87
ULTIMA COMM Jurnal Ilmu Komunikasi Efektivitas Twier Sebagai Medium Promosi Anastasia Prima dan Emrus New Media dan Multikulturalisme Frame media online dalam mengemas isu anti multikulturalisme dalam Pilkada DKI 2012 Indiwan seto wahyu Wibowo Volume I, Nomor 5• Maret-Mei 2014 ISSN 1979-1232 Perspektif & Masalah Komunikasi Partai NasDem sebagai Partai Politik Baru di Indonesia Inco Hary Perdana “The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV” Novita Damayanti Penjahat Proletar Ala Bajuri (Realisme dalam Komedi Situasi Bajaj Bajuri Edisi ‘Jalani Lebaran dalam Tahanan’) Djatiprasetyani Hadi Anomalous Democracy: Examination on the Correlation between Press Freedom and Levels of Corruption in Indonesia and Singapore F. X. Lilik Dwi Mardjianto Citra Partai Demokrat di Media Cetak Analisis Pemberitaan Kisruh Wisma Atlit di Harian Media Indonesia Yoyoh Hereyah

jurnal ilmu komunikasi UMN

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal ilmu komunikasi Ultimacomm ini diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Jalan Gading Serpong Tangerang Banten Telp pengurus 082112297660

Citation preview

Page 1: jurnal ilmu komunikasi UMN

ULTIMA COMMJurnal Ilmu Komunikasi

Efektivitas Twitter Sebagai Medium PromosiAnastasia Prima dan Emrus

New Media dan MultikulturalismeFrame media online dalam mengemas isu anti multikulturalisme dalam Pilkada DKI 2012 Indiwan seto wahyu Wibowo

Volume I, Nomor 5• Maret-Mei 2014

ISSN 1979-1232

Perspektif & Masalah KomunikasiPartai NasDem sebagai Partai Politik Baru di IndonesiaInco Hary Perdana

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV” Novita Damayanti

Penjahat Proletar Ala Bajuri (Realisme dalam Komedi Situasi Bajaj Bajuri Edisi ‘Jalani Lebaran dalam Tahanan’) Djatiprasetyani Hadi

Anomalous Democracy:Examination on the Correlation between Press Freedom and Levels of Corruption in Indonesia and SingaporeF. X. Lilik Dwi Mardjianto

Citra Partai Demokrat di Media Cetak Analisis Pemberitaan Kisruh Wisma Atlit di Harian Media IndonesiaYoyoh Hereyah

Page 2: jurnal ilmu komunikasi UMN

Pelindung Rektor UMN

Dr Ninok Leksono

Penanggung jawabDekan Ilkom

Ir Andrey Andoko M.Sc

Ketua Jurusan Ilmu KomunikasiDr Bertha Sri Eko M.Si

Ketua PenyuntingDrs Indiwan Seto Wahyu Wibowo M.Si

Desain dan LayoutYurike Prastica Arini

SekretarisDra. Joice Caroll Siagian, M.Si

Dewan PenyuntingAmbang Priyonggo

FX.Lilik MDr Endah Muwarni

Augustinus Roni Siahaan M.Si

Sirkulasi & DistribusiMelly

Alamat Redaksi :Jl. Boulevard Gading Serpong Tangerang – Banten

Telp : (021) 5422 0808/ 3703 9777Fax : (021) 5422 0800

ULTIMA COMMJurnal Ilmu Komunikasi

Volume I, Nomor 5• Maret-Mei 2014ISSN 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi diterbitkan tiga kali dalam satu tahun sebagai media infor-masi karya ilmiah untuk bidang kajian Ilmu Komunikasi di Indonesia. Redaksi me-nerima naskah berupa artikel ilmiah, ringkasan hasil penelitian atau resensi buku. Redaksi berhak untuk menyunting isi naskah tanpa mengubah substansinya.

Page 3: jurnal ilmu komunikasi UMN

KATA PENGANTAR

ULTIMA COMMJurnal Ilmu Komunikasi

Volume I, Nomor 5• Maret-Mei 2014ISSN 1979-1232

Media Baru merupakan media yang sangat potensial, di satu sisi mampu menawarkan informasi secara interaktif. Sebagai bagian dari komunikasi yang memberi pencerahan kepada masyarakat. Salah satu fungsi dari komunikasi adalah memberikan informasi dan pengetahuan dan bisa mencerdaskan. Begitu juga dengan Jurnal Ilmu Komunikasi ‘ULTIMA COMM” edisi Maret-Mei 2014 yang hadir di hadapan para pembaca. Dalam edisi kali ini, jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Mul-timedia Nusantara menyampaikan sejumlah topik bahasan diantaranya persoalan new media, semiotika dan komunikasi politik. Di antaranya, ada artikel terkait dengan framing seputar pemberi-taan media baru. Artikel berjudul New Media dan MultikulturalismeFrame media online dalam mengemas isu anti multikulturalisme dalam Pilkada DKI 2012. Masih terkait dengan pemberitaan media ada artikel mengenai “Anomalous Democracy: Examination on the Correlation between Press Freedom and Levels of Corruption in Indonesia and Singapore ditulis oleh F. X. Lilik Dwi Mardjianto. Begitu juga sejumlah artikel dan hasil penelitian memberi warna jurnal Ilmu Komunikasi ini yang ditulis oleh sejumlah akademisi dan praktisi Ilmu Komunikasi. Terkait dengan Komunikasi politik, edisi jurnal kali ini mengangkat Perspektif & Masalah Komunikasi Partai NasDem sebagai Partai Politik Baru di Indonesia yang ditulis oleh Inco Hary Perdana Redaksi sangat berterimakasih atas partisipasi teman sejawat, dan penulis-penulis di bidang Komunikasi. Kami selalu menunggu ha-sil karya teman-teman, praktisi Komunikasi dan bapak ibu dosen dalam penerbitan jurnal berikutnya.

Maret-Mei 2014 • Volume I, Nomor 5ii

Page 4: jurnal ilmu komunikasi UMN

DAFTAR ISI

ULTIMA COMMJurnal Ilmu Komunikasi

Volume I, No.5 Edisi Maret-Mei 2014ISSN 1979-1232

Efektivitas Twitter Sebagai Medium Promosi Anastasia Prima dan Emrus(Mahasiswa dan Dosen Universitas Pelita Harapan) 1-7

Anomalous Democracy: Examination on the Correlation between Press Freedom and Levels of Corruption in Indonesia and SingaporeF. X. Lilik Dwi Mardjianto 8-15

New Media dan MultikulturalismeFrame media online dalam mengemas isu anti multikulturalisme dalam Pilkada DKI 2012Indiwan seto wahyu Wibowo 16-28

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presiden- tial-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV” Novita Damayanti 29-44

Perspektif & Masalah KomunikasiPartai NasDem sebagai Partai Politik Baru di IndonesiaInco Hary Perdana 45-51

Penjahat Proletar Ala Bajuri (Realisme dalam Komedi Situasi Bajaj Bajuri Edisi ‘Jalani Lebaran dalam Tahanan’) Djatiprasetyani Hadi 52-69

Citra Partai Demokrat di Media Cetak Analisis Pemberitaan Kisruh Wisma Atlit di Harian Media Indonesia Yoyoh Hereyah, M.Si 70-83

Volume I, Nomor 5• Maret-Mei 2014 iii

Page 5: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN : 1979-1232

JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI

Anastasia(mahasiswa)

Emrus (dosen Pembimbing)

Universitas Pelita Harapan

Jl. M.H. Thamrin BoulevardTangerang, 15811 Banten

P: (021) 546 0901 ext. 1171-1172

Abstract:Dalam bidang bisnis, Internet sarana penghubung perusahaan dengan pelanggan secara cepat. Salah

satu medium dalam Internet ialah Twitter, yang merupakan situs microblogging. Pemilik akun Twitter dapat menyampaikan apa saja dalam 140 karakter. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan, twitter merupakan medium yang sangat efektif bagi usaha kecil, seperti yang dilakukan oleh restoran Taiyo Sushi dalam melakukan promosi. Hal ini dapat menjadi gambaran bagi praktisi usaha kecil menggunakan twitter sebagai medium promosi

Keywords: efektivitas, Twitter, medium promosi

PENDAHULUAN Internet, singkatan dari interconnect-

ed network, membawa perubahan dalam berkomunikasi (Seitel, 2011, 393). Internet menjadi alat penyampaian pesan sangat cepat. Salah satu komunikasi melalui Inter-net adalah social media, seperti Facebook dan Twitter.

Sekalipun muncul belakangan, peng-gunaan Twitter mengalahkan Facebook. Ber-dasarkan data Internet World Stats, diakses 23 September 2011, pengguna Internet di Indonesia pada Desember 2010 mencapai 39.600.000 orang. Twitter diluncurkan pada tahun 2006, sedangkan Facebook lebih da-hulu diluncurkan, yakni pada tahun 2004 (O’Dell, 2011). Tetapi, berdasarkan pada data dari comscore.com (diakses 19 September 2011), pada tahun 2010, penetrasi Twitter di Indonesia (rasio pengguna Twitter diband-ing pengguna Internet) menempati pering-kat pertama di dunia, sedangkan Facebook menempati peringkat ke tiga. Selain itu, ber-

dasarkan penelitian yang dilakukan, seperti yang dilansir oleh www.marketinghq.com.au ,diakses 25 Oktober 2011, terdapat 52% pengguna Twitter melakukan pembaharuan (update) status setiap hari. Padahal, hanya 12% pengguna Facebook yang melakukan hal serupa.

Dalam hubungannya dengan bisnis, penelitian oleh Cruz dan Mendelsohn (2010, 13) mengungkapkan bahwa sejak menjadi pengikut sebuah akun (follower), 67% fol-lowers Twitter akan membeli produk atau jasa yang ditawarkan oleh sebuah akun Twit-ter bisnis, sedangkan hanya 51% fans sebuah akun bisnis di Facebook yang melakukan pembelian. Selain itu, 79% followers Twit-ter akan merekomendasi suatu akun Twitter bisnis kepada orang lain, dimana hanya 60% fans Facebook yang melakukan hal serupa. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 64% pemasar memilih Twitter sebagai alat pertama ketika memulai suatu usaha baru. Data yang didapat membuat Twitter menjadi

1

Page 6: jurnal ilmu komunikasi UMN

EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI ANASTASIA & EMRUS

menarik untuk diteliti. Meskipun berkomunikasi lewat In-

ternet tidak memerlukan biaya, keefektifan suatu medium sangat perlu diketahui agar tidak menjadi sebuah kesia-siaan. Oleh kare-na itu, tulisan ini menyajikan sejauh mana keefektifan Twitter sebagai medium promosi oleh restoran Taiyo Sushi.

MASALAH PENELITIAN Merujuk pada latar belakang, maka

pnelitian ini membahas tentang efektivitas Twitter sebagai medium proposi bagi Taiyo Sushi.

SUBYEK PENELITIAN Restoran Taiyo Sushi merupakan se-

buah usaha rumah makan yang menawarkan makanan dan minuman khas negeri Jepang. Restoran ini berada di Jalan Pluit Putra Raya nomor 17, Jakarta Utara. Restoran yang di-buka sejak tanggal 4 Mei 2011 ini memiliki 40 karyawan. Berdasarkan jumlah karyawan tersebut, Restoran Taiyo Sushi, menurut Stel-zer (2011, 17) termasuk sebagai usaha kecil.

Ada beberapa latarbelakang menjadi-kan restoran ini menjadi tempat penelitian, yaitu: (1) restoran Taiyo Sushi termasuk dalam jenis usaha yang baru (buka selama enam bulan). Hal ini sesuai dengan kegu-naan dari penelitian ini; (2) restoran Taiyo Sushi bertempat di Jakarta, dimana Jakarta merupakan kota yang memiliki jumlah usaha restoran terbesar di Indonesia, yakni sebesar 26,1 persen (http://binaukm.com/2010/05/se-baran-wilayah-usaha-peluang-usaha-rumah-makan-restoran, diakses 1 November 2011) dan ; (3) restoran Taiyo Sushi menggunakan Twitter sebagai salah satu medium dalam melakukan promosi (Darusman, 2011).

TINJAUAN PUSTAKA

Internet sebagai channel atau medium dalam model komunikasi interaksional oleh Wilbur Schramm (West & Turner, 2007, 12). Menurut Belch dan Belch (2009, 149), chan-nel adalah tempat dimana pesan berjalan dari sender ke receiver. Hal ini berarti Inter-net menjadi sarana penyampaian pesan oleh restoran Taiyo Sushi. Namun ada feedback dari penerima pesan sesuai dengan sifat In-ternet yang interaktif (Duncan, 2008, 389).

Medium dalam Internet yang diteliti ialah Twitter, yang merupakan sebuah lay-

anan microblogging dimana penggunanya dapat menyampaikan pesan dalam 140 kara-kter (Boyd, Goler, & Lotan, 2010, 1). Setiap

pengguna memiliki nama akun yang dilam-bangkan dengan simbol @ (Jantsch, 2009, 4). Langkah awal bersosialisasi melalui Twit-ter dengan menuliskan tweet, yakni pesan umum pada Twitter (Sulianta, 2011, 41-42). Sebuah pemilik akun dapat mengikuti perkembangan pembaharuan status akun lain dengan menjadi follower akun tersebut (Jantsch, 2009, 4). Interaktivitas dalam Twit-ter terlihat melalui mention (menyebutkan akun lain) (Sulianta, 2011, 42) dan retweet (mempublikasikan ulang tweet akun lain) (Jantsch, 2009, 4). Berikut visualisasinya:

Gambar 1. Mention Kepada Akun Twitter Restoran Taiyo Sushi.Sumber: twitter.com/TaiyoSushi, diakses 20 November 2011

Gambar 2. Retweet Terhadap Pesan Akun Twitter Restoran Taiyo Sushi

Sumber: twitter.com/TaiyoSushi, diakses 20 November 2011

Twitter digunakan oleh restoran Taiyo Sushi melakukan promosi. Promosi meru-pakan penggunaan komunikasi untuk mem-berikan informasi dan membujuk individu, kelompok, atau organisasi untuk membeli produk atau jasa dari sebuah perusahaan (Fill, 2009, 932). Selain itu, promosi juga merupakan komunikasi dengan pelang-gan atau calon pelanggan (Shimp, 2007, 4). Promosi yang dimaksud dalam penelitian ini ialah menyebarkan informasi mengenai produk, harga produk, alamat, serta pro-mosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi.

Sebagai medium promosi, perlu dilaku-kan pengukuran keefektifan Twitter dengan menggunakan model information process-ing, sebagaimana dikemukakan Chaffey dan Smith (2008, 122), Hofacker’s model has five stages of information processing which can be used to review the effectiveness of an ad or a promotional container, or overall page template layout on a site.

2

Page 7: jurnal ilmu komunikasi UMN

EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI ANASTASIA & EMRUS

Pertama, Exposure. Tahap ini terjadi pada saat stimulus menyentuh atau ditang-kap oleh salah satu atau lebih bagian dari panca indera (Engel et al., 1995, 472). Stimu-lus merupakan masukan atau input apapun yang datang dari pemasar yang disampaikan kepada konsumen melalui berbagai media (Sumarwan, 2004, 70). Setiap manusia me-miliki tingkat respon penerimaan stimulus yang berbeda (Sumarwan, 2004, 70). Tingkat keterpaparan seseorang terhadap stimulus dipengaruhi intensitas stimulus. Dengan me-ningkatnya intensitas, terdapat kemungki-nan meningkatnya tingkat exposure, demiki-an Sumarwan (2004, 71).

Berdasarpan pandangan di atas dikait-kan dengan penelitian yang dilakukan, maka exposure terjadi pada saat followers akun Twitter restoran Taiyo Sushi membaca pesan (tweet) mengenai produk beserta harga yang ditawarkan dan promosi penjualan yang ber-langsung di restoran Taiyo Sushi. Selain itu, followers membaca alamat restoran Taiyo Sushi pada kolom biodata dan melihat foto produk yang diunggah (upload) oleh akun Twitter restoran Taiyo Sushi.

Kedua, Attention. Menurut Copley (2004, 56), attention merupakan reaksi afektif (perasaan atau emosi). Customer menyeleksi stimuli yang telah dipaparkan untuk diper-hatikan dan diproses lebih lanjut. Proses ini dinamakan perceptual selection (Sumar-wan, 2004, 75-76). Manusia memilih stimulus mana yang ingin mereka perhatikan. Menu-rut Hoyer dan Maclnnis (2010, 75), seseorang cenderung kurang memperhatikan hal yang sering ia lihat sebelumnya. Oleh karena itu, pemasar membutuhkan kreatifitas agar tidak menampilkan stimuli yang sama.

Disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan, attention terjadi pada saat stimuli yang disampaikan menarik bagi followers akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Stimuli tersebut terdiri dari pesan (tweet) mengenai produk dan harga yang ditawarkan, serta promosi penjualan yang berlangsung di restoran Taiyo Sushi. Alamat restoran dan foto produk yang diunggah juga menjadi stimuli yang disampaikan.

Ketiga, Comprehension and Perception. Pemahaman terjadi ketika seseorang beru-saha menginterpretasikan stimulus (Sumar-wan, 2004, 83). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Schiffman dan Kanuk (2000, 158) mengartikan persepsi sebagai proses dima-na suatu individu memilih, mengatur, dan mengartikan stimuli menjadi sesuatu yang

bermakna. Namun, dapat terjadi miscom-prehension dalam tahap ini, yakni dimana seseorang kurang akurat dalam mengartikan sebuah pesan (Hoyer & Maclnnis, 2010, 110). Untuk meningkatkan keakurasian interpre-tasi pesan, perlu menyusun pesan mudah dipahami dengan menggunakan kata yang sederhana (Hoyer & Maclnnis, 2010, 111).

Disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan, comprehension and perception terjadi pada saat customer dapat memaha-mi pesan (tweet) dan foto produk yang dis-ampaikan oleh akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Pesan yang dimaksud berisikan in-formasi mengenai produk dan harga yang ditawarkan, promosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi, serta lo-kasi (alamat) restoran Taiyo Sushi yang ter-tera pada kolom biodata.

Keempat, Yielding and Acceptance. Chaffey dan Smith (2008, 157) mengungkap-kan bahwa yielding and acceptance terjadi ketika informasi yang dipaparkan itu dapat diterima oleh customer. Lebih jauh lagi, En-gel et al. (1995, 497-458) menyatakan bahwa yielding and acceptance berfokus pada efek persuasif stimulus, baik dari sisi kognitif (pengetahuan) maupun afektif (sikap). Untuk dapat mempengaruhi pengetahuan, Hoyer dan Maclnnis (2010, 133) menyarankan agar isi pesan memuat argumen yang kuat. Se-dangkan untuk dapat mempengaruhi sisi afektif seseorang, sebuah pesan hendaknya menyentuh sisi emosional manusia, seperti perasaan suka, takut, marah, malu, sukaci-ta, atau lain sebagainya (Hoyer & Maclnnis, 2010, 140).

Disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan, yielding and acceptance terjadi pada saat pesan (tweet) dan foto produk yang disampaikan oleh akun Twitter restoran Taiyo Sushi, serta alamat restoran yang terte-ra pada kolom biodata akun Twitter restoran Taiyo Sushi dapat berguna dalam sisi kognitif dan afektif followers. Sisi kognitif followers ditandai dengan bertambahnya pengetahuan followers, serta sisi afektif ditandai dengan munculnya keinginan untuk mengunjungi restoran Taiyo Sushi dan membeli produk yang ditawarkan. Pesan (tweet) yang disam-paikan berisi informasi mengenai produk, harga produk, dan promosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi.

Kelima, Retention. Loudon dan Bitta (1993, 402) mendefinisikan retention sebagai materi yang telah dipelajari, yang diingat oleh seseorang. Hal ini serupa dengan apa

3

Page 8: jurnal ilmu komunikasi UMN

EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI ANASTASIA & EMRUS

yang diungkapkan oleh Schiffman dan Ka-nuk (2000, G-11) mengenai retention, yakni kemampuan seseorang dalam menyimpan informasi dalam ingatannya. Informasi yang disimpan adalah interpretasi mereka ter-hadap stimulus yang diterima (Sumarwan, 2004, 85). Cara yang dapat dilakukan pema-sar dalam meningkatkan retention ialah me-nyampaikan stimuli secara rutin dengan tu-juan untuk mengingatkan (Sumarwan, 2004, 89). Hal ini dinamakan recirculation oleh Hoyer dan Maclnnis (2010, 177).

Disesuaikan dengan penelitian ini, re-tention terjadi ketika followers akun Twit-ter restoran Taiyo Sushi dapat mengingat pesan (tweet) dan foto produk yang pernah disampaikan, serta dapat mengingat alamat restoran Taiyo Sushi yang tertera pada kolom biodata akun Twitter tersebut. Pesan (tweet) yang disampaikan merupakan informasi mengenai produk dan harga yang ditawar-kan, serta promosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi.

METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini ialah pendekatan kuantitatif, yang berarti pengukuran dilakukan dengan menggunakan angka sebagai representasi suatu karakteristik (Hair et al., 2007, 424). Teknik pelaksanaan dilakukan melalui survei deskriptif yang merupakan salah satu teknik dalam penelitian kuantitatif (Sandjaja & Heriyanto, 2006, 57). Menurut Sekaran (2000, 125), penelitian deskriptif merupakan peneli-tian yang digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik dari variabel di dalam suatu situasi dan survei adalah teknik penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi (Singarimbun & Effendi, 1989, 3).

Populasi adalah sekelompok orang yang akan diteliti oleh peneliti (Sekaran, 2000, 266) yang memiliki pengetahuan akan topik tertentu (Hair et al., 2007, 170), sedan-gkan sampel ialah bagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data (Riduwan, 2009, 56). Teknik pengambilan sampel menggu-nakan teknik convenience sampling, yakni pemilihan sampel yang dengan sukarela memberikan informasi yang dibutuhkan (Hair et al., 2007, 181).

Berdasarkan definisi tersebut, popu-lasi dalam penelitian ini ialah followers akun Twitter restoran Taiyo Sushi yang berjumlah 464 orang (twitter.com/TaiyoSushi, diakses 20 November 2011) dan anggota populasi yang sukarela memberikan jawaban atas angket

yang disebarkan merupakan sampel dalam penelitian ini. Menurut Neuman (2000, 217), ukuran populasi kurang dari 1000 menggu-nakan rasio sampel minimal 30 persen dari jumlah populasi. Maka dari itu, 140 sampel adalah jumlah minimum sampel yang dibu-tuhkan.

Data dalam penelitian ini didapat me-lalui kuesioner sebagai alat pengumpul uta-ma dari setiap individu pada penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif (Hair et al., 2007, 424) dan wawancara dengan rep-resentatif dari restoran Taiyo Sushi. Angket dibuat pada situs www.kwiksurveys.com dan alamat (link) angket tersebut disebarkan melalui fitur direct message Twitter kepada 464 followers akun Twitter restoran Taiyo Su-shi.

Analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif, yang berfungsi untuk mengelompokkan data, menggarap, meny-impulkan, memaparkan serta menyajikan hasil olahan (Arikunto, 2005, 298). Sebagai penelitian deskriptif, penelitian ini mem-berikan gambaran tentang fenomena tentang Twitter sebagai medium promosi. Karena itu, penelitian ini menggunakan univariate sta-tistic, yakni melihat distribusi frekuensi dari hasil yang didapat (Fielding & Gilbert, 2000, 49).

Untuk melihat efektivitas, penelitian ini merujuk kepada rumusan yang dike-mukakan oleh ahli. Efektivitas menurut Hi-dayat (1986) yang dikutip oleh Kristi (2010, 8) adalah “suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Artinya, semakin be-sar persentase target yang dicapai, semakin tinggi efektivitasnya”.

Berdasarkan definisi tersebut, jawaban responden terhadap kuesioner diintepreta-sikan menjadi skor dengan kriteria sebagai berikut (Riduwan, 2009, 88): (a) Sangat Tidak Setuju = Sangat Lemah = Sangat Tidak Efek-tif = 20%; (b) Tidak Setuju = Lemah = Ti-dak Efektif = 21% sampai 40%; (c) Netral = Cukup = Cukup Efektif = 41% sampai 60%; (d) Setuju = Kuat = Efektif = 61% sampai 80%; (e) Sangat Setuju = Sangat Kuat = Sangat Efektif = 81% sampai 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN Data didapat dari 160 responden yang

menjawab angket yang telah disebarkan. Ter-dapat 70% responden berjenis kelamin pria (48 orang) dan 30% berjenis kelamin wanita

4

Page 9: jurnal ilmu komunikasi UMN

EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI ANASTASIA & EMRUS

(112 orang). Selain itu, 21.3% responden (34 orang) yang berusia kurang dari 20 tahun, 76.9% responden (123 orang) yang berusia antara 20 sampai 40 tahun, dan 1.9% respon-den (3 orang) yang berusia di atas 40 tahun. Mayoritas responden (94,4% atau 151 orang) tinggal di Jakarta dan sisanya (5.6% atau 9 orang) tinggal di luar Jakarta, yakni Band-ung, Tangerang, Samarinda, Bekasi, Yogya-karta, Balikpapan, Bekasi (2 orang), dan Mel-bourne (Australia).

Hasil perhitungan data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat disajikan pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Persentase Efektivitas Dimensi

Persentase

Kategori

Exposure 85.975% Sangat Efek-tif

Attention 83.375% Sangat efek-tif

Comprehen-sion

81.455 Sangat efektif

Acceptance 79.45% EfektifRetention 75.3% EfektifInformation Processing

80.83 % Sangat Efektif

Sumber: Olahan Peneliti, 2011

Dari tabel di atas, dimensi (tahap) ex-posure, attention, dan comprehension dalam variabel information processing dapat di-kategorikan sangat efektif, dimana dimensi acceptance dan retention termasuk dalam kategori efektif. Secara keseluruhan, Twit-ter merupakan medium promosi yang san-gat efektif bagi restoran Taiyo Sushi dengan persentase 80.83%. Akun Twitter restoran Taiyo Sushi memanfaatkan hampir semua fi-tur yang terdapat di dalam Twitter. Ia meng-gunakan komponen utama dalam Twitter yakni tweet untuk memberikan informasi kepada pengikutnya, mengisi kolom biodata dengan alamat restoran, dan komponen tam-bahan yakni unggah foto. Berikut pemba-hasan dari masing-masing dimensi:

1. Exposure Berdasarkan hasil perhitungan, Twit-

ter dikatakan Sangat Efektif pada tahap pemaparan. Hal ini dikarenakan restoran

Taiyo Sushi menggunakan komponen utama dalam Twitter, yakni tweet dan kolom bioda-ta, yang menunjukkan keberadaannya seb-agai sebuah akun Twitter. Dengan persentase 85.975%, dapat dikatakan bahwa stimulus yang disampaikan restoran Taiyo Sushi me-lalui akun Twitter ditangkap oleh pengli-hatan pengikutnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Engel et al. (1995, 472) mengenai exposure yang terjadi ketika stimulus me-nyentuh atau ditangkap oleh satu atau lebih panca indera.

Skor tertinggi dalam lima pernyataan yang diberikan dalam dimensi exposure ter-letak pada indikator yang menyatakan bahwa responden membaca pesan (tweet) mengenai promosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi. Hal ini dikarenakan pesan (tweet) mengenai promosi penjualan merupakan informasi yang paling sering dibagikan melalui akun Twitter restoran Tai-yo Sushi (Darusman, 2011). Dengan demiki-an, pernyataan Sumarwan (2004, 70) berlaku dalam dimensi ini, yakni keterpaparan dapat meningkat seiring dengan meningkatnya in-tensitas penyampaian stimulus.

2 Attention Hasil penelitian menunjukkan bahwa

persentase keefektifan Twitter pada dimensi ini sebesar 83.375% dan tergolong Sangat Efektif. Hal ini menunjukkan bahwa stimu-lus yang dipaparkan menarik perhatian pengikut akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Dalam menulis pesan (tweet), Darusman (2011) mengatakan bahwa ia tidak pernah menggunakan kalimat yang sama dalam menyampaikan informasi atau mengunggah foto yang sama.

Pernyataan yang memperoleh nilai pendapat terendah dari responden ialah per-nyataan bahwa responden menganggap isi kolom biodata pada akun Twitter restoran Taiyo Sushi menarik perhatian. Menurut Da-rusman (2011), kolom biodata merupakan fi-tur yang belum pernah diperbaharui karena hanya berisikan alamat restoran Taiyo Sushi. Rendahnya skor yang didapat pada pernyata-an tersebut sesuai dengan pendapat Hoyer dan Maclnnis (2010, 75), yakni seseorang cen-derung kurang memperhatikan hal-hal yang sudah pernah ia lihat sebelumnya.

3. Comprehension and Perception Dimensi ini mengukur sejauh mana

pendapat responden mengenai pemahaman mereka terhadap stimulus yang disampaikan oleh restoran Taiyo Sushi melalui akun Twit-

5

Page 10: jurnal ilmu komunikasi UMN

EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI ANASTASIA & EMRUS

ter. Persentase yang didapat ialah 81.45% yang tergolong Sangat Efektif. Hal ini berarti bahwa responden sangat memahami stimuli yang disampaikan oleh pemasar.

Gambar 3. Pesan (tweet) Mengenai Harga Produk

Sumber: twitter.com/TaiyoSushi, diakses 20 No

vember 2011 Pendapat responden menunjuk-

kan bahwa pemahaman terendah terdapat pada stimulus berupa pesan (tweet) men-genai harga produk yang ditawarkan oleh restoran Taiyo Sushi. Mengacu pada gambar 3, kurangnya informasi yang rinci mengenai harga menyebabkan responden kurang me-mahami maksud dari pesan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan responden akan harga produk secara rinci, sehingga menyebabkan followers kurang akurat dalam pemberian arti terhadap stimu-lus tersebut (Hoyer & Maclnnis, 2010, 109).

4. Yielding and Acceptance Berdasarkan hasil perhitungan skor,

dimensi ini mendapat persentase sebesar 79.45% dan tergolong Efektif. Hal ini menun-jukkan bahwa sebagian besar responden ter-pengaruh oleh stimulus yang disampaikan melalui akun Twitter restoran Taiyo Sushi, baik dalam sisi kognitif maupun sisi afektif. Namun, angka tersebut lebih kecil diband-ingkan angka yang diperoleh dalam dimensi sebelumnya, yakni dimensi exposure, at-tention dan comprehension. Maka dari itu, pernyataan Copley (2004, 56) berlaku dalam penelitian ini, yakni tidak semua pesan yang diterima dapat menimbulkan keinginan dalam benak followers.

Indikator yang memiliki skor terendah ialah pernyataan bahwa stimulus berupa alamat restoran Taiyo Sushi yang tertera pada ko-lom biodata akun Twitter mempengaruhi sisi afektif responden untuk melakukan kunjun-gan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kai-tan stimulus tersebut dengan sisi emosional responden, dimana menurut Hoyer dan Ma-clnnis (2010, 140), agar dapat mempengaruhi sisi afektif maka sebuah pesan hendaknya menyentuh sisi emosional seseorang.

5. Retention Menurut hasil perhitungan skor, di-

mensi retention dalam penelitian ini mem-

peroleh 75.3% dan tergolong Efektif. Angka tersebut merupakan skor terendah dari lima dimensi yang dibahas. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua stimulus yang dipapar-kan oleh restoran Taiyo Sushi melalui akun Twitter dapat diingat oleh pengikutnya (fol-lowers). Intensitas penyampaian stimulus mempengaruhi tingkat ingatan seseorang (Sumarwan, 2004, 89). Daruman (2011) men-gungkapkan bahwa akun Twitter restoran Taiyo Sushi tidak diperbaharui setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas pe-nyampaian stimulus tidak disampaikan se-cara rutin, sehingga mempengaruhi tingkat retention.

Skor terendah dalam dimensi ini ter-letak pada pernyataan bahwa responden mengingat pesan (tweet) mengenai harga produk yang disampaikan melalui akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Merujuk pada hasil dimensi comprehension and percep-tion, stimulus serupa juga mendapat skor terendah dibandingkan stimulus lainnya. Re-sponden kurang melakukan intepretasi atau pemberian arti terhadap stimulus tersebut dan mengakibatkan informasi itu tidak di-ingat oleh responden. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumarwan (2004, 85), bahwa in-formasi yang disimpan merupakan hasil in-tepretasi seseorang terhadap stimulus yang diterima.

KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan, akun

Twitter merupakan medium yang sangat efektif bagi usaha kecil untuk melakukan promosi, sebagaimana restoran Taiyo Sushi dalam melakukan promosi.

Penelitian ini dapat menjadi gambaran bagi praktisi usaha kecil agar mempertimbangkan pemakaian Twitter sebagai medium promosi bagi usahanya.

DAFTAR PUSTAKAArikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian.

Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005.Belch, George E. and Michael A. Belch. Adver-

tising and Promotion: An Integrated Market-ing Communication Perspective, 8th ed. New York: McGraw-Hill, 2009.

Boyd, Danah, Scott Golder, and Gilad Lotan. Tweet, Tweet, Retweet: Conversational As-pects of Retweeting on Twitter. Hawaii: HIC-SS, IEEE, 2010.

Chaffey, Dave and PR Smith. eMarketing eX-cellence: Planning and Optimizing Your Digi-

6

Page 11: jurnal ilmu komunikasi UMN

EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI ANASTASIA & EMRUS

tal Marketing, 3rd ed. Oxford: Elsevier But-terworth-Heinemann, 2008.

Copley, Paul. Marketing Communications Management: Concepts and Theories, Cases and Practices. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann, 2004.

Cruz, Brant and Josh Mendelsohn. Why So-cial Media Matters to Your Business. Boston: Chadwick Martin Bailey, 2010.

Dale, Chris. Some Useful Marketing Facts About Twitter and Facebook. Didapat dari http://www.marketinghq.com.au/social-me-dia/some-useful-marketing-facts-about

-twitter-and-facebook/; Internet; diakses 25 Ok-tober 2011.

Darusman, Danis, Marketing Officer Restoran Taiyo Sushi. Wawancara oleh Peneliti, 29 Sep-tember 2011, Jakarta.

Duncan, Tom. Principles of Advertising & IMC, 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2008.

Engel. James F., Roger D. Blackwell, and Paul W. Miniard. Consumer Behavior, 8th ed. Florida: The Dryden Press, 1995.

Fielding, Jane and Nigel Gilbert, Understand-ing Social Statistic. London: SAGE Publica-tions Ltd, 2000.

Fill, Chris. Marketing Communication: Interac-tivity, Communities and Content, 5th ed. Es-sex: Pearson Education Limited, 2009.

Hair, Joseph F., Arthur H. Money, Phillip Sa-mouel, and Mike Page. Research Methods for Business. Chichester: John Wiley & Sons Ltd., 2007.

Hoyer, Wayne D. and Deborah J. Maclnnis. Consumer Behavior, 5th ed. Cengage Learn-ing, 2010.

Jantsch, John. Using Twitter for Business. Kan-sas City: Duct Tape Marketing, 2009.

Kristi, Yosseane Widia. Keefektifan Traffic Management Centre dalam Menangani Ma-salah Lalu Lintas di Jakarta. Depok: Univer-sitas Indonesia, 2010.

Loudon, David L. and Albert J. Della Bitta. Consumer Behavior: Concepts and Applica-tions, 4th ed. Singapore: McGraw-Hill Book Co., 1993.

Miniwatts Marketing Group. Asia Marketing Research, Internet Usage, Population Statis-tics and Facebook Information. Didapat dari http://www.internetworldstats.com/asia.htm; Internet; diakses 23 September 2011

Neuman, William L. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches, 4th ed. Massachusetts: A Pearson Education Company, 2000.

O’Dell, Jolie. The History of Social Media (In-fographic). Didapat dari http://mashable.

com/2011/01/24/the-history-of-social-media-infographic; Internet ; diakses 25 Oktober 2011.

PT. Kassa9 International. Indonesia: Nomer Satu Di Perkembangan Twitter, Nomer Tiga di Facebook. Didapat dari http://www.teknoup.com/news_gallery/indonesia-no-mer-satu-di-perkembangan-twitter-nomer-tiga-di-facebook/6012_0; Internet ; diakses 19 September 2011.

Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta, 2009.

Sandjaja, B. dan Albertus Heriyanto. Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006.

Schiffman, Leon G. and Leslie Lazar Kanuk. Consumer Behavior, 7th ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 2000.

Seitel, Fraser P. The Practice of Public Rela-tions, 11th ed. New Jersey: Pearson Educa-tion, Inc., 2011.

Sekaran, Uma. Research Methods For Business. New York: John Wiley & Sons, Inc., 2000.

Shimp, Terence A. Integrated Marketing Com-munications in Advertising and Promotion, 7th ed. Ohio: Thomson Higher Education, 2007.

Stelzner, Michael A. 2011 Social Media Market-ing Industry Report. Social Media Examiner, 2011.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1989.

Sulianta, Feri. Twitter for Business. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011

Sumarwan, Ujang. Perilaku Konsumen; Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.

West, Richard and Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory: Analysis and Appli-cation, 3rd ed. New York: McGraw-Hill, 2007.

7

Page 12: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultimacomm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN: 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

Anomalous DemocracyExamination on the Correlation between Press Freedom and Levels

of Corruption in Indonesia and Singapore

FX.Lilik Dwi Mardjiantodosen Ilmu Komunikasi

Universitas Multimedia NusantaraJl. Boulevard, Gading Serpong Tangerang-Banten

Telepon (021) 5422 0808e-mail: [email protected]

Abstract:

Indonesia sedang berada di dalam era keterbukaan dan kebebasan pers. Hal itu berarti demokrati-sasi juga sedang berkembang. Geliat serupa juga dirasakan di ranah pemberantasan korupsi, ditan-dai oleh banyaknya investigasi kasus-kasus korupsi oleh pers dan aparat penegak hukum. Fenomena itu mengundang pertanyaan; apakah demokrasi—yang salah satunya ditandai oleh kebebasan pers--selalu berjalan beriringan dengan penurunan tingkat korupsi? Adakah faktor di luar demokrasi yang bisa menekan korupsi? Setelah melakukan perbandingan, analisis sejumlah data, dan wawa-ncara, penulis menemukan sebuah anomali demokrasi; bahwa demokrasi dan kebebasan pers tidak selalu diikuti oleh penurunan tingkat korupsi. Hal itu diterapkan oleh Singapura—sebuah negara yang berhasil melepaskan diri dari perangkap korupsi tanpa perlu “repot” mengurusi demokratisasi.

Keywords: Pers, demokrasi,anomali,korupsi

INTRODUCTION Corruption is an extraordinary crime. It

is so extraordinary that people react to it dif-ferently. While some are amused by it, others are enraged. People react to corruption after receiving and analyzing information they get. Those with limited access to primary sources of information tend to rely on infor-mation released by the press or media, which regularly scrutinize cases of corruption.

The global characteristic of corruption and its massive destructive effects make news headlines everywhere. Corruption is worth dying for, especially for journalists seeking good stories. Furthermore, massive cover-age of corruption defines public opinion and attitude. It is clear that there is a correlation between corruption, the press, and public at-titude. Whenever possible, corruption will be exposed by the press, and the result of the ex-pose defines the public’s reaction or attitude towards it.

Transparency International (TI), a glob-al organization, recognizes that corruption is a transnational problem and measures it through its annual Corruption Perception In-dex (CPI). CPI is used for this study because it is regularly used by Indonesia and Sin-gapore; on which the study will focus. This study focuses on these two countries because they possess unique and, in certain cases, anomalous characteristics related to press freedom and corruption. Geographically, In-donesia and Singapore are in Southeast Asia and bear similarities in nature and culture. Although the citizens of these countries are close geographically and ethnically, some of them maintain different views about freedom of speech and expression. While Indonesians value press freedom, this does not seem to be shared with an equal fervor by Singaporeans. And while Indonesians are more tolerant of corrupt practices, Singaporeans are less so. As a result, Indonesia and Singapore have achieved different levels of development,

8

Page 13: jurnal ilmu komunikasi UMN

Anomalous Democracy F. X. LILIK DWI MARDJIANTO

with the latter performing much better. The writer also used World Press Free-

dom Index released annually by a global or-ganization called Reporters without Borders. It measures the state of press freedom in the world and reflects the degree of freedom that journalists and news organizations enjoy in each country. The survey also measures the efforts of authorities to respect this freedom.

REVIEW OF RELATED LITERATURE Journalism is an immediate influence

upon public opinion. Robert C. Brooks in his book entitled, Corruption in American Poli-tics and Life, states that journalism possesses undeniable influence upon public opinion. It shapes how the public see life. Within a con-cept of a state, journalism plays an important role in determining public opinion towards politics, and every aspect of it, including cor-rupt practices.

Media are (muzzled) watchdogs. Rod-ney Tiffen explores several issues about me-dia, politics, and corruption—especially in contemporary Australia. In a research enti-tled Scandals: Media, Politics & Corruption in Contemporary Australia, Tiffen explores how politics and corruption affect news poli-cies, and how a news policy affects correction of bad politics and eradication of corruption, especially in Australia. The research also puts attention on several aspects that limit the role of the press.

Tiffen uses the ideal identity of the me-dia and the press—they are watchdogs. It is the highest aspiration for the media. The media and press are expected to be a vigilant watchdog for the public good against so-cial abuses and official wrongdoing (Tiffen, 1999). But at the same time, the media are under attack from contradictory directions. They are willing but unable to perform their role as watchdogs. The media are hamstrung by restrictive laws, especially those relating to defamation. The media are no longer vigi-lant, but muzzled watchdogs instead.

States are an example of organized crime. The idea goes along with what Weberi-ans think. A state, according to Max Weber, is a human community which, within a defined territory, successfully claims for itself the mo-nopoly of legitimate physical force. For some cases, a state is the sole source of the right to exercise violence (Whimster, 2004:131). Gramscians are of the same opinion. They re-gard a state, with its powerful hegemony, as

an entity that tends to coerce. These studies are relevant to the study

of press freedom and aspects of social and po-litical life, including corruption. Some of the studies explore media and corruption within a frame called politics. It is understandable since media and corruption in a country will always have something to do with the politi-cal practices. But none of the studies explore press freedom and levels of corruption at the same time. Moreover, most of the works are American or Australian-based researches, therefore rarely discussing what is happen-ing in developed or developing countries in Asia like Singapore and Indonesia.

This study will offer something new be-cause it concentrates on Asia, especially In-donesia and Singapore. This study also offers elaborations on a relatively new idea, which is correlation between press freedom—a cru-cial feature of democracy---and level of cor-ruption.

METHODOLOGY The study focuses on press freedom

and levels of corruption in Indonesia and Sin-gapore. The writer analyzed and interprets World Press Freedom Index and Corruption Perception Index (CPI) in order to compose fundamental argument of the study. The writer, afterwards, strengthen the argument by analyzing several stories released by the press of both countries. The next step is ana-lyzing the idea of ownership, in which the writer indicated the pattern of ownership of the media in Indonesia and Singapore. Af-ter that, an analysis on legal aspects in both countries was conducted. The two last steps were crucial for determining potential in-tervention—both from the authorities and law—experienced by the press.

Journalists, experts in media and com-munication, NGO activists involved in anti-corruption movements, and official bodies concerned about the eradication of corrup-tion were interviewed to provide expert opinion and facts.

Senior editors of Koran Tempo and Seputar Indonesia, national and investigative newspapers in Indonesia were likewise in-terviewed. Topics discussed in the interview were mostly about the role of the press in anticorruption movements in Indonesia. Af-terwards, the deputy chief of Indonesia Cor-ruption Watch (ICW), the most aggressive NGO in Indonesia, was interviewed. The in-

9

Page 14: jurnal ilmu komunikasi UMN

Anomalous Democracy F. X. LILIK DWI MARDJIANTO

terview gave an idea of how anti-corruption movements relate to the role of the press, also elaborating on how the press determines the success of anti-corruption efforts conducted by ICW.

The commissioner of the Indonesia Corruption Eradication Commission (KPK) was also interviewed. KPK is an official body tasked with combating corruption through preventive and punitive strategies. The inter-view then explored how the press influences the KPK’s strategy in combating corruption. It also looked at the cooperation between the two entities both interested in eradicating corruption.

An adjunct Senior Research fellow of the National University of Singapore was likewise interviewed to explain press free-dom, politics and corruption in Singapore. Several cases and testimonials from Singa-porean journalists, media companies, and media activists were also studied. Due to time and budgetary constraints, tight dead-lines and schedules, the interviewees chose to be interviewed via email.

Three Singaporean journalists were also interviewed through email in order to get a comprehensive picture of press freedom in the country. The interviewees explained their opinion and experience about press freedom in relation to political issues and the govern-ment’s effort in combating corruption.

RESULTS AND DISCUSSION The Indonesian press and media are

celebrating the freedom of speech. This has made the press and media effective agents in conveying certain messages and affecting public opinion. The most controversial case that illustrates this is that experienced by the Indonesian Corruption Eradication Commis-sion (KPK) commissioners, Bibit Samad Rian-to and Chandra M. Hamzah, in 2008. The case was widely covered by the press for almost three months, making Indonesians aware of corruption and provoking them to begin a great online movement. Millions expressed their opinion on Facebook and it successfully forced the government to adopt a political policy to stop investigations in the KPK case, which is also known as Bibit-Chandra case. Taking after the Philippines, some refer to this case as Indonesian People Power.

Another major case surfaced two years later, the Century Bank case, and cast doubt on the Susilo Bambang Yudhoyono presiden-cy. By 2010, the media and political institu-

tions have been dealing with it for almost a year. There is a suspicion that Yudhoyono, the founder of the Demokrat party, received illegal funds amounting to 6.7 trillion rupiahs during his presidential election campaign. Money from the government went to Cen-tury Bank, especially to several businessmen who were suspected of having a relationship with Yudhoyono or the Demokrat party. The press has been reporting on this case exten-sively and everybody, including politicians, has started to talk about impeachment. Yud-hoyono and his men have denied the accusa-tions.

Indonesian press has been experienc-ing freedom, indicated by the flow of various stories for years. The freedom began after the fall of Soeharto presidency. It grew rap-idly since 2000s. As the result, the world has recognized Indonesia’s press freedom. In the 2009 World Press Freedom Index of RSF, In-donesia ranked 100th, better than its neigh-boring countries, Singapore (133th), Malaysia (131st), and Thailand (130th).

Freedom House, using a similar meth-odology, also gave a similar assessment, where Indonesia scored 54 in both 2007 and 2008, or improved from 58 in 2006.

Meanwhile, the Singaporean press rare-ly investigated corruption cases. Investigative reports were usually done by foreign media operating in Singapore. Trixia Carungcong, deputy foreign editor of Today newspaper, admits it. In an interview with the writer, Ca-rungcong said that one of the difficulties for journalists working in Singapore is the guess-ing game they have to play with regard to the gray areas. There are so-called “OB” (out-of-bounds) markers. Journalists may take too much risk if they work carelessly within this area. The area includes some topics that are deemed too sensitive, such as race, religion, religion and corruption. “Criticism and al-legations of corruption or abuse of power, for instance, which are not backed by evi-dence, could end up in a costly libel suit,” Carungcong said. As an experienced journal-ist, Carungcong confidently claimed that the role of the press is not the main reason for the low incidence of corruption in Singapore. The situation in Singapore is very different from countries like the United States, Britain, the Philippines and Indonesia, where investi-gative journalists play a major role in keeping officials in check.

Another Singaporean journalist, Ans-ley Ng shared the same opinion. Journalists

10

Page 15: jurnal ilmu komunikasi UMN

Anomalous Democracy F. X. LILIK DWI MARDJIANTO

have limited access to be able to aggressively report on corruption cases in the country. Of-ten, they are able to obtain information that comes from the court—only after the case has gone to court. Before such cases go to court, it can be very difficult to persuade newsmakers to give information. This goes to show that the Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) does not regard the press as a partner in the investigation of corruption cases.

The reporter of Today, in an interview with the writer, noted that authorities still control the flow of information, but in a rela-tively good way. There are more off-the-re-cord briefings for editors and reporters before any major announcement. This allows sensi-tive questions to be asked, to which frank an-swers are given by authorities. “On the flip side, such briefings can be seen as yet another way to control information, by keeping it off the record,” Ng said. According to her, there is more press freedom in Singapore, con-sidering that the government was tighter as many as five to eight years ago.

In terms of corruption eradication, In-donesia and Singapore seem to live in a dif-ferent world. Indonesia ranked 111th and scored 2.8 out of 180 countries on the Cor-ruption Perception Index (CPI) 2009 scale released by Transparency International (TI). The score means there is a high level of cor-ruption in Indonesia. TI’s official statement calls attention to the fact that many countries scored less than 5.0. Most of the countries with low scores are countries that are at war or undergoing political and economic insta-bility.

The same condition happened in 2010. Indonesia still scored 2.8 and it showed that the country incurred “corrupt desease”. In 2011, Indonesia made “a little” improvement by achieving 3.0. But, according to TI state-ment, such a score indicate the same corrupt practices still exist.

Indonesia is left behind by its neighbor-ing country—Singapore--which scored 9.2 or placed itself at the top of the list, along with several free-corruption countries.

Former Singaporean Prime Minister Lee Kwan Yew is an inspiring figure who eradicated corruption in the country. Lee launched a program asking the government to spare funds for the country’s officials. The New York Times reported that the coun-try spent huge amounts of money to reach a 60-percent increase in ministers’ salaries, or about S$1.3 million in 2007. The program

aimed to stop corruption and it succeeded. The country also has a Corrupt Practic-

es Investigation Bureau (CPIB) which plays an important role in combating corruption in the country. It has also successfully brought erring politicians and public officers to jail.

The Power of Ownership Power is exercised in every media or-

ganization. Reporters are usually ordered by editors to cover several events, while editors obey commands of the owner. Power allows whoever holds it to exercise control over those who don’t. In some news organizations, ownership means the ability to control and create newsroom policy which, according to Warren Breed, is the consistent orientation of a paper’s news and editorial toward issues and events, revolving primarily around par-tisan, classes, and racial division (Breed, 1955: 326-335). A discussion on the ownership of a news organization will sometimes lead to a discussion of independence. The press can be dependent on anything, including the owner.

Two major categories of media owners are public and private, with each group hav-ing its own characteristics and news policies. A government-owned news organization is bound to follow government policy and toe the line. Private news organizations, on the other hand, have more freedom to criticize the government but are still dependent on its owners.

In Singapore, there is a virtual monop-oly of ownership, with owners closely linked to the ruling party. It is different in Indone-sia where there is relatively no monopoly of the government, with majority of Indonesian media being financially independent. This means that the country does not allocate any funds for most of the media organizations so that Indonesian journalists are free and en-thusiastic about investigating sensitive issues in the country, including corruption.

There are 335 weekly magazine and 288 daily newspapers read by Indonesians. Each province has its own magazine and daily newspapers. Some Indonesians in certain provinces also enjoy monthly magazines and various programs produced by several tele-vision stations. TV stations, newspapers, and magazines are the most popular media used by Indonesians. Jakarta seems to be the most “well-informed province”. The Press Council counted that there are 14 TV stations, 46 daily newspapers, 134 weekly magazines, and 44 monthly magazines. Freedom of information

11

Page 16: jurnal ilmu komunikasi UMN

Anomalous Democracy F. X. LILIK DWI MARDJIANTO

is so highly appreciated in Indonesia, that the most remote province—Papua—possesses two main daily newspapers (Press Council, 2010).

Indonesian journalists enjoy various ad-vantages that come with press freedom, and for some influential newspapers and TV sta-tions, this is a virtual paradise. But the free-dom is also being challenged by problematic media ownership in the country.

The Century Bank case depicts the power of media ownership. The press treated this case differently. The government-owned press was expected to “protect” the govern-ment by publishing “friendly” stories, while privately-owned media tended to publish more “offensive” stories. This is not decided upon by reporters, but by the owners.

ANTARA News Agency, as an exam-ple, is a state-owned enterprise. The agency rarely covers stories that “attack” the govern-ment. On the other hand, the agency publish-es stories that promote government stability. ANTARA, in an article, stated that the Cen-tury Bank case has affected President Susilo Bambang Yudhoyono’s second-term govern-ment, especially its first 100-day program. This will likely continue to cost a lot of ener-gy even after the end of 2010. “The Yudhoy-ono-Boediono government has not been able to enjoy a ‘honeymoon’ in the past 60 days of its administration because many problems have emerged, including the alleged framing issue of the Corruption Eradication Commis-sion (KPK) and the Bank Century case,” the article said.

The agency also quoted an economic observer from state University of Indonesia, Faisal Basri, who said the decision to bail out Century Bank was right and had saved Indo-nesia from a crisis. ANTARA also stated its position by quoting that the idea to summon President Susilo Bambang Yudhoyono was not necessary. “Indeed it is not necessary to summon him because he has no connections with the Century Bank case,” ANTARA quot-ed Anas as saying.

The “more independent” press treated the issue differently. The Jakarta Post in an article published in February 2009 said that the crucial question in the Century Bank case was whether Yudhoyono was committed to the policy of bailing out the bank, and wheth-er this policy was justified by the global crisis that was exerting pressure on Indonesia. The article also pointed out the political issue in the case: “Especially for a significant number

of politicians, Yudhoyono is the ultimate tar-get.”

Meanwhile, The Jakarta Globe called attention to Yudhoyono’s popularity after dealing with the case. A survey conducted by Indonesia Survey Institute (LSI) pegged Yud-hoyono’s popularity at 70 percent. LSI que-ried 2,900 respondents. A previous survey found the president’s popularity standing at 85 percent.

The Singaporean press and media are closely connected to the government. Unlike Indonesia, media ownership in Singapore is limited to only two main corporations, Singa-pore Press Holdings (SPH) and MediaCorp. The British Broadcasting Corporation (BBC) reported close links between SPH and the ruling People’s Action Party (PAP).

A set of amendments to the Newspa-pers and Printing Presses Act (NPPA) in 1974 ended the private ownership of newspapers, allowing only the PAP government to own newspapers, and forcing all newspaper or-ganizations to become public companies. The Act also forbade newspapers from receiving funding from foreign sources without gov-ernment approval.

The government forced all media com-panies to be public companies with a mini-mum of 50 shareholders, with no shareholder owning more than three percent of the shares. The government or its nominees has to be given management shares that carry more voting power than those held by the rest of the shareholders combined. Management shares carry some 200 times the voting power that ordinary shares have. Furthermore, only persons approved by the government can be issued management shares, with the transfer of these shares also requiring government ap-proval.

Looking at the situation, the editorial policies of the newspapers are automatically managed by those holding a majority of the management shares, and because these share-holders are government-approved, they are, as a matter of course, pro-PAP (Gomez, 2005). It comes as no surprise then that most media analysts describe Singapore’s media environ-ment as highly regulated (Quinn, 2008).

Stephen Quinn, in his book entitled, Asia’s Media Innovators, elaborates that SPH is divided into two divisions. About 600 jour-nalists work in the Chinese newspaper divi-sion and more than 600 operate in the English, Tamil, and Malaysian division. The company employs 400 of its journalists to run its flag-

12

Page 17: jurnal ilmu komunikasi UMN

Anomalous Democracy F. X. LILIK DWI MARDJIANTO

ship publication, The Straits Times. SPH is licensed to published 14 newspapers in four languages. Together, these newspapers have a combined circulation of more than a million copies a day. SPH publishes and distributes more than 90 periodicals in the country and region. It also has a 40 percent stake in Me-diaCorp Press Pte Ltd, which publishes a free daily newspaper, Today. The company also has free-to-air television business through a 20-percent shareholding in MediaCorp’s tele-vision holdings (Quinn, 2008).

This giant corporation can maintain most of the people living in Singapore. Quinn claims that, every day, SPH newspapers are read by 2.7 million individuals, or 83 percent of people aged 15 or older. This means that more than half of Singapore’s total popula-tion read an SPH newspaper. The count of SPH’s consumers will be more if the readers and viewers of other SPH divisions are in-cluded. Millions of SPH consumers end up receiving homogeneous information from the company’s publications. And given close relations with the ruling party, content and substance of the company’s publications can be predictable.

This situation strengthens the predic-tion that most of local press and media will follow the government’s intention and rare-ly oppose it. This leads to the fact that local press and media in Singapore seldom pub-lish or investigate corruption cases that may slap the government. Well-arranged media ownership, along with strict media rules, will maintain the “stability”.

Freedom Versus Rule of Law

Azhar Azis, senior editor of Seputar In-donesia says that the role of the Indonesian press is significant in exposing corruption cases. Citing the Bibit-Chandra case, Azis says it illustrates the influence of press free-dom on Indonesia. Civil society, along with the press and Indonesian judicial systems successfully exposed confidential taping that eventually brought about justice. The public realized that the charges were just trumped up, the commissioners were innocent, and that some Indonesian officials were alleged-ly bribed to create the false accusations. “In this case, the government was finally forced to follow public demand conveyed by the press,” says Azhar.

Abdul Manan, senior editor of Koran Tempo chose to step backwards. He referred

to the Bulog case to elaborate on the role of the press in dealing with corruption cases. The case was slowly investigated because the suspect was an influential official. It was Tempo which decided to investigate the case and successfully brought the suspect to court. Manan, now in charge of national (law and politics) news, said that the basic role of the press is to encourage change. Talking about corruption, the press should force authorities to honestly investigate every case. “Because the government tends to investigate cases that (are) massively covered by the media,” he said.

Deputy chief of Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho said that there are at least five strategies in combat-ing corruption, one of which is working to-gether with the press. The other four include producing original ideas for anti-corruption campaigns, building and developing net-works, helping anti-corruption movements in various sectors and area, and working with civil society.

Emerson said that ICW and the press are “brothers.” The success of corruption eradication efforts cannot be separated from the support of the press. “So far, our criticism is heard by authorities only if it is massively covered by the press,” Emerson said.

Another anti-corruption agent in In-donesia is KPK. The body is an official body established in 2002, which became the most powerful institution in Indonesia, especially in corruption eradication. In completing its mission, KPK often works with the press. KPK commissioner Chandra Marta Hamzah said the Indonesian press and media play an important role, especially in providing infor-mation both for the public and KPK. “News can lead to preliminary evidence for KPK to solve certain corruption cases,” Hamzah said to the writer.

Sometimes, the press interviews some-one who has not been interviewed by KPK. According to Hamzah, KPK can interpret the position of the interviewee in cases that KPK is working on. Furthermore, the news can make informants more confident and more willing to provide hidden information to KPK.

A senior Singaporean journalist, Jona-than Burgos, argued that limited ac-cess is not the sole problem faced by Singa-porean journalists in reporting corruption cases. Another key factor is that the journal-ists themselves are not as aware of corruption

13

Page 18: jurnal ilmu komunikasi UMN

Anomalous Democracy F. X. LILIK DWI MARDJIANTO

issues. Journalists believe that corruption is not an issue “worth dying for.” Most of them do not regard corruption cases as a priority for investigation. “We seldom hear of corrup-tion cases that came to light because of me-dia’s vigilance in Singapore,” Burgos said in an interview with the writer.

Carungcong of Today added that the success of corruption eradication in Singa-pore is mainly due to the rule of law—the efficient and credible judiciary and a reliable police force—as well as the philosophy of the government in compensating its employees and officials. The country believes that to keep the best and the brightest in its ranks, and to discourage them from seeking illegal or unethical means of making money, it must compensate its people well in terms of salary and benefits. The government prides itself in running the country well, and as its economic success shows, it has been doing a fairly good job.

Ng of Today also claimed that key fac-tor for successful corruption eradication is Singapore’s harsh laws on corruption. It also requires the willingness of the government to carry out the punishments. Corrupted people are given no slack when it comes to being punished. In other countries like Indo-nesia, prisoners live in comfortable jail cells because they are celebrities, VIPs, or are able to pay the prison guards for it. “This is hardly the case in Singapore. If that happened, the prison director will be jailed instead.”

CONCLUSION

Based on findings, there is no definite correlation between press freedom and the level of corruption in a country. It means that the press is not the sole factor in bringing about less corruption.

Indonesia is an example where press freedom exists alongside anticorruption movements. Two of these, the Indonesian Corruption Eradication Commission and In-donesia Corruption Watch “depend on” the press as they make press coverage one of the essential factors in combating corruption. Yet Indonesia’s ranking in the 2009 Corruption Perception Index remained low.

Singapore, on the other hand, is an un-usual case. Even without the press and the media, it has successfully battled corrup-tion. Legally speaking, according to Cherian George of the National University of Singa-

pore, there is greater press freedom in Indo-nesia than in Singapore. But the Singaporean state has very effective internal safeguards against corruption and its political culture is such that there is zero tolerance for corrup-tion. Citizens do not tolerate corruption, and will complain if they encounter it. This means that there is a greatly reduced role for investi-gative journalism in combating corruption in Singapore.

This leads to the conclusion that democ-racy, represented by freedom of the press, is not the sole factor in bringing about good governance and less corruption. Democracy, which has resulted in successful and clean governance in America, Australia and Eu-rope, does not seem to bring about the same results in Southeast Asia. In fact, a democratic country like Indonesia is hardly prosperous.

The study reveals that the press is quite aggressive in a democratic country. Mean-while, in an authoritarian-like country like Singapore, there is a tendency for the press to be less aggressive. Further research on ethics is recommended to analyze the nature of the press in these opposing situations. Does an aggressive press tend to violate ethical codes, while the “obedient” press stays on track, or vice versa?

BIBLIOGRAPHY

Abdussalam, A. (2009, December 21). Anta-ranews. Retrieved September 13, 2010, from Antaranews: http://www.antaranews.com/en/news/1261336269/year-ender-bank-centu-ry-case-disturbs-govts-100-day-program

Antaranews. (2009, December 11). Antaranews. Retrieved September 13, 2010, from Anta-ranews: http://www.antaranews.com/en/news/1260538284/anas-century-bank-com-mittee-must-not-target-individuals

Antaranews. (2009, December 11). Antaranews. Retrieved September 13, 2010, from Anta-ranews: http://www.antaranews.com/en/news/1260482999/decision-to-bail-out-centu-ry-bank-correct-observer

Breed, W. (1955). Social control in the news-room: A functional analysis. In W. Breed, So-cial Forces (pp. 326-335).

Brooks, R. C. (n.d.). Corruption in American Politics and Life. Retrieved November 25, 2009, from questia: http://www.questia.com/read/98213556?title=Corruption%20in%20American%20Politics%20and%20Life#

Gomez, J. (2005). Freedom of Expression and the Media in Singapore. London: Article 19

14

Page 19: jurnal ilmu komunikasi UMN

Anomalous Democracy F. X. LILIK DWI MARDJIANTO

Pasandaran, C. (2010, January 27). Jakarta Globe. Retrieved September 13, 2010, from Jakarta Globe: http://www.thejakartaglobe.com/indonesia/scandals-dent-yudhoyonos-popularity-especially-among-middle-class-voters/355295

Quinn, S. (2008). Asia's Media Innovators. Sin-gapore: Konrad Adenauer Stiftung.

Tiffen, R. (n.d.). Scandals: Media, Poli-tics & Corruption in Contemporary Aus-tralia. Retrieved November 25, 2009, from questia: http://www.questia.com/read/23076230?ti t le=Scandals%3a%20Media%2c%20Politics%20%26%20Corrup-tion%20in%20Contemporary%20Australia#

Tiffen, R. (1999). Scandals: Media, Politics & Corruption in Contemporary Australia. Syd-ney, N.S.W.: UNSW Press.

Whimster, S. E. (2004). The Essential Weber: A Reader. London: Routledge.

15

Page 20: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultimacomm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN : 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

NEW MEDIA DAN MULTIKULTURALISME

Indiwan Seto Wahyu wibowoDosen Ilmu Komunikasi

Universitas Multimedia Nusantara

Jl. Boulevard, Gading Serpong Tangerang-BantenTelepon (021) 5422 0808/082112297660

e-mail: [email protected]

Abstract:

Kemunculan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI sangat fenomenal bahkan mampu mengalahkan calon kuat yang didukung partai-partai besar menimbulkan tanda Tanya besar, mengapa sosok keduanya ini begitu cepat melejit dan mampu meraih simpati rakyat yang banyak. Apakah kehadi-ran keduanya yang terkenal karena ‘baju kotak-kotaknya’ ini melulu memang karena kharisma mantan Walikota Solo itu ataukah karena pengaruh opini public yang dihembuskan oleh media massa khususnya new media dan social media. Mengapa kemunculan keduanya ini memunculkan sentiment SARA ( suku,agama dan ras) dan berujung pada gangguan terhadap multikultural-isme bangsa Indonesia?

Keywords: New Media, Multikulturalisme, Framing Komunikasi, Konstruksi realitas

PENDAHULUAN

Siapa yang tidak tahu Jokowi –Ahok? Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru saja dilantik sebagai pejabat baru menggantikan Fauzie Bowo sebagai orang nomor satu di Ibukota Jakarta.

Kemunculan keduanya yang sangat fenomenal bahkan mampu mengalahkan calon kuat yang didukung partai-partai besar menimbulkan tanda Tanya besar, me ngapa sosok keduanya ini begitu cepat melejit dan mampu meraih simpati rakyat yang banyak.

Apakah kehadiran keduanya yang terkenal karena ‘baju kotak-kotaknya’ ini melulu memang karena kharisma mantan Walikota Solo itu ataukah karena pengaruh opini public yang dihembuskan oleh media massa khususnya new media dan social me-dia. Mengapa kemunculan keduanya ini me-munculkan sentiment SARA ( suku,agama dan ras) dan berujung pada gangguan terha-dap multikulturalisme bangsa Indonesia?

Paper sederhana ini ingin menguak bagaimana frame media baru khususnya me-dia online dalam mengusung figure Jokowi

Ahok sebagai cermin dari keberagaman suku bangsa di Indonesia. Ada sejumlah teks berita yang dijadikan pijakan saat menganalisis peran dan fungsi social media dalam mengusung multikulturalisme di In-donesia khususnya Jakarta.

Makalah ini berawal dari sebuah per-tanyaan besar. Apakah berita itu merupakan cermin dari realitas? Apakah berita memang benar-benar merefleksikan kenyataan yang ada di tengah masyarakat di Indonesia?

1.2. Pokok Permasalahan

Saat Jokowi –Ahok masuk arena pertaru ngan kandidat Gubernur DKI Jakarta, se-jumlah pentolan kelompok tertentu di Ja-karta meragukan bahwa keduanya bisa menang mengingat dalam sejarah gubernur DKI Jakarta belum pernah ada Gubernur atau Wagub DKI Jakarta yang beragama se-lain agama Islam.

Kasus ini dipicu pada awalnya le-wat perseteruan antara Rhoma Irama de ngan Jokowi, hingga menjadi pembicaraan

16

Page 21: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultima Com edisi Vol.I No.5 /Maret-Mei 2014 Universitas Multimedia Nusantara

ISSN 1979-1232

hangat di sejumlah media khususnya media online dan social media seperti twitter dan facebook. Kasus tersebut semakin terasakan ketika Jokowi Ahok menang dalam pemili-han Gubernur DKI Jakarta. Kita lihat berita di bawah ini:

Rhoma Irama: Kampanye SARA Dibena-rkan

JAKARTA, KOMPAS.com — Raja dan-

gdut Rhoma Irama yang juga merupakan tim kampanye pasangan calon gubernur Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menuturkan, kampa-nye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Hal ini disampaikannya saat memberikan ceramah shalat tarawih di Masjid Al Isra, Tanjung Du-ren, Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012).

"Di dalam mengampanyekan sesuatu, SARA itu dibenarkan. Sekarang kita sudah hidup di zaman keterbukaan dan demokrasi,

masyarakat harus mengetahui siapa calon pemimpin mereka," kata Rhoma Irama. Rho-ma pun menyebutkan nama Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly As-shidiqie atas dasar pembenaran penggunaan isu SARA. "Saya dapat berbicara seperti ini karena memang dibenarkan Ketua Dewan, Jimly Asshidiqie," katanya.

Senada dengan ustaz dan pengurus masjid sebelumnya yang mengajak para ja-maah untuk memilih yang seiman, Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang seiman. "Islam itu

agama yang sempurna, memilih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga iba-dah. Pilihlah yang seiman dengan mayoritas masyarakat Jakarta," ujarnya.

Dalam ceramahnya, Fauzi Bowo lebih banyak mengingatkan tentang berkah di bu-lan Ramadhan. "Di bulan Ramadhan mari sa-ling mempererat hablun minannas dan me-ningkatkan ketakwaan kepada Allah. Bulan ini merupakan kesempatan emas melaku-kan ibadah lebih tekun dan khusyuk agar mendapat bonus Allah," ujar pria yang akrab disapa Foke ini.

Dalam akhir paparannya, Foke meng-klaim keberhasilannya dalam membuat sua-sana kondusif selama memimpin Jakarta. "Jakarta ini bukan kota yang sederhana. Saya bersyukur, selama saya memimpin, tidak ada satu pun masyarakat Jakarta yang memaksa mereka berhenti melaksanakan aktivitas," tu-turnya.

Dalam kesempatan tersebut, Foke

memberikan sumbangan kepada anak asuh PKU yang dikelola Muhammadiyah Tanjung Duren dan Masjid Al-Isra, bantuan masjid sebesar Rp 28 juta, Al Quran, alat olahraga, dan lampu hemat energi. Hadir pula Sekre-taris Daerah DKI Jakarta, Fajar Pandjaitan, Wali Kota Jakarta Barat Burhanuddin, dan petinggi harian Poskota. (Kompas.com/Pen-ulis : Kurnia Sari Aziza | Senin, 30 Juli 2012 | 09:14 WIB)

Kemudian setelah suasana mereda , muncul pula pemberitaan yang mengganggu multikulturalisme bangsa Indonesia khusus-

17

Page 22: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultimacomm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN : 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

nya yang mulai mempertanyakan keyakinan seorang kandidat dan mengaitkan dengan ajaran agama tertentu.

Sebagai contoh dalam pemberitaan Era-muslim, Okezone.com dan sejumlah media online yang peneliti lihat. Persoalan utama yang diangkat dalam makalah singkat ini adalah bagaimana konstruksi pemberitaan media online seputar kasus desakan Front Pembela Islam agar Basuki tidak menjabat sebagai Wakil Gubernut DKI dan mendesak lelaki yang lebih dikenal sebagai Ahok itu masuk Islam.

Di dunia maya, persoalan ini menjadi menarik karena isu tersebut mendapat per-hatian dan perlakuan yang tidak sama di media online. Kalau kita mengetikkan kata Ahok masuk Islam dalam kotak pencari www.google.com akan beragam fakta dan data yang muncul khususnya dalam judul pemberitaan di media online.

Ada beragam judul berita di media on-line, mulai dari yang netral seperti “Ahok didoakan masuk Islam”, hingga “FPI desak Ahok masuk Islam”. Peristiwa yang sama ternyata dilihat berbeda oleh sejumlah me-dia Online. Bahkan yang menarik, tak lama setelah pemberitaan tersebut muncul berita bahwa “FPI Bantah Nyuruh Ahok Masuk Islam” di laman www.okezone.com, pada-hal sebelumnya di laman yang sama muncul berita yang menggambarkan bagaimana FPI mendesak Ahok agar masuk Islam.

Dalam pemberitaannya www.okezone.com menulis :

“Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok akan menjabat 12 tugas ex of-ficio atau jabatan yang dipegang oleh Wagub. Dalam mengisi jabatan tersebut, Ahok akan berhubungan langsung dengan agama Islam dalam hal ini kaum muslimin di Jakarta.

Seperti Ketua Badan Pembina Lemba-ga Bahasa dan Ilmu Alquran, Ketua Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Ketua Dewan Perimbangan Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh, Ketua De-wan Pembina Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia, Ketua Badan Pembina Koordinasi Dakwah Islam, Ketua Dewan Penasehat Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Jakarta Islamic Center, dan Ketua Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama.

FPI pun dengan lantangnya menye-

but Ahok di luar Islam dan tidak pantas memimpin 12 tugas yang berkaitan lang-sung dengan umat Islam. "Ahok tidak bo-leh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid," kata Ketua Dewan Syuro DPD DKI FPI, Habib Shahab Anggawi, di depan gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012).

Dia mengatakan, sangat tidak mung-kin dan tidak pantas yang mengisi jabatan tersebut adalah orang nonmuslim. FPI juga memberikan solusi, yakni Ahok tidak men-jabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam.” (Geruduk Kantor DPRD, FPI Desak Ahok Masuk Islam -Fahmi Firdaus – Oke-zone Selasa, 9 Oktober 2012 12:03 wib)

Pemberitaan sekecil apapun di media terkait Jokowi dan Ahok sebenarnya selalu mendapat tanggapan yang menguntungkan posisi Jokowi Ahok karena ada sekelompok masyarakat membuat ‘page’ khusus untuk mendukung Jokowi –Ahok. Bahkan uniknya dukungan terus mengalir terbukti hingga tanggal 2 september 2012 ( delapan belas hari sebelum hari H pemilihan) menembus jumlah 101.024 anggota.

Grup Facebook berlabel “Dukung JOKOWI-AHOK untuk Gubernur DKI” tersebut adalah media komunikasi paling aktif yang memberikan informasi seputar kegiatan Jokowi –Ahok yang beredar an-tar dan inter pendukung mereka sekaligus diakui menjadi saring penyaring berita bias yang menyerang Jokowi-Ahok. Dari pemua-tan informasinya, grup ini merupakan alat propaganda program dan bisa lebih efektif mempengaruhi konstituen. Secara jelas Face-book mereka gunakan untuk menangkal se-gala bentuk kampanye hitam pihak lain yang mendiskreditkan figure Jokowi-Ahok. Yang unik lagi tak selamanya anggota grup terse-but adalah pendukung Jokowi, pendukung Foke-Nara pun diijinkan untuk bergabung. Ini dimaksudkan agar diskusi menjadi lebih menarik dan siapapun dapat mengomen-tarinya tanpa menjatuhkan pihak lawan.

Selain Grup tersebut secara resmi ada situs resmi Jokowi Basuki untuk Jakarta Baru yang menjadi sarana utama dan media formal Tim Sukses demi terciptanya komuni-kasi politik yang positif dan efektif dari berb-agai arah.

Upaya pendukung Jokowi memanfaat-kan social media sangatlah masuk akal kare-na paling tidak di tahun 2011, ada 41,777,240

18

Page 23: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultima Com edisi Vol.I No.5 /Maret-Mei 2014 Universitas Multimedia Nusantara

ISSN 1979-1232

pengguna Facebook di Indonesia (kedua ter-besar di dunia), 872,461 pengguna linkedin Indonesia, 5,600,000 pengguna twitter Indo-nesia, 3,725,258 member Kaskus.

Dari hasil survey terbaru MarkPlus di tahun 2011 ternyata bahwa pengguna Inter-net di Indonesia di tahun 2011 mencapai 55 juta orang. Dibanding sekitar 240 juta pen-duduk Indonesia diperkirakan 23% sudah tertepa koneksi Internet di kota-kota besar — hanya 4.1% yang berada di area pedesaan. Dari survey tersebut ternyata 29 juta orang Indonesia yang mengakses menggunakan perangkat mobile mencapai 29 juta orang atau sekitar 50% pengguna Internet di Indo-nesia untuk berselancar di dunia maya. Un-tuk memperoleh perkiraan tersebut, Mark-Plus Insight mengadakan survei terhadap 2161 orang pengguna Internet di sebelas kota besar. Orang yang disurvei memiliki rentang usia 15-64 tahun dengan golongan sosial eko-nomi ABC. Rata-rata dari mereka mengakses Internet lebih dari 3 jam per hari.

Persoalannya, bagaimana frame dari media online terhadap kasus ‘Ahok diminta masuk Islam” Makna apa yang coba diang-kat oleh media online terkait dengan figure Jokowi –Ahok?

2. Kerangka Pemikiran2.1 Konstruksi Realitas Media online tentunya memiliki tujuan

dan kharakteristik tersendiri saat melihat peristiwa yang mereka anggap penting. Bahkan bisa dikatakan bahwa setiap media massa termasuk juga media online seperti www.kompas.com , www.okezone.com , tentunya memiliki perbedaan baik dalam isi ,penampilan,dasar tujuan dan pengema-san beritanya terkait peristiwa kemenangan Jokowi Ahok.

Isu yang diangkat itu terkait bagia-mana media tersebut mengemas peristiwa dan melakukan konstruksi atas persitiwa tersebut. Banyaknya kepentingan yang ber-beda dari masing-masing media massa baik ekonomi, politik dan sebagainya bisa juga menyebabkan adanya perbedaan penekanan dan framing masing-masing..

Menurut Burhan Bungin dalam sebuah bukunya, pada dasarnya pekerjaan media adalah mengkonstruksikan realitas. Realitas media atau realitas yang ditampilkan dalam berita dibangun dari sejumlah fakta sedan-gkan fakta dari suatu realitas itupun tidak statis, melainkan dinamis yang mungkin berubah-ubah seiring dengan perubahan

peristiwa itu sendiri. Pada akhirnya menu-rut Bungin, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Walau ada ‘kebenaran’ di sana namun kebenaran suatu realitas bersifat nisbi, yang berlaku ses-uai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.(Bungin,2008:11)

Konstruksi sosial dalam masyarakat tak bisa terlepas dari kekuatan ekonomi dan pe-rubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan media massa terhadap pembaca atau audiensnya atau yang sering disebut se-bagai hegemoni massa. Melalui penguasaan intelektual dan massal hegemoni mencoba mengatur massa dengan seamnagt kapitalis-menya sedangkan media dimanfaatkan oleh sekelompok elit dominan, sehingga penyaji-annya tidak lagi merefleksikan realitas sosial yang nyata.

Dengan masuknya unsur kapital, menurut Alex Sobur, media massa mau ti-dak mau harus memikirkan pasar, media bertarung dalam menyajikan beritanya un-tuk memperoleh keuntungan (revenue) baik dari oplah penjualan medianya juga mencari pemasukan sebesar-besarnya dari iklan. Pe-kerjaan media massa menurut Sobur adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka se-luruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Jadi bisa disimpulkan bahwa content atau isi me-dia pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. (Sobur,2006:88)

Sobur mengutip Berger dan Luck-mann saat penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman antara “kenyata-an” dan “pengetahuan”. Berger melihat realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki kharakteristik secara spesifik.(So-bur, 2006:91).

2.2 Media dan Berita dilihat dari Paradig-ma Konstruktivis

Mills sebagaimana dikutip Hard, men-gajukan pandangan yang pesimistik tentang media dalam bukunya The Power Elite .Dia memandang media sebagai pemimpin “du-nia palsu” (pseudo world), yang menyajikan realitas eksternal dan pengalaman internal

19

Page 24: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultimacomm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN : 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

serta penghancuran privasi. Caranya den-gan menghancurkan “peluang untuk pertu-karan opini yang masuk akal dan tidak terb-uru-buru serta manusiawi. Itu terjadi karena media memainkan peran penting dalam menjalankan kekuasaan, media membantu menciptakan salah satu problem besar dalam masyarakat kontemporer, yakni pembang-kangan atas kekuasaan oleh masyarakat.( Hard,2007:211-212).

Sedangkan konsep Berita dalam sudut pandang konstruktivisme dipandang bukan sebagai sesuatu yang netral dan men-jadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Se-baliknya menurut Eriyanto, media adalah ruang dimana kelompok dominan menye-barkan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan.( Eriyan-to,2002:23).

Menurut Eriyanto ada penilaian bagaimana media, wartawan dan berita dili-hat dalam paradigma kontruksionis dalam bukunya yang berjudul Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media yakni : pertama Fakta atau Peristiwa adalah hasil konstruksi. Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Dan realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Fakta ada dalam konsepsi piki-ran seseorang. Kedua, Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkon-struksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak.

Ketiga, Berita bukan refleksi dari re-alitas. Ia hanyalah konstruksi realitas. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Berita pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah buku jurnalis-tik. Semua proses konstruksi (mulai dari me-milih fakta, sumber, pemakaian kata, gam-bar sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. Keempat, Berita bersifat subjektif / konstruksi atas realitas. Berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan ata realitas. Pemaknaan atas realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasil-kan “realitas” yang berbeda pula. Kelima Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan

peristiwa. Sebagai seorang agen, wartawan menjalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliput. Keenam. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Etika dan moral yang dalam banyak hal be-rarti keberpihakan pada suatu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Ketujuh, Nilai, etika dan pilihan moral peneliti menjadi ba-gian yang integral dalam penelitian. Peneliti bukanlah robot yang netral dan menilai reali-tas tersebut apa adanya. Sebaliknya, peneliti adalah entitas dengan berbagai nilai dan ke-berpihakan yang berbeda-beda. Karenanya, bisa jadi objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda ditan-gan peneliti yang berbeda. Kedelapan, Kha-layak mempunyai penafsiran tersendiri ter-hadap berita. Khalayak menjadi subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dibaca..(Eriyanto,2002:19-36).

Disini penulis akan menelaah isi media dari paradigma konstruktivis dimana posisi Media dimiliki oleh kelompok yang dominan dan dapat memajukan kelompok lain. Posisi nilai dan ideologi wartawan media yang ti-dak terpisahkan dari mulai proses peliputan hingga pelaporan. Lalu hasilnya itu mencer-minkan ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik tertentu.

2.3 Hakikat Teori Framing Konsep lain yang digunakan dalam

makalah ini adalah konsep framing. Fram-ing dipandang sebagai sebuah strategi pe-nyusunan realitas sedemikian rupa sehingga dihasilkan sebuah wacana. Pada mulanya analisis framing dipakai untuk memahami bagaimana anggota-anggota masyarakat mengorganisasikan pengalamannya sewak-tu melakukan interaksi sosial. Menurut Eri-yanto, dalam sebuah wacana selalu ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita yang mempunyai makana sesuai frame yang dipilih. Dalam konteks ini relevan dibi-carakan proses-proses framing media massa. Dimana dalam penyajian suatu berita atau realitas dimana kebenaran tentang suatu re-alitas tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberi-kan sorotan terhdap aspek-aspek tertentu

20

Page 25: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultima Com edisi Vol.I No.5 /Maret-Mei 2014 Universitas Multimedia Nusantara

ISSN 1979-1232

saja, dengan mengunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantu-an foto, karikatur dan ilustrasi lainya.

Framing merupakan strategi pemben-tukan dan operasionalisasi wacana media, karena media massa pada dasarnya adalah wahana diskusi atau koservasi tentang suatu masalah yang melibatkan dan memperte-mukan tiga pihak, yakni wartawan, sumber berita dan khalayak. Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi.(Eriyanto, 2001:71)

Eriyanto selanjutnya menyatakan bah-wa analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam katagori penelitian konstruksionis. Pendekatan kon-struksionis melihat proses framing sebagai proses konstruksi sosial untuk memaknai re-alitas.

3. Metodologi Penelitian

Secara sederhana, dalam makalah ini mencoba menganalisis sejumlah berita ter-kait dengan isu gangguan multikulturalisme dimana menempatkan Ahok sebagai tokoh sentral yang menjadi pemberitaan di media Online. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian analisis framing dengan memin-jam model kerangka framing Pan dan Kosicki. Tetapi dari beragam unsur yang ditawarkan pan Kosjiki, dalam makalah ini penulis han-ya melihat unsur retoris, dan melakukan se-dikit modifikasi saat melihat unsur tematik, dan skrip .

Model ini berasumsi bahwa setiap ber-ita mempunyai frame yang berfungsi seb-agai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keselu-ruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peris-tiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks.

Dalam pendekatan ini perangkat fram-ing (Eriyanto,2002,176) dibagi menjadi empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis, Kedua, struktur skrip, Ketiga, struktur tema-tik; dan Keempat, struktur retoris.

Dalam pengertian umum; sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kali-mat. Dalam wacana berita, sintaksis menun-juk pada pengertian susunan dari bagian berita – headline, lead, latar informasi, sum-

ber, penutup dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan.

Skrip. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5 W+1 H (who, what, when, where, dan how). Unsur kelengkapan beri-ta ini dapat menjadi penanda framing yang penting. Skrip adalah salah satu dari strate-gi wartawan dalam mengkonstruksi berita: bagaimana suatu peristiwa dipahami melalui cara tertentu dengan menyusun bagian-ba-gian dengan urutan tertentu. Tematik. Struk-tur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkapkan atau dibuat oleh wartawan.

Di sini, berarti struktur tematik ber-hubungan dengan bagaimana fakta itu di-tulis oleh seorang wartawan. Ada beberapa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik, antara lain : Detail. Elemen wacana detail berhubungan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator). Hal yang menguntungkan komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara detail dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan detail informasinya akan dikurangi. Maksud. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunika-tor akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, yakni menyajikan informasi dengan kata-ka-ta yang tegas dan menunjuk langsung kepada fakta. Sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi dengan menyajikan informasi yang memakai kata tersamar, eufemistik dan berbelit-belit.

Nominalisasi. Elemen nominalisasi berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai ses-uatu yang tunggal (berdiri sendiri) ataukah sebagai suatu kelompok (komunitas). Nomi-nalisasi dapat memberi kepada khalayak ad-anya generalisasi.

Koherensi: pertalian atau jalinan antar kata, preposisi atau kalimat. Dua buah ka-limat atau preposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan den-gan menggunakan koherensi, sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang men-ghubungkannya. Bentuk Kalimat. Bentuk kalimat menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kali-mat pasif seseorang menjadi objek dari per-nyataannya. Kata ganti. Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi ba-

21

Page 26: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultimacomm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN : 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

hasa dengan menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.

Retoris. Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perang-kat retoris untuk membuat citra, meningkat-kan kemenonjolan pada sisi tertentu dan me-ningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana ber-

ita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. (Eriyanto,2011).

3.1 ANALISIS BERITA DAN PEMBAHASAN

Unit Analisis yang diteliti

1. Rhoma Irama: Kampanye SARA Dibenar-kan. Lead: Raja dangdut Rhoma Irama yang juga merupakan tim kampanye pasangan calon gubernur Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menuturkan, kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Hal ini disampaikannya saat memberikan ceramah shalat tarawih di Mas-jid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012).

Media : Kompas.com/Penulis Kurnia Sari Aziza | Senin, 30 Juli 2012 | 09:14 WIB

2.Geruduk Kantor DPRD, FPI Desak Ahok Ma-suk Islam

JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Ja-karta terpilih, Basuki Tjahaja Purnama atau

yang akrab disapa Ahok akan menjabat 12 tugas ex officioatau jabatan yang dipegang oleh Wagub. Dalam mengisi jabatan tersebut, Ahok akan berhubungan langsung dengan agama Islam dalam hal ini kaum muslimin di Jakarta Fahmi Firdaus – www.Oke-zone.com, Selasa, 9 Oktober 2012 12:03 wib

2. FPI Minta Pelantikan Jokowi-Basuki Ditun-da

Lead: JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta menunda pelantikan gubernur terpil-ih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Alasannya, FPI meminta pel-antikan dilakukan setelah SK gubernur ten-tang jabatan wakil gubernur direvisi terlebih dahulu

(WWW.Kompas.com/9/10/2012/editor Hertan-to Soebijoto)

3.2 ANALISIS BERITA 1

Rhoma Irama: Kampanye SARA Dibenarkan JAKARTA, KOMPAS.com — Raja dan-

gdut Rhoma Irama yang juga merupakan tim kampanye pasangan calon gubernur Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menuturkan, kampa-nye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Hal ini disampaikannya saat memberikan ceramah shalat tarawih di Masjid Al Isra, Tanjung Du-ren, Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012).

"Di dalam mengampanyekan sesuatu, SARA itu dibenarkan. Sekarang kita sudah hidup di zaman keterbukaan dan demokrasi, masyarakat harus mengetahui siapa calon pemimpin mereka," kata Rhoma Irama.

22

Page 27: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultima Com edisi Vol.I No.5 /Maret-Mei 2014 Universitas Multimedia Nusantara

ISSN 1979-1232

Rhoma pun menyebutkan nama Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshidiqie atas dasar pembenaran penggunaan isu SARA. "Saya dapat berbi-cara seperti ini karena memang dibenarkan Ketua Dewan, Jimly Asshidiqie," katanya.

Senada dengan ustad dan pengurus masjid sebelumnya yang mengajak para ja-maah untuk memilih yang seiman, Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang seiman. "Islam itu agama yang sempurna, memilih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga iba-dah. Pilihlah yang seiman dengan mayoritas masyarakat Jakarta," ujarnya.

Dalam ceramahnya, Fauzi Bowo lebih banyak mengingatkan tentang berkah di bu-lan Ramadhan. "Di bulan Ramadhan mari sa-ling mempererat hablun minannas dan me-ningkatkan ketakwaan kepada Allah. Bulan ini merupakan kesempatan emas melaku-kan ibadah lebih tekun dan khusyuk agar mendapat bonus Allah," ujar pria yang akrab disapa Foke ini.

Dalam akhir paparannya, Foke meng-klaim keberhasilannya dalam membuat sua-sana kondusif selama memimpin Jakarta. "Jakarta ini bukan kota yang sederhana. Saya bersyukur, selama saya memimpin, tidak ada satu pun masyarakat Jakarta yang memaksa mereka berhenti melaksanakan aktivitas," tu-turnya.

Dalam kesempatan tersebut, Foke memberikan sumbangan kepada anak asuh PKU yang dikelola Muhammadiyah Tanjung Duren dan Masjid Al-Isra, bantuan masjid sebesar Rp 28 juta, Al Quran, alat olahraga, dan lampu hemat energi. Hadir pula Sekre-taris Daerah DKI Jakarta, Fajar Pandjaitan, Wali Kota Jakarta Barat Burhanuddin, dan petinggi harian Poskota.

Editor : Hertanto Soebijoto

UNSUR TEMATIK Tema penting:1.kampanye yang mengusung suku, agama,

ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan.

“…Raja dangdut Rhoma Irama yang juga merupakan tim kampanye pasangan calon gubernur Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menuturkan, kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Hal ini disampaikannya saat memberikan ceramah shalat tarawih di Mas-

jid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012). (paragraph 1)

2. Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang seiman.

Senada dengan ustad dan pengurus masjid sebelumnya yang mengajak para ja-maah untuk memilih yang seiman, Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang seiman. "Islam itu agama yang sempurna, memilih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga iba-dah. Pilihlah yang seiman dengan mayoritas masyarakat Jakarta," ujarnya.

3. Apa yang disampaikan Rhoma senada Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshidiqie

Rhoma pun menyebutkan nama Ketua De-wan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jim-ly Asshidiqie atas dasar pembenaran peng-gunaan isu SARA. "Saya dapat berbicara seperti ini karena memang dibenarkan Ketua Dewan, Jimly Asshidiqie," katanya.

UNSUR RETORIS.

1. Jargon atau leksikon pembenaran dari Rho-ma Irama soal boleh kampanye mengangkat unsur SARA:

"Di dalam mengampanyekan sesuatu, SARA itu dibenarkan. ….. (paragraph 2)

2.leksikon bahwa kita hidup di era keterbu-kaan dan demokrasi

"….Sekarang kita sudah hidup di zaman ket-erbukaan dan demokrasi, masyarakat harus mengetahui siapa calon pemimpin mereka," kata Rhoma Irama.(paragraph 2)

3.Jargon bahwa Islam itu agama yang sem-purna maka pilihlah pemimpin yang seiman dengan mayoritas warga Jakarta

"Islam itu agama yang sempurna, me-milih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga ibadah. Pilihlah yang sei-man dengan mayoritas masyarakat Jakarta," ujarnya.(paragraph 4)

Analisis dan Pembahasan

Dari sisi tematik dan Retoris, berita ini menggambarkan adanya upaya ‘kampanye hitam’ yang mencoba memecah belah para calon pemilih berdasarkan isu SARA. Pen-gangkatan topic soal imbauan Rhoma Irama yang meminta agar warga muslim memilih pemimpin yang seiman, merupakan bukti

23

Page 28: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultimacomm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN : 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

nyata adanya upaya menghambat multikul-turalisme, mengingat di Jakarta memang ter-diri dari warga yang beragam, tidak hanya warga muslim saja. Berita ini jelas menohok dan mencoba melakukan pembenaran aksi kampanye kelompok Fauzi Bowo dan Nara untuk mengangkat isu SARA sebagai bagian dari proses pemenangan mereka.

Rhoma Irama yang dianggap dekat dengan warga muslim Jakarta bahkan den-gan tegas mengatakan bahwa kampanye SARA itu justru dibenarkan oleh Ketua De-wan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jim-ly Asshidiqie. Sebagai upaya memperkuat tindakannya agar tidak dianggap melanggar aturan kampanye. Paling tidak ada tiga tema penting dari berita tersebut yaitu pertama kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Kedua Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang sei-man dan ketiga apa yang disampaikan Rho-ma senada Ketua Dewan Kehormatan Peny-elenggara Pemilu Jimly Asshidiqie.

3.3 Analisis Berita kedua: Geruduk Kantor DPRD, FPI Desak Ahok

Masuk Islam Fahmi Firdaus – Okezone Selasa, 9 Oktober

2012 12:03 wib Ilustrasi (Foto: Dok. Okezone)

JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Ja-karta terpilih, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok akan menjabat 12 tugas ex officio atau jabatan yang dipegang oleh Wagub. Dalam mengisi jabatan tersebut, Ahok akan berhubungan langsung dengan agama Islam dalam hal ini kaum muslimin di Jakarta.

Seperti Ketua Badan Pembina Lemba-ga Bahasa dan Ilmu Alquran, Ketua Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Ketua Dewan Perimbangan Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh, Ketua De-wan Pembina Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia, Ketua Badan Pembina Koordinasi Dakwah Islam, Ketua Dewan Penasehat Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Jakarta Islamic Center, dan Ketua Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama.

FPI pun dengan lantangnya menyebut Ahok di luar Islam dan tidak pantas me-mimpin 12 tugas yang berkaitan langsung dengan umat Islam.

"Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara

hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid," kata Ketua Dewan Syuro DPD DKI FPI, Habib Shahab Anggawi, di depan gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012).

Dia mengatakan, sangat tidak mung-kin dan tidak pantas yang mengisi jabatan tersebut adalah orang nonmuslim. FPI juga memberikan solusi, yakni Ahok tidak men-jabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam.

"Kami minta peraturannya diganti, atau Ahok yang masuk Islam. Kami yakin DPRD DKI mendengarkan kami, karena mereka lebih berilmu dibanding kami," tegasnya.

"Dari sebelum Pemilukada, umat Islam diberitahu untuk tidak memilih pemimpin yang tak seiman. Ada ayat larangan jadikan nonmuslim sebagai pemimpin. Bagaimana orang nonmuslim memimpin masalah zakat? Tidak mungkin mengurusi Dewan Masjid se-mentara dia orang nonmuslim. Dekat saja tak boleh, apalagi mengurusi Islam," cetusnya lagi.

Dalam melakukan aksinya, massa FPI juga melantunkan salawat dan berorasi un-tuk meminta Ahok tidak menjabat sebagai Wagub DKI.

(put)

Analisis Data

Dari berita diatas akan dianalisis makna dibal-iknya lewat pencarian unsur tematik dan re-torisnya

UNSUR TEMATIK1. FPI pun dengan lantangnya menyebut Ahok

di luar Islam dan tidak pantas memimpin 12 tugas yang berkaitan langsung dengan umat Islam

“..12 tugas ex officioatau jabatan yang dipegang oleh Wagub. Dalam mengisi ja-batan tersebut, Ahok akan berhubungan langsung dengan agama Islam dalam hal ini kaum muslimin di Jakarta.

Seperti Ketua Badan Pembina Lemba-ga Bahasa dan Ilmu Alquran, Ketua Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Ketua Dewan Perimbangan Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh, Ketua De-wan Pembina Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia, Ketua Badan Pembina Koordinasi Dakwah Islam, Ketua Dewan Penasehat Dewan Masjid Indonesia, Ketua

24

Page 29: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultima Com edisi Vol.I No.5 /Maret-Mei 2014 Universitas Multimedia Nusantara

ISSN 1979-1232

Dewan Pembina Jakarta Islamic Center, dan Ketua Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama. (paragraph 1-2)

2..Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bu-kan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid

"Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid," kata Ketua Dewan Syuro DPD DKI FPI, Habib Shahab Anggawi, di depan gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012). (paragraph 4)

3..FPI juga memberikan solusi, yakni per-aturannya diganti, meminta Ahok tidak men-jabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam.

"Kami minta peraturannya diganti, atau Ahok yang masuk Islam. Kami yakin DPRD DKI mendengarkan kami, karena mereka lebih berilmu dibanding kami," tegasnya. (paragraph 5)

4..umat Islam diminta memilih pemimpin seiman. Ada ayat larangan jadikan non mus-lim sebagai pemimpin

"Dari sebelum Pemilukada, umat Islam di-beritahu untuk tidak memilih pemimpin sei-man. Ada ayat larangan jadikan nonmuslim sebagai pemimpin. Bagaimana orang non-muslim memimpin masalah zakat? Tidak mungkin mengurusi Dewan Masjid semen-tara dia orang nonmuslim. Dekat saja tak bo-

leh, apalagi mengurusi Islam," cetusnya lagi.(paragraph 2 dari bawah)

1.leksikon/jargon Ahok di luar Islam dan ti-dak pantas memimpin

“FPI pun dengan lantangnya menyebut Ahok di luar Islam dan tidak pantas memimpin 12 tugas yang berkaitan langsung dengan umat Islam.”

UNSUR RETORIS

1. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati

"Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang non-muslim jadi penasihat masjid," kata Ketua Dewan Syuro DPD DKI FPI, Habib Shahab Anggawi, di depan gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012).

2. DPRD DKI lebih berilmu dibanding kami

"Kami minta peraturannya diganti, atau Ahok yang masuk Islam. Kami yakin DPRD DKI mendengarkan kami, karena mereka lebih berilmu dibanding kami," tegasnya.

3.Ahok sangat tidak mungkin dan tidak pantas mengisi jabatan tersebut karena dia adalah orang nonmuslim

…”Dia mengatakan, sangat tidak mungkin dan tidak pantas yang mengisi jabatan tersebut adalah orang nonmuslim. FPI juga memberi-kan solusi, yakni Ahok tidak menjabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam”

25

Page 30: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultimacomm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN : 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

PEMBAHASAN

Dari wacana di atas, jelas sekali ada tema yang sangat mendeskriditkan pasangan Jokowi Ahok, meski secara formal mereka berdua sudah memenangi Pilkada DKI dan berhak atas jabatan tersebut, kelompok FPI justru mengangkat isu SARA yakni agama Wakil Gubernur Basuki yang memang non muslim. Dari unsur tematik, ada sejumlah tema yang diangkat dalam wacana tersebut yakni pertama FPI menyebut Ahok di luar Islam dan tidak pantas memimpin 12 tugas yang berkaitan langsung dengan umat Islam, Kedua Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid, FPI juga memberikan solusi, yakni peraturan-nya diganti, meminta Ahok tidak menjabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam dan tematik keempat umat Islam diminta memilih pemimpin seiman. Ada ayat laran-gan jadikan non muslim sebagai pemimpin.

Dari unsur retorisnya, kata-kata yang menjadi penekanan adalah kata tidak pantas memimpin, karena Ahok adalah orang di luar Islam sehingga tidak layak untuk memimpin sebagai wakil gubernur yang secara ex officio memang mengurus 12 jabatan penting ter-kait dengan kepentingan masyarakat Islam. Jabatan-jabatan tersebut adalah di antaranya Ketua Badan Pembina Lembaga Bahasa dan Ilmu Alquran, Ketua Dewan Pembina Lem-baga Pengembangan Tilawatil Quran, Ketua Dewan Perimbangan Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh, Ketua Dewan Pembina Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia, Ketua Badan Pembina Koordinasi Dakwah Islam, Ketua Dewan Penasehat Dewan Mas-jid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Jakarta Islamic Center, dan Ketua Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama.Wacana yang paling menohok adalah desakan kelom-pok itu agar peraturan terkait soal jabatan ex-officio itu dihapus atau alternative lain adalah mendesak agar AHok masuk Islam. Agak aneh sebenarnya permintaan mereka mengingat beragama adalah hak pribadi dan dijamin oleh undang-undang. Permintaan ini sangatlah berlebihan dan sangat menying-gung rasa hak asasi manusia dan merupakan gangguan nyata dari multikulturalisme.

3.3 Analisis Berita ketiga

FPI Minta Pelantikan Jokowi-Basuki Ditunda

JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pelantikan gubernur terpil-ih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Alasannya, FPI meminta pel-antikan dilakukan setelah SK gubernur ten-tang jabatan wakil gubernur direvisi terlebih dahulu.

"Ini bukan politik. Kami hanya me-minta pelantikan ditunda sampai SK itu di-revisi," kata juru bicara DPD FPI DKI Jakarta, Jafar Shidiq, di depan Gedung DPRD DKI Ja-karta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012).

Jafar mengatakan, sebelumnya dia be-berapa kali telah meminta waktu berdialog dengan anggota DPRD DKI Jakarta terkait permasalahan ini. Akan tetapi, permintaan dialog tak pernah direalisasi sampai berakh-irnya masa pemilihan kepala daerah. Isi SK Gubernur DKI Jakarta yang dipermasalah-kan oleh DPD FPI DKI Jakarta adalah men-genai aturan yang menyatakan bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta akan membawahi be-berapa lembaga keislaman. FPI menilai, tak mungkin wakil gubernur terpilih saat ini, Ahok, dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal. Mengingat yang bersangkutan merupakan pemeluk agama di luar agama Islam.

" Kami sudah minta waktu dialog, tetapi tak pernah ditanggapi. Akhirnya sekarang terpaksa berdemo. Ini bukan SARA, kami hanya beranggapan sebaiknya SK tersebut direvisi dahulu karena lembaga itu harus dipimpin oleh orang yang beragama Islam," katanya.

Diberitakan sebelumnya, ratusan ang-gota Front Pembela Islam menggeruduk Ge-dung DPRD DKI Jakarta untuk mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merevisi SK gubernur tentang jabatan wakil gubernur di beberapa lembaga.

Untuk diketahui, sedikitnya ada 12 tugas yang secara ex officio dalam jabatan wakil gubernur DKI Jakarta. Di antara tugas dan jabatan ex officio wakil gubernur terse-but terdapat beberapa jabatan yang langsung terkait dengan urusan umat Islam. Jabatan itu di antaranya adalah Ketua Badan Lemba-ga Bahasa dan Ilmu Al Quran, Ketua Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Tilawa-til Quran, Ketua Dewan Pertimbangan Amil Zakat Infaq dan Shadaqoh (Bazis), Ketua Dewan Pembina Badan Perpustakaan Masjid

26

Page 31: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultima Com edisi Vol.I No.5 /Maret-Mei 2014 Universitas Multimedia Nusantara

ISSN 1979-1232

Indonesia, Ketua Dewan Penasihat Dewan Masjid Indonesia, dan Ketua Dewan Penasi-hat Forum Kerukunan Umat Beragama.

Sampai berita ini diturunkan, bela-san anggota DPD FPI DKI Jakarta tengah melakukan mediasi dengan anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta. Suasana lalu lintas di Jalan Kebon Sirih cukup padat karena aksi demonstrasi ini menyita perhatian warga masyarakat yang melintas di lokasi tersebut.(editor Hertanto Soebijoto)

UNSUR TEMATIK1.Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela

Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pelantikan gubernur terpilih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). —

……”Dewan Pimpinan Daerah Front Pem-bela Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pelantikan gubernur terpilih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Alasannya, FPI meminta pelantikan dilaku-kan setelah SK gubernur tentang jabatan wakil gubernur direvisi terlebih dahulu.(paragraph 1)

"Ini bukan politik. Kami hanya me-minta pelantikan ditunda sampai SK itu di-revisi," kata juru bicara DPD FPI DKI Jakarta, Jafar Shidiq, di depan Gedung DPRD DKI Ja-karta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012).(paragraph 2)

2.FPI minta berdialog tapi tak pernah ditang-gapi DPRD DKI

…”Jafar mengatakan, sebelumnya dia be-berapa kali telah meminta waktu berdialog dengan anggota DPRD DKI Jakarta terkait permasalahan ini. Akan tetapi, permintaan dialog tak pernah direalisasi sampai bera-khirnya masa pemilihan kepala daerahggapi DPRD (paragraph 3)

3.FPI mendesak agar SK Gubernur ditinjau

ulang karena sangat tidak mungkin Ahok menjalankannya sebagai Wakil Gubernur

Isi SK Gubernur DKI Jakarta yang di-permasalahkan oleh DPD FPI DKI Jakarta adalah mengenai aturan yang menyatakan bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta akan membawahi beberapa lembaga keislaman. FPI menilai, tak mungkin wakil gubernur terpilih saat ini, Ahok, dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal. Mengingat yang bersangkutan merupakan pemeluk agama di

luar agama Islam.(paragraph 3)

UNSUR RETORIS

Dari wacana tersebut ada sejumlah jar-gon dan leksikon yang digunakan sebagai penjelas maksud dari kalimat tersebut

1."Ini bukan politik. Kami hanya meminta pelantikan ditunda sampai SK itu direvisi

2.“pemeluk agama di luar agama Islam” 3.”Ini bukan SARA, kami hanya beranggapan

sebaiknya SK tersebut direvisi dahulu karena lembaga itu harus dipimpin oleh orang yang beragama Islam”

Analisis dan Pembahasan Dari sisi tematik, ada sejumlah pokok

pikiran pertama Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pelantikan gubernur terpilih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok), kedua FPI minta berdialog tapi tak pernah ditanggapi DPRD DKI, FPI mendesak agar SK Gubernur ditinjau ulang karena sangat tidak mungkin Ahok menjalankannya se bagai Wakil gubernur.Jelas sekali bahwa le-wat wacana ini digambarkan bahwa kelom-pok garis keras Islam, yakni Front Pembela Islam mencoba mendesak agar pelantikan Gubernur DKI ditunda, karena hanya alas an yang sepele. Padahal. Sebagai gubernur dan wakil gubernur yang dipilih rakyat Jakarta, tentunya sudah secara sah untuk dilantik. Soal Ahok yang memang non muslim sejak awal diketahui oleh para calon pemilihnya di Jakarta, sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk menolak acara pelantikan gubernur yang memang sudah direncanakan sebelum-nya.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari sejumlah berita online yang dia-nalisis ternyata jelas sekali ada wacana anti multikulturalisme di tengah pilkada DKI Ja-karta. Upaya mengganggu kenyamanan be-ragama ini mencuat karena Jokowi dan Ahok justru menang setelah mengalahkan Fauzie Bowo-Nara.

Lewat strategi Framing banyak ditemu-kan wacana pemberitaan sebagai hasil dari konstruksi realitas yang ada. Framing meru-pakan strategi pembentukan dan operasion-alisasi wacana media, karena media massa

27

Page 32: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultimacomm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN : 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

pada dasarnya adalah wahana diskusi atau koservasi tentang suatu masalah yang meli-batkan dan mempertemukan tiga pihak, yak-ni wartawan, sumber berita dan khalayak. Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam katagori penelitian konstruksionis. Pendekatan kon-struksionis melihat proses framing sebagai proses konstruksi sosial untuk memaknai re-alitas

Lewat framing pan Kosjiki dapat dis-impulkan bahwa media online yang diteliti justru menampatkan persoalan ‘anti multi-kulturalisme’ yang peka untuk menunjuk-kan adanya upaya menggoyang integritas Jokowi-Ahok. Justru dengan cara seperti itu, muncul dukungan terhadap keduanya dan justru merupakan kampanye positif buat Jokowi Ahok.

Dari sisi tematik memang ditemukan isu anti multikulturalisme yang menempat-kan posisi Ahok yang non muslim sebagai figure yang dianggap tidak layak dan tidak pantas memimpin DKI Jakarta. Bahkan wa-cana yang coba digulirkan lewat media terse-but adalah isu agama masih menjadi syarat mutlak dalam proses pemilihan gubernur, bahkan bisa ditarik kedepannya menjadi isu yang hangat nanti menjelang Pemilu 2014.

Media memang tidak pernah bisa ne-tral, tetapi sebenarnya media bisa juga ber-peran sebagai pemberi informasi yang bisa memenuhi kebutuhan public untuk mem-peroleh realitas yang sungguh mencermin kan keadaan sesungguhnya.

DAFTAR BACAAN

Berger, Peter & Thomas,1967 The Social Con-struction of Reality: A Treatise in the

Sociological of Knowledge.NY, A Double Day Anchor Book

Bungin, Burhan,2008 Konstruksi Sosial Media Massa Realitas Sosial Media, Iklan

Televisi & Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger &

Thomas Luckman , Prenada Media Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln,

eds., 1994, Handbook of Qualitative Re-search, Thousand Oaks, CA: Sage

Eriyanto, 2002, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Jakarta

Hamad, Ibnu 2004,Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah studi

Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-berita Politik, Jakarta:Granit

Hardt, Hanno, 2007, Myths for the Masses: An Essay on Mass Communication,

Wiley-Blackwell Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi,

BandungSobur, Alex, Analisis Teks MediaSugiyono. 2005, Memahami Penelitian Kualita-

tif. Bandung ; CV Alfabeta

28

Page 33: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret -Mei 2014 ISSN: 1979-1232

JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presiden-tial-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

Universitas Multimedia NusantaraNovita Damayanti

dosen Ilmu KomunikasiJl. Boulevard, Gading Serpong Tangerang-Banten

Telepon (021) 5422 0808

Abstract:

The background of this research is because during the 2009 elections, the presidential election in particular, mass media were competing to broadcast a variety of shows associated with the presi-dential election. Among others through a debate show broadcast by Metro TV entitled “Indonesia Bersatu”. Metro TV as the elections Chanel always tries to be leading in providing informa-tion about the elections.The Research, entitled “Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV” is a study that aims to determine the meaning construction of meaning in the “Indonesia Bersatu” Show on Metro TV.

Keywords: : political communication, mass media, television, social construction of reality

INTRODUCTION

The Indonesian presidential election of 2009 has been regarded by the researcher as still used conventional styles just like in the 2004 elections, in order to boost votes. Activities such as mass gathering, politi-cal safaris into votes pockets (especially the votes of the floating mass), the installation of a series of campaign paraphernalia such as billboards, posters, and so on were still found. Politics industry in the 2009 elections had become more sophisticated. Kompas daily (24/10/2009) reported that advertising spending of National Mandate Party (PAN), Gerindra, Democrats, Golkar, the Prosper-ous Justice Party (PKS), and the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) during May-October 2008 alone has reached Rp. 184, 13 billion.

Some of the media, especially televi-sion, had opened wide the doors of oppor-tunity for all political parties and the presi-

dential and vice presidential campaign teams to race in the big event of democracy, such as the General Elections for Legislatives and Ex-ecutives in April and July 2009. Various steps and efforts related to the needs and political interests ahead of the elections were waged by political elites utilizing mass media as an instrument.

The role of media as stated in the gen-eral elections law has made the media dare go further in contributing in the elections. Metro TV and TV One are the two television stations that actively participated in provid-ing special space for dynamics of the election to be released to the People. Metro TV with its Election Channel program elegantly pre-sented a series of special election program covering news, highlights on politicians and political parties and their programs, voter surveys, political advertising, open debates among political figures.

Television can reach remote audiences and directly hold the communicant emotions

29

Page 34: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

because they contain multimedia elements (audio, visual, and written elements), and becomes something sought by most Success Teams. Holtz Bacha and Kaid in Ahkmad Danial examine how TV is used by political parties to win elections. First, through free, regular media reporting on political activi-ties. In the free coverage, journalistic prin-ciples and criteria of selection of production which is often used by journalists and TV managers are applied. Political actors will find it difficult to influence when, how long, and how political events are broadcast.

Interestingly, in the 2009 Presidential election, polling activities were held at the same time as presidential and vice presiden-tial pair’s debates, organized by the General Elections Commission (KPU) in a number of television stations. Debate program was de-liberately organized formally by the Election Commission and was funded by the state. The Commission itself designed the presidential debates as the American presidential debates between Obama and McCain. This decision was taken by the Commission because the old methods of holding open rallies during campaigns were considered not educative for the public.

The debate program was divided into several days with different themes, and each theme was guided by one moderator who also acted as panelist while the broadcasting time was also divided between presidential candidates and vice presidential candidates. Nonetheless, the debate format was limited by the Commission. First, the one that has the right to ask questions is just one single panel-ist, who also acted as a moderator appointed by the Commission. This format was set by the Commission upon requests from all three candidates’ campaign teams, to avoid attack-ing each other. Second, each candidate was given only about 2-3 minutes to answer that question. In describing his vision-mission and program, each candidate was given about 15 minutes.

After watching the debates, there was an impression that because it was limited in such a way this debate far from the essence of a debate. When the candidates met in person in the show, they are still reluctant to criticize and refute each other. In fact, they looked like they were mutually supporting and reinforc-ing each program presented by every candi-date. At the very least, the statements of each candidate seemed to be complimenting other candidate’s. This debate gave the impression

of a reunion of political figures who were supposed to be fighting.

Because the mechanism was set up in such a way, it looked like there was limited room for each candidate to perform. While in fact it was not. What was spoken by the can-didates, whether it was a description of their vision-mission and programs or answers to questions posed by the moderator, all were reflected in the short messages (sms) polling facilitated by the television station to find out about public opinion after watching the de-bate. Another thing is, the time lag during the debate, was also filled with a number of com-mercials placed by each candidate as a venue for political campaigns.

The packaging of the presidential and vice presidential debate aired by Metro TV has typical individual characteristics such as the commentary segment, opinion forma-tion as well as polling. The packaging of each broadcast will be very different even though the same debate is aired at the same time. The debate on the show will illustrate how the strength of each candidate either rhetori-cally, or verbal and non-verbal communica-tion. It also showed how hard each Success Team behind the candidate tried to prepare for the best performance and response of its candidate.

The television debate itself was pack-aged in three segments, namely: a pre-debate where the Success Team would provide a representative as a speaker on a talk show; followed by a live television debate; and the last was a post-debate segment where a talk show was opened to analyze the response and performance of each candidate. There were also some political communication ex-perts and political scientists who became commentators. The small mass gathering in the studio made the debates show livelier.

This research is conducted with a con-structivist approach to review and analyze "Indonesia Bersatu" television show on presi-dential and vice presidential debates in the 2009 Presidential Election on Metro TV.

1.2. Problem Formulation Based on the background of the prob-

lem that has been described in the research background, the problem is formulated as follows: What is the Constructive Meaning of "Indonesia Bersatu" TV Show on Presiden-tial and Vice Presidential Candidates Debate during Presidential Election 2009 on Metro TV?

30

Page 35: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

1.3. Research Objectives

1. Know how Metro TV packaged "Indonesia Bersatu" show.

2. Know and analyze about the constructive meaning of "Indonesia Bersatu" presidential and vice presidential debates show on Metro TV.

2. Framework 2.1. Social Construction of reality Reality is defined as the quality con-

tained within the realities that are recognized as having existence (being) which does not depend on our own will. Knowledge is de-fined as a certainty that the realities are real and have a specific character. Berger and Luckman (Bungin, 2008:15) say that there are dialectics among individuals which create a society and a society which creates individu-als. This occurs through a dialectical process of externalization, objectification, and inter-nalization. The dialectical process has three stages:

First, externalization, the outpour-ing of effort or human self-expression in the world, both in mental and physical activities. Second, objectification, the results that have been achieved, both mentally and physically from the externalization of human activity. Third, internalization. Internalization pro-cess is more of a re-absorption of the objec-tive world into the subjective consciousness of the individual in such a way that the world is influenced by the social structure. Various elements of the world that has objectified will be captured as a symptom of reality outside consciousness, as well as internal symptoms for awareness. Through internalization, hu-man beings become the results of society. For Berger, the reality is not something estab-lished scientifically, not also something that is handed down by God.

Metro TV constructed the show through the process of externalization, objectification, and internalization. When the media define what to be displayed and how it will become externalization, to formulate what will be broadcast by Metro TV, the broadcast will become an objectification of the objective re-ality of the mass media after various consid-erations of associated subjective realities.

2.2. Framing. Blach in Liliweri (2011: 218) explains

that framing is how someone builds a visual communication using a language that is sent to the listeners or observers to interpret; to let the effect depends on the clarification of the audience, so the framing can lead to mean-ing. Framing is also related to the interests of individuals who are dealing with each other by blocking certain beliefs (convincing to support a particular policy by linking the size of the policy with a certain value).

Framing approach looks at how reality is constructed by the media. . The end result of the process of formation and construction of reality in the form of a certain part of real-ity which is more prevalent and more easily recognizable. Framing is a way to present an event by the media to the audience. Stressing on particular sections, highlighting certain aspects, and raising a certain reality are the process of framing in the media.

2.2.1. Framing Analysis of Robert N. Entman.

Framing analysis is used for the con-struction of meaning in the presidential- vice presidential debate show on Metro TV. How the TV station packaged it. The concept of framing by Entman is used to describe the se-lection process and highlight certain aspects of reality by the media. Framing put more stress on how the text of communication is displayed and which part is highlighted or considered important by the text maker. The word highlighted itself can be defined: to make information more visible, more mean-ingful, or more easily remembered by the au-dience. Highlighted information will be more likely received by the audience, more felt and stored in memory compared to the usual presented.

In Entman’s conception, framing ba-sically refers to (Eriyanto, 2002:185): Deter-mining the problem; diagnosing the cause; making moral judgment; providing recom-mendations. News frames arise in two lev-els. First, mental conceptions that are used to process information and as the characteristics of the news text. Second, the specific narra-tive news used to develop an understanding of the events. News frame is formed out of certain keywords, metaphors, concepts, sym-bols, imagery in the news narrative. Hence the frame can be detected and investigated from the words, image, and certain pictures that give a particular meaning of a text mes-sage.

Entman conception regarding framing de-scribes and broadly interprets how the event

31

Page 36: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

is signified by journalists. Defining the prob-lem is the first element that can be seen on the framing. This element is the master or the most important frame. Entman emphasizes how events are understood by journalists.

When there is a problem or issue, how it is understood. The same issue can be inter-preted in different ways and different frames which would lead to the formation of a differ-ent reality. Diagnosing causes (estimating the cause of the problem), is an element to frame something or somebody considered to be the actor of an issue. Cause here means what, but it could also mean anyone (who).

Making moral judgment is a framing element used to justify or give arguments on the definition of the problem that has been created. Another framing element is the treat-ment recommendation (emphasizing on set-tlement). This element is used to assess what is desired by journalists (Eriyanto, 2002:191).

2.2.2. Visual Framing

The images or pictures are part of the data that may not be separated and provide deeper analysis in this study. Aside from the analysis framing in general there is a visual framing that explains how to analyze an im-age be it a still photo or film. So far, the analy-sis framing has emphasized more on text as the main part of the analysis. But now, with the growing communication technology, the use of image has become a normal and an analysis is not limited to just the text but also in the picture.

Television is one of the media types that provide information with picture and sound.

Presidential-vice presidential debate 2009 is a television show that is audiovisual in nature. Metro TV as a medium is also con-structing “Indonesia Bersatu” show and is also analyzed with the visual framing. There is a difference between the words and pic-tures in terms of impressions. Words and pictures appear together in the media and audiences receive it simultaneously. Oral and written elements sometimes unite with pictures or visual elements to frame the topic or theme.

As a medium of communication there is a different meaning between pictures and words. Visual definition: a media content pro-cessed by eye. Like still photos and moving pictures, paintings and colors. Visual compo-nent in television news is facial expression, gesture, body posture (Coleman, 2010: 236).

"Schwalbe in Coleman (2010:237) defines: “visual framing is a continuous winnowing process. It begins with the choice of events to cover, followed by the selection of what pic-tures to take, how to take them (angle, per-spective, assumptions and biases, cropping, and so forth) and which ones to submit.”

Entman (1993) says visual framing in the media also chooses aspects that describe suit-able reality in communication with the text, to show the defining of the problem, causal interpretation, moral evaluation, treatment recommendation. In visual studies, framing leads to points of view selection, scene, or angle when making and cropping (cutting), editing, or selection. Mass media visual fram-ing uses elements of shooting selection dur-ing Metro’s “Indonesia Bersatu" production. How the show is displayed with perspective and emphasis on the scene and its attributes.

2.3. Political Communication According to Lynda Lee Kaid, political

communication itself was inter-disciplinary knowledge that includes the concept of com-munication, political science, journalism, so-ciology, psychology, history and others. But today, as a discipline, political communica-tion is not the same as these various fields of study Political communication reflects com-munication theory which includes research of human society approach to communica-tion. Political communication in the form of political rhetoric; political agitation; political propaganda, and political lobbying (Arifin, 2003: 181).

Nevertheless, the importance of the me-dia position being used as a political commu-nication strategy is recorded in the three ele-ments of political communication expressed by Mc Nair, which include: political organi-zations, the media, and citizens. Mc Nair then provides a wider limitation in political com-munication:

1.All forms of communication made by poli-

ticians and other political actors to achieve specific goals.

2. Communication addressed to political ac-tors of (non-political) individuals as voters or media columnist

3. Communication about political actors and their activities, published in mass media as well as in other media forms.

Referring to Dan Nimmo, as cited by

32

Page 37: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

Harsono Suwardi, political communication in the narrow sense, is categorized as a commu-nications with political value, if the commu-nication has political consequences or effects that govern human behavior under conflict. Secondly, in a broad sense political com-munication is any kind of messaging, espe-cially those with political information from a source to a number of receivers. Dan Nimmo outlines that political communication covers political communication, political messages, political persuasion, political communication media, public political communication, and the effects of political communication. Com-municators are the ones that initiate the de-livery of the message to another party, or re-flect the party that initiates and directs an act of communication. On political communica-tion, communicators can play two positions, namely as individual speakers and collective source persons (Nimmo, 1990 : 56).

2.4. Television as Mass Media and Politics According to Hamad Harsono Suardi

in Hamad (2004: XV) mass media are a very important part in political communication. First, it has very broad coverage in dissemi-nating political information; able to pass boundaries, age group, gender and socio-economic status as well as orientation. Sec-ond, it has a remarkable ability to multiply the message. Third, every media is capable to discourse a political event in accordance with its view. Fourth, it has the agenda set-ting function. Fifth, the media is able to form a chain of media information associated with each other.

According to Comer and Pels (2003:72-78) politicians generally work in two differ-ent domains of political action. First, the do-main of institutions and political processes that collectively builds political identity as a politician and accepts it as his duty. Second, the public sphere and popular domain.

This is a media era where a complex sit-uation is formed due to the media coverage. At this realm the politician as a public figure, becomes a representation of other politicians to develop a reputation and image.

Graber in Saeful (2008:46) indicates that one of the functions of mass media in the po-litical system is as a medium of political so-cialization. The mass media can be viewed as ideological instrument that provides learn-ing and values orientation to the audience. Through the medium a group will be able to spread its influence and dominance to other

groups. Mass media as a political battlefield is

also underscored by Charlotte Ryan in Sae-ful (2008:47); the media is a symbolic battle-ground between the parties concerned. They file their own meaning of an issue in order to be accepted by the audience. All parties in-volved seek to highlight their interpretation, claims, and arguments through rhetoric and labeling to establish their position.

Television is different from print media which can only display text or still photos alone. Television can do a live broadcast of what is happening at real time and simulta-neously. Events in faraway places can be seen directly by the audience. This ability makes television become increasingly close and inti-mate with its audience. It was this advantage of television media that made the General Elections Commission granting the right for live broadcasts on television to show the 2009 presidential election political debate. The ability to reach a wide audience and display a real visual image in the sense that what oc-curred at the scene and what is screened is the same. The Debate show is broadcast live so that audiences can watch it without hav-ing to be present. Instead, the media bring it to viewers home.

The 2009 presidential election political debate that aired live has its value to the Suc-cess Team of each candidate involved. The role of mass media stated in the electoral law has made the media dare go further to con-tribute in the elections. Metro TV has actively participated in providing special space for dynamics of the elections to be released to the People.

Metro TV with its Election Channel pro-gram along with the print media with their special elections column, elegantly present-ed a series of special election program cover-ing news, highlights on politicians and politi-cal parties and their programs, voter surveys, political advertising, open debates among political figures as well as political parties.

3. Methodology 3.1. Research Methods Constructivism paradigm is considered

the most appropriate in this study with the characteristics of looking into a reality to be specially constructed, being subjective, based on the findings in the field. Reality is relative so the 2009 presidential candidates’ debate will be constructed subjectively by Metro TV.

This study uses qualitative methods

33

Page 38: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

considering that members of Campaign Teams and the media are active individuals, interpreting, creative, displaying behavior that cannot be foreseen. To use a simple defi-nition, qualitative research is a research that is interpretive (using interpretation) involv-ing many methods, in reviewing the research problem.

In accordance with the principles of epistemology, qualitative researchers com-monly examine the things that are in their natural environment, trying to understand, or interpret, phenomena based on the mean-ings that people give to such matters. (Muly-ana, 2007: 4) This research is qualitative in nature with case study approach. According to Pawito (2007:143) the research itself is de-signed as a case study which has dynamic characteristics in its use to gain an overview of the various issues of interest in social life. According to Deddy Mulyana (2006:201) a case study is "a comprehensive description and explanation of the various aspects of an individual, a group, an organization (com-munity), a program, or a social situation".

In short, a case study can be regarded as a description of the aspects studied, whether it is individuals, groups, organizations and social circumstances, in detail based on the actual situation occurred. The case study aims to provide a detailed overview of the background, characteristics and typical char-acters of the case. This study uses a case study method to explain that it focuses on "Indonesia Bersatu" 2009 presidential elec-tion debate show on Metro TV.

3.2. Informants and Data 2009 Presidential Candidate Debate: 1. Thursday, June 18, 2009, presidential de-

bate with the theme of realizing good and clean governance, as well as upholding the rule of law.

2. Thursday, June 25, 2009, presidential de-bate with the theme of poverty and unem-ployment.

3. Thursday, July 2, 2009, presidential debate themed the Unitary State of the Republic of Indonesia, democracy and regional autono-my.

Vice Presidential Candidate Debate 2009: 1. Tuesday, June 23, 2009, vice presidential

debate with the topic: construction of nation-al identity.

2. Tuesday, June 30, 2009, vice presidential debate with the theme: improving the quality

of human life in Indonesia.

The Informant interviewed by the researcher is the Deputy Chief Editor of Metro TV, Mak-roen Sandjaya.

3.3. Data Collection Techniques

Data collection techniques used in this study is:

1.Interview, Interviews are used with open-ended nature, in the sense of giving an op-portunity to the informant to provide an-swers according to their thinking.

2. Documentation Study, Observing and col-lecting messages contained in the vice-pres-idential debate shows on CD considered to have a particular meaning in the context of constructing a reality.

3. Library Studies, Search for and collect the writings, books, and other information about the construction of reality built by the tele-vision media in the 2009 Presidential elec-tion.

3.4. Data analysis techniques In qualitative research, data analysis

are conducted during the study. This is done through a description of the research data, a review of the existing themes, and highlights on certain themes (Creswell, 1998:65). There is several common data analysis in qualita-tive research, namely:

1. Data collection, in this section the research-

er collects various types of data from various sources. The documentation debate show, as well as interviews with informants. .

2. Presentation of data (data display). The

data collected and grouped are arranged in a logical and systematic manner so that the researcher can see and examine the critical components of the presentation of data. At this stage, data collection is still possible if the data is still considered incomplete...

3. In this section data reduction and classifi-

cation are also conducted. Here, the research-ers gather important information related to the research problem, and then classify the data according to the subject matter. (Grade I construct)

4. Data typication. Rearranging data accord-ing to the type of information which then is

34

Page 39: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

interpreted and discussed which will result in the model. (Grade II constructs)

5. Conclusions and verification. At this stage, the researcher conducts data interpretation in the context of the research problem and objectives. A conclusion will be derived from the interpretation.

3.5. Framing analysis Robert N. Entman is one of the experts

who laid the foundation for framing analysis for the study of media content. The concept of framing is written in an article for the Journal of Political Communication and other writ-ings practicing the concept in a case study of media coverage.In Entman Conception, framing basically refers to define Problems, diagnose causes, make moral judgement and treatment recommendation (Eriyanto, 2002:185).

3.6. Validity Examination Techniques Triangulation is a validity examination

technique that utilizes something else. Be-yond the data, for checking purposes or as a comparison to the data. Denzin (2009:271) distinguishes four types of triangulation as examination techniques that exploit the use of sources, methods, investigators, and theories. Triangulation with sources means to compare and recheck the degree of reli-ability of the information through time and different tools in qualitative research (Pat-ton, 1987:331). Triangulation by method, ac-cording to Patton (1987:329), consists of two strategies, namely: (1) checking the degree of reliability in the discovery of several research techniques and data collection (2) check-ing the degree of reliability of multiple data sources with the same method.

So triangulation means the best way to eliminate the facts construction differences in the context of a study while collecting data about some events and relationships of vari-ous views.

4. RESEARCH ANALYSIS RESULTS AND DIS-CUSSION

4.1. Construction meaning of “Indonesia Ber-satu " presidential- vice presidential debate show in the 2009 Presidential election on Metro TV .

Metro TV considers that the debate

show should also have an entertainment side that is not monotonous, to the point, but also contains reviews and input from resource persons in attendance. "Indonesia Bersatu” which is a formal and serious talk show has become more relaxed and not too tense to watch. So that people will be able to see with a clear mind.

Construction of meaning on “Indonesia Bersatu” show is a program of presidential-vice presidential candidates’ debate which will become a consideration for voters in choosing the President and Vice President in the 2009 Presidential election. The debate organized by the Election Commission has not reached the true essence of a debate; it is still limited on mutual expression of each presidential-vice presidential candidate “In-donesia Bersatu” seeks to provide its viewers with an understanding on good discussions with the “campaign team” spokesman and observers. So the outcome of the debate be-tween “Campaign teams” or observers' com-ments come into consideration for voters to be rational voters .

Metro TV packaged the pre- and post- debate shows with elements of peace, the participants sat side by side and each could express his support. The success team spokesman also could explain more deeply about the vision, mission, platform, or any other statement in the presidential-vice presi-dential candidates’ debate in quite limited time.

Meaning Construction of "Indonesia Bersatu" presidential-vice presidential de-bate show in the 2009 Presidential election on Metro TV tried to give an understanding to the people of Indonesia, especially Metro TV viewers to become rational voters instead of emotional voters through a discussion on presidential-vice presidential debate show in the 2009 Presidential election. A balance for all candidates or campaign (Success) teams on this show indicates that Metro TV did not take sides. Metro TV program which is also audiovisual presented equal scene, angle, zoom and displays time.

In addition to the formal presidential-vice presidential candidates debate, Metro TV also provided an element of entertain-ment so that viewers were not bored and did not feel that politics as a terrible thing . “Indonesia Bersatu” show was packaged with Metro TV style that gives equality to presidential-vice presidential candidate pairs Megawati - Prabowo, SBY - Boediono, and JK

35

Page 40: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

- Wiranto. In line with its title. “Indonesia Bersatu " (Indonesia Unite) this show makes Indonesia remains united despite differences in choosing presidential-vice presidential candidates 2009.

1). Production of live event “Indonesia Ber-satu “show on Metro TV

" Indonesia Bersatu" show is a Metro TV pro-duction using (talk show) dialogue format and was broadcast live (live event). There are many elements involved in this show such as: the show format, duration, performers, and live broadcast.

Figure 1: Elements in "Indonesia Ber-satu" show

Metro TV editorial team governed how the show "Indonesia Bersatu" was packaged and broadcast. The decision to choose Grand studio, Najwa as the host, observers to be present, duration, and format of the show are the elements that make up "Indonesia Ber-satu" show. Each element in this show is the best option according to the editorial team of Metro TV Metro TV production team pro-duced "Indonesia Bersatu" show with careful preparation and support of all sections. Start-ing from the preparation of location in Grand studio, “watching-along” locations in some areas, and the location of the 2009 presiden-tial-vice presidential "Indonesia Bersatu" de-bate. Cameras and the crew were prepared in each location. Grand studio is a studio that was complete with lighting, the laying of the camera, stage, and audio recording.

The broadcast from “watching-along” locations and the location of the debate was the result of Metro TV production team con-sisting of reporters, cameramen, and broad-casting crew. Commercials that appear were

based on the advertisers that paid and ob-tained slots in "Indonesia Bersatu" show. The General Elections Commission decided when the debate would be held and which TV sta-tions to have the turn as the host. Metro TV as one of the national TV stations followed the rules set by the Commission so that Metro just relayed the debates aired live from dif-ferent locations. Metro TV got the part as the host on the second round of the presidential candidates’ debate.

SMS polls SMS polling conducted by Metro TV is

part of the opportunity for viewers to be able to participate in “Indonesia Bersatu” show. It was the only independent poll and was a product of Metro TV itself without cooperat-ing with any polling institutes in Indonesia. It was independent with costs and methods undertaken by Metro TV itself.

Polls are useful method for collecting information about the public’s opinion, atti-tudes, and behavior in a variety of political contexts. Campaigns rely upon polls for in-telligence as well as an assessment of the ef-fectiveness of their strategy. Polls from an in-tegral element of the research function of the campaign that also includes analyses of po-tential opponents and their records, historical voting patterns in the constituency, and as-sessment of advertising content and its effec-tiveness (Kaid and Bacha, 2006 : 621). Metro TV included poll in Indonesia Bersatu show to provide opportunities for people to par-ticipate in the show. Polling is also a bench-mark to see the response from the public and the impact of "Indonesia Bersatu" show on voters. .

2). Show Format Show format is the authority of the edi-

torial team to set it up, so it would form an atmosphere of peace in “Indonesia Bersatu” show. “Indonesia Bersatu” is a talk show with a formal, casual, entertaining, and peace discussion. A talk show discussion program consists of three or more people talking about a problem. In this program each character that is invited can talk about his opinions with the presenter (host) acting as a mod-erator (Wibowo, 2009: 82). Format is made differently on each show as details below:

a). First Show It was a Format with 1 host and 3 campaign

(Success) team’s spokespersons for each can-didate. The Spokesman sat in the audience

36

Page 41: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

seats in accordance with the candidate’s number. On the stage there were only a mon-itor and a presenter, Najwa Shihab. There were also participants from each candidate and 1 youth group representing the public. The youth representatives became indepen-dent participants who pass judgment on the results of presidential debate of 2009. During the presidential debate, Metro TV broadcast it live from Trans 7 studio in Jakarta. Metro TV put the crew to do a live broadcast. Its re-porters also reported what happened at the debate. Metro TV also broadcast “watching together” programs held in some areas and consisted of candidate participants.

b). Second Show The format of the second show was slightly

different from the first show though still with Najwa Shihab as host. There were spokesper-sons of each of the candidates and political observers on the stage. The Spokesperson sat in the order of the candidate’s number rep-resented. On the other side 2 observers sat on the stage. Audience seats were filled with participants supporting the vice presiden-tial candidates. Polls already started on this show. At the time the vice presidential debate was broadcast live from the studio SCTV stu-dio Senayan City, Jakarta; Metro TV puts the crew to do a live broadcast. Reporters were also ready to report what happened on loca-tion. Metro TV was also preparing “watching together” in some areas. Reporter would reg-ularly report to the Grand studio over what happened in the area. “Watching together” in some areas also continued to be held and re-ported directly from the site. Sms polls were opened for public to participate directly in this event.

C). Third show The format is different because Met-

ro TV hosted the second round of the 2009 presidential debate. Grand studio was used for presidential debate 2009. Plaza Park at Metro TV becomes the location of “Indone-sia Bersatu” pre -and post- debates. Najwa was the presenter of the pre and post- de-bate along with 3 campaign (success) team spokespersons and one observer .The debate show was broadcast live from studio Grand studio, Metro TV by deploying 3 presenters in the lobby and grand studio to report on the situation there . Participants of the candidates filled the Park Plaza highlighted by Democra-zy team. “Watching together” in some areas were also reported directly from the site. Sms

polls opened for public to participate directly in this event.

). Fourth Show " Indonesia Bersatu " show was back to

the stage with a format that included three campaign (success) teams spokespersons as well as two observers (commentator) , broad-cast live from the Grand Studio with Najwa Shihab of Metro TV as presenter. Metro TV also held “Watching together” in three areas, namely: Pekanbaru, Surabaya, and Makassar. Each of these areas was reported by a report-er. Zakia Arfan in Pekanbaru, Intan Adiana in Surabaya, and Rachel Marembuna in Makas-sar.

Grand studio Metro TV was visited by guests who participated in "Indonesia Bersa-tu" debate. Present at the event as panelists: Mrs. Siti Aminah a midwife and Mang Idin, an environmental activist. Sms polls were opened so the public can directly participate in this event.

E). Fifth show The format was changed for Metro TV

provided 2 separate studios. . In the Grand studio it was guided by Najwa Shihab with the candidates’ campaign team. There are 5 Academicians of the UI (University of Indo-nesia) who were in Metro TV studio with pre-senter Kania Sutisnawinata. Sms polls were opened so the public can directly participate in this event.

3). Duration “Indonesia Bersatu” shows were

broadcast during prime time starting at 18:30 until 22:30 so that the duration of each show ranges from 3-4 hours. The time was adjusted to the time schedule set by the Commission namely at 19:00 to 21:00 so Metro TV can have pre and post debate shows in accor-dance with the schedule. The show contains a very important national issue, namely the Indonesian Presidential Election 2009, so the long duration is quite natural. The format of "Indonesia Bersatu" show requires about 3-4 hours.

4). Show participants /performers Many parties were involved in "Indonesia

Bersatu" show such as: presenters, campaign teams spokespersons, observers, audience, independent groups, and community repre-sentatives.

• The Presenter was also the Moderator who kept the “Indonesia Unite" show run smooth-

37

Page 42: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

ly. Najwa Shihab was assigned to guide five

"Indonesia Bersatu" shows as a single host at

Grand Metro TV studio. Her job covers open-ing and guiding the show, asking questions, and closing the show. At the second round of the debate, there were three additional pre-senters assigned on presidential debate of 2009 locations.

• A reporter is a person who covers a sto-ry then conveys it to others (Wibowo, 2009: 114). Metro TV reporters covered live reports from the site of “watching together” in some areas in accordance with the constituents re-gions or assignment from Metro TV. Report-ers from the location of the 2009 Presidential election debate reported directly from the site of what was happening. On the spot and on the screen reporter is a reporter who is on the scene and appears on television to report what is happening there (Wibowo, 2009: 103)

Observers who were present were in-vited by Metro TV and all with good track record, high credibility and neutral. Metro TV selected an observer after going through various processes to create a list of observers in accordance with their respected fields.

Participants are invited by Metro TV. Those who took part in the 2009 presidential

election debate programs were independent groups and a team of Metro TV has done some research in advance on them The same thing goes for public figures who came to represent the people or a particular profes-sion or community in Indonesia, they were all credible and independent.

Campaign Teams of candidates were in-vited by Metro TV and those who were pres-ent were the choice of the teams’ not Metro TV. Metro TV gave full rights to campaign teams. There is a relationship between Metro TV and the teams but it was limited to pro-fessional relationship and complements each other in meeting the need for information.

5). Live Broadcast ( Live event ) "Indonesia Bersatu" is a live talk show,

so it is different from other television pro-grams which have to undergo a production process before being aired . A live broadcast takes foresight and a higher concentration because what is recorded at the moment is directly it aired. So the selection of the scene, angle, and zoom are the key to its success. The process of editing / selection occurs on the live broadcast that is to determine which parts to shoot and then where the camera

Figure 2: “Indonesia Bersatu” shows Packaging

38

Page 43: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

lead or move to other parts. A live broadcast requires a presenter

who can master her audience like Najwa Shi-hab. As a presenter she must be able to orga-nize and run the show as expected by Metro TV. She must also be able to control the course of events from start to finish according to the duration of time; commercial break, breaking news, and guide the discussion to keep it stay in context.

Metro TV as mass media performs its functions, namely: informing, entertaining, being persuasive, and educating. The func-tions of the mass media are to be a source of information, a source of entertainment, and a persuasion forum (Vivian, 2008: 5-6). Domi-nick in Ardianto (2007: 14-17) states the func-tions of mass communication are as surveil-lance, interpretation, linkage, transmission of values and entertainment. Communication functions in general are expressed by Effendy in Ardianto (2007: 18-19), namely: informa-tion, education, and influence functions.

Metro TV provided information for In-donesian people on president-vice presiden-tial candidates in 2009 through “Indonesia Bersatu” show. It provided information that is also entertaining with varying formats. The message was conveyed in a very persuasive and instructive way to make viewers become rational voters instead of emotional ones.

6). Framing has been conducted by Metro TV in packaging "Indonesia Bersatu" show on 2009 election presidential-vice presiden-tial candidates debate.

Metro TV is a television station which declared itself as the elections channel or tele-vision. “Indonesia Bersatu” show was very important for Metro TV as it was the larg-est “party of democracy” in Indonesia, that is, the direct presidential election. Metro TV called on Indonesian people to be rational rather than emotional voters by airing "Indo-nesia Bersatu" talk show. Experimental study of Iyengar and Kinder (1983) in Liliweri (2011:202), suggests that reintroduces media can produce:

a. Persuasion effect on beliefs, attitudes, and

choices of the audience b. Placing issues of significant value in the public agenda, such issues which are prob lematic or small but underestimated pub lic. “Indonesia Bersatu “show persuades

the audience by giving a discussion about the president-vice presidential candidates who would be elected by the people. Metro TV placed the 2009 Presidential election as an important issue that needs to be conveyed to the public.

Presidential-Vice presidential debate in 2009 became an important agenda for Metro TV to be aired to Indonesian people.

Media frames : media makes something more prominent than the fact that makes the audience more accepting , for example by introducing the definition of a problem, in-terpret ting the cause of the problem, giving moral evaluation , and / or providing treat-ment recommendations ( Liliweri 2011:202 ) . Metro TV highlighted presidential-vice presidential debate in the 2009 election as the media frames. Through "Indonesia Bersatu " with long enough duration Metro TV pre-sented presidential-vice presidential debate in the 2009 Presidential election by explain-ing the problem , the cause of the problem , moral evaluation , and treatment recommen-dation In Conception Entman, framing basi-cally refers to (Eriyanto, 2002:185): Determin-ing problems, diagnosing causes, making moral choices, and providing recommenda-tions.

Tabel 1 Framing in “Indonesia Bersatu” on Metro TV

Define Problems Presidential-vice pres-

idential debate on Metro TV in the 2009 Presidential election

Diagnose causes Whether the Presidential-vice presidential de-bate on Metro TV in the 2009 Presi-dential election is a real debate that can give reference to the people who want to choose their president and vice president.

Make moral judge-ment

The Presidential-vice presidential debate has not presented the real essence of a real debate.

39

Page 44: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

Treatment reco-mendations

Metro TV gives the opportunity to the viewers to judge who is the best ac-cording to them and it is the right of the viewers to give the Treatment Recom-mendation.

Metro TV as the Election Chanel that focused on the democratic process in Indone-sia namely, the legislative as well as and the presidential elections.

The source of the problem is not the 2009 presidential-vice presidential candi-dates debate but how the candidate could convince the voters or prospective voters on July 8, 2009 Election. Metro TV stressed that the real assessment came from the voters who were still undecided. Metro TV on "In-donesia Bersatu" show emphasized that the problem was not only on the essence of the presidential-vice presidential debate but also on the debate format that should be changed to avoid monotony.

The Presidential-Vice presidential de-bate format affects how candidates present their vision, mission and answer questions related to the country's problems. M a k i n g moral decisions that the vice - presidential debate still has not touched the surface of the essence because in each answer during the debate there was neither solution nor con-crete step. This is due to the debate format specified by the Commission. Metro TV also invited independent groups and observers to comment on the presidential-vice presiden-tial candidates’ answers and communication style. .

Observers noticed that the vice presi-dent candidates could not explore the answer in terms of time and format of the Debate set by the Commission. Independent groups were given the opportunity to answer ques-tions related to the presidential debate of 2009.

"Indonesia Bersatu" show is a moral deci-sion made by Metro TV by presenting dia-log (talk show) from a variety of sources that provide input and information related to the debate. Discussions on this show consist of various parties such as: campaign team that explained and exposed deeper answers given by the candidates during the debate, observ-ers/commentators who provided a neutral assessment of the candidates, independent

groups or communities in society who pro-vided input and assessment of the debate.

SMS poll was also a form of community participation in order to convey their aspira-tions or choice of presidential and vice presi-dential candidates in 2009.

Metro TV gave the resolution empha-size that it is the public or viewers themselves who determine their own choice. "Indonesia Bersatu" show is packaged to help people obtain information that is clear, reliable and impartial, and to help people determine who is best to lead Indonesia. Recommendations are given by Metro TV by conveying infor-mation in the form of assessment by observ-ers/commentators, the academics team from UI that conducted analysis on the debate as a whole.

Entman in Coleman (2010:237) states that visual framing in the media also chooses aspects that describes suitable reality in com-munication with the text, to show the defin-ing problem, causal interpretation, moral evaluation, treatment recommendation.

In visual studies, framing leads to the selection of points of view, scene, and the angle during the making, cropping (cutting), editing or selection.

Table .2.

Visual Framing of "Indonesia Bersatu" Show on Metro TV

Element Frame impressionsViewpoint The camera viewpoint

leads throughout the stu-dio when the host opens the show.

Scene n the Studio there are a stage for the presenter and a large monitor for the live broadcast de-bate. Audience seats are filled with participants, spokespersons for the success/campaign teams, undecided voters, and observers

angle There are some cameras that take pictures as a whole, from the right and from the left sides.

40

Page 45: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

Zoom Whoever is speaking will be directly shot or zoomed by the camera so viewers can see him. The camera will also zoom the presenter while guiding the show, par-ticipants during yells, campaign team spokes-persons when they an-swering questions, un-decided voters when answering questions and the observers.

Editing & selection

The part which is consid-ered important is when the presenter begins to ask a campaign team spokesperson so that the points can more deeply answered with the cam-era on the person who is speaking and of course also on the atmosphere in the Grand Studio Met-ro TV

"Indonesia Bersatu" is a television show

that is audiovisual in nature so the framing is not only of text/sentences contained in the show but also of images/visuals. Pictures be-came an important component in this show for pictures give emphasis, highlight, and the affirmation of the problems that are being discussed at the "Indonesia Bersatu” discus-sion. Components of visual framing are the point of view, scene, angle, zoom, and edit-ing

The camera becomes the eye of Metro TV which directly provides information to viewers which in parts of the interpreta-tions reinforce a point of view , scene , angle , zoom, and editing of the show " Indonesia Bersatu " .

Point of view is a portion of the image taken by the camera when the show opened, during the discussion, and closing. The cam-era at the beginning of the show would lead throughout the studio that explains that this is a show that was attended by many parties, like the success teams, observers, partici-pants, and presenters. The camera became an important tool that will lead and direct image recording for broadcast.

Each scene must fit with the overall part

of “Indonesia Bersatu “show. The stage is the center or hub of activity

in “Indonesia Bersatu” shows it is dominat-ing the scene. Discussions and debate were carried out on the stage so that not only the scene but also the angle from all sides as well as zooming are on the host, spokespersons for the camping/success teams, and observ-ers. Cameramen will take the best angle ei-ther from the right side, left side, top or bot-tom of each scene in the show.

Zooming or enlarging the images is carried out when there is somebody speaking and it shows that this part of the show is important and deserves the attention of viewers.

A live broadcast also goes through the process of editing / selection that is, choos-ing where the camera should point to cap-ture precious moments. During discussions between each candidate’s campaign team spokesperson and an observer then the cam-era will immediately lead to the one who is speaking. Occasionally it will quickly move to the person who is answering or to the ex-pressions of the audience on an answer.

As in the pictures below:

Viewpoints and scene in “Indonesia Bersatu “Show

41

Page 46: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

Figure 3 : Framing of “Indonesia Bersatu” show on Metro TV

Based on the above discussion, a model

of the construction of meaning l of “Indonesia Bersatu" show on Metro TV can be illustrat-ed. The Construction of meaning of “Indone-sia Bersatu “show originated from the formu-lation and planning of the show production by Metro TV Editorial Team. The Editorial team made "Indonesia Bersatu" show format starting from the type of the show which is a talk, the show duration which is between 3-4 hours, performers (presenters, reporters, success teams, observers, participants, com-munity). Metro TV set all locations ranging from Grand studio, “watching together” in some areas, and the debate locations. Setting up crew: presenters, reporters, cameramen, the production section and others.

Metro TV gives prominence and em-phasis on 2009 election presidential-vice presidential debate program as a very impor-tant activity. The debate held by the Com-mission has not yet reached the essence of a real debate so it is difficult for the public to assess which candidate is electable. Metro TV opened a discussion forum related to the content of the debate more freely by invit-ing success teams, analysts, and the public in general. Sms polls were opened to give view-ers the opportunity to participate directly in this show. Metro TV recommendation is that through this discussion people can choose which candidate is the best. People have be-come rational voters with the information

provided by Metro TV which is per-suasive, entertaining, educating, and neutral. The construction pro-cess of mass media through the fol-lowing steps (Bungin, 2000:194-200): First, the preparation of construction materials. This stage is the task of the mass media editors to be distributed to the mass media workers. Metro TV Editorial team interpreted presiden-tial-vice presidential debate in 2009 as a national public event that is criti-cal to the continuity of the political system and democracy in Indonesia. Second, the construction distribution phase, this is done through mass me-dia strategies in conveying informa-tion which in principle is in real time. Metro TV packaged the presidential-vice presidential debate 2009 to be-

come “Indonesia Bersatu “show with various attributes. Third, the establishment of con-struction of reality. Metro TV established it-self as a mass media which gives a reference to the public in choosing presidential-vice presidential candidate rationally.

Finally, the confirmation, is the stage when the mass media and the audience give arguments and accountability for the choice to be involved in the formation stages of con-struction. Mass media has the ability in the construction of reality based on the subjectiv-ity of the media, yet the presence of mass me-dia in one's life is a source of knowledge to be accessed indefinitely.

Social construction of Metro TV is con-ducted through 3 stages namely, externaliza-tion, the first and second stages. Metro TV packaged “Indonesia Bersatu” show. Objec-tification that is Metro TV turned the presi-dential-vice presidential debate 2009 into “Indonesia Bersatu” show. The last is inter-nalization, how Metro TV viewers receive the show and influence their behavior.

5.1. Conclusion Based on the results of the research that has

been presented, it can be concluded as fol-lows :

"Indonesia Bersatu" show which is a formal and serious talk show has become a show with more relaxed nuance so is not too tense to watch. So the public can watch with a clearer mind.

The meaning construction on “Indo-nesia Bersatu” show on Metro TV seeks to

42

Page 47: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

provide an understanding to the people of Indonesia, especially Metro TV viewers to become rational instead of emotional voters through discussions on the presidential-vice presidential candidates debate in 2009 Presi-dential election.

Frame: presidential-vice presidential debate 2009 iss a political event, an Indone-sian “party of democracy” . The construction process of mass media through the following steps: First , the preparation of construction materials. This stage is the task of the mass media editors to be distributed to the mass media workers. Metro TV Editorial team in-terpreted presidential-vice presidential de-bate in 2009 as a national public event that is critical to the continuity of the political system and democracy in Indonesia. Second , the construction distribution phase , this is done through mass media strategies in con-veying information which in principle is in real time.

Metro TV packaged the presidential-vice presidential debate 2009 to become “Indonesia Bersatu” show with various at-tributes . Third , the establishment of con-struction of reality. Metro TV established it-self as a mass media which gives a reference to the public in choosing presidential-vice presidential candidate rationally. Finally, the confirmation, is the stage when the mass me-dia and the audience give arguments and ac-countability for the choice to be involved in the formation stages of construction

•Mass media has the ability in the con-struction of reality based on the subjectivity of the media, yet the presence of mass me-dia in one's life is a source of knowledge to be accessed indefinitely . Social construction of Metro TV is conducted through 3 stages namely, externalization, the first and second stages. Metro TV packaged “Indonesia Ber-satu” show . Objectification that is Metro TV turned the presidential-vice presidential de-bate 2009 into “Indonesia Bersatu” show. The last is internalization, how Metro TV viewers receive the show and influence their behav-ior .

REFERENCES

Alfian, Alfan. Political Communication and Po-litical Systems Indonesia. Jakarta: PT. Scho-lastic Press, 2009

Arifin, Anwar. Political communication: Para-digm-Theory-Application-Communication Strategy and Politics in Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka .2003. Ardinal. Political Communication. Jakarta: PT.

Index 2009 Baran, Stanley J., Introduction to Mass Com-

munication, Media Literacy and Culture, New York: McGraw-Hill, 2004.

Berger, Arthur Asa. Signs in Contemporary Culture (translation). Yogyakarta: Tiara Dis-course. In 2000.

____________. Media Analysis Techniques. Beverly Hills: Sage Publication. 1982.

Berger, Peter L and Luckman, Thomas. The So-cial Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Anchors Book. , 1967.

Bungin, M. Burhan. Construction of Social Me-dia: The Power of Influence of Mass Media, Television advertising, and consumer deci-sions as well as criticism of Peter L Berger and Thomas Luckman. Jakarta: Kencana. , 2008.

Cangara, Hafied. Political Communications: Concepts, Theory, and Strategy. Jakarta: Ra-jawali Press. , 2009.

Comer, John and Pels, Dick (ed). Media and re-styling of Politics. London: Sage Publications. , 2003.

Creswell, John w. Research Design (Transla-tion) Chryshnanda, DL & Bambang Hasto-broto. Jakarta: KIK press. , 2002.

Danial, Akhmad. Political TV Ad: Moderniza-tion of Political Campaign Post-New Order. Yogyakarta: LKiS.2009.

Denzin, Norman K and Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research, First Edi-tion. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. , 1994.

Eriyanto. Construction Framing Analysis, Ide-ology, and Politics Media. Yogyakarta: LKIS. , 2002.

Firmanza. Political Marketing. Jakarta: Indone-sian Torch Foundation. 2007.

Hall, Stuart. Culture, Media and Languange. London: Routledge. , 1992.

Louw, Eric P. The Media and Political Process. London: Sage Publications. , 2005.

McNair, Brian. An Introduction to Political Communication. London, Routledge. , 2003.

Mulyana, Deddy. Qualitative Research Meth-odology New Paradigm of Communication Sciences and Other Social Sciences. Bandung: PT. Teens Rosdakarya. , 2003.

Pawito. Mass Media and Election Campaigns. Yogyakarta: Jalasutra. , 2009.

Perloff, Richard M. Political Communication: Politics, Press. and Public in America. New Jersey: Lawrence Erlbaum associates, Inc.. ,

43

Page 48: jurnal ilmu komunikasi UMN

“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”

NOVITA DAMAYANTI

1998. . Sobur, Alex. Media Text Analysis An Introduc-

tion to Discourse Analysis, Semiotics Anal-ysis and Framing Analysis. Bandung: PT. Teens Rosdakarya. , 2001.

Suardi, Harsono, Sedjaja, Sasa Djuarsa and Se-tio Budi. Political Democracy and Commu-nication Management. Yogyakarta: Galang Press. , 2002.

Vivian, John, Theory of Mass Communication, New York: Kencana 2008

Wibowo, Fred. Television Program Production Engineering. Yogyakarta: Pinus Book Pub-lisher. , 2009.

44

Page 49: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN: 1979-1232

JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

Perspektif & Masalah KomunikasiPartai NasDem sebagai Partai Politik Baru

di Indonesia

Inco Harry Perdanadosen Ilmu Komunikasi

Universitas Multimedia Nusantara

Jl. Boulevard, Gading Serpong Tangerang-BantenTelepon (021) 5422 0808/3703 9777

e-mail: [email protected]

Abstrak

General Election 2014 which will come bring new parties competing to win votes. One of the new political parties are Nasdem Party. As a political party, Nasdem Party can not be separated from the process of communication, both internally and externally. Effective form of communication that is needed by Nasdem Party to be able to realize their goal of winning legislative elections in 2014. Through this paper will discuss the perspective of communication made by Nasdem Party, also about the communication problems, communication in organizations, public communication and intercultural communication contained in Nasdem Party. The discussion will be based on theories of communication that exist and in accordance with such problems

Keywords: partai politik, komunikasi, groupthink, informasi organisasi, retorika face-negotiation

PENDAHULUAN Geliat politik menuju Pemilu 2014 su-

dah mulai terasa. Majalah Tempo, edisi 9 – 15 Mei 2011 pada halaman 38 menyebutkan bahwa telah terdaftar empat partai baru pada Kemenkumham yaitu Partai Persatuan Nasi-onal (PPN), Partai NasDem, Partai Nasional Republik (Nasrep) dan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia. Empat partai baru terse-but akan menambah serunya persaingan partai politik yang telah ada selama ini. Re-formasi membawa tiga perubahan mendasar dalam sistem pemilihan umum di Indone-sia. Pertama; kembalinya sistem multi-partai seperti tahun 1955 dari sebelumnya hanya tripartai di masa Orde Baru. Kedua; mulai tahun 2004 dilakukan dua kali yaitu untuk memilih wakil-wakil rakyat melalui Pemilu Legislatif dan selanjutnya Pemilu Presiden secara langsung. Ketiga; sesuai dengan PP No.6 tahun 2005 tentang pemilihan, penge-sahan pengangkatan dan pemberhentian Ke-

pala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) maka dilangsungkanlah Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU No.32 tahun 2004.

Pada 1 Februari 2010 lalu, organisasi ma-syarakat Nasional Demokrat telah dideklara-sikan dan manifesto pun dikumandangkan. Salah satu isi manifesto ialah menolak de-mokrasi yang hanya menghasilkan rutinitas sirkulasi kekuasaan tanpa kehadiran pe-mimpin yang berkualitas dan layak ditelada-ni. Didukung oleh 45 tokoh nasional yang terdiri tokoh masyarakat, politisi, akademisi, birokrat, budayawan, wartawan dan penga-mat politik. Dalam satu tahun kelahirannya ormas Nasional Demokrat telah berkembang dan mengklaim telah mengeluarkan satu juta kartu anggota. Mengusung tema Restorasi Indonesia, Nasional Demokrat berusaha mencapai restorasi negara – bangsa, restorasi kehidupan rakyat dan restorasi kebijakan in-ternasional.

45

Page 50: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN: 1979-1232

JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

April 2011 – Patrice Rio Capella – yang menjabat sebagai Wakil Sekjen Kaderisasi Ormas Nasional Demokrat mendirikan Par-tai NasDem bersama dengan Ahmad Rofiq – Wakil Sekjen Pemberdayaan & Pelayanan Masyarakat Ormas Nasional Demokrat. Par-tai politik yang mengklaim diri sebagai sayap politik Ormas Nasional Demokrat ini akan berlaga pada Pemilu Legislatif 2014. Partai ini berusaha membawa tema Restorasi In-donesia menjadi menjadi sebuah kebijakan politik yang ditawarkannya. Dengan aturan yang lebih ketat pada revisi Undang-Undang Partai Politik No.2 Tahun 2008, maka diperki-rakan akan ssemakin sulit munculnya partai politik baru pada Pemilu Legislatif 2014. Par-tai NasDem dengan kemudahan jaringan or-masnya menyebutkan bahwa pendirian par-tai politik tersebut juga menjadi jawaban atas tantangan partai-partai politik yang merevisi Undang-Undang tersebut di parlemen. Partai NasDem juga akan menjawab tantangan dan keragu-raguan dari sebagian besar publik dan pengamat akan eksistensi sebuah partai politik baru.

Sebagai partai baru, untuk dapat mewujudkan tujuannya tentulah Partai Nas-Dem harus mempunya sebuah bentuk komu-nikasi yang efektif – baik internal maupun eksternal. Secara internal, Partai NasDem ha-rus bisa menggunakan bentuk-bentuk komu-nikasi kelompok dan komunikasi organisasi sedangkan untuk eksternal menggunakan bentuk-bentuk komunikasi publik dan ko-munikasi antarbudaya. Perspektif komuni-kasi yang tepat dan efektif sangatlah dibu-tuhkan untuk partai yang masih baru seperti Partai NasDem ini. Jangan sampai, bentuk komunikasi yang tidak tepat (baik internal maupun eksternal) akan membuat partai ini hanya berumur pendek dan partai penggem-bira pada Pemilu Legislatif 2014 yang akan datang.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas seputar permasalahan komunikasi kelompok, komunikasi dalam organisasi, komunikasi publik dan komunikasi antarbu-daya yang terdapat dalam Partai NasDem. Pembahasan tersebut akan didasarkan atas teori-teori komunikasi yang ada dan sesuai dengan permasalah tersebut.

PERSPEKTIF KOMUNIKASI PARTAI NAS-DEM

Menurut West dan Turner (2007:49)

yang dimaksud dengan teori (theory) adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengin-dikasikan adanya hubungan di antara kon-sep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Dalam tulisan ini, teori-teori yang digunakan teori dalam arti menengah (mid-range theory) di mana teori menjelaskan perilaku dari sekelompok orang dan bukannya semua orang.

Dalam tulisan ini akan digunakan em-pat macam teori yang masing-masing akan menjelaskan tentang komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi publik dan komunikasi antarbudaya. Adapun teori yang dipakai dalam tulisan ini adalah:

1.Groupthink untuk komunikasi ke lompok.

2.Teori Informasi Organisasi untuk ko munikasi organisasi.

3.Retorika untuk komunikasi publik. 4.Teori Face-negotiation untuk. komu

nikasi antar budaya. Sebagai organisasi baru, tentulah Partai

NasDem menemui berbagai macam aspek komunikasi dalam organisasi. Teori-teori tersebut akan membahas bagaimana aspek-aspek komunikasi dan permasalahannya dalam Partai NasDem sesuai dengan bentuk komunikasi kelompok, komunikasi kelom-pok, komunikasi publik dan komunikasi an-tarbudaya.

KOMUNIKASI KELOMPOK PARTAI NASDEM

Groupthink; Teori ini dicetuskan oleh

Irving Janis, di mana anggota-anggota ke-lompok seringkali terlibat di dalam gaya pertimbangan di mana pencarian konsensus (kebutuhan akan semua orang untuk sepak-at) lebih berat dibandingkan akal sehat (West dan Turner, 2007:274). Keputusan kelompok ini datang dari beberapa individu berpen-garuh dalam kelompok yang irrasional tapi berhasil mempengaruhi kelompok menjadi keputusan kelompok. Groupthink mem-pengaruhi kelompok dengan melakukan aksi-aksi yang tidak masuk akal dan tidak mempedulikan pendapat-pendapat yang bertentangan di luar kelompok. Groupthink terjadi manakala ada semacam konvergeni-tas pikiran, rasa, visi dan nilai-nilai di dalam sebuah kelompok menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok; dan orang-orang yg berada dalam kelompok itu dilihat tidak se-

46

Page 51: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN: 1979-1232

JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

bagai individu, tetapi sebagai representasi dari kelompoknya.

Apa yang dipikirkan, dirasa dan di-lakukan adalah kesepakatan satu kelompok. Tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara groupthink itu yang berlawan an dengan hati nurani anggotanya maupun orang lain di luarnya. Namun mengingat itu kepentingan kelompok, maka mau tidak mau semua anggota kelompok harus kom-pak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu kesepakatan bersama.

Kelahiran Partai NasDem tidak bisa dipisahkan dari pembentukan Organisasi Masyarakat Nasional Demokrat. Nama Par-tai NasDem bukanlah kepanjangan dari kata Nasional Demokrat. Partai NasDem digagas oleh orang-orang muda yang ada di Ormas Nasional Demokrat antara lain Rio Capella, Ahmad Rofiq dan Sugeng Suparwoto. Dalam Ormas Nasional Demokrat, Rio Capella ter-catat sebagai Wakil Sekjen Kaderisasi, Ahmad Rofiq sebagai Wakil Sekjen Pemberdayaan & Pelayanan Masyarakat dan Sugeng Supar-woto sebagai Wakil Sekjen Pemberdayaan & Pelayanan Masyarakat.

Jadi perlu dicatat bahwa Partai NasDem didirikan oleh para pengurus Ormas Nasi-onal Demokrat. Namun demikian, partai ini bukanlah bentukan dari ormas, melainkan inisiatif dari para anggotanya saja.

Oleh karena itu, tidak semua orang di ormas tahu bahwa akan didirikan partai. Maka timbul pertentangan dan pro kontra akan pendirian partai politik tersebut. Per-tentangan terjadi tidak hanya di pusat namun juga di tingkat provinsi. Bahkan di beberapa media, Sri Sultan Hamengkubuwono X yang merupakan Ketua Dewan Pertimbangan Or-mas Nasional Demokrat mengatakan bahwa beliau tidak diberitahu masalah pembentu-kan Partai NasDem.

Alasan dari Rio Capella mendirikan Partai NasDem adalah bahwa ia mengang-gap harus membawa gagasan dari Ormas Nasional Demokrat yaitu Restorasi Indo-nesia ke dalam kancah politik praktis dan level pembuat kebijakan. Hal itu tidak bisa dilakukan oleh ormas karena gagasan yang dibawakan oleh ormas masih sebatas konsep ideal namun sulit untuk diimplementasikan. Pendirian partai politik merupakan kesem-patan untuk mendapatkan tiket mengikuti Pemilu Legislatif 2014. Sebagai organisasi masyarakat, Nasional Demokrat tidak dapat masuk ke dalam kancah politik praktis.

Dalam sisi komunikasi kelompok,

penulis melihat bahwa keputusan membuat partai politik dari sekelompok pengurus Or-mas Nasional Demokrat merupakan sebuah groupthink. Seperti telah dijelaskan sebelum-nya, teori ini dicetuskan oleh Irving Janis, di mana anggota-anggota kelompok seringkali terlibat di dalam gaya pertimbangan di mana pencarian konsensus (kebutuhan akan semua orang untuk sepakat) lebih berat dibanding-kan akal sehat. Dapat dilihat dari kelompok kecil pengurus Ormas Nasional Demokrat ini tidak menghiraukan pro-kontra yang terjadi akan pendirian partai ini. Rio Capella dan Ahmad Rofiq kemudian malah mengajak rekan-rekan ormas di provinsi untuk mendu-kung gagasan mereka ini. Penulis melihat bahwa sebenarnya ada pen-gurus dari ormas ataupun pihak lain yang ti-dak setuju dengan pendirian Partai NasDem. Namun dikarenakan telah terjadi semacam konvergenitas pikiran, rasa, visi dan nilai-nilai di dalam sebuah kelompok menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok; dan orang-orang yg berada dalam kelompok itu dilihat tidak sebagai individu, tetapi sebagai representasi dari kelompoknya. Ada nilai dan kepercayaan bersama bahwa ormas ti-dak akan mampu mengimplementasikan ga-gasan Restorasi Indonesia yang mereka per-juangkan bersama, dan partai politik adalah jawabannya.

Kelompok pendiri Partai NasDem ini sepertinya tidak melihat berbagai macam permasalahan yang akan datang pada sebuah partai politik baru. Begitu banyak partai poli-tik muncul pada era reformasi, namun hanya sedikit yang mampu bertahan dan menjadi besar. Sebagian besar hanyalah menjadi par-tai gurem dan menjadi penggembira pemili-han umum. Gagasan dari Ormas Nasional Demokrat tentang Restorasi Indonesia yang telah diterima oleh banyak masyarakat di Indonesia malah mungkin akan ditolak jika kemudian masuk ke dalam unsur politik dan kekuasaan. Masyarakat sudah banyak dibo-hongi oleh partai-partai politik sebelumnya dan timbul ketidakpercayaan terhadap niat baik dari partai politik terhadap kepentingan bangsa dan negara. Masyarakat melihat sela-ma ini partai politik hanyalah memperjuang-kan kepentingan sekelompok orang saja.

Janis (dalam West dan Turner, 2007) mengatakan bahwa bagaimana sebuah ke-lompok dapat belajar untuk menghindari groupthink haruslah (1) melihat sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok, (2) menyusun dan mengkaji ulang rencana-rencana tinda-

47

Page 52: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN: 1979-1232

JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

kan yang akan diambil serta alternatif-alter-natif yang ada, (3) mempelajari konsekuensi dari tiap alternatif, (4) menganalisa rencana tindakan yang pernah ditolak ketika sebuah informasi baru muncul, dan (5) memiliki ren-cana kontigensi untuk saran-saran yang ga-gal.

KOMUNIKASI ORGANISASI PARTAI NAS-DEM

Teori Informasi Organisasi (Organiza-

tional Information Theory); Teori ini dikem-bangkan oleh Karl Weick berdasarkan se-buah penelitian yang kemudian menjelaskan satu cara bagaimana organisasi membuat in-formasi yang membingungkan atau ambigu menjadi masuk akal. Teori ini berfokus pada proses pengorganisasian anggota organisasi untuk mengelola informasi daripada ber-fokus pada struktur organisasi itu sendiri (West dan Turner, 2007:339). Weick menye-butkan bahwa sebuah organisasi menerima informasi yang sangat besar jumlahnya se-hingga menimbulkan banyak interpretasi. Informasi pun bersifat ambigu.

Oleh karena hal itulah diperlukan pros-es untuk mengurangi ketidakjelasan tersebut yang terjadi dalam tahapan-tahapan berikut ini: enactment, seleksi dan retensi. Pada taha-pan enactment, informasi akan diterima dan diinterpretasikan oleh organisasi. Setelah informasi tersebut diinterpretasikan, maka organisasi memilih metode terbaik untuk mendapatkan informasi tambahan dalam mengurangi ketidakjelasan. Tahapan ini disebut dengan seleksi (selection). Terakhir adalah organisasi menganalisa efektivitas dari aturan dan siklus komunikasi serta ter-libat dalam retensi (retention) di mana dalam tahapan ini organisasi menyimpan informasi untuk digunakan kemudian.

Komunikasi organisasi dapat didefinisi-kan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan diantara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi ter-tentu. Suatu organisasi seperti perusahaan, terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan–hubungan hirarkis antara yang satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan.

Partai NasDem tidak bisa dipisahkan dengan Ormas Nasional Demokrat, bahkan Rio Capella sebagai Ketua Umum partai mengatakan bahwa Partai NasDem meru-

pakan sayap politik dari Ormas Nasional Demokrat. Dalam dunia politik sendiri unsur kesimpangsiuran informasi sangatlah tinggi. Informasi tersebut bisa berasal dari luar, bisa juga berasal dari dalam organisasi itu sendiri.

Ketika sekelompok pengurus Ormas Nasional Demokrat mendapatkan informasi bahwa revisi Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah disahkan maka terjadilah ketidakpastian, apakah Or-mas Nasional Demokrat akan berubah men-jadi partai politik atau tidak. Konsekuensinya adalah banyak pengurus di tingkat provinsi bertanya-tanya karena sumber informasi ber-kumpul di pusat. Media massa pun sering-kali menambah keruhnya informasi dengan isu-isu yang belum tentu benar dan tidak akurat.

Rio Capella mengatakan bahwa awal-nya tidak ada niatan untuk mendirikan Partai Politik NasDem. Namun pada bulan Desember 2010 keluarlah revisi dari Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang partai poli-tik yang menyebutkan bahwa pendaftaran partai politik untuk dapat mengikuti Pe-milu Legislatif 201 adalah 22 Agustus 2011. Revisi Undang-Undang tersebut juga mem-buat persyaratan partai politik untuk dapat mengikuti Pemilu Legislatif 2014 menjadi se-makin berat. Partai politik harus mempunyai kepengurusan di semua provinsi, 75% di ka-bupaten/kota dan 50% di tingkat kecamatan. Padahal sebelumnya Undang-Undang hanya mengharuskan di 75% provinsi, 50% kabu-paten/kota dan 25% kecamatan.

Dalam Teori Informasi Organisasi yang dikembangkan oleh Karl Weick berdasarkan sebuah penelitian yang kemudian menjelas-kan satu cara bagaimana organisasi mem-buat informasi yang membingungkan atau ambigu menjadi masuk akal. Teori ini ber-fokus pada proses pengorganisasian ang-gota organisasi untuk mengelola informasi daripada berfokus pada struktur organisa-si itu sendiri (West dan Turner, 2007:339). Weick menyebutkan bahwa sebuah organ-isasi menerima informasi yang sangat besar jumlahnya sehingga menimbulkan banyak interpretasi. Informasi pun bersifat ambigu. Oleh karena hal itulah diperlukan proses un-tuk mengurangi ketidakjelasan tersebut yang terjadi dalam tahapan-tahapan: enactment, seleksi dan retensi.

Dalam hal ini, Partai NasDem kemu-dian didirikan untuk menghindari isu-isu negatif berkembang. Dalam tahapan enact-ment semua informasi diterima kemudian

48

Page 53: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN: 1979-1232

JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

diinterpretasikan bahwa Ormas Nasional Demokrat sering disebutkan akan berubah menjadi partai politik. Pada tahapan seleksi (selection), organisasi mengambil metode bahwa bentuk dan fungsi partai politik dan organisasi masyarakat itu adalah dua hal yang berbeda walaupun mempunyai tujuan yang sama. Oleh karena itulah Partai Nas-Dem didirikan sebagai sayap politik dari Ormas Nasional Demokrat. Dengan pemisa-han ini, tersaringlah informasi mana yang ormas dan mana yang partai politik. Dengan demikian di tahapan selanjutnya yaitu reten-si (retention) maka segala bentuk informasi di antara ormas dan parpol dipisahkan. Jika memang sebuah informasi berisikan ten-tang hal-hal politik maka Partai NasDem-lah yang berfungsi untuk mengolah informasi tersebut dan bukannya Ormas Nasional De-mokrat. Dengan pemanfaatan teori informasi organisasi ini maka diharapkan bahwa pen-gurus-pengurus ormas di daerah menjadi jelas dan tidak bingung lagi. Jika memang mereka tertarik tentang politik praktis, maka Partai NasDem-lah tempatnya dan jika tidak mereka bisa tetap berada di Ormas Nasional Demokrat tanpa harus dikait-kaitkan dengan kegiatan Partai NasDem.

KOMUNIKASI PUBLIK PARTAI NASDEM

Retorika (rhetoric); Rethoric meru-pakan salah satu karya besar Aristoteles, hal tersebut didapati dari banyaknya studi yang terkait dengan psikologi khalayak. Aristo-teles kemudian membuat retorika menjadi sebuah ilmu; dengan cara yang sistematis ia meneliti tentang dampak dari seorang pem-bicara, orasi, serta audiens. Sembari menu-rutnya orator merupakan orang yang meng-gunakan pengetahuannya sebagai seni – jadi orasi atau retorika adalah sebuah seni berora-si. Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai bentuk komunikasi persuasif, meskipun se-benarnya ia tak menyebutkan hal ini secara tegas, namun ia menekankan bahwa reto-rika adalah bentuk komunikasi yang sangat menghindari metode kohersif. Kualitas per-suasi dari sebuah retorika bergantung pada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari ar-gumentasi pembicara atau orator itu send-iri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator dapat terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat di-

rasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan dan diteri-ma oleh khalayaknya (Griffin, 2009:280).

Sebagai partai politik baru, Partai Nas-Dem haruslah memperkenalkan gagasan-gagasan politiknya kepada publik. Gagasan tersebut tidak hanya diperkenalkan kepada pihak luar namun juga kepada para anggota Ormas Nasional Demokrat. Dalam sebuah wawancara, Rio Capella mengatakan bahwa target Partai NasDem di Pemilu Legislatif 2014 adalah memenangkan pemilu. Target yang menurut penulis sangatlah berat untuk sebuah partai politik baru. Dari contoh, Par-tai Demokrat pada keikutsertaan pertamanya pada Pemilu Legislatif 2004 hanya mencapai posisi ke-5.

Menurut penulis, salah satu cara yang harus digunakan Partai NasDem untuk me-nyampaikan pesan-pesan politiknya kepada publik adalah melalui retorika. Retorika sendiri diperkenalkan oleh Aristoteles yang adalah murid Plato, filsuf terkenal dari za-man Yunani Kuno. Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai bentuk komunikasi persua-sif dan menekankan bahwa retorika adalah bentuk komunikasi yang sangat menghindari metode kohersif. Aristoteles kemudian me-nyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi retorika. Yang pertama adalah courtroom speaking – yang dicon-tohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu si-dang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi di persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric. Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempenga-ruhi legislator dan para pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu, debat di dalam kampanye termasuk dalam kategori ini.

Yang ketiga adalah ceremonial speak-ing, kegiatan retorika ini berupaya untuk mendapatkan sanjungan dan (atau) me-nyalahkan pihak lain sehingga pembicara akan mendapatkan perhatian dari khalayak. Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari sebuah retorika bergantung pada tiga as-pek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembi-cara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator dapat terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pem-

49

Page 54: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN: 1979-1232

JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

buktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan dan diterima oleh kha-layaknya.

Partai NasDem haruslah menggunakan retorika dalam penyampaian pesan-pesan politiknya agar publik tahu bahwa pesan politik tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu perubahan Indonesia melalui Restorasi Indonesia. Dalam hal ini yang per-lu diperhatikan oleh Partai NasDem adalah orang yang menyampaikan retorika tersebut. Orang ini juga harus dikenal publik dengan akuntabilitas etikanya serta kemampuan emosional yang baik.

Retorika dapat dilakukan pada masa-masa perkenalan internal anggota Ormas Nasional Demokrat dan kemudian diting-katkan pada saat masuk masa kampanye pe-milu. Jangan sampai, pesan politik yang me-narik akan diabaikan atau ditolak oleh publik karena yang menyampaikannya salah orang. Pembuktian etis (ethical proof) berpulang ke-pada kredibilitas dari seorang orator. Retori-ka yang baik tidak hanya berfokus dan men-gandalkan kata-kata yang baik, lebih dari itu bahwa seorang orator juga harus ‘nampak’ memiliki kredibilitas. Sebab kerap kali kha-layak sudah cukup terpesona kepada pribadi seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi; sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut. Dalam Re-thoric, Aristoteles menyebutkan perihal yang terkait dengan tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan good-will.

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PARTAI NASDEM

Face-Negotiation Theory; Teori ini membantu menjelaskan perbedaan-perbe-daan budaya dalam merespons konflik. Stella Ting-Toomey (dalam Griffin, 2009:400) bera-sumsi bahwa setiap orang dalam setiap bu-daya sebenarnya selalu menegosiasikan face. Face adalah istilah kiasan untuk public self-image, yaitu bagaimana kita ingin diperlaku-kan oleh orang lain. Sedangkan facework ber-hubungan dengan pesan-pesan verbal dan nonverbal spesifik yang membantu memeli-hara dan memulihkan face loss (kehilangan muka) dan untuk menegakkan dan serta menghormati face gain. Teori ini menyatakan bahwa facework dari budaya individualis-tik sangat berbeda dengan facework budaya kolektivistik. Artinya, jika facework-nya ber-

beda, maka cara menangani konfliknya juga berbeda.

Digagas sebagai organisasi masyara-kat yang majemuk Indonesia dengan meng-galang seluruh warga negara dari berbagai macam lapisan dan golongan, maka tentu-lah terjadi bentuk komunikasi antarbudaya dalam Ormas Nasional Demokrat yang juga terjadi dalam Partai NasDem. Tidak seperti PAN atau PKB yang menjadi sayap politik dari Ormas Muhammadiyah dan NU, maka Partai NasDem juga didasari oleh Ormas Nasional Demokrat yang merupakan kapal induk atau melting point dari segala bentuk lapisan masyarakat di Indonesia. Sedangkan PAN & PKB harus diakui sebagai sayap poli-tik dari ormas yang sekterian dan tidak ter-diri dari berbagai macam golongan.

Samovar, Porter dan McDaniel (2010:24) menyebutkan bahwa elemen dari budaya adalah sejarah, agama, nilai, organisasi sos-ial dan bahasa. Dalam aspek komunikasi an-tarbudaya yang terjadi pada Partai NasDem maka akan dipakai Face-Negotiation Theory; yang membantu menjelaskan perbedaan-perbedaan budaya dalam merespons konflik.

Teori ini menyatakan bahwa facework dari budaya individualistik sangat berbeda dengan facework budaya kolektivistik. Arti-nya, jika facework-nya berbeda, maka cara menangani konfliknya juga berbeda. Teori ini berdasar pada pembedaan antara collectiv-ism dan individualism. Menurut Harry Tri-andis (dalam Samovar, dkk, 2010:27), perbe-daan antara keduanya dapat dilihat dari cara mendefinisikan tiga istilah, yaitu self (diri), goals (tujuan) dan duty (tugas).

Menurut Triandis, orang yang kolek-tivis mendefinisikan self-nya sebagai ang-gota dari kelompok-kelompok tertentu, dia tidak akan melawan tujuan kelompok, serta melaksanakan tugas yang berorientasi pada lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan pribadi. Orang-orang kolektivis biasanya menilai orang baru ber-dasarkan asal kelompoknya. Bukan berarti mereka tidak peduli pada tamu mereka, tetapi hal ini semata-mata karena mereka menganggap keunikan individual tidak lebih penting daripada group-based in-formation. Sedangkan orang yang individu-alis akan mendefinisikan self-nya sebagai seseorang yang independent dari segala ke-lompok afiliasi, tujuannya adalah memenuhi kepentingan pribadinya, dan melakukan se-gala tugas yang menurutnya menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri. Selain itu,

50

Page 55: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN: 1979-1232

JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

orang yang individualistis tertarik mengenal seseorang karena keunikannya dan kepriba-diannya.

Teori dan pendekatan di atas dapat di-gunakan pada Partai NasDem yang meru-pakan partai majemuk yang sangat rawan dengan konflik. Misalkan untuk melihat ka-sus orang-orang dari Ormas Nasional De-mokrat yang tidak setuju dengan berdirinya partai maka dapat digunakan pendekatan kolektivis atau individualis tergantung ka-susnya. Jika orang yang tidak setuju terse-but berasal dari kalangan partai politik lain, maka pendekatan kolektivis-lah yang dapat digunakan.

Dalam pendekatan ini, maka Partai NasDem harus mampu mengkomunikasikan dan membuktikan bahwa Partai NasDem lebih baik dari partai politik lain. Harus diko-munikasikan dengan jelas bahwa nilai-nilai dan gagasan dari Partai NasDem adalah juga merupakan perpanjangan dari Ormas Nasi-onal Demokrat yang telah mereka setujui. Namun jika orang yang tidak setuju dari Par-tai NasDem misalkan berasal dari golongan non-partisan atau akademisi maka digunak-anlah pendekatan individualis di mana Par-tai NasDem harus mampu mengkomunika-sikan bahwa gagasan politik partai bertujuan untuk pencapaian kebutuhan pribadi orang tersebut.

PENUTUP

Proses komunikasi dapat berlangsung dalam berbagai macam tingkatan dan model. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa Partai NasDem sebagai partai politik baru mem-punyai banyak masalah komunikasi. Untuk dapat mencapai tujuan dari Partai NasDem pada Pemilu Legislatif 2014 yaitu memenang-kan pemilu, maka segala hambatan dan ma-salah komunikasi tersebut haruslah disele-saikan. Tantangan bukan hanya terjadi dari pihak luar, namun juga terjadi dari dalam or-ganisasi. Sebagai suatu organisasi yang baru, tentulah Partai NasDem masih terus mencari bentuk-bentuk yang ideal untuk organisasin-ya.

Dalam hal itulah sesungguhnya perlu diujicobakan teori-teori komunikasi yang telah berlaku guna menyelesaikan atau me-minimalkan masalah-masalah tersebut.

Ilmu praktis tidaklah harus selalu har-us sejalan dengan kajian-kajian teori, namun alangkah baiknya jika sebuah ilmu praktis dilandaskan pada teori-teori sehingga mem-

punyai format-format yang baku. Tentulah dalam prakteknya akan berkembang di sana-sini sesuai dengan kebutuhan. Semoga maka-lah ini dapat memberikan gambaran tentang hubungan antara permasalah-permasalahan praktis dalam komunikasi organisasi Partai NasDem dengan teori-teori komunikasi yang telah ada selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Griffin, Em. (2007). A First Look at Communi-cation Theory, 7th Edition. New York: Mc-Graw-Hill.

Robbins, Stephen P. (2003). Organizational Behavior, 10th Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Ruben, Brent D., and Lea P. Stewart. (2006). Communication and Human Behavior, 5th Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Samovar, Larry A., Richard E. Porter., and Ed-win R. McDaniel. (2010). Communication Be-tween Cultures. Boston: Wadsworth.

West, Richard., and Lynn H. Turner. (2008). Introducing Communication Theory: Analy-sis and Application, 3rd Edition. New York: McGraw-Hill.

Wawancara dengan Rio Capella, Ketua Umum Partai NasDem. 23 Mei 2011. Pastis Kitchen, Aston Hotel. Jakarta.

51

Page 56: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal UltimaComm Vol.1 No.5/Maret-Mei 2014 ISSN :1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

Penjahat Proletar Ala Bajuri(Realisme dalam komedi situasi Bajaj Bajuri

edisi “jalani lebaran dalam tahanan”)

Djatiprasetyani Hadidosen Komunikasi tinggal di Yogjakarta

Abstract:

Kemahadasyatan media massa, salah satunya terletak pada kemampuannya mengkonstruk-si wacana mengenai realitas atau lebih tepatnya kebenaran umum. Dalam kajian kritis, kemam-puan media massa dalam mewacanakan realitas atau kebenaran umum tersebut justru sering-kali dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan suatu bentuk penjajahan baru yang relatif terselubung: imperialisme budaya melalui media, yang tidak lagi dikaitkan dengan penguasaan fisik melainkan pada konstruksi mental framed. Suatu strategi imperialisme yang dilakukan pararel dengan alih-alih pendidikan akan spirit pembebasan dan kesederajatan dalam kemasan citra modern. Keywords: imperialisme media, program televisi, komedi situasi kritis, lokalitas, produksi kreatiivitas mitologi televisi, kritik

PENDAHULUAN Social codes atau disebut sebagai ‘Re-

alitas’ terdiri dari appearance, dress, make-up, environment, Representasi kita menge-nai realitas atau ‘world’ selalu ‘bergantung’ dalam arti dikonstruksi oleh kelompok sosial tertentu yang berhasil memenangkan kom-petisi wacana dalam suatu perjuangan klas.

Kemenangan kelompok sosial terse-but atas kelompok-kelompok sosial lainnya, dari suatu geopolitik tertentu, dikarenakan kelompok sosial pemenang mampu mengor-ganisasikan persetujuan kolektif yang sangat mungkin dicapai dengan memaksimalkan penggunaan elemen-elemen diskursif untuk difungsikan sebagai ‘pembatas’ pemahaman mengenai realitas atau ‘world’, sehingga pemahaman tersebut hadir tanpa memberi kesempatan pada kita untuk mempertan-yakannya.

Realitas diterima sebagai sesuatu yang taken-for-granted atau commonsense. Reali-tas yang demikian tentu saja bersifat ideolo-gis, dengan salah satu ciri utamanya adalah bahwa teks menjadi terpisah dari historisnya. Realitas atau ‘world’ menjadi sesuatu yang fluid dan dinamis, sangat tergantung pada perubahan relasi kuasa antar kelompok-kelompok sosial yang ada; kebenaran bisa dengan mudah berubah menjadi hujatan ber-samaan dengan perubahan kepentingan dan atau perubahan relasi klas.

Kasus suap Wisma Atlit yang melibat-

kan nama Nazaruddin dan partai Demokrat, cukup representatif untuk menjelaskan kondisi fluid dari suatu realitas ideologis.

Bagaimana Nazar yang ‘tertuduh’ pada awal penangkapannya menjadi ‘terbela’ pada proses pengadilan selanjutnya; sementara se-baliknya Demokrat yang menjadi partai yang di puji-puji pra pilpres 2014 salah satunya dengan slogan ‘katakan tidak untuk korup-si’, terkait dengan kasus suap Wisma Atlet tersebut berbalik menjadi partai yang paling ‘dihujat’ karena banyak anggotanya terlibat kasus tersebut.

Atau kasus Lumpur Lapindo, bagaima-na media mengalihkan realitas ‘tragedi’ men-jadi suatu ’pleasure’; dari bencana alam men-jadi fenomena wisata baru. Dua kasus diatas untuk kemudian tidak hanya representatif untuk menjelaskan fluiditas realitas, namun juga menunjukkan bahwa media merupakan elemen yang krusial dalam produksi penge-tahuan yang commonsense atau taken for grant-ed.

Ada dua syarat utama yang harus di-penuhi oleh suatu kelas atau kelompok sos-ial kemudian untuk memenangkan wacana atau persetujuan masif tersebut; (1) pertama, suatu kelas harus mempunyai kemampuan dan energi untuk tanpa henti-hentinya mem-produksi dan mereproduksi wacana klas-nya sehingga capable dalam mempengaruhi pandangan kolektif mengenai realitas dan atau world. Level ini bisa juga disebut seb-agai perjuangan klas untuk meraih, memin-

52

Page 57: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

jam istilah Gramsci, konsensus. (2) Kedua, untuk meraih syarat yang disebutkan per-tama ini, suatu kelas yang bermaksud untuk menegakkan konsensusnya harus memper-timbangkan ‘kepemilikan’nya atas media se-bagai salah satu dari elemen diskursif yang paling esensial. Media dalam konteks ini beralih fungsi sebagai instrumen ideolo-gis kelas, yang menyuarakan kepentingan-kepentingan kelas yang diabdinya. Media merupakan wadah klas sosial untuk melaku-kan hegemonic closures menurut Laclau dan Mouffe atau struggle of class menurut Barthes; bagaimana realitas klas diproduksi dan direproduksi termasuk identitas klas (baik identitas klas yang diabdinya maupun identitas kelas lainnya yang terlibat dalam struggle tersebut). Realitas media tetaplah se-buah realitas, sehingga poin kritik disini bu-kan pada judgement mengenai realitas atau bukan realitas, melainkan pada realitas yang holistik atau parsial; dimana realitas media harus dipahami sebagai realitas yang par-sial karena sifat reduktif dan ideologisnya. Apa yang kemudian menjadi masalah adalah ketika keberadaan realitas media tersebut untuk kemudian justru menggantikan ke-nyataan sosial yang sebenarnya (holistik), dan bahkan diterima sebagai realitas yang taken-for-granted atau commonsense. Inilah yang dipahami dalam Kritik Ideologi yang berakar pada Marx dan sekolah Frankfurt sebagai relasi kuasa yang berjalan beriringan dengan hegemoni bahasa dan secara sistema-tis menjadi topeng dari realitas.

Hegemonic closure untuk kemudian terwujud ketika realitas dinaturalisasikan melalui kode-kode televisual yang dikon-struksi dalam sebuah model narasi tertentu, dan ditampakkan seolah-olah bukan sebagai hasil konstruksi yang dengan cara-cara ter-tentu menetapkan sebuah makna yang fix dan sekaligus menutup kemungkinan bagi makna-makna potensial lain untuk muncul dan menjadi alternatif bagi pemaknaan yang berbeda dan mungkin berlawanan. Dalam pemahaman yang demikian , maka realitas media yang ideologis dapat didefinisikan sebagai realitas yang terdistorsi, karena ke-munculannya sekaligus menyembunyikan relasi-relasi kelasnya, sehingga kita melihat makna-makna tersebut tidak sebagai mema-hami dunia melainkan (melihat) dunia itu sendiri.

Teori yang digunakan disini adalah teori Realisme John Fiske yang masuk dalam cultural study dan Political Economy Grams-

ci (dengan mempertimbangkan kritik Laclau dan Mouffe). Pemilihan teori ini memang bersifat ekstrem, dimana menurut Babe ked-uanya mempunyai genealogi yang berbeda dan bahkan berlawanan; critical cultural study yang idealis dan bersifat imaterial dan critical political economy yang reduksionis dan bersifat material yang masing-masing bersifat parsial dan karenanya potensial un-tuk terjatuh dalam kepentingan-kepentingan politis tertentu. Dengan meng-combine po-litical economy dan cultural study diharap-kan mampu mereduksi kesalahan-kesalahan yang tidak perlu dan menghindarkan kita dari keterjebakan kepentingan ideologis dari masing-masing teori, sehingga validitas penelitian untuk kemudian potensial untuk semakin mendekati kebenaran. Sebagaimana menurut Innis (Innis dalam Babe, 2007: 169) meng-combine political economy dan cultur-al study dalam artikel ini akan focus pada di-alektika medium dan pesan atau matter dan form, sehingga dapat memberi kecenderun-gan untuk mengirimkan atau meneruskan pesan-pesan baik yang terikat waktu maupun ruang yang digunakan untuk menyokong monopoli pengetahuan dari elit-elit berkuasa dengan menggunakan medium yang ada dan berlaku umum. Rasionalisasi dua teori yang digunakan adalah, bahwa dengan Realisme John Fiske diandaikan konstruksi kode-kode televisual memproduksi atau mereproduksi sebuah realitas media yang bersifat naratif. Hal ini menjadikan realitas media tidak ne-tral dan mengabdi semata untuk kepentin-gan suatu klas.

Semiotik sebagai metode (dimana Re-alisme Fiske masuk didalamnya), menurut Saukko, memberi keuntungan pada terbu-kanya kesempatan bagi suara-suara yang berbeda untuk berkontestasi dan berdialog. Namun demikian salah satu kelemahan yang mesti dipertimbangkan dan dicari solusinya adalah pada kenyataannya ‘kebersuaraan’ dari beragam kepentingan tersebut terjebak pada ‘arogansi’ kebenaran masing-masing klas dan kemudian menjadikan kondisi ini endless; dalam arti keberbedaan tersebut yang ditonjolkan dan menjadi tujuan utama bahkan jauh diatas tujuan semula dari suatu analisis yaitu mencari kebenaran. Bisa juga di-katakan dengan alih-alih membangun suatu ‘unity of consciousness’ mengenai suatu ke-beragaman realitas melalui pemberian ruang untuk bersuara, namun pada praktiknya ini justru sebuah strategi klas dominan untuk mempertahankan fragmentasi dari klas-klas

53

Page 58: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

yang powerless tersebut; dan ironisnya suk-ses terwujud dengan membangun arogansi klas, sebuah kondisi yang semakin menjauh-kan untuk terciptanya ‘unity of conscious-ness’ tadi. Pada titik inilah hegemoni Grams-ci dengan memasukkan nuansa politik dari Laclau dan Mouffe bisa masuk. Perpaduan semiotik dan political economy di sisi lain juga meminimalisir kelemahan dari politi-cal economy yang kurang detail melakukan analisis terhadap fenomena budaya tertentu.

Dialog antara dua teori tersebut ki-ranya mampu mengembalikan kebenaran pada singgasananya. Melalui konsep hege-moni Gramsci, dialog dari keberbedaan su-ara dalam liberalism semiotik memperoleh background-nya dalam membongkar historis yang tercerabut dari teks yang menjadikan teks tersebut potensial menyembunyikan relasi dominatif atau tindakan-tindakan sub-ordinasi suatu klas.

Bagaimana pengetahuan keberagaman tersebut sebagai realisasi dari tuntutan liber-alisasi dan demokratisasi realitas dan poli-tis pada akhirnya justru memproduksi dan mereproduksi pengetahuan dan kebenaran atau realitas dari klas mapan sebelumnya dalam upayanya yang semata demi meng-konservasi kuasa dominan mereka atas do-main ideologis politis. Konservasi ideologi klas terwujud dan bahkan sah kemudian karena narasi relasi kode-kode televisual membangun sebuah konsensus melalui apa yang disebut Gramsci sebagai produksi com-mon-sense.

Menurut Gramsci hegemoni bersifat dinamis karena sebagai hasil dari struggle of class sehingga dapat dipahami pula bahwa hegemoni dapat dilakukan oleh semua klas (baik yang powerfull maupun yang power-less), maka penyebarluasan commonsense inilah yang menjadi strategi dari klas borjuis (dalam konsep Gramsci) untuk memenang-kan hegemoni tersebut.

Tujuan dari analisis dalam artikel ini adalah untuk melemahkan kekuasaan den-gan mengungkapkan kenyataan ideologis, atau secara spekulatif berupaya membuka topeng kekuasaan dengan kebenaran (to un-mask power with truth).

Sepakat dengan Saukko, maka metode yang digunakan untuk menganalisis dalam artikel ini adalah dengan mengkolaborasi-kan dua teori dengan perspektif yang relatif berbeda, yaitu: political economy Gramsci dan realisme Fiske yang fokus pada bahasa sebagai suatu bentuk moda informasi. Se-

bagaimana karakteristik dari metode cul-tural study yang ditawarkan oleh Saukko, maka asumsi dasar dari pemilihan teori dan bahkan metodologi yang digunakan dalam analisis artikel ini tidak menutup kenyataan bersifat subjektif.

Ada beberapa strategi yang ditawarkan Saukko dalam metodenya, yaitu: Collabora-tion, self-reflexivity dan polivocality (Sauk-ko, 2003: 55).

Strategi self-reflexivity menjadi pili-han utama dalam pengembangan analisis artikel ini, tentu saja dengan beberapa per-timbangan; (1) keterjebakan pada wacana mainstream menjadikan subjektifitas peneliti yang komprehensif mendesak untuk diper-timbangkan. (2) self-reflexivity mengatasi keterbatasan etnografi yang mestinya secara ideal dilakukan dalam analisis artikel ini, di-mana eksplorasi dan komparasi mengenai wacana dominasi ideologis penguasa melalui program komedi situasi Bajaj Bajuri pada masyarakat Betawi dan non-Betawi yang me-nyaksikan komedi situasi tersebut seharus-nya dilakukan.

Strategi self-reflexivity penulis untuk kemudian berbasis pada kondisi ketidak-seimbangan informasi yang terjadi dalam wacana nasional dimana penguasa mem-punyai otoritas dalam pembembentukan common-sense atau pandangan umum yang membenarkan tindakan-tindakan koersifnya terhadap masyarakat lokal dan kelompok-kelompok sosial terpinggirkan seperti dicon-tohkan disini.

Masyarakat Betawi sebagai represen-tasi dari lokal dan sekaligus juga represen-tasi dari proletar sebagai implikasi dari ket-erpinggiran mereka dari akses ekonomi.

Realisme Fiske dan Imperialisme Media Realitas dalam televisi menurut John

Fiske merupakan produk atau konstruksi dari kode-kode budaya dan oleh karenanya tidak pernah bersifat netral ataupun univer-sal, sebagaimana dikutip dibawah ini;

“What passes for reality in any culture is that culture’s codes, so ‘reality’ is always al ready encoded, it is nev-er ‘raw’.” (Fiske, 2001: 5)

Dari pengertian inilah untuk kemudian realitas televisi dipahami Fiske sebagai ha-sil konstruksi realitas yang melibatkan par-tisipasi code-code televisual. Sebagai hasil

54

Page 59: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

konstruksi budaya, maka realitas televisi ti-dak bisa dipahami sebagai realitas yang apa adanya karena sebagaimana watak dari tin-dakan konstruksi yang dilakukan, tentu saja ditujukan untuk memenuhi kepentingan-ke-pentingan politis dan ideologis kelas tertentu yang dominan. Inilah realisme, sebuah kon-sep kritis untuk memahami konstruksi real-ity televisi yang ideologis dan politis.

Bagi Fiske realistik atau tidaknya suatu program televisi, bukan ditentukan oleh ke-mampuannya untuk mereproduksi suatu reality secara jitu, sebagaimana penjelasan Fiske lebih lanjut berikut ini;

“…not because it reproduces reality, which it clearly does not, but because it reproduces the dominant sense of reality. We can thus call television essentially realistic medium because of its ability to carry a socially con-vincing sense of the real. Realisme is not a matter of any fidelity to an empirical reality, but of the discursive conventions by which & for which a sense of reality is constructed.” (Fiske, 2001: 21)

Kerealistikkan media justru dikare-nakan kemampuan televisi mereproduksi reality dalam pemahaman dominan serta memperluas pemahaman reality (televisi) tersebut secara sosial. Realitas televisi un-tuk kemudian menjadi ‘seolah-olah’ objektif atau common-sense serta bersifat natural dan universal, sementara bagi fiske justru keyaki-nan tersebut yang menyelubungi kebenaran reality sebagai hasil dari konstruksi sosio-kultural dari suatu kelas dominan. Realisme untuk kemudian justru membangun sebuah false consciousness mengenai reality, kare-na seolah-olah menyajikan gambar-gambar yang unmediated mengenai external reality melalui kode-kode televisual.

Sebagai hasil dari discursive conven-tions maka definisi realisme diatas menga-rahkan kita pada syarat berikutnya dari re-alitas televisi yaitu bahwa realitas ada, untuk kemudian, karena dibawa oleh wacana, di-mana wacana-wacana diskursif direlasikan dalam tujuannya untuk membangun sebuah realitas tertentu yang dikonstruksi oleh relasi technical codes sebagai meta-discoursenya.

“The simple access to truth which is

guaranteed by the meta-discourse depands on a repression of its own operations & this repression confers an imaginary unity of position on the reader from which the other

discourse in the film can be read.” (MacCabe dalam Fiske, 2001: 35)

Selanjutnya, menurut MacCabe, relasi technical codes tersebut membangun sebuah kesatuan imajiner dari wacana-wacana yang beragam dan ditujukan untuk memperkuat konstruksi realitas media tersebut; namun demikan penyatuan tersebut dilakukan se-cara pararel dengan penindasan wacana-wa-cana lain yang dianggap tidak mempunyai daya dukung terhadap konstruksi realitas yang dituju. Realisme menjadi sebuah strate-gi aktif dari suatu klas untuk menegakkan atau memapankan kuasanya dengan cara membangun sebuah konsensus pemahaman mengenai reality sosial.

Secara umum Fiske membagi the codes of television menjadi tiga (3) level, yaitu so-cial codes, technical codes dan ideological codes, berikut ini kategori masing-masing level tersebut (Fiske, 2001: 5): behavior, speech, gesture, expression, sound dan lain sebagainya.

Pada level berikutnya, Technical codes atau disebut sebagai ‘Representation’, terdiri dari: camera, lighting, music dan sound yang berfungsi untuk mentransmisikan conven-tional representational codes dalam upay-anya untuk membentuk representasi tertentu seperti misalnya naratif, konflik, karakter, aksi, dialog, setting dan casting serta lain se-bagainya.

Level 3: Ideological code atau disebut sebagai ‘Ideology’ adalah level di-mana realitas dan representation diorgan-isasikan secara koheren dalam kode-kode ideologis agar dapat diterima secara sosial. Kode-kode ideologis tersebut seperti misal-nya; individualisme, patriarki, ras, klas, ma-terialisme, kapitalisme dan lain sebagainya.

Pada konteks inilah realisme Fiske memposisikan dirinya untuk membongkar ideologi dalam kemasan reality media terse-but dan kemudian memberinya arti dalam hubungannya dengan class struggle. Bagi Fiske, realisme bukan menggambarkan reali-tas yang sebenarnya melainkan dibatasi pada ‘what you’re looking for’ sehingga berdimen-si subyektif, politis dan ideologis.

Bagi Fiske, media adalah alat atau in-strumen ideologis kelas mapan, sehingga tentu saja realitas yang dibawa media penuh dengan muatan kepentingan ideologis kelas mapan tersebut; yang tidak sekedar pada pe-nyebarluasan nilai ideologis melainkan juga

55

Page 60: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

kepentingannya dalam mengkonservasi nilai ideologis tersebut pada kelas-kelas lain yang powerless dan bahkan terpinggirkan.

Realisme untuk kemudian menjadikan praktik-praktik penindasan terjadi secara halus karena ‘seakan-akan’ juga mengako-modasi kesenangan dan kepentingan kelas yang powerless sehingga potensial untuk tak tertolakkan dan diterima secara suka cita oleh si oppresed.

Sebagaimana Barthes, menurut Fiske realisme selalu bersifat naratif; ditambah dengan dimensi politis dan ideologis, maka realisme dipahami sebagai caranya making-sense dari ‘the real’ dan bukan pada muatan-nya yang ‘real’. The factual truth is unspo-ken, is stolen; depolitisasi pun terjadi sebagai akibat dari persebaran common-sense yang merupakan hasil dari naturalisasi reality (eksternal) oleh kode-kode televisual; dalam potensi menyebarluaskan ‘kesesatan kesada-ran’ tersebut, dan karenanya harus diperangi menurut Fiske.

Naturalisasi untuk kemudian menjadi konsep yang sangat terkait dengan realisme Fiske tersebut dan, meminjam konsep Hart-ley, dipahami sebagai ‘ the process of repre-senting the cultural and historical as natural’ dan oleh karenanya ‘are experienced as natu-ral’. Naturalness, menurut Fiske, diperoleh dari relasi antara technical codes dan ideol-ogy sehingga membuat reality yang disaji-kan oleh (dalam) televisi diterima sebagai common-sense dalam society.

“The process of making sense involves

a constant movement up and down through the levels of the diagram, for sense can only be produced when ‘reality’, representations, & ideology merge into a coherent, seemingly natural unity. (Fiske, 2001: 6)

Sementara bagi Barthes; realisme dipa-hami sebagai ideological defense mechanism yang memberi kontribusi yang besar dalam konstruksi Mitos di dunia Modern.

Jika Barthes menyatakan bahwa produksi Mitos bisa saja dilakukan oleh op-pressor maupun oppressed, namun Televi-sion Culture Fiske khusus mengembangkan dan mengeksplorasi realisme sebagai Mitos yang dilakukan oleh oppressor.

Disinilah Realisme bertransformasi demi fungsinya sebagai model representasi yang menawarkan pilihan tanpa alternatif, melalui the naturalness, nilai-nilai dari ide-ologi dominan, dan memposisikan reader sebagai, dalam istilah Althusser: subject in

ideology, yang tanpa sadar secara aktif dan justru bangga ikut serta dalam konservasi nilai-nilai dominan tersebut.

Radicals voice memang diberi ruang dan disajikan dalam realitas televisi namun demikian digunakan dalam fungsinya ‘men-enangkan’ tuntutan-tuntutan dari pihak-pi-hak yang beragam (yang merupakan kum-pulan dari kelas-kelas terpinggirkan dan unspoken) dan pada akhirnya diabdikan jus-tru demi eternality of dominant values: kapi-talisme atau otoritarianisme misalnya. Dan kemudian ‘dominant ideology strengthens its resistence to anything radical by injecting itself with controlled doses of the desease’. Dan the truth is stolen.

Gramsci; Media sebagai Instrumen produk-si Knowledge dan Konsensus

Ketika relasi kode-kode televisual yang membangun sebuah narasi ideologis tertentu tersebar luas dan ditambah dengan intensi-tas kemunculan kode-kode televisual terse-but; maka disinilah common sense terbangun dan membentuk konsensus antara si pen-guasa media dan politis dengan (atau lebih tepatnya atas) masyarakat sipil. Imperialisme budaya melalui media pun terbangun berkat peran aktif media sebagai instrumen ideolo-gis kelas berkuasa. Subordinasi menjadi bias oleh justifikasi keumuman ‘realisme’ media tersebut yang dibangun bersamaan dengan proses identifikasi kelas. Keabadian identi-tas pun terwujud melalui label-label politis dan membentuk realitas baru sembari secara pararel meniadakan realitas lain yang mung-kin tidak kalah pentingnya.

Untuk menguraikan fenomena sosial dalam artikel ini, untuk kemudian merasa perlu menggunakan teori Gramsci tentang Hegemoni untuk menjelaskan aksi sosial yang terjadi dan teori Creating of meaning dan dekonstruksi objektif dari Laclau dan Mouffe untuk menguraikan bagaimana aksi sosial yang disebut sebagai proses hegemoni tadi distabilisasikan oleh kelompok ideologi tertentu untuk menaturalisasi ideologinya sehingga diterima sebagai common-sense, sebagaimana dinyatakan oleh Laclau dan Moufe dibawah ini:

“Trough the production of meaning, power relation can become naturalized and so much part of common-sense.” (Laclau & Mouffe dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 32)

56

Page 61: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

Meskipun Gamsci dalam tulisannya membedakan secara tegas antara dominasi dan hegemoni, namun hegemoni bisa diarti-kan sebagai dominasi mental, sebagai akibat dari konsensus kebenaran yang diperoleh dengan memanipulasi ‘kesadaran’ kelas. Berikut ini pembacaan Barrett mengenai pengertian hegemoni Gramsci;

“Hegemony is best understood as the organization of consent, the processes through which subordinated forms of con-sciousness are constructed without recourse to violence or coercion.” (Barrett dalam Jor-gensen & Phillips, 2002: 32)

Hegemoni haruslah dipahami sebagai organisasi persetujuan, sebuah proses me-lalui bentuk-bentuk kesadaran yang menin-das yang dikonstruksi tanpa kekerasan atau paksaan, selanjutnya;

“Hegemony is a social consensus,

which masks people’ real interest. The hege-monic processes take place in the superstruc-ture and are part of a political field. Their outcome is not directly determined by the economy, and so superstructural processes assume a degree of autonomy and the possi-bility for working back on the structure of the base. It also means that through the creation of meaning in the superstructure people can be mobilized to rebel against existing condi-tions.” (Gramsci dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 32)

Bagi Gramsci hegemoni adalah se-buah konsensus sosial yang menyamarkan kepentingan-kepentingan riil dari kelas yang melakukannya. Kutipan diatas menjelaskan kelebihan analisis Gramsci terhadap Marxis klasik yang economic determinism, dimana tidak hanya relasi produksi atau sistem eko-nomi saja yang mampu memotivasi trans-formasi sosial, melainkan menurut Gramsci sistem ekonomi ini hanya merupakan salah satu wacana diskursif yang tidak hanya me-nentukan tapi juga ditentukan atau dipenga-ruhi oleh sistem lain seperti politik, budaya dan lain sebagainya pada proses transformasi sosial. Teori hegemoni Gramsci juga membu-ka celah bagi terjadinya hegemoni dalam dua arah; yaitu dari klas mapan (yang ditandai dengan kepemilikan pada sumber-sumber ekonomi) dan oleh klas terpinggirkan den-gan kekuatan counter culture-nya, namun paper ini sekaligus membutuhkan Laclau

dan Mouffe untuk melengkapi ‘keterbatasan’ Gramsci yang kembali pada pengelompokan kelas berdasarkan kepemilikan ekonomi.

Melalui Laclau & Mouffe, hegemoni bisa diaplikasikan dalam ruang politik, seb-agaimana dikutip dibawah ini;

“There are no objective laws that divide society into particular groups, the groups that exist are always created in political, dis-cursive processes.” (Laclau & Mouffe dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 33)

Menurut Laclau dan Mouffe, tidak ada hukum yang pasti, tepat atau stagnan dalam pengelompokan sosial (masyarakat), hal ini dikarenakan kelompok-kelompok sosial ter-bentuk berdasarkan proses diskursif politis-nya (berdasarkan kepentingan politisnya). Sementara politik dipahami secara luas oleh Laclau & Mouffe sebagai;

“Politics articulations determine how act and think and thereby how we create so-ciety. The more or less determining role of the economy is, then, completely abolished.” (Laclau & Mouffe dalam Jorgensen & Phil-lips, 2002: 34)

Politik menentukan bagaimana ses-eorang atau suatu kelas bertindak, berpikir dan kemudian bagaimana menciptakan suatu bentuk masyarakat. Base (economic di-mension) dan superstructure (agama, pendi-dikan dan lain sebagainya), menurut Laclau & Mouffe diproduksi dalam ruang yang sama dengan proses-proses diskursif. Dalam pengertian ini maka ‘realitas’ sosial termasuk bahasa didalamnya merupakan entitas yang tidak pernah fixed dan changeable, sehingga membutuhkan usaha untuk mencari relasi-relasi yang tepat untuk menaturalisasikan-nya. Permasalahan objektifikasi untuk kemu-dian dicapai melalui apa yang disebut Laclau & Moufe: discursive of production of mean-ing. Discursive struggle, dan karena;

“…that no discourse can be fully estab-lished, it is always in conflict with other dis-courses that define reality differently and set other guidelines for social action.” (Laclau & Mouffe dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 34)

Konflik menjadi hal yang penting dalam discursive struggle dari Laclau dan Mouffe ini, realitas untuk kemudian mun-cul sebagai hasil dari konflik wacana dimana melalui konflik tersebut akan muncul wacana pemenang yang nantinya tidak hanya diakui

57

Page 62: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

sebagai realitas yang benar atau objektif me-lainkan juga mewujud sebagai satu-satunya pedoman dari suatu masyarakat untuk ber-tindak sosial.

Media power dalam mengkon-struksi dan memapankan hegemoni justru menggenerasi disfungsi media dalam bentuk kekerasan media yang bekerja pararel den-gan kekerasan ideologis. Meskipun menu-rut Gramsci hegemoni bisa dilakukan oleh kelas borjuis dan kelas proletar, namun ke-mampuan modal finansial dan otoritas yang bersifat historis menjadikan hegemoni lebih banyak dilakukan oleh kelas borjuis berkua-sa. Penambahan dimensi politis Laclau & Mouffe dalam konsep hegemoni Gramsci, untuk kemudian sangat membantu men-guraikan praxis hegemoni pusat atas lokal sebagai kelompok terpinggirkan, yang ber-jalan sedemikian kompleksnya; sehingga meskipun kepentingan ekonomi mendo-minasi dalam hubungan hegemonis antara pusat dan lokal, namun juga melibatkan banyak tindakan-tindakan politis ideologis dan secara signifikan disokong pula oleh kekuatan media. Intensitas dan proporsion-alitas analogi image terhadap realitas, yang disampaikan dan disebarluaskan melalui media menjadikan hegemoni pun terjadi dalam bentuk-bentuknya yang paling ‘halus’ sehingga dianggap sebagai tindakan yang umum, natural dan tak terelakkan. Peran me-dia dalam pengertian yang demikian adalah sebagai instrumen kelas dalam menjalankan hegemoni kelas berkuasa dan bahkan meng-konservasinya melalui wacana-wacana dis-kursif sehingga tidak tersedia sedikit pun celah untuk berpikir, bersikap bahkan bertin-dak dengan cara lain selain yang ditawarkan oleh kelas berkuasa tersebut.

Meskipun persoalan utama konflik pusat dan lokal terjadi dalam tataran sum-ber daya ekonomi, namun meluasnya konflik tersebut hingga mencapai persoalan sosial dan budaya menjadikan konflik yang terjadi semakin kompleks dan bias pemahaman dan kepentingan. Namun demikian terdapat satu pola yang hampir sama terjadi dalam praksis hegemoni manapun yaitu produksi pengeta-huan demi mencapai suatu kondisi konsen-sus, dimana konsensus sangat dibutuhkan untuk membenarkan tindakan hegemonis yang mereka lakukan dan dengan segera melakukan intervensi politis. Ini semacam plotting peran antara pusat yang memerin-tah dan media yang mempunyai relasi yang relatif dekat baik dengan klas ideologis yang

‘memilikinya’ sekaligus juga dengan rakyat sebagai tempat dan target informasi (penge-tahuan). Pusat tidak lagi harus secara terang-terangan menyatakan kepentingannya atau turun tangan langsung sejak awal, namun melalui media secara edukatif dibuka den-gan mengkonstruksi realitas atau wacana.

Dengan cara yang demikian, ada ban-yak keuntungan yang diperoleh pusat se-bagai kelas berkuasa, yaitu; pertama, seb-agaimana disebutkan karena disokong oleh media massa, praxis hegemoni relatif efisien dalam penggunaan energi dan materi. Ked-ua, dengan melakukan secara ‘terselubung’, karena bermain dalam ranah produksi pen-getahuan dan tidak secara terang-terangan menyatakan kepentingan politisnya sendiri, maka praktik hegemoni melalui media ini justru akan memberi nilai tambah politis bagi kelas berkuasa; yaitu pencitraan posi-tif, dalam konteks ini konflik tidak terjadi dengan memperlawankan pemerintah pusat vis-à-vis dengan lokal, namun secara indah justru memposisikan pusat sebagai dewa pe-nolong dari krisis yang dihadapi dan tidak dapat terselesaikan oleh lokal atau secara ironis kembali membalikkan tanggungjawab krisis pada lokal itu sendiri.

Pada level membalikkan tanggung-jawab krisis pada lokal inilah, tersirat suatu struggle of hegemony dari pusat untuk tidak lagi memperoleh sekedar konsensus lokal melainkan juga mempertahankan kondisi yang memungkinkan untuk mengabadikan konsensus tersebut selama mungkin.

Hegemoni Laclau dan Mouffe un-tuk kemudian dianggap mampu menyem-purnakan keterbatasan definisi hegemoni Gramsci yang kembali terjebak dalam di-terminisme ekonomi dan karenanya mem-persempit potensi analisis terhadap praxis hegemoni di luar relasi produksi tersebut. Sementara pada kenyataannya praxis hege-moni telah membangun dan memperbaiki diri agar dapat terus dipraktikkan disatu sisi, serta sekaligus dalam praxis tersebut tidak dibuka celah sedikitpun untuk dapat dike-nali sebagai sebuah praxis hegemoni.

Dengan kata lain semakin halus praxis hegemoni ditampilkan, semakin kondisi keti-daksadaran dalam proses konsensus terjadi; maka disinilah efektifitas hegemoni menca-pai puncaknya dan kokoh tak tergoyahkan. Ke-ordinary-an serta kenaturalan objek dan peristiwa yang disajikan media, dalam artikel ini diduga mempunyai kontribusi yang tidak

58

Page 63: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

bisa diabaikan dalam fungsinya ‘memperha-lus’ praxis hegemonis sehingga retorika ide-ologi kelas menjadi bias dalam keobjektifan/kenaturalan/ke-ordinary-an reality yang dis-ajikan oleh media.

Penjahat Proletar dan Otoritas Negara dalam kemasan ‘Bajaj Bajuri’

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kiranya tayangan televisi dalam berbagai genrenya tentunya juga potensial untuk membiaskan pesan-pesan ideologis poli-tisnya, tidak terkecuali tayangan komedi sekalipun. Komedi, dan hampir semua pro-gram televisi, dalam konteks ideologis tidak ubahnya seperti produk yang harus dikemas sesuai dengan target pasar dengan tujuan untuk memberi kesan familiaritas sehingga mudah masuk dalam sense of experience dari si target pasar.

Produk dengan kemasan yang demiki-an ini ditujukan untuk memberi efek tak ter-tolakkan untuk dikonsumsi. Sebagaimana juga komedi Bajaj Bajuri dalam artikel ini; dengan tampilan kostum, logat dalam dia-log-dialognya, karakter pemain utamanya, setting dan bahkan pada pilihan musik pem-bukanya semuanya secara umum dianggap merepresentasikan kehidupan masyarakat Betawi.

Wacana diskursif lainnya mengenai ke terpinggiran Betawi di pusat pemerintahan menyatakan bahwa mayoritas dari kelom-pok ini minim pengetahuan dan keahlian yang diperlukan sebagai syarat untuk aktif memperebutkan hak-hak ekonomi menjadi salah satu alasan utama bagi kelompok ma-syarakat ini untuk menjual tanah-tanah wari-san mereka kepada pengusaha-pengusaha industrial sebagai bentuk pilihan me reka mempertahankan hidup keseharian mereka. Sebagai akibatnya, kelompok masyarakat ini pun kehilangan haknya atas wilayah teritori sosial mereka dan digantikan degan perkam-pungan-perkampungan miskin dan padat penduduk se bagai setting utama dari tayan-gan ini.

Sekilas tayangan ini terlihat sebagai kritik terhadap kuasa pemerintah melalui pembangunan nasional yang tidak mampu menyentuh kelompok-kelompok adat atau lokal terutama dalam bidang pemerataan kesejahteraan dan keterpinggiran masyara-kat Betawi dianggap representative poten-sial dipandang sebagai bagian dari wacana

diskursif lainnya yang difungsikan untuk memperkokoh bangunan konsensus real-isme televisi. Inilah mengapa Fiske mengajak untuk selalu ‘mencurigai’ berbagai content tayangan televisi, bahkan termasuk dalam program yang secara radikal ‘seolah-olah’ memberi ruang bagi suara-suara yang un-spoken untuk berkontestasi. Bagi Fiske televisi tetaplah instrumen ideolo-gis yang dengan mekanisme tertentu difung-sikan utamanya menyokong status quo suatu kelas dominan.

Tayangan Bajaj Bajuri edisi ‘Jalani Leba-ran dalam Tahanan’ pun secara kritis juga po-tensial untuk difungsikan sebagai instrumen ideologis. Counter discourse yang dibangun melalui wacana-wacana diskursif menjadi sesuatu yang krusial untuk dikonstruksi dan didiseminasikan sebagai upaya untuk mem-bongkar logika realisme televisi; berikut ini wacana diskursif yang potensial difungsikan untuk membongkar realisme televisi;

(1)Sementara dalam kamus hukum ‘penjahat’ dipahami sebagai orang yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana ringan maupun berat karena dengan sen-gaja merusakkan dan atau merugikan prop-erty pihak lain, dimana ringan atau beratnya pelanggaran sangat tergantung pada sifat kepemilikan atau nilai-nilai yang berlaku (hal: 399). Pada sifat kepemilikan dan nilai-nilai yang berlaku inilah, konsep ‘penjahat’ mengalami pergeseran interpretasi, berubah sebagai hasil dari suatu relasi kuasa ekonomi dan ideologis yang dominatif.

(2)diskriminasi perlakuan terhadap ‘penjahat’ (setelah mengalami pergeseran interpretasi) menyebabkan ambiguitas relasi antara tingkat kejahatan dengan punishment yang seharusnya potensial untuk diterima.

(3)sebagai akibat dari poin 1 dan 2 maka label ‘penjahat’ sangat potensial merupakan hasil dari suatu praksis hegemonis negara melalui institusi peradilan dan bukan lagi se-cara esensial melakukan pelanggaran murni hak milik dan nilai-nilai hukum.

(4)Kode-kode televisual mempunyai kemampuan dalam mengkonstruksi ‘cerita mengenai reality’ secara naratif. Sifat naratif tersebut ditandai dengan subjektifitas pan-dangan dalam penyampaian suatu reality, yang sangat ditentukan oleh kepentingan dan ideologi suatu klas yang berkuasa.

Realisme Bajaj Bajuri, khususnya dalam artikel ini episode ‘Jalani Lebaran dalam Tah-anan’ menjadi mungkin untuk dibaca ulang, tidak lagi bisa dipahami sekedar tayangan

59

Page 64: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

yang menghibur melainkan justru menjadi agen transformasi sosial yang dalam prak-sisnya potensial untuk memotivasi kesesatan pemahaman mengenai suatu reality pada pe-nontonnya.

Kejahatan dan ‘penjahat’ untuk kemu-dian mengalami redefinisi; tidak lagi dibatasi pada dampak sosial yang berada dalam ru-ang lingkup nilai-nilai keadilan hukum dan justru ditentukan atas dasar relasi ekonomi politisnya. Kebenaran yang tersaji untuk ke-mudian justru mensahkan posisi proletar atau kelas miskin perkotaan sebagaimana di-ilustrasikan dalam Bajaj Bajuri, sebagai ‘Pen-jahat’ sebenarnya dari masyarakat sekaligus sebagai satu-satunya klas yang harus diper-angi karena potensinya tersebut.

Punishment terhadap ‘penjahat pro-letar’ untuk kemudian tidak hanya terjadi dalam rumah tahanan saja melainkan juga diperolehnya secara sosial sebagai seseorang yang harus dijauhi, diabaikan dan bahkan tidak diakui sebagai kerabat dan walhasil sebutan ‘penjahat’ menjadi suatu label yang lestari disematkan.

Dalam praksisnya, judgement terhadap proletar tersebut sekaligus menutup celah bagi massa untuk berpikir apalagi menuduh-kan ‘penjahat’ pada klas borjuis. Ditambah kedekatannya dengan kuasa ekonomi poli-tis, maka ketika terjadi hal yang ‘luar biasa’ dalam frame klas borjuis yang dominan; yaitu ketika ada anggotanya yang kemudian terpaksa ‘terlihat’ melakukan suatu tindak pelanggaran, dan harus masuk dalam rumah tahanan, maka tentu saja ada perlakuan is-timewa sebagai implikasi dari posisi isteme-wanya tersebut.

Mulai dari desain interior sel, fasili-tas jasa kecantikan dan kebugaran hingga dengan bargaining tertentu mereka sangat mudah untuk keluar sel sekedar mencari re-freshing atau bahkan melakukan deal-deal bisnis mereka. Ironisnya secara sosial mereka juga dijamin oleh negara sebagai bagian dari kelas borjuis itu sendiri; berbeda dari label ‘penjahat proletar’ yang relatif abadi, label ‘penjahat’ bagi kelas borjuis hanya bersifat sementara dan bahkan dengan produksi of knowledge tertentu secara magis bisa di-hilangkan begitu saja.

Salah satu faktor utama yang menye-babkan hal tersebut, adalah karena hak is-temewa dari borjuis tersebut yang menye-babkan (jika mereka melaluinya) penahanan secara fisik tidak segera dilanjutkan dengan pembekuan asset mereka. Dampak finalnya

maka eksistensi mereka pun tetap terjaga se-cara sosial.

Secara singkat Bajaj Bajuri dalam epi-sode ‘Jalani Lebaran dalam Tahanan’ ini bercerita tentang nasib apes Bajuri, seb-agai tokoh utama, yang harus masuk tah-anan karena terjaring Operasi Ketupat polisi dalam rangka pengamanan menjelang Leba-ran. Diceritakan kemudian melalui dialog dan shoot-shotnya dengan narapidana lain satu sel dengannya dan juga oleh Oneng, is-teri Bajuri ketika menjelaskan kronologis ma-suknya Bajuri ke tahanan pada Mpok Minah. Kisah berlanjut dengan nasib Bajuri sebagai akibat dari singgahnya ke rumah tahanan, menjadikannya juga mengalami penolakan sosial, khususnya dari Emak, mertua Bajuri, yang karena kemiskinannya dan statusnya yang tidak bergengsi sebagai supir bajaj, Ba-juri tidak begitu diharapkan menjadi menan-tu Emak dari awal. Bagaimana Bajuri yang dianggap penjahat kehilangan haknya untuk dianggap saudara oleh Emak, sebagaimana dialog antara Emak dan Oneng terkait den-gan keinginan Oneng untuk menengok Ba-juri di tahanan dibawah ini:

Oneng: Mak…kite ke penjara sekarang yok Mak. Emak :Neng…sekarang ini hari Lebaran, waktu-

nya kia pergi ke tetangga-tetangga, ke saudara-saudara, minta map-maapan. Bukannya ke pen-jara! (nada tinggi)

Oneng: Yee..tapi kan Oneng mau nengokin bang Juri Mak. Kasihan..

Emak: Heh! Biarin aja dia di penjara. Supaya ke tupat ame sayur opornye awet!

Oneng:Ih…Emaaak…gitu banget. Bang Juri kan laki Oneng, kasihan Mak, masak orang lain pada Lebaran, dia sendirian ngringkuk di penjara…

Emak:Gue tau dia laki elu…biarin aja dia di pen-jara. Kagak usah dikasihanin emang dia penja-hat!!!

Oneng:Bang Juri bukan penjahat!!! (sambil menghentak-hentakkan lembar kerudung di tan-gannya)

Emak:Kalo bukan penjahat ngapain dia ditangkep ama Polisi (dan Oneng pun diam tak tahu harus menjawab apa)

Bagaimana narasi dialog di atas ki-

ranya potensial untuk merepresentasikan keterbuangan Bajuri secara sosial, bahkan di lingkup keluarga kecilnya sekalipun sebagai akibat ‘singgah’nya dia di rumah tahanan meskipun akibat salah tangkap.

60

Page 65: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

Teriakan Oneng sebagai istri Bajuri yang merasa lebih kenal dan tahu sifat dan perilaku suaminya, untuk membela Bajuri pun tidak mampu melawan justifikasi sos-ial yang direpresentasikan oleh Emak yang dalam struktur keluarga inti merupakan orang luar.

Penjahat adalah konstruksi sosial; karena merupakan predikat atau label oto-ritatif yang disematkan oleh sebuah institusi negara. Sehingga demi kepentingan dan ket-eraturan secara sosial tetap menjadi ‘harus’ dicurigai sampai akhir hayat mereka dan karenanya harus selalu diawasi dan dikon-trol oleh sosial pula.

Realitas yang diobyektifkan yang menurut Fiske justru membiaskan nilai-nilai ideologis tertentu. Ketika ketidakberdayaan Oneng secara diskursif diperkuat oleh vi-sualitas tindakannya yang secara emosional menghentak-hentakkan kerudungnya dan direlasikan dengan teknik middle-shoot, po-tensial untuk dimaknai sebagai statement borjuis atas proletar yang dianggap sebagai si powerless yang emosional.

Scene ini sekaligus memberi justifikasi mengenai sifat yang harus dimiliki oleh pro-letar, yaitu: menekan emosi sebagai hal yang diperlawankan dengan sifat dan sikap anar-kis, yang bagi borjuis dikonstruksi sebagai tindakan yang tidak cukup benar dilakukan oleh proletar ketika berhadapan dengan oto-ritas-otoritas di luar dirinya. Secara ideologis untuk kemudian adegan dan dialog dalam scene tersebut menatural-isasikan suatu nilai yang memapankan keha-rusan proletar untuk tunduk dan patuh pada aturan-aturan sosial yang dalam hal ini justru tidak didasarkan pada norma-norma sosial melainkan pada pendapat objektif atau pan-dangan umum.

Mengingat fungsi media sebagai instru-men ideologis suatu klas dan peran aktifnya dalam meyabarluaskan nilai-nilai dominan, maka apa yang disebut sebagai pandangan umum secara kritis harus dicurigai sebagai pandangan yang mewakili dan mengabdi pada kepentingan klas dominan dan oleh karenanya ‘kebenaran’ yang diproduksinya potensial bersifat parsial dan bias.

Berat ringannya kasus kejahatan yang dianggap potensial membuka jalan seseorang untuk meringkuk di tahanan bukan lagi stan-dar utama seseorang dianugerahi label ‘pen-jahat’. Sebagaimana Bajuri memahami tah-anan sebagai tempat penjahat dikumpulkan dalam dialog dan scene Bajuri dengan teman

satu selnya (sebut saja N) dibawah ini yang bermaksud menanyakan alasan orang terse-but masuk tahanan:

Bajuri:Mas…lu mas nyolong ayam ya?!..he..

he..pasti lu nyopet di bis ye…(sambil berkacak pinggang)

N:Nggak. Bajuri: Lu pasti nyolong sandal di Masjid lu…

(sambil nunjuk N) N:Gue ditangkep gara-gara abis bunuh orang

(tanpa ekspresi) semalem sih apes ajah. Dulu gue bunuh 4 orang nggak ditangkep

Bajuri:(berubah ekspresinya menjadi ciut karena mendengar tingkat kejahatan N)

Pemahaman massa mengenai alasan

orang masuk penjara, sangat mudah ditang-kap dalam dialog di atas, sebut saja misalnya: nyolong ayam, nyopet di bis, nyolong sandal yang semuanya dilakukan seseorang karena ‘kepepet’ dihadapkan pada diri dan keluarga yang lapar.

Kejahatan paling berat, yang membuat Bajuri untuk kemudian berubah sikap dan ekspresinya terhadap N adalah membunuh orang. Bentuk-bentuk kejahatan yang san-gat mudah dibuktikan karena bukti-bukti fisiknya untuk kemudian secara (relatif) sederhana langsung mengarah pada pelaku-nya. Deskripsi mengenai penjahat dan tindak kejahatan dalam dialog tersebut untuk ke-mudian menjadi ambigu ketika dihadapkan dengan kasusnya dengan Nyolong Duit Neg-ara yang dilakukan beramai-ramai oleh pe-jabat Negara, atau pembunuhan berencana terhadap tokoh-tokoh oposisi secara siluman karena bukti kejahatan tidak dengan cara mudah dapat dilihat dan juga karena resiko penyebutan nama dalangnya menjadi ‘hantu’ tersendiri. Penjahat pun oleh karenanya me-mang predikat istemewa yang hanya boleh disematkan pada dada se seorang yang beri-dentitas proletar.

Visual Bajuri yang menunjuk pun un-tuk kemudian potensi dimaknai sebagai ke-beranian sosial proletar untuk memahami kejahatan dan penjahat, yang untuk kemudi-an tingkat paling berat adalah pembunuhan. Statement tersebut tampak pada ekspresi bajuri ketika mendengar pengalaman mem-bunuh N yang diikuti dengan acting Bajuri yang dengan segera menyenderkan pung-gungnya di dinding sel dan dalam shoot berikutnya divisualkan dengan ‘ndepis’ atau jongkok di pojok sel sebagai representasi dari keterkejutan dan ketakutan Bajuri.

61

Page 66: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

Kekagetan yang ditunjukkan dalam ekspresi dan gesture Bajuri merepresentasi-kan reaksinya terhadap tindakan membunuh sebagai bentuk kejahatan yang hanya bisa dilakukan oleh orang berdarah dingin dan karenanya menempati hierarki tingkat keja-hatan terberat dalam pandangan awam Ba-juri sebagai representasi proletar. Na-mun tidak sesederhana itu Fiske memahami makna dalam realisme televise, menurutnya ada dimensi ideologis dan politis yang selalu membonceng dalam ‘perumpamaan-perum-pamaan’ visual tersebut. Sehingga produksi pengetahuan mengenai kategorisasi berat dan ringannya kejahatan dalam scene yang diilustrasikan dalam gambar 1 dan 2 poten-sial untuk dipahami sebagai upaya penyunti-kan ‘kesesatan’ yang kemudian diobjektifika-si melalui relasi kode-kode televisual sebagai suatu kebenaran yang asasi. Kesesatan pema-haman ini secara logis dapat kita temukan dengan menambahkan didalamnya pertan-yaan mengenai dimana kemudian posisi ko-rupsi (serta tindakan-tindakan merusak dan merugikan negara lainnya ketika kita mem-bicarakan imperialisme atau kolonialisme) dalam hirarki tingkat kejahatan tersebut.

Statement ‘jahat dan sesat’ yang uta-manya hendak disuntikkan adalah; bahwa jika membunuh merupakan tindak kejahatan terberat dilihat dari penghilangan nyawa se-seorang yang buktinya mengarah langsung pada si pelaku, tidak demikian dengan tindak kejahatan korupsi dimana buktinya sangat rumit dan complicated karena dilakukan se-cara sistematis maka tentu saja harus dipan-dang berada dibawah posisi pembunuhan.

Statement atau produksi pengeta-huan diatas pada akirnya berjalan dengan meniadakan realitas atau kebenaran lain yang tidak menyokong kebenaran statement dominan tersebut; seperti misalnya; berapa kerugian negara akibat korupsi tersebut, berapa jiwa yang kehilangan kesempatan untuk mendapat hidup yang layak akibat da-na-dana subsidi pendidikan atau kesehatan tidak sampai pada sasaran yang tepat, atau berapa nyawa yang hilang atau potensial hilang ketika bangunan-bangunan publik dibangun dengan menurunkan standar ke-layakan.

Kesesatan kedua yang disuntikkan adalah pada penempatan konflik massa dam proses penangkapan pelakunya yang dio-posisikan dengan tindak kejahatan korupsi yang tentu saja dilakukan dalam diam se-hingga tidak mengganggu ketenangan massa

(tentu saja kalau tidak ketahuan). Bagaimana berdasarkan ‘ketergang-

guan ketentraman dan ketenangan’ ma-syarakat maka tentu saja menjadi logis jika kemudian korupsi juga diposisikan di bawah hierarki kejahatan nyolong ayam, nyopet dan nyolong sandal tersebut. Dapat disimpulkan demikian, bagaimana relasi kode-kode tele-visual dinarasikan demi menyokong suatu statement utama dan penting dari klas borjuis yang dominan, yaitu justifikasi privilledge borjuis yang ditentukan secara sepihak ber-dasarkan kategorisari berat-ringannya ke-jahatan yang disebutkan diatas menjadikan kejahatan yang dilakukan borjuis tidak lebih ‘berbahaya’ dari tindakan nyolong ayam dan bahkan pembunuhan sekalipun yang dilaku-kan oleh proletar.

Secara diskursif kemudian konstruksi klaim ‘kebenaran’ kelas dominan (baca pen-guasa) ditunjukkan dengan middle-shoot Bajuri menunjuk teman satu selnya. Dengan maksud memberi fokus pada ekspresi bajuri yang merepresentasikan keberanian dan ke-percayaan diri ‘menuduh’, memberi predikat atau label penjahat kepada seseorang.

Efek middle-shoot yang mengkon-struksi untuk sementara ‘kuasa’ Bajuri atas teman satu selnya tersebut untuk kemudian potensial untuk direlasikan dengan konsep ‘kuasa’ dan ‘hubungan kuasa’ yang dilaku-kan oleh pihak yang powerfull atas yang powerless. Dalam pemahaman ini maka vi-sualisasi Bajuri dengan teknik middle-shoot dan diambil dari angle yang sedikit di bawah dengan tujuan memberi efek powerfull ke-pada Bajuri, ditambah dengan wacana bah-wa kuasa secara umum ditunjukkan dengan kuasa politik dan ekonomi; maka scene ini untuk kemudian dapat dipahami sebagai upaya konstruksi media untuk membangun sebuah keumuman atau keobjektifan ‘hubun-gan kuasa’ dimana posisi ditunjuk hanya di-peroleh untuk orang atau pihak yang lemah ‘power’nya secara ekonomi politis, siapa lagi kalau bukan proletar. Kelemahan ‘power’nya dan ditambah dengan kelabilan emosi yang direpresentasikan dalam dialog Bajuri dan N mengenai alasan membunuh sebagai bentuk dari kekesalan emosi saja, sebagaimana diku-tip dibawah ini ketika N menjawab keingin-tahuan Bajuri tentang alasan masuknya N ke penjara yang dikisahkan dilakukan N karena alasan simple bahwa dia sedang kesal saja dengan korban;

Bajuri :Boleh nanya nggak?! Ngo-

62

Page 67: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

mong-ngomong kenapa sih abang bunuh orang?

N:Gue lagi sebel aja. Bajuri :Cuman gara-gara sebel doang. N:Iyah.

Ini digambarkan ntuk kemudian meng-arahkan penonton untuk kembali pada nilai-nilai ‘ketundukan’ dan ‘kepatuhan’ yang ha-rus dimiliki oleh proletar serta klaim-klaim kebenaran penguasa untuk melakukan ‘kon-trol’ dan ‘penekanan’ terhadap proletar kare-na potensi kelabilan emosinya yang mempu-nyai potensi besar untuk menjadi anarkis.

Ujung dari upaya kontrol dan penekan-an ini adalah demi tercapainya kondisi tentram dan aman, yang secara diskursif dijelaskan dengan kembali pada objektifi-kasi hierarki kejahatan yang sebagaimana diuraikan diatas yang salah satunya didasar-kan pada mengganggu ketentraman dan ke-tenangan masyarakat.

Melalui dialog antara Bajuri dan N dia-tas, penonton diarahkan untuk menilai kara-kter dasar proletar yang dicitrakan dalam kisahnya tersebut, sekaligus mengajak pe-nonton untuk mempertanyakan kelayakan dan keabsahan pemerintah dalam member-lakukan kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan represif untuk mengatur ketidak-labilan proletar dalam menghadapi tekanan hidupnya.

Pernyataan potensial yang muncul setelah kondisi proletar diamini oleh penon-ton adalah, bahwa untuk itulah dibutuhkan pemerintah yang, dalam kosakata kelas dom-inan: tegas dan keras demi terciptanya ketert-iban sosial.

Tingkat pengetahuan proletar menjadi ide yang dikembangkan dalam visualisasi Bajaj Bajuri edisi ini, yang tentu saja difung-sikan dalam tujuannya memperkuat klaim kebenaran dan kesahihan penguasa dalam melakukan kontrol dan tindakan-tindakan represif terhadap proletar. S e b a g a i m a n a dijelaskan dalam dua scene diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam realisme Bajaj bajuri kejahatan dan penjahat pun un-tuk kemudian menjadi sesuatu yang dekat dengan proletar dan tentu saja dialami serta menempatkan proletar sebagai partisipator aktif dari kejahatan itu sendiri. Bagaimana N sebagai penjahat yang dicitrakan sesungguh-nya dalam Bajaj Bajuri, menjadi sangat me-narik; sebagai orang yang emosional dalam menghadapi hal atau orang yang dianggap tidak sesuai dengan keinginannya dan seka-

ligus bersikap dingin, tanpa rasa bersalah setelah melakukan hal-hal yang dianggap ja-hat.

Karakter dan kostum N sangat repre-sentatif untuk mendukung citra kekejaman penjahat proletar ala Bajaj Bajuri; dimana N, seorang lelaki berotot dan berkulit hitam dengan wajah keras dan dinginnya, meng-gunakan celana jeans belel dan kaos tanpa lengan yang tentu saja tidak mungkin digu-nakan oleh orang-orang dari kelas mapan borjuis.

Pengambilan gambar yang mayoritas menggunakan teknik medium-shot dan long-shot, setidaknya untuk kemudian menjadi ra-sional dengan upaya penguatan citra penja-hat proletar tersebut; yang disajikan dengan seluruh identitas emosi dan penampilannya tersebut.

Penghilangan tattoo atau gambar tubuh dalam representasi proletar yang melekat pada N, justru dapat dianggap memperkuat kesan proletar, dimana tattoo tidak lagi men-jadi satu-satunya identitas proletar yang agresif (baca: preman) sebagaimana dite-mukan pada preman-preman tahun 80-an era Kusni Kadut, namun justru saat ini telah menjadi sebuah hobi dan ekspresi diri yang dilakukan justru oleh kalangan menengah atas seperti selebritis dan olahragawan yang mempunyai aset trilyunan dan juga mempu-nyai modal sosial karena pesonanya secara fisik.

Sebagaimana Ong menyatakan bahwa dalam masyarakat oral dasar, pengetahuan dibentuk dalam keterlibatan pengalaman, maka televisi sebagai bentuk sisa oral dasar berupaya membangun common-sense men-genai proses konstruksi pengetahuan pro-letar (sebagai kelas yang belum terindus-trialisasikan) yang diperoleh dari sekedar pengalaman pribadi dan bukan hasil analisis mendalam. Bagaimana Oneng yang biasanya dikesankan sebagai perempuan ‘oon’ ber-transformasi menjadi ‘lebih tahu’ mengenai Operasi Ketupat yang melibatkan dirinya sebagai istri Bajuri yang ditahan karena Op-erasi Ketupat tersebut, kiranya bisa merep-resentasikan bagaimana pengetahuan akan sesuatu hal seperti kejahatan dan penjahat bisa (dan harus) diperoleh dalam masyarakat Proletar. Berikut ini dialog antara Minah (tet-angga Bajuri), Emak dan Oneng mengenai alasan Bajuri masuk Penjara;

Minah :Saya cuman penasaran doang…kena-pa Bang Juri masuk penjara..

63

Page 68: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

Emak :Semalam dia ketangkep. Nyolong ket-upat.

Minah :Maap pok Oneng...masak iya Bang Juri nyolong ketupat?

Oneng :Bukannya nyolong ketupat!..hik..hik..kena O..pe..ra…si.. Ketupat. Karena polisi mau ngamanin Lebaran…hik…hik..

Minah :Maap pok Oneng bukannya saya ng-gak ngerti, bukannya saya nggak paham. Cu-man saya nggak tahu kenapa polisi nangkap Bang Juri?!

Oneng :Waktu polisi meriksa Bajajnya Bang Juri…hik…didalam Bajajnya ada shabu shabuuuu….hik..hik.

Minah :Maap pok Oneng…emangnya kalok Lebaran kita nggak boleh beli masakan Je-pang ya? (dengan ekspresi yang masih tidak tahu)

Oneng :Hiee….(memeluk Emak)

Praksis ideologi juga diperkuat dalam scene dimana Emak, Oneng dan Pok Minah terlibat pembicaraan mengenai alasan Bajuri masuk penjara. Dalam scene tersebut mem-perkuat praksis ideologi mengenai bagaima-na pengetahuan proletar tentang suatu hal atau peristiwa sangat potensial dicitrakan dalam dialog diatas; bagaimana Oneng yang dalam setiap episode secara umum dici-trakan sebagai perempuan yang ‘oon’ dan se-bagai akibatnya sering salah memahami es-ensi suatu hal dan atau peristiwa, meskipun dikonstruksi menjadi orang yang paling tahu mengenai masuknya bajuri di penjara, tetap dikondisikan tidak tahu dalam keadaan pal-ing tahu jika dibandingkan dengan dua kara-kter lainnya (yaitu Emak dan Minah).

Hal ini disebabkan karena kondisi ‘tahu’ yang dimiliki Oneng, dicitrakan seb-agai sekedar tahu dari proses ditangkapnya Bajuri dalam Operasi Ketupat , yaitu pada masalah teknis, dan bukan pada esensi mak-na mendasar dari Operasi Ketupat itu, sep-erti misalnya; apa definisinya, apa fungsinya dan kenapa diadakan menjelang Lebaran. Pemahaman Oneng mengenai Operasi Ketu-pat, dibatasi pada pengetahuan mengenai ke-giatan momentum polisi yang pada akhirnya menjerumuskan suaminya ke Penjara.

Konflik yang terjadi dalam dialog yang melibatkan Emak, Oneng dan Mpok Minah yang dengan middle-shoot secara berganti-ganti mengambil gambar ketiga tokoh diatas, bisa dipahami sebagai technical code yang bekerja dalam tujuannya untuk memfokus-kan penonton pada ekspresi ketiga tokoh

tersebut. Poin penting dalam technical code yang

digunakan untuk men-shoot adegan ini adalah tidak lagi sekedar pada konflik seder-hana mengenai masuknya Bajuri ke penjara melainkan lebih dari itu, konflik ini dengan dukungan middle-shoot potensial untuk mengarahkan penilaian penonton mengenai

pemahaman ketiga tokoh tersebut ter-kait dengan hu-kum dan me-kanisme atau prosedur pen-egakan hukum, yang dalam tayan-gan ini ketiganya merepresentasikan proletar.

Dengan middle-shoot yang secara din-amis berganti-ganti, penonton diajak untuk melihat wajah dan ekspresi ketiga tokoh den-gan dialog yang terjadi, bagaimana kemudi-an ketiga ekspresi tersebut secara visual ter-polarisasi dalam tiga jenis ekspresi; bingung yang ditampakkan oleh Pok Minah, sedih dan tak berdaya oleh Oneng serta sok-tahu pada Emak.

Jika polarisasi ekspresi ketiga tokoh tersebut direlasikan dengan materi dialog yang sedang dikonflikkan dan wacana hu-kum nasional, maka scene ini sangat potensi-al untuk dimaknai sebagai strategi labelisasi dari pengetahuan dan sikap proletar terkait dengan permasalahan hukum, dimana may-oritas pengetahuan dan pemahaman proletar tentang hukum memang terpolarisasi dalam ketiga ekspresi dan sikap yang direpresen-tasikan ketiga tokoh dalam dialog tersebut: bingung karena ambigu antara pengetahuan dan praktis, takut dan tak berdaya karena tahu namun tidak bisa berbuat apa-apa serta sok tahu yang biasanya mengarahkan pada tindakan-tindakan nekat dan agresif kalau ti-dak anarkis.

Labelisasi ini menjadi terselubung dalam naturalisasi social codes yang disaji-kan secara visual, sehingga meminjam isti-lah Barthes, dimana Fiske juga terinspirasi olehnya, maka labelisasi ini untuk kemudian menjadi objektif dan common-sense.

Dalam arti bahwa label proletar yang ‘mbingungi’, takut tak berdaya dan sok tahu menjadi umum disematkan pada pengeta-huan proletar tentang hukum dalam kasus tematik episode tayangan ini, dan kemu-dian menjadi semacam justifikasi bagi kelas

64

Page 69: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

berkuasa yang mempunyai otoritas menge-nai ‘kebenaran’ untuk mengatur dan men-dikte proletar mengenai mana yang salah atau benar, mana penjahat dan bukan penja-hat.

Sederhananya, dengan relasi dialog dan adegan serta technical-codes yang digu-nakan, maka di’umum’kan atau dinaturalkan atau di‘common-sense’kan konvensi baru mengenai benar-salah, jahat-tidak yang tidak lagi didasarkan pada hakikat aturan yang berlaku, melainkan disempitkan pada seke-dar tingkat pengetahuan dan emosional ses-eorang; dan kemudian menjadi semacam la-bel ideologis politis yang tidak sedang dalam fungsinya menerangi pengetahuan masyara-kat umum, namun justru menyesatkan dan difungsikan utamanya untuk mempertah-ankan kondisi hierarkhi tersebut dan sekal-igus diyakini akan melanggengkan kuasa ke-las dominan berkuasa yang minoritas dalam jumlah atas proletar.

Keterbatasan pengetahuan dan pema-haman Oneng sebagai representasi proletar (khususnya perempuan) diperkuat dengan ditunjukkan pada ketidakmarahan Oneng terhadap polisi dan justru dialihkan kepada Emak.

Bagaimana secara literal dan visual, ke-marahan Oneng justru ditunjukkan dalam konflik Oneng dengan Emak, dimana Emak dianggap tidak adil dan jahat terhadap Ba-juri yang masuk penjara sebagai akibat salah tangkap. Kesalahan institusi sebagai repre-sentasi penguasa dialihkan menjadi kesala-han proletar, pengalihan kesalahan ini ke-mudian lebih sempit lagi ditempatkan pada keluarga yang mempunyai peran penting dalam memotivasi ketidakteraturan dan keti-daktentraman sosial.

Pengalihan kesalahan institusional kepada proletar juga tampak dalam keselu-ruhan shoot yang hampir seluruh konflik yang tersaji dalam episode ini adalah konflik Oneng dan Emak, dan sekaligus menghilan-gkan konflik yang melibatkan polisi (repre-sentasi dari negara/pemerintah yang borjuis) sebagai pelaku salah tangkap yang seharus-nya dilawan oleh Oneng, Bajuri dan bahkan Emak.

Ide salah tangkap dengan demikian secara ideologis dicitrakan dalam visual Ba-jaj bajuri menjadi suatu yang harus diang-gap lazim dan prosedural dan oleh kare-nanya harus diterima sebagai cobaan untuk lebih bersikap hati-hati, dan kemudian ha-rus menyikapinya dengan sabar dan kuat

karena peristiwa salah tangkap ini sekedar cobaan atas ketidakhati-hatian proletar, dan karenanya bukan kesalahan polisi sebagai representasi dari pemerintah yang hanya menjalankan tugasnya, sebagaimana dialog Minah dan Oneng untuk memberi motivasi Oneng:

Minah :Maap Pok Oneng…saya bukannya sok nasehatin, bukannya sok ngajarin, saya cuman mo ngasih saran. Pok Oneng yang sabar ya…

Oneng :Pok, saya tuh, udeh nikahnye 5 tahun ame Bang Bajuri. Tiap Lebaran selalu bareng-bareng, maap-maapan. Sekarang…Bang Bajurinye, dipenjaraaa….a (nangis)…saya kasihan ame die pok.

Minah :Maap Pok Oneng, saya bukan-nya sok tahu, bukannya sok pinter. Saya cu-man mo bilang saya yakin Bang Bajuri juga bisak sabar…bisak tegar…

Oneng :Iye iye..pok saya juga yakin pok. Kalo Bang Juri bisa sabar bisa tegar! (tersendat-sendat)

Dialog diatas menggunakan realisme Fiske bukan difungsikan dalam tujuannya merepresentasikan Oneng dan Bajuri seb-agai representasi proletar yang sabar dan tegar atau kuat, namun secara kontradiktif justru ditujukan untuk semata-mata meng-konstruksi kondisi keterbelakangan pengeta-huan proletar yang disamarkan dalam kondi-si musibah dan oleh karenanya harus disikapi dengan pasif. Kepasifan proletar justru dici-trakan dalam fungsinya secara ideologis yai-tu membekukan kondisi proletar untuk tetap dalam kondisi ketertindasan mereka, karena mereka adalah kumpulan orang-orang yang tetap tidak tahu dan oleh karenanya lemah baik secara individual maupun secara sosial.

Kepasifan dalam kaca mata penguasa mampu mengeliminasi kesatuan proletar sehingga mengantisipasi tindakan-tindakan anarkis selanjutnya dan karenanya patut dan sah untuk dipertahankan. Realisme yang terkonstruksi bukan dalam tujuannya merepresentasikan Oneng dan Bajuri seb-agai proletar yang sabar dan tegar atau kuat, namun secara kontradiktif justru ditujukan untuk semata-mata mengkonstruksi kondisi keterbelakangan pengetahuan proletar yang disamarkan dalam kondisi musibah dan oleh karenanya harus disikapi dengan pasif.

Kepasifan proletar justru secara ideolo-gis ditujukan dalam upayanya membekukan kondisi proletar untuk tetap dalam kondisi

65

Page 70: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

ketertindasan mereka; dipertahankan untuk tetap tidak tahu dan karenanya tetap lemah secara individual maupun secara sosial. Dis-eminasi keyakinan mengenai ‘keharusan’ pasif tersebut, secara bertahap potensial mengantisipasi dan bahkan mengeliminasi kesatuan proletar sehingga tindakan-tinda-kan anarkis dan kontra-produktif dari sudut pandang penguasa borjuis mampu dimini-malisir.

Kontradiktifnya jawaban Oneng dalam dia-log diatas dengan scene yang diilustrasikan dalam adegan dimana Bajuri divisualisasi-kan meratap di balik terali penjara kiranya memperjelas kondisi kelemahan proletar yang dengan segera membutuhkan pemerin-tah Borjuis dengan kematangan pengetahuan dan emosionalnya untuk membimbingnya:

Fokus pada Bajuri dengan tetap mem-biarkan terali besi untuk tampak jelas dalam layar, memvisualkan Bajuri di balik penjara yang meratap sedih karena nasibnya masuk penjara dan teralienasinya dirinya dari sos-ial: keluarga (Oneng dan Emak) dan tetang-ga, serta alienasi dari dirinya sendiri sebagai akibat dari ambiguitas antara keyakinannya dan kebenaran umum yang dicitrakan dalam bentuk otoritas institusi. Visualisasi Bajuri di balik jeruji penjara ini untuk kemudian mengkonstruk sebuah reali-tas dimana proletar yang terkungkung atau ‘terpenjara’ dalam ketidaktahuannya serta kondisi keterasingan yang diakibatkan oleh ketidakberdayaannya tersebut. Realitas hasil konstruksi ini untuk kemudian memperkuat statement utama dari pesan tayangan Bajuri yaitu melazimkan kondisi keterbatasan pen-getahuan proletar mengenai hukum dan me-kanismenya (dalam kasus episode ini) yang ‘mengharuskan’ uluran tangan sang ‘terdi-dik’ dan ‘terpelajar’ yaitu pemerintah atau negara, sang borjuasi, untuk membiarkan membimbing si proletar agar tidak salah ja-lan.

Posisi N yang minoritas dalam space, namun tetap tampak jelas dalam shoot secara potensial dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi penguasa mengenai prioritas ala-san proletar untuk dikontrol. Dua objek yaitu Bajuri dan N yang dimunculkan secara bersa-ma dengan teknik Depth Of Field (DOF) luas menunjukkan kedua objek ini sama penting namun mempunyai hubungan yang hierar-kis. Jika Bajuri dengan ekspresi emosionalnya mengambil mayoritas space, maka hal ini ha-rus dipahami sebagai upaya untuk mempri-oritaskan bukan pada bajurinya melainkan

pada ekspresi emosionalnya yang dimiliki oleh bajuri sebagai representasi proletar. Sementara N yang mengambil space yang mi-nor, juga sedang difokuskan ada ekspresi pa-sif, dingin dan tak pedulinya dari siapa yang diwakili oleh N tadi, yaitu proletar yang lain. Jeruji besi yang juga tampak secara jelas ke-tika dikaitkan dengan kedua objek; ekspresi Bajuri dan N, maka akan memperjelas makna yang coba dibangun dalam shoot ini dan ke-tika direlasikan dengan ide mengenai jahat-pengetahuan-kontrol, maka shoot ini dapat dipahami sedang dalam tujuannya meng-konstruksi realitas mengenai relasi power antara proletar dan penguasa borjuis.

Jeruji besi tidak hanya bisa menggam-barkan keterkungkungan seseorang atau ke-las, melainkan juga keterbatasan yang dalam konteks ini adalah keterbatasan pengetahuan; dimana keterkungkungan justru disebabkan karena keterbatasan pengetahuan proletar akan konsep jahat dan kejahatan serta hu-kum dan mekanisme hukum menjadi justifi-kasi penguasa akan kelemahan proletar dan sekaligus mengibarkan klaim-klaim kebena-rannya untuk terlibat dan campur tangan terhadap proletar bahkan sampai di tingkat keluarga dan keseharian mereka. Kelema-han yang membawa mereka pada sifatutama yang kontradiktif namun sama-sama ‘berba-haya’ dalam kaca mata pengusa borjuis; aktif agresif dan pasif, dianggap sebagai halangan bagi keberlangsungan keteraturan dan keten-traman sosial dan karenanya harus dikontrol dan dibimbing oleh penguasa yang lebih sta-bil karena keberlimpahruahan mereka akan pengetahuan.

Maka sebagaimana scenes yang lain, sekali lagi image proletar sedang dikonstruk-si diatas klaim-klaim kebenaran penguasa.

Inilah realisme menurut Fiske, dan dalam konteks yang demikian Bajaj Bajuri untuk kemudian harus dipahami sedang menyuntikan pengetahuannya mengenai penjahat proletar diatas klaim-klaim ke-benaran dan kebijaksanaan penguasa, yang muncul setidaknya karena tiga (3) hal, yaitu: kekurangpengetahuannya, himpitan eko-nominya dan juga karena kalabilan emosion-alnya.

Dan sekali lagi inilah penjahat yang harus dipahami oleh awam sebagai kriminal masyarakat dan harus diperangi tidak saja dengan hukum-hukum negara melainkan juga norma sosial.

Dan karena potensinya lahir dalam ma-syarakat proletar yang serba terbatas akses

66

Page 71: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

ekonomi politiknya, maka Bajaj Bajuri sangat berperan serta dalam melegalkan kepemimp-inan dan dominasi pemerintah kelas proletar yang labil tersebut. Tentu saja dengan aktor yang mempunyai status yang kompleks, se-lain duduk dalam pemerintahan juga men-jadi bisnisman, tindakan opresif negara atas proletar untuk kemudian tidak berhenti seba-tas hukum yang salah tangkap ini, melainkan sebaliknya dengan justifikasi kurangnya pen-getahuan, tidak berdaya dan sok tahu yang dinarasikan akan membawa proletar pada pilihan jalan yang salah, maka negara den-gan justifikasinya tersebut bisa melebarkan tindakan represifnya hingga pada kebijakan pasar, pendidikan, kepemilikan aset, modal dan lain sebagainya. Penindasan negara atas proletar pada perkembangannya menga-rah pada bentuk totalnya, yang merupakan strategi ideologis politis untuk menutup se-gala kemungkinan atau celah untuk pilihan lain bagi proletar.

Dan sebagaimana Barthes menyebut-kan bahwa suntikan pengetahuan meru-pakan tahap awal yang krusial dari proses mitologi, maka Bajaj Bajuri melakukan per-annya sebagai alat kepentingan penguasa yang mengabdi demi mengkekalkan nilai-ni-lai dominasi kelas berkuasa tersebut dengan menciptakan Mitos Penjahat Proletar misal-nya.

Dan sebagaimana peran mitos dalam masyarakat pre-industri yang dikritik dalam fungsinya menciptakan kondisi fatalisme, maka Bajaj Bajuri juga mentransformasikan peran mitos pre-industrial dalam masyara-kat modern saat ini dengan memberi satu-satunya guideline mengenai suatu hal (misal pengetahuan tentang penjahat) bagi penon-tonnya dan tidak menyisakan ruang bertan-ya sedikitpun untuk meragukan kebenaran realitas yang disampaikan.

Dan akhirnya oppressor is everything, his language is rich, multiform, supple, with all the possible degrees of dignity at its dis-posal; he has an exclusive right to meta-lan-guage sementara the oprresed is nothing.

Realisme Penjahat Proletar sebagai Sebuah

Praxis Hegemoni Ideologi dalam pandangan Marxisme

dan media study dimaknai secara negatif dan mendapat kritik. Ideologi dikritik seb-agai sebuah fixing of meaning atau neutral-ization yang sangat erat kaitannya dengan relasi-relasi sosial yang dominatif, dimana

ideologi bekerja dalam praksis-praksis pen-indasan yang justru secara sistematif dan dis-kursif melestarikan relasi-relasi kekuasaan tertentu. Inilah mengapa ideologi disebut se-bagai instrumen kekuasaan klas dan meng-abdi pada klas tersebut. Dalam konteks yang demikian ideologi dapat diartikan kemudian sebagai alat produksi dan diseminasi keya-kinan-keyakinan yang salah dan keliru. Me-dia menjadi instrument yang penting dalam konsep hegemoni Gramsci, dimana melalui media ideologi disebarluaskan dan mem-peroleh efeknya secara dramatis dan efektif. Media menjadi instrumen produksi dan re-produksi wacana, dimana melalui realisme , sebagaimana dipahami dalam Fiske, relaitas yang selektif dan parsial, diterima dan dipa-hami sebagai realitas sebenarnya salah satu-nya karena ‘kemasan’ naratifnya.

Pararel dengan produksi realisme tersebut, maka media, televisi dalam artikel ini, melakukan pula upaya pemiskinan pen-getahuan dan atau kebenaran mengenai du-nia atau realitas; dimana melalui realisme yang diproduksi, perumpamaan-perumpaan dari suatu grand-naratif tentang fear, felling dan desire pada tingkat yang paling dasar. Dan tujuan utama dari beroperasinya me-kanisme produksi dan eksklusi pengetahuan dan realitas tersebut adalah menegakkan dan atau mengkonservasi relasi dominatif, dimana bentuknya mengalami transformasi yang signifikan dari tindakan-tindakan yang mengutamakan koersif menuju suatu pola konsensus. Gramsci tidak secara mentah meninggalkan tindakan koersif dari konsep hegemoninya, hanya saja konsensus sebagai syarat utama terwujugnya kondisi hege-monic, menjadikan tindakan-tindakan koer-sif menjadi sah, benar dan legal dilakukan. Demikian juga realisme Bajaj Bajuri difungsi-kan, bagaimana relasi naratif dari kode-kode televisual membangun suatu pemahaman baru mengenai penjahat negara. Penjahat negara ala ‘Bajuri’ sebagaimana telah dianali-sis sebelumnya, didefinisikan sebagai orang bawah, miskin secara materi maupun pen-getahuan dan medhok untuk memperlihat-kan konektifitas lokal mereka. Identitas yang dalam artikel ini disebut sebagai proletar.

Distorsi realitas dalam realisme Penja-hat proletar ala Bajuri ini dikonstruksi para-rel dengan upaya negara sebagai masyarakat politik untuk membiaskan realitas yang kom-pleks mengenai praktik hukum dan peradi-lan nasional. Bagaimana pemahaman men-genai jahat dan adil dipangkas sedemikian

67

Page 72: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

rupa dengan mengeksklusi kemungkinan-kemungkinan lain identifikasi tentang jahat dan tindakan kejahatan seperti misalnya tindakan korupsi, genocide era 65 misalnya atau penculikan dan pembunuhan politis. Pengetahuan tentang jahat dan kejahatan di-batasi pada wilayah relasi yang paling seder-hana dan meniadakan faktor-faktor lain yang sangat mungkin bercampur dan menjadikan jahat dan tindakan kejahatan dapat diopera-sikan dan kemudian dipahami secara kom-pleks.

Konsep negara yang diperluas, men-jadi salah satu fokus yang menarik dalam pemaparan Gramsci mengenai hegemoni, dimana Gramsci menyadari betul perubahan tren adanya negara-negara global yang mem-bawa serta perspektif globalnya. Robbie Rob-ertson (Robertson, 2003: 12-13) menyebutkan era tersebut sebagai gelombang ketiga glo-balisasi, yang menempatkan isu-isu Ameri-kanisasi yang membawa serta demokrati-sasi dan pesebarluasan perspektif-perspektif global atau yang disebut Marjorie Ferguson (Ferguson dalam McQuail,2005 : 23-32) se-bagai mythology of globalization. Masalah Demokrasi global menjadi menarik untuk di-ulas dalam artikel ini terkait dengan isu loka-litas dan keberagaman identitas. Demokrati-sasi, menurut Robbie Robertson (Robertson, 2003: 12), dipahami sebagai ‘the process of social empowerment that makes modernity attainable’.

Definisi ini dapat dipahami kemudian, bahwa Robertson memahami demokratisasi sebagai prasyarat dari modernitas, dan kare-nanya harus diwujudkan tidak hanya oleh negara asal demokrasi tersebut, yaitu Ameri-ka, melainkan juga membutuhkan inter-konektifitas di seluruh penjuru dunia dalam upayanya membangun sebuah blok historis tertentu. Lebih lanjut Robertson (Robertson, 2003: 12-13) menyebutkan ada tiga tantan-gan demokratisasi yang potensial melemah-kan dinamika modernitas dunia, yaitu: (1) Tantangan perluasan dan memperdalam de-mokratisasi secara global dan meningkatkan sentralitas masyarakat sipil, (2) tantangan lingkungan mengenai isu-isu sustainabilitas global, (3) permasalahan multikultural.

Dalam konteks tiga tantangan tersebut, artikel ini menempatkan poin ketiga sebagai pilihan untuk memperkaya pembahasan Ba-jaj Bajuri sebagai instrumen hegemoni pen-jahat negara yang dilakukan oleh negara se-bagai pemegang kuasa politik. Pemapanan hegemoni sebagai upaya melakukan trans-

formasi sosial dari kelas berkuasa, menurut Gramsci, dilakukan dengan membangun sebuah commonsense, hanya saja common-sense ini bersifat ideologis dan karenanya memuat suatu kepentingan politis klas ter-tentu.

Sebagaimana realisme penjahat prole-tar ala Bajuri sebagaimana diuraikan diatas, mampu membangun suatu mental map ten-tang definisi penjahat negara yang diseder-hanakan menjadi khas proletar dan menutup kemungkinan untuk masuknya actor-aktor lain atau tipe-tipe lain yang mempunyai kon-sekuensi sosial yang relative sama atau bah-kan melebihi tipe proletar tersebut. Inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemonic closure.

Hegemonic clossure ini menjadikan ke-sadaran akan kondisi ketertindasan dari klas proletar, dalam hal ini lokal yang dicontoh-kan dengan Betawi) tidak terbentuk, sehing-ga ‘unity of consciousness’ dari lokal yang proletar tersebut menjadi jauh dari jangkau-an. Dan transformasipun tidak terjadi den-gan perubahan struktur dominasi, dominasi tetap milik dari negara yang borjuis. Berikut ini skema proses hegemoni melalui kode-kode televisual terjadi dalam realisme Bajaj Bajuri;

Hegemonic closure dalam artikel ini

terjadi melalui realisme media yang meski-pun menyajikan keberagaman bersuara dari lokal dan kelompok sosial lain terpinggirkan, namun toh hanya berada pada tataran bentuk saja dan bukan secara esensial. Sebagaimana disebutkan oleh Robertson, dimana isu mul-tikulturalisme yang muncul sebagai implika-si historis dari tuntutan kesederajatan dari klas-klas minoritas di Amerika, menjadikan isu ini signifikan dan mendesak untuk dicari solusinya agar sebagaimana tujuan awalnya untuk menjamin modernitas dapat dilak-sanakan secara efektif.

Menjadi berbeda kemudian dengan apa yang dikemukakan Gramsci, bahwa kondisi hegemonic hanya bisa efektif dengan mem-pertahankan kondisi ketidakseimbangan termasuk didalamnya ketidakseimbangan informasi. Rasionalisasi dari hal ini adalah, bahwa dalam kondisi ketidakseimbangan informasi tersebut, keberagaman etnis, in-formasi atau perspektif dijamin semata-mata demi mempertahankan ketidakpastian yang berjalan pararel dengan arogansi klas atau perspektif. Kondisi ini sangat potensial un-tuk membuka celah terjadinya chaos, dimana

68

Page 73: jurnal ilmu komunikasi UMN

Penjahat Proletar Ala Bajuri Djatiprasetyani Hadi

hanya dalam kondisi tidak pasti seperti ini intervensi pemerintah dalam wacana nasion-al dan negara global dalam wacana interna-sional dapat dilakukan, dan koersif menjadi hal yang wajar dan legal ketika keyakinan dominan mengalami krisis.

Dalam konteks sebagaimana disebut-kan diatas, maka Betawi sebagai proletar yang diberi ruang, harus dipahami secara kritis. Alih-alih menegakkan demokrasi se-bagaimana yang didesakkan oleh negara-negara global demi menjaminkan efektifitas modernitas yang tentu saja ideologis, pada praksisnya justru memproduksi suatu pen-getahuan mengenai demokrasi yang bias. Alasan yang paling mungkin disertakan untuk menjelaskan kondisi ini adalah, bah-wa desakan-desakan internasional yang tak terelakkan, salah satunya sebagai konsekue-nsi dari tindakan bantuan asing, menjadikan negara sebagai agen dari kepentingan inter-nasional. Kasuistik di Indonesia dimana kua-sa politik bertumpang tindih dengan kuasa ekonomi menjadikan media sebagai saluran informasi yang tidak netral dan bahkan poli-tis. Baik negara nasional maupun internasi-onal, berjuang untuk membangun sebuah konsensus yang menjamin dominasinya atas kelas terpinggirkan lain diatas kemungkinan-kemungkinan perpecahan keyakinan dan politis yang tetap dipertahankannya dalam tujuannya membangun celah intervensi ke-tika ‘penguasa’ mengalami krisis hegemoni.

DAFTAR PUSTAKA

Adam David Morton, 2007 Unravelling Grams-ci; Hegemony and Passive Revolution in The Global economy, London, Pluto Press.

Denis McQuail, Peter Golding and Els de Bens, 2005 Communication Theory & Research;

An EJC Anthology, London, Sage Publication.Howard Davis & Paul Walton ed, 1984 Lan-

guage, Image, Media, England, Basil Black-well Publisher Limited.

James T. Siegel, 2000 Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas,Yogyakarta, LKiS

John Fiske, 2001 Television Culture, London, Routledge

Marianne Jorgensen & Louise Phillips, 2002 Discourse Analysis as Theory and Method, London, SAGE Publications Ltd

Meenaksi G. Durham & Dauglas M. Kellner ed, 2006 Media & Cultural Studies Keyworks, Australia, Blackwall Publishing.

Mike Wayne, 2003 Marxism & Media Stud-ies: Key Concepts & Contemporary Trends (Marxism & Culture), London, Pluto Press.

Paula Saukko, 2003 Doing Research in Cultural Studies An Introduction to Classical & New Methodological Approach, London, Sage Publication.

Robbie Robertson, 2003 The Three Waves of Globalization; A History of a Developing Global Consciousness, London, Fernwood Publishing

Robert E. Babe, 2009 Cultural Studies and Po-litical Economy; Toward a New Integration, New York, Lexington Books

Roger Simon, 1999 Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Roland Barthes, 1983 Mythologies, New York, Granada Publishing

Walter J. Ong, 1988 Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, New York, Routledge

69

Page 74: jurnal ilmu komunikasi UMN

Jurnal Ultima Comm Vol. I, Nomor 5/ Maret-Mei 2014

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK ( ANALISIS PEMBERITAAN KISRUH WISMA ATLET DI MEDIA INDONESIA)

Yoyoh Hereyahdosen komunikasi Universitas Mercubuana JakartaJl.Meruya Selatan No.01 Kembangan Jakarta Barat

Telepon (021) 5840816e-mail: [email protected]

Abstract:

Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun disisi lain media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasan. Dalam penelitian ini, yang hendak diangkat adalah seputar kisruh di balik skandal wis-ma atlet yang mencemari nama baik partai democrat meski sejumlah pihak mengkaitkan dengan scenario pemilu 2014. Realitas media yang ditampilkan dalam kasus yang menjerat sejumlah pet-inggi partai Demokrat sangat menarik untuk dikupas, khususnya menggunakan analisis framing.

Keywords: Framing, Komunikasi politik, media massa, Partai Demokrat

PENDAHULUAN Saat ini, salah satu ciri masyarakat modern ditandai dengan ketergantungan mem-peroleh dan menggunakan media komunikasi. Selain dapat memberikan informasi yang dibu-tuhkan masyarakat, keberadaan media massa dapat menyembuhkan hati yang terluka dan melupakan kesulitan- Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Realitas adalah hasil dari ciptaan manusia kre-atif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagaimana yang disebut oleh George Simmel, bahwa realias dunia sosial itu berdiri sendiri di luar indi-vidu, yang menurut kesannya bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya (Bungin,2008:12)

Realitas atau kenyataan sosial (social reality) adalah realitas sosial suatu masyara-kat yang sedang melaksanakan berbagai penye-suaian modernitas sebagai konsekuensi keputu-san untuk menjadi suatu negara kebangsaan. Dalam penyiapan materi konstruksi, media massa memposisikan diri pada tiga hal antara lain Pertama, keberpihakan media massa ke-pada kapitalisme. Dalam arti media massa di-gunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin pencip-taan uang dan pelipatgandaan modal. Kedua, keberpihakan semu kepada ma-syarakat. Dalam bentuk simpati, empati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “menjual berita” dan menaikkan ratting untuk kepentin-

70

Page 75: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK Yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

gan kapitalis. Ketiga, Keberpihakan kepada kepent-ingan umum. Bentuk ini merupakan arti ses-ungguhnya yaitu visi setiap media massa, na-mun akhir-akhir ini visi tersebut tidak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slo-gan tentang visi ini tetap terdengar. (Ibid.196-197) Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasi-kan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat le-gitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun disisi lain media juga bisa men-jadi alat resistensi terhadap kekuasan. (So-bur,2006:30) .Dalam penelitian ini, yang hen-dak diangkat adalah seputar kisruh di balik skandal wisma atlet yang mencemari nama baik partai democrat meski sejumlah pihak meng-kaitkan dengan scenario pemilu 2014. Reali-tas media yang ditampilkan dalam kasus yang menjerat sejumlah petinggi partai Demokrat sangat menarik untuk dikupas, khususnya menggunakan analisis framing.

1,1 Fokus Masalah

Dalam penelitian deskriptif kualita-tif ini masalah dibatasi dengan mengetahui bagaimana pemberitaan seputar penangkapan eks bendahara Partai Demokrat dan kisruh di balik pembangunan wisma Atlet yang melibat-kan sejumlah petinggi partai Demokrat. pada Surat Kabar Media Indonesia. Penulis akan menganalisis wacana pada berita yang dimuat pada Surat Kabar Media Indonesia dengan analisis framing Pan Kosjiki.

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan kronologi pemberitaan yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan ma-salah dari penelitian ini adalah : a.“Bagaimana Surat Kabar Media Indonesia mengkonstruksikan berita-berita seputar kasus

wisma atlet yang melibatkan petinggi-petinggi Partai Demokrat?”b.“Bagaimana framing media dibalik pemberi-taan kasus tersebut dikaitkan dengan citra par-tai demokrat , karena Media Indonesia sebagai media yang dimiliki Suryo Palloh yang memi-liki ideology sendiri.

1.3 Tujuan PenelitianTujuan yang ingin penulis capai dari penelitian ini adalah untuk :a. Mengetahui bagaimana Surat Kabar Me-dia Indonesia mengkonstruksikan pemberi-taan bagaimana Surat Kabar Media Indonesia mengkonstruksikan berita-berita seputar kasus wisma atlet yang melibatkan petinggi-petinggi Partai Demokrat?”

1.4 Manfaat Penelitiana. Manfaat TeoritisAdapun manfaat teoritis dari penelitian deskrip-tif kualitatif ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengaplikasian teori jur-nalistik mengenai framing dan pembingkaian serta kosntruksi realitas sosial secara umum diintergrasikan pada perubahan sosial..

b. Manfaat PraktisSedangkan manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan, umumnya bagi Surat Kabar Media Indonesia dalam setiap pemberitaannya.

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Konstruksi RealitasSetiap media massa memiliki karakter dan latar belakang tersendiri, baik dalam isi dan penge-masan beritanya, maupun tampilan serta tu-juan dasarnya. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh kepentingan yang berbeda dari masing-masing media massa. Baik yang bermotif poli-tik, ekonomi, agama dan sebagainya. Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Realitas dalam

71

Page 76: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

berita dibangun oleh adanya sejumlah fakta. Fakta dari suatu realitas itupun tidak selalu statis, melainkan memiliki dinamika yang mungkin berubah seiring dengan perubahan peristiwa itu sendiri. Dalam penjelasan ontolo-gi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun kebenaran suatu realitas bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dini-lai relevan oleh pelaku sosial.(Bungin,2008:11) Istilah konstruksi realitas menjadi terke-nal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge. Dimana buku tersebut mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana in-dividu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara sub-jektif.(Ibid.13) Konstruksi sosial dalam masyarakat tak bisa terlepas dari kekuatan ekonomi dan peruba-han sosial yang terjadi pada masyarakat terse-but. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan media terhadap pemirsa atau hegemoni massa. Kekuatan hegemoni adalah kekuatan kapitalis yang menguasai individu melalui pen-guasaan intelektual dan massal. Media diman-faatkan kelompok elit dominan, sehingga pe-nyajian berita tidak lagi mencerminkan refleksi dari realitas sosial. Kedudukan media ataupun peneliti ti-dak independen, namun dikuasai oleh banyak kepentingan kelompok elit dominan sebagai ha-sil penelitian. Media menampilkan cara-cara dalam memandang suatu realitas, karena media dikua-sai oleh unsur kepentingan ideologi kelompok dominan yang berkuasa, yang pada akhirnya hasil pemberitaan atas kenyataan atau realitas sosial bisa dimanipulasi. Dimana media men-guasai individu melalui penciptaan kesadaran palsu, yaitu kesadaran yang diciptakan oleh media karena masyarakat mengkonsumsi berita atau informasi yang ditampilkan.

Dengan masuknya unsur kapital, media massa mau tidak mau harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan (revenue) baik dari penjualan maupun iklan. Pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristi-wa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruk-si realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. (Sobur,2006:88) Berger dan Luckmann memulai penjela-san realitas sosial dengan memisahkan pemaha-man “kenyataan” dan “pengetahuan”. Men-gartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung ke-pada kehendak kita sendiri. Sementara, penge-tahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki kharakteristik secara spesifik.(Sobur, 2006:91). Dalam proses konstruksi realitas, baha-sa adalah unsur utama. Ia merupakan instru-men pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Ke-beradaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat se-mata untuk menggambarkan realitas, melain-kan bisa menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas – realitas media – yang akan muncul dibenak khalayak. Lewat konteks pemberitaan, pembaca dapat menyadari bahwa wartawan kadang menghidangkan “madu” dalam menu beritan-ya, kadang pula dalam berita yang lain menu-angkan “racun. Oleh karena itu media massa harus memahami dan memaknai realitas yang ditonjolkan dalam pemberitaan. Dengan pe-nonjolan atau penekanan realitas tersebut ma-syarakat dapat dengan mudah mengingat dan mengerti.

2.2 Media dan Berita dilihat dari Paradig-ma Konstruktivis Mills mengajukan pandangan yang pesimistik tentang media dalam bukunya The

72

Page 77: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK Yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

Power Elite dan memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu” (pseudo world), yang menyajikan realitas eksternal dan pen-galaman internal serta penghancuran privasi dengan cara menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang masuk akal dan tidak terburu-buru serta manusiawi. Karena media memainkan peran penting dalam menjalankan kekuasaan, media membantu menciptakan salah satu problem besar dalam masyarakat kontem-porer, yakni pembangkangan atas kekuasaan oleh masyarakat.(Hard,2007:211-212). Berita dipandang bukanlah sesuatu yang netral dan menjadi ruang publik dari ber-bagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Sebaliknya media adalah ruang dimana kelompok dominan menyebarkan pen-garuhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan.(Eriyanto,2002:23). realitas. Wartawan bukanlah robot yang meli-put apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpi-hakan pada suatu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi reali-tas.Khalayak menjadi subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dibaca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan ter-dapat dalam pesan atau berita yang dibaca oleh pembaca. Karenanya, setiap orang bisa mempu-nyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama.(Eriyanto,2002:19-36). Di sini penulis akan meneliti media dan berita dari paradigma konstruktivis dimana posisi Media Indonesia dimiliki oleh kelompok yang dominan dan dapat memajukan kelompok lain. Posisi nilai dan ideologi wartawan me-dia yang tidak terpisahkan dari mulai proses peliputan hingga pelaporan. Lalu hasilnya itu mencerminkan ideologi wartawan dan kepent-ingan sosial, ekonomi, dan politik tertentu.

2.3 Wacana dan Ideologi media massa

Indonesia, sebagai salah satu bangsa di dunia, tentu tak lepas dari terpaan globalisasi yang berhembus dari dan ke seluruh penjuru dunia. Terpaan tersebut mencakup dalam pem-bentukan wacana dalam media massa. Pemben-tukan wacana merupakan media perjumpaan sekaligus konsentrasi antara pihak yang domi-nan dan pihak yang resisten. Pihak dominan membangun wacana dan hegemonik. Michael Faucoult (2000) mengemuka-kan bahwa setiap pembentukan wacana pada dasarnya merupakan sebentuk pemberlakuan kekuasaan. Tanpa disadari gagasan dan konsep yang digulirkan mengandung kuasa. Maksudnya, gagasan tersebut menjadi kekuatan yang dapat menaklukkan kesadaran orang untuk mengikuti gagasan dan konsep tersebut. Sehingga wacana mampu mengontrol, mengarahkan dan meminta seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang diinginkan. Wacana secara ideologi dapat menggusur gagasan orang atau kelompok tertentu. Karena yang dihadapi adalah teks sebagai sarana seka-ligus media melalui mana satu kelompok men-gunggulkan diri sendiri dan memarjinalkan kelompok lain. Eriyanto menempatkan ideologi seb-agai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya karena teks percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi adalah sebuah rekayasa men-tal. Ideologi itu terjadi disebabkan kekuatan yang membentuk ideologi itu memerlukannya untuk dapat mempertahankan posisi dan kekua-tannya. Menurut Magnis Suseno, ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa sehingga orang menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi. (So-bur,2004:243). Media berperan mendefinisikan

73

Page 78: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Dimana fungsi per-tama dalam ideologi di media adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media ber-fungsi menjaga nilai-nilai kelompok dan men-gontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu di-jalankan. Alex sobur mengatakan istilah ideologi memang mempunyai dua pengertian yang ber-tolak belakang. Secara positif, ideologi dipersep-si sebagai suatu pandangan dunia yang men-gatakan yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai kesadaran palsu yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan untuk memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial.

2.4 Hakikat Framing Framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa sehingga dihasilkan sebuah wacana. Pada mu-lanya analisis framing dipakai untuk mema-hami bagaimana anggota-anggota masyarakat mengorganisasikan pengalamannya sewaktu melakukan interaksi sosial. (Poloma, dalam Er-ving Goffman, 1974,247-248) Dalam sebuah wacana selalu ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan di-hilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita yang mempunyai makana sesuai frame yang dipilih. Dalam konteks ini relevan dibicarakan proses-proses framing media massa. Dimana dalam penyajian suatu berita atau realitas di-mana kebenaran tentang suatu realitas tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan ter-hdap aspek-aspek tertentu saja, dengan mengu-nakan istilah-istilah yang punya konotasi ter-tentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan ilustrasi lainya. Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal dari ilmu Komunikasi, melain-kan konsep yang dipinjam dari ilmu Kognitif.

Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Me-dia, menjelaskan dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta.(Sobur, 2001, 162). Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercay-aan yang mengorganisir pandangan politik, ke-bijakan dan wacana, dan menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas.(Sudibyo,2002,219). Framing merupakan strategi pembentu-kan dan operasionalisasi wacana media, karena media massa pada dasarnya adalah wahana dis-kusi atau koservasi tentang suatu masalah yang melibatkan dan mempertemukan tiga pihak, yakni wartawan, sumber berita dan khalayak. Konsep framing dalam studi media ban-yak mendapat pengaruh dari lapangan psikolo-gi dan sosiologi.(Eriyanto, 2001,71). Eriyanto selanjutnya menjabarkan mengenai kedua hal yang mempengaruhi tersebut: Pertama soal Dimensi Psikologis. Framing sangat berhubungan dengan dimensi psikologi. Framing adalah upaya atau strategi yang dilakukan wartawan untuk menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna, lebih mencolok, dan diperhatikan oleh publik. Upaya membuat pesan (dalam hal ini teks berita) lebih menonjol dan mencolok ini, pada taraf paling awal tidak dapat dilepaskan dari aspek psikolo-gis. Secara psikologis, orang cenderung menyederhanakan realitas dan dunia yang kompleks itu bukan hanya agar lebih sederha-na dan dapat dipahami, tetapi juga agar lebih mempunyai perspektif/dimensi tertentu. Orang cenderung melihat dunia ini dalam perspektif tertentu, pesan atau realitas juga cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Kare-nanya, realitas yang sama bisa digambarkan se-cara berbeda oleh orang yang berbeda, karena orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda pula (Eriyanto,2001,79-80). Kedua soal Dimensi Sosiologis. Se-

74

Page 79: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK Yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

lain psikologi, konsep framing juga banyak mendapat pengaruh dari lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama dapat ditarik dari Alfred Schutz, Erving Goffman hingga Peter L. Berger. Pada level sosiologis, frame dilihat teru-tama untuk menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan pembuat nerita memben-tuk secara bersama-sama. Ini menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks yang menyertakan di dalamnya praktik professional. Pendekatan semacam ini membedakan pekerja media sebagai individu sebagai mana dalam pendekatan psikologis. Melihat berita dan me-dia seperti ini, berarti menempatkan berita seb-agai institusi sosial. Berita ditempatkan, dicari, dan disebarkan lewat praktik professional dalam organisasi. Karenanya, hasil dari suatu proses berita adalah produk dari proses institusional. Praktik ini menyertakan hubungan dengan institusi dimana berita itu dilaporkan. Berita adalah produk dari institusi social, dan melekat dalam hubungannya dengan institusi lainnya. Berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian analisis framing dengan meminjam model kerangka framing Pan dan Kosicki. Mod-el ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang di-hubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, kutipan sumber, latar informasi, pe-makaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peris-tiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks.

2.5 Framing Pan dan Kosicki Dalam pendekatan ini perangkat fram-

ing dibagi menjadi empat struktur besar. Per-tama, struktur sintaksis, Kedua, struktur skrip, Ketiga, struktur tematik; dan Keempat, struk-tur retoris. (Sobur, 2001,176) Struktur sintaksis bisa diamati dari bagan berita. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa dan pernyataan. Opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan kisah berita. Dengan demikian, struktur sintaksis ini bisa diamati dari bagan berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang dikutip; dan sebagainya). Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa. Struktur tematik berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam preposisi, kalimat, atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara kes-eluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih kecil. Struktur retoris berhubungan den-gan cara wartawan menekankan arti tertentu. Dengan kata lain, struktur retoris melihat pe-makaian pilihan kata, idiom, grafik, gambar, yang juga dipakai guna memberi penekanan pada arti tertentu.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah metode penelitian kualitaif.Menurut Sugiyono (2005 : 1) metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan un-tuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, tehnik pengumpulan data dilakukan secara tringgulasi (gabungan), analisis bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

75

Page 80: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

3.2. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri “peneliti pada penelitian kuali-tatif bekerja sebagai perencana, pelaksana pen-gumpulan data, analisis, penafsir dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian “ (Moleong, 2000 :121)3.3 Paradigma PenelitianParadigma didefinisikan Guba sebagai ”..........a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles ......a world view that defines, for its holder, the nature of the world” .....”, (dalam Denzin dan Lincoln, 1994:107). Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dalam melihat bagaimana media meng-konstruksi dan menggambarkan kisruh dibalik wisma Atlit yang melibatkan petinggi Partai Demokrat.

3.4. Jenis Penelitian Dalam melihat konstruksi media menge-nai citra partai democrat terkait kisruh wisna atlet peneliti menggunakan pendekatan pene-litian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memahami realitas yang diteliti dengan pendekatan menyeluruh, tidak melakukan pengukuran pada realitas. Secara umum, makna pendekatan pene-litian adalah cara pandang peneliti dalam melihat permasalahan penelitian . Menurut Denzin dan Lincoln (1994:4), istilah kualitatif menunjuk pada suatu penekanan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas ataupun frekuensi. Penelitian kualitatif memberi penekan-an pada sifat bentukan sosial realitas, hubungan akrab antara peneliti dan objek yang diteliti, dan kendala-kendala situasional yang menyertai penelitian. Penelitian kualitatif mencari jawa-ban atas pertanyaan yang menekankan pada bagaimana pengalaman sosial dibentuk. Suatu penelitian kualitatif dilandasi oleh beberapa

asumsi dasar tentang realitas sosial, hubungan peneliti dengan realitas sosial dan cara peneliti mengungkap realitas sosial tersebut.Peneliti kualitatif dapat mengungkap kebenaran ten-tang realitas sosial yaitu dengan menangkap pandangan subjektif dari orang yang diteliti. Oleh karenanya, dalam penelitian kualitatif hubungan antara peneliti dengan ob-jek yang diteliti adalah hubungan yang setara (Subjek-Subjek).

3.5. Pemilihan Media Media yang dipilih dalam penelitian ini adalah Media Indonesia online. Pemilihan me-dia ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa media tersebut memiliki latar belakang visi dan misi serta ideologi yang berbeda dengan partai demokrat sehingga menarik untuk diteliti.

3.6. Teknik Analisis Data Dalam pendekatan ini, perangkat fram-ing (Eriyanto,2002,176) dibagi menjadi empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis, Kedua, struktur skrip, Ketiga, struktur tema-tik; dan Keempat, struktur retoris. Struktur sintaksis bisa diamati dari bagan berita. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa dan pernyataan. Opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan kisah berita. Dengan demikian, struktur sintaksis ini bisa diamati dari bagan berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang dikutip; dan sebagainya). Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa.Struktur tematik berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam preposisi, kalimat, atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini akan meli-hat bagaimana pemahaman itu diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih kecil.

76

Page 81: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK Yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

Struktur retoris berhubungan den-gan cara wartawan menekankan arti tertentu. Dengan kata lain, struktur retoris melihat pe-makaian pilihan kata, idiom, grafik, gambar, yang juga dipakai guna memberi penekanan pada arti tertentu. Sintaksis. Dalam pengertian umum; sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita – headline, lead, latar informasi, sumber, penutup dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Bagian itu tersusun dalam bentuk yang tetap dan teratur sehingga membentuk skema yang menjadi pedoman bagaimana fakta hendak disusun. Bentuk sintaksis yang paling popular adalah struktur piramida terbalik yang dimulai dengan judul headline, lead, episode, latar, dan penutup. Dalam bentuk piramida terbalik ini, bagian yang atas ditampilkan lebih penting dibandingkan dengan bagian bawahn-ya. Elemen sintaksis memberi petunjuk yang berguna tentang bagaimana wartawan memaknai peristiwa dan hendak kemana berita tersebut akan dibawa. Headline merupakan aspek sintaksis dari wacana berita dengan tingkat kemenonjo-lan yang tinggi yang menunjukkan kecender-ungan berita. Skrip. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5 W+1 H (who, what, when, where, dan how). Meskipun pola ini tidak sela-lu dapat dijumpai dalam setiap berita yang dit-ampilkan, kategori informasi ini yang diharap-kan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda framing yang penting. Skrip adalah salah satu dari strate-gi wartawan dalam mengkonstruksi berita: bagaimana suatu peristiwa dipahami melalui cara tertentu dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Tematik. Struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkapkan atau dibuat oleh wartawan. Di sini, berarti struktur

tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis oleh seorang wartawan. Ada beber-apa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik, antara lain : Detail. Elemen wacana detail berhubun-gan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator). Hal yang mengun-tungkan komunikator/pembuat teks akan diu-raikan secara detail dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan detail infor-masinya akan dikurangi. Maksud. Elemen maksud melihat infor-masi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, yakni me-nyajikan informasi dengan kata-kata yang tegas dan menunjuk langsung kepada fakta. Seba-liknya informasi yang merugikan akan diurai-kan secara tersamar, implisit dan tersembunyi dengan menyajikan informasi yang memakai kata tersamar, eufemistik dan berbelit-belit. Nominalisasi. Elemen nominalisasi ber-hubungan dengan pertanyaan apakah komuni-kator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal (berdiri sendiri) ataukah sebagai suatu kelompok (komunitas). Nominalisasi dapat memberi kepada khalayak adanya generalisasi. Koherensi: pertalian atau jalinan antar kata, preposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau preposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggu-nakan koherensi, sehingga fakta yang tidak ber-hubungan sekalipun dapat menjadi berhubun-gan ketika seseorang menghubungkannya. Bentuk Kalimat. Bentuk kalimat me-nentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur ak-tif, seseorang menjadi subjek dari pernyataan-nya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Termasuk ke dalam bagian bentuk kalimat ini adalah apakah berita itu memakai bentuk deduktif atau in-duktif. Dalam bentuk kalimat deduktif, aspek kemenonjolan lebih kentara, sementara dalam bentuk induktif inti dari kalimat ditempatkan tersamar atau tersembunyi.

77

Page 82: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

Kata ganti. Elemen kata ganti meru-pakan elemen untuk memanipulasi bahasa den-gan menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana. Retoris. Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekank-an arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perangkat retoris un-tuk membuat citra, meningkatkan kemenonjo-lan pada sisi tertentu dan meningkatkan gam-baran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu ke-benaran. Ada beberapa elemen struktur retoris yang dipakai oleh wartawan. Yang paling pent-ing adalah leksikon, pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau meng-gambarkan peristiwa. Leksikon, pemilihan dan pemakaian kata yang dipakai tersebut tidak dipakai semata-mata hanya karena kebetu-lan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fak-ta/realitas. Selain lewat kata, penekanan pesan dalam berita juga dapat dilakukan dengan menggunakan unsur grafis. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Elemen grafik memberikan efek kognitif, ia mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukkan apakah suatu infor-masi itu dianggap penting dan menarik sehing-ga harus dipusatkan/difokuskan. Elemen struktur retoris lainnya adalah pengandaian. Elemen wacana pengandaian merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Pengandaian adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenara-nnya. Pengandaian hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya dan karenanya ti-

dak perlu dipertanyakan. Dalam menyampaikan wacana, wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan dan metafora yang dimaksudkan sebagai orna-ment atau bumbu dari suatu berita. Pemakaian metafora tertentu juga bisa menjadi petun-juk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora itu menjadi landasan berpikir, alasan pembenar atau bahkan bahan yang ditekankan kepada publik, karenanya metafora merupakan salah satu elemen dalam struktur retoris.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1. Deskripsi Objek Penelitian :Media Indo-nesia Media Indonesia pertama kali diterbit-kan pada tanggal 19 January 1970. Sebagai surat kabar umum pada masa itu, Media Indo-nesia baru bisa terbit 4 halaman dengan tiras yang amat terbatas. Berkantor di Jl. MT. Hary-ono, Jakarta, disitulah sejarah panjang Media Indonesia berawal. Lembaga yang menerbitkan Media Indonesia adalah Yayasan Warta Indone-sia. Tahun 1976, surat kabar ini kemudian berkembang menjadi 8 halaman. Sementara itu perkembangan regulasi di bidang pers dan penerbitan terjadi. Salah satunya adalah pe-rubahan SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SI-UPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Kare-na perubahan ini penerbitan dihadapkan pada realitas bahwa pers tidak semata menanggung beban idealnya tapi juga harus tumbuh sebagai badan usaha. Dengan kesadaran untuk terus maju, pada tahun 1988 Teuku Yousli Syah selaku pendiri Media Indonesia bergandeng tangan dengan Surya Paloh, mantan pimpinan surat kabar Prioritas. Dengan kerjasama ini, dua kekuatan bersatu : kekuatan pengalaman ber-gandeng dengan kekuatan modal dan sema ngat. Maka pada tahun tersebut lahirlah Me-dia Indonesia dengan manajemen baru dibawah

78

Page 83: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK Yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

PT. Citra Media Nusa Purnama. Surya Paloh sebagai Direktur Utama se-dangkan Teuku Yousli Syah sebagai Pemimpin Umum, danPemimpin Perusahaan dipegang oleh Lestary Luhur. Sementara itu, markas u saha dan redaksi dipindahkan ke Jl. Gondandia Lama No. 46 Jakarta. Awal tahun 1995, bertepatan dengan usianya ke 25 Media Indonesia menempati kan-tor barunya di Komplek Delta Kedoya, Jl. Pilar Mas Raya Kav.A-D, Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Di gedung baru ini semua kegiatan di bawah satu atap, Redaksi, Usaha, Percetakan, Pusat Dokumentasi, Perpustakaan, Iklan, Sirkulasi dan Distribusi serta fasilitas penun-jang karyawan. Tahun 1997, Djafar H. Assegaff yang baru menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Be-sar di Vietnam dan sebagai wartawan yang per-nah memimpin beberapa harian dan majalah, serta menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum LKBN Antara, oleh Surya Paloh dipercayai un-tuk memimpin harian Media Indonesia sebagai Pemimpin Redaksi. Saat ini Djafar H. Assegaff dipercaya sebagai Corporate Advisor. Para pimpinan Media Indonesia saat ini adalah : Direktur Utama dijabat oleh Les-tari Moerdijat, Direktur Pemberitaan dijabat olehUsman Kansong dan di bidang usaha dip-impin oleh Alexander Stefanus selaku Direktur Pengembangan Bisnis.

4.2. Hasil Penelitian

Dari sejumlah berita yang dianalisis peneliti mendapatkan temuan sebagai berikut:

Kamis, 10 2011 16:45 WIBKasus Proyek Wisma AtletNazaruddin: Anas KoruptornyaPenulis : Amahl S Azwar (MI/M Irfan/rj) JAKARTA--MICOM: Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kembali menyerang bekas koleganya, Ketua Umum Partai De-

mokrat Anas Urbaningrum. Ia menyebut Anas sebagai koruptor sekaligus otak dalam kasus suap wisma atlet. “Memang Anas (Urbaningrum) korup-tornya,” ujar Nazaruddin yang didampingi kuasa hukumnya, Elza Syarief, usai penyera-han fisik dirinya sebagai tersangka kasus wisma atlet ke penuntutan oleh penyidik Komisi Pem-berantasan Korupsi, Kamis (10/11). Nazaruddin sebelumnya mendatangi KPK sekitar pukul 13:15 WIB untuk menan-datangani dokumen pelimpahan berkas ke penuntutan. Menurut mantan anggota DPR itu, Anas merupakan pihak yang layak menjadi tersangka baru di kasus suap wisma atlet. Saat ditanya mengenai dugaan aliran dana dari proyek wisma atlet ke partai-partai politik, Nazaruddin kembali melempar ‘bola panas’ ke Anas Urbaningrum. Menurut dia, Anas merupakan pihak yang mengomandoi se-luruh pergerakan di kasus wisma atlet. “Tanyakan saja ke Pak Anas. Pak Anas yang tahu. Karena, itu semua dia yang memer-intahkan,” sambung dia. Meskipun demikian, Nazaruddin me-milih bungkam saat ditanya mengenai nama-nama politikus lain yang layak menjadi ter-sangka. Seperti diketahui, beberapa nama yang pernah dipanggil KPK sebagai saksi untuk ka-sus wisma atlet adalah anggota DPR I Wayan Koster (Fraksi PDI-Perjuangan) dan Angelina Sondakh (Partai Demokrat). Nazaruddin tidak berkomentar mengenai bekas rekannya di parle-men itu. “Tanyakan saja ke KPK,” tukasnya se-belum memasuki mobil tahanan. (SZ/OL-10)

79

Page 84: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

Analisis Berita 1.Judul: NAZARUDDIN : ANAS KORUPTORNYA

struktur perangkat framing

unit yang dia-mati

bukti dalam teks

sintak-sis

Skemaberita Headline Nazaruddin: Anas Koruptornya

Lead ”Mantan bendahara Umum Partai Demokrat Muhamad Nazaruddin kembali menyerang bekas koleganya, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Ia menyebut Anas sebagai koruptor sekaligus otak dalam kasus suap wisma Alet”

Latar Informasi Ada keterkaitan erat Anas dalam kasus korupsi wisma AtlitPengutipan nara-

sumberYang dikutip oleh media ini adalah Mantan bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin

Penutup Penutup yang dipakai adalah penutup yang menggantung: ”Tan-yakan saja ke KPK,” tukasnya sebelum memasuki mobil tahanan

Skrip Kelengkapan berita

who

What

Where

why

How

Nazaruddin

Menyebut Anas Urbaningrum Koruptor dalam kasusWis-ma Atlit

di gedung KPK Jakarta

karena Anas merupakan pihak yang mengomandoi seluruh pergerakan dari kasus wisma Atlit

Media menyebut Nazaruddin seolah hanya melempar bola panas, yang coba dikaitkan dengan petingi Partai Demokrat

Tematik Detail Elemen wacana detail berhubun-gan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang (komu-nikator)

meski melempar bola panas, Media mengambarkan Nazaruddin tak mau menyebutkan informasi terkait dengan dugaan pelaku suap di tubuh Partai Demokrat secara langsung. Bahkan dia meminta pers agar langsung menanyakan hal tersebut kepada Anas

(paragraf kelima dari atas)

maksud kalimat

Maksud dari kalimat itu adalah ada keterkaitan kasus wisma Atlit dengan petinggi Partai Demokrat khususnya Anas Urbaningrum mengingat posisi Anas sebagai ketua, adalah menjadi komandan

Nominalisasi Elemen nomina lisasi berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal (berdiri sendiri) ataukah se bagai suatu kelom-pok (komunitas).

Ketua Umum Partai Demokrat

koherensi saat ditanya......(paragraf 4 dari atas)meskipun demikian...(paragraf 6 dari atas)seperti diketahui....(paragraf 7 )

Bentuk kalimat

kalimat aktif....menyerang..(paragraf 1)....mendatangi KPK (paragraf 3)....kembali melempar (paragraf 4 )....memilih bungkam (paragraf 6)

Kalimat Pasif....saat ditanya (paragraf 4)....seperti diketahui (paragraf 7)

80

Page 85: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK Yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

Retoris Grafis gambar/foto diperkuat dengan foto Nazaruddin yang tengah berbicara dengan mata serta raut wajah bersemangat

Metafor kata-kata ungkapan sebagai otak...(paragraf 1)melempar bola panas...

Framing berita 2:Kamis, 10 2011 17:00 WIB

Kasus Proyek Wisma AtletNazaruddin Serang Anas, Ketua KPK No CommentPenulis : Amahl S Azwar JAKARTA--MICOM: Ketua Komisi Pember-antasan Korupsi Busyro Muqoddas memilih untuk tidak berkomentar alias no comment saat dimintai tanggapan tentang tuduhan terakhir tersangka kasus wisma atlet Muhammad Naza-ruddin. Sebelumnya diberitakan, mantan ben-dahara umum Partai Demokrat itu menyebut Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urban-ingrum patut menjadi tersangka sebelumnya pada kasus suap tersebut. “Saya no comment saja,” ujar Busyro, dalam pesan singkat yang diterima Media In-donesia, Kamis (10/11). Nazaruddin sebelumnya menuding Anas sebagai sebagai koruptor sekaligus otak dalam kasus suap terhadap Sekretaris Kement-erian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora). Hal ini diutarakan Nazaruddin setelah penyerahan fisik dirinya sebagai tersangka kasus wisma at-let ke penuntutan oleh penyidik KPK, Kamis (10/11) hari ini. Di sela-sela peluncuran bukunya di ge-dung Komisi Yudisial, Selasa (8/11), Busyro mengatakan lembaga pemburu koruptor itu membuka kemungkinan adanya tersangka baru di dalam kasus suap wisma atlet.

Saat didesak, mantan ketua Komisi Yudisial itu mengatakan tersangka berikutnya berasal dari kalangan kader partai politik. Seperti diketahui, beberapa nama yang pernah dipanggil KPK sebagai saksi untuk ka-sus wisma atlet adalah anggota DPR I Wayan Koster (fraksi PDI-Perjuangan) dan Angelina Sondakh (Partai Demokrat). KPK juga pernah memanggil politikus Demokrat, Andi Malla-rangeng yang juga Menteri Pemuda dan Olah-raga.

Meskipun demikian, Busyro pada Selasa (8/11) mengatakan belum tentu nama-nama yang per-nah dipanggil KPK bakal menjadi tersangka baru kasus wisma atlet. (SZ/OL-10)

81

Page 86: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

Struktur Perangkat Framing

Unit yang diamati Bukti dalam teks

SINTAKSIS SKEMABERITA

headline KASUS PROYEK WISMA ATLETNAZARUDDIN SERANG ANAS,KETUA KPK NO COMMENT

Lead Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas memilih untuk tidak berkomentar alias no Comment saat dimintai tanggapan tentang tuduhan terakhir tersangka kasus Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin.

Latar Informasi Sebelumnya Nazaruddin mengatakan bahwa Anas adalah koruptor dalam kasus wisma Atlet karena dia adalah sebagai ketua partai yang mengomandani semuanya

pengutipan narasumber

Mengutip Ketua KPK Busyro Muqoddas meski yang bersangkutan tidak berkomentar alias no comment

Penutup ”Meskipun demikian, Busyro padaSelasa (8/11) mengatakan belum tentu nama-nama yang pernah dipanggil KPK bakal menjadi tersangka baru kasus Wisma Atlet”

SKRIP Kelengkapan berita

who

what

where

Whenwhy

How

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas

Tidak berkomentar atas tudingan Nazaruddin soal keterlibatan Anas dalam kasus korupsi Wisma Atlet

Di gedung Komisi Yudisial Jakarta

Kamis 10/11tak ada tanggapan

Dia memilih no comment, dalam pesan singkat yang diterima Media Indonesia, Kamis 10/11

Tematik Detail Tidak ada detail mengingat isu utama dari Media soal keterlibatan Anas tidak ditanggapi oleh ketua KPK

RETORIS Leksikon Idiom No commentTuduhan terakhirKoruptor sekaligus otak (paragraf 4)Tersangka baru (paragraf 8)

Metafor Sekaligus otak dalam kasus suap (paragraf 4)Pemburu koruptor (paragraf 5)

Framing berita : Media Indonesia membingkai pemberitaan meski Nazaruddin bernyanyi dan menyerang Anas

Urbaningrum Ketua KPK tidak berkomentar.

82

Page 87: jurnal ilmu komunikasi UMN

CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK Yoyoh Hereyah

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

4.3. Pembahasan Dari dua berita yang dianalisis menggunakan framing Pan Kosciki, jelas terlihat ada upaya menggiring opini bahwa seharusnya KPK juga menyentuh Anas Urbaningrum, karena secara logis sebagai ketua umum Partai Demokrat, tidak mungkin dia tidak mengetahui apa pun yang terjadi di partainya.

Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan Dari sisi sintaksis dan Skrip, terlihat jelas pemilihan narasumber, lead dan headline media Indonesia mengarah pada pencitraan negative terhadap Anas Urbaningrum sebagai ketua Umum Partai Demokrat Framing pertama, Media Indonesia membingkai persoalan tudingan Nazaruddin bahwa Anas terlibat dalam kasus korupsi Wis-ma Atlet, bahkan Anas adalah koruptor karena dialah pihak yang mengomandoi semua yang terlibat dalam proyek tersebut. Framing: Media Indonesia membingkai pemberitaan meski Nazaruddin bernyanyi dan menyerang Anas Urbaningrum Ketua KPK ti-dak berkomentar.

5.2 Saran

Penelitian ini bisa dikembangkan men-jadi lebih mendalam dengan menggunakan par-adigm kritis atau menggunakan Teknik Anali-sis Wacana Kritis, mengingat persoalan ada apa dibalik pemberitaan macam itu agak suit bila hanya dilihat dari analisis teks semata.

DAFTAR PUSTAKABerger, Peter & Thomas,1967 The Social Con-struction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge.NY, A Double Day Anchor BookBungin, Burhan,2008 Konstruksi Sosial Media Massa Realitas Sosial Media, Iklan Televisi & Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman , Prenada Media Chesney,Robert, (1998) Konglomerasi Media Massa dan ancaman terhadap Demokrasi:Aliansi Jurnalis Independen.Curran, James. (1997). Mass Media and De-mocracy: A Reappraisal. James Curran And Michael Gurevitch (ed), Mass Media and Society. Third Edition. London: ArnoldDenzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln, eds., 1994, Handbook of Qualitative Research, Thousand Oaks, CA: Sage Eriyanto, 2002, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Jakarta Hamad, Ibnu 2004,Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah studi Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-berita Politik, Jakarta:GranitHardt, Hanno, 2007, Myths for the Masses: An Essay on Mass Communication, Wiley-BlackwellHartley,John (1982) Understanding News, London & New York: Lexy J Moleong, 2000, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya. Bandung Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, BandungSobur, Alex, Analisis Teks MediaSugiyono. 2005, Memahami Penelitian Kuali-tatif. Bandung ; CV Alfabeta

83