34
MISI DA’WAH DAN PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Idrus Abidin, Lc., MA. Sumber : idrusabidin.blogspot.com PENDAHULUAN Istilah da’wah telah menjadi lazim di tengah komunitas Muslim, sebagaimana istilah missionaris merupakan istilah baku bagi upaya penyampaian misi keagamaan dalam agama Kristen katolik dan protestan di Indonesia. Dalam kamus bahasa inggris, istilah missionaris dimaknai dengan dua makna ; (1) sejumlah orang yang dikirim oleh komunitas keagamaan untuk melakukan propaganda agama, (2) suatu organisasi agama atau lembaga keagamaan yang memfokuskan aktivitas utamanya pada konversi agama. 1 Kedua makna di atas jelaslah tidak bermakna dan tidak menunjukkan aktifitas agama tertentu. Hanya saja,dalam Islam istilah tersebut tidaklah digunakan mengingat bahwa Islam sendiri memiliki istilah khas dalam upaya yang sama,yaitu ; da’wah. Dalam diskursus keIslaman, da’wah selama ini terkesan kompensional dengan hanya mengadalkan ceramah lisan di atas mimbar dengan retotika yang memukau dan pegajian lepas dalam bentuk kajian keIslaman. Padahal, pembentukan masyarakat Islam yang hendak dibangun tidaklah bisa terwujud tanpa adanya peran kemasyaraktan da’i yang bersifat langsung dan berpihak kepada objek da’wah. Karenanya, da’wah perlu diorientasikan kepada dua arus utama. Pertama, da’wah yang bersifat kompensional dengan 1 John M Echol dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : PT Gramedia), cet.24, th.1997, hal.383

Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

MISI DA’WAH DAN PERUBAHAN SOSIAL

Oleh : Idrus Abidin, Lc., MA.Sumber : idrusabidin.blogspot.com

PENDAHULUAN

Istilah da’wah telah menjadi lazim di tengah komunitas Muslim, sebagaimana istilah

missionaris merupakan istilah baku bagi upaya penyampaian misi keagamaan dalam agama

Kristen katolik dan protestan di Indonesia. Dalam kamus bahasa inggris, istilah missionaris

dimaknai dengan dua makna ; (1) sejumlah orang yang dikirim oleh komunitas keagamaan untuk

melakukan propaganda agama, (2) suatu organisasi agama atau lembaga keagamaan yang

memfokuskan aktivitas utamanya pada konversi agama.1 Kedua makna di atas jelaslah tidak

bermakna dan tidak menunjukkan aktifitas agama tertentu. Hanya saja,dalam Islam istilah

tersebut tidaklah digunakan mengingat bahwa Islam sendiri memiliki istilah khas dalam upaya

yang sama,yaitu ; da’wah.

Dalam diskursus keIslaman, da’wah selama ini terkesan kompensional dengan hanya

mengadalkan ceramah lisan di atas mimbar dengan retotika yang memukau dan pegajian lepas

dalam bentuk kajian keIslaman. Padahal, pembentukan masyarakat Islam yang hendak dibangun

tidaklah bisa terwujud tanpa adanya peran kemasyaraktan da’i yang bersifat langsung dan

berpihak kepada objek da’wah. Karenanya, da’wah perlu diorientasikan kepada dua arus utama.

Pertama, da’wah yang bersifat kompensional dengan mengandalkan basis keilmuan yang

memadai dan yang kedua, da’wah yang mampu meningkatkan pemenuhan kebutuhan

masyarakat yang sangat mendasar, seperti peningkatan ekonomi keluarga dan advokasi terhadap

hak-hak mendasar masyarakat yang belum diterima selama ini. Dalam kategori ini, hadirnya

da’wah bisa dianggap penyelesaian yang memang sangat membantu masyarakat untuk keluar

dari problema yang di hadapi. Makala ini berusaha memotret bagaimana konsep da’wah yang

dapat memberikan efek social terhadap social serta langkah yang telah ditempuh oleh masyarakat

Indonesia dalam mewujudkan metodologi da’wah tersebut di atas. Sehingga diharapkan dapat

menegaskan kembali komitmen kita dalam mencari berbagai inovasi-inovasi yang dapat

menjangkau semua objek da’wah. Studi ini berusaha menelusuri penelitian yang dikembangkan

1 John M Echol dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : PT Gramedia), cet.24, th.1997, hal.383

Page 2: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

oleh beberapa ahli terkait peranan da’wah lisan dan da’wah sosial yang nampaknya belakangan

ini mulai melembaga sebagai institusi yang independen.

PERAN MISSIONARIS (DA’I) DALAM PANDANGAN ANTROPOLOG.

Sebelum mendeskripsikan lebih jauh tentang peran da’i dalam masyarakat, pertama-tama

kajian akan diarahkan kepada perdebatan yang muncul seputar pandangan antropolog terhadap

upaya da’i dalam rangka memperkenalkan nilai-nilai Islam yang berujung pada perubahan gaya

hidup dan budaya masyarakat tertentu. Menurut Erni Budiwanti, sebelum tahun 1960, beberapa

antropolog yang mengikuti faham fungsionalisme sangat menentang dan bahkan sangat

memusuhi para missionaris atau da’i. Karena aktivitas mereka dianggap merusak budaya asli

masyarakat tertentu yang dijadikan objek da’wah.2 Memang jika kita memperhatikan secara

seksama, upaya dai untuk memperkenalkan Islam di tengah masyarakat memang berpotensi

mempengaruhi, merubah dan mengganti dengan sempurna kepercayaan, norma-norma lokal, dan

nilai-nilai budaya lokal yang telah diwariskan turun temurun oleh masyarakat setempat, dengan

nilai yang sama sekali berbeda dengan budaya asli masyarakat tradisional sebelumnya. Kegiatan

demikian dianggap oleh antropolog sebagai aktivitas yang melanggar hak asasi. Karena

membatasi kebebasan penduduk asli untuk mengakses budayanya sendiri dan mempertahankan

kearifan lokal yang mereka bangun sebelumnya. Memang dalam ilmu sosilogi perubahann sosial

sering dianggap sebngai aspek khusus dari aspek sosial, karena perubahan sosial merupakan

gejala yang bertentangan dengan tatanan sosial.3

Setelah tahun 1960, sikap antipati antropolog pengikut faham fungsionalisme mulai

berkurang. Bahkan sikap demikian mulai mendapatkan penentangan dari sejumlah antropolog

lain. Stipe, sebagaimana dikutip oleh Budiyanti, pada tahun 1980 berpendapat bahwa sikap

antropolog yang memusuhi misi keagamaan dilandasi oleh pemikiran fungsionalisme. Dalam

pandangan aliran fungsionalisme, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang berusaha selalu

mempertahankan keharmoniannya dan keseimbangan sosial yang terbagun di dalamnya. Semua

elemen yang berfungsi dalam suatu system kemasyarakatakan dan kebudayaan saling terhubung,

2 Erni Budiyanti, Misi dakwah dan transformasi sosial : Studi Kasus di Bayan, Lombok Barat, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, (Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI), Vol.II, No.1, th.1998, hal.43.

3 Mahmuddin dan Try Hadiyanto sasongko, Analisis Sosial, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), th.2006, hal.5

Page 3: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

mempengaruhi, dan karenanya saling bergantung satu sama lain untuk menciptakan harmoni.

Semua elemen ini bekerja dan berfungsi secara integral dalam rangka menciptakan dan

mempertahankan keseimbangan dan harmoni sosial yang telah ada.

Asumsi di atas inilah yang menjadi landasan pengikut fungsionalisme dalam

anggapannya bahwa setiap unsur yang berubah dalam masyarakat dapat mengancam hormani

yang telah terbagun antara elemen dalam mempertahankan hormoni sosial. Dengan demikian,

perubahan dianggap mengancam stabilitas hubungan masing-masing elemen yang telah

terintegrasi dalam keseimbangannya. Namun asumsi ini, bagi Abu Riho, dianggap telah

mengabaikan perubahan itu sendiri. Dan untuk memahami perubahan yang terjadi, terlebih

dahulu kita harus mengetahui masyarkat dalam kondisinya yang serba statis. Sikap ini

berimplikasi pada upaya untuk melihat perubahan pada aspek struktur semata dan bukan pada

proses yang terjadi di masyarakat.4

MISI KEAGAMAAN DALAM ISLAM.

Kegiatan pengembangan da’wah dalam Islam diibaratkan seperti mata rantai yang terus

terhubung hingga akhir zaman. Masing-masing periode dalam Islam dianggap kelanjutan dari

peride sebelumnya. Yang mana, masing-masing periode diharapkan dapat mentransmikian Islam

sebagaimana yang pernah ada di zaman awal yang dida’wahkan oleh Rasulullah saw. Dalam

mata rantai ini, Rasulullah saw sebagai pembawa missi pertama.5 Setelah Rasul, muncullah

sahabat, tabi’in, ulama, dan ummat secara umum untuk mengemban misi da’wah pada masa dan

tempat mereka berada. Kelanjutan misi keagamaan dalam Islam yang diibaratkan sebagai mata

rantai ini mendapatkan legalitas dari al-qur’an yang pada intinya menjelaskan bahwa Allah

sendiri menjaga keaslian al-qur’an hingga akhir zaman.

Mata rantai yang berkesinambungan secara simbolik juga bermakna bahwa setiap

Muslim memliki tanggun jawab untuk melanjutkan praktek-praktek keIslaman di mana pun dan

kapan pun mereka berada. Da’wah tidaklah dimaskdukan untuk merubah mereka-mereka yang

telah memiliki indentitas keagaamaan tertentu agar mereka masuk Islam. Tetapi da’wah dalam

4 Abu Ridho, Problematika Da’wah : Problem visi dan Implementasinya, dalam Adi Sasono dkk, “Solusi Islam atas Problematika Ummat, (Jakarta : Gema Insani Press), th.1998, hal.221.

5 Abdul Karim Zaidan, Ushul al-Da’wah, ( Baerut : Maktabah al-Risalah), cet.3, th.1988, hal.307

Page 4: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

terminologi ini diharapakan dapat memperkuat integritas keislaman para penganut agama Islam

itu sendiri. Dalam bahasa lain, da’wah merupakan upaya konsolidasi ke dalam yang nantinya

dapat memperbaiki kualitas kehidupan keberagamaan ummat Islam sendiri. Pada intinya, da’wah

mengajak ummat Islam untuk menganut Islam secara menyeluruh dan memerintahkan ummat

untuk memerangai kemungkaran dan saling mengingatkan untuk menegakkan kebaikan dan

keadilan.

Pada perkembangan sekarang, da’wah menjadi kegiatan yang terorganisir dengan

melibatkan tenaga-tenga propesional yang dirintis oleh seorang ahli agama yang disebut kiyai di

Jawa, ajengan di Jawa Barat dan Tuan Guru di Lombok. Secara umum mereka disebut sebagai

ulama. Dalam Islam, ulama merupakan mata rantai penyebar agama Islam yang dianggap

sebagai pewaris nabi.

PENGERTIAN DA’WAH

Dakwah secara etimologis dapat diartikan mengajak, menyeru, dan memanggil.6

Sedangkan, bila diartikan dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi dakwah dapat diartikan

sebagai berikut : “Mendorong (memotivasi) untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk (Allah),

menyuruh orang mengerjakan kebaikan, melarang mengerjakan kejelekan, agar dia bahagia di

dunia dan akhirat”. (Syaikh Ali Mahfudh, Hidayah al-Mursyidin). Dakwah berasal dari bahasa

arab yang berarti mengundang, mengajak dan mendorong. Konotasi yang lazim adalah mengajak

dan mendorong sasaran untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan atau "amar ma'ruf

nahi munkar". Dakwah berarti juga mengajak sasaran menuju jalan Allah, yakni agama Islam.

Ada berbagai macam rumusan mengenai pengertian dakwah. Syeh Ali Mahfudz

misalnya, mendefinisikan dakwah sebagai usaha memotivisir orang-orang agar tetap

menjalankan kebajikan dan memerintahkan mereka untuk berbuat ma’ruf serta melarang

mereka berbuat mungkar, agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia akherat. 7 Senada

dengan Syeh Ali Mahfudz, Profesor Thoha Yahya Umar mengartikan dakwah adalah 6 Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Turki : al-Maktabah al-Islamiyah), vol.1, cet.3, tth, hal.2867

M. Masyhur Amin, Metoda Da’wah Islam Dan Beberapa Keputusan Pemerintah Tentang Aktivitas

Keagamaan, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980.

Page 5: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah

Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akherat. Menggunakan

rumusan lain, Syeh Bahi al-Khuly berpendapat bahwa dakwah adalah memindahkan umat

dari satu situasi ke situasi yang lain yang lebih baik. Sedang secara operasional Adnan

Harahap memberikan pengertian dakwah adalah suatu usaha merubah sikap dan tingkah laku

orang dengan jalan menyampaikan informasi tentang ajaran Islam, dan menciptakan kondisi

serta situasi yang diharapkan dapat mempengaruhi sasaran dakwah, sehingga terjadi

perubahan ke arah sikap dan tingkah laku positif menurut norma-norma agama. 8

Secara umum, makna pokok yang menjadi simpul dari pengertian dakwah yang

berbeda-beda itu terletak pada tiga hal :

1. Amar ma’ruf nahi mungkar. Seluruh kegiatan dakwah pada dasarnya bertujuan

untuk merealisasikan kebaikan (al-khoir) dan mengeliminasi segala hal yang

menyebabkan orang semakin jauh dari jalan Tuhan Allah SWT.

2. Ishlah. Makna ishlah dari dakwah ini nampak kuat pada upaya dakwah untuk

meningkatkan kualitas kebaikan dan menurunkan kadar keburukan di dalam

masyarakat. Dalam makna ini dakwah dipahami sebagai segala upaya yang

bertujuan untuk merubah kondisi negatif ke kondisi yang positif atau untuk

memperbaharui dalam makna meningkatkan kondisi yang positif ke kondisi yang

lebih positif lagi.

3. Dengan demikian dakwah pada dasarnya adalah bersifat taghyir (pengubah) dari

realitas sosial yang tidak/belum ilahiyah menjadi berkondisi atau berwatak

ilahiyah9.

Menurut Amrullah Ahmad eksistensi dakwah Islam selain berperan sebagai pengubah

terhadap realitas sosial yang ada kepada realitas sosial yang baru, juga sesungguhnya

dipengaruhi oleh perubahan sosio-kultural yang terjadi. Dengan demikian dakwah perlu

8 Adnan Harahap, Dakwah Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980.

hal.259

Nasruddin Harahap dkk., Dakwah Pembangunan, (Yogyakarta : DPD Golkar DIY), th.1992.

Page 6: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

mengenal dan memahami perubahan-perubahan itu, sehingga metode dan materi dakwah

dapat diselaraskan dengan suasana dan keadaan masyarakat yang berubah.10

Dari definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa da’wah pada dasarnya merupakan

suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja oleh pelaku dakwah (da’i) untuk

memberikan motivasi kepada individu atau kelompok (sasaran dakwah) untuk mencapai tujuan

di atas yaitu, bahagia di dunia dan akhirat. Jadi bisa diperhatikan bahwa materi dakwah selalu

bepijak pada 2 hal:

1. Dakwah yang berorientasi keakhiratan.

2. Ajakan untuk meningkatkan perihal keduniawian

Manusia pada umumnya ingin memenuhi kebutuhan yang bersifat keduniaan sebagai berikut :

a. Kebutuhan fisik

b. Kebutuhan keamanan

c. Kebutuhan sosial

d. Kebutuhan penghargaan, dan

e. Kebutuhan aktualisasi diri

Menurut Al-qur'an, dalam melakukan dakwah harus berdasarkan prinsip bahwa manusia

yang dihadapi (mad'uw) adalah makhluk yang terdiri dari unsur jasmani, akal dan jiwa dengan

demikian mereka harus dipandang dan diperlakukan dengan keseluruhan unsur-unsur tersebut

secara simultan dan serentak. Pembangunan di Indonesia yang fokus pada pertumbuhan dan

pemerataan ekonomi, cenderung mengalienasikan aspek spiritual. Hal ini mengacu pada

pembentukan nilai dan norma ekonomis. Dan akan menimbulkan gerakan ekonomi yang berjalan

bebas (tanpa spiritualitas dan melahirkan sikap kompetitif) yang bila tidak didukung oleh aspek

spritual, akan cenderung ke arah individualisme, materialisme, dan konsumerisme.

Pengembangan dakwah yang efektif harus mengacu pada peningkatan kualitas keislaman

dan juga kualitas kehidupan masyarakatnya, dalam hal ini dari aspek ekonominya. Karena

dakwah tidak hanya memasyarakatkan hal-hal yang religius Islami, namun juga menumbuhkan

etos kerja. Inilah yang sebenarnya diharapkan oleh dakwah bil hal yang sering disebutkan oleh

10 Amrullah Ahmad Ed., Dakwah Islam Dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta : PLP2M),

th.1985.

Page 7: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

para mubalig. Dakwah bil hal ini tidak meninggalkan maqâl (ucapan lisan dan tulisan),

melainkan lebih ditekankan pada sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan nyata yang secara

interaktif mendekatkan masyarakat pada kebutuhannya, yang secara langsung atau tidak

langsung dapat mempengaruhi peningkatan keberagamaan.

Pola pengembangan dakwah seperti ini, merupakan alih teknologi sosial yang sangat

dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sebagai imbangan alih teknologi meteriil yang tidak akan

berhenti dengan segala dampaknya. Keseimbangan antara dua teknologi itu setidaknya akan

menjanjikan ketentraman hati serta gejolak sosial, yang terkadang berakibat terhadap meluasnya

kesenjangan sosial dan stress di kalangan masyarakat awam. Keseimbangan yang dimaksud akan

mengacu ke arah tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat. Melihat kepada kebutuhan-

kebutuhan di atas, perlu diperhatikan pemilahan sasaran dakwah secara jeli agar tujuan dakwah

dapat mencapai hasil yang maksimal. Selain itu, bila dakwah berorientasi pada pemenuhan

kebutuhan kelompok, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang partisipatif.

Dengan pendekatan ini, kebutuhan digali oleh motivator dakwah (kader) bersama-sama dengan

kelompok sasaran yang akan diberdayakan. Pemecahan masalah direncanakan dan dilaksanakan

oleh kader bersama dengan kelompok sasaran.Dengan demikian, perencanaan tidak dilakukan

secara top down tetapi botom up. Dakwah jenis inilah yang dapat dikatakan dakwah yang

memberdayakan masyarakat atau disebut juga Dakwah bil hal. Banyak yang menyebut bahwa

dakwah bil hal, merupakan koreksi dari dakwah yang telah ada selama ini yang lebih banyak

terfokus pada dakwah mimbar yang monoton, sementara dana dan daya habis tanpa adanya suatu

perubahan yang berarti. Akan lebih baik, jika ada keseimbangan diantara keduanya. Sehingga

pada akhirnya ada semacam perubahan yang berarti dalam masyarakat.11

Kegiatan dakwah Islamiah itu sendiri tidak dapat lepas dari lima unsur yang harus berjalan

serasi dan seimbang. Karena pada dasarnya kegiatan dakwah merupakan proses interaksi antara

pelaku dakwah (da’i) dan sasaran dakwah (masyarakat) dengan strata sosialnya yang

berkembang. Antara sasaran dakwah dan si pelaku dakwah keduanya saling mempengaruhi,

dimana mereka sama menuntut porsi materi, media, dan metode tertentu.

11 Adnan Harahap, Dakwah Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980.

hal.43.

Page 8: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

Strategi dakwah akan berhasil jika kelima unsur tersebut berjalan dengan seimbang. Ini

berarti, kegiatan dakwah bukan bukan sekedar memberikan pengajian di atas mimbar di hadapan

masyarakat yang luas serta heterogen. Namun lebih dari itu, dakwah menuntut tumbuhnya suatu

kesadaran bagi masyarakat yang mendengarkan dakwah tersebut agar pada gilirannya mampu

melakukan perubahan positif dari pengamalan dan wawasan agamanya. Kita tidak bisa

mengukur keberhasilan sebuah kegiatan dakwah dari banyaknya jumlah pengunjung yang

melimpah pada suatu forum pengajian dan hebatnya mubalig yang lucu, dan kocak. Sementara

biaya yang keluar relatif banyak tanpa diimbangi dengan evaluasi dari massa

pengunjungnya.Pengembangan dakwah Islamiah merupakan proses interaksi dari serangkaian

kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan umat Islam.

Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan,

penghayatan, dan pengamalannya. Sebagai suatu proses maka tuntutan dasarnya adalah

perubahan sikap dan perilaku yang diorientasikan pada sumber nilai yang Islami.12

Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya.

Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan. Kedua, dengan mendorong terjadinya perubahan

sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan.

Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan secara sepihak oleh

pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, yang mengutamakan besarnya

massa.Pendekatan partisipatif menghendaki sasaran dakwah dilibatkan dalam perencanaan

dakwah, bahkan dalam penggalian permasalahan dan kebutuhan. Disinilah akan tumbuh dimensi

ide dan gagasan baru, di mana para da’i berperan sebagai pemandu dialog-dialog keberagamaan

yang mincul dalam mencari alternatif pemecahan masalah.

Dakwah Islamiah dituntut untuk bisa meletakkan Islam pada posisi pendamai dan pemberi

makna terhadap konflik dalam kehidupan manusia, akibat globalisasi di segala bidang. Dengan

demikian, ajaran Islam menjadi alternatif bagi upaya mencari solusi pengembangan sumber daya

manusia seutuhnya. Dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat ada dua hal

yang dapat dilakukan. Pertama, memberi motivasi kepada kaum Muslimin yang mampu untuk

12 Amrullah Ahmad Ed., Dakwah Islam Dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta : PLP2M),

th.1985.

Page 9: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

menumbuhkan solidaritas soial. Kedua, yang paling mendasar dan mendesak adalah dakwah

dalam bentuk aksi-aksi nyata dan program-program yang langsung menyentuh kebutuhan.

Dakwah dalam bentuk ini sebenarnya sudah banyak dilaksanakan oleh kelompok-

kelompok Islam, namun masih masih sporadis dan tidak dilembagakan, sehingga menimbulkan

efek kurang baik, misalnya, dalam mengumpulkan dan membagikan zakat. Akibatnya fakir

miskin yang menerima zakat cenderung menjadi thama’ (tergantung). Dalam rangka

memberdayakan masyarakat Indonesia, dalam hal ini yang masih hidup di bawah garis

kemiskinan. Kita tidak dapat hanya memberi saja (zakat). Namun, juga diberikan semacam

modal, pengetahuan serta skill yang cukup agar mereka dapat mulai memberdayakan diri.

Jika kita melihat lembaga-lembaga sosial yang ada maka ditemukan ada 3 macam:

1. Lembaga yang bersifat karikatif, dalam bentuk bantuan, jasa atau barang.

2. Lembaga yang bersifat pengembangan swadaya masyarakat yang dibantu.

3. Lembaga yang berbicara tentang konsep, ideology atau strategi alternatif pembangunan.

Walaupun yang diugkapkan ini berelevansi lebih ke global, tetapi pemkiran yang ia

kemukakan dapat juga diterapkan di Indonesia.

Dakwah dapat juga dalam bentuk pengembangan masyarakat. Diantara keduanya terdapat

persamaan yang cukup mendasar. Karena pengembangan atau pemberdayaan masyarakat

merupakan proses dari serangkaian kegiatan yang mengarah pada peningkatan taraf hidup dan

kesejahteraan masyarakat. Kesamaan antara keduanya yaitu bahwa dakwah dan pengembangan

masyarakat sama-sama ingin mencapai kesejahteraan serta sama-sama meningkatkan kesadaran

berperilaku dari yang tidak baik kepada perilaku baik.

Hasil dari usaha dakwah bil hal ini juga memiliki implikasi atau pengaruh terhadap

pengembangan masyarakat, yaitu :

1. Masyarakat yang menjadi sasaran dakwah, pendapatannya bertambah untuk membeiayai

pendidikan, atau memperbaiki kesehatan;

2. Dapat menarik partisipasi masyarakat dalam pembangunan, karena masyarakat tersebut

terlibat dari tahap perencenaan sampai pelaksanaan dakwah bil hal;

3. Dapat mengembangkan swadaya masyarakat dan dalam proses jangka panjang dapat

menumbuhkan kemandirian;

Page 10: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

4. Dapat mengembangkan kepemimpinan daerah setempat, dan terkelolanya sumber daya yang

ada. Karena kelompok sasaran tidak hanya menjadi objek tetapi juga menjadi subjek

kegiatan;

5. Terjadinya proses belajar-mengajar antar sesama warga yang terlibat dalam kegiatan. Sebab

kegiatan direncanakan dan dilakukan secara bersama hal ini menyebabkan adanya sumbang

saran secara timbal balik.

Melihat sasaran dakwah yang begitu luas, yang meliputi segenap lapisan masyarakat maka

untuk lebih dapat menjalankan dakwah secara lebih menyebar, penggunaan media serta

kecanggihan teknologi merupakan suatu hal yang wajib. Karena kita tentunya tidak ingin

dikatakan ketinggalan jaman. Dakwah secara konvensional harus mulai melakukan strategi-

startegi yang sesuai kemajuan teknologi agar penampilan dari dakwah itu sendiri mendapat

tempat di hati kelompok sasaran dakwah.

Tradisi baru LSM Muslim dalam bentuk bank syari’ah dan organisasi penggalangan SIZ

yang digagas dan dibangun oleh oleh kalangan intelektual Muslim telah meretas sebuah rumusan

baru da’wah Islam di Indonesia. Jika diletakkan dalam perkembangan gerakan Islam di

Indonesia, lembaga-lembaga tersebut semakin memperkaya organisasi-organisasi dan gerakan-

gerakan Islam. Dan jika diletakkan dalam konteks da’wah dan permberdayaan masyarakat,

lembaga-lemnbaga tersebut telah membumikan konsep da’wah bi al-hal yang selama ini

mencari-cari bentuk penerapan.13

DA’WAH TRANSFORMATIF

Da’wah dengan mengandalkan dua tipe tersebut merupakan da’wah yang transformatif.

Yaitu da’wah yang tidak menjadikan aspek verbal sebagai sayap utama dalam penyampaian

materi-materi keislaman terhadap objek da’wah, tetapi berusaha mengadakan internalisasi nila-

nilai Islam ke dalam ruang lingkup masyarakat secara nyata. Baik yang bersifat pendampingan,

seperti desa binaan, maupun advokasi terhadap hak-hak masyarakat untuk mendapatkan akses

ekonomi yang lebih baik. Jika ini dilakukan dengan baik, da’wah tidak hanya dikenal mampu

memberdayakan tingakat relijiusitas masyarakat, tetapi juga dapat menegaskan kemapanan sosial

mereka yang pada gilirannya akan melahirkan perubahan sosial.

13 Arief Subhan, Da’wah dan pemberdayaan masyarakat, dalam Kusmana (Ed), Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan sosial, (Jakarta : IAIN Indonesian Sosial Equity Project), cet.1, th.2006, hal.26-27.

Page 11: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

Setidaknya ada lima (5) indikator yang mesti melekat dalam dakwah transformatif dalam

pandangan Khamami Zada :

1. Dari aspek materi dakwah; ada perubahan yang berarti; dari materi ubudiyah ke materi

sosial. Dalam kerangka ini, seorang da’i diharapkan mampu mengambangkan materi-

materi da’wahnya hingga mencakup isu-isu sosial yang berkembang dan dibutuhkan

oleh masyarakat. Sebagai contoh, materi-materi seperti korupsi, kemiskinan, dan

penindasan layak untuk disosialisaikan lebih jauh kepada mereka. Seorang juru da’wah

tidak lagi terlalu terpokus pada upaya mendiskreditkan agama lain jika terjadi

permalasahan dalam masyarakat. Tetapi berusaha mengambil langkah nyata yang bisa

mengangkat citra masyarakat Muslim menjadi lebih baik dan lebih beriorientasi ke

depan.

2. Dari aspek metodologi terjadi perubahan; dari model monolog ke dialog. Dalam hal ini,

metodologi penyampaian juru da’wah tidak lagi bertumpu pada podium dengan retorika

yang menarik serta pendengar yang hanya bisa menilai baik buruknya tampilan sang

da’i. Tetapi, dalam bentuk da’wah seperti ini, keterlibatan masyarakat dalam

mengungakap permasalahan menjadi menonjol. Karena da’i tidak lagi monolog dalam

penyampaiannya tetapi telah beralih kepada proses dialog yang memperlihatkan

keakraban masyarakat dengan juru da’wahnya. Jika kita menela’ah da’wah Rasulullah

saw, tampak bahwa perubahan sosial yang terjadi dengan da’wahnya lebih disebabkan

oleh tampilnya Rasul dalam lingkup kemasyarakatan lebih luas. Terhitung dalam

sepekan, da’wah Rasulullah yang bersifat formal hanya ditemukan ketika hari jum’at

dalam khotbahnya saja. Selebihnya mengarah kepada dialog maupun pertanya yang

timbul akibat adanya permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat.

3. Menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Selama ini, da’wah lebih

banyak dilakukan secara personal sehingga efek sosial yang ditimbulkan cendrung

minimal. Walaupun memang tidak dipungkiri bahwa juru da’wah personal juga berasal

dari intitusi pendidikan tertentu. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa

personalitas mereka lebih menonjol dibanding kehadirannya dalam institusi da’wah

tertentu. Institusi sebagai basis gerakan diharapakan dapat memberikan legitimasi yang

lebih kuat kepada juru da’wah. Jaringan dan sumber daya tidak hanya milik sendiri,

Page 12: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

melainkan juga ada pada orang lain, karena itu, institusi menjadi sesuatu yang penting

untuk menjadi basis dari gerakan sosial. Itu sebabnya, agar para juru dakwah lebih

mudah melakukan pendampingan masyarakat, mereka perlu menggunakan institusi yang

kuat.

4. Ada wujud keberpihakan pada mustad’afin. Rasa empati sosial merupakan prasyarat bagi

juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif. Dengan empati ini, juru

da’wah tampil dibaris depan untuk merencanakan berbagai upaya yang bisa bernilai

ekonomis bagi masyarakatnya. Kehadiran BMT yang kita saksikan saat ini dapat

dimanfatkan secara maksimal sehingga usaha-usaha yang dilakukan masyarakat dapat

terbantu denga suntikan modal yang difasilatasi oleh sang da’i.

5. para juru dakwah melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu

kasus yang terjadi di daerahnya agar nasib para petani, nelayan, buruh, dan kaum

tertindas lainnya didampingi. Inilah puncak dari para juru dakwah yang menggunakan

pendekatan transformatif. Hasil akhir dari dakwah transformatif adalah mencetak para

juru dakwah yang mampu melakukan pendampingan terhadap problem-problem sosial

yang dihadapi masyaraat.14

EFEK PERUBAHAN SOSIAL DA’WAH

Perubahan sosial menurut Henry Pratt dan Fairchild, sebagaimana dikutip oleh Simuh15,

adalah sebuah variasi aatu modifikasi dalam beberapa aspek baik mengenai proses, pola dan

bentuk soisal. Terdapat tiga pendekatan terhadap perubahan sosial kumulatif, yaitu : (1)

Pendekatan yang memandang pola-pola yang bisa digeneralisir dalam hal bagaiman semua aspek

perubahan terjadi.(2) Pendekatan yang mencari penjelasan terhadap semua pola komulasi yang

14 Khamami Zada, Da’wah Transformatif : Mengantar da’i sebagai pendamping masyarakat, (Jakarta : PP Lakpesdam NU), cet.1, th.2006, hal.

15 Simuh, Islam Tradisonal dan Perubahan Sosial, dalam Islam dan Hegemoni Sosial, Drs Khaeroni dkk (ed), (Jakarta : Media Cita), Cet.1, th.2001, hal.5.

Page 13: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

didasrkan poada teori evolusi. (3)pendektan yang berpendapat bahwa tidak ada evolusi tunggal

bagi semua perubahan dalam sejarah manusia.16

Terjadinya perubahan sosial biasanya melalui peroses, Pertama : upaya masyarakat untuk

mengkuti perubahan yang pada pase awal dianggap sebagai penyimpangan. Kedua : penyedian

saluran yang mendukung terjadinya perubahan soisal dalam masyakat yang terwujud pada

lembaga-lembaga, baik lembaga ekonomi, da’wah ataupun lembaga pendidikan. Ketiga :

terjadinya reorganisasi sosial. Yakni adanya pelemahan terhadap unsur tradisi lama yang

kemudian digantikan oleh tradisi baru sesuia dengan system yang dipersiapkan.17

MODEL PERUBAHAN

Ada dua pilihan metode untuk melahirkan sebuah kondisi baru sebagai sebuah terapi bagi

kondisi yang hendak di perbaiki tadi, pertama dengan cara evolusi dan kedua dengan cara

revolusi18

1. Model Evolusi

Cara evolusi merupakan cara yang paling mudah di lakukan, aman bagi jalannya sistem

yang sedang berlaku tapi dari sisi waktu tempuh akan banyak menghabiskan hitungan yang

tidak sedikit. Proses perubahan seperti ini juga cenderung hanya “melingkar” di tingkat elit

saja dan sedikit sekali mengakomodasikan input dari grass root yang muncul ke permukaan

sebagai reaksi atas berbagai kebijakan elit yang selama ini berkuasa. Konsekunsi logis dari

perubahan model ini akan menempatkan rezim yang sedang asyik berada dalam tampuk

kekuasaanya dengan leluasa memilih agenda-agenda perubahan yang ada berdasarkan

“aman atau tidak” bagi kekuasaannya.19

Perkembangan masyarakat secara umum sebagaimana digambarkan oleh teori evolusi

seperti berikut: (1) bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah layaknya garis lurus.

Dalam hal ini, masyarakt dipandang bergerak dari bentuk primitif menuju bentuk modern. 16 Edgar Borgotta & Marie L. Borgotta (ed), Ensklopedia Of Sociology, ( New York : Macmillan Publishing

Company ), th1992.17 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Persfektif Sosio Kultural, (Jakarta : Lantabora Press), cet.3, th.2005,

hal.16.18Nana Sudiana, Islam dan perubahan sosial politik, (http://nsudiana.wordpress.com/2007/12/24/Islam-dan-

perubahan-sosial-politik/. Diakses pada hari senen tanggal 20 juli 2009. 19 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), cet.1, th.2001, hal.198.

Page 14: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

Ringkasnya, bentuk dunia ke depan dapat diprediksi bahwa dalam beberapa waktu ke depan

kemajua pasti akan diperoleh, (2) teori evolusi membaurkan antara pandangan subjektifnya

tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial. Perbuahan menuju masyrakat moderen

adalah perkembangan yang tidak bisa dihindari dalam teori ini. Karenanya semua kebaikan

seperti kemajuan dan kemanusiaan dan modernitas dianggap sebagai hasil dari

perkembangan masyarakat yang selalu dicita-citakan.20

 Tidaklah mengherankan model ini kurang populer, apalagi di negara-negara Dunia

Ketiga yang perubahan politiknya secara umum masih cukup eksplosif. Tidak perlu tokoh

yang cukup kharismatik atau terkenal dalam model ini, karena sepenuhnya kewenangan

hendak kemana arah perubahan yang terjadi terletak di tangan penguasa sendiri. Elit

penguasa serta pihak-pihak tertentu saja yang bisa terlibat dalam merumuskan berbagai

persoalan yang ada, yang tentu saja sangat bias kepentingan. Figur-figur di luar lingkaran

kekuasaan hanya memberikan respons-respons minimal sebatas masukan atau paling

maksimal adalah melakukan pressure, itu pun jika ada ruang kebebasan yang cukup untuk

melakukan hal itu.

2. Model Revolusi

Revolusi merupakan upaya perubahan ide-ide secara mendasar yang disertai dengan

perubahan struktur-struktur social.21 Cara ini dipandang cukup popular mengignat kalangan

gerakan social atau gerakan pembebesan terkadang memilih cara-cara seperti ini. Jika dilihat

dari aspek waktu yang dibutuhkan, tampak memang bahwa revolusi adalah metode tercepat.

Sekaki pun korban yang dibutuhkan juga banyak karena perubahan yang demikian ekstrim

mensyaratkan terjadinya perubahan struktur social secara mendasar. Padahal struktur social

yang terbentuk adalah merupakan bagian dari proses panjang yang melibatkan partisipasi

beragam kepentingan dan tujuan. Maka tidaklah nengherankan jika antropolog aliran

fungsionalisme tidak mendukung terjadinya revolusi social sebagimana disinggung pada

bagian awal makalah ini. Cara ini, jika berhasil memang dengan cepat dapat diukur tingkat

keberhasilannya. Karena memang pola yang digulirkan adalah mengikuti alur yang serba

instant. Perubahan dengan model rovolusi ini biasanya menjadikan politik sebagai medium

utama dan kekuasaan sebagai target akhirnya.

20 Suwarsono dan Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, (Jakarta :PT Pusataka LP3ES), cet.3, th.2000, hal.10.

21 Haque, Ziaul, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakrta : LKiS), cet.1, th.2000, hal.17

Page 15: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

Pemikiran tentang revolusi sendiri memiliki banyak varian pengertian dan pada

umumnya berangkat dari sebuah proses kegelisahan, kecemasan serta ketidakpastian akan

kondisi yang sedang terjadi. Saat kita membicarakan tentang perubahan sosial secara

revolutif, maka kita hampir tidak akan bisa memisahkan diri dari kaitannya dengan masalah

politik di sebuah negara. Sebelum sebuah revolusi sosial terjadi, biasanya terjadi suatu

proses alienasi kekuasaan. Alienasi ini terjadi karena kekuasaan yang ada semakin

meninggalkan kepentingan-kepentingan rakyat dan justeru seolah menjadi bagian lain dari

pranata yang ada.22

Revolusi sosial yang terjadi di Barat kondisinya berbeda dengan apa yang terjadi di

Timur. Barat cenderung menunjukkan nilai-nilai perubahan itu berawal dari terancamnya

nilai-nilai kebebasan individu atau kelompok oleh sebuah sistem yang dominan dan atau

sedang berkuasa. Sedangkan revolusi di dunia Timur justru berawal dari adanya sistem atau

kekuatan dominan yang berlaku sewenang–wenang dengan mengabaikan kepentingan

mayoritas yang ada. Kondisi obyektif golongan mayoritas yang sedang berada di bawah

pengaruh kekuatan dominan ini sama sekali tidak memiliki political bargaining yang cukup

sehingga hanya jadi obyek eksploitasi tirani minoritas yang sedang berkuasa. Selain kondisi

ini, Timur juga memiliki “nilai tambah” yang lain dalam sisi sumber energi yang

menumbuhkan kekuatan untuk bergerak dan melakukan perlawanan di kalangan mereka,

yakni agama. Dunia Timur, sebagai dunia yang secara historis tidak bisa dilepaskan dengan

pertumbuhan serta perkembangan agama-agama besar dunia, memiliki energi dan semangat

yang cukup kuat untuk tetap bertahan dan kemudian bangkit melawan kekuatan yang

mendominasinya, apalagi kekuatan itu merupakan kekuatan asing yang memiliki perbedaan

yang tegas dari sisi nilai-nilai agama.

3. Model Reformasi

Kedua pilihan tadi pada dasarnya tidak akan terlepas dari sejumlah kelebihan dan

kekurangan, paling tidak masih ada cara Ketiga yang ternyata banyak negara

menggunakannya untuk merombak sistem yang sedang berjalan. Cara ini pun sebenarnya

bukan cara yang bersih dari bakal adanya korban yang jatuh tapi, dalam beberapa hal cara

22 Nana Sudiana, Islam dan perubahan sosial politik, (http://nsudiana.wordpress.com/2007/12/24/Islam-dan-perubahan-sosial-politik/. Diakses pada hari senen tanggal 20 juli 2009.

Page 16: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

ini merupakan cara kompromis antara penguasa dengan rakyatnya. Cara ini kalau bisa

berjalan dengan baik akan menjembatani kehawatiran-kehawatiran yang muncul berkaitan

dengan prediksi akan adanya korban yang ada. Dalam konteks Indonesia, pilihan terhadap

cara ini bisa kita saksikan dalam rentang perjalanan sejarah bangsa ini saat mengambil

middle way sebagai sebuah pilihan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konsep jalan tengah ini ter-representasikan saaat TNI meluncurkan sebuah paradigma baru

dalam menata dirinya dengan wujud Dwi Fungsi ABRI, ternyata cara seperti ini pula yang

pada akhirnya–dengan kesadaran atau terpaksa–banyak mengilhami kalangan terbesar

bangsa ini dalam mereformasi dirinya pada peristiwa puncak reformasi di bulan Mei 1998

sebagai sebuah momentum perubahan besar bangsa.

Islam tidaklah mementingkan perubahan yang mana dari ketiga bentuk di atas yang

hendak diterapkan. Dalam Islam, faktor yang terpenting adalah bagaimana sebuah perubahan

terjadi dan berjalan dalam koridor keislaman yang seharusnya. Namum demikian, jika kita

berkca kepada kenyataan bahwa para nabi dating dengan konsep wahyu tentang realitas, maka

dipastikan bahwa perubahan yang mereka usung bersifat revolusioner.23 Sebagai contoh,

pertentangan antara Nabi Muhammad saw. dengan kaum Quraysy Jahiliyyah, memiliki dua

aspek yang berhubungan erat yaitu aspek keagamaan dan aspek sosial. Aspek keagamaan

bermuara pada kepercayaan tentang Tuhan dengan keharusan meninggalkan ritual sesembahan

masing-masing qabilah untuk kemudian beralih menyembah Allah yang Esa. Ditambah lagi

dengan kepercayaan tentang alam akhirat yang menjadi tempat pertanggungjawaban perbuatan

manusia yang belum pernah didengar oleh orang Quraisy dari nenek moyangnya. Ternyata,

aspek keagamaan yang dianut oleh suku-suku Jahiliyyah ini sekaligus menjadi sebuah ikatan

sosial yang mepersatukan anggota-anggota dari masing-masing suku. Sehingga, menganut ajaran

Islam berarti dianggap keluar dari ikatan kesukuan yang telah ada dan mengubah tatanan

kekuasaan pada masyarakat Jahiliyyah. Dengan demikian, tampak bahwa da’wah nabi

Muhammad, jka dilihat dari paket perubahan yang ditawarkan dan penolakan kaum Quraisy,

merupakan da’wah denga semangat revolusi yang dikemudian hari terbukti merombak tatanan

jahiliah yang berjouis dan anti terhadap kaum proletar.24

23 Haque, Ziaul, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakrta : LKiS), cet.1, th.2000, hal.24 Sulhani Hermawan, Masyarakat Jahiliyah : Studi Historis Tenang Karakter Egaliter Hukum

Islam, http://74.125.153.132/search?q=cache:_tEhfyVFANMJ:www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%2520Sulhani%2520Hermawan.doc+islam+dan+perubahan+sosial&cd=51&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a. Diakses

Page 17: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

Ada beragam penelitian kualitatif yang dikembangkan dalam rangka menunjukkan

peranan da’wah dalam perubahan sosial masyarakat. Erni budiyandti misalnya, berupaya

memformulasikan aktifitas da’wah yang dilakukan oleh Tuan Guru di Lombok Barat. Dalam

penelitian tersebut, Bayan diperkenalkan sebagai basis Waktu Telu yang lambat laun meredup

tradisi keberagamaannya akibat pengaruh da’wah yang dilakukan oleh Waktu Lima. Waktu Telu

di sini adalah sebuah keyakinan masyarakat Islam yang dipengaruhi elemen-elemen lokal

setempat. Semenatara Waktu Lima adalah kumpulan orang Muslim yang menjadikan Islam

ortodoks sebagai panduan keberagamaannya. Da’wah yang dikembangkan oleh Tuan Guru,

berdasarkan penelitian Erni, berkisar pada beberapa aspek, berupa da’wah di masjid, seperti

khutbah, pengajian biasa, pendirian madarasah dll25

Kedatangan Islam ke Lombok berwal pada abad ke-13 setelah kejatuhan kerajaan Hindu

Majapahit. Dengan silih bergantinya penguasa yang berpengaruh di Lombok dengan pengaruh

agama yang dibawah masing-masing, pada akhirnya masyarakat Sasak terpolarisasi menjadi dua

kelompok : Islam sasak Waktu Telu dan Waktu Limo. Setelah era wali dari Jawa, khusunya abad

ke-19 perkembagan da’wah di Lombok dipelopori oleh Tuan Guru. Tuan Guru merupakan

pemimpin setempat yang kharismatik. Pengaruh mereka telah lama meluas sebelum Belanda

menjajah Lombok. Pengaruh Tuan Guru makin meluas setelah mereka pergi haji ke Makkah.

Setelah menunaikan haji, beberapa orang tidak langsung pulang ke tanah air, tetapi mereka

melanjutkan pendidikan di Makkah dan sekitarnya untuk beberapa tahun. Setelah mereka

kembali ke Lombok, banyak anggota masyarakat yang berusaha berguru kepada mereka tentang

peraktek keislaman. Murid-murid mereka makin hari makin bertambah sehingga rumah tempat

tinggal Tuan Guru tidak lagi memadai untuk menampung para pelajar tersebut. Sehingga

munculllah ide pendirian pondok pesantren di sekitar rumah. Lambat laun sekolah rumah

tersebut berubah menjadi sekolah formal layaknya SD, SMP dan SMA.26

Adapun strategi pengembangan da’wah yang dilakukan oleh Tuan Guru di antaranya

adalah penggunanaan kekuatan ghaib yang berbau mistis. Hal ini mirip dengan strategi

pengembangan da’wah yang dilakukan oleh para wali di Jawa sebelumnya. Beberapa Tuan Guru

pada hari senen tanggal 20 juli 2009.25 Erni Budiwanti, Islam Sasak : Wetu Telu Versus Waktu Lima, (Yogyakarta : LKiS), Cet.1, th.200026 Erni Budiwanti, Misi dakwah dan transformasi sosial : Studi Kasus di Bayan, Lombok Barat, dalam Jurnal

Masyarakat dan Budaya, (Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI), Vol.II, No.1, th.1998, hal.43.

Page 18: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

dikenal di Lombok pernah memperagakan tehnik ini dalam berda’wah. Tuan Guru Mutawalli,

pimpinan pondok pesantren Darul Yatama Wa al-Masakin, pada tahun 1960 pernah menanpilkan

kekuatan ghoibnya, setelah sebelumnya mempelajari tokoh karismatik dan dianggap memiliki

kekuatan ghaib yang sangat dikagumi oleh penganut Waktu Telu. Namun memasuki abad 20,

strategi demikian tidak lagi dipergunakan oleh Tuan Guru. Tetapi, Budiwanti melihat strategi

yang dikembangkan kemudian adalah kerjasama dengan penguasa lokal maupun lembaga swasta

dan luar negeri untuk membantu misi da’wahnya. Selain itu, desa tertinggal dijadikan sebagai

penyebaran misi da’wah oleh Tuan Guru tertentu dengan berusaha memperhatiakan aspek sosial

kemasyarakatan. Sebagai hasil kerjasma dengan pemerintah, Tuan Guru mendapatkan bantuan

dari Depsos untuk membiayai program pelatihan da’i yang dibekali dengan keterampilan seperti

pertukangan, pertanian, reparasi mesin, perbengkelan dan tehnik listrik. Selain itu, mereka juga

dibekali ilmu psikologi dan komunikasi. Di Bayan misalnya, para dai terlibat dalam mengatasi

masalah sanitasi, program KB dan program pendirian toilet umum bagi masyarakat.

Sementara itu, dalam konteks lebih luas, da’wah yang dipelopori oleh ulama Indonesia

yang berusaha membentuk jaringan dengan intelektual timur tengah pada abad 17-18 dikupas

denga seksama oleh Azyumardi Azra. Tokoh seperti Nuruddin al-Raniri, Abdul Ra’uf al-Sinkili

dan Muhammad Yusuf al-Makassari ditelaah dengan seksama sehingga akar pembaharuan

pendidikan Islam pada zaman modern terlihat dengan sangat jelas berdasarkan penelusuran

geneologi keilmuan ulama Indonesia tersebut.27

Jika kita melihat penomena pasca terjadinya reformasi di Indonesia, munculnya perhatian

lembaga-lembaga keagamaan yang berusaha merokonstruksi ekonomi kaum lemah dengan

sistem ekonomi syari’ah semakin menjamur. Zakat merupakan salah satu instrumen yang

menjadi agenda dalam hal ini. Sirojuddin Abbas berusaha melihat bagaimana eksperimen

lembaga-lembaga zakat di Indonesia dalam mengumpulkan dan menyalurkan dana sosial kepada

masyarakat. Dalam penelitiannya, Sirojuddin mencatat bahwa pada tahun 2003 telah terbentuk

satu BAZIZ tingkat nasional, 24 tingkat propensi, 277 tingakat kabupaten, 3160 tingkat

kecamatan dan 38.117 tingkat kelurahan. Ini belum termasuk lembaga-lembaga serupa yang

berbasis LSM, Masjid, dan pesantren. Gejala ini memberikan indikasi bahwa masyarakat Muslim

27 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII & XVIII, (Jakarta : Prenada Media), edisi Revisi, th.2004.

Page 19: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

Indonesia telah memberikan kepercayaan terhadap sistem kesejahteraan sosial yang ada dalam

tradisi Islam.28

Contoh kasus yang diangkat Sirojuddin adalah Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF)

Surabaya. Lembaga ini menerapkan cara yang unik dalam menjaring dana dari masyarakat.

Dengan pro aktif mereka menghubungi para calon investor melalui surat penawaran bantuan

penghitungan dan pengumpulan dana zakat atau dengan mendatangi perkantoran untuk

prersentasi di hadapan para calon donor. Selanjutnya, lembaga ini mengembangkan sistem basis

data sebagai wujud pertanggungjawaban dan pemutakhiran informasi yang dilakukan. Dengan

ini, YDSF berhasil mengembangkan jumalah muzakkinya dari tahun ke tahun. Cara ini

kemudian dikembangkan oleh LSM Muslim lainnya. Bahkan dalam tataran yang lebih massif,

cara demikian dilakukan oleh Dompet Dhuafa Republika. Dengan jangkauan pemberitaan yang

digarap oleh Republika, DD dengan mudah melaporkan perkembangan dana yang terkumpul,

setelah sbelumnya meliput da’erah miskin yang sedang dibiayai. Selain itu, kerjasama yang

dilakukan dengan sejumlah stasiun telepisi nasional telah memperluas cakupan muzakki yang

bisa dijaring oleh DD. Pada tahun 2004 saja, DD mampu mengumpulkan dana lebih dari Rp 20

milyar.29

KESIMPULAN

Berdasrkan paparan di atas maka bisa kita disimpulkan bahwa da’wah sebagai sebuah

upaya untuk menawarkan Islam sebagai alternatif bagi kehidupan masyarakat memiliki kekuatan

yang mampu merubah kondisi yang sebelumnya statis dengan ketidakberdayaan sebagai cirinya

menjadi masyarakat yang memilki orientasi ke depan. Peranan da’i yang mulai meleburkan diri

dengan beragam permasalahan masyarakat lemah dapat menjadi solusi yang diharapakan.

Apalaai dengan wujudnya lembaga-lembga keislaman yang memberikan konstribusi signifikan

pada pembelaan kaum marjinal dengan mempbilisasi zakat dari perkotaan menuju kantong-

28 Sirojuddin Abbas, Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Investasi Sosial, dalam arief Subhan dan Yusuf Kilun (ed) “Islam yang Berpihak :filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial”, (Jakarta : Da’wah Press), th.2007, hal.22 (catatan kaki).

29 Sirojuddin Abbas, Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Investasi Sosial, dalam arief Subhan dan Yusuf Kilun (ed) “Islam yang Berpihak :filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial”, (Jakarta : Da’wah Press), th.2007, hal.17-18.

Page 20: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

kantong kemiskinan. Apa yang terjadi dibayan, sekalipun yang menjadi sasarannya adalah

kelompok keberagamaan yang berciri khas sinkretisme, bisa menjadi bukti bahwa da’wah

dengan segala keruwetannya mampu mendatangkan perubahan positif bagi objek da’wah itu

sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

John M Echol dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : PT Gramedia), cet.24, th.1997.

Erni Budiyanti, Misi dakwah dan transformasi sosial : Studi Kasus di Bayan, Lombok Barat, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, (Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI), Vol.II, No.1, th.1998.

Mahmuddin dan Try Hadiyanto sasongko, Analisis Sosial, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), th.2006.

Abu Ridho, Problematika Da’wah : Problem visi dan Implementasinya, dalam Adi Sasono dkk, “Solusi Islam atas Problematika Ummat, (Jakarta : Gema Insani Press), th.1998.

Abdul Karim Zaidan, Ushul al-Da’wah, ( Baerut : Maktabah al-Risalah), cet.3, th.1988.

Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Turki : al-Maktabah al-Islamiyah), vol.1, cet.3, tth. .

M Kholis Hamdi, Da’wah dan permberdayaan masyarakat, http://pmii-ciputat.or.id/Islam-a-keagamaan/157-dakwah-dan-pemberdayaan.html (diakses pada hari senen tanggal 20 juli 2009.)

Arief Subhan, Da’wah dan pemberdayaan masyarakat, dalam Kusmana (Ed), Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan sosial, (Jakarta : IAIN Indonesian Sosial Equity Project), cet.1, th.2006.

Khamami Zada, Da’wah Transformatif : Mengantar da’i sebagai pendamping masyarakat, (Jakarta : PP Lakpesdam NU), cet.1, th.2006.

Simuh, Islam Tradisonal dan Perubahan Sosial, dalam Islam dan Hegemoni Sosial, Drs Khaeroni dkk (ed), (Jakarta : Media Cita), Cet.1, th.2001.

Edgar Borgotta & Marie L. Borgotta (ed), Ensklopedia Of Sociology, ( New York : Macmillan Publishing Company ), th1992.

Page 21: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Persfektif Sosio Kultural, (Jakarta : Lantabora Press), cet.3, th.2005.

Nana Sudiana, Islam dan perubahan sosial politik, (http://nsudiana.wordpress.com/2007/12/24/Islam-dan-perubahan-sosial-politik/.

Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), cet.1, th.2001.Suwarsono dan Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, (Jakarta :PT Pusataka

LP3ES), cet.3, th.2000.

Haque, Ziaul, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakrta : LKiS), cet.1, th.2000.

Erni Budiwanti, Islam Sasak : Wetu Telu Versus Waktu Lima, (Yogyakarta : LKiS), Cet.1, th.2000

Budiwanti, Misi dakwah dan transformasi sosial : Studi Kasus di Bayan, Lombok Barat, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, (Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI), Vol.II, No.1, th.1998.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII & XVIII, (Jakarta : Prenada Media), Edisi Revisi, th.2004.

Sirojuddin Abbas, Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Investasi Sosial, dalam arief Subhan dan Yusuf Kilun (ed) “Islam yang Berpihak :filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial”, (Jakarta : Da’wah Press), th.2007.

Amrullah Ahmad Ed., Dakwah Islam Dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta : PLP2M), th.1985.

M. Masyhur Amin, Metoda Da’wah Islam Dan Beberapa Keputusan Pemerintah Tentang Aktivitas Keagamaan, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980.

Adnan Harahap, Dakwah Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Sumbangsih), th.1980.

M Kholis Hamdi, Da’wah dan permberdayaan masyarakat, http://pmii-ciputat.or.id/Islam-a-

keagamaan/157-dakwah-dan-pemberdayaan.html

Nana Sudiana, Islam dan perubahan sosial politik, (http://nsudiana.wordpress.com

/2007/12/24/Islam-dan-perubahan-sosial-politik/

Page 22: Misi Da'wah dan Perubahan Sosial

Sulhani Hermawan, Masyarakat Jahiliyah : Studi Historis Tenang Karakter Egaliter Hukum Islam, http://74.125.153.132/search?q=cache:_tEhfyVFANMJ:www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%2520Sulhani%2520Hermawan.doc+islam+dan+perubahan+sosial&cd=51&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a.