216
Kebenaran yang Hilang xxii

[Farag fouda] kebenaran_yang_hilang_sisi_kelam_pr(book_fi.org)

Embed Size (px)

Citation preview

Kebenaran yang Hilang

xxii

Kebenaranyang Hilang

Sisi Kelam Praktik Politik danKekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim

Kebenaranyang Hilang

Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaandalam Sejarah Kaum Muslim

Farag Fouda

Departemen AgamaBadan Litbang dan Diklat

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta

Kebenaran yang Hilang

iv

KEBENARAN YANG HILANGSisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan

dalam Sejarah Kaum Muslim

Judul Asli: Al-Haqiqah al-GhaybahPengarang: Farag Fouda

Penerbit: Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, Aleksandria, MesirCetakan II, 2003

Penerjemah: NovriantoniPenyunting terjemahan: Kholid Dawam dan Saiful Bahri

Penyelaras Akhir: Rudy Harisyah Alam

Cetakan I, Desember 2007Diterbitkan oleh

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama JakartaBekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina

Alamat:Jalan Rawa Kuning No. 6 Pulo Gebang Cakung

Jakarta 13950Telp. (021) 4800725 Fax. (021) 4800712

Hak cipta dilindungi undang-undangAll rights reserved

Tata Letak: Abu MaulaKulit Muka: Ago

v

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

Kata Sambutan

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta

Drs. A. Malik MTT, M.Si

Dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi kepenelitian,salah satu kendala utama yang umumnya dihadapi oleh para penelitibidang kajian agama dan kemasyarakatan, baik para peneliti yangberada dalam lingkungan Departemen Agama maupun instansipenelitian pemerintah lainnya, adalah kendala akses terhadapinformasi mutakhir menyangkut perkembangan teori maupun hasil-hasil penelitian bidang kajian dimaksud. Kendala akses itu sendiridipengaruhi oleh setidaknya dua faktor yang saling terkait. Pertama,informasi mutakhir mengenai hasil perkembangan teori maupunhasil-hasil penelitian lapangan umumnya tersedia dalam sumber-sumber bacaan berbahasa asing. Kedua, kemampuan penguasaanbahasa para peneliti untuk mengakses berbagai informasi tersebutjuga masih belum memadai dan tidak merata.

Oleh karena itu, mulai tahun 2007, Balai Penelitian danPengembangan Agama Jakarta merintis suatu kegiatan baru dalamrangka program pengembangan kapasitas SDM peneliti, khususnyadi lingkungan Departemen Agama, yakni kegiatan penerjemahandan penerbitan buku-buku hasil terjemahan. Kegiatan inidimaksudkan untuk menjembatani antara kebutuhan peneliti akanberbagai informasi, baik berupa teori maupun data-data, danketerbatasan akses peneliti terhadap berbagai informasi dimaksud.

Buku Kebenaran yang Hilang karya Farag Fouda—yang diter-jemahkan dari buku asli berbahasa Arab berjudul al-Haqiqah al-

Kebenaran yang Hilang

vi

Ghaybah—ini adalah salah satu buah dari upaya tersebut di atas.Buku ini merupakan upaya menyingkap kembali sisi-sisi kelamdari praktik politik dan kekuasaan dalam sejarah kaum Muslim—sejak era Khulafa al-Rasyidin hingga memasuki era Umayyah danAbbasiyah—yang selama ini jarang terungkap ke khalayak luas,kendati fakta-fakta sejarah itu sesungguhnya telah terekam dalamkarya-karya sarjana Muslim klasik. Penulis buku ini menawarkansuatu sudut pandang atau cara pembacaan baru yang kritis terhadappengalaman praktik politik dan kekuasaan rezim-rezim kaumMuslim, yang selama ini dipandang sebagai zaman keemasan dankegemilangan sejarah kaum Muslim, yang oleh sebagian kaumMuslim dewasa ini dijadikan sebagai inspirasi dan tipe-ideal bagiupaya mewujudkan suatu model ‘negara-agama’ pada masa modern.

Kami berharap bahwa penerbitan buku ini dapat memberimanfaat dalam meningkatkan wawasan para peneliti khususnya,baik di lingkungan Departemen Agama maupun di lingkunganinstansi penelitian pemerintah lainnya, serta masyarakat Indonesiapada umumnya, menyangkut bidang kajian sejarah politik dankekuasaan kaum Muslim.

Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang turut membantu kesuskesanpenerbitan buku ini.

Jakarta, Desember 2007Kepala Balai Penelitian danPengembangan Agama Jakarta

Drs. A. Malik MTT, M.SiNIP 150210160

vii

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

Daftar Isi

Kata Sambutan—v

Kata Pengantar Edisi Terjemahan—ix

Mukadimah—1

Bab I:Kebenaran yang Hilang—5

Bab II:Pembacaan Baruterhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun—45

Bab III:Pembacaan Baruterhadap Sejarah Umayyah——91

Bab IV:Pembacaan Baruterhadap Sejarah Abbasiyah——117

Bab V:Penutup: Lalu Apa——177

Kebenaran yang Hilang

viii

ix

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

Faraj Faudah danJalan Menuju Toleransi

Samsu Rizal Panggabean

pakah kita harus mendengarkan Faraj Faudah? Lahir pada1945, ia adalah doktor di bidang ekonomi pertanian. Iajuga pernah berafiliasi dengan partai politik, seperti Partai

Wafd dan Partai Istiqlal. Tetapi, ia lebih dikenal sebagai pemikir,penggiat hak asasi manusia, dan komentator sosial. Mestinya, inisemua bukan kegiatan yang berbahaya. Namun, pada 8 Juni 1992,Faraj Faudah (juga sering ditulis Farag Fouda/Fuda, termasukdalam edisi terjemahan Indonesia ini) ditembak mati di Madinatal-Nasr, Kairo. Seorang anaknya dan beberapa orang lain terlukaparah dalam insiden yang sama. Ia dibunuh dua penyerang ber-topeng dari kelompok Jamaah Islamiyah (Gamaa Islamiyya). Me-ngapa?

Beberapa hari sebelum dibunuh, tanggal 3 Juni, sekelompokulama dari Universitas al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwaFaudah, berdasarkan pikiran dan tulisannya, telah menghujatagama dan karenanya keluar dari Islam. Ini berarti, ia adalahmusuh Islam dan halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berartiboleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama mener-

A

Kebenaran yang Hilang

x

bitkan daftar nama-nama orang yang memusuhi Islam dan Faudahberada di urutan pertama. Para pembunuhnya bertolak dari duadokumen ini.1

Boleh jadi, keputusan membunuh Faudah telah diambilbeberapa bulan sebelumnya. Pada bulan Januari 1992, berlang-sung debat hebat dalam rangka Pameran Buku Kairo. Ada duakubu yang berdebat. Yang satu terdiri dari Faudah dan MuhammadAhmad Khalafallah (lahir 1916), dan kubu yang lain terdiri dariMuhammad al-Ghazali (1917-1996), Ma’mun al-Hudaibi, danMuhammad Imara. Konon, 30.000 orang menghadiri debat yangsempat difilmkan tetapi tidak pernah ditayangkan ke publik.2 Dalamkonteks polarisasi ideologis di Mesir ketika itu, kubu pertama adalahsekularis, dan kubu kedua adalah Islamis. Yang diperdebatkanadalah hubungan antara agama dan politik, negara dan agama,penerapan syariat Islam, dan institusi khilafah.

Masalah-masalah yang diperdebatkan di atas, tentu saja, bukanmasalah baru. Jauh sebelumnya, sejak awal abad ke-20, topik-topiktersebut telah dibicarakan kalangan ulama dan cendekiawan Mesir.3

Akan tetapi, baru pada tahun 1980-an, dan berlangsung hinggaawal 1990-an, polemik kedua kubu mencapai puncaknya. Padamasa ini, gelombang besar Islamisme menerpa negara-negara TimurTengah termasuk Mesir. Dari gelombang ini, muncul berbagaikelompok radikal dan ganas yang belum tentu saling menyukaisatu sama lain. Mereka menyerang gereja Kristen Koptik, memalak

1 Ana Belén Soage, “Faraj Fawda, or the Cost of Freedom of Expression,”Middle East Review of International Affairs, Vol. 11, No. 2 (June 2007), hlm.30-31.

2 Lila Abu-Lughod, “Dramatic Reversals: Political Islam and EgyptianTelevision,” dalam Joel Beinin & Joe Stork (ed.), Political Islam. Essays fromMiddle East Report (London: I.B. Tauris, 1997), hlm. 269-282.

3 Samsu Rizal Panggabean, “Din, Dunya, dan Daulah,” Ensiklopedi TematisDunia Islam Jilid 6 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 45-81.

xi

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

bisnis mereka, meneror pejabat pemerintah yang, menurut mereka,lalim, dan menyerang wisatawan asing yang datang ke Mesir untukmengagumi berhala dan warisan Firaun. Salah satu di antarakelompok ganas ini adalah Jamaah Islamiyah pimpinan Syeikh UmarAbdurrahman, yang belakangan terkenal karena keterlibatannyadalam serangkaian serangan terorisme, termasuk di Amerika Serikat.

Di lain pihak, kaum sekularis yang sebelumnya tidak secarakonfrontatif mengomentari isu-isu yang sensitif bagi masyarakatluas, mulai tampil berani dalam debat publik dan polemik dimedia massa. Mereka dengan sungguh-sungguh dan konsistenmenentang tuntutan utama kalangan Islamis, seperti pemben-tukan negara Islam, penerapan syariat termasuk hukum kriminal( udūd) di Mesir, dan lain-lain. Faraj Faudah adalah yang palingberani dan lantang di antara para kritikus ini. Juru bicara lainadalah Muhammad Said al-Asymawi (lahir 1932), Salah Isa, Rifatal-Said, Mustafa al-Faki, Muhammad Hasanain Haikal, Usamaal-Baz. Tulisan-tulisan mereka dengan tajam mengupas kele-mahan-kelemahan dalam pandangan kaum Islamis.4

Selain itu, pada masa yang sama, tuntutan penerapan syariatIslam sudah menjadi wacana publik yang menjangkau masyarakatluas dan tak terbatas di lingkungan ulama. Karenanya, kontroversimengenai gagasan negara Islam atau penerapan syariat Islammemiliki efek yang lebih luas di masyarakat yang latar belakangnyaberbeda-beda. Para pembunuh Faudah adalah pemuda-pemudayang tidak lulus perguruan tinggi dan mereka mencari nafkahserabutan sebagai pekerja tidak trampil. Tentu saja, tingkat kese-jahteraan dan pendidikan yang rendah bukan rintangan berpar-

4 Alexander Flores, “Secularism, Integralism, and Political Islam: TheEgyptian Debate,” dalam Beinin & Stork (ed.) Political Islam. Essays fromMiddle East Report, hlm. 83-94; Moataz A. Fattah, Egypt’s IdeologicalPolarization: A Challenge to Liberal Democracy (Mesir: Center for PoliticalResearh & Studies, Desember 2005).

Kebenaran yang Hilang

xii

tisipasi dalam kegiatan keagamaan. Dalam partisipasi tersebut,pembagian tugas juga berlaku: Ulama mengeluarkan fatwa,pembunuh mengeksekusi korban berdasarkan fatwa tersebut. “Ya,kami membunuhnya,” kata Jamaah Islamiyah, “al-Azhar menetap-kan hukuman, kami mengeksekusi.”5

Pada gilirannya, ulama pun memainkan perannya. Al-Azhartidak mengutuk pembunuhan Faudah. Ma’mun al-Hudaibi,pemimpin Ikhwanul Muslimun, membenarkan pembunuhantersebut. Ketika menjadi saksi dalam kasus pengadilan pembunuhFaudah, Muhammad al-Ghazali mengatakan seorang muslim yangtelah murtad atau keluar dari agama Islam dapat dibunuh. Ketikaditanya siapa yang akan melaksanakan hukuman bunuh tersebut,maka jawabnya adalah pemerintah; tetapi, dapat dilakukan siapasaja jika pemerintah tidak bertindak. Al-Ghazali menambahkanbahwa di dalam Islam tidak ada hukuman bagi orang yang bertindakseperti itu.6 Pengadilan tidak sependapat: Pembunuh Faudahdijatuhi hukuman mati pada 1993 dan dieksekusi pada 1994.

Akan tetapi, peran ulama dalam mendukung dan membenar-kan pembunuhan Faudah tidak hanya membuktikan pembagiantugas tersebut. Hal yang sama juga menunjukkan betapa kejamnyaperang-saudara ideologis di Mesir ketika itu. Selain itu, pada akhirdasawarsa 1980-an, perang saudara sudah sampai ke ujung diskusi.Segala dalil dan penjelasan telah dikeluarkan kedua pihak. Takada lagi argumen baru. Yang terjadi adalah pengulangan-peng-ulangan argumen yang tak berdampak apa-apa bagi pihak-pihakyang terlibat kontroversi. Ketidakselarasan di antara kedua pihaksudah nyata, dan benturan yang lebih keras tidak lagi terjadi

5 Geneive Abdo, No God But God. Egypt and the Triumph of Islam (NewYork: Oxford University Press, 2000), hlm. 68.

6 Ibid.

xiii

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

pada tingkat debat dan diskusi intelektual, tetapi pada perebutankekuasaan dan pengaruh negara.7

Najib Mahfuz, pemenang Nobel kesusastraan pada 1988,masih mengajak pembacanya supaya menggunakan cara-cara damaidalam menangani dan menyelesaikan perang saudara tersebut.Bertukar pikiran dan berdialog adalah proses tanpa ujung. “Agresitidak dapat dibenarkan. Diskusi, bukan kekerasan, adalah caramenangani perbedaan pandangan,” katanya ketika mengomentaripembunuhan Faudah.8 Tetapi, Mahfuz sendiri, pada 14 Oktober1994, ditikam berkali-kali oleh orang-orang yang bermaksudmembunuhnya. Hanya berkat pertolongan Allah sastrawan besar,yang ketika itu berumur 82 tahun dan sakit-sakitan, dapat selamatdari serangan pengecut yang mengaku melaksanakan tugasnyaberdasarkan perintah Syeikh Umar Abdurrahman.

Demikianlah, kaum Islamis yang radikal hanyut terbawaamarah dan menggunakan jurus lain di luar persuasi dan aduargumen. Cara-cara tersebut termasuk melakukan sweeping buku-buku karya penulis sekuler, meminta penguasa supaya menarikbuku tertentu dari peredaran, melakukan intimidasi, danpembunuhan. Setelah kematiannya, di meja Faudah ditemukansetumpuk surat ancaman dari kelompok radikal dan ekstremis.Di bulan Juli 1990, ulama al-Azhar berhasil meminta supayabuku Faudah yang mengecam Syeikh al-Azhar ditarik dariperedaran. Lima buku al-Ashmawi, disita utusan al-Azhar dariPameran Buku Kairo setelah Presiden Mesir tak sudi memenuhituntutan mereka supaya buku-buku tersebut diberangus.9

7 A. Flores, “Secularism, Integralism, and Political Islam: The EgyptianDebate,” hlm. 93.

8 St. Sunardi, The Ecstasy of Creation. The Birth of Modern EgyptianSociety in Najib Mahfuz’ Trilogy (Yogyakarta: Program Magister Ilmu Religidan Budaya Universitas Sanata Dharma, tanpa tahun), hlm. 2.

9 Ibid.

Kebenaran yang Hilang

xiv

Pemerintah Presiden Husni Mubarak (berkuasa sejak 1981)juga terlibat perang saudara melawan kelompok garis keras danekstrem. Sesekali, pemerintah memenuhi tuntutan mereka supayabuku, film, atau acara televisi tertentu dihentikan. Tetapi, peme-rintah juga tak segan memakai kekerasan, dengan menggunakanaparat militer, polisi, dan pengadilan militer khusus. Bahkan,serupa kelompok ekstremis, aparat keamanan memiliki daftar namayang akan menjadi target operasi pembunuhan—bukan yang akanditangkap dan diadili sesuai hukum yang berlaku. AmnestiInternational dalam laporannya mengatakan bahwa aparatkeamanan Mesir tampak diberi izin membunuh tanpa perlu kuatirakan diadili.10

Faraj Faudah dan para pengkritik kaum Islamis lainnya harusdipuji karena tidak terperosok perbuatan nista serupa membunuhlawan diskusi dan memberangus karyanya. Tetapi, di antaramereka ada yang amat mahir menggunakan ironi dan satir dalammelancarkan kritik. Tujuannya memperkuat persuasi dan argumen.Tetapi, banyak pendengar dan pembacanya justru merasa ke-yakinan-keyakinan mereka dicemooh dan ditertawakan habis-habisan tanpa belas kasihan. Melalui satir dan ironi yang dipubli-kasikan kaum sekularis, kaum Islamis tidak hanya tampak bodoh,korup, dan tak bermoral, tetapi juga munafik.

Faudah ialah raja satir dan ironi. Dalam mengkritik pandangandan tafsiran kaum Islamis, ia tidak semata-mata mengungkapkanfakta sejarah yang menurutnya telah hilang dari memori mereka.Ia sering menggunakan fakta tersebut untuk menunjukkankeadaan yang bertolak-belakang dari yang dipahami lawandebatnya, dan melakukannya dengan selera humor yang tajam.Yang menarik, seperti tampak di buku ini, fakta-fakta tersebut

10 John Esposito, The Islamic Threat. Myth or Reality. Edisi ke-3 (NewYork: Oxford University Press, 1999), hlm. 99.

xv

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

dia ambil dari kitab-kitab klasik yang dihormati, yang sebenarnyatersimpan tak jauh dari jangkauan pihak-pihak yang ia kritik—sehingga semakin menambah bobot ironi.

Tentang pandangan yang menganggap periode salaf, yaknizaman para sahabat Nabi dan al-Khulafa’ al-Rasyidun, sebagaizaman keemasan yang dirindukan, Faudah menulis bahwa ituadalah zaman biasa. Tidak banyak yang gemilang dari masa itu.Malah, ada banyak jejak memalukan. Tiga dari empat al-Khulafa’yang katanya al-Rasyidun wafat karena pembunuhan politik yangterjadi di tengah polarisasi atau perang saudara di kalangan peng-ikut-pengikut Nabi yang, menurut riwayat, telah dijamin akanmasuk surga.

Khalifah ketiga dari empat khalifah al-Rasyidun, Usman binAffan, tewas dibunuh dan jenazahnya tidak diperlakukan denganhormat. Jasadnya baru dapat dimakamkan di hari ketiga setelahia wafat—sangat tidak lazim bagi umat Islam yang selalu mengantarjenazah ke pemakaman selekas mungkin. Ketika prosesi pema-kaman berlangsung, sebagian Muslim tidak mau menyembah-yangkannya. Bahkan, ada yang melempari, meludahi, dan mema-tahkan salah satu persendian mayat Usman. Akhirnya, ia tidakdiperkenankan dikuburkan di pemakaman Muslim, sehinggaharus dimakamkan di kuburan Yahudi. Para pembunuh Usman,sementara itu, bebas berkeliaran. Penggantinya, Ali bin AbiThalib, tak kuasa menahan apalagi menghukum mereka.

Pertanyaan kita, tulis Faudah, adalah, kemarahan apa yangberada di balik perilaku para Sahabat Nabi ini?

Mengapa mereka begitu dendam kesumat sekalipun hanyaterhadap mayat yang tidak berdaya? Mereka seakan-akan tidakmengindahkan kenyataan bahwa Usman termasuk jajaran orang-orang yang pertama masuk Islam. Mereka juga tidak memper-hatikan umurnya yang sudah 83 tahun. Mereka melupakan bahwaia adalah suami salah seorang putri Nabi. Mereka bahkan menolak

Kebenaran yang Hilang

xvi

menyalati dan menguburkannya di pekuburan umat Islam. Usmandiposisikan sebagai orang paling hina dan paling sial di antaraumat Islam.

Tentang anggapan mengenai keutamaan institusi khilafahsebagai unit politik umat Islam, yang melandasi keinginan mene-gakkan kembali kekhalifahan, Faudah mengedepankan fakta-faktayang dilupakan perspektif romantis terhadap khilafah. Ada banyakkhalifah, baik dari sejarah dinasti Umayah maupun Abbasiyah, yangbrengsek, brutal, dan biadab. Pendiri Dinasti Abbasiyah, yangdijuluki “Si Penjagal,” mengundang 90 anggota keluarga Umayahmakan malam dan menyiksa sebelum membunuh mereka. Kebiasa-an para khalifah yang buruk dan hedonis—seperti gemar minumminuman keras, main perempuan, dan berprilaku seksual menyim-pang, adalah beberapa contoh yang dikemukakan Faudah darisejarah panjang kekhalifahan.

Karena itu, kita mungkin bertanya-tanya, dan kita memangberhak bertanya: Mengapa orang-orang yang menuntut kem-balinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan, danmengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan darimasa lalu dan bahkan bagian darinya?

Tidak lupa ia juga menunjukkan contoh-contoh tentangpenindasan terhadap ulama, dan penggunaan ulama untukmembenarkan kekuasaan yang korup. Pada masa Yazid bin AbdulMalik, khalifah kesembilan dinasti Umayah yang gemar meng-umbar nafsu, puluhan ulama mengeluarkan fatwa yang menga-takan ia tidak akan diadili di hari kiamat dan tidak akan diazab.Sebagian ulama lain, seperti Hasan al-Bashri dan Washil bin Atha,takluk dikooptasi khalifah.

Di dalam fikih siyasah ada hadis yang mengatakan para imamdan khalifah haruslah mereka yang berasal dari suku Quraisy.Faudah menilai hadis ini tidak lebih dari justifikasi terhadapkekuasaan dinasti Umayah dan Abbasiyah. Terhadap ulama dan

xvii

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

para pendukung penegakan kembali khilafah, yang masih meneri-ma ajaran hadis ini sebagai syarat khalifah, Faudah menulis:

Karena itu, ada baiknya bila para pendukung konsep khilafahdi zaman modern ini menunjukkan kepada kita cara bagaimanamenentukan nasab kita. Siapa tahu kita adalah orang-orang Qu-raisy tanpa sengaja. Dengan modal itu, kita bisa pula berkecim-pung di dunia politik, mengincar kekuasaan, dan mencampakkanakal pikiran.

Bagi Faudah, khilafah dalam sejarahnya tak lebih dari sistemkekuasaan totaliter yang berselubung agama. Ia mempertanyakanlabel “Islam” khilafah dan berusaha menunjukkan bahwa yangsering tampak dari sejarah politik Islam justru hal-hal yangberlawanan dengan Islam. Karena ia memisahkan Islam daripraktik kekuasaan atas nama Islam, maka praktik khilafah dalamsejarah dapat dikritik, dicela, dan dibahas dengan menggunakantolok ukur ilmu politik, demokrasi, dan hak asasi manusia.

Faudah menulis buku yang, menurutnya, ingin dihindaribanyak orang.” Soalnya, “kebanyakan orang hanya ingin mende-ngarkan apa yang mereka sukai,” katanya di dalam mukadimahbuku.

Dan kemungkinan terburuk yang saya pikirkan dari parapembaca perbincangan seperti ini adalah kecenderungan untuklangsung a priori terhadap apa yang dikemukakan kepada merekaatau menganggapnya suatu tindakan kriminal. Yang lebih pahitlagi adalah, ketika anda mengemukakan persoalan seperti itu, andaakan menjumpai penolakan dengan tuduhan-tuduhan kafir danterlalu mengagung-agungkan penggunaan akal.

Faudah memang menganut prinsip pemisahan politik dariagama, antara negara dan Islam. Menurutnya, pemisahan ini perludilakukan demi kebaikan agama dan negara: Agama terhindardari manipulasi politisi, dan pemerintahan terlaksana tanpa bebanpartikularisme keagamaan. Selaras dengan ini, Faudah menentang

Kebenaran yang Hilang

xviii

penerapan syariat karena menurutnya penerapan syariat hanyaakan mengarah ke negara keagamaan (daulah diniyyah). Ia menen-tang segala bentuk kerahiban dan kekudusan dalam dunia politikkarena kehidupan politik didasarkan atas kepentingan dan keha-rusan sosial.

Ia juga mengecam prioritas beragama yang menekankan halyang remeh-temeh seperti jenggot, pakaian model Pakistan,menggunakan siwak, tatacara masuk kamar kecil, mencari tahudi mana Dajjal akan muncul. Pada saat yang sama, hal-hal yanglebih esensial dan mendalam tidak dipikirkan—tantangan abadke-21, menuntut ilmu pengetahuan, menegakkan keadilan, danmenyelesaikan berbagai masalah sosial dan ekonomi denganmenggunakan ijtihad.

Akan tetapi, apakah para pendukung khilafah akan berubahsetelah membaca bagian-bagian kelam sejarah khilafah sejak zamanal-Khulafa’ al-Rasyidun, Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah, dankhilafah-khilafah dinasti sesudahnya? Apakah para penganjur danpenuntut penerapan syariat akan menyurutkan langkah merekasetelah membaca paparan Faudah tentang ketidakmemadaian fikihbagi masyarakat moderen, dibandingkan, misalnya, dengan konsti-tusi Mesir yang lebih terbuka pada perubahan dan peningkatan?

Memberikan bukti-bukti sejarah dari sumber-sumber ke-sejarahan Islam adalah pendekatan yang tepat untuk menanggapimitos-mitos yang dikaitkan dengan institusi khilafah dan penerapansyariah. Bagi yang sepaham dengan Faudah dan dapat menerimametodenya, ini adalah bukti-bukti yang dapat menyanggah klaimkelompok Islamis. Akan tetapi, seperti tampak dari tragedipembunuhan Faudah dan pertarungan ideologis di Mesir padatahun 1980-an dan 1990-an, pendekatan ini tidak relevan karenabeberapa pertimbangan.

Pertama, bagian yang paling parah dari pertarungan sekularis-Islamis di Mesir—dan di banyak negeri Muslim lain—bukanlah

xix

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

konflik tentang data dan informasi historis dalam sejarah khilafah.Para penganjur pembentukan kembali khilafah boleh jadimengetahui fakta-fakta tersebut. Mereka juga dapat menyetujuibahwa ada banyak penyimpangan parah dalam sejarah khilafah,dan bahwa khalifah-khalifah yang terpuji, misalnya “DuaUmar”—Umar bin Khattab dari al-Khulafa’ al-Rasyidun danUmar bin Abdul Aziz dari masa Umayyah, adalah khalifah langka.

Karenanya, pemberian informasi dan data—seperti yangditunjukkan Faudah dalam buku-bukunya, tidak menyelesaikankonflik. Ini tidak berbeda jauh dari konflik antara orang yangmenentang pengguguran kandungan (pro-life) dan yang menye-tujuinya (pro-choice), yang terjadi di masyarakat Amerika Serikat,misalnya. Konflik mereka bukan soal data dan fakta tentangreproduksi atau perkembangan janin. Pengungkapan fakta dalamhal ini tidak efektif dan tidak pula relevan. Ini adalah konflikprinsip yang tidak selalu dapat diselesaikan. Paling-paling konfliktersebut hanyalah sebagai usaha menambah pengikut danpendukung bagi kubu-kubu yang tidak dapat dipertemukan.11

Oleh sebab itu, debat sekularisme dan Islamisme di Mesirsangat sulit diselesaikan secara konstruktif karena belum adakriteria atau prinsip yang disepakati bersama. Kedua pihak masihdipisahkan oleh jurang lebar dan debat atau kontroversi tidakmampu menjembatani jurang tersebut. Akibatnya, masing-masingpihak bertahan di, atau kembali ke, tempat yang mudah merekacapai dan mereka merasa enak di dalamnya, yaitu kubu ideologismasing-masing.

Akan tetapi, kenyataan di atas sebenarnya dapat menjadialasan kuat untuk mencari jalan baru, yaitu toleransi. Debatpublik, polemik di media massa, dan bahkan tindakan kekerasan

11 Lihat Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik SyariatIslam. Dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004).

Kebenaran yang Hilang

xx

seperti serangan teror dan pembunuhan yang dilakukan kalanganIslamis terhadap lawan-lawan mereka ternyata tidak dapat me-naklukkan penentang penerapan syariat Islam dan pembentukannegara Islam di Mesir. Begitu pula, bukti dan kebenaran sejarahyang ditunjukkan Faudah tidak dapat mengubah pendirian kaumIslamis. Malahan, hal itu telah memicu kemarahan milisi yangganas dari kalangan mereka—kemarahan yang terbukti tidakmenyelesaikan persoalan dan tidak pula dapat mengeliminasilawan-lawan mereka dari kelompok sekularis atau pejabat peme-rintah.

Jika pihak yang satu terbukti tidak dapat membinasakanpihak yang lain, hanya ada satu pilihan yang tersisa bagi keduakubu. Pilihan itu adalah hidup berdampingan secara damai.Negara Mesir dapat memfasilitasi hal ini dengan menciptakan,dan membela, perlindungan legal yang memungkinkan keduapihak, serta pihak-pihak lain yang dihadapkan kepada ketidak-selarasan kultural, sama-sama bertanggungjawab menghargaikeanekaragaman di masyarakat Mesir.

Faraj Faudah telah memberikan sumbangannya, melaluikaryanya dan juga kematiannya, kepada arti penting kemaje-mukan di masyarakat Mesir. Sebagai putra Mesir asli, dengankeberaniannya ia telah mengeritik apa yang menurutnya merupa-kan religiusitas yang keliru di masyarakatnya—termasuk di kalang-an ulama.12 Dalam kata-kata Michael Walzer, Faudah telah me-

12 “Syeikh al-Azhar harus banyak bersyukur kepada Allah karena tidakada yang menentangnya dan tidak ada yang menanyakan seberapa tepatpemahamannya mengenai agama—tentang agama yang agung yang tidakmengenal kerahiban, tidak menempatkan seseorang antara Tuhan dan hamba-hambanya, dan tidak memberi ruang bagi kelas ulama…. Wahai Syeikh al-Azhar, banyak-banyaklah bersyukur kepada Allah atas keterbelakangan umatIslam, karena hanya inilah yang membuatmu dapat melanjutkan pekerjaan!Tetapi, jangan coba-coba membayangkan bahwa ada orang yang memperke-nankanmu mengetuai mahkamah inkuisisi, untuk menuduh dan menindas,

xxi

Kata Pengantar Edisi Terjemahan

mengancam dan melarang.” A. Flores, “Secularism, Integralism, and PoliticalIslam: The Egyptian Debate,” hlm. 83.

13 Michael Walzer, The Company of Critics (New York: Basic Books, 2002),hlm. xiii.

nyentuh saraf moral masyarakatnya dan memaksa mereka melihatsesuatu yang ingin mereka hindari, yaitu kesalahan-kesalahan yangada semasa hidupnya.13 Itulah sebabnya kita perlu membaca FarajFaudah.***

1

Kebenaran yang Hilang

Mukadimah

Buku ini memuat perbincangan yang mungkin sekali ingindihindari banyak orang. Kebanyakan orang hanya inginmendengarkan apa yang mereka sukai. Secara kejiwaan,

manusia memang lebih condong untuk meminati aspek yangemosional dan merasa nyaman dengan kebenaran yang dianggapsudah mapan. Karena itu, sulit bagi banyak orang untuk menerimaversi kebenaran lain, walaupun di kemudian hari versi lain initerbukti lebih benar atau mendekati kebenaran.

Dan kemungkinan terburuk yang saya bayangkan dari parapembaca perbincangan seperti ini adalah kecenderungan untuklangsung bersikap a priori terhadap apa yang dikemukakan kepadamereka, atau menganggap hal itu suatu tindakan kriminal. Yanglebih pahit lagi adalah: ketika anda mengemukan persoalan sepertiitu, anda akan menjumpai penolakan dengan tuduhan bahwaanda telah kafir dan terlalu mengagung-agungkan penggunaanakal.

Perbicangan kita ini sesungguhnya adalah perbincangantentang sejarah, walaupun saya tidak menganggap diri saya sebagaispesialis di bidang sejarah atau seorang pakar di bidang itu. Na-mun, saya merasa telah membaca sejarah secara tekun, mengana-lisisnya dengan cermat, mengeceknya dengan teliti, dan tak jarangmengeritik logika yang terkadang menarik saya ke kiri atau ke

Kebenaran yang Hilang

2

kanan. Percayalah bahwa saya tidak dapat menggerakkan penasaya kecuali untuk menulis sesuatu yang memang dikendalikanoleh akal sehat saya. Saya juga tidak kuasa untuk menggiringimajinasi saya terlalu jauh dengan tambahan-tambahan atau pe-ngurangan-pengurangan yang melampaui kebenaran sejarah.

Betapa banyak ahli sejarah ternama yang tergiring ke arahitu. Mereka tidak menuliskan pena dan pemikiran mereka, metodedan pembahasan mereka, kecuali hanya ke arah yang disenangioleh para pembaca. Mereka tidak peduli walaupun apa yangmereka lakukan merupakan pengkhianatan terhadap sejarah, akal-budi, bahkan dokumen-dokumen sejarah sekalipun.

Ini adalah perbincangan yang tidak dapat saya elakkan karenabegitu banyaknya orang-orang yang mengajak kita kembali kesistem khilafah dewasa ini. Bukan untuk kepentingan propaganda,mengolok-olok atau pun mengejek, tetapi untuk kepentingankecermatan dan ketelitian dalam mengungkap kebenaran sejarah.

Karena itu, saya tergiring untuk menyelami apa yang sayatahu dan dalami. Ini bukan semata-mata untuk kepentingan me-nyangggah mereka dan bukan pula untuk kepentingan generasisekarang yang diharapkan mengetahui, menyelami, mengenal danmemperkenalkan, berpikir dan membicarakan sejarah kita.Namun, ini adalah untuk kepentingan generasi-generasi yang akandatang. Merekalah yang akan menilai kita walaupun saat ini kitabanyak diingkari dan dicemooh. Merekalah yang nantinya akanmampu berpikir objektif, meskipun kini kita mungkin dicaci-maki. Mereka akan tahu bahwa kita tidak kecut hati dan mundurkarena alasan itu. Karena semakin giat kita menggerakkan dansemakin cepat kita menggiring masyarakat untuk melangkahmenuju ke depan serta semakin banyak kita mengajak masyarakatuntuk lebih giat berpikir, mereka justru akan semakin harmonisdi masa yang akan datang. Semakin kita menghadap ke depan,masyarakat justru akan semakin siap untuk menatap masa depan.

3

Kebenaran yang Hilang

Perbincangan kita adalah perbincangan tentang sejarah,politik, dan pemikiran, bukan perbincangan tentang agama,keimanan, dan keyakinan. Ini adalah perbicangan tentang umatIslam, bukan tentang Islam itu sendiri. Lebih dari itu, ini adalahperbincangan seorang penelaah sejarah yang hidup di abad ke-20. Akan tetapi, ini adalah juga perbincangan tentang peristiwa-peristiwa yang surut ke belakang sampai 13 abad silam atau lebih.Perbincangan ini memang tampak sulit, jika bukan mustahil,dilakukan oleh orang-orang yang hidup pada abad itu karenamereka bernaung pada abad itu dan merasakan langsung peris-tiwa-peristiwa pada masa itu.

Perbincangan ini juga sulit karena ingin membuka kembaliapa yang selalu kita tutup-tutupi, yaitu fakta-fakta sejarah. Per-bincangan ini dapat pula menghidupkan kembali organ tubuhyang selalu kita remehkan, yaitu akal. Perbincangan ini lebihbanyak menggunakan alat yang selalu kita abaikan, yaitu nalar.Perbincangan ini juga sangat singkat, dan begitu ringkas. Di sini,yang sangat diperhatikan bukanlah persistiwa-peristiwa sejarahitu sendiri, malainkan maksud dari sebuah peristiwa.

Di sini kita ingin menegaskan bahwa dengan wafatnyaRasulullah, periode Islam sesungguhnya telah sempurna dandimulailah kemudian periode umat Islam. Periode ini terkadangsangat mendekati Islam, bahkan bertaut dengannya, namun tidakjarang pula sangat jauh dari Islam, bahkan melarikan diri darinya.Karena itu, dalam setiap kondisi dan periode, sejarah sama sekalitidak suci sehingga tidak memungkinkan bagi seorang pemikiruntuk mendekatinya atau menganalisis setiap kejadian-kejadi-annya.

Semua peristiwa dalam sejarah dapat menjadi argumen bagiorang-orang yang menuntut berhukum dengan Islam, atausebaliknya, justru dapat menjadi bumerang bagi mereka. Fakta-fakta sejarah dapat menjadi senjata mereka atau justru senjata

Mukadimah

Kebenaran yang Hilang

4

yang akan melukai mereka. Tidak ada argumen yang lebih kokohselain fakta sejarah, landasan peristiwa, dan dalil faktanya. Karenaitu, tidak seorang pun berhak mengingkari referensi-referensi yangkita rujuk. Semuanya adalah referensi yang juga digunakan olehorang-orang yang merasa itu berada di pihak mereka.

Karena itu, perbincangan ini bersandar pada landasan sejarahdan referensi yang setara dengan yang digunakan oleh orang laindengan sudut pandang yang berbeda.

Farag Fouda

5

Kebenaran yang Hilang

Bab IKebenaran yang Hilang

Ini adalah perbincangan yang bermaksud untuk berterus terangdan terbuka sebisa-bisanya. Tentu dengan pengandaian bahwaketerusterangan dan keterbukaan dalam persoalan ini adalah

barang langka. Betapa banyak hambatan untuk bersikap terbukadan terus terang dalam membicarakan topik seperti ini. Pertama,karena adanya ketakutan. Kedua, karena terlalu banyak hiper-bola. Ketiga, karena terlalu berhitung menyangkut segala ke-mungkinan terburuk yang akan menimpa orang yang mengung-kapkannya.

Memang, ada tembok besar dalam membicarakan faktasejarah yang tersimbolisasikan dalam pepatah orang Mesir:“Tutuplah segala celah yang memungkinkan masuknya terpaanangin!” Bagaimana apabila yang datang justru badai topanpengkafiran dan telinga anda tidak henti-hentinya mendengartuduhan yang bukan-bukan? Tuduhan yang paling ringan adalahdianggap sebagai seorang skeptis, dalam bentuk sebuah perta-nyaan: Apakah ini datang dari seorang Muslim? Cukup dengantuduhan seperti itu, anda akan langsung berhadapan dengan hati-hati yang telah tertutup dan akal pikiran yang telah nyamandengan hasil ijtihad para pendahulu kita. Anda akan menemukan

Kebenaran yang Hilang

6

bahwa melontarkan tuduhan tampaknya memang jauh lebihgampang daripada menggunakan akal pikiran untuk suatupembahasan.

Karena itu, saya menyebut ini adalah perbincangan tentangdunia, walaupun tampak di permukaan sebagai perbincangantentang agama. Ini adalah soal politik dan kekuasaan, kendatimungkin tampak oleh anda seperti persoalan akidah dan keimanan.Perbincangan kita adalah tentang slogan-slogan yang memukauorang-orang biasa, tetapi juga dipercayai kaum elitenya dan dipe-gang teguh oleh orang-orang salehnya. Lalu slogan itu dimanfaatkanoleh orang-orang cerdik untuk memaklumatkan diri sebagaipemimpin massa. Sungguh, mereka hanya sedang mengincarkekuasaan, bukan kedamaian akhirat, singgasana dunia, bukansurga dan pada dasarnya tujuan mereka adalah dunia, bukan agama.Mereka sengaja memelintir kalam Allah dengan tujuan tertentu dihatinya, dan menjadikan hadis Rasulullah sebagai alat untukmelegitimasi kehendak hati mereka. Pada akhirnya, mereka berhasilmenguasai seluruh kesempatan. Apabila terjadi pengkafiran, merekatidak pernah gundah gulana. Jika terjadi penghancuran, merekatidak pula berduka. Untuk sampai pada kekuasaan dan kursikedaulatan, mereka pun terkadang tidak segan-segan menumpah-kan darah saudara seagama. Dan mereka juga tega menjadikanjenazah saudara seiman mereka sebagai jembatan menuju kekua-saan.

Anda para pembaca, akan tahu bahwa saya sedang menu-liskan sesuatu yang sungguh sangat dekat dengan apa yang andaketahui, tanpa saya lebih banyak lagi memberi rambu-rambu.Betapa banyak sloganisme yang dapat saya tunjukkan, karena kinimemang sedang berkumandang, bahkan selalu berkumandang,di dalam perbagai perhelatan pemilihan umum di Mesir. Slogan-slogan itu misalnya berbunyi: “Wahai Negara Islam, Kembalilah!”;“Islam Adalah Solusi”; “Islam, Mesti Islam!”

7

Kebenaran yang Hilang

Anda mungkin bingung menentukan apakah slogan-sloganitu bagian dari agama atau politik. Namun dengan segera andaakan menemukan jawaban dari orang-orang yang menyiarkannya,bahwa agama dan politik bagi mereka adalah dua wajah dari satukoin yang sama. Dan anda segera sadar bahwa ungkapan-ungkapantersebut dulunya merupakan ungkapan-ungkapan sentimentil darijajaran slogan Ikhwanul Muslimin. Mereka mengatakan bahwaIslam adalah agama dan negara, mushaf dan pedang, dan seterusnya.

Sebelum anda bertanya apakah saya mengingkari itu, adabaiknya saya mengemukakan dua perspektif, yang keduanyamenerima ijtihad, dan bahkan memang membutuhkan ijtihad,yaitu ijtihad pemikiran dalam rangka mencari kebenaran yanghilang.

Perspektif pertama, saya tidak ragu untuk mengatakan bahwadi balik slogan-slogan yang dikumandangkan itu, ada pra-ang-gapan bahwa masyarakat Mesir adalah masyarakat jahiliyah, ataujauh dari agama yang benar. Di antara ungkapan yang menja-hiliyahkan masyarakat (tajhilul mujtama’) itu, dan anggapanjauhnya masyarakat Mesir dari agama yang benar itu, ada yangmenganggap bahwa slogan pertama lebih ekstrem, sementara yangkedua bersifat moderat.

Akan tetapi, yang dilupakan orang adalah: keduanya sama-sama bersepakat dengan titik berangkat awal bahwa solusi darisemua itu terdapat dalam penerapan yang segera atas syariat Islam.Kedua pandangan itu berupaya mengabaikan perbedaan-perbedaan kecil keduanya tentang kondisi masyarakat saat ini.Mereka merasa nyaman dengan ajakan untuk menerapkan syariatsembari menekankan bahwa penerapan yang segera akan diikutioleh perbaikan yang segera dan penyelesaian yang segera puladari setiap problem kita.

Itulah perspektif yang pertama. Sementara untuk perspektifkedua, ada baiknya saya mengajukan pertanyaan kepada anda,

Kebenaran yang Hilang

8

sebelum saya memberi pemaparan tentangnya. Pertanyaan sayaadalah: Adakah sesungguhnya perspektif yang kedua itu? Denganpertanyaan ini, saya memang seakan-akan hendak mendapatkanpenegasan bahwa perspektif kedua mestilah bertentangan dengankesimpulan dari perspektif pertama. Anda mungkin mengirabahwa perspektif kedua ini pastilah akan bertentangan danbertubrukan langsung dengan keyakinan kita. Namun saya mestisegera menenangkan hati anda bahwa perspektif kedua ini samasekali tidak bertentangan dengan Islam, bahkan berkesesuaiandengannya. Ia tidak datang dari luar Islam, tetapi lahir dari rahimIslam sendiri. Perspektif ini tidak pula datang dari seorang yangterluka oleh Islam, tetapi oleh seorang penikmat setiap nilai-nilaiIslam yang luhur dan agung.

Perspektif kedua ini pada akhirnya berlandaskan padasejumlah hipotesis berikut ini:

Pertama, masyarakat Mesir saat ini sama sekali bukanlahmasyarakat jahiliyah, namun lebih tepat dikatakan sebagaimasyarakat yang lebih mendekati purwarupa masyarakat yangpaling dekat kepada nilai-nilai Islam yang benar — kalau bukanpaling dekat — yang esensial, bukan simbolis. Paling dekat dengankeyakinan Islam terdalam, bukan pamer keteguhan berpegangterhadap simbol-simbol agama. Bahkan keteguhan berpegangpada nilai-nilai agama yang orisinal itu dapat kita katakan sebagaiciri khas orang Mesir.

Ini dapat terlihat baik dari sikap orang-orang Mesir terhadapkeyakinan agama Firaunik sebelum hadirnya agama-agamaSamawi, maupun sikap mereka terhadap agama Kristen sebelumIslam masuk ke Mesir. Ini juga tampak lebih jelas dari sikap merekaterhadap teladan orang-orang Mesir terdahulu dalam mengamal-kan Islam. Indikator-indikatornya sangat banyak. Misalnya: kete-kunan dan antusiasme masyarakat yang begitu tinggi untuk datangke masjid, semangat mereka untuk berlomba-lomba memper-

9

Kebenaran yang Hilang

banyak jumlah calon jamaah haji, dan kegembiraan mereka yangmeluap ketika menyambut perayaan-perayaan agama.

Bahkan bulan Ramadan telah menjadi perayaan keagamaannasional yang tidak dapat dilupakan. Antusiasme dengan ke-hadirannya dan kesedihan lantaran berlalunya Ramadan, tiadalain menunjukkan otentisitas dan kedalaman perasaan keagamaanitu sendiri. Ini belum lagi ditambahkan dengan sumbangsih orang-orang Mesir terhadap kemajuan pembahasan tentang akidah danijtihad, dimulai dari al-Laits bin Saad, fikih Imam al-Syafii, danditambah lagi dengan keberadaan dan peran Universitas al-Azharsebagai mercusuar pemikiran keislaman.

Kedua, sesungguhnya penerapan syariat yang selalu merekagaungkan bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Ia adalah instru-men untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak diingkari olehpara penyeru penerapan syariat sendiri, yaitu berdirinya sebuahnegara Islam. Akan tetapi, justru di situlah letak kontroversi dantitik perdebatannya. Para penyeru penerapan syariat itu, sebagai-mana telah kita sebutkan, selalu menyerukan slogan bahwa Islamadalah agama dan negara. Dan karena itu, syariat Islam sebagai-mana yang mereka pahami, merupakan mata rantai penghubungantara konsep Islam sebagai agama dan konsep Islam sebagainegara. Hubungan antara keduanya bukanlah hubungan antaradua konsep yang berbeda, tetapi bagi mereka penegasan bahwakeduanya adalah dua wajah dari satu mata uang yang sama, yaituIslam yang benar.

Dari sinilah perdebatan menemukan medan baru, yaitumedan pencarian kebenaran sekaligus medan pertarungan politik.Beranjak dari itu, perdebatan beranjak ke pertanyaan yangsederhana dan spontan: selagi mereka menggaungkan slogannegara Islam dan mendapatkan pengikut di dalam partai-partaipolitik yang ada, dan mereka mengajak kita menuju negara agamayang diperintah berdasarkan Islam, mengapa di waktu yang sama

Kebenaran yang Hilang

1 0

mereka tidak mengajukan kepada kita — rakyat kebanyakan ini— agenda politik yang terperinci? Agenda politik terperinci ituakan menjadi panduan mereka untuk memerintah kita dandiandaikan pula dapat memberi jalan keluar terhadap berbagaiproblem kita, seperti sistem pemerintahan dan tatacaranya, agendareformasi di bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan juga soalperbaikan sistem pendidikan, soal perumahan, dan tatacaramenuntaskan persoalan itu dari sudut pandang Islam.

Bukankah itu juga termasuk titik kelemahan mendasar yangdihadapi oleh orang-orang yang berbeda pandangan denganmereka, sehingga mereka tidak memberikan ruang bagi oranglain untuk mengkritik atau menolak keinginan mereka?

Jika agenda seperti itu mereka ajukan, persoalannya menjadilebih masuk akal dan tidak mengandung kontradiksi sama sekalidengan slogan-slogan mereka. Dan, mengangkat slogan Islamsebagai agama dan negara tampaknya dapat diterima dandipertanggungjawabkan. Dan penolakan mereka terhadap konseppemisahan agama dengan politik dan kekuasaan dapat dibenarkandan punya logika yang kuat. Lebih dari itu, penerapan syariatIslam akan tampak sebagai bagian dari keseluruhan paket yangmereka usung.

Syariat menjadi bagian yang tidak bertentangan dengankeseluruhan, bahkan berkesesuaian dengan keseluruhan. Dengansyariat, di dalam masyarakat diandaikan terwujudnya aksesterhadap sumberdaya dan keadilan. Yang merasa terancam merasamendapat rasa aman. Yang lapar mendapat pelarian untuk kenyang.Yang tersisih mendapatkan tempat untuk berlindung. Manusiadihargai aspek kemanusiaannya. Pemikir mendapat kebebasan.Dan orang zimmi mendapat hak-hak yang utuh sebagai warganegara.

Jika itu benar-benar terwujud, kita juga tidak dapat lagimenolak diterapkannya sanksi udūd dengan alasan sadismenya.

1 1

Kebenaran yang Hilang

Kita juga tidak dapat menolak penerapan syariat dengan alasanketidakrelevanannya. Maksiat tidak akan merajalela karena orangtakut akan fitnah. Pada suatu waktu, kita juga dapat meneladaniUmar bin Khattab yang meninggalkan hukum potong tangankarena kondisi paceklik yang meluas. Atau kita dapat meninggalkanhukum takzir karena sulitnya mendapatkan saksi yang adil.

Anda para pembaca, mungkin sepakat dengan kesimpulan-kesimpulan yang saya capai, yaitu, persoalan-persolaan sepertiini tidaklah boleh luput dari perhatian para aktivis yang giat dalamkegiatan politik-keagamaan. Anda mungkin bisa berkeyakinanbahwa semuanya perkara yang mudah dicapai. Bahkan andamungkin sangat optimis bahwa semua itu bisa terwujud. Akantetapi saya tidak seoptimistis itu. Sebab-sebab pesimisme itu jugadiketahui langsung oleh para pendukung penerapan syariat. Yangsaya maksudkan di sini adalah soal lumpuhnya semangat ijtihad.Untuk lebih cermat, sebutlah sebagai contoh kecenderungan untuktakut terjadinya ijtihad yang salah dan ketakutan akan perselisihandi antara mereka sendiri. Selama ini, kekhawatiran seperti itusengaja dikesampingkan dan disimpan, dan unsur peremehanlebih dikedepankan. Bahkan, mereka lebih mengedepankanambisi dan keinginan untuk berkuasa.

Yang saya katakan itu bukanlah hiperbola ataupun sekadarhobi bermain kata-kata. Ini adalah fakta yang dapat dicarikanpuluhan contoh untuk membenarkannya. Perhatikanlah apa yangterjadi dalam undang-undang keluarga kita dalam satu dekadeterakhir. Pertama, ada kontroversi meluas yang muncul karenaadanya respons dari gerakan emansipasi perempuan. Kedua,kontroversi juga muncul karena di lain pihak muncul gerakanpendukung hak-hak lelaki. Adalah ceroboh jika kita mengabaikankedua kecenderungan itu.

Kita tahu, undang-undang keluarga adalah bagian terkecildari agenda politik Islam yang lebih luas. Bahkan ia dapat

Kebenaran yang Hilang

1 2

dikatakan sebagai bagian yang teremeh dari aspek penerapansyariat Islam. Namun tidak ada yang mengingkari bahwa iniadalah satu-satunya undang-undang yang masih menjadikansyariat sebagai satu-satunya sumber inspirasinya. Pada undang-undang ini, paras keagamaan Islam tampak paling jelas.

Akan tetapi persoalan datang tatkala para ulama menentangsemangat dunia baru kita. Yaitu, kenyataan sosial bahwa perempuankini juga mulai menuntut hak-hak yang dulu tidak merekahiraukan. Keinginan perempuan untuk keluar rumah dan berkarir,misalnya, tidak dapat kita abaikan lagi saat ini. Semua itu adalahhak mereka yang tidak dapat kita nafikan lagi. Itu adalah kenya-taan-kenyataan sosial baru di dalam masyarakat yang tidak adapreseden sebelumnya, baik pada masa Imam Malik, Abu Hanifah,as-Syafii maupun Ibnu Hanbal.

Ini belum lagi ditambahkan dengan persoalan lain yang lebihruwet, yaitu soal perumahan. Persoalan-persoalan seperti inibelum ada di dalam pembahasan fikih ulama-ulama terdahulu.Misalnya, apa hukum rumah sewa dan kredit perumahan? Perkaraseperti ini pada akhirnya membuat para ulama terjebak dalampertengkaran antar sesama mereka dan dengan pakar-pakar dibidang lainnya di dalam masyarakat. Dalam perkara undang-undang keluarga, para ulama memang dapat menemukan rujukanmereka baik dari Imam Malik maupun Abu Hanifah. Jika tidakmenemukan pada keduanya, mereka dapat merujuk ulama yangtidak sepopuler keduanya, seperti Sahal bin Muawiyah. Namunyang pasti, mereka tidak akan pernah berpendapat melampauiulama-ulama abad kedua hijriah itu. Bahkan, tidak beranjaksejengkal pun dari apa yang mereka katakan.

Lalu bagaimana pula mengatasi persoalan yang lebih kom-pleks seperti persoalan ekonomi dengan syariat? Para pendukungpenerapan syariat tampaknya memang peduli dengan soal pening-katan produktivitas masyarakat. Namun, mereka dikejutkan oleh

1 3

Kebenaran yang Hilang

besaran investasi di sektor badan usaha milik negara yang mencapi30 sampai 50 miliar pound Mesir. Semua itu bergantung padakeuangan yang ditopang oleh investor yang menitipkan uang dibank-bank konvensional. Investasi itu misalnya dalam bentukdeposito yang menjanjikan bunga.

Ijtihad fikih yang diproduksi pada abad kedua hijriah, yangsama sekali belum mengenal badan usaha milik negara atau duniaperbankan, menyebutkan bahwa pemasukan yang tetap dari uangyang ditabung termasuk dalam kategori riba. Dan apa yangdikemukakan oleh para pendukung penerapan syariat setali tigauang dengan apa yang dipikirkan oleh para ahli pada abad keduahijriah itu. Mereka memperlakukan pendapat masa lalu itu sepertifirman Tuhan yang turun dari langit. Lalu bagaimana mengatasipersoalan nyata kita ini?

Jika mereka mandek, ini akan menjadi petaka. Namun inijuga dapat menjadi agenda politik yang berarti jika merekamelakukan ijtihad. Agaknya hal pertama yang perlu merekalakukan adalah menggambarkan kenyataan empiris terlebihdahulu secara akurat (ta wīr al-wāqi‘). Ini jauh lebih mudah dari-pada mengubah keadaan (ta wīr al-wāqi‘). Menuduh masyarakattelah keluar dari ikatan keimanan adalah sesuatu yang gampang.Menetapkan hukum tidak halalnya bunga bank juga sangatgampang. Membodohi masyarakat dan institusi-insitusinya jugalebih mudah mendapatkan hasil. Mengumpat masa kini juga caratermudah untuk menghindar dari kenyataannya. Ini persis sepertiyang dikatakan syair Arab: “Kita mencela zaman, rupanya yangtercela itu ada pada diri kita sendiri.”

Ini baru diksusi tentang perkara yang termudah, yaitupersolan yang masih bersifat global. Yang tersulit dan lebih spesifiksifatnya, umpamanya adalah soal tata cara memilih pemimpinatau lebih umumnya soal hubungan antara lembaga-lembagapemegang kekuasaan di masyarakat. Persoalan ini memang sudah

Kebenaran yang Hilang

1 4

disentuh oleh para pendukung penerapan syariat dan negara agamadengan slogan-slogan yang memukau dan retorika yangmeninabobokan. Akan tetapi, justru pada titik ini mereka tampaksedang berpacu dalam sesuatu yang tidak semestinya dan masukdalam pertentangan yang tidak kunjung tuntas.

Tidak tuntas bukan karena apa-apa, melainkan hanya karenahilangnya etos ijtihad yang mencerahkan. Mereka langsung meng-ajak kita masuk dalam sebuah eksperimentasi sembari mengabai-kan konsepsi yang ditetapkan sebelum percobaan itu dimulai.Ini sengaja mereka lakukan untuk membuat hati terlena danmenghindarkan diri dari polemik yang sangat krusial. Dalamsetiap kurunnya, sebetulnya mereka hanya mencari-cari titik amanuntuk bermain. Ketika mereka tidak mampu menjawab persoalanini, dan anda mengeritik mereka, anda akan dicap tidak punyakualifikasi ilmiah dalam membahas persoalan agama. Jika terdesakoleh kenaifan logika mereka sendiri, anda segera dituduh sebagaiagen imperialis, terpengaruh komunisme, atau terjerat keduanya.

Akibatnya, persolan ini tidak terbahas sama sekali. Karenaitu di sini saya akan coba membahas hal yang ditabukan itu. Sayaakan memulainya dengan persoalan sistem kekuasaan. Yangpertama terbersit dalam benak orang yang membahas soal iniadalah tentang syarat-syarat yang diperlukan oleh seseorang yangakan ditahbiskan menjadi pemimpin. Anda mungkin berpendapatbahwa syarat-syaratnya mudah belaka. Mungkin dapat ditetapkanbahwa, sebagaimana di dalam fikih, dia haruslah seorang muslimyang sehat pikiran, dewasa serta syarat-syarat lainnya. Namunpada lain waktu anda juga akan terbentur misalnya, denganpersyaratan aneh yang telah termaktub di dalam kitab-kitab fikih.Misalnya, pemimpin haruslah datang dari suku Quraisy. Andaakan terperangah ketika sekelompok orang juga mensyaratkanitu atas nama mempertahankan warisan fikih Islam. Padahal Islammenjunjung tinggi semangat kesetaraan antara semua umat ma-

1 5

Kebenaran yang Hilang

nusia, seperti barisan jeruji sisir. Islam tidak meninggikan derajatorang Arab di atas lainnya, kecuali perbedaan tingkat ketakwaan-nya.

Anda mungkin juga akan mendapatkan imajinasi yang agakaneh walau mungkin ada benarnya. Yaitu syarat ini sengajadiletakkan untuk menjustifikasi kepemimpinan kaum Umaiyahdan Abbasiyah. Sebab semuanya memang dari suku Quraisy.Bahkan, imajinasi anda akan sampai pada kisah sejarah terbarutentang Raja Faruq pada masa awal kepemimpinannya. saat itu,ia disodorkan kepada rakyat Mesir dengan citra sebagai raja yangsaleh. Karena itu, ia selalu tampil berjenggot lengkap dengantasbihnya di depan khalayak. Dengan cara itu, sebagian tokohagama yang ambisius segera saja menahbiskannya sebagai rajaatau imam bagi umat Islam. Mereka yang cerdik segera mereka-reka hubungan antara nasabnya dengan nasab Rasulullah. Mediamassa segera mengumumkan dan memastikan ketersambungannasabnya itu (kendati sudah pasti bahwa kakek dari ayahnyaadalah Muhammad Ali Pasha, seorang Albania, dan kakek dariibunya adalah Sulaiman Pasha, seorang keturunan Prancis).

Itu semua dilakukan untuk memenuhi syarat bagi seorangpemimpin sebagaimana yang tertulis di dalam kitab-kitab fikih.Fungsi lainnya adalah untuk membungkam para penentangnya.Perasaan anda mungkin sama dengan saya: kurang nyaman dengansyarat yang menggolongkan orang Islam ke dalam kelompokdarah biru (yaitu orang-orang Quraisy yang berkuasa) dengankelompok darah merah (yaitu rakyat kebanyakan).

Akan tetapi, mereka segera saja mengemukakan hadis Nabiyang terpercaya, yang mensyaratkan seorang imam berasal darisuku Quraisy. Benak anda juga akan langsung dijejali hadis-hadisserupa yang sengaja dibuat-buat oleh para kreator dan imitatorhadis. Hadis-hadis seperti ini sebetulnya dibuat oleh orang-orangyang tidak beragama dan yang sangat berambisi menggombal

Kebenaran yang Hilang

1 6

penguasa. Mereka tidak punya hati nurani apalagi keyakinan yangpasti. Namun untuk menentangnya, anda tetap kecut hati karenaakan dituduh sebagai orang yang memusuhi sunnah Nabi. Tu-duhan itu terutama akan datang dari kalangan yang mempelajarihadis hanya sebatas aspek sanadnya, bukan isi dan kesesuaiannyadengan teks al-Quran.

Karena itu untuk membantah hal ini, tidak ada jalan keluarbagi anda kecuali mencermati kembali kasus perkumpulan diTsaqifah Bani Saidah di kota Madinah. Saat itu, kaum Anshar telahberkumpul untuk mengangkat Saad bin Ubadah sebagai pemimpinmereka setelah mangkatnya Rasulullah. Karena itu, Abu Bakar,Umar, dan Abu Ubaidah al-Jarrah segera berangkat ke sana untukmencalonkan Abu Bakar. Ketika itulah terjadi polemik panjangantara kedua kubu sampai terpilihnya Abu Bakar. Ketika andamencermati polemik yang berkembang saat itu, ajaibnya anda tidakmenemukan sama sekali penggunaan hadis Nabi. Artinya, kalauhadis itu benar-benar sahih, tidak mungkin Saad bin Ubadah,pemuka Khazraj, akan mencalonkan dirinya untuk menggantikankepemimpinan Rasulullah. Abu Bakar, Umar dan al-Jarrah, punmencukupkan diri dengan mempersiapkan perdebatan yang sehat.Mereka tidak menyebut-nyebut hadis sama sekali, padahal — jikahadits itu memang ada — itu akan menjadi senjata ampuh yangakan segera mengakhiri polemik.

Namun kita tahu, Saad bin Ubadah memang menolakmembaiat Abu Bakar sampai ajal menjemputnya. Tidak seorangpun membujuknya untuk membaiat Abu Bakar dengan meng-gunakan hadis tersebut agar ia dengan sukarela membaiat AbuBakar. Padahal ia juga seorang pemuka sahabat Nabi yang punyabeberapa prestasi yang terhormat di dalam sejarah Islam.

Namun memang, pada setiap gejala yang negatif terkandungsisi positifnya. Kenyataan ini justru menunjukkan bahwa bagiorang-orang yang berpikir, kenyataan ini cukup menjadi bukti

1 7

Kebenaran yang Hilang

bahwa soal kepemimpinan mestilah diserahkan kepada yang lebihberkompeten, tanpa memandang nasabnya. Artinya umat Islamtidak akan pernah mempersoalkan siapa pemimpin mereka,sekalipun pemimpin mereka itu seorang negro Habsyi. Pandanganseperti ini justru membuat logika kita bertambah sehat. Denganitu pula, kelompok-kelompok di dalam masyarakat Islam tetappunya landasan untuk melakukan oposisi.

Itulah yang terlihat misalnya pada masa Khilafah Abbasiyah,meskipun hal tersebut menjadi anakronisme sejarah pertama didalam rentang sejarah kekuasaan Islam. Dari sinilah munculperdebatan fikih tentang nasab seorang pemimpin: apakah mestidari Quraisy atau yang cukup lebih kompeten, terlepas apa punnasabnya. Artinya kedua kubu sebetulnya mengingkari adanyahadis seperti itu, untuk perkara yang — menurut saya dan mungkinjuga anda — lebih simpel daripada yang dipikirkan orang.

Dari sini kita barulah dapat beranjak ke soal tata carapenobatan seorang pemimpin. Di titik inilah kita akan menjumpaibetapa banyak tabu yang membuat perbedatan berhenti. Karenaitu orang-orang yang berpikiran normal saja akan mudahmenemukan bahwa al-Quran sendiri tidak meninggalkan keten-tuan spesifik tentang perkara ini. Nabi pun tidak mewasiatkanapa-apa kepada kita. Jika tidak demikian, tidak mungkin akanterjadi perdebatan sengit dan pertentangan keras di dalampertemuan Tsaqifah. Kalau ada ketentuan, pasti Ali bin Abi Thalibtentu tidak akan menolak mengakui kepemimpinan Abu Bakardan segera membaiatnya.

Pada titik ini, ada perbedaan riwayat antara mereka yangmenyatakan bahwa Ali menolak baiat hanya dalam beberapa hari— ini riwayat terlemah — dan sebagian lain yang menyebutkanbahwa hal itu berlangsung sampai berbulan-bulan, hinggawafatnya Fatimah — ini riwayat yang dianggap lebih valid. Yanglebih perlu dicermati lagi, andaikan tata cara Tsaqifah dianggap

Kebenaran yang Hilang

1 8

sebagai tata cara yang paling benar dalam suksesi kepemimpinanIslam, mungkin Abu Bakar tidak akan menunjuk orang-orangyang patut menggantikannya dalam bentuk Majlis Ahl al- alliWa al-‘Aqdi. Kita tahu faktanya Abu Bakar tidak menganggapcara Tsaqifah adalah cara terbaik, karena itu ia juga mewasiatkanpenggantinya kepada Umar dengan surat tertutup.

Dengan dasar itulah umat Islam membaiat Umar menjelangwafatnya Abu Bakar, tanpa tahu apa isi surat Abu Bakar itu. Caraini juga diralat Umar di kemudian hari, dengan menunjuk satudi antara enam orang pemuka sahabat, yaitu Ali, Utsman,Thalhah, al-Zubair, Ibnu Auf, dan Saad bin Abi Waqash. Caraseperti ini juga berbeda dengan tata cara Ali ketika membaiatbeberapa pemimpin wilayah, dan cara Muawiyah yang melakukanpendekatan senjata, serta Yazid yang mewariskan kekuasannya.

Anda kini menghadapi enam tata cara yang berbeda dalammemilih pemimpin di dalam sejarah umat Islam. Orang-orangyang mandek pikiran akan berusaha untuk mengabaikan fakta-fakta ini. Namun orang-orang yang terbuka pikirannya akansegera menangkap satu pesan, yaitu tidak adanya kaidah yangbaku di dalam Islam tentang tata cara memilih seorang pemimpin.Islam yang toleran dan adil, tidak akan menolak tata cara memilihpemimpin, baik lewat pemilihan langsung ataupun tidak langsung.Saya tidak akan berangan-angan jika kelak — dan faktanya sampaisaat ini — para pendukung negara agama akan bersepakat dengankaidah kita ini.

Saya bukanlah berbicara tanpa dasar. Ini didasarkan padakenyataan yang ada dalam sistem kekuasaan di dunia Islam padazaman modern ini. Di Arab Saudi, soal kepemimpinan didasarkanpada baiat yang dilakukan Ahl al- alli Wa al-‘Aqdi. Yang berhakuntuk dipilih menjadi pemimpin pun dibatasi hanya pada kalangananggota keluarga kerajaan. Ada juga cara baiat lewat surat wasiatyang dituliskan oleh pemimpin sebelumnya untuk menunjuk

1 9

Kebenaran yang Hilang

penerusnya dengan mengacu pada tata cara Abu Bakar dalammemilih Umar. Itulah yang terjadi di Sudan pada era Ja‘far an-Numeiry. Di Iran, ada insitusi velayat-e-fakih. Ada juga kesepa-katan tersirat untuk menjalankan syariat Islam dalam tata carapemilihan pemimpin di Pakistan.

Artinya, selalu ada persyaratan baru yang lebih ketat dalamrumusan kriteria seorang pemimpin. Namun yang hampir samadi antara negara-negara yang saya sebutkan tadi, masa kepe-mimpinan kepala negara, selalu tidak terbatas alias sepanjanghayat. Tidak jadi soal tampaknya berapa pun lamanya merekamemegang mandat yang diberikan kepada mereka selagi merekadianggap berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah. Akantetapi, tidak ada pula kisah yang menunjukkan bahwa seorangpemimpin diturunkan karena menyalahi ketentuan itu. Padahalbetapa banyak dari mereka yang menyalahi keduanya. Namunmereka tidak diberhentikan apalagi ditentang, baik pada masalalu atau pun pada masa sekarang.

Kisah sejarah dalam soal ini amat panjang, bahkan dapatdikatakan cukup penuh dengan kegilaan. Baik itu dalam soalekstrimisme penguasa dalam menyalahi akidah agama, atau punekstrimisme rakyat ketika tunduk dengan kehendak dan kekuasa-annya. Para pembaca mungkin mengira saya terlalu berlebihandalam mengemukakan ini. Sebab para pendukung negara agamasegera dapat berargumen bahwa institusi syūrā dapat membatasikesewenang-wenangan penguasa dan menjaga kemaslahatan rakyat.

Namun saya ingin mengingatkan bahwa pada titik ini punteradapat hambatan baru, yaitu perdebatan seputar hakikat syūrā.Apakah ia mengikat bagi penguasa — dan ini pendapat minoritas— atau tidak mengikat — dan ini pendapat mayoritas? Bahkanada yang mengatakan bahwa seorang penguasa hanya terikatuntuk meminta pertimbangan, tetapi tidak terikat untuk tundukkepada pendapat yang menjadi konsensus insitusi syūrā.

Kebenaran yang Hilang

2 0

Orang-orang yang tulus di antara jajaran juru dakwah Islammodern sudah menyadari bahwa mereka saat ini memang tengahmenghadapi kondisi masyarakat yang tidak sama lagi dengan apayang dijumpai para pendahulu mereka. Mereka juga tahu bahwademokrasi dalam maknanya yang modern, yaitu pemerintahandari rakyat untuk rakyat, sama sekali tidak bertentangan denganIslam. Mereka juga mengakui bahwa ijtihad-ijtihad mereka yangpercaya pada demokrasi dan perlunya sistem perwakilan, pemi-lihan langsung dan tidak langsung, tidak mungkin bertentangandengan esensi Islam dan semangat kebebasan yang terkandungdi dalamnya. Orang-orang seperti itu di antaranya adalah UstadKhalid Muhammad Khalid, dan seorang alim terkemuka, yaituMuhammad al-Ghazali. Namun, mereka menghadapi arus besarpenolakan yang mendesak mundur keluasan wawasan danpemahaman mereka tentang esensi ajaran Islam yang otentik. Parapemuka aliran-aliran revolusioner dan konservatif di masyarakatdengan sengit mengeritik dan menelanjangi pendirian mereka.Tidak ada bedanya antara mereka yang moderat ataupun yangekstrimis dalam soal kecaman itu.

Itu terlihat misalnya dari pernyataan Ustad Umar at-Tilmisanidan Ustad Umar Abdur Rahman. Keduanya secara retoris menolakkedaulatan rakyat dengan anggapan itu bertentangan dengankedaulatan Tuhan. Ini perkara yang jika kita cermati secara seksamatidak bertentangan sama sekali. Akan tetapi mereka berusahamemperkuat agitasi mereka dengan hipotesis-hipotesis yang aneh.Misalnya kalangan mayoritas, mengira bahwa mereka bisa sajamengesahkan suatu perundang-undangan yang bertentangandengan syariat Tuhan. Hipotesis lain, memberikan hak melegislasikepada sistem perwakilan dianggap sama saja dengan merampashak Tuhan yang tetap dan sakral sebagai satu-satunya LegislatorAgung. Mereka juga khawatir bahwa demokrasi bisa jadi akanmembatalkan teks al-Quran yang syar’i dengan pendapat individu.

2 1

Kebenaran yang Hilang

Demikianlah anda melihat begitu banyak hambatan dantidak putusnya tantangan. Ketika hambatan satu hilang, munculhambatan baru. Sebetulnya, tantangan-tantangan baru inimelegakan bagi kalangan yang inklusif karena hal itu akanmembuka pintu lebar-lebar bagi lapangan ijtihad yang tidakberbenturan dengan semangat zaman, tanpa keluar dari semangatagama yang benar. Namun ini dapat membuat orang-orang yangselalu mengandalkan pendapat orang-orang terdahulu sangatterganggu dan ikut mengecilkan peranan mereka. Sebab ketikamereka hendak condong ke kanan, tiba-tiba dunia tidak lagimenghendaki kehadiran mereka. Ketika mereka menoleh ke kiri,mereka rupanya sudah terbentur oleh penolakan mereka sendiriterhadap kemampuan akal-budi manusia. Kalau mereka beradadi tengah, mereka sama saja mengabaikan eksistensi mereka danmeremehkan tantangan yang berada di depan mereka.

Karena itu kalau anda ingin lebih cermat mengamati mereka,tantanglah mereka untuk menghadapi kenyataan hidup. Katakanpada mereka bahwa syariat Islam sendiri tidak akan berwujud danterejawantah kecuali di dalam masyarakat yang benar-benar Islami.Atau dalam makna yang lebih dalam, dalam negara agama. Namunnegara seperti ini tetap membutuhkan agenda politik yang mampumengemukakan perincian dan pendasaran terhadap sesuatu yangmasih umum atau pun terlalu khusus. Mereka pasti akan kesulitanuntuk menyiapkan agenda seperti ini, apalagi mengemukakannyakepada anda. Mereka sebetulnya hanya ingin lari dari kenyataandengan cara menyeru kita untuk menerapkan syariat Islam yanghanya akan membawa kita kepada negara agama yang teokratis.Negara seperti ini hanya akan membuat kita limbung untukbergerak ke kanan atau ke kiri, tanpa adanya mercusuar yang akanmemandu kita dengan gagasan-gagasan dan ijtihad yang mence-rahkan. Kita hanya diajak pasrah menerima apa yang akan terjadi.Terserahlah apa yang akan terjadi pada Islam. Kita hanya menyerah-

Kebenaran yang Hilang

2 2

kan jasad kita untuk mereka injak. Ketika mereka tidak mampumelakukan ijtihad yang sesuai dengan semangat zaman, merekalangsung menolak zaman. Ketika mereka tidak mampu memimpinMesir ke arah perubahan, justru mereka membuat Mesir itu sendirimenjadi hancur.

Kedua, sangat penting bagi kita untuk mendiskusikan salahsatu slogan yang selalu dikumandangkan para pendukungpenerapan syariat Islam, yaitu anggapan bahwa penerapan yangsegera atas syariat Islam akan mendatangkan kebaikan yang segerapula. Namun anda wahai para pembaca, akan membuktikansendiri bahwa kebaikan masyarakat, atau penuntasan problemmereka, tidak dapat bergantung pada wujudnya seorang pemim-pin Islam yang saleh. Tidak pula bergantung pada berpegangnyasemua umat Islam kepada agama dan ketulusan mereka berpegangkepada akidah. Tidak pula bergantung pada penerapan syariatIslam baik secara tekstual maupun kontekstual. Akan tetapi, iabergantung pada soal lain yang akan saya sebutkan nanti.

Argumen saya dalam hal ini sepenuhnya logika, Alasan sayaadalah fakta-fakta sejarah. Saya akan memaparkan contoh dariperiode Islam yang paling cemerlang sekalipun dalam soalpenerapan akidah dan iman. Yang saya maksud adalah periodeal-Khulafa’ al-Rasyidun. Kita berhadapan dengan tiga puluhtahun hijriyah atau dua puluh sembilan tahun lima bulan masaal-Khulafa’ al-Rasyidun. Masa kepemimpinan Abu Bakarberlangsung selama 2 tahun, 3 bulan, dan 8 hari. KepemimpinanUmar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan dan 19 hari. MasaUsman berlangsung selama 11 tahun 11 bulan dan 19 hari. Laluditutup masa Ali sepanjang 4 tahun 7 bulan.1

1 Lihat al-Mas’udi, Murujuz Dzahab, Beirut: Darul Makrifah, Juz IV,hal 387-388.

2 3

Kebenaran yang Hilang

Dari sini kita dapat menyebutkan dengan penuh keyakinanbahwa masa kepemimpinan Abu Bakar selama 2 tahun 3 bulanlebih terfokus pada peperangan antara bala tentaranya denganorang-orang yang dituduh murtad di Semenanjung Arabia. Seluruhmasa kepemimpinan Ali juga lebih banyak terfokus padapeperangan antara bala tentaranya dengan para pembelot danpenentang kekuasannya di satu sisi, termasuk Aisyah, Thalhah, danal-Zubair dalam Perang Unta, maupun dengan bala tentaraMuawiyah dalam Perang Shiffin, dan puluhan perang lainnyadengan kaum Khawarij. Dari dua periode itu saja, kita dapatmengetahui bahwa ambisi untuk berperang lebih dominan daripadaambisi untuk membangun negara dan memperkuat sendi-sendinya.Apabila kedua masa Abu Bakar dan Ali ini digabung, maka kitaakan mendapatkan 6 tahun dan 10 bulan masa peperangan.

Nyaris, tinggal masa Umar dan Usman yang dapat menun-jukkan wajah Islam sebagai negara pada era paling cemerlangdari periode Islam sebagai agama. Di sini, kita masih dapat lagimembaginya menjadi dua masa fase: 10,5 tahun era Umar dansekitar 12 tahun masa Usman. Dua masa ini adalah masa-masayang cukup untuk menunjukkan contoh ideal tentang Islamsebagai negara. Umar dan Usman adalah dua orang sahabat Nabiyang terdekat dengan pemahaman Islam Nabi. Keduanya diberikabar gembira akan mendapat surga. Yang pertama, Umar, punyaprestasi-prestasi cemerlang dalam membela dan mengangkatmartabat Islam. Prestasi itu tidak hanya dicatat buku-buku sejarah,namun juga dikuatkan oleh al-Quran sendiri. Sebagian ayat al-Quran bahkan diturunkan dalam rangka mememangkan pen-dapat Umar. Itu adalah kehormatan yang tiada tara bagi Umar.Sosok kedua, yaitu Usman, punya prestasi tentang iman,kebajikan, dan kedermawanan. Cukuplah posisinya sebagai suamisalah seorang putri Nabi sebagai patokan. Inilah kedua sosoksahabat Nabi itu.

Kebenaran yang Hilang

2 4

Sementara itu, tentang kondisi rakyat, yaitu para sahabat Nabi,keluarga dan kerabatnya pada masa itu, mereka selalu mengingat-ingat apa sikap dan ungkapan Nabi dalam kasus-kasus tertentudalam sejarah Islam. Ketika mereka sampai pada suatu tempat,mereka langsung teringat dengan apa yang dikatakan Nabi. Matamereka tidak melihat ke atas mimbar kecuali masih terbayang dibenak mereka sosok Nabi yang sedang berkhutbah. Ketika salat dibelakang seorang khalifah, mereka masih saja merasakan bahwayang berdiri di hadapan mereka adalah Rasulullah. Ketika membacaal-Quran, mereka tahu kapan ayat itu turun, di mana, mengapa,dan adakah sebab-sebab khusus ia diturunkan.

Singkat kata, mereka masih hidup dalam bayang-bayangkehadiran Nabi. Mereka merindukan Nabi untuk dekat bersamanyadengan penuh cinta. Demikianlah tentang masyarakat Islam masaitu. Adapun soal syariat Islam, tidak ada yang meragukan bahwapada masa keduanya itu syariat diterapkan secara penuh. Bahkanjangan kaget jika saya mempermaklumkan bahwa masa-masa iniadalah masa tercemerlang dalam penerapan syariat. Penerapansyariat, jika ditinjau dari sifat pemimpin dan kondisi masyarakatyang dipimpinnya waktu itu, seperti mewajibkan sesuatu yang tidakperlu diwajibkan lagi, karena semua masyarakat sudah melak-sanakannya. Akan tetapi tetap saja era Umar berbeda dari eraUsman. Umar dan umat Islam telah menjunjung tinggi dasar-dasarkeyakinan agama dan esensinya. Namun umat Islam berbahagiadengan pendekatan Umar dalam soal agama. Urusan negara punberes di tangannya. Ia meninggalkan kepada penerusnya suatumetode yang tidak diperselisihkan lagi. Kita tidak akan tahukredibilitas dan wibawa pengusa kecuali jika kita menyaksikannyasendiri apa prestasi dan rekam jejaknya.

Namun Usman membawa umat Islam ke dalam polemiktentang sosok dirinya. Para pemimpin di dalam Ahl al- all waal-‘Aqdi membuat konsensus untuk melarikan diri dari kepe-

2 5

Kebenaran yang Hilang

mimpinannya, baik lewat cara pemecatan menurut kalangan ahlipikirnya, maupun kekerasan menurut kalangan garis kerasnya.Wibawanya terguncang di mata rakyat, sampai sebagian ma-syarakatnya menghunus pedang yang siap mencincangnya danmenohoknya ketika berada di atas mimbar. Bahkan sebagianmenghinanya dengan sebutan Na’stal, sebutan untuk orangKristen Madinah bernama Na’tsal yang kebetulan berjenggot lebatseperti Usman. Para pemuka sahabat pun menentangnya, iniadalah sesuatu yang sangat terang benderang menunjukkan bahwaia keluar dari ketentuan al-Quran dan Sunnah. Karena itu, munculseruan secara terang-terangan untuk membunuhnya. Hadis Aisyahmeriwayatkan: “Bunuhlah Na’tsal, dan terlaknatlah Na’tsal.”2 Inisemua tidak meninggalkan keraguan sama sekali tentangbagaimana citra seorang khalifah di mata masyarakatnya danbagaimana nasib masyarakat di tangan para khalifah.

Walaupun sejarah menyebutkan bahwa Umar dan Usmanmati terbunuh, namun sejarah juga mencatat bahwa Umar ter-bunuh di tangan seorang bocah Majusi. Pembunuhannya itumemunculkan rasa hilang di dalam sanubari umat Islam. Jiwamereka dipenuhi perasaan gundah dan sesal karena hilangnyaseorang pengayom rakyat yang tidak tergantikan. Namun, ke-matian Usman ditanggapi secara berbeda dari kematian Umar.Ia terbunuh oleh tangan umat Islam sendiri yang bersepakat mem-berontak dan mengepung rumahnya. Dan anda dapat sajamembayangkan bahwa kematian Usman telah melegakan hatisebagian umat Islam. Bahkan, permusuhan sebagian umat Islamatas dirinya berlangsung setelah kematiannya. Namun buku-buku

2 Lihat Abbas Mahmud Aqqad, “Abqariyyatu Ali,” dalam al-Majmū‘ahal-Kāmilah lī Muallafāt al-Aqqād, Beirut: Darul Kutub al-Libnani, jilid II,hal. 99, atau Ahmad Amin, Dhuha al-Islām, Kairo: Maktabatun Nahdlah al-Mashriyyah, juz III: 252)

Kebenaran yang Hilang

2 6

sejarah berbicara soal ini dengan riwayat-riwayat aneh yang tiadatara, walau maksudnya tidak dapat dinafikan juga.

Al-Thabari3 misalnya, dalam kitab Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk, menyatakan: “Mayat Usman harus bertahan dua malamkarena tidak dapat dikuburkan. Ia ditandu empat orang, yaituHakim bin Hizam, Jubair bin Math’am, Niyar bin Makram, danAbu Jahm bin Huzaifah. Ketika ia disemayamkan untuk disalat-kan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang merekauntuk menyalatkannya. Di situ ada Aslam bin Aus bin Bajrah as-Saidi dan Abu Hayyah al-Mazini. Mereka juga melarangnya untukdimakamkan di pekuburan Baqi’. Abu Jaham lalu berkata:‘Makamkanlah ia karena Rasulullah dan para malaikat telah ber-salawat atasnya.’ Akan tetapi, mereka menolak: ‘Tidak, ia selama-nya tidak akan dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu merekamemakamkannya di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi).Baru tatkala Bani Umayyah berkuasa, mereka memasukkan arealperkuburan Yahudi itu ke dalam kompleks Baqi’.”

Dalam riwayat lain bahkan dikatakan, ketika mayat Usmanberada di sebuah pintu, Umair bin Dzabi’i datang meludahinya,lalu ia mematahkan salah satu persendiannya. Dan dalam riwayatlain pun dikatakan, tatkala prosesi penguburannya di Hisy Kaukabberlangsung, orang-orang Islam melemparinya dengan batusampai-sampai para penandunya mesti berlindung di sebuahtembok. Di samping tembok itulah ia kemudian dimakamkan.

Demikianlah. Khalifah ketiga Islam dibunuh oleh orang Islamsendiri. Sanak keluarganya tidak dapat memakamkannya sampaidua malam. Baru pada hari ketiga mereka dapat memakamkannya.Sebagian kaum Muslim menolak untuk menyalatinya. Dansebagian bahkan bersumpah bahwa ia tidak akan pernah dapat

3 Al-Thabari, Tārīkh al- abari, Beirut: Muassasatul I’lam lil Mathbu’at.Juz III: 439.

2 7

Kebenaran yang Hilang

dimakamkan di pekuburan kaum Muslim. Jasadnya dilempari batu,dan orang-orang Islam tetap memusuhi mayatnya. Salah satupersendiannya dipatahkan, dan akhirnya ia dimakamkan di peku-buran Yahudi.

Pertanyaan kita: kemarahan seperti apakah yang membuatmereka harus tetap menyerang seorang pemimpinnya walau iatinggal jasad tanpa nyawa? Mengapa mereka begitu dendam kesu-mat sekalipun hanya terhadap mayat yang tak berdaya? Merekaseakan-akan tidak mengindahkan kenyataan bahwa Usmantermasuk jajaran orang yang pertama masuk Islam. Mereka jugatidak memerhatikan umurnya yang sudah 83 tahun. Merekamelupakan bahwa ia adalah suami dari salah seorang putri Nabi.Mereka bahkan menolak untuk menyalati dan menguburkannyadi pemakaman umat Islam. Usman diposisikan sebagai orangpaling hina dan paling sial di antara umat Islam.

Kemarahan itu pastilah karena perkara yang teramat besar.Ini juga sebuah ungkapan yang sangat terang tentang apapandangan umat Islam tentang pemimpinnya. Namun, itu tidakmemengaruhi Islam sama sekali. Sebab Usman bukankan salahsatu rukun dari rukun-rukun Islam. Ia adalah manusia biasa yangbisa salah dan bisa benar. Seorang pemimpin umat tidak pernahpunya klaim kekebalan dan kesakralan yang membuatnya lebihtinggi derajatnya dari kaum Muslim lainnya. Akan tetapi, andadan juga saya pasti tidak kuasa untuk bertanya dan mencari jawab:Mengapa sampai demikian?

Bukankah ketika Usman dipilih ia termasuk salah seorangyang terbaik di antara umat Islam? Ia juga bahkan termasuk salahseorang sahabat Nabi yang dijanjikan akan masuk syurga. Ia jugasalah seorang dari anggota Ahl al- all wa al-‘Aqd. Dan umat Islamketika itu juga sudah memperkirakan bahwa kepemimpinan umatIslam setelah Umar tidak akan jatuh kecuali di antara dua sahabat,yaitu Usman dan Ali. Lebih dari itu, bukankah umat Islam ketika

Kebenaran yang Hilang

2 8

itu sedang berada dalam taraf tertinggi dalam soal keteguhan dankesungguhan dalam berpegang kepada akidah Islam dan masihsangat dekat dengan sumber utamanya, yaitu al-Quran danSunnah? Bukankah kebanyakan dari mereka adalah para sahabatNabi yang turut menyampaikan kepada kita apa yang merekaperhatikan dari hadis dan sikap Nabi? Jawabannya, ya.

Bukankah syariat Islam juga diterapkan penuh pada masakepemimpinan Usman? Jawabannya, ya. Tidakkah dari paparandi atas kita dapat menyimpulkan bahwa pemimpin yang baik,umat Islam yang luhur, syariat Islam yang diterapkan penuh,seharusnya menjamin kebaikan bagi rakyat, menertibkan sistemkekuasaan, mewujudkan keadilan, dan menjamin keamanan?Jawabannya, seharusnya demikian. Saat inilah kita telah sampaipada kesimpulan-kesimpulan yang kita tarik dari paparan di atas.Mudah-mudahan dengan kesimpulan-kesimpulan ini kita dapatmemecahkan problem penafsiran dan dapat menjawab pertanyaan“mengapa” di atas.

Kesimpulan Pertama

Sesungguhnya keadilan tidak akan terwujud dengan kebajikanpenguasa semata-mata dan tidak juga akan bersemi dengankebajikan rakyat dan penerapan syariat. Namun, keadilan dapatterwujud dengan apa yang kita sebut sebagai “sistem ketata-negaraan” (ni«ām al-hukm). Yang saya maksud adalah ketentuan-ketentuan yang memuat tata cara mengontrol penguasa jika iabersalah, dan menghambatnya untuk melampaui kewenangannya.Dengan itu, kita dapat menurunkannya jika ia melenceng darikepentingan publik atau menyalahi kewenangannya. Ketentuan-ketentuan itu dapat datang dari unsur internal yang tumbuh darikesadaran dan sensitivitas seorang pemimpin sebagaimana pada

2 9

Kebenaran yang Hilang

masa Umar. Namun, ini sangat jarang terjadi, dan karena itutidak dapat dijadikan patokan dan dasar. Yang lebih tepat adalahbilamana ketentuan-ketentuan itu bersifat meyakinkan danterorganisasi.

Para pemimpin Islam telah menghadap kepada Usman yangdianggap telah melenceng dari prinsip-prinsip keadilan, bahkansebagian menganggapnya telah keluar dari esensi Islam yang benar.Namun ia tidak mengubah kebijakan politik kepemimpinannyasama sekali. Para pemuka itu akhirnya mencari-cari preseden darimasa lalu kepemimpinan Abu Bakar dan Umar untuk menyang-gah Usman, namun mereka gagal. Mereka juga mencari kaidahyang tetap dalam Islam ketika menjalankan urusan negara tapimereka tidak menemukannya. Karena itu, perkaranya menjadiruncing dan karena itu mereka mengepung Usman dan menuntut-nya untuk mengundurkan diri.

Namun karena ketentuan tentang itu memang belum ada,Usman pun menjawab dengan ungkapannya yang terkenal itu:“Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkanAllah kepadaku!” Ketika situasinya bertambah genting dan Usmansudah nyaris dikeroyok oleh rakyatnya sendiri, mereka masihmemberikan tiga opsi yang masuk akal kepada Usman. Pertama,ia akan diperkarakan dalam suatu sidang untuk memastikan iabersalah atau tidak bersalah sebagaimana umat Islam lainnya, dansetelah itu ia bisa melanjutkan kekuasannya. Usman tahu tidakakan ada kesalahan tanpa sanksi. Kedua, ia melepaskan kekuasan-nya atau mengundurkan diri dari jabatan khalifah dengankesadaran sendiri. Ketiga, mereka akan mengirim bala tentaradan penduduk Madinah untuk mendemonstrasikan bahwamereka tidak lagi taat terhadap Usman (atau menurunkan khalifahlewat kekuatan rakyat).

Namun jawaban Usman, sebagaimana yang termaktub dalamsurat terakhirnya yang ditulis Ibnu Suhail malah mengatakan:

Kebenaran yang Hilang

3 0

“Mereka telah mengajukan kepadaku tiga pilihan. Entah meng-ikatku karena tidak dapat melupakan semua langkah-langkahkuyang mungkin salah atau benar, atau aku mengundurkan diridan mereka menunjuk orang lain selain diriku, atau mereka akanmengirim bala tentara yang loyal kepada mereka dan pendudukMadinah, sehingga dengan begitu mereka dapat melepaskan diridari ketentuan Allah SWT yang menitahkan mereka untuktunduk dan taat kepadaku. Aku katakan kepada mereka: adapunjika aku ditarik ke pengadilan, maka sebelumku juga sudah adakhalifah yang berbuat salah dan berbuat benar. Tidak ada satupun dari mereka yang diseret ke muka pengadilan. Aku tahu,mereka hanya menginginkan aku. Adapun opsi untuk undur diridari kekuasaan, mereka tidak menyodorkan padaku orang yangpaling kukehendaki agar aku dapat pensiun dari tugas yangdiamanatkan Allah kepadaku untuk menjaga khilafahnya.Sementara ungkapan mereka untuk mengirimkan bala tentaradan penduduk Madinah untuk membelot dari ketaaatan kepadaku,aku tidak punya urusan dengan mereka. Aku tidak memaksamereka sebelumnya untuk tunduk dan taat kepadaku. Merekasendirilah yang menyatakan keataaan kepadaku.”

Di sini tampak sekali bahwa Usman menyatakan bahwapermintaan tanggung jawab dari khalifah sama sekali tidak adapreseden sebelumnya. Paling tidak, belum ada ketentuan sepertiitu sebelum masanya. Di sini ia juga bersikeras menyatakan akanmempertahankan kekuasaannya sampai akhir dan opsi pemecatandirinya adalah tidak mungkin. Ia juga menanggapi pencabutanmandat dengan logika yang aneh: Apakah aku memaksa kalianuntuk memberikan mandat kepadaku? Artinya, ia berpikiranbahwa setiap mandat bersifat abadi dan tidak ada ruang untukmenarik atau mencabutnya lagi.

Jadi tidak ada ketentuan, apalagi sistem yang mampu me-ngontrol kekuasaan. Karena itu, urusan ini dikembalikan kepada

3 1

Kebenaran yang Hilang

hati kecil para penguasa. Jika kebetulan kita menemukan pe-mimpin yang adil dan asketis, kita akan menjumpai sosok sepertiUmar. Namun, jika kebetulan kita menemukan pemimpin yangbelum mampu berbuat adil dan tetap bersikukuh memegangkekuasaan, maka akan muncul sosok Usman. Karena itu Usmanmemaklumatkan bahwa sistem pemerintahan Islam versi dirinyaberlangsung atas ketentuan “kepemimpinan seumur hidup.” Disini, tidak ada tata cara untuk meminta pertanggungjawabanpemimpin. Tidak ada peradilan atau sanksi bilamana ia berbuatsalah. Rakyat tidak berhak untuk mencabut mandat darinya,apalagi memecatnya. Cukup dengan sekali baiat kepadanya, itusudah menjadi penyerahan mandat selamanya. Dan rakyat tidakberhak untuk mencabut atau meninjau-ulang mandat tersebut,atau menuntut orang yang dibaiat untuk mengundurkan diri.

Karena tidak seorang pun menyepakati bahkan membayang-kan bahwa itulah prinsip-prinsip kekuasaan di dalam Islam, makaakhirnya ia dibunuh oleh umat Islam sendiri. Akan tetapi, perta-nyaan masih juga menggantung: Adakah prinsip atau ketentuan-ketenuan alternatif dari itu? Adakah sistem kekuasaan yang jelasbatasan-batasannya di dalam Islam? Adakah di dalam al-Quranataupun Sunnah ketentuan soal bagaimana umat Islam meng-angkat pemimpinnya dan menetapkan jangka waktu untukmemperbaharui mandat terhadapnya? Adakah ketentuan soalbagaimana tata cara mencabut mandat itu sebagaimana ketentuanuntuk mengumumkan mandat sebelumnya, sehingga rakyatberhak untuk mengontrol penguasanya, bahkan memberi sanksiapabila ia bersalah? Bagaimana wewenang yang diberikan dalammandat itu dijalankan?

Saya kira, pertanyaan-pertanyaan seperti ini masih menggan-tung dan belum pernah terjawab dalam sejarah Islam. Bahkanpertanyaan itu menghilang segera setelah berakhirnya masa al-Khulafa’ al-Rasyidun. Dan orang-orang yang ekstrem di masa sekarang

Kebenaran yang Hilang

3 2

berupaya untuk tetap memendam dan menguburnya. Itu semuauntuk melepaskan diri dari kebingungan, menghindar dari polemik,dan menjauhkan diri mereka dari etos ijtihad. Kemungkinan karenakemalasan, atau kebekuan, atau ketidakmampuan.

Kesimpulan Kedua

Penerapan syariat Islam itu sendiri sesungguhnya bukanlah esensidari Islam. Syariat telah diterapkan secara penuh dan terjadilahapa yang terjadi. Karena itu yang lebih penting dari penerapansyariat itu sendiri adalah menetapkan ketentuan-ketentuan ketata-negaraan yang adil dan berkesesuaian dengan semangat Islam.Kita telah menyaksikan betapa penuhnya syariat diterapkan danbetapa salehnya seorang pemimpin komunitas Islam. Bahkanrakyatnya pun tidak kalah berimannya. Namun yang terjadi tetapterjadi karena memang ada sesuatu yang hilang, dan saya mengiraperkara itu masih tetap lenyap sampai saat ini.

Apa yang terjadi di Sudan sebetulnya cukup menjadi buktibetapa riskannya memulai sesuatu dengan paras Islam yangsanksional. Itulah yang terjadi bilamana seorang pemimpin me-maklumatkan penerapan syariat Islam dalam sebuah negara.Mereka segera menerapkan sanksi udūd di tengah masyarakatyang terancam kelaparan. Imbas yang dirasakan oleh parapendukung penerapan syariat sendiri menjadi lebih kecil setelahsyariat itu benar-benar diterapkan dibandingkan sebelum syariatituditerapkan, hal ini menjadi sebuah ironis. Karena itu sebelummemulai sesuatu, hendaklah kita memulainya dengan yang palingpokok, bukan dari cabang. Dimulai dari esensi terdalamnya,bukan kulit luarnya. Mendahulukan keadilan di atas sanksi-sanksi,menjamin stabilitas di atas qisas dan menjamin rasa aman di atasteror serta menjamin perut kenyang daripada memotong tangan.

3 3

Kebenaran yang Hilang

Kesimpulan Ketiga

Andai anda beranjak dari masa Usman ke masa sekarang, andatidak akan menemukan banyak perubahan dan perbaikan, baikitu dalam aspek penyelesaian problem masayarakat atau dalamsoal kontrol terhadap para penguasa apabila mereka bersalah darisudut pandang Islam. Tidak perlulah anda mencari-cari hubunganantara penerapan syariat dengan potensi penyelesaian problemmasyarakat. Tanyakan pada saya dan pada diri anda sendiri hal-hal berikut ini:

Bagaimanakah caranya agar upah meningkat sementara hargamenurun bila syariat Islam diterapkan? Bagaimanakah caranyamengatasi soal perumahan yang sangat kompleks itu denganpenerapan syariat? Bagaimana menanggulangi utang luar negarisecara syariat? Bagaimana badan usaha milik negara akan menjadibadan usaha yang produktif, seimbang dengan tingkat investasi-nya, dalam kerangka penerapan syariat?

Ini hanya soal yang terbersit dalam benak saya untuk dikemu-kakan kepada para pendukung penerapan yang segera atas syariat.Mereka berfantasi akan diperolehnya solusi yang segera atasproblem masyarakat dan berjanji mampu menjawabnya. Merekasebetulnya juga terjebak dalam kebingungan ketika mendialogkanpersoalan-persoalan ini. Karena itu, mereka tidak mampu mem-buat agenda politik yang menyeluruh. Bahkan keahlian merekaberinovasi dengan ayat-ayat dengan bersandar pada ijtihad-ijtihadabad ke-2 hijriah pun akan membuat persoalan bertambah rumit,alih-alih akan menyelesaikannya.

Pandangan yang sempit tentang riba misalnya, jika diterapkandi dunia sekarang ini akan mengakibatkan goncangan besar dipasar keuangan. Itu semua akan berdampak pada manipulasi(tahāyul) sebagaimana yang tampak dalam pengalaman bank-bankIslam. Mungkin itu semua akan mengakibatkan kehancuran

Kebenaran yang Hilang

3 4

bukan pertumbuhan yang terjadi, mendatangkan stagnasi bukanmendatangkan keuntungan.

Sebelum anda membuka mulut dengan terheran-heran atauangkat tangan untuk menyanggah, izinkan saya menegaskanbahwa sebetulnya bukan syariatlah yang mendatangkan itu semua.Namun ijtihad-ijtihad abad ke-2 hijriah itulah yang membawakehancuran jika ia diterapkan pada masa yang sudah berubahini. Kini kita mengenal berbagai bentuk transaksi keuangan yangtidak dikenal pada masa lalu. Ada banyak perubahan sehinggatransaksi simpan-pinjam bukan lagi semata-mata atas dasarkebutuhan sehari-hari. Menabung di bank pun tidak sama denganpraktik meminjamkan uang kepada orang lain. Kini ada istilahinflasi yang berimbas pada melemahnya daya beli uang. Ataucontoh-contoh lainnya yang belum terpikirkan atau tersentuhijtihad sama sekali. Ijtihad yang ada barulah ijtihad yang mungkincocok untuk waktu dan tempatnya dan bukan untuk kurun kita.

Itu barulah tentang konsepsi riba. Bagaimana dengan tingkatupah, harga, dan permukiman warga? Apakah ada kaitan antarafenomena atau problem ini dengan penerapan syariat? Yangtampaknya lebih pasti, tidak ada hubungan atau ketarkaitan samasekali. Namun hubungan itu akan terjadi dan dapat dievaluasikorelasinya bilamana ada agenda politik yang dapat mensis-tematisasi kosa kata masyarakat, termasuk syariat, dalam suatusistem yang tidak bertentangan dengan Islam dan tidak jugaberbenturan dengan perkembangan dunia modern.

Kesimpulan Keempat

Kita harus membedakan antara dua perkara, yaitu antara melarikandiri dari kenyataan atau menghadapinya, antara kenekatan dankeberanian, antara menonjolkan kulit luar dan menelisik inti

3 5

Kebenaran yang Hilang

terdalam. Masyarakat tidak akan berubah dan umat Islam tidakakan maju hanya dengan memanjangkan jenggot dan mencukurkumis. Islam tidak akan dapat menaklukkan zaman dan maju kedepan hanya ketika para pemudanya menggunakan pakaianPakistan. Menjemput kemajuan ilmu pengetahuan tidak akanterjadi hanya dengan menggunakan siwak untuk menggantikanpasta gigi, atau hanya sekadar mencelak mata dan mengunakantangan telanjang ketika makan atau dengan cara membesar-besarkan teori terbelakang tentang “menangkap bayangan” untukmengharamkan patung atau gambar atau dengan menghabis-habiskan waktu dengan pertengkaran soal tata cara masuk kamarkecil atau sibuk menentukan tempat munculnya al-Masih al-Dajjal. Semua itu adalah persoalan yang remeh-temeh.

Namun yang aneh, semua itu sangat membebani pikiran parapemuda dan sebagian juru dakwah kita, melebihi kesibukanmereka untuk memikirkan esensi agama dan hakikat Islam yangtidak bertentangan dengan semangat kemajuan. Islam adalahkebenaran yang tidak bergantung sama sekali pada perkara-perkara seremeh itu. Saya mesti mengaku kepada para pembacabahwa saya sangat sedih ketika menyaksikan generasi mudamemenuhi kepalanya dengan perkara-perkara pinggiran sepertiitu. Saya juga menyaksikan para pemimpin mereka, terutamayang penuh ambisi dari kalangan revivalis Islam, amat antusiasmengukuhkan pikiran-pikiran seperti itu. Bahkan mereka mele-bihi dari itu, menyeru untuk meninggalkan ilmu-ilmu konven-sional atau aktivitas-aktivitas non agama agar umar berkonsentrasipada ibadah.

Apakah itu yang dimaksud dengan paras Islam yang sebe-narnya? Apakah dengan itu kita akan menghadapi tantangan abadke-21? Apakah mereka-mereka yang gagal memimpin diri danpengikutnya itu kelak akan berhasil memimpin masyarakat secaraumum? Apakah saya harus menerima ajakan mereka untuk

Kebenaran yang Hilang

3 6

menegakkan negara agama, sementara mereka hanya berpegangpada kulit-kulit agama? Padahal saya tahu bahwa mereka tidakmengenal aspek-aspek keyakinan agama kecuali permukannnyasaja. Itu pun bukan sesuatu yang berdasarkan al-Quran dansunnah Nabi. Apakah mereka siap menghadapi zaman yang sudahberubah? Alangkah eloknya kalau mereka meneladani Nabi yangmengajak umatnya untuk menebar rahmat, mengutuk pembu-nuhan sesama umat Islam, menganjurkan untuk menuntut ilmuwalau ke negeri Cina, menolak menjauhkan dunia demi ibadah,adil dalam pembagian kerja agama dan dunia, dan mengikrarkankebijaksanaannya yang sangat penting kepada generasi sesudah-nya: Anda lebih tahu perkara duniamu!

Kita tahu, mereka-mereka itu adalah kelompok orang yangmembenci masyarakat. Karena itu, masyarakat umum pun berhakmembalas kebencian mereka. Mereka juga berhak mengolok-olokmereka seperti mereka memberikan sumpah serapah kepadamasyarakat. Seperti halnya mereka merendahkan masyarakatdengan ungkapan jahiliyah, maka masyarakat pun berhak mencelamereka dengan ungkapan kaum fanatis dan berpikiran sempit.Masyarakat berhak menjauhi mereka, masyarakat berhak untukmemparlakukan mereka dengan sikap yang mereka pilih sendiribagi mereka, yaitu memperlakukan masyarakat sebagai pihak yangkeluar dari jalur syariat dan hukum.

Mereka telah menempatkan diri mereka sebagai pemukamasyarakat. Padahal mereka lebih tepat diperlakukan sebagaiorang-orang tersisih. Mereka sedikit atau banyak, telah memper-buruk citra Islam ketika mengklaim tentang Islam apa yang tidakpantas bagi Islam. Mereka telah menunjukkan paras Islam yangmembuat hati kecil tiap orang yang sehat ingin menghindarinya.Namun mereka tetap berteriak atas nama Islam dengan sesuatuyang merendahkan Islam. Akibatnya Islam dianggap sebagaiagama kaum fanatis, padahal ia adalah agama kaum lapang dada.

3 7

Kebenaran yang Hilang

Mereka memperlakukan Islam seperti batu, padahal Islam adalahagama fitrah bagi manusia. Mereka membuat sempit agama ini,padahal ia lapang dan terbuka untuk alam dan ilmu pengetahuan.Mereka memantulkan patologi-patologi kejiwaan yang merekaidap sendiri kepada Islam, sesuatu yang kita tolak atas nama agamapula dan selaku umat Islam.

Itu adalah bentuk pelarian, karena pelarian memang jauhlebih mudah daripada menghadapi kenyataan. Cara demikianlebih gampang daripada bersikap jantan dan ksatria. Merekamengemukakan kedangkalan, karena yang demikian lebih entengdaripada menelisik esensi agama. Dalam hiperbolismenya tentangsimbol-simbol, mereka bertindak tidak proporsional sembarimenuntut penerapan syariat. Itulah tuntutan yang sejalan dengantingkat pemahaman mereka dan sesuai dengan jalan pikiranmereka.

Padahal penerapan syariat dalam masyarakat kita saat inisebetulnya sudah sesuai dengan apa yang mereka klaim tentangpaham salaf tanpa ijtihad dan renungan yang mendalam. Merekamewakili simbolisme yang sebetulnya tidak kita butuhkan.Mereka hanya menunjukkan kulit permukaan saja, tidak mengan-dung isi apa-apa di dalamnya. Sementara esensi, kerangka, dansubstansi, adalah apa-apa yang telah saya kemukakan dalam bentukketentuan-ketentuan yang dapat mengorganisasi masyarakatdengan dasar-dasar yang tidak bertentangan dengan esensi agama.Ijtihad-ijtihad itu juga tidak bertentangan dengan fakta-faktadunia modern dalam kerangka umumnya. Tetapi tuntutan untukberijtihad adalah tuntutan yang amat berat bagi mereka. Karenaitu mereka pertama-tama haruslah bersusah-payah memahamidunia modern dengan sebenar-benarnya, sebelum masuk kekancah teoretisasi tentangnya. Mereka harus mengarungi kehidupandi dalamnya, sebelum membuatkan agenda-agenda untuknya.Mereka harus berinteraksi aktif di dalamnya sebelum melukiskan

Kebenaran yang Hilang

3 8

masa depannya. Jika tidak mereka pada akhirnya hanya akanmenjadi angin di musim panas yang akan beranjak sirna.

Orang-orang dengan perspektif pertama, yaitu para pendu-kung penerapan segera atas syariat, sebetulnya menyembunyikandi dalam hati mereka rasa permusuhan mendalam terhadap de-mokrasi. Itu terjadi entah karena kesengajaan, karena memangtidak percaya pada demokrasi sebagaimana yang telah kitapaparkan, atau memang karena niat baik, seperti yang dialamibanyak kalangan. Bisa juga karena antusiasme yang teramat tinggiterhadap syariat, dan karena itu langsung menuntut penerapannyatanpa membuka ruang perdebatan yang luas di masyarakat.

Perlu diingat pada akhirnya mereka juga mengecam paraanggota dewan perwakilan rakyat dengan menganggap merekakeluar dari agama ketika menolak, berhati-hati, atau skeptisterhadap penerapan syariat. Bahkan, sebagian mereka berusahamelampaui wewenang dewan dengan menghadap langsungkepada kepala negara agar syariat yang mereka pikirkan diterapkansecara langsung dan segera.

Perkara ini sebagaimana saya katakan sebelumnya, bukanlahperkara syariat semata, tapi perkara memilah antara negara agamadengan negara warga. Ini adalah pilihan, sebagaimana yang telahsaya jelaskan, antara alternatif yang telah jelas dan telah diterapkan,yaitu negara warga, dengan sesuatu yang para pendukungnyasekalipun belum melakukan pengkajian dan pengembangan —dan karena itu belum jelas, yaitu negara agama. Karena itu, sangatsulit, dan faktanya memang sulit memutuskan perkara ini dalamdua atau tiga kali pembahasan dalam hitungan sepekan dua pekan.

Atas dasar itu, saya mengemukakan cara lain untuk membahassoal ini dan mendiskusikannya, dengan cara yang saya pandanglebih tepat dan lebih benar, bukan saja dari sudut pandang saya.Perkara ini sudah menjadi kelaziman yang tidak perlu diperbincang-kan lagi karena alasan yang sederhana, yaitu kenyataan alamiah.

3 9

Kebenaran yang Hilang

Sebelum mengemukakan pandangan saya dalam soal ini, parapenentang pendapat saya mungkin akan mengatakan: Mengapaanda yang mengaku demokratis berhak bicara, sementara hakkami untuk mengemukakan pendapat sebagaimana anda, tidakanda hargai? Mereka juga merasa berhak mendefenisikan demokrasiberdasarkan isi kepala dan teori mereka. Padahal mereka sesung-guhnya tidak ingin terikat dengan konstitusi yang sebetulnya jugatelah menyatakan prinsip-prinsip syariat Islam sebagai sumberutama perundang-undangan Mesir. Namun anehnya, mereka puntidak ingin tunduk kepada aspirasi masyarakat yang juga berhakmelakukan revisi atas konstitusi, baik dalam bentuk referendumyang bahkan dapat menguatkan konstitusi itu. Padahal ini adalahpandangan-pandangan yang layak didiskusikan dan sangatpenting untuk diperhatikan dan direnungkan.

Menyangkut konstitusi, saya tidak berpandangan bahwa didalamnya ada sesuatu yang baru. Kebanyakan undang-undangyang ada di Mesir bahkan telah diilhami oleh prinsip-prinsip dasarsyariat Islam. Ini tentu dengan catatan yang saya anggap penting,yaitu pengakuan bahwa konstitusi bukanlah kitab suci. Karenaitu, setiap warga negara berhak berselisih pendapat tentang butir-butirnya atau menentang pasal-pasalnya. Atas dasar itu, merekajuga punya hak untuk mengajukan amandemen atasnya. Itusemua tentu dengan catatan agar tetap berjalan dalam koridorkonstitusi itu sendiri dalam tata cara dan proses amandemennya.

Namun dalam kenyataannya, para pendukung penerapansyariat ini juga menentang banyak sekali bagian-bagian darikonstitusi, seperti pasal tentang sistem multipartai. Sebab bagimereka, ini bertentangan dengan pandangan mereka yang hanyamengakui dualisme partai, yaitu partai Tuhan dan partai setan.Bahkan sebagian dari mereka melangkah lebih jauh dengan caramenolak bagian tentang sistem pemerintahan yang tercantum didalam konstitusi itu secara keseluruhan.

Kebenaran yang Hilang

4 0

Lalu apa hak mereka untuk mengemukakan alasan tentanghak berbeda pendapat di alam demokrasi yang justru menjadibumerang untuk mereka sendiri? Mereka melontarkan gagasanyang justru kontradiktif dengan apa yang mereka pikirkan. Merekaberlindung di balik konstitusi yang mereka sendiri tidak meng-akuinya.

Contoh yang lebih dekat dengan soal itu adalah upaya merekayang coba mengandalkan teknik pemilihan umum guna mengujidukungan masyarakat terhadap mereka. Padahal mereka menolaksegala bentuk pemilihan umum yang pernah terjadi di Mesir sejakmasa Revolusi sampai sekarang ini. Kecuali satu pemilihan umumyang kebetulan bertemu dengan keinginan mereka.

Jadi dalam hal ini konsitusi kita sebetulnya bukanlah tempatmereka untuk berlindung. Pemilu pun tidak memberi landasankonstitusional untuk mereka. Karena itu cara mereka satu-satunyauntuk tampil, seperti yang saya bayangkan, adalah bertarungsebagaimana orang lain bertarung. Mereka harus tampil denganagenda-agenda politik yang terukur dan menciptakan partaimereka sendiri. Saat mereka meraih suara terbanyak dalam sebuahpemilu yang bebas, mereka sesungguhnya telah memberikan buktidan membungkam kita dengan tindakan nyata. Saya sengajamenggunakan kata “membungkam kita”, karena saya percayabahwa itu mungkin saja menjadi kenyataan. Ini bukan bualan.Tetapi ingatlah, orang yang tidak biasa berdemokrasi tidak akanpernah bisa menghargai demokrasi. Andai mereka sampai ketampuk kekuasaan dengan kehendak mayoritas rakyat, merekapun berhak menjalankan aspirasi mereka.

Para pembaca mungkin menyela: Undang-undang kita yangsekarang tidak memberi peluang kepada mereka untuk memben-tuk partai atas dasar keyakinan agama. Benar itu ada dalam teksperundang-undangan yang punya alasan tertentu juga. Sebab paraperancangnya berpandangan bahwa partai politik adalah mimbar

4 1

Kebenaran yang Hilang

terbuka bagi setiap warga negara Mesir, terlepas apa agama dankepercayaannya. Namun saya melihat bahwa situasi krisis telahmelampaui kenyataan itu. Kelompok Ikhwanul Muslimin misal-nya, telah memiliki partai sendiri. Mereka punya kantor pengarah,surat kabar, majalah partai dan nonpartai. Itu semua untuk mem-bela kepentingan dan mempertahankan sudut pandang mereka.Bahkan terkadang mereka juga punya wakil di tingkat dewanperwakilan rakyat, khususnya setelah terjadinya aliansi antaramereka dengan Partai Wafd. Itulah aliansi yang bagi sebagianpengamat dianggap seperti nikah mut’ah yang diakui orang Syiahdan ditentang orang Sunni.

Jadi mereka ada di dalam parlemen. Mereka mendapatkanlegalitas dengan kehadiran yang legal pula. Mengingkari keber-adaan mereka adalah ibarat memendam kepala ke dalam gurunpasir. Membolehkan mereka dan kelompok lainnya dari aliranpolitik dan keagaamaan berbeda-beda untuk membentuk partaisendiri, saya kira punya sisi positif yang tidak dapat diingkari.Dengan begitu kita berharap mereka terbiasa membuat agendapolitik yang terukur. Dialog dengan mereka pun akan terjalindalam soal-soal politik yang empiris. Dialog kita dengan merekamenjadi dialog tentang dunia, bukan agama. Tujuan mereka akanlebih jelas, yaitu mengincar kursi kekuasaan, bukan istana di surga.

Para juru dakwah di masjid pun akan dipaksa untuk tidakterlalu berlebih-lebihan dalam mengumbar sloganisme merekasebab mereka telah masuk ke dalam aktivitas politik yang jelas.Partai-partai politik akan siap beroposisi dengan mereka, tidakpula melebih-lebihkan peran mereka. Mereka mungkin akan lebihbanyak berselisih pandangan di antara mereka sendiri dibandingberselisih pandangan dengan orang lain. Mereka akan menghadapisesama mereka secara lebih sengit daripada berhadapan denganorang lain. Mereka akan berdebat dalam kancah yang bukankancah mereka. Mereka juga akan berbicara dalam bahasa yang

Kebenaran yang Hilang

4 2

untuk merangkai kosa katanya saja akan sulit bagi mereka, apalagimeluruskan gramatikanya.

Dalam kenyataan seperti ini terkandung rahmat yang amatbesar. Itu juga lebih menstabilkan kehidupan bernegara. Tidakada alasan lagi bagi siapa pun untuk mengatakan bahwa itu akanmembuka peluang bagi terbentuknya partai politik Kristen-Koptik yang akan berpotensi mengoyak integrasi nasional. Sejarahmembuktikan bahwa itu tidak pernah terjadi. Bahkan kalaupunterjadi, pengaruhnya hampir tidak berarti. Janganlah kita melupa-kan fakta tentang Partai Ukhnus Fanus yang pernah terbentuk,lalu bubar karena anggotanya tidak lebih dari puluhan orang saja.Pengalaman Partai Wafd juga tidak terlalu jauh dari ingatan kita.Partai ini lebih banyak dikuasai orang-orang Koptik yangterkesima dengan panji-panji sekularisme dan slogan-slogan yangmemukau mereka. Perkara ini tampaknya masih berlanjut danperbincangan tentang ini masih amat panjang.

Intinya semua fakta itu dapat mengurangi rasa was-was kitadan bukan malah menguatkannya. Itu juga menguatkan apa yangsaya serukan, bukan malah melemahkannya.

Inilah perspektif kedua wahai para pembaca. Saya sengajaberbicara panjang lebar tentang ini melebihi pendapat pendukungperspektif pertama dalam mengemukakan dan membumbuislogan mereka. Saya berpendapat, kini tibalah bagi anda untukmemilih. Pemikiran yang tenang akan membawa anda kepadakeputusan yang tepat. Bahkan saya hanya berharap, andai punanda hanya sampai pada skeptisisme setelah membaca ini semua,saya pun sudah memanjatkan puji syukur kepada Allah. Denganbegitu, sebetulnya anda telah tahu bahwa yang selama ini merekagaungkan hanyalah cara yang termudah. Para pendukung merekaterdiri dari orang-orang yang tidak tahu bahkan tidak sadar bahwaini adalah perkara besar.

4 3

Kebenaran yang Hilang

Dengan itu mereka hendaklah menahan diri dari giurankekuasaan dan empuknya kursi pemerintahan. Mereka hendaknyalebih bertanggungjawab untuk tidak membebani orang lain denganimpian-impian yang tidak perlu. Mereka mestinya berpikir sebelummenuduh kafir. Mereka hendaknya menghadapi problem riilmasyarakat dengan mencarikan solusinya, bukan dengan me-lakukan hijrah darinya. Mereka juga hendaknya berhemat untukmengatakan orang lain jahiliyah agar mereka tidak dianggap orang-orang yang jahil pula. Mereka juga hendaknya sadar bahwa Islamlebih agung daripada cara-cara mereka merendahkannya denganmembenturkannya dengan dunia modern.

Negeri ini pun lebih berharga untuk tidak dikoyak-koyakfanatisme mereka. Biar mereka juga tahu bahwa setiap masa depansebuah bangsa ditentukan oleh pena bukan oleh siwak, oleh kerjanyata, bukan menyendiri, oleh akal-budi bukan gumaman belaka,oleh logika bukan peluru. Dan lebih penting dari itu, agar merekamengetahui kebenaran fakta yang hilang dari ingatan mereka,komunitas Islam bukan hanya mereka saja!***

.

4 5

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

Bab IIPembacaan Baru terhadap Sejarah

al-Khulafa’ al-Rasyidun

Para pembaca berhak terenyuh dan terkesima tatkalamembaca apa yang akan saya paparkan pada bagian initentang tragedi kematian Usman. Sedih, dapat dipahami.

Mungkin juga terkesima, karena peristiwa itu terbukti amat kom-pleks. Ketika kita mengunci satu pintu pembahasan, dan kitamenyangka persoalan telah usai, pintu-pintu pertanyaan lainterbuka – dan itu lagi-lagi memberatkan hati kita. Kita hanyadapat menyimpan perasaan untuk menyalahkan siapa, tetapi kitatidak kunjung tahu siapa yang mesti dicela. Sebab, ketika kitamenyalahkan para pemberontak pada masa itu, kita juga tidakkuasa untuk melepaskan Usman dari kesalahan. Ketika menya-lahkan Usman, para pemberontak itu juga tidak dapat lepas darikesalahan. Ketika kita menyalahkan para pemberontak, kita jugadituntut untuk bersimpati kepada perjuangan mereka. Kalau kitamenyalahkan Usman, kita juga tidak dapat lepas dari keharusanuntuk bersimpati atas tragedi kematiannya.

Bisa jadi karena sentimen keagamaan anda lebih inginbersimpati kepada Usman, lalu mencari-cari alasan atau apologiauntuk kebijakan-kebijakannya. Namun, dalam alur pikir seperti

Kebenaran yang Hilang

4 6

ini, anda akan berbenturan dengan ungkapan-ungkapan dantindakan-tindakan para sahabat terkemuka lainnya. Apalagi,sebagian dari mereka secara terang-terangan telah menyeru angkatsenjata dan membelot dari kesetiaan terhadap pemerintahanUsman. Kepada Ali, Abdur Rahman bin Auf, misalnya menyeru-kan: “Kalau engkau berkenan, silakan angkat senjata. Akupunakan angkat senjata. Ia (Usman) telah mengambil kembali apayang telah ia berikan kepadaku.”

Lantas Auf berkata kepada para sahabatnya, dalam keadaansakit yang pada akhirnya menyebabkan kematiannya: “Bersege-ralah kalian (untuk memberontak terhadap kekuasaan Usman)sebelum kekuasaannya itu yang akan melindas kalian!”1 Thalhahjuga memprovokasi para pemberontak, sampai-sampai Ali tidakmempunyai pilihan lain kecuali membuka akses Baitul Mal, lalumembagi-bagikannya kepada mereka sampai terjadi pertengkarankarena itu. Tetapi, saat itu Usman justru membenarkan tindakanAli. Dan benar saja, tidak perlu menunggu sampai berbulan-bulanlamanya, Usman pun terbunuh.

Anehnya, Thalhah kemudian justru tampil sebagai orang yangmenuntut balas atas kematian Usman dalam kelompok tentaraAisyah, sampai ia sendiri pun mati terbunuh oleh tombak yangdilontarkan oleh Marwan bin Hakam, orang kepercayaan dantangan kanan Usman, sekaligus rekan Thalhah dalam barisan tentarayang menuntut balas atas terbunuhnya Usman. Marwan menjadikhalifah kaum Muslim 30 tahun setelah itu. Tatkala ditombak itulahThalhah sadar bahwa itulah memang masa penghabisan hidupnya.Karena itu, ia dalam rangka berterus-terang pada dirinya sendiridan kepada Allah, mengulang-ulang ungkapan berikut: “Inilah

1 Thaha Husein, al-A’māl al-Kāmilah lī āhā useīn, Bagian al-Fitnahal-Kubrā, Vol. IV, hal. 366-367. Beirut: Darul Kutub al-Lubnani.

4 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

tombak yang ditikamkan Allah kepadaku. Ya Tuhan, ambillahbalasan untuk Usman dariku, sampai Engkau rida.”

Ini ungkapan yang betul-betul jujur untuk menyingkap kebe-naran hati kecil dan kemampuan untuk mengaku bersalah. Namun,dalam kasus seperti ini, Thalhah bukanlah pemula, melainkan jugamengikuti teladan para sahabatnya. Dan ia sendiri adalah salahseorang sahabat Rasul. Intinya, ia adalah orang yang betul-betulekstrem, dan karena itu rela membinasakan orang lain dan dirinyasendiri. Sementara sosok-sosok seperti Ali, al-Zubair, Ibnu Mas’ud,Ammar, dan lainnya, jauh lebih fleksibel dalam melakukan oposisiterhadap Usman. Kadangkala mereka memang tampak keras, tetapidi lain waktu cukup lunak. Akhirnya Thalhah binasa dan binasapulalah beberapa orang yang ikut bersamanya. Sebagian lain binasatidak dalam waktu yang bersamaan dengan Thalhah.

Akibatnya, terjadilah apa yang terjadi. Orang Muslim dibunuholeh pedang orang Muslim sendiri. Namun implikasi dari keja-dian-kejadian sejarah ini masih juga menyertai kita sampai saatini. Para ahli fikih zaman sekarang masih juga memperdebatkanapa yang tidak pernah dicita-citakan seseorang untuk didiskusi-kan, yaitu soal hukum legalitas membunuh orang-orang yangberkiblat sama (ahl al-qiblah) atau penyerangan seorang Muslimterhadap Muslim lainnya. Sebagian berpendapat bahwa gejala-gejalaawal dalam soal ini baru muncul pada permulaan masa kepemim-pinan Ali. Namun kita lebih condong untuk merunutnya lebihjauh ke belakang, ke masa pemerintahan Abu Bakar. Dengan itu,kita dapat merenungkan kembali soal kasus perang terhadap orang-orang yang dituduh murtad ( urūb al-riddah). Pada titik inilahkita perlu memilah apakah serangan Abu Bakar dikarenakan merekabenar-benar murtad dari Islam atau hanya karena mereka engganmembayar zakat kepada Abu Bakar atau Baitul Mal.

Ketika membedakan dua hal tersebut, kita punya alasansederhana. Asumsi yang pertama tampak langsung memvonis

Kebenaran yang Hilang

4 8

pihak yang diserang Abu Bakar sebagai orang-orang murtad.Sementara asumsi kedua lebih berhati-hati menyebut merekamurtad karena mereka semua telah mengucapkan dua kalimatsyahadat. Mereka juga rajin menjalankan kewajiban-kewajibanagama lainnya secara sukarela. Mereka juga membayar zakat, tetapilangsung kepada orang-orang yang membutuhkannya, bukandisalurkan kepada Khalifah atau Baitul Mal. Mereka beralasanbahwa seruan “Ambillah dari sebagian harta mereka…” yangtercantum di dalam ayat al-Quran itu adalah ungkapan yanglangsung tertuju kepada Rasulullah dan tidak boleh dianggapsebagai seruan kepada yang lainnya. Ayat itu bagi mereka tidakditujukan kepada yang lainnya, sekalipun yang lainnya itu adalahKhalifah Rasulullah sendiri.

Ketika saya merenungkan ulang dan mencoba untuk membe-dakan kedua kategori ini, dan mungkin bisa dianggap bersimpatikepada orang-orang yang dituduh murtad itu, saya langsungterkenang sikap Umar terhadap Abu Bakar. Ketika itu, Umarjustru mempertanyakan landasan kebijakan Abu Bakar untukmelakukan serangan terhadap orang-orang yang telah mengucapsyahadat itu. Inti jawaban Abu Bakar menyatakan bahwa mengu-capkan syahadat itu ada konsekuensinya. Yang dimaksud dengankonsekuensi di sini adalah menyerahkan zakat kepada Baitul Mal.Namun ini termasuk bagian dari ijtihad juga. Sementara bagiUmar ketika mempertanyakan kebijakan Abu Bakar, ia sebetulnyasedang teringat akan sebuah hadis Rasul yang menyatakan bahwaseorang Muslim tidak boleh dibunuh kecuali karena tiga alasan,yaitu berzina setelah berumah-tangga, murtad setelah beriman,atau di-qi ā karena melakukan pembunuhan tanpa alasan yangdapat dibenarkan.

Dalam kasus ini, Umar seakan-akan berpendapat bahwamenafikan keimanan seseorang yang telah bersyahadat, menger-jakan salat, berpuasa di bulan Ramadan, melaksanakan haji ketika

4 9

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

mampu, dan menunaikan zakat langsung kepada yang membu-tuhkannya tanpa perantara, adalah perkara yang tidak dapatmenafikan keimanan seseorang. Dan di zaman sekarang, bisa jadikita pun melakukan hal serupa. Karena itu, kita juga bisa tidaksepakat dengan kebijakan Abu Bakar tersebut walaupun kita tidakberhadapan secara langsung dengan perdebatan Abu Bakar danUmar. Kini kita boleh jadi telah melakukan hal-hal yang dilakukanoleh orang-orang yang dulunya dianggap murtad. Faktanya kitamemang menunaikan zakat langsung kepada orang-orang yangmembutuhkan dan kita tidak menyerahkannya, misalnya kepadamenteri kuangan atau kepala negara. Kalau kita membenarkanlogika Abu Bakar dalam keputusan menyerang mereka, itu samaartinya kita sedang membenarkan sebagian orang untuk menyerangkita karena tindakan keagamaan kita saat ini. Padahal mereka samasekali tidak berhak mengingkari iman kita setelah kita mengucapkandua kalimat syahadat. Dan kini, kita tidak perlu bersumpah didepan pemerintah bahwa kita adalah orang-orang yang menjalan-kan rukun-rukun agama dengan benar. Begitulah yang kitaharapkan saat ini, sehingga kita tidak memberi peluang kepadaorang lain untuk mengaku maksum selain Rasulullah.

Lebih dari itu, kita juga berpandangan bahwa ijtihad AbuBakar tidak mengikat orang-orang setelahnya. Jika tidak makasemua khalifah sesudahnya pasti akan menempuh jalan yang samadengannya. Namun faktanya mereka tidak menjadikan kebijakanAbu Bakar sebagai naskah kitab suci yang tertutup. Para pemimpinsesudahnya tidak menjadikan kebijakannya sebagai pedomandalam memerintah. Dan kalau bukan karena iman kita bahwaIslam adalah benar, al-Quran adalah benar, kenabian Muhammadadalah benar, dan kemanusiaan adalah benar, maka tentu kitatidak akan membenarkan kebijakan Abu Bakar.

Akan tetapi, yang juga penting ditekankan di sini ialah kitasedang membicarakan topik ini dengan sudut pandang berbeda,

Kebenaran yang Hilang

5 0

bukan membahas soal benar atau salah suatu kebijakan. Inipembahasan tentang politik kebijakan. Dalam konteks itu, kitajuga bisa mengatakan bahwa andai saja Abu Bakar tidak meng-ambil tindakan-tindakan seperti itu, maka besar kemungkinanIslam tidak akan berkembang dalam bentuk negara yang ber-daulat, utuh, mampu melakukan ekspansi ke berbagai kawasan,dan dapat mengembangkan akidah dan mengukuhkannya.

Karena itu, harus dikatakan pula bahwa Abu Bakar telah me-lakukan sebuah bentuk ijtihad dalam pandangan politiknya, dania tidak diragukan lagi, bertindak benar dari sudut itu. Ia puntelah melakukan ijtihad dalam soal agama dalam pemaknaan zakatdan mungkin mendapatkan dua pahala, walau bagi kita hanya satupahala. Dia mungkin membuktikan kepada orang lain bahwapolitik tidak jarang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama dandasar-dasarnya. Sembari itu, ia juga ingin menunjukkan bahwakebijakannya tidak lebih dari sebuah bentuk ijtihad. Dan karenaitu, tidak selayaknya bagi kita untuk berpandangan bahwa ijtihadAbu Bakar adalah salah satu pokok akidah dan pilar keimanan.

Saya tidak sedang mendukung pandangan bahwa kebijakanAbu Bakar itu sepenuhnya politik dan tidak mengandung unsuragama sama sekali. Atau dalam bahasa sekarang, Abu Bakar adalahseorang sekularis tulen yang memisahkan urusan agama danperkara politik. Tidak! Kita tidak ingin menimpali kekurang-cermatan dalam melakukan telaah sejarah dengan kekurangcermatan dalam melakukan penyimpulan.

Yang kita inginkan tak lain adalah menurunnya frekuensicemoohan kepada kita, dari orang-orang yang memandang parasahabat Nabi itu suci bagaikan totem yang tidak boleh disentuh.Caranya, dengan menunjukkan fakta-fakta sejarah. Pada titik ini,penting juga untuk mengingatkan sebuah hadis Nabi yang menya-takan bahwa Ammar bin Yaser akan terbunuh oleh sekelompokorang yang bengis (fiah bāghiyah). Ini adalah hadis sahih karena

5 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

semua ketika itu mengingat-ingatnya lagi tatkala Ammar terbunuh.Hadis ini dikumandangkan kembali baik oleh tentara Ali maupunMuawiyah. Kedua bala tentara itu tidak kunjung reda emosi merekakecuali setelah Muawiyah menyatakan bahwa “orang-orang yangmengajaknya berperanglah yang telah membunuhnya!”

Konon, ketika peristiwa itu terjadi, perkaranya memangcukup pelik, terutama tatkala ada keinginan untuk menentukansiapakah “kelompok bengis” sebagaimana yang diprediksikan olehRasulullah dalam hadisnya. Salah satu kelompok memang bengis;dan kalau kita menerima hadis itu secara apa adanya, kita akanmengatakan bahwa kelompok Muawiyah-lah yang bengis. Ituartinya Muawiyah bengis, Amru bin Ash juga bengis, Marwanbin Hakam bengis, Ubaidillah bin Umar bengis, dan sederet namabesar lainnya. Tetapi kalau kita menggunakan ungkapan Muwai-yah sebagai pisau analisis, kita justru akan berpandangan bahwayang bengis justru sekelompok para sahabat yang dikenal salehyang telah membawa Ammar dalam kancah peperangan. Kitatidak berani menyebutkan nama-nama mereka.

Karena itu yang penting ditunjukkan di sini hanyalah betapaijtihad Abu Bakar pun pada masanya mendapat tentangan daripara sahabatnya. Dan perhatikanlah sekarang, betapa beraninyapara sahabat yang terkemuka dalam menggunakan kebebasanakalnya dalam berpendapat. Misalnya, Washil bin Atha’, ahli fikihMuktazilah dan imam besarnya, serta Amru bin ‘Ubaid, seorangyang asketis dan sangat wara yang pernah dipuji Khalifah al-Manshur sebagai orang yang tidak pernah mencari keuntunganpribadi dibandingkan orang lain. Mereka berdua bahkan beranimengatakan bahwa dalam kasus Perang Unta, dan juga PerangShiffin, “Syahadat Ali, Thalhah dan al-Zubair, tidak dapat diper-tanggungjawabkan lagi.”2

2 Al-Syahristani, al-Milal wan Ni al, Beirut: Darul Ma‘rifat, Vol. I, hal. 49.

Kebenaran yang Hilang

5 2

Pendapat seperti ini sengaja tidak kita cek kembali danbuktikan kebenarannya. Yang penting bagi kita di sini hanyalahuntuk merangsang renungan ketika kita membandingkan antarasatu masa dengan masa lainnya, kondisi tertentu dengan kondisilainnya, dan pemikiran tertentu dengan pemikiran lainnya. Bagikita, tidak perlulah melampaui ruang lingkup ijtihad dalammenafsirkan fakta-fakta sejarah, sekalipun kita tahu, Umar binKhattab pun telah melakukan berbagai bentuk ijtihad untukperkara yang jauh lebih penting dan lebih besar. Dan itu berten-tangan dengan semangat yang saat ini kita kenal dan anut, yaituanggapan bahwa tidak ada ijtihad terhadap teks atau tidak adanyaruang ijthad dengan adanya teks.

Yang perlu kita ingat, bentuk-bentuk ijtihad Umar itu justrutidak hanya terbatas dalam perkara menafsirkan atau mengoreksi,bahkan sampai pada pembatalan hukum yang telah ada di dalamal-Quran serta menyalahinya. Namun, para sahabat tidak meng-ingkari haknya untuk melakukan ijtihad. Boleh jadi, di sepanjangsejarah Islam, kita tidak menemukan tandingan Umar sebagaifigur pemuka agama dan sekaligus negara dan dalam hal keberani-annya melakukan ijtihad. Ia adalah orang yang tegas dalam soalkebenaran. Dan dalam kasus Umar, rakyat justru menerima sikapkeras dan tegasnya karena mereka percaya bahwa ia memangbenar. Ia juga seorang asketis yang tiada taranya di antara parapemimpin sebelum dan sesudahnya. Pada masa Umar, rakyat jugamenyambut kebijakannya untuk bersedia ditilik dan dimintakantransparansi soal pendapatan mereka. Mereka juga merelakanUmar untuk mengambil harta yang berlebih dari apa yang merekabutuhkan. Mereka juga rela untuk benar-benar didisiplinkan,terutama ketika Umar melihat mereka cenderung kepada polahidup yang hedonistis.

Umar juga sosok yang selalu mungkin berbuat salah, tetapiia cepat belajar dari kesalahan. Ia tidak mau berkompromi

5 3

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

terhadap kekeliruan. Ingatlah tatkala ia memberi mandat kepadaAmmar bin Yaser untuk memimpin Kufah. Dengan cepat Umarmemahami bahwa Ammar yang cakap dalam urusan agama tidakmesti juga cakap dalam urusan dunia. Ia mengerti bahwa untukmemerintah memang ada seninya tersendiri, dan politik memangmempunyai panglimanya masing-masing. Tidak mesti yangmampu menjadi panglima dalam urusan politik itu adalah tokoh-tokoh agama. Karena itu, ia memutasi Ammar dan menggantinyadengan figur-figur yang lebih cocok untuk mengurus persoalanpolitik, seperti al-Mughirah bin Sya’bah, Yazid bin Abi Sufyan,dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Umar menolak penggantianAmmar dengan Abu Dzar sambil berterus terang kepadanyabahwa ia berkepribadian lemah. Dan bagi Umar, seorang yanglemah secara kepribadian tidak akan mampu mengemban tugasyang melebihi kompleksitas persoalan akidah.

Akidah mempunyai lapangannya sendiri dan politik memilikilapangannya sendiri. Kalau kecakapan dalam kedua hal itu ber-himpun — dan itu amat jarang terjadi — akan tercapailah tingkatkesempurnaan. Apabila keduanya tidak berhimpun — danbertapa sering keduanya tidak dapat berhimpun — maka setiapperkara memang ada pakarnya. Ahli politik lebih layak meme-rintah, sementara ahli agama lebih baik mejaga akidah. Namun,lebih dari semua itu, hal terpenting yang diajarkan Umar kepadakita, dan itu melebihi pelajaran yang diberikan oleh orang-orangsesudahnya, adalah soal etos ijtihad.

Karena itulah kita memulai pembicaraan kita dari ungkapanUmar. Dan Umar memang begitu unik di antara banyak sahabatlainnya, khususnya ketika ia berijtihad. Sekalipun ada ayat al-Quran yang berbicara dalam suatu persoalan, ia tetap beranimengambil langkah yang bertentangan dengan yang tertulis didalamnya sambil memberi justifikasi terhadap pendapatnyadengan argumen-argumen yang menakjubkan. Betapa pentingnya

Kebenaran yang Hilang

5 4

orang-orang yang pikirannya tertutup sekarang ini untuk kembalimerenungkan kebijakan-kebijakan Umar secara seksama. Dansangat penting bagi kita untuk menguraikannya secara terperinci.Mudah-mudahan dengan begitu, dada mereka menjadi lapangdan mereka tahu bahwa menggunakan akal pikiran jauh lebihpenting dibanding vonis pengkafiran; dan bahwa tafkīr (aktivitasberpikir) haruslah jauh dikedepankan daripada takfīr (memvonisorang kafir). Dengan agak berkelakar dan sebelum membahas soalini lebih jauh, kita perlu pula mengajukan pertanyaan kepada orang-orang yang kita singgung di sini. Yaitu, apa ketentuan hukum untukseorang pemimpin sebuah negara Muslim yang telah mengambilkebijakan yang bertentangan dengan teks al-Quran yang ia ketahui,hanya karena kenyataan hidup memang sudah melampaui itu dansecara logika kita memang tidak harus mengikuti apa yangtertuliskan secara tekstual di situ? Mungkin kita dapat mereka-reka, bahkan memastikan apa jawaban mereka. Kita mungkin jugaakan berbisik kepada mereka, sabar dan janganlah tergesa-gesamengajukan pendapat. Pertimbangkanlah banyak faktor karena kitasedang berhadapan dengan kejeniusan Umar bin Khattab.

Baiklah berikut ini kita akan mengungkapkan contoh-contohkebijakan Umar yang kontroversial sebagaimana dituliskanseorang alim yang terhormat, Dr. Abdul Mun’im al-Namir dalamkitabnya, al-Ijtihād 3

Persoalan pertama yang akan kita ungkap adalah soalpembagian zakat untuk orang-orang muallaf sebagaimana yangtertulis dalam al-Quran. Di dalam al-Quran diterangkan bahwazakat diperuntukkan bagi orang-orang fakir, miskin, amil, paramuallaf, dan seterusnya (Surat at-Taubah ayat 60). Pada masaNabi, beliau tetap memberikan jatah mereka (para muallaf itu)

3 Dr. Abdul Munim al-Namir, al-Ijtihād. Kairo: Darus Syuruq, hal. 93dan seterusnya.

5 5

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

sekalipun mereka dapat disebut kafir atau tidak menganut Islamsecara sahih dan jujur. Bahkan, mereka dikelompokkan ke dalamgolongan orang-orang yang kurang berpendirian. Nabi memberi-kan jatah kepada mereka agar mereka lebih cenderung kepadaIslam. Betapa banyak orang yang diperbudak oleh belas kasihanorang lain. Namun hal itu tetap diperlukan agar umat Islamterhindar dari permusuhan mereka dan agar hati dan ucapanmereka lebih bersahabat. Mungkin, dengan itu Islam juga dapatmerebut simpati mereka.

Su’aid bin al-Musayyab meriwayatkan bahwa Shafwan binUmayyah pernah mengatakan: “Rasulullah selalu memberikanjatahku sekalipun ia adalah orang yang sangat aku benci. Ia tetapmemberi sampai ia berubah menjadi orang yang paling aku cintai.Pada masa pemerintahan Abu Bakar, ia tetap meneruskan langkahyang ditempuh Rasulullah, sampai datang kepadanya Uyaynahibn Hishn dan al-Aqra’ ibn Habis. Keduanya lalu mengabarkankepada Abu Bakar: ‘Di sekitar kami terdapat tanah kosong yangtidak berumput dan sama sekali tidak berguna. Apakah engkaubersedia memberikannya kepada kami?’ Abu Bakar lalu memberi-kan jatah tertentu untuk keduanya dengan dasar bahwa keduanyadianggap muallaf. Ia juga menulis keterangan untuk merekaberdua lengkap dengan saksinya. Saat itu Umar tidak berada ditempat. Lalu Abu Bakar datang kepada Umar untuk memintanyamenjadi saksi. Tetapi Umar justru menentang kebijakannya dengankeras. Ia lalu menghapus apa yang sudah tertulis. Kedua orangitu lalu naik pitam dan mengumpat-ngumpat Umar. Lantas Umarberkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah dulunya hanya sedang memikathati kalian karena umat Islam ketika itu masih sedikit. Kini, Tuhantelah menjadikan Islam tidak memerlukan orang-orang sepertikalian. Pergi dan jalankahlah apa yang selama ini kalian kerjakan.Tuhan tidak akan rela lagi melihat tampang kalian jika kalianmasih berbuat demikian’.”

Kebenaran yang Hilang

5 6

Hal yang tampak jelas di sini adalah: Umar menghentikanhukum yang pernah berlaku pada masa Rasulullah dan padasebagian masa Abu Bakar berdasarkan ijtihadnya sendiri. Iamelihat bahwa dasar-dasar pemberian jatah muallaf itu kini tidakada lagi. Karena itu, tidak ada alasan untuk tetap memberikanjatah mereka. Di sini, ada dan tidak adanya hukum bergantungpada alasan hukumnya. Dan, Umar bukanlah sosok yang kakuketika berhadapan dengan ketentuan dan kulit luar teks al-Quran;tidak juga ia tunduk pada ketentuan-ketentuan yang sudahberlaku sebelumnya. Ia langsung menyelidiki alasan dan dasarsuatu ketentuan. Lalu ia membuat keputusan dengan ijtihadpribadinya dalam memahami hukum dalam kerangka semangatIslam yang ia pahami.

Ini adalah sikap yang logis, jelas, dan terukur. Sikap itutentunya juga perlu diteruskan dengan pertanyaan yang logis,jelas dan terukur pula. Yaitu, apakah kita dibolehkan meneladaniUmar ketika mengabaikan teks al-Quran, atau bolehkah kitaberijtihad dengan adanya teks al-Qur’an, sekalipun kita sampaipada ijtihad yang bertentangan dengan arti teksnya karenaperubahan alasan hukum atau dasar-dasarnya?

Ini pertanyaan yang pelik, tetapi sangat penting jawabannya.Konsekuensi-konsekuensi dari jawaban itu pun jauh lebih penting.Bukan penting bagi Islam sendiri, tetapi bagi kalbu-kalbu yangtelah mengatup dan akal yang telah tergembok dan terkunci. Kitadapat membayangkan munculnya jawaban mereka-mereka yangmencari jalan selamat dan bersikap plin-plan dalam perkara ini.Mereka mungkin mengatakan, itu boleh saja terjadi, terutamaketika kasusnya setara dengan apa yang dulu terjadi, tanpa ber-paling dari ketentuan-ketentuan agama dan ajaran-ajarannya yangjelas, seperti ketetapan udūd di dalam al-Quran. Dengan jawabandemikian, mungkin kita akan tetap berbesar hati. Kita berharapakan ada terobosan-terobosan baru dari mereka walaupun kita

5 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

sudah tahu apa yang mereka pikirkan sebelumnya. Tetapi, halyang membuat kita lebih miris adalah sikap berkelit mereka dalammenyikapi berbagai bentuk ijtihad Umar terhadap teks-teks yangsudah pasti di dalam al-Quran. Ini pantas kita katakan, sebabketika mengungkapkan berbagai kebijakan Umar, kita sering kalimenyaksikan orang-orang yang mengaku ahli fikih membuat fatwayang bertentangan dengan semangat Umar. Mereka bahkanmenuduh kita tidak membaca Umar secara tepat dan cermat danhanya menghalalkan segala cara untuk sampai kepada tujuan kita.

Contohnya adalah apa yang diungkapkan Ustad al-HamzahDa‘bas dalam debatnya dengan seorang menteri Maroko. Debatitu dimuat majalah al-Nur yang redaksinya dipimpin oleh Ustadal-Hamzah sendiri. Di situ Ustad al-Hamzah mencoba memancingsang menteri untuk menjawab alasan tidak diterapkannya sanksiudūd sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran di Maroko.

Jawaban menteri ketika itu: peniadaan sanksi udūd dilandasi olehijtihad yang sudah ada presedennya, yaitu ketika Umar tidakmemberlakukannya terhadap kasus pencurian pada masa paceklik.Ustad al-Hamzah segera menyela dengan ungkapan seorang yangsangat yakin akan ketepatan ilmunya: “Umar tidak menerapkansanksi itu karena besaran yang diambil si pencuri tidak sampainisabnya.” Padahal, fakta tidak diterapkannya sanksi potongtangan bagi pencuri oleh Umar, sebagaimana yang termuat didalam kitab al-Muwa a’ justru terkait dengan kasus pencurianunta. Itu sudah jauh melampaui nisab.

Contoh kedua adalah apa yang sering kita dengarkan dariungkapan para ahli fikih dan tulisan-tulisan para penulis yangsering menyebut diri mereka kaum Islamis. Yaitu, bahwa Umarbukannya tidak menerapkan sanksi potong tangan untuk kasuspencurian, tetapi ia hanya melengkapi syarat-syaratnya. Dan, diantara persyaratan itu adalah perlunya menjamin ketersediaantingkat paling minimum dari nafkah untuk hidup. Sanggahan

Kebenaran yang Hilang

5 8

kita untuk soal ini cukup mudah dan kita berpendapat bahwa inihanya omong kosong belaka. Sebab, apa yang tersedia di hadapanUmar ketika itu tidak lebih dari teks al-Quran yang sudah jelasdan pasti tentang sanksi potong tangan bagi pencuri, tanpamenyebutkan syarat apa-apa. Kedua, Sunnah Nabi, baik dalambentuk ujaran maupun perbuatannya, sebagaimana termuat didalam kitab-kitab hadis yang dianggap sahih dan bisa kita rujuk.Dari situ kita tahu, tidak ada perselisihan sama sekali tentang kemes-tian potong tangan. Perselisihan pendapat hanya ada pada soalbatasan nisab atau batasan terendah dari barang yang dicuri, danpotong tangan berlaku sesuai dengan tingkat pencuriannya. Bahkan,kita perlu menambahkan bahwa syarat-syarat yang merekabicarakan itu sebetulnya baru diperbincangkan para ahli fikih satuatau dua abad setelah mangkatnya Umar. Karena itu, syarat-syarattersebut dibuat begitu banyak dan itu adalah bagian dari ijtihadmereka pada masanya demi menyesuaikan kenyataan hidup yangberubah dengan teks-teks syariat yang tidak berubah.

Semua itu datang jauh setelah masa Umar. Ketika berijtihad,Umar tentu tidak sedang mengikuti pendapat al-Syafii ataupunAbu Hanifah. Yang benar justru sebaliknya. Karena itu, ijtihadUmar-lah dalam kasus ini yang membukakan pintu bagi merekauntuk melakukan ijtihad pula. Umar-lah yang membuat ke-tentuan bersyarat itu, lalu mereka menambahkannya. Mari kitarenungkan apa yang dikemukakan Dr. al-Namir tentang ijtihadUmar dalam soal sanksi pencurian: “Ini adalah ijtihad yang barudalam perkara penerapan sanksi udūd. Umar berijtihad untuktidak menegakkannya setelah terbukti adanya kasus pencurianyang mestinya wajib dikenakan sanksi udūd. Itu terjadi dalamkasus pencurian di dalam kota, bukan dalam perjalanan, atauketika penaklukan (dalam peperangan).”4

4 Dr. Abdul Mun’im al-Namir, al-Ijtihād, hal. 98-99.

5 9

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

Sementara itu, dalam al-Muwa a’, Malik meriwayatkan,seorang sahabat Hathib bin Abi Balta’ah telah mencuri seekorunta betina kepunyaan seorang dari Madinah. Mereka lalumenyembelihnya. Umar lalu memerintahkan potong tangan bagipelakunya. Namun, kemudian ia meralat keputusan itu untukmenyelidiki apa penyebab pencurian sebenarnya. Ia menyangkamereka sedang dalam keadaan lapar. Lalu Hathib datang kepadaUmar dan Umar pun berpesan kepadanya: “Kalian telah mempe-kerjakan mereka, tetapi membuat mereka tetap lapar. Demi Allah,aku akan mengenakan denda yang akan membuat engkau lapar.”Lalu ia mewajibkan Hatib untuk membayar kelipatan dari hargaunta betina itu kepada sang pencuri. Dan para pencuri itu pundibebaskan dari sanksi potong tangan karena terbukti merekaterancam kelaparan.

Artinya, tetap saja Umar tidak membatu ketika berhadapandengan teks yang sudah jelas. Ia tetap berusaha menelisik apayang ada dibalik teks itu. Ia lalu menyimpulkan bahwa seorangpencuri tidak pantas untuk dikenakan udūd ketika keadaanmemaksanya untuk berbuat demikian. Di sini, Umar meletakkanlandasan penting untuk tidak menegakkan udūd terhadap orang-orang yang terpaksa. Ini adalah sudut pandang baru dalammemahami ayat “pencuri laki-laki dan perempuan, potonglahtangan mereka sebagai balasan atas apa yang mereka perbuat dansanksi dari Allah” (surat al-Maidah ayat 38). Dalam hal ini, Umarlebih memerhatikan argumen hukum atau ‘illat dari sanksi dankondisi yang melingkupinya. Lalu ia mempertimbangkan ke-duanya, walau itu kemudian menyebabkan ia harus melakukantakh ī atau spesifikasi terhadap teks dan meninggalkan ungkapanlahiriahnya sebagaimana dikatakan almarhum Dr. MuhammadYusuf Musa.

Pemikiran seperti inilah yang membuat Umar menghentikansanksi atas pencurian pada musim paceklik. Ia juga pernah tidak

Kebenaran yang Hilang

6 0

menerapkan udūd bagi peminum minuman keras denganungkapan berikut: “Kalian berharap pemimpin kalian me-negakkah udūd, sementara musuh sudah semakin dekat danmereka siap sedia melumat kalian?!” Karena itu, Umar pernahberwasiat kepada para pemimpin pasukannya agar tidak seorangpun dari mereka dicambuk karena kasus minuman keras sampaimereka dapat menemukan jalan pulang dari medan peperangan.Ia tidak ingin orang yang dikenai sanksi itu dirasuki setan danjustru berbalik bersekongkol dengan musuh. Dalam kasus ini, iamemang tidak sama sekali membatalkan sanksi, tetapi ia menang-guhkannya karena pertimbangan tertentu. Ini semua adalahbentuk-bentuk ijtihad yang menghasilkan hukum baru yangbelum ada preseden sebelumnya. Di situ tampak perbedaannyadengan apa yang terjadi pada masa Nabi dan Abu Bakar.

Demikianlah kita telah melihat Umar berijtihad dan memba-talkan jatah bagi para muallaf yang nyata-nyata bertentangandengan teks al-Quran. Ia juga tidak menerapkan sanksi potongtangan atas pencurian karena berkesusahan, dan bahkan memba-talkannya sama sekali pada masa paceklik. Ia juga tidak menerap-kan hukum lecut terhadap peminum minuman keras dalamkondisi peperangan. Perlu kita tambahkan, ia juga menyalahiSunnah Nabi dalam soal pembagian jatah pampasan perang. Tanah-tanah pampasan perang yang subur di Irak itu tidak ia bagi-bagikankepada para prajuritnya yang ikut berperang. Ia juga menerapkansanksi qi ā atas kelompok yang membunuh satu orang, dan inibertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam qi ā .

Karena itu, ketika memaparkan apa-apa yang dilakukan olehUmar dalam kondisi-kondisi genting pada tiap perkara, saya tidaksabar untuk mengungkapkan dua kenyataan penting. Pertama,ia adalah sosok yang senantiasa menggunakan akal-pikirannyauntuk menganalisis dan mengevaluasi sesuatu. Ia tidak berhentipada ungkapan lahir sebuah teks agama. Kedua, ia telah menerapk-

6 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

an roh Islam dan esensinya ketika paham betul bahwa tujuandari ketentuan tekstual agama adalah prinsip keadilan. Karenaitu, menyalahi teks agama untuk sampai kepada keadilan masihberada dalam neraca agama yang benar daripada gegabah dalammenerapkan teks namun mengabaikan aspek keadilan.

Inilah semangat yang agung dalam proses penetapan hukum,dan itu berbeda sama sekali dengan brutalisme yang kita saksikandan kita dengar dari orang-orang zaman sekarang. Semua ituberbeda dengan semangat jumud dalam menyikapi teks agamadan mengabaikan esensinya. Dan kita dapat memastikan pula,apabila orang-orang yang jumud itu hidup pada masa Umar,pastilah mereka akan menuduh Umar sebagai sosok yang meng-ingkari perkara yang sudah gamblang di dalam agama dan telahmenerabas kaidah-kaidah syariat yang sudah jelas dan tidakmengandung kesangsian lagi. Mereka mungkin akan menempuhsegala cara dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran yang takbosan-bosan mereka kumandangkan demi menentang kebijakanUmar. Mereka akan mengatakan, “Barangsiapa yang tidak ber-hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka merekakafir.” Atau ayat al-Quran, “Sungguh, demi Tuhanmu, merekatidak disebut orang beriman sampai mereka meminta ketetapanhukum darimu dalam perkara yang sedang mereka sengketakan”Ayat-ayat demikian akan mereka lepaskan dari konteks turunnya,dan akan diabaikan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Boleh jadi, orang-orang seperti ini berpandangan bahwameneladani Umar mungkin saja dilakukan; bahwa pintu-pintuijtihad yang telah dibukakannya untuk kita sudah semakin lebardaripada apa yang kita sangka dan saksikan. Mereka mungkinmemahami itu, tetapi mereka tetap mengingkarinya. Karena itu,kita layak kembali bertanya: Apakah pembatalan udūd sama sekalibisa dimungkinkan? Apakah menyalahi ketentuan tekstual al-Qur-an tetap dibolehkan?

Kebenaran yang Hilang

6 2

Mereka mungkin punya tiga jawaban. Pertama, mutlakmembolehkan adalah tidak diperkenankan sama sekali. Kitasepakat dengan itu. Kedua, menyatakan tidak boleh secara mutlakjuga tidak mungkin. Kita masih bersepakat dengan mereka dalamsoal ini. Alasan kita adalah ijtihad Umar. Ketiga, membolehkannyadalam perkara-perkara tertentu, terutama untuk kondisi yangdarurat, dengan sebab-sebab yang masuk akal dan jelas, serta tidakbertentangan dengan semangat tekstual agama dan argumenhukumnya.

Pada titik ini, terbuka ruang amat lebar untuk berdiskusi,berbantahan, berjihad dan berijtihad, tanpa tuduhan-tuduhankafir dan klaim bahwa hanya mereka sajalah yang Islam sementarakita kafir, zalim, atau fasik. Mereka tidak berhak mengklaim bahwahanya mereka sajalah yang Islam, sementara kehidupan kitasepenuhnya jahiliyyah modern. Kita tidak sepakat dengan itu.Kita justu menganggap bahwa kitalah yang benar dalam soal inidan merekalah yang keliru. Mereka menganggap diri mereka alimdalam agama, tetapi bagi kita mereka jahil dalam soal fikih dansejarah. Mereka menganggap apa yang mereka lakukan adalahrefleksi iman, tetapi bagi kita itu bagian dari fanatisme buta.

Mungkin kita juga mengabaikan biografi Umar sehingga kitatidak memperhatikan beberapa keputusannya yang juga pentingdan vital. Sebagian orang mungkin menelaah itu sambil lalu.Tetapi bagi kita, itu adalah kunci untuk membuka perbincangantentang analisis kita berikut ini, yaitu soal malapetaka besar yangmenimpa masa Usman dan menyebabkan kematinnya, danmalapekata yang berlanjut ke masa Ali dan berakhir dengankematiannya juga.

Adapun kebijakan penting Umar yang ingin kita perhatikandi sini adalah keputusannya untuk mewajibkan para pemukasahabat untuk menetap di Madinah. Mereka dilarang mening-galkannya kecuali atas persetujuannya. Ia menjelaskan dasar

6 3

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

kebijakannya itu dengan santun: ia ingin selalu berada di dekatmereka dan senantiasa meminta pertimbangan mereka. Padahalalasan sebenarnya adalah kekhawatiran Umar akan dilihatnya parasahabat dengan penuh kedengkian oleh orang lain dan potensimereka untuk cemburu melihat kekayaan orang lain. Bagaimanamungkin para sahabat itu akan iri melihat orang kebanyakan?Sebab mereka digaji Umar dalam jumlah tertentu, tetapi terbatas.Umar menuntut mereka untuk mencukupkan diri dari yang sedikititu, karena ia sendiri juga mencukupkan diri dengan pola hidupyang sederhana. Para sahabat menerima kebijakan itu keranamereka memaklumi rekam jejak Umar yang unik selama ini.

Namun mereka bisa jadi juga tertekan dan benar-benarmembenci kebijakan Umar. Pada akhirnya, mereka juga manusiayang tidak terima bila dibatasi dalam soal-soal yang dibolehkanuntuk orang lain. Akan tetapi, rasa ketertekanan mereka itu jugaberbenturan dengan fakta bahwa Umar sendiri senantiasa memba-tasi diri, baik untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya.Rasa tertekan itu akhirnya mereka bungkus dalam bentuk kerelaanhati yang membisu, sementara kebencian coba dialihkan menjadibentuk kesabaran.

Pada titik ini, kita tidak terlalu perlu mengada-ada dalammenggambarkan rasa tertekan dan kebencian mereka. Sebab,setelah masa Umar, hal itu langsung terungkap. Kita segera dapatmenyaksikan perubahan kebijakan yang pertama-tama dilakukanUsman pada masa pemerintahannya, yaitu membebaskan parasahabat untuk pergi ke mana pun mereka suka. Bahkan, ia bermurahhati dengan tidak lupa memberikan mereka berbagai bingkisandan hadiah. Tindakan ini wajar karena sesuai dengan watak Usmanyang lemah-lembut, tak sampai hati, pemurah, dan toleran. Bing-kisan-bingkisan yang diberikan Usman itu sesungguhnya tidaklahkecil dan terbatas. Al-Zubair diberi uang sebanyak 60 ribu dirham.Thalhah mendapat 100 ribu. Usman mungkin juga sedang me-

Kebenaran yang Hilang

6 4

mikat hati mereka karena kebjakan-kebijakannya tak jarangbertentangan dengan apa yang para sahabat itu pikirkan. Ia mung-kin sudah merasa bahwa ia telah mengambil pelbagai kebijakanyang tidak mesti diterima oleh para sahabat. Karena itu, adalahpenting baginya untuk mengangkat harkat dan martabat mereka.Dengan begitu mereka diharapkan untuk tidak melakukanrevolusi atau sekadar marah.

Ini terutama dilakukan Usman ketika para sahabat me-ngetahui bahwa anaknya sendiri mendapat jumlah yang setaradengan para pemuka sahabat. Usman juga telah memberikankepada orang-orang dekatnya dari Bani Umayyah wewenanguntuk mengelola beberapa kawasan tertentu, sesuatu yang tidakdiperkirakan para sahabat sebelumnya. Saat itulah para sahabatmulai terpikat untuk berbondong-bondong keluar ke berbagaikawasan baru Islam. Kontan, mereka terperangah menyaksikanbahwa dunia sangat menyambut kedatangan mereka dan merekapun bersiap menyambut indahnya dunia. Kaidahnya, tatkaladunia disambut tanpa batas, akidah haruslah diupayakan menye-suaikan diri walau dalam kadar yang minimal. Adapun bagaimanacara menyambut atau menolak dunia itu, marilah kita renungkanbersama-sama setelah ini.

Renungkanlah jumlah kekayaan lima orang pemuka sahabatyang mempunyai nama besar dalam sejarah Islam. Mereka semuaadalah sosok-sosok yang diberi kabargembira akan memperolehsurga oleh Rasulullah, yaitu enam orang yang diwasiatkan Umaruntuk dipilih menjadi penggantinya. Salah satunya adalah khalifahterpilih, yaitu Usman bin Affan. Ada juga al-Zubair bin ‘Awwam,Sa‘ad bin Abi Waqash, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Abdurrahmanbin ‘Auf, sebagaimana dikisahkan kitab al- abaqāt karangan IbnuSa‘ad.5 Di situ dikatakan bahwa tatkala Usman terbunuh, di dalam

5 Ibn Saad, al- abaqāt al-Kubrā, Beirut: Dar Shadir, Vol. III, hal. 76.

6 5

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

berangkasnya terdapat 30 juta 500 ribu dirham, serta 100 ribudinar.6 Semuanya dijarah dan hilang tak bersisa dalam pemberon-takan yang mengakhiri hidupnya. Ia juga meninggalkan seribuekor unta di Rabzah, dan sejumlah pemberian sedekah sekitar200 ribu dinar untuk Beradis, Khaibar, dan Wadil Qura.

Adapun harta peninggalan al-Zubair berjumlah sekitar 51atau 52 juta dirham. Di Mesir, Aleksandria dan Kufah, al-Zubairjuga punya beberapa armada laut. Di Basrah, ia punya angkutandarat dan hasil panen yang dipersembahkan kepadanya oleh pen-duduk setempat.7 ‘Aisyah binti Sa‘ad bin Abi Waqash mengisahkan:“Bapakku meninggal di istananya yang antik sekitar sepuluh mildari Madinah. Ketika itu, ia meninggalkan 250 ribu dirham.”8

Adapun jumlah kekayaan yang ditinggalkan Thalhah bin‘Ubaidillah terdiri dari rumah dan harta benda. Ia meningglkansekitar 30 juta dirham di Nadh, 2 juta 200 ribu di al-Ain, dansisanya adalah barang perniagaan.9 Sementara itu, ‘Abdurrahmanbin ‘Auf meninggalkan seribu unta dan 30 ribu ekor kambing diBaqi. Juga seratus ekor kuda ternak. Ia juga meninggalkan emasyang jika dipotong dengan kapak pun akan membuat melepuhtangan pemotongnya. Ia meninggalkan empat orang istri dan tiaporang darinya menunjukkan 80 ribu dirham.10

Al-Mas’udi juga memerinci perkiraan yang mendekati apayang telah diterangkan Ibnu Sa‘ad dengan sedikit perbedaan padaperincian jumlah. Thaha Husein ketika menulis bukunya, al-Fi nah al-Kubrā (“Malapetaka Besar dalam Sejarah Islam”) meru-juk perkiraan-perkiraan Ibnu Saad. Sementara itu, Ibnu Katsir

6 Dirham adalah mata uang Persia ketika itu, sementara Dinar adalahmata uang Romawi.

7 Ibn Saad, al- abaqāt al-Kubrā, hal. 110.8 Ibn Saad, al- abaqāt al-Kubrā, hal. 1499 Ibn Saad, al- abaqāt al-Kubrā, hal. 222.10 Ibn Saad, al- abaqāt al-Kubrā, hal 136.

Kebenaran yang Hilang

6 6

menyebutkan bahwa jumlah kekayaan al-Zubair mencapai 57juta, sementara jumlah kekayaan Thalhah bertambah seribudirham setiap harinya.11

Para pembaca mungkin bosan membaca perincian jumlahkekayaan para sahabat terkemuka itu. Mungkin juga tergangguketika saya berbicara soal uang jutaan. Dan mungkin juga akanada yang mengatakan bahwa jutaan dirham dan dinar itu tidaklahbernilai besar pada masa kini. Namun saya mengajak kita semuauntuk merenungkan fakta ini. Ibn ‘Auf wafat delapan tahun setelahwafatnya Umar. Sementara al-Zubair dan Thalhah wafat kira-kiratiga belas tahun setelah Umar.12 Dan jika menggunakan istilahsaat ini, perkiraan terparah dari inflasi pada periode itu tidakakan lebih dari setengah dari harga mata uang. Perhatikanlah apayang diceritakan al-Mas’udi kepada kita tentang Umar. “KetikaUmar melaksanakan haji, selama perjalanan pergi dan pulang keMadihah, ia hanya menyedekahkan uang sekitar 16 dinar. Iabahkan mengatakan kepada anaknya, Abdullah: ‘Kita telahberbelanja secara berlebihan dalam perjalanan ini’.” Bayangkanlah,andai 16 dinar sudah mencukupi untuk belanja Umar dananaknya, atau pun mencukupi kebutuhan Umar sendiri untukmasa sebulan penuh, kita tentu dapat membayangkan apa yangbisa diperbuat dengan puluhan juta dinar dan kepingan emasyang dipotong dengan kapak pun akan membuat tangan melepuh.

Kita perlu memberikan contoh lebih jelas dari contohsebelumnya. Yaitu, tentang orang keenam yang ditunjuk Umarsebagai calon penggantinya, yakni Ali, yang wafat empat setengahtahun setelah Thalhah dan al-Zubair atau sepuluh tahun setelahIbn ‘Auf. Al-Mas’udi kembali mengisahkan tentang harta pening-

11 Al-Mas’udi, Murūj al-Dzahab, Beirut: Darul Ma‘rifah, hal. 341-342.12 Ibn Katsir, al-Bidāyah wan Nihāyah, Beirut: Darul Kutub al-

‘Ilmiyyah. Vol. VII, hal. 259-261.

6 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

galannya: “Ia tidak meninggalkan si hijau dan si putih kecualimasih tersisa di tangannya sekitar 700 dirham dari pemberianitu. Itu lalu ia gunakan untuk membeli seorang pembantu untukkeluarganya.”13 Ini jumlah kekayaan yang kecil. Sebagian versimengatakan, Ali hanya menginggalkan sekitar 250 dirham be-serta mushaf dan pedangnya.

Akan tetapi, di sini kita berhadapan dengan beberapa contohdan perumpamaan. Kita sesungguhnya sedang menghadapi gejalapenting yang dihadapi umat Islam generasi awal, dan kita jugasedang menghadapi adanya lonceng peringatan tentang apa yangakan terjadi pada mereka kelak. Fakta ini menunjukkan bahwaagama dan negara tidak akan berhimpun kecuali dengan susahpayah. Menghimpun harta dengan cara seperti itu sebetulnya tidaksejalan dengan kelurusan iman dan kesucian nurani, kecualidengan upaya yang sangat hebat. Ungkapan Nabi bahwa Ibn ‘Aufakan masuk surga dengan tertatih-tatih, kembali terngiang dalamingatan sahabat. Kekayaan ‘Abdurrahman bin ‘Auf tampaknyatelah memberatkan langkahnya untuk menuju surga.

Memang tidak tercela dan tak ada halangan bagi umat Islamsaat itu untuk menjadi sekaya yang mereka inginkan. Apalagikalau mereka menunaikan apa-apa yang diwajibkan Allah padahartanya dengan baik. Namun cara kita dalam mengukur kredibi-litas pemuka-pemuka sahabat Nabi, tentu harus berbeda denganmengukur orang lain. Mereka mestinya lebih asketis daripadayang lainnya. Mereka lebih pantas mendahulukan orang laindalam perkara-perkara seperti ini. Kita telah melihat bagaimanakondisi mereka ketika hijrah dari Mekkah ke Madinah bertahun-tahun sebelum itu. Mereka tidak berbekal apa-apa kecuali pakaianyang melekat di badan mereka. Mereka pun hanya bermalam diatas pelepah kurma dengan begitu syahdunya. Hanya dengan

13 Ibn Katsir, al-Bidāyah wan Nihāyah, Vol. VII, hal 343

Kebenaran yang Hilang

6 8

itulah mereka menjadi orang terkaya dalam timbangan Allah.Namun, zaman telah berlalu dan tak pernah akan kembali. Apasalahnya membuka tangan lebar-lebar untuk kekayaan danmenyambut kekuasaan dengan tangan terbuka? Bukankahkeduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu me-nyambut dunia dengan lapang dada?

Kini tibalah saatnya kita ke masa kepemimpinan Ali. Iamungkin menjadi khalifah yang tepat pada masa yang tidak tepat.Apa yang terjadi sebelumnya akan terjadi pula pada masanya.Tak terelakkan, yang akan terjadi pasti tetap terjadi. Memangpada masa itu pancaran keimanan masih tampak membuncah dikalangan umat Islam. Itulah yang membuat masa pemerin-tahannya mampu bertahan sampai lima tahun lamanya. Tetapi,ia lupa bertanya: Apakah ia telah ditelikung dan orang-orangjustru menaati Muawiyah? Pertanyaan ini, meski terasa pahit,akhirnya terjawab juga. Benar, Ali memang sudah tidak didengarlagi karena ia berpegang teguh pada agama. Sementara itu,Muawiyah benar-benar sedang menggenggam dunia. Apa yangmenjadi watak anda akan sangat menentukan nasib anda kemudian.Orang-orang ternyata lebih merasa dekat kepada Muawiyah.Mereka benar-benar tidak sabar lagi mengikuti jejak Ali yangingin kembali mendorong roda sejarah ke belakang, yaitu kezaman yang dianggap bahagia sekaligus absah. Akan tetapi, rodasejarah tidak lagi ingin berputar ke arah yang tak dikehendakiumatnya. Jika para sahabat karibnya saja sudah begitu terbukamenyambut dunia, apakah ia juga akan mengingkari kehendakumatnya yang siap mengikuti jejak mereka yang mengambil jatah?

Karena itu, Ali perlu bersabar dan ia tidak sendiri. Akan datang70 tahun setelahnya, seseorang yang tidak juga mengambil pelajarandari kasusnya. Ia juga mengupayakan hal yang serupa dengan Ali.Ia pun sangat ingin menjalankan programnya lebih cepat dari yangAli coba. Ia adalah Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah

6 9

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

pada masa Umayyah. Namun, masanya untuk bertahan tidak lebihdari 2 tahun 3 bulan saja. Ia wafat dalam umur kurang dari 40tahun, dan besar kemungkinan karena diracun. Posisinya digantikanYazid bin Abdul Malik, seorang penikmat sastera, tembang, dandunia pertunjukan. Ia penikmat Salamah dan Habbabah. Dialahmartir pertama roman dan kisah cinta dalam sejarah khalifah Islam,sebagaimana akan kita ceritakan nanti.

Setelah satu abad setengah masa Umar bin Abdul Aziz, datangpula seorang khalifah Abbasiyah bernama al-Muhtadi Billah. Iaingin mengikuti jejak Umar bin Abdul Aziz. Ia menyeru kebajikandan melarang kemungkaran. Ia juga seorang yang asketis dangemar bergaul dengan ulama. Ia pun menjunjung tinggi karirpara fuqaha, tahajud malam hari, berlama-lama waktu salat. Akantetapi, seperti dilaporkan al-Mas’udi,14 nasibnya berakhir tragis.“Langkah-langkahnya yang vulgar terasa berat baik oleh kalanganjelata maupun elitnya. Masa kepemimpinannya terasa begitulama. Mereka bosan dengan hari-hari yang mereka jalani. Lalumereka melakukan tipu muslihat sampai ia terbunuh. Ketika iatertangkap, mereka mengejeknya: ‘Apakah anda ingin membawamasyarakat dengan taktik orang-orang besar yang tidak merekakenal?’ al-Muhtadi menjawab: ‘Aku hanya ingin membawa merekake jalan Rasulullah, ahli baitnya, dan para al-Khulafa’ al-Rasyidun.’Tapi mereka kembali menjawab: ‘Rasulullah berada di antarakaum yang menjauhi dunia dan sangat menginginkan akhirat,seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan lainnya. Tapi kaummuterdiri dari orang Turki, Khazri, Maghribi, dan non-Arab lainnya.Mereka tidak tahu apa yang harus mereka persiapkan untuk bekalakhirat nanti. Tujuan utama mereka tak lain menguasai dunia.Bagaimana mungkin engkau membawa mereka ke jalan yangengkau katakan jelas itu?’”

14 Ibn Katsir, al-Bidāyah wan Nihāyah, jilid IV, hal. 186.

Kebenaran yang Hilang

7 0

Al-Mahdi terbunuh setelah kurang dari 11 bulan masa kepe-mimpinannya. Sebagian mengatakan ia terbunuh dengan belati.Para pembunuhnya lalu meminum darahnya di depan massa.Sebagian mengatakan bahwa kepalanya diremukkan sampai iamati. Versi lain menyebut ia digantung di antara dua tiang besar,lalu ditarik dengan temali sampai tewas. Versi lain menyebut iaterbunuh oleh cekikan. Disebutkan, ia ditindih permadani danbantal sampai menghembus nafas terakhir.15

Karena itu, janganlah bersedih wahai Ali dan jangan pulagundah. Masamu tentulah lebih agung daripada zaman sesudah-mu. Cukuplah anda ketahui bahwa fasemu adalah fase pemisahsekaligus jembatan menuju masa sesudahnya. Sejak itulah khilafahtidak lagi berhubungan dengan Islam kecuali pada nama. Kita puntidak dapat lagi mencium hubungan itu kecuali selintas bagai kilat.Hanya sekitar dua tahun pada masa Umar bin Abdul Aziz dan 11bulan pada masa al-Muhtadi Billah. Ini adalah urusan dunia dankekuasaan. Perkara kerajaan dan kesemena-menaan, berbagai taktikuntuk mengelabui agama muncul begitu rupa. Mungkin parapembaca tidak dapat menangkap rupa-rupanya dengan jelas. Sebab,yang sampai kepada kita hanyalah sebagian kecil dari fakta yangsudah disaring dan dikurangi tingkat kebenarannya.

Ada hal setara yang mesti kita kisahkan kepadamu, wahaiayahanda Hasan. Itu akan membuat anda terheran-heran dan oranglain pun heran. Kita akan mengisahkan ini dengan menyertakansurat-menyurat antara dirimu dengan sepupumu, ‘Abdullah bin‘Abbas, pengasuh umat Islam dan samudera pengetahuannya. Diajuga salah seorang yang banyak meriwayatkan hadis dan salahseorang perwakilanmu di Bashrah, kota terbesar dan terpenting.Mungkin anda sudah mendengar apa yang akan diceritakan ulang

15 Ibn Katsir, al-Bidāyah wan Ni āyah, Vol. IV, hal. 186. Dalam Tarīkhaal-Khulafā, al-Suyuthi menyebut bahwa kemaluannya diremas sampai ia tewas.

7 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

di sini. Saat itu, anda mendapatkan surat dari pengurus BaitulMal Bashrah, yaitu Abul Aswad al-Duwali. Surat itu menceritakanbahwa “tangan kananmu dan sepupumu telah mengambil apa yangbukan menjadi haknya tanpa sepengetahuanmu.”16

Anda mungkin tidak menyangka dan tidak mempunyaipilihan lain kecuali mengirim orang untuk menyelidiki perkaraini. Anda berharap kebenaran akan terungkap berupa bersihnyaIbnu Abbas dari tuduhan itu. Tetapi, suratmu justru tidak me-nunjukkan itu. “Telah sampai padaku rumor tentang dirimu. Jikaengkau benar-benar melakukan rumor itu, engkau sungguh telahmembuat murka Tuhan, jauh dari amanat, melawan pemim-pinmu, dan khianat pada umat. Aku mendengar, engkau telahmengkavling-kavling tanah dan menikmati apa yang engkaukuasai. Tunjukkan padaku laporanmu sebelum perhitunganTuhan yang lebih keras akan menimpamu!”

Namun datang kepadamu jawaban dari Ibn Abbas: “Yangsampai kepadamu tak lebih dari kebohongan. Aku senantiasamenghitung dan menjaga apa-apa yang berada di bawah wewe-nangku. Karena itu, janganlah engkau memercayai rumor-rumor.Semoga rahmat Tuhan selalu menyertaimu. Wassalam.”

Jawaban ini seperti pledoi pada masa sekarang. Tetapi, sang-gahan itu tidak berbicara apa-apa. Padahal Ali ingin mengetahuilaporan tentang penggunaan uang. Ia tidak mendapatkanketerangan dari Ibnu Abbas kecuali sangkalan terhadap tuduhandan ucapan salam. Karena itu, Ali tidak bisa lain kecuali meng-gelindingkan bola untuk kembali menjelaskan apa yang ia minta.Itu ia lakukan dengan cara menguji sentimen keagamaan yangada pada Ibnu Abbas, sebagaimana ia tulis dalam surat berikutnya:“Saya tidak kuasa meninggalkan perkaramu sampai engkau

16 Al-Thabari, Tārikh al- abari, Beirut: Muassatul I’lam, Vol. IV, hal.108-109.

Kebenaran yang Hilang

7 2

memberitahuku apa yang kau ambil dari jizyah; dari mana engkaudapat, dan engkau kemanakan harta itu. Bertakwalah kepada Allahdalam perkara yang aku mandatkan kepadamu karena akumemintamu untuk menjaganya. Harta benda yang mungkinmenggiurkanmu amatlah kecil, tapi konsekuensi dari itu amatlahbesar. Wassalam.”

Surat Ali ini bukan lagi bentuk tuduhan yang harus disanggahIbnu Abbas, tetapi permintaan jelas dan tegas untuk menyiapkanlaporan keuangan tentang sumber-sumber pendapatan jizyah,berikut penggunaannya. Sebenarnya, Ibnu Abbas masih menjawab.Namun, jawabannya sama sekali tidak menyentuh soal sumberpendapatan dan pengeluarannya. Lantas, terjadilah perseteruanyang semakin tajam antara dirinya dengan Ali lewat cara salingmelempar tuduhan. Ali menuduhnya telah menggelapkan ke-uangan negara, sementara Ibnu Abbas menuduh Ali telahmenumpahkan banyak darah umat Islam demi merengkuhkekuasaan. Tuduhan berjawab tuduhan. Namun, kesalahan Ali— sebagaimana ia katakan dan selalu ia fatwakan — mungkinlebih besar di mata Tuhan daripada dosa Ibnu Abbas yang tidakmenampik tuduhan Ali, apalagi meminta maaf. Bacalah suratIbnu Abbas kepada Ali berikut ini. “Saya memahami mengapaanda terlalu membesar-besarkan perkara kebun yang mendasarituduhan anda bahwa aku memperbudak para pekerja. DemiTuhan, dilontarkan Tuhan segala yang ada di dalam perut bumiini kepadaku lebih baik bagiku daripada aku harus menumpahkandarah umat hanya demi merebut kekuasaan dan kepemimpinan.Kirimkanlah kepadaku pengganti yang engkau sukai!”

Ini adalah bentuk pengunduran diri yang tidak masuk akal.Ketika membaca itu, Ali sangat marah. “Apakah Ibnu Abbas tidakikut menumpahkan darah?” katanya. Andai Ibnu Abbas hanyamengundurkan diri begitu saja, kita mungkin hanya akan menge-tahui kisahnya sampai di situ saja. Kita pun akan menjustifikasi

7 3

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

kemarahannya dengan tuduhan-tuduhan yang berat dan dianggapzalim olehnya itu. Kita akan anggap itu hanya sebagai upayapelepasan rasa marah dan sentimen untuk memberontak. Karenaitu, kita dapat pula mengatakan bahwa suratnya ditulis bukandengan kepala dingin. Tetapi, setelah menulis surat seperti itu, iajustru melakukan sesuatu yang tidak terbayangkan oleh Alisekalipun. Ia telah melakukan sesuatu yang tak terbayangkan olehkita, tak terampuni oleh Allah, Ali, dan mungkin kita semua.

Ibnu Abbas justru menghimpun semua apa yang tersisa dariBaitul Mal yang jumlahnya sekitar 6 juta dirham. Ia lalu mengum-pulkan sanak keluarganya dan kalangan Bani Hilal di Basrah. Lantasia meminta mereka memberikan perlindungan sampai ia merasaaman. Penduduk Basrah mencoba untuk menggagalkan rencanaIbnu Abbas dan mengancam Bani Hilal. Mereka diyakinkan untukmeninggalkan harta benda itu untuk menghindarkan terjadinyapertumpahan darah. Tetapi, Ibnu Abbas berhasil melarikan diridengan harta bendanya dengan selamat, terkawal, dan sentosa,sampai ia tiba di kota Mekkah. Di sanalah ia berlindung danmelegakan diri. Ia lantas membeli tiga orang budak yang subur-subur untuk melahirkan, masing-masing dengan 3 ribu dinar.

Ini adalah skandal dan goncangan besar, tidak hanya bagiAli, tetapi bagi kita juga. Kita selama ini banyak membaca tentangfikih, asketisme, dan ketaatan tiga orang Abdullah, yaitu Abdullahibnu Abbas, Abdullah ibnu Umar, dan Abdullah ibnu Ja’far ibnuAbi Thalib. Tetapi, dengan mengungkap fakta ini, kita sebenarnyalebih santun daripada para sahabat sendiri. Kita hanya menunjuk-kan karakter masing-masing orang sebagaimana mereka salingmengungkapnya. Cukuplah bagi kita menunjukkan ungkapanAli terhadap Ibnu Abbas: “Dia telah memakan yang haram, danmeminum dari yang haram.”

Kita hanya mengatakan kepada Ali, engkau benar jika apayang engkau katakan benar dan itu benar-benar terjadi. Tetapi,

Kebenaran yang Hilang

7 4

kita perlu pula bertanya kepadanya yang hidup semasa denganRasulullah, para khalifah dan para sahabat: Apakah menguasaiharta umat Islam halal bagi seorang Muslim? Sebetulnyapertanyaan ini tidak pantas kita ajukan karena kita tidak hidupsemasa dengan mereka. Tentu saja jawabannya haram. Jika dalamstandar kita saja itu haram, tentu lebih haram lagi untuk standarmereka. Sebab, mereka mengetahui soal agama lebih banyakdaripada kita, dan mereka lebih dapat menangkap semangat danroh agama ini daripada kita. Mereka adalah para pemimpin danmercu suar tempat kita mencari pedoman. Akan tetapi, bilamanapara panutan itu telah mengalami dekadensi, darimana lagidatangnya kebajikan bagi kita? Kalau mercu suar tidak lagimenunjukkan cahaya, ke mana kita mencari panduan?

Pembicaraan tentang Ali ini sebetulnya masih akan panjang.Namun, saya teringat tentang salah seorang anggota TanzimulJihad yang membunuh Presiden Anwar Sadat, yang sangat populerdengan celak matanya. Konon, kebiasaan ini ia dapatkan darikebiasaan Ibnu Abbas. Saya kira, andai ia membaca apa yang kitabicarakan di sini, mungkin ia akan menyesal dan tidak akanpernah mencelak matanya. Perhatikanlah surat Ali kepada IbnuAbbas setelah ia menetap di Mekkah bersama budak-budak danharta dari Basrah.

Demikian Ali menulis: “Aku telah menyertakan engkau dalammenjalankan amanat. Tidak ada di jajaran keluargaku orang yangkuanggap lebih dapat dipercaya daripadamu untuk menemani danmenyertaiku serta membantuku menjalankan amanat. Akan tetapi,waktu telah menunjukkan bahwa sepupuku pun telah kalap, musuhtelah merusaknya, dan kepercayaan orang terhadapnya telah sirna.Umat telah terperdaya. Aku langsung memalingkan diri darinya.Aku menjauhkannya seperti orang asing. Aku hinakan dirinyaseperti jajaraan orang yang hina dina. Aku anggap ia khianatsebagaimana pengkhianat lainnya. Tidak kepada sepupuku aku

7 5

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

dapat bergantung. Tidak pula ada amanat yang dapat ia jalankan.Seakan-akan Tuhan tidak menginginkannya untuk berjihad. Atau,seolah ia tidak mengetahui kehendak-kehendak Tuhan. Seakan-akan, engkau telah memperdaya umat Muhammad dengan giurandunia. Atau, engkau mencari penghormatan mereka dengan caramenyuap mereka. Ketika aku menginginkanmu untuk lebihmemerhatikan gairah agama, segera engkau sambut aku denganpermusuhan. Engkau melompat terlalu jauh dalam menggunakankesempatan. Subhanallah, apakah engkau beriman dengan hariakhirat dan tidak takut akan hari perhitungan? Tidakkah engkausadar bahwa engkau telah memakan sesuatu yang haram danmeminum dari sesuatu yang haram? Apakah bukan perkara besarbagimu menggelapkan harta anak yatim, janda-janda, dan parapejuang, yang dititipkan Tuhan untuk engkau nikmati bersamapara perempuan dan menikahi banyak perempuan? Bertakwalahkepada Allah dan kembalikan harta benda mereka. Jika itu tidakengkau lakukan, aku akan tetap menuntuk hak darimu. Aku akansenantiasa menekan orang-orang yang zalim dan aku senantiasabersimpati kepada yang tertindas. Wassalam.”

Ini sebetulnya surat yang layak membuat Ibnu Abbasmenitikkan air mata. Andai surat itu disambut Ibnu Abbas denganhati penuh iman, maka Ibnu Abbas mestinya bertafakur danbertobat. Tetapi, ia masih menjawab dengan nada meremehkanAli lewat dua baris kalimat saja: “Suratmu yang membesar-besarkan kasus harta Basrah telah sampai kepadaku. Sumpah,hak yang mesti kudapat dari Baitul Mal mestinya jauh lebih besardaripada apa yang kuambil. Wassalam.”

Kini jawaban itu datang begitu enteng. Ya, ia memangmengambil, tettapi itu sudah menjadi haknya. Bahkan, hak yangseharusnya ia ambil jauh lebih besar daripada yang telah ia ambil.Hak apa dan atas dasar apa ia dibenarkan? Apakah Ibnu Abbasberhak atas Baitul Mal melebihi umat Islam lainnya? Inilah yang

Kebenaran yang Hilang

7 6

dipertanyakan Ali dalam surat selanjutnya. Sebuah tanggapanyang mengena dan menyedihkan.

Akan tetapi, saya tidak ingin membuat para pembaca ikutberduka. Lebih baik saya pindah ke jawaban kilat Ibnu Abbas.Di sini ia berdiskusi lebih baik, mengakhiri perjalanan perkaraini, dan menutup perbincangan tentang agama dan akidah. Iatidak lupa mengancam dengan penguasa dunia dan senjata;dengan panglimanya yang sebenarnya, yaitu Muawiyah. IbnuAbbas menulis: “Kalau engkau tidak juga menjauhkan aku darikhayalan-khayalanmu, aku akan menyerahkan harta ini kepadaMuawiyah untuk digunakan berperang melawanmu.”

Lihatlah, nasihat Ali dianggap khayalan dan mitos belaka. Kitaakhirnya dibuat berada dalam kebingungan. Karena itu, kita pantaspula bertanya: Apakah kita pantas mempercayakan urusan agamakita kepada orang yang tidak dapat dipercaya dalam urusan dunianya?

Tidak mengapa kita meninggalkan dulu Ali dalam kegundah-annya. Ia berpendapat, sebagaimana yang sering ia katakan, bahwakepercayaan orang telah sirna, dan umat telah terperdaya.Sepupunya pun telah berpaling darinya. Ia lebih memilih hiduplayak di Mekkah dengan harta umat Islam daripada memper-juangkan akidah agama di Basrah. Dan, tidak perlu waktu lamasetelah peristiwa itu, Ali pun tewas terbunuh. Kita pun langsungmenyaksikan Ibnu Abbas menjadi tamu kehormatan Muawiyahdi tempat ia berkuasa di Damaskus. Ia mendapat sambutanhangat, begitu dimanja, dan ditaburi berbagai hadiah.

Pada titik ini, yang penting bukan hanya menunjukkantakluknya simbol keyakinan Islam dalam mengemban amanat.Tetapi, yang lebih penting lagi adalah menunjukkan bahwapatologi-patologi sosial lainnya kini telah menjalar pula dalamsendi-sendi negara Islam yang baru lahir. Kita tinggalkan duluperbincangan tentang simbol-simbol akidah dan agama kita. Kitamasuki saja perbincangan tentang dunia dan politiknya.

7 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

Di sini kita mendapatkan bahwa kekuasaan apa pun di dalamsejarah haruslah mempunyai simbol-simbol kewibawaannya. Dan,kewibawaan itu biasanya merupakan hasil dari interaksi antarapemimpin dengan yang dipimpin. Ini sangat penting, bukan sajabagi seorang pemimpin, tetapi untuk memperkuat sendi-sendi,keberlangsungan, dan stabilitas sebuah negara. Tidak kita ragukanlagi bahwa kebijakan Abu Bakar dalam memerangi disintegrasikarena kasus kaum murtad telah menjaga kewibawaan itu danmengukuhkannya di mata umat. Umar, dengan ketegasan dankeadilannya, telah melambungkan wibawa negara ke tingkat yangtertinggi. Akan tetapi, tidak diragukan lagi bahwa Usman telahmenggerogotinya sedikit demi sedikit, sampai kewibawaan itusudah nyaris tak bersisa.

Usman terkadang memang mengeluarkan kebijakan yangsalah. Jika itu terjadi, ia berpidato di atas mimbar untuk memintamaaf dan menangis penuh iba, sampai orang-orang yang mende-ngarkannya pun terisak dan tersedu-sedu. Namun terkadang,ketika ia berbuat kesalahan, ia tidak meminta maaf, namun justrumengerahkan massa yang tidak juga sepenuhnya ia kuasai. Karenaitu, dalam inkonsistensinya antara kelembutan dan kekerasan, iajustru bingung mengambil keputusan. Ini mau tidak mau mengu-rangi wibawa pemerintah di mata rakyatnya. Sampai-sampaipedangnya pun pernah direbut dan dipatahkan menjadi dua didepan batang hidungnya. Bahkan, ia dilempari batu ketika sedangberpidato di atas mimbar sehingga ia terluka. Ia juga pernahdikepung dan diputus aksesnya kepada air.

Karena itu, ketika Ali memerintah, saya memastikan ia tidaklagi punya kuasa untuk mengembalikan kewibawaan itu. Kewi-bawaan negara itu baru pulih kembali dengan tampilnya seorangpenguasa dunia, seniman politik kekuasaan seperti Muawiyah.Ia adalah seorang yang tidak segan-segan membunuh seorang yangsangat saleh, adil, dan asketis sekalipun, seperti Hujr bin Uday,

Kebenaran yang Hilang

7 8

tatkala Uday mengumandangkan ajakan melakukan oposisiterhadap pemerintah dan memeranginya. Sebab, bagi Muawiyah,masalah terpenting yang ia hadapi ketika itu adalah kondisi antaraadanya pengusa atau terjadinya anarkisme. Adanya wibawa atausirna sama sekali.

Agaknya, ketegasan itu pulalah yang dapat mengelakkan ter-cerai-berainya bala tentara Muawiyah. Apabila diminta, Muawiyahpun mampu tampil sebagai sosok agamawan. Ia mampu berdebatdengan para penentangnya. Jika lawannya datang dengan argumen,ia balas dengan argumen. Apabila mereka menyebut ayat, ia punakan membungkam mereka dengan ayat. Jikalau mereka menye-but hadis, ia pun akan mengutip hadis. Akan tetapi, ketika perde-batan ia anggap sudah terlalu berkepanjangan, dan sudah tampakbenih-benih permusuhan dan perpecahan, dan karena itu tidakada jalan lain kecuali harus angkat senjata, ia pun akan angkatsenjata menantang setiap mereka yang mau menghadapinya.

Pada akhirnya, pedang Muawiyah selalu dapat mengalahkanmereka. Ekstremisme orang-orang yang keras kepala ketikaberdebat dengannya akan berakhir. Begitulah ia mengakhiri debatagama melawan agama. Ia dapat menaklukkan orang yang palingekstrem sekalipun. Namun, penuntasan persoalan biasanyadilakukan Muawiyah dengan banyak cara, bukan hanya dengansenjata. Selain dengan menggunakan kaidah-kaidah debat itusendiri, juga lewat perhatiannya terhadap kehidupan orang-orangyang coba menantangnya.

Kini kita betul-betul terheran-heran ketika menyaksikantingkah pola kaum ekstremis. Tampak sekali, mereka terkadangsedang mengira-ngira seberapa besar kewibawaan negara. Rupa-nya, mereka tak jarang menyaksikan hal ini: jangankan wibawa,negara pun sudah tidak ada. Karena itu, mereka selalu mengujiketegasan negara. Ketika mereka melihat negara begitu lembek,mereka akan tambahkan tingkah polah mereka. Tatkala mereka

7 9

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

perhatikan masih juga lembek, mereka mulai menyusun langkah.Tatkala negara tampak berkompromi dengan mereka, merekabersegera melakukan perkara yang lebih besar. Mereka bertindakcepat ketika negara tampak menahan diri. Mereka juga menungguapakah akan muncul kecaman dari pemimpin-pemimpin oposisiterhadap sikap pemerintah atas mereka. Tidak jarang yang merekadapatkan justru adalah orang-orang yang membuat keruh suasanadan membolak-balik logika. Pelaku kriminal justru mereka anggapmartir, dan mereka diperlakukan seperti sosok insan-insan yangmulia. Padahal, kalau pun syariat benar-benar diterapkan sebagai-mana yang mereka minta, mereka tentunya akan diperlakukansebagai agresor. Tangan dan kaki mereka akan dipotong, danmereka akan digantung di lapangan Kairo atau Aleksandria.

Karena itu, kita perlu kembali lagi ke lembaran-lembaransejarah. Kita telah berbicara tentang Usman dan Ali. Kita jugamenyimpulkan bahwa sistem khilafah setelah mereka berduamangkat benar-benar telah putus hubungan dengan Islam. Tidakada kaitannya lagi dengan Islam kecuali dalam masa yang singkat,yaitu ketika Umar bin Abdul Aziz dan al-Muhtadi Billah memim-pin. Perjalanan sejarah yang seperti ini, sebagaimana telah kitabicarakan, telah bermula sejak era Usman. Ketika menyatakanbahwa Islam telah sirna dari sistem khilafah pada masa-masa selan-jutnya, kita memang memiliki alasan-alasan. Itu akan kita perincinantinya. Karena itu, ungkapan yang tepat untuk menyebut sistemkhilafah yang pernah eksis dalam sejarah itu menurut kita adalah:khilafah orang Arab (khilāfah ‘arabiyyah). Akan tetapi, lebih tepatlagi, kita dapat menyebutnya khilafah Quraisy (khilāfah quraisyiyyah).

Islam hanya memerintah tidak lebih dari seperempat abadatau malah kurang. Empat khalifah yang pertama adalah orang-orang Quraisy. Orang-orang Umayyah dan Abbasiyyah juga darisuku Quraisy. Imperium Abbasiyyah berlangsung secara resmi dansecara simbolik sampai jatuhnya kekuasaan Mamalik ke tangan

Kebenaran yang Hilang

8 0

orang-orang Usmani pada 918 H. Karena itu, saya dapat memasti-kan bahwa suku Quraisy merupakan simbol dari kekuasaan sukuyang terpanjang dalam catatan sejarah dunia. Sejarah dunia tidakpernah menyebutkan adanya suatu suku yang mampu memimpinbahkan selama setengah masa kepemimpinan Quraisy.

Andai panjangnya masa kekuasaan itu karena kerelaan hatiumat Islam dan memang itulah pilihan mereka, tentu tidak jadisoal bagi kita. Tetapi, kita perlu pula merenung dan menyelidikisoal ini lebih lanjut karena hal itu berkaitan dengan soal yang palingberharga bagi kita, yaitu akidah. Ini soal kekuasaan yang mengena-kan sesuatu yang sakral menurut kita, yaitu agama, serta bertopangkepada hadis Nabi yang telah kita ingkari tadi. Hadis itulah yangselalu dikumandangkan oleh para penguasa Bani Abbasiyyah sampaimereka tetap berada di tampuk kekuasaan sekitar 786 tahunlamanya. Singkat kata, mereka mengklaim bahwa jika kekhilafahansudah jatuh ke tangan Bani Abbas, hal itu akan tetap demikiansampai mereka sendirilah yang akan menyerahkannya kepada sosokal-Mahdi yang dinantikan atau Isa bin Maryam. Ini pastilah hadispalsu, manipulatif, dan penuh kebohongan.

Saya dan anda, wahai pembaca, kini tentu sepakat untukmengatakan bahwa itu adalah hadis palsu. Argumen kita sederhanasaja: itu semua tidak terwujud dalam sejarah. Namun, argumenseperti ini tidak tersedia bagi para pendahulu kita. Mereka tidakmempunyai pilihan lain kecuali tunduk kepada hadis tersebut. Jikatidak begitu, mereka akan dituduh para fuqaha pada zamannya —yang wataknya sama saja dengan para fuqaha zaman sekarang —telah mengingkari agama dan membengkokkan akidah. Cukuplahbagi kita untuk menunjukkan fakta bahwa kitab-kitab hadisrujukan, baik hadis Bukhari-Muslim, Ibnu Hanbal, ad-Darimi danIbnu Daud, semua sepakat dengan adanya hadis itu dengan redaksiyang berbeda-beda. Intinya, para pemimpin umat mestilah darisuku Quraisy (al-a’immah min quraisy). Kini, jika seluruh dunia

8 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

beserta isinya sepakat menyatakan bahwa hadis ini sahih, kitadengan enteng dapat menyanggahnya. Karena Islam yang lapangdada, yang menyetarakan antara orang Arab dan non-Arab, takakan pernah mengutamakan suatu suku atas suku lainnya hanyakarena ia berasal dari suku Quraisy.

Dengarlah apa yang diungkapkan Umar menjelang wafanya:“Andai Salim budaknya Abi Huzaifah masih hidup, dialah yangakan aku tunjuk menjadi khalifah.” Salim bukanlah orang Quraiysdan Umar bukan pula orang yang tidak tahu akan hadis sepentingitu kalau memang ada. Demikianlah nenek moyang kita tunduktaat kepada para khalifah, baik kalangan cerdik cendikianya (danini sedikit) maupun kalangan tak terdidiknya (dan ini yangterbanyak). Mereka semua takut dianggap tidak tunduk taat dankeluar dari kesatuan umat. Alangkah malangnya Islam yang agungini. Ia datang untuk menyetarakan umat manusia, tetapi ia jusrudimanipulasi oleh umatnya sendiri dengan kebohongan-kebo-hongan, sehingga seakan-akan ia menjadi agama yang rasialis.

Karena itu, ada baiknya bila para pendukung konsep khilafahdi zaman modern ini menunjukkan kepada kita cara bagaimanamenentukan nasab kita. Siapa tahu kita adalah orang-orang Qu-raisy tanpa sengaja. Dengan modal itu, kita dapat pula berke-cimpung di dunia politik, mengincar kekuasaan, dan mencam-pakkan akal pikiran.

Dari pembahasan tentang masa al-Khulafa’ al-Rasyidun ini,kita sampailah pada kesimpulan-kesimpulan berikut:

Kesimpulan Pertama

Orang-orang yang berpikiran bahwa kita mungkin saja dapatmengembalikan fotokopi masa al-Khulafa’ al-Rasyidun ke duniamodern, sebetulnya sedang mengumbar omong-kosong. Mereka

Kebenaran yang Hilang

8 2

akan mengajak kita dan diri mereka sendiri kepada hasil yangtragis. Tidak semua yang mungkin pada masa sahabat, mungkinpula pada masa kini. Masyarakat dewasa ini bukanlah masyarakatmasa lampau. Rasulullah pun tahu akan hal itu. Karena itu, iatidak segan-segan mengadopsi sejumlah adat-istiadat masyarakat-nya seperti pola berpakaian dan pengobatan.

Ini adalah lapangan yang kita tidak dianjurkan untuk men-contohnya apalagi menganggapnya sebagai sunnah yang wajibdituruti. Rasulullah tidak datang dengan pakaian baru, tetapi tetapmemakai baju era jahiliyyah, bahkan pakaian non-Arab ketika iadiberi hadiah. Karena itu, pola berpakaian Nabi bukanlah sunnahyang perlu dituruti dan diteladani.

Soal pakaian ini juga sama dengan soal pengobatan. Karenaitu, logika fotokopi dalam soal ini tidak perlu berlaku. Apalagikalau itu malah menimbulkan hasil yang tragis. Begitu jugadengan soal legalitas kekerasan fisik. Kini, kita mungkin sepakatbahwa penyiksaan badan atau mental demi mendapatkan peng-akuan dari tersangka dalam melakukan penyelidikan suatu perkaraadalah sesuatu yang tidak disukai agama. Itu bertentangan denganesensi keadilan dan kerahmatan Islam. Begitulah persepsi baruyang diterima semangat zaman yang coba kita cocokkan denganesensi agama. Ini masuk akal, dapat diterima, dan benar. Namun,bagaimana dengan tafsiran ala fotokopi dalam memahami soalini? Saya akan berikan dua contoh kasus.

Kasus pertama menyangkut peristiwa desas-desus tentangperselingkuhan Aisyah istri Nabi, yang sangat terkenal dalam sejarahIslam dengan istilah gosip bohong ( adīts al-ifki) itu. Ketika orang-orang menuduh Aisyah berbuat serong, Nabi mendatangkan Aliuntuk meminta pendapatnya. Ketika itu Ali berkata: “Perempuansungguh banyak dan engkau tentu tak kesulitan mencari pengganti-nya. Tanyalah budak bernama Barirah, maka ia akan meyakinkan-mu!” Lalu Rasulullah meminta penjelasan Barirah. Namun, ia

8 3

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

menyangkal semua desas-desus itu. Lalu Ali pun memukulnyadengan keras sambil berkata: “Yakinkan Rasulullah (akan kebenarangosip itu)!” Ia menjawab: “Demi Tuhan, aku tidak tahu apa-apatentangnya (Aisyah) kecuali hal yang baik-baik.”

Pada kasus ini, kita menemukan kasus kekerasan fisik yangdilakukan Ali terhadap seorang budak untuk mendapat peng-akuan yang ia kehendaki. Ketika itu, Rasulullah tidak menolaktindakan Ali. Karena itu, tafsiran ‘fotokopi’ menyatakan bahwamelakukan kekerasan fisik untuk mendapatkan pengakuan seorangtersangka dalam suatu perkara adalan bagian dari Sunnah nabi.Dengan tafsir seperti ini, isu penyiksaan fisik terhadap anggotaJamaah Islamiyyah di berbagai penjara di Sudan demi memper-oleh pengakuan, dapat dianggap legal, sesuai syariat, bahkan baik,karena mengikuti paham salaf.

Akan tetapi, sudut pandang lain yang lebih luwes dan sesuaidengan semangat Islam justru menolak penyiksaan fisik. Pandangankedua ini menyatakan bahwa sekalipun itu dapat diterima padamasa Rasulullah, hal itu tidak perlu lagi berlaku pada masa selan-jutnya. Ketika peradaban manusia sudah menambahkan banyakkemajuan berarti tentang paham hak asasi manusia, serta telah pulamenolak apa yang dulu dianggap wajar, kita sudah semestinyamenerima paham ini dengan landasan Islam kita. Kita tidaksepantasnya menolak hanya untuk berteladan dengan masa yangbukan masa kita. Di sini perlu ditegaskan bahwa Islam tidak berten-tangan dengan semangat modern, dalam tiap-tiap apa pun yanglebih manusiawi, lebih toleran, dan lebih adil.

Kebenaran yang Hilang

8 4

Kesimpulan Kedua

Setelah wafatnya Ali oleh tikaman Abdurrahman bin Muljam,Abdullah bin Ja’far (satu dari tiga Abdullah yang kita sebutkansebelum ini) memanggil Ibnu Muljam. Lalu tangan dan kakinyadipenggal, dan matanya dicungkil. Lalu ia diminta mengeluarkanlidahnya untuk dipotong. Ibnu Muljam melolong karena itu. LaluIbnu Ja’far bertanya: “Kami memotong tangan dan kakimu, sertamencungkil matamu, tetapi engkau tidak melolong. Mengapaengkau kini melolong?” Ibnu Muljam menjawab: “Aku melolongbukan karena takut akan kematian. Tapi aku melolong justrukarena takut hidup di dunia ini tanpa dapat lagi menyebut namaAllah.” Lalu lidahnya dipotong, dan ia pun tewas.17 Riwayat IbnuSa`ad menambahkan bahwa mayatnya dibakar setelah itu.18 IbnuKatsir pun menyebutkah hal serupa tanpa menyebut versi manayang tersahih.19 Al-Thabari dan Ibnu Atsir hanya menyebut soalpembakaran setelah ia mati.

Kisah di atas menurut kita sama sekali tidak menunjukkansemangat Islam dan keluhuran ajarannya. Kendati pun kisahnyahanya sebatas pembakaran mayat setelah Ibnu Muljam di-qisas.Rasulullah pun pernah melarang melakukan cara-cara balasdendam yang setimpal (al-matsalah), walau terhadap anjing gila.Dalam riwayat Ibnu Atsir disebutkan, sebelum wafatnya, Ali punmelarang pembalasan yang setimpal terhadap pembunuhnya.Namun, bagi kita kisah ini merefleksikan semangat dan mentalitaszaman yang dipenuhi iklim kekerasan dan membatunya nurani.

17 Al-Dinuri, al-Akhbārut iwāl, Beirut: Darus Sirah, hal. 215.18 Ibn Saad, al- abaqāt al-Kubra, Beirut: Darus Shadir, Vol. III, hal. 39.19 Ibn Katsir, al-Bidāyah wan Nihāyah, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah,

Vol. VII, hal. 343.

8 5

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

Karena itu, masuk akal terjadi apa yang dilakukan Abdullah binJa’far tanpa adanya penolakan. Bahkan, khalayak yang menyak-sikan ketika itu pun menyempurnakan tontonan mereka denganupacara pembakaran.

Sementara itu, kemajuan peradaban saat ini telah menambah-kan ke dalam mentalitas kita rasa empati terhadap penderitaanorang lain dan sulitnya memaklumi tata cara peradaban kuno itudalam memperlakukan manusia. Bahkan, kini kita sulit memba-yangkan bagaimana para penonton brutalisme seperti itu mampubertahan menyaksikan pertunjukan. Namun memang, pada tiap-tiap fakta terdapat dua sudut pandang berbeda. Betapa mudahkita menemukan para pendukung tafsir ‘fotokopi’ yang dapatmembenarkan tindakan Abdullah bin Ja’far. Bahkan mereka siapmeneladani brutalisme itu dengan tuduhan makar terhadap IbnuMuljam, serta solidaritas terhadap Hasan dan Husein. Yang tidakmereka ungkap: Hasan dan Husein pun menolak pembakaranmayat setelah proses qi a itu.

Ketika menyaksikan ketabahan Ibnu Muljam dan kete-garannya ketika organ tubuhnya dipenggal, dan bagaimana iadiperlakukan, kita tidak sabar untuk bertanya: Apakah ada contohyang lebih terang tentang buah dari ekstremisme beragama bilaia telah merasuki jiwa manusia? Yang kita tahu, kaum ektremistidak pernah membedakan antara mereka yang beriman dan kafir.Bahkan, mereka pun sampai hati membunuh Ali. Jadi, tidak adayang baru di bawah kolong langit ini. Kita memang tidak banyakmenemukan sosok seperti Ali, tetapi kita sangat sering menjumpaisosok-sosok seperti Ibnu Muljam.

Karena itu, kita kembali kepada tafsir ala fotokopi lagi.Bukankah lebih baik bagi orang-orang seperti ini, demi solidaritasterhadap kita dan Islam, agar lebih berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah dalam soal ibadah, dan dalam waktu bersa-maan menyisakan sedikit ruang pikiran untuk lebih mengenal

Kebenaran yang Hilang

8 6

dunia modern dan berinteraksi dengannya? Tidakkah lebih baikbagi kita untuk menyerap nilai-nilainya yang berkesesuaian denganesensi agama dan tidak bertentangan dengan akidah dan iman?

Jadi, kita menerima apa yang mesti diterima, menolak apayang mesti ditolak, dengan perisai hati seorang beriman danpemikiran yang terbuka. Kita tidak menolak hak asasi manusiasemata-mata karena ia datang dari Barat; tidak menolak demokrasidengan menyebutnya bidah; tidak menolak modernitas secarakeseluruhan; dan tidak pula menerima mentah-mentah keselu-ruhan era al-Khulafa’ al-Rasyidun. Kita tetap menggunakan akalpikiran dalam memahami teks agama. Semua itu sebetulnya tidakberhubungan langsung dengan pemikiran dan akidah, tetapi lebihbanyak berhubungan dengan faktor-faktor pendorong kemajuan.Itu memang bukan salah satu rukun dari rukun Islam, tetapi iatetaplah bagian dari Islam.

Kesimpulan Ketiga

Ketentuan-ketentuan agama memang tetap (al-tsābit), tetapikondisi kehidupan terus berubah (al-mutaghayyir). Dan, di antarasesuatu yang tetap dan berubah itu, harus tetap ada bentuk-bentukpenyimpangan (al-mukhālafāt). Yang saya maksud denganpenyimpangan di sini adalah perubahan pada yang tetap danketetapan pada yang berubah. Karena membuat tetap kenyataanhidup yang selalu berubah ini adalah sesuatu yang mustahil, makayang selalu terjadi adalah perubahan pada apa-apa yang dianggaptetap di dalam agama. Ini selalu terjadi, sejak permulaan masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sampai ia berakhir. Upaya mengubahsesuatu yang dianggap tetap itulah yang kita sebut sebagai ijtihad.Kita sepakat, ijtihad memang tidak mutlak, tetapi ia harus tetap

8 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

terjadi dan dimungkinkan. Contoh-contoh Umar yang kitakemukakan membenarkan apa yang kita katakan.

Hanya saja, dalam beberapa kasus, kompleksitas kehidupanterkadang memang memaksakan adanya bentuk-bentuk penyim-pangan yang sangat tajam. Di situ tidak lagi ada kesinambunganbagi ijtihad untuk menghubungkan antara relevansi dan tujuanyang hendak dicapai. Penyimpangan-penyimpangan itu dapatsangat jelas dan terang sehingga tidak mungkin dibenarkan denganijtihad, karena memang tidak ada relevansinya. Ijtihad hanya dapatmenyatakan bahwa tidak terjadinya suatu penyimpangan adalahmustahil atau paling kurang tidak mungkin. Itu telah terjadi padamasa al-Khulafa’ al-Rasyidun sebagaimana terjadi pada masa-masalainnya. Contohnya apa yang terjadi setelah terbunuhnya Umar.

Ketika itu, Ubaidillah bin Umar lepas kendali dan membu-nuh tiga orang yang dianggapnya bersekongkol membunuhayahnya. Namun, akhirnya terbukti bahwa ketiganya tidakbersalah. Salah satu dari yang dibunuh adalah al-Harmazan, yangbaru masuk Islam dan benar-benar taat memeluk Islam. Padaawal masa pemerintahannya, kasus ini harus disikapi secara seriusoleh Usman. Pendapat agama dalam soal ini, sebagaimanadikemukakan Ali dan ia konsisten dengan pandangannya itu,sudah sangat jelas, yaitu qi ā . Ubaidillah mestinya dihukumbunuh sebagaimana ia membunuh.

Akan tetapi, Usman tidak kuasa melaksanakan itu danmenolak hukum qi ā dengan alasan “kemanusiaan”. Sebab, orangmulai bertanya-tanya dengan penuh empati: Apakah tidak cukupterbunuhnya Umar sebelum ini sehingga anaknya pun harusterbunuh saat ini? Tidakkah sudah cukup bagi keluarga Umarkehilangan sosok Umar? Apakah keluarga mereka kembali akandikejutkan dengan kehilangan lainnya padahal air mata merekabelum lagi kering dengan kehilangan Umar? Keputusan yang logis,manusiawi, dan cukup memperhatikan aspek perubahan keadaan.

Kebenaran yang Hilang

8 8

Namun, hukum agama mestinya tetap dan pasti. Hukum agamaadalah qi ā dan karena itu Ubaidillah mesti dibunuh juga.

Konon, Amru bin Ash mengeluarkan fatwa yang amat briliandan jenius ketika dimintakan saran oleh Usman untuk menge-luarkannya dari dilema. Amru bin Ash bertanya kepada Usman:“Apakah pembunuhan atas al-Harmazan itu sepengetahuanUmar?” “Tentu tidak, karena ia sendiri telah tiada,” jawab Usman.“Apakah sepengetahuanmu?” lanjut Amru bin Ash. “Tidak, itubukan atas perintahku,” jawab Usman. “Kalau begitu, biarlahperkara ini dikembalikan saja kepada Allah,” pungkas Amru binAsh.

Yang kita tahu dari sejarah, akhirnya Usman berusaha mele-paskan diri dari dilema ini dengan membayarkan denda darah(diyat) kepada keluarga al-Harmazan dengan uangnya sendiri.Ubaidillah sama sekali tidak menanggung sanksi atas perbuatan-nya, bahkan tidak ikut membayarkan diyat. Itulah yang kemudianditentang Ali dengan selalu mengancam Ubaidillah saban kali iaberjumpa. Bahkan, Ali menyatakan bahwa kalau perkara itudiserahkan sepenuhnya kepadanya, ia akan menuntut balas atasal-Harmazan. Karena itu, tatkala Ali menjadi khalifah, Ubaidillahsegera bergabung dengan bala tentara Muawiyah. Ia ikut berpe-rang melawan Ali sampai ia terbunuh di dalam Perang Shiffin.

Akan tetapi, sejarah kembali mencatat bahwa Ali punmenghadapi dilema yang mirip dengan Usman, bahkan dalambentuknya yang lebih rumit. Ia diangkat menjadi khalifah, tetapitidak mampu menegakkan hukum terhadap para pembunuhUsman dikarenakan mereka telah menguasai kota Madinah. Laluia berkelana dari perang yang satu ke perang lainnya, tetapi tetapjuga tidak dapat membunuh para pembunuh Usman yang telahmenjadi penglima perang di pihak lawannya. Tatkala Muawiyahmenyatakan bahwa tuntutan utamanya adalah agar Ali menge-tengahkan pembunuh Usman kepadanya, Ali tiba-tiba dikejutkan

8 9

Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun

oleh koor suara dari bala tentaranya sendiri: Setiap kita adalahpembunuh Usman! Posisi Ali bertambah rumit. Sangat mustahilbagi Ali untuk menuntut balas terhadap permbunuh Usman,bahkan untuk mengadili mereka sekalipun.

Inilah kehidupan dunia nyata, bukan alam surga! Inilah diamanusia, bukan malaikat. Pada masa kenabian pun, tidak adakesucian yang mutlak. Yang ada hanyalah tiadanya penyimpanganyang mutlak. Dan, setiap kali terjadi perubahan atau kemajuanzaman, akan bertambah banyak pula terjadinya bentuk-bentukperubahan. Penyimpangan-penyimpangan pun akan bertambah.Jika lapangan ijtihad begitu luas, sekalipun penyimpangan tetapterjadi — bahkan sebelum seperempat abad masa mangkatnyanabi, pada era orang-orang yang pernah hidup semasa dengannya— bagaimana dengan kita yang hidup 14 abad setelah mangkat-nya Rasulullah?

Bukankah masuk akal jika tingkat penyimpangan-penyim-pangan yang tidak bisa dielakkan (al-mukhālafāt al-i«tirāriyyah)itu telah meniscayakan kita untuk melapangkan medan ijtihadyang krusial (al-ijtihād al-«arūriyyah)? Karena itu, kita mestiberlapang dada menerima tingkat terendah sekalipun dari pe-nerapan agama yang terjadi pada zaman kita. Ini tentu jauh dariperingkat al-salaf al- āli yang hidup pada zaman yang lebihterdahulu, kurang kompleks, lebih tertutup, dan lebih homogen.

Akhirnya, para pembaca punya kebebasan mutlak untukmenolak atau menyanggah kesimpulan yang saya capai. Apa yangingin saya capai dari pembahasan ini adalah kebenaran dankeadilan dalam menilai kenyataan, bukan malah menghindarkandiri darinya. Itulah yang akan para pembaca lihat dalam pe-maparan saya selanjutnya tentang para khalifah Bani Umayyahdan Abbasiyyah. Pemaparan ini akan memperkuat tesis saya dankebenaran yang saya klaim.***

.

9 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

Bab IIIPembacaan Baru terhadap

Sejarah Umayyah

Para pembaca harus mempersiapkan pikiran untuk berke-lana dan mental untuk bersikap sahaja ketika kita berpin-dah dari pembicaraan tentang masa al-Khulafa’ al-Rasyidun

ke masa Dinasti Umayyah. Pembicaraan tentang masa Umayyahsepenuhnya soal harapan yang berbungkus petualangan ataupetualangan yang berbingkai harapan. Kegilaan-kegilaan jugaterjadi pada masa ini. Sementara soal kesemena-menaan, itu sudahbiasa terjadi.

Izinkahlah saya mengemukakan tiga buah kisah pendek yangterpisah oleh masa yang tidak terlalu lama, tetapi ketiganyamengandung perbedaan makna yang amat mencolok. Kisah ini,sekalipun saling bertolak belakang, namun tetap menunjukkansuatu makna yang dalam. Makna tersebut menggariskan arahtertentu, menentukan apa yang tidak mudah ditentukan, dansesuatu yang sulit untuk dihindarkan.

Kisah PertamaPada tahun 20 H, Umar bin Khattab berkhutbah di mimbar

Rasul di kota Madinah. Ketika itu, ia berbicara soal peranan

Kebenaran yang Hilang

9 2

masyarakat dalam lurusnya dan pelurusan seorang pemimpin. Ialalu disanggah seorang Arab badui: “Demi Allah, kalau kamimenemukan ada yang bengkok dalam kepemimpinanmu, kamiakan meluruskannya dengan pedang!” Mimik Umar tetapbersahaja mendengarkannya. Ia kemudian mengucap syukurkepada Allah sambil melontarkan ungkapannya yang sangatterkenal itu: “Puji syukur kepada Allah yang tetap menyisakan dikalangan rakyat Umar orang-orang yang akan meluruskannyadengan pedangnya yang tajam.”

Kisah KeduaPada tahun 45 H, Ibnu ‘Auf mengisahkan bahwa seorang lelaki

menegur Muawiyah: “Demi Allah, hendaknya engkau bertindaklurus terhadap kami wahai Muawiyah, atau justru kami yang akanmeluruskanmu!” Muawiyah menanggapi: “Dengan apa engkauakan meluruskanku?!” “Dengan kayu,” sahut lelaki itu. “Kalaubegitu, kita akan sama-sama meluruskan diri,” kata Muawiyah.

Kisah KetigaPada tahun 75 H, Abdul Malik bin Marwan berpidato di

atas mimbar Rasulullah di kota Madinah setelah terbunuhnyaAbdullah bin al-Zubair. “Demi Allah, janganlah sekal-kali adayang mengatakan kepadaku untuk bertakwa kepada Allah setelahpidatoku ini, jika tidak ingin kutebas tengkuknya!” ancamMarwan sambil berlalu.

***

KITA berhadapan dengan tiga kisah pendek, tetapi sangat dalammaknanya untuk menggambarkan tiga perkembangan gayamemerintah. Ketiganya dipisahkan oleh tiga fase, yaitu fase Umar,periode gemilang al-Khulafa’al-Rasyidun; masa Muawiyah binAbi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah; dan Abdul Malik bin

9 3

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

Marwan, khalifah Umayyah paling menonjol dan simbol keluargaMarwan yang menggantikan keluarga Sufyan setelah wafatnyaMuawiyah bin Yazid, khalifah ketiga Umayyah.

Kisah pertama melambangkan ketulusan seorang pemimpinkepada rakyatnya dan sinyal tentang sebaliknya. Kita tidakmeragukan itu lagi karena kita telah mengupasnya. Arab baduiitu sungguh tulus dalam perkataannya. Ia benar-benar mengertikonsekuensi apa yang ia katakan. Ia sungguh-sungguh siapmenghunus pedang untuk meluruskan Umar bila itu benar-benardibutuhkan. Kita tidak pula meragukan bahwa Umar paham betulbahwa sang badui benar-benar tulus dalam perkatannya. Karenaitu, ia bersukacita sambil mengucap syukur kepada Allah. Dalamsukacita dan puji syukurnya, Umar pun benar-benar tulus kepadaAllah, jujur kepada dirinya sendiri dan sang badui. Pendek kata,kita menyaksikan suatu proses dialog dengan kalimat-kalimat yangbenar-benar menjalankan fungsinya secara semestinya. Kalimat-kalimat itu denotatif, benar-benar mengungkapkan apa yang adadi dalam jiwa pengucapnya dengan cermat, jelas, dan lurus.

Sementara dalam kisah kedua, kita menemukan contoh terbaiktentang permainan kata-kata. Suatu ungkapan sudah mengandungaspek yang tampak keluar dan aspek yang ada di dalam jiwa.Setiap kalimat bergantung kepada pengucap dan pengungkapnya.Ancaman sang lelaki terhadap Muawiyah tampak lebih dimaksud-kan untuk berkelakar, dan lebih tepat disebut pengharapan.Sementara tanggapan Muawiyah dimaksudkan untuk memastikansuatu kesungguhan sikap, lewat pertanyaan “dengan apa?” Perta-nyaan yang terlontar itu lebih merefleksikan sikap percaya diriyang amat tinggi. Kepercayaan diri itu seakan-akan menimpalawan bicaranya dengan beban yang amat berat dan sangat me-matikan; ia bagai pedang yang sudah terhunus.

Betapa cepat mental lelaki itu terpukul dengan cara mengalih-kan suasana menjadi suatu guyonan. Sejak saat itu, Muawiyah

Kebenaran yang Hilang

9 4

langsung tahu bahwa sang lelaki kembali siuman dari lamunan,lalu menyarungkan pedang ke dalam sarungnya. Ia mundurdengan cara yang cerdas dan tidak terhempas. Dengan menyebutkayu sebagai senjata — sesuatu yang tidak lazim dan karena itudapat dianggap kelakar belaka — ia berhasil meredakan emosiMuawiyah. Para pembaca mungkin dapat dengan mudah menang-kap kesan bahwa lelaki itu sedang mengatakan sesuatu, tetapimenginginkan hal yang lainnya. Muawiyah pun sedang mengata-kan sesuatu untuk menyembunyikan hal lainnya. Kedua merekasaling memahami maksud lainnya. Keduanya masuk ke dalamgelanggang dan keluar dalam waktu yang tepat. Dalam rasa kesaldan kecut terhadap kebijakan-kebijakan Muawiyah, lelaki itu tidakmenunjukkan sikap bagai tegarnya karang. Ia mengambil posisiseperti balon udara: luarnya tampak kokoh, dalamnya kosong.

Kisah ketiga mendekati kisah pertama dalam hal kejelasan,keterusterangan, dan ketulusan ungkapannya. Namun, kisahketiga ini justru memaklumatkan sesuatu yang bertolakbelakangsama sekali dengan kisah Umar. Marwan jelas-jelas berterus-terangdan serius dalam mengancam. Tidak hanya terhadap orang yangsekadar bersilang pendapat atau membantah penguasa, bukanpula terhadap mereka yang mengacungkan pedang atau sekadarkayu, tetapi terhadap setiap orang yang menasihatinya untuktakwa kepada Allah. Abdul Malik benar-benar mengabadikan citradirinya dengan sikap seperti ini. Karena itu, al-Zuhri pernahmenyebutnya sebagai “orang pertama yang melarang amar makrufdi dalam sejarah Islam.”

Namun baiklah, ketiga kisah ini menjelaskan dua hal.Pertama, kisah-kisah tersebut memperlihatkan perkembanganmodel kekuasaan dari masa al-Khulafa’ al-Rasyidun ke masaMuawiyah, sosok jenius dan terlatih, lembut perawakan tetapitegas pembawaan, sekaligus pendiri sebuah imperium baik lewattaktik politis maunpun muslihat tipudaya. Kedua, kisah-kisah

9 5

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

itu menggambarkan situasi ketika sebuah imperium sudah berdiri,tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dari kekuasaan, baik dalammenghadapi tipu muslihat maupun basa-basi. Dengan perkataanlain, tiga kisah ini membawa kita untuk mengarungi tiga modelsikap penguasa sekaligus, keadilan nan tegas (al-‘adl al-hāsim),ketegasan nan ramah (al- asm al-bāsim), serta kedigdayaan nanmenindas (al-qahr al-ghāsyim). Semua itu tergambarkan dalamkurun waktu yang tidak lebih dari setengah abad.

Kita sengaja mengungkap tiga kisah ini sebagai pembukauntuk berbicara tentang masa Umayyah, agar para pembaca segeradapat menangkap suatu sinyal. Selain itu, juga agar para pembacamengalami sedikit waktu relaksasi untuk olah pikir sambiltersenyum. Itu semua bertujuan agar pemaparan kita tidak tampakterlalu suram, dan fakta-fakta tidak terdengar terlalu menyakitkan.Para pembaca mungkin akan sangat terperangah dengan sampelkisah tentang Abdul Malik bin Marwan. Untuk itu, sejak sekarangsampai selanjutnya, saya mengajak anda untuk membiasakan diridengan fakta-fakta yang mengguncangkan, serta menyiapkanmental ketika terperangah.

Kita mestinya bersyukur dengan kejujuran Abdul Malik padadirinya sendiri dan orang lain. Sebab akan tiba suatu masa ketikapara Khalifah dari Dinasti Abbasiyyah justru menunjukkan rupa-rupa hipokrisi dan kemunafikan. Mereka tampil di depan khalayakdengan tampang khusuk dan penuh iman, tak jarang bercucuranair mata ketika dinasihati oleh para ahli ibadah. Namun padalain waktu, mereka justru menanggalkan baju takwa mereka, lalumelakukan hal-hal yang amat memalukan dan membelalakkanmata. Dalam kealfaan dan kegilaannya itu, mereka justru tidakrisih disapa sebagai pemimpin kaum beriman (amīr al-mu’minīn)dan khalifah bagi umat Islam (khalīfah al-muslimīn).

Untuk memperjelas betapa vulgar dan jujurnya Abdul Malikdengan dirinya, ada baiknya kita menceritakan kisah unik yang

Kebenaran yang Hilang

9 6

disodorkan al-Suyuthi dalam kitabnya. Konon Ibnu Abi Aisyahmengatakan, Abdul Malik pernah diminta untuk memutuskansuatu perkara sambil diajukan kepadanya sebongkah mushaf al-Quran. Akan tetapi, ia justru mencampakkannya seraya berkata:“Ini adalah persentuhanku terakhir denganmu!”1

Kita memang tidak menemukan perbedaan antara apa yangdikatakan dan diperbuat oleh Abdul Malik setelah ia memerintah.Sumber-sumber yang sama banyak menceritakan soal ilmu dankepiawaiannya di bidang fikih. Contohnya seperti yang dikatakanoleh Nafi: “Saya telah memeriksa seluruh isi kota, tetapi tidakmenemukan seorang pemuda pun yang lebih antusias, lebihpiawai di bidang fikih, lebih taat dalam ibadah, dan paling banyakmenelaah Kitabullah dibandingkan Abdullah bin Marwan.” Abuaz-Zannad juga mengabarkan: “Ada beberapa ahli fikih di kotaMadinah, yaitu Said bin al-Musayyab, Abdul Malik bin Marwan,Urwah bin az-Zubair, dan Qabishah bin Dza’ub.” Ubadah binNasyi juga mengatakan: “Ibnu Umar pernah ditanya: ‘Para tetuaQuraisy dikhawatirkan nyaris punah, lalu kepada siapa tempatkami bertanya setelah kalian tidak lagi ada?’ Ibnu Umar menjawab:“Marwan punya seorang anak yang kalian bisa jadikan tempatbertanya. Berkonsultasilah kepadanya!’”2

Kita mengatakan tidak ada kontradiksi pada kepribadianMarwan, karena keahlian fikih memang sudah ada padanyasebelum ia memimpin. Namun setelah ia memimpin, ia menyadaribahwa fase khusuk dan taat ibadah telah berlalu, al-Quran sudahharus ditutup, dan tantangan kekuasaan sudah terbuka. Ia benar-benar jujur ketika mengucapkan selamat tinggal kepada al-Quran.Kita dapat membuktikan itu dengan mudah karena orang keper-cayaan dan tangan kanan yang diangkatnya adalah seorang jagal

1 Al-Suyuthi, Tārīkh al-Khulafā, hal. 217.2 Idem, hal. 216.

9 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

manusia bernama Hajjaj. Konon ada sebuah pameo yang menga-takan, “apabila Hajjaj datang, malaikat akan menyingkir dan setanpun akan mendekat.”

Namun, Abdul Malik memang sangat mengenal bakat Hajjaj.Ia benar-benar tahu bahwa bersama Hajjaj, sendi-sendi kekuasaanakan menguat, dan dengan itu ia dapat mengukuhkan tonggakkekhalifahannya. Karena itu, wasiat terakhirnya untuk anak sekali-gus putra mahkotanya, al-Walid, tidak lain ialah agar al-Walidtetap mempertahankan Hajjaj pada posisinya, selalu bersahabatdengannya, dan menjadikannya sebagai menteri sekaliguspenasihat. Kelak, wasiat itu kontan dijalankan.

Sebagian pembaca mungkin bertanya-tanya, apa pulapentingnya bagi kita untuk mengemukakan kisah sesosok manusiayang telah menyatakan talak tiga dan memalingkan wajahnya darial-Quran, lalu menjalankan roda pemerintahannya sesuai denganinstingnya? Kita perlu menjelaskan bahwa Abdul Malik telahmelakukan banyak hal besar: membantai manusia dan menum-pahkan darah dengan kostum kebesarannya sebagai pemimpinkaum beriman dan khalifah umat Islam. Dan perlu dicatat bahwapada masanya umat Islam tetap begitu antusias mendoakankebaikan untuknya setiap Jumat, agar Tuhan tetap menguatkansendi-sendi agama dengan kepemimpinannya, tetap mengokohkansendi-sendi kekuasannya, dan melanggengkan dirinya sebagaipenjaga Islam dan pengemban amanat imam bagi umat Islam. Parafuqaha pada zamannya, sebagaimana dituturkan kitab-kitab sejarah,dengan penuh keyakinan senantiasa mengumandangkan hadis Nabiyang pada intinya mengatakan bahwa “orang yang sekurang-kurangnya telah menjadi pemimpin umat Islam selama tiga hari,maka akan dihapuskan Tuhan dosa-dosanya.”

Mungkin kurang adil jika kita hanya menilai sosok AbdulMalik dari sudut pandang agama. Sebab Abdul Malik bukanlahsosok yang tidak penting dibandingkan para pemimpin sebelum

Kebenaran yang Hilang

9 8

dan sesudahnya. Dari sudut pandang politik dan kekuasaan, iaadalah seorang pemimpin yang kredibel, dan — dengan ukuranapa pun — ia adalah seorang negarawan besar. Ia mampu mema-damkan pemberontakan yang dipimpin Abdullah bin al-Zubair,juga menaklukkan kawasan Armenia dan Magribi. Ia juga berhasilmembangun kota dan benteng pertahanan, mengadopsi dinarsebagai mata uang pertama dalam sejarah Islam, dan menggerak-kan penerjemahan berbagai literatur Persia tentang tata adminis-trasi pemerintahan.

Gaya pemerintahannya terpancar secara jelas dalam sebuahwasiatnya kepada anak dan putra mahkotanya, al-Walid, tatkala iasedang menjemput kematian: “Wahai anakku Walid, bertakwalahkepada Allah dengan kekuasaan yang telah Ia mandatkan kepa-damu! (perhatikanlah ungkapan tentang kepemimpinan dengankehendak Ilahi ini!). Tetaplah memperhatikan dan menghormatiHajjaj. Ia adalah orang yang paling mampu menyediakan mimbaruntukmu. Ia adalah pedang sekaligus pelindungmu dari orang-orang yang memusuhimu, wahai Walid. Janganlah terlalu meng-hiraukan pendapat orang tentang dirinya. Engkau lebih membu-tuhkan dirinya daripada ia membutuhkan dirimu. Jika aku matinanti, kumpulkanlah orang-orang untuk membaiat dirimu. Barang-siapa yang mengatakan ‘bukan begitu yang seharusnya,’ katakansecara tegas, ‘beginilah seharusnya,’ dengan pedangmu.” AbdulMalik lalu tidak sadarkan diri, dan pecahlah tangis al-Walid.Namun, Abdul Malik kembali tersadar dan langung berkata:“Mental apa-apaan ini?! Mengapa engkau bersedih seperti ke-banyakan orang?! Kalau aku mati, singsingkan lengan bajumu danambil pakaianmu. Kenakan kulit macan, letakkan pedang dipinggangmu. Barangsiapa merasa dirinya lebih berhak daripadadirimu, tebas lehernya!” Di suasana hening, ia menghembuskannafasnya yang terakhir.

9 9

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

Al-Walid benar-benar menghafal wasiat itu dan menjalankan-nya dengan baik. Ia lalu tercatat dalam sejarah sebagai negarawandan pemimpin yang berkarakter langka. Ia penakluk kawasan-kawasan tersulit. Ia berhasil menaklukkan India dan Andalusia.Ia memang tercatat sebagai sosok yang tidak menonjol dalamsoal agama dan akidah. Tidak pernah terdengar dari dirinya kabarsedikit pun kalau ia mengerti agama. Yang ada hanyalah beberapacatatan singkat yang menyebutkan bahwa dirinya sering mengutipAl-Quran dalam pidato-pidatonya.

Sejarah mencatat, Abdul Malik memimpin selama 20 tahun,sementara al-Walid 10 tahun. Artinya, masa kepemimpinan kedua-nya berlangsung selama 30 tahun dari 92 tahun masa kekuasaanBani Umayyah. Karena itu, saat berbicara tentang masa Umayyah,kita tidak pernah boleh melewatkan tiga nama, yaitu dua orangYazid (Yazid bin Muawiyah dan Yazid bin Abdul Malik), serta al-Walid bin Yazid. Nama Yazid bin Muawiyah sangat terkenalkarena kasus pembunuhannya terhadap Husein bin Ali bin AbiThalib. Riwayat-riwayat begitu banyak berbicara tentang soal inidan tak perlu kita tambahkan lagi.

Namun, ada kisah yang menurut kita jauh lebih pentingdaripada kisah pembantaiannya terhadap Husein. Akan tetapi,kisah ini hanya diulas sambil lalu saja di dalam kitab-kitab sejarahkarena ini berkaitan langsung dengan persoalan akidah. Kitamerasa perlu mengungkapkannya demi mengambil pelajarandarinya, karena kasus ini berlangsung hanya setengah abad setelahwafatnya Rasulullah.

Sejarah menyebutkan bagaimana cara bala tentara Yazidmenyerang kota Madinah karena penduduknya mencabut baiatterhadapnya. Ketika itu, penduduk Madinah yang sanggupberperang hanya sedikit dan langsung takluk di kawasan Hirah.Saat itulah panglima perang Yazid memaklumatkan anarkisme didalam kota selama tiga hari. Konon, peristiwa ini mengakibatkan

Kebenaran yang Hilang

100

terbunuhnya sekitar 4.500 jiwa. Sekitar seribu orang perawan pundiperkosa. Semua itu atas titah Yazid kepada panglimanya, Muslimbin Uqbah. “Bujuklah mereka untuk menyerah selama tiga hari.Jika tidak menyerah juga, perangi mereka. Bila mereka takluk, segalasesuatu adalah halal bagi kalian selama tiga hari. Rebutlah harta,ternak, senjata, dan panganan mereka untuk dinikmati para tentara.Jika lewat masa tiga hari, butakanlah mata mereka.”3

Akan tetapi, Muslim tidak memaklumatkan anarkisme diseantero kota Madinah, bahkan menuntut penduduk untuk menye-rahkan diri sebagai budak-budak Yazid. Dengan itu, Yazid berhakmemperlakukan apa saja terhadap jiwa, harta, dan sanak keluargamereka. Beginilah rentetan kejutan peristiwa mulai makin menan-tang anda. Sebagian orang pada masa itu rupanya masih berfantasibahwa mereka sedang berada dalam negara Islam. Karena itu, masihmungkin bagi mereka untuk melunakkan hati Muslim dan Yaziddengan argumen agama. Padahal itu sudah jauh dari mungkin.Sebagian dari mereka menyatakan baiat dengan berlagak sepertisedang memberi nasihat: “Aku membaiatnya berdasarkan KitabAllah dan Sunnah Rasulnya!” Tetapi, Muslim sudah tak sudi men-dengarkan itu. Bahkan ia melayangkan pedangnya kepada orang-orang yang mengikrar baiat itu dengan lugu dan tulus sekalipun.

“Ini tak lebih ucapan para pemimpi yang romantis,” mungkinbegitulah pikir Muslim. Namun, tragedi seperti itu justru terjadiberulang-ulang. Ada yang mengatakan seperti redaksi yang sama,lalu dibunuh. Yang membaiat atas nama al-Khulafa’al-Rasyidunjuga dibunuh. Yang membaiat atas nama Umar juga dibunuh.Akhirnya, keadaan sepenuhnya dapat dikuasai Muslim. Tidak adajalan lain, ia harus menguasai keadaan. Dan rupanya, bagi

3 Ibnu al-Atsir, al-Kāmil, Beirut: Darul Kutub al-Arabi, jilid V, hal. 310-314. Rujuk juga op.cit., al-Thabari. Beirut: Muassasatul Alami lil Mathbu‘at,jilid IV, hal. 374-381.

10 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

Muslim, pedang lebih mampu mengatasi keadaan daripada al-Quran. Pedang tidak berbicara dengan lisan, tidak pernah ingintunduk kepada ujaran. Dan kabar itu pun sampai ke telinga Yazid.

Saya berharap para pembaca menarik nafas sejenak untukmembaca tanggapan Yazid. Ia mengatakan sesuatu, bukan dalambentuk prosa, tapi lewat sebait puisi:

Andai nenek moyangku Badar-ku bersaksiTombak dan panah lumpuhkan Khazraj4

Yang sangat penting diperhatikan di sini, Yazid berandai-andai hari itu nenek moyangnya yang berperang di Badarmenyaksikan bagaimana kaum Khazraj takluk oleh tombak danpanah. Tentang siapa nenek moyangnya, tentulah sangat jelas,yaitu Bani Umayyah, musuh kaum Khazraj di Perang Badar.Khazraj adalah suku terbesar dari kalangan Anshar Madinah. Dansewaktu Perang Badar, mereka berada di pihak tentara Islam. Baititu jelas-jelas menggambarkan bahwa Yazid selaku khalifah umatIslam dan pemimpin kaum beriman, berangan-angan seandainyanenek moyangnya yang takluk oleh Rasulullah dan kaum AnsharMadinah dalam Perang Badar masih bernyawa, sehingga ia dapatmenunjukkan bagaimana caranya menuntaskan dendam.

Kita perlu menunjukkan kisah ini agar orang-orang yangmasih juga gemar menyematkan kata “Islamiyah” terhadap sistemkhilafah bisa sedikit skeptis dan berempati terhadap kata Islambila sudah tiba di tangan para penguasa. Ini juga perlu ditunjukkanagar mereka sedikit berempati terhadap para syuhada Anshar yangdibantai karena mereka membela pihak Rasulullah dan Islam.Di tangan siapa semua itu terjadi? Di tangan “pemimpin Islam”dan penjaga kehormatan dan akidahnya.

4 Ad-Dinuri, al-Akhbar al- iwal, Beirut: Darul Masirah, hal. 267.

Kebenaran yang Hilang

102

Puisi di atas juga diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wa al-Ni āyah, ketika ia mengisahkan dua tragedi dalamsejarah. Pertama, Tragedi Hirah yang kita sebutkan tadi; kedua,tatkala kepala Husein diantar kepada Yazid.

Ibnu Katsir juga memuat puisi lain yang agak ia ragukandan tidak dapat ia pastikan kebenarannya, namun ia paparkansembari melaknat Yazid kalau ia benar-benar mengatakan itu:

(klan) Hasyim bermain-main kuasaKekuasaan tidak datang, wahyu pun tidak menjelang

Andai puisi itu benar-benar dikatakan Yazid, itu jelas lebihtragis lagi. Sebab, pembalasan dendam di sini tampaknya langsungia tujukan kepada Rasulullah dan sanak keluarganya. Sayacenderung mengatakan bahwa Yazid tidak mengatakan itu.Kekafiran, kedurhakaan, dan arogansi tetap ada batasnya. Namun,itu tidak berarti bahwa kita dapat memaklumi sikap para fuqahadan para penulis sejarah Khilafah Islam pada masanya. Merekabegitu yakin bahwa Yazid dapat terampuni dengan dasar hadisyang disebutkan tadi. Lihatlah Ibnu Katsir. Ia menuliskan, “Yazidadalah orang pertama yang menaklukkan Konstantinopel padatahun 40 H. … dan di dalam hadis Nabi sudah pasti dikatakanbahwa ‘tentara pertama yang mampu menyerang kota Kaisar akanterampuni.”

Saya tidak perlu menambahkan komentar lagi dalam soal ini.Lebih baik kita beralih saja ke sosok Yazid bin Abdul Malik, khalifahkesembilan Bani Umayyah, dan salah seorang khalifah dari ketu-runan Abdul Malik bin Marwan, yang secara berurutan terdiri darial-Walid, Sulaiman, Yazid, dan Hisyam. Kita sengaja mengkhu-suskan diri untuk mengulas Yazid saja karena ia menjadi seorangkhalifah persis setelah masa Umar bin Abdul Aziz. Yang terakhirini konon dianggap telah “mengisi dunia dengan dua tahun masa

103

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

keadilan,” sementara Yazid yang menggantikannya dianggap“memenuhi dunia dengan lautan makna, nikmatnya dunia,minuman keras, kebobrokan moral, dan empat tahun kebejatan.”

Al-Suyuthi mengisahkan,5 tatkala Yazid mendapatkanmandatnya sebagai khalifah, “didatangkan ke hadapannya 40orang syeikh untuk mengikrarkan kepada khalayak bahwa seorangkhalifah tidak akan dihisab Tuhan, apalagi disiksa.” Di sini tampakjelas oleh para pembaca bahwa petaka itu bukan hanya datangdari para khalifah, tetapi juga dari jajaran ulama dan para fuqaha.Maksudnya, sepanjang mereka memberi fatwa bahwa Yazid tidakakan dihisab dan diazab, maka ia bebas berbuat sekehendakhatinya. Karena itu, ia melampaui khalifah-khalifah Islam lainnyadalam dua hal, yaitu romansa dan kenikmatan gelapnya malam.Kekhalifahannya dimulai dengan romansa bersama Salamah,sementara kekuasaan bahkan hayatnya berakhir karena romancintanya bersama Habbabah.

Sebelum kita berbicara tentang kedua kisah itu, kita perlumencatat pula obsesinya untuk dipandang unik dibandingkankhalifah-khalifah lainnya. Sejarah pernah menyebut dan mencatatobsesinya “untuk terbang”. Suatu hari, di dalam majlisnya dida-tangkan Habbabah untuk menghiburnya, lalu giliran Salamah. Ialarut dan bernyanyi selantang-lantangnya. Lalu ia berteriak: “Akubenar-benar hendak terbang!” “Wahai yang mulia, lalu kepada siapaakan engkau titipkan umatmu dan kami semua?” tanya Habbabah.6

Sebuah pertanyaan yang logis. Apa yang akan diperbuat umat kalaukhalifahnya justru melanglangbuana? Siapa yang akan mengisiseantero negeri dengan lagu dan nyanyian, romansa dan gairah?Al-Mas’udi menuliskan, “Abu Hamzah al-Khariji mengatakan:‘Yazid lalu mendudukkan Habbabah di sebelah kanannya, Salamah

5 Al-Suyuthi, Tārikh al-Khulafā, hal. 246.6 Al-Mas’udi, Murūj al-Dzahab, hal. 210.

Kebenaran yang Hilang

104

di samping kirinya, lalu ia mengutarakan kehendaknya untukterbang. Ia telah terbang menuju laknat Tuhan dan azab-Nya yangpedih’.”7

Ibnu Katsir pun meriwayatkan kisah wafatnya Yazid sebagaiberikut: “Yazid sungguh sangat menyayangi perempuan keberun-tungannya yang bernama Habbabah. Ia memang sangat cantik.Yazid telah membelinya ketika kakaknya, Sulaiman memerintah,seharga empat ribu dinar dari Usman bin Sahal bin Hanif.Kakaknya lalu mengutarakan niatnya kepada Yazid, ‘Aku sangatingin menyewanya darimu.’ Yazid pun menjualnya kepada kakak-nya. Tetapi, ketika khilafah sudah diserahkan kepadanya, suatuketika Yazid ditanya istrinya, Sa’dah: ‘Wahai amir al-mukminin,adakah obsesi dunia yang masih engkau idam-idamkan?’ ‘Ya,Habbabah!’ jawab Yazid. Lalu istrinya mengutus seseorang untukmembeli kembali Habbabah. Setelah itu, Habbabah diberipakaian, didandani begitu rupa, lalu ditempatkan di balik tirai.Sa’dah lalu bertanya: ‘Wahai amir al-mukminin, adakah obsesidunia yang masih saja engkau inginkan?’ ‘Bukankah telah kuutara-kan?” jawab Yazid. Lalu Sa’dah mengatakan, ‘Inilah Habbabah,’sambil memperlihatkannya. Sa’dah membiarkan Yazid danHabbabah berduaan, lalu meninggalkan mereka. Demikianlah,kendati berstatus selir, Habbabah menempati posisi yang sangatistimewa di mata Yazid. Demikian pula Sa’dah, istri Yazid.”

Lanjut Ibnu Katsir: “Pada suatu hari, Yazid juga pernah meng-utarakan hasratnya untuk tinggal berdua saja dengan Habbabah,di istananya, untuk selamanya, tanpa ada yang lain tersisa. Iapun mewujudkan impiannya itu. Di istananya yang megah,didatangkahlah Habbabah seorang diri. Berbagai kasur nanempuk digelar, permadani dibentang. Tatkala mereguk nikmatkebersamaannya dengan Habbabah dan dalam suasana romansa

7 Ibid, hal. 210.

105

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

dan cinta, ia melemparkan anggur ke mulut Habbabah yangsedang tertawa. Kontan, ia tersedak lalu mati. Selama berhari-hari, Yazid tak putus mencium dan memeluk mayat Habbabah.Ketika mayat itu telah membusuk, barulah ia memerintahkanpenguburannya. Setelah mayat dikubur, ia pun menginap di sanaselama berhari-hari. Sejak saat itu, ia tidak keluar rumah kecualilembab kelopak matanya.”8

Kisah ini, sebagaimana dikatakan Ibn Katsir, adalah contohyang sangat langka tentang ketulusan cinta dan kedalamanromansa. Wajar saja bila hati meleleh dan air mata bercucuranmembacanya. Namun, dalam analisis kita, kisah ini betul-betuljanggal dan tidak pantas. Kisah itu sangat tidak layak terhubunglangsung dengan sosok pemimpin kaum beriman, imam umatIslam, pengayom dua kota suci, dan pengawal gerbang kebenaranbagi orang-orang yang berpegang kepada al-Quran dan SunnahRasul. Karena itu, kita mungkin bertanya-tanya, dan kita memangberhak untuk bertanya: Mengapa orang-orang yang menuntutkembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan, danmengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan darimasa lalu dan bahkan bagian darinya?

Perlu diketahui, Yazid bin Muawiyah hidup semasa denganimam-imam dan fuqaha besar semisal Hasan al-Bashri, Amrubin Abid, Washil bin Atha, dan lainnya. Mereka itu tampaknyasulit untuk berkata dan bersikap tegas. Mereka senantiasa dikirimibingkisan, dimanja hadiah, bahkan tak jarang menjalankan peransebagai penyelenggara upacara-upacara agama. Khalifah terkadangdatang kepada mereka dengan mata berbinar-binar, bertanya soalagama, dan meminta nasihat mereka. Mungkin saja mereka taklupa mengingatkan akan siksa neraka, azab kubur, hari kebangkitan,

8 Ibn Katsir, al-Bidāyah wan Nihāyah. Jilid v,juz 9, hal, 242. al-Mas’udijuga menyebutkan kisah serupa dalam Murūj al-Dzahab, juz III, hal. 207.

Kebenaran yang Hilang

106

dan khalifah mendengarkan secara seksama sambil bercucuranair mata. Namun, mereka juga sangat tahu apa yang sesungguhnyaterjadi dan sebatas apa nasihat perlu mereka sampaikan. Karenaitu, mereka tidak terlampau menghiraukan khilafah, atau meng-ancam dengan memprovokasi massa, apalagi memvonis kafir.Semua itu di luar skenario yang telah tidak tertulis, tetapi dipa-hami bersama.

Mungkin tetap ada saja orang yang akan megatakan bahwaYazid tidak melakukan dosa apa-apa. Menikmati dunia denganbanyak selir dan budak-budak perempuan yang berada di bawahkekuasaannya dianggap hal yang tidak terlarang di dalam agamadan tidak dibatasi secara terperinci oleh kitab suci. Itu dianggapbagian rukh ah atau dispensasi agama yang dapat dinikmati Yazid,bahkan para sahabat terkemuka jauh sebelum Yazid. Dan Yazid,seperti banyak orang saat sekarang, tentu sangat menyukainikmatnya rukh ah. Namun, kini kita mesti berkata: Cukup! Kitamungkin bisa sepakat dengan mereka bahwa perseliran danpemanfaatan budak-budak perempuan tidak bertentangan denganera Yazid, dan itu tidak pula bertentangan dengan hukum yangditetapkan al-Quran. Tetapi kita juga harus mengatakan bahwapada tiap agama terdapat esensinya, Islam juga punya rohhya,dan rukh ah pun harus ada batasannya.

Sangat tidak masuk akal jika bolehnya perseliran justrumembuka jalan bagi kerusakan sosial yang sangat besar. Danpemanfaatan budak-budak telah menjadi cara untuk melenyapkaniman, sesuatu yang halal digunakan untuk kesemena-menaan.Kita senantiasa mengajak masyarakat untuk menjaga mata, danmengingatkan mereka akan ancaman zina mata. Saya memangtidak sedang melarang khalifah untuk menikmati kebersamaan-nya. Sebab ia memiliki dua sayap yang benar-benar siap memba-wanya terbang, yaitu uang dan kekuasaan. Karena itu, merekaberlebih-lebihan dalam soal perseliran.

107

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

Kasus Yazid sebetulnya tidaklah unik pada dirinya. KhalifahAbbasiyyah, al-Mutawakkil, juga sangat dikenal soal kegilaannyaakan nikmat hidup dan minuman berselera. Ia bahkan punyaempat ribu orang selir. Semuanya konon sudah pernah ia cicipi.9

Kemampuan di atas rata-rata itu tentu saja akan sangat menarikperhatian para produsen film porno pada era kita. Akan tetapi,kisah-kisah seperti ini selalu terbungkam, terlarang. Apalagimenyangkut persoalan penguasa di dalam Islam.

Dari Yazid kita beralih ke pembicaraan tentang anaknya, yaitual-Walid bin Yazid yang diwasiatkan untuk menjadi khalifahsetelah kakaknya, Hisyam. Dan Hisyam memang menenuhi janji-nya kepada adiknya, walau ia telah mendengar tentang kegilaan-kegilaan al-Walid. Dan, benar saja: Al-Walid melebihi kegilaanbapaknya, bahkan kegilaan siapa pun. Ia melakukan apa yangtidak pernah diperbuat oleh khalifah terdahulu maupun terkemu-dian. Dikisahkan, ia sangat terkenal akan kegilaannya, kegemaranmabuknya, homoseksualitasnya, dan — anda mungkin tidakpercaya — hobinya membidik al-Quran dengan panah.

Namun selain itu, ia juga seorang penyair dengan bakat alami-ah, lentur dalam ungkapan, pandai memilih kata-kata. Segala pujibagi Tuhan yang telah menganugerahkannya bakat itu, sehinggakita dapat mewarisi syair-syairnya yang dituturkan dari mulut kemulut oleh para perawi sambil mengucap ‘audzubillah, la awlawala quwwata, dan mungkin juga kembali bersyahadat kepadaAllah. Nasib baik bagi al-Walid, tetapi kabar buruk bagi parapembaca; kebanyakan syair dan kisah-kisahnya tidak mungkindipaparkan karena begitu vulgar kata-katanya, dan begitu janggalperbuatannya.

Akan tetapi, tidak mengapa jika kita mulai pembicaraan ten-tang al-Walid dari sudut pandang para pembelanya. Al-Zhahabi

9 Al-Suyuthi, Tārīkh al-Khulafā. Hal. 349-350.

Kebenaran yang Hilang

108

mengatakan, “Tidak benar kalau al-Walid kafir dan zindiq, namunia memang dikenal sebagai pemabuk dan pelaku homoseksual.Karena itu, ia dituding sedemikian rupa. Suatu ketika, al-Walidbertandang ke tempat al-Muhtadi. Lalu seseorang mengatakan:‘Dia seorang zindiq’. Tetapi, al-Muhtadi justru menjawab:‘Omong kosong! Khilafah Allah di tangannya akan lebih jayadaripada di tangah seorang zindiq.’”10

Ini adalah ungkapan pembela al-Walid yang menolak tuduhankafir atau pun zindiq terhadap al-Walid. Dalam pembelaannya,mereka juga menggunakan argumen-argumen yang konyol. Adayang mengatakan bahwa ia tidak melakukan tindakan melebihimabuk-mabukan dan homoseksualitas; seakan-akan keduanyasesuatu perkara yang enteng belaka. Tetapi, kita juga dapat mengata-kan bahwa Tuhan sangat pengasih ketika menjadikan khilafahnyadipegang oleh tangan seorang zindiq seperti al-Walid. Denganbegitu, kita mempunyai contoh kebobrokan untuk ditunjukkankepada orang-orang yang mengatakan bahwa negara tidak bolehdipisahkan dari agama dan keduanya adalah tali Islam yang tiadaberpisah. Padahal dalam kenyataannya, Islam selalu berada diawang-awang, dan ia tidak dicemari kecuali oleh umat Islam sendiri,terutama para pemimpinnya yang mengatasnamakan Islam. Selalutidak ada jaminan rasa aman bagi rakyat bilamana pemimpin-pemimpinnya bertindak tiranik dan destruktif. Baiat atas merekaabadi, syura — bila pun ada — tidak mengikat, bahkan terikat.

Mari kita lihat apa yang dilakukan al-Walid ketika membacaayat “Mereka melakukan penaklukan dan takluklah setiap tiranyang bebal. Di belakang mereka sudah menguntit neraka jahanam.Mereka akan disiram air yang menggelegak….” Seketika itu pulaia meletakkan mushaf al-Qurannya untuk dipanah. Namun, iaberubah pikiran, lalu cukup melemparkannya sambil berkata:

10 Ibid, hal. 251.

109

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

Aku menantang semua tiran yang bebalIni, akulah sang tiran bebalKalau tuhanku datang di hari kebangkitanKatakan, Tuhan, aku telah ditaklukkan al-walid

Muhammad Ibnu Yazid al-Mubarrad mengatakan: “Sesung-guhnya al-Walid sudah ateis dalam syairnya yang menyebut-nyebut soal Nabi dan wahyu Tuhan yang tak datang padanya:

Seorang Hasyimi bermain-main dengan kuasaTanpa wahyu turun, tanpa KitabTitahkan Tuhan melarangku makanSuruh Tuhan menghalangiku minum11

Setelah membaca syair di atas, para pembaca mungkin sajatidak terlalu terkejut seperti kita. Tetapi baiklah kita akan mengi-sahkan bahwa al-Walid juga pernah berusaha membuat kubah diatas Ka’bah untuk minum-minum ketika ia melaksanakan hajibeserta beberapa kerabatnya. Namun para pemuka sukunyaberhasil meyakinkannya untuk mencabut keinginannya. Yangjelas, dari kisah hidupnya ia betul-betul memperturutkan hasrat-nya. Sampai-sampai kegilaan akan hiburan dan minuman itumampu pula menguasai kalangan elit dan massa pada zamannya,sebagaimana diceritakan al-Mas’udi. Karena itu, tak heran bilabermunculan bintang-bintang di bidang tarik suara, di antaranyaIbnu Sarih, Ma’bad, al-Gharidh, Ibnu Aisyah, Ibnu Muhriz, Tha-wis, dan Dahman.

Mungkin al-Walid pun sadar bahwa ia telah melampaui batas.Karena itu ia tidak peduli dosa-dosanya semakin bertambah dantelah mencorengkan tinta hitam dalam sejarah hidupnya.

11 Al-Mas’udi, Murūj al-Dzahab, Juz III, hal. 228-229.

Kebenaran yang Hilang

1 10

Kondisinya mirip seperti orang lemah iman yang sudah terputusdari rahmat Tuhan, dan karena itu ia tidak segan-segan memper-banyak maksiat. Di sini kita tidak sedang mencarikan pembenaranuntuknya. Tetapi, kita akan mengungkapkan apa pendapatnyatentang dirinya sendiri dalam sebuah syair yang ia karang sendiri:

Guyur aku wahai Yazid dengan qarqarahKami bernyanyi melenturkan pita suaraGuyur aku, guyur aku, karena dosakuDosa telah mengguyur aku; tak ada lagi kafarah

Dia benar-benar berlumur dosa. Orang-orang saleh jijikmelihatnya. Riwayatnya pun berakhir dengan pembelotan se-pupunya, yaitu Yazid bin al-Walid, yang membunuhnya setelahmencicipi kekuasaan selama satu tahun tiga bulan. Namun, takdirmenetukan masa kepemimpinan Yazid pun jauh lebih pendek;tak lebih dari lima bulan. Ia meninggal, lalu digantikan adiknya,Ibrahim, untuk jangka waktu 70 hari saja, karena dikudeta Mar-wan bin Muhammad sebagai upaya balas dendam terhadap al-Walid bin Yazid. Setelah itu, masa Bani Umayyah berakhir dengantewasnya Marwan, yang berkuasa sekitar 5 tahun, di tangan orang-orang Abbasiyah. Sebelum berpindah ke pembahasan soal KhilafahAbbasiyah, kita merasa perlu mengemukakan dua catatan pentingsecara ringkas.

Kesimpulan Pertama

Kita menyaksikan fase yang berlainan sama sekali dengan fase al-Khulafa’al-Rasyidun ketika membahas era Umayyah. EkspansiIslam bertambah luas, sampai-sampai negeri Islam telah mem-bentang dari India di Timur dan Andalusia di Barat. Kekuasaan,

1 1 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

kewibawaan, dan keutuhan negara, memang bertambah. Inidikarenakan tidak ada orang Umawiyah yang membelot ke pihakmusuh, kecuali di masa penghujungnya, tatkala Yazid membelotdari al-Walid. Ini dilanjutkan pula oleh pembelotan Marwan dariYazid, dan itu menjadi lonceng peringatan untuk kehancuranUmayyah. Sementara itu, sejarah Abbasiyah justru mencatatbanyak sekali kasus pembelotan dan pertentangan di dalamlingkungan keluarga berkuasa. Sampai-sampai anak membunuhbapak, bapak membunuh anak. Kudeta dan pembelotan menjadibiasa, dan pembunuhan dengan taktik-taktik yang bertambahcanggih bermunculan. Itulah yang banyak terjadi pada masa 500tahun terakhir era Abbasiyah.

Akan tetapi, kita juga melihat bahwa Abu Ja’far al-Manshurdan al-Makmun adalah para negarawan yang sangat menonjoldan tidak ada tandingannya di dalam fase sejarah Abbasiyah.Sebaliknya pada masa Umayyah, sekalipun tak terlalu panjangumurnya, justru banyak bermunculan negarawan besar. Dipuncaknya yang tertinggi terdapat Muawiyah, seorang negarawanpertama dalam keseluruhan sejarah Islam. Mungkin ada yangsegera bertanya: lalu di mana letak Umar? Jawaban kita: Umarada pada tempatnya sendiri, karena dialah satu-satunya pemimpindi dalam sejarah kekuasaan Islam yang dapat disebut sebagai“agama-negarawan sekaligus” (rajul al-dīn al-dawlah ma‘an).Karakter seperti itu tidak pernah berhimpun pada satu orang punsetelah itu. Yang ada setelah itu hanyalah sosok agamawan saja,seperti Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat) dan Umar bin AbdulAziz (masa Umayyah) dan al-Muhtadi (masa Abbasiyyah). Atau,sosok negarawan murni seperti Muawiyah, Abul Malik binMarwan, al-Walid bin Abdul Malik, dan Hisyam bin AbdulMalik. Mereka adalah empat orang khalifah yang telah memimpinselama 70 tahun. Selebihnya, dalam masa sekitar 22 tahun, eraUmayyah dipimpin oleh 10 orang khalifah.

Kebenaran yang Hilang

1 1 2

Nah, ketika kita menyebut empat orang khalifah tadi sebagainegarawan (rajul al-dawlah), yang jadi patokan kita adalah soalkewibawaam pemerintahan, ekspansi kekuasaan, dan pembangunankawasan. Selain itu, kita juga berpendapat bahwa kegemilangandi dalam memerintah juga sangat erat kaitannya dengan faktorpemisahan antara agama dan negara ketika mereka menjalankanmandat kekuasaan. Agaknya sikap Muawiyah terhadap Ali adalahcontoh paling terang tentang soal ini. Sikap Abdul Malik binMarwan tentang mushaf al-Quran ketika menghadapi pembe-rontakan-pemberontakan di wilayahnya merupakan contoh yangpaling terang. Setiap mereka menyadari bahwa yang paling berhakmendapat kekuasaan bukanlah sosok-sosok yang paling salehagamanya, paling banyak imannya, tetapi dipilih berdasarkanpertimbangan-pertimbangan duniawi semata.

Masing-masing mereka juga menyadari sepenuhnya bahwaagar tetap dapat bertahan di kursi kekuasan, mereka harus benar-benar memerhatikan bahwa soal integrasi wilayah adalah satupaket dengan ketepatan dalam menunjuk wakil-wakil mereka(tawliyah). Keduanya soal dunia, ketangkasan, dan seni meme-rintah. Empat orang pemimpin itu memang sangat lihai dalammemilih orang-orang dekat mereka. Di antaranya adalah Amrubin Ash, al-Mughirah bin Sya’bah, Zayyad bin Abihi, Muslimbin Uqbah, dan Hajjaj bin Yusuf at-Tsaqafi. Dalam soal menjalan-kan kekuasaan dan ketegasan, mereka adalah para gentlemen sejati.Dan untuk ukuran masanya, mereka adalah pemimpin yang berwi-bawa. Mereka piawai dalam strategi, bukan ahli mensucikan diri.Mereka ahli pedang, bukan mushaf al-Quran. Mereka terkadangsampai pada kesimpulan bahwa cara termudah membungkampara oposan adalah dengan memenggal kepalanya. Mereka jugahapal betul, sedikit saja rasa gentar masuk ke jiwa, ia akan merasukidan bermukim di dalamnya. Karena itu, mereka menguasai,mengatur tempat, bahkan menularkan rasa gentar itu kepada

1 13

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

rakyat agar mereka jadi penurut. Mereka berteladan kepadakearifan pendiri negara mereka, Muawiyah; penentu tujuan yangtak peduli cara; penggagas sebuah ungkapan penting: “Tuhanpunya balatentaranya di dalam madu lebah.”

Ungkapan di atas sangat terkenal saat Muawiyah menaburracun ke dalam madu lebah untuk minuman para penentangnya.Konon, dengan cara itulah Hasan bin Ali bin Abi Thalib, al-Asytar an-Nakh‘i dan lainnya berakhir hidupnya. Walau kita tidakmembenarkan cara-cara Muawiyah dan lainnya dalam tindakan-tindakan mereka, atau minimal tidak menganjurkan untuk mene-ladaninya, tetapi tetaplah penting bagi kita untuk memerhatikantaktik-taktik sebagai pelajaran yang penuh makna.

Pelajaran itu tersimpulkan seperti ini. Seorang pemimpin,pemimpin apapun, haruslah benar-benar mengenal medan danberpegang erat kepada senjatanya. Seorang pemimpin juga haruspercaya pada diri sendiri dan hukum yang dia tentukan, daripadaharus meminjam senjata orang lain, pindah ke medan mereka, ataumenari-nari di atas ranjau mereka. Andai Muawiyah atau AbdulMalik dan para pembantunya seperti Ziyad atau Hajjaj berusahamendasarkan diri kepada hukum Allah, atau mendebat para penen-tangnya soal kebenaran iman, atau menafsirkan kebijakan denganajaran Islam, atau berpura-pura berlagak takwa, bersih dan suci didepan massa, maka kekuasaan mereka akan berakhir sebelumdimulai. Muawiyah justru akan menyerahkan kekuasaannya kepadaHujr bin Uday, dan Abdul Malik akan mengundurkan diri untukmemberi tempat kepada Hasan al-Bashri.

Akan tetapi, mereka berhukum kepada pedang dan itulahkonstitusi pada masa mereka. Kekuasaan pun mendekat kepadamereka dan memerintah pun terasa jauh lebih mudah. Dan bolehjadi, rakyat pun lebih bahagia, karena terjaminnya stabilitas, keter-tiban, dan keamanan. Pada era sekarang pun kita sebetulnya tidakkehilangan pedang dalam wujudnya yang lebih beradab, yaitu

Kebenaran yang Hilang

1 14

konstitusi, yang berfungsi untuk mencegah pertumpahan darahdan menjaga stabilitas. Ia juga tidak memenggal kepala, tetapi tetapmemaksanya untuk mengikuti sesuatu yang legal. Para pemimpinpada masa kita, atau sistem kekuasaan modern, tetap perlu meng-ambil pelajaran dari para pendahulu kita, lalu mencernanya dengantata cara sendiri, bukan dengan tata cara mereka. Seorang pemimpintidak selayaknya berdialog dengan para penentangnya di medanmereka, dengan senjata mereka, apalagi menari-nari di atas ranjaumereka. Sebaliknya, ia harus memaksa mereka untuk berdialog dimedannya. Dan, di dunia modern ini, di atas dirinya maupunmereka, tidak ada medan bersama kecuali konstitusi. Dan, tidakada senjata lain selain undang-undang. Dan, tidak ada ranjau lagi,kecuali demokrasi dan persoalan legitimasi.

Mereka, musuh-musuh konstitusi itu, semestinya bersyukurkepada Allah karena tidak ada lagi Yazid di zaman kita. Tidak adalagi sosok pempimpin seektrem al-Walid. Menteri Dalam Negeritidak dijabat oleh Hajjaj. Tidak ada lagi yang bisa petantang-petenteng di depan kita seperti Abdul Malik. Tidak ada lagi ulamayang menyebut kepala negara kita terlepas dari hisab dan azab. Intidari segalanya, kita diberi mandat untuk mengukur politik denganstandar politik. Tatanan kehidupan kita pun diatur dengankonstitusi dan institusi-insitusi negara. Kita serahkan perhitunganakhirat kepada Allah, bukan kepada Jamaah Islamiyyah dan paraimam masjid yang sudah politis.

Kesimpulan Kedua

Sesungguhnya kehidupan sastra, humaniora, seni arsitektur dantarik suara, bahkan lebih dari itu, mazhab-mazhab dan ijtihadfikih, sudah bermunculan dan menonjol sejak akhir masaUmayyah seiring dengan berkurangnya kekangan simbolisme

1 1 5

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah

negara agama. Ia kemudian mengalami masa puncaknya padaera awal Abbasiyah. Para pembaca dengan mudah dapat menang-kap hubungan timbal-balik antara “keduniawian sebuah negara”(dunyawiyya al-dawlah) dengan kemajuan bidang pemikiran,sastra dan humaniora, ilmu pengetahuan, seni, bahkan fikih.Semakin meningkat porsi yang satu, semakin menanjak posisiyang lain. Begitu juga sebaliknya. Segala sesuatu akan menjadilebih buruk ketika cengkeraman agama bertambah kuat di dalamnegara, kecuali aspek ibadah, kisah-kisah para wali, dan mitos-mitos orang suci.

Saya kira ini bukan lagi sebuah hasil penyimpulan, tetapimerupakan fakta sederhana yang sudah terbentang. Era al-Khulafa’al-Rasyidun berlalu, buku-buku sejarah telah mencatatsepak terjang dan dinamikanya. Namun, kita tidak pernahmendengar sajak-sajak menakjubkan, seni yang menghibur danmenyentuh kalbu, yang mampu bertahan untuk beberapagenerasi berikutnya sebagai produk zaman itu. Ini dikarenakanseni adalah bagian dari kebebasan, dan kebebasan tidak dapatdipisah-pisah. Seorang seniman tidak akan mampu menghasilkankarya yang membanggakan, kecuali bila pikirannya bebas danimajinasinya lepas. Mereka juga harus terbuka terhadap penca-paian imajinasi orang lain. Telinga mereka harus peka dan terbukaterhadap kritik. Hari-hari mereka harus siap menerima ocehan,bergulat dengan kehidupan, dan sensitif terhadap keindahan,bukan ancaman. Saya kira, semua itu bukanlah bagian yang dapatditerima oleh watak sebuah negara agama. Bahkan, semua itubertolakbelakang dan bertentangan dengan semua kaidah-kaidahnya.

Satu-satunya kendala terbesar bagi para pendukung negaraagama adalah, mereka sadar betul bahwa mereka sedang menutupdiri dari inovasi dan iklim yang terbuka yang memanjakan instingdan ijtihad akal-budi. Setiap sesuatu yang dihidupi dan diterima

Kebenaran yang Hilang

1 16

oleh masyarakat dengan sewajarnya, selalu tidak dapat diterimaoleh standar-standar negara agama. Lagu dilarang, alat-alat musik(kecuali yang dibuat dari kulit binatang) dicekal, penyanyi, peng-iring, dan semua yang terlibat di dalamnya dikutuk. Orang yangmelantunkan selain zikir dan pujian untuk Nabi dianggap fasik,melenakan dari mengingat Allah, dan mengajak ke dalam nista.Aktivitas olahraga perempuan petaka, dan selalu akan mengundangpetaka. Percampuran mereka dengan kaum laki-laki adalah kefasikanyang terang-terbuka. Drama tercela, karena ia adalah kebohongan.Melukis gambar makhluk hidup haram, mengoleksi atau membuatpatung bagian dari syirik. Demokrasi harus ditolak, karena meng-andaikan pemerintahan oleh manusia, bukan pemerintahan olehTuhan. Memperlakukan kaum zimmi secara setara, paling kurangdianggap tercela, kalau bukan perbuatan hina. Memberi kesempatankarir tertinggi kepada mereka dianggap melanggar sesuatu yangsudah prinsipil di dalam agama. Tidak ada jabatan karir buatperempuan, juga bagi kaum zimmi.

Singkat kata, mereka harus menghancurkan, bertindak semena-mena, melarang segala sesuatu. Negara mereka didirikan di ataspuing segala sesuatu. Tentu perbincangan tentang kebebasan ber-pikir teramat mewah dan kesia-siaan belaka. Mengakui perlunyakebebasan berkeyakinan adalah bahan tertawaan. Membayangkankebangkitan seni dan sastra pastilah mimpi di siang bolong. Negaratidak bisa berkompromi dengan kenyataan, dan kenyataan puntidak dapat berkompromi dengannya. Mungkin inilah salah saturahasia mengapa para pendukungnya tidak pernah mampu me-ngembangkan agenda politik yang terencana; yang mengandungkadar retorika dan kalimat bersayap yang paling minimal, dengangambaran kenyataan dan bagaimana cara hidup di dalamnya dalamkadar yang maksimal. Tentu, di dalam agenda itu, kita berharaphendaknya juga ada sedikit ruang untuk menghargai akal pikiran,bahkan perasaan insani kita.***

1 1 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

Bab IVPembacaan Baru

terhadap Sejarah Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah tidak perlu diperkenalkan lagi. Ia telahmemperkenalkan diri dengan sendirinya lewat figurpendirinya al-Saffah (Si Jagal), khalifah pertama Bani

Abbasiyah. Di atas mimbar, ia berikrar: “Allah telah mengembalikanhak kami (untuk memimpin), dan Ia akan menutup kepemimpinanini dengan kami sebagaimana ia bermula. Waspadalah, karena sayaadalah jagal yang siap menghalalkan darah siapa saja (al-saffāh al-mubī ) dan pembalas dendam yang siap membinasakan siapa punjuga (al-tsā’ir al-mubīr)!”

Al-Saffah sungguh layak menyebut dirinya “Si Jagal”. Kepe-mimpinannya bermula dari dua keputusan penting yang tidakada taranya dalam sejarah.

Tak ada orang setelah al-Saffah yang mampu menandingiapalagi melampaui, “prestasi” kebengisannya. Adapun dekrit per-tama — dengan ungkapan modern — yaitu titahnya untukmencari kuburan dan memburu apa yang tersisa dari jenazah parapemimpin Umayyah, melecut, menyalib, membakar, dan mena-bur abunya ke udara. Sejarah mencatatkan apa yang berhasil iatemukan.

Kebenaran yang Hilang

1 18

Ibnu Atsir mengungkapkan: “Kuburan Muawiyah bin AbiSufyan dibongkar, tetapi usaha mereka sia-sia karena tidak ditemu-kan apa-apa. Lalu kuburan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyandibongkar juga. Mereka menemukan sepotong tulang yang sudahberubah menjadi mirip arang. Lalu dibongkarlah kuburan AbdulMalik bin Marwan dan mereka hanya menemukan tengkoraknya.Dari satu kuburan ke kuburan lain, mereka tidak menemukanbanyak hal kecuali potongan-potongan tubuh. Terkecuali jenazahHisyam bin Abdul Malik; mayatnya ditemukan hampir utuh,kecuali ujung hidungnya yang somplak. Mayat itu lalu didera,disalib, dibakar, lalu hilang ditelan angin. Al-Saffah juga melaku-kan pengejaran terhadap seluruh sanak keluarga dan pendukungBani Umayyah. Ia menghabisi mereka semua, kecuali anak-anakyang masih menyusu dan mereka yang telah melarikan diri keAndalusia.”1

Al-Mas’udi pun mengungkapkan kisahnya secara lebih ter-perinci.2 “Haitsam bin Uday at-Tha`i meriwayatkan kisah dariAmru bin Hani. ‘Kami pergi mencari kuburan pemuka Umayyahpada masa Abu Abbas al-Saffah. Hanya mayat Hisyam yang kamitemukan masih utuh, kecuali bagian hidungnya. Abdullah binAli mengeluarkannya, melecutnya 80 kali, lalu membakarnya.Jenazah Sulaiman kami keluarkan dari perkuburan Dabiq. Yangtersisa memang hanya tulang belakang, tulang rusuk, dan teng-koraknya. Tapi kami membakarnya. Kami masih melakukan halserupa terhadap setiap keluarga Umayyah, terutama di komplekpekuburan Qinasrin. Petualangan kami berakhir di Damaskus.Di sana kami menemukan kuburan al-Walid bin Abdul Malik.Tapi kami tak menemukan apa-apa secuil pun. Kami juga meng-gali kuburan Abdul Malik, tapi tidak menemukan hal lain, kecuali

1 Ibnu Atsir, al-Kāmil fit Tārikh. Vol. IV, hal. 333.2 Al-Mas’udi, Murūdjuz Dzahab, Vol. III, hal. 219.

1 19

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

sebagian tengkorak kepalanya. Lalu kami lanjutkan dengan peng-galian kuburan Yazid bin Muawiyah, tapi kami hanya menemukansepotong tulang. Dan di sepanjang liang lahatnya kami menemu-kan garis hitam seperti ditorehkan arang. Kami masih memburujenazah-jenazah keluarga Umayyah di seantero negeri dan mem-bakar apa yang terjumpa dari jenazah mereka’.”

Saya perlu berterus terang kepada para pembaca bahwa ketikamerenungkan kejadian-kejadian sadis ini, saya selalu berupayamenalar dan mencari justifikasinya. Namun, semua berakhir tanpahasil. Saya justru jijik membaca peristiwa-peristiwa sadis ini.Pembunuhan terhadap para pembesar dalam konteks perebutankekuasaan, membunuh sanak keluarga demi menjamin masadepan kekuasaan baru dan menghapuskan sisa-sisa kekuasaanmasa lalu memang sudah sering terjadi. Akan tetapi, memburujenazah, membalas dendam, menyalib dan membakarnya, adalahperkara yang sangat-sangat berlebihan.

Anehnya, sebagian orang justru menafsirkan fakta ini sebagaibagian dari tanda-tanda kebesaran Tuhan. Sebab, satu-satunyajenazah yang ditemukan hampir utuh, lalu disiksa, disalib, dibakar,dan abunya ditabur ke udara, tiada lain adalah jenazah Hisyambin Abdul Malik. Untuk kasus ini, sebagian orang justru menafsir-kannya sebagai cara Tuhan membalas dendam terhadap Hisyam.

Tafsiran ini merupakan ekses dari kekejaman Hisyam padamasa hidupnya terhadap Zaid bin Ali bin Hasan, cicit Ali binAbi Thalib, yang terbunuh karena memberontak terhadap Hisyam.Saat itu, Zaid terbunuh dan mayatnya dimakamkan di tempatpenampungan air, sembari disembunyikan di balik dedebuan dansemak-belukar agar tidak dapat ditemukan. Namun para panglimapasukan Hisyam menemukannya, lalu mengeluarkan dan meng-ambilkan kepalanya untuk Hisyam. Hisyam lalu menitahkanuntuk menggantungnya dalam kondisi telanjang bulat. Yusufpanglima pasukan itu, menjalankan titah dengan sempurna.

Kebenaran yang Hilang

1 20

Hisyam pun memerintahkan Yusuf untuk membakar dan mena-bur abunya ke udara. Lalu di tempat itu dibuatkan pula monumenuntuknya”3

Andai kita menerima asumsi bahwa apa yang terjadi padaHisyam merupakan cara Tuhan untuk membalas dendam,bagaimana kita akan menyebut apa yang terjadi pada lainnya darikalangan Bani Umayyah? Bagian mana dari al-Quran dan Sunnahyang dapat membenarkan tindakan-tindakan brutal kalanganAbbasiyah? Di manakah suara para fuqaha dan ulama pada masaitu? Ke mana perginya Abu Hanifah yang kala itu berusia lebihdari 50 tahun, dan Imam Malik yang sudah menginjak 40 tahunusianya? Mengapa mereka diam saja, bahkan tidak sekadar diam,tetapi bahkan mendukung baik lewat syair-syair atau dengan caramenggaungkan validnya hadis nabi yang konon telah mempre-diksi kepemimpinan al-Saffah?

Dalam Musnad-nya, Ibnu Hanbal misalnya menyebutkanhadis berikut: “Akan muncul pemimpin dari sanak keluargakupada masa terjadinya peralihan zaman dan malapetaka besar. Iadisebut al-Saffah, kedermawanannya sangat melimpah.” Al-Thabari juga menyebutkan: “Rasulullah pernah mewartakankepada pamannya Abbas, bahwa kepemimpinan Arab kelak akanjatuh ke tangan sanak keluarganya. Sampai-sampai sanak keluarga-nya itu tidak sabar menantikan kapan saat itu tiba.” Bahkan,sebagian orang menyibukkan diri dengan kisah perjamuan al-Saffah yang kita sebut sebagai keputusannya yang kedua. Mungkinkeputusannya ini sangat penting untuk dicermati insan sinemamasa kini agar dapat memetik kisah tentang kejeniusan penyutra-daraan, keruntutan skenario serta keutuhan babak-babak darikisahnya. Bukan itu saja, keputusan itu juga didahului olehpemandangan yang sangat hidup untuk sebuah drama. Para

3 Al-Mas’udi, ibid, hal. 219.

1 2 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

pembaca tidak akan ragu lagi menyatakan bahwa semua skenariodisusun dengan sangat rapi, dan para para pendahulu kita itu sangatandal dalam seni pemasaran. Mereka juga sangat piawai dalammenentukan titik-titik ketegangan dalam plotnya, dan mampumencocokkannya sehingga kisah berlangsung alamiah, sejalan, danberiringan dengan konteks peristiwa secara keseluruhan.

Kita akan mulai kisah ini dengan babak sinopsis sebagaimanadituturkan oleh Ibnu Atsir.4 “Di saat al-Saffah sedang melakukanperjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin AbdulMalik, Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya:

Jangan silau akan tampilan sorangJika sumsum simpan penyakit mematikanHunuskan pedang, sediakan lecutanSampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang

Kontan, Sulaiman tertegun seketika, lalu berkata: “Anda benar-benar telah membunuhku, wahai Syekh (Sudaif )!” Al-Saffah punlangsung beranjak masuk ke ruang pribadinya sambil menarikSulaiman. Ia menghabisi nyawanya.

Dari apa yang dicatatkan oleh Ibnu Atsir, kita dapat me-nyusun skenario peristiwa itu sebagai berikut:

Al-Saffah memcoba bermurah hati dengan upaya memberiperlindungan kepada salah satu pembesar keluarga Umayyah(anak dari khalifah sebelumnya). Akan tetapi, ia dianggap terlaluberlebihan dalam memberi perlindungan, sampai-sampai harusmengundangnya ke sebuah perjamuan yang sangat membesarkanhati. Sejurus kemudian, seorang penyair masuk layar sebagai unsurkejutan. Ia melantunkan beberapa bait syair guna memprovokasipembalasan dendam dan berisi celaan untuk perlakuan lemah-

4 Ibnu Atsir, ibid, hal. 333.

Kebenaran yang Hilang

122

lembut terhadap keluarga Umayyah. Lalu anggota keluargaUmayyah bereriak histeris: “Anda benar-benar telah membunuhku,Syekh Sudaif!” Temperamen khalifah langung naik dan segerabereaksi terhadap provokasi. Ia bersegera menghabisi tamunya.Layar tertutup.

Sekarang kita masuki bagian-bagian keputusan atau film utuhtentang apa yang dilakukan al-Saffah setelah itu. Ia kembalimelakukan apa yang pernah ia tampilkan dalam sinopsis tadisecara berulang-ulang, dan dengan tingkat kepiawaian yangbertambah, dan seni peran yang belum dapat dimainkan sebe-lumnya oleh orang-orang Umayyah. Mari kita telaah ulang apayang dituliskan Ibnu Asir:5

“Suatu hari, Syibl bin Abdillah — pembantu Bani Hasyimatau dalam riwayat lain disebut sebagai pembantu Sudaif —datang menemui Abdullah bin Ali. Dalam riwayat lain disebutkan,justru Sudaif-lah yang menemui al-Saffah, bukan Abdullah binAli. Ketika itu, Abdullah bin Ali sedang menjamu sekitar 90 orangtamu dari keluarga Umayyah. Lalu, Syibl menghampiri Abdullahseraya melantunkan syair:

Kekuasaaan tidak akan goyahDi tangan badut-badut Bani AbbasAtas Bani Hasyim ia menutut balasSetelah lama terbuang tabahJangan lagi tergelincir oleh Abdus SyamPenggallah tiap tunas yang sedang mengembang

Kontan, setelah mendengar syair itu, Abdullah bin Ali —atau dalam riwayat lain al-Saffah — langung menitahkan eksekusiterhadap semua tamunya. Mereka dipukul pentungan, lalu dile-

5 Ibid, hal 333.

1 23

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

takkan di bawah permadani. Selanjutnya para pembantainyabersantap di atas permadani itu sambil mendengar jerit-lolongmereka sampai semuanya meregang nyawa.

Riwayat lain diawali tentang jaminan keamanan yang dibe-rikan al-Saffah kepada keluarga Umayyah yang berjumlah lebihdari 90 orang. Setting peristiwa masih tetap berada di tempatperjamuan makan yang sama. Dan sepanjang pembuat acaraadalah khalifah, kemurahan hati dipastikan akan terjaga. Rasaaman pun tak pantas disangka-sangka. Tapi secara mengejutkan,seorang penyair datang, memprovokasi pembalasan dendam, danseterusnya, dan seterusnya.

Kita behenti sejenak di titik yang menegangkan ini. Al-Saffahlalu memerintahkan untuk menghantam kepala semua merekadengan pentungan besi. Sebagian pecah kepala, tetapi jasadnyatetap bernyawa, dalam kondisi yang mengenaskan. Tatkala al-Saffah menyaksikan sekitar 90 orang yang sedang meregang nyawa,ia meninggikan suara sambil menuturkan titah: ‘Gelar perma-daniku untuk bersantap secara lesehan di atas mereka!’ Ia danorang-orangnya memulai santapan malam, sementara permadanimenari ke kanan dan ke kiri. Tatkala permadani tidak lagi ber-gerak, mereka pun selesai dari kunyahan mereka sambil mengucapalhamdulillah dan tahniah kepada para tentara dan kerabatnya.Bahkan, ia mungkin juga akan menutup kisah dengan ungkapanberikut: ‘Demi Tuhan, tidak ada santap malam yang lebih nikmat,lezat, dan khidmat daripada yang kita lakoni malam ini.’ Ungkapanseperti itu sama sekali tidak asing untuk ukuran tingkah laku al-Saffah. Ia memang sanggup mengunyah makanan diselingi rintihandan lolongan orang-orang yang sedang sekarat. Justu itulah pe-nyedap rasa yang dapat membantunya mengunyah.

Kita memang dapat mengerti ketika seorang penguasa barumembunuh penguasa lama atau membersihkan para pesaing danpengacau kekuasaannya. Itu sudah banyak terjadi dalam sejarah.

Kebenaran yang Hilang

1 24

Dan contoh yang lebih dekat kepada kita adalah taktik pembu-nuhan Muhammad Ali tatkala mengakhiri kekuasaan kaumMamalik di dalam Benteng Shalahuddin al-Ayyubi. Namun, yangtak dapat kita mengerti, bagaimana mungkin seorang khalifahsanggup duduk di atas rentetan tubuh korban pembunuhan danitu justru membuatnya lebih nikmat bersantap?!

Kita kini dituntut untuk bertanya lebih jauh atas kejadiannan bengis ini. Memang, peristiwa serupa sudah banyak terjadi,baik sebelum atau sesudah al-Saffah. Hujr bin Uday telah dibunuhMuawiyah. Husein tewas oleh Yazid, al-Zubir di tangan Hajjaj,dan Zaid bin Ali dibunuh Hisyam. Tetapi, semuanya tidak adayang melebihi sadisme skenario, kepintaran menyusun plot, ataukevulgaran dalam teknik pengungkapan, melebihi al-Saffah.Kepada kita, semuanya justru membawa pesan dan risalah yangsama. Yaitu, pertanyaan tentang apakah hakikat sistem kekuasaankhilafah yang disebut “Islamiyyah” itu, yang kini justru dipropa-gandakan kembali. Apakah ia benar-benar “Islamiyyah” sehinggakita dapat mengukurnya dengan standar-standar Islam?

Paparan kita ini justru berujung pada kesimpulan penting:merekalah yang menyebutnya “Islamiyyah”, tetapi kita membuk-tikan sebaliknya. Bahkan, sudah cukuplah rentetan orang-orangberiman yang telah menjadi korban kebobrokannya. Atau,pertanyaan kita diubah: apakah khilafah tidak lebih dari sistemkekuaasaan otoriter yang bersembunyi di balik selubung agama?

Kita nantinya akan menunjukkan keniscayaan sekularisasi ketikamenunjukkan perbedaan antara totalitarianisme teokrasi abadpertengahan yang dipenuhi inkuisisi dan penyiksaan, dengansekularisme abad modern yang justru memperkenalkan demokrasidan perlindungan hak-hak asasi manusia. Saya kira, pilihannya me-mang antara dua alternatif itu dan jawaban sudah terang bagi kita.

Akan tetapi, itu semua juga merangsang pertanyaan lebihspesifik dan lebih jelas, dan karena begitu jelas dan simpelnya,

125

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

para pembaca tak akan kesulitan untuk menjawabnya: apakahsekularisme benar-benar gagasan impor dari Barat dan bukan daribudaya Timur? Apakah ia niscaya di Barat karena pengalamanmereka menghadapi totalitarinisme teokrasi atau semi teokrasi,sementara kita tidak menjumpai hal yang sama dalam sejarahkita? Menurut saya, jika justifikasi untuk sekularisme di Baratadalah untuk mengakhiri otoritarianisme kekuasaan Gereja, makadi Timur justifikasinya tak lain adalah otoriarianisme khalifah,sultan Allah di muka bumi, pembantai siapapun yang ia kehen-daki, si penjamin kenikmatan, si penolak malapetaka.

Jika al-Saffah saja di atas podium sudah menamakan dirinyasebagai “tukang jagal yang semena-mena” (al-saffah al-mubī ),Rayyah bin Usman—gubernur Madinah pada masa khalifah al-Manshur—justru menjuluki dirinya dengan gelar yang lebihmenakutkan. “Wahai penduduk Madinah, saya adalah si ular anaksi ular,” tandasnya.6 Apabila para khalifah mendeklarasikan dirinyasebagai “Tukang Jagal” dan para gubernur menyebut dirinya “UlarAnak Si Ular”, apakah masih tersisa dalam benak kita prasangkabahwa otoritarianisme atas nama agama hanya terjadi di Baratdan sekularisme sebagai resep penyelamatnya adalah gagasanimpor dari Barat dan tidak kena-mengena sama sekali dengankenyataan dan impian orang Timur?

Bisa jadi, sebagian orang akan mengira-ngira dalam benaknya:anda tampaknya sedang mengail di air keruh lewat cara mem-fokuskan pembicaraan terlalu banyak pada sosok al-Saffah agarmendapat celah untuk mendiskreditkan sistem khilafah. Tetapi,kita dapat menjawabnya dengan mudah. Tidak ada hubunganantara Islam dengan al-Saffah dan antara Islam dengan kekuasaanatas namanya. Karena itu, tidak mengapa berbicara tentang al-Saffah, mencela, mendialogkan, dan memberi perhatian lebih

6 Al-Ya‘qūbi, Tārikh al-Ya‘qūbī. Beirut: Darus Shadir, tt., Vol II, hal. 251.

Kebenaran yang Hilang

126

kepadanya. Jarak antara kekuasaan al-Saffah dan hukum Islambagaikan jarak antara langit, bahkan langit ke tujuh, dengan bumi.

Dan untunglah bagiku, untung pula buat pembaca, sanggahanterhadap tuduhan itu adalah perkara mudah. Kalau bukan karenaIslam yang dangkalan, bukan intinya; jubahnya, bukan isinya;al-Saffah tak akan melakukan apa yang telah dia perbuat. Tidakal-Saffah, tidak pendahulu maupun generasi sesudahnya. Namun,kesetiaan apa pula yang mengikat antara orang Mesir, misalnya,dengan orang Anbar seperti al-Saffah, selain kesetiaan terhadapsistem khalifah yang memerintah atas nama Islam? Apa faktorpendorong kesetiaan itu selain ikatan bersama dalam Islam danketundukan terhadap bala tentara hadis rekayasa yang mengaitkanantara prediksi Rasul dengan kepemimpinan Bani Abbas? Kese-tiaan buta ini masih ditambah pula dengan fanatisme terhadapijtihad-ijtihad fuqaha yang menuntut ketataan terhadap al-Saffahmeski ia bertindak lalim dan mengecam orang-orang yang tidakloyal dan keluar dari jamaah.

Kalimat pengantar seperti apakah yang dikumdangkan al-Saffah dalam pidato pengukuhan kekuasaannya, yang kemudiandiriwayatkan oleh para perawi dan diulang-ulang oleh para jurudakwah, selain soal keadilan, ketakwaan, dan keteguhan berpegangkepada akidah? Bukankah dia juga yang telah berpidato di atasmimbar: “Segala puji bagi Allah yang telah memilih Islam, memu-liakan dan mengagungkannya. Yang telah memilihkannya untukkita dan membuatnya tetap kukuh bersama kita. Ia menjadikankita sebagai penjaga, gua, dan bentengnya. Kita menjadi lurusdan lebur di dalamnya, serta menjadi para pemenang karenanya.Ia mewajibkan kita bertakwa dan menjadikan kita lebih berhakuntuk menjaga dan menjadi pelindungnya. Dia telah mengkhu-suskan kita dengan rahmat Rasulullah dan para kerabatnya. Akuberharap ankara murka tidak lagi menjelang setelah datang kepadakalian semua kebajikan. Kerusakan pun tak lagi datang setelah

12 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

munculnya perbaikan. Dan keberuntungan yang kami dapatselaku ahli bait Nabi, tiada lain berkat rahmat Ilahi.” 7

Karena al-Saffah kurang sehat di saat pelantikannya, makapidatonya diteruskan oleh Daud bin Ali. “Kalian akan beradadalam perlindungan Allah, rasulnya, dan Abbas yang senantiasadirahmati Allah. Kami akan memimpin kalian dengan ketentuanyang ditetapkan Allah, memperlakukan kalian sesuai Kitab Allah,dan bergaul dengan elit maupun jelata dengan teladan Rasulullah.Karena itu, tetaplah setia kepada kami dan janganlah pernahberupaya menipu diri sendiri karena akibatnya akan berbalik kekalian juga. Sesungguhnya setiap ahli bait membutuhkan tempatbernaung, dan kalianlah tempat kami selalu bernaung. Ketahuilah,tidak akan naik lagi ke mimbar ini (maksudnya mimbar Kufah),seorang khalifah Rasulullah, kecuali pemimpin kaum beriman,Ali, dan Abdullah bin Muhammad (tangannya menunjuk ke AbuAbbas al-Saffah). Camkanlah, perkara kepemimpinan ini akantetap berada di tangan kami, dan tidak akan lepas sampai kamimenyerahkannya sendiri kepada Isa bin Maryam.”

Jadi, klaim kekuasaan dengan ketentuan dan mandat Ilahimerupakan cara Abbasiyah merebut simpati massa untuk mem-baiat dan loyal terhadap mereka. Memperlakukan kaum elit danrakyat jelata secara setara sebagaimana teladan Rasulullah adalahsesuatu yang dijanjikan dan atas dasar itulah mereka dibaiat. Hadispalsu tentang hak keluarga Abbas dalam menjalankan kepemim-pinan sampai mereka sendiri yang kelak akan menyerahkannyakepada Isa bin Maryam adalah jalan mereka agar rakyat mem-percayai nubuwat palsu itu sehingga membuat mereka takluk olehtakdir sembari menutup mata terhadap kekejaman penguasa.

Beginilah sejarah Abbasiyah bermula dan babak pemerin-tahan berdasarkan klaim agama dibuka. Klaim-klaim yang

7 At-Thabari, Tārīkh al-Umam wal Mulūk, tt. Vol. XVI, hal. 82-84.

Kebenaran yang Hilang

1 28

menyilaukan itulah yang kini kita dengarkan sebagaimana dide-ngarkan penduduk Kufah saban harinya pada masa lalu. Memim-pin atas dasar ketentuan Allah, mengikuti teladan Rasulullah,penerapan syariat Allah, semua akan menjamin keadilan danberkah. Tetapi, kelanjutannya selalu tidak seperti itu, sebagaimanakita lihat dari awal masa al-Saffah, dan akan telihat lebih jelaslagi setelah era al-Saffah. Cerita tentang ini begitu panjang, namunsemuanya tersimpulkan dalam suatu tradisi yang selalu menjadiketentuan khalifah-khalifah Bani Abbas: tidak adanya peng-hormatan terhadap setiap janji dan deklarasi, serta pengkhianatanterhadap kawan, apalagi lawan.

Al-Saffah telah mempertunjukkannya dalam dua tragedi yangsangat terkenal itu. Pertama, ketika ia menandatangi perjanjianuntuk melindungi Ibnu Hubairah, panglima pasukan Marwanbin Muhammad, khalifah Umayyah terakhir, tetapi kemudian iajustru membunuhnya setelah menyerahkan diri beberapa hari.Kedua, tatkala ia membunuh Abu Salamah al-Khilah, menteridan salah seorang pendiri Abbasiyah di Kufah. Al-Saffah sengajamenyerahkan misi itu kepada Abu Muslim al-Khurasani, salahsatu figur sentral berdirinya kekuasaan Abbasiyah. Sejarah Abbasiyahpada masa al-Saffah pun mencatat dua orang yang sangat dihargaial-Saffah. Pertama, Abu Muslim al-Khurasani, pendiri negara diKhurasan, tetapi kemudian menyerahkannya ke al-Saffah; dankedua, Abdullah bin Ali, paman al-Saffah sekaligus panglimapasukan Abbasiyah di peperangan Zab yang menuntaskan ke-menangan mereka terhadap orang-orang Umayyah. Konon, al-Saffah pun berniat membunuh keduanya, tetapi kita tidak mene-mukan buktinya dalam catatan sejarah.

Akan tetapi, Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua, pendirisejati kekuasaan Abbasiyah yang kedudukannya mirip Muawiyahpada masa Umayyah, berhasil menuntaskan niat al-Saffah denganbaik. Pertama-tama, ia melakukan intrik politik agar Abu Muslim

129

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

al-Khurasani bersedia membunuh Abdullah bin Ali. Setelah misituntas, ia sendiri yang turun tangan menghabisi Abu Muslim al-Khurasani. Abu Ja’far tidak peduli ketika Abu Muslim bermohon:“Tidakkah lebih baik engkau biarkan aku hidup untuk menying-kirkan musuh-musuhmu?” Tetapi Abu Ja’far menampik: “Siapa-kah musuh yang lebih mematikan dari dirimu?!”

Para pembaca tidak perlu terkejut dengan kenyataan bahwaAbu Muslim sebelumnya tidak pernah berbuat kesalahan terhadapal-Saffah, juga terhadap al-Manshur. Ia adalah abdi setia negaradan kedua pemimpinnya. Tetapi, dasar itulah persisnya yangmembuat al-Manshur membunuhnya. Konon, putra mahkotaal-Manshur (Isa bin Musa) ikut menyaksikan terbunuhnya AbuMuslim. Lalu ia dengan kaget bertanya: “Anda membunuhnya?!”“Ya,” jawab al-Manshur. “Innalillahi! Setelah ia bersusah payahuntuk kita dan begitu loyalnya?!” burunya lagi. Al-Manshur naikpitam: “Tuhan mengoyak jantungmu! Sumpah, engkau tak punyamusuh di seantero jagat yang lebih berbisa daripada dirinya.Apakah kalian akan berpeluang mendapat kekuasaan selagi iamasih hidup?!”

Inilah contoh ideal tentang apa yang disebut sebagaiMachiavelisme, suatu paham politik yang dihubungkan dengangagasan Nicolo Machiavelli. Inti paham ini adalah penghalalansegala cara demi meraih tujuan. Paham ini biasanya termanifes-tasikan dalam urusan tata negara dan perilaku para penguasa.Dan, itu terlihat jelas dalam kasus al-Manshur yang dengankakinya mampu menginjak-nginjak leher orang lain dan dengangaya kepemimpinannya yang piawai. Ia memulai kekuasannyadengan cara menyingkirkan mereka-mereka yang berjasa, barulahkemudian beranjak membidik para penentangnya. Ia tidak tahucara lain kecuali melenyapkan penentangnya. Hatinya tidakmempunyai tempat buat belas kasihan, dan rasa iba pun selalumenjauh darinya. Karena begitu digdaya, ia hanya dapat memuja

Kebenaran yang Hilang

130

keperkasaan. Inilah penjelasan untuk rasa kagumnya yang men-dalam terhadap Hisyam bin Abdul Malik yang ia juluki sebagai“Gentleman dari Bani Umayyah”. Ia juga sangat mengagumiAbdur Rahman bin Muawiyah bin Hisyam, khalifah Umayyahdi Andalusia, meski bala tentaranya takluk olehnya di Sevilla.Dan jusru kekalahan telak itulah yang justru membuatnya selaluberupaya menarik simpati Abdur Rahman serta senantiasa meng-iriminya berbagai hadiah. Ia pun menyanjung Abdur Rahman:“Ia telah melintas batas demi mencapai semenanjung yang amatluas. Ia juga amat ambisius, berbekal bala tentara yang amat per-kasa. Ia memimpin pasukannya seorang diri sehingga mereka punsegan dibuatnya. Dan lewat taktik dan strateginya, ia dapatmenarik simpati rakyat semenanjung Andalusia. Dialah pemudasejati yang pantas dipuja tanpa basa basi.”

Bahkan, al-Manshur pun pernah menjuluki Abdur Rahmansebagai “Elang Quraisy” ( aqr quraisy). Ketika al-Manshur gagalmenaklukkan hatinya secara lemah lembut, ia menunjukkan wajahlain dari gaya politiknya. Inilah paras yang juga ditunjukkanWinston Churchill dalam Perang Dunia II ketika ia menyatakansiap bersekutu dengan iblis sekalipun demi mengalahkan Nazisme.Itulah yang juga dilakukan Abu Ja’far al-Manshur ketika iabersekutu dengan Pepin dan Charlemagne8 demi menaklukkanAbdur Rahman. Sekalipun persekutuan ini gagal menaklukkanAbdur Rahman,9 namun ia telah mewariskan kaidah politik ala

8 Pepin dan Charlamagne adalah bapak-anak. Keduanya raja Frankis—etnis muasal dari ras Jerman—yang pernah menguasai sebagian besar daratanEropa pada Abad Pertengahan. Negara yang telah dibangun kedua raja ini meliputiseluruh wilayah Prancis, Jerman, sebagian besar Italia dan Spanyol. Imperiumnyadianggap sebagai kelanjutan dari kekaisaran Romawi yang suci. Negara inilahyang kemudian menjadi cikal bakal Prancis dan Jerman modern. –penerj.

9 Lihat Ali Ibrahim Hasan, at-Tārīkh al-Islāmī al-‘²m. Kairo: Maktabahan-Nahdlah al-Mashriyyah, tt. hal. 365-366.

13 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

al-Manshur: “Lakukan apapun, tempuh jalan manapun, berseku-tulah dengan musuhnya musuhmu, demi mencapai tujuanmudan menang atas musuhmu!”

Artinya, ia benar-benar telah melupakan Islam, bergemingdari hukum-hukum al-Quran, masa bodoh dengan Sunnah, danmenjauhkan diri sedapat mungkin dari teladan para al-Khulafa’al-Rasyidun. Ia hanya mengingat dirinya sebagai “penguasa Tuhandi muka bumi”10, “bayangan Tuhan yang menggantung antaraDiri dan hamba-Nya”.11 Ia mendasarkan kekuasannya atas klaimhak Bani Abbas terhadap khilafah, bukan berdasarkan hak rakyatuntuk memilih.

Agaknya, paradigma seperti itulah yang mendorong kalanganAlawi (keturunan Imam Ali dan Fatimah az-Zahra) untuk melaku-kan pemberontakan terhadap al-Manshur. Selagi standarnyaadalah soal nasab, maka merekalah sesungguhnya yang lebihberhak memerintah dan menjalankan khilafah. Konon, dialogyang sangat menggelikan pernah berlangsung antara al-Manshurdengan Muhammad Alawi—yang populer dengan sebutan “Jiwayang Suci” (al-nafs al-zakiyyah) — yang membawa serta saudarakandungnya, Ibrahim. Yang membuat perdebatan itu menggeli-kan adalah soal penentuan tentang siapa yang paling berhakmenjadi khalifah berdasarkan ketentuan nasab dengan pengabaiannyata terhadap hak-hak warga yang dulu disebut sebagai rakyat.Muhammad dan adiknya Ibrahim mengklaim merekalah anak-cucu Rasulullah dan karena itu mereka paling berhak. Tetapi, al-Manshur justru mengklaim bahwa anak cucu paman (Abbas binAbdul Muthallib) justru lebih dekat secara hubungan kekerabatandaripada anak cucu dari sepupu Nabi (Ali bin Abi Thalib).

10 Itulah julukan al-Manshur untuk dirinya sendiri di dalam pidatonyayang terkenal di Madinah.

11 Ini adalah ungkapan sastrawi yang berkembang pesat untuk menyebutpara khalifah masa Abbasiyyah awal.

Kebenaran yang Hilang

132

Dengan permohonan maaf kepada para pembaca, sayaberpendapat bahwa merupakan petaka jika saya harus membaiatseorang pemimpin hanya karena ia berasal dari keturunan Aliatau pun mendukung pemimpin dari keturunan Abbas. Bahkanlebih dari itu, jika ada keturunan Rasulullah yang masih hidup,saya tidak akan membaiatnya hanya karena ia anak-cucu Rasulul-lah. Sebab, kenabian tidak pernah diwarisi dan kecakapan yangsama tidak mesti berpindah ke anak-cucu. Karena itu, tidakmengherankan bila Nuh dikenal sebagai Nabi, tapi anaknya justrudikenal sebagai pelaku perbuatan nista.

Namun, yang lebih membuat perdebatan al-Manshur denganMuhammad lebih menggelikan adalah tatkala situasinya berubahmenjadi forum sindir-menyindir. Muhammad menanggapi ja-minan keamanan yang ditawarkan al-Manshur kepadanya dengancibiran yang menohok. “Keamanan jenis apa yang akan kautawarkan padaku? Garansi ala Ibnu Hubairah, jaminan amanseperti pamanmu, Abdullah bin Ali, atau jenis keamanan nyawaAbu Muslim?” Al-Manshur menjawab dengan cibiran pula:“Dulu, Hasan — kakek Muhammad — pernah pula sejenakmenjadi khalifah. Tetapi, kekuasaannya itu kemudian ditawar olehMuawiyah dengan tipu daya dan harta benda. Mereka berjumpadi Hijaz dan Hasan menyerahkan para pendukungnya kepadaMuawiyah. Ia telah terpaksa menyerahkan kepemimpinan kepadabukan ahlinya.”12

Di sini, al-Manshur sedang mengingatkan peristiwa pem-baiatan Hasan terhadap Muawiyah atau lebih tepatnya tentangrekonsiliasi antara keduanya. Namun, rekonsiliasi itu sedikitbermasalah karena terbatasnya sarana transportasi pada masa itu.Ketika itu, Hasan mengirim utusannya ke Muawiyah untuknegosiasi perdamaian dengan kompensasi sejumlah materi. Pada

12 Ali Ibrahim Hasan, op. cit, hal. 355.

133

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

waktu bersamaan, Muawiyah pun mengirim utusan dengan mem-bawa secarik blanko yang telah dicap dan memberi pilihan kepadaHasan untuk mengisi jumlah kompensasi berapa pun yang ia minta.Kedua surat itu datang dalam waktu bersamaan. Namun, Hasantergiur untuk menambah jumlah kompensasi yang ia minta kedalam surat yang ia terima dari Muawiyah. Ia meminta dua kalilipat dari yang pertama ia minta. Ketika mereka berjumpa, Muawiyahtetap berpegang pada surat pertama, sementara Hasan bersikukuhdengan surat kedua yang dikirimkan kepada Muawiyah. Akhirnya,mereka bersepakat dengan angka kompensasi sebesar 5 juta dirhamyang akan diambilkan dari Baitul Mal Kufah untuk membayarongkos pengunduran diri Hasan dari jabatan khalifah.13

Disini, kita tidak sedang melakukan evaluasi terhadap tindakanHasan. Sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa dia sudahlega dan melegakan lainnya. Ia juga telah menghindarkan umatIslam dari peperangan. Ia juga ikut melegakan hati Abdullah binAbbas yang tatkala tahu apa yang diminta Hasan, justru langsungmeminta jaminan keamanan dari Muawiyah. Ia pun memintakompensasi uang dari Muawiyah dan itu dipenuhinya.14 Dalamkisah selanjutnya, Ibnu Abbas pun lega dengan apa yang ia dapatkandari kekayaan Basrah, sampai akhir hayatnya. Intinya, Ali bin AbiThalib terbunuh, Hasan mengundurkan diri, dan Muawiyahmemberi toleransi dan kompensasi. Hasan pun pada akhirnya legadengan kekayaan Kufah, sampai suatu ketika Muawiyah melenyap-kannya dengan racun tatkala ia berniat mencalonkan anaknya,Yazid, sebagai khalifah penggantinya.

Kita kembali lagi kepada al-Manshur yang sudah tidak sabarlagi berlama-lama dalam perdebatan dengan Muhammad. Karenaitu, ia menangkap bapak dan sanak keluarga Muhammad, lalu

13 At-Thabari, loc. cit., Vol IV, hal. 121-125.14 Ibid., hal. 121.

Kebenaran yang Hilang

134

memenjarakan mereka dengan berbagai bentuk penyiksaan,sampai mereka tewas. Al-Manshur pun menyerang Muhammaddan berhasil membunuhnya di Madinah. Petualangannya ber-lanjut pada penyerangan Ibrahim, dan ia berhasil membunuhnyadi Basrah. Dan ketika itu, al-Manshur hanya bertindak atas motifmempertahankan kekuasaan, bukan demi agama. Diriwayatkan,al-Manshur pernah dihidangkan omelet berlapis otak dan krimsusu. Ia pun menyantapnya sambil berkata: “Ibrahim inginmerenggut semua kenikmatan ini dariku.”15

Yang tampak jelas dari kisah ini, salah satu pihak berusahamembela hak keturunannya (nasab), tetapi yang lain sedang mem-bela kepentingan perutnya. Sementara itu, umat Islam kebanyakanjustru berada di tengah-tengah, menyangka mereka sedangmembela Islam yang benar. Pelanduk mati di tengah-tengah gajah.Itu dapat kita buktikan dari bertaburnya ayat al-Quran dan hadisyang disitir kedua belah kubu. Betapa mudah mereka melakukanitu bagi Muhammad dan Ibrahim. Ayat kewajiban memerintahdengan ketentuan Allah sudah tersedia di hadapannya. Dan lebihmudah lagi baginya untuk mengutip hadis-hadis tentangkepribadian Rasulullah dan keutamaan Ali bin Abi Thalib. Namun,bukan perkara sulit pula bagi al-Manshur untuk mengutip ayatataupun menyitir hadis. Betapa banyak hadis yang telah berbicaratentang kecaman melepas ketaatan dan keluar dari jamaah. Ayatal-Quran yag berbicara tentang membuat kerusakan di muka bumipun bisa ia gunakan untuk menghantam lawannya.

Suatu riwayat menceritakan, tatkala al-Manshur mendengarkabar tentang kekalahan Ibrahim dan pasukannya, ia langsungmengucapkan ayat berikut16: “Setiap kali mereka menyalakan apipeperangan, Allah justru memadamkannya. Mereka berbuat

15 Al-Mas’udi, op cit. hal 309.16 Ibid, hal. 309.

135

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

kerusakan di muka bumi, sekalipun Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Surat al-Maidah: 64). Al-Manshurlalu naik mimbar sembari berkata: “Orang beruntung adalahmereka yang bersedia menerima nasihat orang lain. Ya Tuhan,jangan jadikan kami orang yang mengandalkan nasib kepadaorang lain, sehingga kami kalah. Tidak pula terlalu percaya padadiri kami sendiri sehingga membuat kami lemah. Jadikanlah kamiorang-orang yang hanya mengandalkan diri-Mu.”

Begitulah cara al-Manshur meyakinkan bala tentaranyabahwa Allah telah membela kebenaran pihak mereka dan Allahakan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur.Sementara bala tentara yang tersisa dari Muhammad dan Ibrahimjustru menganggap itu sebagai ujian dari Allah, bala untuk masaseketika, dan Allah akan memberi pahala kepada mereka yangsabar. Jadi, setiap kubu puas dengan keyakinan masing-masing;pahala mereka sudah tersedia di sisi Allah.

Sejarah tidak mencatatkan bagaimana sikap fuqaha atauimam besar umat Islam tentang kebenaran sejarah masa ituPadahal, betapa banyak jumlah mereka pada masa al-Manshur.Abu Hanifah, Imam Malik, al-Auza’i, Umar bin Ubaid, Sufyanas-Tsauri, Ubbad bin Katsir, Ja’far bin Muhammad as-Shadiq,dan lain-lain, hidup semasa dengannya. Penyiksaan al-Manshurterhadap Abu Hanifah dengan cara mengurung, mencambuk,dan pada akhirnya meracuninya, tidak lain hanya karena soalpenolakaan Abu Hanifah untuk memimpin peradilan masanya.Penyiksaan al-Manshur terhadap Imam Malik, dengan caramelecutnya dalam kondisi telanjang bulat agar ia merasa terhina,tidak lain karena Imam Malik menyebutkan hadis yang tidak iasuka. Kedua kasus itu tidak dapat dijadikan contoh tentangketeguhan hati, atau upaya menentang penguasa ketika semena-mena, atau menunjukkan bahwa kebenaran akan diketahui,menang, dan tetap dijunjung tinggi oleh tokoh-tokohnya.

Kebenaran yang Hilang

136

Tidak mengapa bagi kita untuk menutup pembicaraan ten-tang al-Manshur dengan pembicaraan tentang Ibnu al-Muqaffa.Konon, Ibnu Muqaffa mengirimkan untuk al-Manshur buku tipisnamun berharga yang ia beri judul Risālah al-¢ahābah (Risalahtentang Para Sahahat). Di situ antara lain tertulis nasihat untukkhalifah agar pandai-pandai memilih para pembantu dan mem-perbaiki sistem pengelolaan masyarakatnya. Nasihat itu ia sampai-kan dengan amat santun. Boleh jadi, ia sedang mengharap penghar-gaan materi yang pantas untuk karyanya dengan mengirimkannyakepada khalifah. Dan mungkin, ia pun tidak mengira bahwa sekadarmemberi nasihat kepada penguasa adalah tindak kriminal. Fungsitertinggi dari seorang sastrawan, bagi al-Manshur adalah melakukanpuja-puji. Peranan terakhir seorang pemikir tak lain adalah memberilegitimasi. Dan, sanksi atas mereka-mereka yang melampauiketentuan fungsi dan perannya, sebagaimana yang dilakukan Ibnual-Muqaffa, adalah diperlakukan seperti Ibnu al-Muqaffa. Tungkaidan lengannya dicincang satu per satu. Potongan dagingnya di-panggang di atas bara api, tepat di hadapannya. Setelah matang,satu per satu pula daging panggang itu dijejalkan ke mulutnya.Ibnu al-Muqaffa menjalani penderitaan tiada tara sampai ajal punmenjemputnya.

Mungkin Ibnu al-Muqaffa pun bertanya tatkala harus mengu-nyah jasadnya sendiri atas perintah pemimpin kaum beriman:pemimpin apa dan iman seperti apa? Mungkin saat itu juga iamenyadari apa yang sekarang mesti pula disadari oleh para pejuangkhilafah, pelantun sistem syura, dan penentang pemimpin sekulerdan demokrasi, dan berfantasi tentang nikmatya negara agama.

Namun demikian, walau pun al-Manshur masuk sejarah dariaspek yang paling bejatnya, ia tetaplah tercatat sebagai seorangnegarawan besar. Dan kenyataan bahwa ia semena-mena, sebetul-nya juga tidak lepas dari fatwa para fuqaha, ketakutan sebagian,dan bungkamnya sebagian lain. Dan tatkala ia bertindak keras,

13 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

ia sedang berpikir tentang perlunya menegakkan kewibawaannegara dan tegaknya sendi-sendi pemerintahan untuk ukuranzamannya. Ia telah menumpahkan darah bersungai-sungai, tetapiia juga telah membangun kota Baghdad dan Rushafah. Ia jugaberhasil membentengi dan menjaga keutuhan batas-batas wilayah-nya. Dan ia juga telah mengembalikan integritas pemerintahandengan caranya. Dan, al-Manshur dikenal punya filosofi dalammemandang kekuasaan: “Jika musuh mengulurkan tangannyauntukmu, potong jika kau bisa, atau cium jika kau tak kuasa!”

Dan faktanya, sosok ini begitu digdaya, sehingga ia tidakpernah bisa mencium tangan musuhnya. Justru karena itulah iamampu mewariskan kepada anaknya, al-Mahdi, kombinasi antararakyat yang penurut dan batas wilayah yang tidak mudah ditembus.Itu pulalah yang kemudian diwariskan al-Mahdi kepada keduaanaknya, al-Hadi dan Harun al-Rasyid. Al-Rasyid pun mewariskanitu kepada ketiga anaknya, al-Amin, al-Makmun, dan al-Mu’tashim.Lalu al-Mu’tashim pun mewariskan hal yang sama kepada anaknya,al-Watsiq. Dan dengan kepemimpinan al-Watsiq, berakhirlah apayang sering disebut sebagai masa awal era Abbasiyah, era pemerin-tahan paling bergairah dalam kebangkitan akal dan peradaban. Dankalau mau jujur, kita dapat pula katakan paling maju dalam soalfikih dan aharah. Dan untuk lebih melengkapi gambarnya, kitadapat pula menyebutnya paling maju dalam soal kenikmatan hidupdan durjananya.

Yang kita katakan di atas bukanlah hiperbolisme, apalagisekadar bermain kata-kata. Itulah faktanya. Semua hal itu memangberkembang secara bersamaan. Untuk soal kebangkitan rasio danperadaban, masa al-Makmun telah ditandai oleh pencapaianpenting pemikiran Muktazilah dan pesatnya kegiatan terjemah.Cukuplah bagi kita untuk menyebutkan beberapa ahli para eraini, yaitu Sibawaih dan al-Kisa’i (dalam bidang gramatika),Hammad al-Rawiyah, al-Khalil bin Ahmad, al-Abbas bin Ahnaf,

Kebenaran yang Hilang

138

Basyar bin Bard, Abu Nuwas, Abul ‘Atahiyyah, Abu Tamam, al-Wafidi, al-Ashma‘i, al-Farra’, dan lainnya (di bidang sastra dansejarah). Dalam bidang fikih dan aharah pun, kita dapat menyebutAbu Hanifah, Imam Malik, Imam as-Syafi’i, Ibnu Hanbal, al-Auza‘i, al-Laits bin Sa‘ad, Sufyan as-Tsauri, Amru bin Ubaid, AbuYusuf, Asad al-Kufi, az-Zuhri, Ibrahim, Ibrahim bin Adham sangasketis, Nafi sang qori, Warasy, Abu Muawiyah al-Dlarir, Sufyanbin Uyaynah, Ma’ruf al-Karkhi sang asketis, Ali Ridla bin Musa al-Kazim, Ahmad bin Nasr al-Kharra’i, dan lainnya.

Adapun soal maraknya dunia hiburan dan kemaksiatan, antaralain didorong oleh banyak faktor. Barangkali, faktor utamanyaadalah apa yang di masa sekarang disebut sebagai “iklim kondusif”yang membuka peluang untuk kemaksiatan dan kesenangan. Saatitu, ibukota khilafah dibanjiri klub malam dan kafe-kafe. Minumankeras dan musik pun menjadi bagian kehidupan masyarakat.Kondisi ini muncul karena mereka pun mendapat pembenarantindakan mereka lewat fatwa-fatwa ulama pada masanya.

Jamak diketahui, saat itu ulama Hijaz memang membolehkanmusik dan nyanyian. Sementara pafa fuqaha Irak yang terdiri darimurid-murid Abu Hanifah, mempunyai fatwa yang membolehkanminuman keras. Akhirnya, masyarakat pun secara kreatif mengga-bungkan kedua fatwa itu sehingga menimbulkan mazhab “alter-natif” mereka sendiri. Itu misalnya tergambar dari syair berikut:

Untuk soal pendengaran, ikutlah ulama HijazUntuk minuman, pakailah pendapat ulama IrakUlama Irak membolehkan anggur dan meminumnyaTapi haram untuk mencandu dan mabuk

Orang Hijaz berkata, dua minuman hukumnya samaYang halal di antara pendapat mereka adalah khamarAku memetik yang terujung dari fatwa mereka

139

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

Khamar pun aku minum,Sebab dosa dan pendosa tak bisa dipisah

Para pembaca barangkali terheran-heran, dan barangkali adapula yang baru pertama kali mendengar Abu Hanifah membo-lehkan beberapa jenis khamar. Bahkan, saya harus katakan bahwafatwa Abu Hanifah ini memberi jawaban tentang pertanyaan yangmengusik rasa ingin tahu saya tentang kegemaran para khalifahArab-Muslim dalam pesta-fora dan minuman keras. Apakahperbuatan mereka itu masuk ketegori melanggar larangan agamatentang minuman keras dan keluar dari sendi-sendi ajaran Islamkarena mereka meminumnya secara terang-terangan di depankhalayak?

Untuk menjawab soal ini, keterangan Ahmad Amin dalamDu ā al-Islām tentang perselisihan pendapat fikih dan pandanganAbu Hanifah soal khamar mungkin dapat memberi penjelasan.“Ketiga orang imam, yaitu Malik, as-Syafi’i, dan Ibnu Hanbal,sepakat mengharamkan khamar secara mutlak. Mereka menaf-sirkan kata khamar dalam al-Quran juga meliputi segala jenisanggur sebagai minuman yang memabukkan, baik yang terbuatdari perasan kurma, kismis, malt, biji jagung, maupun madu.Mereka menyatakan bahwa hasil perasan bahan-bahan tersebutadalah khamar juga dan semuanya memabukkan. Sementara AbuHanifah menafsirkan kata khamar dalam ayat tersebut sebagaiair sari buah anggur berdasarkan makna kebahasaan dan hadis-hadis nabi lainnya. Pemahaman inilah yang membuat AbuHanifah berijtihad menyangkut halalnya beberapa jenis khamarseperti sari buah kurma dan kismis. Dengan catatan, bahan-bahanitu diolah sewajarnya dan diminum dengan kadar tidak mema-bukkan. Ia juga menyebut halalnya jenis khamar yang seringdisebut al-Khalītayn yang terbuat dari campuran kurma dankismis. Dengan takaran yang sama, kedua unsur tersebut dima-

.

Kebenaran yang Hilang

1 40

sukkan ke dalam panci, lalu dituang air dan diendapkan beberapalama. Khalīthayn juga bisa terdiri dari campuran sari madu danbuah tin, atau campuran sari malt dan madu.

Tampaknya, Abu Hanifah merujukkan pendapatnya kepadasalah seorang pemuka sahabat Nabi, yaitu Abdullah bin Mas’ud.Anda tentu tahu bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah imam yangdijadikan rujukan oleh mazhab fikih Irak. Anda tentu juga pahambagaimana kuatnya hubugan antara fikih Abu Hanifah dengan fikihIbnu Mas’ud. Adapun pendapat soal kehalalan khamar menurutIbnu Mas’ud itu dapat kita rujuk dari riwayat yang dituturkanoleh penulis buku al-‘Iqd al-Farīd, Ahmad bin Abdirabih. Infor-masi-informasi tentang pandangan Ibnu Mas’ud soal khamar inijuga melimpah. Dan riwayat-riwayat darinya tentang kehalalananggur pun tersebar luas dan dianut oleh sebagian besar kaumTabi’in di Kufah. Mereka menjadikan Ibnu Mas’ud sebagai rujukan.Kenyatan ini dapat ditangkap dari pernyataan salah seorang penyairyang menggubah puisinya begini:

Siapa gerangan yang mengharamkan air surgawiYang dicampur seikat anggur di dalam kendiAku benci yang keras-keras mengharamkannyaTapi aku sungguh-sungguh mengagumi Ibnu Mas’ud.17

Itulah iklim atau suasana umum yang mendorong maraknyamusik dan minuman keras serta konsekuensi-konsekuensi lainseperti maraknya dunia hiburan, perempuan penghibur, danpenyimpangan perilaku seksual. Dunia hiburan sudah menjadibagian dari kenikmatan masyarakat kala itu. Untuk soal me-nikmati perempuan penghibur, al-Mahdi dan putranya, Harun

17 Ahmad Amin, Du a al-Islām. Kairo: Maktabah an-Nahdlah al-Mashriyyah. 1994. Vol. I, hal. 119-120.

.

14 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

al-Rasyid adalah jagonya. Untuk soal penyimpangan seksual, al-Watsiq adalah bintangnya. Ketiga sosok khalifah ini akan kitabahas masing-masing nantinya.

Akan tetapi, kita perlu merenungkan sejenak fatwa-fatwatentang khamar yang berkembang pada masa lalu sambil me-renungkan sikap keras soal ini pada orang-orang zaman kini.Sebagian orang berpendapat bahwa hukuman yang pantas untukpemabuk haruslah hukuman yang terberat. Menurut kami,pendapat ini terlalu berlebihan walau mungkin muncul dari suatuniatan yang baik. Bagi kami, hukuman yang pantas buat pemabukadalah sanksi yang bersifat restitutif atau pembinaan (ta’zir) agarmereka mampu mengoreksi perbuatannya. Dalam soal ini, kitabersepakat dengan pendapat Syekh Mahmud Syaltut.18

Dalam fatwa Abu Hanifah dan mazhab Ibnu Mas’ud, hu-kuman buat pemabuk hanya berlaku untuk pemabuk yang nyata-nyata mabuknya. Sementara orang yang meminumnya sedikitsaja, apapun jenisnya, dengan kadar yang tidak memabukkan,tidak dapat dikenakan sanksi. Berdasarkan fatwa seperti ini, parapenjual, pembeli, distributor, dan produsen khamar sebetulnyatidak dapat dikenakan sanksi. Namun, justru soal inilah yangsering diperdebatkan oleh kalangan Islam garis keras. Untuk men-dukung pandangan mereka, mereka banyak-banyak mengutipdalil-dalil dan hadis Nabi.

Barangkali, ada baiknya kita memaparkan sikap kaku merekadalam menetapkan hukuman maksimal bagi peminum khamar,yakni 80 kali cambukan. Pandangan ini berpijak pada sebuahanalogi terhadap pendapat Ali bin Abi Thalib ketika ia dimintasaran oleh Umar bin Khattab tentang sanksi yang pantas bagipeminum khamar. Ali ketika itu berpendapat: “Siapapun yang

18 Mahmud Syaltut, al-Islām Aqīdatan wa Syarī‘atan. Kairo: DarusSyuruq, tt. hal. 295.

Kebenaran yang Hilang

142

mabuk, ia pasti akan meracau. Orang yang tidak sadarkan diridapat saja menuduh orang lain telah berbuat zina. Karena itu,sanksinya adalah 80 kali cambukan.”

Tampaknya, Ali berasumsi bahwa orang yang mabuk pastiakan kehilangan akal sehatnya. Konsekuensinya, siapapun yangkehilangan akal sehat dapat saja menuduh orang lain berbuatserong. Dan atas dasar itu, seorang pemabuk pun dapat dijatuhisanksi sebagaimana pelaku qadzaf atau orang yang menuduhorang lain berbuat serong, yaitu cambuk sebanyak 80 kali.

Anehnya, kita tidak pernah betul-betul mendiskusikan danmenguji analogi seperti ini. Akibatnya, ia diterima apa adanyaseakan-akan merupakan wahyu suci. Padahal dalam pandangankita, analogi seperti ini dapat dibuktikan ketidakcermatannya dankekurangakuratannya. Kalau pendapat ini kita terima begitu saja,betapa mudahnya kita nantinya menetapkan analogi-analogihukum lain tanpa sikap yang kritis. Misalnya, kita dapat menga-takan lebih jauh: “Siapapun yang mabuk, pati akan kehilanganakalnya. Orang yang kehilangan kesadaran, bisa saja berzina,membunuh, atau mencuri. Karena itu, hukuman yang tepat bagipemabuk dapat berupa kombinasi antara ketiga sanksi terhadapketiga perbuatan tercela di atas, yaitu cambuk, hukuman mati,dan potong tangan. Namun, kita pun dapat beranalogi sebaliknya,“Siapapun yang mabuk akan kehilangan akal sehatnya. Dan,karena ia kehilangan akal sehatnya, ia tidak dapat dijatuhi sanksiapapun. Sebab, ia melakukan perbuatannya di luar kesadaran.”Nah, kalau ada analoginya justru seperti ini, niscaya analogipertama dapat pula runtuh dan kehilangan pijakannya.

Pembahasan kita di atas menunjukkan fakta bahwa generasimasa lampau kita tidak selamanya seperti yang kita duga. Ternyata,mereka tampak lebih terbuka, dan lebih toleran dibandingkankita. Ini mungkin disebabkan kehidupan sosial ekonomi ketikaitu relatif lebih makmur, ditambah pula dengan masih terbukanya

143

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

pintu ijtihad yang merupakan salah satu faktor pendorong tole-ransi itu sendiri. Tentang soal-soal yang bersifat belum pasti dalamagama (al-mutasyābihāt), misalnya, mereka justru mendapatkanbanyak kemudahan untuk memilih di antara beberapa pendapatyang ada, bahkan mengombinasikan di antara beberapa pendapatseperti pendapat ulama Hijaz dan Irak tadi.

Kini kita tiba pada pembahasan tentang fenomena yangjamak dilakukan oleh generasi pendahulu kita, yaitu soal poligami.Fenomena itu tidak hanya dianggap boleh secara agama, tetapijuga ditunjang oleh gaya hidup saat itu. Bahkan, Hasan bin Alibin Abi Thalib, misalnya, sangat tersohor dengan kebiasaannyamenghimpun banyak istri. Dalam sebuah riwayat dituturkan, iamenikahi 70 orang perempuan. Bahkan, ada yang menyebutangka lebih: 90 orang. Ia biasanya menikahi empat orang, lalumencerai empat lainnya dalam waktu bersamaan. Kebiasaan inilantas diketahui Ali bin Abi Thalib, dan ia kuatir hal itu justruakan merusak struktur sosial kesukuan masyarakat Arab di Kufahlantaran terlalu banyak perempuan yang diceraikannya. Karenaitu, ia pun mengemukakan seruan kepada warga Kufah: “Wahaiwarga Kufah, jangan bersedia dinikahi Hasan, karena ia adalah situkang cerai!”19 Namun, seruan Ali itu tidak terlalu dipedulikanoleh kebanyakan warga Kufah, sebab setiap mereka terobsesi untukmenjadi bagian dari keluarga Rasulullah.

Di samping itu, maraknya praktik poligami juga didorongoleh dua faktor penting lainnya. Kedua faktor ini telah membukakesempataan kepada setiap pria dewasa untuk mereguk kenik-matan hidup dan hidup dalam kenikmatan. Faktor pertama tidaklagi diperselisihkan keabsahannya, yaitu pergundikan, meskipunorang-orang modern kini sudah tidak dapat menerima, bahkantidak sanggup membayangkannya. Sedangkan faktor kedua masih

19 As-Suyuthi, Tārikh al-Khulafā’, hal. 191.

Kebenaran yang Hilang

144

berada dalam perselisihan sengit di antara para ulama, yaitu soalnikah kontrak atau mut’ah.

Faktor pertama yaitu soal kepemilikan selir (jāriyah) meru-pakan salah satu aspek yang terkait erat dengan sistem perbudakankala itu. Perlu diingat, tatkala Islam datang, sistem perbudakansudah merupakan bagian penting dari kehidupan bangsa Arab.Islam tidak hadir untuk melarang maupun membenarkannya.Namun Islam sangat menyarankan praktik pembebasan terhadapmereka (‘itqh raqabah). Ini salah satu pintu menuju kebajikanyang diperkenalkan Islam dan mengandung semangat kemanu-siaaan yang dalam. Semangat ini, pada zaman modern, setaradengan prinsip kesetaraan dan sejalan dengan upaya penghapusansistem perbudakan secara umum.

Jika kita berhenti dan terpaku pada pemaknaan yang literalterhadap ayat perbudakan dan pergundikan (al-tasarrī), maka kitaberarti tidak menerima gagasan kesetaraan dan penghapusanperbudakan. Jika kita beranjak ke pemaknaan Islam secara esensial,maka kita akan menafsirkan sikap Islam dalam soal ini denganprinsip penting yang akan selalu kita jadikan landasan. Prinsipitu menyatakan bahwa Islam tidak datang untuk suatu masatertentu saja. Al-Quran tidak hanya diwahyukan untuk kepen-tingan masa sesaat saja. Islam dan al-Quran kita anggap sebagaipiranti yang berlaku untuk mengatasi segala masa dan segalazaman.

Karena itu, sekalipun Islam pernah mengizinkan perbudakan,ia juga sangat mendorong semangat pembebasan budak danmenekankan aspek kemerdekaan manusia dalam berkehendak.Dan mestinya, prinsip ini tidak hanya berlaku untuk suatu tempatdan masa saja. Dan memang, ketika membolehkan perbudakan,Islam mengizinkan majikan untuk menikmati dan menggauligundiknya. Anak-anak yang terlahir dari hubungan itu pundibolehkan bernasab kepada majikan ibu mereka.

145

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

Secara sosial, kepemilikan budak bersumber dari dua arah.Pertama, sistem perdagangan budak, dan kedua, hasil pampasanperang. Dari sumber kedua inilah fenomena kepemilikan budakberkembang pesat di kalangan masyarakat Arab pada masa-masaawal Imperium Arab-Islam. Asal-usul kawasan para selir itu punbermacam-macam. Mereka berdatangan dari banyak bangsa sebagaikonsekuensi dari proses penaklukan-penaklukan ke berbagaiwilayah, sehingga ada gundik Romawi, Persia, dan Ethiopia.

Lantas, perkembangan ini menyebabkan terjadinya surplusbudak di dalam masyarakat. Penawaran di pasaran budak melebihipermintaan. Dalam bahasa ekonomi, inilah kondisi ketika tingkatsupply melebihi demand. Dan karena persediaan selir melimpah-ruah,maka fenomena saling menghadiahi selir pun menjadi kebiasaanumum. Dari buku-buku sejarah kita dapat menemukan betapamudahnya seseorang memberi satu-dua orang gundik sebagai bagiandari hadiah. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Ali bin Abi Thalibpun, seorang khalifah yang paling asketis dalam hidupnya, wafatdengan meninggalkan 4 orang istri dan 19 orang selir.20

Jumlah gundik-gundik ini semakin berkembang dalamsejarah imperium Islam; menjadi puluhan pada masa Umayyah,mencapai ratusan pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menem-bus angka ribuan pada masa Abbasiyah. Bilangan ini bahkanmencapai angka 4000 orang sebagaimana sudah kita singgungdalam pembahasan tentang al-Mutawakkil. Khalifah ini konontelah meniduri 4000 gundik selama seperempat abad masakepemimpinannya. Tentu ini merupakan rekor tertinggi kepemi-likan gundik yang pernah tercatatkan dalam sejarah.

Untuk lebih mendetail tentang fenomena selir ini, parapembaca dapat membacanya lebih lanjut dari kitab al-Aghānī

20 Ibnu Katsir, al-Bidāyah wan Ni āyah. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, Vol. VII, jilid IV, hal. 244. Lihat pula as-Suyuthi, ibid hal. 176.

Kebenaran yang Hilang

146

karya Abu al-Farj al-Asfahani (w. 356 H), Akhbār al-Nisā karyaIbnu al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Thūq al-Hamāmahkarya Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H), dan al-Imtā‘ walMu’ānasah karya Abu al-Hayyan at-Tauhidi (w. 380 H). Di sanapara pembaca dapat membaca pernyataan-pernyataan parakhalifah tentang fenomena pergundikan. Abdul Malik bin Marwanmisalnya menyatakan: “Siapa pun yang ingin mencari gundikdemi melayani birahi, pilihlah perempuan Barbar. Yang meng-inginkan gundik untuk mencari keturunan, ambillah perempuanPersia. Yang mencari gundik sebagai kawan seiring, tepatlahmemilih perempuan Romawi.”21 Keterangan ini barangkali dapatpula menjadi pembungkam orang-orang yang menyatakan bahwapemilahan manusia berdasarkan aspek rasial adalah khas cara Baratdalam memandang bangsa lain.

Paparan ini juga akan menutup pembahasan tentang faktor-faktor penentu maraknya poligami. Dan kita pun telah mengemu-kan sebelumnya bahwa poligami secara ijmak dibolehkan paraulama tanpa ada keraguan dan kekhawatiran. Pada saat kitamenemukan beberapa preseden positif dalam tindakan beberapakhalifah dalam membebaskan selir-selirnya, maka langkah tersebuttidak lain merupakan perambahan terhadap jalan panjang menujupenghapusan sistem perbudakan yang sama sekali tidak ber-tentangan dengan esensi ajaran Islam.

Kita akan masuk ke faktor kedua maraknya poligami yangmasih menjadi lahan perdebatan di kalangan para ulama. Faktorkedua itu tidak lain adalah apa yang biasanya dikenal sebagaifenomena nikah mut’ah. Konon, Rasulullah pernah membolehkanpraktik ini dalam dua kasus peperangan, lalu mengharamkannyapada saat Haji Perpisahan (hujjah al-wadā‘). Alasan di balik pem-bolehan nikah mut’ah itu disebabkan “kondisi darurat” pada masa

21 As-Suyuthi, ibid, hal. 221.

14 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

perang. Dan, pelarangan beliau terhadap model pernikahan initidak lain karena kuatir ia akan lebih menyerupai praktik zinaketimbang institusi pernikahan, jika dibolehkan secara mutlaktanpa ketentuan dan syarat yang ketat.

Kita akan membahas persoalan ini secara singkat agar parapembaca tidak mengalami kerancuan berpikir. Fakta bahwa Nabimembolehkan praktik nikah mut’ah dalam dua peristiwa, yaituPerang Khaibar dan Penaklukkan Mekkah, memang tidak adayang menyangkalnya. Pelarangannya pada saat Haji Perpisahanjuga tidak ada yang membantahnya. Namun, sinyaleman tentangkesamaan zina dengan nikah mu’tah bersumber dari pendapatIbnu Umar. Dalam suatu riwayat sahih yang dimuat Ibnu Majah,Ibnu Umar menyatakan: “Rasulullah telah membolehkan kitamelakukan nikah mut’ah tiga kali. Namun, kemudian ia meng-haramkannya. Demi Allah, kalau aku berjumpa seseorang yangsudah beristri masih juga melakukan nikah mut’ah, pasti aku akanmerajamnya dengan batu.”22

Imam Ali bin Abi Thalib pun pernah menyatakan: “Kalaunikah mut’ah tidak juga diharamkan, niscaya orang-orang sudahberzina.” Riwayat yang dinukil oleh al-Baihaqi dari Ja’far binMuhammad ketika ditanya tentang nikah mut’ah pun menjelas-kan soal ini. Ketika ditanya tentang nikah mut’ah, Ja’far men-jawab: “Nikah jenis itulah yang disebut zina.”23

Penghalalan sesuatu karena desakan kondisi darurat memangsalah satu metode legislasi hukum yang dapat diterima. Syaratnya,kondisi darurat itu harus diukur betul dengan suatu penilaianyang akurat. Dalam soal ini, tidak ada sosok yang paling bertang-gungjawab dan sangat jeli dalam menaksir dan menetapkan suatuhukum melebihi Rasulullah. Beliau adalah sosok yang tidak

22 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Beirut: Darul Kitab al-Arabi, tt. hal. 44.23 Ibid, hal. 43.

Kebenaran yang Hilang

148

melandaskan tutur kata dan perbuatannya berdasarkan pertim-bangan hawa nafsu belaka.

Per definisi, nikah mut’ah adalah kontrak pernikahan yangdiajukan seorang laki-laki kepada perempuan untuk suatu masatertentu agar ia dapat menikmati perempuan tersebut denganimbal balas materi tertentu pula. Jika tempo yang sudah ditetap-kan bersama selesai, maka berakhir pula ikatan pernikahan ter-sebut. Para fuqaha Sunni satu suara untuk mengatakan haramnyanikah mut’ah secara mutlak. Mereka melandaskan alasannyadengan hadis Rasulullah ketika Haji Perpisahan: “Wahai sekalianmanusia, dulu aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukanmut’ah, tapi ketahuilah, kini Alah telah mengharamkannyasampai hari kiamat!”24

Meski di lingkungan Sunni nikah mut’ah dapat dikategorikanbagian dari zina, tetapi para ulama umumnya juga engganmenerapkan hukum rajam bagi pelakunya. Hal ini disebabkansikap mereka yang mendua ketika berhadapan dengan riwayatlain dari Ibnu Abbas yang menyatakan halalnya mut’ah. Sikappara ulama Sunni ini berbeda dengan umumnya pandangan Syiah.Para ulama Syiah justru menghalalkan mut’ah dengan menafsir-kan ayat-ayat al-Quran tentang mut’ah dengan interpretasi yangmembolehkannya. Mereka juga menolak prinsip penganuliranhukum (naskh) al-Quran oleh Sunnah Nabi.

Sikap ini ditanggapi fuqaha Sunni dengan penafsiran al-Quran dari sudut pandang berbeda, serta berbagai argumententang validnya pembatalan hukum al-Quran dengan SunnahNabi. Kalangan Sunni misalnya merujuk ketetapan Rasulullahtentang hukuman rajam bagi pelaku zina walau al-Quran tidakmengatakan sanksinya kecuali cambuk. Al-Quran pun tidak per-nah menyebutkan rajam sebagai hukuman zina. Ini adalah

24 Ibid, hal. 42.

1 49

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

persoalan khilafiyah yang tidak akan kita paparkan kepadapembaca agar tidak terlalu berkepanjangan.

Namun demikian, saya mengajak para pembaca untukmerenungkan ulang kenyataan masayarakat Islam pada masapermulaan dakwahnya dan ratusan tahun sesudahnya. Merekaadalah masyarakat yang sudah terbiasa dengan poligami. Perce-raian mudah terjadi, dan pernikahan baru pun tak sulit dilakoni.Kita cukup jarang menyaksikan pria yang beristri empat tetapsetia kepada para isterinya dan berprinsip tidak akan mence-raikannya kecuali terpaksa. Sementara di pihak lain juga ada yangmemperisteri empat orang sambil menceraikan empat sebelumnyatanpa ada kritik dan kecaman.

Hampir semua pria pada masa itu juga mempunyai gundik.Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib—sosok sangat asketis—yang sudah cukup puas dengan 19 orang gundik. Padahal, asketismeAli dengan sifat wara dan penolakannya terhadap kemewahandunia, sudah tidak perlu dibuktikan lagi. Ada pula yang punyagundik puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Namun, lingkunganSyiah pun masih membolehkan mut’ah setelah adanya legalitaspergundikan. Pembolehan ini membuat seorang laki-lakidimungkinkan untuk memperistri seorang perempuan dalamtempo tertentu, baik satu hari, sebulan, atau beberapa bulan saja.Sebagai imbalannya, ia harus menyerahkan uang kontrak sejumlahkesepakatan antar mereka. Lalu setelah selesai masa kontrak, iaboleh menceraikan perempuan tersebut tanpa rasa berdosa dantanpa merasa iba.

Fenomena nikah mut’ah ini masih dapat dianggap legal jikakita melanggar konsensus Sunni dan berpegang kepada fatwaulama Syiah. Padahal, catatan-catatan sejarah masa-masa akhirUmayyah dan sebagian besar periode Abbasiyah pun masihmenunjukkan rekor tentang maraknya perempuan penghibur,dunia pesta-pora, bahkan penyimpangan perilaku seksual.

Kebenaran yang Hilang

1 50

Rekaman sejarah kedua dinasti tersebut akan kita kesampingkandulu untuk masuk ke pembahasan inti tentang halalnya pergun-dikan di lingkungan Sunni dan bolehnya mut’ah di lingkunganSyiah. Setelah itu barulah kita bertanya: apakah orang masihmemerlukan zina setelah terbukanya pintu pergundikan danmut’ah? Apakah masuk akal bagi orang-orang yang hidup dilingkungan seperti ini untuk menyatakan bahwa hukum rajammengandung unsur sadisme?

Saya yakin para pembaca sepakat dengan saya untukmengatakan bahwa orang-orang yang masih melakukan zina dilingkungan yang sudah membolehkan pergundikan atau mut’ah,mestilah orang kurang waras dan punya kecenderungan seksualyang menyimpang. Atau dengan ungkapan lebih lunak, orang inidapat pula disebut sedang melakukan upaya bunuh diri. Hanyasaja, ketidakwarasan, perilaku menyimpang, ataupun upaya bunuhdiri itu masih tidak akan membuatnya mati dengan mudah. Sebab,syarat-syarat dakwaan atas tindak perzinahan yang ditetapkan olehkitab-kitab fikih pun justru tak memungkinkan diberlakukannyasanksi atas mereka. Syarat yang ketat tersebut mengharuskan adanyaempat orang saksi laki-laki yang adil dan terpercaya, tidak punyareputasi buruk dan tidak pernah melakukan perbuatan dosa.Perempuan dan orang-orang fasiq tidak diterima kesaksiannya.

Keempat orang saksi itu pun secara keseluruhan harus bersaksitentang telah terjadinya praktik perzinahan. Kesaksian langsungtentu tidak mudah karena mensyaratkan mereka sebagai pelakuaksi perzinahan juga. Lebih dari itu, mereka tidak boleh rabunmata sehingga dapat benar-benar dan jelas menyaksikan aktivitastersebut, “laksana masuknya pensil celak ke dalam wadahnya,seperti turun naiknya tali timba ke dalam sumurnya”. Apabilasalah seorang di antara mereka memberi kesaksian berbeda ataumencabut kembali dakwaannya, maka saksi-saksi yang tersisajustru akan dikenakan sanksi qazaf, yaitu 80 kali cambukan.

1 5 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

Mungkin karena inilah kita sangat kesulitan menelusuricatatan sejarah tentang penerapan hukum rajam bagi kasusperzinahan. Bahkan, satu-satunya kasus yang nyaris diberlaku-kannya hukum rajam terjadi pada masa Umar. Itu pun berakhirdengan dicambuknya para saksi sendiri. Umar pribadi mungkinmeyakini peristiwa itu benar-benar terjadi. Buktinya, ia memecatsang pelaku yang kebetulan adalah salah seorang gubernurnyasendiri. Kisah perzinahan ini layak diungkap di sini karenakeunikannya. Peristiwa ini juga dapat memberi pelajaran penting:manusia tetaplah manusia juga, di manapun mereka berada. Inijuga menunjukkan bahwa periode Umar sendiri bukannya tanpacela di masyarakat. Hanya saja, bila cela itu terjadi, akan adabanyak pihak yang segera menutup-nutupinya karena berkenaandengan salah seorang penting dalam sejarah.

Pada masa Umar, tepat pada tahun 17 H, jabatan GubernurBasrah diserahkan Umar kepada Mughirah bin Sya’bah. Konon,pelaku zina tersebut adalah Mughirah sendiri sebagaimanadicatatkan oleh al-Thabari:

“Riwayat yang bersumber dari Syu’aib dari Saif yangditransmisikan oleh Muhammad, Muhallab, Thalhah, dan Amr,menyebut kisah tentang Abu Bakrah dan Mughirah bin Sya’bah.Konon, Mughirah adalah sosok yang selalu memandang rendahAbu Bakrah. Abu Bakrah pun selalu ingin bersaing denganMughirah dalam banyak perkara. Ketika tinggal di Bashrah,mereka hidup bertetangga. Rumah mereka bersebelahan jalan dankeduanya punya tenda tempat perjamuan tamu dengan jendelabertirai kain yang saling berhadapan. Suatu ketika, Abu Bakrahberkumpul bersama para tamunya dan berbincang-bincang ditenda tersebut. Tiba-tiba angin kencang bertiup dan membukatirai kain jendela. Tatkala Abu Bakrah hendak menutup tiraijendelanya, sontak ia menyaksikan Mughirah yang tendanya jugatersingkap. Ia sedang bercinta dengan seorang perempuan. Abu

Kebenaran yang Hilang

1 52

Bakrah lalu mengajak para tamunya: “Berdiri dan tengoklah!”Para tamu itu pun berdiri dan menengok ke arah yang ditunjukAbu Bakrah “Perhatikan baik-baik!” kata Abu Bakrah. Merekalalu bertanya: “Siapa gerangan perempuan itu?” “Dia UmmuJamil, anak perempuan Afqam,” jawab Abu Bakrah.

Ummu Jamil berasal dari Bani Amir bin Sha’sha’ah yangmemang berprofesi sebagai perempuan panggilan. Ia sudah pernahdipanggil Mughirah maupun para petinggi dan pejabat setempatpada masa itu. Dan di zaman itu, sudah ada pula beberapaperempuan yang menjalankan pekerjaan serupa Ummu Jamil.

Rupanya para tamu Abu Bakrah itu masih penasaran: “Kamihanya melihat pelacur yang tidak tampak parasnya!” Merekaterdiam ketika perempuan itu bangkit dan beranjak pergi. Dantatkala Mughirah keluar rumah untuk salat jamaah, ia digodaoleh Abu Bakrah. “Jangan pernah salat bersama kami lagi!”sergahnya. Lalu sejak saat itu masyarakat melaporkan kasus inikepada Umar. Umar segera menugaskan Abu Musa al-As’ari untukmenyelidiki kebenarannya sambil berpesan: “Abu Musa, aku akanmengirim dan menugaskanmu ke negeri tempat iblis bertelurdan menetas. Karena itu, engkau harus tegas dan tetap pendiriandengan apa yang engkau dapatkan. Jika tidak, Allahlah yang akanmenegurmu.”

Abu Musa pun bertolak menuju Basrah. Tak lama kemudiania singgah di Marbad untuk beristirahat. Kabar pengutusan AbuMusa ini terendus oleh Mughirah. “Demi Allah, Abu Musa pastitak datang untuk perkara biasa ataupun sekadar berniaga. Iadatang dengan misi,” batinnya. Masyarakat Basrah pun pahamkalau Abu Musa datang untuk perkara tertentu saat merekaberjumpa dengannya. Setelah tiba di Basrah, Abu Musa menye-rahkan surat Umar kepada Mughirah. Surat itu pendek saja isinya,dan terdiri dari empat kalimat berisi pemecatan, teguran, nasihat,sekaligus instruksi. “Aku telah mendengar berita yang menggem-

1 53

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

parkan. Aku tugaskan Abu Musa menjadi amir. Serahkan seluruhwewenangmu padanya. Segera!” Demikian isi surat itu.

Namun, setelah itu Mughirah justru menghadiahkan seoranggundik peranakan Tha’if bernama Aqilah kepada Abu Musa.Kepada Abu Musa ia berpesan: “Aku merelakan gundik cantikrupa ini untukmu!” Lalu Mughirah, Abu Bakrah, Nafi bin Kaldah,Ziyad, dan Syibli bin Ma’bad al-Bajli berangkat ke Madinah gunamenghadap Umar. Setiba di sana Umar pun mengumpulkanmereka. Itulah saat pertama kalinya Mughirah angkat bicara:“Silakan bertanya kepada para pembantumu tentang apa yangmereka saksikan tentangku. Apakah saat itu aku membelakangimereka atau menghadap mereka. Bagaimana cara mereka melihatdan mengenali perempuan itu. Kalau aku membelakangi mereka,bagaimana mungkin aku tidak menutup jendela. Seandainya akumenghadap mereka, atas dasar apa mereka boleh mengintiprumahku ketika aku sedang berkumpul dengan istriku. DemiAllah, aku tidak menyetubuhi perempuan lain selain isteriku. Dankebetulan, isteriku memang mirip Ummu Jamil.”

Umar mulai mengarahkan pertanyaan kepada Abu Bakrah.Ia bersaksi melihat Mughirah berada di antara selangkanganUmmu Jamil lalu menyetubuhinya. Umar pun bertanya: “Bagai-mana caramu melihat mereka?” “Aku berada di belakang mereka,”jawab Abu Bakrah. “Lantas bagaimana engkau mengenali secarapasti wajah perempuan itu?” lanjut Umar. “Aku hanya mengira-ngira,” jawab Abu Bakrah. Selanjutnya Umar menanyai Syiblibin Ma’bad. Ia memberi kesaksian serupa dengan Abu Bakrah.“Engkau saat itu berada di belakang atau di hadapannya?” tanyaUmar. “Aku berada di hadapan mereka,” jawab Syibli.25

Nafi juga memberi kesaksian yang serupa. Tapi Ziyad justrumemberi kesaksian berbeda dari mereka bertiga. “Aku menyaksi-

25 Hanya al-Thabari yang mencatatkan kesaksian yang berbeda ini.

Kebenaran yang Hilang

1 54

kan Mughirah duduk di antara kedua kaki seorang perempuan.Aku lihat dua pasang kaki saling bergoyang dan dua aurattersingkap. Aku juga mendengar suara-suara leguhan yang cukuplantang,” kata Ziyad. Umar lalu menyela: “Apakah engkaumenyaksikan sebuah penetrasi seperti keluar-masuknya pensilcelak ke dalam wadahnya?” “Tidak, aku tidak menyaksikannya,”jawab Ziyad. “Apakah engkau dapat mengenali perempuan itudengan jelas?” buru Umar. “Tidak,” jawab Ziyad. “Tapi perem-puan itu mirip Ummu Jamil.” Lalu Umar berkomentar: “Jikademikian, engkau belum yakin!”

Umar lalu memerintahkan agar ketiga orang saksi itu, selainZiyad, dihukum cambuk. Tatkala itulah Mughirah langsungmendesak Umar, “Mohon bersihkan namaku dari tuduhan orang-orang ini!” Namun, Umar menyergah: “Tutup mulutmu! DemiAllah, andai kesaksian mereka sempurna, pasti aku akanmerajammu dengan batumu sendiri.”26

Riwayat di atas menunjukkan contoh langka dan jelastentang proses penyelidikan kasus perzinahan yang amat rumitdan detil. Jumlah saksi tampaknya bakal sangat meyakinkan.Faktor ini memang dapat dipenuhi karena kondisi fisik bangunanpada masa itu cukup memudahkan. Al-Mughirah pun tampaknyasangat terpojok, kasusnya cukup sensasional, dan fenomena“Ummu Jamil” pun tampak cukup marak di kalangan pejabatnegara. Sanksi perzinahan pun nyaris diterapkan Umar andai sajaZiyad tidak gagap sehingga kesaksiannya dianggap meragukan.

Di sini kita perlu pula menambahkan informasi pentingtentang perkembangan tokoh-tokoh di dalam kasus ini untukmasa sesudahnya. Jauh setelah kejadian itu, Mughirah menjadisalah seorang komandan pasukan Muawiyah, sementara Ziyad

26 Versi lain menyebutkan redaksi, “… pasti aku akan merajammu denganbatu seseorang.”

1 55

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

berada di pihak tentara Ali. Tatkala Muawiyah berhasil merebutkekuasaan dari tangan Ali, Mughirah kembali teringat akan jasa-jasa Ziyad kepadanya dengan membuat kesaksian yang sumir.Demi membalas jasanya, Mughirah pun memohonkan amnestidari Muawiyah untuk Ziyad. Muwiyah mengabulkannya danmenganggap Ziyad sebagai salah seorang keluarga Umayyah. Ialalu menunjuk Ziyad menjadi Gubernur Basrah, lalu Kufah.Sejarah lalu mencatat rekam jejak Ziyad yang kejam, otoriter,dan penuh intimidasi dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Kita kembali lagi ke fokus persoalan tentang Mughirah, ataulebih tepatnya, skandal seksnya. Yang menjadi pertanyaan kita:apa reaksi kalangan Islam-ekstremis jika skandal seperti itudilakukan oleh seorang pejabat negara, menteri atau gubernurkita? Untuk apa mereka bersuara lantang tatkala salah seoranggadis ditemukan bunuh diri di rumah salah seorang pembesarnegeri ini dan menyebut seantero negeri sudah menjadi sarangprostitusi dan harus diobati dengan syariat? Mereka berteriak agarMesir-Islami dikembalikan setelah Mesir-klub malam bertaburan.

Apabila kondisi fisik bangunan tempat tinggal pada masaUmar menjadi penyebab utama terungkapnya skandal seksMughirah, mungkinkah itu bisa terjadi dalam kondisi fisikbangunan rumah modern saat ini? Apakah kita dengan mudahdapat menemukan saksi-saksi kasus perzinahan di dalam ba-ngunan modern yang jauh lebih solid daripada di masa lalu? Bilakegamangan salah seorang saksi kasus Mughirah telah menye-lamatkannya dari sanksi zina, bagaimana keteguhan sikap orang-orang yang memang menjadikan inisiatif memata-matai orangsebagai profesi utama mereka?

Kita kembali bertanya sebelum kisah skandal seks Mughirahsemakin membuat kita tegang. Karena itu, kita perlu menam-bahkan unsur pengharapan ke dalam pertanyaan itu agar parapembaca dapat bersikap jernih dalam menjawabnya. Pertanyaan

Kebenaran yang Hilang

156

kita adalah: pantaskah kita mempersamakan perlakuan terhadapskandal seks Mughirah—di dalam konteks lapangnya peluanguntuk berpoligami, bebasnya sistem pergundikan, dan masihditambah lagi oleh kehalalan mut’ah di lingkungan Syiah—dengan perzinahan pemuda masa kini yang untuk menikahiseorang gadis pun mereka tak mampu—karena mahalnya mahardan sulitnya menyediakan tempat tinggal? Apakah kedua kondisiini diperlakukan sama, misalnya dalam sanksi yang akan di-jatuhkan terhadap tindak perzinahan? Tidak bolehkah kitamengiaskan kondisi sulit saat ini dengan kondisi paceklik padamasa Umar yang tidak menerapkan ketentuan syariat karenapertimbangan yang bijaksana?

Saya tidak sedang bermaksud menganjurkan masyarakat untukmelakukan perzinahan atau melakukan pembenaran terhadapperilaku pencabulan sebagaimana dilakukan orang-orang yangmelihat dunia ini tak lebih dari tiga unsur utama: laki-laki, perem-puan dan setan sebagai pihak ketiga. Saya tidak juga sedang bersikapsebagaimana kalangan hipokrit yang hanya mengambil posisibersikap yang aman. Mereka ini tak jarang juga ikut-ikutan menyua-rakan agar para pezina yang sudah berkeluarga (mu san) dijatuhisanksi rajam. Padahal, mereka benar-benar tahu bahwa sanksi itusecara faktual mustahil diterapkan. Kita hanya mengajak agar kitamengedepankan nalar dan akal sehat ketika membahas persoalanseperti ini. Ini persis seperti dicontohkan Umar dalam menyikapisanksi pencurian. Ia melampaui makna literal teks Kitab Sucidengan menyelidiki faktor-faktor pendukung tindak pencurian itu.

Karena itu, ada baiknya juga bagi kita untuk membukakembali kasus yang sampai saat ini masih jelas terekam di dalamingatan kita. Kasus ini adalah soal pelecehan seksual yang dilaku-kan 6 orang pemuda terhadap seorang gadis. Gadis itu diculikdari dalam mobil ketika sedang melintasi sebuah jalanan dibilangan Ma’adi, pinggiran Kairo. Hasil visum medis setelah itu

1 5 7

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

menunjukkan bahwa si gadis masih tetap perawan. Masyarakatpun gempar menanggapi kasus ini. Suara-suara keras bermunculanmenuntut penerapan syariat Islam. Seakan-akan penerapan syariatadalah satu-satunya jalan untuk mengatasi persoalan. Media massakeagamaan tak bosan-bosannya memuat artikel di bagian mukadengan judul yang sama: Terapkan Syariat, tegakkan Sanksi Per-zinahan! Padahal, visum dokter bisa saja membuktikan tidakterjadinya kontak fisik di dalam pengadilan nantinya.

Namun, para hakim kasus ini menjatuhkan vonis mati terha-dap 5 pelakunya dan mengabulkan banding 2 terdakwa, termasuktunangan si gadis itu. Mantan Mufti Mesir lalu angkat bicara men-dukung vonis itu dengan argumen-argumen hadis Nabi sembarimenegaskannya telah sesuai dengan ketentuan syariat. Ia berpen-dapat bahwa perbuatan 5 pelaku pemerkosaan itu telah masukkategori “berbuat kerusakan di muka bumi”. Namun, Allah mahatahu. Fakta kasus ini tidaklah seperti yang didakwakan. Lagi pula,mantan mufti itu lupa bahwa sanksi pelaku “perusakan di mukabumi” hanya ditetapkan terhadap tindakan-tindakan konkret atasharta benda, bukan kejahatan seksual. Sanksi itu sudah punyakriteria-kriteria khusus yang tidak dapat disamakan dengan kasusini.

Namun yang menggelikan, orang-orang melupakan bahwasistem perundang-undangan Mesir sebetulnya telah menyediakansanksi hukum atas tindak-tindak kejahatan yang tidak diatur olehsyariat. Ini bukan berarti syariat itu sendiri lemah. Akan tetapi,masyarakat modern memang lebih membutuhkan aturan-aturanhukum yang lebih canggih dan lebih rumit dalam detilnya di-bandingkan ketentuan syariat yang masih mentah. Ketidakmam-puan menegakkan hukum yang sudah ada tidak dapat kitapersalahkan begitu saja sembari menyelewengkan isinya dengantuntutan penerapan hukum syariat. Yang justru harus kita lakukanadalah menyelami tujuan pokok atau filosofi hukum syariat dan

Kebenaran yang Hilang

158

tidak bersikap kaku terhadap doktrin-doktrin agama. Yang perlukita perbuat adalah menghidupkan kembali semangat Umar yangtelah mengajarkan tentang pentingnya menangkap semangat dandinamika zaman lewat mekanisme ijtihad dan meninggalkan maknaliteral teks agama kalau memang tidak mungkin lagi diterapkan.

Artinya, jika semangat dasar hukum agama untuk mengatasikejahatan sudah dapat diberlakukan lewat jalur hukum positif, makakita tidak perlu lagi menolak hukum positif yang sudah menjadikesepakatan bersama itu. Dengan demikian, teks agama akan tetapterasa hidup dan tidak akan mengalami pembusukan akibatpenafsiran-penafsiran yang kaku dan literal. Inilah tujuan tertinggiagama Islam dan esensi dari roh Islam yang sesungguhnya.

Untuk membuktikan bahwa penerapan sanksi perzinahanberdasarkan syariat memang sulit pada zaman modern, kita perlumembuka kembali berkas-berkas kasus perzinahan dan kesusilaanyang tersimpan di dalam arsip-arsip pengadilan kita. Semuatersimpan rapi sejak 50 tahun yang silam. Dan ternyata, tidak adasatu kasus pun yang memenuhi syarat untuk dikenakan sanksi sesuaiaturan syariat atau fikih yang ada. Aspek pengakuan si pelaku sendiritentu tidak kita jadikan acuan. Sebab aspek pengakuan berkait eratdengan soal jatuh-tidaknya vonis menurut undang-undang yangberlaku. Lebih dari itu, seandainya hukum rajam masuk dalamketentuan sanksi di dalam undang-undang, niscaya tidak akan adapelaku zina yang akan mengakui perbuatannya. Ini sudah menjadiaksioma yang tak dapat diragukan lagi. Karena itu, yang menjadiacuan kita dalam meneliti kasus-kasus perzinahan ini adalah soalterpenuhinya syarat-syarat persaksian dan diterapkannya sanksi jikakasus itu sudah divonis

Dan terbukti, dari sekian banyak kasus perzinahan, tidakada satu kasus pun yang dapat menghadirkan 4 orang saksi mata.Apalagi ketentuan fikih menyebutkan bahwa keempat saksi ituharus benar-benar melihat tindak perzinahan itu “laksana pensil

1 59

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

celak keluar-masuk wadahnya”, atau “seperti tali timba naik-turunke sumurnya” Jika kita terikat secara kaku dengan syarat-syaratseperti ini, niscaya tidak akan ada satu kasus perzinahan pun yangdapat diselesaikan pengadilan. Lalu mengapa pula harus bersusahpayah dalam pembuktian dengan syarat yang tidak masuk akalitu, jika toh undang-undang positif kita sudah dapat menjatuhkanvonis atas perbuatan asulisa dengan persyaratan lainnya?

Saya tidak akan bersusah payah mengungkap persoalan iniandai tidak melihat Islam kini berada di persimpangan jalan. Sayapercaya bahwa Islam pasti akan berjalan ke arah yang diridai Allah.Ia akan menjadi rahmat bagi hamba-hamba-Nya, kemenanganuntuk umat-Nya, dan akan tetap terjaga akidahnya. Islam tidakakan terpengaruh oleh pandangan orang-orang yang berpikiransempit atau akan terpinggirkan oleh kelompok-kelompok kakudan jumud di dalamnya. Kita benar-benar berkepentingan untukmenatap kehidupan dengan Islam, bukan lari dari kenyataan denganmengatasnamakan Islam, atau malah menghancurkan kehidupan.Kenyataan hidup inilah yang harus kita selami tatkala melakukanpenafsiran terhadap ajaran Islam. Dengan demikian, doktrin-doktrin Islam tidak akan membatu atau menjadi fosil. Doktrin ituakan terus relevan dan hidup beriringan dengan kemajuan zaman.

Tampaknya, kita sudah jauh melenceng dari topik pembacaanbaru atas sejarah Islam. Namun, hal itu disengaja, kerena kitamelihat peristiwa-peristiwa sejarah itu masih memiliki keterkaitanerat dengan fenomena-fenomena sosial-politik dewasa ini. Akantetapi, baiklah kita kembali lagi ke pembacaan terhadap sejarahAbbasiyah. Kita sudah tahu siapa itu Harun al-Rasyid, al-Makmun,dan al-Mu’tashim. Sejarah ketiga tokoh ini sangat populer dikalangan umat Islam. Namun bagaimana dengan kisah khalifahyang satu lagi, yaitu al-Watsiq?

Al-Watsiq adalah khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah awal.Saya terus terang sudah tidak tahan untuk membongkar sejarah

Kebenaran yang Hilang

160

al-Watsiq. Mungkin para pembaca pun nantinya tidak akan mudahmelupakan fakta-fakta tentang tokoh kita yang satu ini. Al-Watsiqsungguh telah membuka babak baru dalam rangkaian episodesejarah kekhalifahan Islam. Ia menapaki jalannya sendiri, berbedadengan jalur yang ditempuh para khalifah lainnya. Iamengabadikan namanya lewat syair-syairnya. Lebih dari itu, iamemerintah selama 6 tahun dengan berpindah-pindah daripelukan seorang pria ke pria lainnya.

Agar para pembaca tidak rancu membaca soal ini danmenganggapnya salah cetak, saya perlu menuliskannya lagi. Iamemerintah selama 6 tahun dengan berpindah-pindah dari pelukanseorang pria ke pria lainnya. Ia memang punya kecenderunganseksual yang menyimpang dan mencintai sesama jenisnya. Parakekasihnya betul-betul telah memikat hatinya dengan cinta danmenjeratnya dengan birahi. Salah seorang kekasih al-Watsiq yangpaling terkenal adalah pria tampan asal Mesir. Ia bernama Muhaj.Konon, Muhaj sangat pandai memainkan perasaan al-Watsiq.Karena itu, ia selalu dapat mengendalikan kehendak al-Watsiq sesuaikeinginannya. Konon ada pameo, jika al-Watsiq telah merasanyaman bersama Muhaj, maka stabilitas dan keamanan negara akantetap terjamin. Namun, bila ia sedang marah atau cemburu-buta,kerusakan akan terjadi, dan malapetaka akan menimpa. Dalamkondisi yang labil itu, al-Watsiq sebetulnya sangat mudah untukditaklukkan dan ditajuhkan lawan-lawan politiknya.

Mereka yang senantiasa menuding sikap permisif terhadapperilaku homoseksual adalah ciri khas Barat, mungkin kini mulaigundah. Ternyata dalam soal ini, banga Arab-Islam bukanlahsekadar “pengekor”. Kita rupanya juga mampu menjadi pelopor,dan tidak diragukan lagi, punya banyak keunggulan dalam perkarayang satu ini. Apakah Barat punya pemimpin negara yang secaravulgar mempertontonkan perilaku seksualnya yang menyimpang

16 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

sebagaimana al-Watsiq? Apakah di Barat ada sosok pelayan sepertiMuhaj yang mampu mengalihkan perhatian pemimpin negaranyadari persoalan negara dan melenakannya dari kehidupan akhirat?Apakah dalam sejarah Barat dapat dijumpai pemimpin negara yangtatkala melihat pria menawan langsung mampu bereaksi dengansyair-syair cinta secara spontan? Konon, setiap bertemu pandangdengan Muhaj, al-Watsiq selalu melantunkan syair, misalnya:

Muhaj menguasai jiwa iniLewat kerlingan mata yang sungguh menawanTubuhnya indah memesonaAmboi manjanya dan penuh gairahJika mata tertuju padanyaIa tak lagi mampu berpindah27

Muhaj sendiri amat menyadari kedudukannya yang istimewadi hati Khalifah. Karena itu, pada suatu hari, Muhaj sengaja bergegasmenjumpai khalifah sejak pagi buta. Khalifah sedang mengadakanpertemuan dengan para penasihatnya. Muhaj pun berjalan ber-lenggok-lenggok, mengerlingkan mata dan menebar pesona. Taklupa pula ia membawakan sekuntum mawar dan setangkai bakunguntuk kekasihnya. Para pembaca mungkin dapat membayangkansendiri bagaimana reaksi al-Watsiq terhadap kejutan ini. Mungkinpara pembaca pun maklum jika al-Watsiq langsung bergairah, lalumelupakan para penasihat dan rapatnya. Ia pun langsung menggu-bah syair tanpa melepas tatapan dari Muhaj tercinta:

Ia menghembuskan gairah lewat bakung dan mawarnyaDengan tubuh semampai begitu indahKedua mata telah menyalakan api birahi

27 As-Suyuthî, op. cit., hal. 342.

Kebenaran yang Hilang

162

Menambahkan hasrat dan rasa cintaKuharap kuasa membawaku dekat kepadanyaTapi ia justru membentang jarakTerombang-ambing oleh mabuk asmaraTak hanya ingin berjumpa, tapi juga bertautBila pengorbanan sudah diminta, luluhlah hatinyaPipinya pun bercucuran air mataIa memenjara dengan tatapan mataBagi yang tak kunjung menepati janjinyaSeorang mulia mengadukan kezaliman hambanyaYang mulia itu pun kini menghamba

Subhanallah! Betapa piawai al-Watsiq merangkai kata. Untaiankalimatnya menyentuh rasa. Ekspresi cintanya terasa mendalam.Ketika Muhaj meneteskan air mata, al-Watsiq pun tak lagi tahujenis apakah air mata itu: cinta, ketulusan, atau buaya. Lagi pula,apa yang menghalangi Muhaj untuk tidak memilih di antara yangsatunya. Ia pemilik tubuh semampai yang langkahnya mengom-bang-ambingkan gelora asmara. Itulah yang tidak disadari al-Watsiq. Ia tidak mampu membedakan antara madu dan racunnyacinta. Ia bahkan telah merasa bersikap tidak adil terhadap keka-sihnya. Karena itu pulalah ia memohon permakluman dari pujaanhatinya. Sebab, Muhaj telah terpanah asmara oleh sosok yangmengingkari janjinya.

Potret di atas adalah gambaran tatkala mereka senang danbahagia. Lalu bagaimana bila ia sedang murka? Allahu akbar! Inibenar-benar pernah terjadi. Pada suatu hari, al-Watsiq lepas kendalilalu memarahi Muhaj. Keesokan harinya, al-Watsiq kehilangan akalsehatnya dan emosinya pun membuncah. Roda pemerintahan danadministrasi negera berhenti bekerja. Para pegawai negara pun takutmenghadap khalifah yang tengah murka dan lara. Tak ada hal baikyang dapat diharapkan darinya bila ia dalam kondisi seperti ini.

163

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

Namun semua orang tahu, kuncinya ada pada Muhaj. Bebe-rapa pelayan istana pun berinisiatif mengorek keterangan Muhajtentang kemarahan Khalifah. Muhaj pun membuka rahasianya:“Dia sungguh-sungguh ingin berjumpa denganku sejak kemarin,tetapi aku tidak memenuhi tuntutannya.” Sungguh sebuah petaka!Sungguh berat mencari ungkapan yang tepat untuk menggam-barkan sikap dan kelakuan Muhaj dan, terutama, kemarahan al-Watsiq kepadanya. Tapi malang tak dapat ditolak, ungkapan Muhajitu sampai ke telinga al-Watsiq. Lalu dengan spontan ia menggubahsebuah syair untuk mengungkapkan kejengkelannya:

Wahai sosok yang bersombong atas siksakuEngkau tak lebih dari budak yang melawan takdirKalau bukan oleh gairah, kita takkan pernah bersuaJika nanti warasku tiba, kau pasti akan menanggung akibatnya

Sebuah keuntungan bagi Muhaj dan begitu besar kerugianpara propagandis negara Islam. Sebab sejak saat itu, kewarasanal-Watsiq tak pernah tiba untuk selamanya. Sementara orangmemang telah mereka-reka umur kekuasaannya dan memasti-kannya akan tamat di tangan orang-orang sebangsa Muhaj.Namun, ramalan itu tidak terbukti, karena al-Watsiq punya wajahlain yang disimpannya sendiri, untuk tampil di hadapanrakyatnya. Dengan wajah ini, ia mampu tampil sebagai khalifahyang setia menjaga kehormatan akidah, dan selalu sedia membelakebenaran agama. Ia memang tetap meneruskan kebijakanayahnya, al-Mu’tashim, menjadikan Muktazilisme sebagai ideologiresmi negara. Dan ayahnya pun melanjutkan tradisi inkuisisi—seperti yang pernah dilakukan al-Makmun terhadap Ibnu Hanbalyang menolak paham kemakhlukan al-Quran.

Al-Watsiq pun mempunyai reputasi inkuisisi sendiri. Ia denganbangga mengisahkan ihwal penangkapannya terhadap Ahmad bin

Kebenaran yang Hilang

164

Nasr al-Khaza’i, seorang sarjana besar di bidang hadis. Al-Khaza’idijemput dari Bagdad lalu dibawa ke Samara dalam keadaanterbelenggu untuk menghadap al-Watsiq. Khalifah lalu meng-interogasi pendapatnya tentang al-Quran. Al-Khaza’i kukuhmenyatakan bahwa al-Quran bukanlah makhluk. Dalam soalkemungkinan ru’yah (melihat Allah di akhirat kelak), ia menga-takan bahwa hadis membenarkan kemungkinan itu.

Jawaban al-Khaza’i tidak sesuai dengan ketentuan, danmembuat murka Khalifah. Khalifah lalu meminta sebilah pedangsambil berkata: “Jika aku berdiri, jangan ada seorang pun ikutbergerak. Aku ingin menghitung langkahku menuju si kafir yangtelah menyembah Tuhan yang bukan Tuhan kita; Tuhan yangtidak kita kenal dengan sifat-sifat yang diutarakannya.” Ia punmenggelar permadani kulit dan memerintahkan al-Khaza’i ber-simpuh di atasnya dalam kondisi terikat. Ia berjalan menuju al-Khaza’i, lalu memancung kepalanya. Kemudian ia menitahkanagar kepala itu dibawa ke Bagdad dan digantung di sana. Semen-tara jasadnya yang tanpa kepala digantung di Samara. Kepaladan jasad itu tergantung selama 6 tahun, sampai al-Mutawakkiltampil sebagai Khalifah. Dialah yang kemudian menurunkankepala dan jasad itu, lalu menguburkannya secara layak.

Ketika menggantung kepala al-Khazai, al-Watsiq tak lupamenuliskan maklumat di atas secarik kertas. Kertas yang ia gan-tungkan di telinga al-Khaza’i itu berbunyi: “Inilah kepala Ahmadbin Nasr bin Malik. Orang ini telah dibujuk Abdullah, ImamHarun, untuk menyatakan kemakhlukan al-Quran dan menyang-kal pembandingan antara Tuhan dengan makhluk (antropo-morfisme). Tapi si kafir ini menampik dan melawan perintah itu.Allah pun tak segan mengirimkannya ke neraka.”28

28 Ibid, hal. 341.

165

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

Kita perlu sama-sama merenungkan perbedaan mencolokantara jalan hidup Muhaj dengan al-Khaza’i. Lalu perlu pula kitabandingkan antara al-Watsiq dengan para politisi zaman kini.Dengan amat mudah kita segera dapat melihat bahwa politisi zamankini, sebagaimana al-Watsiq, juga selalu punya dua wajah yangtidak identik sama sekali antara yang satu dengan lainnya. Kitabisa menyaksikan para politisi masa kini menghabiskan malam dikafe dan pub, dengan gelas dan botol minuman. Begitu pagi men-jelang, mereka tak segan menggelar jumpa media dan pertemuanpolitik untuk mengampanyekan penerapan syariat. Jika ditanyaalasannya, mereka hanya tersenyum seraya menuding anda butaakan politik dan tidak peka akan media massa. Mereka menyimpandi dalam hati mereka suatu penilaian terhadapmu: dan anda tidakberpengalaman tentang bagaimana bersikap di depan massa.Mereka menganjurkan anda untuk melakukan kebohongan publik.

Karena itu, walau al-Watsiq dikenal parah dalam penyim-pangan seksualnya, ia sebenarnya tidak sendiri. Kita telah me-maparkan sekelumit potret penyimpangan seksual yang jugadilakukan al-Walid bin Yazid. Dan kita belum lagi beranjak untukmembahas al-Amin, putera Harun al-Rasyid yang telah membelipara pria yang—maaf—telah dikebiri. Ia berbuat abnormalterhadap mereka-mereka yang dijadikannya teman seranjang. Al-Amin pun bersikap dingin terhadap para istri dan gundik-gundiknya.29 Namun, bila al-Watsiq terpikat pada Muhaj, makaal-Amin bertambat hati kepada Kautsar. Beberapa pujangga masaitu menggambarkan asmaranya sedemikian:

Khilafah hancur oleh muslihat para menteriKebobrokan para gubernur, kedunguan para penasihatPerilaku seks khalifah sungguh menakjubkan

29 Ibid, hal. 301.

Kebenaran yang Hilang

166

Tapi kinerja buruk para menteri lebih mengherankanYang ini diinjak, yang itu disikutDemikianlah adanya, segalanya serba palsu

Ketika al-Makmun saling baku hantam dengan al-Amin,Kautsar—si pelayan Khalifah—ikut pula menyaksikan per-kelahian itu. Sialnya, ia terkena lontaran batu. Al-Amin segeramengusap luka di wajah kekasihnya sembari mengucap syair:

Mereka lukai pujaan hatikuKarena aku, ia tersiksaAllah mengambil belahan hatikuKarena orang lain mencelakakannya

Al-Amin tak sanggup lagi meneruskan perkataan. Ia lalumemanggil Abdullah bin Taym, seorang penyair profesionalsambil bertitah: “Katakan sesuatu untukku!” Sang penyair pundengan sigap mengungkapkan syairnya:

Aku sama dengan yang kudambaDunia merintih karena nasibnyaBersamanya hidup terasa indahBerpisah terasa pahit dan hinaDengki datang saat yang lain berkelebihanSeperti kedengkian yang berkuasa terhadap adiknya

Al-Amin pun lalu memberikan Abdullah at-Taym 3 keledaiangkut yang memikul dirham.30 Begitulah al-Amin. Ia mampuberpaling dari urusan perang dan perebutan kekuasan hanyakarena cidera yang dialami kekasihnya, Kautsar. Betapa tidak;

30 Ibid, hal, 302.

167

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

bersamanya hidup terasa indah, berjauhan terasa pahit dan hina,berpisah amat memilukan. Dalam sebuah puisinya yang lain, al-Amin pun sempat menggambarkan sosok Kautsar:

Betapa banyak pengharapan manusia dari kekasihnyaKautsar telah jadi agamaku, duniaku, laraku, pelipurkuYang paling tak kuasa dilakukan manusiaKekasih mencela terkasihnya

Wahai pemimpin umat Islam, alangkah indah dan menak-jubkan syair-syair anda. Kami akan menghargainya, andai itu tidakterkair erat dengan perilakumu yang menyimpang dan tercela olehbudaya, apalagi agama. Kami akan abadi mengenangnya, andaiitu tidak terkait dengan posisimu sebagai khalifah negara. Kebiasaanseksualmu tak sanggup lagi kami ungkapkan dengan puisi.

Akan tetapi, tampaknya al-Amin masih juga disayang Tuhan.Sebab, buku-buku sejarah tidak mencatat adanya fatwa para fuqahayang menghalalkan jiwa dan mengharamkan perilakunya. Hanyaada beberapa orang cendekiawan yang berani mengutarakanpandangannya tentang perilaku bejat al-Amin, lewat syair-syair.Itu pun terjadi setelah kematiannya. Mereka berani melakukan itusetelah mendapat kepastian tentang gaya hidup al-Makmun yangjauh berbeda dari saudaranya, al-Amin. Al-Makmun pun cenderunglebih memperhatikan jalannya pemerintahan dan pembangunannegara ketimbang bersukaria dengan pesta-fora, minuman keras,dan hasrat terhadap sesama jenis.

Tak kami tangisi pergimu? Untuk apa?Apa untuk nyanyian dan kesenangan, wahai Abu MusaAtau salat lima waktu yang sudah ditinggalkanDemi mereguk air anggurUntuk Syunaif, aku tak mencucurkan air mata

Kebenaran yang Hilang

168

Bagi Kautsar, aku tak mencemaskan binasanyaEngkau (Abu Musa) tak kunjung mampu mengurus kerajaanLalu untuk apa Arab menyerahkan taatnya31

Para cendikiawan pun menyadari bahwa al-Amin tak pantasmemimpin setelah ia wafat. Bahkan, mereka menyatakan bahwaal-Amin tidak pantas mendapat ketaatan Arab. Ungkapan iniberbeda dengan apa yang telah mereka jalani selama ini. Merekapun menyebut al-Amin tidak lagi memerhatikan salat lima waktudan larut dalam alunan musik dan segarnya minuman. Fenomenaini sungguh tidak mengherankan bagi kita. Sampai saat ini puntidak ada orang Arab yang berani mengoreksi dan membongkarborok penguasanya kecuali setelah ia berlalu. Tapi barangkali parapembaca sepakat mengatakan bahwa para penguasa kita saat inisebetulnya jauh lebih pemurah. Di antara jajaran penasihatmereka, tidak terdapat orang-orang seperti Kautsar, Syunaif,Muhaj, atau Washif. Pernyataan-pernyataan mereka pun tidakmengandung ungkapan tentang hubungan sesama jenis atauimajinasi soal perempuan penghibur. Hubungan mereka denganpara menteri pun tidak seperti hubungan para khalifah Abbasiyahdengan penasihat dan para pembantunya.

Saya mohon maaf untuk ungkapan-ungkapan yang pedasini. Akan tetapi, hal ini memang penting diungkap karenaimajinasi tentang sistem khilafah masih terus mengendap dalamtulang sumsum kita. Karena itu, kita masih perlu menambahkaninfo lainnya. Yaitu: al-Watsiq bukanlah pelopor dalam hal pe-yimpangan seksual. Ia pun mungkin hanya mengikuti arus besarzamannya. Abu al-Hayyan at-Tauhidi memberitahu kita, bahwapada masa itu terdapat 95 orang pemuda tampan yang berprofesisebagai lelaki penggilan di Irak. Salah satunya adalah pemuda

31 Ibid, hal. 301

169

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

tampan dari Mosul yang berprofesi sebagai penyanyi. “Pemuda inimengisi dunia dengan kebejatan dan perbuatan amoral. Kepadaseluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelasnya, yang muda danyang tua, ia tak segan menggoda dengan tampangnya yang rupawan.Tutur katanya melenakan. Lirikan matanya menggemaskan.Tubuhnya indah, lidahnya manis, jemarinya lentik. Ia pandaimempermainkan hati dan perasaan. Jalan yang ia tunjukkan adalahkesesatan, dan dirinya sendiri adalah malapetaka.”

At-Tauhidi juga mencatat riwayat dari Ulwan tentang seorangpemuda yang menjadi pelayan Ibnu Arsy. Ia menuturkan, tidakada seorang pun yang mampu menahan diri bila pemuda itudatang, membuka sarungnya, melepas kancing-kancing bajunya,lalu merayu semua orang: “Tawarlah aku dan bukalah diri kalian.Aku adalah anak kalian, bahkan hamba yang siap mengabdi danmelayanimu dengan penuh setia” Semua orang akan berkeringat,bergetar hatinya, bergelora hasratnya, berdebar jantungnya, danterbakar jiwanya… mereka pun amat pandai dalam memberiberbagai julukan untuk para pemuda penghibur itu. Antara lain,Fātin (yang memesona), Rāiq (yang rupawan), Nāsim (si anginsemilir), Wāshif (si pelayan), Rayhān (selasih), Jamīlah (priatampan), dan Busyrā (kabar sukacita). 32

Saya pikir apa yang sudah diutarakan di atas tidak perludiperpanjang lagi atau justru akan mengundang hujatan. Kalaukami tidak menyebutkn sumbernya, mungkin akan lebih banyaklagi pihak yang tidak percaya. Tidak ada daya dan upaya bagi sayakecuali dari Allah jua. Namun, ada baiknya bila di sini dipaparkanpula bahwa al-Amin dan khalifah-khalifah lainnya bisa jadi jugamerasa mendapat pembenaran atas segala tindak tanduk mereka

32 Ahmad Amin, Dzuhrul Islām. Beirut: Darul Kutub al-Arabi, tt. Vol. I,hal. 132. Ahmad Amin mengutip hal ini dari kitab al-Imtā‘ wal Muānasahkarya Abu al-Hayyan at-Tauhidi.

Kebenaran yang Hilang

1 70

dari para fuqaha zaman itu. Sebab kebanyakan mereka memosisikankhalifah sebagai sosok-sosok yang dipilih Allah untuk menjadiwakil-Nya di muka bumi. Mereka juga ikut menyebarkan pema-haman bahwa Allah telah menciptakan cahaya yang akan menerangisegenap persoalan agama yang masih samar bagi mereka. Jadi yangmenjadi pembimbing langsung para khalifah itu adalah Allah.

Khalifah-khalifah yang memperolah petunjuk Allah, danmendapat bimbingan ke jalan yang lurus itu, tentu akan sangatsulit dikritisi dan dibongkar aspek-aspek negatif dari perilakunya.Pemahaman-pemahaman yang dikembangkan seperti itulah yangsecara tidak langsung melegitmasi tindakan khalifah meskibertentangan dengan nilai-nilai agama. Berkat tradisi seperti itu,kesemena-menaan berubah menjadi kebiasaan pengusa, otorita-rianisme dijalankan atas nama agama. Mudah-mudahan denganini kita tersadar bahwa agama sangat suci untuk sekadar dijadikanideologi. Agama tidak perlu dipolitisasi, tetapi hanya perlu dijadikanpegangan moral dalam kehidupan bernegara dan berpolitik.

Setelah membahas al-Watsiq, kita tidak akan melangkah jauhmenuju pembahasan tentang sejarah Abbasiyah selanjutnya.Episode itu tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Lagi pulasejarah khalifah-khalifah Abbasiyah selanjutnya adalah sejarahtentang para khalifah yang tidak berpendirian dan tak mampuberpandangan jauh ke depan. Mereka tidak mempunyai apa-apauntuk diteladani.

Mungkin ada yang berprasangka bahwa usaha mencari faktakebenaran sejarah dari rujukan-rujukan induk ini hanyalah sebentukcara saya mencari-cari kesalahan orang lain dan memancing di airkeruh. Ini bukanlah tujuan, apalagi watak dasar saya. Yang inginkami lakukan tak lebih dari upaya mengungkap fakta-fakta yangtersembunyi di sejarah agar kita melek sejarah dan tidak terbiusoleh romantisme sejarah. Mudah-mudahan fakta-fakta yang sudahkita paparkan itu ikut membuka mata kita bahwa sistem khilafah

1 7 1

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

yang diagung-agunakan oleh para pemujanya itu tak lebih darisistem monarki absolut yang tidak pantas ditangisi kepergiannya.

Dari paparan kita yang panjang tentang masa Abbasiyah ini,kita dapat menyimpulkan beberapa hal.

Kesimpulan Pertama

Sistem khilafah yang kita sematkan padanya kata “Islamiyyah”,pada hakikatnya tak lebih dari sistem kekuasaan monarki absolutArab-Quraisy. Ia tidak menampilkan apa-apa dari Islam kecualinamanya. Dan seruan untuk menghidupkannya lagi, sebenarnyalebih pas disetarakan dengan ambisi nasionalisme Arab untukmempersatukan beberapa wilayah Arab, daripada ambisi untukmenegakkan negara teokratis ala Islam. Jika dasarnya itu, kitadapat menerimanya sebagai seruan politik an sich. Jika agendanyamengajak persatuan, dasarnya mestilah kepentingan semua. Danbila ajakannya berupa kampanye untuk saling melengkapi, makapijakannya haruslah prinsip-prinsip peradaban yang rasional. Danbila ia tetap ingin mengambil inspirasi dari masa lalu, hendaklahitu dilakukan lewat analisis yang cermat terhadap geografi sejarah.

Kesimpulan Kedua

Islam adalah agama-non-negara. Orang-orang yang tidak sepen-dapat dengan premis ini hendaklah menunjukkan bukti-buktisebaliknya dari argumen sejarah. Bagi kita tidak ada argumenyang lebih telak daripada sejarah. Jika mereka masih bersikerasmemperjuangkan Islam sebagai negara, hendaklah mereka mema-parkan cara-cara menegakkan negara-agama itu. Sebab bagi kita,tidak ada gagasan yang lebih rancu dibandingkan kampanye

Kebenaran yang Hilang

1 72

“Islam adalah agama dan negara, mushaf dan pedang”. Kita jugaberpendapat bahwa negara selalu menjadi beban bagi Islam,bahkan mengebiri, dan bukan justru menjadi nilai tambah bagiIslam. Kita tidak perlu menjelaskan preposisi ini lagi setelahpaparan kita yang panjang-lebar sebelumnya.

Kesimpulan Ketiga

Selalu ada perbedaan yang esensial antara manusia dengan hewan.Yang pertama selalu belajar dari pengalaman-pengalamannya. Aku-mulasi dari pengalamannya itulah yang lalu dihimpun di dalam suatuwadah yang disebut sebagai “wawasan” (al-tsaqāfah). Para penyerukhilafah benar-benar berburuk sangka kepada kita dan menganggapkita tidak mengetahui pelajaran sejarah. Itu tampak jelas, terutamatatkala mereka menyatakan bahwa “kita perlu mencoba lagi apa yangpernah kita coba dulunya!”. Seakan-akan, pengalaman selama 13abad tidak juga kunjung memadai bagi mereka. Mereka seakan-akanmemaksa kita untuk tidak lagi “berjalan di atas dua kaki” danmemaksa kita untuk “berjalan di atas empat kaki”33

Kesimpulan Keempat

Ketika kita teliti dalam membaca sejarah Islam, kita segera akanmenyadari kenyataan bahwa kehidupan masyarakat kita dewasaini jauh lebih maju daripada sebelumnya dengan ukuran apapun,bahkan pun itu dalam standar moralitas. Masyarakat kita dewasa

33 Ini adalah metafor Arab untuk membedakan antara manusia denganhewan. Manusia diandaikan berjalan di atas dua kaki, sementara hewan berjalandi atas empat kaki. Tentu tak semua hewan berjalan di atas empat kaki. Namun,sebagai metafor, ini sudah sangat populer di kalangan Arab—penerjemah.

1 73

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

ini jauh lebih maju dan lebih humanis terutama dalam aspekhubungan antara pemimpin dengan rakyatnya. Dan untuk soalitu, kita terlah berhutang banyak kepada pencapaian peradabankemanusiaan yang tidak pernah bertentangan dengan esensi agama.Kita juga telah berhutang banyak kepada kemajuan hak-hak asasimanusia yang juga tidak berlawanan dengan hak-hak Islam.

Kesimpulan Kelima

Sejarah selalu mengulang dirinya; seakan-akan tidak ada hal barudi dalam sejarah. Sungguh pun demikian, kita terkadang tidak jugakunjung mampu menangkap pesan-pesan utamanya. Tak jarang,kita masih saja lebih memfokuskan diri pada aspek-aspek yangpaling remeh dari sejarah, terutama ketika menelaahnya dari sudutpandang agama. Padahal, untuk mampu menelaah dan memetikpelajaran dari sejarah, kita seharusnya berupaya menjauhkan diridari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat kaum ekstremis.Terutama tatkala mereka mengajak kita menggunakan metode‘fotokopi’ sejarah. Karena itu, saya mengajak pembaca untuk mener-jemahkan peristiwa-peristiwa sejarah itu ke dalam ungkapan dangaya modern agar kita dapat memetik pelajarannya.

Untuk memperjelas tesis tentang sejarah yang berulang, tidakmengapa jika saya mengajak para pembaca untuk merenungkanapa yang dituliskan Ibnu al-Atsir tentang “Petaka PenganutHanbalisme di Bagdad”. Ibnu al-Atsir mengisahkan: “Kala itu—maksudnya pada tahun 323 H atau pada masa Khalifah al-Radli—tingkah laku para pengikut Hanbalisme menjadi isu besar.Kekuatan sosial mereka bertambah. Mereka gemar melakukansweeping dan pembersihan ke rumah-rumah para elit maupunrakyat jelata. Jika mereka menemukan botol anggur, mereka akanmenghancurkannya. Tatkala menemukan para penyanyi, mereka

Kebenaran yang Hilang

1 74

segera memukul dan menghancurkan alat musik mereka. Merekajuga tidak lupa mengawasi aktivitas jual beli dan memantau gerak-gerik pria dan menggandeng perempuan. Gerak-gerik anak mudadi jalanan pun tak lepas dari pantauan mereka. Kalau merekamelihat ada sesuatu yang janggal, mereka akan segera bertanyapenuh curiga: siapa dia? Mereka selalu memaksa untuk tahu. Jikatidak diberi tahu, mereka akan menggiringnya ke kantor polisi.Di sana mereka akan melaporkan tuduhan-tuduhan yang bukan-bukan tentang orang yang mereka tangkap. Kasus ini betul-betulmenggemparkan seantero Bagdad.”34

Kini tiba saatnya bagi saya untuk bertanya kepada parapembaca. Bagaimana seandainya kalau kita ganti pemandanganBagdad dengan Ashyut (salah satu provinsi di Mesir), penganutHanbalisme dengan Jama’ah Islamiyyah, dan tahun 323 H dengan1986 M? Kasus ini memang perlu direnungkan ulang. Memangperistiwa itu sudah lama terjadi, terutama tatkala kewibawaannegara sedang goncang dan pemerintah tidak mampu lagi me-mungsikan aparatur-aparaturnya. Dan pada masa itu, yang menjadiandalan kekuasaan tak lain adalah keperkasaan dan ketajamanpedang. Sementara pada masa ini, yang seharusnya bicara adalahkonstitusi, undang-undang, dan iklim demokrasi yang seutuhnya.Instrumen-instrumen ini sebetulnya tidak mengandung cela kecualikarena kenyataan bahwa ia lebih banyak tidak dijalankan.

Kesimpulan Keenam

Sesungguhnya pertumbuhan Jamaah Islamiyyah dan aliran-aliranpolitik keagamaan yang ekstrem telah begitu banyak memenga-

34 Ibnu al-Atsir, al-Kāmil fī al-Tārikh, Beirut: Darul Kitab al-Arabi. Vol.VI, hal. 248.

1 75

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

ruhi sektor pendidikan, pengajaran, dan sarana informasi masya-rakat kita. Itu berakibat pada bergantinya kegiatan olah-pikir (al-tafkīr) menjadi pengarahan (al-taujīh), menyempitnya orientasidan paradigma pendidikan, serta maraknya upaya memperla-kukan suatu versi kebenaran sebagai kebenaran yang utuh.

Apa-apa yang kita paparkan di dalam buku ini sesungguhnyatidak lebih dari upaya untuk melengkapi fakta-fakta tentangkebenaran sejarah. Tujuannya tak lain mengajak untuk melakukanperenungan. Seruan ini tentu saja agak bertentangan denganprinsip-prinsip yang dipegang oleh media massa populis: tidakmemaparkan fakta kecuali yang menyenangkan, tidak menam-pilkan ide kecuali sepihak dan sepotong-sepotong, dan tidakmengarahkan langkah masyarakat kecuali ke satu tujuan. Perananterpenting media yang berpegang pada prinsip-prinsip seperti inipada akhirnya adalah mempersiapkan mental kita untuk mene-rima ekstremisme dengan lapang dada, dan menutup akal pikirankita dari kebiasaan dialog terbuka

Kesimpulan Ketujuh

Islam sesungguhnya sedang berada di persimpangan jalan. Satujalan sedang mengarahkan kita kepada disharmoni dan konflikberdarah akibat kelalaian dan sempitnya wawasan kita. Dan diatas segalanya, ini adalah akibat dari tidak munculnya upaya-upaya pencerahan. Sementara jalan lainnya mempertemukanIslam dengan dunia modern. Jalan ini sesungguhnya sangat ramah,dan rute satu-satunya adalah upaya-upaya pencerahan, menying-kap terobosan-terobosan baru, dan memperluas cakrawalapemikiran.

Saya tidak ragu lagi mengatakan bahwa jalan kedua inilahjalan kita yang akan membawa kepada kebahagiaan. Sebab, Allah

Kebenaran yang Hilang

1 76

senantiasa mengasihi hamba-Nya dan setia menjaga agamanya.Akan tetapi, yang membuat saya kuatir ialah kita terlalu lamaberada dalam penantian, sehinga cerdik-cendekia menarik diri,dan mereka yang kompeten melarikan diri. Dengan begitu, parademagoglah yang justru akan menghela roda sejarah ke arahsebaliknya Tapi mungkin itu hanya berlangsung sekejap, karenamasyarakat tahu bahwa mereka sendirilah yang nantinya akanterkena getahnya dan menjadi pembayar ongkos mahalnya.

Kesimpulan Kedelapan

Detil-detil peristiwa dan kejadian yang kita paparkan sesungguh-nya tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting kita kembangkanadalah sebuah metode berpikir yang memungkinkan akal pikiranbekerja, menganalisis, lalu mengambil kesimpulan. Yang tidakkalah penting adalah mengembangkan keberanian untuk meng-ungkap fakta-fakta sejarah secara proporsional. Untuk soal ini,saya tidak sedang berobsesi untuk menjadi pelopor. Semua yangkita lakukan ini tak lebih karena dorongan rasa cinta kepada agamakita, kesetiaan kepada bangsa, dan pengharapan besar akan masadepan.***

1 7 7

Penutup: Lalu Apa?

Bab VPenutup: Lalu Apa?

Para pembaca tidak perlu risau jika merasa terguncangketika membaca buku ini. Terguncang demi mencapaikebenaran adalah mulia. Terguncang dengan fakta-fakta

jauh lebih baik daripada berbangga dengan kepalsuan. Namunpenyebab utama keterguncangan itu — seperti sudah kita sebutkandi awal pembicaraan buku ini —karena jiwa kita memang lebihnyaman membaca apa yang kita sukai. Mendengar apa yang hanyaingin didengarkan — terlepas dari aspek kebenaran dan faktayang didengarkan — juga menjadi bagian dari watak manusia.

Karena mengklaim suatu kebenaran, di sini saya berkewajibanuntuk menegaskan aspek kebenaran itu: Islam-negara atau Islamyang menegara (Islām al-dawlah), selalu merupakan reduksiterhadap Islam-agama (Islām al-dīn), bahkan menjadi bebanbaginya. Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah, adalahagama dan akidah, bukan hukum-hukum dan pedang.

Sementara untuk aspek fakta: manusia tetaplah manusia dalamsetiap masa; baik pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, Umayyah,Abbasiyah, maupun pada zaman modern ini. Karena itu mem-perbincangkan imajinasi tentang “firdaus dunia” adalah omongkosong yang tak berguna, kesia-siaan yang tidak membawamanfaat, dan kebohongan yang tidak berpengharapan.

Kebenaran yang Hilang

1 78

Para pembaca mungkin sudah menangkap kesan bahwaperbicangan tentang sejarah dalam buku ini justru diarahkan kemasa kini dan diproyeksikan untuk masa depan. Dalam orientasidan proyeksi itu, saya sering kali harus menahan diri tatkalaberhadapan dengan fakta-fakta yang memilukan atau kejadian-kejadian yang menyesakkan. Saya tidak tahu apakah para pembacaakan percaya kalau saya mengaku telah benar-benar menahan diriuntuk tidak terlalu menyelami beberapa detail persoalan. Itu sayalakukan untuk menghindarkan diri dari ungkapan-ungkapan yangtercela atau berlebihan-lebihan dalam mengumbar kebobrokan.

Saya berharap apa yang saya kerjakan ini berhasil membu-mikan fantasi-fantasi sejarah kita ke dalam dunia nyata agar kitatidak selalu berada di alam mimpi. Namun itu sungguh berat,karena yang kita dapat justru kenyataan pahit, tidak melegakan,bahkan tak jarang memilukan. Saya pun tidak mengklaim selalubenar dan tidak mungkin berbuat kekeliruan dalam pemaparanfakta sejarah. Yang pasti, saya tidak ingin terjebak dalam kekeliruanbanyak orang dalam menilai sejarah Islam. Terlalu banyak orangyang tidak memedulikan masa hampir seribu tahun kekuasaanUmayyah plus Abbasiyah lalu memfokuskan diri pada masa duatahun, tidak lebih dari masa pemerintahan Khalifah Umar binAbdul Aziz misalnya.

Untuk menunjukkan keunggulan sistem khilafah, merekaterkadang juga sengaja menonjol-nonjolkan fase al-Khulafa’ al-Rasyidun sebagai contoh ideal sistem khilafah. Mereka ini telahmembolak-balik fakta sejarah dan mengelabui generasi mudauntuk menghancurkan tatanan sosial kemasyarakatannya. Denganitu mereka berpikir akan dapat membalik jarum jam sejarah danmembangun sistem sosial-politik berdasarkan imanjinasi tentangkhilafah. Padahal, jika kita betul-betul merenungkan potret masaitu saja secara utuh, kita tentu akan lebih berbesar hati dan ber-syukur dengan pencapaian-pencapaian masyarakat modern.

1 79

Penutup: Lalu Apa?

Apa yang kita tuliskan ini bukanlah sebentuk celaan terhadapindividu-individu. Al-Khulafa’ al-Rasyidun — nauzubillah!Martabat meraka sudah amat tinggi sebagai para sahabat Rasulul-lah dan sebagai agamawan-agamawan agung. Namun kita memangsedang menilik mereka dari sudut pandang berbeda yaitu sudutpolitik. Karena itu standar penilaian kita didasarkan pada aspekkekuasaan. Dan dari sudut pandang dan takaran ini, mereka dapatditempatkan sebagai manusia sebagaimana kita, dan sangatmungkin untuk dikritik. Dari sudut pandang ini pula merekadapat melakukan kekeliruan-kekeliruan.

Untuk membuktikan premis ini cukuplah bagi para pembacauntuk merenungkannya bersama. Kita tersentak karena masakekuasaan al-Khulafa’ al-Rasyidun hanya berlangsung selama 30tahun. Selama masa itu, empat orang khalifah datang silih ber-ganti. Dan yang sangat menyentak, tiga di antara mereka wafatkarena terbunuh oleh tajamnya pedang atau runcingnya tombak.Yang terbunuh oleh bocah Majusi (Umar bin Khattab) sungguhsangat menyentak. Yang terbunuh di tangan rakyatnya (Usmanbin Affan) jauh lebih menyentak dan mengagetkan. Dan yangterakhir (Ali bin Abi Thalib) wafat oleh tangan Muslim ekstremisdan ini juga sangat memilukan.

Yang juga perlu diperhatikan khalifah keempat (Ali) mengha-biskan hampir seluruh masa kekuasaannya untuk memantapkankekuasaan dan mengukuhkan kepemimpinannya tanpa hasil apa-apa. Kisahnya berujung tatkala ia terkepung di Kufah sambilbemohon agar Allah mengganti rakyatnya dengan rakyat lainnyadan menghadirkan untuk mereka pemimpin yang jauh lebih burukdarinya. Dan kita lebih tertohok lagi tatkala mencermati kenyataanini: sekalipun masa kekuasaan Ali itu begitu pendek, tetapi ia mening-galkan banyak kisah tentang peperangan saudara yang luar biasa.

Bahkan kalau kita hendak jujur, fase al-Khulafa’ al-Rasyidunsendiri juga bermula dari kisah perang saudara dan berakhir

Kebenaran yang Hilang

180

dengan serentetan perang saudara. Fase ini dibuka oleh perangterhadap mereka yang dianggap murtad pada masa Abu Bakar,dan berakhir dengan serentetan perang saudara selama lima tahunera penutupnya. Dimulai dari Perang Unta antara para pemukasahabat Rasulullah sendiri, lalu Perang Shiffin antara pengikutAli melawan Muawiyah, lalu serentetan perang lainnya antaraAli dan kaum ekstremis Khawarij.

Kita juga dapat mengatakan bahwa fase Khulafa al-Rasyidinbermula dari sambutan hangat terhadap agama, baik dari khalifahmaupun rakyatnya, dan berakhir dengan penerimaan agama (hanya)oleh khalifah dan penolakannya oleh rakyat. Ini sekalan dengansemakin terbukanya mereka terhadap godaan dunia. Argumen kitauntuk soal ini adalah jumlah kekayaan para sahabat yang makinbertambah, dan semakin berbondong-bondongnya orangmengerumuni Muawiyah dan semakin ramainya orang-orang yangberpaling dari Ali. Analoginya, tatkala rakyat dihadapkan padahidangan nan lezat dari perjamuan Muawiyah dan kebenaran yangterang dari lisan Ali, maka yang dipilih adalah hidangan lezatMuawiyah dan pengabaian yang terang-terangan terhadap kebenaran.

Islam-agama tidak begitu, dan tidak semestinya begitu. Akantetapi, begitulah Islam sebagai negara dan ia beranjak seperti itu.Posisinya sama seperti posisi negara-negara agama di sepanjangsejarah umat manusia. Dan janganlah anda terpedaya denganawal kisahnya, karena yang akan dikenang mestilah ujungnya.Dan ujungnya itu akan selalu pahit. Anehnya, kita dianjurkanuntuk tidak memetik pelajaran dan pengalaman darinya. Danorang-orang yang tidak paham akan sejarah itu tidak bosan-bosannya mengajak kita untuk kembali kepada sistem khilafahdan negara agama. Intinya, kita diminta untuk membaca sejarahsembari mengulang-ulangi kekeliruannya.

Kalau di tangan para al-Khulafa’ al-Rasyidun saja terjadi ke-keliruan-keleliruan dalam penerapan negara agama, bagaimana

18 1

Penutup: Lalu Apa?

mungkin nasib kita diserahkan kepada orang-orang masa kini yangsetahu kita telah melahirkan barisan ekstremis yang tidak menim-bulkan rasa aman di lingkungan masyarakat karena aksi pembu-nuhan-pembunuhan politik yang dilakukan oleh agen-agennya?Darah orang yang tidak bersalah pun sudah ikut tercurah di tanganpara mujahid yang serampangan ini. Dalam pemilu asosiasi pelajarterakhir, mereka pun tidak segan meneriakkan slogan yang sesuaidengan pola pikir mereka: “Tegakkan Anarkisme!” Mereka tidakdapat membedakan antara agama dan aksi kriminal, dan tidakmenggunakan Islam kecuali untuk aksi kekerasan dan kutukan.Mereka tidak memandang Islam dari berbagai aspeknya yang lapangdada, tercerahkan, dan toleran, sebagaimana kita.

Dari pembacaaan terhadap bebarapa bagian buku ini, parapembaca bisa jadi mengira bahwa saya sedang memprovokasinegara untuk berhadap-hadapan langsung dengan kalanganekstremis itu, sambil berharap saya membenarkan perkiraan itu.Tidak! Yang sesungguhnya saya inginkan bukanlah menindaklangung ekstremisme dalam pemikiran. Tetapi, yang saya inginkanadalah menghadapi kekerasan dengan ciuman, pedang denganpelukan, bom dengan ungkapan-ungkapan yang menyejukkan.Saya berharap setiap orang yang menolak ekstremisme belajar darinegara-negara yang lebih maju dan matang dalam menjalankandemokrasi Dengan itu, mereka akan tahu bagaimana pengalamanIrlandia menghadapi kekerasan, Italia menghadapi terorismeBrigade Merah, dan bagaimana Jerman menghadapi terorismegerilyawan Baader Meinhof.

Intinya, bagaimana mungkin kita bisa mengabaikan aspekanalisis terhadap motif-motif mereka atau justru begitu sajamenjustifikasi tindakan-tindakan mereka, sembari bersikukuhdengan sikap yang kita anggap benar: mereka adalah musuh-musuh negara? Padahal, jika kita sedikit saja lebih menyelamimotif-motif mereka, kita akan segera tahu bahwa yang sedang

Kebenaran yang Hilang

182

mereka sasar sesungguhnya bukanlah negara an sich. Merekasedang berupaya meruntuhkan seluruh sistem sosial-politik yangsudah merupakan bagian dari hidup kita. Yang mereka usik adalahstabilitas yang ingin kita ciptakan dan tetap jaga, serta konstitusiyang kita junjung tinggi dan hormati.

Karena itu, seandainya para penyeru jihad itu masih tetapmau mendengarkan kata-kata, saya akan selalu bersedia berdialogdengan mereka. Kalau mereka masih tergolong orang-orang yangdapat menerima perbedaan pandangan, saya menyarankandilakukan debat yang santun dengan mereka. Dan bila merekahanya kalangan yang apatis, saya menyeru agar mereka diyakinkandengan argumen kinerja. Akan tetapi, tampaknya mereka tidakhanya sebatas apatis, melainkan juga sangat gemar mengafirkanorang. Mereka tidak hanya ahli berkata-kata, tetapi juga ahlimencabut nyawa. Mereka bukan lagi dapat diajak berpikir, tetapimenghalalkan darah tanpa kuatir.

Karena itu, kita tidak mempunyai jalan lain kecuali me-nuntaskan jalannya demokrasi sehingga mereka tidak merasadikekang lagi. Propaganda-propaganda mereka mau tidak mauharus diladeni dengan akal sehat, sehingga sebagian orang yanglapang dada di antara mereka dapat berpaling. Dan tidak adawaktu lagi untuk tidak menegakkan supremasi hukum gunamencegah kekerasan dan mengisolasi dan menghambat kerjamereka di dalam masyarakat. Mereka pun harus dijauhkan darikalangan yang moderat di dalam aliran Islam-politik. Sebab, dikalangan ini masih terdapat ustad-ustad terpandang dan ulama-ulama yang terhormat. Mereka-mereka itu ahli dalam komunikasimassa, membekali diri dengan ilmu dan fikih, serta masih mampubertoleransi dan menghargai orang lain. Mereka-mereka ini —walau berbeda pandangan dengan kita — senantiasa mendoakanagar kita mendapat petunjuk, dan kita pun mendoakan merekadengan doa yang serupa. Mereka tidak gemar memvonis orang

183

Penutup: Lalu Apa?

lain kafir, dan karena itu, tak sebesar biji zarah pun penghormatankita berkurang terhadap mereka.

Mereka memang meyakini Islam sebagai agama dan negara,dan itu hak mereka. Tapi kita mencermati dan meyakini Islamhanya sebagai agama, dan itu hak kita. Sebagian dari mereka masihpercaya terhadap mekanisme dan prosedur politik yang legal. Danuntuk itu, mereka berhak mendapat sokongan kita denganmeneriakkan perlunya menyediakan saluran yang legal pula untukaspirasi mereka. Mereka-mereka ini, pada hakikatnya berada dalamsatu parit bersama kita. Cukup dengan mengambil posisi demi-kian, para teroris pun sudah bersikap keras, menyalak lebihlantang, dan lebih rutin melaknat mereka. Karena itu, jika adaketulusan niat, di antara kita dan mereka akan tercapai semacamkonsensus. Kita akan berpapasan jalan, misalnya, dalam me-mandang perlunya pencerahan pemikiran dan modernisasi carapandang dalam melihat perubahan-perubahan dunia modern.Kita sama-sama yakin akan perlunya meneladani Umar dalamijtihadnya; pentingnya kesatuan negara, dan bersikap adil ter-hadap konstitusi dan perundang-undangan kita.

Dengan penuh kesadaran pun, kita meyakini bahwa de-mokrasi akan memberi ruang yang sama bagi kita dan bagi mereka.Kita juga percaya, masa depan adalah kepunyaan kita bersama,tanpa mengingkari keberadaan mereka. Kita pun yakin bahwaeksistensi Mesir sangat berharga hanya untuk direcoki olehhiperbolisme agama dalam aspek simbol, bukan esensi; tampilanluar, bukan inti. Kita juga percaya bahwa Islam yang benarbersifat progresif dan akan selalu menjamin kepentingan umum.Islam mengejar kereta peradaban dan memperbanyak penge-tahuan. Kita juga tidak pernah ragu bahwa ruang privat agamalebih luas dan lebih lapang daripada ruang publiknya. Karenaitu, memaksakan pendapat terhadap orang lain adalah tidak sah.Kita juga meyakini bahwa legislasi hukum diperuntukkan bagi

Kebenaran yang Hilang

184

kemaslahatan manusia, sementara prinsip-prinsip dan dasar-dasarkeyakinan dan legislasi adalah hak Allah.

Kita juga percaya, Islam lebih memperhatikan aspek tujuandi atas cara. Kita juga sangat yakin, masa-masa awal Islam tidakakan pernah berulang dan kita pun tidak perlu pergi menjemput-nya lagi. Kedua-duanya adalah mustahil. Kita juga meyakinibahwa aktivitas berpikir (at-tafkīr) jauh lebih penting dari mem-vonis kafir. Akal lebih utama daripada naqal. Toleransi meliputisemua. Hari perhitungan pasti akan datang di akhirat kelak, bukandi dunia kini. Islam juga tidak mengakui sistem hierarkis ke-pendetaan atau kekuasaan kaum agamawan. Islam juga tidakmemberi label suci dan tanpa bercela kepada siapapun, dan karenaitu tidak ada yang tabu untuk dikritik. Tak ada orang yang tidaktercela selain Rasul. Tidak ada yang suci melainkan Allah. Islamtidak punya baju-baju. Ia juga tidak punya gelar-gelar. Tidak adayang boleh mendakwakan diri sebagai pelindung agama. Setiapkita umat Islam dan setiap kita adalah para penjaga Islam.

Setiap kita pun penjaga keutuhan negara. Setiap kita men-cintai Ibu Pertiwi dan siap berkorban untuknya, baik Muslimmaupun (Kristen) Koptik. Kita bukanlah para penakluk umatKoptik, dan mereka bukanlah tawanan perang kita. Setiap kitaadalah warga negara yang sama Kita bukan mayoritas, mereka punbukan minoritas. Setiap kita adalah orang Mesir. Kita bukanpenguasa, dan mereka bukanlah rakyat jelata. Semua kita penguasasekaligus rakyat jelata. Semua kita sangat bergantung pada tanahair ini dan setiap kita harus sanggup membelanya. Lebih dari itu,setiap kita siap mempertahankan persatuan dan kesatuan berbangsa.

Saya sadar betul bahwa pembicaraan ini telah begitu panjang.Dan saya pun kuatir para pembaca sudah terlalu kenyang dibuat-nya. Karena itu, ada baiknya bila saya meringkaskan uraian danmengemukakan maksud utama penolakan saya terhadap pencam-puradukan antara politik dan agama dan bersikukuh tentang

185

Penutup: Lalu Apa?

pentingnya pemisahan keduanya. Argumen-argumen saya adalahsebagai berikut:

Pertama, setiap orang yang membuat klaim harus membuk-tikan kebenaran klaimnya. Klaim kita atas keniscayaan sekularismesudah sangat jelas dan begitu tegas. Karena itu, yang mengklaimsebaliknya haruslah menjelaskan kepada kita bagaimanamewujudkan klaimnya itu (pentingnya pertautan antara agamadan negara). Untuk itu, mengajukan agenda-agenda politik yangmenyeluruh dan terukur tidak bisa dielakkan. Menurut penilaiankami, itu akan sangat sulit mereka ajukan karena sebab-sebabyang sangat mudah kita perkirakan. Dan kita sudah memaparkan-nya di sepanjang buku ini.

Kedua, kita menyambut logika salah-benar dalam perdebatanpolitik dengan tangan terbuka. Sebab politik adalah perkara yangselalu dapat diperdebatakan. Kebenaran dan kekeliruan dalamdunia politik bersifat nisbi. Namun kita menolak perdebatanpolitik dengan logika halal-haram di mana aspek kebenaran dankekeliruan dimutlakkan. Logika seperti ini akan membuatperbedaan pendapat berlangsung secara tidak sehat karena selaludikunci dengan vonis-vonis tidak bertanggungjawab. Permu-fakatan dan titik temu juga akan sulit terjadi, karena tak jarangsesuatu dianggap halal sekalipun menyalahi logika, bahkanmerancukan kehalalan itu sendiri.

Betapa banyak hasil ijtihad politik yang diterapkan secarakeliru dan tidak pada tempatnya, tetapi ia tetap didukung pe-nguasa dan dibela oleh para penjaga akidah. Pengalaman PresidenSudan, Ja’far an-Numeiry, yang berambisi mendirikan negaraagama masih segar dalam ingatan kita. Doa restu yang bertubi-tubi untuk an-Numeiry dari para ulama kita yang terhormatmasih juga tinggal dalam ingatan kita. Namun, kritik pedas danvonis kafir pun — setelah an-Numeiry turun dari kekuasaannya— masih terbayang di pelupuk mata kita. Karena itu, mungkin

Kebenaran yang Hilang

186

kita pantas bertanya tanpa bermaksud menyinggung siapapun:apakah tindakan mereka itu hanya tipu daya sehingga tidak perludipercaya, atau hanya kealpaan belaka sehingga mereka tak pantasterus dipuja? Ataukah itu bagian dari watak manusia yang mung-kin saja salah, sehingga kita perlu memaafkan mereka?

Kasus yang mirip juga mereka tunjukkan terhadap mantanPresiden Mesir, Anwar Sadat, tatkala ia menandatangani kesepa-katan damai dengan Isreal. Mereka yang menyanjung-nyanjungnyadengan kutipan al-Quran dan hadis pada masa awal Sadat meme-rintah, justru yang kemudian mencampakkannya hina-dina denganal-Quran dan hadis pula. Mereka-mereka itu lalu meninggalkankita dalam kebingungan, atau lebih tepatnya, kepungan rasa herandan tanda tanya. Kita tidak perlu jauh-jauh lagi membuktikanbentuk-bentuk hipokrisi itu lagi. Di hadapan kita kini sedang terjadiperdebatan sengit di antara dua kubu tentang sikap Imam Kho-meini terhadap inisiatif perdamaian Irak. Sebagian mereka meng-anggap Khomeini kafir, sementara yang lain memperlakukannyaseperti orang suci. Sementara kita rakyat jelata — yang terheran-heran dan tertawan — hanya bisa bertepuk tangan saat menyaksikanperdebatan itu. Pada akhirnya, yang kita saksikan bukan lagi perde-batan antara ide beradu ide; bukan antara kebijakan yang benardan keliru, tetapi antara kekafiran dan keimaman. Inilah jenis dialogyang harus kita tolak. Dialog seperti ini tidak akan pernah dapatmemengaruhi keyakinan yang sudah tertanam dalam sanubari kita,tidak pula akan menambahkan iman ke dalam lubuk hati kita.

Ketiga, sesungguhnya fakta-fakta sejarah yang sudah kitapaparkan di buku ini sudah lebih dari cukup untuk membukti-kan keniscayaan pemisahan dan bahayanya pertautan antaraagama dan politik. Fakta-fakta itu juga dapat menunjukkan beta-pa janggalnya seruan-seruan untuk mengembalikan sistem khila-fah.

187

Penutup: Lalu Apa?

Keempat, jika kita tinggalkan fakta-fakta sejarah dan langsungmenukik ke aspek praktik negara yang mengusung slogan Islamdan mengklaim berhukum dengannya, kita justru mendapatkanbukti lain lagi tentang pentingnya pemisahan antara agama dannegara sekaligus menjadi argumen bahayanya menautkan antarakeduanya. Kita sangat ingin mendengarkan praktik-praktik yangsudah ada dijadikan senjata pendukung argumen oleh parapropagandis negara agama. Dengan begitu, kita dapat denganmudah membalikkan argumen mereka menjadi senjata kita.Namun kita tahu pasti bahwa mereka niscaya tidak akan melaku-kan itu karena alasan-alasan yang sudah kita maklumi.

Kelima, argumen terakhir dan yang terpenting. Pemisahanitu justru jalan satu-satunya untuk menjaga keutuhan nasional,dan pertautan justru menjadi jalan tercepat untuk meruntuhkansendi-sendi persatuan. Berbagai kutipan sejarah tentang toleransidan kelapangan dada umat Islam dalam memperlakukan Ahl al-Zimmah1 tidak akan dapat membantah ini, karena kita pun dapatmenindihnya dengan bukti-bukti sebaliknya yang lebih banyaklagi. Bukti-bukti itu, kalau dipaparkan di sini, justru akan mem-buat badan kita bergetar.

Kita percaya, Islam memang telah menunjukkan toleransiyang tinggi dalam memperlakuan Ahli Kitab,2 bahkan terhadaporang kafir. Tapi dalam kenyataannya, al-Qur’an tidak menafsir-kan diri sendiri untuk memerinci ketentuan-ketentuannya. Islampun tidak terterapkan dengan sendirinya. Semua itu terjadi melalui

1 Ahl al-Zimmah adalah sebutan untuk non-Muslim yang hidup dibawah kekuasaan Islam di Abad Pertengahan, dengan perlakuan-perlakuankhusus, di antaranya kewajiban membayar jizyah atau pajak proteksi diri. –penerj.

2 Catatan penerjemah: Ahli Kitab secara kebahasaan berarti “penerimakitab suci”. Istilah ini secara khas menjadi nomenklatur Islam untuk menyebutpenganut agama-agama yang berkitab suci seperti Yudaisme dan Kristen

Kebenaran yang Hilang

188

proses agensi atau perantaraan umat Islamnya. Dan betapa banyakkejadian buruk yang telah diperbuat umat Islam terhadap Islam.Kita tidak berkepentingan untuk membuka borok, memicu kon-flik, atau memunculkan polemik soal ini. Yang kita inginkanadalah pengukuhan aspek-aspek yang positif dari Islam, meng-himpun yang terserak, dan merapatkan barisan.

Ya Tuhan..!Alangkah keruhnya situasai dan betapa pentingnya memulih-

kan situasi. Para pembaca, izinkan saya untuk menutup perbin-cangan ini dengan sebuah kisah yang saban kali mengingatnyaair mata saya bercucuran dan nurani saya terkoyak. Kisah ini baruberlangsung beberapa tahun lalu, tepatnya pada hari pemakamanjezanah Yusuf Wahbah, yang dibunuh oleh Aryan Sa’ad. AryanSa’ad adalah seorang penganut Kristen Koptik Mesir yang denganinisiatif sendiri melakukan aksi pembunuhan terhadap PerdanaMenteri Mesir yang juga penganut Koptik itu. Wahbah memangmenjabat posisinya di tengah penolakan yang luas dari warganegara Mesir yang Muslim.

Konon, Aryan sengaja melakukan aksi kriminal itu agarWahbah tidak justru terbunuh di tangan Muslim sehingga me-munculkan konflik sosial di tengah masyarakat. Tatkala loncenggereja berdentang untuk menghormati jezanah Yusuf Wahbah,tiba-tiba dari sebelahnya terdengar lolongan azan yang begitulantang. Kontan, semua hadirin langsung terisak dan bercucuranair mata. Semua yang hadir menyesalkan babak terakhir upacarapenghormatan terhadap Yusuf Wahbah.

Kita pantas pantas bercucuran air mata bersama mereka. Kitajuga pantas terluka karena hilangnya salah seorang simbol pentingtoleransi Mesir dari seorang Koptik yang sedang kita lepas pergi.Kita meratapi warisan kearifan yang sudah beranjak hilang;meratapi sejarah keagungan Islam yang sudah kita lupakan.

189

Penutup: Lalu Apa?

Aku bersumpah untuk Aryan: azan dan lonceng akan selaluberpelukan di tanah air ini. Semuanya menjadi hamba Allah yangsetara Setiap orang mencintai Ibu Pertiwinya. Aryan, Mesir akantetap utuh sebagaimana engkau dan kami inginkan; terjauhkandari perpecahan, terhindar dari malapetaka; tak kami biarkanterbelah.

Wahai orang-orang Mesir yang masih sehat jiwanya, apakahkita masih dapat beriringan jalan?***

Kebenaran yang Hilang

190

19 1

Penutup: Lalu Apa?

Daftar Pustaka

Aqqad, Abbas Mahmud, al-Majmū‘ah al-Kāmilah li Muallafāt al-Aqqad,Jilid II, Beirut: Dar al-Kutub al-Libanani.

Amin, Ahmad, Duha al-Islām, Jilid I & III, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1984.

Amin, Ahmad, §uhr al-Islām, Vol. I, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, t.t.al-Daynuri, al-Akhbār al- iwāl, Beirut: Dar al-Masirah.Hasan, Ali Ibrahim, al-Tārīkh al-Islāmi al-‘²m, Kairo: Maktabah al-Nahdhah

al-Mishriyyah, t.t.Husein, Thaha, al-A‘māl al-Kāmilah lī āhā useīn, Vol. IV, Beirut: Dar al-

Kutub al-Libnani, t.t.Ibn al-Atsir, al-Kāmil fī al-Tārīkh, Jilid IV & V, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi,

t.t.Ibn Katsir, al-Bidāyah wa al-Ni āyah, Vol. IV & VII, Beirut: Dar al-Kutub

al-‘Ilmiyah, t.t.Ibn Sa‘ad, al- abaqāt al-Kubrā, Vol. III, Beirut: Dar al-Shadir, t.t.al-Mas‘udi, Murūj al-Dzahab, Juz IV, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.al-Namir, Abdul Mun’im, al-Ijtihād, Kairo: Dar al-Syuruq, t.t.Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.al-Suyuthi, Tārīkh al-Khulafā’, t.p., t.t.Syaltut, Muhammad, al-Islām Aqīdah wa Syarī’ah, Kairo: Dar al-Syuruq, t.t.al-Syahrastani, al-Milal wa al-Ni al, Vol. I, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.al-Thabari, Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk, Jilid XVI, t.t.al-Thabari, Tārīkh al- abari, Juz III & IV, Beirut: Muassasah al-I’lam li al-

Mathbu’ah, t.t.al-Ya’qubi, Tārīkh al-Ya’qūbi, Jilid II, Beirut: Dar al-Shadir, t.t.

.

Kebenaran yang Hilang

192

.

xxiii

Kata Pengantar Edisi Terjemahan