View
52
Download
4
Category
Preview:
DESCRIPTION
hai
Citation preview
i
LOMBA GEOSPASIAL INOVATIF NASIONAL 2015
ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT
GUNA PENGEMBANGAN POTENSI RUMPUT LAUT DENGAN
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 7 ETM+
(Studi Kasus: Pesisir Laut Utara Jawa Tengah)
GEOSPASIAL SEBAGAI UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN
INDONESIA
PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK
PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA
Diusulkan Oleh
Adito Maulana 21110113130096
Monica Nilasari 21110113130060
Aulia Budi Andari 21110113140065
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
ii
iii
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah yang berjudul “Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut
Guna Pengembangan Potensi Rumput Dengan Menggunakan Citra Landsat 7
ETM+”.
Karya Tulis Ilmiah ini ditujukan untuk mengikuti Lomba Geospasial
Inovatif Nasional yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Teknik
Geodesi Universitas Gadjah Mada. Melalui Karya Tulis Ilmiah ini, penulis ingin
memberikan inovasi terbaru mengenai pengembangan ilmu penginderaan jauh
untuk pemberdayaan sumber daya alam di Indonesia.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami
sampaikan kepada Bapak Abdi Sukmono, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan kepada kami dalam
penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada
kami.
Semarang, 27 Agustus 2015
Penulis
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................. iv
Abstrak ................................................................................................................ 1
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. I-2
I.1 Latar Belakang.................................................................................... I-2
I.2 Rumusan Masalah ............................................................................... I-4
I.3 Tujuan ................................................................................................ I-5
I.4 Manfaat .............................................................................................. I-5
BAB II DASAR TEORI................................................................................... II-1
II.1 Rumput Laut ...................................................................................... II-1
II.2 Kesesuaian Lahan Rumput Laut ......................................................... II-1
II.3 Penginderaan Jauh ............................................................................. II-3
II.4 Landsat 7 ETM+ ................................................................................ II-4
II.5 Gap Fill ............................................................................................. II-6
BAB III METODOLOGI ................................................................................ III-1
III.1 Sumber Literatur dan Data ................................................................ III-1
III.2 Pengolahan Data ............................................................................... III-1
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ........................................ III-1
IV.1 Data .................................................................................................. IV-1
IV.2 Pembahasan ...................................................................................... IV-1
IV.2.1 Perhitungan Klorofil-A .............................................................. IV-1
IV.2.2 Perhitungan Kecerahan Air ........................................................ IV-1
IV.2.3 Perhitungan Suhu Permukaan Laut (SPL) .................................. IV-2
IV.2.4 Analisa Klasifikasi Klorofil-A ................................................... IV-3
IV.2.5 Analisa Klasifikasi Kecerahan Air ............................................. IV-4
v
IV.2.6 Analisis Klasifikasi Suhu Permukaan Laut ................................. IV-5
IV.2.7 Analisa Zoning Lokasi Budidaya Rumput Laut .......................... IV-6
BAB V PENUTUP .......................................................................................... V-1
V.1 Kesimpulan........................................................................................ V-1
V.2 Saran ................................................................................................. V-2
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... vi
LAMPIRAN ..........................................................................................................
Lampiran 1. Daftar Gambar
Lampiran 2. Daftar Tabel
Lampiran 3. Daftar Grafik
Lampiran 4. Data Penulis
Lampiran 5. Data Dosen Pembimbing
Lampiran 6. Fotokopi Kartu Mahasiswa
I-1
Abstrak
Pemanfaatan serta pengembangan rumput laut dalam berbagai bidang belum
dapat maksimal. Peluang pengembangan sumber daya hayati ini mengalami
banyak kendala terutama dalam hal penentuan lokasi budidaya. Mengingat
Indonesia merupakan negara dengan 70% lautan, maka seharusnya potensi
tersebut harus segera terselesaikan.
Penentuan lokasi budidaya rumput laut tidak jarang mengalami kendala yang
membutuhkan banyak biaya, waktu, serta tenaga. Teknologi berupa penginderaan
jauh menjadi solusi yang baik dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk
pengembangan budidaya rumput laut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kesesuaian lokasi budidaya rumput laut Pesisir Utara Jawa Tengah. Penentuan
kesesuaian lokasi budidaya rumput laut ini menggunakan citra satelit Landsat 7
ETM+ dengan parameter kandungan klorofil-A, tingkat kecerahan air, dan suhu
permukaan laut (SPL). Parameter tersebut diolah menggunakan software ENVI
4.8 kemudian dilakukan pengolahan SIG menggunakan software Arcview GIS 10
sehingga dihasilkan peta tematik. Peta tematik tersebut ditumpang susun sehingga
dihasilkan peta kesesuaian lokasi budidaya rumput laut.
Hasil dari penelitian ini menghasilkan lokasi yang sangat sesuai untuk
budidaya rumput laut di Pesisir Utara Jawa Tengah adalah 90,63 ha (0,040%),
luas lokasi sesuai adalah 180757,0953 ha (80,751%), luas lokasi cukup sesuai
adalah 42996,70734 ha (19,208%), dan lokasi tidak sesuai adalah 0,72 ha
(0,001%). Penelitian ini selanjutnya akan sangat bermanfaat untuk pengembangan
sumber daya hayati dengan memanfaatkan rumput laut di kawasan pesisir Utara
Jawa Tengah dengan membudidayakannya.
I-2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Rumput laut adalah salah satu kekayaan sumber daya hayati yang terdapat
di wilayah pesisir dan laut Indonesia. Rumput laut Indonesia semakin
diperhitungkan di pasar dunia. Itu tergambar dari permintaan akan rumput laut
jenis eucheumacotoni, di mana Indonesia mampu mensuplai sebesar 50 persen
kebutuhan dunia untuk jenis rumput laut itu.
Besarnya potensi yang dimiliki untuk kegiatan budidaya rumput laut
belum seluruhnya termanfaatkan dengan baik. Sejak diundangkan UU No. 22
Tahun 2000 tentang otonomi daerah, banyak terjadi penguasaan kemepemilikan
daerah terhadap wilayah perairan laut yang berada di wilayahnya. Daerah
mempunyai otoritas yang kuat untuk mengatur wilayah perairannya.
Permasalahan muncul karena daerah belum mengatur pemanfaatan atau tata
ruang wilayah perairan pantainya, sehingga terjadi tumpang tindih antara berbagai
kegiatan di suatu wilayah yang sama. Keadaan seperti ini menjadikan penanam
modal yang akan berinvestasi menjadi tidak aman dalam jangka waktu yang lama.
Penentuan lokasi yang tepat bagi kegiatan budidaya rumput laut merupakan
langkah awal yang harus dilakukan untuk dapat menjamin keberlangsungan usaha
budidaya yang sesuai dengan kondisi lingkungan (GESAMP, 2001).
Peluang pengembangan usaha perikanan dan kelautan Indonesia memiliki
prospek yang baik. Salah satu sumber daya hayati laut Indonesia yang mempunyai
peluang pengembangan produksi dan peluang ekspor yang baik adalah rumput
laut. Penentuan lokasi budidaya rumput laut sangat penting dilakukan karena
karakteristik rumput laut yang hidup dengan cara melekat pada substrat dan tidak
dapat berpindah tempat. Tumbuhan ini hidup dengan cara menyerap nutrien dari
perairan dan melakukan fotosintesis, sehingga pertumbuhannya membutuhkan
faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti gerakan air, suhu, kadar garam
(salinitas), nitrat, dan fosfat serta pencahayaan sinar matahari (Atmadja et al.
1996). Nutrien yang diperlukan oleh rumput laut dapat langsung diperoleh dari air
I-3
laut melalui gerakan air atau biasa disebut arus. Gerakan air tersebut berperan
dalam mempertahankan sirkulasi zat hara yang berguna untuk pertumbuhan
(Dahuri 2003).
Indonesia merupakan produsen terbesar rumput laut di dunia, khususnya
jenis Eucheuma cottonii. Berdasarkan data sementara statistic FAO yang
dikeluarkan pada Maret 2015, produksi rumput laut Indonesia jenis E. cottonii
pada tahun 2013 menempati urutan pertama dunia sebanyak 8,3 juta ton.
Sedangkan untuk rumput laut jenis Gracilaria sp., pada 2013 Indonesia
menempati urutan kedua setelah China, dengan produksi sebesar 975 ribu ton.
Dengan fakta angka di atas, menempatkan Indonesia sebagai pemimpin di pasar
rumput laut dunia. Rumput laut sendiri merupakan salah satu komoditas utama
perikanan budidaya, yang menjadi andalan dalam peningkatan produksi,
perekonomian daerah, dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Total produksi
rumput laut nasional saat ini telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Menurut data sementara di KKP, produksi rumput laut nasional pada tahun 2014
mencapai 10,2 juta ton atau meningkat lebih dari tiga kali lipat dari produksi
rumput laut pada tahun 2010 yang berkisar 3,9 juta ton, peningkatan rata-rata
pertahun mencapai 27,71 persen.
Beberapa keunggulan dari usaha budidaya rumput laut, diantaranya adalah
pemeliharaan yang mudah, murah, dan menguntungkan. Sekali tanam, bibit
rumput laut berlaku untuk masa budidaya selama 3-4 tahun. Modal yang
dibutuhkan tiap hektar lahan tergolong murah, sebesar Rp 5.040.000,00.
Perhitungan pendapatan kotor mencapai Rp 13.070.000,00. Keuntungan yang
diperoleh sebesar Rp 8.030.000,00 dalam kurun waktu 4 bulan (1 musim tanam).
Keunggulan lainnya adalah menyerap banyak tenaga kerja. Diprediksi setiap
pengusahaan 1 ha budidaya rumput laut membutuhkan jumlah tenaga kerja
sebanyak 45 orang. Dan yang terakhir pasar yang menjanjikan baru tercukupinya
10-15% dari permintaan pasar membuat usaha budidaya rumput laut memiliki
prospek yang cukup menjanjikan.
Mengingat wilayah Indonesia yang sebagian besar (70%) laut dan
memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia yaitu 81.000 km dengan 13.667
pulau serta memiliki karakteristik perairan pantai meliputi perairan dangkal dan
I-4
lagoon merupakan potensi yang besar bagi pengembangan budidaya rumput laut.
Kegiatan budidaya rumput laut telah menunjukan kontribusi nyata bagi
pendapatan daerah maupun nasional. Potensi rumput laut di perairan Indonesia
mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400
ton/tahun. Melihat besarnya potensi pemanfaatan rumput laut, terutama untuk
ekspor, angka peluang untuk masuk dalam usaha ini amat besar, khususnya pada
daerah Pesisir Pantai Utara Jawa secara geografis sangat cocok untuk usaha
budidaya rumput laut. Keterlibatan semua pihak dalam teknologi pembudidayaan
dan pemasaran merupakan faktor yang menentukan dalam menggairahkan
masyarakat dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut.
Karena budidaya rumput laut merupakan salah satu budidaya yang
menjadi sumber devisa negara Indonesia ditambah dengan keuntungan
budidayanya yang sangat melimpah dan budidayanya yang tidak cukup sulit,
maka perlu adanya pengetahuan lebih mengenai rumput laut terutama pada
persebaran lokasi rumput laut dan kesesuaian lahan dari rumput laut tersebut. Hal
ini penting untuk dapat memaksimalkan budidaya rumput laut di negara Indonesia
dengan mengetahui lahan mana yang seesuai sebagai media pertumbuhan rumput
laut tersebut.
Pada karya tulis ini, penulis akan mengkaji mengenai persebaran lokasi
budidaya rumput laut dari sudut pandang penginderaan jauh. Citra satelit yang
akan penulis gunakan adalah citra landsat 7 ETM+ tahun 2015. Band pada citra
landsat 7 ETM+ dapat digunakan untuk mendeteksi kandungan klorofil-A,
kecerahan air, dan suhu permukaan laut sebagai parameter yang bisa digunakan
untuk menentukan kesesuian lahan untuk budidaya rumput laut. Dengan hasil
akhir adalah peta kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut.
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut pada
daerah Pesisir Laut Utara Jawa Tengah menggunakan metode
penginderaan jauh?
2. Bagaimana potensi pengembangan budidaya rumput laut pada daerah
Pesisir Laut Utara Jawa Tengah?
I-5
I.3 Tujuan
1. Mendapatkan data kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut pada
daerah Pesisir Laut Utara Jawa Tengah dengan metode penginderaan jauh.
2. Mendapatkan lokasi yang berpotensi untuk pengembangan budidaya
rumput laut pada daerah Pesisir Laut Utara Jawa Tengah.
I.4 Manfaat
1. Memberikan informasi mengenai parameter kesesuaian lahan pada daerah
Pesisir Laut Utara Jawa Tengah dengan metode penginderaan jauh.
2. Memberikan informasi lokasi yang cocok dalam budidaya rumput laut
pada daerah Pesisir Laut Utara Jawa Tengah.
3. Mengembangkan aplikasi penginderaan jauh dalam studi kesesuaian lahan
untuk budidaya rumput laut.
II-1
BAB II
DASAR TEORI
II.1 Rumput Laut
Rumput laut adalah salah satu sumber daya hayati yang terdapat di
wilayah pesisir dan laut. Rumput laut merupakan tumbuhan jenis alga, yang
termasuk ganggang multiseluler golongan divisi thallophyta. Rumput laut
biasanya hidup di dasar laut yang dapat tertembus cahaya matahari. Seperti
umumnya tanaman lain, rumput laut juga memiliki klorofil atau pigmen warna
yang lain. Warna itulah yang menggolongkan jenis rumput laut.
Besarnya potensi yang dimiliki untuk kegiatan budidaya rumput laut
belum seluruhnya termanfaatkan dengan baik. Penentuan lokasi yang tepat bagi
kegiatan budidaya rumput laut merupakan langkah awal yang harus dilakukan
untuk dapat menjamin keberlangsungan usaha budidaya yang sesuai dengan
kondisi lingkungan (GESAMP, 2001).
II.2 Kesesuaian lahan Rumput Laut
Dalam budidaya rumput laut terdapat beberapa faktor fisika dan kimia
yang berpengaruh seperti temperatur dan salinitas. Berikut adalah beberapa faktor
fisika dan kimia yang mempengaruhi budidaya rumput laut, antara lain :
1. Temperatur
Suhu di lautan merupakan faktor lingkungan yang sangat penting bagi
kehidupan organisme laut (Hutabarat, 1986). Menurut Lunning (1990),
temperatur optimal untuk pertumbuhan alga di daerah tropis adalah 15ºC –
30ºC. Menurut Van Den Hoek (1982), perubahan temperatur yang ekstrim
akan mengakibatkan kematian bagi rumput laut, terganggunya tahap-tahap
reproduksi dan terhambatnya pertumbuhan.
2. Salinitas
Salinitas merupakan nilai total garam-garam terlarut di laut. Nilai rata-rata
salinitas perairan laut rata-rata sebesar 35 ppt dan stabil ketika berada di
perairan laut terbuka (Sverdrurp et al. 2004). Rumput laut umumnya hidup di
II-2
laut dengan salinitas antara 30‰-32‰ (Luning, 1990). Adanya fluktuasi
salinitas mempengaruhi dalam pertumbuhan, stabilitas, dan bentuk rumput
laut (Lunning, 1990). Salinitas juga mempengaruhi penyebaran makroalga di
lautan.
Tabel II-1 Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut
(Baja, 2012)
No Kriteria Kelas Kelas Kesesuaian Lahan
1 Kecerahan Air (m)
>5,0 S1 Sangat Sesuai
3,0-5,0 S2 Sesuai
<3,0 S3 Cukup Sesuai
2 Suhu (oC)
27-30 S1 Sangat Sesuai
25<27 atau >30-32 S2 Sesuai
<25 atau >32 S3 Cukup Sesuai
3 pH
7,0-8,5 S1 Sangat Sesuai
6,5-<7 atau 8,5-9,5 S2 Sesuai
<6,5 atau >9,5 S3 Cukup Sesuai
4 Salinitas (o/oo)
29-33 S1 Sangat Sesuai
25-<29 atau >33-37 S2 Sesuai
<25 atau >37 S3 Cukup Sesuai
5 Klorofil-A
3,5-10 S1 Sangat Sesuai
0,2-<3,5 S2 Sesuai
<0,2 S3 Cukup Sesuai
Keterangan :
- Kelas S1 (sangat sesuai) : lahan-lahan dengan tanpa pembatas atau
hanya memiliki pembatas yang sangat ringan, dan pembatas tersebut
tidak berpengaruh terhadap produktivitas atau keuntungan yang
diperoleh, serta tidak memerlukan input diatas level rata-rata.
- Kelas S2 (sesuai) : lahan-lahan dengan beberapa pembatas yang
mempengaruhi produktivitas, dan pembatas tersebut agak berat sehingga
mempengaruhi pengusahaan suatu jenis penggunaan lahan tertentu
secara lestari; pembatas-pembatas yang ada dapat menurunkan produksi
atau keuntungan dan meningkatnya kebutuhan akan input untuk
perolehan keuntungan dari penggunaan tertentu.
- Kelas S3 (Cukup Sesuai) : lahan-lahan dengan beberapa pembatas yang
mempengaruhi produktivitas, dan pembatas tersebut cukup berat untuk
tujuan pengusahaan suatu jenis penggunaan lahan tertentu secara lestari;
II-3
pembatas-pembatas yang ada telah sampai pada taraf yang sangat
berpengaruh terhadap penurunan produksi atau keuntungan, dan
dibutuhkannya input untuk perolehan keuntungan dari penggunaan
tertentu.
- Kelas N (tidak sesuai) : lahan-lahan dengan pembatas yang cukup berat
dan belum bisa diatasi pada masa sekarang; pembatas tersebut cukup
berat sehingga mempengaruhi pengusahaan suatu jenis penggunaan
lahan tertentu secara lestari.
II.3 Penginderaan Jauh
Teknologi penginderaan jauh merupakan pengembangan dan teknologi
pemotretan udara yang mulai diperkenalkan pada akhir abad ke-19. Manfaat
potret udara dirasa sangat besar dalam perang dunia pertama dan kedua, sehingga
cara ini dipakai dalam eksplorasi ruang angkasa. Sejak saat itu istilah
penginderaan jauh (remote sensing) dikenal dan menjadi popular dalam dunia
pemetaan.
Ada beberapa definisi mengenai penginderaan jauh, antara lain :
1. Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi
tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang
diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan objek,
daerah, atau gejala yang akan dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994 dalam
Purwadhi, 2001).
2. Penginderaan jauh merupakan upaya untuk memperoleh, mengidentifikasi,
dan menganalisis obyek dengan sensor pada posisi pengamatan daerah
kajian (Avery,1985).
3. Penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk
memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi. Informasi itu
berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari
permukaan bumi (Lindgren, 1985).
Dari batasan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penginderaan
jauh (remote sensing) adalah pengambilan atau pengukuran data/informasi
mengenai sifat dari sebuah fenomena, obyek, atau benda dengan menggunakan
II-4
alat perekam tanpa berhubungan langsung dengan bahan yang dikaji. Sehingga,
penginderaan jauh merupakan pemantauan terhadap suatu obyek dari jarak jauh
dengan tidak melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut.
Pengertian „tanpa kontak langsung‟ disini dapat diartikan secara sempit
dan luas. Secara sempit berarti bahwa memang tidak ada kontak antara objek
dengan analisis, misalnya ketika data citra satelit diproses dan ditransformasi
menjadi peta distribusi temperatur permukaan pada saat perekaman. Secara luas,
berarti bahwa kontak dimungkinkan dalam bentuk aktivitas „ground truth‟, yaitu
pengumpulan sampel lapangan untuk dijadikan dasar pemodelan melalui
interpolasi dan ekstrapolasi pada wilayah yang jauh lebih luas dan pada kerincian
yang lebih tinggi.
II.4 Landsat 7 ETM+
Satelit ini diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Tujuan utama Landsat
7 adalah untuk memperbaharui arsip citra satelit, menyediakan citra yang update
dan bebas awan. Meski program Landsat dikelola oleh NASA, data dari Landsat 7
dikumpulkan dan didistribusikan oleh USGS. Proyek NASA World Wind
memungkinkan gambar tiga dimensi dari Landsat 7 dan sumber-sumber lainnya
untuk dapat dengan mudah dinavigasi dan dilihat dari berbagai sudut.
Landsat 7 dirancang untuk dapat bertahan 5 tahun dan memiliki kapasitas
untuk mengumpulkan dan mentrasmisikan hingga 532 citra setiap harinya. Orbit
dari satelit ini adalah polar, orbit yang sinkron terhadap matahari, dalam arti dapat
memindai seluruh permukaan bumi, yakni selama 232 orbit atau 15 hari. Massa
satelit tersebut 1973 kg, memiliki panjang 4,04 meter dan diameter 2,74 meter.
Tak seperti pendahulunya, Landsat 7 memiliki memori 378 gigabits (kira-kira 100
citra). Instrumen utama Landsat 7 adalah Enhanced Thematic Mapper Plus
(ETM+).
II-5
Gambar II-1 Satelit Landsat
Citra satelit Landsat 7 ETM+ merupakan citra dengan resolusi spasial 30m
x 30m pada band 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 15m x 15m pada band 6 (thermal). Fungsi
dari band thermal ini nantinya untuk pengukuran tingkat evapotranspirasi yang
bermanfaat untuk pengelolaan air. Hasil dari perekaman Satelit Landsat 7 ETM+
ini, (sebagian besar) data hasil perekamannya akan bisa diunduh secara gratis di
situs-nya USGS.
Tabel II-2 Karakteristik Band pada Landsat 7 ETM+
Sumber : Jaya (2002), Lillesand dan Kiefer (1964), Mika (1994), USGS (2002) dalam
Putra (2003)
Band Spektrum Panjang
Gelombang
Resolusi
Spasial Aplikasi
1
Sinar
tampak
(biru)
0,450 – 0,515 30 x 30
Untuk pemetaan perairan pantai, pembedaan
tanah dan vegetasi, analisa tanah dan air, dan
pembedaan tumbuhan berdaun lebar dengan
konifer.
2
Sinar
tampak
(hijau)
0,525 – 0,605 30 x 30 Untuk inventarisasi vegetasi dan penilaian
kesuburan.
3
Sinar
tampak
(merah)
0,630 – 0,690 30 x 30
Untuk pemisahan kelas vegetasi dan
memperkuat kontras antara penampakan
vegetasi dengan non vegetasi.
4 Infra merah
dekat 0,750 – 0,900 30 x 30
Untuk deteksi akumulasi biomassa vegetasi,
identifikasi jenis tanaman, dan memudahkan
pembedaan tanah dan tanaman, serta lahan dan
II-6
air.
5 Infra merah
menengah 1,550 – 1,750 30 x 30
Untuk menunjukkan kandungan air pada
tanaman, kondisi kelembaban tanah dan
berguna untuk membedakan awan dengan
salju.
6 Infra merah
thermal jauh
10,400 –
12,500 60 x 60
Untuk analisa stress vegetasi pembedaan
kelembaban tanah, klasifikasi vegetasi, analisis
gangguan vegetasi, dan pemetaan suhu.
7 Infra merah
thermal 2,090 – 2,350 30 x 30
Untuk pemetaan formasi geologi dan
pemetaan hydrothermal.
8 Pankromatik 0,520 – 0,900 15 x 15 Untuk peningkatan resolusi spasial
II.5 Gap Fill
Citra Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan Scan Line Corrector pada
tahun 2003 yang menyebabkan hasil perekaman citranya tidak sempurna
(striping). Berbagai metode telah dikembangkan untuk memperbaiki kesalahan
ini, seperti mulai dari interpolasi piksel tetangga, pengisian data dari perekaman
tanggal yang lain, dan teknik lainnya. Namun, hasil yang diperoleh tidak selalu
baik, mengingat karakteristik radiometrik tiap waktu perekaman biasanya berbeda
(sistem penginderaan jauh tidak ideal).
Pengisian gap pada dasarnya dapat dilakukan di software apapun yang
sudah mendukung map algebra fungsi conditional (IF THEN ELSE) atau
mozaicking, namun demikian ada beberapa tools otomatis yang dikembangkan
untuk mempermudah proses gap filling.
III-1
BAB III
METODOLOGI
III.1 Sumber Literatur dan Data
Dalam penelitian mengenai kesesuaian lahan rumput laut ini, terdapat dua
jenis data yang digunakan yaitu Data Primer dan Data Sekunder. Data Primer
yang digunakan adalah Data Citra Satelit Landsat 7 ETM+ dari USGS dengan
tanggal perekaman 22 Juni 2015 dan 24 Juli 2015. Sedangkan Data Sekunder
yang digunakan adalah Algoritma-algoritma pengolahan citra satelit dari jurnal,
buku maupun literatur lainnya.
III.2 Pengolahan Data
Melakukan input data citra yang digunakan untuk pengolahan ini adalah
data citra Landsat 7 ETM+ band 2, 3, 4, dan 6 bulan Juli tahun 2015. Data citra
tambahan untuk melakukan Gap Fill yaitu menggunakan citra Landsat 7 ETM+
bulan Juni tahun 2015.
Melakukan pemotongan citra dimaksudkan untuk memperkecil daerah
pengamatan ke daerah studi yang diinginkan yaitu Pesisir Laut Utara Jawa
Tengah. Pemotongan daerah ini menggunakan metode ROI (Region of Interest),
hal itu dimaksudkan untuk penghapusan nilai digital dari karakter daratan karena
obyek yang diamati berupa lautan. Sehingga, dari proses ROI ini nilai digital
daratan akan menjadi 0.
Mengubah tampilan citra hasil pemotongan menjadi True Colour dengan
menggunakan band 3,2,1. Lalu mengubah citra band 2, 3, 4, dan 6 ke Reflectance
dengan menggunakan rumus berikut
Keterangan : Mρ : Reflectance Mult Band terdapat pada meta data.
Aρ : Reflectance Add Band terdapat pada meta data.
Qcal : Input band yang akan diubah.
III-2
ρλ' : TOA planetary reflectance, tanpa koreksi solar angle.
ρλ : TOA planetary reflectance
θSE : Sun Elevation Angle terdapat pada meta data.
Selanjutnya, melakukan pengolahan parameter klorofil-A. Dalam analisa
kesesuaian lahan budidaya rumput laut, pengukuran kandungan klorofil-A
diperlukan untuk mengetahui produktivitas rumput laut pada perairan tersebut.
Klorofil-A yang terdeteksi oleh citra pada dasarnya merupaka pigmen yang
terkandung dalam rumput laut. Algoritma yang digunakan adalah sebagai berikut :
Keterangan : C : Konsentrasi Muatan Padat Tersuspensi (mg/l)
TM 3 : Nilai reflektansi kanal 3 dari Landsat 7 ETM+
TM 2 : Nilai reflektansi kanal 4 dari Landsat 7 ETM+
Langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan parameter kecerahan
perairan. Tingkat kecerahan perairan dapat diketahui melalui penajaman citra
Landsat. Algoritma yang dipergunakan adalah algoritma hasil penelitian dari
Mujito et.al (1997). Secara matematis, algoritma tersebut dapat dituliskan menjadi
:
Kecerahan (meter) = 17,51427 – 0,10925 x b1
Keterangan : b1 : Nilai reflektansi kanal 1 dari Landsat 7 ETM+
Setelah itu, melakukan pengolahan parameter suhu permukaan laut dengan
mengkonversi DN ke Top of Atmosphere (TOA) Radiance (L) terlebih dahulu
dengan rumus sebagai berikut :
Lλ = MLQcal + AL
Keterangan : Lλ : TOA spectral radiance (watt/(m2*ster*μm).
ML : Radiance Mult Band terdapat pada meta data.
AL : Radiance Add Band terdapat pada meta data.
Qcal : DN.
Setelah mengkonversi DN ke Radiance, menentukan suhu permukaan laut
dengan algoritma sebagai berikut :
T (kelvin) = K2 / ln ((K1/ Lλ) + 1)
Keterangan : T : Suhu efektif.
III-3
K1 dan K2 : Nilai konstanta kalibrasi diperoleh dari metadata.
Lλ : Radian (watt/(m2*ster*μm).
Pada algoritma di atas, suhu permukaan laut tersebut masih dalam satuan
kelvin. Untuk mengubahnya ke dalam satuan celcius, maka melakukan
pengolahan dengan algoritma sebagai berikut :
T (celcius) = b1 – 273
Keterangan : T : Suhu efektif.
b1 : Nilai reflektansi kanal 1 dari Landsat 7 ETM+
Tahapan selanjutnya adalah melakukan klasifikasi pada setiap parameter.
Berikut klasifikasi pada setiap parameter :
1. Klorofil-A : 2,1–3,4 ; 3,5-4,7 ; 4,8-6,1 ;
6,2-7,5
2. Kecerahan air : 15,550-15,575 ; 15,575-15,600 ;
15,600-15,625
3. Suhu Permukaan Laut (SPL) : 23-24,5 ; 24,5-26 ; 26-27,5 ; 27,5-29 ; 29-
30,5 ; 30,5-32
Setelah melakukan klasifikasi, selanjutnya mengolah hasil citra tersebut
menjadi vektor yang kemudian akan diubah menjadi format .shp. Format .shp
digunakan dalam layouting data hasil citra dengan menggunakan software ArcGIS
10.
III-4
Berikut merupakan diagram alir penelitian kesesuaian lahan budidaya rumput laut:
Overlay 2
Kesesuaian Lahan
Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan (S1, S2, S3, N)
Klorofil-A Kecerahan Air Suhu (oC)
Overlay 1
Klorofil-A Kecerahan Air Suhu (oC)
Konsultasi Citra Satelit
Pengolahan Setiap
Parameter
Studi
Pustaka
Gap Fill Kriteria Kesesuaian
Grafik III-1 Diagram alir penelitian kesesuaian lahan budidaya rumput laut
IV-1
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
IV.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian kesesuian lahan rumput laut adalah
data satelit Landsat 7 ETM+ dari USGS dengan tanggal perekaman 22 Juni 2015
dan 24 Juli 2015. Citra Landsat 7 ETM+ dengan tanggal perekaman 24 Juli 2015
digunakan sebagai data primer pengolahan citra satelit. Sedangkan Citra Landsat 7
ETM+ dengan tanggal perekaman 22 Juni 2015 digunakan saat proses Gap Fill.
IV.2 Pembahasan
IV.2.1 Perhitungan Klorofil-A
Perhitungan kandungan Klorofil-A ini dilakukan dengan menggunakan
algoritma Landsat 7 ETM+. Setelah citra dilakukan subset ROI lautan, maka
proses selanjutnya dilakukan perhitungan kandungan Klorofil-A dengan
menggunakan algoritma sebagai berikut :
Gambar IV-1 Hasil algoritma klorofil-A
IV.2.2 Perhitungan Kecerahan Air
Sebelum memasukkan algoritma untuk pengolahan kecerahan air, maka
yang harus dilakukan sama seperti pada pengolahan klorofil-A. Pada awalnya
melakukan subset ROI lautan pada citra, yang prosesnya sama seperti pada
IV-2
pengolahan klorofil-A. Setelah dilakukan subset citra maka selanjutnya dilakukan
perhitungan kecerahan air dengan menggunakan algoritma sebagai berikut :
Kecerahan (meter) = 17,51427 – 0,10925 x band1
Gambar IV-2 Hasil algoritma kecerahan air
IV.2.3 Perhitungan Suhu Permukaan Laut (SPL)
Melakukan pemisahan antara lautan dengan daratan pada citra Landsat 7
ETM+. Pemisahan tersebut dilakukan dengan subset ROI dengan acuan band 4.
Pengolahan citra Landsat 7 ETM+ untuk ekstraksi informasi suhu permukaan laut
menggunakan saluran 11. Pada proses pengolahan tahap pertama akan dihasilkan
suhu permukaan laut dengan satuan kelvin. Algoritma pada band math yang
digunakan adalah seperti berikut :
T (kelvin) = K2 / ln ((K1/ Lλ) + 1)
Selanjutnya mengubah satuan kelvin menjadi celcius, dengan pengolahan
algoritma sebagai berikut :
T (celcius) = band1 – 273
Gambar IV-3 Hasil algoritma suhu permukaan laut
IV-3
IV.2.4 Analisa Klasifikasi Klorofil-A
Gambar IV-4 Hasil klasifikasi klorofil - A
Klasifikasi kandungan klorofil-A berdasarkan kriteria kesesuaian lahan
untuk budidaya rumput laut (Baja, 2012) minimal adalah <0,2, menengah 0,2 -
<3,5, dan maksimal 3,5 - 10. Berikut merupakan banyaknya titik kandungan
klorofil-A tiap interval pada Pesisir Utara Laut Jawa Tengah :
0 – 0,2 : 210.583 titik
2,1 – 3,4 : 152.628 titik
3,5 – 4,7 : 4.661.633 titik
4,8 – 6,1 : 333.799 titik
6,2 – 7,5 : 58.975 titik
Pada daerah Pesisir Utara Laut Jawa Tengah mayoritas klasifikasi
kandungan klorofil-A berkisar antara 3,5 - 4,7 dengan 4.661.633 titik. Dengan
kondisi kandungan klorofil-A pada wilayah Pesisir Utara Laut Jawa Tengah
tersebut, maka Pesisir Utara Laut Jawa Tengah dapat dikategorikan menjadi
wilayah yang sesuai untuk budidaya rumput laut.
IV-4
IV.2.5 Analisa Klasifikasi Kecerahan Air
Gambar IV-5 Hasil klasifikasi kecerahan air
Klasifikasi kecerahan air berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk
budidaya rumput laut (Baja, 2012) minimal adalah <3,0 m, menengah pada
interval 3,0 m – 5,0 m, dan maksimal >5,0 m. Berikut merupakan banyaknya titik
kecerahan air tiap interval pada Pesisir Utara Laut Jawa Tengah :
15,55 m – 15,575 m : 239.878 titik
15,575 m – 15,6 m : 6.580.364 titik
15,6 m – 15,625 m : 150.454 titik
Pada daerah Pesisir Utara Laut Jawa Tengah mayoritas klasifikasi
kecerahan air adalah dapat berkisar antara 15,55 m - 15,625 m (>5 m). Dengan
kondisi kecerahan air pada wilayah Pesisir Utara Laut Jawa Tengah tersebut,
maka Pesisir Utara Laut Jawa Tengah dapat dikategorikan menjadi wilayah yang
sesuai untuk budidaya rumput laut.
IV-5
IV.2.6 Analisis Klasifikasi Suhu Permukaan Laut
Gambar IV-6 Klasifikasi suhu permukaan laut
Klasifikasi suhu permukaan laut berdasarkan kriteria kesesuaian lahan
untuk budidaya rumput laut (Baja, 2012) minimal adalah <25°C atau >32°C,
menengah 25°C - <27°C atau >30°C - 32°C, dan maksimal 27°C - 30°C. Berikut
merupakan banyaknya titik suhu permukaan laut tiap interval pada Pesisir Utara
Laut Jawa Tengah :
22,5°C – 24°C : 1.429 titik
24°C – 25°C : 1.220.258 titik
25°C – 27°C : 4.441.854 titik
27°C – 28,5°C : 602.560 titik
28,5°C – 30°C : 532.333 titik
30°C - 32°C : 174.803 titik
32°C - 34°C : 6.632 titik
Pada daerah Pesisir Utara Laut Jawa Tengah mayoritas klasifikasi suhu
permukaan laut berkisar antara 25°C – 27°C dengan 4.441.854 titik. Dengan
kondisi suhu permukaan laut pada wilayah Pesisir Utara Laut Jawa Tengah
tersebut, maka Pesisir Utara Laut Jawa Tengah dapat dikategorikan menjadi
wilayah yang sesuai untuk budidaya rumput laut.
IV-6
IV.2.7 Analisa Zoning Lokasi Budidaya Rumput Laut
Gambar IV-7 Zoning lokasi budidaya rumput laut
Hasil dari penelitian ini menghasilkan lokasi yang sangat sesuai untuk
budidaya rumput laut di Pesisir Utara Jawa Tengah adalah 90,63 ha (0,040%),
luas lokasi sesuai adalah 180757,0953 ha (80,751%), luas lokasi cukup sesuai
adalah 42996,70734 ha (19,208%), dan lokasi tidak sesuai adalah 0,72 ha
(0,001%).Lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada penelitian ini lebih
dominan pada daerah Pesisir Laut Utara Jawa Tengah adalah pada daerah pesisir
Semarang, pesisir Kendal, pesisir Batang, pesisir Pekalongan dan pesisir
Pemalang. Penelitian ini selanjutnya akan sangat bermanfaat untuk pengembangan
sumber daya hayati dengan memanfaatkan rumput laut di kawasan pesisir Utara
Jawa Tengah dengan membudidayakannya.
V-1
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tentang penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya
rumput laut dengan parameter kandungan klorofil-A, kecerahan air, dan suhu
permukaan laut dengan menggunakan citra satelit Landsat 7 ETM+ di Pesisir
Utara Laut Jawa Tengah, dapat diambil kesimpulan:
1. Penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut pada daerah Pesisir
Laut Utara Jawa Tengah menggunakan metode penginderaan jauh dengan
menghasilkan data beberapa parameter berikut :
- Nilai kandungan klorofil-A pada wilayah Pesisir Utara Laut Jawa Tengah
dominan pada kisaran antara 3,5-4,7.
- Nilai kecerahan air pada wilayah Pesisir Utara Laut Jawa Tengah dominan
pada interval 15,575-15,6 m.
- Distribusi nilai Suhu Permukaan Laut (SPL) pada wilayah Pesisir Utara
Laut Jawa Tengah dominan pada rentang 25°C - 27°C .
2. Lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada penelitian ini lebih
dominan pada daerah Pesisir Laut Utara Jawa Tengah adalah pada daerah
pesisir Semarang, pesisir Kendal, pesisir Batang pesisir Pekalongan dan
pesisir Pemalang. Pada daerah pesisir tersebut, suhu permukaan laut terlihat
hangat sehingga sesuai untuk kriteria budidaya rumput laut. Selain itu nilai
kecerahan air pada wilayah tersebut dapat dikategorikan sesuai untuk lokasi
budidaya rumput laut. Sedangkan kandungan klorofil-A pada wilayah tersebut
juga terdapat pada kisaran yang sesuai untuk lokasi budidaya rumput laut.
3. Lokasi yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut di Pesisir Utara Jawa
Tengah adalah 90,63 ha (0,040%), luas lokasi sesuai adalah 180757,0953 ha
(80,751%), luas lokasi cukup sesuai adalah 42996,70734 ha (19,208%), dan
lokasi tidak sesuai adalah 0,72 ha (0,001%).
V-2
V.2 Saran
Berdasarkan penelitian tentang penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya
rumput laut dengan parameter kandungan klorofil-A, kecerahan air, dan suhu
permukaan laut dengan menggunakan citra satelit Landsat 7 ETM+ di Pesisir
Utara Laut Jawa Tengah, disarankan:
1. Pada penelitian selanjutnya juga perlu dikaji mendalam mengenai parameter
klorofil-A dan suhu permukaan laut (SPL), serta parameter yang lainnya
seperti kecerahan air untuk memperoleh hasil yang lebih akurat dalam
penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut di daerah perairan
Pesisisr Utara Laut Jawa Tengah.
2. Terkait parameter yang digunakan dalam penelitian ini, perlu dikaji lagi
tentang pemodelan algoritma parameter suhu permukaan laut (SPL) yang
sesuai untuk digunakan pada daerah penelitian di sekitar pesisir lainnya.
3. Perlu ditambahkan lagi data pH dan Salinitas pada Pesisir Utara Laut Jawa
Tengah agar penentuan validasi dari penentuan lokasi budidaya rumput laut
dapat lebih valid dalam penentuan lokasi budidaya rumput laut.
vi
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, S.W., White, M.W.& Berrigan, M.E. 2003. Hard Clam (Mercenaria spp)
Aquaculture in Florida, USA: Geograpgic Information System Application
to Lease Site Selection. Journal of Aquacultural Engineering. Vol (23):
203-231 p.
Hidayah, Zainul. 2014. Model Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan
Penginderaan Jauh dalam Pendugaan Kesesuaian Perairan untuk Budidaya
Kerang Mutiara di Kepulauan Kangean Madura. Seminar Nasional
Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Yogyakarta: 14 Juli
2012.
Hidayah, Z. dan Romadhon, A. 2006. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk
Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut di Pesisir Utara Kab.
Bangkalan. Laporan Penelitian. LPPM Universitas Trunojoyo. Bangkalan.
37 p.
Humaidi, Dedy. 2005. Pemanfaatan Citra Landsat ETM+ dalam Penyusunan
Model Pengaturan Hasil Hutan : Studi Kasus di HPHTI PT Musi Hutan
Persada, Propinsi Sumatera Selatan. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Lillesand, T.M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(di Indonesia-kan oleh Dulbahri, P. Suharsono, Hartono, Dkk.). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Luning. 1990. Seaweeds, Their Environment Biogeography and Ecophysiology.
John Wiley and Sons. New York.
NASA. 2007. Landsat Manual Book. On-Line.
http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov. Diakses tanggal 12 Agustus 2015.
Ratnasari, Arlina, dkk. 2014. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Budidaya Rumput Laut di
Perairan Teluk Gerupuk, Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Seminar Nasional Penginderaan Jauh. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Raharjo, Beni. ArcGIS Tutorial. On-Line. http://www.gistutorial.net. Diakses
tanggal 19 Agustus 2015.
Samad, F. 2011. Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut
Menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG di Taman Nasional Karimun
Jawa. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
vii
Standar Nasional Indonesia [SNI]. 2010. Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma
cottoni) – Bagian 2: Metode Long-line. Badan Standarisasi Nasional. SNI :
7579.2:2010.
Sulma, S., Hasyim, B., Susanto, A., Budiono, A. 2005. Pemanfaatan Data
Penginderaan Jauh untuk Pengembangan Budidaya Laut. Pusat
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh.
Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh. Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Gambar
Gambar II-1 Satelit Landsat ............................................................................. II-5
Gambar IV-1 Hasil algoritma klorofil-A ......................................................... IV-1
Gambar IV-2 Hasil algoritma kecerahan air .................................................... IV-2
Gambar IV-3 Hasil algoritma suhu permukaan laut ......................................... IV-2
Gambar IV-4 Hasil klasifikasi klorofil - A ...................................................... IV-3
Gambar IV-5 Hasil klasifikasi kecerahan air ................................................... IV-4
Gambar IV-6 Klasifikasi suhu permukaan laut ................................................ IV-5
Gambar IV-7 Zoning lokasi budidaya rumput laut........................................... IV-6
Lampiran 2. Daftar Tabel
Tabel II-1 Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut .............. II-2
Tabel II-2 Karakteristik Band pada Landsat 7 ETM+ ...................................... II-5
Lampiran 3. Daftar Grafik
Grafik III-1 Diagram alir penelitian kesesuaian lahan budidaya rumput laut .... III-1
Lampiran 6, Fotokopi Kartu Mahasiswa
Recommended