48
SEBUAH CATATAN MENAKLUKKAN GADGET, WAKTU, DAN DIRI SENDIRI Gede Manggala

Productivity Diary by Gede Manggala

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Productivity Diary by Gede Manggala

Productivity Diarysebuah catatan menaklukkan gadget, waktu,

dan diri sendiri

Gede Manggala

Page 2: Productivity Diary by Gede Manggala

Pengarang: gede manggala

book concept & design: rudi adriyanto kadarman

ilustrasi sampul: ngurah nala

Penerbit: Edraflo (www.edraflo.com)

2

Page 3: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

3

daftar isiPendahuluan | 4

1: Memecat iPad & Mengatur Waktu Tepat | 5

2: Berkenalan dengan Metode GTD (GTD 101) | 9

3: Produktif dengan Smartphone | 14

4: Ingin Produktif?Selalu Memaafkan Kesalahan dan Rajin-rajin Piknik | 20

5: Mengatasi Marah, Takut, dan“Amygdala Hijack” Lainnya | 23

6: Menangkap Momen “In The Zone”, Meraih “Taksu” | 28

7: Menulis Obituari Saya Sendiri | 35

Penutup: Tentang Bahagia | 39

Daftar Pustaka | 44

Tentang Penulis | 45

Tentang Tim Buku | 45

Page 4: Productivity Diary by Gede Manggala

Pendahuluansejak memutuskan keluar dari pekerjaan kantoran yang normal, ternyata saya mengalami kesulitan dalam menyesuaikan waktu dan cara bekerja. Produktivitas yang saya pikir akan naik signifikan karena menghilangkan waktu terbuang karena macet di jalan, setelah bekerja independen malah cenderung sama atau kadang-kadang lebih jelek dibanding waktu kerja kantoran.

bekerja di kantor dengan ritme yang konstan antara jam 9 pagi sampai jam 6 sore ternyata masih bisa lebih produktif jika dibandingkan bekerja di rumah 24 jam tanpa perlu kemana-mana.

apa?!? teorinya sih kerja dari rumah pasti lebih produktif. Tidak perlu menghabiskan waktu yang tidak penting seperti macet atau hal-hal lain. Kenyataannya, di akhir hari saya sering melihat hasil kerja saya hari itu nol besar!

Sejak tiga tahun terakhir saya mulai lebih serius untuk mencari metode produktivitas yang sistematis. Setelah mencoba-coba beberapa sistem, akhirnya saya menggunakan metode Get Things Done (GTD) dari David Allen sebagai referensi utama, ditambah poin-poin pikiran Tim Ferriss dalam bukunya The 4-Hour Workweek. Dari situs blog Lifehack dan diskusi dengan teman-teman (khususnya Arthur Panggabean) saya mendapatkan tips dan aplikasi yang bisa saya gunakan mendukung metode GTD. Pada akhirnya sampai saat ini saya menggunakan tiga aplikasi ini untuk menudukung saya setiap hari: Trello, Dropbox dan Evernote.

catatan ini saya buat sebagai dokumentasi pribadi dan mengundang pengalaman dan kolaborasi dari teman-teman yang mempunyai struggle yang sama. Ini bukanlah buku tentang kisah sukses atau atau tips menjadi sukses atau kaya. Ini adalah catatatn perjalanan memahami apa yang dekat dengan saya (terutama smartphone), mencoba memahami waktu, dan juga akhirnya pergulatan memahami apa yang ingin saya lakukan dalam hidup ini.

Teman-teman, terima kasih sudah membaca catatan kecil saya.

4

Page 5: Productivity Diary by Gede Manggala

1: Memecat iPad & Mengatur Waktu Tepat

Memecat iPad

Kenapa? Karena tablet ini terlalu bagus.

Penuh godaan untuk menjadi tidak produktif! alat ini begitu bagus sehingga ibaratnya Arjuna bertapa digoda bidadari-bidadari, maka saya bekerja digoda iPad.

Hasil observasi saya terhadap “alat-alat produksi” yang saya gunakan dalam bekerja sehari-hari (laptop, tablet, dan handphone) tampak jelas bahwa iPad salah satu sebab produktivitas saya yang menurun. Bukan karena alat ini lemot atau usability-nya rendah, justru sebaliknya. Karena sangat nyaman digunakan untuk menikmati online content dengan speed yang sangat bagus.

Masalah utamanya adalah produktivitas bagi saya adalah ada tangible output yang terukur. Karena perkerjaan utama saya adalah trainer/konsultan yang mulai menjajaki karir sebagai penulis, hasil yang penting bagi saya adalah presentasi/report untuk klien, materi training baru atau 1–2 halaman tulisan untuk buku atau blog. Itu baru artinya saya “menghasilkan”.

tablet tidak banyak membantu dalam menghasilkan output.iPad mempunyai tampilan visual yang sangat cantik sehingga godaan untuk mengkonsumsi input jauh lebih besar daripada kemampuan saya untuk menghasilkansebuah karya. Membaca timeline di Twitter atau Facebook terasa enak dan nyaman. Tanpa terasa sudah 2 jam hanya menelusuri berbagai komentar dan link. Di tablet, Youtube menyajikan kemampuan terbaiknya untuk menikmati banyak sekali content, dari yang bagus banget sampai sampah-sampah digital. Ini belum memasukkan aplikasi dengan desain keren seperti Flipboard dan Zite yang membuat saya menghabiskan waktu berjam-jam bersama tablet.

Sungguh bagi saya, tablet adalah alat pemuas nafsu konsumtif untuk informasi. Sewajarnya saya harus memecatnya.

tentu saja keputusan ini bersifat pribadi, karena saya tahu banyak teman saya sangat produktif dalam menggunakan tablet. Ia bisa menggambar doodle atau sketsa untuk pekerjaan atau memberikan perintah kerja melalui Whatsapp atau email. Untuk saya, kombinasi yang pas adalah laptop dan handphone.

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

5

Page 6: Productivity Diary by Gede Manggala

Mengatur Waktu yang Tepatselama bertahun-tahun saya mempunyai kebiasaan untuk memulai hari dengan membaca email. Sejak mulai bekerja di sebuah perusahaan minyak di Riau, dan email digunakan sebagai alat komunikasi utama di kantor, setiap pagi saya memulai hari dengan membaca email begitu sampai di kantor. Setelah itu baru memprioritaskan hal-hal yang harus di follow up segera dan membalas email-email penting. Saat email kantor bisa diakses dari laptop atau device yang bisa dibawa pulang, saya membaca email begitu bangun dari tempat tidur. Rasanya selalu ada urgency untuk cepat mendapat informasi dan membalas setiap email yang masuk.

saat saya bekerja di sebuah perusahaan multi nasional di Jakarta, kebiasaan itu semakin menjadi-jadi karena saya sering berhubungan dengan kantor yang berada di berbagai belahan dunia. Puncaknya saat saya mulai menjadi konsultan, saya menjadi parnter sebuah perusahaan yang time zone-nya tepat berbeda 12 jam, sehingga membaca dan membalas email hanya bersaing dengan bernafas saja. Lebih parah lagi, sejak dunia social media marak, selain membaca-membalas email, setiap saat kegiatan itu juga diselingi membaca celotehan teman-sahabat-idola di linimasa. Kadang-kadang pagi-pagi langsung hati menjadi panas atau pikiran kalut karena membaca berita korupsi atau posting yang ditulis oleh orang-orang yang suka menjadikan linimasa untuk memprovokasi ke arah negatif.

menurut tim Ferris dan banyak artikel di lifehack, kebiasaan di atas adalah cara sempurna untuk menghabiskan waktu dan energi kita! Menurut orang-orang produktif, waktu paling berharga setiap manusia adalah dalam 2 jam saat kita bangun tidur, karena otak kita masih sangat segar. Bagi yang terbiasa bangun pagi, momen setelah bangun pagi adalah waktu yang sangat penting. Menggunakan untuk membaca email dimana ada isu besar kecil disana-sini yang membawa energi negatif akan merusak mood kita, karena langsung kita masuk dalam suasana serba cepat dan serba rusuh. Tidak sempat berpikir tenang, seperti yang saya selalu rasakan.

bagaimana bagusnya?Di pagi hari (tepatnya subuh), umat Muslim melakukan shalat. Ini contoh memulai hari dengan cemerlang. Umat Hindu di Bali melakukan Tri Sandhya sebelum hari terang. dalai lama melakukan meditasi disusul lari di treadmill dan ritual berdoa sesuai tradisi Buddha Tibet. Tim Ferris memulai hari dengan meditasi. Kalau saya lihat dari semua habit diatas, terlepas dari agama atau apa yang kita percaya, bangun tidur harus saya mulai dengan keheningan dan waktu intim dengan diri sendiri.

6

Page 7: Productivity Diary by Gede Manggala

Setelah itu baru mulai menjawab pertanyaan penting ini:apa hal yang harus saya lakukan pertama pagi ini?

Sekali lagi Tim Ferris memberikan tips yang menjadi pegangan saya saat ini. Setelah waktu yang sangat personal beberapa menit dengan memanjatkan doa, meditasi atau hanya berdiam diri, kita mulai hari dengan mengajukan satu pertanyaan penting ini:“Aktivitas apa yang kalau saya lakukan pagi ini sampai selesai, itu akan membuat sisa hari saya akan jauh lebih ringan?”

ibaratnya, kalau kita terpaksa ngga ngapa-ngapain setelah yang kita kerjakan pagi ini, setoran hari ini udah beres! Tidak ada hal penting yang mengganjal pikiran.

Pertanyaan ini membantu saya untuk selalu membuat prioritas di pagi hari diantara jam 5 sampai jam 7 pagi, untuk memanfaatkan waktu saya yang paling produktif. Setelah jam 7 pagi tentu saja masih banyak yang harus dilakukan. Namun buat saya, sebelum jam 7 pagi, pekerjaan terpenting hari ini harus sudah saya lakukan. Pekerjaan atau ide yang ada di kepala. Invoice yang harus segera dikirim. Laporan selesai proyek. Atau draft buku yang belum sempat dilanjutkan. Semua dibuat dalam rencana yang harus dilakukan tiap pagi. Itulah hal yang harus saya lakukan setiap pagi; bukannya membaca timeline di media sosial ataupun membaca email.

sampai detik saya menulis ini, saya masih struggling menjadikan ini sebagai kebiasaan.

Walaupun demikian, manfaatnya sudah mulai terasa. Tidak ada lagi perasaan terburu-buru karena banyak masalah yang harus diselesaikan gara-gara saya membaca email dari handphone begitu bangun tidur. Membaca email saya lakukan secara sepintas setelah jam 7 pagi, dan baru mulai lebih detail diatas jam 9 pagi. Antara jam 7 sampai jam 9 saya coba untuk olahraga misalnya jalan kaki atau hanya exercise ringan di rumah atau mengantar anak-anak sekolah.

Media sosial saya berikan waktu sebagai pengisi waktu. Menunggu mandi, saat lagi bengong di perjalanan (di mobil, kereta), atau saat santai setelah makan siang dan terutama di sore dan malam hari. Untuk sosial media, saya mengikuti petunjuk untuk mengambil jarak. Don’t keep up, just catching up later.

Jika ingin saya simpulkan, untuk bisa produktif saya harus bisa menggunakan energi saat masih segar untuk pekerjaan paling penting di hari itu. Sebuah aktivitas yang menghasilkan output yang sesuai dengan profesi dan kebutuhan saya.

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

7

Page 8: Productivity Diary by Gede Manggala

sampai sekarang email dan media sosial adalah hal yang menjadi detractor utama saya. Selalu ada keinginan untuk mengintip sedikit, tapi lalu terjebak untuk berlama-lama. walaupun penting untuk diakses, tapi tidak perlu dilakukan sebagai hal pertama di saat kita masih segar. Banyak juga teman saya tidak terlalu terganggu oleh email atau media sosial namun menghabiskan waktu terlalu banyak di depan tv atau bermain game. Jika tidak ada output yang jelas, berarti itu adalah gangguan terhadap produktivitas. Segera atur waktu anda.

catatan:1. Mengakses sosial media sambil menunggu mandi bisa berakibat pada waktu mandi yang semakin tertunda… :)2. Waktu produktif setiap orang berbeda-beda, karena ada orang yang lebih produktif pagi hari (contohnya saya) dan sudah kelelahan di sore hari. Ada yang baru bangun jam 10 pagi setiap hari, bersantai-santai di siang hari, namun bisa sangat produktif di malam hari. Intinya adalah gunakan energi terbaik di waktu terbaik kita untuk hal yang paling penting dan menghaslkan output nyata.3. Mayoritas orang kemungkinan mempunyai ritme yang mirip dimana pagi hari digunakan untuk persiapan dan perjalanan ke kantor; namun, tetap prinsipnya sama, hal pertama yang perlu dilakukan di kantor adalah bukan membaca email, tapi mengerjakan prioritas terpenting di hari itu

8

Page 9: Productivity Diary by Gede Manggala

2: Berkenalan dengan Metode GTD (GTD 101)Seperti yang dikisahkan sebelumnya, melompat dari pekerjaan kantoran ke pekerjaan independen ternyata membawa konsekuensi pada produktivitas yang cukup rendah karena berbagai godaan dan keteteran mengelola waktu.

Kerja independen membuat saya harus mengerjakan atau terlibat langsung dengan berbagai aspek dalam mendapatkan pekerjaan karena tim tidak selengkap seperti kantor pada umumnya. Mulai dari proposal, kontrak, eksekusi, invoicing, keuangan sampai pajak, dan banyak hal lain harus dilakaukan dimana setiap aspek mempunyai pernak-pernik sendiri-sendiri. Belum ditambah dengan kesibukan sebagai orang tua dari anak-anak yang masih balita, urusan keluarga besar, sampai isu harian seperti macet. Tanpa disadari, beberapa pekerjaan mulai ada yang terselip, appointment yang terlewat dan otak yang setiap saat berusaha mengingat semua hal yang harus saya tangani.

Cognitive Overload, begitu para ahli menyebutnya.

Terlalu banyak yang harus dihandle oleh pikiran kita dalam satu periode. Kelelahan, dan kekhawatiran ada yang missed membuat saya terjebak dalam ritme yang rusuh dan gila. Crazy busy life.

Untunglah dengan bantuan internet terutama situsLifehack, saya bisa berkenalan dengan sebuah metode yang disebut Getting Things Done.

David Allen:”From Crazy Busy to Mind Like Water”

Tentu saja saya termasuk sangat terlambat mengenal metode GTD karya David Allen ini (bukunya terbit tahun 2001). Bahkan untuk saat ini masih taraf mencoba sambil dipelajari. Coba bayangkan orang yang sedang belajar nyetir mobil…nah kurang lebih itu level saya untuk metode ini. Kebetulan minggu lalu saya bertemu dengan teman saya, Adhy Hosen, dan karena membaca tulisan saya tentang GTD, ia bercerita bahwa ia pernah mengikuti seminar GTD langsung dari pemegang lisensinya di Asia Pasifik. Minimum saya tahu ada tempat bertanya.

Ketertarikan saya terhadap GTD terutama karena pandangan David Allen tentang bagaimana otak bekerja. Menurutnya, kebanyakan orang menggunakan otaknya untuk memproses, mengingat, menganalisa segala hal yang perlu kita pikirkan dan kita lakukan. Juga memproses semua informasi yang memnorbardir otak kita. Akibatnya pikiran kita menjadi “penuh” alias crazy busy.

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

9

Page 10: Productivity Diary by Gede Manggala

10

Ideal-nya, kata Pak David ini, pikiran harus seperti air: Tenang, jernih, mengalir. Hanya memikirkan hal yang perlu kita pikirkan di saat ini. Mind like water.

Oleh karenannya ia merekomendasikan kita untuk membuat sebuah proses yang sistematis yang menjadi external brain kita. Bayangkan seperti mempunyai semacam external card untuk smartphone kita yang memori-nya sudah pas-pasan dan mulai tidak smart :)

Inti dari metode GTD adalah saya harus bisa meng-capture dan menuangkan semua yang ada di pikiran kita ke dalam bentuk tertulis (manual atau digital) dan mempunyai struktur untuk menghandle itu. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan otak kita tidak terbeban oleh terlalu banyak pikiran.

Dari buku Getting Things Done, saya menggambarkan ulang diagram berpikir metode GTD ini:

Gambar 1 – Diagram Alir Get Things Done

Page 11: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

11

Step 1: Capture

Manfaat terbesar setelah saya mulai mengikuti kerangka pikir GTD ini adalah sebuah kebiasaan untuk “menangkap” dan menulis APAPUN yang ada di pikiran saya. Itulah yang disebut sebagai “stuff ” dalam diagram diatas. APAPUN yang muncul di kepala, TANGKAP dan TULIS. Awalnya saya menggunakan sticky notes/post it untuk menuliskan. Anggaplah dalam pikiran saya sedang kepikiran beberapa hal misalnya:

Proposal yang harus dibuat untuk Clien Ao Invoice yang harus dikirim untuk Client Bo Rencana mengisi/furnishing apartment untuk disewakano Teman kantor lama ngajak buka barengo Anak-anak ingin berliburo

Semuanya saya tangkap dalam post it, dan saya masukkan ke dalam sebuah kerangka di atas kertas seperti Gambar 2:

Gambar 2 – Contoh aplikasi GTD dengan post-it

Tanpa kita tulis, pikiran-pikiran itu akan berputar-putar terus di kepala saya, dan akan bertambah banyak dengan ide-ide lain yang muncul. Inbox ini akan terus bertambah banyak, oleh karena itu saatnya masuk ke Step 2.

Page 12: Productivity Diary by Gede Manggala

12

Step 2: Clarify

Selain pikiran terkait pekerjaan atau urusan rumah tangga, banyak sekali pikiran-pikiran atau ide-ide yang bermunculan. Baca buku inovasi, muncul ide. Lihat orang sukses, jadi ingin ikut. Liat orang kaya karena korupsi, ingin ikut nabokin!

Yang dulu belum saya jadikan kebiasaan adalah melakukan klarifikasi terhadap ide-ide dan pikiran saya, untuk melihat apakah ada ACTION yang bisa kita lakukan? Sekarang dengan GTD, ide-ide yang TIDAK ADA ACTION, langsung Buang, atau kita simpan di dalam folder Wishlist, alias kapan-kapan dilihat lagi. Bisa juga saya simpan di folder Referensi kalau berupa informasi/dokumen/brosur yang menarik. Intinya buang atau taruh di tempat yang gampang. Terus LUPAKAN.

Untuk “stuff ” yang perlu ACTION, pertanyaan pertama:

Apakah bisa dilakukan dalam 2 menit atau kurang? Kalau YA, just Do it. Dalam contoh diatas, misalnya mengirim Invoice ke Client B.

Jika perlu lebih banyak waktu, pertanyaannya apakah perlu kita delegasikan ke orang yang lebih tepat (Delegate) oleh karena itu masuk kategori untuk kita cek dari waktu ke waktu (contoh dalam aktivitas saya adalah Furnishing Apartment). Ada juga aktivitas yang tidak perlu kita lakukan saat ini (Defer) karena memang saatnya belum perlu (kita catat dalam Calendar) contohnya Buka Bareng, atau kita tunda untuk menjadi Next Action setelah yang bagian Do It selesai.

Jika action itu perlu persiapan dan beberapa langkah, maka saya akan masukkan dalam kategori Proyek. Dalam GTD, definisi proyek adalah apapun aktivitas kita jika tidak bisa dilakukan dalam sekali action. Dalam contoh saya, saya memasukkan aktivitas Proposal ke Client A dan Kids Holiday Trip dalam kategori Proyek. Kenapa? Karena dua-duanya perlu planning yang perlu beberapa kali diskusi, telepon dan merangkumnya. Nah, sekarang kerangka rencana aktivitas saya setelah di klarifikasi menjadi seperti Gambar 3.

Setiap hari saya akan memprioritaskan melihat “Calendar” hari itu, dan memprioritaskan bagian “Do it”. Setelah itu baru “Next Action” dan “Waiting For”.

Step 3 (Organize), Step 4 (Reflect), Step 5 (Engage) dalam metode GTD bisa dilakukan sambil saya melatih dan memperdalam metode ini.

Page 13: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

13

The External Brain

Sampai saat ini saya masih terus berusaha menerapkan GTD. Namun sejak mulai membiasakan diri dalam pola berpikir dan bertindak seperti diagram alir diatas, saya mendapatkan manfaat yakni pikiran saya menjadi jauh lebih tenang.

Kepala yang dulu sering penuh, mumet dan mulai memperlihatkan tanda-tanda pikun (lupa appointment, ketinggalan handphone saat melewati scanner di tiga bandara yang berbeda, selalu lupa tempat parkir, dan sebagainya) lambat laun mulai menunjukkan tanda yang lebih baik dan bisa diandalkan!

Sekarang saya mengandalkan otak “kedua” saya (yakni GTD) untuk menyimpan dan mengelola banyak hal, dan otak utama di kepala saya untuk hanya memikirkan hal terpenting di saat ini.

Gambar 3 – Contoh GTD setelah Clarify

Page 14: Productivity Diary by Gede Manggala

14

3: Produktif dengan Smartphone (GTD 201)Salah satu keinginan terbesar saya adalah bisa menggunakan handphone pintar yang saat ini “setia setiap saat” bersama saya dan bisa menjadi external brain untuk meringankan beban otak beneran yang ada di kepala saya. Selain itu saya selalu berkeinginan menggunakan smartphone untuk menjadi alat produksi dalam pekerjaan (ini justifikasi untuk punya smartphone yang mahal…).

Secara teori sangat memungkinkan. Kenapa?Smartphone yang kita gunakan saat ini mempunyai kapasitas dan computing power 1 yang lebih besar dibanding komputer yang digunakan oleh NASA meluncurkan manusia ke bulan di tahun 1969. Intinya, selain kita bisa memakai smartphone untuk email, messenger, facebook, path dan instagram, si telepon pintar ini berpotensi tinggi menjadi alat untuk produktif, karena ini adalah sebuah komputer yang bisa kita masukkan ke dalam kantong. Kita semua yang sedang membaca tulisan ini adalah James Bond atau Ethan Hunt dengan alat super canggih di kantong, hanya saja misi kita lebih mulia yakni mencari sesuap nasi untuk keluarga di rumah, bukan meledakkan musuh.

Dari pencarian saya untuk bisa menggunakan smartphone untuk produktif bekerja, saya akhirnya mengkombinasikan metode Getting Things Done (GTD) dengan 3 aplikasi andalan yakni: Trello, Evernote, dan Dropbox. Aplikasi ini saya pilih berdasarkan referensi, diskusi dan mencoba-coba. Yang jelas kriteria saya memilih adalah aplikasi yang berkualitas bagus, gratis, dan berbasis cloud agar bisa digunakan di laptop dan handphone (baik yang berbasis Android maupun iOS).

Digitized — Getting Things Done (GTD 201)

Jika dilihat skema GTD 101 dari cerita minggu lalu, Gambar 4 menunjukkan diagram GTD jika semua flow yang secara manual dengan post-it, sekarang saya transformasikan untuk menggunakan smartphone dan komputer. Saya menyebut ini sebagai versi GTD 201.

Bagaimana cara kerjanya?

1 - http://knopfdoubleday.com/2011/03/14/your-cell-phone/

Page 15: Productivity Diary by Gede Manggala

Step 1: CapturePada dasarnya saya menggunakan Trello untuk menjadi papan “post-it digital” saya. Aplikasi ini diperkenalkan oleh sahabat saya Arthur Panggabean saat dia menerangkan ide-ide kreatif yang sedang dia kerjakan.

Gambar 4 – Diagram alir GTD dengan menggunakan aplikasi digital

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

15

Page 16: Productivity Diary by Gede Manggala

16

Papan post-it manual untuk inbox dari cerita minggu lalu, secara digital akan menjadi seperti Gambar 5 jika menggunakan Trello.

Ingat, “inbox” dalam GTD adalah tempat kita menuangkan APAPUN yang ada atau melintas otak kita. Tujuannya, agar otak kita tidak overload karena terlalu banyak memikirkan berbagai hal dari yang penting, yang urgent, keluarga, ide bisnis baru, politik, sampai memikirkan siapa nama calon anak-nya Kim Kardashian.

Step 2: Clarify

Nah, setelah kita filter dan tanyakan, apa action yang diperlukan (atau jika tidak ada action), papan Trello saya sekarang menjadi seperti Gambar 6. Kita membagi setiap hal yang ada dalam pikiran kita sesuai tahapan dan kebutuhan.

Gambar 5 – Menggunakan Trello untuk GTD 201

Gambar 6 – Menggunakan Trello untuk GTD 201, setelah tahap Clarify

Step 3: Organize

Kini saatnya kita melakukan organisasi rencana dengan melakukan sinkronisasi dengan aplikasi lain:

Untuk Bagian Calendar saya mengatur otomisasi untuk langsung masuk Google Calendar. Ini dengan pertimbangan kalendar di Google secara seamless bisa dilihat di berbagai device yang saya gunakan.

Page 17: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

17

Gambar 7 – Menggunakan Trello untuk GTD 201, setelah tahap Organize

Untuk Wishlist/Maybe dan Referensi saya mengatur untuk secara otomatis masuk ke Evernote. Untuk melakukan otomatisasi saya menggunakan aplikasi Zapier; alternatif lain adalah dengan apps bernama ifttt alias membuat “resep” if this than that. Misalnya, saat saya menemukan online training bagus dari Stanford University yang berjudul How to Create Online Course, dengan membuat sebuah “kartu” di bagian Referensi di Trello, secara otomatis (oleh Zapier) catatan saya itu akan disimpan di Evernote seperti pada Gambar 8.

Gambar 8– Sinkronisasi Trello dan Evernote

Page 18: Productivity Diary by Gede Manggala

18

Untuk aktivitas yang masuk kategori Projects, ada dua langkah yang saya lakukan:

Pertama, membuat Checklist di dalam proyek seperti berikut ini:

Gambar 9 – Checklist untuk Proyek

Kedua, membuat direktori folder proyek di Dropbox, sesuai dengan nama proyek untuk menyimpan semua file proyek di dalam folder itu seperti pada Gambar 10.

Gambar 10 – Folder Proyek di Dropbox

Inti dari semua hal yang saya lakukan ini adalah saya mencoba untuk membuat sebuah proses mengikuti alur GTD menggunakan aplikasi yang bisa diakses baik dengan smartphone ataupun laptop.

Page 19: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

19

Mind Like Water…powered by a smartphone

Sekarang saya merasakan manfaat besar dengan mengabungkan metode GTD dengan kecanggihan telepon genggam, dan sampai sekarang masih terheran-heran bagaimana barang di tangan saya ini benar-benar bisa menjadi “otak kedua”.Tujuan dari semua exercise saya diatas bukanlah untuk bikin hidup saya rumit. Kalau bikin susah, saya akan segera tinggalkan.

And this is not to impress anyone, walaupun mungkin saya sangat sering merekomendasikan cara ini kepada sahabat dan rekan kerja saya termasuk menulis buku ini.

Tujuan saya adalah agar saya bisa memastikan semua yang terlintas di kepala saya terorganisir dengan baik, sehingga kepala saya bisa fokus pada hal yang penting untuk saat ini.Being present and mindful. Live in the moment.

Catatan:Setelah merasakan manfaatnya, sekarang ini saya menggunakan layanan Dropbox dan Evernote premium (alias bayar). Biaya per bulan kira-kira secangkir kopi Starbuck, jadi menurut saya OK-lah. Ada yang bertanya: “bagaimana kalau handphone kita hilang? Hilang dong otak kedua kita?” Jawaban: “the beauty of cloud, datanya tersimpan di server dan di semua device kita.” Tapi ini juga berarti kita HARUS memastikan security setiap aplikasi dan device kita mengingat banyak data pribadi kita ada di dalam smartphone.

Page 20: Productivity Diary by Gede Manggala

20

4: Ingin produktif? Selalu memaafkan kesalahan dan rajin-rajin piknik

Setelah bagian 2 dan 3 sangat berbau teknis, maka kali ini kita mulai memasuki bagian yang non teknis.

Adalah benar kata orang-orang tua yang mengatakan bahwa manusia pada umumnya menghabiskan waktu dan energi untuk masa lalu dan masa depan. Lupa bahwa hidup itu terjadi saat ini. Nostalgia masa lalu, kenangan indah, dendam pada seseorang, sampai penyesalan pada perbuatan yang kita lakukan (atau justru perbuatan yang tidak kita lakukan) sering mengisi hari-hari kita. Masalahnya, hidup terjadi saat ini, bukan di masa lalu.

Untuk bisa produktif, kita harus hidup di saat ini. At the present moment.

Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu banyak memikirkan sesuatu yang telah terjadi. Saya bisa move on dengan cepat. Namun saya termasuk orang yang banyak memikirkan masa depan. Sering takut akan hal-hal yang belum terjadi. Ketakutan terhadap kegagalan karir, bisnis atau takut akan kematian. Saya punya kebiasaan untuk membuat rencana. Planning. Membuat antisipasi. Strategi. Risk Analysis.

Eksekusi? Mendekati nol.

Masalahnya, untuk bisa menghasilkan sesuatu, kita harus lakukan sesuatu saat ini. Just do it, NOW!

Brain is an excellent visualization and planning machine, but……it could lead us to be unporductive.

Otak manusia adalah salah satu instrumen yang bertugas memastikan kelangsungan hidup ras manusia. Menurut pakar neuroscience (antara lain John Medina), tugas utama otak manusia bukanlah untuk berpikir melainkan untuk memastikan survival kita sebagai mahluk hidup.

Sakit hati dan dendam kepada seseorang bisa menyebabkan otak kita tanpa diperintah mengalokasikan energi untuk merencanakan apa yang harus kita lakukan kepada orang itu. Fight or Flight?

Page 21: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

21

Itu yang akan ada di benak kita. Otak kita akan memvisualisasikan semua hal yang nyata pernah terjadi, dan lebih banyak lagi hal-hal tidak nyata yang menghabiskan energi. Kita seringkali sering terjebak dalam visualisasi doom scenario yang membuat mood kerja kita hilang atau malah membuat hati bertambah sakit. Membuat fisik lemah dan depresi. Tidak produktif!

Ketakutan akan masa depan juga salah satu trigger otak untuk membuat doom scenario. Bagaimana kalau saya dipecat? Bagaimana saya akan menghidupi anak-istri saya. Bagaimana kalau saya meninggal saat anak saya masih kecil-kecil? Strategi apa yang harus disiapkan sejak saat ini? Bagaimana caranya menyiapkan semua hal agar jika terjadi apa-apa, everything has been prepared? Persiapan untuk masa depan sangat bagus, tapi menghabiskan banyak waktu untuk khawatir akan masa depan? Tidak Produktif!

Memaafkan, memutus doom scenario di otak kita

Dengan memaafkan orang lain kita akan bisa memutus lingkaran pikiran yang sebenarnya tidak perlu. Bagus untuk kita mengingat sebuah kesalahan dan mengambil pelajaran agar tidak terjadi lagi. Namun cukup sampai disitu dan tidak perlu memperpanjang hal-hal yang hanya membuat kita lelah sendiri. Forgive, but keep the lesson.

Kalau bisa, ciptakan sebuah karya, musik, buku atau bahkan bisnis yang terinspirasi dari sakit hati atau dendam itu. Ini baru produktif.

Memaafkan diri sendiri juga perlu untuk memutus doom scenario. Menyiapkan masa depan seperti asuransi dan investasi sangatlah penting. Namun menyadari bahwa saya sebagai manusia mempunyai kekurangan dan mungkin tidak bisa kontrol semua hal di dalam hidup kita dan hidup orang lain, akan membantu kita untuk mengantisipasi masa depan dengan fokus pada hal-hal produktif yang bisa kita lakukan saat ini.

Piknik, menikmati udara segar dengan keluarga, sangat baik untuk produktif

Pernah ada periode dimana saya merasa piknik akan merampas waktu produktif saya. Ada juga ketakutan kehilangan opportunity bisnis saat saya sedang tidak bekerja. Dulu, bagi saya setiap waktu di luar tempat kerja adalah sebuah kerugian.

Belakangan saya mulai melihat bahwa produktivitas saya justru naik setiap kali saya pulang jalan-jalan. Kadang-kadang hanya pergi menginap di tempat yang sejuk di Bogor atau Bandung. Atau pulang kampung ke Bali atau Riau.

Page 22: Productivity Diary by Gede Manggala

22

Saya sering mendapatkan inspirasi bagus saat berada di luar ruangan. Memandang gunung di kejauhan. Ke taman bermain anak-anak. Melihat daun yang basah. Melihat seorang kakek menggendong cucunya dengan bahagia. Memandangi anak-anak saya kegirangan main di kolam renang. Saya bisa menikmati saat itu.

At that kind of time, I could live at the present moment. I was content.

Your life is never off-track…

Dulu saya sering menyalahkan orang lain yang menyebabkan hidup atau karir saya tidak berjalan sesuai rencana. Saya sering menyalahkan diri sendiri karena tidak melakukan hal-hal yang menurut saya harus dilakukan. Sekarang ini saya mulai memahami bahwa hidup ini sering tidak berjalan sesuai rencana kita. Yang saya harus cari adalah the meaning of it. What lesson could I take from that?

Ada orang yang berbuat salah atau menyakiti saya. Ya saya maafkan. Manusia tidak sempurna. Saya juga sering berbuat salah. Selain itu, banyak juga malah ribuan kebaikan orang lain yang tidak pernah saya hitung-hitung, kenapa kita malah menghabiskan energi pada satu atau dua kesalahan? Memaafkan membantu meringankan beban otak saya!Piknik di alam terbuka bersama keluarga membantu saya untuk menghentikan otak yang selalu berlari cepat. Membantu saya untuk menghargai setiap detik berharga yang hadir saat ini. Bahwa penting menikmati hidup saat ini.

Menyadari semua yang berharga di menit ini, membantu saya untuk fokus pada apa yang bisa saya kerjakan sekarang.

To work and live in the here in the now.Mind like water.

Page 23: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

23

5: Mengatasi marah, takut, dan “amygdala hijack” lainnya

Kali ini adalah catatan tentang usaha saya memahami dan mengurangi kemarahan yang datang tiba-tiba, rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Kenapa penting buat saya? Betul, karena perasaan seperti itu bikin saya tidak produktif. Malah sering “menghancurkan satu hari” karena gara-gara marah-marah di pagi hari, saya kehilangan mood untuk bekerja.

Malah ada yang lebih “parah” dalam hal menghancurkan hidup gara-gara emosi yang tidak terkendali. Pernah lihat anggota DPR yang adu pukul di Senayan? Ingat Zinedine Zidane menghantamkan kepalanya ke pemain Italia, yang menyebabkan ia dikeluarkan dari lapangan dan akhirnya Perancis kalah di Final Piala Dunia 2006?

Nothing as it seems

Beberapa orang yang mengenal saya terutama lima tahun ini pada umumnya mengenal saya sebagai orang yang cukup sabar (hahaha…). Tapi bagi yang sudah mengenal saya cukup lama, sering bekerja bareng ataupun berada di sekitar saya cukup rutin (misalnya istri dan keluarga saya), mungkin akan punya pendapat bahwa kadang-kadang saya termasuk kategori pria “darah tinggi” :)

Dalam pekerjaan, saya pernah berdebat sampai pada titik dimana saya sangat defensif dan mengucapkan berbagai pernyataan “tidak pas” untuk membela diri atau menyerang lawan. Jika melihat sebuah pekerjaan tidak diselesaikan dengan baik oleh tim saya, “bakat terpendam” sering muncul; rekan saya ada yang memberikan feedback, bahwa kadang-kadang saya bisa menjadi sangat sinis.

Di lapangan basket, saya pernah hampir berkelahi secara fisik! Mungkin kejadian ini banyak dialami teman-teman lain, cuma untuk kasus saya yang jadi lucu adalah lawan saya masih SMA dan waktu itu saya sudah bekerja di sebuah perusahaan. Sungguh memalukan…(untung ada yang lebih epic kayak tragedi Zidane di atas).

Saat menyetir, seringkali kendaraan saya diserobot oleh kendaraan lain dalam sebuah kemacetan yang sangat panjang dan saya menjadi sangat agresif mulai dari klakson sampai tindakan-tindakan nekat yang membuat istri saya sangat marah.

What was I thinking?!

Page 24: Productivity Diary by Gede Manggala

24

Apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti itu? Apa yang ada di pikiran saat itu?Sekali lagi hal ini penting buat saya karena setelah mengalami kejadian seperti di atas butuh waktu yang lama untuk mengembalikan mood agar bisa bekerja produktif. Itu belum termasuk “damage control” untuk meminta maaf, menghilangkan rasa malu dan mengembalikan kredibilitas. Hahaha!

Nah, ini yang menarik…Marah hanya satu dari sekian banyak emosi kita.

Siapa yang pernah mengalami hal-hal yang juga dulu mengganggu saya:

Kita diminta untuk melakukan presentasi ke Board of Director minggu depan, dan selama 7 hari 7 malam perut kita mules setiap kali membayangkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan atau membayangkan kita akan melakukan ketololan. Tapi saat ingin mempersiapkan diri malah tidak bisa konsentrasi, karena otak tidak bisa diajak kerjasama lagi…

Saat kita membaca berita-berita tentang resesi, inflasi dan pemutusan hubungan kerja besar-besaran, tanpa disadari, bayangan itu menghantui dan menyebabkan rasa khawatir berkepanjangan yang menyebabkan susah tidur. Akibatnya? Di saat jam kerja kita malah mengantuk dan tidak bersemangat! Keinginan sih bisa tidur di malam hari dan tidak terlalu khawatir. Namun yang terjadi sebaliknya…kenapa jadi seperti itu?

Ada opportunity yang ditawarkan seorang rekan, namun dalam pikiran kita rasanya tidak mampu. Takut gagal. Malas juga rasanya untuk harus bertemu orang di industri yang tidak kita kenal dengan baik. Ada keinginan untuk mencoba, ada juga rasa takut. Akhirnya galau!

Mengenal Amygdala Hijack

Istilah Amygdala Hijack diciptakan oleh Daniel Goleman, sang Bapak Emotional Intelligence. Namun istilah dan inspirasi tentang cara menghandle ini saya dapatkan dari buku berjudul Search Inside Yourself, sebuah buku yang ditulis Chade Meng Tan, seorang engineer Google, berdasarkan training di perusahaan itu.

Amygdala adalah bagian otak yang salah satu fungsinya menyimpan memori terkait emosi. Jika di awal evolusi-nya manusia menyentuh api dan terbakar, maka amygdala menyimpan memori ketakutan dan rasa sakit terbakar itu. Jika dulu nenek moyang kita kesakitan karena digigit ular beracun, amygdala menyimpan memori abadi tentang ular dan bahayanya.

Page 25: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

25

Otak manusia berfungsi memastikan survival ras-nya dan amygdala memegang peran besar dalam tugas itu.

Nah, di saat otak melihat ada “ancaman” terhadap kita, amygdala akan membajak mekanisme berpikir rasional dan menyiapkan respon super cepat yang hanya terdiri dari tiga pilihan: Flight, Fight, Freeze.

Moto dari amygdala adalah “it’s better safe than sorry”.

Misalnya kita melihat ular, dan tanpa pikir panjang kita lari terbirit-birit, maka itu termasuk amygdala hijack. Otak rasional kita di by-pass dan memerintahkan tubuh kita langsung lari. Tanpa berpikir, seluruh tubuh kita sudah lari secepat kilat. Otot menegang, jantung memompa lebih kencang, dan kaki terasa sangat ringan. Itu contoh flight response.

Dalam keadaan terdesak, seorang ibu menyelamatkan anaknya dari serangan perampok. Tanpa diperintah, sang ibu mengeluarkan semua tenaga dan jurus untuk melindungi anaknya. Fight response.

Saat mendapatkan berita yang mengagetkan, tubuh kita kaku tidak bergerak. Pikiran kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Freeze response.

Lalu apa hubungannya dengan produktivitas kita?

Karena amygdala hijack juga bisa memberikan sinyal palsu.

Kekhawatiran kita akan presentasi di depan Board of Director, bagi amygdala diasosiasikan sebagai “ancaman” terhadap diri kita. Otak rasional kita langsung dibajak dan secepat kilat menyiapkan flight response. Jantung berdegup keras, tubuh dan otot menegang. Perut mules. Pengennya, kita tidak usah presentasi.

Kekhawatiran kita akan ekonomi yan memburuk, membuat amygdala membajak pikiran jernih kita. Langsung freeze mode. Bengong, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

Intinya, saat kita melakukan sesuatu tanpa disadari, itu adalah bagian dari amygdala hijack. Ada yang bagus dan tepat (misalnya lari saat melihat ular), ada yang tidak tepat (misalnya “lari” saat diberikan tanggung jawab pekerjaan baru).

Yang kita perlu lakukan adalah mengenal mana stimulus yang benar, mana yang palsu.

Page 26: Productivity Diary by Gede Manggala

26

Karena jika rasional kita terlalu sering dibajak oleh amygdala, saat itulah produktivitas kita hilang!

Menyelamatkan otak rasional dari pembajakan

Berita bagusnya adalah kita bisa melatih diri kita untuk memahami dan menangani amygdala hijack.

Berita buruknya, perlu waktu dan latihan.

Terus terang saja, saya termasuk murid yang lambat dalam hal ini. Dan ini sebabnya saya menulis hal ini panjang lebar, sebagai sebuah catatan untuk diri sendiri, serta membuat diri saya accountable di depan orang banyak yang membaca buku ini!Karena saya menulis ini dalam konteks produktivitas bekerja, maka sebenarnya kejadian kita akan mendapat ancaman nyata (seperti nyawa terancam oleh binatang berbahaya) sangat kecil terjadi.

Oleh karenanya, ini langkah yang saya sedang lakukan setiap kali saya mulai merasa emosi saya ke arah negative:

1. Wait, sit and just breath

Victor Frankl pernah menuliskan bahwa “antara stimulus dan respon, ada sebuah ruang. Dalam ruang itu terletak kebebasan dan kekuatan kita untuk memilih respon apa yang ingin kita keluarkan. Dalam respom itu terletak kebahagiaan dan perkembangan kita sebagai manusia”2

Setiap saya mulai merasakan emosi seperti marah, malu, takut, atau khawatir, yang pertama kali saya lakukan adalah memberikan waktu paling tidak 15 detik untuk memahami “apa yang saya pikirkan?”. Sebelum saya mengeluarkan kata apapun atau melakukan tindakan apapun (misalnya menulis komentar di facebook!), saya memberikan kesempatan frontal neo cortex saya (alias si pikiran rasional) untuk memahami kenapa saya ingin melakukan hal itu?

Sambil duduk saya akan memusatkan pikiran pada nafas saya. Breath in; breath out. Just breath, like your life depends on it. Pada intinya, berikan jarak, waktu, dan ruang, antara apa yang kita lihat/pikir, dan apa yang kita katakan/lakukan.

2 - Frankl, Victor. Man’s Search of Meaning.

Page 27: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

27

2. Perhatikan perubahan pada tubuh

Menurut para pakar emosi, lebih mudah mengamati perubahan emosi dari perubahan pada tubuh kita. Jantung yang mulai berdegup lebih kencang; rahang menegang, tangan mengepal, keringat mengalir atau bulu kuduk berdiri (ini kalau lewat tempat gelap hahaha). Selain fisik luar, kita juga bisa merasakan perut yang mules, persendian lemas ataupun pikiran yang terasa penuh dan kalut.

Pada intinya, kita harus selalu awas dan menyadari perubahan yang ada. Kita tahu, amygdala sedang membajak pikiran kita…

3. Tandai dan sebutkan emosi yang kita rasakan

Cara yang ketiga dianjurkan oleh Matthew Lieberman, seorang pakar dari UCLA. Ia menyebutnya sebagai affect labelling.3

Jika saya merasa sangat marah, setelah step 1 dan 2 diatas, saya harus mengatakan “Saya sangat marah!”. Kalau saya takut, saya mengucapkan “saya takut.”

Menurut penelitian ilmiah, dengan menandai (labelling) dan mengatakan apa yang kita rasakan, peran amygdala akan berangsur di ambil alih oleh Medial Pre Frontal Cortex (MPFC) yang merupakan pusat keputusan di otak kita. Ini bagian rasional dalam otak kita.

Permasalahan terbesar dari usaha diatas adalah menyadari bahwa kecepatan amygdala membajak pikiran kita adalah dalam kecepatan nano-detik, sehingga mengatasi emosi bukanlah hal yang mudah. Mau rasional, tapi omongan kasar udah keburu keluar :)Namun mengingat emosi-emosi negatif yang tidak terkontrol bisa menyebabkan kinerja kita menurun dan tidak produktif, saya mendorong diri saya untuk berusaha melakukan tiga hal diatas. Sangat layak untuk kita perjuangkan.

3 - Tan, Chade-Meng. Search Inside Yourself.

Page 28: Productivity Diary by Gede Manggala

28

6: Menangkap momen “in the zone”, meraih “taksu”

Dari semua bab yang ada dalam buku ini, jika ada tulisan yang saya ingin orang dekat (teman kerja, klien, bos, keluarga dan sahabat) benar-benar membaca adalah Bab ke 6 dan ke 7.

Dalam usaha mencari cara kerja lebih produktif, akhirnya pencarian saya sekarang sampai pada pencarian tentang apa makna hidup, the things I really enjoy, what I stand for, serta kembali kepada sebuah percakapan kecil dengan bapak di teras rumah sekitar tigapuluh tahun silam. Kali pertama saya mendengar sebuah kosa kata baru: taksu.

In the zone: dari basket, six sigma sampai book publishing

Saya pemain basket pas-pasan, tapi ternyata saya belajar banyak tentang berkarya dari olahraga ini. Alkisah, dua puluh tahun yang lalu di sebuah kampus di jalan Ganesha Bandung, saya sering mengisi waktu luang saya di kantin GKU dan lapangan basket bersama teman-teman satu jurusan. Di pinggir lapangan basket, awalnya saya hanya duduk-duduk menonton teman-teman saya bermain basket. Karena mereka sering kurang pemain, maka seringkali saya diajak sebagai pelengkap penderita. Dan kami melakukan itu hampir setiap hari, berebutan dengan begitu banyak mahasiswa pencinta basket di kampus, anak basket beneran, dan aktivis kampus yang ingin menggunakan lapangan untuk demonstrasi.

Walaupun bermain hampir tiap hari, saya tetaplah pemain basket yang payah. Namun ada sesuatu saat bermain basket yang membuat saya kecanduan.

Ada saatnya saat bermain saya merasa begitu tenang. Saat memegang bola saya rasanya seperti melihat teman dan lawan dalam gerakan slow-motion. Waktu seakan bergerak sangat lambat namun berlalu sangat cepat. Saat kami tertawa senang, tawa itu seakan-akan terpatri dalam keabadian. Beku dalam rasa bahagia.

Tapi momen-momen itu tidak datang setiap saat. Kadang-kadang permainan saya benar-benar payah dan tidak bisa dinikmati. Namun adakalanya saya-saat tertentu perasaan bahagia dalam bermain itu muncul lagi.

Saat itu saya tidak terlalu tahu fenomena itu, yang jelas saya punya motivasi besar untuk tetap bermain basket saat sudah bekerja. Dan itu yang saya lakukan.

Page 29: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

29

Saya sangat beruntung akhirnya berteman dan bersahabat dengan teman sekerja di sebuah camp di Duri (Riau) yang menjadi teman bermain basket. Awalnya tiap sabtu pagi, sekali seminggu. Lalu bertambah menjadi dua kali seminggu, tiga kali seminggu dan akhirnya membentuk liga basket.

Dan momen itu hadir lebih sering. Kebahagiaan dalam bermain dan tertawa bersama sahabat. Matahari bersinar lebih cerah tapi tidak terasa menyengat. Dan melihat lawan seperti bergerak dalam slow-motion. Kembali, beku dalam rasa bahagia.

Tak heran bagi saya semua teman bermain basket dari jaman di kampus, di Duri, dan di Jakarta adalah sahabat saya.

Setelah mengalami fenomena slow-motion dalam bermain basket cukup sering, saya mulai bisa menandai momen yang sama itu kadang-kadang muncul juga saat saya bekerja. Saat bekerja di Caltex dulu, seorang engineer senior meminta saya untuk melakukan time-motion-study untuk sebuah proses. Data dan mapping yang kami dapatkan lalu kami gunakan dalam melakukan re-engineering proses. Menganalisis data dan membedah prosesnya. Rasa nyaman dan tenang itu muncul lagi. Slow-motion. Whoa, I like this job.

Perasaan yang sama muncul setiap kali saya diminta untuk bekerja mengolah dan mengerti data. Dan lalu saya dikirim untuk training Six Sigma (dan belakangan Lean Thinking). Ada hal-hal di dalamnya yang saya bisa nikmati dalam suasana yang smooth dan effortless. Mengerjakan beberapa improvement bersama cross-functional team…betapa saya menikmati bekerja dengan data, menganalisis, mengerti dan menerapkan sebuah aksi bersama sebuah kelompok kerja.

I could still see it vividly in slow-motion. Menyetir ke steam station 5. Berdebat seru dengan para operator. Menyerap ilmu dari pengalaman lapangan; menunjukkan data dan grafik kepada mereka. Fine-tuning steam generator. Mengamati asap pembakaran. Menikmati pesta durian saat improvement berhasil.

Di perusahaan berikutnya, GE, saya mendapatkan sensasi yang sama setelah dikenalkan dengan konsep rapid improvement workshop, yang di perusahaan itu diberi nama Action Work Out.

Di hampir setiap Work Out Di Jakarta, di Bangkok, perasaan damai yang tenang di tengah keriuhan debat yang sering berakhir setelah hari gelap. Whoa, I love this job.

Page 30: Productivity Diary by Gede Manggala

30

Ketika saya ditugaskan ke bagian CRM (Customer Relationship Management) bagi saya layaknya seperti pencinta surfing dikirim ke Bali atau Nias. CRM adalah surganya data; dan saya sangat menyukai menganalisa data dan membuat langkah strategis dari hasil analisa itu

Mengenal in the zone atau flow

Saat saya membaca beberapa buku Malcom Gladwell bertahun-tahun setelah saya mengalami slow-motion pertama di lapangan basket, saya akhirnya tahu bahwa saya mengalami momen yang disebut in the zone; atau dalam bahasa teknis disebut sebagai Flow oleh Mihaly Csikszentmihalyi.4 Setiap atlet hebat akan (berusaha) menangkap momen in dalam performa-nya. Tapi kenapa saya, yang bahkan dalam seleksi pemain basket tingkatkelurahan pasti tidak terpilih, bisa memasuki momen itu?

Saat seseorang sangat menikmati yang ia lakukan, seluruh energi dan pikirannya akan terserap ke dalam yang ia lakukan. Konsep waktu akan hilang. Our body would disappear. Problems…identity..disappear. Saat momen inilah tubuh kita seakan-akan punya pikiran sendiri yang secara otomatis mengikuti apa yang kita inginkan.

Bagi para atlet hebat seperti Michael Jordan atau Lebron James, inilah saat mereka bergerak seperti menari, effortless tapi mematikan! Berada dalam kondisi in the zone akan membuat setiap orang sangat produktif karena seluruh kemampuan keluar maksimum tanpa usaha yang sangat harus dipaksa. Bagi orang seperti saya, paling tidak perasaan “penuh” dan “kosong” di saat bersamaan menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri.

Gambar 11 – Penjelasan tentang flow bisa anda tonton di channel TED(tautan bisa lihat di footnote)

4 - http://www.ted.com/talks/mihaly_csikszentmihalyi_on_flow/transcript?language=en

Page 31: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

31

Tapi ada satu yang saya mengerti sekarang. When I really enjoy something, I can move into the “flow”. Tak heran, saat pacaran dulu momen ini akan muncul dengan rajin;begitu juga saat menimang anak-anak saya pertama kali. It’s quiet..peace..timeless..freezing in the eternity.

Marking the joy or bad moment

Sejak mengerti itu, saya lalu memulai sebuah kebiasaan baru yakni menandai setiap experience dan aktivitas dalam kategori joy or bad moment. Thumb up or thumb down. Atau kalau meminjam istilah Steve Jobs, cool atau bozo.

Ini daftar joy/thumb up/cool saya: • Waktu bersama keluarga, main bersama istri dan anak-anak saya • Olahraga seperti basket, berenang, atau berjalan santai di pagi hari • Memahami data dan mengerti implikasinya terhadap proses atau bisnis • Action work out atau rapid improvement workshop; pada dasarnya saya menikmati setiap kerja kelompok yang berorientasi pada action • Membaca apa saja • Menulis apa saja…that’s why you read this :) Thank you! • Berdiskusi tentang menerbitkan buku/book publishing (yes, I enjoy even just by talking about the plan!!!) • Bangun subuh, tapi kalau bisa habis makan siang tidur sebentar :) • Nonton live concert (musik apa saja); kalau nonton musik, saya bisa sendirian ngga pernah mati gaya :) • Pearl Jam (mendengarkan, membaca tulisan, lirik, membolak-balik buku fotonya, ngobrol, baca tulisan dan komentar fans). • Bengong di alam terbuka • Memberi pelatihan/menjadi trainer • Nyanyi (peringatan: kualitasnya termasuk kategori toxic buat mahluk hidup hahahaha!)

Dan ini daftar bad moment/thumb down/bozo versi saya (ini selera pribadi, bukan bersifat universal ke setiap orang): • Menyetir mobil di jalanan yang macet, atau di jalanan yang rusak, atau di jalanan yang banyak bis/truk nyetir ugal-ugalan (dalam ukuran Indonesia, mungkin ini bisa ditulis lebih singkat “tidak suka nyetir” :) Tapi sejujurnya, saya menikmati nyetir di Bali, terutama antara Singaraja — desa Kalianget, kampung saya. Lurus, mulus dan di pinggir pantai

Page 32: Productivity Diary by Gede Manggala

32

• Meeting yang tak berkesudahan dengan agenda yang tak jelas • Ceremonial event; bisa dibilang hampir semua acara seremoni …mulai dari gala dinner, acara kantor resmi, acara keluarga, acara adat, acara agama…I am just not into it…terutama kalau seremoni yang pakem-nya sangat ketat dan harus formal. Semakin formal, semakin mati gaya. • Ke disko/clubbing: selalu merasa mati gaya di tempat-tempat clubbing. Mungkin karena selera saya ngga ke techno/hip-hop atau mungkin karena minder aja. • Ngobrol dengan orang yang pikirannya duit terus; saya sangat mengagumi banyak pebisnis, terutama karena cara berpikir mereka yang umumnya sangat pragmatis dan action oriented. Ini tipe yang saya suka. Tapi yang suka bikin mood saya jelek adalah orang yang dari awal sampai akhir, pikiran dan omongannya urusan kekayaan terus atau yang semua hal dinilai dari uang. • Buku-buku motivasi “cara singkat jadi kaya”, “jadi milyuner tanpa modal”, “revolusi uang”, “berkebun emas’, dll,

Mencari titik optimum buat produktivitas

Mengetahui apa yang saya suka dan nikmati menjadi penting karena ternyata bisa membantu lebih produktif. Di sisi lain, saya menghindari aktivitas yang tidak saya suka.Tentu saja selain karena enjoy, ada hal lain yang perlu dipertimbangkan agar menjadi produktif. Misalnya, kesukaan saya main basket. Walaupun saya suka, tapi saya pemain yang payah alias tidak kompeten. Selain itu orang lain tidak menilai aktivitas saya itu bermanfaat, jadi tidak ada orang yang membayar saya untuk main basket:)Oleh karenanya, saya menggunakan lingkaran di Gambar 12 sebagai panduan berkarya.

Untuk saya, saat ini titik optimum saya adalah di area business process management dan continuous improvement. Saya sangat menyukai bidangnya, cukup mempunyai pengalaman dan dasar, serta (mungkin) berguna buat orang lain. Paling tidak, ada yang mau membayar untuk apa yang saya lakukan. Titik optimum itu menyebabkan dorongan untuk selalu menggali pengalaman dan ilmu baru di sekitar area itu tidak pernah membosankan. Selain itu makin lama dipelajari, baru mulai terasa bahwa apa yang saya tahu masih jauh sekali dibawah profesional yang bergerak di bidang yang sama di luar negeri.

Page 33: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

33

Gambar 12 – Titik optimum untuk berkarya

Meraih taksu

Sebagai layaknya orang Bali yang tinggal dan dibesarkan di pulau yang dulu dijuluki Nusa Damai ini, masa kecil saya sering diajak ke kampung untuk mengikuti upacara agama. Saya mempunyai kesenangan menonton orang memainkan gamelan di pura. Yang membuat saya tertarik adalah tingkah-laku para penabuh yang memainkan gamelan. Tubuh mereka seakan ikut menari, senyum merekah lebar di bibir mereka. Kadang kala mereka akan saling melakukan kontak mata, saling melirik, memberi tanda dan lalu tertawa terbahak-bahak sambil menggebuk kendang atau memacu gangsa. Yes, they are having so much fun! Di kali lain saya melihat seseorang menarikan tari Topeng Tua, yang benar-benar seperti orang tua; padahal saya tahu ia seorang guru olahraga yang kadang-kadang menjadi Arjuna di sendratari. Ia bukan layaknya orang muda yang memakai topeng tua, tapi ia bagaikan orang tua yang dipaksa menari!

Page 34: Productivity Diary by Gede Manggala

34

5 - Untuk trailer Jiro Dreams of Sushi, silahkan kunjung tautan ini https://www.youtube.com/ watch?v=I1UDS2kgqY8

Dalam sebuah obrolan di teras rumah, saya menanyakan itu kepada (alm) Bapak. Ia berkata, “oh itu namanya taksu. Setiap orang harus menemukan taksu-nya agar apa yang dilakukan punya jiwa.” Sesingkat itu penjelasan Bapak saya. Saat itu saya berpikir, taksu adalah suatu ilmu untuk penari atau penabuh. Malah kebayang taksu adalah suatu ilmu mistik.

Dalam perjalanan waktu, saya mulai melihat patung yang memiliki “jiwa”. Lukisan yang memiliki “jiwa”. Dan mulai mendapatkan pengalaman memiliki guru sekolah yang sangat menjiwai perannya. Bidan yang sangat dicintai tetangga-tetangganya. Ooh…ternyata bukan hanya seniman. Bukan pula ilmu mistik.

Bertahun-tahun mencoba memberi makna pada kata taksu, akhirnya yang paling dekat bagi saya penjelasannya adalah istilah shokunin dalam bahasa Jepang, seperti tema utama film Jiro Dream of Sushi.5

That I must do what I love; Love what I do. And never stop improving myself. So I can give some value to my output, and maybe I can help some other people along the way…

Tidak masalah apakah saya menjadi penjual sushi, direktur, guru, pengusaha, seniman, investor atau pemulung. Yang penting, saya memberikan jiwa kepada apa yang saya kerjakan.

Bagi saya, itulah taksu.

Sebuah kata sederhana yang akan saya coba raih dalam sisa hidup saya.

Page 35: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

35

7: Menulis Obituari Saya Sendiri

Obituari Gede Manggala

Pria ini menjalani hidup bahagia dalam masa hidupnya. Ia mengakui dan menerima semua kekurangan, kegagalan, dan keterbatasannya sebagai pernak-pernik hidup yang perlu untuk melengkapi semua kesenangan dan kenikmatan untuk menjadikan hidupnya sebagai dongeng yang luar biasa.

Perbedaan adalah keindahanGede sangat mencintai dan dicintai keluarganya. Dalam keluarga yang layaknya versi mini dari Bhinneka Tunggal Ika, ia dikenang sebagai orang yang melihat perbedaan dan keberagaman sebagai warna-warni yang membuat keluarga lebih indah; bukan melihat perbedaan sebagai hal yang memisahkan dan membuat retak. Pria ini selalu bersyukur mempunyai keluarga besar yang menjadi sumber kekuatan hidupnya.

Learning is so much fun, so enjoy it and never give up in the journey!

Jika kita tanya putra-putrinya tentang sang ayah, semua kompak menjawab bahwa yang mereka paling ingat tentang ayahnya adalah kata-kata, “learning is so much fun!” Sang putri masih ingat bagaimana sang ayah selalu mendorongnya untuk menikmati segala hal sebagai pembelajaran. Hal-hal yang diajarkan di sekolah, dan semua fenomena yang ditemui di sekitar rumah. Matematika, bahasa, fisika, biologi, kimia. Menikmati melukis dan menyanyi. Belajar tentang rumah semut di pekarangan dan asal-usul hujan.

Kalau menurut sang putra, hal yang paling ia ingat adalah menyanyikan bersama-sama lagu “kebangsaan” sang ayah yang liriknya:

I get knocked downBut I get up again You’re never going to keep me down…

Warisan terbesar ayahnya menurut sang anak adalah bagaimana arti sukses.

SUKSES adalah saat kita jatuh sepuluh kali, lalu kita bisa bangun sebelas kali dan tidak pernah berhenti mengambil hikmah dari setiap kejadian itu.

Page 36: Productivity Diary by Gede Manggala

36

Knowledge based society

Bagi sahabat dan koleganya, Gede dikenal sebagai orang yang turut mempunyai peran dalam menyebarluaskan knowledge based society, cara berpikir dan bertindak yang menggunakan sistematika berpikir berdasarkan data dan fakta untuk memperbaiki keadaan sekitar. Bersama teman dan koleganya, ia menulis, memberikan training, memberikan konsultasi dalam menerapkan prinsip itu di berbagai organisasi.

If you don’t like what you see, create your own. Simplify and make it fun!

Pria yang lahir dan dibesarkan di Singaraja (Bali) ini juga sejak masa mudanya dikenal gemar berkolaborasi dengan orang dari berbagai latar belakang keahlian seperti praktisi perbaikan proses, desainer grafis, penulis, kartunis, pelukis, pembuat video, ataupun musisi untuk mencoba berbagai proyek yang bertujuan membuat eksperimen berbagai hal penting yang sering tersembunyi, hal-hal yang dianggap membosankan, atau “ditakuti” karena dianggap terlalu serius untuk menjadi lebih mudah dicerna karena dibuat dengan lebih ringan, lebih simpel dan lebih enak dinikmati panca indra.

Bermula dari ketidaksukaannya melihat toko buku didominasi buku-buku tentang “revolusi uang”, “pensiun muda kaya raya”, sampai “cara instan jadi milyuner”… bersama teman-temannya yang satu ide, Gede terlibat dalam berbagai proyek.

Awalnya ia dan rekan-rekannya menulis beberapa buku dan perlahan-lahan menjadi multi-media contents dari video, musik, sampai e-learning/online course. Content yang digarap mulai dari topik problem solving, musik non-mainstream, SOP (standard operating procedures), tentang tempat-tempat indah di Bali yang belum populer (Bali Utara, Timur, Barat), tentang berbagai kopi asli Indonesia, ikut membuat “syarat & ketentuan” berbagai produk asuransi dan kartu kredit menjadi mudah dipahami dengan bahasa visual, sampai terlibat dalam penyederhanaan proses dan peraturan di rumah sakit, birokrasi pemerintahan dan juga proses penyederhanaan pembuatan undang-undang di Indonesia.

Apa yang ia dan beberapa orang mulai dengan gerakan #simplicity101 akhirnya menjadi sebuah gerakan yang dilakukan banyak orang dan turut berkontribusi pada sistem masyarakat dan birokrasi Indonesia yang sangat produktif dan efisien.

Page 37: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

37

The journey is the reward

Dalam mencoba berbagai hal itu, tidak sedikit akivitas itu yang tersendat atau sangat struggling agar bisa selesai. Yang menarik adalah jawabannya ketika ditanya apakah ada eksperimen yang ia pernah sesali?

“Semua aktivitas, kolaborasi, eksperimen dan struggle itu memberikan saya sahabat dan pengalaman yang sangat berharga. Uang bisa habis digunakan atau diambil orang lain. Harta tidak bisa saya bawa setiap saat. Berbeda dengan pengalaman; kenangan itu tidak akan habis atau bisa direbut orang lain. Semua tersimpan di dalam pikiran, hati dan jiwa saya…”— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —— — — — — — — — — — — — — —

Obituari ini saya tulis sebagai satu kesatuan dengan usaha saya menjadi lebih produktif. Ada beberapa prinsip yang mendasari kenapa sebuah obituari bisa membantu saya:

Yang pertama adalah salah satu prinsip yang diperkenalkan oleh Stephen Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People yakni Begin with the End in Mind. Jadi kenapa tidak saya mulai dengan membayangkan bagian “the end” saya?

Yang kedua adalah Victor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning salah satunya mengulas bahwa setiap orang akan jauh lebih memahami makna hidupnya dengan “looking back from the deathbed”. Membayangkan kilas balik hidup kita saat kita berbaring menunggu ajal. Apa yang kita syukuri? Apa yang akan membuat kita berbaring tenang, tersenyum, dan “siap”? How do you want to be remembered?

Page 38: Productivity Diary by Gede Manggala

38

Yang ketiga, adalah kisah Alfred Nobel. Di tahun 1888, Ludvig Nobel meninggal di Perancis. Salah satu koran lokal di sana salah persepsi mengira yang meninggal adalah saudaranya, Alfred Nobel, sang penemu dinamit. Koran di Perancis itu membuat sebuah obituari yang antara lain menuliskan: “Sang saudagar kematian telah meninggal. Dr. Alfred Nobel, orang yang menjadi kaya karena menemukan cara membunuh manusia jauh lebih cepat, telah meninggal kemarin”. Terkejut dan tidak terima dengan berita itu, Alfred Nobel bertekad untuk mengubah jalan hidupnya, lalu menyumbangkan sebagian besar kekayaannya untuk orang-orang yang telah berjasa memberikan kemajuan untuk berbagai bidang seperti fisika, kedokeran ataupun perdamaian. Hari ini sebagian besar orang mengenang Nobel karena sumbangannya pada kemajuan ilmu dan perdamaian dunia, bukan sebagai saudagar kematian akibat dinamit ciptaannya. Buat saya, pertanyaan ini menarik: kita ingin dikenang seperti apa? Apa yang bisa saya lakukan mulai dari sekarang?

Page 39: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

39

Penutup: Tentang BahagiaAdakah kamu yang pernah dikhianati seseorang yang sangat kamu cintai? Dan sampai saat ini , hal itu membuat kamu menderita ? Dikhianati memang sakit, namun tahukah kamu bahwa rasa takut akan dikhianati itulah sebenarnya yang membuat kamu menderita? Karena seperti memar di kaki saat jatuh, rasa sakit itu sebenarnya sudah sembuh. Yang membekas dan membuat kita menderita sebenarnya ketakutan hal buruk itu akan terjadi lagi.

Rasa takut adalah penghalang terbesar kita untuk bahagia.

Dan bagi kamu yang sedang berbahagia karena cinta. Apakah di saat yang bersamaan (di lubuk terdalam hatimu) kamu takut bahwa momen indah ini akan berlalu? Diam-diam ketakutan menelisik di dalam hatimu, khawatir kebahagiaan ini akan berlalu. Dan perasaan ini membuat kamu tidak berani terlalu bahagia. Terlalu takut bahwa kebahagiaan ini pada akhirnya akan menyakiti?

Rasa takut adalah penghalang terbesar kita untuk bahagia.

Mengapa mengerti tentang rasa takut ini penting buat saya? Betul sekali, rasa takut dan perasaan tidak bahagia membuat kita tidak produktif.

Sumber ketidakbahagiaan: Aversion dan Grasping

Ketakutan akan sesuatu yang jelek menimpa kita bukanlah hanya masalah cinta, seperti dikihianati pacar atau suami. Nyatanya, ini salah satu sumber terbesar dari rasa tidak bahagia yang menimpa kebanyakan manusia. Takut kehilangan pekerjaan, takut tidak punya uang, takut terjadi hal yang buruk terhadap anak-anak atau orang yang kita cintai. Takut dengan pendapat orang lain atau takut dianggap miskin.Semua ketakutan ini disebut Aversion.

Ada kondisi sebaliknya, namun juga merupakan sumber rasa tidak bahagia. Tidak ingin kehilangan hal yang berharga dalam hidup kita. Anda punya harta melimpah, dan tidak ingin harta itu berkurang. Anda mempunyai karir cemerlang dan ingin memastikan agar itu melekat seumur hidup anda. Anda mempunyai keluarga yang bahagia, dan anda takut akan kehilangan mereka. Setiap malam anda menyimpan kekuatiran bahwa apa yang anda punya saat ini akan hilang. Dan anda menjadi tidak bahagia.Semua ketakutan ini disebut Grasping.

Page 40: Productivity Diary by Gede Manggala

40

Let it be. Let it go.

Jika ada dua lagu yang bisa kita jadikan pedoman hidup untuk bahagia, maka itu adalah lagu dari band legendaris The Beatles dan lagu dari film Frozen.Cara terbaik menghindari aversion dan grasping adalah Let it be; Let it go.

Mengikhlaskan bahwa sesuatu yang buruk mungkin terjadi di luar kuasa kita. Bahwa kita sudah berusaha tapi hasilnya masih tidak baik. Let it be.

Merelakan dan memaafkan jika ada sesuatu yang jelek menimpa kita. Kesalahan yang orang lakukan terhadap kita. Dan juga kesalahan yang kita lakukan terhadap orang lain. Maafkan. Minta maaflah. Let it go.

Walaupun cukup mudah dituliskan dan dikatakan, kenyataannya saya belum mampu melakukan hal itu dengan baik.

Like writing on the water

Jika masih susah juga let it go, sebuah pepatah kuno menganjurkan kita untuk menuliskan setiap ketakutan, kekuatiran, dan rasa amarah muncul. Namun kali ini tuliskan semua emosi itu di atas air…

Berbahagia DAN makin produktif

Kalau kita pahami diatas, apakah cara terbaik untuk hidup dan berbahagia adalah dengan duduk diam tanpa menginginkan apa-apa? Tidak melakukan apa-apa? Tidak mempunyai apa-apa?

Karena saya belum berencana menjadi seorang pertapa atau yogi, maka yang saya tiru adalah apa yang menjadi cara berpikir Tony Hsieh. Menurut pendiri Zappos ini, ada tiga jenis kebahagiaan yang dialami manusia:

1. Pleasure: rasa bahagia yang muncul saat kita menikmati sesuatu. Makanan enak, pakaian yang indah, mobil, berlibur, dan semua hal yang kita nikmati. Berkumpul dengan orang yang kita sayangi. Mendapatkan hadiah atau menonton acara favorit kita. Dalam pleasure, kesenangan sangat terkait dengan panca indra kita. Kesenangan duniawi.

2. Passion: rasa senang saat kita sangat menikmati sebuah proses. Mencintai pekerjaan, menikmati hobi seperti marathon, diving, basket, berkebun atau melukis. Kebahagiaan dalam passion ini lekat hubungannya dengan istilah Flow atau in the zone.

Page 41: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

41

3. Higher Purpose: rasa senang yang dalam karena hidup kita mempunyai sebuah misi besar yang ingin kita capai. Mahatma Gandhi yang ingin memerdekakan India dengan prinsip ahimsa dan satyagraha. Bung Karno, Bung Hatta dan para pendiri bangsa Indonesia yang mengabadikan hampir seluruh hidupnya untuk Indonesia Merdeka. Dalai Lama yang ingin melihat manusia di Planet Bumi saling mengasihi. Orang-orang yang mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekadar menjalani hidup adalah orang-orang yang digambarkan mempunyai kebahagiaan yang dalam. Mereka mungkin pernah bersedih, tapi ada sebuah kekuatan yang selalu membuat mereka tegak dan bergerak lagi. Ini sumber kebahagiaan terbaik.

Menurut Tony Hsieh, sebagian besar orang tidak berbahagia, atau tidak bisa berbahagia dalam waktu lama karena terlalu mengejar pleasure, kadang-kadang mencoba menikmati passion, namun sedikit sekali meluangkan waktu untuk higher purpose. Ia menggambarkan pola pikir kebanyakan manusia adalah seperti piramida di Gambar 13:

Gambar 13 – Piramida kebahagiaan manusia pada umumnya

Kelemahan dari piramida diatas adalah bahwa jika kita terlalu banyak mengejar kesenangan duniawi, rasa bahagia itu tidak bertahan lama. Bekerja dengan passion akan memberikan kita kebahagiaan yang lebih lama, namun kebahagiaan tertinggi dan terdalam adalah jika kita mempunyai tujuan yang lebih besar dari hidup kita sendiri.

Page 42: Productivity Diary by Gede Manggala

42

Membalikkan piramida kebahagiaan

Oleh karena itu, Tony Hsieh menganjurkan agar kita membalikkan piramida kebahagiaan menjadi seperti Gambar 14.

Membuat sebuah tujuan yang menjadi Higher Purpose untuk menggerakkan hidup kita, meraih setiap aktivitas agar kita nikmati dalam Passion yang bergairah dan sekali-sekali menikmati Pleasure. Salah satu cara mengetahui tujuan hidup kita adalah dengan membayangkan kita sedang berbaring di ranjang kematian atau menulis obituari kita sendiri.

Gambar 14 – Piramida kebahagiaan orang produktif dan bahagia

Jika kita tahu apa yang ingin kita lakukan dalam hidup ini, saya yakin kita bisa melakukan berbagai hal setiap hari dengan wajah tersenyum. Produktif dan berbahagia.

Page 43: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

43

Wisma Tamu(karya Jalaluddin Rumi)

Menjadi manusia adalah menjadi wisma tamuSetiap saat ada yang datang

Kegembiraan, kesedihan, keburukanTerkadang kesadaran singgah sebentar

Sebagai tamu tak diundang

Sambut dan jamu mereka semua!Bahkan jika mereka adalah rombongan nestapa

Yang tanpa belas mengosongkan rumahmuMengangkut semua isinya

Tetap perlakukan setiap tamu dengan hormatIa mungkin membersihkanmu

Membawa kebahagiaan baru

Pikiran buruk, rasa malu, niat jahatTemui mereka semua di depan pintu dengan tertawa

Dan ajak mereka masuk

Bersyukurlah atas siapun yang datangKarena setiap tamu telah diutusSebagai pemandu dari alam sana

Page 44: Productivity Diary by Gede Manggala

44

Daftar Pustaka

Allen, David. Getting Things Done: The Art of Stress-Free Productivity. Penguin Books, 2015 (Revised edition).

Ferriss, Timothy. The 4-Hour Workweek: Escape 9-5, Live Anywhere and Jointhe New Rich. Harmony, 2009.

Frankl, Victor. Man’s Search for Meaning. Pocket Book, 1997.

Koch, Richard. The 80/20 Principle: The Secret to Achieving More with Less. Crown Business, 1999.

Tan, Chade-Meng. Search Inside Yourself: The Unexpected Path to Achieving Success, Happiness (and World Peace). HarperOne, 2014.

www.lifehack.org/productivity

Page 45: Productivity Diary by Gede Manggala

sebuah catatan menaklukkan gadget, waktu, dan diri sendiri

45

Tentang PenulisGede Manggala adalah praktisi di bidang continuous improvement. Sekarang ini bekerja sebagai konsultan untuk Edraflo Consulting serta memegang titel Lean Six Sigma Master Black Belt dan menjadi Lead Consultant di Indonesia untuk Variance Reduction International (VRI) sebuah perusahaan konsultan yang bermarkas di Houston, Amerika Serikat.

Dalam perjalanan karirnya, pria asal Bali ini sempat bekerja di PT. Caltex Pacific Indonesia dan GE Money Indonesia untuk berbagai area mulai dari engineering, Lean Six Sigm, CRM serta Marketing. Semua pengalaman itu menjadi latar belakangnya menjadi konsultan untuk berbagai organisasi di Indonesia dan beberapa negara Asia.

Sebagai pengagum W. Edwards Deming, ia tergerak untuk ikut mewujudkan knowledge based society, sebuah konsep tentang masyarakat yang aktif mencari solusi berdasarkan metode ilmiah yang sistematis. Bersama kolega-kolega di Indonesia, penggemar band Pearl Jam ini juga aktif menyebarkan semangat #simplicity101 untuk membuat berbagai topik dan subyek yang penting agar bisa dimengerti dengan lebih mudah oleh masyarakat luas. Ia memimpikan masyarakat yang semakin produktif berkarya. Buku pertamanya yang berjudul The Coconut Principles dan buku yang segera terbit berjudul SOP-it! adalah salah satu usaha untuk mewujudkan keinginan itu.

Meski berusaha serius kala bekerja, Gede menempatkan prioritas tertinggi hidupnya adalah untuk istri dan kedua anaknya.

• Tentang Tim Buku

Rudi Adriyanto Kadarman, Book Concept & Designer

Rudi adalah Chief Designer Edraflo Publishing yang memegang peran vital dalam membuat beberapa buku menjadi sangat menarik, antara lain: The Coconut Principles, Saya Ada Di Sana: Catatan Grunge Lokal, dan Dua Senja Pohon Tua. Sekarang ini ia sedang menyibukkan diri mempersiapkan peluncuran buku Rock Memberontak dan SOP-it. Pria berkaca mata ini sangat menggemari basket, dan musik (terutama Pearl Jam).

Ngurah Nala, Ilustrasi Sampul

Nala adalah dosen di Undiksha (Universitas Pendidikan Ganesha) yang juga aktif di Proyek Utara, sebuah proyek menggerakkan dunia kreatif Bali Utara. Pria ini dikenal karena menuangkan makna yang dalam untuk karya yang tampak ringan dan lucu.

Page 46: Productivity Diary by Gede Manggala
Page 47: Productivity Diary by Gede Manggala
Page 48: Productivity Diary by Gede Manggala

If your business needs simplicity, just call Edraflo!

• www.edraflo.com •+62 815 8560 8650

Nantikan Buku:Rock Memberontak! Karya Eko “Wustuk” Prabowo

Mulai terbit di Gramedia30 November 2015

Dua Senja Pohon Tua Saya Ada Di Sana!