21

jongArsitek! 2.3 2009

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sabtu yang masih dengan semangat idul fitri. Selamat Idul Fitri semua. Maafkan kami lahir batin, jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Setelah 4 bulan absen dari inbox anda berkutat dengan workshopAMI999, jongArsitek! hadir kembali dengan edisi 2.3. ;) Selamat membaca, semoga menginspirasi.. jongArsitek!

Citation preview

Page 1: jongArsitek! 2.3 2009
Page 2: jongArsitek! 2.3 2009

“Melalui utopia arsitektur berhenti sebagai proyek rancangan pesanan individual. Ia ingin berpikir “me-nyempurnakan” masa depan untuk semua. Ia menjadi pemikiran” (Marco Kusumawijaya, 2009)

Selamat menikmati.. Desain menginspirasi

[email protected]

Except where otherwise noted, content on this magazine islicensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License

photo : kezia paramita

3

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 3: jongArsitek! 2.3 2009

J o n g E D I T O R I A L !

oleh : Danny Wicaksono

jongEditorial

Mohon maaf untuk absennya kami selama 4 bulan terakhir ini.

Tetapi bukan berarti dengan absen selama 4 bulan ini, kami tidak produktif. ;)

Selama 4 bulan kemarin, 2 editor jongArsitek! (Saya, dan Paskalis Khrisno Ayodyantoro) ber-sama Avianti Armand, Marco Kusumawijaya, Jay Subijakto, Adi Purnomo dan 81 arsitek muda in-donesia lainnya, yang terbagi dalam 14 kelompok, terlibat dalam sebuah workshop untuk arsitek-ar-sitek muda. Workshopnya sendiri berjudul “Ruang Tinggal Dalam Kota”.

Workshop yang di-inisiasi oleh jongArsitek! dan Avianti Armand ini bertujuan untuk melihat kembali kemungkinan-kemungkinan ruang tinggal yang bisa hadir di dalam konteks urban, ketika pola ke-hidupan berkota sudah berkembang sangat jauh. Selain itu, workshop ini juga ingin mengajak arsi-tek-arsitek muda untuk lebih dalam berpikir, dan terlibat secara intelektual dalam perkembangan budaya bangun kontemporer bangsa ini.

Workshop yang juga diselenggarakan untuk mem-peringati 20 tahun AMI ini sendiri telah (dengan

bantuan berbagai pihak) di pamerkan den-gan baik, di Galeri Salihara, Jakarta. Ke-depannya kami berencana untuk membawa materi ini untuk keliling Indonesia. Jadi jika ada rekan-rekan yang ingin agar materi pa-meran ini hadir di kotanya, bisa langsung menghubungi kami.

Kembali ke edisi ini.

Seperti yang sudah-sudah, kami selalu membawakan tulisan-tulisan dari para pe-mikir muda arsitektur Indonesia. Edisi ini pun tidak berbeda. Masih tetap segar, tetap mentah, dan mudah-mudahan (bisa) tetap memprovokasi dan menginspirasi.

Setelah 4 bulan, selamat menikmati jongAr-sitek! lagi.

Danny Wicaksono

Kontributortanpa basa basi, anda bisa mengecek profil mereka langsung ke Facebook dan media sosialweb lainnya.

Paskalis Khrisno Ayodyantorohttp://www.facebook.com/profile.php?id=1395037422

Realrich Syariefhttp://www.facebook.com/re-alrich

lindung soemarhadihttp://www.flickr.com/photos/lindung_soemarhadi/

Rafael Arsonohttp://www.facebook.com/profile.php?id=1395037422

Danny Wicaksonohttp://www.facebook.com/pro-file.php?id=537977711

Avianti Armandhttp://www.facebook.com/pro-file.php?id=1375534065

Farid Rakunhttp://fairdkun.multiply.com/

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 4: jongArsitek! 2.3 2009

p4jongEditorialsambutan dari redaksi kita

p20jongTulisan“The Visionary” dan“The Builder”

p14jongKaryaLearning Paradise

p10jongTulisanNote of Respect!

p8jongFoto

p24jongTulisanOxymoronic Geniuses

p30jongTulisanArsitektur Nusantara

p36jongKuratorialBengkel Kerja

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 5: jongArsitek! 2.3 2009

8

Marina bay sands, singapore

Marina bay sands is a new type of urban place that integrates the waterfront promenade with a grand, multi-leveled retail arcade combining civic space, shopping, indoor and out-door spaces endowed with city skyline views, daylight and plant life, providing an abun-dance and variety of activities. It is a place that is vibrant and dynamic, a place that trans-forms from hour to hour, from day to night, and is evocative of the great urban places. It is here that the imaginings of a global city become a reality. Marina bay sands, to be open in 2009, will feature three 50-story hotel towers containing 1,000 rooms each, crowned by a two acre sky garden bridging across the towers, offering 360-degree views of the city and the sea, outdoor amenities for the hotel such as jogging paths, swimming pools, spas, and gardens; an iconic arts and sciences museum on the promontory; one-million square feet of integrated waterside promenade and shopping arcade; a state-of-the art one-million square foot convention center; two 2,000-seat theaters; a casino; and a 4,000 car garage.(Http://www.Themarinabaysands.Com.Sg/)

--lindung soemarhadi

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 6: jongArsitek! 2.3 2009

My journey now has come to a point where architecture is about character & personal-ity. And moreover it is about the personality

of the architect.

As I’m writing now, I’m sitting in Plaza Fuente de las Batallas, a decent plaza couple blocks away to the east from Granada Cathedral. It has foun-tains designed in an antique style, the plaza sur-rounded by shops and restaurant with the coffee-table set sprawling the plaza. Hotel Zaida, which renovated by Portuguese respectable architect, Alvaro Siza, seems to be the only newly refur-bished building in the background.

What an ordinary classical European plaza can offer in a bright summer evening anyway??

The people like it. The fountain is visible from many directions, so it’s just at the right position to attract people in a terrific way. At the same time the splash coming out of it gives sort of comfort cooling for the 35 degrees summer weather. Everybody gathers there, parents with their chil-dren, couples, youngsters passing by, and mostly

NOTES OF RESPECT!

Rafael Arsono

grandma & grandpa take a rest and have a chat with neighbor which I suppose they live nearby. The plaza covered by polished orange marble, which I guess came from around the town. The plaza opens to many points, at one side blend to another plaza, and underneath it there is a park-ing lot. It seems to me that the place became a rendezvous spot. At 21.30 the lighting on the fountains turns on, giving elegant and soft wel-come to the night as the sun fade away.

The key is, everything is working! Each element in the location doesn’t act too much to speak for itself. The plaza, the shops, the fountains, the benches, the hotel play they role in a very just-enough part, together they define harmony. If you cut the element piece by piece, if you see only the buildings you directly say nothing special about them. But if you see them as a whole, they just work.

10 11

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 7: jongArsitek! 2.3 2009

13The value that we should learn is, architecture is live by the surroundings. The identity of a design comes from a collective way of understanding a place. Sometime architecture demand features, a newness. But never forget that most of the time architecture is about being proper and respectful. These are what we can and should learn from vernaculars, making something that belongs and has to work within an environment. An environ-ment which particular and where ones obliged to read and interpret by themselves.

Maybe I was over-rating, surely my justification came out of a subjective matter, or because I am growing older (?). But you can’t beat this enjoy-able feeling. I’m pretty sure that we shall underline ourselves when it comes to designing, that is, ar-chitecture is about balancing oneself whether he/she doing too much, too less, or just enough.

Granada 29 July 2009

Rafael Arsono

It’s peaceful to enjoy a place with no elements overwhelming each others.

Imagine for a while if the fountain designed with a fancy-red sculpture in the middle of it, the old people who gather there most of the time proba-bly won’t like it, people doesn’t feel familiar with it. Hence, they might look for another place to hang out. Hotel Zaida, by the way, renovated in a very modest way that you cannot see it was touched by Siza. Certainly not his best work, Siza’s stroke can be considered weak, nothing special. Lower part of the building is covered by grey stone, and the upper part paint in white, nothing fancy with the windows. Just the way it is. White modern-ist building often results a stand apart from the surrounding, especially in classical one. But this one is decent, seems fade away (or should I say blend), that when you are sitting there, you even didn’t notice the building. I assume Siza did real-ize he didn’t want to speak up loud. I appreciate his humble approach as I enjoyed the plaza as a whole. You see the intention is not to draw at-tention.

12 13

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 8: jongArsitek! 2.3 2009

1514

Ide perancangan dari kompleks Vokasi UI merupakan rangkaian dari 3 noda utama yaitu, - Kondisi eksisting yang berbatasan den-gan sungai yang membelah dari utara ke selatan yang menjadi bagian interaksi dengan air, - Jalan disisi selatan yang merupakan titik pusat perhentian bus kampus dan - Jalan di sisi barat yang

merupakan area servis GKU dan parkir belakang.

Pembagian ini didasarkan dari pembagian fungsi-fungsi terbesar dengan anggota terbesar, seperti kedokteran dengan p’rodi baru, hokum, dan vokasi campuran. Hirarki ini juga didasarkan dari pen-gelompokkan dari ilmu manusia [kedokteran], ilmu etika [hukum], dan ilmu - ilmu umum dengan menghubungkan keseluruhan fungsi dengan gedung kuliah umum. Susunan pengelompokkan diatur berdasarkan besaran ruang yang diestimasikan dengan jumlah ma-hasiswa di tahun 2013 sejumlah 11700 orang.

Konsep desain kompleks vokasi UI ini didasarkan pertimbangan atas 3 aspek, pertama, desain bangunan yang sesuai dengan iklim

tropis. Kedua, desain bangunan yang kontekstual dengan penci-traan ui, dan ketiga, desain bangunan yang mampu memanfaatkan potensi lahan semaksimal mungkin. Penataan masterplan didasar-

kan dari penempatan ‘learning promenade’ di axis utama lahan yang menghubungkan node potensial transit oriented development

dari Universitas Indonesia di titik selatan dengan node potensial titik wisata air amphi teater yang ada di sisi utara.

Desain Kompleks

Vokasi Universitas Indonesia

Realrich Syarief

Konsep desain kompleks vokasi UI ini di-dasarkan pertimbangan atas 3 aspek, per-tama, desain bangunan yang sesuai dengan iklim tropis. Kedua, desain bangunan yang kontekstual dengan pencitraan ui, dan ke-tiga, desain bangunan yang mampu meman-faatkan potensi lahan semaksimal mungkin. Penataan masterplan didasarkan dari pen-empatan ‘learning promenade’ di axis utama lahan yang menghubungkan node potensial transit oriented development dari Universi-tas Indonesia di titik selatan dengan node potensial titik wisata air amphi teater yang ada di sisi utara. Di sepanjang learning promenade ini diletakkan fungsi – fungsi un-

LEARNING PARADISE

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 9: jongArsitek! 2.3 2009

1716

tuk mengaktifasi kehidupan kampus vokasi. Di sini ada mahasiswa yang membaca buku di perpustakaan linear sepanjang learning promenade, disini ada juga café untuk para mahasiswa dan dosen berinteraksi, potensi landsekap yang mengikuti kontur juga bisa di optimalkan.Daerah kompleks vokasi ini juga akan rimbun akan pepohonan diantara massa yang menghadap utara dan selatan sehingga bayangan yang ada akan mereduk-si panas dari sinar matahari di lantai dasar. Vista yang terbentuk ketika memasuki kom-pleks vokasi dari arah selatan terbentuk dari 3 elemen yaitu : vista menuju amphiteater air, vista transparansi massa gedung perpusta-kaan di sisi barat juga vista café menuju sun-gai dengan wisata air, dan vista di sebelah barat berupa alokasi lahan untuk taman obat dari geprogram kedokteran. Bangunan - bangunan penunjang seperti massa lobby utama diletakkan sepanjang boulevard yang diperuntukkan untuk galeri utama. Massa - massa dihubungkan den-gan selasar yang dilengkapi dengan kanopi sedangkan di sisi selatan, diletakkan ako-modasi hunian mahasiswa berlantai tingkat rendah dengan aksesibilitas menuju ke kam-pus vokasi UI. Daerah landsekap didesain sesuai eksisting dari kampus UI dengan orientasi aktifitas terhadap sungai dengan menghubungkan sisi timur sungai dengan

lahan melalui rangkaian jembatan untuk akses pejalan kaki. Lahan parkir diletakkan di sisi barat kompleks Vokasi UI. ‘Bangunan - bangunan di kompleks Vokasi UI juga didesain dengan menggunakan arah orientasi bangunan Utara - Selatan yang se-suai dengan iklim tropis. Keadaan ini memi-nimalisasi cahaya matahari langsung yang masuk ke bangunan. Bangunan ini meng-gunakan konstruksi baja, penggunaan solar panel pada sisi atas bangunan, dan wind turbine di sisi dalam bangunan. Penggunaan batu bata juga mendinginkan suhu bangu-nan disamping meminimalisasi carbon foot print dengan penggunaan bahan yang re-usable. Glenn Murcutt pernah berkata “The light and sounds of land are already there I just make the instrument make the instruments that al-low people to perceive these natural quali-ties.” Demikian juga perencanaan vokasi ini yaitu berusaha menjawab sebaik mungkin apa yang dibutuhkan oleh program studi Vokasi UI dengan tepat melalui pengolahan potensi konteks lingkungan yang ada. Ketua tim : Realrich Sjarief, ST. IAI. Anggota tim :Dicke Nazary Akbar Lubis, ST.

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 10: jongArsitek! 2.3 2009

1918

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 11: jongArsitek! 2.3 2009

2120

Danny Wicaksono

Keyakinan seorang arsitek terhadap arsitektur, pada satu titik krusial, akan mempengar-uhi sikap, jalan, jenis, dan kualitas arsitektur yang akan dihasilkan olehnya. Keyakinan ini bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan oleh siapapun, melainkan datang lewat pema-haman atas banyak hal yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh arsitektur. Pemaha-man tentang sejarah panjang perjalanan arsitektur, wawasan seni dan kebudayaan, keberpihakan atas situasi sosial, maupun kepekaan dalam melihat hal-hal dalam keseharian, hanyalah sedikit dari banyak variabel kehidupan yang kemudian dapat membentuk keyakinan arsitektur seorang arsitek.

THE VISIONARYDANTHE BUILDER

Sangat menyenangkan jika kita bisa menyadari keberadaan, banyaknya ragam keyakinan arsitektur yang kemudian mewujud menjadi arsitektur yang terbangun. Mema-hami sikap-sikap desain, jauh lebih mendalam dari sekedar apa yang kasat mata. Mengerti maksud dari setiap langkah dan membaca latar belakang semua keputusan pengambilan langkah-langkah itu, lewat analisa kritis yang melatih rasionalitas arsitektur kita. Preseden-preseden yang, jika dapat kita kontrol, akan dapat membantu kita, menemukan arsitektur kita sendiri. Hal ini adalah sebuah perjalanan. Proses. Tidak akan pernah instan, dan memang tidak boleh instan. Biarkan semua peristiwa teralami lewat kegagalan dan seman-gat untuk tidak pernah menyerah. Renzo Piano pernah berkata, bahwa arsitek itu seharusnya hidup 200 tahun, karena mereka menghabis-kan 60 tahun pertama dalam hidup mereka untuk belajar. Proses ini (sampai titik ini) membawa saya untuk melihat 2 kutub besar dalam arsi-tektur. Mereka yang saya sebut “The Vision-ary” dan “The Builder”. Mungkin Ini hal yang agak terlalu tergesa, karena ada ribuan arsitek dan hampir mustahil mengeneralisir sesuatu yang seperti ini. Tapi saya akan mengambil kecendrungan arsitektur yang terjadi sejak awal abad ke-21, dan Pritzker Prize adalah shortlistnya. Pritzker Prize di periode 2000-2009 memunculkan para arsitek terbaik dekade ini. Zaha Hadid, arsitek wanita pertama yang pernah memenangkan penghargaan ini. Paulo Mendes da Rocha, brutalis dari Brazil. Jacques Herzog & Pierre De Meuron, Thom Mayne, Jorn Utzon, Jean Nouvel, semua ada-lah yang terbaik. Tanpa sedikit pun ragu. Tapi saya tidak bisa menampik, bahwa yang paling menarik untuk saya pelajari adalah Rem Koolhaas (Pritzker Prize tahun 2000) dan peraih Pritzker Prize tahun 2009, Peter Zumthor.

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

kiri : bruderklaus, Peter Zumthor, diambil dari http://www.flickr.com/photos/arnout-fonck/2919192019/in/pool-bruder-klaus-kapelle

Atas: bruderklaus, Peter Zumthor, diambil dari http://www.flickr.com/photos/thom_mckenzie/3262898219/in/pool-bruder-klaus-kapelle

Bawah: Thermal bath, Peter Zumthor

Page 12: jongArsitek! 2.3 2009

2322

Rem Koolhaas, adalah arsitek yang menurut saya bertanggung jawab untuk semua revolusi arsitektur yang terjadi di abad ke-21. Visioner sejati yang karya arsitekturnya tidak hanya dalam bentuk bangunan. Pernah masuk ke dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia, Rem Koolhaas bisa jadi adalah seorang arsitek yang paling terkenal di muka bumi ini, dengan bangunan-bangunan yang menentang konvensionalitas dan tercipta lewat konflik atas ruang. Peter Zumthor adalah seorang arsitek rendah hati dari Swiss. Dengan ra-sionalitas arsitektur yang sangat terjaga, dan kemampuan diatas rata-rata untuk mengontrol diri dan arsitekturnya. Beberapa menyebut-nya “The Hermit Architect from Haldenstein” (Arsitek pertapa dari Haldenstein) Mengapa membandingkan mereka menarik untuk dijadikan sebuah proses pem-belajaran? Karena bagi saya, mereka adalah 2 raksasa arsitektur, yang mewakili 2 kutub besar dalam arsitektur kontemporer. Rem ada-lah “The Visionary”, seorang arsitek dengan kemampuan melihat, apa yang tidak dilihat orang lain, dan mendefinisi gejala kehidupan manusia modern yang teranggap sehari-hari oleh mayoritas orang. Memiliki ratusan proyek yang tersebar di 3 benua, dan kantor di 3 negara. Ia juga seorang pemikir dan penulis, dengan pemikiran yang memprovokasi. Arsi-tekturnya selalu berawal dari konsep-konsep besar akan ruang, yang kemudian memberikan definisi ulang terhadap tipologi bangunan yang di kerjakannya. Seattle Public Library Amerika, CCTV Cina, Jussieu Library (tidak terbangun) adalah beberapa bangunan yang memberikan contoh nyata tentang argumen ini. Masing-masing tercipta dari proses riset mendalam mengenai ruang dan hubungan-hubungannya pada tiap fungsi bangunan. Dia adalah pendefinisi, seseorang yang selalu menantang kemapanan, dan mencoba untuk menemukan definisi baru. Yang rasanya paling hebat tentang Rem Koolhaas adalah pengaruh yang dia berikan kepada mereka yang pernah bek-erja bersamanya. Winy Maas, Zaha Hadid, Alejandro Zaera Polo, Bjarke Ingles, Fernando Romero, Minsuk Cho, Ole Scheeren, REX, adalah beberapa diantara mereka yang pernah bekerja bersama Rem Koolhaas, kemudian muncul sebagai arsitek-arsitek muda dengan arsitektur yang menarik. Namun kita masih

bisa melihat ke-Koolhaas-an dalam desain mereka. Sebegitu besarnya pengaruh Rem Koolhaas. Peter Zumthor adalah “The Builder”. Salah satu yang terbaik. Memiliki hanya satu studio, di sebuah desa kecil bernama Halden-stein, di kaki gunung alpen dan di jalankan oleh tidak lebih dari 20 orang. Dia jauh dari hingar bingar publikasi dunia. Tidak banyak media arsitektur dunia yang meliput karya-karya nya, karena memang karya arsitekturnya tidak pernah banyak. Jumlahnya sedikit, tapi kualitas arsitekturnya sangat tinggi. Keyakinannya, bahwa inti dari arsi-tektur terletak pada ruang dan material yang membentuknya, membuat arsitekturnya terasa sangat sensitif, dan menggugah perasaan. Dia sangat memperhatikan hal-hal paling kecil dari material yang dipakainya, dan merangkainya menjadi sebuah ruang dengan cerita dan pengalaman yang hanya bisa di rasakan ketika kita mengalami ruangnya, bukan lewat dia-gram atau gambar denah tampak potongan. Cara memotong, teknik mengecor, pola rangkai, hingga urutan langkah merangkai material, yang di pelajari dan diterapkan den-gan memperhatikan karakteristik khusus dan membawa potensi guna material sampai di titik maksimal, adalah hal-hal yang membuat bangunan-bangunannya menjadi sangat spe-sial. Kuntshaus di Bregenz, Jerman; Thermal Bath di Vals, Swiss; dan Bruder Klauss Chapel di Wachendorf, Jerman adalah beberapa con-toh karyanya yang memperlihatkan keinginan untuk mau mengenal material dan karakteris-tiknya. Kecendrungan desain ini terpen-garuh oleh konsep Phenomenology Heidegger. Sebuah konsepsi pemikiran untuk menge-nali identitas dan kesejatian karakter sebuah benda, melalui proses mengenali, tanpa adanya upaya untuk melakukan rekayasa yang merubah karakteristik asli benda tersebut. Dalam konteks Peter Zumthor, sebuah material dicoba untuk dikenali kelebihan dan kekuran-gannya. Keaslian ekspresinya dan faktor-faktor apa yang dapat menutupinya. Kesejatiannya di pelajari, untuk kemudian di gunakan dengan maksimal sebagai material pembentuk ruang dan arsitektur. Lewat pengenalan yang mendalam akan sebuah material, pemanfaatannya dalam sebuah desain akan menjadi lebih optimal; sehingga sebuah arsitektur yang berkarakter

dapat hadir melalui metode bangun yang bisa lebih efektif dan sederhana.

Ini hanya dua tipe kecendrungan desain, yang teridentifikasi karena dominasi mereka lewat karya-karya yang lalu mendefini-si arsitektur. Dengan luasnya dunia ini, banyak kecendrungan lain yang ada, dan juga memiliki kualitas desain yang sama. Kecendrungan-kecendrungan desain inilah yang sebaiknya dapat kita identifikasi dengan sensitivitas yang tinggi; Lalu dengan kritis menganalisanya, agar kita dapat belajar dari apa yang baik dan buruk tentangnya, dengan tujuan besar, untuk menemukan kecendrungan arsitektur kita sendiri. Saya rasa dan saya pikir, memiliki identitas desain yang berintegritas itu penting. Budaya bangun kontemporer kita masih terlalu seragam. Kita butuh lebih arsitek-arsitek dan desainer-desainer dengan desain yang kental dalam ciri, kuat dalam karakter. Sesuatu yang masih langka. Sangat langka.

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Atas: Jussie Public Library / OMA. Diambil dari http://www.flickr.com/photos/31177644@N04/3328618395/

Bawah: CCTV / OMA. Diambil dari http://www.flickr.com/photos/22869081@N08/2919375630/

“The Visionary” and the “The Builder”, adalah dua kutub besar arsitektur. Kecendrungan desain yang mem-bentuk wajah arsitektur kontemporer. Yang satu adalah seorang akrobator, yang secara konstan jemu dengan kemonotonan, dan ingin selalu mendefinisi hal baru, lewat arsitektur yang menantang dan merekayasa mate-rial bangun, dan beberapa percaya bahwa arsitektur adalah jawaban untuk dunia yang lebih baik. The agent of architectural conflict and chaos.

Yang satu lagi, berusaha untuk tetap pada keyakinan, bahwa arsitektur adalah ilmu membangun; Konstalasi ruang yang tercipta melalui susunan material-material yang dirangkai dengan ketelitian tinggi, per-hitungan yang cermat dan efisiensi yang membuat semuanya terkontrol dengan baik. Mereka percaya bahwa di akhir hari, tugas seorang arsitek hanyalah menghasilkan sebuah bangunan, jadi fokuslah untuk membuat sebuah bangunan yang baik, dengan sebaik-baiknya.

Page 13: jongArsitek! 2.3 2009

Not only emotion, material, atmosphere, spirit,

memory, biography, history, essence, + texture; but also

oxymoron + idiosyncrasy.

oxymoronic geniuses

2524

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 14: jongArsitek! 2.3 2009

Either as a standalone, or combined to form a phrase [emotional materialism, spiritual texture, idiosyncratic oxymoron, etc.], these opening words are the ones that constantly ring in my head every time I hear either of these two following names. I still could not remember why I relate one name with the other, maybe they were mentioned together in a sentence on one of the design/fashion/whatnot magazines I read in my stolen time during work. You can consider me a master thief in that sense.

I’m focusing on not only about two individuals right now, but also about two brands. As every individual, they have names, + as every brand; they have carefully threaded nuances about them. To be considered as something mysterious + cool as these two is never a given thing, it’s a product of total control. Considering that I’m writing for an architectural publication, I’m proud to mention that the first of the two is Peter Zumthor. Considering the high image [therefore fashion] consciousness of my readers further, I can’t help but picking the other half to be Helmut Lang.

It might be dubious to compare human beings with, say, Apple products or Lomo cameras, but as corporations have succeeded to invade our everyday lives as individuals [according to Adbusters, they apparently have ‘the right towards free speech, the ability to own property, the right to lobby government officials and protection against self-incrimination’], why not switch the position for awhile? Anyone’s name can be seen as a brand of a corporation too.

As the core strength of any business, let’s begin with the products, the respective commodities being traded here: buildings, books + teaching positions for Zumthor; clothes, shoes + perfumes for Lang. Both of the mentioned parties’ works have received a lot of praise, and who could disagree with those fashion insiders, trend setters, architectural critics + Pritzker Prize’s judges? As far as my abilities can go, as the rest of us regular beings, I have to be content with what I read, watch or listen to. Quoting the parties’ favorite words, in a sense: phenomenological. I have nothing to say about them in this proffesional realm anyway: I’ve never been to any of Zumthor’s buildings [he always insists on ‘experiencing the architecture first hand’, + to ‘never believe in photographs’] + never owned any of Lang’s pieces [be it before or after his departure from his own label in 2oo5,

does not make any difference to me, albeit his persistence of his presence for the present - while ‘buying back a number of [his own] older pieces on Ebay’, according to W.] To push myself in this direction would be senseless. A pity, since the first collection of words written as the opening of this article could only be applied in this territory of conversation.

Instead, there is another side of their story that I could focus on: the similarities of how they react to the world at large, and how it would reflect on their so-called personalities. Zumthor is famous for being a recluse. A genius hermit, they say he is [I never got around + deciphered the phrase actually, do they mean ‘a genius who happened to also be a hermit’ or ‘a genius in being a hermit’? Maybe both.] As for Lang, he’s known to ‘never been interested in the event when I’m the center of attention’, + would ‘rather have my work just be there’, autobiographically, + known to be ‘shy, reticient + mysterious’, according to others [who happens to be the famous sculptor + Lang’s close collaborator, Louise Bourgeois.]

Zumthor lives in a village near Chur, in the border of Germany + Swiss: not necessarily the most convenient place to get to in order to know the man better or conducting an interview. On the other case, by not showing to the 2ooo Fashion Awards, Lang insulted a lot of fashion insiders [Anna Wintour on the incident: ‘If I had known he wasn’t coming, I would have called him. It was discourteous not to turn up’], but for the die-hard fans, they always come up as extremist martyrs. It gives the image of an uninterrupted artist working on his studio, tune-crafting their pieces, for us the consumers to devour. Time is no longer a well-guarded right + leisure is non-existent with these hard-working personas. They sacrifice their pleasurable moments not caring about parties, celebrities’ events, + other demanding festivities others see as a marketing tool. But is it fair to say that they don’t do any marketing at all? And does this reclusiveness hurt or make the men?

‘Image is all-important to the marketing side, because it is something you can control… not totally creative--it is also managerial’, said Giacorno Santucci, the managing director of Helmut Lang for Prada. The hard-to-get image, in this sense, has paid off big time. In Zumthor’s case, it has finally shown some results. Although he projected some humbleness in receiving the Pritzker – ‘That a body of work as small as ours is

2726

Page 15: jongArsitek! 2.3 2009

recognized in the professional world makes us feel proud and should give much hope to young professionals that if they strive for quality in their work it might become visible without any special promotion’, he said in his infamous speech – he is still refusing to reprint his earlier catalogue of publications. By not making these books available to the demanding general public right after his big break, it could only make his persona more mysterious, utilizing further the fact that we have obsession towards things we cannot afford. Zumthor, as a consequence, increase in price [the latest news was that the used copy of Thinking Architecture, first edition, has worn USD 2,ooo as its price tag.] For Lang, on the other hand, it had rewarded him immensely from 1986, the first year he showed his own collection in Paris, until 2oo5, the year he left the brand-name. His decision to practice solely in the art world since then, will further demonstrate us the strength of a marketing strategy. Anti-advertisement advertising is working on the field of architecture and fashion, will it work also in art? Give the microphone to Banksy, please.

Further, anti-advertisement as a promotion strategy is an aged worn-off oxymoronic idea. But maybe that is the only righteous option in this crisis-ridden financially-conscious age [proven that even the frivolous Pritzker judges could not escape this notion.] However we want to argue, we should not fail to see it as it is: a marketing scheme. An evolved, advanced form of it, maybe, but it still is a mere scheme. Seeing the method applied rigorously on Peter Zumthor, not only as a person but also as an architectural firm; as well on Helmut Lang, not only as a fashion-designer-cum-artist but also as a line-of-clothing-+-accessories-cum-collectibles, form my reason on insisting to call them trademarks. It’s clear that they were born through a deliberate conscious action of branding. To call them otherwise, as a lot of people tend to do, is an oxymoron. Other argument would be that it is basically each of their idiosyncratic move, psychoanalyzing them as old-school European intellectuals for whom no alternatives worth pursuing. Replying this notion, I’m borrowing the words of the amazingly funny writer of ‘How to Become a Famous Architect’ blog, Conrad Newel, on there is no exit strategy: ‘good work + good promotion = fame + recognition.’ Regardless what route being taken, a good promotion will end up in recognition. Having the last two of the opening sentence explained, I rest my case over. For now.

Text + Illustrations: farid rakun

Original photos taken from Flickr. Links to the photos:

http://www.flickr.com/photos/superterrific/48389713/sizes/l/

http://www.flickr.com/photos/seier/3122721913/sizes/l/

http://www.flickr.com/photos/8718754@N02/533310153/sizes/l/

http://www.flickr.com/photos/25405336@N05/2968979771/sizes/l/

http://www.flickr.com/photos/avvocato/273171479/sizes/o/

http://www.flickr.com/photos/seier/3151935486/sizes/l/

http://www.flickr.com/photos/charlydiazazcue/3579244256/sizes/o/

http://www.flickr.com/photos/roryrory/2498171797/sizes/o/

http://www.flickr.com/photos/tonneti/3019353242/sizes/l/

http://www.flickr.com/photos/kentwang/30782386/sizes/l/

http://www.flickr.com/photos/rufusknight/2993455890/sizes/l/

http://www.flickr.com/photos/ma79ia/431560723/sizes/o/

2928 For those Zumthor +/or Lang wannabes:1. Find your ivory tower + live in it. Not to be taken literally, but consider anything difficult to reach as a plus. Marginal but grounded, comfortable spacious cave-like hideouts are the best. Example: the East Hampton Richard Gluckman-renovated farmhouse for Lang; a self-renovated light-bathed den-like concrete-gated structure in a

village near Chur, Switzerland, for Zumthor.2. Develop your own style so people can call it YOUR uniform. Example: Zumthor’s dark-toned somber tops + Lang’s ‘casual elegance’ [in reality it’s crew neck shirt with washed out denim, combined with newest black patent-leather shoes. Important:

sockless.] Wear your own brand every possible chance. 3. Find simplicity in the essence of what you’re doing + flaunt it shamelessly. Be smart about it. Don’t be afraid if in the end of the day you found that you are useless. Even nothingness can be transformed into luxury these days. Example: PR agents for

both men.4. Be brave and say ‘no.’ Countless times to invitations, project proposals, collaboration offers, etc. Example: Lang’s fall out with Prada group + Zumthor’s infamous

hardheadedness.5. Give diplomatically vague answers. Be constant about it. Example: Lang, ‘My body of work in fashion will always stand on its own and will not go away—or it will go away—it doesn’t matter.’ Zumthor, ‘Dreaming becomes even easier, and maybe I can be happy to

go on dreaming even stronger.’6. Don’t ever read design/architecture/fashion/style/whatnot magazines. By reading the sentence, it’s a fact that you’re still reading. A sad fact: you’ll never be on the same

level as them. Accept it, + better still, flaunt it. Example: this article by yours truly.7. Insist on having the last words. Example: ‘Good luck trying!’

additionalnotes 2928

Page 16: jongArsitek! 2.3 2009

3130

Waitabula, sumba barat, 23 juli 2009

“Hey, pak, mari, lihat!Kita akan potong kerbau dan babi!”

Beberapa orang bergegas gegas, beramai ra-mai, pria pria kemudian berhamburan. Pikuk rasanya saat itu.

Ibu ibu berteriak teriak. Di sebelah jauh seekor banteng di tarik dengan kedua tali panjang mengikat, membentang panjang dari sebe-lah kiri tanduk kerbau berjejer orang menarik, sekitar 10 hingga 15 orang, dan dari sebelah kanan masih tidak kalah banyak, orang orang menarik.Beberapa meter tali yang tersisa menjuntai, dengan sigap diraih oleh pria penduduk desa yang masih mengganggur menyaksikan saja.

Pekik ibu ibu bertambah nyaring bertambah banyak.

Tiba tiba dari dalam rumah yang di hias den-

gan kain kain putih menggantung di luar rumah, tampak pemuda menari, menarik golok nya dari sabuk, dan menari, di ikuti oleh 2 sampai 3 orang. Mereka berjingkat, tersenyum, berputar putar, sesekali melihat ke arah kamera

Kerbau yang jauh sudah berada di pelataran rumah sekarang. Satu pemuda berpenutup kepala kain berwarna kuning, dengan cepat menghampiri kerbau yang masih bingung

Syuuuuuttttttt!!!

Goloknya mengenai leher kerbau, lantas ker-bau jantan pun berontak. Mimik mimik orang kiri kanan tanduk kerbau langsung berparas meringis serius menahan. Kerbau jantan itu sekarang bergolak, hendak lari, kesakitan, hen-dak menyeruduk siapa saja yang ada di dalam pandangannya.. Dari kerongkongan yang ter-putus, suara nafas kerbau jantan mengeras, dan mengeluarkan darah ke sekitarnya.

Pemuda pemuda yang menari terus mengham-

piri, menyabetkan goloknya ke kerbau, seh-ingga beberapa kali kerbau memberontak, dan akhirnya perlahan tumbang.

Masih berusaha menggapai nyawanya.

Setelah kerbau jatuh, masyarakat tergelak dan bersorai.. Tarian semakin cepat, dan ibu ibu berteriak kencang. Demikian satu kerbau ber-lalu dan sekali lagi di laksanakan, bersama den-gan 5 ekor babi persembahan. Persembahan dari masyarakat kepada empunya rumah baru.

Kemudian setiap orang bersorak karena telah resminya sebuah rumah baru dan penghunin-ya. Diterima dalam satu lingkungan kampung ini. Lebih tepatnya diterima oleh penduduk, da-lam hampir seluruh perbukitan.

Waerebo, manggarai, 26 juli 2009

“Are you not afraid that the young people will leave from their place now and not coming back? Leaving their culture now?” Salah se-

orang wisatawan dari Belanda bertanya

Jam 20.39 Wit waktu menunjukkan di rumah bundar ini. Di pusat kampung. Rumah inang ini begitu sesak, dipadati oleh seluruh penduduk kampung dan 15 wisatawan dari belanda dan Belgia berbadan bongsor. Walaupun mereka masih lelah setelah mendaki, wisatawan yang rata rata berumur 50 - 60 tahun ini masih mem-perhatikan rumah inang ini. Satu alasan utama kenapa mereka terbang sejauh puluhan ribu kilometer dari negara mereka. Berkendara bis (truk) kayu berhempas debu sepanjang per-jalanan mereka, dan mendaki sejauh 20 km naik gunung berjalan selama 3.5 Jam.

“Kami selalu memberikan kebebasan bagi saudara kami disini, mereka bebas merantau, bersekolah dan bekerja keluar sana,namun satu, bahwa dalam setiap kesempatan malam, setiap ibu bernyanyi, setiap malam kami pun bernyanyitentang tradisi dan asal usul budaya kami, dan saya yakin, dalam setiap ikatan ke-luarga ini, mereka akan kembali, baik singgah

Nusantara.menyelami kearifan lokal melalui bangunan tradisional

A R S I T E K T U R

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 17: jongArsitek! 2.3 2009

ataupun kembali menetap, meneruskan tradisi kami, tradisi sebagai orang waerebo”

Sungguh, saat ini malu mendera, dari sekian jumlah pengunjung desa ini, sekian banyak hampir 80 persen adalah wisatawan mancanegara yang mengisi tiap minggu dari akhir mei hingga awal oktober. Bahkan tampak raut kekagetan yang masi kami ingat, ketika agustus tahun lalu, kami bertandang dan pak alexander sang ketua adat bertanya “Ada apa gerangan, saudara, ibu kami, datang jauh dari jakarta”

Karena pak alex, begitu panggilnya seperti layaknya alexander the great yang bijak, merasa selama ini masyarakat indonesia yang berkunjung, da-tang ke desa bertujuan hanya karena ingin memberi bantuan atau penelitian. Berbeda dengan wisatawan mancanegara ini untuk berwisata, berplesir, dan mendaki gunung. Merasakan potensi budaya dan alam negara kita.

Labuhan bajo, 28 juli 2009

Lelah rasanya setelah duduk selama berjam jam, Terlebih setelah berjalan kaki menuruni gunung dari waerebo ke denge selama 2.5 Jam. Walaupun dalam mobil besar macam toyota land cruiser ber air conditioning ini, ras-anya lelah sekali, kami menerpa padang savana, dan jalan berbatu

Masih segar dalam ingatan ini. Sepanjang perjalanan, pasir, tanah coklat, keringnya daun daun pepohonan. Pasir tandus sepanjang lintas selatan pu-lau flores, disertai dengan pemandangan memukau pantai selatannya, dita-mbah dengan kegagahan pemandangan pulau mulas.

Handphone pun berbunyi, dengan susah menyerap daya baterai mencari sinyal miskin di pulau ini.

Sebuah pesan singkat bertulis :“Terima kasih atas kesempatan untuk melihat kebudayaan kami di sumba, semoga baik baik di jalan” pesan singkat dari pastor robert, seorang re-demptoris dari sumba yang membantu kami menunjukkan seluruh Kekayaan budaya sumba barat dengan baik.”

3332

kiri : Tipikal rumah adat Sumba yang mencapai hingga 11 meter, dengan konstruksi knock down.

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 18: jongArsitek! 2.3 2009

komunitas dalam tatanan yang teratur, bagaimana menempatkan ketuhanan dalam kepercayaan mereka, bagaimana rumah mengatur hubungan suami istri, bagaimana rumah mengatur hubungan dengan masyarakat setempat, bagaimana rumah mengatur hubungan dengan lingkungan alam sekitar, dan terlebih bagaimana rumah mengatur hubungan dengan masalah yang terjadi di sekitarnya seperti masalah gempa, dan angin kencang.

Jawaban jawaban seperti damper penahan gempa pada rumah nias, atap ijuk yang menahan cuaca setempat, dan menciptakan silang angin pada ru-mah dari rumah berpanggung yang berhembus menembus sela atap alang dan ijuk. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan penduduk setempat, di jelaskan bahwa penggunaan material bangunan haruslah berada dalam sekitar dan perlunya sebuah acara khusus untuk mengambil kayu dari hutan sekitar, dan bagaimana mengembalikan tumbuhan yang diambil itu kem-bali.

Manusia indonesia percaya, bahwa membuat rumah berarti kita meminta ijin kepada alam, dengan mengambil material, berbicara dengan alam untuk membuat lingkungan binaan baru untuk manusia. Dari situlah kebijakan dan kebajikan budaya menghasilkan manusia dan masyarakat yang sempurna. Sempurna dalam menata hubungan multi dimensinya.

Sebentar lagi, dalam ke gegapgempitaan 64 tahun indonesia merdeka, keti-ka seluruh dunia berjuang dengan masalah iklim karena pemanasan global.

Ternyata leluhur kita, menyebar di seluruh indonesia, telah lama mengajar-kan, bagaimana ber arsitektur dan tetap bersahabat dengan alam. Hidup bersama dengan alam dan binaan nya.

Mari belajar kembali, dari kearifan budaya kita. Negeri yang sedang bertum-buh tetap berjuang dalam tradisi dan modernisasi.

Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya?

Selamat ulang tahun, Indonesia.

3534

“Dengan kain ini, berarti anak, akan menjadi bagian dari sumba, kita telah terikat, sehingga anak bisa datang kapan saja, menjadikan sum-ba menjadi rumah kalian, dan kami akan selalu menerima kalian sebagai satu saudara” sangat singkat, kali itu pastor robert dari suku kodi membawa kami ke ketua suku laura dan mem-bawa kami melihat rumah adat di bakuregha. Bagaimana rasanya mengalami keramahan dan persaudaraan dalam kunjungan singkat kami. Dalam uma kalada (rumah utama) terbesar di sumba barat, yang setinggi pitu liku (7 hasta = sekitar 10.5 Meter).

Setiap kunjungan ke rumah adat, masih ingat bahwa selalu ada tradisi dan budaya. Budaya yang melekat dalam rumah yang telah terhim-pun ber ratus tahun. Bahwa rumah di indonesia merupakan hasil trial dan error yang menakjub-kan, bersamaan dengan pendukung kegiatan budayanya.

Baik dari perjalanan pulau nias, toraja, hingga ke sumba dan flores, rumah selalu menjadi tempat yang suci. Bangunan yang didirikan atas dasar kebutuhan primer. Bangunan ban-gunan yang terbentuk karena karakter budaya dan lingkungan setempat, menemani sebagai saksi masyarakat ber regenerasi, berkembang berbudaya.

Bangunan tradisional indonesia, adalah bagian dari usaha manusia pada satu jaman, Menjawab kebutuhan diri, komunitas dan masalah lingkun-gannya. Setiap berhadapan dengan bangunan tradisional ini, kita mendapatkan ceritera, Ru-ang yang terbentuk karena kesucian, kebutuhan manusia beregenerasi. Bagaimana menghargai

Rumah bukan lah hal yang mudah untuk dibangun, karena rumah adalah simbol kesucian, sehingga tahapan tahapan pembangunan harus melalui pelbagai upacara. Di mulai dari pengambilan material, perletakan batu atau kayu utama, hingga tutup atap dan peresmi-an sebelum digunakan

Paskalis khrisno ayodyantoro

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

atas : rumah tradisional daerah manggarai, Flores barat yang berbentuk bundar, digunakan sebagai rumah hingga 8 keluarga.

bawah : struktur gempa pada rumah nias yang dibuat dari kayu dengan sistem knock down

Page 19: jongArsitek! 2.3 2009

PAMERANWORKSHOPARSITEK MUDA INDONESIA999

3736

bengkel kerjaavianti armand

Saya akan mulai dengan sekumpulan fakta:Pembangunan kota jadi makin cepat dan nyaris tak terkendali, gempita – namun tung-gang langgang. Ada kepadatan yang menye-sakkan – di saat yang bersamaan, tak merata. Komodifikasi dari hampir segala hal membuat harga tanah di tengah kota tak terjangkau. Terpinggirnya masyarakat menengah ke luar kota. Suburbanisasi kian menjadi. Jarak antara rumah dan tempat kerja makin jauh. Kemac-etan yang bertambah mengakibatkan pem-borosan energi, waktu dan tenaga. Tingginya tingkat stres. Sistem angkutan umum yang buruk. Jumlah kendaraan pribadi bertambah secara drastis. Bertambahnya ruas jalan yang tak menyelesaikan apa-apa. Berkurangnya ruang hijau di dalam kota dengan kecepatan yang mencemaskan. Berkurangnya resapan kota. Terjadi perluasan daerah reklamasi yang mengikis hutan bakau dan memprivatisasi pe-sisir. Intrusi air laut ke tengah kota. Polusi yang makin parah. Banjir tahunan makin lama makin tinggi. Kurangnya pasokan air bersih untuk se-mua. Pemukiman kumuh dalam lipatan-lipatan kota: pinggir rel kereta api, bawah jembatan, pinggir sungai, dan lahan-lahan tidur. Penggu-suran yang sewenang-wenang dan tak manu-siawi. Ketiadaan fasilitas sosial yang memadai. Sampah kota tidak tertangani dengan baik. Bertambahnya jumlah kaum miskin kota. Gerak modal dan barang yang makin cepat. Kota yang terus bergerak dan tak pernah tidur. Kita, yang bangun pagi dengan mata cemas. Selalu. Kota, dengan segala kegairahan dan permasala-hannya, kini menjadi begitu hadir. Ia menderas masuk, kita tak lagi bisa mengelaknya. Ruang tinggal, tak bisa dilepas dari konteksnya, dipa-gari dan dilabeli dengan sekedar ‘rumah’ atau ‘apartemen’. Begitu banyak hal dan makna te-lanjur terlekat padanya. Ia, juga arsitektur, tak dapat dipandang sebagai satu entitas yang berdiri sendiri, melainkan terajut dalam lapis demi lapis jaringan majemuk yang menyusun kota, bahkan lebih luas lagi: dunia.

Sekarang, semenjak lebih dari 50 % populasi manusia bermukim di kota, apa yang terjadi da-lamnya adalah gambaran dari apa yang terjadi di planet ini. Kita, juga umat manusia di seluruh

dunia, tiba-tiba dilanda kegelisahan yang sama. Kita pelahan mengalami hal dan masalah-masalah yang sama yang menuntut penyele-saian bersama. Tanpa itu, kita akan bersama-sama pula menuju ke kepunahan yang cepat dari ras manusia. Apakah kita peduli?

Ya. Tentu dalam kapasitas kita masing-masing. Tentu dalam cakupan ruang gerak dan dengan keunikan masalah masing-masing. Dalam kon-teks ini: arsitek Indonesia – kota-kota di Indo-nesia. Ruang tinggal dalam kota telah masuk sebagai hal yang tak terhindarkan dalam kesa-daran kita. Hal itu tak bisa lagi dipandang seba-gai masalah pemerintah, penyelenggara kota, developer, atau institusi lain. Ia atelah menjadi masalah kita bersama.

Karena itu, bukan suatu hal yang mengherank-an apabila workshop, atau lebih baik kita sebut bengkel kerja, yang diselenggarakan dalam rangka merayakan ulang tahun kelompok Arsi-tek Muda Indonesia yang ke 20, dengan tema Ruang Tinggal Dalam Kota, mendapat animo yang baik sekali. Pada tengat pengumpulan, ada sekitar 40 proposal yang masuk. Sayang sekali, karena keterbatasan waktu, tempat, dan juga tenaga reviewer, penyelenggara harus memilih 17 saja dari antaranya.

Menarik melihat bagaimana para arsitek muda dan mahasiswa-mahasiswa arsitektur ini me-nanggapi tema yang cukup luas itu. Ada ke-pekaan yang mengagumkan, hal penting yang dibutuhkan oleh seorang arsitek untuk dapat menghasilkan karya yang berjiwa. Ada kebera-nian untuk keluar dari paradigma lama. Dari situ lalu tercetus beragam cara pandang terhadap ‘ruang tinggal’ dan terhadap ‘kota’. Juga cara memaknainya. Pendekatan yang ditempuh, walau tidak selalu baru, pun bermacam-macam dan menawarkan terobosan untuk perbaikan kualitas ruang tinggal dalam kota.

Salah satunya adalah tentang waktu – yang dirasakan sebagai unsur yang begitu kuat bekerja dalam ruang. Dalam proposal “ruang. waktu. tinggal.”, waktu digunakan untuk mend-efinisi penggunaan ruang, dari situ luasan dan bentuknya. Ruang terasa begitu hidup, ketika waktu dihayati sebagai sebuah fenomena pe-rubahan. Ruang menjadi sangat sementara dan fleksibel. Suatu kualitas yang sering diabaikan praktek professional arsitektur di dunia yang

malas bergerak – karena itu besaran ruang menjadi bengkak. Suatu kualitas yang sering dipendam di mana arsitektur dituntut untuk jadi sesuatu yang abadi – karena itu: mati.

Hampir tak pernah terlibat dalam bengkel kerja, proposal “ruang kembali” mengikat ruang ting-gal pada satu waktu di masa lalu sebagai tem-pat ‘pulang’. Sebuah memori yang membuat betah. Waktu diterjemahkan ke dalam lorong serupa spiral yang merentang ‘kini’ dan ‘dulu’. Mungkin juga ‘nanti’. Sama seperti ruang, wak-tu lalu tidak diperlakukan linear, melainkan par-allel – bahkan acak.

Dengan perhatian yang sama terhadap waktu, kelompok “didedikasikan untuk komuter” me-niadakan waktu tempuh yang melelahkan, juga ruang kosong yang membentang antara kota dan area suburban. Jalan tol, sebagai media penghubung, tapi juga pemisah antar ruang di dalam kota, lalu diokupasi dengan beragam kegiatan yang mengembalikan ikatan antar ke-pingan-kepingan kota, mengembalikan ruang-ruang premium kota kepada publik dan, yang terutama, mengembalikan para komuter ke dalam kota.

Masalah waktu tempuh, yang secara drastis mengurangi waktu yang berkualitas dari ban-yak sekali keluarga yang bermukim di area suburban, juga menjadi hal yang melandasi proposal “mobile house”. Kelompok ini lalu memisahkan hunian menjadi ‘kepompong’ dan ‘inang’nya, atau yang mereka sebut core. Se-cara sporadis, core disebar di berbagai tempat yang potensial untuk menjadi magnet. Kepom-pong memiliki kebebasan untuk melekat di mana saja tergantung pada pilihan kegiatan-nya. Dengan demikian, hunian bergeser dari makna konvensionalnya, tidak lagi terikat oleh tempat, melainkan program.

Kesementaraan dan fleksibilitas ruang dicerna kelompok “topical capsul bungalow” dengan cara yang sedikit berbeda. Di sini hunian benar-benar dilepas dari anasirnya, jadi satu badan yang kompak dan lengkap hingga tak perlu terikat tidak saja tempat, tapi juga program. Ia bisa hinggap di mana saja dalam kondisi apa saja. Karena itu, material penyusun dan utilitas pendukungnya menjadi sangat penting untuk mempertahankan keberlanjutannya.

Dalam skala luas, masalah keberlanjutan di-angkat oleh kelompok “linear city”. Kelompok ini mengkonversi gelar kota dari horizontal menjadi vertikal. Seluruh fungsi ditumpuk dan dijajarkan secara linear pada jalur utama, seh-ingga tercipta bentang hijau yang cukup luas di daerah yang ditinggalkan, yang bisa diman-faatkan sebagai area resapan, lahan pertanian, peternakan, rekreasi, hutan lindung, dan fung-si-fungsi lain yang bisa menjadikan kota satu lembaga yang mampu menghidupi diri sendiri. Kegagalan kota menyediakan ruang tinggal untuk semua, ditanggapi dengan simpatik oleh kelompok “ruang mimpi”. Merefleksi kon-disi masyarakat marjinal, usulan yang diajukan sama sekali tidak konfrontatif terhadap kes-ewenang-wenangan yang biasa terjadi – me-lainkan adaptif. Dengan rumah siap gusur, mer-eka menanggapi penggusuran dengan desain rumah beroda yang ringan dan murah. Dengan tak terjangkaunya harga rumah permanen di tengah kota oleh masyarakat marjinal, kel-ompok ini mengusulkan pemanfaatan tepi rel kereta untuk jadi rumah sewa manusiawi yang dikelola oleh Jawatan Kereta Api. Mungkin tak-kan lagi jadi mimpi untuk punya hunian, di ping-gir rel sekalipun.

Selain rel kereta api, kota penuh dengan “ruang bayangan” – ruang-ruang sisa yang nyaris di-anggap tak ada: kolong jembatan, tepi sungai, belakang gedung tinggi. Ruang bayangan se-lalu bersifat ambigu. Terabaikan oleh pengelola kota, ruang-ruang ini selalu dilihat sebagai pe-luang oleh masyarakat pinggiran. Proposal ini mencermati beberapa titik di dalam kota dan mencoba mengolahnya untuk dimanfaatkan sebagai hunian yang layak. Bambu digunakan sebagai katalis yang memungkinkan simbiose mutualisma antara ruang dan program yang ditawarkan.

Kemampuan manusia untuk beradaptasi, teru-tama pada bencana, dijadikan ide dasar oleh kelompok “nenek moyangku seorang pelaut” untuk menelurkan gagasan mereka tentang rumah apung. Di sini, banjir tidak lagi dilihat sebagai satu bencana yang menyedihkan, tapi ‘musim’ yang akan terus menerus datang. Ru-mah apung, yang bisa mengakomodasi satu atau lebih keluarga selama beberapa hari ada-lah usulan mereka. Air, diakrabi – seperti nenek moyang kita dulu ketika pertama datang ke kepulauan ini.

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 20: jongArsitek! 2.3 2009

3938

Kota, mungkin akan jadi ruang tinggal yang lebih baik jika segalanya dikembalikan pada tubuh – sebagai subyek – dalam mengalami ruang. Kurang lebih begitu yang diimplikasikan oleh kelompok “kota skala kita” dan “black out architecture”.

Bandung, khususnya daerah Dago ditelaah dengan seksama, menggunakan tubuh se-bagai parameter, untuk mendeteksi masalah-masalahnya. Kesemrawutan, keberagaman fungsi yang terkotak-kotak dan tidak saling berhubungan, mobil yang menciptakan jarak antara manusia dengan kotanya, ditera seba-gai masalah di daerah ini. Kota lalu dipecah menjadi serangkaian pengalaman sensorik yang menerus dan simultan dengan membagi dan menjalinnya ke dalam lapis demi lapis ruang. Dago lalu menjadi sehimpunan ruang yang kaya, dengan sequence yang tak pernah sama.

Proposal “black out architecture”, secara sederhana mengingatkan kita pada satu fakta yang sangat purba, bahwa Tuhan menciptakan manusia tidak hanya untuk ‘melihat’ tapi juga ‘mengalami’. Dalam melihat, selamanya ada ‘jarak’. Mungkin itu yang mengakibatkan kega-galan penataan kota kita. Mungkin itu alasan kenapa ruang tinggal kita menjadi begitu asing. Mungkin itu sebabnya kita, sebagai arsitek dan calon arsitek, harus belajar untuk menjadi lebih peka. Dengan instalasinya, kelompok ini men-gajak kita menajamkan indera dan menghayati pengalaman ruang.

Mengambil ‘tubuh’ sebagai analogi, kelompok “metabolisme kota Jakarta” mencermati Jakar-ta sebagai sebuah tubuh yang sakit. Masalah di petakan ke dalam titik-titik, alur-alur, dan perg-erakan. Seperti dokter, kelompok ini mengusul-kan penguraian jaringan yang kusut, relokasi, dan rehabilitasi lingkungan yang bermasalah. Sehat? Tak ada jaminan. Kita cuma ditantang untuk mencobanya.

Masih menggunakan ‘tubuh’ sebagai parame-ter yang unik, kelompok “rumah ini tidak untuk dijual” menolak komodifikasi dari hampir se-gala sesuatu. Rumah, diretas jadi satu entitas yang sangat personal, tapi juga sangat fleksi-bel, hingga tak bisa dijual – sebelum dikem-balikan ke kondisi generiknya. Ia bisa berdiri sebagai satu unit tunggal, maupun majemuk, dengan penyelenggaraan yang sangat mudah – hampir seperti permainan anak-anak yang menyenangkan. Proposal ini menjadikan ruang tinggal sebagai satu domain yang unik, dan pengalaman yang asyik.

Fashion, juga digunakan sebagai satu bahasa untuk mendekati arsitektur. Dalam “fashion, Bandung, arsitektur”, Dago, sekali lagi, ditelaah sebagai satu area yang mengalami perubahan fungsi, dari hunian ke komersial. Perubahan yang parsial mengakibatkan pengalaman ru-ang yang terpenggal-penggal. Kelompok ini berusaha mengaitkannya dengan fungsi-fungsi kecil yang diibaratkan sebagai aksesori dalam fashion.

Dari 17 proposal yang terjaring, pada akhirnya memang tinggal 14 yang tersisa. Dalam bengkel kerja ini telah terjadi pergulatan pemikiran, kri-tik-kritik tajam dari reviewer tetap dan reviewer tamu, ide yang dikunyah dan diperdalam lagi, masalah yang dipersempit, niat dan kesiapan yang maju mundur, namun semangat yang tak pernah kendur. Bangkel kerja yang diselengga-rakan dengan tanpa biaya (terima kasih untuk Komunitas Salihara yang dengan murah hati menyediakan tempat dan segala sarana kerja yang kami butuhkan) akhirnya berujung di pa-meran ini. Saya berani berkata bahwa beng-kel kerja ini, pilot project dalam tradisi Arsitek Muda Indonesia, telah berjalan dengan baik. Apa yang telah terjadi mungkin bisa dikemas dalam beberapa kalimat.

Kita memiliki generasi arsitek muda yang ber-pikiran terbuka, penuh semangat, berani men-dobrak paradigma lama dan mengeksplorasi ide-ide baru – yang radikal sekalipun. Antusi-asme mereka menunjukkan kepedulian, bukan cuma untuk menguji diri, tapi untuk berbuat sesuatu bagi orang lain. Kota, bisa saja telah membuat kita menjadi sehimpunan orang yang skeptis. Tapi workshop ini, mudah-mudahan, adalah sebutir garam dunia.

jongArsitek! Edis i 2.3, 2009 | desain menginspiras i

Page 21: jongArsitek! 2.3 2009