5
Tidak Dijajah Selama 350 Tahun 350 tahun atau 3,5 abad, jawaban ini mungkin masih sangat jelas dalam ingatan kita semua, khususnya hingga kita menginjak bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Ya memang, kita khususnya para siswa SMA ketika baru saja menyelesaikan jenjang pendidikannya dapat dengan yakinnya mengeluarkan sebuah jawaban “350 tahun atau 3,5 abad” terhadap sebuah pertanyaan yang sudah familiar bagi kita semua yaitu, “berapa tahun lamanyakah Indonesia telah dijajah oleh Belanda?” Kita tidak dapat menyalahkan jawaban yang sepertinya sudah sangat melekat dalam ingatan para siswa Indonesia saat ini. Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun adalah sebuah pandangan sejarah umum yang diketahui oleh orang. Sebuah pandangan yang tidak saja dikenal dikalangan politisi, tetapi juga diantara para sejarawan, seperti von Arx. Pengetahuan sejarah ini sesungguhnya tidak terbentuk begitu saja. Pada mulanya pernyataan ini dikeluarkan oleh oleh para sejarawan kolonial asal Belanda guna kepentingan pemerintahannya. Tidak heran memang, dalam pidato-pidato kebangsaan pun kita dapat mendengar bahwa Indonesia sesungguhnya telah digariskan terjajah selama ratusan tahun oleh bangsa-bangsa imperialisme barat, khususnya Belanda yang dianggap telah menjajah Indonesia selama 350 tahun atau 3,5 abad. Contohnya saja saat Bung Karno menyampaikan pidato singkatnya ketika membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. ... Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berdjoang, untuk kemerdekaan tanah-air kita. Bahkan telah beratus-beratus tahun ! (lihat Her Suganda, Rengasdengklok Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, Kompas, hlm. 87). Pidato Bung Karno tersebut nampaknya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda B.C de Jonge pada tahun 1936 yang mengatakan bahwa “kami orang Belanda sudah berada disini selama 300 tahun dan kami akan tinggal disini 300 tahun lagi”.

Bukan 350 Tahun

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bukan 350 Tahun

Tidak Dijajah Selama 350 Tahun

350 tahun atau 3,5 abad, jawaban ini mungkin masih sangat jelas dalam ingatan kita semua, khususnya hingga kita menginjak bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Ya memang, kita khususnya para siswa SMA ketika baru saja menyelesaikan jenjang pendidikannya dapat dengan yakinnya mengeluarkan sebuah jawaban “350 tahun atau 3,5 abad” terhadap sebuah pertanyaan yang sudah familiar bagi kita semua yaitu, “berapa tahun lamanyakah Indonesia telah dijajah oleh Belanda?”

Kita tidak dapat menyalahkan jawaban yang sepertinya sudah sangat melekat dalam ingatan para siswa Indonesia saat ini. Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun adalah sebuah pandangan sejarah umum yang diketahui oleh orang. Sebuah pandangan yang tidak saja dikenal dikalangan politisi, tetapi juga diantara para sejarawan, seperti von Arx. Pengetahuan sejarah ini sesungguhnya tidak terbentuk begitu saja. Pada mulanya pernyataan ini dikeluarkan oleh oleh para sejarawan kolonial asal Belanda guna kepentingan pemerintahannya.

Tidak heran memang, dalam pidato-pidato kebangsaan pun kita dapat mendengar bahwa Indonesia sesungguhnya telah digariskan terjajah selama ratusan tahun oleh bangsa-bangsa imperialisme barat, khususnya Belanda yang dianggap telah menjajah Indonesia selama 350 tahun atau 3,5 abad. Contohnya saja saat Bung Karno menyampaikan pidato singkatnya ketika membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

... Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berdjoang, untuk kemerdekaan tanah-air kita. Bahkan telah beratus-beratus tahun ! (lihat Her Suganda, Rengasdengklok Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, Kompas, hlm. 87).

Pidato Bung Karno tersebut nampaknya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda B.C de Jonge pada tahun 1936 yang mengatakan bahwa “kami orang Belanda sudah berada disini selama 300 tahun dan kami akan tinggal disini 300 tahun lagi”. (Lihat Kata Pengantar A.B. Lapian dalam Bukan 350 Tahun Dijajah, Komunitas Bambu, hal. xxi).

Apa yang sesungguhnya dikatakan oleh Bung Karno pada saat pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tersebut pada dasarnya tidak salah jika konteksnya adalah guna membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia agar terlepas dari belenggu penjajahan bangsa asing serta menumbuhkan rasa nasionalisme dalam dada rakyat Indonesia. Sebuah pengaruh yang sebenarnya timbul secara sama pula pada apa yang dikatakan oleh B.C. de Jonge pada tahun 1936. Setelah apa yang dikatakan olehnya bahwa kami (Belanda) akan tetap tinggal disini 300 tahun lagi ini yang seakan-akan menantang kaum pergerakan kebangsaan saat itu telah terbukti mampu mambangkitkan semangat juang para kaum pergerakan kebangsaan itu dan berhasil mencegah Belanda untuk tetap tinggal disini selama 300 tahun lagi.

Kemudian timbul pertanyaan dalam benak kita, apakah benar Indonesia memang telah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun?. Bila memang benar, mulai kapankah angka 350 tahun

Page 2: Bukan 350 Tahun

tersebut dimulai?. Mungkin kita bisa menjawab pertanyaan mulai kapan tersebut sehingga menghasilkan angka 350 tahun ini dengan berpijak pada tahun dimana pertama kali kedatangan armada pasukan Belanda di Banten pada 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Bila kita menggunakan pijakan ini tentu angka 350 tahun waktu bagi Belanda untuk menjajah Indonesia sangat bisa masuk di akal. Lantas kini pertanyaannya adalah apakah bisa hal ini dijadikan sebagai sebuah pijakan dimulainya era kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia?

Pandangan kita terhadap lamanya kekuasaan Belanda di Indonesia yang terwujud sebagai sebuah negara kolonial Hindia Belanda mungkin akan sangat berbeda jika kita melihatnya seperti apa yang dilakukan oleh Gesturdes Johan Resink. Kita mungkin akan dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya Hindia Belanda sebagai sebuah negara hanya berlangsung selama 40 tahun. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh G.J Resink dengan pendekatan hukum Internasional yang digunakannya dalam menelaah sejarah kolonialisme di Indonesia.

Yang patut mendapat perhatian dalam argumen yang diungkapkan oleh Resink adalah terkait dengan penggeneralisasian terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia sehingga kekuasaannya dianggap telah mencapai 350 tahun atau lebih. Hal ini karena pandangan lama selama ini yang menganggap jika suatu wilayah di Indonesia telah berhasil ditaklukkan oleh Belanda maka berarti telah diakuilah kekuasaan Belanda terhadap keseluruhan wilayah di Indonesia. Padahal Indonesia saat itu adalah Indonesia dengan negeri-negeri berbentuk kerajaan dengan status kemerdekaannya yang tetap terjaga tanpa campur tangan pihak Belanda.

Jika kita berpijak pada hal ini maka masuknya Belanda pertama kali di Banten ini tidak dapat serta merta kita jadikan sebagai sebuah pijakan bahwa Belanda memang benar telah menguasai Indonesia, sebab Indonesia saat itu adalah Indonesia dengan bentuk-bentuk pemerintahan kerajaan atau negara dengan statusnya sebagai sebuah negara atau kerajaan merdeka. Persoalan ini terutama sekali terkait dengan pandangan bahwa Nusantara secara keseluruhan berada dibawah kekuasaan Belanda selama berabad-abad. Resink dalam esainya yang berjudul yang berjudul Veronachtzaamde uitspraken yang kini telah diterjemahkan dalam Pernyataan-Pernyataan Yang Diabaikan mengungkapkan bahwa antara 1870 dan 1910 orang-orang Belanda sendiri pun sebenarnya masih melihat adanya kerajaan atau negara yang merdeka atau juga dianggap sebagai sebuah negeri asing misalnya di Sumba, Sulawesi Selatan, Aceh, Langkat, Lingga dan daerah Batak. (Lihat Bukan 350 Tahun Dijajah, G.J. Resink, Komunitas Bambu, Hlm. 83).

Misalnya saja Aceh, kedaulatan Aceh setidaknya masih tetap terjaga hingga dikeluarkannya Traktat Sumatra pada 1871 yang memberi kebebasan kapada Belanda untuk mengadakan perluasan kekuasaannya keseluruh Sumatra, termasuk Aceh. Sebelum dikeluarkannya Traktat ini, Belanda sesungguhnya terikat perjanjian dengan Inggris pada 17 Maret 1824. Sebuah perjanjian pembagian kekuasaan wilayah jajahan di Indonesia dan semenanjung Malaya yang antara lain isinya Belanda tidak dibenarkan untuk mengganggu kemerdekaan negara Aceh. Kerajaan Aceh sendiri baru benar-benar dapat dikuasai oleh Belanda pada 20 Januari 1903.

Page 3: Bukan 350 Tahun

Kita kemudian dapat melihat sesungguhnya penjajahan yang terjadi pada Aceh hanya terjadi selama 37 tahun.

Melihat kenyataan ini hendaknya kita tidak perlu menggeneralisasikan dengan telah dikuasainya suatu wilayah di Indonesia berarti bahwa Belanda telah menguasai Indonesia, karena Indonesia saat itu adalah sebuah negara dengan bentuk pemerintahan kerajaan-kerajaan dengan status kedaulatannya yang penuh. Pengeneralisasian ini misalnya seperti apa yang disinggung oleh Resink yang telah dilakukakan oleh von Arx dalam disertasinya pada Universitas Friborg yang berjudul L’evolution politique en Indonesie de 1900 a 1942. Resink mengungkapkan bahwa sesungguhnya von Arx mengeluarkan sebuah ikhtisar yang menyedihkan mengenai perluasan kekuasaan Belanda terhadap kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang amat banyak diluar Jawa. (Lihat Bukan 350 Tahun Dijajah, G.J. Resink, Komunitas Bambu, Hlm. 76).

Selain Aceh yang baru takluk oleh Belanda pada 1903 seperti yang telah disinggung diatas, menurut apa yang diungkapkan oleh G.J. Resink pun kembali dalam esainya yang berjudul Veronachtzaamde uitspraken (Pernyataan-Pernyataan Yang Diabaikan) kembali mengungkapkan bahwa sampai pada tahun 1906 di Badung dan 1908 di Klungkung, Bali Selatan masih terdapat negara-negara kecil merdeka. Hal ini berdasarkan cerita yang diungkapkan oleh seorang orang tua Bali. Dengan ini berarti dapat memperlihatkan kepada kita bahwa pada masa itu Bali sama sekali jauh bila dikatakan berada dibawah pemerintahan Belanda. (Lihat Bukan 350 Tahun Dijajah, G.J. Resink, Komunitas Bambu, Hlm. 82).

Resink menambahkan pula bahwa gambaran mengenai penjajahan di seluruh Indonesia selama berabad-abad lamanya adalah sebuah generalisasi sejarah yang dibuat-buat. Penggeneralisasian tersebut diolah berdasarkan gambaran mengenai penjajahan seluruh Jawa selama abad ke-19 yang dipertebal dan diperluas menjadi penjajahan seluruh Nusantara selama tiga abad atau lebih lama lagi. Ini merupakan kelonggaran berpikir yang diperluas dengan cara pars-pro-toto (majas yang digunakan sebagian unsur/objek untuk menunjukkan keseluruhan objek).

Joko Marwanto

Mahasiswa Pendidikan Sejarah Reg. 2010