40
HUKUM PERKAWINAN ADAT 1 Pertemuan ke 9

09 hukum perkawinan adat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 09 hukum perkawinan adat

HUKUM PERKAWINAN ADAT 1

Pertemuan ke 9

Page 2: 09 hukum perkawinan adat

Makna Perkawinan Menurut Hukum Adat, perkawinan bisa merupakan

urusan pribadi, namun lebih sering merupakan urusan kerabat, keluarga, atau persekutuan. Semuanya tergantung pada tata susunan masyarakat yang bersangkutan.

Bagi kelompok masyarakat yang menyatakan diri sebagai kesatuan atau persekutuan hukum, perkawinan adalah: sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib, teratur, dan sekaligus sarana yang dapat melahirkan generasi baru yang berfungsi untuk meneruskan garis hidup kelompoknya.

Page 3: 09 hukum perkawinan adat

Dalam pandangan masyarakat adat, perkawinan memiliki tujuan untuk membangun dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

Dikarenakan nilai-nilai hidup yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut dan juga menyangkut kehormatan keluarga dan kerabat bersangkutan dalam pergaulan masyarakat maka proses pelaksanaan perkawinan diatur dengan tata tertib adat, agar terhindar dari pelanggaran yang dapat menjatuhkan martabat keluarga dan kerabat yang bersangkutan.

Page 4: 09 hukum perkawinan adat

Pada masyarakat adat, masalah perkawinan lebih banyak merupakan suatu ritus yang bersifat religius-magis.

A Van Gennep (seorang sosiolog Prancis), menamakan semua upacara perkawinan sebagai rites de passage (upacara peralihan), yakni upacara peralihan yang melambangkan peralihan status dari masing-masing mempelai yang tadinya hidup sendiri-sendiri secara terpisah menjadi hidup bersatu sebagai suami-istri, somah sendiri; suatu keluarga yang baru berdiri dan mereka bina sendiri.

Page 5: 09 hukum perkawinan adat

Menurut van Gennep, rites de passage terdiri atas tiga tingkatan:

i. Rites de sparation (upacara perpisahan dari status semula)

ii. Rites de marge (upacara perpisahan dari status yang baru)

iii.Rites de anggreegation (suatu upacara penerimaan dalam status yang baru).

Page 6: 09 hukum perkawinan adat

Prof. Hazairin dalam bukunya yang bertitel Rejang menyatakan: upacara perkawinan merupakan tiga buah rentetan perbuatan magis yang bertujuan untuk: (i) menjamin ketenangan, (ii) menjamin kebahagiaan, dan (iii) menjamin kesuburan.

Page 7: 09 hukum perkawinan adat

Sistem PerkawinanSistem perkawinan yang berlaku dalam masyarakat:i Endogamiii Eksogamiiii Eleutherogami

Page 8: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan Endogami

Sistem perkawinan di mana seorang laki-laki harus mencari calon istri di dalam lingkungan kerabat (suku, clan, family) sendiri.Ex: Tanah Toraja (Sulawesi Tengah) dan masyarakat Kasta di Bali.

Page 9: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan Exsogami

Sistem perkawinan di mana seorang laki-laki dilarang mengawini perempuan yang se-marga dan diharuskan mencarai calon istri di luar marganya sendiri.Ex: Tapanuli Selatan, Minangkabau, Sumatra

Selatan, Lampung, dan Maluku. Saat ini, sistem perkawinan seperti ini (endogami dan exsogami) telah luntur dan salah satunya akibat masuknya ajaran Islam ke daerah-daerah tersebut.

Page 10: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan Eleutherogami Sistem perkawinan yang tidak mengenal larangan

ataupun keharusan seperti yang terdapat dalam sistem perkawinan endogami dan eksogami.

Larngan yang ada adalam sistem perkawinan eleutherogami adalah larangan-larangan yang berhubungan dengan ikatan-ikatan kekeluargaan, yakni: (i) Nasab (ibu, nenek, anak kandung, cucu, saudara kandung, saudara bapak, dan saudara ibu), (ii) Musyaharoh (ibu tiri, anak tiri, dan saudara perempuan istri). …

: Nasab

Page 11: 09 hukum perkawinan adat

Bentuk-Bentuk PerkawinanBentuk perkawinan berdasar persiapan ke arah pelaksanaan perkawinan:1. Perkawinan Pinang2. Perkawinan Lari Bersama3. Perkawinan Bawa – LariBentuk perkawinan berdasar atas tata susunan kekerabatan1. Perkawinan pada masyarakat patrilineal2. Perkawinan pada masyarakat matrilineal3. Perkawinan pada masyarakat parental

Page 12: 09 hukum perkawinan adat

Bentuk perkawinan berdasar persiapan ke arah pelaksanaan perkawinan1. Perkawinan Pinang

Perkawinan pinang adalah bentuk perkawinan yang dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar.

Peminangan pada umumnya datang dari pihak laki-laki yang berupa ajakan kepada pihak perempuan untuk menjalin ikatan perkawinan.

Peminangan / pertunangan baru mengikat jika pihak laki-laki telah memberikan sesuatu tanda kepada pihak perempuan yang disebut Panjer (Jawa), Penyancang (Pasundan), Tandan Kong Narit (Aceh), Bono Nibu (Nias), Pujompo (Toraja), dan Paweweh (Bali).

Page 13: 09 hukum perkawinan adat

Dasar / Alasan Pertunangan

Ingin menjamin bahwa yang dikehendaki itu dapat dilangsungkan dalam waktu dekat;

Untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak;

Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal sihingga mereka kelak sebagi suami istri dapat diharapkan menjadi pasangan yang harmonis.

Page 14: 09 hukum perkawinan adat

Akibat Hukum Pertunangan

Kedua belah pihak telah terikat untuk melansungkan perkawinan, meskipun sifatnya bukan suatu keharusan.___________

Akan tetapi, jika di kemudian hari ternyata tidak ada kecocokan maka salah satu pihak atau keduanya bisa membatalkan ikatan pertunangan.

Page 15: 09 hukum perkawinan adat

Pembatalan Pertunangan

Apabila pertunangan itu diputuskan oleh pihak perempuan maka pihak perempuan itu harus memberikan ulos-ulos (bukan berupa uang) kepada pihak laki-laki sebagai ganti Panjer (Keputusan MA / 06 / 06 / 1959. No. 46 k/Sip/1958)

Apabila ikatan pertunangan itu diputuskan oleh pihak laki-laki maka pihak laki-laki tidak berhak menuntut kembali uang tunangan (Keputusan MA/ 07 / 02 / 1959, no. 396/Sip/1958). …

Page 16: 09 hukum perkawinan adat

2. Perkawinan Lari Bersama

Perkawinan di mana kedua belah pihak (calon suami-istri) secara bersama-sama dan atas persetujuan bersama melarikan diri ke suatu tempat untuk melangsungkan perkawinan.

Tujuannnya:Untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara pelamaran atau peminangan ataupun untuk menghindarkan diri dari berbagai rintangan dari pihak orang tua atau sanak saudara.

Page 17: 09 hukum perkawinan adat

Dengan perkawinan lari bersama maka pembayaran perkawinan sering kali menjadi berkurang

Di Bali dan Lampung, jujur masih harus dibayar tinggi atau bahkan lenih tinggi.

Di Sulawesi Selatan, perkawinan lari bersama dianggap sebagai delik adat sehingga perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah tercapai perdamaian antara kedua belah pihak.

Page 18: 09 hukum perkawinan adat

3. Perkawinan Bawa - Lari

Lari dengan seorang perempuan yang sudah dipertunangkan atau sudah dikawinkan dengan laki-laki lain (terdapat di Kalimantan), atau

Melarikan seorang perempuan secara paksa (terdapat di Lampung).

Perkawinan bawa lari seringkali menimbulkan perlawanan hebat dari kelompok kerabat perempuan sehingga dalam masyarakat Bugis-Makasar, kerabat perempuan berhak membunuh laki-laki yang membawa lari perempuan.

Page 19: 09 hukum perkawinan adat

Bentuk perkawinan berdasar atas tata susunan kekerabatan Perkawinan pada masyarakat patrilineal1. Perkawinan jujur2. Perkawinan mengabdi3. Perkawinan mengganti/levirat4. Perkawinan meneruskan/sorotan5. Perkawinan bertukar6. Perkawinan ambil anak

Page 20: 09 hukum perkawinan adat

1. Perkawinan Jujur Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan

pemberian jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

Pemberian jujur ini merupakan lambang dari diputuskannya hubungan kekeluargaan istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya, saudara kandungnya, kerabatnya, dan persekutuannya.

Sebagai konsekuensinya: anak-anak yang (akan) lahir nantinya akan menarik garis keturunan pihak ayah dan akan menjadi anggota dari masyarakat hukum adat di mana ayahnya juga menjadi anggotanya.

Page 21: 09 hukum perkawinan adat

2. Perkawinan Mengabdi

Suatu bentuk perkawinan yang disebabkan oleh karena pihak laki-laki tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh pihak perempuan.

Dalam perkawinan mengabdi, seorang suami harus mengabdi kepada kerabat mertuanya hingga dia mampu membayar jujur yang dipersyaratkan oleh pihak perempuan.

Page 22: 09 hukum perkawinan adat

3. Perkawinan Mengganti/Levirat Suatu bentuk perkawinan di mana seorang janda

kawin dengan saudara laki-laki almarhum suaminya. Bentuk perkawinan seperti ini terjadi akibat adanya

anggapan bahwa perempuan telah dibeli oleh pihak suami.

Perkawinan jenis ini memeiliki banyak nama. Di Batak disebut Pereakhon; di Palembang dan Bengkulu disebut Ganti Tikar; di Lampung disebut Nyemalang, dan di Jawa disebut Turun Ranjang.

Page 23: 09 hukum perkawinan adat

4. Perkawinan Meneruskan/Sorotan

Suatu bentuk perkawinan di mana seorang duda kawin dengan saudara perempuan almarhum istrinya.

Perkawinan ini bisa dilangsungkan tanpa membayar jujur tambahan karena istri kedua hanya berfungsi meneruskan istri pertama.

Perkawinan jenis ini bertujuan untuk memelihara hubungan kekeluargaan agar tetap terjalin dengan baik; kehidupan anak-anak yang lahir dari istri pertama tetap terpelihara, serta untuk menjaga harta kekayaan.

Di Jawa, perkawinan jenis ini disebut Ngarag Wulu.

Page 24: 09 hukum perkawinan adat

5. Perkawinan Bertukar

Suatu bentuk perkawinan di mana perkawinan timbal balik (synetrio connubium) diperbolehkan sehingga pembayaran jujur yang terhutang secara timbal balik seakan-akan dikompensasikan (jujur timbal balik diperhitungkan satu dengan yang lain sehingga menjadi hapus/lunas).

Page 25: 09 hukum perkawinan adat

6. Perkawinan Ambil Anak

Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan tanpa pembayaran jujur dengan maksud untuk mengambil sang suami sebagai anak laki-laki mereka sehingga si istri akan berkedudukan tetap sebagai anggota clan-nya.

Anak-anak yang (akan) lahir dari hubungan perkawinan itu akan menarik garis keturunan melalui garis keturunan ayahnya.

Page 26: 09 hukum perkawinan adat

Salah satu alasan dilakukannya perkawinan ambil anak adalah karena keluarga tidak memiliki anak laki-laki.

Tidak adanya anak laki-laki akan mengakibatkan punahnya hubungan patrilineal (Lampung: semenda).

Hubungan kekeluargaan antara suami dengan keluarganya sendiri menjadi putus dan si suami masuk menjadi anggota keluarga si istri.

Dalam kegiatan adat, si istri mempunyai peranan sebagai kepala keluarga yang diwakilkan kepada suaminya.

Page 27: 09 hukum perkawinan adat

Bentuk-Bentuk Perkawinan Ambil Anak Perkawinan Ambil Anak Perkawinan Tegak-Tegi Perkawinan Jeng Mirul Perkawinan Meminjam Jago

Page 28: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan Ambil Anak

Suatu bentuk perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan anak pejabat di mana si laki-laki diadopsi terlebih dahulu oleh kerabat calon mempelai perempuan.

Tujuannya: agar menantu laki-laki yang sudah diadopsi itu dapat meneruskan kebesaran dan dapat menerima warisan (sebagai anak laki-lakinya).

Page 29: 09 hukum perkawinan adat

Di daerah Lampung: seorang pejabat kebesaran adat yang dari istri tuanya (bini ratu) hanya memiliki anak perempuan maka untuk dapat mempertahankan kebesarannya dalam lingkungan kerabatnya dia akan melakukan perkawinan ambil anak.

Sang suami akan dijadikan sebagai anak angkat yang kedudukanya sama dengan istrinya.

Perkawinan ini disebut sebagai Semendo tambi Anak.

Page 30: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan Tegak Tegi

Suatu bentuk perkawinan antara anak laki-laki saudaranya (kemenakannya yang laki-laki) dengan anak perempuannya.

Tujuannya: menantu laki-laki yang telah menjadi anak laki-lakinya dapat memperoleh warisan yang kelak akan diteruskan kepada cucu-cucunya.

Page 31: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan Jeng Mirul

Suatu bentuk perkawinan yang menyebabkan si suami benar-benar beralih ke kerabat istrinya karena dijadikan anak angkat.

Dalam perkawinan model ini, suami menjadi wakil mutlak bagi anak-anaknya yang akan lahir yang tugasnya adalah mengawasi harta peninggalan untuk kepentingan istri dan anak-anaknya.

Page 32: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan Meminjam Jago

Suatu bentuk perkawinan yang terjadi apabila si suami tidak beralih ke dalam kerabat istrinya.

Di situ, si suami ditoleransi / diberi sarana untuk menyambung keturunan dan dia berkedudukan sebagai orang yang menumpang.

Anak-anak yang dilahirkan masuk clan ibu.

Page 33: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan pada masyarakat matrilineal Suatu bentuk perkawinan di mana si istri tetap

tinggal dalam clan atau golongan familinya (keluarganya).

Di sini, Istri tidak masuk dalam kerabat atau golongan si suami, melainkan tetap tinggal dalam clan-nya sendiri.

Seorang suami diperkenankan bergaul dalam lingkungan kerabat si istri sebagai urang semendo (ipar).

Anak-anak yang lahir dalam perkawinan ini akan masuk ke dalam clan ibunya.

Page 34: 09 hukum perkawinan adat

Dalam perkawinan matrilineal berlaku ketentuan hukum exogami dalam perkawinan, yakni kewajiban seorang laki-laki dari suatu clan untuk mengambil perempuan dari clan lainnya.

Perkawinan “cross-cousin”, di mana antara dua orang saudara yang berbeda sex (laki-laki dan perempuan) diizinkan/diperbolehkan berbesanan satu dengan yang lain.

Perkawinan “pararel-cousin”, di mana antara dua orang saudara yang berkelamin sama (laki-laki semua atau perempuan semua) tidak diperbolehkan berbesanan.

Page 35: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan pada Masyarakat Parental Dalam perkawinan pada masyarakat parental,

pihak suami maupun pihak istri masing-masing menjadi anggota kerabat dari kedua belah pihak.

Dengan demikian, setelah terjadi perkawinan maka si suami menjadi anggota keluarga istrinya, dan begitu juga si istri menjadi anggota keluarga suaminya.

Anak-anak yang kelak dilahirkan juga menjadi anggota kekerabatan keluarga suami dan sekaligus keluarga istri.

Page 36: 09 hukum perkawinan adat

Dalam susunan keluarga parental juga terdapat kebiasaan pemberian-pemberian dari pihak suami kepada pihak istri.

Pemberian tersebut pada dasarnya merupakan pemberian perkawinan saja.

Pemberian ini pada masyarakat Aceh disebut jinamee, - Pada masyarakat Jawa disebut Tukon;- Di Sulawesi Selatan disebut Surang/Sompa;- Pada suku Dayak disebut Pekain.

Page 37: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan Anak-Anak

Hukum Adat tidak melarang perkawinan antara-antara laki-laki dan perempuan yang masih kanak-kanak.

Akan tetapi, di beberapa daerah, seperti daerah Kerinci (Jambi), di Roti (Nusa Tenggara Timur), dan di Toraja (Sulawesi Tengah), perkwainan anak-anak tidaklah diperbolehkan.

Di Pulau Bali, perkawinan gadis yang belum dewasa dianggap sebagai suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman.

Page 38: 09 hukum perkawinan adat

Jika terjadi perkawinan pada kanak-kanak maka kehidupan bersama antara keduanya sebagai pasangan suami istri ditangguhkan hingga mereka mencapai umur.

Perkawinan anak-anak pada masyarakat adat sering disebut Kawin Gantung (Jawa: Gantung Nikah).

Jika kedua mempelai sudah mencapai umur maka Kawin Gantung ini akan disusuli dengan Perkawinan Adat.

Page 39: 09 hukum perkawinan adat

Alasan/Sebab-Sebab Terjadinya Perkawinan Anak-Anak Untuk merealisasikan hubungan

kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan.

Oleh karena alasan itu juga, terkadang anak-anak yang masih dalam kandungan telah dijanjikan kelak akan dikawinkan dengan anak dari suatu keluarga tertentu karena ikatan kekeluargaan tersebut dinilai akan membawa keuntungan-keuntungan bagi kedua belah pihak.

Page 40: 09 hukum perkawinan adat

Perkawinan anak-anak pada umumnya merupakan kehendak orang tuanya, bukan kehendak kedua mempelai sehingga tidak jarang perkawinan itu berakhir dengan perceraian.