14
Naturalisasi adalah Permohonan Kewarganegaraan. Seperti halnya yang telah dialami oleh seorang striker Tim Garuda Christian Gonzales asal Uruguay baru-baru ini. Penantian panjang Cristian Gonzalez menjadi Warga Negara Indonesa (WNI) akhirnya berakhir sudah. Setelah menunggu empat tahun lamanya, Gonzalez resmi menjadi WNI dari jalur naturalisasi pemain yang diajukan PSSI kepada Pemerintah RI. Berikut adalah seluk beluk hukum tentang naturalisasi yang kami himpun dari beberapa situs lain. Pewadahan Dalam Hukum Dalam naskah asli UUD 1945, masalah kewarganegaraan diatur di dalam Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang.” Selanjutnya ayat (2) menyatakan “syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang- Undang.” Ketentuan semacam ini memberikan penegasan bahwa untuk orang- orang bangsa Indonesia asli secara otomatis merupakan warganegara, sedangkan bagi orang bangsa lain untuk menjadi warga negara Indonesia harus disahkan terlebih dahulu dengan undang- undang. Dalam sejarah perjalanannya, Pasal 26 UUD 1945 telah menimbulkan dua persoalan sosilogis di bidang hukum kewarganegaraan yaitu (a) pemahaman “orang-orang bangsa Indonesia asli”, yang dalam dataran hukum sulit untuk dilacak atau dibuktikan, karena yang disebut “bangsa asli” sering hanya dikaitkan dengan aspek fisiologis manusia seperti warna kulit dan bentuk wajah; dan (b) konsep tersebut mengindikasikan adanya 2 (dua) kelompok warganegara, yaitu warganegara kelompok pribumi dan non pribumi yang pada akhirnya berakibat pula pada pembedaan perlakuaan pada warganegara (Samuel Nitisapoetra, 2002: 40).

Kewarganegaraan PKN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kewarganegaraan PKN

Naturalisasi adalah Permohonan Kewarganegaraan. Seperti halnya yang telah dialami oleh seorang striker Tim Garuda Christian Gonzales asal Uruguay baru-baru ini. Penantian panjang Cristian Gonzalez menjadi Warga Negara Indonesa (WNI) akhirnya berakhir sudah. Setelah menunggu empat tahun lamanya, Gonzalez resmi menjadi WNI dari jalur naturalisasi pemain yang diajukan PSSI kepada Pemerintah RI.

Berikut adalah seluk beluk hukum tentang naturalisasi yang kami himpun dari beberapa situs lain.

Pewadahan Dalam Hukum

Dalam naskah asli UUD 1945, masalah kewarganegaraan diatur di dalam Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan bahwa

“Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang.”

Selanjutnya ayat (2) menyatakan

“syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang.”

Ketentuan semacam ini memberikan penegasan bahwa untuk orang-orang bangsa Indonesia asli secara otomatis merupakan warganegara, sedangkan bagi orang bangsa lain untuk menjadi warga negara Indonesia harus disahkan terlebih dahulu dengan undang-undang.

Dalam sejarah perjalanannya, Pasal 26 UUD 1945 telah menimbulkan dua persoalan sosilogis di bidang hukum kewarganegaraan yaitu (a) pemahaman “orang-orang bangsa Indonesia asli”, yang dalam dataran hukum sulit untuk dilacak atau dibuktikan, karena yang disebut “bangsa asli” sering hanya dikaitkan dengan aspek fisiologis manusia seperti warna kulit dan bentuk wajah; dan (b) konsep tersebut mengindikasikan adanya 2 (dua) kelompok warganegara, yaitu warganegara kelompok pribumi dan non pribumi yang pada akhirnya berakibat pula pada pembedaan perlakuaan pada warganegara (Samuel Nitisapoetra, 2002: 40).

Kedua persoalan tersebut dalam tingkat pelaksanaan lebih melanjut melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya telah menimbulkan penegakan hukum kewarganegaraan yang diskriminatif. Bagi golongan pertama (pribumi) secara otomatis sudah menjadi warganegara Indonesia tanpa melalui upaya hukum apapun. Sementara bagi golongan kedua (nonpribumi) untuk disebut sebagai warganegara Indonesia harus melakukan upaya-upaya hukum yang tertentu yang memakan waktu, biaya, dan tenaga yang relatif besar sebagai akibat birokrasi yang berbelit-belit.

Oleh karena itu, Pasal 26 UUD 1945 tersebut harus diamandemen. Menurut Samuel Nitisapotera amandemen itu merupakan salah satu langkah untuk meluruskan makna dalam pikiran yang tertuang pada Pasal 26 UUD 1945 tentang kata “orang Indonesia asli.” Pelurusan saat ini menjadi penting karena penafsiran pasal ini telah bergeser ke arah diskriminasi rasial dengan menempatkan yang disebut “orang-orang bangsa lain” sebagai bangsa asing yang layak

Page 2: Kewarganegaraan PKN

ditempatkan di kelas dua. Amandemen ini lebih diarahkan untuk menyempurnakan bahasa yang dipakai dalam penulisan pemikiran tentang warganegara. Kalau dalam UUD 1945 memakai kata “orang Indonesia asli”,maka diusulkan dalam amandemen untuk dipakai kalimat dengan perspektif hukum, yaitu original born citizen, keaslian berdasarkan tempat kelahiran (Samuel Nitisapoetra, 2000: 41).

Kewarganegaraan Karena Naturalisasi

Ketentuan UU No. 62 Tahun 1958 pada prinsipnya mempergunakan asas ius sanguinis. Namun dalam berbagai hal asas ius soli juga dipergunakan, yaitu jika: (a) orang lahir di wilayah Republik Indonesia akan tetapi kedua orang tuanya tidak diketahui (Pasal 1 huruf f); (b) Orang yang diketemukan di wilayah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanya (Pasal 1 huruf g); (c) orang yang lahir di wilayah Republik Indonesia jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewargenagraan atau selama kewarnegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui (Pasal 1 huruf h); dan (d) orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak mendapatkan kewarganegaraan ayah atau ibunya, dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu (Pasal 1 huruf i).

Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, maka nampak sekali bahwa UU No. 62 Tahun 1958 juga mempergunakan asas ius soli. Asas semacam ini juga dipergunakan dengan maksud untuk menghindari terjadinya apatride bagi orang-orang yang kebetulan ada di wilayah Republik Indonesia yang status kewarganegaraannya tidak jelas, terutama bila ditinjau dari status kewarganegaraan orang tuanya.

Dalam UU No. 62 Tahun 1958 juga ditentukan bahwa salah satu cara untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia adalah dengan jalan pewarganegaraan (naturalisasi). Kewarganegaraan karena pewargenagaraan diperoleh dengan berlakunya keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan itu. Pewarganegaraan diberikan (atau tidak diberikan) atas permohonan. Instansi yang memberikan pewarganegaraan itu ialah Menteri Kehakiman.

Untuk mengajukan permohonan pewarga-negaraan, pemohon harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:

1. Sudah berumur 21 tahun;2. Lahir dalam wilayah Republik Indonesia, atau pada waktu mengajukan

permohonan bertempat tinggal dalam daerah itu selama sedikit-dikitnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir atau sama sekali selama 10 tahun tidak berturut-turut;

3. Jika ia seorang laki-laki yang kawin, medapat persetujuan isteri (isteri-isterinya);

4. Cukup dapat berbahasa Indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta tidak pernah dihukum karena melakukan suatu kejahatan yang merugikan Republik Indonesia;

5. Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani;

Page 3: Kewarganegaraan PKN

6. Membayar pada Kas Negara uang sejumlah antara Rp 500,- sampai Rp 10.000,- yang ditentukan besarnya oleh Jawatan Pajak tempat tinggalnya berdasarkan penghasilan-nya tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak melebih penghasilan nyata sebulan;

7. Tidak mempunyai kewarganegaraan atau kehilangan kewarganegaraannya apabila ia memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia atau menyertakan pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain menurut ketentuan hukum dari negara asalnya atau menurut ketentuan hukum perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.

Proses pewarganegaraan tersebut kadangkala memakan waktu lama karena tidak adanya peraturan yang mengatur tata cara jangka waktu penyelesaian permohonan pewarganegaraan pada masing-masing instansi yang terkait dengan proses tadi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, dikeluarkan Surat Menteri Sekretaris Negara tanggal 16 September 1961 No.F/III/2008/B.24/65 tentang penyelesaian permohonan warganegara asing untuk menjadi warganegara Indonesia dengan lancar dan tidak memakan waktu yang lama. Kebijaksanaan tersebut kemudian diubah dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1980 tentang Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Republik Indonesia. Untuk melaksankan keputusan presiden tersebut, maka dikeluarkan Instruksi Menteri Kehakiman No. M.03-UM.09-03-80 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1980 tentang Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Republik Indonesia. Instruksi tersebut berisi bahwa kepada semua pengadilan negeri, semua Kepala Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi, dan semua Kepala Kantor Direktorat Jenderal Imigrasi di seluruh Indonesia untuk melaksanakan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1980 menurut bidangnya masing-masing dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab. Demi kelancaran, kecepatan, dan pengamanan pelaksanaan keputusan presiden, dibentuk tim gabungan dari pusat yang ditugaskan ke daerah tertentu. Keanggotaan tim gabungan terdiri antara lain pejabat-pejabat Departemen Kehakiman, Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan, Kepolisian, BAKIN, dan lain-lain.

Selain menyederhanakan syarat-syarat dan tata cara permohonan, surat tersebut juga mengatur tentang peranan pengadilan negeri. Ditentukan bahwa sejak 4 bulan diajukan permohonan tersebut dan telah memperoleh verifikasi kebenarannya, maka Ketua Pengadilan Negeri menguji kecakapan pemohon tentang bahasa Indonesia dan pengetahuan sejarah Indonesia. Setelah segala sesuatunya dilaksanakan sesuai dengan prosedur, maka berkas permohonan dikirim ke Departemen Kehakiman selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima permohonan dan dilakukan pemeriksaan kembali semua berkas pemohon. Jika ada kekurangan, maka dapat dilengkapi.

Pemeriksaan berkas di atas untuk memenuhi persyaratan politik dan yuridis yang ditentukan. Setelah itu, Departemen Kehakiman meneliti berkas permohonan yang memenuhi syarat dan diteruskan kepada presiden untuk memperoleh keputusan. Tembusan surat pengantar beserta berkas-berkasnya disampaikan kepada Kepala BAKIN. Selanjutnya, Kepala BAKIN meneliti dan menilai permohonan itu lalu menyampaikan pertimbangan kepada presiden. Penyelesaian tahap ini dalam waktu 14 hari sejak diterimanya berkas permohonan. Presiden memberikan keputusan dengan mempertimbangkan bahan-bahan dari BAKIN. Jika permohonan ditolak, Departemen Kehakiman memberitahukan penolakan kepada pemohon dengan memberikan

Page 4: Kewarganegaraan PKN

tembusan kepada Kepal BAKIN, Ketua Pengadilan Negeri, dan Bupati/Kepala Daerah yang bersangkutan.

Petikan Keputusan Presiden selambat-lambatnya 7 hari setelah keluarnya Keputusan Presiden tentang pengabulan pewargane-garaan oleh Sekretariat Negara harus sudah disampaikan kepada pengadilan negeri setempat. Salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada Menteri Kehakiman, yang selanjutnya bersama-sama dengan tembusan surat pengantar menyampaikan keputusan tersebut kepada pemohon. Dengan dikabulkannya permohonan pewarganegaraan tersebut, maka pengadilan negeri melakukan pengambilan sumpah atau janji setia pemohon terhadap negara Republik Indonesia dan diikuti dengan pembuatan berita acara. Berita acara tersebut bagian yang asli diberikan kepada pemohon, sementara tembusan dibuat rangkap 3 untuk disampaikan kepada Departemen Kehakiman, Sekretariat Negara, dan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Dari proses tersebut nampak bagaimana usaha pemerintah untuk mempercepat proses pewarganegaraan dengan memberikan batas waktu tiap tahap penyelesaian yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Selain mempercepat proses, nampak bahwa titik berat pertimbangan beralih kepada BAKIN, yang menunjukkan bahwa pewargane-garaan tidak sekadar berdimensi hukum, tetapi juga menyangkut masalah keamanan (B.P. Paulus, 1983: 215-216). Menurut Gouw Giok Siong, proses tersebut tidak mengalami perubahan yang fundamental karena tetap eksekutif yang menentukan (Gouw Giok Siong, 1983: 97).(Sumber : http://hukum.uns.ac.id, Diakses tanggal 19 Desember 2010)

Sedangkan berdasarkan keterangan yang kami himpun dari situs Kementrian Hukum dan HAM DKI Jakarta, http://www.kumham-jakarta.info tentang syarat administratif naturalisasi atau permohonan kewarganegaraan adalah sebagai berikut.

Permohonan Kewarganegaraan (Naturalisasi)

1. Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara

Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;

3. Sehat jasmani dan rohani;

4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

5. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;

6. Jika dengan memperoleh Kewarga negaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;

7. Mempunyai pekerjaan dan / atau berpenghasilan tetap; dan

8. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Page 5: Kewarganegaraan PKN

9. Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM atau Perwakilan RI di luar negeri dengan sekurang-kurangnya memuat :* Nama lengkap;* Tempat dan tanggal lahir;* Alamat tempat tinggal;* Kewargenegaraan Pemohon;* Nama lengkap suami atau istri;* Tempat dan tanggal lahir suami atau istri, serta;* Kewarganegaraan suami atau istri.

10. Permohonan tersebut dilampiri dengan :

Foto copy kutipan akte kelahiran Pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

Foto copy Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tempat tinggal Pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

Foto copy kutipan akte kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk Warga negara Indonesia suami atau istri Pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

Foto copy kutipan akte perkawinan/buku nikah Pemohon dan suami atau istri yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

Surat keterangan dari kantor imigrasi tempat tinggal Pemohon yang menerangkan bahwa Pemo hon telah bertempat tinggal di Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;

Surat keterangan catatan kepolisian dari kepolisian di tempat tinggal Pemohon;

Surat keterangan dari perwakilan negara Pemohon yang menerang kan bahwa setelah Pemohon memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, ia kehilangan kewarganegaraannya negara yang bersangkutan;

Pernyataan tertulis bahwa Pemohon akan setiap kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas, dan

Pas poto Pemohon terbaru berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 6 (enam) lembar.

STATUS HUKUM KEWARGANEGARAAN HASIL PERKAWINAN CAMPURAN

Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa

Page 6: Kewarganegaraan PKN

kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.  Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958.  Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur. Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran. Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan

Page 7: Kewarganegaraan PKN

tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing. Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.  Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum. Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain. Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No. 1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

Page 8: Kewarganegaraan PKN

Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah. Asas Ius Soli; Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Asas Ius Sanguinis; Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.

Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakupa asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.

Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Appatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2).

Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.

Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya; memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu, dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan

Page 9: Kewarganegaraan PKN

dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undngan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya, bertempat tinggal diluar wilayah negara republic Indonesia selama 5 (liama0 tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas negara, tanpa alas an yang sah dan dengan sngaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonedia sebelum jangka waktu 5(liama) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernytaaan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. KESIMPULANAnak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran. UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.