L. Frothingham pada tahun 1894. Mereka dapat menemukan bakteri tahan asam dan

mengisolasinya dari jaringan usus sapi perah yang dapat menyebabkan bentuk atypical

tuberculosis dan mereka menamakan “pseudotuberculous enteritis”. Pada tahun 1910,

bakteri tersebut diberi nama Mycobacterium enteritidis chronicae pseudotuberculosis

bovis johne. Pada perkembangan selanjutnya bakteri tersebut dikelompokkan dalam

Mycobacterium avium complex, dengan nama Mycobacterium avium subspecies

paratuberculosis, sedangkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini dikenal dengan

nama paratuberkulosis atau Johne’s Disease (Harris & Barletta 2001; Anonim 2000;

Griffiths 2003).

Infeksi M. paratuberculosis pada manusia pertama kali diketahui pada tahun

1913 oleh Dlazil di daerah Western Infirmay, Glasgow. Pada awalnya penyakit ini

dikenal hanya terjadi di daerah ileum, tetapi pada tahun 1960 Lockart-Mumnery dan

Marson mengidentifikasi adanya radang pada kolon dan membentuk granuloma, karena

daerah terinfeksi dan radang lebih banyak terjadi pada usus besar, maka sering juga

disebut chronic inflammatory bowels disease (IBD). Saat ini penyakit pada manusia

yang disebabkan oleh bakteri tersebut diatas lebih dikenal dengan sebutan Crohn’s

Disease (Anonim 2000; OIE 2004).

Kejadian paratuberkulosis di Indonesia pernah dilaporkan oleh Lembaga Pusat

Penyakit Hewan (sekarang BBalitvet) pada tahun 1958. Penyakit ini terjadi pada sapi

perah di Bogor dengan gambaran patologi anatomi berupa granuloma pada usus besar

dan usus halus. Sedangkan dari hasil uji serologi (ELISA), paratuberkulosis juga pernah

dilaporkan terjadi di Medan tahun 1998 ( 1 ekor), di Lembang tahun 2004 (3 ekor) dan

di Baturaden pada tahun 2005 (2 ekor) dan 2007 (6 ekor). Hasil kultur positif isolat

Page 20: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

5

M. paratuberkulosis sampai saat ini belum pernah dilaporkan, sehingga data untuk

menentukan status infeksi paratuberkulois pada sapi perah belum lengkap. Karena itu ,

Indonesia masih dianggap bebas dari penyakit ini.

1.2 Etiologi dan Ekologi

Paratuberkulosis atau Johne’s Disease merupakan penyakit infeksius yang

terutama dapat menyerang hewan ruminansia baik domestik maupun liar dengan

manifestasi klinis berupa enteritis granuloma kronik, terutama pada ileum dan sekum.

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri M. paratuberculosis (Harris & Barletta 2001;

Quinn et al. 2006).

M. paratuberculosis termasuk bakteri dalam keluarga Mycobacteriaceae dan

selanjutnya dikelompokkan dalam kelompok Mycobacterium avium complex, dimana

anggota dari jenis ini adalah M. avium, M. paratuberculosis dan M. silvicatum

(Harris & Barletta 2001; Collins 2003). M. paratuberculosis dapat ditemukan di alam,

merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang dengan ukuran 0,2 – 0,7 x

1,0 – 2 µm, non motil, merupakan bakteri tahan asam, suhu pertumbuhannya antara

25 – 43 oC dan optimal pada 39 oC (Griffiths 2003; Quinn et al. 2006), waktu

tumbuhnya 4 – 24 minggu (Yokomizo 1997; OIE 2004; Quinn et al. 2006) dan mampu

tumbuh pada konsentrasi garam kurang dari 5% pada pH 5,5 (Griffiths 2003). Bakteri

ini sangat tergantung dengan senyawa mycobactin untuk pertumbuhannya secara in

vitro, karena M. paratuberculosis tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesis

senyawa ini dalam jumlah yang cukup.

Mycobactin merupakan senyawa yang dihasilkan oleh Mycobacteriaceae

terutama Mycobacterium phlei yang mempunyai fungsi sebagai pengikat dan atau untuk

transpor besi ke dalam sel. Zat besi sangat diperlukan dalam metabolisme bakteri ini

dan pemenuhan zat ini diperoleh dari lingkungannya. Masuknya zat besi ke dalam sel

membutuhkan senyawa pengikat besi (iron-binding compound) yang diproduksi oleh

bakteri itu sendiri atau oleh bakteri lainnya. Ketidakmampuan M. paratuberculosis

untuk mensintesis mycobactin dalam jumlah yang cukup, menyebabkan bakteri ini

sangat tergantung dengan senyawa ini dalam pertumbuhannya secara in vitro. Hal ini

Page 21: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

6

dapat digunakan sebagai dasar untuk membedakan M. paratuberculosis dengan bakteri

dari golongan Mycobacteriaceae lainnya (Collins & Manning 2004).

Gambar 1. Struktur Mycobatin

Bentuk, ukuran dan tekstur koloni M. paratuberculosis sangat tergantung pada

media yang digunakan untuk pertumbuhannya secara in vitro. Pada Herrold Egg Yolk

Medium Agar (HEYM) dengan mycobactin J, koloni bakteri ini kecil, permukaan halus

sampai dengan agak kasar dan berwarna agak putih sampai dengan kuning. Koloni yang

berwarna kuning dilaporkan merupakan galur M. paratuberculosis yang ditemukan

pada domba. Pada media Middlebrook Agar tanpa tween 80, bentuk koloni sangat kasar

di permukaannya dan mirip dengan bentuk koloni M. tuberculosis, sedangkan pada

media tersebut di atas yang ditambah dengan tween 80, koloni akan berkembang dan

mempunyai bentuk halus dan cembung mirip dengan koloni M. avium (Yokomizo 1997;

Collins & Manning 2004)

M. paratuberculosis bukan merupakan bakteri yang dapat tumbuh dan

berkembang di lingkungan (free-living), hal ini karena bakteri ini tidak mempunyai

kemampuan menghasilkan mycobactin yang cukup untuk pertumbuhannya.

Mikroorganisme ini hanya dapat tumbuh dan bermultiplikasi di dalam sel, tempat

bakteri ini dapat mengambil zat besi dari sel inang (makrofag), sehingga bakteri ini

dikatagorikan sebagai obligat patogen (Harris & Barletta 2001;

Collins & Manning 2004). M. paratuberculosis dapat bertahan hidup di air, feses, tanah

dan lumpur kandang dalam waktu yang relatif lama (± 250 hari), tergantung dari

kondisi lingkungannya tersebut (Whittington et al. 2004; Whan et al. 2005;

Grewal et al. 2006). Kemampuan hidup bakteri ini akan lebih pendek jika kondisinya

Page 22: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

7

kering (suhu tinggi), terkena sinar matahari secara langsung, pH tinggi dan rendahnya

kadar zat besi (Collins & Manning 2004).

Bakteri tersebut diatas dapat menginfeksi hewan ruminansia baik domestik

maupun liar, antara lain : sapi, kambing, domba, rusa, unta, antelope dan bison.

Paratuberkulosis juga dapat ditemukan pada hewan nonruminansia (kuda, babi, ayam,

kelinci, srigala), primata dan juga manusia (Whittington et al. 2000;

Buergelt et al. 2000; Harris & Barletta 2001).

1.3 Patogenesis

M. paratuberculosis merupakan salah atau bakteri yang tahan terhadap

fagositosis makrofag dan juga mampu tumbuh dan berkembang didalamnya

(Bannantine et al. 2003; Griffiths 2003). Secara umum, bakteri ini tahan terhadap

makrofag karena mempunyai beberapa komponen, yaitu : (1) struktur dinding sel dari

bakteri ini yang tersusun oleh lapisan zat lilin tebal yang merupakan campuran dari lipid

dan polisakarida dan (2) faktor yang dihasilkan oleh M. paratuberculosis yang dapat

menetralisasi komponen kimia yang dihasilkan didalam makrofag

(Gyles & Thoen 1993; Collins 2003).

Secara alami penyakit terjadi apabila bakteri M. paratuberculosis yang

mengkontaminasi lingkungan (air, pakan, susu dan padang rumput / pengembalaan)

tertelan masuk ke dalam tubuh. Beberapa minggu kemudian bakteri ini akan mengalami

germinasi, multiplikasi dan kolonisasi pada diding usus halus. Lesi awal akan terjadi

pada dinding usus halus dan berlanjut pada limfo nodul mesenterika. Penyakit ini akan

berkembang dengan terjadinya kerusakan pada ileum, jejunum, ujung dari usus halus,

sekum, kolon dan pada limfo nodul mesenterika, hal inilah yang akan menyebabkan

terjadinya protein malabsorbtion syndrome, sehingga akan terjadi defisiensi protein.

(OIE 2004; Wu et al. 2007). Masa inkubasi penyakit pada umumnya terjadi antara

2 sampai 4 tahun. Kejadian penyakit bisa bersifat klinis maupun subklinis, sedangkan

gejala klinis yang timbul akibat penyakit ini pada umumnya terjadi pada sapi yang

mulai dewasa antara lain diare, penurunan berat badan dan produksi susu, anemia,

oedema dan dapat menyebabkan kemandulan (Collins & Manning 2004;

Page 23: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

8

Vansnick et al. 2004). Pada sapi perah, awal gejala klinis dapat muncul pada umur

2 tahun, paling lambat umur 12 tahun dan paling sering muncul pada umur 5 tahun,

atau secara umum pada masa laktasi ke-2, ke-3 atau ke-4 (Collins & Manning 2004;

Wu et al. 2007). Kejadian pre-klinis atau sub-klinis ditandai dengan belum adanya

gejala klinis yang muncul, walaupun sebenarnya sapi tersebut terinfeksi. Fase ini dapat

terjadi antara 1 sampai dengan 10 tahun (Collins & Manning 2004).

1.4 Penularan Penyakit

Johne’s Disease dilaporkan terjadi di semua belahan dunia, yaitu dari benua

Amerika, Eropa, Afrika, Asia dan Australia. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sapi

perah dibandingkan dengan hewan ruminansia yang lain, sedangkan pada ruminansia

kecil di beberapa negara lebih sering terjadi pada kambing dan domba (Collins &

Manning 2004). Pada kelompok sapi perah, prevalensi penyakit ini di Amerika

dilaporkan mecapai 22%, Australia (Victoria) mencapai 14 – 17%, New Zealand 60%,

Belanda 55%, Austria 7%, Belgia 22%, Inggris 17%, Denmark 47% dan Jerman

mencapai 10 – 30% (Collins & Manning 2004).

Tempat infeksi dari bakteri M. paratuberculosis adalah usus (ileum-sekum),

sehingga hewan yang terinfeksi akan mengeluarkan bakteri ini melalui feses. Di dalam

kotoran terutama yang cair, mikroorganisme ini dapat bertahan hidup dalam jangka

waktu yang relatif lama tergantung dengan kondisi lingkungan. Pakan dan air yang

tercemar oleh kotoran ini merupakan sumber infeksi bagi ternak yang lain, terutama

ternak – ternak yang masih muda (Michel et al. 2005; Collins & Manning 2004). Susu

dari induk yang terinfeksi merupakan sumber infeksi yang kedua, tempat

M. paratuberculosis akan semakin banyak disekresikan seiring dengan tingkat

keparahan penyakit atau dapat juga melalui puting yang tercemar feses yang

mengandung bakteri ini, sehingga ternak yang menyusu akan terinfeksi

(Ebert et al. 2000; Lombard et al. 2006). Padang pengembalaan atau padang rumput

juga bisa tercemar dan dapat sebagai sumber infeksi, hal ini bisa terjadi jika dialiri

dengan air yang telah tercampur dan terkontaminasi oleh feses hewan terinfeksi

(Collins & Manning 2004).

Page 24: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

9

Penularan penyakit paratuberkulosis pada umumnya bersifat horisontal, yaitu

dari hewan terinfeksi (umumnya hewan dewasa) ke hewan lainnya (umumnya hewan

muda) melaui susu, air atau pakan yang tercemar oleh bakteri M. paratuberculosis ,

dengan estimasi dosis infeksi 103 cfu/hewan (Collins 2003; Wu et al. 2007). Ternak

dewasa (umur diatas 2 tahun) lebih resisten dibandingkan dengan ternak muda

(0 – 6 bulan), karena itu biasanya ternak terinfeksi pada waktu pedet dan penyakit akan

muncul pada umur 2 tahun ke atas, hal ini karena perjalanan penyakit bersifat kronis.

Penularan penyakit dilaporkan juga bisa bersifat vertikal melalui uterus (transuterine)

(Grant et al. 1998; Harris & Barletta 2001).

1.5 Genetik M. paratuberculosis

Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) M. paratuberculosis mempunyai kemiripan

lebih dari 90% dengan M. avium, hal inilah yang menjadikan alasan bahwa banyak

karateristik yang mirip antara kedua bakteri tersebut (Collins & Manning 2004). Secara

fenotipik, M. paratuberculosis dapat dibedakan dengan M. avium maupun dengan

mycobacteria yang lain berdasarkan ketergantungannya pada mycobactin (Harris &

Barletta 2001).

Secara genetik, M. paratuberculosis dapat dibedakan dengan M. avium

berdasarkan adanya multipel copy dari elemen short DNA, yang umumnya disebut

dengan insertion sequence (IS). IS dari M. paratuberculosis adalah IS900, M. avium

IS901 dan M. silvicatum IS902 (Collins & Manning 2004; Harris & Barletta 2001).

Homologi urutan DNA IS900 dengan IS901 hanya 60% dan untuk asam aminonya

adalah 47%, sedangkan homologi IS900 dengan IS902 pada urutan DNAnya adalah

60% dan untuk asam aminonya adalah 50% (Harris & Barletta 2001).

1.6 Diagnosis

Diagnosis penyakit paratuberkulosis pada umumnya berdasarkan pemeriksaan

laboratorium. Uji untuk penyakit ini dibedakan dalam 3 kategori, yaitu : (1) identifikasi

M. paratuberculosis, yang meliputi : nekropsi, mikroskopik, kultur, DNA probe dan

PCR (2) uji serologi, yang meliputi : Complement Fixation Test (CFT), Enzyme Linked

Page 25: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

10

Immunosorbent Assay (ELISA) dan Agar Gel Immunodiffusion Test (AGID) dan (3) uji

Cell-Mediated Immunity (CMI), yang meliputi : Gamma Interferon Assay dan Delayed

Type Hypersensitivity (OIE 2004).

1.7 Pengendalian Penyakit

Pengobatan penyakit paratuberkulosis pada sapi terinfeksi mungkin dapat

dilakukan, tetapi tidak efektif dan ekonomis (Jones 1999). Beberapa antibiotik dapat

digunakan untuk pengobatan, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama.

Pemberian antibiotik ini hanya menghilangkan gejala klinik, tetapi tidak dapat

mengeliminasi penyakit, sehingga pengobatan pada sapi akan memerlukan biaya yang

cukup tinggi (1.000 – 2.000 USD/ekor/6 bulan) dan tidak memberikan hasil yang

memuaskan (Collins & Manning 2004).

Tabel 1. Daftar antibiotik yang peka terhadap M. paratuberculosis (Collins 2003)

Golongan antibiotik Antibiotik yang diuji Hasil uji (in vitro)

Antibiotik untuk M. tuberculosis Rifampicin, Ethambutol,

Isoniazid, Pyrazinamide

Resisten

Aminoglikosida Amikacin, Peka

Ofloxacin, Ciprofloxacin Resisten Fluoroquinolon

Sparfloxacin, Peka

Macrolida Clarithromycin Peka

Vaksinasi untuk paratuberkulosis mungkin dapat dilakukan, tetapi cara ini tidak

dapat mengeliminasi penyakit dari peternakan, walaupun dapat menurunkan gejala

klinik dan mengurangi jumlah bakteri M. paratuberculosis yang dikeluarkan melalui

feses. Program ini hanya membantu dalam mengurangi kerugian ekonomi akibat

penyakit paratuberkulosis (Jones 1999).

Pengendalian penyakit paratuberkulosis dapat dilakukan pada peternakan yang

telah terinfeksi. Pada umumnya pengendalian penyakit ini membutuhkan waktu yang

relatif cukup lama, yaitu lebih dari lima tahun. Program pengendalian mungkin juga

dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat, tetapi memerlukan biaya yang

Page 26: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

11

cukup tinggi. Prosedur dasar yang perlu dilakukan untuk mengendalikan penyakit

paratuberkulosis di peternakan adalah sebagai berikut : (1) Pencegahan infeksi baru

pada pedet, dengan melakukan penanganan yang baik dan benar terhadap kotoran sapi.

Hal ini sangat penting karena jumlah M. paratuberculosis dalam feses yang

dikelurakan dari sapi terinfeksi sangat banyak. Pedet harus ditempatkan pada tempat

dan lingkungan yang kering serta terhindar dari kontaminasi feses ternak yang

terinfeksi. Selain itu, dilakukan penanganan susu pada peternakan yang telah terinfeksi,

hal ini karena banyak ternak sakit yang akan mensekresikan M. paratuberculosis

melalui susunya terutama pada kasus yang klinis. Pemberian formula susu penganti

yang bebas bakteri ini mungkin juga dilakukan atau susu yang akan diberikan pada

pedet sebaiknya dilakukan pasteurisasi terlebih dahulu. Kolostrum yang akan diberikan

pada pedet sebaiknya berasal dari sapi yang bebas paratuberkulosis (Collins &

Manning 2004; Ebert et al. 2000). (2) Identifikasi dan mengeluarkan sapi terinfeksi dari

peternakan. Prosedur ini dilakukan dengan cara uji dan afkir, melakukan desinfeksi dan

jika memungkinan melakukan vaksinasi (Collins & Manning 2004).

2. Enzyme Linked Immunosorbent Assay

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA/EIA) merupakan suatu teknik

biokimiawi yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi adanya

antibodi atau antigen yang ada dalam sampel dengan penanda berupa enzyme. Teknik

ini sekarang banyak digunakan sebagai alat untuk diagnosa pada ilmu kedokteran dan

patologi tanaman dan juga sebagai alat untuk kontrol mutu pada berbagai industri

(Harlow & Lane 1988; Kemeny & Challacombe 1989)

Pada tahun 1960 Rosalyn Sussman Yalow dan Solomon Berson

mempublikasikan teknik immunoassay dengan menggunakan zat radioaktif untuk

melabel antigen atau antibodi yang dikenal dengan Radioimmunoassay (RIA). Pada

teknik ini, zat radioaktif akan memberikan tanda yang mengindikasikan adanya antigen

atau antibodi spesifik dalam sampel. Karena penanda pada teknik RIA merupakan zat

radioaktif yang dapat membahayan bagi kesehatan, maka dikembangkan teknik yang

Page 27: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

12

menggunakan zat non-radioaktif berupa enzyme sebagai penanda (Lequin 2005;

Kemeny & Challacombe 1989).

ELISA / EIA dipublikasikan pertama kali oleh Engvall dan Perlmann pada tahun

1971 di Swedia. Publikasi ini berisi tentang pengukuran secara kuantitatif IgG serum

kelinci dengan menggunakan label enzyme alkaline phosphatase. Pada tahun yang

sama, Van Weeman dan Schuurs berhasil mengukur secara kuantitatif konsentrasi

human chorionic gonadotropin (HCG) dalam urin dengan menggunakn teknik ELISA

(Lequin 2005). Enzyme sebagai penanda untuk metode ini biasanya menggunakan

horseradish peroxidase (HRP) atau alkaline phosphatase (AP). Teknik ELISA yang

sekarang banyak digunakan untuk deteksi antibodi atau antigen di dalam bidang

imunologi adalah : indirect ELISA, sandwich ELISA dan competitive ELISA

(Harlow & Lane 1988; Kemeny & Challacombe 1989).

3. Polymerase Chain Reaction

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik amplifikasi cepat

fragmen DNA secara in vitro. Prinsip dasar dari teknik ini adalah reaksi rantai

berdasarkan proses replikasi DNA. Metode ini biasanya untuk mengamplifikasi daerah

pita DNA yang spesifik (DNA target), ini dapat berupa satu gen, bagian dari gen atau

non-coding sequence (Sambrook et al. 1989; Koolman & Rohm 1994;

Viljoen et al. 2005).

Prinsip dasar teknik PCR pertama kali dikenalkan oleh Kary Banks Mullis pada

tahun 1983. Pada saat itu ia bekerja di salah satu perusahaan pertama dalam bidang

bioteknologi yaitu Cetus Corporation yang terletak di Emeryville, California dan ia juga

menerima hadiah nobel pada tahun 1993 dalam bidang kimia. Dia mencoba metode

amplifikasi DNA dengan siklus berulang menggunakan suatu enzyme yang disebut

DNA Polymerase. Enzyme ini secara alami ada dalam organisme hidup, dimana kerja

enzyme ini adalah melakukan duplikasi DNA pada saat sel mengalami mitosis dan

meiosis. DNA polymerase akan melekat pada rantai tunggal DNA dan akan membentuk

untaian rantai DNA pasangannya. DNA Polymerase yang sekarang banyak digunakan

Page 28: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

13

untuk PCR berasal dari Thermus aquaticus dan disebut dengan Taq DNA Polymerase

(Sambrook et al. 1989; Viljoen et al. 2005).

Untuk melakukan teknik PCR perlu beberapa komponen dan reagen, yaitu ada

4 komponen utama untuk metode ini, antara lain : (1) templat DNA, pada bagian ini

mengandung DNA region (target) yang akan diamplifikasi, (2) primers, bagian ini

merupakan komplementer dari DNA region (target), (3) DNA Polymerase atau Taq

DNA Polymerase, ini merupakan enzyme yang berperanan dalam melakukan duplikasi

atau replikasi DNA dan (4) Deoxynucleotide triphosphates (dNTPs), merupakan

pengaman DNA polymerase dalam mensintesis untaian DNA baru

(Sambrook et al. 1989; Viljoen et al. 2005).

Tujuan dari PCR adalah membuat kopian gen dalam jumlah yang sangat banyak.

Metode ini mempunyai 3 tahapan utama dalam siklus reaksinya, antara lain :

(1) Denaturasi, pada tahap ini reaksi akan terjadi pada suhu 94 – 98 oC dengan tujuan

untuk membuka rantai ganda DNA menjadi rantai tunggal, (2) Annealing, pada tahap

ini reaksi terjadi pada suhu 50 – 65 oC, yaitu akan terjadi perlekatan antara primers

dengan rantai tunggal DNA templat yang sesuai. Polymerase akan berikatan dengan

ikatan primer – templat yang sesuai tersebut diatas dan mulai melakukan sintesis DNA

dan (3) Extension, suhu pada tahap ini tergantung dari DNA polymerase yang

digunakan, jika menggunakan Taq Polymerase maka suhu yang sesuai adalah

70 – 80 oC (optimum 74 oC). Pada tahap ini, DNA polimerase akan mensintesis untaian

baru DNA yang komplementer dengan untaian DNA templat dengan adanya

penambahan dNTPs (Sambrook et al. 1989; Viljoen et al. 2005).

PCR untuk deteksi material genetik M. paratuberculosis dapat langsung

dilakukan dari sampel susu maupun feses. Primers yang umum digunakan untuk teknik

ini adalah IS900. Metode PCR untuk sampel feses dilaporkan mempunyai sensitifitas

30 % dengan spesifitas 90 % (Collins et al. 2006).

Page 29: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

14

BAB III

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di bagian Bakteriologi, Balai Besar Penelitian Veteriner.

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada Bulan Januari sampai dengan Juli 2008.

Metode Penelitian

Pengambilan Sampel

Sampel serum dan feses diambil dari sapi perah umur 2 tahun ke atas

(Berghaus et al. 2006) di Kabupaten Bandung (Pangalengan dan Lembang) dan

Banyumas (Baturaden) sebanyak 184 sampel. Pada umumnya sampel di ambil dari

sapi yang kondisi tubuhnya relatif kurus. Feses diambil langsung dari daerah rektum

sebanyak 5 – 10 gram. Banyaknya sampel dihitung menggunakan win episcope 2.0

sofware dengan asumsi prevalensi 2% dan tingkat kepercayaan 95%. Prevalensi

penyakit berkisar 2% akan terpenuhi jika dari jumlah sampel tersebut minimal ada

1 yang positif partuberkulosis.

Uji Serologi

Uji serologi dilakukan dengan teknik ELISA. Uji ini menggunakan ruminants

serum paratuberculosis confirmation kit (LSI, Perancis), dengan prosedur sebagai

berikut :

Pre-incubation, pada tahap ini serum sampel dan serum kontrol (positif dan negatif)

diabsorbsi terlebih dahulu dengan menggunakan antigen M. phlei yang ada dalam

dilution buffer. Pengenceran serum sampel dan kontrol adalah 1/20 dan diinkubasikan

selama 15 menit pada suhu kamar. Serum kontrol positif dimasukkan kedalam lubang

plat A1 dan A2 sebanyak 100 µl, sedangkan serum kontrol negatif dimasukkan pada

lubang B1 dan B2 dengan jumlah yang sama. Sampel dimasukkan sebanyak 100 µl ke

dalam lubang plat yang lain secara duplo. Plat ditutup dengan plastik dan diinkubasikan

Page 30: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

15

selama 16 – 18 jam pada suhu 5 oC. Setelah itu, plat dicuci sebanyak 4 kali dengan

menggunakan washing solution. Konjugat diencerkan 1/100 dan dimasukkan ke dalam

lubang plat sebanyak 100 µl , diinkubasikan selama 30 menit pada suhu 37 oC. Plat

dicuci kembali dengan menggunakan washing solution sebanyak 4 kali. Setelah itu

larutan substrat dimasukkan ke dalam semua lubang plat sebanyak 100 µl,

diinkubasikan selama 10 menit pada suhu ruang dan ditempatkan pada tempat yang

gelap, kemudian stop solution sebanyak 100 µl dimasukkan pada tiap lubang plat untuk

menghentikan proses reaksi. Pembacaan dilakukan dalam rentang waktu 30 menit

setelah penambahan stop solution dengan menggunakan ELISA reader pada panjang

gelombang 450 nm. Hasil ELISA kemudian dikonversi menjadi % E / P. Kalkulasi hasil

untuk tiap sampel dan kontrol dihitung Corrected Optical Densitynya (ODc) dengan

rumus sebagai berikut : ODc = OD Bacterial Antigen – OD Control Antigen. Rumus

untuk kalkulasi % E / P = (ODc Sampel / ODc m PC) x 100. Sedangkan intepretasi

hasil dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Intepretasi hasil ELISA

HASIL SAMPEL

Negatif % E / P < 40

Positif + 40 ≤ % E / P ≤ 200

Positif ++ 200 < % E / P ≤ 300

Positif +++ 300 < % E / P ≤ 400

Positif ++++ % E / P > 400

Kultur

Isolasi dan identifikasi M. paratuberculosis dilakukan dari sampel feses dengan

menggunakan media Herrold’s Egg Yolk Medium Agar (HEYM) dengan mycobactin J

dan HEYM tanpa mycobactin J. Sampel feses yang diproses untuk kultur dikumpulan

terlebih dahulu dari 3-5 ekor sapi untuk tiap kelompok ternak dan juga feses dari tiap

sapi perah yang menunjukkan hasil positif secara serologi (Collins et al. 2006;

Schaik et al. 2003; Whittington et al. 2000). Metode kultur yang digunakan sesuai

dengan standar OIE ( 2004) dengan langkah sebagai berikut :

Page 31: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

16

Sampel feses sebanyak 1 gram diambil dan dimasukkan ke dalam tabung 50 ml yang

berisi 20 ml aquadest steril, kemudian divorteks untuk mencampur. Kemudian

dilakukan shaking selama 30 menit menggunakan horizontal shaker dan didiamkan

pada suhu ruang selama 30 menit. Suspensi yang paling atas diambil 5 ml dan

dimasukkan ke dalam tabung 50 ml baru yang berisi 20 ml hexadecylpyridinium

chloride (HPC) 0,75%, kemudian tabung dibolak – balik beberapa kali agar larutan

tersebut tercampur dengan baik dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 18 jam.

Setelah masa inkubasi selesai, diambil 0,1 ml lapisan pelet yang paling atas secara

hati – hati dengan menggunakan pipet pasteur steril dan diinokulasikan pada media

tersebut diatas (0,1 ml untuk tiap media) dan kemudian diratakan pada permukaan

media. Pelet juga diambil dan dibuat preparat untuk pewarnaan Ziehl-Neelsen dengan

tujuan untuk melihat kuman tahan asam secara mikroskopik. Tabung media selanjutnya

diposisikan miring atau horisontal selama 1 minggu pada suhu 37 oC dengan tutup

dikendorkan. Setelah 1 minggu, selanjutnya tabung media diposisikan tegak, tutup

dirapatkan dan diinkubasikan kembali selama 12 – 24 minggu dengan pengamatan 1

minggu sekali.

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Ekstraksi DNA M. paratuberculosis dari feses.

Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan QIAmp stool mini kit (Jerman), dengan

langkah sebagai berikut :

Sampel feses sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam tabung 15 ml steril dan

ditambahkan buffer ASL sebanyak 10 ml, kemudian divorteks selama 1 menit sampai

sampel feses homogen. Lysate diambil sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung

Eppendorf, kemudian dilakukan pemanasan dalam waterbath pada suhu 80 oC selama

5 menit. Selanjutnya larutan tersebut divorteks selama 15 detik dan disentrifugasi

dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit. Supernatan diambil sebanyak 1,2 ml dan

dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf, kemudian ditambahkan 1 tablet InhibitEX dan

divorteks sampai tablet tersebut terlarut, selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar

selama 1 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit. Semua

Page 32: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

17

supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf , selanjutnya

disentrifugasi kembali dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit. Proteinase K

sebanyak 15 µl dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang baru, kemudian

supernatan tersebut diatas diambil 200 µl dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf

yang mengandung proteinase K. Setelah itu ditambahkan buffer AL sebanyak 200 µl

dan divorteks selama 15 detik, diinkubasikan selama 10 menit pada suhu 70 oC (dalam

waterbath). Selanjutnya lysate ditambah dengan 200 µl etanol 96 % dan divorteks

untuk mencapur larutan tersebut. Larutan tersebut diambil 500 µl dan dimasukkan ke

dalam QIAmp spin column yang dilengkapi dengan tabung koleksi, kemudian

disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit dan tabung koleksi yang

mengandung filtrat dibuang. QIAmp spin column tersebut diambil kembali dan

dipasang lagi dengan tabung koleksi yang baru. Selanjutnya buffer AW1 sebanyak

500 µl dimasukkan ke dalam column tersebut dan disentrifugasi dengan kecepatan

14.000 rpm selama 1 menit dan tabung koleksi yang mengandung filtrat dibuang.

QIAmp spin column tersebut diambil kembali dan dipasang lagi dengan tabung koleksi

yang baru. Selanjutnya buffer AW2 sebanyak 500 µl dimasukkan ke dalam column

tersebut dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit dan tabung

koleksi yang mengandung filtrat dibuang. QIAmp spin column tersebut diambil kembali

dan dipasang lagi dengan tabung Eppendorf. Kemudian buffer AE1 sebanyak 200 µl

dimasukkan ke dalam column tersebut, diinkubasikan selama 1 menit dan disentrifugasi

dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit dan tabung Eppendorf yang

mengandung filtrat diambil, kemudian disimpan pada suhu – 20 oC.

Ekstraksi DNA M. paratuberculosis dari kultur (isolat)

Ekstraksi DNA dari kultur dilakukan sesuai metode Mokrousov dan Narvskaya

(2004) dengan langkah sebagai berikut :

Kultur diambil satu ose penuh dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang berisi

400 µl 1 x 10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA, pH 8,0 (TE) buffer. Diinkubasikan pada

suhu 80 oC (dalam waterbath) selama 20 – 25 menit dan didinginkan dalam suhu ruang.

Selanjutnya larutan tersebut ditambah 50 µl lysozyme (10 mg/ml) dan diinkubasikan

Page 33: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

18

selama 1 jam pada suhu 37 oC. Kemudian ditambahkan 70 µl larutan sodium duodecyl

sulfate (SDS) 10% + 5 µl proteinase K (10 mg/ml) dan diinkubasikan pada suhu

65 oC selama 1 jam. Setelah itu ditambahkan 100 µl 5 M Natrium Chloride (NaCl) dan

selanjutnya ditambahkan 100 µl larutan cetyltrimethylammonium bromide

(CTAB)/NaCl, kemudian divorteks selama 10 detik sampai kelihatan seperti susu.

Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 65 oC selama 15 – 20 menit dan didinginkan

selama 5 menit. Chloroform:isoamylalkohol (24:1) ditambahkan dengan volume sama

banyak (700 – 750 µl ), divorteks untuk mencampur larutan dan disentrifugasi pada

suhu 10 oC atau suhu ruang (18 – 28 oC) dengan kecepatan 14.000 rpm selama

15 menit. Larutan paling atas yang mengandung DNA diambil sebanyak 180 µl dan

dimasukkan ke dalam tabung yang baru dan ditambah 0,6 volume isopropanol (420 µl)

untuk mempresipitasikan DNA, bolak – balik dengan tangan beberapa kali dan

diinkubasikan semalam pada suhu – 20 oC. Selanjutnya disentrifugasi pada suhu

10 – 20 oC selama 10 – 15 menit dengan kecepatan 13.000 – 14.000 rpm, kemudian

supernatan dibuang. Selanjutnya pelet dicuci dengan menambahkan etanol 70 %

sebanyak 1 ml, kemudian disentrifugasi pada suhu 10 – 20 oC selama 10 – 15 menit

dengan kecepatan 13.000 – 14.000 rpm, supernatan dibuang dan DNA dikeringkan

dengan membuka tutup tabung Eppendorf pada suhu ruang selama 1 jam atau selama

30 menit pada suhu 37 oC. Selanjutnya pelet dilarutkan dengan menambahkan 0,5 x TE

buffer sebanyak 30 – 50 µl.

Amplifikasi DNA menggunakan primers IS900 (TJ1-2) dan F57

Prosedur amplifikasi PCR fragmen DNA dilakukan dengan menggunakan

primers IS900, forward (TJ1) 5’-GCT GAT CGC CTT GCT CAT-3’ dan reverse (TJ2)

5’-CGG GAG TTT GGT AGC CAG TA-3’ (Bull et al. 2003; Tasara et al. 2005) dan

juga menggunakan primers F57, yaitu forward (F57) 5’-CCT GTC TAA TTC GAT

CAC GGA CTA GA-3’ dan reverse (R57) 5’-TCA GCT ATT GGT GTA CCG AAT

GT-3’ (Vansnick et al. 2004). PCR dilakukan dengan total volume 50 µl larutan reaksi

yang terdiri dari 34.25 µl aquadest (DNAse, RNAse free), 5 µl 10 X PCR buffer

(Vivantis), 1,5 µl MgCl2 (Vivantis, 50 mM), 1.0 µl dNTP (Bioron, 10 mM), 1.5 µl

Page 34: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

19

primers (Midland, 10 pmol/µl), 0,25 µl Taq Polymerase (Vivantis, 5 U/µl ) dan 5 µl

DNA templat. Kontrol positif dan negatif harus diikutkan dalam setiap amplifikasi.

PCR dilakukan dengan siklus sebagai berikut, 1 siklus pada suhu 94 oC selama 2 menit,

40 siklus pada suhu 94 oC selama 1 menit, 58 oC selama 1 menit dan pada suhu 72 oC

selama 3 menit, dan dilanjutkan dengan 1 siklus pada suhu 72 oC selama 7 menit.

Produk PCR (amplikon) diambil 10 µl dan dicampur dengan 2 µl loading dye

(Vivantis), selanjutnya diseparasi menggunakan 2 % agarose (Promega) yang telah

ditambahkan ethidium bromide (Applichem) 0,5 µg/ml pada tegangan 120 V selama 50

menit dengan menggunakan marker 100 bp DNA ladder (Vivantis). Hasil elektroforesis

selanjutnya dilihat dengan menggunakan Gel Documentation System (Vilber Lourmat).

Analasis Hasil (Data)

Hasil atau data – data dari berbagai teknik uji, baik secara serologi (ELISA),

kultur maupun PCR akan dinalisis secara diskriptif

Page 35: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji serologi dengan sampel serum sapi perah menunjukkan hasil 8 positif

terhadap paratuberkulosis, yaitu 2 dari Kabupaten Bandung dan 6 dari Kabupaten

Banyumas. Sedangkan 176 sampel yang lain menunjukkan hasil negatif. Uji ini

menggunakan ruminants serum paratuberculosis confirmation kit (LSI, Perancis), jika

nilai % E/P sama dengan atau diatas 40 menunjukkan hasil positif terhadap

paratuberkulosis, sedangkan nilai % E/P dibawah 40 adalah negatif. Hasil kultur dari

sampel feses dengan HEYM yang ditambah mycobactin J setelah diinkubasikan selama

24 minggu menunjukkan hasil 2 positif M. paratuberculosis setelah dikonfirmasi

dengan uji PCR, yaitu 1 dari Kabupaten Bandung dan 1 dari Kabupaten Banyumas.

Sedangkan uji PCR dengan sampel feses menunjukkan hasil negatif. Hasil

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji serologi, kultur dan PCR terhadap paratuberkulosis

Metode uji

PCR Feses PCR Isolat ELISA Kultur

IS900 F57 IS900 F57

Asal sampel Jumlah

sampel

+ - + - + - + - + - + -

Pangalengan 66 1 65 0 66 0 66 0 66 0 66 0 66 Kab.

Bandung Lembang 100 1 99 1* 99 0 100 0 100 1 99 1 99

Kab.

Banyumas

Baturaden 18 6 12 1* 17 0 18 0 18 1 17 1 17

Total 184 8 176 2 182 0 184 0 184 2 182 2 182

*) kultur positif ini hasil dari sampel yang ELISAnya positif, yaitu dari Kabupaten

Bandung dengan angka positif + dan Kabupaten Banyumas dengan angka positif ++

Ada beberapa tahapan dalam perkembangan infeksi M. paratuberculosis pada

sapi perah, yaitu bahwa infeksi awal pada sapi muda akan ditandai dengan dapat

dideteksinya gama interferon. Hal ini terjadi karena bakteri yang masuk akan

Page 36: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

21

difagositosis oleh makrofag, dan mengalami multiplikasi didalamnya. Limfosit akan

mengeluarkan zat kimia yang dinamakan sitokin untuk menarik makrofag lebih banyak

lagi ke tempat infeksi untuk meningkatkan daya fagositosisnya. Makrofag – makrofag

ini selanjutnya akan berfusi menjadi giant cell untuk meningkatkan daya bunuh

terhadap mycobacteria (Collins 2003; Wu et al. 2007).

Pada tahap pertengahan infeksi, ditandai dengan banyaknya infiltrasi limfosit

dan makrofag ke jaringan yang terinfeksi sehingga menyebabkan terjadinya penebalan

dari usus, terutama ileum dan juga terjadi dilatasi dari pembuluh limfe. Pembuluh inilah

yang akan mengalirkan M. paratuberculosis ke limfo nodus, dimana hanya di Peyer’s

patches inilah bakteri tidak dapat dirusak oleh makrofag dan melakukan multiplikasi di

limfo nodus. Karena itu, perubahan patologi yang paling banyak terjadi hanya di saluran

usus (terutama ileum – sekum) dan limfo nodus lokal (Buergelt et al. 2000;

Collins 2003).

Tahap akhir dari perkembangan penyakit ditandai dengan mulai meningkatnya

antibodi, tetapi antibodi ini tidak mampu mencegah multiplikasi dari bakteri ini.

Perubahan patologi pada usus dengan adanya radang granuloma akan menyebabkan

terjadinya diare, malabsorbsi protein dan hewan akan mengalami kekurusan.

M. paratuberculosis akan banyak tersebar di ileum dan limfo nodus lokal, karena itu

bakteri ini dapat diisolasi dari limpa, hati, glandula mamaria dan juga uterus. Pada fase

ini antibodi akan tinggi, jumlah bakteri yang dikeluarkan melalui feses juga banyak,

tetapi respon dari gama interferon akan sangat sedikit bahkan tidak ada. Dapat

dideteksinya antibodi dengan titer tinggi dan banyaknya bakteri dalam feses sebagai

indikator bahwa fase penyakit sudah memasuki tahap klinis (Collins 2003;

Waters et al. 2003).

Uji serologi untuk paratuberkulosis menurut OIE (2004) antara lain : ELISA,

complement fixation test (CFT) , agar gel immunodifussion (AGID). ELISA

mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan

kedua metode tersebut, yaitu 31 – 88 % dan 91 – 97 % (Collins et al. 2006;

Roussel et al. 2007), tetapi pada kasus subklinis sensitivitasnya hanya 15 %

(Stabel et al. 2002). Umumnya antigen yang digunakan untuk coating adalah

Page 37: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

22

protoplasmik, ekstraks seluler ataupun lipoarabimanan (LPA), dan penggunaan

antigen – antigen tersebut masih sering menimbulkan reaksi silang dengan infeksi

mycobacteria lain sehingga untuk meningkatkan spesifitasnya biasanya serum

diabsorbsi terlebih dahulu menggunakan M. phlei (Ferreira et al. 2002; Cho & Collins

2006), dan akhir – akhir ini telah dikembangkan ELISA dengan antigen yang lebih

spesifik seperti MP-34kd-C ataupun culture filtrate, penggunaan kedua antigen ini

dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas dan spesivitas uji (Cho & Collins 2006;

Malamo et al. 2006). Metode uji ini sering digunakan dan direkomendasikan untuk

program screening dan kontrol paratuberkulosis karena biaya lebih murah dan relatif

lebih cepat dibandingkan dengan kultur maupun PCR, tetapi untuk kasus subklinis dan

pada fase awal sekali kejadian penyakit, teknik ELISA ini kurang sensitif, disamping itu

juga masih sering terjadi reaksi silang dengan Mycobacterium avium complex dan

menghasilkan positif palsu. Pada kasus klinis dan adanya pengeluaran bakteri yang

cukup banyak di dalam fesesnya, metode ini mempunyai tingkat sensitivitas dan

spesifitas yang tinggi (Mc Kenna et al. 2005; Malamo et al. 2006; Waters et al. 2003).

Untuk menentukan status infeksi suatu peternakan, bisanya uji serologi dengan ELISA

diikuti dengan uji lain yaitu Fecal Culture dan PCR (Collins et al. 2006).

Data di atas memperlihatkan bahwa dari 8 sampel yang positif secara serologi

dan hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis. Isolat tersebut berasal dari sampel

yang serologinya positif + (% E/P 41) dan positif ++ (% E/P 283). Hal ini karena respon

imun humoral (antibodi) terhadap paratuberkulosis dapat dideteksi 6 bulan pasca infeksi

tanpa diikuti dengan adanya bakteri yang dikeluarkan melalui feses

(Waters et al. 2003), disamping itu mungkin juga karena jumlah bakteri yang

dikeluarkan melalui feses belum cukup banyak, sehingga hasil isolasinya negatif

(Collins et al. 2006). Hal lain karena kejadian penyakit paratuberkulosis terbagi dalam

3 tahap, yaitu preklinis tanpa shedding bakteri melalui feses, preklinis dengan shedding

dan klinis dengan shedding, dalam kasus ini mungkin respon imun humoral sudah

dapat dideteksi pada kasus preklinis tanpa shedding ataupun preklinis dengan shedding,

karena itu kemungkinan hanya 2 sampel di atas yang mengandung M. paratuberculosis

dengan jumlah yang cukup dalam fesesnya sehingga dapat terisolasi. Titer antibodi akan

Page 38: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

23

semakin tinggi seiring dengan tingkat keparahan penyakit terutama pada kasus klinis

yang diikuti dengan pengeluaran bakteri melalui feses dalam jumlah yang banyak

(Carpenter et al. 2004). Hubungan antara respon imun humoral dengan shedding bakteri

dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil positif secara ELISA mungkin juga karena adanya

reaksi silang dengan infeksi M. avium dan M. intraseluler sehingga menimbulkan

positif palsu (Osterstock et al. 2007). Uji serologi dalam penelitian ini menunjukkan

bahwa sensitivitas ELISA terhadap kultur 25 % dengan tingkat spesifitas 96,8 %. Uji

serologi dengan ELISA dapat digunakan untuk screening awal terhadap infeksi

paratuberculsosis pada sapi perah, tetapi untuk penentuan status infeksi pada kelompok

ternak perlu tambahan uji berupa kultur dan PCR untuk konfirmasi.

Gambar 2. Respon imun humoral dan shedding bakteri (Kurade et al. 2004)

Isolasi dan identifikasi bakteri penyebab penyakit dengan metode kultur masih

merupakan gold standard uji. Metode kultur yang konvensional dengan menggunakan

media padat (HEYM dengan mycobactin J ) memerlukan waktu yang relatif lebih lama,

yaitu antara 12 – 24 minggu, tetapi dengan media ini morfologi koloni dapat diamati

dan masih merupakan acuan dari beberapa teknik kultur lain (OIE 2004;

Ristow et al. 2006). Sedangkan teknik kultur yang lain yaitu menggunakan media cair

middlebrook 7H9, yang merupakan pengembangan dari metode untuk deteksi

Page 39: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

24

M. tuberculosis, yaitu (1) Bactec system (Radiometric) , metode ini memerlukan waktu

tumbuh yang lebih singkat, yaitu 8 – 16 minggu, tetapi cara ini memerlukan biaya yang

cukup tinggi, alat untuk membaca, penanganan radioisotop, tingkat kontaminasi tinggi

jika sampel langsung dari feses dan tidak dapat melihat morfologi koloni

(Whittington et al. 1998; Collins & Manning 2004; Shin et al. 2007) dan

(2) Mycobacterial Growth Indicator Tube (MGIT), metode ini lebih murah, lebih cepat,

lebih akurat dan lebih sensitif dibandingkan dengan Bactec system, tetapi cara ini juga

mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi, harus memerlukan alat untuk inkubasi dan

pembacaan hasil serta tidak dapat melihat morfologi kultur secara langsung

(Shin et al. 2007). Untuk memastikan bahwa bakteri yang tumbuh adalah

M. paratuberculosis, maka memerlukan uji konfirmasi berupa sifat ketergantungan

terhadap mycobactin dan deteksi material genetiknya dengan PCR (Shin et al. 2004).

Kultur memerlukan waktu yang lebih lama dan mahal jika dibandingkan dengan ELISA

dan PCR, tetapi cara ini direkomendasikan untuk penentuan status infeksi suatu

peternakan dan program eradikasi (Collins et al. 2006)

Hasil kultur dari sampel feses memperlihatkan adanya beberapa bakteri tahan

asam yang tumbuh pada media HEYM dengan mycobactin J (12 isolat) , tetapi setelah

dikonfirmasi dengan PCR hanya 2 isolat yang positif M. paratuberculosis, yaitu 1 isolat

berasal dari sapi perah di daerah Lembang dengan umur 3,5 tahun dan kondisi berat

badan yang relatif kurus, sedangkan isolat yang lain berasal dari sapi perah di daerah

Baturaden dengan umur 4 tahun dan kondisi berat badan yang cukup baik . Inkubasi

dari dua isolat tersebut memerlukan waktu yang sangat lama yaitu masing – masing

19 minggu (isolat Baturaden) dan 22 minggu (isolat Lembang). Isolat

M. paratuberculosis yang tumbuh dan gambaran mikroskopik acid fast bacteria (AFB)

dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Page 40: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

25

Gambar 3. Morfologi isolat M. paratuberculosis pada HEYM

dengan mycobactin J. Sebelah kiri merupakan isolat acuan

(A6/Jerman) dan sebelah kanan isolat dari sampel

(MAP/BTR 53/08)

Gambar 4. Mikroskopik M. paratuberculosis isolat sampel dengan

pewarnaan Ziehl – Neelsen (warna merah)

Page 41: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

26

Shedding bakteri melalui feses pada kasus paratuberculosis terbagi dalam

3 kategori, yaitu : low shedder ( kurang dari 3 x 102 cfu/g), moderate shedder

(3 x 102- 3 x 103 cfu/g) dan high shedder (lebih dari 3 x 103 cfu/g)

(Stabel et al. 2002). Pada kejadian klinis bakteri M. paratuberculosis yang dikeluarkan

melalui feses mencapai 106 – 108 cfu/g (Wu et al. 2007). Data hasil penelitian di atas

menunjukkan bahwa mycobateria yang ada di lingkungan terutama dalam feses dapat

tumbuh pada media HEYM, sehingga ini mungkin dapat menggangu pertumbuhan

M. paratuberculsosis yang waktu inkubasinya sangat lama (lebih lama daripada jenis

mycobacteria lain) (Roussel et al. 2007), disamping itu juga ada kontaminasi dari jamur

ataupun bakteri lain yang ada di feses sehingga sangat menganggu dan berpengaruh

pada kemampuan tumbuhnya (Ristow et al. 2006). Hal lain mungkin karena pada

beberapa kasus terutama awal kejadian penyakit ataupun kasus subklinis, shedding

bakteri melalui feses sering tidak teratur dengan jumlah bakteri yang sangat sedikit serta

prosesing sampel yang bertahap, ini mungkin menyebabkan bakteri akan kehilangan

kemampuan tumbuhnya (Stabel et al. 2002). Terjadinya kontaminasi dan penurunan

viabilitas bakteri yang dapat tumbuh pada HEYM dengan mycobactin J sangat

tergantung pada proses sampling, penyimpanan, prosesing sampel serta metode kultur

yang digunakan, karena dilaporkan metode kultur dengan HEYM mempunyai

sensitivitas 60 % dengan spesifitas 99,5 % dan jumlah bakteri yang terdapat dalam

feses minimal harus mengandung 10 cfu/g (Ristow et al. 2006; Collins et al. 2006).

Metode diagnosis dengan PCR pada umumnya berdasarkan urutan basa yang

ada pada insertion squence dari M. paratuberculsosis, sehingga primers yang umum

digunakan adalah IS900, tetapi beberapa peneliti melaporkan masih ada reaksi silang

dengan Mycobacterium avium complex, karena itu ada beberapa primers yang

dikembangkan berdasarkan sequence yang ada pada IS900 untuk mengeliminasi adanya

reaksi silang dengan mycobacteria lain. Pada penelitian ini menggunakan primers

IS900 dengan urutan basa yang berbeda (TJ1-TJ2), karena uji dengan menggunakan

primers ini dilaporkan tidak menunjukkan reaksi silang dengan Mycobacterium avium

complex (Bull et al. 2003), dan juga menggunakan primers F57 untuk memastikan hasil

yang didapat dengan primers sebelumnya. Primers F57 dilaporkan mempunyai

Page 42: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

27

spesifitas dan sensitifitas yang tinggi, karena mampu mendeteksi sampai 1 cfu

(Vansnick et al. 2004), sehingga PCR dengan dua primers ini sangat direkomendasikan

untuk meningkatkan validitas uji. Teknik ini dapat langsung digunakan untuk sampel

feses ataupun susu dan cukup baik untuk konfirmasi terhadap kultur

(Wells et al. 2006; Collins et al. 2006). Hasil PCR dari sampel feses baik menggunakan

primers IS900 atupun F57 semuanya menunjukkan hasil negatif. Hasil selengkapnya

dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5. Hasil PCR IS900 (TJ1-TJ2) sampel feses, pada kolom 1 – 22 adalah sampel,

kontrol positif pada kolom 24 dan 25 (M. paratuberculois A6/German dan

ATCC 19698), sedangkan kontrol negatif pada kolom 23 dan 26 (M. avium

B6/German dan TE buffer).

Page 43: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

28

Gambar 6. Hasil PCR F57 sampel feses, pada kolom 1 – 22 adalah sampel, kontrol

positif pada kolom 24 dan 25 (M. paratuberculois A6/German dan ATCC

19698), sedangkan kontrol negatif pada kolom 23 dan 26 (M. avium

B6/German dan TE buffer).

Hasil PCR feses semuanya negatif, tetapi dari hasil kultur ada 2 yang positif

paratuberculosis, ini karena kemampuan metode ini untuk mendeteksi

M. paratuberculsosis dalam feses sangat terbatas, yaitu hanya mampu mendeteksi

kandungan bakteri dalam feses minimal 102 cfu/g (Stabel & Bannantie 2005).

Disamping itu ekstraksi DNA dari sampel feses sangat sulit karena banyaknya material

feses, sehingga terkadang bakteri tidak bisa keluar dari material tersebut. Selain itu,

M. paratuberculosis mempunyai struktur dinding yang kompleks, dan mengandung zat

lilin yang tebal sehingga sangat sulit untuk dilysiskan. Hal ini dapat menyebabkan

konsentrasi DNA yang didapat kemungkinan juga rendah dan akan mempengaruhi

dalam hasil PCR (Amita et al. 2002)

Page 44: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

29

Hasil PCR konvensional dengan primers IS900 memperlihatkan adanya pita

DNA pada kolom 5 (isolat Lembang) dan 6 (isolat Baturaden) merupakan isolat yang

tumbuh pada HEYM dengan mycobactin J, sedangkan pada kolom 14 dan 15

merupakan kontrol positif (M. paratuberculosis A6/German dan ATCC 19698) serta

kontrol negatif pada kolom 13 dan 16 (M. avium B6/German dan TE buffer).

Amplifikasi dengan primers F57 juga memperlihatkan adanya pita DNA pada kolom

5 (isolat Baturaden) dan 7 (isolat Lembang) yang merupakan isolat yang sama dengan

yang diuji dengan primers IS900, sedangkan kontrol positif pada kolom 14 dan 15 dan

kontrol negatif pada kolom 13 dan 16. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 7

dan Gambar 8.

Gambar 7. Hasil PCR IS900, pada kolom 5 (isolat Lembang) dan 6 (isolat Baturaden)

terlihat adanya pita DNA, sedangkan pada kolom 14 dan 15 kontrol positif

serta kolom 13 dan 16 kontrol negatif.

Page 45: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

30

Gambar 8. Hasil PCR F57, pada kolom 5 (isolat Baturaden) dan 7 (isolat Lembang)

terlihat adanya pita DNA, sedangkan pada kolom 14 dan 15 kontrol positif

serta kolom 13 dan 16 kontrol negatif.

Berdasarkan data hasil PCR terhadap isolat yang tumbuh pada media HEYM

terlihat bahwa metode ini untuk konfirmasi isolat yang tumbuh cukup bagus dan akurat.

Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh Shin et al. (2004) bahwa PCR dapat digunakan dan

cukup bagus untuk uji konfirmasi terhadap kultur dan dapat mendeteksi bakteri kurang

dari 20 cfu untuk primers IS900 (Taddei et al. 2004) serta dapat mendeteksi 1 cfu

untuk F57 (Vansnick et al. 2004). Hasil ini juga tidak menunjukkan adanya reaksi

silang dengan M. avium karena tidak adanya pita DNA pada kolom kontrol negatif.

Penelitian ini memberikan gambaran bahwa telah terjadi infeksi

M. paratuberculosis pada sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas. Prevalensi

penyakit tersebut berkisar 2%, karena dari 184 sampel yang diambil ada 2 yang positif

paratuberkulosis. Hal ini sesuai dengan asumsi waktu pengambilan sampel, yaitu

prevalensi 2 % akan terpenuhi jika dari jumlah sampel tersebut minimal ada 1 yang

menunjukkan positif paratuberkulosis.

Page 46: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

31

Adanya program pengembangan sapi perah untuk meningkatkan produksi susu

nasional, maka kasus infeksi paratuberkulosis sangat perlu diperhatikan. Mengingat

sifat penyakit ini kejadiannya kronis dan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi serta

sangat susah dalam pengendaliannya.

Page 47: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

32

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Penyakit paratuberkulosis telah ditemukan dan menginfeksi sapi perah di

Kabupaten Bandung dan Banyumas, hal ini karena bakteri M. paratuberculosis dapat

diisolasi dari ternak di kedua wilayah tersebut dengan prevalensi penyakit berkisar 2 %.

Sensitivitas dan spesifitas uji serologi (ELISA) menggunakan ruminants serum

paratuberculosis confirmation kit (LSI, Perancis) adalah 25% dan 96,8%. Metode PCR

dengan primers IS900 (TJ1-TJ2) dan F57 dapat digunakan untuk uji konfirmasi

terhadap isolat M. paratuberculosis, karena dapat memberikan hasil yang baik dan

akurat.

SARAN

1. Semua ternak sapi yang akan diimport harus bebas paratuberkulosis yang

dinyatakan dengan hasil ELISA.

2. Ternak sapi import yang masuk ke Indonesia harus dikarantina dan dilakukan

pemeriksaan kembali terhadap paratuberkulosis.

3. Pusat pembibitan harus diuji kesehatan hewannya secara periodik dan

dinyatakan bebas paratuberkulosis.

4. Jika ditemukan ada hewan yang positif paratuberkulosis, maka kelompok ternak

tersebut harus dikarantina dan diafkir apabila memungkinkan. Sedangkan

kandang dan peralatan peternakan harus dilakukan pembersihan dan

didekontaminasi.

5. Perlu pengembangan teknik diagnosa cepat dan akurat dengan antigen spesifik,

sehingga dapat digunakan untuk deteksi dini terhadap penyakit dan perlu

melakukan penelitian lanjutan dengan wilayah yang lebih luas baik pada

ruminansia besar maupun kecil serta mengkarakterisasi secara molekuler untuk

genotyping isolat lokal M. paratuberculosis tersebut.

Page 48: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

33

DAFTAR PUSTAKA

Amita J, Vandana T, Guleria RS, Verma RK. 2002. Qualitative Evaluation of

Mycobacterial DNA Extraction Protocols for Polymerase Chain Reaction.

Molecular Biology Today. 3:43-50

Anonim. 2000. Possible Links Between Crohn’s Disease and Paratuberculosis.

Scientific Commitee Health and Animal Welfare. European Commision.

Directorate-General Health and Consumer Protection.

Bannantine JP, Huntley JF, Miltner E, Stabel JR, Bermudez LE. 2003. The

Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis 35 kDa Protein Plays a Role in

Invasion of Bovine Epithelial Cells. Microbiol.149:2061-2069.

Buergelt CD, Layton AW, Ginn PE, Taylor M, King JM, Habecker PL, Maudlin E,

Whitlock R, Rossiter C, Collins MT. 2000. The Pathology of Spontaneous

Paratuberculosis in the North American Bison (Bison bison). Vet Pathol

37:428–438.

Berghaus RD, Farver TB, Anderson RJ, Adaska JM, Gardner IA. 2006. Use of Age and

Milk Production Data to Improve the Ability of Enzyme Linked Immunosorbent

Assay Test Results to Predict Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis

Fecal Culture Status. J Vet Diagn Invest. 18:233–242.

Bull TJ, McMinn JE, Boumedine KS, Skull A, Durkin D, Neild P, Rhodes G, Pickup R,

Taylor HJ. 2003. Detection and Verification of Mycobacterium avium subsp.

paratuberculosis in Fresh Ileokolonic Mucosal Biopsy Specimens from

Individuals with and without Crohn’s Disease. J Clin Microbiol. 41:2915-2923.

Carpenter TE, Gardner IA, Collins MT, Whitlock RH. 2004. Effects of Prevalence and

Testing by Enzyme-Linked Immunosorbent Assay and Fecal Culture on The

Risk of Introduction of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis –

Infected Cows Into Dairy Herds. J Vet Diagn Invest.16:31-38.

Page 49: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

34

Cho D, Collins MT. 2006. Comparison of The Proteosome and Antigenicities of

Secreted and Cellular Proteins Produced by Mycobacterium paratuberculosis.

J Clin Vacc Immun.1155-1161

Collins MT. 2003. Update on Paratuberculosis. Irish Vet. J. 56:565-623.

Collins MT, Manning E. 2004. Paratuberculosis in Dairy Cattle. School of Veterinary

Medicine. University of Wisconsin.

Collins MT, Gardner IA, Garry FB, Rousel AJ, Wells SJ. 2006. Consensus

Recommendation on Diagnostic Testing for The Detection of Paratuberculosis

in Cattle in the United States. JAVMA. 229: 1912-1919.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan Tahun 2007. Departemen

Pertanian RI. Jakarta.

Ebert MN, Kraft SA, Grant IR, Donaghy J, Rowe MT, Seyboldt C. 2000. Isolation of

Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis from Bovine Colostrum by

Immunomagnetic Separation. Research Center for Medical Technology and

Biotechnology (fzmb e.V.). Department of Veterinary Diagnostic. Erfurt.

Germany.

Ferreira R, Fonseca L, Lilenbaum W. 2002. Comparison Between a Commercial and an

In-house ELISA for anti-M. avium subsp. paratuberculosis Antibodies detection

in dairy Herds in Rio de Janeiro. Revista Latinoamerica de Microbiologia.

44:129-132

Floron C, Allen Jr, Ellen JR, Sandra RS, Sandra DM. 1999. Bovine Paratuberculosis of

Dairy Cattle. Texas Agricultural Extension Services. The Texas A.& M

University System. 1-4

Grant IR, Ball HJ, Rowe MT. 1998. Isolation of Mycobacterium paratuberculosis from

Milk by Immunomagnetic Separation. J Appl Environ Microbiol.

64: 3153-3158

Grant IR, Ball HJ, Rowe MT. 2002. Incidence of Mycobacterium paratuberculosis in

Bulk Raw and Commercially Pasteurized Cows Milk from Approved dairy

processing Establishments in the United Kigdom. Microbiol. 68: 2428-2435.

Page 50: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

35

Grewal SK, Rajeev S, Sreevatsan S, Michel FC. 2006. Persistence of Mycobacterium

avium subsp. paratuberculosis and Other Zoonotic Pathogens during Simulated

Composting, Manure Packing, and Liquid Storage of Dairy Manure. J Appl

Environ Microbiol. 72:565-574.

Griffiths M. 2003. Mycobacterium paratuberculosis. In: Food-borne Pathogens. 1st ed.

Woodhead Pub. Ltd. And CRC press LLC.

Gyles CL, Thoen CO. 1993. Mycobacterium. In : Pathogenesis of Bacterial Infections

in Animals. 2nd ed. Iowa State University Press.

Harlow E, Lane D. 1988. Immunoassay. In: Antibodies a Laboratory Manual. Cold

Spring Harbor Laboratory Press.

Harris NB, Barletta RLG. 2001. Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in

Veterinary Medicine. Clin Microbiol Review. 14:489 – 512.

Jones HP. 1999. Living with Johne’s Disease. Holstein J. 1:61-62

Kemeny DM, Challacombe SJ. 1989. ELISA and Other Solid Phase Immunoassays

Theoritical and Practical Aspects. A Wiley Medical Publication. John

Wiley & Sons.

Koolman J, Rohm KH. 1994. Color Atlas of Biochemistry, Georg Thieme Verlag,

Stuttgart. Germany.

Kurade NP, Tripathi BN, Rajukumar K, Parihar NS. 2004. Sequential Development of

Histologic Lesions and Their Relationship with Bacterial Isolation, Fecal

Shedding, and Immune Responses during Progressive Stages of Experimental

Infection of Lambs with Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis. Vet

Pathol. 41:378-387

Lequin R. 2005.Enzyme Immunoassay (EIA) / Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

(ELISA). J Clin Chem. 51 : 2415-2418.

Lombard JE, Byrem TM, Wagner BA, McCluskey BJ. 2006. Comparison of Milk and

Serum Enzyme Linked Immunosorbent Assays for Diagnosis of Mycobacterium

avium subspecies paratuberculosis Infection in Dairy Cattle. J Vet Diagn

Invest., 18:448–458.

Page 51: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

36

Malamo M, Sakoda Y, Ozaki H, Kida H. 2006. Development of ELISA to Detect

Antibodies Specific to Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis with

Truncated 34 kDa proteins. Jpn J Vet Res. 54:99-107.

McKenna SLB, Sockett DC, Keefe GP, McClure J, VanLeeuwen JA,

Barkema HW. 2005. Comparison of Two Enzyme-Linked Immunosorbent

Assays for Diagnosis of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis. J Vet

Diagn Invest. 17:463–466.

Michel FC, Grewal SJ, Sreevastan S. 2005. Persistence of Mycobacterium avium subsp.

paratuberculosis and other Pathogens during Composting, Manure Pack and

Liquid Storage of Dairy Manure. Dept. of Food, Agricultural and Biological

Engineering. The Ohio State University-OARDC. Wooster. Ohio

Mokrousov I, Narvskaya O. 2004. Methods for DNA Fingerprinting and Genotypic

Detection of Drug Resistance of Mycobacterium tuberculosis. S. Angeloff

Institute of Microbiology. Bulgarian Academy of Sciences.

Motiwala, AS, Strother, M, Theus NE, Stich RW, Bryum B, Shulaw WP, Kapur V,

Sreevatsani S. 2005. Rapid Detection and Typing of Strains of Mycobacterium

avium subsp. paratuberculosis from Broth Cultures. J Clin Microbiol.

43:2111-2117.

[OIE] Office International des Epizooties. 2004. Paratuberculosis. In : Manual of

Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals. World Organization for

Animal Health.

Osterstock, JB, Fosgate, GT, Norby B, Manning E, Collins, MT. 2007. Contribution of

Environmental Mycobacteria to False-Positive Serum ELISA Results for

Paratuberculosis. JAVMA. 203:896-901

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnely WJC, Leonard FC. 2006. Mycobacterium

spesies. In : Veterinary Microbiology and Microbial Disease. 6th ed. Blackwell

Science Ltd. Blackwell Publishing Company.

Page 52: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

37

Ristow P, Silvas MG, Fonsecas SL, Lilenbaum W. 2006. Evaluation of Mycobacterium

avium subsp. paratuberculosis Fecal Culture Protocols and Media. Pesq Vet

Bras. 26:1-4

Roussel JA, Fosgate TG, Manning JB, Collins MT. 2007. Association of Fecal

Shedding of Mycobacteria with High ELISA-Determined Seroprevalence for

Paratuberculosis in Beef Herds. JAVMA. 230:890-895

Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. In Vitro Amplification of DNA by the

Polymerase Chain Reaction. In : Molecular Cloning: A Laboratory Manual. 2nd

ed. Cold Spring Harbor, N.Y: Cold Spring Harbor Laboratory Press.

Schaik GV, Stehman SM, Schukken YH, Rossiter CR, Shin SJ. 2003. Pooled Fecal

Culture Sampling for Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis at

Different Herd Sizes and Prevalence. J Vet Diagn Invest. 15:233–241.

Shin JS, Chang YF, Huang CH, Zhu J, Huang L, Yoo HS. 2004. Development of

a Polymerase Chain Reaction Test to Confirm Mycobacterium avium subsp.

paratuberculosis in Culture. J Vet Diagn Invest. 16:116–120

Shin JS, Han JH, Manning E, Collins MT. 2007. Rapid and Reliable Method for

Quantification of Mycobacterium paratuberculosis by Use of the BACTEC

MGIT 960 System. J Clin Microbiol. 45:1941-1948.

Stabel JR, Well SJ, Wagner BA. 2002. Relationships Between Fecal Culture, ELISA,

and Bulk Tank Milk Test Results for Johne’s Disease in US Dairy Herds.

J Dairy Sci., 85:525-531.

Stabel JR, Bannantie JP. 2005. Development of a Nested PCR Method Targeting a

Unique Multicopy Element, ISMap02, for Detection of Mycobacterium avium

subsp. paratuberculosis in Fecal Samples. J Clin Microbiol. 43:4744-4750

Taddei S, Robbi C, Cesena C, Rossi I, Schiano E, Arrigoni N. 2004. Detection of

Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Bovine Fecal Samples:

Comparison of Three Polymerase Chain Reaction–Based Diagnostic Tests with

a Conventional Culture Method. J Vet Diagn Invest. 16:503–508

Page 53: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

38

Tasara T, Hoelzle LE, Stephan R. 2005. Development and Evaluation of

a Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP) Specific Multiplex

PCR Assay. J Food Microbiol. 104:279-287.

Vansnick E, Rijk DP, Vercammen F, Geysen D, Rigouts L, Portaels F. 2004. Newly

Developed Primers for The Detection of Mycobacterium avium subspecies

paratuberculosis. Vet Microbiol. 100:197-204.

Viljoen GJ, Neland LH, Crowther JR. 2005. Molecular Diagnostic PCR Handbook,

Springer Publication, Netherlands.

Waters WR, Miller JM, Palmer MV, Stabel JR, Jones DE, Koistinen KA, Steadham

EM, Hamilton MJ, Davis WC, Bannantine JP. 2003. Early Induction of Humoral

and Cellular Immune Responses During Experimental Mycobacterium avium

subsp. paratuberculosis Infection of Calves. J Infect Immun.71:5130-5138

Wells SJ, Collins MT, Faaberg KS, Wees C, Tavornpanich S, Petrini KR, Collins JE,

Cernicchiaro N, Whitlocks RH. 2006. Evaluation of a Rapid Fecal PCR Test for

Detection of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Dairy Cattle.

J Clin Vacc Immunol.,13:1125-1130.

Whan L, Ball HJ, Grant IR, Rowe MT. 2005. Occurrence of Mycobacterium avium

subsp. paratuberculosis in Untreated Water in Northern Ireland. J Appl Environ

Microbiol. 71:7107-7112.

Whittington RJ, Marsh I, Turner MJ, McAllister S, Choy E, Eamens GJ, Marshall DJ,

Ottaway S. 1998. Rapid Detection of Mycobacterium paratuberculosis in

Clinical Samples from Ruminants and in Spiked Environmental Samples by

Modified BACTEC 12B Radiometric Culture and Direct Confirmation by IS900

PCR. J Clin Microbiol. 36:701-707

Whittington RJ, Fell S, Walker D, McAllister, Marsh I, Sergeant E, Taragel CA,

Marshall DJ, Links IJ. 2000. Use of Pooled Fecal Culture for Sensitive and

Economic Detection of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis Infection

in Flocks of Sheep. J Clin Microbiol. 38:2550-2556.

Page 54: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

39

Whittington RJ, Marshall DJ, Nicholls PJ, Marsh IB, Reddacliff LA. 2004. Survival and

Dormancy of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in the

Environment. J Appl Environ Microbiol. 70:2989-3004.

Wu CW, Livesey M, Schmoller SK, Manning EJB, Steinberg H, Davis WC, Hamilton

MJ, Talaati AM. 2007. Invasion and Persistence of Mycobacterium avium subsp.

paratuberculosis during Early Stages of Johne’s Disease in Calves. J Infect

Immun. 75:2110-211.

Yokomizo Y.1997. Isolation and Identification of Mycobacterium paratuberculosis,

National Institut of Animal Health. Japan.

Page 55: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

40

LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar patologi anatomi usus besar kasus paratuberkulosis LPPH (1958)

Lampiran 2. Gambar hasil ELISA paratuberkulosis (serum ruminants paratuberculosis confirmation kit)

Page 56: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

41

Lampiran 3. Gambaran mikroskopik acid fast bacteria dari sampel feses positif (isolat Baturaden)

Lampiran 4. Gambaran mikroskopik acid fast bacteria dari sampel feses positif (isolat Lembang)

Page 57: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

42

Lampiran 5. Gambar hasil PCR feses IS900 sampel no 23 – 43 (1-21), kontrol positif kolom 23 dan 24, kontrol negatif kolom 22 dan 25.

Lampiran 6. Gambar hasil PCR feses F57 sampel no 23 – 43 (1-21), kontrol positif kolom 23 dan 24, kontrol negatif kolom 22 dan 25.

Page 58: DETEKSI Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis … · Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

43

Lampiran 7. Gambar kit ELISA (ruminants serum paratuberculosis confirmation kit, LSI, Perancis)

Lampiran 7. Gambar kit ekstraksi DNA dari feses (QIAmp stool mini kit, Qiagen, Jerman)