Upload
bramantiyo-marjuki
View
69
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS MATA KULIAH
SISTEM PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH
(PPW604)
Dosen Pengampu Prof. Dr. Ir. Suripin, M.Eng.
PENDANGKALAN DANAU TEMPE SULAWESI SELATAN (1981 – 2015) DAN UPAYA KONSERVASI
SUMBER DAYA AIR YANG DILAKSANAKAN BALAI BESAR WILAYAH SUNGAI POMPENGAN JENEBERANG
Disusun oleh:
BRAMANTIYO MARJUKI
21040116410036
Karyasiswa Kementerian PUPR
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
I. PENDANGKALAN DANAU TEMPE DAN PERMASALAHAN SUMBER DAYA AIR
Danau Tempe merupakan salah satu danau besar yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan,
tepatnya di Kabupaten Wajo (70% area efektif danau berada di kabupaten ini), Kabupaten Sidenreng
Rappang dan Kabupaten Soppeng. Danau ini melintasi 10 Kecamatan dan 51 desa. Secara geografis, Danau
Tempe terletak pada 11950’00” BT - 1205’00” BT dan 400’00’ LS - 410’00’ LS. Dilihat dari karakteristik
geologis, Danau Tempe terletak di atas lempengan benua Australia dan Asia serta merupakan salah satu
danau tektonik di Indonesia. Sungai yang menuju ke danau terdiri dari 23 sungai, yang termasuk dalam
DAS Bila dan DAS Walanae (Hermawan et al, 2015). Danau Tempe berfungsi sebagai penyedia air bersih
dan air baku, pertanian, pariwisata, pencegah bencana alam/banjir, habitat tumbuhan dan satwa, pengatur
fungsi hidrologi, penghasil sumberdaya alam hayati, sumber perikanan (baik budidaya maupun perikanan
tangkap), sumber pendapatan, dan sebagai sarana penelitian dan pendidikan. Danau Tempe memiliki
karakteristik yang dinamis berdasarkan volume air yang mengikuti pola musim. Pada musim kemarau,
volume air danau 9.087 ha, sedangkan pada musim penghujan akan mencakup seluas 25.858 ha (Surur,
2015).
Danau Tempe saat ini telah mengalami pendangkalan intensif dan banyak dari area efektif danau
telah terkonversi menjadi daratan permanen. Hasil kajian pemetaan dan interpretasi citra satelit
multiwaktu (1981, 1989, 2000, dan 2015) yang diambil pada musim penghujan di tahun yang
bersangkutan serta hasil survei lapangan tahun 2015 yang dilakukan penulis menunjukkan luas efektif
Danau Tempe terus menyusut dari waktu ke waktu (Gambar 1). Penurunan luasannya dalam kurun waktu
dua puluh tahun mencapai lebih dari 15 ribu hektar (Tabel 1) dan diperkirakan akan terus menyusut di
masa mendatang apabila tidak dilakukan upaya – upaya konservasi danau. Berdasarkan kajian yang
dilakukan Pance et al (2014), laju penurunan luasan danau mencapai 1,48 km2 per tahun dan diperkirakan
pada musim kemarau tahun 2093 Danau Tempe akan hilang.
Gambar 1. Penyusutan Luas Efektif Danau Tempe (Sumber: Analisis Citra Satelit, 2015)
Tabel 1. Penyusutan Luas Efektif Danau Tempe (Sumber: Analisis Citra Satelit, 2015)
NO SATELIT TANGGAL PEREKAMAN LUAS AREA (Ha)
1. LANDSAT 2*) 21 MEI 1981 28213.44
2. LANDSAT 4 1 APRIL 1989 17611.87
3. LANDSAT 7 21 AGUSTUS 2000 15945.13
4. LANDSAT 8 8 SEPTEMBER 2015 8240.76
*) Danau Tempe dan Sidenreng masih menyatu
Penyusutan luas efektif Danau Tempe berdasarkan hasil analisis spasial, survei lapangan dan
wawancara kepada satuan kerja pengelola danau, disebabkan oleh erosi tinggi di daerah hulu yang
menyebabkan aliran sedimen menuju danau yang masif di setiap musim penghujan. Erosi yang tinggi di
daerah hulu sungai ini disebabkan oleh konversi lahan yang luas dari hutan lindung dan kawasan lindung
lain menjadi kawasan budidaya perkebunan lahan kering (seperti palawija, kemiri dan sebagainya). Selain
itu, Danau Tempe sejak lama telah dipenuhi oleh Eceng Gondok dalam jumlah dan sebaran yang luas.
Keberadaan Eceng Gondok di Danau Tempe ini berdasarkan pengamatan citra satelit multiwaktu diketahui
telah ada sejak Tahun 1989. Sedimentasi intensif dan keberadaan eceng gondok ini berperan dalam
menyusutkan volume air di Danau Tempe dan berperan merusak ekosistem dan biota air tawar di Danau
Tempe.
Dampak negatif lebih lanjut dari penyusutan luasan Danau Tempe adalah lahan baru yang tercipta
dari penyusutan danau disalahgunakan untuk pertanian lahan kering atau pertanian lahan basah musiman.
Kegiatan pertanian yang dilakukan dengan menggunakan pestisida turut mempercepat penyebaran
tanaman eceng gondok. Selain itu, alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian secara perlahan memicu alih
fungsi lebih lanjut menjadi lahan permukiman dan terlegalisasi dengan adanya sertifikat-sertifikat tanah
yang dikeluarkan oleh pihak desa maupun BPN. Dengan diakuinya hak atas tanah secara resmi, menjadi
semakin sulit untuk menata dan mengkonservasi kawasan Danau Tempe karena isu sosial menjadi semakin
kompleks.
Gambar 2. Sedimen dan Eceng Gondok Danau Tempe (Sumber: Survei Lapangan Penulis Tahun 2015)
II. LANGKAH PENANGANAN BBWS POMPENGAN JENEBERANG
Terkait dengan permasalahan yang dihadapi Danau Tempe, BBWS Pompengan Jeneberang sebagai
lembaga perwakilan pemerintah pusat dalam pengelolaan danau beserta berbagai stakeholder baik
kementerian, LSM, pemerintah daerah, dan masyarakat yang tinggal di sekitar danau telah berkomitmen
bersama untuk melakukan langkah-langkah pembenahan dan konservasi Danau Tempe secara
komprehensif dan koordinatif. BBWS Pompengan Jeneberang pada Tahun 2015 telah mengalokasikan
dana pengerukan daerah hulu dari Daerah Aliran Sungai Bila Walanae untuk meningkatkan gradien sungai
yang diharapkan dapat mengurangi laju sedimentasi ke arah danau. Selain itu, pada Tahun 2012 telah
dibangun Bendung Gerak Tempe (BGT) yang berfungsi untuk menahan laju sedimentasi dari sungai-sungai
yang mensuplai air ke Danau Tempe. Selain itu bending gerak juga berfungsi untuk intake PDAM Sengkang.
Beberapa kegiatan yang telah dialokasikan terfokus pada pengurangan sedimen yang masuk ke danau,
pengurangan dampak banjir, dan pemulihan tampungan serta luas efektif danau (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Program BBWS Pompengan Jeneberang
Nama Kegiatan Outcome Kegiatan
Pembangunan Bendung Gerak Tempe Mengurangi volume sedimen yang mengalir menuju Danau Pengerukan Hulu Sungai Bila Meningkatkan gradien sungai Bila untuk mengurangi sedimentasi ke
arah Danau Pemetaan Kepemilikan Lahan Mengetahui status lahan disekitar Danau untuk program Konservasi
daerah sempadan Danau (bekerja sama dengan Balitbang)
III. UPAYA KONSERVASI KOMPREHENSIF DANAU TEMPE
Berdasarkan uraian pada bahasan sebelumnya, langkah-langkah yang dilakukan oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang saat
ini masih berpusat pada penanganan sedimen yang masuk ke danau. Langkah penanganan yang relatif
terbatas ini merupakan langkah sebatas yang mampu dilaksanakan oleh BBWS Pompengan Jeneberang
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Sementara itu, permasalahan sedimen tidak hanya cukup
diselesaikan dengan menahan dan mengurangi laju sedimen atau melakukan pengerukan sedimen yang
masuk ke danau. Langkah-langkah yang lebih komprehensif dan sesuai dengan konsep pengelolaan
wilayah aliran sungai harus dilaksanakan. Daerah tangkapan air di hulu DAS misalnya, harus dikonservasi
dan dikembalikan fungsinya seperti semula, dan tugas ini bukan wewenang dari Kementerian PUPR dan
BBWS Pompengan Jeneberang. Konservasi daerah hulu akan mampu mengurangi laju erosi secara lebih
efektif daripada menahan dan mengeruknya di hilir (yang membutuhkan biaya besar).
Upaya lebih komprehensif ini telah dimunculkan antara lain melalui komitmen Gerakan
Penyelamatan Danau Tempe (GERMADAN TEMPE) yang diinisiasi oleh berbagai stakeholders yang bekerja
di Danau Tempe (Pance et al, 2014). GERMADAN sendiri telah memunculkan rencana program dan
kegiatan lintas sektor guna mewujudkan konservasi Danau Tempe yang lebih komprehensif. Namun sejauh
dari pengamatan yang dilakukan oleh penulis pada akhir tahun 2015, hasil kerjanya masih belum nampak.
Setiap sektor masih bekerja secara terpisah dan keterpaduan koordinasi belum muncul. Andaikata
permasalahan ini masih terus berlangsung di masa depan, maka permasalahan Danau Tempe tidak akan
benar-benar terselesaikan. Permasalahan Danau Tempe (dan juga di tempat lain yang memiliki
karakteristik serupa) mengindikasikan bahwa pengelolaan ruang dan wilayah di Indonesia yang tidak
berbasis pada kewenangan administratif kedaerahan semakin penting dan strategis. Indonesia harus mulai
mempertimbangkan implementasi konsep pengelolaan wilayah melalui institusi dan lembaga yang bekerja
menggunakan konsep wilayah secara fungsional (tidak hanya berdasarkan homogenitas dan administratif
daerah). Pembentukan badan atau lembaga berbasis wilayah seperti Regional Development Agencies
(Gibbs, 2000) yang sudah diimplementasikan di berbagai negara maju mungkin dapat menjadi solusi bagi
permasalahan kewilayahan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Gibbs, D. (2000). Ecological Modernisation, Regional Economic Development and Regional Development
Agencies. Geoforum, 31 (1), 9-19.
Hermawan, F. K., Krisbandono, A., Hakim, M. A., Suriadi, A., Mahida, M., & Hartati, D. M. 2015. Policy Brief:
Pemetaan Sosial Ekonomi Dan Lingkungan: Mendukung Pengembangan Kawasan Dan Konservasi
Ekosistem Danau Tempe Sulawesi Selatan. Jakarta Selatan: Pusat Litbang Kebijakan dan
Penerapan Teknologi Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Pance, R., Saraffah, A., Manurung, H., Harahap, T. N., Retnowati, I., Nasution, S. R., & Rustadi, W. C. 2014.
Gerakan Penyelamatan Danau (GERMADAN) Tempe. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
Surur, F. (2015). Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan – Perubahan Ekologis Danau Tempe di
Desa Pallimae Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo. Plano Madani, 4 (1), 91-102.