4. Bab 1 Sampai Bab 5

Preview:

Citation preview

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    1/101

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Penyakit Tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum

    masehi. Menurut hasil penelitian, penyakit Tuberkulosis sudah ada

    sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada

    mumi dan penyakit ini juga sudah ada pada kitab pengobatan Cina

    pen tsao sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada tahun 1882 ilmuan

    Robert Koch berhasil menemukan kuman Tuberkulosis yang

    merupakan penyebab penyakit ini (Widoyono, 2008).

    Pada tahun 1995, WHO memperkirakan terdapat 9 juta

    penduduk dunia terserang Tuberkulosis dengan kematian 3 juta orang

    per tahun. Di Negara-negara berkembang kematian TBC merupakan

    25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah.

    Diperkirakan 95% penderita TBC berada di Negara berkembang, 75 %

    penderita TBC adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun).

    Munculnya endemik HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TBC

    akan meningkat (Depkes RI, 2002).

    Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan

    masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3

    terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien

    sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan pada

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    2/101

    2

    tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian

    101.000 orang. Insiden kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000

    penduduk (Depkes RI, 2008).

    Seseorang terinfeksi penyakit Tuberkulosis dipengaruhi oleh

    berbagai faktor antara lain umur, jenis kelamin, pekerjaan, perilaku,

    keadaan sosial ekonomi masyarakat yaitu kemiskinan, kekurangan

    gizi, rendahnya latar belakang pendidikan (buta huruf), kepadatan

    penduduk serta lingkungan rumah. (Misnadiarly, 2006). Akan tetapi

    faktor-faktor yang berperan paling penting pada insidensi kejadian

    Tuberkulosis adalah lingkungan rumah, karena lingkungan rumah

    merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar

    terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).

    Penyakit TBC tergolong penyakit rakyat. Lebih banyak

    masyarakat kurang mampu yang diserangi basil TBC dibandingkan

    dengan masyarakat mampu. Biasanya masyarakat yang hidupnya

    berdesak-desakan, rumah yang padat, tidak ada ventilasi udara, dan

    kurang cahaya matahari, basil TBC gemar bersarang di lingkungan

    yang seperti itu, basil TBC bertebaran dalam udara. Tua, muda,

    besar, kecil dapat dimasuki basil ini (Sistem Informasi TBC, 2008).

    Menurut J.A Salvato dalam buku Lubis menyatakan bahwa

    akibat perumahan yang tidak sehat akan menyebabkan angka

    kesakitan Tuberkulosis 8 kali lebih tinggi dan angka kematian 8,6 kali

    lebih tinggi dibanding dengan perumahan sehat (Lubis, 1989).

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    3/101

    3

    Data penderita Tuberkulosis di wilayah Provinsi Kalimantan

    Timur pada tahun 2007 berjumlah 1.889 orang, kemudian penderita

    Tuberkulosis meningkat pada tahun 2008 menjadi 1.993 orang (P2M

    Dinas Kesehatan Propinsi. Kaltim, 2007-2008).

    Di Kota Samarinda pada tahun 2007 jumlah penderita

    Tuberkulosis Paru BTA positif sebanyak 333 orang. Sedangkan pada

    tahun 2008 terjadi peningkatan yang cukup tinggi, kasus penderita

    Tuberkulosis BTA positif sebanyak 455 orang (P2M Dinas Kesehatan

    Kota Samarinda, 2007-2008).

    Kecamatan Sungai Kunjang merupakan salah satu dari 6

    Kecamatan yang ada di Kota Samarinda dan menjadi urutan kedua

    dalam jumlah kasus Tuberkulosis Paru BTA positif pada tahun 2008

    yakni 68 penderita. Puskesmas Wonorejo adalah salah satu

    Puskesmas yang ada di wilayah Kecamatan Sungai Kunjang dan

    menjadi urutan terbanyak penderita Tuberkulosis BTA positif dari 3

    Puskesmas di wilayah Kecamatan Sungai Kunjang. Selama 2 tahun

    terakhir mempunyai kecendrung peningkatan kasus Tuberkulosis Paru

    BTA positif. Pada tahun 2007 ada 9 penderita Tuberkulosis Paru BTA

    positif dan pada tahun 2008 terjadi peningkatan kasus sebesar 30

    penderita(Register TBC Puskesmas Wonorejo, 2007-2008).

    Peneliti melakukan penelitian pada penderita TB Paru BTA

    positif di Puskesmas Wonorejo karena peneliti melihat bahwa

    Puskesmas Wonorejo berada pada letak yang sangat strategis

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    4/101

    4

    membuat masyarakat mudah mengakses Pelayanan Kesehatan

    Masyarakat tersebut, sehingga banyak dari masyarakat diluar wilayah

    kerja Puskesmas Wonorejo berobat di Puskesmas Wonorejo.

    Setelah melakukan observasi pada daerah Puskesmas

    Wonorejo Kecamatan Sungai Kunjang saya melihat lingkungan

    pemukiman masyarakat sangat padat didaerah tersebut. Banyak gang-

    gang kecil yang didalamnya terdapat rumah warga, sehingga rumah

    warga tersebut menjadi gelap karena diapit oleh bangunan atau rumah

    warga lain yang lebih besar. Kondisi rumah tempat tinggal penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif kebanyakan adalah rumah non

    permanen dimana dinding dan lantai terbuat dari kayu serta memiliki

    ruangan yang tidak mendapatkan pencahayaan yang cukup, ini

    dikarenakan ventilasi yang tidak memenuhi syarat atau tidak

    digunakan dengan baik. Pencahayaan dari sinar matahari yang tidak

    memadai membuat tempat tinggal mereka menjadi lembab dan gelap.

    Bakteri Mycobacterium Tuberculosis seperti halnya bakteri lain

    pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan

    kelembaban yang tinggi. Menurut Nooatmodjo (2003), kelembaban

    udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-

    bakteri patogen termasuk tuberkulosis.

    Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan

    penelitian tentang hubungan kondisi rumah terhadap kejadian

    Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas Wonorejo

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    5/101

    5

    Samarinda tahun 2009, sejauh mana kondisi rumah mempengaruhi

    kejadian penyakit Tuberkulosis.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam

    penelitian ini adalah apakah ada hubungan kondisi rumah tentang

    kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban

    rumah terhadap kejadian Tuberkulosis BTA positif di Wilayah Kerja

    Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009?.

    C. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Untuk mengetahui hubungan kondisi rumah terhadap

    kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas

    Wonorejo Samarinda tahun 2009.

    2. Tujuan Khusus

    a. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kepadatan

    penghuni terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di

    Wilayah Kerja Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    6/101

    6

    b. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan ventilasi terhadap

    kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja

    Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.

    c. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan pencahayaan

    terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah

    Kerja Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.

    d. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan suhu rumah

    terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah

    Kerja Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.

    e. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kelembaban

    rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di

    Wilayah Kerja Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.

    D. Manfaat penelitian

    1. Manfaat bagi Peneliti

    Merupakan pengalaman berharga dan menambah wawasan

    serta pengetahuan peneliti tentang hubungan kondisi rumah

    dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA positif.

    2. Manfaat bagi Institusi terkait

    Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan

    dalam Program Penanggulangan penyakit Tuberkulosis Paru, serta

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    7/101

    7

    sebagai salah satu sumber informasi bagi penentu kebijakan dan

    pelaksanaan program di Depkes dalam rangka perencanaan,

    pelaksanaan dan evaluasi program TB paru.

    3. Manfaat bagi masyarakat

    Memberikan informasi dan menambah wawasan masyarakat

    tentang penyakit menular agar masyarakat mendapat pemahaman

    yang benar tentang penyakit TB Paru / TBC, sehingga masyarakat

    dapat mencegah terjadinya penyakit TBC.

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tuberkulosis Paru Bakteri Tahan Asam (BTA) Positif

    1. Pengertian

    Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang

    disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis).

    Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

    mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis Paru adalah

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    8/101

    8

    Tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru tidak

    termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus (Depkes RI,

    2008).

    Kuman Mycobacterium Tuberculosis pada penderita TB paru

    dapat terlihat langsung dengan mikroskop pada sedian dahaknya

    (BTA positif) dan sangat infeksius. Sedangkan penderita yang

    kumannya tidak dapat dilihat langsung dengan mikroskop pada

    sedian dahaknya (BTA negatif) dan sangat kurang menular.

    Penderita TB BTA positif mengeluarkan kuman-kuman di udara

    dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada saat bersin atau

    batuk. Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap orang

    lain. Jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru orang yang

    menghirupnya, kuman mulai membelah diri (berkembang biak) dan

    terjadi infeksi. Orang yang serumah dengan penderita TB BTA

    positif adalah orang yang besar kemungkinannya terpapar kuman

    Tuberkulosis (Notoatmodjo, 2007).

    2. Kuman Tuberkulosis

    Kuman penyebab Tuberkulosis ini berbentuk batang ramping

    lurus atau sedikit bengkok dengan kedua ujungnya membulat.

    Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk bunga kol dan

    berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam kondisi

    normal. Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah

    antara 6,8 sampai dengan 8,0. Untuk memelihara virulensinya

    harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    9/101

    9

    Sedangkan untuk merangsang pertumbuhannya dibutuhkan

    karbondioksida dengan kadar 5-10%. Umumnya koloni baru

    Nampak setelah kultur berumur 14-28 hari, tetapi biasanya harus

    ditunggu sampai berumur 8 minggu.

    Mycobacterium Tuberculosis memproduksi katalase, tetapi

    ia akan berhenti memproduksi bila dipanaskan pada suhu 65oC

    selama 20 menit dalam kadar fosfat. Mycobacterium Tuberkulosis

    yang resisten terhadap obat anti Tuberkulosis INH, tidak

    memproduksi katalase. Kuman ini tahan asam pada pewarnaan

    dan berukuran kira-kira 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron (Misnadiarly,

    2006).

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    10/101

    10

    3. Gejala dan Tanda Penyakit Tuberkulosis

    Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3

    minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan

    yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan

    lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

    berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih

    dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula

    pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis

    kronis, asma, kanker paru dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di

    Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke

    UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang

    tersangka (suspek) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan

    dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2008).

    4. Penularan penyakit Tuberkulosis

    Kebanyakan penularan penyakit Tuberkulosis ini melalui

    inhalasi kuman Tuberkulosis yang terdapat di udara. Pada

    perjalanannya kuman ini banyak mengalami hambatan antara lain

    di hidung (terhambat oleh bulu hidung) dan lapisan lendir yang

    melapisi seluruh saluran pernafasan dari atas sampai ke kantong

    alveoli.

    Bila penderita baru pertama kali ketular kuman Tuberkulosis

    ini, terjadilah suatu proses dalam tubuhnya (paru-paru) yang

    disebut Primary Complex of Tuberkulosis (PCT). PCT ini terdiri dari

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    11/101

    11

    fokus di paru-paru dimana terjadi eksudasi dari sel karena proses

    dimakannya kuman Tuberkulosis oleh sel macropag.

    Lesi dapat terjadi pada kelenjar getah bening, yang

    disebabkan karena lepasnya kuman pada saluran lymphe. Proses

    pemusnahan kuman TB oleh macropag ini akhirnya akan

    menimbulkan kekebalan spesifik terhadap kuman Tuberkulosis.

    PCT dapat terjadi pada semua umur. Di negara dimana

    prevalensi TB tinggi kebanyakan anak-anak sudah terinfeksi oleh

    penyakit Tuberkulosis pada tahun-tahun pertama dari

    kehidupannya. Namun yang kemudian menjadi penyakit TBC

    sedikit saja.

    Selanjutnya ada 2 kemungkinan yang terjadi menyusul

    pembentukan PCT ini, yaitu:

    a. Dapat sembuh dengan sendirinya karena adanya proses

    penutupan fokus primer oleh kapsul membran yang akhirnya

    akan terjadi perkapuran.

    b. Beberapa kuman akan ikut terlepas ke dalam pembuluh

    darah dan dapat berkembang menginfeksi organ-organ yang

    terkena. Infeksi yang demikian disebut Post Primary

    Tuberkulosis (PTT). PTT ini akan dapat berupa: Infeksi pada

    paru-paru, larynx dan telinga tengah, kelenjar getah bening

    dileher, saluran pencernaan dan lubang dubur, saluran kemih,

    tulang dan sendi.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    12/101

    12

    Kontak serumah dengan penderita TBC merupakan salah

    satu faktor risiko terjadinya TBC. Beberapa penelitian menunjukkan

    bahwa kontak erat dengan penderita TBC BTA positif mempunyai

    risiko maksimum untuk infeksi.

    Berdasarkan penelitian Salehuddin, 2002 di Kabupaten

    Maros, responden pada penderita yang memiliki riwayat kontak

    serumah dengan penderita TBC sebanyak 69,2% dan yang tidak

    memiliki riwayat kontak serumah dengan penderita TBC sebanyak

    30,8%.

    5. Penemuan penderita penyakit Tuberkulosis

    Tujuan penemuan kasus adalah untuk menentukan sumber

    infeksi dalam masyarakat yang berarti mencari orang yang

    mengeluarkan basis Tuberkulosis untuk diobati. Penemuan

    penderita pada orang dewasa dilaksakan secara pasif, artinya

    penyaringan penderita tersangka TB Paru yang dilaksakan pada

    mereka yang datang ke unit pelayanan kesehatan, ini sangat

    dipengaruhi oleh faktor individu penderita untuk berkunjung ke

    pelayanan kesehatan. Kegiatan ini harus didukung oleh penyuluhan

    secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat

    untuk meningkatkan cakupan penemuan, cara ini disebut passive

    promotive case finding. Semua tersangka penderita harus diperiksa

    3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut. Penemuan

    penderita pada anak sebagian besar didasarkan pada gambaran

    klinis, foto rontgen dan uji tuberculin (Depkes, RI 2002)

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    13/101

    13

    6. Penegakan Diagnosa

    Untuk menegakkan diagnosis penyakit Tuberkulosis

    dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif.

    Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur

    bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama.

    Metode pemeriksaan dahak (bukan liur) sewaktu, pagi,

    sewaktu (SPS) dengan pemeriksaan mikroskopis membutuhkan 5

    ml dahak dan biasanya menggunakan pewarnaan panas dengan

    metode Ziehl neelsen (ZN) atau pewarnaan dingin Kinyoun-Gabbet

    menurut Tan Thiam Hok. Bila dari dua kali pemeriksaan didapatkan

    hasil BTA positif, maka pasien tersebut dinyatakan positif mengidap

    Tuberkulosis paru (Widoyono, 2008).

    Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan

    dengan menggunakan skala IUATLD sebagai berikut :

    a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut

    negatif.

    b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis

    jumlah kuman yang ditemukan.

    c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut +

    atau (1+).

    d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++

    atau (2+), minimal dibaca 50 lapang pandang.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    14/101

    14

    e. Di temukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut

    +++ atau (3+), minimal dibaca 20 lapang pandang.

    Bila ditemukan 1 3 BTA dalam 100 lapang pandang,

    pemeriksaan harus diulangi dengan spesimen dahak yang baru.

    Bila hasilnya tetap 1 3 BTA, hasilnya diloporkan negatif. Bila

    ditemukan 4 9 BTA dilaporkan positif(Depkes RI, 2002).

    B. Tinjauan Umum tentang Perumahan

    Pengertian sehat menurut WHO adalah keadaan yang

    sempurna baik fisik, mental dan sosial bukan hanya keadaan yang

    bebas dari penyakit atau kelemahan (Irianto, 2004).

    Pengertian perumahan merupakan kelompok rumah yang

    berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian dan

    sarana pembinaan keluarga yang dilengkapi dengan prasarana dan

    sarana lingkungan. Sedangkan pemukiman merupakan bagian dari

    lingkungan hidup baik kawasan perkotaan maupun pedesaan yang

    berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan

    hunian yang mendukung perikehidupan. Untuk menciptakan satuan

    lingkungan pemukiman diperlukan kawasan perumahan dalam

    berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang,

    prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi kesehatan

    (Mukono, 2000).

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    15/101

    15

    Didalam membangun dan menjaga kebersihan rumah harus

    memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut :

    1. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis

    a. Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak

    berubah, suhu ruangan ini tergantung pada :

    1) Suhu udara luar,

    2) Pergerakan udara,

    3) Kelembaban Udara, dan

    4) Suhu benda di sekitarnya.

    Pada rumah-rumah modern, suhu ruangan ini dapat diatur

    dengan air conditioner.

    b. Harus cukup mendapat penerangan

    Harus cukup mendapat penerangan baik siang maupun

    malam hari. Yang ideal adalah penerangan listrik.

    Diusahakan agar ruangan mendapat sinar matahari

    terutama pagi hari.

    c. Harus cukup mendapat pertukaran hawa (ventilasi)

    Pertukaran hawa yang cukup menyebabkan hawa ruangan

    tetap segar (cukup mengandung oksigen). Untuk ini rumah

    harus cukup mempunyai jendela. Susunan ruangan harus

    sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas bila

    jendela dibuka.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    16/101

    16

    d. Harus cukup mempunyai isolasi suara

    Dinding ruangan harus kedap suara, baik terhadap suara

    yang berasal dari luar maupun dari dalam. Sebaiknya rumah

    jauh dari sumber suara yang gaduh misalnya : pabrik,

    lapangan terbang dan sebagainya.

    2. Memenuhi Kebutuhan Psikologi

    a. Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya

    harus memenuhi rasa keindahan (estetis) sehingga rumah

    tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang

    sehat.

    b. Adanya jaminan kebebasan yang cukup, bagi setiap

    anggota keluarga yang tinggal dirumah tersebut.

    c. Untuk tiap anggota keluarga, terutama yang

    mendekati dewasa harus mempunyai ruangan sendiri

    sehingga rahasia pribadinya tidak terganggu.

    d. Harus ada ruangan untuk menjalankan kehidupan

    keluarga dimana semua anggota keluarga dapat berkumpul.

    e. Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, jadi

    harus ada ruang untuk menerima tamu.

    3. Menghindari Terjadinya Kecelakaan

    a. Konstruksi rumah dan bahan bangunan harus kuat sehingga

    tidak mudah ambruk.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    17/101

    17

    b. Sarana pencegahan terjadinya kecelakaan di sumur, kolam

    dan tempat lain terutama untuk anak-anak

    c. Diusahakan agar tidak mudah terbakar

    d. Adanya alat pemadam kebakaran terutama yang

    mempergunakan gas.

    4. Menghindari Terjadinya Penyakit

    a. Adanya sumber air yang sehat, cukup kualitas maupun

    kuantitasnya

    b. Harus ada tempat pembuangan kotoran, sampah dan air

    limbah yang baik.

    c. Harus dapat mencegah perkembangbiakan vector penyakit

    seperti : nyamuk, lalat, tikus dan sebagainya.

    d. Harus cukup luas.

    (Irianto, 2004).

    Rumah sehat memiliki :

    1. Persyaratan rumah : pondasi, dinding, atap, langit-langit,

    jendela dan pintu serta lantai.

    2. Penataan bangunan rumah : perencanaan ruang dan

    konstruksi bangunan rumah.

    3. Fasilitas kelengkapan bangunan rumah : air bersih, air kotor

    dan kotoran, pencahayaan / penerangan, penghawaan /

    ventilasi serta sampah.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    18/101

    18

    4. Tertib membangun : merawat rumah dan pekarangan serta

    mematuhi aturan dan peraturan .

    Persyaratan rumah sehat dapat ditinjau dari :

    1. Aspek teknis (konstruksi bangunan kokoh dan tahan lama)

    2. Aspek fisiologis (penghawaan dan penerangan cukup, luas

    bangunan memadai dan perencanaan ruang efisien)

    3. Aspek psikologi (kondisi lingkungan aman dan nyaman,

    lokasi tidak jauh dari tempat kerja dan fasilitas lainnya)

    4. Aspek kesehatan (dilengkapi dengan fasilitas sanitasi dan air

    bersih)

    5. Aspek administrasi (memiliki surat-surat dan izin mendirikan

    bangunan)

    6. Aspek hukum (memiliki sertifikat)

    Berdasarkan persyaratan tersebut diatas, maka setiap keluarga

    yang menempati rumah sehat akan merasa aman, nyaman dan

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    19/101

    19

    sehat (Departemen Permukiman dan prasarana wilayah,

    2004).

    Jenis rumah berdasarkan konstruksinya, kriteria rumah

    terbagi atas:

    1. Rumah permanen : rumah yang sudah dikonstruksi dengan

    pondasi, berdinding tembok batu bata atau batako, beratap

    genteng dan lantainya diplester atau dikeramik.

    2. Rumah semi permanan : rumah yang sudah dikonstruksi

    dengan pondasi, berdinding setengah tembok, setengah bambu

    atau kayu, dilengkapi atap genteng serta lantainya diplester

    atau dikeramik.

    3. Rumah non permanen : rumah tanpa pondasi, berdinding

    bambu atau kayu dan atap genteng ataupun selain genteng.

    C. Tinjauan Umum Tentang Kepadatan Penghuni

    Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai

    rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal

    (Lubis, 1989). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh

    perumahan biasa dinyatakan dalam m per orang. Luas minimum per

    orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas

    yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 10 m/orang.

    Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m/orang. Kamar tidur

    sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak

    dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    20/101

    20

    penderita penyakit Tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota

    keluarga lainnya. Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan

    menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni

    yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas

    lantai dengan jumlah penghuni adalah 10 m/orang dan kepadatan

    penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi

    antara luas lantai dengan jumlah penghuni adalah < 10 m/orang

    (Lubis, 1989).

    Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni

    didalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan

    dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding

    dengan luas penghuninya akan menyebabkan perjubelan

    (Overcrowded). Hal ini tidak sehat, sebab di samping menyebabkan

    kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena

    penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang

    lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan

    2,5-3 m2 untuk setiap orang (tiap anggota keluarga) (Notoatmodjo,

    2007).

    Kepadatan penghuni akan menyebabkan efek negatif terhadap

    kesehatan baik fisik dan mental. Penyebaran penyakit menular pada

    rumah dengan kepadatan tinggi akan cepat terjadi. Pengalaman

    menunjukkan bahwa pada ruangan yang padat, penyebaran penyakit

    menular terutama pada saluran pernafasan mempercepat terjadinya

    penyakit tersebut.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    21/101

    21

    Rumah tinggal dinyatakan padat, bila jumlah penghuni

    menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

    1. Dua individu dari jenis yang berbeda

    dan berumur diatas sepuluh tahun dan

    tidak berstatus sebagai suami istri, tidur

    dalam satu kamar.

    2. Jumlah orang dalam rumah

    dibandingkan dengan luas melebihi

    ketentuan yang telah ditetapkan.

    (Suharmadi, 1994)

    Luas rumah ditentukan oleh jumlah penghuninya, jumlah

    perabotan (barang-barang yang dimilikinya) dan jumlah pintu serta

    jendela, sebagai contoh : untuk 1 kepala keluarga yang menghuni

    rumah dengan luas rumah 50 m2, dapat dibagi dalam tiap-tiap ruangan

    sebagai berikut :

    1. 1 kamar makan dan kamar duduk seluas 9,00 m2 (3x3m2)

    2. Kamar tidur terdiri dari 2 ruangan, tiap ruangan seluas 9,00 m2

    (3x3m2). Jarak kamar tidur minimal 90 cm untuk menjamin

    keleluasan bergerak, bernafas dan untuk memudahkan

    membersihkan lantai. Ukuran ruang tidur anak yang berumur 5

    tahun sebanyak 4 m3 dan yang berumur lebih dari 5 tahun

    adalah 9 m3, artinya dalam 1 ruangan anak yang berumur 5 tahun

    kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4 m3

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    22/101

    22

    (1 x 1 x 3 m3) dan diatas 5 tahun menggunakan volume ruangan

    9 m3 (3 x 1 x 3 m3).

    3. Dapur merupakan kegiatan pokok bagi

    rumah tangga, terutama ibu-ibu. Maka

    dapur hendaknya dibuat, sedemikian

    rupa sehingga akan mendapat

    penyegaran udara yang cukup serta

    mudah mengadakan pembersihan. Agar

    penerangan alam harus cukup, maka

    letak dapur agar disebelah timur dari

    rumah dan untuk mempercepat

    pergantian udara maka diusahakan

    ventilasi yang cukup dan mengarah

    pada angin. Perlu diperhatikan juga

    asap yang dikeluarkan dari tungku atau

    kompor tidak dapat masuk kedalam

    rumah, diatap dibuat lubang sehingga

    akan langsung keluar, namun bila perlu

    dibuatkan cerobong asap sampai diatas

    atap/genteng minimum 30 cm. Rata-rata

    luas dapur lebih kurang 8,00 m2.

    4. Luas kamar mandi dan wc dalam suatu

    kesatuan 4,00 m2 (2x2 m2).

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    23/101

    23

    5. Serambi muka atau dipergunakan juga

    untuk kamar tamu seluas 3,00 m2

    (2x1,50 m2

    ).

    6. Selain luas ruangan perlu diperhatikan

    pula luas jendela dan ventilasi sebagai

    berikut :

    1) Luas jendela 4% dari luas lantai tiap ruangan

    secara keseluruhan

    2) Luas ventilasi 20% dari luas jendela dari tiap

    jendela. Jendela dan ventilasi tersebut untuk memenuhi

    kebutuhan udara dalam ruangan (menentukan sirkulasi udara

    dalam ruangan). Sebagai pedoman dasar kebutuhan udara

    bersih.

    a) Kebutuhan udara bersih dalam rumah lebih kurang

    tiap penghuni 27 m3.

    b) Kebutuhan pergantian udara 0,80 m3 per menit per

    orang, (0,80 m3/menit/orang).

    (Suharmadi, 1985)

    D. Tinjauan Umum Tentang Ventilasi (Penghawaan)

    Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang

    menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 1989).

    Umumnya di daerah tropis lebih banyak angin, terutama

    didaerah pantai. Biasanya udara di dalam rumah lebih sejuk dari pada

    diluar rumah (bagi yang mengatur ventilasinya dengan baik) dan juga

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    24/101

    24

    tergantung dari bahan dinding atau atapnya (bahan dari seng akan

    memanaskan pada siang hari dan dingin pada malam hari).

    Keluar masuknya udara dalam ruangan dan lantai tergantung

    dari derajat kelembaban dari bahan apa yang melapisi dinding dan

    lantai.

    a. Plester mengurangi masuknya udara sampai 25 %

    b. Cat mengurangi masuknya udara sampai 30 %

    c. Permadani mengurangi masuknya udara sampai 30 %

    d. Cat minyak mengurangi masuknya udara sampai 100 %

    (Suharmadi, 1989)

    Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama

    adalah untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap

    segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni

    rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan

    kurangnya O2 dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun

    bagi penghuninya akan meningkat. Di samping itu, tidak cukupnya

    ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan naik

    karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.

    Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri

    patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).

    Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara

    ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu

    selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa

    oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    25/101

    25

    agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humudity) yang

    optimum.

    Ada dua macam ventilasi, yakni :

    1. Ventilasi alamiah, dimana aliran udara dalam ruangan

    tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang

    angin, lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. Di pihak

    lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan, karena juga

    merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya

    ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk

    melindungi kita dari gigitan nyamuk tersebut.

    2. Ventilasi buatan, yakni dengan mempergunakan alat-alat

    khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas

    angin dan mesin pengisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak

    cocok dengan kondisi rumah di pedesaan.

    (Notoatmodjo, 2007).

    Buakaan untuk ventilasi disesuaikan dengan luas ruangan, luas

    bukaan ventilasi 1 m2 atau minimal 5 % dari luas lantai. Bukaan

    ventilasi dapat berupa pintu dan jendela yang dapat dibuka dan

    ditutup, serta jalusi dan lubang angin. Untuk ventilasi silang dibuat dua

    bukaan pada dinding yang berhadapan. Bukaan ventilasi yang paling

    baik searah dengan arah tiupan angin.

    Ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai syarat

    lainnya, diantaranya :

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    26/101

    26

    1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5

    % dari luas lantai ruangan, sedangkan

    luas lubang ventilasi insidentil (dapat

    dibuka dan ditutup) minimum 5 %.

    Jumlah keduanya menjadi 10 % kali

    luas lantai ruangan. Ukuran luas ini

    diatur sedemikian rupa sehingga udara

    yang masuk tidak terlalu deras dan tidak

    terlalu sedikit.

    2. Udara yang masuk harus udara bersih,

    tidak dicemari oleh asap dari sampah

    atau dari pabrik, dari knalpot kendaraan,

    debu dan lain-lain.

    3. Aliran udara jangan menyebabkan

    seseorang menjadi masuk angin. Untuk

    ini jangan menempatkan tempat

    tidur/tempat duduk persis pada aliran

    udara, misalnya didepan jendela pintu.

    4. Aliran udara diusahakan CROSS

    VENTILATION dengan menempatkan

    lubang hawa berhadapan antara 2

    dinding ruangan. Aliran udara ini jangan

    sampai terhalang oleh barang-barang

    besar misalnya almari, dinding sekat

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    27/101

    27

    dan lain-lain. Secara umum, penilaian

    ventilasi rumah dengan cara

    membandingkan antara

    luas ventilasi dan luas lantai rumah,

    dengan menggunakan Rolemeter.

    Menurut indikator pengawaan rumah,

    luas ventilasi yang memenuhi syarat

    kesehatan adalah 10% luas lantai

    rumah dan luas ventilasi yang tidak

    memenuhi syarat kesehatan adalah 300 lux dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah

    antara 50-300 lux (Suharmadi, 1989).

    Kuman Tuberkulosis hanya dapat mati oleh sinar matahari

    langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang

    buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian Tuberkulosis. Kuman

    Tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang lembab dan

    gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya dan mati

    bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Kuman

    Mycobacterium Tuberculosis akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar

    matahari, oleh tinctura iodii selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80%

    dalam waktu 2-10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam.

    Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita

    tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar

    matahari (Depkes RI, 2002).

    F. Tinjauan Umum Tentang Suhu

    Rumah atau bangunan yang sehat haruslah mempunyai suhu

    yang diatur sedemikian rupa sehingga suhu badan dapat

    dipertahankan. Suhu didalam ruangan harus dapat diciptakan

    sedemikian rupa sehingga tubuh tidak terlalu banyak kehilangan panas

    atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan. Prinsip pengaturan

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    32/101

    32

    suhu dalam ruangan adalah mendinginkan udara jika udara

    disekitarnya terlalu panas. Faktor suhu ini dilengkapi dengan keadaan

    faktor kelembaban serta aliran udara yang terjadi dalam ruangan

    tersebut agar terdapat suhu yang tepat dengan kelembaban dan aliran

    udara dalam ruangan.

    Menurut Azrul Azwar untuk membuat suhu ruangan sesuai

    dengan yang dikehendaki, maka ada beberapa cara yang dapat

    dilakukan yakni :

    1. Mendinginkan atau memanaskan udara.

    2. Melakukan penukaran udara.

    3. Memasang penyekat suhu pada ruangan.

    Tubuh manusia mengadakan penyesuaian terhadap temperatur

    udara dalam ruangan. Pada suhu ruangan yang tinggi, pembuluh-

    pembuluh kapiler akan melebar untuk melepaskan panas. Proses ini

    dibantu oleh proses penguapan keringat dari kulit. Sedangkan pada

    suhu yang rendah terjadi sebaliknya dimana pembuluh-pembuluh

    dikulit menyempit. Bila suhu ruangan terlalu tinggi dan dalam ruangan

    banyak mengandung uap air, maka proses mekanisme pendinginan

    tubuh tidak dapat bekerja efisien karena proses penguapan keringat

    terhalang sehingga timbul perasaan tidak enak.

    Standar suhu nyaman yang dibutuhkan manusia, Mc. Null

    menganjurkan bahwa temperatur yang optimal didalam rumah adalah

    73 77oF (23 25oC), kelembaban antara 20 60%. Joseph Lubart

    menganjurkan batas antara 68o

    F dengan kelembaban relatif 50%

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    33/101

    33

    sampai pada temperatur 70 oF dengan kelembaban 10%. Sedangkan

    menurut ASHREA (American Society Of Heating Refrigerating and Air

    Conditioning Engineering) menetapkan temperatur 77,0o

    F dengan

    variasi lebih kurang 1,21oF dan kelembaban dibawah 70oF dan Sujono

    menganjurkan temperatur kamar dari 22 30C dianggap segar

    dengan kelembaban udara optimum 60% (Azwar, 1990).

    Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan

    dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi: 1).

    Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu

    ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit,

    umumnya suhu kering antara 24 C 34 C; 2) Suhu basah, yaitu suhu

    yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya

    lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20 C 25 C. Secara

    umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer

    ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah

    yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20 C 25 C, dan

    suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 C

    atau > 25 C. Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi

    penguninya (Suharmadi, 1989).

    Bakteri Mycobacterium Tuberculosis memiliki rentang suhu

    yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum

    saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium Tuberculosis merupakan

    bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang > dari 25 C 40

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    34/101

    34

    C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31 C 37 C

    (Suharmadi, 1989).

    G. Tinjauan Umum tentang Kelembaban

    Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air

    dalam udara (Depkes RI, 1989). Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu

    1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara; 2)

    Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada

    suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh

    dengan uap air pada temperatur tersebut. Secara umum penilaian

    kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut

    indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi

    syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60 % dan kelembaban udara

    yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 %.

    Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat

    kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang

    lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan

    mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.

    Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara.

    Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membrane

    mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam

    menghadang mikroorganisme (Suharmadi, 1989).

    Bakteri Mycobacterium Tuberculosis seperti halnya bakteri lain,

    akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    35/101

    35

    tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan

    merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan

    hidup sel bakteri. Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban

    udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-

    bakteri patogen termasuk bakteri Tuberkulosis

    H. Prosedur Pengukuran Rumah

    1. Mengukur kepadatan penghuni

    a. Alat dan bahan

    1) Rolemeter

    2) Alat tulis

    3) Kalkulator

    b. Cara kerja

    1) Menyiapkan rolemeter.

    2) Mengukur luas lantai rumah

    3) Catat hasil pengukuran.

    4) Kemudian luas rumah dibagi dengan jumlah penghuni

    dirumah tersebut.

    2. Mengukur ventilasi dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan dapur)

    a. Alat dan bahan

    1) Rolemeter

    2) Alat tulis

    3) Kalkulator

    b. Cara kerja

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    36/101

    36

    1) Menyiapkan rolemeter.

    2) Menentukan titik pengukuran.

    3) Mengukur luas ventilasi

    4) Catat hasil pengukuran.

    5) Kemudian dihitung apabila 10% dari luas lantai

    ruangan maka memenuhi syarat.

    3. Mengukur pencahayaan dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan

    dapur)

    a. Alat dan bahan

    1) Luxmeter

    2) Alat tulis

    3) Kalkulator

    4) Tempat/ruangan yang akan diukur pencahayaannya

    b. Cara kerja

    1) Pengukuran dilakukan pada siang hari

    2) Kalibrasikan alat sehingga pada saat mengukur alat

    sudah terkalibrasikan.

    3) Menentukan titik pengukuran.

    4) Tinggi alat dari bagian atas permukaan lantai 0,8

    m/8,5 cm.

    5) Jarak antara pengukur dengan alat 60-90 cm

    6) Catat hasil pengukuran yang tertera pada alat..

    4. Mengukur suhu dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan dapur)

    a. Alat dan bahan

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    37/101

    37

    1) Termometer ruangan

    2) Alat tulis

    b. Cara kerja

    1) Pengukuran dilakukan pada siang hari

    2) Kalibrasikan alat sehingga pada saat mengukur alat sudah

    terkalibrasikan.

    3) Menentukan titik pengukuran.

    4) kemudian dipaparkan selama 15 menit di titik yang sudah

    ditentukan.

    5) Catat hasil pengukuran yang tertera pada alat.

    5. Mengukur kelembaban dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan

    dapur)

    a. Alat dan bahan

    1) Hygrometer

    2) Air

    3) Tabel

    b. Cara kerja

    1) Pengukuran dilakukan pada siang hari

    2) Basahi sumbu yang ada pada alat Hygrometer

    3) Setelah dibasahi, kemudian dipaparkan selama 15 menit di

    titik yang sudah ditentukan.

    4) Lalu bacalah angka yang tertera dialat tersebut

    5) Mencatat hasilnya

    6) Kemudian hasil yang didapat, dibaca di dalam tabel

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    38/101

    38

    7) Cocokkan pada standar apakah sudah memenuhi standar

    kelembaban rumah atau belum.

    (Suharmadi, 1985).

    I. Kerangka Teori

    Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah model

    segitiga Epidemiologi (the epidemiologic triangle) sebagai berikut:

    Gambar 2.1Kerangka Teori Penelitian

    berdasarkan Segitiga Epidemiologi

    Induk semang (Host)

    Penyebab penyakit Lingkungan(Agent) (Environment)

    Sumber : (Soekidjo, 2003)

    Penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif adalah penyakit menular

    yang ditandai dengan adanya (hadirnya) agen atau penyebab penyakit

    yang hidup dan dapat berpindah. Penyakit Tuberkulosis Paru BTA

    positif dapat menular dari orang satu kepada orang yang lain,

    ditentukan oleh 3 faktor tersebut dibawah, yakni :

    a. Agent (penyebab penyakit)

    Agent atau penyebab penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif

    adalah kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis) yaitu sejenis

    kuman yang berbentuk batang, gram positif tahan asam dan pada

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    39/101

    39

    pemeriksaan mikroskospik akan tampak berwarna merah. Kuman

    TBC ini dapat hidup pada daerah yang lembab namun tidak tahan

    pada sinar matahari langsung.

    b. Host (Induk semang)

    Kuman TBC dapat menyerang kesemua jenis umur, mulai

    dari anak-anak, remaja maupun dewasa tergantung bagaimana

    daya tahan tubuh seseorang pada saat terpapar dengan kuman

    TBC. Terinfeksinya penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif pada

    seseorang ditentukan pula oleh faktor-faktor yang ada pada induk

    semang itu sendiri.

    Semakin rentan daya tahan tubuh seseorang maka semakin

    mudah kuman TBC tersebut masuk dan menyerang organ tubuh

    terutama paru-paru dan menjadikan orang tersebut mengidap

    penyakit TBC Paru. Dengan perkataan lain penyakit-penyakit dapat

    terjadi pada seseorang tergantung atau ditentukan oleh kekebalan

    atau resistensi orang yang bersangkutan.

    Faktor yang mempengaruhi kekebalan atau resisten pada

    penyakit Tuberkulosis adalah usia dimana menurut WHO pada

    tahun 1995 sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia produktif

    (15-49 tahun), TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki

    dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar

    mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan

    terjangkitnya TB paru, Kekurangan gizi pada seseorang akan

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    40/101

    40

    berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon

    immunologik terhadap penyakit.

    Di benua Afrika banyak Tuberkulosis terutama menyerang

    laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki

    hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada

    wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara

    tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat

    sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita

    menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki

    dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar

    mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan

    terjangkitnya TB paru.

    Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan

    meningkatkan resiko untuk mendapatkan Kanker Paru-paru,

    penyakit Jantung Koroner, Bronchitis Kronik dan Kanker Kandung

    Kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB

    paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di

    Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih

    rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480

    batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di

    Pakistan. Prevalensi merokok pada hampir semua Negara

    berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,

    sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    41/101

    41

    kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi

    TB Paru.

    Tingkat pendidikan seseorang juga mempengaruhi terhadap

    pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang

    memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru,

    sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan

    mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain

    itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis

    pekerjaannya.

    Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus

    dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang

    berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan

    mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.

    Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan

    morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan

    dan umumnya TB Paru.

    Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap

    pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola

    hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan

    kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap

    kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang

    mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi

    makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan

    bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    42/101

    42

    kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi

    diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan

    mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang

    dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan

    mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.

    Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,

    keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan

    kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya

    kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan

    sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi

    buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun

    sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status

    gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru

    berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau

    lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap

    kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap

    penyakit.

    Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

    Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara

    penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh

    terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya

    berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.

    c. Environment (lingkungan)

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    43/101

    43

    Penyakit TBC dapat menular pada semua daerah, terutama

    pada daerah-daerah kumuh, kotor dan lembab, dimana kuman TBC

    mudah berkembang biak. Penduduk dengan prilaku atau gaya

    hidup yang kurang sehat akan memudahkan kuman TBC

    berkembang biak, misalnya saja orang yang sering batuk dengan

    tidak menutup mulut.

    Kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis) pada umumnya

    hidup di reservoir dan lingkungan. Kuman ini terdapat dalam butir-

    butir percikan dahak yang disebut droplet nucleidan melayang di

    udara untuk waktu yang lama sampai terhisap oleh orang atau mati

    dengan sendirinya kena sinar matahari langsung.

    Kuman Tuberkulosis dapat hidup selama 1 2 jam bahkan

    sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung pada

    ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban,

    suhu rumah dan kepadatan penghuni rumah.

    (clubpenakita,2009).

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    44/101

    44

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Jenis Penelitian

    Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian

    Survei Analitik dengan pendekatan Case Controlyakni suatu penelitian

    untuk membandingkan dua kelompok yaitu kelompok kasus dan

    kontrol, kemudian ditelusuri secara retrospektif ada tidaknya faktor

    risiko yang berperan. Kelompok kasus merupakan kelompok yang

    menderita penyakit TB Paru BTA positif (efek positif), sedangkan yang

    kontrol merupakan kelompok yang tidak menderita penyakit TBC (efek

    negatif).

    Studi kasus-kontrol sering disebut studi retrospektif, karena

    faktor risiko diukur dengan melihat kejadian masa lampau untuk

    mengetahui ada tidaknya faktor risiko yang dialami.

    B. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Tempat penelitian yang akan dilakukan adalah di rumah

    penderita Tuberkulosis Paru BTA positif, yang terdaftar pada buku

    register TBC Paru di Puskesmas Wonorejo tahun 2008 dan rumah

    tetangga penderita Tuberkulosis Paru BTA positif yang tidak menderita

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    45/101

    45

    TBC. Waktu penelitian dilakukan pada pertengahan bulan Desember

    2009 sampai dengan bulan Januari 2010.

    C. Populasi dan Sampel

    1. Populasi

    Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang

    datang ke Puskesmas Wonorejo pada tahun 2008 untuk melakukan

    pemeriksaan medis.

    2. Sampel

    a. Kasus : Semua penderita TB Paru BTA positif.

    Dengan kriteria Inklusi sebagai berikut :

    1) Berdomisili diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo

    2) Menurut diagnosis petugas medis dinyatakan

    menderita TB paru BTA positif.

    3) Telah menempati rumah tersebut selama lebih dari 1

    tahun

    4) Rumah yang ditempati adalah rumah sendiri/bukan

    kos

    b. Kontrol : Bukan penderita TBC

    Dengan kriteria Inklusi sebagai berikut :

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    46/101

    46

    1) Berdomisili diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo

    2) Telah menempati rumah tersebut selama lebih dari 1

    tahun

    3) Rumah yang ditempati adalah rumah sendiri/bukan

    kos

    4) Merupakan tetangga yang berdekatan rumah dengan

    penderita TB Paru BTA positif.

    5) Jenis rumah berdasarkan konstruksinya (rumah

    permanen, semi permanen, non permanen) sama dengan

    penderita TB Paru BTA positif (kelompok kasus).

    Berdasarkan kriteria inklusi diatas maka besarnya sampel

    kasus dalam penelitian ini adalah sebanyak 24 penderita TB Paru

    BTA positif.

    Besarnya sampel kontrol dalam penelitian adalah 1:2

    dengan kelompok kasus, yakni sebanyak 48 orang, maka total

    sampel dalam penelitian ini adalah 72 responden.

    D. Kerangka Konsep

    Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah

    sebagai berikut :

    Gambar 3.1Kerangka Konsep Penelitian Kasus-Kontrol

    Faktor risiko +Tentang kepadatan

    penghuni, ventilasi,pencahayaan, suhu dankelembaban. Kasus (Penderita

    TB Paru BTA

    positif)

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    47/101

    47

    E.

    E. Variabel Penelitian

    1. Variabel Bebas

    Variabel penelitian bebas atau yang mempengaruhi adalah

    kepadatan Penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan

    kelembaban rumah.

    2. Variabel Terikat

    Adalah kejadian Tuberkulosis Paru BTA positif.

    F. Hipotesis Penelitian

    Berdasarkan landasan teori maka dapat dibuat hipotesis

    sebagai berikut :

    Kontrol (Bukan

    penderita TBC)

    Faktor risiko Tentang kepadatanpenghuni, ventilasi,

    pencahayaan, suhu dankelembaban.

    Retrospekt i f

    Retrospekt i f

    Faktor risiko +Tentang kepadatanpenghuni, ventilasi,

    pencahayaan, suhu dankelembaban.

    Faktor risiko Tentang kepadatan

    penghuni, ventilasi,pencahayaan, suhu dan

    kelembaban.

    Populasi

    Dansampel

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    48/101

    48

    1. Ada hubungan kepadatan penghuni terhadap kejadian

    Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja

    Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.

    2. Ada hubungan ventilasi rumah terhadap kejadian

    Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja

    Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.

    3. Ada hubungan pencahayaan rumah terhadap kejadian

    Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja

    Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.

    4. Ada hubungan suhu rumah terhadap kejadian

    Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja

    Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.

    5. Ada hubungan kelembaban rumah terhadap kejadian

    Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja

    Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.

    G. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

    No VariabelDefinisi

    OperasionalKriteria Alat Ukur Cara Ukur Skala

    1 Kepadatan

    Penghuni

    Perbandingan

    antara luas lantairumah dengan

    jumlah anggota

    keluarga yang

    tinggal dalam satu

    rumah.

    Memenuhi syarat

    bila dari 10m2

    per orang. Tidak

    memenuhi syarat

    bila < dari 10m2

    per orang

    Rolemeter

    dankuesioner

    Mengukur luas

    lantai rumahmenggunakan

    Rolemeter, lalu luas

    lantai rumah dibagi

    dengan jumlah

    penghuni

    Ordinal

    2 Ventilasi Tempat keluar

    masuknya udara

    dari luar rumah,

    berupa jendela

    dan pintu.

    Memenuhi syarat

    bila 10% dari

    luas lantai

    ruangan.

    Tidak memenuhi

    syarat bila < 10%

    dari luas lantai

    ruangan

    Rolemeter

    dan

    kuesioner

    Mengukur luas

    ventilasi

    menggunakan

    Rolemeter pada

    ruang tamu, kamar

    dan dapur.

    Kemudian dihitung

    apabila 10% dari

    Ordinal

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    49/101

    49

    luas lantai ruangan

    maka memenuhi

    syarat.

    3 Pencahayaan Penerangan

    didalam rumah

    yang bersumberdari sinar

    matahari pada

    siang hari.

    Memenuhi syarat

    bila 50-300 lux.

    Tidak memenuhisyarat bila < 50

    atau > 300 lux.

    Luxmeter

    dan

    kuesioner

    Pengukuran

    dilakukan pada

    siang hari pada titikpengukuran yaitu

    ruang tamu, kamar

    tidur dan dapur,

    dengan meletakkan

    luxmeter pada

    ketinggian

    0,8m/8,5cm dari

    permukaan

    ruangan&ditengah

    ruangan. Lalu baca

    hasilnya

    Interval

    4 Suhu Panas atau

    dinginnya udara di

    dalam rumah

    yang diukur dalam

    satuan derajat.

    Memenuhi syarat

    bila 20oC-25oC.

    Tidak memenuhi

    syarat bila 25oC

    Termometer

    ruangan dan

    kuesioner

    Pengukuran

    dilakukan pada

    siang hari pada titik

    pengukuran yaitu

    ruang tamu, kamar

    tidur dan dapur,

    dengan meletakkan

    alat pada ditengah

    ruangan. Lalu baca

    hasilnya

    Interval

    5 Kelembaban Banyak nya

    kandungan uap

    air di udara dalam

    ruangan.

    Memenuhi syarat

    bila 40%-60%.

    Tidak memenuhi

    syarat bila 60%

    Hygrometer

    dan

    kuesioner

    Pengukuran

    dilakukan pada

    siang hari pada titik

    pengukuran yaituruang tamu, kamar

    tidur dan dapur,

    letakkan

    Hygrometer, lalu

    paparkan 15 menit

    pada ruangan yang

    ditentukan. Hasilnya

    tertera pada

    Hygrometer dibaca

    ditabel.

    Interval

    H. Pengujian Instrumen penelitian

    Setelah kuesioner sebagai alat pengumpul data selesai, belum

    berarti kuesioner tersebut dapat langsung digunakan untuk

    mengumpulkan data. Kuesioner penelitian perlu diuji validitas dan

    reliabilitas, untuk itu kuesioner harus diuji coba atau trial dilapangan.

    Responden yang dipilih untuk diuji coba sebaiknya responden yang

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    50/101

    50

    memiliki ciri-ciri responden dimana penelitian tersebut harus

    dilaksanakan.

    Agar diperoleh distribusi nilai hasil pengukuran mendekati

    sedikit normal maka sebaiknya jumlah responden untuk uji coba ini

    paling sedikit 20 orang, hasil uji coba ini kemudian digunakan untuk

    mengetahui sejauh mana alat ukur (kuesioner) yang telah disusun

    memiliki validitas dan reliabilitas. Suatu alat ukur harus mempunyai

    kriteria validitas dan reliabilitas. Adapun pengujian instrument meliputi :

    1. Uji Validitas

    Validitas adalah tingkat-tingkat kehasihan suatu instrument.

    Uji validitas dalam penelitian menggunakan rumus Korelasi Product

    Moment Pearson sebagai berikut :

    Keterangan :

    rix = Koefisien item-total (bivariate pearson)

    I = Skor item

    x = Skor total

    n = Banyaknya subjek

    Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0,05.

    Kriteria pengujian adalah sebagai berikut :

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    51/101

    51

    a. Jika r hitung r tabel maka instrument atau item-item

    pertanyaan berkolerasi signifikan terhadap skor total

    (dinyatakan valid).

    b. Jika r hitung < r tabel maka instrument atau item-item

    pertanyaan tidak berkolerasi signifikan terhadap skor total

    (dinyatakan tidak valid).

    2. Uji Reliabilitas

    Uji Reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat

    ukur, apakah alat pengukur yang digunakan dapat diandalkan dan

    tetap konsisten jika pengukuran tersebut diulang. Dalam peneitian

    ini digunakan teknik pengukuran reliabilitas internal dengan rumus

    Alpha (Cronbachs).

    Rumus reliabilitas dengan metode Alpha adalah :

    = [1 - ]

    Keterangan :

    r11 = reliabilitas Instrumen

    k = banyaknya butir pertanyaan

    b2 = jumlah varian butir

    12 = varian total

    Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0,05.

    a. Jika r tabel maka instrument atau item-item pertanyaan

    reliabel.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    52/101

    52

    b. Jika < r tabel maka instrument atau item-item pertanyaan tidak

    reliabel.

    3. Hasil pengujian Instrumen

    Sebelum kuesioner digunakan, maka sebelumnya dilakukan

    pengujian instrumen melalui uji validitas dan reliabilitas terhadap 20

    orang responden.

    Hasil uji validitas untuk variabel kepadatan penghuni dari 6

    pertanyaan, 4 pertanyaan valid karena memiliki nilai r hitung > r

    tabel, sedangkan 2 pertanyaan tidak valid karena memiliki nilai r

    hitung < r tabel yaitu nomor 1 dan 5. Uji reliabilitas instrumen

    dinyatakan reliable dengan nilai = 0,8824.

    Hasil uji validitas untuk variabel ventilasi dari 5 pertanyaan, 3

    pertanyaan valid karena memiliki nilai r hitung > r tabel, sedangkan

    2 pertanyaan tidak valid karena memiliki nilai r hitung < r tabel yaitu

    nomor 3 dan 4. Uji reliabilitas instrumen dinyatakan reliabel

    dengan nilai = 0,7183.

    Hasil uji validitas untuk variabel pencahayaan dari 5

    pertanyaan, 2 pertanyaan valid karena memiliki nilai r hitung > r

    tabel, sedangkan 3 pertanyaan tidak valid karena memiliki nilai r

    hitung < r tabel yaitu nomor 2, 4 dan 5. Uji reliabilitas instrumen

    dinyatakan reliabel dengan nilai = 0,6073.

    Hasil uji validitas untuk variabel suhu dan kelembaban dari

    4 pertanyaan, 2 pertanyaan valid karena memiliki nilai r hitung > r

    tabel, sedangkan 2 pertanyaan tidak valid karena memiliki nilai r

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    53/101

    53

    hitung < r tabel yaitu nomor 1 dan 2 . Uji reliabilitas instrumen

    dinyatakan reliable dengan nilai = 0,8479.

    I. Teknik pengumpulan data

    Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan responden

    menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun serta pengamatan

    dan pengukuran langsung di lokasi penelitian dengan menggunakan

    lembar observasi.

    Jenis data yang diambil pada penelitian ini adalah sebagai

    berikut :

    1. Data Primer

    Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil kuesioner

    yang diajukan langsung kepada responden yang terpilih (kasus dan

    kontrol) mengenai kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan,

    suhu dan kelembaban. Serta menggunakan lembar observasi

    sebagai validasi jawaban.

    2. Data Sekunder

    Data sekunder diperoleh melalui laporan yang telah ada,

    yaitu dari register TB-01, register TBC dan TB-06 Unit Pelayanan

    Kesehatan (UPK) dari bulan Januari 2008 sampai bulan Desember

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    54/101

    54

    2008 di Puskesmas Wonorejo. Data umum mengenai penderita

    TBC tahun 2008 diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Kal-tim

    dan Dinas Kesehatan Kota Samarinda.

    J. Teknik Analisis Data

    Analisis data hasil penelitian dilakukan 2 tahapan yaitu analisis

    univariat dan analisis bivariat.

    a. Analisis Univariat

    Analisa univariat dilakukan terhadap variabel dari hasil

    penelitian. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendeskripsikan

    karakteristik masing-masing variabel yang diteliti yaitu kepadatan

    penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban. Data

    yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisis dengan

    menggunakan perangkat lunak pengolah data statistik lalu

    ditampilkan dalam bentuk tabel data yang menjabarkan distribusi

    frekuensi dan presentasi dari masing-masing variabel.

    b. Analisis bivariat

    Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan

    antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

    Analisis bivariat menggunakan uji statistik yang sesuai dengan

    tujuan penelitian dan skala data yang ada. Uji statistik yang

    digunakan dalam analisa ini adalah Chi Square dengan uji alternatif

    Fisher Exact Test.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    55/101

    55

    K. Jadwal Penelitian

    NO KegiatanBulan, Tahun 2009-2010

    10 11 12 1 2 3 4 61 Persiapan Proposal X

    2 Penyusunan Proposal X X

    3 Seminar Proposal X

    4 Pelaksanaan Penelitian X X

    5 Pengolahan Data X X

    6 Seminar Hasil X

    7 Pendadaran X

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    J. Hasil Penelitian

    7. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

    Puskesmas Wonorejo terletak di Jalan Cendana No. 58

    Kelurahan Teluk Lerong Ulu, letaknya yang sangat strategis

    membuat masyarakat mudah mengakses Pelayanan Kesehatan

    Masyarakat tersebut. Puskesmas Wonorejo adalah Puskesmas

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    56/101

    56

    Induk dan merupakan salah satu dari 3 Puskesmas yang ada di

    wilayah Kecamatan Sungai Kunjang.

    Luas wilayah kerja Puskesmas Wonorejo sekitar 241315 km2

    dengan jumlah penduduk diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo

    28.569 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 14.958 jiwa dan

    perempuan sebanyak 13.611 jiwa serta terdapat 7103 kepala

    keluarga.

    Wilayah kerja Puskesmas Wonorejo terdiri dari 2 Kelurahan

    yaitu Kelurahan Teluk Lerong Ulu dan Kelurahan Karang Anyar. Di

    sebelah utara Puskesmas Wonorejo berbatasan dengan Kelurahan

    Lok Bahu dan Kelurahan Air Putih, di sebelah selatan berbatasan

    dengan sungai Mahakam, sebelah barat berbatasan dengan

    Kelurahan Karang Asam Ilir dan di sebelah timur berbatasan

    dengan Kelurahan Teluk Lerong Ilir. (Profil Puskesmas Wonorejo,

    2009).

    Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 24

    kasus atau yang menderita Tuberkulosis Paru BTA positif dan 48

    kontrol atau yang bukan penderita Tuberkulosis di wilayah Kerja

    Puskesmas Wonorejo yang terdapat di 2 Kelurahan, yaitu

    Kelurahan Teluk Lerong Ulu dan Kelurahan Karang anyar, maka

    diperoleh hasil sebagai berikut :

    8. Karakteristik Responden

    a. Umur

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    57/101

    57

    Umur adalah lama hidup responden sejak dilahirkan

    sampai wawancara di lakukan. Untuk menentukan interval umur

    di gunakan anjuran dari WHO dengan pembagian umur menurut

    tingkat kedewasaan. Adapun karakteristik responden menurut

    umur dapat dilihat pada tabel berikut :

    Tabel 4.1 : Distribusi Responden Menurut Kelompok Umurdi Wilayah Kerja Puskesmas WonorejoSamarinda Tahun 2009

    Umur(tahun)

    Kejadian TB Paru TotalKasus Kontrol

    N % N % N %

    16 49 17 70,8 38 79,2 55 76,4

    50 7 29,2 10 20,8 17 23,6

    Total 24 100 48 100 72 100

    Dari tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak diderita pada

    kelompok umur produktif atau umur 15 49 yaitu sebesar

    70,8%, dibandingkan dengan umur 50 tahun keatas hanya

    sebesar 29,2%.

    b. Jenis Kelamin

    Jenis kelamin adalah perbedaan anatomi responden

    yang ditinjau dari alat reproduksi. Adapun karakteristik

    responden menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel

    berikut :

    Tabel 4.2 : Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin diWilayah Kerja Puskesmas Wonorejo SamarindaTahun 2009

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    58/101

    58

    JenisKelamin

    Kejadian TB ParuTotal

    Kasus Kontrol

    N % N % N %

    Laki-laki 14 58,3 29 60,4 43 59,7

    Perempuan 10 41,7 19 39,6 29 40,3Total 24 100 48 100 72 100

    Dari tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak diderita oleh Laki-

    laki yaitu sebesar 58,3%. dibandingkan dengan perempuan

    sebesar 41,7%.

    c. Tingkat Pendidikan

    Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan responden

    dalam mendapatkan ilmu pengetahuan secara formal

    berdasarkan ijazah terakhir. Adapun karakteristik responden

    menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :

    Tabel 4.3 : Distribusi Responden menurut TingkatPendidikan di wilayah kerja PuskesmasWonorejo Samarinda Tahun 2009

    Pendidikan

    Kejadian TB ParuTotal

    Kasus Kontrol

    N % N % N %

    SD 7 29,2 4 8,3 11 15,3

    SMP 10 41,7 11 22,9 21 29,2

    SMA 6 25,0 28 58,3 34 47,2

    PT 1 4,2 5 10,4 6 8,3

    Total 24 100 48 100 72 100

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    59/101

    59

    Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif sebagian besar pendidikannya

    adalah SMP yaitu sebesar 41,7%. Sedangkan pada responden

    yang tidak menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar

    pendidikannya adalah SMA yaitu 58,3%.

    d. Pekerjaan

    Pekerjaan adalah usaha yang dimiliki seorang

    responden. Adapun karakteristik responden menurut jenis

    pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut :

    Tabel 4.4 : Distribusi Responden menurut Pekerjaan diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo SamarindaTahun 2009

    Pekerjaan

    Kejadian TB ParuTotal

    Kasus Kontrol

    N % N % N %Tidak Bekerja 5 20,8 1 2,1 6 8,3

    Buruhbangunan

    6 25,0 10 20,8 16 22,2

    Petani/tukangojek

    1 4,2 2 4,2 3 4,2

    Wiraswasta/Pedagang

    8 33,3 13 27,1 21 29,2

    KaryawanSwasta

    4 16,7 15 31,3 19 26,4

    PNS/honorer 0 0 7 14,6 7 9,7

    Total 24 100 48 100 72 100Dari tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif sebagian besar pekerjaannya

    adalah wiraswasta/pedagang yaitu sebesar 33,3%. Sedangkan

    pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis dengan

    persentase terbesar pekerjaannya adalah karyawan swasta

    yaitu 31,3%.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    60/101

    60

    e. Jenis Rumah

    Jenis Rumah adalah rumah yang dimiliki responden

    berdasarkan konstruksinya yaitu rumah permanen, semi

    permanen dan non permanen. Adapun karakteristik responden

    menurut jenis rumah dapat dilihat pada tabel berikut :

    Tabel 4.5 : Distribusi Responden menurut Jenis Rumah diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo SamarindaTahun 2009

    JenisRumah

    Kejadian TB Paru TotalKasus Kontrol

    N % N % N %

    NonPermanen

    16 66,7 32 66,7 48 66,7

    SemiPermanen

    5 20,8 10 20,8 15 20,8

    Permanen 3 12,5 6 12,5 9 12,5

    Total 24 100 48 100 72 100

    Dari tabel 4.5 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat jenis rumah

    non permanen yaitu sebesar 66,7%.

    9. Analisis Univariat

    a. Kepadatan Penghuni

    Kepadatan Penghuni disini adalah perbandingan antara

    luas lantai rumah responden dengan jumlah anggota keluarga

    yang tinggal dalam satu rumah. Adapun hasil penelitian

    mengenai kepadatan penghuni adalah sebagai berikut :

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    61/101

    61

    Tabel 4.6 : Distribusi Responden berdasarkan KepadatanPenghuni diwilayah kerja Puskesmas WonorejoSamarinda Tahun 2009

    KepadatanPenghuni

    Kejadian TB ParuTotal

    Kasus Kontrol

    N % N % N %

    TMS 17 70,8 10 20,8 27 37,5

    MS 7 29,2 38 79,2 45 62,5

    Total 24 100 48 100 72 100

    Dari tabel 4.6 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat kondisi

    kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan

    yaitu sebesar 70,8%. Sedangkan pada responden yang tidak

    menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu

    79,2% terdapat kondisi kepadatan penghuni yang memenuhi

    syarat kesehatan.

    b. Ventilasi

    Ventilasi disini adalah adalah tempat keluar masuknya

    udara dari luar rumah, berupa jendela dan pintu yang terdapat

    dirumah responden. Adapun hasil penelitian mengenai ventilasi

    adalah sebagai berikut :

    Tabel 4.7 : Distribusi Responden berdasarkan Ventilasirumah diwilayah kerja Puskesmas WonorejoSamarinda Tahun 2009

    Ventilasi

    Kejadian TB ParuTotal

    Kasus Kontrol

    N % N % N %

    TMS 20 83,3 12 25,0 32 44,4

    MS 4 16,7 36 75,0 40 55,6

    Total 24 100 48 100 72 100

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    62/101

    62

    Dari tabel 4.7 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat kondisi

    ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar

    83,3%. Sedangkan pada responden yang tidak menderita

    Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu 75% terdapat

    kondisi ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan.

    c. Pencahayaan

    Pencahayaan disini adalah penerangan didalam rumah

    responden yang bersumber dari sinar matahari pada siang hari.

    Adapun hasil penelitian mengenai pencahayaan adalah sebagai

    berikut :

    Tabel 4.8 : Distribusi Responden berdasarkan Pencahayaanrumah diwilayah kerja Puskesmas WonorejoSamarinda Tahun 2009

    Pencahayaan

    Kejadian TB ParuTotal

    Kasus Kontrol

    N % N % N %

    TMS 22 91,7 10 20,8 32 44,4

    MS 2 8,3 38 79,2 40 55,6

    Total 24 100 48 100 72 100

    Dari tabel 4.8 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat kondisi

    pencahayaan yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu

    sebesar 91,7%. Sedangkan pada responden yang tidak

    menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu

    79,2% terdapat kondisi pencahayaan yang memenuhi syarat

    kesehatan.

    d. Suhu

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    63/101

    63

    Suhu disini adalah Panas atau dinginnya udara di dalam

    rumah responden yang diukur dalam satuan derajat. Adapun

    hasil penelitian mengenai suhu adalah sebagai berikut :

    Tabel 4.9 : Distribusi Responden berdasarkan suhu rumahdiwilayah kerja Puskesmas Wonorejo SamarindaTahun 2009

    Suhu

    Kejadian TB ParuTotal

    Kasus Kontrol

    N % N % N %

    TMS 23 95,8 11 22,9 34 47,2

    MS 1 4,2 37 77,1 38 52,8

    Total 24 100 48 100 72 100

    Dari tabel 4.9 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis BTA positif lebih banyak terdapat kondisi suhu

    dalam rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu

    sebesar 95,8%. Sedangkan pada responden yang tidak

    menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu

    77,1% terdapat kondisi suhu dalam rumah yang memenuhi

    syarat kesehatan.

    e. Kelembaban

    Kelembababan disini adalah Banyaknya kandungan uap

    air di udara dalam ruangan dirumah responden. Adapun hasil

    penelitian mengenai kelembaban adalah sebagai berikut :

    Tabel 4.10 : Distribusi Responden berdasarkan kelembabanrumah diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo

    Samarinda Tahun 2009

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    64/101

    64

    Kelembaban

    Kejadian TB ParuTotal

    Kasus Kontrol

    N % N % N %

    TMS 21 87,5 8 16,7 29 40,3MS 3 12,5 40 83,3 43 59,7

    Total 24 100 48 100 72 100

    Dari tabel 4.10 menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat kondisi

    kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

    yaitu sebesar 87,5%. Sedangkan pada responden yang tidak

    menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu

    83,3% terdapat kondisi kelembaban rumah yang memenuhi

    syarat kesehatan.

    10.Analisis Bivariat

    a. Faktor Risiko Kepadatan Penghuni terhadap Kejadian TB

    Paru BTA positif

    Risiko kepadatan penghuni terhadap kejadian

    Tuberkulosis paru BTA positif diwilayah kerja Puskesmas

    Wonorejo pada 24 orang kelompok kasus dan 48 orang pada

    kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut :

    Tabel 4.11 : Faktor Risiko Kepadatan Penghuni terhadapKejadian TB Paru BTA positif diwilayah kerjaPuskesmas Wonorejo Samarinda Tahun 2009

    KepadatanPenghuni

    Kejadian TB ParuTotal

    Chi-square

    Test

    PValue

    OR95% CI

    PhiValueKasus Kontrol

    N % N % N %

    17.067 .000 9.229 .487

    TMS 17 70,8 10 20,8 27 37,5MS 7 29,2 38 79,2 45 62,5

    Total 24 100 48 100 72 100

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    65/101

    65

    Tabel 4.11 diatas menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase pada

    faktor risiko positif atau pada kondisi kepadatan penghuni yang

    tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 70,8% (17 responden)

    sedangkan pada kondisi kepadatan penghuni yang memenuhi

    syarat kesehatan hanya 29,2% (7 responden).

    Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih

    tinggi persentase pada kondisi kepadatan penghuni yang

    memenuhi syarat kesehatan yaitu 79,2% (38 responden)

    sedangkan pada kondisi kepadatan penghuni yang tidak

    memenuhi syarat kesehatan hanya 20,8% (10 responden).

    Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square

    diperoleh hasil p value = 0,000 artinya p < 0,05 sehingga Ho

    ditolak dengan interpretasi bahwa ada hubungan kepadatan

    penghuni terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.

    Dilihat dari analisa faktor risiko (Odds Ratio) sebesar

    9,229 maka dapat di interpretasikan bahwa rumah dengan

    kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan

    mempunyai faktor risiko 9,2 kali terkena Tuberkulosis paru BTA

    positif dibandingkan dengan kepadatan penghuni yang

    memenuhi syarat kesehatan.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    66/101

    66

    Nilai Phi menunjukkan nilai 0,487, artinya hubungan

    antara kepadatan penghuni terhadap kejadian Tuberkulosis

    paru BTA positif memiliki keeratan hubungan sedang.

    b. Faktor Risiko Ventilasi Rumah terhadap Kejadian TB Paru

    BTA positif.

    Risiko ventilasi rumah terhadap kejadian Tuberkulosis

    paru BTA positif diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo pada 24

    orang kelompok kasus dan 48 orang pada kelompok kontrol

    dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut :

    Tabel 4.12 : Faktor Risiko Ventilasi Rumah terhadapKejadian TB Paru BTA positif diwilayah kerjaPuskesmas Wonorejo Samarinda Tahun 2009

    Ventilasi

    Kejadian TB ParuTotal

    Chi-square

    Test

    PValue

    OR95% CI

    PhiValue

    Kasus KontrolN % N % N %

    22.050 .000 15.000 .553

    TMS 20 83,3 12 25,0 32 44,4

    MS 4 16,7 36 75,0 40 55,6

    Total 24 100 48 100 72 100

    Tabel 4.12 diatas menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase faktor

    risiko positif atau pada kondisi ventilasi yang tidak memenuhi

    syarat kesehatan yaitu 83,3% (20 responden) sedangkan pada

    kondisi ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan hanya 16,7%

    (4 responden).

    Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih

    tinggi persentase pada kondisi ventilasi yang memenuhi syarat

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    67/101

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    68/101

    68

    Tabel 4.13 : Faktor Risiko Pencahayaan Rumah terhadap

    Kejadian TB Paru BTA positif diwilayah kerjaPuskesmas Wonorejo Samarinda Tahun 2009

    Pencahayaan

    Kejadian TB ParuTotal

    Chi-square

    Test

    PValue

    OR95% CI

    PhiValueKasus Kontrol

    N % N % N %

    32.512 .000 41.800 .672

    TMS 22 91,7 10 20,8 32 44,4

    MS 2 8,3 38 79,2 40 55,6

    Total 24 100 48 100 72 100

    Tabel 4.13 diatas menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase faktor

    risiko positif atau pada kondisi pencahayaan rumah yang tidak

    memenuhi syarat kesehatan yaitu 91,7% (22 responden)

    sedangkan pada kondisi pencahayaan rumah yang memenuhi

    syarat kesehatan hanya 8,3% (2 responden).

    Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih

    tinggi persentase pada kondisi pencahayaan rumah yang

    memenuhi syarat kesehatan yaitu 79,2% (38 responden)

    sedangkan pada kondisi pencahayaan rumah yang tidak

    memenuhi syarat kesehatan hanya 20,8% (10 responden).

    Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square

    diperoleh hasil p value = 0,000 artinya p < 0,05 sehingga Ho

    ditolak dengan interpretasi bahwa ada hubungan pencahayaan

    rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    69/101

    69

    Dilihat dari analisa faktor risiko (Odds Ratio) sebesar

    41,800 maka dapat di interpretasikan bahwa rumah dengan

    pencahayaan yang tidak memenuhi syarat kesehatan

    mempunyai faktor risiko 41,8 kali terkena Tuberkulosis paru

    BTA positif dibandingkan dengan pencahayaan yang memenuhi

    syarat kesehatan.

    Nilai Phi menunjukkan nilai 0,672, hal ini menunjukkan

    bahwa terjadi hubungan yang kuat antara pencahayaan rumah

    terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.

    d. Faktor Risiko Suhu Rumah terhadap Kejadian TB Paru BTA

    positif.

    Risiko suhu rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru

    BTA positif diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo pada 24 orang

    kelompok kasus dan 48 orang pada kelompok kontrol dapat

    dilihat pada tabel 4.14berikut :

    Tabel 4.14 : Faktor Risiko Suhu Rumah terhadap KejadianTB Paru BTA positif diwilayah kerja PuskesmasWonorejo Samarinda Tahun 2009

    Suhu

    Kejadian TB ParuTotal

    Chi-square

    Test

    PValue

    OR95% CI

    PhiValueKasus Kontrol

    N % N % N %

    34.133 .000 77.364 .689

    TMS 23 95,8 11 22,9 34 47,2

    MS 1 4,2 37 77,1 38 52,8

    Total 24 100 48 100 72 100

    Tabel 4.14 diatas menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase faktor

    risiko positif atau pada kondisi suhu rumah yang tidak

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    70/101

    70

    memenuhi syarat kesehatan yaitu 95,5% (23 responden)

    sedangkan pada kondisi suhu rumah yang memenuhi syarat

    kesehatan hanya 4,2% (1 responden).

    Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih

    tinggi persentase pada kondisi suhu rumah yang memenuhi

    syarat kesehatan yaitu 37 responden (77,1 %) sedangkan pada

    kondisi suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

    hanya 11 responden (22,9 %).

    Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square

    diperoleh hasil p value = 0,000 artinya p < 0,05 sehingga Ho

    ditolak dengan interpretasi bahwa ada hubungan suhu rumah

    terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.

    Dilihat dari analisa faktor risiko (Odds Ratio) sebesar

    77,364 maka dapat di interpretasikan bahwa rumah dengan

    suhu yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai faktor

    risiko 77,4 kali terkena Tuberkulosis paru BTA positif

    dibandingkan dengan suhu rumah yang memenuhi syarat

    kesehatan.

    Dilihat dari nilai Phi menunjukkan nilai 0,689, hal ini

    menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara suhu

    rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    71/101

    71

    e. Faktor Risiko Kelembaban Rumah terhadap Kejadian TB

    Paru BTA positif.

    Risiko kelembaban rumah terhadap kejadian

    Tuberkulosis paru BTA positif diwilayah kerja Puskesmas

    Wonorejo pada 24 orang kelompok kasus dan 48 orang pada

    kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 4.15 berikut :

    Tabel 4.15 : Faktor Risiko Kelembaban Rumah terhadapKejadian TB Paru BTA positif diwilayah kerjaPuskesmas Wonorejo Tahun 2009

    Kelembaban

    Kejadian TB ParuTotal

    Chi-square

    Test

    PValue

    OR95% CI

    PhiValueKasus Kontrol

    N % N % N %

    33.373 .000 35.000 .681

    TMS 21 87,5 8 16,7 29 40,3

    MS 3 12,5 40 83,3 43 59,7

    Total 24 100 48 100 72 100

    Tabel 4.15 diatas menunjukkan bahwa pada penderita

    Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase faktor

    risiko positif atau pada kondisi kelembaban rumah yang tidak

    memenuhi syarat kesehatan yaitu 87,5% (21 responden)

    sedangkan pada kondisi kelembaban rumah yang memenuhi

    syarat kesehatan hanya 12,5% (3 responden).

    Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih

    tinggi persentase pada kondisi kelembaban rumah yang

    memenuhi syarat kesehatan yaitu 83,3% (40 responden)

    sedangkan pada kondisi kelembaban rumah yang tidak

    memenuhi syarat kesehatan hanya 16,7% (8 responden).

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    72/101

    72

    Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square

    diperoleh hasil p value = 0,000 artinya p < 0,05 sehingga Ho

    ditolak dengan interpretasi bahwa ada hubungan kelembaban

    rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.

    Dilihat dari analisa faktor risiko (Odds Ratio) sebesar

    35,000 maka dapat di interpretasikan bahwa rumah dengan

    kelembaban yang tidak memenuhi syarat kesehatan

    mempunyai faktor risiko 35 kali terkena Tuberkulosis paru BTA

    positif dibandingkan dengan kelembaban rumah yang

    memenuhi syarat kesehatan.

    Dilihat dari nilai Phi menunjukkan nilai 0,681, hal ini

    menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara

    kelembaban rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA

    positif.

    K. Pembahasan

    1. Kepadatan Penghuni

    Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai

    rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal

    (Lubis, 1989). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh

    perumahan biasa dinyatakan dalam m per orang.

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    73/101

    73

    Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan

    menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan

    penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil

    bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni adalah 10 m/orang

    dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila

    diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni

    adalah < 10 m/orang (Lubis, 1989).

    Hasil penelitian pada penderita Tuberkulosis paru BTA

    positif diketahui bahwa 70,8% (17 kasus) pada kondisi kepadatan

    penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Keadaan ini

    disebabkan oleh faktor pengetahuan yang rendah karena dari 17

    orang responden dapat dilihat bahwa ada 82,3% (14 kasus)

    dengan tingkat pendidikan rendah yaitu SMP dan SD. Tingkat

    pendidikan seseorang mempengaruhi terhadap pengetahuan

    seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat

    kesehatan dan pengetahuan tentang penyakit TB Paru

    (clubpenakita,2009). sehingga dengan pengetahuan yang kurang

    maka seseorang tidak mengetahui cara perilaku hidup bersih dan

    sehat. Dengan pendidikan rendah pula seseorang tidak

    mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Sehingga

    mempengaruhi usaha dalam membangun rumah yang cukup untuk

    penghuni dirumah responden.

    Terdapat 29,4% (9 kasus) responden yang lebih banyak

    melakukan aktifitas dirumah yaitu responden yang tidak bekerja

  • 8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5

    74/101

    74

    dan bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang yang melakukan

    usahanya dirumah responden sendiri. 35,3% (6 kasus) dengan

    pekerjaan sebagai buruh bangunan. Jenis pekerjaan menentukan

    faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja

    bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di

    daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada

    saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat

    meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit

    saluran pernafasan dan umumnya TB Paru (clubpenakita,2009).

    Pada kondisi kepadatan penghuni yang memenuhi syarat

    kesehatan namun mereka menderita Tuberkulosis paru BTA positif

    diketahui terdapat 29,2% (7 kasus). Ada 42,8% (3 kasus) dari 7

    responden tersebut yang menderita Tuberkulosis meskipun

    kepadatan penghuni memenuhi syarat kesehatan. Ini disebabkan

    faktor kontak serumah dengan orang yang mempunyai riwayat

    menderita Tuberkulosi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

    kontak erat dengan penderita TBC BTA positif mempunyai risiko

    maksimum untuk terinfeksi. Berdasarkan penelitian Salehuddin,

    2002 di Kabupaten Maros, responden pada penderita yang memiliki

    riwayat kontak serumah dengan penderita TBC sebanyak 69,2%

    dan yang tidak memiliki riwayat kontak serumah dengan penderita

    TBC seb