8
KECANDUAN OBAT DAN SIRKUIT-SIRKUIT REWARD OTAK A. PRINSIP-PRINSIP DASAR KERJA OBAT Bagian ini di fokuskan pada prinsip-prinsip dasar kerja obat dengan penekanan pada obat-obatan psikoaktif,obat-obatan yang mempengaruhi pengalaman dan perilaku subjektif dengan bekerja pada sistem saraf. Pengadministrasian dan Penyerapan Obat Obat-obatan biasanya diadministrasikan dengan salah satu di antara empat cara: lewat selaput, disuntikan, dihirup, atau diserap melalui selaput lendir hidung, mulut, atau rektrum (usur besar). Rute pengadministrasian obat mempengaruhi tingkat dan derajat pencapaian obat di tempat obat-obat itu bekerja dalam tubuh. Lewat Mulut Rute oral adalah rute pengadministrasian yang lebih di sukai untuk banyak obat. Begitu di telan,obat itu akan larut dalam cairan perut dan di bawa ke usus, tempat obat itu di serap dalam aliran darah. Akan tetapi, sebagian obat dapat mudah menembus dinding perut (misalnya, alkohol) dan ini memberikan efek yang lebih cepat karena tidak harus mencapai usus agar di serap, Obat-obatan yang tidak dapat di serap dengan mudah dari saluran penceranaan atau yang di uraikan menjadi metabolit tidak aktif sebelum dapat di serap harus diambil oleh rute lain. Dua keuntungan utama rute pengadministrasian oral obat adalah kemudahan keamanan relatifnya. Ketidakuntunganya adalah kesulitannya

Drug addiction and reward circuits of the brain

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Drug addiction and reward circuits of the brain

KECANDUAN OBAT DAN SIRKUIT-SIRKUIT REWARD OTAK

A. PRINSIP-PRINSIP DASAR KERJA OBAT

Bagian ini di fokuskan pada prinsip-prinsip dasar kerja obat dengan penekanan pada obat-

obatan psikoaktif,obat-obatan yang mempengaruhi pengalaman dan perilaku subjektif dengan bekerja

pada sistem saraf.

Pengadministrasian dan Penyerapan Obat

Obat-obatan biasanya diadministrasikan dengan salah satu di antara empat cara: lewat selaput,

disuntikan, dihirup, atau diserap melalui selaput lendir hidung, mulut, atau rektrum (usur besar). Rute

pengadministrasian obat mempengaruhi tingkat dan derajat pencapaian obat di tempat obat-obat itu

bekerja dalam tubuh.

Lewat Mulut Rute oral adalah rute pengadministrasian yang lebih di sukai untuk banyak

obat. Begitu di telan,obat itu akan larut dalam cairan perut dan di bawa ke usus, tempat obat itu di

serap dalam aliran darah. Akan tetapi, sebagian obat dapat mudah menembus dinding perut (misalnya,

alkohol) dan ini memberikan efek yang lebih cepat karena tidak harus mencapai usus agar di serap,

Obat-obatan yang tidak dapat di serap dengan mudah dari saluran penceranaan atau yang di uraikan

menjadi metabolit tidak aktif sebelum dapat di serap harus diambil oleh rute lain.

Dua keuntungan utama rute pengadministrasian oral obat adalah kemudahan keamanan

relatifnya. Ketidakuntunganya adalah kesulitannya untuk diprediksi. Penyerapan dari saluran

pencernaan ke dalam aliran darah bisa sangat di pengaruhi oleh faktor-faktor yang sangat sulit di ukur

seperti banyaknya makanan dan tipe makanan di dalam perut.

Lewat Suntikan Suntikan obat lazim di dalam praktik medis karena efek obat yang di

suntikkan kuat, cepat, dan dapat di prediksi. Suntikan obat biasanya dilakukan secara subcutaneously

(SC), yaitu masuk kedalam jaringan lemak tepat di bawah kulit;intramuscularly (IM), ke dalam otot –

otot besar; atau intravenously (IV), langsung ke dalam urat darah di tititik-titik tempat darah itu

mengalir tepat di bawah kulit. Banyak para pecandu obat yang lebih menyukai rute IV karena aliran

darah mengantarkan obat itu langsung ke otak. Selain itu, banyak pecandu yang mengembangkan

jaringan perut, infeksi, dan urat darah yang kolaps di beberapa tempat tubuhnya, yang terdapat urat-

urat darah besar yang dapat di akses.

Page 2: Drug addiction and reward circuits of the brain

Lewat Inhalasi Beberapa obat dapat di serap ke dalam aliran darah melalui jaringan kapiler

yang begitu banyak dalam paru-paru. Banyak anetesiolog (obat bius) yang biasanya di berikan

melalui inhalasi, seperti tembakau dan mariyuana. Dua kelemahan rute ini adalah sulitnya untuk

mengatur dengan tepat dosis obat yang di hirup, dan banyak substansi yang merusak paru-paru bila di

hirup secar kronis.

Penetrasi obat ke sistem saraf pusat

Begitu memasuki aliran darah, obat di bawa dalam darah ke pembuluh-pembuluh darah

sistem saraf pusat. Untungnya, sebuah filter protektif, penghalang darah-otak, menyukitkan banyak

obat yang di bawa darah untuk melewati pembuluh-pembuluh darah CNS ke dalam neuron neuron.

Mekanisme Kerja Obat

Obat-obat psikoatkif mempengaruhi sistem sarfa dengan banyak cara. Sebagian obat

(misalanya, alkohol dan banyka di antara anestertik-anestetik umum) yang bekerja secara menyebar di

seluruh membran-membran neural di seluruh CNS. Obat-obat lainnya bekerja dengan cara yang lebih

spesifik, yaitu dengan cara mengikatkan diri pada reseotor-reseptor sinaptik tertentu; dengan

mempengaruhi sintesis, transportasi, pelepasan, atau deaktivasi neurotransmiter-neurotransmiter

tertentu.

Eliminasi dan Mekanisme Obat

Kerja kebanyakan obat di hentikan oleh enzim-enzim yang di sintetiskan oleh liver (hati).

Enzim hati menstimulasi konversi obat-obat aktif ke bentuk-bentuk non aktif proses yang di sebut

metabolisme obat. Di samping itu, obat—obat psikoaktif dalam jumlah sedikit dari tubuh masuk ke

urin, keringat, feses, napas, dan air susu ibu.

Toleransi Obat

Tolerani obat adalah keadaan kepekaan yang berkurang akibat paparan obat tersebut. Ada tiga

hal yang penting untuk di ingat tentang ke spesifikan toleransi obat.

Sebuah obat dapat menghasilkan toleransi terhadap obat-obatan lain yang bekerja dengan

mekanisme yang sama; ini di sebut cross tolerance (toleransi silang).

Toleransi obat sering kali berkembang ke sebagian efek obat, tetapi tidak untuk efek obat

lainnya. Faktanya, toleransi dapat berkembang ke sebgian efek obat sementara sentivitas

terhadap efek-efek lain dari obat yang sama justru meningkat. Meningkatnya kepekaan

terhadap obat di sebut sensitisasi obat (Robinson,1991).

Page 3: Drug addiction and reward circuits of the brain

Toleransi obat bukan sebuah fenomenon uniter; artinya, tidak ada sebuah mekanisme tunggal

yang mendasari semua contohnya. Dua kategori perubahan mendasari toleransi obat :

metabolik dan fungsional. Toleransi obat yang diakibatkan oleh perubahan—perubahan yang

mengurangi banyaknya obat yang sampai pada lokasi-lokasi kerjanya di sebut toleransi

metabolik. Toleransi obat yang di akibatkan oleh perubahan-perubahan yang mengurangi

reaktivitas lokasi-lokasi kerja di sebut toleransi fungsional.

Efek Penghentian Pemakaian Obat dan Ketergantugan Fisik

Setelah obat dalam jumlah yang signifikan sudah dalam tubuh dalam kurun waktu tertentu

(misalnya beberapa hari), eliminasi obat itu secara tiba-tiba dapat memicu sebuah reaksi fisiologis

adversif yang disebut withdrawal syndrome. Efek-efek withdrawal (penghentian pemakaian) obat

hampir selalu berlawanan dengan efek-efek awal obat itu. Individu-individu yang mengalami reaksi-

reaksi withdrawal ketika memakai obat di katakan tergantung secara fisik pada obat itu. Menurut teori

ini, paparan sebuah obat menghasilkan perubahan-perunahan kompensatorik di dalam sistem saraf

yang meng-offset efek-efek obat dan menghasilkan toleransi.

Berat atau ringannya gejala withdrawal bergantung pada obat yang di maksud, pada durasi

paparan obat sebelumnya, dan seberapa cepat obat itu di eliminasi tubuh. Secara umum, paparan ke

dosis lebih besar yang diikuti oleh eliminasi yang lebih cepat menghasilkan efek withdrawal yang

lebih besar.

Kecanduan apa yang di maksud ?

Addict (pacandu) adalah pemakai obat habitual, tetapi tidak semua pemakai obat habitual

adalah pecandu. Pecandu adalah pemakai obat habitual yang terus memakai obat terlepas upacaya dari

berulang-kali untuk menghentikannya. Meskipun penyederhana konsepsi semacam ini sangat

menggoda, tetapi konsepsi tentang adiksi obat ini tidak konsisten dengan bukti-buktinya. Pecandu

kadang memakai obat untuk mencegah atau mengurangi withdrawalnya (Baker et al..,2006), tetapi ini

bukan faktor utama pendorong adiksinya. Bahkan, orang yang sangat kegemukan, yang terus-menerus

melahap makanan tinggi kalori jelas memenuhi definisi addict (pecandu) (Volkow & Wise, 2005.

B. Peran belajar dalam Toleransi Obat

Salah satu penelitian psikofarmalogis penting menunjukkan bahwa belajar memeainkan peran

penting dalam toleransi obat. Penelitian tentang peran belajar di dalam toleransi obat di fokuskan pada

dua fenomena: contingent drug tolerance dan conditioned drug tolerance.

Contingent Drug Tolerance

Page 4: Drug addiction and reward circuits of the brain

Contingent drug tolerance mengacu pada demonstrasi bahwa toleransi berkembang hanya

pada efek-efek obat yang benar di alami. Dalam eksperimen sebelum dan sesudah, dua kelompok

subjek menerima serangkaian suntikan obat yang sama dan serangkaian obat yang sama, tetapi subjek

di salah satu kelompok menerima obat sebelum setiap tes dan subjek di kelompok lain menerima obat

setelah setiap tes. Selama fase pengembangan toleransi, tikus-tikus di salah satu kelompok menerima

suntikan alkohol 1 jam sebelum stimulasi konvulsif ringan pada amigdala sehingga efek

antikonvulsan alkohol dapat dapat di alami setiap percobaan. Tikus-tikus di kelompok lain menerima

suntikan satu jam setiap setelah stimulasi konvulsif sehingga banyaknya toleransi terhadap efek

antikonvulsan alkohol pada kedua kelompok itu dapat di bandingkan. Contingent drug Tolerance

telah didemonstrasikan untuk banyak efek obat lainnya dan banyak spesies.

Conditioned Drug Tolerance

Conditioned drug tolerance mengacu pada demonstrasi bahwa efek-efek toleransi

diekspresikan paling maksimal hanya ketika sebuah obat diadministrasikan di situasi yang sama

dimana mereka sebelumnya diadministrasikan. Di salah satu demonstrasi toleransi obat terkondisi

(Crowell, Hinson & Siegel, 1981), dua kelompok tikus menerima 20 suntikan alkohol dan 20 suntikan

salin (garam) secara bergantian, satu suntikan setiap hari. Satu-satunya perbedaan di antara kedua

kelompok tikus-tikus disalah satu kelompok menerima ke-20 suntikan alkohol di ruang tes yang sama

sekali berbeda dan 20 suntikan salin di ruang koloni, sementara tikus-tikus di ruangan lain menerima

suntikan alkohol dan suntikan salin di ruang tes yang sama sekali berbeda. Ada belusin-lusin

demonstrasi lain untuk situational specificity of drug tolerance (toleransi obat spesifik-situasi).

Toleransi obat yang spesifik-situasi ini membuat Siegel dan rekan-rekan sejawatnya untuk

mengatakan bahwa pecandu bisa sangat rentan terhadap efek-efek mematikan overdosis obat bila obat

itu diadministrasikan di sebuah konteks baru. Hipotesis mereka adalah pecandu menjadi toleran bila

mereka mengadministrasikan-sendiri obat mereka secara berulang-ulang di lingkungan yang sama

dan, sebagai akibatnya, mulai memakai dosis yang semakin laa semakin besar untuk mengatasi

berkurangnya efek obat. Siegel melihat insiden administrasi obat di sebuah percobaan pengondisian

Pavlovian, yang berbagai stimuli lingkunganya yang lazim reguler memprediksi pengadministrasian

obat itu (misalnya, pub, kamar kecil, jarum, pecandu lain) adalah kondisi-kondisional efek-efek obat

adalah stimuli tak kondisional. Siegel mengistilahkan respon hipotesis yang berlawanan ini

conditioned compensatory responses (respon kompensatorik terkondisi). Kebanyakan tentang

toleransi obat terkondisi menggunakan stimuli eksteroseptif (stimuli publik eksternal, seperti

lingkungan pengadministrasian obat) sebagai stimuli kondisionalnya. Aakan tetapi, stimuli

interoseptif (stimuli pribadi internal) sama efektifnya dalam peran ini. Sebagai contoh, perasaan yang

di hasilkan oleh ritual memakai obat dan efek-efek ringan pertama obat yang di alami setelah di

administrasikan obat. Meskipun toleransi berkembang ke banyak efek obat, kadang-kadang hal yang

Page 5: Drug addiction and reward circuits of the brain

sebaliknya sensitisasi terjadi. Sensitisasi obat, seperti hanya toleransi obat, dapat mengalami spesifik-

situasi. Sebagai contoh, Anagnostaras dan Robinson (1996) mendemostrasikan sensitisasi spesifik-

situasi terhadap efek-efek stimulan motorik amfetamin. Efek withdrawal obat dan respons

kompensatorik terkondisi serupa: Keduanya adalah respon yang berlawanan dengan efek tak

terkondisi obat dimaksud.

Berpikir tentang Pengondisian Obat

Disemua situasi yang obat diadministrasikan berulang-ulang, efek-efek terkondisi tak

terhindarkan. Akan tetapi, kebanyakan teori tentang pengondisian obat memiliki masalah serius:

Mereka sulit memprediksi arah efek-efek terkondisi itu. Ramsay dan Woods (1997) berpendapat

bahwa bayak kebingungan tentang efek-efek terkondisi obat berasal dari kesalahpahaman terhadap

pengondisian Pavlovian. Secara khusus, mereka mengkritik asumsi lazim bahwa stimulus tak

terkondisional di dalam eksperimen toleransi obat adalah obat itu dan bahwa respon tak

terkondisionalnya adalah perubahan apapun pada fisiologi atau perilaku yang kebetulan terekam oleh

si eksperimenter. Perubahan dalam prespektif ini mmembuat perbedaan besar. Sebagai contoh, dalam

eksperimen toleransi alkohol Crowell dan rekan-rekan sejawat nya (1981) yang telah didekskripsikan

sebelumnya, alkohol di anggap sebagai stimulus tak kondisionalnya dan hipotermia yang di hasilkan

adalah respons tak kondisionalnya. Sebaliknya, Ramsay dan Woods mengatakan bahwa stimulus tak

kondisionalnya adalah hipotermia yang di hasilkan secara langsung oleh paparan alkoohol, sementara

perubahan kompensatorik yang cenderung menangkal berkurangnya suhu tubuh adalah respon tak

kondisionalnya.