12
1 BUDAYA INOVASI SEBAGAI ELEMEN UTAMA PEMBENTUK SISTEM INOVASI DAERAH: KASUS PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DAN KALIMANTAN SELATAN Anugerah Yuka Asmara 1 ABSTRAK Inovasi telah menjadi wacana luas di berbagai negara maju dan negara sedang berkembang. Inovasi telah menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan suatu bangsa. Bahkan, negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki studi spesifik terkait hubungan antara inovasi dan ekonomi. Di Indonesia, inovasi mulai diterapkan di beberapa daerah, program itu dinamakan Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Program ini memerlukan jaringan kuat antara perusahaan, perguruan tinggi/lembaga litbang, agen penyalur teknologi, dan pemerintah. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim kondusif pembentukan SIDa. Meskipun demikian, budaya inovasi pada masyarakat belum menjadi elemen penting dalam implementasi SIDa. Padahal, di dalam UU RI No. 18/2002 Pasal 14 merupakan landasan kuat pembentukan budaya inovasi guna mendukung sistem inovasi di Indonesia. Studi ini merupakan pendekatan kualitatif yang dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan. Hasil temuan studi ini ialah, budaya inovasi belum menjadi elemen utama bagi pelaksanaan SIDa di dua area tersebut. Dengan demikian, upaya pemerintah daerah mutlak diperlukan dalam menumbuhkan budaya inovasi pada masyarakat di daerah. Kata Kunci: Budaya inovasi, Sistem Inovasi Daerah, Pemerintah 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya masyarakat untuk berinovatif merupakan faktor yang belum diberi perhatian penuh oleh negara-negara sedang berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis inovasi. Teori-teori inovasi dan kebijakan inovasi yang ada saat ini cenderung menekankan pada pentingnya dukungan kegiatan riset dan pengembangan, pembenahan kebijakan fiskal/anggaran, infrastruktur fisik penunjang, faktor kedekatan geografis, keberadaan industri utama dan industri kecil menengah (anchor industries and small- medium industries) serta regulasi yang mengaturnya (Manual, 2005; World Bank, 2010; OECD, 2011; OECD, 2013). Cara-cara pendekatan seperti itu juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam mengarahkan program-program pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi. Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), strategi 1-747 yang digunakan sebagai inisiatif inovasi belum menunjukkan penguatan budaya inovasi masyarakat sebagai faktor utama dalam mewujudkan inovasi di Indonesia 2 . Studi budaya inovasi pada masyarakat yang dilakukan di Indonesia masih belum banyak ditemui. Beberapa peneliti dari negara lain justru telah memberi perhatian terhadap pentingnya budaya inovasi pada masyarakat bagi pembentukan iklim inovasi dan ekonomi. 1) Studi Svarc (2006) di negara-negara Eropa Tengah dan Timur (Central and Eastern European Countries/CEECs), menyatakan bahwa re-desain kebijakan pengembangan di CEECs mensyaratkan konsensus kebijakan strategi komprehensif yang memungkinkan 1 Peneliti kebijakan iptek dan inovasi di Pusat Penelitian Perkembangan Iptek LIPI. Email: [email protected] 2 Dalam inisiatif inovasi 1-747, angka 7 pertama tentang 7 langkah perbaikan ekosistem inovasi yaitu: 1) sistem insentif dan regulasi yang mendukung inovasi dan budaya penggunaan produk dalam negeri, 2) peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumber daya manusia, 3) pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM, 4) pembangunan klaster inovasi daerah, 5) sistem remunerasi peneliti, 6) revitalisasi infrastruktur R&D, 7) sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi. Pada langkah nomor 1 tersebut terdapat kata-kata “budaya”, akan tetapi itu merupakan “budaya penggunaan produk dalam negeri”, bukan budaya masyarakat untuk inovasi. Hal ini akan berbeda makna, jika masyarakat kita harus mencintai produk dalam negeri, sementara produk itu diciptakan oleh perusahaan asing yang ada di Indonesia tanpa ada aliran pengetahuan dan teknologi baru bagi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, kunci inovasi tetap berada di negara perusahaan pemilik modal, sedangkan Indonesia hanya sebagai tempat produksi sekaligus pasar dari produk-produk mereka.

Anugerah yuka budaya inovasi

  • Upload
    cidino

  • View
    135

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

1

BUDAYA INOVASI SEBAGAI ELEMEN UTAMA PEMBENTUK SISTEM INOVASI DAERAH: KASUS PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DAN KALIMANTAN SELATAN

Anugerah Yuka Asmara1

ABSTRAK Inovasi telah menjadi wacana luas di berbagai negara maju dan negara sedang berkembang. Inovasi telah menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan suatu bangsa. Bahkan, negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki studi spesifik terkait hubungan antara inovasi dan ekonomi. Di Indonesia, inovasi mulai diterapkan di beberapa daerah, program itu dinamakan Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Program ini memerlukan jaringan kuat antara perusahaan, perguruan tinggi/lembaga litbang, agen penyalur teknologi, dan pemerintah. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim kondusif pembentukan SIDa. Meskipun demikian, budaya inovasi pada masyarakat belum menjadi elemen penting dalam implementasi SIDa. Padahal, di dalam UU RI No. 18/2002 Pasal 14 merupakan landasan kuat pembentukan budaya inovasi guna mendukung sistem inovasi di Indonesia. Studi ini merupakan pendekatan kualitatif yang dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan. Hasil temuan studi ini ialah, budaya inovasi belum menjadi elemen utama bagi pelaksanaan SIDa di dua area tersebut. Dengan demikian, upaya pemerintah daerah mutlak diperlukan dalam menumbuhkan budaya inovasi pada masyarakat di daerah. Kata Kunci: Budaya inovasi, Sistem Inovasi Daerah, Pemerintah 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya masyarakat untuk berinovatif merupakan faktor yang belum diberi perhatian penuh oleh negara-negara sedang berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis inovasi. Teori-teori inovasi dan kebijakan inovasi yang ada saat ini cenderung menekankan pada pentingnya dukungan kegiatan riset dan pengembangan, pembenahan kebijakan fiskal/anggaran, infrastruktur fisik penunjang, faktor kedekatan geografis, keberadaan industri utama dan industri kecil menengah (anchor industries and small-medium industries) serta regulasi yang mengaturnya (Manual, 2005; World Bank, 2010; OECD, 2011; OECD, 2013). Cara-cara pendekatan seperti itu juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam mengarahkan program-program pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi. Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), strategi 1-747 yang digunakan sebagai inisiatif inovasi belum menunjukkan penguatan budaya inovasi masyarakat sebagai faktor utama dalam mewujudkan inovasi di Indonesia2.

Studi budaya inovasi pada masyarakat yang dilakukan di Indonesia masih belum banyak ditemui. Beberapa peneliti dari negara lain justru telah memberi perhatian terhadap pentingnya budaya inovasi pada masyarakat bagi pembentukan iklim inovasi dan ekonomi. 1) Studi Svarc (2006) di negara-negara Eropa Tengah dan Timur (Central and Eastern

European Countries/CEECs), menyatakan bahwa re-desain kebijakan pengembangan di CEECs mensyaratkan konsensus kebijakan strategi komprehensif yang memungkinkan

1 Peneliti kebijakan iptek dan inovasi di Pusat Penelitian Perkembangan Iptek – LIPI. Email: [email protected]

2 Dalam inisiatif inovasi 1-747, angka 7 pertama tentang 7 langkah perbaikan ekosistem inovasi yaitu: 1) sistem insentif dan

regulasi yang mendukung inovasi dan budaya penggunaan produk dalam negeri, 2) peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumber daya manusia, 3) pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM, 4) pembangunan klaster inovasi daerah, 5) sistem remunerasi peneliti, 6) revitalisasi infrastruktur R&D, 7) sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi. Pada langkah nomor 1 tersebut terdapat kata-kata “budaya”, akan tetapi itu merupakan “budaya penggunaan produk dalam negeri”, bukan budaya masyarakat untuk inovasi. Hal ini akan berbeda makna, jika masyarakat kita harus mencintai produk dalam negeri, sementara produk itu diciptakan oleh perusahaan asing yang ada di Indonesia tanpa ada aliran pengetahuan dan teknologi baru bagi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, kunci inovasi tetap berada di negara perusahaan pemilik modal, sedangkan Indonesia hanya sebagai tempat produksi sekaligus pasar dari produk-produk mereka.

2

reformasi struktural di bidang bisnis, keuangan, kegiatan riset dan pengembangan dan juga iklim budaya dan sosial, serta perubahan mindset negara. Perubahan sosial dan penciptaan masyarakat yang berpengetahuan merupakan tantangan nyata dalam menumbuhkan perkembangan ekonomi di negara-negara tersebut

2) Vecchi and Brennan (2009) melakukan studi yang menemukan hubungan positif antara budaya inovasi dengan peningkatan inovasi di perusahaan manufaktur internasional

3) Skerlavaj et al., (2010) melakukan studi yang menyimpulkan bahwa adanya budaya inovasi pada masyarakat di Korea Selatan, khususnya mereka yang bekerja di dalam suatu perusahaan/organisasi, berdampak langsung pada terjadinya inovasi teknik dan administratif di perusahaan-perusahaan tersebut.

4) Tursyn et al. (2013) menguatkan bahwa budaya dan inovasi oleh Presiden Republik Kazakhstan dipandang sebagai modal sosial baru di negeri ini. Modal sosial tidak hanya karakter politik, melainkan juga budaya intelektual yang penting bagi bangsa. Saat ini Kazakhstan ingin merangkul 30 top universitas dunia untuk pengembangan modal sosial di negaranya yang diarahkan sebagai modal pembangunan perekonomian bangsa.

Di Indonesia, pemerintah memiliki landasan legal dalam menumbuhkembangkan

budaya inovasi di masyarakat yang tercermin dalam UU RI No.18 Tahun 2002 Tentang Sisnas P3 Iptek Pasal 14 yang menyebutkan “Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi sinergi dan pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat”. Penanaman budaya inovasi pada masyarakat lokal menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan sistem inovasi daerah (SIDa) di Indonesia. Penerapan SIDa yang dilakukan di beberapa daerah ternyata belum memperhatikan budaya inovasi pada masyarakatnya. Kebijakan SIDa yang dibentuk oleh pemerintah3 justru seringkali merupakan program-program unggulan daerah yang sudah dilakukan sebelumnya. Dua Provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi contoh bagi daerah lainnya yang saat ini memerlukan penanaman budaya inovasi pada masyarakat guna mendukung penerapan SIDa. 1.2 Rumusan Masalah

Studi ini berangkat dari adanya kendala dalam mewujudkan sistem inovasi daerah di Indonesia. Tulisan ini fokus pada pentingnya budaya inovasi masyarakat sebagai elemen utama dalam penerapan SIDa di Provinsi NTB dan Kalsel. Pertanyaan penelitian ini ialah bagaimana budaya inovasi masyarakat dapat ditumbuhkan di Provinsi NTB dan Kalsel ? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan studi ini ialah menguraikan strategi untuk menumbuhkan budaya inovasi masyarakat di Provinsi NTB dan Kalsel. 2. LANDASAN KONSEPTUAL

Budaya Inovasi Pengertian budaya dan inovasi memang secara harfiah berbeda, akan tetapi kedua

istilah tersebut saling melengkapi jika digabung menjadi satu, yaitu “budaya inovasi”. Budaya ialah sistem dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial, yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Dalam cara hidup komunitas ini, termasuk teknologi dan bentuk organisasi ekonomi, pola-pola menetap, bentuk pengelompokan sosial dan organisasi politik, kepercayaan, dan praktik keagamaan dan seterusnya4 (Keesing, 1974). Budaya dipandang sebagai seperangkat nilai bersama yang disampaikan melalui sarana-sarana simbolis seperti cerita, mitos, legenda, slogan,

3 Pemerintah daerah dibantu oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi serta lembaga non

kementerian yaitu Badan Perekayasaan dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai konsultan SIDa. Saat ini SIDa telah menjadi “kerja bareng” antar instansi pusat seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, LIPI, Batan, Lapan, dan instansi/kementerian teknis lain yang mendukung. 4 Definisi budaya dalam hal ini merupakan bagian dari budaya sebagai sistem adaptif.

3

anekdot, dan cerita rakyat (Peters and Waterman dalam Skerlavaj et al., 2010). Sementara inovasi ialah proses yang mengembangkan suatu invensi baru atau ide baru ke dalam produk baru dan membawa itu ke pengguna/konsumen. Proses tersebut beresiko dan perlu seorang entrepreneur yang mau mengambil resiko tersebut (Verloop, 2013). Keterkaitan antara budaya dan inovasi dikuatkan oleh studi Shane dalam Vecchi and Brennan (2009) bahwa dimensi budaya yang khas memberikan dukungan penting bagi kinerja inovasi.

Zhang and Zhou (2012) mengungkap bahwa budaya inovasi terkait dengan praktik-praktik inovatif, yang akan membantu dalam membentuk daya inovatif. Ada tiga level dalam menginterpretasikan arti budaya inovasi yaitu:

1. Bagian prinsip budaya inovasi. Hal itu merujuk karakteristik budaya esensial dan faktor-faktor yang paling mendasar.

2. Kelembagaan untuk budaya inovasi. Hal itu merujuk pada faktor budaya seperti struktur, mekanisme, dan kebijakan yang dapat berkontribusi untuk berbagai kegiatan inovasi.

3. Lingkungan untuk budaya inovasi. Hal itu merujuk pada faktor budaya seperti lingkungan sosial, suasana, dan program/fasilitas layanan (service paltform) yang dapat berkontribusi untuk kegiatan-kegiatan inovasi. Definisi-definisi di atas mengarahkan pada pengertian budaya inovasi dalam tulisan

ini sebagai suatu kesatuan nilai/norma meliputi kepercayaan/keyakinan, kesepakatan, aturan, dan keadaan sosial-ekonomi-politik di lingkungan sekitar yang telah terlembaga (tertanam secara kuat) di dalam masyarakat untuk mendukung berbagai upaya penemuan hal-hal baru dan mendifusikannya ke konsumen/pengguna di suatu wilayah tertentu.

Sistem Inovasi Daerah Istilah sistem sering kita jumpai di banyak literatur yang memiliki makna sebagai

suatu perangkat/elemen yang berbeda namun saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem inovasi daerah5 dikarakteristikan sebagai kumpulan aktivitas inovasi dan merupakan bentuk kegiatan yang saling bekerjasama antara pemerintah, perusahaan, universitas, lembaga litbang, organisasi pelatihan, dan agen transfer teknologi untuk menciptakan dan mendifusikan pengetahuan baru, serta adanya dukungan budaya inovasi yang memungkinkan sistem ini dapat berkembang dari waktu ke waktu (Doloreux and Parto, 2005). Sistem inovasi daerah ialah suatu kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, hubungan, jaringan, interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktek baik/terbaik) serta proses pembelajaran di daerah (Taufik, 2005). Tulisan ini mengacu pada definisi Sistem Inovasi Daerah (SIDa) yang dikemukakan oleh Taufik (2005), dengan alasan program SIDa yang diterapkan di beberapa daerah di Indonesia merupakan inisiasi dari Tatang A. Taufik sebagai peneliti di Badan Perekayasa dan Pengkajian Teknologi (BPPT).

Keterkaitan Antara Budaya Inovasi dan Sistem Inovasi Daerah Sistem inovasi daerah yang baik seharusnya menjadi sumber kekuatan yang

semakin efisien yang dapat menyesuaikan pada pembangunan wilayah. Itu merupakan suatu sistem terbuka yang berdasar pada mekanisme pasar, bisnis, dan pemerintah. Tujuan utama sistem terbuka ini adalah untuk mendorong kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing di daerah dan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu budaya inovasi memainkan peran penting di dalam sistem ini. Sehingga untuk meningkatkan kemampuan inovatif suatu kota (daerah), masyarakat harus menempatkan elemen utama pada penanaman budaya inovasi (Zhang and Zhou, 2012). Hal yang harus dipahami bahwa baik budaya inovasi maupun sistem inovasi daerah memiliki satu arah tujuan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang berada di kesatuan geografis daerah tersebut.

5 Doloreux and Parto (2005) menyebut istilah sistem inovasi daerah dalam konteks aslinya sebagai regional innovation system.

4

3. METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan pada fenomena yang nampak di lapangan. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif yang berusaha menggambarkan fenomena secara utuh. Cresswell dalam Rahmat (2009) menyatakan bahwa penelitian kualitatif menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak bisa diperoleh melalui ukuran angka/metode statistik dan pengukuran lainnya. Jenis penelitian ini digunakan untuk meneliti tentang sejarah, perilaku masyarakat, aktivitas organisasi, dinamika sosial, dan lainnya. Oleh karena itu, studi tentang budaya inovasi pada masyarakat di suatu daerah dalam tulisan ini sangat relevan menggunakan pendekatan kualitatif. 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dillakukan di dua tempat dengan waktu berbeda. Pertama, penelitian dilakukan di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tanggal 9-11 April 2013. Kedua, penelitian dilakukan di Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) pada tanggal 21-24 Mei 2013. 3.3 Sumber Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan peneliti melalui wawancara dengan informan yang berasal dari instansi pemerintah seperti Badan Perencanaan Daerah, Badan Litbang Daerah, pihak Universitas, dan masyarakat lokal. Sementara data sekunder didapatkan dari data Badan Pusat Statistik, dokumen pemerintah, buku, jurnal ilmiah, serta artikel/media massa yang relevan dengan studi ini. 3.4 Kerangka Analisis Gambar 1. Kerangka analisis Sumber: Modifikasi dari Zhang and Zhou (2012)

Studi ini menggunakan kerangka analisis yang dimodifikasi dari Zhang and Zhou

(2012). Ada empat elemen krusial pembentuk budaya inovasi yang masing-masing berperan sesuai fungsinya, yaitu agen pemerintah, organisasi bisnis, unit litbang, dan lembaga pendidikan. Satu sama lain saling berinteraksi untuk menanamkan nilai-nilai inovatif pada pribadi/individu terlebih dahulu. Kumpulan individu yang telah ditanamkan nilai-nilai inovatif tersebut akhirnya akan semakin bertambah dengan membentuk suatu komunitas atau kumpulan komunitas yang lebih besar yaitu masyarakat. Budaya inovatif yang telah dipahami oleh masyarakat itulah yang menjadi “nilai dasar” bagi pengembangan sistem inovasi di daerah.

Penanaman budaya inovasi pada masyarakat

Organisasi bisnis

Agen pemerintah

Lembaga pendidikan Individu Unit litbang

Inovasi daerah Inovasi daerah

Individu

Individu

5

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sistem Inovasi Daerah di NTB dan Kalsel

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), program SIDa hanya dipusatkan di kawasan Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat. SIDa di NTB merupakan program Pemerintah Provinsi NTB melalui kebijakan Bumi Sejuta Sapi (BSS)6 yang direspon baik oleh pemerintah pusat. Program ini diluncurkan pada 25 Februari 2012. SIDa di NTB dikhususkan pada peternakan (penggemukan) sapi7. Menristek Gusti Muhammad Hatta (2012) mengungkapkan bahwa kemandirian pangan di bidang peternakan-pertanian NTB didasarkan pada 4 F (food, feed, fertilizer, fuel). SIDa diharapkan dapat menghasilkan tiga nilai tambah yaitu, keilmuwan (paten dan publikasi), pendapatan ekonomi dari hasil litbang, dan meningkatnya jumlah peternak sapi sekaligus pemanfaatan limbah peternakan sapi oleh masyarakat sekitar.

Inovasi pengembangbiakan sapi dilakukan dengan metode perkawinan sapi yang dinamakan “semen beku sexing”, saat ini telah berhasil 90%. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya populasi sapi betina produktif dari 38% menjadi 42% dari target 44%. Tahun 2013, Pemprov NTB menargetkan populasi sapi sebanyak 1.032.500 ekor, tercapainya grade A dan B sapi, serta swasembada daging untuk menunjang ketahanan pangan nasional sebanyak 16.400 ton (setkab.go.id/2012). Keuntungan lainnya wilayah NTB yang merupakan kepulauan, menjadi barrier bagi masuknya sapi-sapi dari wilayah lain, khususnya sapi Bali yang terkena penyakit8. Saat ini SIDa dikelola oleh Dinas Peternakan Provinsi NTB dengan unit pelaksana teknis (UPT) Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang terletak di Desa Banyumulek Kabupaten Lombok Barat. Untuk itu infrastruktur penunjang seperti alat pemotong rumput gajah, gudang penyimpan pakan ternak, alat produksi pakan ternak, dan teknologi alat pemotong hewan disiapkan untuk mendukung SIDa di NTB.

Di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), sampai tahun 2013 ini SIDa masih dalam tahap penjajagan dan pencarian unggulan daerah yang dapat mendongkrak perekonomian daerah. Bahan mineral, terutama batubara9 yang saat ini menjadi program utama pendongkrak ekonomi daerah tidak dapat diandalkan. Ironisnya, Provinsi Kalsel yang dijuluki lumbung energi dalam MP3EI justru sering mengalami mati listrik10. Menurut narasumber dari unsur Pemerintah Provinsi Kalsel, akademisi di Universitas Lambung Mangkurat, dan pelaku tambang di lapangan, memprediksi maksimal atau bahkan tidak sampai 40-50 tahun ke depan sumber daya batubara akan habis di daerah ini11. Menurut Sekretaris Balitbangda Provinsi Kalsel, sebenarnya SIDa sudah dilakukan oleh Pemda Kalsel pada 20 tahun lalu, akan tetapi program itu berhenti di beberapa tahun terakhir ini. Bentuknya ialah pengembangan perekonomian Kalsel dengan menggenjot produksi kelapa sawit dan karet12. Teknologi yang telah digunakan ialah teknologi sederhana pembasmi penyakit dan jamur di pohon kelapa sawit dan karet. Sehingga, Beliau berpendapat bahwa SIDa saat ini hanya “ganti kulit” saja.

6 Bumi Sejuta Sapi (BSS) merupakan program unggulan Provinsi NTB. Tahun 2012 telah terpenuhi 896.000 ekor sapi, dan

target akhir tahun 2013 diharapkan tercapai sejuta sapi produktif di NTB (Hasil wawancara dengan pihak Bappeda Provinsi NTB pada bulan 10 April 2013 2013). 7 Di Provinsi NTB, sapi dan kerbau dikembangbiakan secara bebas/liar dan berkeliaran di padang rumput yang ada di Pulau

Lombok dan Pulau Sumbawa. Hewan-hewan ternak tersebut dibiarkan hidup secara alamiah sehingga pertumbuhannya pun dapat maksimal. Hal ini berbeda dengan konsep penggemukan sapi yang berada di Pulau Jawa yang umumnya hewan tersebut dikembangbiakan di kandang-kandang penduduk dengan alasan sempitnya padang rumput dan faktor keamanan. 8 Sapi Bali merupakan sapi rawan penyakit yang dilarang masuk ke Pulau Lombok-NTB.

9 Menurut survei BPS Kalimantan Selatan (2013), Komoditi utama penyumbang ekspor terbesar Kalimantan Selatan bulan

Agustus 2013 berdasar kode Harmonized System (HS) 2 dijit adalah kelompok bahan bakar mineral (HS 27) dengan nilai US$ 431,69 juta, diikuti oleh kelompok lemak & minyak hewan/nabati (HS 15) dengan nilai US$ 61,55 juta dan kelompok Bijih, kerak, dan abu logam (HS 26) dengan nilai US$ 18,73 juta. 10

http://finance.detik.com/read/2012/10/15/170054/2063109/1034/warga-kalsel-kesal-kaya-batubara-tapi-miskin-listrik. 11

Prediksi batubara akan habis tidak sampai 40-50 tahun hanya dugaan beberapa orang saja (pemprov, akademisi, dan pelaku tambang) dengan melihat kondisi pertambangan secara langsung di wilayah Batu Licin, Sungai Danau, dan area tambang lainnya tanpa perhitungan peramalan angka secara kuantitaif (ekonomi dan statistik). 12

Kepemilikan perkebunan karet di Kalsel masih didominasi oleh masyarakat lokal, dengan total kepemilikan sekitar 60% (Wawancara dengan Sekretaris Balitbangda Provinsi Kalsel tanggal 22 Mei 2013).

6

4.2 Gambaran Budaya Inovasi Masyarakat di NTB dan Kalsel SIDa pengembangbiakan sapi yang diterapkan di Banyumulek Provinsi NTB

merupakan program rutinitas Dinas Peternakan Provinsi NTB. Hal ini nampak dari respon masyarakat NTB sendiri, khususnya mereka yang berada di sekitar Banyumulek yang kurang mengenal istilah SIDa di wilayah mereka. Masyarakat sekitar cenderung mengenal Banyumulek sebagai tempat pemotongan ternak dan penggemukan sapi yang telah ada sebelum SIDa masuk di wilayah ini. Bahkan, daerah Banyumulek lebih dikenal oleh masyarakat lokal dan masyarakat luar (wisatawan) sebagai daerah penghasil gerabah.13 SIDa di Banyumulek terkesan program pemerintah daerah yang hanya melibatkan Kemenristek dan BPPT (termasuk instansi pemerintah lain), akan tetapi sangat minim melibatkan peran dan partisipasi masyarakat sekitar. Bahkan, wacana SIDa di NTB hanya didengar di kalangan pemerintah provinsi khususnya di Bappeda. Sementara itu, Dinas Peternakan Provinsi NTB justru kurang paham dengan program SIDa secara utuh, akan tetapi mereka tahu bahwa program tersebut berasal dari kerjasama Pemprov NTB dengan Kemenristek14. Maka tak heran jika masyarakat yang berada di sekitar Banyumulek tidak mengenal apa itu SIDa, selain istilah sebatas “kegiatan peternakan sapi” yang dilakukan pemerintah daerah NTB.

Budaya inovasi di masyarakat NTB masih terkendala oleh tingginya buta aksara/buta huruf akibat banyak anak yang putus sekolah di wilayah ini. Akan tetapi, tingkat putus sekolah mengalami penurunan dari tahun 2008 hingga 4 tahun berjalan (tahun 2012) setelah Pemprov NTB memberlakukan program Angka Drop Out Nol (ADONO). Tabel 1. Angka Penurunan Siswa Putus Sekolah di NTB Tahun 2008, 2010, 2011, dan 2012

Jenjang pendidikan 2008 (%) 2010 (%) 2011 (%) 2012 (%)

Sekolah Dasar 1,17 1,02 0,90 0,33

Sekolah Menengah PertamaMTS 5,25 1,46 0,92 0,65

Sekolah Menengah Atas/SMK/MA 6,86 2,13 1,88 1,77 Sumber: www.ntb.go.id (2013)

NTB memiliki nilai pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM)15 dengan

peringkat 7 (tujuh) provinsi tertinggi di Indonesia, mengalami kenaikan sebesar 0,84 % per tahun dari 2008 hingga 2010. Melalu program Angka Buta Aksara Menuju Nol (ABSANO) jumlah program lulusan buta aksara pada masyarakat di NTB menurun dari 80,10% di tahun 2008 menjadi 92,54% di 2010, dan sudah menembus angka 97,95% di tahun 2011. Untuk parameter kesehatan, dalam kurun waktu tiga tahun itu, Usia Harapan Hidup di NTB meningkat 0,61 dari posisi 61,50 di tahun 2008 menjadi 62,11 di tahun 2010. Sementara kemampuan daya beli masyarakat NTB meningkat dari Rp 633.580 di tahun 2008 menjadi Rp 639.890 di tahun 2010 (www.ntb.go.id/2012). Tingginya IPM di NTB diharapkan mampu berkontribusi terhadap pembentukan budaya inovasi pada masyarakat di NTB.

Di Kalsel, budaya masyarakat untuk mengenal dan memahami inovasi justru dihambat dari masih rendahnya tingkat indeks pembangunan manusia (IPM) Provinsi Kalsel yang menempati urutaan ke-26 dari 33 provinsi di Indonesia. Program pendidikan masyarakat yang diwajibkan pemerintah minimal 9 (sembilan) tahun masih belum terwujud di wilayah ini. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Kalsel menjadikan kalsel masih jauh dari penerapan inovasi di daerahnya. Hal ini sangat ironis mengingat Kalsel merupakan salah satu koridor di dalam MP3EI yang diklaim sebagai lumbung energi nasional karena kaya akan batubara dan sebagai kawasan yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit dan

13

Baca laporan peneliti Muka dan Barata (2010) berjudul: Gerabah Banyumulek Satu Tinjauan Budaya. 14

Wawancara dengan Sekretaris Dinas Peternakan Provinsi NTB, Beliau mengemukakan bahwa istilah SIDa kurang booming di instansi mereka, meskipun mereka sering mendengar istilah ini. Hal ini dikarenakan kerjasama dengan instansi pemerintah pusat (selain Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian) pada umumnya melalui Bappeda Provinsi NTB sebagai pintu gerbang utama. Meskipun demikian, diakui bahwa instansinya sering diundang rapat dengan Bappeda Provinsi NTB perihal penetapan koridor MP3EI dan SIDa. 15

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diukur melalui tiga indikator yaitu: 1) usia harapan hidup/kesehatan masyarakat, 2)pelayanan pendidikan yang didapatkan, 3) kemampuan daya beli masyarakatnya.

7

karet cukup luas ternyata belum mampu berkontribusi positif bagi pengembangan kesejahteraan masyarakat Kalsel. Masyarakat Kalsel pada umumnya hanya bekerja di level menengah ke bawah baik di sektor pertambangan maupun perkebunan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Kalsel ialah: a) masyarakat Kalsel memiliki budaya pernikahan dini16, meskipun seorang laki-laki belum mendapat pekerjaan, pernikahan dini menjadi tren di remaja Kalsel setelah mereka lulus sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA); b) orang tua cenderung lebih menyuruh anak-anak mereka untuk bekerja di sektor pertambangan dan perkebunan yang lebih menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari; c) anak-anak remaja cenderung malas sekolah jika telah tahu cara mendapatkan uang, karena tujuan sekolah pada akhirnya ialah mencari uang; d) biaya pendidikan dasar dan menengah yang relatif mahal dijangkau oleh masyarakat Kalsel dibandingkan dengan provinsi tetangganya di Kalimantan Timur (Kaltim)17.

4.3 Model Penanaman Budaya Inovasi Pada Masyarakat

Di Indonesia, budaya inovasi belum terbentuk, yang ada saat ini ialah budaya imitasi (Sari, 2013). Program SIDa “penggemukan sapi” yang tengah dijalankan di Banyumulek-NTB dan juga program unggulan daerah sebagai embiro SIDa yang tengah dibahas oleh Pemprov Kalsel ternyata masih merupakan hal baru bagi masyarakat sekitar. Program-program tersebut terkesan merupakan program vertikal dari pemerintah daerah yang bekerjasama dengan pemerintah pusat.

Gambar 2. Model penanaman budaya inovasi pada masyarakat sebagai elemen utama

pembentuk sistem inovasi daerah Sumber : Hasil modifikasi dari Taufik (2005), Zhang and Zhou (2012), dan analisis penulis (2013)

16

Wawancara dengan salah seorang penduduk asli Kalsel dari suku Banjar yang berjenis kelamin laki-laki. Budaya pernikahan dini di kalangan mereka sangat tinggi, rata-rata anak-anak lulus SMP dan SMA ingin segera menikah/minta dinikahkan kepada orang tua mereka. Bahkan, informan tersebut mengatakan kalau dia sendiri sebenarnya telat menikah di umur 26/27 tahun, karena di umur tersebut, teman sebayanya (laki-laki) sudah memiliki 1-2 anak. 17

Narasumber dari pemerintah daerah Kalsel mengemukakan bahwa Provinsi Kalimantan Timur menggratiskan program pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA) bagi penduduknya. Bahkan Pemprov Kaltim tetap ingin menyelenggarakan pendidikan gratis di berbagai sekolah unggulan yang mereka terapkan. Untuk lebih jelasnya baca di http://www.antaranews.com/berita/357871/pemprov-kaltim-tetap-lanjutkan-sekolah-unggulan.

Sistem Inovasi Daerah

Suasana/keadaan ekonomi, politik atau faktor sosial lainnya

Kondisi lingkungan yang mendukung

Sistem, kebijakan, aturan terkait pendidikan

Kelembagaan pendidikan

Pengetahuan kearifan lokal masyarakat

Pengetahuan iptek dan inovasi

Pengetahuan ekonomi & kewirausahaan

Pengetahuan regulasi & pemerintahan

Tiap individu di dalam komunitas

Tiap individu di dalam komunitas

Tiap individu di dalam komunitas

Masyarakat di suatu wilayah

geografis

Budaya inovasi masyarakat

8

Ada tiga hal yang diperlukan dalam penanaman budaya inovasi pada masyarakat yang bermula dari kearifan lokal sebagai penguat pengetahuan inovatif dasar pada individu, kelembagaan pendidikan sebagai alat pembentuk budaya inovasi, dan iklim sekitar yang mendukung budaya inovasi diterima oleh masyarakat di suatu wilayah (Zhang and Zhou, 2012).

Pembentukan budaya inovasi di Indonesia selain diatur di dalam UU RI No.18 Tahun 2002 Tentang Sisnas P3 Iptek pada pasal 14, juga diatur di dalam peraturan bersama Menristek dan Mendagri No. 03 Tahun 2012 dan No. 36 Tahun 2012 dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa “Kelembagaan SIDa terdiri atas: a) lembaga/organisasi, b) peraturan, c) norma/etika/budaya. Merujuk pada Gambar 2 di atas, elemen pertama, yaitu penanaman nilai-nilai lokal dikuatkan pada Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 18 yang intinya bahwa pembentukan norma/etika/budaya SIDa dapat dikembangkan melalui profesionalisme dengan menginternalisasikan nilai-nilai sosial yang ada. Elemen kedua, yaitu kelembagaan pendidikan diatur dalam Pasal 15 huruf (c),(d) dan Pasal 16 ayat (3),(4) tentang pembentukan dan penataan kelembagaan pendidikan dan kelitbangan pendukung inovasi. Elemen ketiga, yaitu lingkungan ekonomi-politik-sosial yang kondusif diatur dalam Pasal 15 huruf (a) pemerintahan, (b) pemerintahan daerah, (e) lembaga penunjang inovasi, (f) dunia usaha, (g) organisasi kemasyarakatan di daerah, serta Pasal 16 ayat (1),(2),(5),(6),dan (7) tentang penataan kelembagaan yang termuat di dalam Pasal 15 di atas. Hal ini ditambah lagi dengan Pasal 14 huruf (b) tentang “peraturan SIDa” yang diperkuat dengan Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan bahwa “peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 (b) merupakan ketentuan yang mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi penguatan SIDa.” Legalitas tersebut menguatkan bahwa sebenarnya budaya inovasi merupakan elemen yang tidak dapat terabaikan dalam pembentukan SIDa di Indonesia.

Di Indonesia pada umumnya, dengan melihat contoh implementasi SIDa di Provinsi NTB dan Kalsel, faktor budaya/kearifan lokal yang melekat di masyarakat sekitar harus menjadi perhatian utama pemerintah sebelum menerapkan suatu kebijakan. Seringkali, nilai-nilai inovasi dari program pemerintah justru berbenturan dengan nilai-nilai adat yang dianut masyarakat di suatu daerah. Seharusnya, pemerintah dapat memberi ruang terbuka bagi individu dalam komunitas lokal untuk mengungkapkan gagasan inovatif tanpa harus melanggar nilai adat mereka. Studi Barnett dalam Vecchi and Brennan (2009) mengemukakan bahwa ada hubungan positif antara individu di dalam masyarakat dan potensi inovatifnya. Kebebasan individu yang lebih besar akan membuat mereka lebih terbuka dalam mengungkapkan opini-opininya dan sekaligus memiliki kemungkinan lebih besar nutuk munculnya ide-ide baru.

Kelembagaan pendidikan harus diciptakan melalui mekanisme kebijakan dari pemerintah, aturan, dan kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat yang mengacu pada sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pendidikan formal dan non formal merupakan hal mutlak yang harus dibentuk oleh pemerintah untuk menanamkan nilai-nilai iptek dan inovasi, kewirausahaan, dan pemerintahan/struktur-legal yang diakulturasi dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat. Nilai-nilai tersebut ditanamkan ke setiap diri individu yang ada di dalam komunitas (sebelum ke masyarakat umum) hingga komunitas tersebut mau menerima akulturasi nilai-nilai baru tersebut secara ter-institutionalized18. Nilai-nilai yang sudah tertanam di dalam masyarakat dan membentuk kelembagaan baru (institutionalized), akan dijalankan oleh komunitas menjadi suatu norma/pola hidup yang lumrah bagi komunitas di dalam masyarakat. Sehingga, praktik-praktik iptek dan inovasi, kewirausahaan, dan pemerintahan dapat dijalankan oleh masyarakat tanpa berbenturan dengan nilai lokal.

18

Menurut H.M. Johnson suatu norma terlembaga (institutionalized) apabila memenuhi tiga syarat sebagai berikut: 1) Sebagian besar anggota masyarakat atau sistem sosial menerima norma tersebut. 2) Norma tersebut menjiwai seluruh warga dalam sistem sosial tersebut. 3) Norma tersebut mempunyai sanksi yang mengikat setiap anggota masyarakat. Diakses darihttp://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/07/pengertian-lembaga-sosial/

9

Kelembagaan nilai-nilai baru pembentuk budaya inovasi tidak dengan mudah berkembang secara eksis di dalam suatu tatanan sosial-ekonomi-politik yang telah stabil. Lingkungan di sekitar ternyata sangat mempengaruhi pembentukan nilai-nilai tersebut, selain pengaruh dari nilai-nilai lokal yang muncul dari masyarakat sendiri. Faktor sosial, ekonomi, dan politik baik itu yang telah terbentuk di dalam suatu masyarakat secara alamiah maupun datang dari faktor eksternal merupakan hal esensial yang harus diperhitungkan untuk menumbuhkan budaya baru di suatu masyarakat. Jika nilai-nilai baru tersebut mengganggu pola sosial, ekonomi, dan politik yang sudah ada, maka kecenderungan nilai-nilai baru tersebut akan sulit muncul atau cepat muncul dan juga akan cepat hilang. Dengan kata lain, mustahil akan terbentuk budaya inovasi di masyarakat jika lingkungan di sekitar mereka ternyata tidak mendukung tumbuhnya nilai-nilai baru yang mengarah pada penciptaan budaya inovasi.

Gambaran sederhananya, jika pembentukan nilai-nilai inovatif pada masyarakat sekitar diprediksi akan membangkitkan usaha kecil masyarakat, maka otomatis industri-industri besar di bidang usaha yang sama dan telah lama berdiri, akan menolak dan menghambat munculnya nilai-nilai tersebut. Karena, industri-industri besar merasa pembentukan nilai-nilai inovasi tersebut akan mengurangi keuntungan ekonomi mereka yang selama ini mereka dapatkan. Hal ini akan semakin parah jika ternyata para pengambil keputusan dan “penguasa” di daerah tersebut lebih berpihak pada pemilik industri besar, yang mengakibatkan arah kebijakan yang diambil justru akan menghambat tumbuhnya budaya inovasi di masyarakat. Kebijakan pemerintah amat diperlukan dalam mendorong iklim ekonomi yang berbasis pada penguatan nilai lokal. Hal ini dikuatkan oleh studi Yanuarti dkk (2007) bahwa market yang bersifat predatory, umumnya terjadi di negara sedang berkembang karena instrumennya belum sempurna. Agar market dapat masuk ke ranah lokal secara bersahabat, maka instrumen dan aturan bermain yang jelas harus disiapkan agar tidak merugikan civil society.

Keadaan lingkungan yang mendukung, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun sosial akan mempermudah untuk menumbuhkan sekaligus menggiatkan nilai-nilai baru tersebut sebagai suatu tatanan baru yang diterima oleh masyarakat dan dikehendaki oleh pihak-pihak lain seperti kalangan pemerintah, politisi, pengusaha, akademisi, serta pihak lain yang merasa “menyadari” pentingnya budaya inovasi atau bahkan merasa “diuntungkan” dengan munculnya budaya inovasi. Faktor sosial lainnya, seperti masyarakat yang berada di diluar komunitas tersebut akan semakin mempermudah pembentukan budaya inovasi, jika masyarakat lain tersebut telah melihat manfaat keberhasilan pembentukan budaya inovasi di suatu daerah untuk kemudian mereka adopsi di wilayahnya. Syarat inilah yang kemudian akan membentuk budaya inovasi di masyarakat dan sebagai elemen krusial bagi program pencanangan dan implementasi SIDa di Indonesia. 4.4 Penanaman Budaya Inovasi Pada Masyarakat di NTB dan Kalsel

Praktik penerapan SIDa di Provinsi NTB terkait dengan masyarakat asli yaitu suku Sasak yang memiliki perkumpulan adat yang dinamakan krama. Studi Ismail dalam Turmuzi (2011) menyimpulkan ada dua bentuk krama yaitu krama lembaga adat dan krama pergaulan sosial19. Dua bentuk krama tersebut memiliki tiga nilai kearifan lokal berupa: 1) bidang politik dan kemasyarakatan, 2) bidang ekonomi dan perdagangan, dan 3) bidang tata cara bertani/berladang. Kearifan lokal tersebut merupakan sikap saling tolong menolong antar masyarakat yang dilakukan saat ada seseorang atau sebagian masyarakat mengalami kesulitan hidup.

Di Kalsel, masyarakat memiliki tradisi aruh ganal20, yaitu bentuk upacara adat yang menyatukan masyarakat dari dua suku lokal, yaitu Banjar dan Dayak yang bertujuan merumuskan langkah dan kebijakan pembangunan di wilayah mereka. Syaifullah dan

19

Bentuk krama tersebut masih dibagi lagi sesuai dengan aturan-aturan teknis lain perihal pernikahan, kematian, sanksi sosial atas pelanggaran, musyawarah adat, dan lainnya. 20

Lihat profil Kalimantan Selatan di http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/63/kalimantan-selatan

10

Werdiono (2010) mengungkapkan bahwa sebenarnya aruh ganal pada awalnya merupakan upacara adat syukuran pada Tuhan atas berkah hasil panen yang melimpah di kampung mereka. Akan tetapi, saat ini aruh ganal juga merupakan upacara pernikahan adat, tradisi saling berbagi kasih, dan juga tradisi meminta keselamatan bagi masyarakat. Saat ini aruh ganal juga dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai ajang pertemuan dengan pemuka adat untuk membahas persoalan-persoalan yang ada di wilayahnya secara musyawarah.

Organisasi dan kearifan lokal, yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal, perlu diberikan ruang gerak yang luas agar dapat mengekspresikan dan mengartikulasikan berbagai kebutuhan masyarakat lokal (Widodo dan Suradi, 2011). Nilai-nilai lokal masyarakat yang tertanam di dalam krama (NTB) dan aruh ganal (Kalsel) seharusnya dapat menjadi dasar bagi penanaman pengetahuan iptek dan inovasi, pengetahuan kewirausahaan, dan pengetahuan pemerintahan (struktur-legal). Wadah masyarakat lokal untuk bermusyawarah tersebut dapat menjadi media pendidikan informal untuk menyampaikan perpaduan pengetahuan tersebut kepada tiap individu di dalam komunitas tersebut. Caranya, (petugas) pemda dapat melakukan sosialisasi dengan pendekatan kepada pemuka adat di komunitas adat tersebut. Tidak hanya pendidikan informal, pemerintah daerah berperan penting dalam menumbuhkan kelembagaan pendidikan formal terkait tiga pengetahuan tersebut berbasis kearifan lokal. Kurikulum di tingkat SD, SMP, SMA/SMK bahkan tingkat perguruan tinggi dapat disusun dengan komposisi materi pengetahuan yang mengarah pada pembentukan karakter inovasi pada siswa didiknya. Model pendidikan karakter inovatif tersebut dapat diperkuat melalui sistem praktik kerja lapangan yang berbasis inovatif dan didukung oleh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Keadaan ekonomi, politik, dan sosial lainnya juga harus terbentuk dan berfungsi untuk menangkap dan mendukung nilai-nilai baru hasil dari sistem pendidikan formal dan informal. Politisi, akademisi, pengusaha, serta komunitas lain sebagai pelaku kegiatan politik-ekonomi-sosial harus memiliki kesamaan visi untuk menumbuhkan budaya inovasi masyarakat di kedua daerah tersebut. Salah satu caranya dengan berdasar pada “saling memberi kepada sesama”. Pemerintah dapat memberi ruang bagi akademisi untuk melakukan kegiatan research and development (R&D), pengusaha dapat mengembangkan usahanya dengan mendapatkan supplai bahan baku dari industri/usaha masyarakat yang inovatif dan melakukan kegiatan R&D, komunitas lain dapat mengambil keuntungan dengan jaringan ini baik sebagai supplier pendukung, konsumen maupun pelaku lainnya. Sementara, politisi dapat menciptakan iklim politik yang kondusif guna berkembangnya sistem inovasi daerah yang berbasis pada kearifan lokal.

Elemen-elemen di atas jika telah membentuk jaringan kuat, maka penumbuhan budaya inovasi pada masyarakat akan mudah terwujud dan berkembang di suatu wilayah. Budaya inovasi inilah yang kemudian menjadi landasan utama penerapan SIDa di Indonesia. Menguatkan hal ini, Zhang and Zhou (2012) menyatakan bahwa budaya inovatif dibangun pada basis sumber daya dan lingkungan yang khas, terintegrasi ke dalam lingkungan inovatif daerah. Sementara itu, sistem inovasi daerah adalah suatu produk sinergi dari seluruh simpul dalam jaringan regional, termasuk organisasi bisnis, universitas, lembaga riset, dan agen pemerintah. Dengan kata lain, penanaman budaya inovasi pada masyarakat merupakan suatu “keharusan” yang dapat dibentuk oleh pemerintah dengan berdasar pada kearifan lokal. 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Budaya inovasi pada masyarakat merupakan elemen utama pembentuk Sistem Inovasi Daerah di Indonesia. Penanaman budaya inovasi dapat dilakukan melalui tiga hal yaitu penguatan kapasitas nilai-nilai lokal masyarakat, pembentukan kelembagaan pendidikan, dan membentuk lingkungan ekonomi, politik, dan sosial lainnya yang mendukung. Kelembagaan pendidikan merupakan bagian terpenting dalam menumbuhkan budaya inovasi pada masyarakat dengan menanamkan berbagai pengetahuan yang meliputi iptek dan inovasi, kewirausahaan, dan pemerintahan (struktur-legal). Peran pemerintah baik

11

pusat maupun daerah sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim yang mendukung tumbuhkembangnya budaya inovasi dengan tetap memperhatikan kearifan lokal pada masyarakat di suatu daerah. Model penanaman budaya inovasi ini dapat menjadi contoh bagi model penanaman budaya inovasi pada masyarakat di daerah lainnya di Indonesia. 5.2 Saran

Seiring otonomi daerah, pemihakan arah kebijakan pemerintah daerah diperlukan dalam mendukung munculnya budaya inovasi masyarakat yang berbasis pada kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA . Antaranews. 2013. Pemprov Kaltim Tetap Lanjutkan Sekolah Unggulan. Diakses dari

http://www.antaranews.com/berita/357871/pemprov-kaltim-tetap-lanjutkan-sekolah-unggulan.(20 September 2013)

Badan Pusat Statistik Kalimantan Selatan. 2013. EKSPOR KALSEL AGUSTUS 2013 TURUN 19,42 PERSEN DAN IMPOR TURUN 42,28 PERSEN. Diakses dari http://kalsel.bps.go.id/?set=viewBrs&flag=1&page=1&id=451. (2 Oktober 2013).

Detik Finance. 2012. Warga Kalsel Kesal, Kaya Batubara Tapi Miskin Listrik. Diakses dari http://finance.detik.com/read/2012/10/15/170054/2063109/1034/warga-kalsel-kesal-kaya-batubara-tapi-miskin-listrik. (2 Oktober 2013).

Doloreux, David and Saeed, Parto. 2005. Regional innovation systems: Current discourse and unresolved issues. Journal of Technology in Society 27(2): 133-153.

Hatta, Gusti Muhammad. 2012. Sambutan Menteri Negara Riset dan Teknologi, Peluncuran SIDa NTB, 25 Februari 2012. Diakses dari http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/10453. (25 September 2013).

Keesing, Roger M. 1974. "Theories of Culture," diterjemhakan oleh Amri Marzali. Annual Review of Anthropology No. 52.

Kementerian Dalam Negeri. 2011. Profil Provinsi Kalimantan Selatan. Diakses dari http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/63/kalimantan-selatan. (26 September 2013)

Manual, Oslo. 2005. Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data. Paris: OECD Publishing.

Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2011-2025.

Muka P, I Ketut dan I Made, Berata. 2010. Gerabah Banyumulek Satu Tinjauan Budaya. Unpublished paper. Laporan Kegiatan Penelitian Fakultas Seni Rupa Dan Desain Jurusan Kriya Seni Institut Seni Indonesia Denpasar. Dibiayai Atas dana DIPA ISI Denpasar Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional Nomor: 0162/023-04.2/XX/2010 tanggal 31 Desember 2009.

OECD. 2011. Regions and Innovation Policy, OECD Reviews of Regional Innovation. OECD Publishing.

OECD. 2013. About Organisation for Economic Co-operation and Development. Diakses dari http://www.oecd.org/about/.(21 September 2013).

Pemprov NTB. 2012. Menatap Pertumbuhan IPM di NTB. Diakses dari http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=1426. (2 Oktober 2013).

Pemprov NTB. 2013. Pendidikan Harus Mengakar Pada Budaya Bangsa. Diakses dari http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=1696. (2 Oktober 2013).

Rahmat, Pupu Saeful. 2009. Penelitian Kualitatif. Jurnal Equilibrium 5 (9):1-8. Sari, Karlina. 2013. Inovasi dan Kemiskinan: Perbandingan Antara Indonesia dan Malaysia.

Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional dan Workhsop Bertema “Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan” diselenggarakan di Hotel Topas Galeria Kota Bandung pada tanggal 30 September -1 Oktober 2013.

12

Setkab. RI 2013. Akhir Tahun 2013, NTB Targetkan 1 Juta Sapi. Diakses dari http://www.setkab.go.id/nusantara-9095-akhir-2013-ntb-targetkan-satu-juta-sapi.html. (26 September 2013).

Škerlavaj, Miha;Ji, Hoon Song; Youngmin, Lee. 2010. Organizational learning culture, innovative culture and innovations in South Korean firms. Journal of Expert Systems with Applications 37 (9): 6390–6403.

Svarc, Jadranka. Socio-political factors and the failure of innovation policy in Croatia as a country in transition. Journal of Research Policy 35 (1): 144-159.

Syaifullah, Muhammad dan Defri, Werdiono 2010. Aruh Ganal: Menghormati Kemurahan Alam Ala Dayak Meratus. Diakses dari http://tanahair.kompas.com/read/2010/08/25/18035056/Aruh.Ganal.Menghormati.Kemurahan.Alam.Ala.Dayak.Meratus.(2 Oktober 2013).

Taufik, Akhmad Tatang. 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Unggulan Daerah dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat BPPT Bekerjasama dengan Deputi Bidang Pengembangan Sistem Iptek Nasional – KNRT.

Turmuzi, Ahmad. 2011. Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Sasak dan Transformasinya dalam Pembelajaran IPS. Diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/10/nilai-nilai-kearifan-lokal-masyarakat-sasak-dan-transformasinya-dalam-pembelajaran-ips-409040.html (2 Oktober 2013).

Tursyn, Gabitov; Kulsariyeva, Aktolkyn; Sultanbayeva, Gulmira; Zhanabaeva, Dinara; Zhumashova, Zhuldyz Amanbaevna. 2013. National Culture: Tradition and Innovation (On the Basis of Semiotic Analysis of Kazakhstan’s Capital). Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 81, 28 June 2013, Pages 32-39.

Vecchi, Alessandra and Louis, Brennan. 2009. A cultural perspective on innovation in international manufacturing. Journal of Research in International Business and Finance 23 (2):181-192.

Verloop, Jan. 2013. Insight in Innovation. Published by Elsevier Inc.Success in Innovation :3-16.

Wartawarga. 2010. Pengertian Lembaga Sosial. Diakses dari http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/07/pengertian-lembaga-sosial/ (25 September 2013).

Widodo, Nurdin dan Suradi. 2011. Profil dan Peranan Organisasi Lokal Dalam Pembangunan Masyarakat. Sosiokonsepsia, 16 (02): 197-208.

World Bank. 2010. Innovation Policy: A Guide for Developing Countries. Washington: World Bank.

Yanuarti, Sri; Thung, Ju Lan; Leolita, Masnun;, Josephine Rosa Marieta; Mardyanto, Wahyu Tryatmoko. 2007. Capacity Building: Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat di Tingkat Lokal Dalam Pengelolaan Konflik di Maluku. Jakarta: LIPI Press.

Zhang, Ying and and Yao Lie, Zhou. 2012. An Empirical Study on Innovative Culture from the View of Educational Factors. International Conference on Future Electrical Power and Energy Systems within Energy Procedia (17), Part A: 700-705.

Regulasi Undang-undang RI No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Peraturan Bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi RI dan Menteri Dalam Negeri RI

Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah.