17

Click here to load reader

Macam macam pertanian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Macam macam pertanian

Macam-macam Sistem   Pertanian

Posted April 16, 2010 by reny in tugas kuliah. Tinggalkan sebuah Komentar

1. Sistem pertanian sawah

Sawah merupakan sebidang tanah dengan batas kepemilikan berupa pematang lurus membujur. Masing-masing petak dibagi dengan pematang juga. Sistem sawah, merupakan teknik budidaya yang tinggi, terutama dalam pengolahan tanah dan pengelolaan air, sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi, sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan sistem pengairan yang sinambung dan drainase yang baik. Sistem sawah merupakan potensi besar untuk produksi pangan, baik padi maupun palawija. Di beberapa daerah, pertanian  tebu dan tembakau menggunakan sistem sawah.

Pada sistem sawah, petani menggunakan sistem pengolahan tanah yang monokultur, karena sawah ini menggunakan irigasi teknis dan bukan merupakan sawah tadah hujan. Untuk pengairan, airnya cukup dengan sedikit tergenang, atau macak-macak. Hal ini untuk menanggulangi gulma. Jarak antar tanaman pun juga diatur.

Lahan sawah biasanya identik dengan sistem pengairan. Sistem pengairan di sini merupakan sesuatu yang sangat vital bagi kelangsungan sistem pertanian ini sendiri. Kebanyakan lahan sawah di sini menggunakan saluran irigasi teknis, sehingga keberadaan air masih sangat melimpah, dan air akan tetap ada meskipun pada musim kemarau. Berbeda halnya apabila dibandingkan dengan sawah yang menggunakan hujan sebagai sumber airnya. Sawah dengan saluran irigasi, baik teknis maupun setengah teknis biasanya terbentang dan tergolong sangat luas karena saluran irigasi dapat digunakan tidak hanya di satu tempat saja, sehingga dapat pula mengairi lahan lain yang masih termasuk dalam satu wilayah. Ini berarti, untuk pengelolaan sistem sawah ini memerlukan input dari luar, berupa air irigasi tadi. Selain itu, sawah seperti ini masih menggunakan pupuk kimia serta pestisida yang juga didatangkan dari luar. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pertanian sawah ini belum merupakan sistem pertanian yang terpadu, juga belum dapat dikatakan sebagai pertanian yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan proses produksi untuk menghasilkan output masih berorientasi pada hasil yang maksimum, bukan optimum.

Macam-macam sistem pertanian sawah:

1. Sawah irigasi teknis

Sawah yang pengairannya sejak dari sumber air sampai petak sawah terdapat jaringan irigasi dari bangunan permanen. Sehingga kehilangan air karena rembesan atau penguapan dapat diminimalkan.

1. Sawah irigasi setengah teknis

Page 2: Macam macam pertanian

Sawah yang jaringan irigasinya tidak seluruhnya permanen, sehingga kehilangan air akibat rembesan dan penguapan masih banyak terjadi.

1. Sawah irigasi sederhana

Sawah dengan bangunan jaringan irigasi menggunakan peralatan seadanya, sehingga kurang hemat air.

1. Sawah irigasi pompa

Sawah dengan memanfaatkan pompa untuk menaikkan air tanah atau air sungai yang permanen dalam untuk mengairi lahan pertanian yang ada di sekitarnya.

1. Sawah irigasi tadah hujan

Sawah yang semata-mata hanya tergantung curah hujan daerah setempat, atau hanya dengan memanfaatkan musim penghujan.

1. Sawah irigasi pasang surut

Sawah yang tergantung dengan pasang surutnya air rawa, sehingga dapat disebut pula irigasi dengan memanfaatkan air alami.

Material yang dimasukkan dalam upaya pembudidayaan lahan sawah yang pasti adalah pupuk. Namun pupuk yang digunakan dalam sawah ini bukanlah pupuk organik, melainkan pupuk kimiawi, seperti SP-36, KCl, Urea, dll. Selain itu juga adanya input berupa air yang berasal dari pengairan.  Pada lahan sawah, biasanya pada waktu musim tanam menghabiskan waktu sekitar 4 bulan untuk padi, sehingga dalam waktu 1 tahun biasanya terbagi menjadi 3 kali musim tanam. Dalam pengelolaannya sawah ini diolah menggunakan traktor dengan menggunakan sumberdaya manusia, dalam hal ini pengelolaannya memerlukan banyak tenaga kerja mulai dari pengolahan tanah, penanaman, sampai dengan pemanenan.

Hasil yang ada dan dibawa keluar areal persawahan antara lain gabah dan jerami, yang biasanya digunakan untuk pakan ternak. Sementara padinya sendiri setelah diolah menjadi beras untuk kemudian dijual. Ada bermacam-macam cara yang umum dilakukan oleh petani di sawah dalam menangani jerami padi yaitu diangkut dari lahan untuk pakan ternak, dijual, dibakar, ditimbun di lahan usaha, disebar di permukaan tanah, dibenam dalam lapisan olah, atau digunakan kembali sesuai dengan keperluan untuk tanaman palawija.

Di beberapa pusat penghasil padi, penanganan jerami setelah panen adalah dibakar langsung di petak pertanaman. Ada beberapa alasan dilakukan pembakaran jerami, selain lebih praktis, abu bakaran langsung sebagai pupuk, atau dapat mengusir hama dan penyakit endemik. Tetapi, dampak negatif membakar limbah panen adalah menimbulkan pencemaran udara dan menghilangkan hara dalam jumlah yang cukup banyak, terutama yang bersifat mudah menguap.

Menimbun jerami di tepi petak sawah merupakan cara umum yang dilakukan petani di beberapa tempat. Keuntungannya adalah menghemat tenaga kerja, tapi

Page 3: Macam macam pertanian

kelemahannya adalah mengurangi luasan tanah yang dapat ditanami. Timbunan jerami juga merupakan sarang tikus.

1. Sistem pertanian tegal

Sistem pertanian tegal merupakan sistem pertanian yang paling primitif. Suatu sistem peralihan dari tahap budaya pengumpul ke tahap budaya penanam. Pengolahan tanahnya sangat minimum, produktivitas bergantung kepada ketersediaan lapisan humus yang ada, yang terjadi karena sistem hutan. Sistem ini pada umumnya terdapat di daerah yang berpenduduk sedikit dengan ketersediaan lahan tak terbatas. Tanaman yang diusahakan umumnya tanaman pangan, seperti padi darat, jagung, atau umbi-umbian.

Input atau masukan yang diberikan antara lain pupuk. Tanaman di tegal ini diusahakan dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup petaninya. Oleh karena itu, agar hasilnya juga maksimal, maka tanah perlu dipupuk agar tanah tersebut terjaga kesuburannya. Jenis pupuk yang diperlukan adalah pupuk yang mengandung unsur N, P, dan K. Akan tetapi, kebutuhan tanaman tidak hanya N, P, ataupun K, namun juga unsur mikro. Jika unsur mikronya diambil lama-lama akan habis, maka tanah itu tidak akan produktif lagi. Maka dianjurkan untuk memakai pupuk organik agar kembali unsurnya, baik biologi maupun kimiawinya. Jika hanya menggunakan pupuk anorganik hanya menambah kesuburan kimianya saja. Keluaran atau output yang dihasilkan adalah selain hasil pertanian itu sendiri, batang tanaman jagung maupun daun-daunan itu diambil untuk pakan ternak. Dan tidak ada pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai pupuk, karena hasil hanya diangkut keluar lahan dan tidak ada yang ditinggal dalam lahan itu sendiri.

Pada lahan tegal, biasanya siklus haranya adalah terbuka, semua hasilnya diangkut keluar areal, dan tidak ada yang ditinggal. Hal ini tidak dibenarkan. Seharusnya, masih ada sisa-sisa panen yang dibiarkan di lahan itu, agar lama-kelamaan berubah menjadi  pupuk untuk menambah unsur hara tanah. Namun petani malah menggunakannya sebagai pakan ternak. Tetapi apabila kotoran ternak itu dikembalikan ke lahan, maka akan ada siklus hara yang masuk.

Untuk sistem tegal sendiri, biasanya tetap mendapat masukan (input) dari luar. Karena tanaman atau komoditas yang ditanam pada lahan ini biasanya hanya sejenis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai sistem pertanian yang terpadu. Akan tetapi berbeda masalahnya apabila dalam tegal itu ditanam dua atau lebih jenis komoditas (tumpang sari).

1. Sistem pertanian talun (tegal pekarangan)

Talun merupakan salah satu komponen yang umum ditemukan pada agroekosistem di Jawa Barat. Talun adalah salah satu sistem agroforestry yang khas, ditanami dengan campuran tanaman tahunan/kayu (perennial) dan tanaman musiman (annual), dimana strukturnya menyerupai hutan, secara umum ditemui di luar pemukiman dan hanya sedikit yang berada di dalam pemukiman.

Sistem pertanian ini berkembang di lahan-lahan kering, yang jauh dari sumber-sumber air yang cukup. Sistem ini diusahakan orang setelah mereka menetap lama di

Page 4: Macam macam pertanian

wilayah itu, walupun demikian tingkatan pengusahaannya rendah. Pengelolaan tegal pada umumnya jarang menggunakan tenaga yang intensif, jarang ada yang menggunakan tenaga hewan. Tanaman-tanaman yang diusahakan terutama tanaman tanaman yang tahan kekeringan dan pohon-pohonan.

Fungsi ekologi talun antara lain adalah memberikan perlindungan terhadap plasma nutfah, sebagai habitat satwa liar seperti jenis burung dan serangga penyerbuk, memberi perlindungan terhadap tanah dari bahaya erosi, dan sebagai penghasil seresah dan humus. Sedangkan fungsi sosial ekonominya antara lain adalah memberikan manfaat ekonomi dari hasil produksinya yang dapat dijual atau yang dapat dimanfaatkan secara langsung seperti kayu bakar, bahan bangunan, dan buah-buahan.

Pengolahan tanah: Lahan talun ini benar-benar menggunakan sistem tanam campuran. Karena petani hanya menanam dan membiarkan lahannya dan tidak ada perawatan yang intensif seperti pada tegal. Jenis-jenis tanaman yang ada di talun ini antara lain: Kacang tanah, jagung, jati, mangga, singkong, angsana, johar, tanaman obat, dll. Tanaman di lahan ini tidak terspesifik karena talun merupakan gabungan antara tegal dengan pekarangan. Di samping itu, jenis tanaman yang tumbuh di talun tidak ditentukan. Petani hanya menanam komoditasnya, sementara tanaman lain tumbuh dengan sendirinya. Dengan kata lain, pada lahan talun ini tanaman yang ada pada lahannya merupakan tanaman dengan sistem tumpang sari (multiple cropping).

Jarak tanaman yang diterapkan sama sekali tidak teratur. Mungkin ada yang diatur, namun karena perawatannya tidak terlalu intensif, sehingga pertumbuhan dan jarak tanam antara tanaman lama dengan tanaman yang baru tumbuh pun tidak teratur. Input atau masukan yang diberikan antara lain pupuk. Tanaman di talun ini juga memerlukan masukan karena sebagian hasil pertaniannya juga untuk dijual. Oleh karenanya, lahan ini juga terkadang dipupuk namun ini pun juga tidak terlalu sering, hanya jika hasil panen kurang maksimal saja. Karena macam vegetasi di sini sangat banyak, dan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif, sehingga sisa-sisa tanaman yang jatuh, setelah mengalami dekomposisi akan berubah menjadi pupuk organik. Keluaran atau output yang dihasilkan adalah semua hasil pertanian meliputi jagung, mangga, dan semua yang bernilai jual.

Pada lahan talun ini, siklus haranya adalah tertutup, hasil yang dibawa keluar adalah yang bernilai jual, dan yang lain dibiarkan begitu saja dengan tujuan jika terdekomposisi dapat menjadi pupuk organik. Sehingga seharusnya petani tidak perlu memupuk. Namun jika diperlukan dapat ditambah pupuk.

Sistem pertanian talun merupakan sistem pertanian yang cukup kompleks, sehingga dapat dikatakan bahwa pengolahan dari sistem pertanian ini merupakan pertanian yang terpadu. Hal ini dikarenakan dalam prosesnya, melibatkan bermacam-macam komoditas yang berbeda, dan biasanya pengolahannya sangat minimal dan hampir dapat dikatakan perawatannya seperti perawatan lahan pekarangan. Interaksi antar komponen biotik dan abiotiknya pun sangat variatif mengingat lahan ini tergolong cukup kompleks. Sistem pertanian ini sering disebut dengan agroforestri (wanatani) yang biasanya terdapat di desa (pengelolaan hutan desa).

1. Sistem pertanian pekarangan

Page 5: Macam macam pertanian

Pekarangan adalah sebidang tanah yang terletak di sekitar rumah dan umumnya berpagar keliling. Di atas lahan pekarangan tumbuh berbagai ragam tanaman. Bentuk dan pola tanaman pekarangan tidak dapat disamakan, bergantung pada luas tanah, tinggi tempat, iklim, jarak dari kota, dan jenis tanaman.

Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan kehidupan yang saling menguntungkan. Sebagian dari tanaman dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan sebagian lagi untuk manusia, sedangkan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang untuk menyuburkan tanah pekarangan. Dengan demikian, hubungan antara tanah, tanaman, hewan piaraan, ikan dan manusia sebagai unit-unit di pekarangan merupakan satu kesatuan terpadu.

Lahan pekarangan sangatlah efektif dan efisien untuk bercocok tanam. Kita dapat menanam tanpa perlu adanya pupuk. Karena biasanya, kita akan membiarkan tanaman tumbuh dengan sendirinya, dan daun juga gugur dengan sendirinya. Selain hasilnya lebih efisien, ternyata lahan pekarangan juga termasuk lahan yang ramah lingkungan dan tidak mudah merusak tanah. Jika biasanya tanah akan mudah tercuci atau hilang kandungan haranya karena kesalahan pengolahan tanah, maka lain halnya dengan tanah di pekarangan.

Input atau masukan yang diberikan juga sama sekali tidak ada. Karena lahan pekarangan ini tidak digunakan untuk dijual dan hasilnya untuk dikonsumsi sendiri. Oleh karena itu, jika diberikan tambahan pupuk, berarti pemilik akan mengeluarkan biaya tambahan. Namun tanpa pupuk pun ternyata tanaman di sini juga dapat tumbuh dengan subur karena memperolah masukan dari sisa-sisa tanaman yang telah terdekomposisi menjadi unsur hara. Sedangkan keluaran yang ada adalah hasil panenan dari berbagi macam tanaman yang ada di pekarangan. Hampir semua tanaman menghasilkan produk. Kayunya untuk bangunan, sedangkan daun untuk pupuk hijau, buah untuk dimakan, dan sayuran untuk dimasak.

Teknik pengolahan tanahnya pun menggunakan TOT (Tanpa Olah Tanah), sehingga pemilik dari pekarangan tidak pernah atau jarang sekali merawat tanahnya, dan dibiarkan begitu saja agar lebih alami sehingga kandungan bahan organik maupun humusnya lebih banyak. Hal ini membuat tanah menjadi lebih subur, tanaman juga tumbuh dengan subur, dan hasilnya juga maksimal dan tuumbuh secara alami tanpa rekayasa teknologi manusia. Akan tetapi teknik ini membuat serangan hama dan penyakit meningkat. Akan tetapi, justru kondisi seperti inilah yang membuat rantai makanan akan lebih bervariasi dan lebih alami. Pada lahan pekarangan ini, siklus haranya adalah tertutup, tanaman itu rontok daunnya lalu diambil tanaman semusim, dan sisa-sisa tanaman tetap di sini tidak diambil. Jika diambil, semuanya tetep kembali dari hasil kotoran.

Sistem pertanian pekarangan telah mencerminkan pertanian terpadu, juga organik. Hal ini dikarenakan sistem pertanian ini tidak memerlukan input dari luar, dan hanya memanfaatkan sesuatu yang telah ada dari wilayah tersebut. Selain itu, ekosistem dan interaksi antar komponen di dalamnya juga sangat beraneka ragam.

1. Sistem pertanian perkebunan

Page 6: Macam macam pertanian

Perkebunan didefenisikan sebagai segala bentuk kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang  sesuai; termasuk mengolah dan  memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut  dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan dan manajemen untuk  mewujudkan kesejahteraan bagi pekebun dan masyarakat.

Sistem perkebunan, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar (estate) yang dulu milik swasta asing dan sekarang kebanyakan perusahaan negara, berkembang karena kebutuhan tanaman ekspor. Dimulai dengan bahan-bahan ekspor seperti karet, kopi, teh dan coklat yang merupakan hasil utama, sampai sekarang sistem perkebunan berkembang dengan manajemen yang industri pertanian.

Untuk perkebunan teh, biasanya menggunakan lahan miring yang berada di lereng pegunungan. Pengolahan tanah: Karena terletak di lahan miring, maka digunakan terasering untuk mencegah terjadinya erosi. Pola tanam pada lahan miring tidak boleh searah dengan kemiringan. Jadi harus melintang, agar tidak terjadi longsor. Tanaman yang baik ditanam pada lahan yang miring adalah pohon-pohon besar. Pada lahan pada kemiringan seperti itu, tanaman teh dapat eksis dari longsor, karena menutupi permukaan tanah. Dan tanaman ini mempunyai sistem perakaran yang hampir seperti pohon. Tapi tanaman ini sangat melindungi permukaan tanah dari air. Sehingga sangat efektif dalam mengendalikan air hujan. Di satu sisi, resapannya juga tinggi.

Input atau masukan yang ada adalah pupuk. Penggunaan pupuknya antara lain NPK dan urea. Akan tetapi, penambahan pupuk tidak terlalu intensif, biasanya sangat jarang dipupuk. Oleh karena itu, untuk menekan biaya pengolahan, pupuk kimia tidak terlalu sering diberikan. Dan untuk output atau keluaran adalah hanya teh saja, karena tidak diusahakan tanaman bernilai jual lain selain teh. Begitu pula dengan macam perkebunan yang lain. Biasanya, outputnya hanya komoditas perkebunan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Pertanian Padi Organik SRI dalam konsep Sistem Pertanian Terpadu. http://www.sasak.org/. Diakses pada hari Sabtu tanggal 20 Maret 2010 pukul 20.00 WIB

Page 7: Macam macam pertanian

Artikel >>

SAINS PETANI SEBAGAI KONTRIBUSI SLPHT UNTUK PEMBERDAYAAN PETANI

SAINS PETANI SEBAGAI KONTRIBUSI SLPHT UNTUK PEMBERDAYAAN PETANI

Kasumbogo Untung

PendahuluanPetani merupakan bagian terbesar produsen pangan dan produk-produk pertanian lainnya seharusnya memegang peran dan pelaksana utama pembangunan pertanian di negara Indonesia yang agraris. Setelah kita melaksanakan pembangunan pertanian selama lebih dari setengah abad yang terjadi di lapangan tidak demikian. Petani dan masyarakat pedesaan dalam posisi yang marginal dan memprihatinkan. Petani belum ditempatkan sebagai subyek atau penentu keputusan kegiatan pembangunan pertanian namun tetap sebagai obyek pembangunan pertanian yang secara nasional dirancang dan dilaksanakan oleh Pemerintah, bersama dengan segala jajaran dan petugasnya, serta didukung oleh mitra kerja Pemerintah termasuk dunia usaha dan dunia pendidikan dan penelitian.Banyak jenis program dan proyek pemberdayaan petani telah dilaksanakan oleh Pemerintah, melalui Departemen Pertanian dan departemen-departemen lainnya, namun program-program tersebut masih terpusat pada ketergantungan petani pada Pemerintah. Pola pemberdayaan masih satu arah dengan inisiatif dan pelaksana program adalah Pemerintah dengan para petugas lapangannya. Program pemberdayaan petani kurang bersifat partisipatoris sehingga kurang efektif dalam membebaskan petani dari berbagai bentuk cekaman dan tekanan yang menekan kehidupan mereka. Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu melaksanakan program pelatihan petani PHT melalui kegiatan SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu) dengan menerapkan pendekatan partisipatoris dan prinsip petani belajar dari pengalaman telah menghasilkan harapan bahwa petani dapat mandiri, percaya diri dan lebih bermartabat sebagai manusia bebas dalam menentukan nasib dan masa depan mereka. Program pelatihan SLPHT dapat menghasilkan para alumni yang mampu melakukan kegiatan perencanaan dan percobaan untuk memperoleh teknologi budidaya tanaman yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi lokal dan kebutuhan petani yang spesifik. Makalah ini menguraikan lebih lanjut tentang beberapa latar belakang masalah, prinsip dan sasaran pelaksanaan SLPHT serta pemunculan gagasan Sains Petani oleh para alumni SLPHT. Makalah juga akan membahas bagaimana seharusnya para peneliti dari Universitas menyikapi gagasan Sains Petani.

Kebijakan Ketahanan Pangan dengan Pertanian KonvensionalAkar permasalahan yang membawa petani pada kondisi ketergantungan adalah kebijakan Pemerintah tentang Ketahanan Pangan atau dulu dinamakan program Swa Sembada Beras atau Swa Sembada Pangan. Program ini bertujuan memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk yang setiap tahun selalu meningkat seiring dengan laju peningkatan populasi penduduk yang masih secara eksponensial. Keinginan agar bangsa ini dapat berswa sembada beras sudah menjadi program utama Pemerintah Indonesia sejak Kabinet Indonesia yang pertama. Sejak tahun 1970an Pemerintah Presiden Suharto telah menetapkan kebijakan bahwa untuk meningkatkan produksi padi secara cepat hanya dapat dicapai bila para petani padi dapat menerapkan teknologi pertanian modern yang kemudian dikenal sebagai teknologi "revolusi hijau". Teknologi revolusi hijau merupakan teknologi budidaya tanaman padi yang pada waktu itu dimasyarakatkan oleh Pemerintah dengan istilah Panca Usaha Tani (pengolahan tanah, pemupukan dengan pupuk buatan, perbaikan jaringan pengairan, penanaman benih unggul, serta pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida). Kebijakan tersebut pada prinsipnya tetap diikuti oleh Pemerintah periode-periode berikutnya. Setiap tahun Pemerintah selalu menetapkan target produksi padi yang dihasilkan oleh para petani padi. Keberhasilan suatu Kabinet atau Menteri Pertanian dalam mencapai target produksi selalu digunakan sebagai salah satu kriteria keberhasilan Pemerintah dalam melaksanakan program kerjanya. Oleh karena itu Pemerintah selalu berusaha membuat banyak kebijakan, program proyek, dan bantuan

Page 8: Macam macam pertanian

yang ditujukan pada petani agar mereka dapat meningkatkan produksi sawahnya. Penerapan teknologi pertanian konvesional dalam program nasional Ketahanan Pangan di Indonesia oleh Pemerintah dibebankan pada puluhan juta petani padi. Pemerintah menyediakan berbagai bentuk fasilitas yang dharapkan dapat digunakan petani sebaik mungkin untuk meningkatkan produksi sawahnya. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain dalam bentuk penyediaan benih, pupuk kimia, pestisida, sistem jaringan irigasi dan kredit. Program peningkatan produksi pertanian dari Pemerintah yang didukung oleh dunia industri dan para peneliti/pakar/akademisi semakin memojokkan petani (khususnya petani gurem) dalam posisi yang tidak berdaya dalam menentukan masa depannya. Pertanian dengan teknologi revolusi hijau sering disebut sebagai pertanian konvensional, pertanian modern, pertanian industri atau pertanian boros energi. Disebut sebagai pertanian konvensional karena teknologi tersebut sangat umum digunakan di seluruh dunia dan pada kebanyakan komoditi pertanian penting. Pertanian konvensional dinamakan pertanian modern karena pertanian ini memanfaatkan berbagai masukan produksi berupa hasil teknologi modern seperti varietas unggul, pupuk buatan dan pestisida kimia. Hampir semua masukan produksi modern berasal dari luar ekosistem dan bahan bakunya berasal dari bahan bakar fossil sebagai sumberdaya alam tak terbarukan Karena itu sistem pertanian modern sering juga dinamakan sebagai pertanian boros energi. Pertanian konvensional juga dikenal sebagai pertanian industri karena kegiatan produksi pertanian dianggap sebagai kegiatan pabrik yang memproses masukan produksi seperti benih, pupuk, dan yang lain menjadi keluaran yang berupa pangan dan hasil pertanian lainnya serta keuntungan usaha tani. Gliessmann (2007) menyatakan bahwa pendekatan dan praktek pertanian konvensional terutama untuk peningkatan produksi pangan telah diikuti banyak negara baik negara maju maupun negara sedang berkembang. Menurut Gliessmann, teknologi pertanian konvnsional tersebut bertumpu pada tehnik-tehnik budidaya sebagai berikut:1) Pengolahan Tanah Intensif, 2) Budidaya Monokultur, 3) Aplikasi Berbagai Pupuk Sintetik, 4) Perluasan dan intensifikasi jaringan irigasi, 5) Pengendalian hama, penyakit, gulma dengan pestisida kimia, 6) Manipulasi Genom Tanaman dan Binatang yang menghasilkan varietas-varietas unggul tanaman melalui teknologi pemuliaan tanaman serta rekayasa genetik.Agar pertanian konvensional berhasil meningkatkan produksi sesuai target jangka pendek diperlukan:

• inovasi teknologi yang cepat, • modal besar agar produsen dapat menerapkan teknologi produksi dan    pengelolaannya, • pertanian skala besar, • penanaman varietas unggul secara seragam dalam areal luas dan terus menerus sepanjang musim, • penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara intensif dan ekstensif, • efisiensi penggunaan tenaga kerja tinggi sehingga mengarah pada penggunaan alat dan mesin pertanian, • penerapan prinsip-prinsip agrobisnis.

Dampak Pertanian KonvensionalDari pengalaman selama berpuluh tahun di semua negara, penerapan pertanian konvensional tidak membawa keadaan yang lebih baik tetapi justru menimbulkan masalah-masalah baru. Penerapan teknologi pertanian konvensional secara luas dan seragam mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Menurut Gliessmann (2007) dampak samping pertanian konvensional meliputi:1. Degradasi dan Penurunan Kesuburan Tanah.2. Penggunaan Air Berkelebihan dan Kerusakan Sistem Hidrologi.3. Pencemaran Lingkungan berupa kandungan bahan berbahaya di lingkungan dan makanan.4. Ketergantungan petani pada Input-input Eksternal.5. Kehilangan Diversitas Genetik seperti berbagai jenis tanaman dan varietas tanaman pangan lokal/tradisional.6. Peningkatan kesenjangan Global antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang 7. Kehilangan Pengendalian Komunitas Lokal terhadap Produksi Pertanian

Pertanian Konvensional mengakibatkan kerusakan lingkungan serta semakin menghabiskan energi dari sumberdaya alam tidak terbarukan. Harga energi semakin lama semakin meningkat karena persediaan

Page 9: Macam macam pertanian

bahan bakar fosil semakin habis. Dilihat dari sisi ekonomi, keuntungan yang diperoleh dari pertanian konvensional semakin menurun. Fenomena pertanian konvensional dengan segala dampak sampingnya tersebut tidak hanya terjadi di luar negeri tetapi sudah dan sedang terjadi di Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan program ketahanan pangan. Kondisi lingkungan dan ekonomi di ekosistem persawahan kita sudah sedemikian kritis sehingga sulit untuk melaksanakan kegiatan intensifikasi pertanian secara efektif dan efisien. Berbagai bentuk pemborosan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya sedang terjadi di lahan-lahan sawah dan pedesaan saat ini. Kita akan mewarisi generasi mendatang dengan kerusakan dan biaya lingkungan yang sangat mahal yang sulit untuk dikembalikan lagi. Dengan kesadaran manusia akan lingkungan dan masa depan bumi, praktek Pertanian Konvensional secara bertahap harus diubah dan dikonversikan menjadi Pertanian Berkelanjutan yang bertumpu pada kemampuan, kemandirian dan kreativitas petani dalam mengelola sumberdaya lokal yang mereka miliki. Dukungan politik Pemerintah terhadap konversi pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan harus jelas, tegas dan konsisten agar ekosistem pertanian di Indonesia dapat segera diselamatkan dan dihindarkan dari kerusakan yang lebih parah.

Ketidakberdayaan PetaniPenerapan secara luas dan seragam program ketahanan pangan nasional yang bertumpu pada teknologi pertanian konvensional membuat petani dan kelompok tani semakin tidak berdaya, tidak mandiri dan tidak percaya diri. Mereka sangat tergantung pada uluran tangan pihak-pihak lain terutama pemerintah, pengusaha dan peneliti. Dengan ketergantungan tersebut berbagai potensi, aktivitas, kreatifitas dan kearifan petani menjadi tersumbat dan tidak dapat dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa. Berbagai kendala yang dihadapi petani yang meliputi kendala internal seperti keterbatasan bibit, air, pupuk, pestisida, modal, pengetahuan dan teknologi serta kendala eksternal seperti akses pasar, penetapan harga, perubahan iklim dan lain-lainnya telah digunakan oleh Pemerintah sebagai alasan melakukan intervensi dalam proses pengambilan keputusan petani dalam mengelola lahannya sendiri yang terbatas. Ketergantungan petani pada Pemerintah, pengusaha sarana produksi serta rekomendasi peneliti membuat petani semakin tidak mampu dan tidak berani mengambil keputusan yang terbaik dalam mengelola produksi pertanian yang sesuai dengan keberadaan dan potensi mereka sendiri yang sangat khas lokal. Petani selalu ditempatkan pada posisi yang lemah dalam program pembangunan pertanian yang dirancang dan dilaksanakan Pemerintah yang didukung oleh pengusaha dan peneliti, termasuk peneliti dari Perguruan Tinggi. Bagi Pemerintah petani sampai saat ini masih dianggap sebagai obyek berbagai program dan proyek pembangunan pertanian. Bagi pengusaha petani dianggap sebagai pasar potensial banyak jenis produk-produk industri pertanian seperti benih, pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian. Bagi sebagian peneliti dan akademisi, petani dianggap sebagai obyek kegiatan penelitian serta sebagai pengguna akhir hasil kegiatan atau proyek penelitian yang dilaksanakan atas biaya dari lembaga pemerintah atau swasta sesuai dengan "pesan-pesan" tertentu. Banyak kegiatan penelitian universitas yang kurang relevan dan tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Persepsi dan orientasi peneliti tentang suatu permasalahan lapangan seringkali berbeda dengan persepsi dan orientasi petani. Di samping banyak topik penelitian para peneliti yang kurang relevan, juga sebagian besar hasil-hasil penelitian tidak sampai pada tangan petani.

Pemberdayaan Petani melalui SLPHTProgram/Proyek Pemerintah yang dinilai paling berhasil dalam lebih memberdayakan petani adalah pelatihan petani untuk menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) melalui program SLPHT (Sekolah Lapangan PHT). Sejak 1989 sampai sekarang lebih dari satu juta petani Indonesia sudah mengikuti program SLPHT yang diselenggarakan oleh Pemerintah dengan dukungan dana APBN, APBD, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Program SLPHT terutama dipusatkan pada

Page 10: Macam macam pertanian

pelatihan para petani padi di sentra-sentra beras di beberapa propinsi. Sampai saat ini, SLPHT juga diselenggarakan untuk melatih para petani palawija, sayuran dataran rendah, sayuran dataran tinggi dan perkebunan.Asas-asas SLPHT padi adalah menggunakan sawah selama satu musim tanam sebagai sarana dan tempat belajar utama bagi petani untuk mengelola ekosistem pertanian secara berkelanjutan. Cara belajar lewat pengalaman oleh petani dengan melakukan pengamatan agroekosistem, mengungkapkan dan menganalisis hasil pengamatan, serta menyimpulkan dan menerapkan teknologi dengan metode serta bahan yang praktis dan sesuai dengan kondisi ekosistem dan petani yang khas lokal. Selama satu musim tanam petani bersama kelompoknya belajar sendiri dan memutuskan sendiri teknologi pertanian yang paling tepat yang bisa mereka lakakukan sehingga mereka tidak tergantung pada orang-orang atau pihak-pihak lain. Mengamati, menghitung, mengukur, membandingkan, menganalisis, membuat hipotesis serta mengambil kesimpulan atas dasar penalaran ilmiah, merupakan kegiatan yang mereka lakukan pada setiap hari pertemuan. Bila petani ingin mendalami topik-topik khusus yang ingin mereka ketahui, mereka dilatih melakukan berbagai bentuk pengujian dan percobaan yang mereka rancang dan amati bersama. Hasil pengujian dan percobaan tersebut menghasilkan beberapa teknologi yang menurut keyakinan mereka dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Topik-topik khusus meliputi berbagai masalah pengelolaan ekosistem termasuk budidaya tanaman, pengelolaan tanah dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman sampai masalah pengolahan dan pemasaran hasil (Untung, 2007). Setelah petani menyelesaikan satu periode SLPHT (disebut "alumni" SLPHT) banyak pengalaman, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan coba-coba yang mereka peroleh di SLPHT kemudian diterapkan dan dilanjutkan di lahan sawahnya masing-masing. Dalam menerapkan berbagai prinsip dan teknologi PHT para petani alumni SLPHT selalu melaksanakannya secara terpadu, holistik dan berkelompok dalam kelompok taninya masing-masing. Hasil positif yang dirasakan petani setelah melalui pengalaman bertahun-tahun, para alumni SLPHT merasa semakin mampu menyelesaikan berbagai permasalahannya selama ini secara mandiri. Sejak penyelenggaraan SLPHT, banyak konsep dan teknologi yang ditemukan sendiri oleh petani alumni SLPHT di banyak propinsi dan pada banyak komoditi pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan). Beberapa teknologi kreasi petani dapat menghasilkan keluaran yang secara ekologi dan ekonomi lebih baik daripada teknologi hasil para peneliti dan lembaga-lembaga penelitian, termasuk peneliti Universitas. Berbeda dengan temuan para peneliti maka hasil temuan petani dengan cepat dan luas diseminasikan pada para petani di tingkat lokal, daerah, nasional dan bahkan sampai tingkat global. Kelihatannya proses diseminasi hasil percobaan ke pengguna akhir lebih cepat dan efektif melalui jaringan komunikasi petani daripada melalui prosedur birokrasi pemerintah. Hasil-hasil dan perolehan tersebut membuat petani lebih percaya diri dan ingin disejajarkan dengan kelompok peneliti profesional yang bekerja di lembaga-lembaga penelitian pertanian dan universitas.

Konsep Sains PetaniDari pengalaman-pengalaman tersebut di atas kelompok petani alumni SLPHT memunculkan istilah Sains Petani yang mungkin saya artikan sebagai suatu sains yang dikembangkan dengan prinsip: " dari, oleh dan untuk petani". Petani alumni SLPHT menyadari bahwa penyelesaian permasalahan lapangan yang dinamis tidak dapat dilakukan dengan mengikuti kebiasaan orang tua atau orang sekitarnya tetapi harus dapat dibuktikan dengan penalaran ilmiah. Caranya adalah dengan melakukan percobaan, pengkajian, pengamatan, analisis dan pengambilan kesimpulan tentang penyelesaian masalah yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan petani setempat. Kegiatan-kegiatan percobaan dan pengkajian tersebut dilaksanakan sendiri oleh petani dan kelompok tani. Bila dipandang perlu dapat dilaksanakan bekerjasama dengan pihak-pihak lain, termasuk peneliti dari universitas. Petani sudah memiliki modal untuk mengembangkan dan menerapkan Sains Petani yang berupa intuisi, pengalaman, pengetahuan dan budaya baru dalam mengelola secara bijaksana dan berkelanjutan segala sumberdaya yang mereka miliki, termasuk sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber dana yang terbatas.Konsep Sains Petani perlu ditanggapi oleh komunitas peneliti di lembaga-lembaga penelitian dan uniiversitas secara positif dan kreatif. Meskipun dalam pihak lain gagasan Sains Petani dapat dianggap sebagai tantangan dan kritik bagi pemerintah, universitas dan para peneliti agar mereka meninjau kembali kebijakan, strategi dan program yang menempatkan petani pada posisi lemah, yaitu di bawah posisi Pemerintah, Lembaga Penelitian dan Universitas. Kita harus menempatkan petani pada posisi yang sejajar sebagai mitra kerja Pemerintah, lembaga Penelitian dan Universitas dalam melaksanakan kegiatan pembangunan pertanian. Petani memerlukan pengakuan, dukungan serta kerjasama yang positif untuk mengembangkan Sains Petani sehingga petani secara mandiri mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas temuan, kearifan dan teknologi petani yang paling sesuai dengan kondisi lingkungan sosial budaya setempat yang

Page 11: Macam macam pertanian

beranekaragam. Diharapkan bahwa dengan kerjasama antara "petani peneliti" dengan para peneliti universitas dapat memperkaya dan memajukan khazanah ilmu pengetahuan kita.

Kesimpulan

1. Program Ketahanan Pangan untuk mencapai sasaran produksi pangan jangka pendek semakin memojokkan petani pada posisi lemah, terpinggirkan serta tidak berdaya.

2. Petani tidak mampu secara mandiri mengambil keputusan mengenai pengelolaan lahan sawahnya yang sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.

3. Penerapan teknologi pertanian konvensional termasuk untuk peningkatan produksi pangan mengakibatkan dampak samping negatif bagi lingkungan, sosial budaya serta secara ekonomi semakin tidak efektif dan efisien.

4. Pelatihan SLPHT mampu mengubah petani alumni SLPHT dari budaya pasif tidak berdaya menjadi budaya aktif, kreatif, inovatif dan berwawasan ilmiah.

5. Sains Petani sebagai suatu ilmu yang dikembangkan dengan prinsip "dari, oleh dan untuk" petani merupakan pernyataan kemandirian dan kemampuan petani sekaligus sebagai koreksi bagi komunitas peneliti pertanian yang masih mempertahankan kesenjangan komunikasi dengan petani.

6. Konsep Sains Petani perlu ditanggapi secara positif dan kreatif oleh para peneliti, yaitu dengan menerapkan kemitraan kerja sejajar dengan para petani.

 

Daftar Pustaka

Gliessman, S.R. 2007. Agroecology: The Ecology of Sustainable Food System. Second Edition. CRC Press. New York.

Untung, K. 2007. Kebijakan Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.