79
I DISCLAIMER Indigenous Peoples Law Review adalah jurnal ilmiah berkala tahunan yang diterbitkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Jurnal ini diterbitkan setiap bulan mulai Maret setiap tahunnya dalam bentuk jurnal elektronik (E-Journal). Penerbitan Indigenous Peoples Law Review ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi peneliti/komunitas hukum di Indonesia untuk mempublikasi tulisan, artikel dan hasil penelitian dalam menyampaikan gagasan-gagasan pemikiran seputar isu hukum dalam masyarakat adat. Substansi isi tulisan dalam jurnal ini sepenuhnya merupakan pandangan independen dari masing-masing penulis dan tidak mempersentasikan pandangan dan pendapat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris, dengan format penulisan disesuaikan dengan pedoman penulisan yang dilampirkan dalam bagian akhir jurnal ini. Alamat Redaksi: Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu Jl. Merapi No. 01 RT/RW 04/02 Kelurahan Panorama Kecamatan Singaran Pati Bengkulu Telp. 0736-341942 / +628-1215-496-418 Email: [email protected]

Indigenous peoples law review

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Indigenous peoples law review

I

DISCLAIMERDISCLAIMER

Indigenous Peoples Law Review adalah jurnal ilmiah berkala tahunan yang diterbitkan

oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Jurnal ini diterbitkan setiap

bulan mulai Maret setiap tahunnya dalam bentuk jurnal elektronik (E-Journal).

Penerbitan Indigenous Peoples Law Review ini dimaksudkan untuk memberikan ruang

bagi peneliti/komunitas hukum di Indonesia untuk mempublikasi tulisan, artikel dan hasil

penelitian dalam menyampaikan gagasan-gagasan pemikiran seputar isu hukum dalam

masyarakat adat.

Substansi isi tulisan dalam jurnal ini sepenuhnya merupakan pandangan independen

dari masing-masing penulis dan tidak mempersentasikan pandangan dan pendapat dari

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris,

dengan format penulisan disesuaikan dengan pedoman penulisan yang dilampirkan dalam

bagian akhir jurnal ini.

Alamat Redaksi:

Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu

Jl. Merapi No. 01 RT/RW 04/02 Kelurahan Panorama Kecamatan Singaran Pati Bengkulu

Telp. 0736-341942 / +628-1215-496-418

Email: [email protected]

Page 2: Indigenous peoples law review

II

TIM REDAKSITIM REDAKSI

Penanggung Jawab : Deftri Hardianto

Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Bengkulu

Pemimpin Redaksi : Fahmi Arisandi

Sekretaris Redaksi : Fitriansyah

Penyunting / Editor : Andang Nusa Putra

Riki Aprizal

Eti Efrina

Firmansyah

Page 3: Indigenous peoples law review

III

PENGANTAR REDAKSIPENGANTAR REDAKSI

Salam Keadilan.

Indigenous Peoples Law Review adalah jurnal ilmiah berkala tahunan yang diterbitkan

oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Jurnal ini diterbitkan setiap

bulan mulai Maret setiap tahunnya dalam bentuk jurnal elektronik (E-Journal).

Penerbitan Jurnal Indigenous Peoples Law Review ini dimaksudkan untuk memberikan

ruang bagi peneliti/komunitas hukum di Indonesia untuk mempublikasi tulisan, artikel dan

hasil penelitian dalam menyampaikan gagasan-gagasan pemikiran seputar isu hukum dalam

masyarakat adat.

Edisi kali ini (Maret 2015) Indigenous Peoples Law Review, hadir dengan 4 (empat)

penulis yang memiliki reputasi baik dalam dunia intelektual. Mereka memiliki pengalaman

sebagai praktisi hukum dan juga merupakan pengajar dan peneliti dari berbagai perguruan

tinggi. 4 (empat) tulisan tersebut setidaknya menjabarkan sejumlah persoalan hukum sebagai

berikut:

Pertama, Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaharuan Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tulisan ini dari saudari Warih Anjari, yang

menguraikan bahwa pembaharuan hukum pidana harus berorientasi pada nilai. Nilai yang

dimaksud adalah nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Delik adat tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat sehingga bersifat orisinil. Delik adat memiliki perbedaan

prinsip dengan delik yang diatur dalam KUHP, delik adat mengandung prinsip yang

terkandung dalam nilai-nilai Pancasila, sedangkan delik yang diatur dalam KUHP

mengandung nilai-nilai budaya barat yang kontradiktif dengan budaya masyarakat Indonesia.

Kedua, Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia (Perdebatan Ius

Constitutum dan Ius Constituendum). Tulisan dari saudara Rocky Marbun ini menguraikan

bahwa berdasarkan kajian ilmu hukum, secara aspek filosofi terlihat jelas jejak pengakuan

adanya kearifan lokal dalam konstitusi maupun di beberapa peraturan perundang-undangan,

walaupun belum meresap dengan baik ke dalam sistem peradilan pidana. Asas musyawarah

mufakat sebagai turunan dari asas kerukunan merupakan ciri khas dari keagungan kearifan

lokal yang masih dimiliki oleh bangsa Indonesia, hingga saat ini tidak mampu dan/atau tidak

dapat dilakukan proses konkretisasi ke dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Page 4: Indigenous peoples law review

IV

Ketiga, Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.

Tulisan dari sauadara M. Doni Ramdani ini Menguraikan bahwa dalam negara hukum, aturan

perundang-undangan yang tercipta harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Hak

kesatuan masyarakat adat yang dihormati dan diakui tanpa syarat oleh pemerintah kolonial

belanda justru dikebiri oleh pemerintah nasional Negara Keastuan Republik Indonesia

melalui berbagai kondisionalitas. Masyarakat adat merupakan suatu segmen riil di dalam

masyarakat Indonesia. Secara formal pegakuan, penerimaan, atau pembenaran adanya

masyarakat adat di dalam struktur ketatanegaraan baru diatur di dalam Pasal 18 Undang-

undang Dasar 1945.

Keempat, Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Citizen

Lawsuit. Tulisan dari sauadara Ariezha Pratama ini Menguraikan bahwa negara Indonesia

adalah negara hukum, yang berdiri atas norma dasar berupa konstitusi yang mengamanatkan

pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan

adanya amanat konstitusi disertai undang-undang yang menjamin keberlangsungan hidup

kesatuan masyarakat hukum adat, maka sudah seharusnya kerugian yang timbul nantinya

terhadap kesatuan masyarakat hukum adat harus diajukan upaya hukum yang menjadi tujuan

untuk mencari keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Walaupun sistem hukum

Indonesia belum memberikan ruang secara khusus terhadap gugatan Citizen Lawsuit melalui

pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara Lex Specialis tentang

prosedur dan tata cara pengajuan gugatan Citizen Lawsuit, namun sudah ada payung hukum

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Tahun 2013.

Kemudian untuk penambahan, dalam setiap edisi terbitan Jurnal Indigenous Peoples

Law Review akan melampirkan informasi tentang profile masyarakat adat, untuk edisi maret

2015 ini profile masyarakat adat yang akan disampaikan adalah masyarakat adat Semende

Banding Agung.

Sebagai akhir kata, ucapan terimkasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah

membantu penerbitan jurnal ini. Harapan kami semoga jurnal ini dapat memberikan manfaat

bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Page 5: Indigenous peoples law review

V

DAFTAR ISIDAFTAR ISI

EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT (DELIK ADAT)

DALAM PEMBAHARUAN KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PIDANA (KUHP) …………………………………………………………… 1

Warih Anjari

Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

KEARIFAN LOKAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

DI INDONESIA (PERDEBATAN IUS CONSTITUTUM DAN IUS

CONSTITUENDUM) ……………………………………………………………………. 17

Rocky Marbun

Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta

PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN EKSISTENSI

MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA ……………………………………………. 38

M. Doni Ramdani

Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta

PENGAKUAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

MELALUI GUGATAN CITIZEN LAWSUIT ………………………………………… 53

Ariezha Pratama

Kantor Advokat & Konsultan Hukum MACOIR

MASYARAKAT ADAT SEMENDE BANDING AGUNG ……………………………. 68

Profile Masyarakat Adat

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu

Page 6: Indigenous peoples law review

1 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)

EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT (DELIK ADAT) DALAM

PEMBARUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Warih Anjari, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Jl. Sunter Permai Raya Sunter Podomoro Jakarta Utara 14350 Email: [email protected]

ABSTRAK

Hukum pidana adat atau delik adat merupakan hukum orisinil yang berkembang pada masyarakat adat di Indonesia, sehingga perlu dipertimbangkan dalam pembaruan KUHP. Delik adat diakui dalam hukum positif di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951. Namun pengaturannya belum memadai, padahal dalam beberapa putusan pengadilan digunakan sebagai dasar pemidanaan khususnya dalam kasus korupsi. Masalah dalam penulisan ini yaitu: (1). Mengapa delik adat harus eksis dalam pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)? (2). Bagaimanakah perbedaan hukum pidana adat (delik adat) dengan delik yang diatur dalam KUHP? Delik adat mengandung jiwa rakyat yang perkembang dan melekat dalam kehidupan masyarakat adatnya. Delik adat memiliki efektifitas untuk diimplementasikan di masyarakat. Simpulannya yaitu pembaharuan hukum pidana harus berorientasi pada nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat yang ada dalam delik adat. Delik adat memiliki perbedaan prinsip dengan delik yang diatur dalam KUHP dimana Delik adat mengandung nilai-nilai Pancasila. Sedangkan delik yang diatur dalam KUHP mengandung nilai-nilai budaya barat, yang kontradiktif dengan budaya masyarakat Indonesia Kata Kunci: Eksistensi, Pidana Adat, Pembaharuan, KUHP

ABSTRACT

Customary criminal law or custom delict is the original law that developed in indigenous communities in Indonesia, so it needs to be considered in the reform of the Criminal Code. Custom delict recognized in positive law in Indonesia based on Law No. 1 of 1951. However emergency inadequate regulation, whereas in some court decisions are used as the basis of punishment, especially in cases of corruption. The problem in this paper are: (1). Why customs offense must exist in the renewal of the Code of Penal (Criminal Code)? (2). How are be different the custom delict with the offense be regulated in the Criminal Code? Custom delict contains the soul of the growing interest and inherent in customary public life. Custom delict effectiveness is to be implemented in the community. The conclusion that the criminal law reform should be oriented to the values that developed in the community that exists in traditional offense. Custom delict have differences with the principles be regulated in the Criminal Code offense where customs offense contains the values of Pancasila. While the offense be regulated in the Criminal Code have western cultural values, which contradicts the Indonesian culture.

Keyword: Existence, Customary Criminal, Renewal, KUHP

Page 7: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 2

A. PENDAHULUAN

Hukum merupakan hasil olah pikir atau

budaya manusia. Hukum selalu mengalami

perkembangan sesuai dengan perkembangan

manusia itu sendiri. Persoalan-persoalan yang

dihadapai oleh hukum juga mengalami

perkembangan seiring dengan perkembangan

masyarakat dimana hukum itu berjalan. Pada

faktanya hukum yang ideal adalah hukum

yang tumbuh dan perkembang dari masyarakat

itu sendiri. Hukum tunduk pada kekuatan-

kekuatan sosial tertentu, sehingga

ketertibannya didasarkan pada pengakuan

sosial terhadap hukum. Oleh karena itu

pengembangan sistem hukum harus

mempunyai hubungan erat dengan nilai-nilai

yang dianut oleh masyarakat bersangkutan.1

Hukum adat merupakan bagian dari

keseluruhan hukum di Indonesia. Hukum adat

tumbuh dan berkembang dari kebiasaan

masyarakat adat setempat. Menurut Von

Savigny, hukum adat ada ditengah-tengah

rakyat itu sendiri, dirasakan oleh rakyat itu

sendiri setiap hari (adatrecht ist und wird mit

dem volk).2 Perilaku dan kebiasaan yang turun

temurun diakomodasikan dalam suatu lembaga

masyarakat adat. Dalam hukum adat,

subyektivitas kesediaan warga untuk tidak

dipaksa-paksa menaati hukum merupakan

prasyarat terealisasinya hukum secara penuh

1 Eugen Erlich dalam Sukarno Aburaera, et.al,

Filsafat Hukum Teori dan Praktek, Jakarta, Kencana, 2014, hlm. 125.

2 Von Savigny dalam Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta, Pradnya Pramita, 2003, hlm. 51.

makna dalam kehidupan sehari-hari.3 Oleh

karena itu tingkat eksistesinya dapat diterima

oleh masyarakat tanpa melalui sosialisasi yang

tinggi. Hal ini akan mempengaruhi tingkat

efektifitas suatu hukum atau perundang-

undangan.

Setiap hukum atau peraturan perundangan

mempunyai fungsi dan tujuan. Fungsi hukum

sangat berkaitan erat dengan tujuan hukum itu

sendiri.4 Menurut Mochtar Kusumaatmadja

salah satu fungsi terpenting hukum adalah

tercapainya keteraturan dalam masyarakat.

Keteraturan intinya kepastian hukum jika

dihubungkan dengan dengan kepentingan

penjagaan keamanan diri dan harta milik

disebut ketertiban.5

Hukum Pidana merupakan salah satu

bagian dari keseluruhan sistem hukum

Indonesia. Dalam hukum pidana dikenal pula

hukum pidana adat (delik adat), yang

merupakan bagian dari hukum adat secara

keseluruhan. Hukum pidana substantif atau

dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP)

positif, merupakan peninggalan Belanda yang

mengalami beberapa perubahan. Konten yang

diatur dalam KUHP ada yang tidak selaras

bahkan bertentangan dengan kebiasaan

3 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam

Masyarakat, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2013, hlm. 101.

4 Zaenuddin Ali & Supriadi, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014, hlm. 91.

5 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Buku I, Bandung, Alumni, 2013, hlm. 50.

Page 8: Indigenous peoples law review

3 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)

masyarakat adat di Indonesia. Misalnya

pengaturan perzinahan dalam Pasal 281

KUHP, tidak sesuai dengan konsep perzinahan

yang ada di masyarakat. Oleh karena itu

diadakan perubahan yang mendasar terhadap

KUHP oleh badan legislatif. Menurut Muladi

perubahan KUHP hendaknya tidak boleh

mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan

dengan kondisi manusia, alam, dan tradisi

Indonesia.6 Disamping itu perumusan

ketentuan dalam KUHP Baru seyogyanya

merupakan produk kesadaran hukum

masyarakat Indonesia sendiri atau paling tidak

merupakan mendekati kesadaran masyarakat

hukum Indonesia, bukan semata-mata produk

kesadaran hukum barat sebagaimana KUHP

warisan Belanda.7 Pembaharuan hukum pidana

(penal reform) merupakan bagian dari

politik/kebijakan hukum pidana (penal

policy).8

Indonesia adalah salah satu negara yang

mengakui keberadaan hukum adat. Hal ini

dipertegas dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 (UUD RI 1945), menyatakan: “Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

6 Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil

Indonesia Di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP, Semarang, Sabtu 28 Februari 1990, hlm. 15.

7 Jimmly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Angkasa, 1997, hlm. 3.

8 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta, Kencana, 2014, hlm. 28.

prinsip Negara kesatuan republik Indonesia

yang diatur dalam undang-undang ini”.9

Demikian pula dalam pembentukan

hukum nasional, disebutkan dalam Undang-

undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun

2005-2025 pada Lampiran huruf G

menegaskan bahwa: “Dalam era reformasi

upaya perwujudan sistem hukum nasional

terus dilanjutkan mencakup beberapa hal:

Pertama, pembangunan substansi hukum baik

hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis

telah mempunyai substansi untuk membentuk

hukum nasional.....; Ketiga, pelibatan seluruh

komponen masyarakat yang mempunyai

kesadaran hukum tinggi untuk mendukung

pembentukan sistem hukum nasional yang

dicita-citakan”.10

Dalam hukum adat dikenal pula

perbuatan yang bertentangan dengan hukum

adat yang merupakan tindakan illegal, dan

upaya-upaya pemulihan hukum adat jika

dilanggar.11 Tindakan illegal memiliki sifat

dan sistemnya berbeda antara delik adat

dengan tindakan illegal berdasarkan KUHP

(hukum barat). KUHP juga tidak dapat

mengakomodir keberadaan delik adat yang

masih berlaku di tempat tertentu. Bahkan

terjadi

9 Republik Indonesia, Pasal 18 B ayat (2) UUD

1945. 10 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17

Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025.

11 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberty, 1981, hlm. 175.

Page 9: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 4

ketidaksinkronan perbuatan illegal menurut

hukum adat dan menurut KUHP. Keberadaan

Pasal 5 ayat 3 Sub b Undang-undang Nomor 1

Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara

Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan

Kekuasaan Pengadilan Sipil, tidak sepenuhnya

digunakan dalam praktek pengadilan. Tujuan

dan sanksi yang diatur dalam peraturan

tersebut belum dapat mewakili tujuan dan

sanksi berdasarkan hukum pidana adat.

Sehingga fungsi dan tujuan hukum khususnya

hukum pidana dikhawatirkan tidak dapat

terwujud di masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa delik adat harus eksis dalam

pembaharuan Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP)?

2. Bagaimanakah perbedaan hukum pidana

adat (delik adat) dengan delik yang diatur

dalam KUHP?

C. PEMBAHASAN

Eksistensi Delik Adat Dalam Pembaharuan

KUHP

Pembaharuan hukum pidana tidak terlepas dari

kebijakan hukum pidana. Pembaharuan hukum

pidana merupakan bagian dari kebijakan

hukum pidana (penal/criminal policy), bagian

dari politik penegakan hukum (law

enforcement policy), dan bagian dari politik

sosial (social policy).12 Pelaksanaan

12 G.P. Hoefnagels dalam Barda Nawawi Arief,

op.cit., hlm. 4.

pembaharuan hukum pidana ditempuh melalui

2 pendekatan yaitu pendekatan berorientasi

kebijakan (policy oriented approach) dan

pendekatan yang berorientasi pada nilai (value

oriented approach).13 Dalam rangka

pembaharuan hukum pidana materiil, maka

karakteristik operasional hukum pidana

materiil di masa mendatang sebagai berikut:

Pertama, Hukum Pidana Nasional mendatang

dibentuk tidak hanya sekedar alasan

sosiologis, politis, dan praktis semata-mata,

namun secara sadar harus disusun dalam

kerangka Ideologi Nasional Pancasila; Kedua,

Hukum Pidana Nasional mendatang tidak

boleh mengabaikan aspek-aspek yang

berkaitan dengan kondisi manusia, alam, dan

tradisi Indonesia; Ketiga, Hukum Pidana

Nasional mendatang harus menyesuaikan diri

dengan kecenderungan-kecenderungan

universal yang tumbuh di dalam pergaulan

masyarakat beradab; Kempat, sistem peradilan

pidana, politik kriminal, politik penegakan

hukum adalah merupakan bagian dari politik

soaial; Kelima, Hukum pidana dan sistem

peradilan pidana pada dasarnya merupakan

bagian dari super sistem yang lebih besar

yakni sistem politik, ekonomi, sosial budaya,

hankam dan sistem ilmu pengetahuan dan

teknologi.14 Pada karakteristik operasional

yang kedua, menunjukkan bahwa

13 Ibid., hlm. 29. 14 Muladi, op.cit., hlm. 8-35.

Page 10: Indigenous peoples law review

5 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)

pembaharuan hukum pidana mengkalkulasi

kebiasaan yang ada dimasyarakat atau yang

dikenal dengan hukum pidana adat (delik

adat).

Pembaharuan hukum dilakukan agar

tujuan dan fungsi hukum dapat terwujudkan

dalam masyarakat dengan maksimum. Hukum

selalu mengalami perubahan sesuai dengan

perkembangan kehidupan manusia. Hukum

diciptakan untuk manusia, dan selalu

berproses. Hukum merupakan lembaga yang

secara terus-menerus membangun dan

mengubah dirinya menuju pada

kesempurnaan, dimana kualitas kesempurnaan

dapat diverifikasi ke dalam faktor keadilan,

kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat , dan

lain-lain. Hal inilah yang merupakan hakekat

hukum yang selalu dalam proses menjadi (law

as process, law in the making).15 Pembaharuan

hukum pidana dilakukan alam rangka

mencapai ketertiban dan kepastian. Kedua hal

ini merupakan hal yang penting dalam melihat

pelaksanaan hukum di masyarakat.16

Achmad Ali mengemukakan ada 5 fungsi

hukum, yaitu fungsi hukum sebagai: (1). A

tool of social control; (2). A tool of social

enginiering; (3). Simbol; (4). A political

instrument; (5). Integrator.17 Adapun tujuan

hukum menurut Gustav Radbrugh adalah

15 Satjipto Rahardjo, dalam Dey Ravena, Wajah

Hukum Pidana Indonesia Asas dan Perkembangan, Jakarta, Gramata Publishing, 2012, hlm. 23.

16 Zainuddun Ali & Supriadi, op.cit., hlm. 92-102. 17 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu

Kajian Filosofis dan Sisiologis), Jakarta, Chandra Pratama, 1996, hlm. 98-112.

keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.18

Ketiganya merupakan tujuan hukum secara

bersama-sama, jika ketiganya tidak dapat

tercapai secara bersamaan, maka digunakan

asas proritas yaitu prioritas pertama selalu

keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir

kepastian19.

Untuk mencapai tujuan dan fungsi hukum

tersebut, diperlukan suatu hukum atau

peraturan yang secara efektif dengan mudah

berlaku dimasyarakat. Hukum yang dimaksud

adalah hukum adat. Hukum adat sebagai

hukum yang hidup dimasyarakat (living law),

dalam implementasinya terdapat hukum

pidana adat (delik adat). Keberadaannya tidak

dapat dipisahkan dari perwujudan kebudayaan

yang mencerminkan nilai-nilai kepribadian

bangsa Indonesia.20 Hukum adat merupakan

hukum yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat. Hal ini senada dengan pandangan

Von Savigny yang menyatakan bahwa hukum

itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang

bersama masyarakat (das recht wird nicht

gemacht, ast ist und wird mit dem volke).21

Hukum lahir karena adanya semangat atau roh

rakyat (volkgeist) yang hidup dalam tiap

individu yang menghendaki hukum tersebut

muncul. Terdapat dua bukti yang

18 Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Jakarta,

Kencana, 2008, hlm.3. 19 Achmad Ali, op.cit., hlm. 96. 20 Bambang Satriya, Problematika Pembaruan

Hukum Pidana Nasional, Politik Pembaruan Hukum Pidana Berbasis “Living Law”, Jakarta, KHN, 2013, hlm. 271.

21 Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2002, hlm. 63.

Page 11: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 6

menunjukkan hukum tertentu ada dalam

masyarakat tertentu, yaitu: (1). Adanya

pengakuan dari masyarakat secara faktual; (2).

Adanya sikap tindak atau perilaku yang telah

terjadi lama dan menjadi fakta historis.22

Jika hukum yang berlaku sesuai dengan

jiwa masyarakat dimana hukum itu berlaku

maka tingkat efektifitasnya maksimum.

Sehingga tidak dibutuhkan cost yang tinggi

untuk mencapai tujuan dan fungsinnya.

Efektifitas hukum berkaitan dengan kesadaran

hukum dan ketaatan hukum suatu masyarakat,

sehingga mereka telah memiliki persepsi

tersendiri tentang apa yang dimaksud sebagai

hukum.23

Menurut Robert B. Seidman, bahwa

hukum tidak dapat ditranfer begitu saja dari

suatu masyarakat ke masyarakat lain yang

memiliki perbedaan kultur (the law of non

transferribility of law).24 Kebenaran konsep ini

terwujud di Kepulauan Fiji. Kepulauan Fiji

adalah bekas jajahan Inggris, hukum yang

berlaku adalah hukum Inggris. Masyarakat Fiji

beragama Sikh yang memiliki hukum adat

tersendiri, sedangkan sarjana hukumnya

lulusan dari Inggris. Ada seorang Satpam

sebagai penjaga pintu gerbang Pengadilan

Negeri di ibu kota Fiji yang merupakan

penduduk asli Fiji. Saat penduduk asli

22 Antonius Cahyadi & E.Fernando M. Manullang,

Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta, Kencana, 2007, hlm. 136-137.

23 Achmad Ali & Wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, Kencana, 2012, hlm. 132-133.

24 Ibid., hlm. 227.

mengajukan sengketa untuk mendapatkan

keadilan yang ditemui pertama kali adalah

Satpam tersebut. Para pencari keadilan

menceritakan kasusnya pada Satpam tersebut,

dan Satpam menyampaikan pendapatnya

tentang kasus yang diceritakan penduduk.

Pendapat Satpam sesuai dengan cara berpikir

tradisionil yang dimilikinya. Ternyata saran

tersebut diterima oleh pihak yang bersengketa

dan mereka kembali ke desa dengan perasaan

yang puas. Suatu ketika datang kembali

penduduk untuk mencari keadilan ke

pengadilan tersebut. Satpam yang biasa

menjaga pintu gerbang pengadilan tidak

berada ditempat. Sehingga penduduk

menyelesaikan perkaranya melalui prosedur

formal. Setelah hakim menjatuhkan putusan

para pihak merasa tidak puas, dan pulang ke

desa dengan mengerutu.25 Fakta tersebut

menunjukkan bahwa hukum yang efektif di

Inggris ternyata tidak dapat efektif di

kepulauan Fiji yang memiliki kebiasaaan yang

berbeda. Sehingga suatu hukum tidak dapat

begitu saja diterapkan disuatu tempat yang

memilki adat dan budaya berbeda.

Belajar dari Kasus di Fiji tersebut, KUHP

positif merupakan warisan dari Belanda. Asal

KUHP adalah Wet Boek van Strafrecht (WvS)

Belanda dengan asas Konkordansi

diberlakukan oleh Raja Belanda untuk jajahan

Belanda di Hindia termasuk di Indonesia.

Kemudian melalui Undang-undang Nomor 1

25 Ibid., hlm. 228-229.

Page 12: Indigenous peoples law review

7 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)

Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

dan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958

tentang Berlakunya Undang-undang Nomor 1

Tahun 1946 untuk seluruh Wilayah Indonesia

atau Unifikasi KUHP, diberlakukan di

Indonesia hingga sekarang. Dalam praktek

pengadilan di Indonesia keberadaan delik adat

diakui, misalnya pada kasus yang diputus oleh

pengadilan dengan putusan Nomor

1901K/Pid/2010 atas nama terpidana Samuel

Patintingan.

Delik adat di Indonesia diakui

berdasarkan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-

undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dalam

Pasal tersebut menyatakan: “Hukum materiil

sipil dan untuk sementara waktupun hukum

materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku

untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-

orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan

Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan

orang itu dengan pengertian: bahwa suatu

perbuatan yang menurut hukum yang hidup

harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi

tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana

Sipil, maka dianggap diancam dengan

hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan

penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu

sebagai hukuman pengganti bilamana

hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti

oleh pihak yang terhukum dan penggantian

yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim

dengan dasar kesalahan terhukum; bilamana

hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut

pikiran hakim melampaui hukuman kurungan

atau denda yang dimaksud di atas, maka atas

kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman

pengganti setinggi-tingginya 10 tahun penjara,

dengan pengertian bahwa hukuman adat yang

menurut faham Hakim tidak selaras lagi

dengan jaman senantiasa diganti seperti

tersebut di atas; bahwa suatu perbuatan yang

menurut hukum yang hidup harus dianggap

perbuatan pidana dan yang ada bandingnya

dalam Kitab Pidana Sipil, maka dianggap

diancam dengan hukuman yang sama dengan

hukuman bandingnya yang paling mirip

kepada perbuatan pidana itu”. Berdasarkan

pasal tersebut, delik adat diakui dalam hukum

pidana nasional. Keberlakuan delik adat

sepanjang tidak ada padanannya dalam KUHP,

jika ada padananya maka yang diterapkan

adalah KUHP. Dalam hal ini penerapan asas

legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP,

diperluas perumusannya dengan mengakui

eksistensi hukum pidana adat sebagai dasar

patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang

perbuatan tersebut tidak ada padanannya

dengan KUHP atau peraturan pidana yang

lain.

Dalam konsep KUHP penerapan

berlakunya hukum yang hidup dimasyarakat

mengalami perubahan. Konsep KUHP

mengakui dengan tegas eksistensi delik adat

(hukum yang hidup dimasyarakat), sepanjang

selaras dengan nilai-nilai Pancasila, hak asasi

manusia, dan prinsip hukum umum yang

diakui oleh bangsa-bangsa di dunia (Pasal 2

RUU KUHP). Selain itu dalam Pasal 756 ayat

Page 13: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 8

(1) RUU KUHP mengakui delik adat sebagai

tindak pidana. Dalam jenis-jenis pidana diakui

pula pidana tambahan berupa pemenuhan

kewajiban adat yang diatur dalam Pasal 76

yang berbunyi: ”Pemenuhan kewajiban adat

setempat dan/atau kewajiban menurut hukum

yang hidup dalam masyarakat”.

Dalam konsep perubahan KUHP tersebut

eksistensi delik adat mengalami penguatan

dibandingkan eksisitensi dalam KUHP positif.

Selain itu ada beberapa perbuatan yang

dianggap delik, dimana delik baru ini

mengutamakan nilai-nikai kebudayaan bangsa

Indonesia sekarang ini. Delik-delik dimaksud

adalah:26

1. Delik yang berhubungan dengan masalah

santet: delik ini diatur dalam Pasal 293

RUU KUHP. Pasal 293 RUU KUHP,

berbunyi: “Setiap orang yang menyatakan

dirinya mempunyai kekuatan ghaib,

memberitahukan, menimbulkan harapan,

menawarkan atau memberikan bantuan jasa

kepada orang lain bahwa karena

perbuatannya dapat menimbulkan penyakit,

kematian, penderitaan mental atau fisik

seseorang, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 tahun atau denda paling

banyak Kategori IV”.27 Pidana denda diatur

dalam Pasal 80 RUU KUHP, dengan 6

kategori. Kategori IV dengan dengan

sebesar Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh

lima juta rupiah.

26 Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 290-320. 27 RUU KUHP 2012.

2. Delik kumpul kebo: diatur dalam Pasal 487

Konsep KUHP, yang berbunyi:”Setiap

orang yang melakukan hidup bersama

sebagai suami istri di luar perkawinan yang

sah, dipidana penjara paling lama lima

tahun dan atau denda paling banyak

Kartegori IV”.28

Delik santet atau delik mengaku bisa

menyantet, pernah dirumuskan dalam Pasal 13

perundang-undangan Majapahit, yang disebut

dengan “delik tenung” dan “delik menenung”.

Kedua jenis delik ini tergolong sebagai

“tatayi” atau kejahatan berat yang dapat

dipidana mati. Disamping itu di wilayah

hukum adat Dayak Kanayatn dikenal istilah

“nyampokng nyawa” (membunuh orang lain

dengan guna-guna/mistik), “nyampokng padi”

( perbuatan mistik untuk merusak hasil panen),

dan “saropo” (perbuatan meletakan barang di

rumah korban secara tidak wajar seolah-olah

perbuatan nyampokng).

Pertimbangan delik santet diatur sebagai

delik yang dalam RUU KUHP adalah:29

1. Santet merupakan fenomena dan problem

sosial yang ada di masyarakat. Praktek ini

sangat meresahkan, merugikan dan dicela

oleh masyarakat.

2. RUU KUHP merespon dengan

mengakomodasikannya fenomena santet

yang merupakan problem sosial menjadi

suatu perbuatan yang dapat dipidana.

28 Ibid. 29 Ibid., hlm. 315-317.

Page 14: Indigenous peoples law review

9 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)

Apalagi dalam KUHP telah diatur

perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal

ghaib/mistik dijadikan delik (Pasal 545

KUHP, Pasal 546 KUHP, Pasal 547

KUHP, dan Pasal 162 KUHP).

Kumpul kebo (samen leven) merupakan

istilah yang terbentuk di masyarakat untuk

menunjukkan perbuatan sepasang kekasih

(laki-laki dan wanita) yang hidup bersama

tanpa atau diluar ikatan perkawinan yang sah.

Alasan perbuatan kumpul kebo dimasukkan

sebagai delik dalam RUU KUHP, karena

pembaharuan dan penegakkan hukum pidana

hendaknya dilakukan dengan menggali dan

mengkaji sumber hukum tidak tertulis dan

nilai-nilai hukum yang hidup di dalam

masyarakat, antara lain hukum agama dan

hukum adat.30 Hal ini merupakan pendekatan

pembaharuan KUHP yang berorientasi pada

nilai (value oriented approach).31

Dalam praktek pngadilan hukum yang

hidup/kebiasaan/kepatutan diakui pula dalam

putusan pengadilan yang dijatuhkan bagi

pelaku tindak pidana korupsi. Hukum

kebiasaan atau hukum yang hidup

dimasyarakat digunakan sebagai dasar untuk

menjatuhkan pidana terhadap pelaku korupsi.

Hal ini tercantum dalam putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia (MA-RI), yaitu:

1. Putusan MA-RI Nomor 275K/ Pid/1983

tanggal 28 Desember 1983.

30 Ibid., hlm. 303. 31 Ibid., hlm. 302.

2. Putusan MA-RI Nomor 2477K/ Pid/1988

tanggal 23 Juli 1993

3. Putusan MA-RI Nomor 1571K/ Pid/1993

tanggal 18 Januari 1995

4. Putusan MA-RI Nomor 2608K/ Pid/2006

tanggal 26 Juli 2006

5. Putusan MA-RI Nomor 103K/ Pid/2007

tanggal 28 Februari 2007

Pengaturan delik adat (hukum pidana

adat) semakin dikukuhkan dalam

pembaharuan KUHP yang tercantum dalam

konsep terakhir yaitu RUU KUHP 2012.

Bahkan di dalam praktek pengadilan

penerapan delik adat telah dilaksanakan baik

untuk delik adat itu sendiri maupun terhadap

delik yang lain khususnya delik korupsi. Hal

ini mengindikasikan eksisitensi delik adat

yang bersumber dari hukum yang hidup

dimasyarakat semakin kokoh dan

diperhitungkan dalam pembaharuan hukum

pidana yang suatu saat akan bersifat positif.

Delik Adat dan Delik menurut KUHP

Hukum pidana adat atau delik adat

sebagai bagian dari hukum adat, memiliki

perbedaan yang signifikan dengan delik yang

diatur menurut hukum pidana umum (KUHP).

Delik adat atau “adat delicten recht” atau

hukum pelanggaran adat menurut Van Vollen

Hoven menyebutkan delik adat sebagai

perbuatan yang tidak boleh dilakukan

walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau

perbuatan itu hanya merupakan kesalahan

Page 15: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 10

yang kecil saja.32 Sedangkan menurut

Soepomo, delik adat adalah: “Segala perbuatan

atau kejadian yang sangat menggangu

kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan

atau kejadian yang mencemarkan suasana

batin, yang menentang kesucian masyarakat,

merupakan delik terhadap masyarakat

seluruhnya”. Selanjutnya dinyatakan pula:

“Delik yang paling berat ialah segala

pelanggaran yang memperkosa perimbangan

antara dunia lahir dan dunia gaib, serta

pelanggaran yang memperkosa dasar susunan

masyarakat”33 Teer Haar memberikan

pernyataan bahwa: “Setiap perbuatan dalam

sistem adat dinilai dan dipertimbangkan

berdasarkan tata susunan persekutuan yang

berlaku pada saat perbuatan tersebut

dilakukan. Pelanggaran yang terjadi di dalam

hukum adat atau juga disebut Delik Adat

adalah setiap gangguan terhadap

keseimbangan dan setiap gangguan terhadap

barang-barang materiil dan imateriil milik

seseorang atau sekelompok orang yang

menimbulkan reaksi adat”.34 Nyoman Serikat

Putra Jaya menyebutkan bahwa untuk dapat

disebut tindak pidana adat, perbuatan itu harus

mengakibatkan kegoncangan dalam neraca

keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu

tidak hanya terdapat apabila peraturan hukum

dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga

32 Van Volenhoven, dalam Misbahul Mujib.

Eksistensi Delik Adat Dalam Konstestasi Hukum Pidana Indonesia, www.alfis.digilip.org , diakses tanggal 25 Januari 2015.

33 Ibid. 34 Ter Haar. Beginselen En Stelsel Van Het

Adatrecht, alih bahasa oleh Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1981, hlm. 125.

apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan,

dan sopan santun dalam masyarakat

dilanggar.35

Kelahiran delik adat memiliki perbedaan

dengan delik yang diatur dalam KUHP. Delik

dalam KUHP dianggap ada berdasarkan asas

legalitas, dimana telah diatur dalam suatu

perundang-undangan dan diundangkan sebagai

tindak pidana dan dipidana. Sedangkan delik

adat lahir sama dengan lahirnya tiap peraturan

yang tidak tertulis yang berupa perilaku yang

mempola (empirical regulities) dari

masyarakat. Perilaku tersebut memperoleh

sifat hukum pada saat petugas yang

berwenang, menindak si pelanggar.

Pelanggaran hukum adat dapat berubah

menjadi bukan pelanggaran karena perubahan

rasa keadilan masyarakat. Sedangkan rasa

keadilan berubah sesuai dengan pertumbuhan

hidup masyarakat yang selalu dipengaruhi

oleh faktor lahir dan batin.36 Untuk

kriminalisasi dan dekriminalisasi delik dalam

KUHP didasarkan pada dicabut atau tidaknya

suatu peraturan yang menetapkan suatu

perbuatan dipidana.

Delik adat memiliki sifat yang spesifik.

Kekhususan ini karena delik adat tumbuh dan

35 Nyoman Serikat Putra Jaya. Relevansi Hukum

Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 33.

36 Iman Sudiyat. op.cit., hlm 176.

Page 16: Indigenous peoples law review

11 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)

berkembang original dari masyarakat. Sifat

delik adat dimaksud yaitu:37

1. Terdapat upaya-upaya untuk memulihkan

hukum jika hukum adat dilanggar;

2. Tidak mengadakan pemisahan antara

pelanggaran pidana dan pelanggaran

perdata termasuk hukum acaranya. Apabila

terjadi pelanggaran maka pemuka, tetua.

kepala adat menerapkan tindakan konkrit

(reaksi adat) guna memulihkan hukum

yang dilanggar;

3. Tindakan untuk memulihkan situasi akibat

dari pelanggaran adat disesuaikan sifat

pelanggaran yang dilakukan, misalnya

mengganti kerugian kepada korban dan

membayar uang adat kepada korban atau

persekutuan hukum bersangkutan;

4. Pada pelanggaran tertentu petugas hanya

bertindak jika diminta oleh korban, namun

pada perbuatan lainnya petugas dapat

bertindak atas inisiatif sendiri.

Tindakan konkrit atau reaksi adat dalam

delik adat ada berbagai macam, misalnya:38

1. Pengganti kerugian immateriil dalam

berbagai macam, seperti: paksaan menikah

dengan gadis yang telah dicemarkan;

2. Pembayaran uang adat kepada korban yang

terkena, berupa benda sakti selaku

pengganti kerugian rohani;

3. Selamatan (korban) untuk membersihkan

masyarakat dari segala kotoran ghaib;

4. Penutup malu, permintaan maaf;

5. Berbagai pidana badan, sampai pada pidana

mati; 37 Ibid., hlm. 175. 38 Ibid., hlm. 180

6. Pengasingan dari masyarakat serta

meletakkan orang di luar tata hukum.

Sedangkan jenis delik adat menurut

Hilman Hadikusuma adalah sebagai berikut:39

1. Delik yang paling berat adalah segala

pelanggaran yang memperkosa

perimbangan antara dunia lahir dan dunia

gaib serta segala pelanggaran yang

memperkosa susunan masyarakat;

2. Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga

masyarakat seluruhnya, karena kepala adat

merupakan penjelmaan masyarakat;

3. Delik yang menyangkut perbuatan sihir

atau tenung;

4. Segala perbutan dan kekuatan yang

menggangu batin masyarakat, dan

mencemarkan suasana batin masyarakat;

5. Delik yang merusak dasar susunan

masyarakat, misalnya incest;

6. Delik yang menentang kepentingan umum

masyarakat dan menentang kepentingan

hukum suatu golongan keluarga;

7. Delik yang melanggar kehormatan famili

serta melanggar kepentingan hukum

seorang sebagai suami;

8. Delik mengenai badan seseorang misalnya

melukai.

39 Hilman Hadikusuma. Pengantar Ilmu Hukum

Adat di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2003, hlm. 238.

Page 17: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 12

Jenis delik adat menurut Imam Sudiyat,

yaitu:40

1. Penghianatan: merupakan golongan delik

yang paling berat karena memperkosa

keselamatan masyarakat seluruhnya, dan

menentang dasar hidup bersama.

2. Pembakaran kampung: pembakaran yang

memusnahkan seluruh kampung berarti

menentang keselamatan seluruh

masyarakat. Pelaku dianggap

mengeluarkan diri dari persekutuan dan

dapat dibunuh atau dibuang seumur hidup

dari persekutuan.

3. Delik terhadap diri pribadi kepala adat:

kepala adat merupakan penjelmaan atau

personifikasi masyarakat, sehingga delik

ini mengenai masyarakat seluruhnya.

4. Sihir dan tenung: delik ini tergolong

menentang keselamatan masyarakat

seluruhnya, sehingga pelaku dapat

dibunuh.

5. Pengganggu kekuatan batin masyarakat:

delik ini merupakan delik terhadap

masyarakat seluruhnya. Sanksinya

diadakan upacara pembersihan

masyarakat sehingga suasana kesucian

dalam batin masyarakat dapat pulih

kembali.

6. Incest/sumbang: jenis delik ini tergolong

berat karena merusak dasar susunan

masyarakat. Sanksinya berupa pidana

mati atau pembuangan, dan diadakan

upacara pembersihan masyarakat.

7. Hamil tanpa nikah: delik ini merupakan

delik yang menentang kepentingan

40 Imam Sudiyat. op.cit., hlm. 179-181.

hukum masyarakat atau segolongan

kerabat. Sanksinya bagi yang menghamili

harus menikahi wanita yang dihamili agar

anak yang lahir memiliki bapak, jika tidak

bertemu dengan pemuda yang

menghamili maka wanita yang hamil

harus dinikahkan dengan pemuda siapa

saja, agar anak tidak lahir di luar

perkawinan.apabila nsi npemuda tidak

sanggup menikahi, maka harus mempayar

uang penyingsingan kepada wanita yang

dihamili.

8. Melarikan gadis: delik ini tergolong delik

yang berat karena mencemarkan kesucian

si gadis dan melanggar kehormatan

kerabat si gadis. Sanksi pada umumnya

berupa pembayaran denda kepada kerabat

si gadis dan memberikan uang antaran

untuk dinikahkan dengan si gadis.

9. Zina: delik ini melanggar kehormatan

kerabat dan melanggar kepentingan

hukum suami, sehingga kesucian

masyarakat tergangu. Reaksi adat dapat

berupa upacara pembersihan masyarakat,

denda baik uang maupun binatang,

dibunuh bagi yang bersalah atas

permintaan keluarga yang terhina, atau

suami boleh membunuh keduanya yang

berzina.

Pembunuhan: merupakan delik yang

memperkosa nyawa orang. Arti tiap-tiap

Page 18: Indigenous peoples law review

13 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)

1. orang bergantung pada kedudukannya di

dalam masyarakat.

2. Perbuatan melukai: delik ini menyasar

badan orang, sehingga hanya

mengganggu kepentingan orang dan

kerabat yang dilukai.atas permintaan

pihak yang menderita dilakukan

pemulihan keseimbangan hukum dengan

pemayaran denda kepada orang yang

dilukai atau kerabatnya.

3. Pencurian: delik ini mengenai harta

benda, dan hanya berkaitan dengan

kepentingan orang yang memili barang

yang dicuri. Berat ringannya delik ini

tergantung dari sifat barang yang dicuri.

Pada umumnya pencuri dihukum

membayar kemabli barang yang dicuri

serta membayar denda kepada korban

pencurian. Bahkan perampok yang

berkali-kali melakukan perampokan dapat

diasingkan dan dibunuh.

Apabila disandingkan antara delik adat

dengan delik yang diatur dalam KUHP, maka

dapat diperoleh perbandingan seperti di bawah

ini:

No Delik Dalam KUHP Delik Adat

1. Penjatuhan pidana

terhadap subyek hukum

bersifat

pribadi/persoon yang

berupa manusia/orang.

Penjatuhan pidana

tidak terhadap

subyek hukum

pribadi maupun

persekutuan

2. Pertangungjawaban

pidana pada pelaku

langsung

Pertanggungjawaban

pidana kepada pelaku

dan keluarga/kerabat

pelaku atau

kampung/

persekutuan pelaku

3. Pemidanaan

berdasarkan kesalahan

pelaku yang berupa

kesengajaan dan

kealpaan

Pemidanaan tidak

selalu mendasarkan

pada kesalahan

pelaku

4. Adanya keharusan

pembuktian kesalahan

pelaku.

Tidak diperlukan

pembuktian adanya

kesalahan pelaku.

5. Tiap delik adalah

melanggar kepentingan

negara.

Tidak semua delik

melanggar

kepentingan negara.

Ada delik yang

melanggar

kepentingan pribadi,

juga menjadi

persoalan kerabatnya

atau mengenai

kepentingan desanya.

6. Pertanggungjawaban

pidana hanya terhadap

orang yang mampu

bertanggungjawab.

Upaya peralawanan

tetap dilakukan tanpa

melihat ada tidaknya

kemampuan

bertanggungjawab

pelaku baik terhadap

pelaku yang sakit

jiwa maupun

dibawah umur.

7 Perlakuan terhadap

orang dianggap sama

tanpa diskriminasi

Perlakuan terhadap

pelaku tergantung

pada kedudukan atau

fungsinya di

masyarakat. Semakin

tinggi kedudukan

seseorang di

masyarakat, makin

berat penilaian sifat

deliknya, maka main

berat pidana yang

dijatuhkan.

Page 19: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 14

8. Orang dilarang

bertindak sendiri untuk

menegakkan hukum

yang dilanggar, karena

delik adalah persoalan

negara bukan persoalan

pribadi.

Ada kondisi yang

mengizinkan orang

sebagai korban untuk

menegakkan hukum

sendiri.

9. Tidak ada pembedaan

tentang nilai suatu

benda/ barang.

Ada pembedaaan

menganai nilai

barang. Misalnya

merusak barang

nenek moyang lebih

berat dari pada

barang biasa.

10. Terdapat bentuk-

bentuk penyertaan

delik yang memiliki

pertanggungjawaban

berbeda.

Semua orang yang

turut menentang

peraturan hukum,

diwajibkan untuk

memulihkan

keseimbangan,

sehingga ikut

menanggung resiko.

11. Percobaan delik dapat

dipidana.

Tidak menghukum

seseorang karena

mencoba melakukan

delik. Reaksi adat

akan diterapkan jika

keseimbangan

hukum terganggu.

12. Pelaku dipidana

berdasarkan perbuatan

yang terakhir, kecuali

ada penggabungan

delik dan melakukan

pengulangan.

Dalam menjatuhkan

pidana, hakim adat

memperhatikan

kondisi pribadi

pelaku, misalnya

apakah pelaku benar-

benar menyesal atau

pelaku merupakan

orang yang terkenal

sebagai penjahat.

Karena penyesalan

dapat meringankan

pidana, sedangkan

orang yang terkenal

sebagai penjahat

merupakan

pemberatan

hukuman.

13. Terdapat alasan yang

memberatkan dan

meringankan, serta

hapusnya kewenangan

menuntut dan

menjalankan pidana.

Hakim dilarang

menerapkan alasan lain

kecuali yang telah

disebutkan dalam

undang-undang.

Dalam kehidupan

masyarakat adat ada

delik-delik menurut

kepercayaan

masyarakat perlu

dilakukan sebagai

obat atau untuk

kepentingan lain

yang mendesak.

Alasan ini dapat

digunakan oleh

hakim adat agar

pelaku tidak dikenai

sanksi adat.

14. Bersifat tertutup, yaitu

terikat pada ketentuan

yang ada dalam

perundangan (Pasal 1

KUHP tentang asas

legalitas), dimana delik

ditetapkan terlebih

dahulu.

Bersifat terbuka

dimana pelanggaran

tidak ditetapkan

terlebih dahulu.

Pertimbangan utama

delik adat adalah

pada akibat yang

ditimbulkan atas

suatu pelanggaran,

jika mengganggu

keseimbangan

masyarakat maka

harus ada tindakan

koreksi/reaksi agar

keseimbangan

kembali pulih,.

Page 20: Indigenous peoples law review

15 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)

15. Berlaku di seluruh

wilayah Indonesia,

bahkan dapat

diberlakukan di luar

wilayah Indonesia

sepanjang

memungkinkan, dan

kekuatan berlakunya

berdasarkan ketentuan

undang-undang yang

telah diatur oleh

negara.

Berlakunya terbatas

pada lingkungan

masyarakat adat

tertentu, dan

kekuatan berlakunya

tergantung pada

tempat, waktu dan

keadaan dimana

delik itu terjadi.

Sistem yang dianut oleh hukum pidana

adat atau delik adat dijiwai oleh Pancasila

yang mengandung keseimbangan nilai, yaitu

(a) moral (religius); (b) kemanusiaan

(humanistis); (c) kebangsaan; (d) demokrasi;

(e) keadilan sosial. Sifatnya magis-religius,

dan tujuannya untuk mencapai rasa keadilan

secara kekeluargaan bukan perorangan. Dalam

menyelesaikan masalah mengutamakan

penyelesaian yang berdampak pada

kerukunan, keselarasan, dan kekeluargaan, dan

berusaha memulihkan kondisi masyarakat

seperti semula (restorative justice).

A. SIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah

disampaikan dalam pembahasan, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Pembaharuan hukum pidana harus

berorientasi pada nilai. Nilai dimaksud

adalah nilai-yang berkembang

dimasyarakat. Delik adat atau hukum

pidana adat tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat sehingga bersifat orisinal .

Konten hukum tersebut dapat berlaku

secara efektif di masyarakat. Hal ini selaras

dengan konsep hukum “the living law”,

“the law is volkgeist”, “the law is non

tranferribility of law”, dan” proggresive of

law”.

2. Delik adat memiliki perbedaan prinsip

dengan delik yang diatur dalam KUHP.

Delik adat mengandung prinsip yang

terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.

Sedangkan delik yang diatur dalam KUHP

mengadung nilai-nilai budaya barat, yang

kontradiktif dengan budaya masyarakat

Indonesia.

Page 21: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 16

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aburaera, Soekarno et,al. Filsafat Hukum Teori

dan Praktek, (Jakarta: Kencana, 2014.)

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu

Tinjauan Fifsafat dan Sosiologis, (Jakarta:

Chandra Pratama, 1996)

------------------. Menguak Realita Hukum, (Jakarta,

Kencana: 2008).

Ali, Achmad & Wiwie Heryani. Menjelajahi

Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta:

Kencana, 2012).

Ali, Zainuddin & Supriadi. Pengantar Ilmu

Hukum, (Jakarta: Yayasan Masyarakat

Indonesia, 2014).

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan

Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2014).

Assidiqie, Jimly. Pembaruan Hukum Pidana

Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1997).

Cahyadi, Antonio & E. Fernando M. Manulang.

Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta:

Kencana, 2007).

Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum

Adat di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,

2003).

Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Ilmu Hukum,

(Bandung: Alumni, 2000).

Muhammad, Bushar. Asas Hukum Adat Suatu

Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003).

Poeponoto, Soebakti. Asas-Asas dan Susunan

Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita,

1981.

Rasjidi, Lili & Ira Thania R. Pengantar Filsafat

Hukum, (Bandung: Mandar Maju. 2002).

Ravena, Dey. Wajah Hukum Pidana Indonesia

Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata

Publishing, 2012).

Satriyo, Bambang. Problematika Pembaruan

Hukum Pidana Nasional: Politik Pembaruan

Hukum Pidana Berbasis Living Law, (Jakarta:

KHN, 2013).

Sudiyat, Imam. Hukum Adat Sketsa Asas,

(Yogyakarta: Liberty, 1981).

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum Dalam

Masyarakat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013).

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian

Muladi. Proyeksi Hukum Pidana Materiil

Indonesia di Masa Datang, Pidato

Pengukuhan Guru besar Hukum Pidana FH

UNDIP, (Semarang, FH UNDIP, Sabtu 28

Februari 1990).

Internet

Van Volenhoven, dalam Misbahul Mujib,

Eksistensi Delik Adat Dalam Konstestasi

Hukum Pidana Indonesia,

www.alfis.digilip.org, diakses tanggal 25

Januari 2015.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang

Peraturan Hukum Pidana

Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951

tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk

Menyelenggarakan Kesatuan Susunan

Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Page 22: Indigenous peoples law review

17 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

KEARIFAN LOKAL DALAM SISTEM PERADILAN

PIDANA DI INDONESIA

(Perdebatan ius constitutum dan ius constituendum) Rocky Marbun, Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta

Jl. Kimia No. 20 Menteng, Jakarta Pusat 10320 Email: [email protected]

ABSTRAK

Tingkat frustasi masyarakat, baik secara regional maupun internasional, terhadap berjalannya proses suatu peradilan pidana telah mulai dirasakan dengan kemunculan konsep restorative justice. Bahkan konsep tersebut diyakini mampu memberikan solusi terhadap tingginya tingkat kejahatan di dalam masyarakat. Indonesia secara parsial, telah menanamkan jejak restorative justice ke dalam berbagai peraturan perundang-undangannya. Hal ini tentunya bertentangan dengan amanat konstitusi yang secara tegas mengakomodir kepentingan Hukum Adat. Jika mengacu kepada falsafah bangsa, semenjak kemerdekaan, memunculkan konsekuensi adanya ketertundukan kepada Pancasila sebagai landasan filsafati bagi rechtbeoefening (pengembanan praktis Ilmu Hukum) di Indonesia. Asas Musyawarah Mufakat sebagai turunan dari Asas Kerukunan merupakan ciri khas dari keagungan “kearifan lokal” yang masih dimiliki oleh Bangsa Indonesia, hingga saat ini tidak mampu dan/atau tidak dapat dilakukan proses konkretisasi ke dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Kata Kunci: Pancasila, Kearifan Lokal, Ilmu Hukum, Sistem Peradilan Pidana.

ABSTRACT

Public frustration level, both regionally and internationally, to the passage of a criminal justice process has begun to be felt with the emergence of the concept of restorative justice. In fact, the concept is believed to be able to provide a solution to the high levels of crime in the community. Indonesia partially, has instilled a trail of restorative justice to the various laws and regulations. This is certainly contrary to the constitutional mandate that explicitly accommodate the interests of Customary Law. If referring to the philosophy of the nation, since independence, led to the consequence of submission to Pancasila as the philosophical foundation for rechtbeoefening (practical developing of Legal Studies) in Indonesia. Deliberation principle Consensus as a derivative of the principle of harmony is the hallmark of the majesty of "local wisdom" which is still owned by the Indonesian nation, until now not able to and / or can not be done in the process of concretization of the Criminal Justice System in Indonesia. Keyword: Pancasila, Local Wisdom, Legal Studies, Criminal Justice System.

Page 23: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 18

A. PENDAHULUAN

Dunia hukum di Indonesia tengah

mendapat sorotan yang amat tajam dari

seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam

maupun dari luar negeri. Dari sekian banyak

bidang hukum, dapat dikatakan bahwa bidang

hukum pidana, termasuk sistem dan proses

peradilan pidananya menempati peringkat

pertama yang bukan saja mendapat sorotan,

tetapi juga mendapat celaan yang luar biasa

dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.1

Proses peradilan pidana yang terdiri dari

serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan,

penyidikan, penangkapan, penahanan,

penuntutan, pemeriksaan di persidangan,

hingga pemidanaan, merupakan kegiatan yang

sangat kompleks dan dapat dikatakan tidak

mudah difahami serta kadang kala menakutkan

bagi masyarakat awam. Persepsi yang

demikian tidak dapat dihindari sebagai akibat

banyaknya pemberitaan di media massa yang

menggambarkan betapa masyarakat sebagai

pencari keadilan seringkali dihadapkan pada

kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan,

baik disebabkan oleh ketidaktahuan mereka

akan hukum maupun perlakuan tidak simpatik

dari aparat penegak hukum.2

Indonesia sebagai suatu masyarakat yang

sedang membangun dan harus mengatur serta

mengartikulasikan pelbagai kepentingan

1 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep

Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003, hlm, 2.

2 Laporan Akhir Komisi Hukum Nasioanl (KHM) mengenai “Hak Memperoleh Akses Peradilan Pidana”, www.komisihukum.go.id

masyarakat yang sangat plural ini, tentunya

tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh

regional dan internasional, sebagai akibat

kemajuan tehnologi komunikasi yang canggih.

Masyarakat pelbagai negara, termasuk

Indonesia dihadapkan pada persoalan baru,

yang menjadi issue internasional, berupa

demokratisasi hukum. Pemujaan hukum

sebagai alat rekayasa sosial berpasangan

dengan sarana ketertiban mulai banyak

dikritik, dan sebagai gantinya muncul konsep

baru, hukum sebagai sarana modifikasi sosial,

yaitu suatu pemikiran yang berusaha

memasukan pemahaman hukum sebagai

sarana perlindungan hak-hak warganegara

yang berintikan pengaturan dengan

mengedepankan kepentingan umum.3

Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal

justice system kini telah menjadi suatu istilah

yang menunjukan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan dengan

menggunakan pendekatan sistem.4

Sebagaimana diungkapkan oleh Tolib Effendi,

bahwa berbicara mengenai hukum, maka tidak

terlepas pula berbicara mengenai sistem.5

3 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,

Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hlm. ix.

4 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta, Kencana, 2011, hlm. 2.

5 Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana. Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2013, hlm. 2.

Page 24: Indigenous peoples law review

19 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

Sehingga wacana perbincangan mengenai

suatu Sistem Peradilan Pidana sangat erat

kaitannya dengan konfigurasi berbagai macam

elemen dari sebuah negara.

Kerumitan proses peradilan pidana

tersebut diperparah dengan aksi lepas tangan

dari Pemerintah dalam melakukan sosialisasi

kepada masyarakat, sehingga seolah-olah

proses peradilan pidana menjadi eksklusif bagi

masyarakat. Kondisi tersebut tidak saja

berlangsung pada saat proses peradilan pidana

terjadi, namun pada fase pemidanaan atau

putusan pengadilan hingga eksekusi putusan,

keterlibatan masyarakat sangat diabaikan.

Masyarakat seolah-olah menjadi pihak yang

tidak berkepentingan atas proses peradilan

pidana, dari hulu hingga hilir, sehingga tujuan

idee des recht (Ajaran Cita Hukum)6 yaitu

memberikan kepastian hukum, keadilan dan

manfaat, sangat tidak dirasakan.

Masyarakat dipaksa untuk memahami

kerumitan proses peradilan pidana tanpa

adanya proses sosialisasi dan penyuluhan

mengenai bagaimana beracara di peradilan

pidana. Yang pada akhirnya, beracara

peradilan pidana menjadi suatu monopoli

sarjana-sarjana hukum dengan segala sifat ke-

eksklusifan-nya.

Maka muncullah wacana untuk

melakukan legal reform terhadap Hukum

Acara Pidana. Pembaharuan terhadap KUHAP

diawali dengan dikeluarkannya Draft R-

KUHAP 2004, kemudian dirubah menjadi R-

6 Ada ahli hukum yang menyebutnya sebagai Teori

Gabungan. Teori ini dicetuskan oleh Gusav Radbruch, ahli hukum yang berasal dari Jerman.

KUHAP Draft 3 April 2007, berubah lagi

menjadi R-KUHAP Draft Desember 2007,

kembali lagi diubah dalam R-KUHAP Draft

Maret 2008, berubah lagi R-KUHAP Draft

Januari 2009, kemudian R-KUHAP Draft

2010, dan terakhir melalui R-KUHAP Draft 11

Desember 2012.7

Saat ini, R-KUHAP draft 2012 dan R-

KUHP telah masuk ke dalam Prolegnas, dan

sudah mulai di bahas di Komisi III DPR.

Namun ironisnya, pihak legislatif tidak

memahami posisi R-KUHAP dan R-KUHP.

Sehingga saat ini, perdebatan pro kontra

terkonsentrasi pada pembahasan R-KUHAP,

sedangkan R-KUHP sepertinya diabaikan.

Bahwa dalam memahami Sistem Peradilan

Pidana, tidak saja bergantung kepada Hukum

Pidana Materill semata, namun merupakan

elaborasi dengan Hukum Pidana Formill pula.

Oleh karena itu, sejak awal keberadaannya,

hukum pidana dan hukum acara pidana

diperuntukkan melindungi masyarakat dari

kesewenang-wenangan penguasa. Dalam hal

ini J.E. Sahetapy, meminjam konsep Jerome

H. Skolnick yang mengatakan bahwa

”criminal procedure is intended to control

authorities, not criminals”. Hal senada juga

diungkapkan Mardjono Reksodiputro yang

mengatakan bahwa fungsi dari suatu hukum

7 “Perjalanan Rancangan KUHAP”, Sumber:

http://kuhap.or.id/perjalanan-rancangan-kuhap/, diakses tanggal 21 Januari 2015.

Page 25: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 20

acara pidana adalah untuk membatasi

kekuasaan negara dalam bertindak terhadap

setiap warga masyarakat yang terlibat dalam

proses peradilan. Dalam kerangka tersebut,

kebutuhan pada pembaruan hukum acara

pidana di Indonesia telah direspon oleh

pemerintah dengan membuat suatu RUU

tentang Hukum Acara Pidana8 dan RUU

tentang KUHP.

Di dalam RUU KUHP Draft 2010,

ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) sebagai

berikut:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak mengurangi berlakunya

hukum yang hidup dalam masyarakat yang

menentukan bahwa seseorang patut

dipidana walaupun perbuatan tersebut

tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan.”

Dan ditegaskan kembali pada Pasal 1 ayat

(4) RUU KUHP Draft 2010 sebagai berikut:

“Berlakunya hukum yang hidup dalam

masyarakat sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-

nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip

hukum umum yang diakui oleh masyarakat

bangsa-bangsa.”

Uraian-uraian tersebut diatas, menunjukan

adanya keinginan yang kuat untuk mengadopsi

nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat,

sebagai bentuk kebuntuan dari sistem yang

ada. Yang hingga saat ini justru memunculkan

8 JE. Sahetapy, et.al., Problematika Pembaruan

Hukum Pidana Nasional, Jakarta, Komisi Hukum Nasional RI, 2013, hlm. x.

banyak permasalahan, bukan saja

permasalahan hukum namun juga

permasalahan sosial.

A. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah “kearifan lokal” merupakan bagian

dari Sistem Peradilan Pidana saat ini?

B. PEMBAHASAN

Bahwa semenjak diproklamirkannya

kemerdekaan Negara Republik Indonesia

melalui Proklamasi Kemerdekaan, maka

sebenarnya secara implisit sudah terjadi

perubahan dalam isi cita hukum sebagai asas

dasar yang mempedomani (basic guiding

principles) dalam penyelenggaraan hukum di

Indonesia.9

Namun, semenjak memasuki era reformasi,

ranah hukum bagaikan dilanda banjir Undang-

undang. Program Legislasi Nasional

(PROLEGNAS) periode 1999-2004 misalnya

menetapkan 300 RUU untuk menjadi UU,

namun yang berhasil disahkan hanya 175 UU

(58 persen). PROLEGNAS periode 2004-2009

menetapkan 284 RUU dengan total UU yang

disahkan berjumlah 193 RUU (68 persen).

Pada 2009-2014 PROLEGNAS

9 Bernard Arief Sidharta (1). Ilmu Hukum

Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Bandung, Genta Publishing, 2013, hlm. 95.

Page 26: Indigenous peoples law review

21 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

menetapkan 247 RUU yang disahkan

sebanyak 97 RUU (39 persen).

Ironisnya, tidak semua Undang-undang

yang disahkan merupakan ekstraksi dari nilai-

nilai (values) dari Pancasila, sebagai sumber

segala sumber hukum. Sehingga terkadang

terdapat beberapa Undang-undang yang turut

dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang

diambil oleh dunia internasional melalui

ratifikasi terhadap beberapa konvensi dan

perjanjian multilateral/bilateral. Memang tidak

bisa dipungkiri, bahwa fenomena tersebut

menimbulkan sisi positif dan sisi negatif nya.

Menurut Solly Lubis,10 bahwa realitas

kehidupan kenegaraan selama tiga dasawarsa

yang lalu membuktikan terjadinya

inkonsistensi dan deviasi dari konsep dasar

sistem manajemen yang seharusnya, yakni

UUD 1945. Sistem pemerintahan itu bergeser

dari pola demokrasi kepada oligarki, berlarut-

larut, sehingga akhirnya terjadi diskrepansi

atau kesenjangan-kesenjangan, baik dibidang

sosial politik, maupun sosial ekonomi, sosial

budaya, dan Hankamtibmas. Maka pada

prinsipnya, tuntutan reformasi sistem

manajemen kehidupan bangsa secara

menyeluruh itulah yang memerlukan adanya

reformasi kebijakan politik dan reformasi

sistem hukum, supaya manajemen nasional itu

10 Solly Lubis. Pembangunan Hukum Nasional,

Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII, dengan tema: Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 1.

dapat dikembalikan kepada sistem menurut

konsep dasarnya sendiri secara konstitusional.

Munculnya fenomena-fenomena benturan

antara bidang hukum dengan bidang-bidang

yang lain telah lama menjadi sorotan para ahli

hukum di Indonesia. Sehingga permasalahan

tersebut telah seringkali diangkat menjadi

suatu topik dalam berbagai bentuk seminar,

diskusi maupun lokakarya. Khususnya pada

Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII

yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan

Hukum Nasional (BPHN) telah secara tegas

mengisyaratkan bahwa perlunya suatu grand

design reformasi hukum yang sinergistik dan

sistemik, yang berkorelasi dengan bidang

ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama.11

Amanah dari Seminar Pembangunan Hukum

Nasional VIII tersebut sejalan dengan

pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa

hukum bukanlah tujuan, namun hukum

merupakan sarana atau alat untuk mencapai

tujuan yang sifatnya non-yuridis dan

berkembang berdasarkan rasangan dari luar

hukum, sehingga hukum itu sendiri menjadi

bersifat dinamis.12 Oleh karea itu, bergeraknya

hukum sebagai sarana, diperlukan pengaturan-

pengaturan yang harmonis dan sinkron antara

satu dengan yang lain. Sehingga pembentukan

11 Laporan Hasil Seminar Pembangunan Hukum

Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Kuta, Bali, 14 – 18 Juli 2003, hlm. 5.

12 Sudikno Mertokusumo (1). Mengenal Hukum. Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2002, hlm. 40.

Page 27: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 22

grand design sistem hukum memiliki fungsi

sebagai wujud dari pembentukan sistem

hukum dalam mencapai tujuan-tujuan hukum

yang telah disepakati secara bersama.

Dalam membentuk suatu sistem hukum,

otoritas yang berwenang hendaknya pula wajib

memperhatikan input hukum yang masuk ke

dalam ekstraksi norma-norma hukum ke dalam

regulasi yang dibentuk. Hampir sebahagian

besar dari kita jarang sekali memperhatikan

input hukum tersebut.13 Menurut Lawrence M.

Friedmann, bahwa Input hukum merupakan

“gelombang kejut” berupa tuntutan yang

memancar bersumber dari masyarakat, dimana

input hukum tersebut yang pada akhirnya

menggerakan proses hukum.14 Masih menurut

Friedmann, bahwa mayoritas dari Ahli Hukum

terkonsentrasi kepada output hukum, sehingga

menurut Penulis, pemahaman pembentukan

suatu produk perundang-undangan tidaklah

komprehensif.

Sebagai akibat dari pengaruh hubungan-

hubungan hukum yang telah terjadi secara

meluas, bahkan melewati batas-batas negara,

atau lebih dikenal dengan istilah globalisasi,

pengaruh filsafat hukum dalam membentuk

politik hukum dan sistem hukum suatu negara,

dapat pula dikatakan sebagai salah satu unsur

yang mempengaruhi pola pikir dalam

pembentukan hukum. Sebagaimana dijelaskan

oleh CFG. Sunaryati Hartono, bahwa terdapat

filsafah-filsafah hukum yang mempengaruhi

13 Lawrence M. Friedmann. The Legal System. A

Social Science Perspective, [Pent. M. Khozim], Bandung, Nusamedia, 2011, hlm. 3.

14 Ibid., hlm. 13.

pembangunan hukum nasional baik masa lalu

maupun masa saat ini.15

Pengaruh yang paling nyata dari

keterlibatan filsafat hukum adalah selalu

berkaitan dengan pembentukan hukum itu

sendiri. Salah satu pemikiran yang sering

menjadi pembahasan cukup menarik adalah,

apakah dalam pembentukan hukum

menggunakan sistem terbuka, dimana

masyarakat memiliki andil untuk terlibat

ataukah tidak?

Pemikiran tentang hukum dan

keterlibatan masyarakat dalam pembentukan

hukum terbagi menjadi dua kelompok mazhab,

yang satu dengan lainnya saling bertentangan.

Kelompok pertama mencoba memisahkan

hukum dari anasir moral, etik, sosial, dan

politik dengan kekuasaan pembentuknya, yaitu

lembaga pembentuk undang-undang

(legislatif). Pemikiran ini berada di bawah

naungan Mazhab Positivisme Hukum.

Sedangkan, Kelompok kedua mendefinisikan

hukum yang baik adalah hukum yang sesuai

dengan hukum yang berkembang dalam

masyarakat, dan kekuasaan membentuknya

berada di tangan rakyat. Pemikiran ini diwakili

oleh Mazhab Sejarah Hukum dan Sociological

Jurisprudence.16

15 CFG. Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju

Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung, Alumni, 1991, hlm. 52.

16 Veri Junaidi, Khoirunnisa Agustyati & Ibnu Setyo Hastomo, Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Keterbukaan dan Partisipasi Publik Dalam Penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD, Jakarta, Yayasan Perludem, 2013, hlm. 24.

Page 28: Indigenous peoples law review

23 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

Sedangkan yang terjadi di Indonesia

termasuk cukup unik jika dicermati secara

mendalam. Bahwa pembentukkan konstitusi

Republik Indonesia sangat dipengaruhi atau

sangat kental nuansa Sociological

Jurisprudence, sebagaimana diwakili dengan

keberadaan Pasal 33 UUD NRI 1945.

Namun, peraturan perundang-undangan

turunannya, lebih banyak dipengaruhi oleh

Mahzab Positivisme Hukum dan ajaran

Legisme, seiringan dengan pentransferan ilmu

hukum dari Belanda ke ahli-ahli hukum di

Indonesia. Walaupun terdapat dibeberapa

peraturan perundang-undangan yang masih

mengakui adanya nuansa hukum adat, sebagai

bentuk pengakuan dari Negara kepada

masyarakat adat di Indonesia, misalnya di

dalam Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA) yang di dalam Penjelasan Pasal II

angka 3 ditemukan istilah recognitie.17 Namun

penerapannya tetap mengejawantahkan

pemikiran secara positivistik.

Perkembangan pemikiran hukum di

Indonesia, banyak dipengaruhi oleh tradisi

hukum Eropa Kontinental atau civil law – yang

masuk melalui kolonial Belanda, berkembang 17 Yance Arzona. Antara Teks dan Konteks,

Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam di Indonesia, Jakarta: HuMA, 2010, hlm. 5. Dalam UUPA, recognitie digunakan untuk menjelaskan hak yang akan diberikan kepada masyarakat adat yang tanahnya akan digunakan untuk keperluan pembangunan. Istilah recognitie yang dipakai dalam UUPA sebenarnya merupakan istilah yang diadopsi dari hukum adat. Dalam hukum adat, istilah ini dipakai apabila ada orang yang bukan anggota persekutuan adat tertentu hendak menggunakan tanah ulayat, maka orang tersebut diperbolehkan untuk menggunakan tanah tersebut sampai tujuannya tercapai, hanya apabila ia memberikan sesuatu.

dibawah bayang-bayang paradigma

positivisme yang menjadi paradigma

mainstream di tanah asalnya Eropa

Kontinental. Paradigma ini pada dasarnya

berasal dari filsafat positivisme yang

dikembangkan August Comte, yang kemudian

dikembangkan di bidang hukum. Paradigma

positivisme memandang hukum sebagai hasil

positivisasi dari norma-norma yang telah

dirundingkan diantara warga masyarakat,

sebagai sistem aturan yang bersifat otonom

dan netral.18

Hal tersebut lah yang kemudian,

Indonesia tidak memiliki jati diri yang jelas,

terkait hukum, sehingga banyak sekali terdapat

berbagai peraturan perundang-undangan yang,

selain tumpang tindih, justru memunculkan

rasa ketidakadilan bagi masyarakat. Dimana

bahwa hukum hanya dipahami sebagai sarana

atau alat untuk mengatur masyarakat,

sedangkan bermakna terbalik ketika

bersinggungan dengan institusi pemerintahan.

18 Khudzaifah Dimyati. Dominasi Pemikiran

Hukum Positivistik: Otokritik dan Otensitas dan Kemiskinan Ke-Indonesia-an, Makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional ke-3 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), dengan tema: Melampaui Perdebatan Positivisme Hukum dan Teori Hukum Kodrat, yang diselenggarakan oleh AFHI dan Epistema Institute bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 27-28 Agustus 2013, hlm. 1.

Page 29: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 24

Dilihat dari aspek pengembangan ilmu

hukum pidana, ada sesuatu yang dirasakan

kurang memuaskan, memprihatinkan atau

setidak-tidaknya ada sesuatu yang selayaknya

patut diwaspadai dari penyajian Ilmu Hukum

Pidana (IHP) positif selama ini. Menurut Barda

Nawawi Arief, Ilmu Hukum Pidana positif

yang berlaku saat ini masih berorientasi pada

KUHP. Walaupun diajarkan juga hukum

pidana khusus di luar KUHP, namun prinsip-

prinsip umumnya terkait juga dengan

aturan/ajaran umum yang terdapat di dalam

KUHP sebagai induk dari hukum pidana

positif di Indonesia.19

Sehingga, nilai-nilai (values) yang

termuat di dalam KUHP yang saat ini berlaku

di Indonesia, mengacu kepada nilai-nilai

(values) yang bersifat individualistik yang

terkandung di dalam KUHP. Hal tersebut

merupakan suatu kewajaran, dikarenakan

KUHP yang diterapkan berdasarkan asas

konkordansi tersebut, mengacu kepada suatu

sistem hukum yang mengagungkan paham

individualisme. Yang pada dasarnya

merupakan pertentangan nilai (value) yang

dikandung di dalam Pancasila, yaitu nilai-nilai

kenyataan (socio politik, socio ekonomi dan

socio budaya) yang hidup di dalam masyarakat

Indonesia.

Dalam kerangka berfikir hukum, maka

pada prinsipnya tidak akan terlepas dari

19 Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek

Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Diucapkan Pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 25 Juni 1994, hlm. 6

kerangka berfikir berdasarkan tujuan dari

bernegara. Demikian pula dalam pembentukan

kebijakan legislatif (legal policy/politik

hukum) hukum pidana, hendaknya sejalan

dengan tujuan bernegara. Oleh karena itu,

Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik

hukum adalah arah pembangunan hukum yang

berpijak pada sistem hukum nasional untuk

mencapai tujuan dan cita-cita negara atau

masyarakat bangsa.20

Hukum berfungsi sebagai pelayanan

kebutuhahan masyarakat, maka hukum harus

selalu diperbaharui agar aktual atau sesuai

dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat

yang dilayani dan dalam pembaharuan hukum

yang terus menerus tersebut Pancasila harus

tetap sebagai kerangka berpikir, sumber

norma, dan sumber nilai. Pancasila merupakan

pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran)

dari tertib hukum di Indonesia termaktub

Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Hal tersebut merupakan konsekuensi logis

yang wajib diperjuangkan dalam melakukan

pembentukan hukum di Indonesia. Sebagai

akibat dari konsensus nasional, Pancasila

merupakan tolak ukur pelepasan diri dari

segala pengaruh yang tidak berasal dari bangsa

Indonesia. Oleh karena itu, tujuan bernegara

20 Moh. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum,

Menegakkan Konstitusi, Jakarta, LP3ES, 2006, hlm. 16.

Page 30: Indigenous peoples law review

25 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

pun didasari kepada kesepakatan-kesepakatan

yang termuat di dalam Pancasila sebagai

filasafat Negara Hukum Indonesia.

Walaupun dalam beberapa literatur

menjelaskan bahwa tujuan hukum pidana

bukan semata-mata untuk menjatuh sanksi

pidana secara ketat, namun lebih kepada

menciptakan ketertiban dan mengubah pola

perilaku manusia. Namun menurut B. Arief

Sidharta menjelaskan bahwa ketertiban dan

ketenteraman itu bukanlah tujuan akhir dari

hukum, melainkan tujuan antara. Sebab, di

dalam masyarakat dapat saja, dengan

menggunakan kekuatan, dipaksakan suatu ke-

tertiban yang bersifat tiranik, yang menindas

nilai-nilai manusiawi. Tujuan lebih jauh dari

hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati

di dalam masyarakat.21

Oleh karena itu, pembentukan kebijakan

legislatif pada prinsipnya harus memuat nilai-

nilai yang dapat dituangkan ke dalam norma-

norma, dimana norma-norma tersebut secara

tersistematis memberikan arah kepada

pembentukan sistem hukum pidana yang

bersinergis dengan tujuan hukum yang telah

dikonsepkan.

Makna hukum, yang memuat secara

tersirat mengenai tujuan hukum, seringkali

diperdebatkan di dalam kalangan ahli hukum.

Kapan tepatnya hukum mulai ada tidak dapat

diketahui. Apabila ungkapan klasik “ubi

societas ibi ius” diikuti, berarti hukum ada

sejak masyarakat ada. Dengan demikian

21 Bernard Arief Sidharta. Filsafat Hukum

Pancasila, Makalah Bahan Ajar Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII), tidak dipublish, Tahun 2012, hlm. 6.

pertanyaannya dapat digeser menjadi sejak

kapan adanya masyarakat. Terhadap

pertanyaan ini pun juga tidak akan ada

jawaban yang pasti. Namun, dilihat dari segi

historis tidak pernah dijumpai adanya

kehidupan manusia secara soliter di luar

bentuk hidup masyarakat.22

Dahulu biasanya orang menjawab

pertanyaan tersebut dengan memberikan

definisi yang agak indah. Hampir semua ahli

hukum memberikan definisi mengenai hukum,

memberikannya berlainan. Ini, setidak-

tidaknya untuk sebahagian, dapat diterangkan

oleh banyaknya segi dan bentuk, serta

kebesaran hukum. Hukum banyak seginya dan

demikian luasnya, sehingga tidak mungkin

orang menyatukannya dalam rumusan secara

memuaskan.23

Pertanyaan mengenai “apa itu hukum”

tampaknya adalah suatu pertanyaan yang

sangat mendasar dan sangat tergantung pada

konsep pemikiran dari hukum itu sendiri,

sehingga jawabannya pun mungkin akan terus

berkembang sesuai dengan mazhab dan aliran-

aliran yang dikemukakan dalam melakukan

pendekatan secara kualitatif tentang makna

hukum. Yang jelas perlu dipahami bahwa

tujuan hukum adalah terciptanya suatu

kedamaian yang didasarkan pada keserasian

22 Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum,

Jakarta, Kencana, 2013, hlm. 61. 23 LJ. van Apeldorn. Pengantar Ilmu Hukum,

Jakarta, Pradnya Paramita, 1985, hlm. 13.

Page 31: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 26

antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan

hukum ini tentunya akan tercapai apabila

didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian

antara kepastian hukum dengan kesebandingan

hukum, sehingga akan menghasilan suatu

keadilan. 24

Selain memiliki perbedaan definisi,

penggunaan istilah ‘hukum’ pun memiliki

beberapa ragam. Kata ‘hukum’ diambil dari

serapan bahasa Arab yaitu ‘ahkam’ dalam

bentuk jamak,25 kemudian terdapat istilah ‘lex’

yang diambil dari bahasa Latin, yang diambil

dari serapan kata ‘lesere’ yaitu mengumpulkan

yaitu mengumpulkan orang-orang untuk

diperintah. Istilah lain adalah ‘recht’ yang

diambil dari bahasa Latin yaitu ‘rechtum’ yaitu

bimbingan atau tuntutan atau pemerintahan.

Terdapat pula istilah ‘ius’ yang diambil dari

kata ‘iusitia’ dalam bahasa Latin yang artinya

mengatur atau memerintah.26

Terkait dengan pendefisinian istilah

‘hukum’ oleh CF. Strong, misalnya memulai

pendefinisian hukum berangkat dari unsur

kekuatan yang dapat memerintah dan

memaksa, yaitu Negara. Dimana, menurut CF.

Strong bahwa hakikat suatu negara yang

membuat berbeda dengan semua bentuk

perkumpulan adalah kepatuhan anggota-

anggotanya terhadap hukum. Negara sebagai

suatu masyarakat teritorial dibagi menjadi

24 Teguh Prasetyo. Kriminalisasi Dalam Hukum

Pidana, Bandung, Nusa Media, 2013, hlm. 6. 25 Di dalam buku R. Soeroso tentang Pengantar

Ilmu Hukum, menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab kata Hukum diambil dari kata Alkas, dalam bentuk jamak, berdasarkan penelusuran literature Penulis, kata ‘hukum’ dalam bentuk jamak adalah ‘ahkam’.

26 R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 24-26.

pemerintah dan yang diperintah (rakyat).27

Sehingga, baik pemerintah dan yang

diperintah, hendaknya memiliki pemahaman

yang sama terkait dengan makna hukum.

Dimana CF. Strong menjelaskan dalam

mendefinisikan hukum dapat dinyatakan

sebagai “Sekumpulan aturan-aturan umum

yang ditetapkan oleh penguasa masyarakat

politik (negara) terhadap anggota-anggota

masyarakat tersebut yang secara umum

mematuhinya.” Atau juga, definisi hukum

adalah “suatu perintah yang dikeluarkan orang

yang ditunjuk untuk itu atau oleh sekelompok

orang yang bertindak sebagai suatu badan,

untuk melakukan itu atau tidak melakukan

tindakan-tindakan tertentu, yang disertai

maklumat, secara langsung atau tak langsung,

tentang hukuman yang akan diberikan kepada

siapa saja yang tidak mematuhi.”28

Berbeda dengan pandangan dari Sudikno

Mertokusumo dalam memberikan definisi atas

istilah hukum, yaitu: “Keseluruhan kumpulan

peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah

dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan

peraturan tentang tingkah laku yang berlaku

dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat

dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu

sanksi.”

27 CF. Strong. Konstitusi-Konstitus Politik Modern.

Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, Bandung: Nusamedia, 2014, hlm. 7.

28 Ibid

Page 32: Indigenous peoples law review

27 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

Nampak sekali perbedaan yang

ditunjukkan oleh kedua ahli hukum tersebut.

Dimana Lawrence M. Friedman lebih

menonjolkan sisi penguasa sebagai regulator

sedangkan Sudikno Mertokusumo

menampilkan kaidah sosial dalam kehidupan

bersama yang dilengkapi dengan kekuatan

memaksa.

Bagi ahli hukum di Indonesia, istilah

‘hukum’, dalam menedefinisikannya selalu

dikaitkan dengan adanya kaidah-kaidah sosial

yang hidup di dalam masyarakat. Mochtar

Kusuma-Atmadja, misalnya, dalam

memberikan definisi tentang hukum, turut pula

memulai pembahasannya dari pameo Romawi

“ubi sociates ibi ius”, dimana ada masyarakat,

disitu ada hukum. Beliau menjelaskan bahwa

hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti

bahwa pergaulan antar manusia dalam

masyarakat hanya diatur oleh hukum semata,

namun terdapat pula kaidah-kaidah yang lain.

Akan tetapi, dalam satu hal, hukum berbeda

dari kaidah sosial lainnya, yakni bahwa

penataan ketentuan-ketentuannya dapat

dipaksakan dengan suatu cara yang teratur.

Artinya pemaksaan guna menjamin penataan

ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tunduk

pada aturan-aturan tertentu, baik mengenai

bentuk, cara, maupun alat pelaksanaannya.29

Dalam pandangan B. Arief Sidharta,

bahwa Para sosiolog hukum (Kees Schuit,

L.M. Friedman, Soerjono Soekanto)

memandang aspek hukum kehidupan

masyarakat sebagai sistem hukum atau tatanan

29 Mochtar Kusuma-Atmadja. Konsep-Konsep

Hukum Dalam Pembangunan, Bandung, Alumni, 2006, hlm. 4.

hukum yang tersusun atas tiga subsistem

(komponen) sebagai berikut ini:30

Pertama, unsur idiil yang meliputi

keseluruhan aturan-aturan, kaidah-kaidah dan

asas-asas hukum yang disebut sistem makna

yuridik yang bagi para yuris disebut tata-

hukum. Bagi para sosiolog hukum, sistem

makna yuridik itu menunjuk pada sistem

lambang atau sistem referensi (rujukan).

Sistem makna yuridik itu menyatakan gagasan

tentang bagaimana orang seyogianya

berperilaku atau harus berperilaku. Sistem

makna yuridik sebagai sebuah sistem lambang

memberikan kesatuan dan makna pada

kenyataan majemuk dari perilaku manusia.

Dengan lambang-lambang itu manusia akan

dapat mengerti dan memahami kemajemukan

perilaku manusia itu dan akan dapat

memberikan arti pada perilaku manusia

sehingga memungkinkan terjadinya interaksi

antarmanusia yang bermakna (komunikasi).

Kedua, unsur operasional yang mencakup

keseluruhan organisasi-organisasi, lembaga-

lembaga dan pejabat-pejabatnya; unsur ini

meliputi badan-badan eksekutif, legislatif dan

yudikatif dengan aparat-aparatnya seperti

birokrasi pemerintahan, pengadilan, kejaksaan,

30 Bernard Arief Sidharta. Asas, Kaidah, dan Sistem

Hukum, makalah tidak dipublikasikan, Bandung, 20 Juli 2004, hlm. 2-3.

Page 33: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 28

kepolisian, dan dunia profesi seperti advokatur

dan kenotariatan.

Ketiga, unsur aktual yang menunjuk pada

keseluruhan putusan-putusan dan tindakan-

tindakan (perilaku), baik para pejabat maupun

para warga masyarakat, sejauh putusan-

putusan dan tindakan-tindakan itu berkaitan

atau dapat ditempatkan dalam kerangka sistem

makna yuridik yang dimaksud dalam unsur

pertama tadi; unsur ketiga ini menunjuk pada

budaya hukum.

Dalam keseluruhan elemen, komponen,

hierarkhi dan aspek-aspek yang bersifat

sistematik dan saling berkaitan satu sama lain

itulah tercakup pengertian sistem hukum yang

harus dikembangkan dalam kerangka Negara

Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Oleh karena itu, pembangunan sistem hukum

nasional diarahkan pada pembangunan produk

hukum, aparatur hukum, sarana prasarana,

serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat.31

Cita-cita nasional untuk menyatukan

Indonesia untuk menyatukan Indonesia sebagai

satu kesatuan politik dan pemerintahan, telah

cenderung untuk mengabaikan hukum rakyat

yang plural untuk digantikan dengan hukum

nasional yang diunifikasikan dan

dikodifikasikan. Maka tak heran jika Sunaryati

Hartono, dalam konteks Hukum Ekonomi

menyatakan bahwa Indonesia sangat

mengabaikan pembentukan dan pembinaan

hukum nasional dan masih belum tanggap

terhadap praktik-praktik bisnis yang semakin

kompleks. Tidak hanya karena bentuk-bentuk

31 Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca

Perubahan UUD 1945, Yogyakarta, Penerbit Kaukaba 2013, hlm. 61.

bisnis itu merupakan perbuatan yang baru yang

didukung oleh sarana dan prasarana

bertehnologi tinggi, tetapi juga karena

jangkauan usahanya telah bersifat

transnasional atau melampaui batas-batas

wilayah negara.32

Oleh karena itu, dengan jumlah Sarjana

Hukum yang masih sangat sedikit, semenjak

awal kemerdekaan hingga dibentuknya

konstitusi Indonesia. Telah terjadi tarik

menarik pemahaman yang berkaitan dengan

konteks pemikiran teoretisasi hukum

berdasarkan kajian kefilsafatan. Pertentangan

kuat adalah adanya pendukung Hukum Adat

dengan pendukung paradigma positivisme

hukum.

Pendukung Hukum Adat mengalami kesulitan

untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi

terhadap nilai-nilai yang termuat di dalam

Hukum Adat, dikarenakan begitu

pluralistiknya masyarakat Indonesia. Yang

patut dimaklumi adalah model dari nilai-nilai

hukum adat selalu dinuansai oleh berbagai

kata-kata kiasan, sehingga sulit rasanya untuk

seorang Sarjana Hukum pada masa setelah

kemerdekaan, untuk men-translate-nya ke

dalam bahasa hukum. Maka kondisi tersebut

menjadi berbeda ketika Mochtar Kusuma-

Atmadja melakukan manuver sociological

32 Khudzaifah Dimyati, op.cit., hlm. 6-7.

Page 34: Indigenous peoples law review

29 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

jurisprudence hingga masuk kepada penjelasan

yang paling rasional, pada saat itu, menjadikan

‘jawara’ dalam menggiring perancangan dan

pembentukan politik hukum dan sistem

hukumnya.

Kesulitan-kesulitan tersebut pada

prinsipnya menurut B. Arief Sidharta adalah

disebabkan karena beberapa faktor, selain

pendapat Penulis diatas, yaitu sebagai

berikut:33

1. Perang kemerdekaan sebagai akibat usaha

Belanda untuk mengembalikan kekuasaan

kolonial di Indonesia;

2. Secara Etnis, bangsa Indonesia sangat

heterogen dengan berbagai adat istiadat dan

sub-kulturnya, dan tersebar padasuatu

wilayah kepulauan yang sangat luas.

Intensitas proses interaksi antar suku pada

masa kolonial sangat lemah yang

menyebabkan proses unifikasi hukum

secara alamiah praktis tidak terjadi;

3. Tata hukum kolonial yang harus diganti

dengan tata hukum nasional sudah cukup

lama menguasai kehidupan (hukum) di

Indonesia;

4. Politik hukum kolonial, yang berakar

dalam politik kolonial pada umumnya yang

memfungsikan wilayah jajahan dengan

potensinya hanya sebagai penopang

kepentingan ekonomi negara induk, telah

menyebabkan Bangsa Indonesia dan

Hukum Adanya pada masa kolonial itu

relatif terasing dari pergaulan dan

perkembangan pada tingkat mondial

33 Bernard Arief Sidharta (2). Refleksi Tentang

Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2009, hlm. 4-5.

(global). Hal ini menyebabkan Bangsa

Indonesia dan Hukum Adatnya secara

langsung dihadapkan pada berbagai

masalah modern yang sudah amat jauh

perkembangannya dan sangat kompleks;

5. Pada saat kemerdekaan diproklamasikan,

jumlah sarjana hukum yang kompeten,

yang memiliki kemampuan legislative

drafting, masih terlalu sedikit untuk

mampu dalam waktu singkat menghasilkan

berbagai perangkat kaidah hukum positif

nasional yang diperkirakan jumlahnya,

pada saat setelah proklamasi, hanya

berkisar 200 orang sarjana hukum;

6. Perkembangan ilmu dan tehnologi yang

terjalin dengan pertambahan penduduk,

perkembangan ekonomi dan perdagangan

adalah merupakan faktor yang paling

mendasar dan memiliki jangkauan yang

luas dalam memberikan pengaruh secara

langsung terhadap perkembangan hukum,

kehidupan hukum dan kebutuhan hukum.

Sehingga, ketika kita mempermasalahkan

tersingkirnya Pancasila sebagai sumber hukum

yang menginspirasi sistem hukum Indonesia,

khususnya hukum pidana, maka permasalahan

lain pun muncul, yaitu dimanakah letaknya

hukum pidana adat dan hukum Islam? Yang

notabene kedua sistem hukum tersebut pernah

berlaku dan masih berlaku pada sebahagian

Page 35: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 30

masyarakat di Indonesia. Sebagaiamana hal

tersebut turut dipertanyakan oleh Valerine J.L.

Kriekhoff, apakah hukum adat masih diakui

eksistensinya?34 Proses modernisasi telah

melenyapkan dasar kemasyarakatan dari

hukum kebiasaan tradisional hukum adat

(hampir) sebahagian besar tanah air.35

Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai

yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha

pembaharuan hukum pidana Indonesia harus

dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa

depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-

filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural

masyarakat Indonesia.36

Pengalaman “mendamaikan” isi

kandungan hukum antara hukum yang diberi

sanksi negara dengan hukum rakyat (atau sebut

saja kaidah-kaidah sosial yang tersosialisasi

dan diyakini oleh warga masyarakat-

masyarakat lokal) sebagaimana diperoleh pada

jaman kolonial dan sedikit banyak boleh

dibilang sukses, itu ternyata justru sulit

dilaksanakan pada zaman kemerdekaan.

Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku

sebagai living law berdasarkan paham

partikularisme pada zaman kolonial tidaklah

34 Valerine J.L. Kriekhoff. Arah Pembaharuan

Hukum Pidana Nasional-Penggunaan Hukum Adat, Makalah dipresentasikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 (SPHN 2013) dengan tema “Arah Pembangunan Hukum Pidana Nasional” yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta, 26-27 November 2013.

35 Mochtar Kusuma-Atmadja & Bernard Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum. Buku I, Bandung, Alumni, 2013, hlm. 131.

36 Marcus Priyo Gunarto. Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, Nomor 1, Februari 2012, hlm. 86.

mudah diteruskan pada zaman kemerdekaan.

Cita-cita nasional untuk “menyatukan”

Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan

pemerintahan telah bercenderung untuk

mengabaikan hukum rakyat yang plural dan

lokal-lokal itu untuk diganti dengan hukum

nasional yang diunifikasikan dan tak pelak

juga dikodifikasikan. Kebijakan hukum

nasional ditantang untuk merealisasi cita-cita

menfungsikan kaidah-kaidah sebagai kekuatan

pembaharu, mendorong terjadinya perubahan

dari wujud masyarakat-masyarakat lokal yang

berciri agraris dan berskala-skala lokal ke

kehidupan-kehidupan baru yang lebih berciri

urban dan industrial dalam format dan

skalanya yang nasional (dan bahkan kini juga

global).37

Sehingga dalam pembentukan Sistem

Peradilan Pidana ini seharusnya dikembalikan

kepada jiwa bangsa Indonesia yang termuat di

dalam Pancasila. Pandangan hidup bangsa

Indonesia telah dirumuskan secara padat

dalam Pancasila. Dan dengan termuatnya

Pancasila di dalam Pembukaan UUD NRI

1945 telah menunjukan bahwa dengan

Pancasila menjadi dasar kefilsafatan yang

menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan

yang tercantum dalam UUD NRI 1945.

Dengan demikian, Pancasila melandasi dan

seharusnya menjiwai kehidupan kenegaraan di

Indonesia, termasuk kegiatan

37 Soetadyo Wignjosoebroto. Hukum, Paradigma,

Metode dan Masalah, Jakarta, ELSAM dan HUMA, 2002, hlm. 166-167.

Page 36: Indigenous peoples law review

31 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

menentukan dan melaksanakan politik

hukumnya.

Di dalam konteks Negara Hukum, melalui

UUD NRI 1945, politik hukum nasional telah

menetapkan bahwa Indonesia adalah negara

berdasarkan hukum, sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945. Dimana

sebelumnya, di dalam UUD 1945 (sebelum

amandemen), ditegaskan bahwa Negara

Indonesia berdasarkan hukum (rechsstaat).

Dalam hal tersebut, maka pembentuk

konstitusi, hendak menjelaskan bahwa politik

hukum Indonesia tidak lagi menyandarkan

kepada bentuk Negara Hukum rechtsstaat.

Sehingga, konsep Negara Hukum bangsa

Indonesia hendaknya mengacu kepada jiwa

bangsa sebagaimana termuat di dalam

Pancasila dan Proklamasi.

Namun demikian, perwujudan Pancasila

dan Proklamasi sebagai dasari Politik Hukum

Pidana dan Sistem Hukum Pidana, merupakan

suatu proses yang melalui tahapan-tahapan

yang hingga saat ini belum mampu

diwujudkan dengan baik. Turunan dari nilai-

nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan

Proklamasi telah terlihat dengan jelas dalam

Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 194538, namun

layaknya konstitusi lainnya, ketentuan tersebut

masih bersifat abstrak. Dan hingga saat ini

pun, turunan dari Pasal 18B ayat (2) UUD NRI

1945 belum meresap ke dalam hukum pidana

materiil. 38 Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945: “Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Namun demikian, di beberapa peraturan

perundang-undangan telah mulai mengakui

eksistensi Hukum Adat walaupun masih terjadi

pergesekan antara sifat “tidak tertulis” dari

hukum adat harus melalui proses pemositifan

ke dalam skema sistem hukum di Indonesia.

Dominasi pengakuan tersebut masih berkisar

pengaturan pada Hukum Agraria semata.

Walaupun demikian, secara formil bibit

pengakuan dapat ditilik dalam Undang-

Undang Drt No. 1 Tahun 1951 yang

merupakan dasar hukum bagi penyelesaian

tindak pidana melalui pengadilan adat.

Berkaitan dengan pidana adat, maka kita dapat

merujuk pada Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt.

No. 1/1951, yang berbunyi:

“Hukum materiil sipil dan untuk sementara

waktupun hukum materiil pidana sipil yang

sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah

swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili

oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk

kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian

bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum

yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,

akan tetapi tiada bandingnya dalam kitab

hukum pidana sipil, maka dianggap diancam

dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga

bulan penjara dan/atau denda lima ratus

rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti

bilamana hukuman adat yang dijatuhkan

Page 37: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 32

tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan

penggantian yang dimaksud dianggap

sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan

terhukum, bahwa bilamana hukuman adat

yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim

melampaui padanya dengan hukuman

kurungan atau denda yang dimaksud di

atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat

dikenakan hukuman pengganti setinggi 10

tahun penjara, dengan pengertian bahwa

hukuman adat yang menurut paham hakim

tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa

diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu

perbuatan yang menurut hukum yang hidup

harus dianggap perbuatan pidana yang ada

bandingnya dalam kitab undang-undang

hukum pidana sipil, maka dianggap

diancam dengan hukuman sama dengan

hukuman bandingnya yang paling mirip

kepada perbuatan pidana tersebut”.

Selain ketentuan tersebut, di ranah

kekuasaan kehakiman terdapat Yurisprudensi

Mahkamah Agung yaitu Putusan Mahkamah

Agung RI Nomor 1644 K/PID/1988 tanggal 15

mei 1991, yang menyatakan:

“bahwa terhadap terdakwa yang telah

melakukan perbuatan hubungan kelamin di

luar perkawinan dijatuhi sanksi adat (reaksi

adat) oleh kepala adat, tidak dapat diajukan

lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan

peradilan negara (pengadilan negeri)

dengan dakwaan yang sama melanggar

hukum adat dan dijatuhkan hukuman

penjara menurut ketentuan hukum pidana.”

Keberadaan akan berlakunya suatu hukum

pidana adat selain diakomodir dalam instrumen

hukum nasional juga dikenal dalam dunia

Internasional melalui International Covenant

on Civil and Political Rights (ICCPR).

Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International

Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) atau Konvensi Hak Sipil dan Politik

(Konvensi HAK SIPOL) yang diratifikasi

melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2005 menyebutkan bahwa:

“Nothing in this article shall prejudice the

trial and punishment of any person for any

act or omission which, at the time when it

was committed, was criminal according to

the general principles of law recognized by

the community of nations”.

(Tidak ada dalam Pasal ini merugikan

peradilan dan hukuman pun atas tindakan atau

kelalaian yang pada saat itu masih merupakan

suatu kejahatan menurut asas-asas hukum yang

diakui oleh masyarakat suatu bangsa)

Rekomendasi lebih lanjut dalam konteks

Hukum Internasional melalui Konggres

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terdapat

dalam “The Prevention of Crime and the

Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa

sistem hukum pidana yang selama ini ada di

beberapa negara (terutama yang

berasal/diimpor dari hukum asing semasa

Page 38: Indigenous peoples law review

33 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

zaman kolonial), pada umumnya bersifat

“obsolete and unjust” (telah usang dan tidak

adil) serta “outmoded and unreal” (sudah

ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan

kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di

beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai

budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan

aspirasi masyarakat, serta tidak responsif

terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi

demikian oleh konggres PBB dinyatakan

sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya

kejahatan.

Titik jenuh, secara internasional,

menjadikan konsep restorative justice

bagaikan “permen manis” yang diperebutkan

hampir semua negara. Rasa frustasi terhadap

sistem pemidanaan konvensional mengalihkan

pandangan mereka terhadap konsep tersebut.

Belanda, misalnya, bahkan mengukuhkan

kewenangan melakukan mediasi dengan

memberikan kewenangan tersebut kepada

Kepolisian, karena memang terbukti sangat

efektif dalam menekan penumpukan perkara.

Munculnya konsep restorative justice

bukan saja mereduksi overcapacity dari

LAPAS, pula mengurangi penumpukan

perkara yang harus diperiksa dan diputus oleh

Hakim. Bahkan Indonesia telah pula

mengadopsi konsep tersebut di dalam Undang-

Undang Sistem Peradilan Anak.

Hal tersebut tentunya merupakan suatu

pengingkaran secara nyata terhadap konsep

musyawarah, sebagaimana telah diajukan oleh

Phillipus M. Hadjon. Pancasila yang terdiri

dari 5 (lima) sila dan 36 (tiga puluh enam)

butir, telah berpuluh-puluh tahun mengajarkan

budaya musyawarah.

Konsep bermusyawarah yang termuat di

dalam Pancasila merupakan gambaran tingkat

kompleksitas kehidupan bermasyarakat.

Sebagaimana Purnadi Purbacaraka dan

Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa

manusia sebagai pribadi maupun dalam

kelompok pergaulan hidup mempunyai aneka

macam kepentingan. Pada suatu ketika

kepentingan itu mungkin berbeda bagi

pribadi/kelompok yang satu dengan yang

lainnya. Bahkan kepentingan itu dapat

bertentangan adanya. Dalam hubungan yang

sederajat dapat timbul masalah mayoritas dan

minoritas dengan perbedaan kepentingan,

tetapi manusia yang beradab akan mencegah

atau mengurangi kemungkinan perbedaan itu

menjadi meruncing sehingga pergaulan hidup

dapat terpelihara dan tidak berubah menjadi

pergumulan hidup.38

Sebagai falsafah bangsa, Pancasila memuat

nilai-nilai dalam menyelesaikan perselisihan

kepentingan-kepentingan tersebut. Oleh

karena itu, Indonesia dengan konsep Negara

Hukum Pancasila yang didasarkan kepada asas

kekeluargaan lebih mengutamakan kepada

kepentingan umum, namun harkat dan

martabat manusia sebagai individu tetap

dihargai, dan paradigma tentang negara hukum

38 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto.

Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta, Rajawali Press, 1985, hlm. 85.

Page 39: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 34

yang berfungsi pengayoman yaitu menegakan

demokrasi termasuk mendemokrasikan hukum,

berkeadilan sosial dan berperi kemanusiaan.40

Bentuk dari Asas Kerukunan adalah

musyawarah mufakat yang dapat dijumpai

dalam sila keempat dalam Pancasila.41

Demikian pula sebagaimana diungkapkan oleh

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,

dimana dalam ruang lingkup kenegaraan, maka

sila keempat itulah yang merupakan konsensus

dalam Ilmu Hukum Internasional dikenal

sebagai konsultasi. Apabila pada suatu ketika

peruncingan perbedaan kepentingan terjadi

tetapi masih diinginkan penanggulangan

melalui upaya damai agar dapat dipertahankan

adanya Kebersamaan dalam Kebedaan, maka

disamping konsultasi masih ada upaya, sebagai

berikut:42

1. Good Offices/jasa baik yaitu dengan pihak

ketiga sebagai perantara para pihak yang

bersengketa tetapi penyelesaiannya berupa

konsensus antara ke dua pihak saja;

2. Mediation/penengahan dengan pihak ketiga

yang menengahi penyelesaian perkara

dengan konsensus antara ketiga pihak;

3. Peradilan yang dengan pihak ketiga secara

mandiri menyelesaikan sengketa antar

pihak dalam bentuk keputusan yang wajib

dipatuhi para pihak dalam sengketa.

40 Teguh Prasetyo & Arie Purnomosidi.

Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Bandung: Nusa Media, 2014, hlm. 52.

41 Ibid 42 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,

Op.cit., hlm. 86.

Ciri kerukunan yang terdapat dalam

konsep Negara Hukum Pancasila pula

diungkapkan oleh Phillipus M. Hadjon dalam

tulisannya Perlindungan Hukum Bagi Rakyat

Indonesia, yang ciri-cirinya sudah Penulis

ungkapkan diatas sebelumnya. Phillipus M.

Hadjon menilai bahwa yang menjadi titik

sentral negara Indonesia adalah keserasian

hubungan pemerintah dan rakyat berdasarkan

asas kerukunan.43

Dengan demikian, asas musyawarah

mufakat yang termuat di dalam Pancasila

menjadi asas utama dalam penyelesaian

sengketa yang diterjadi di masyarakat. Namun

patut digarisbawahi, bahwa asas kerukunan

yang melahirkan asas musyawarah mufakat

tidaklah berdiri secara mandiri. Eksistensi asas

tersebut harus saling bersinergis dengan asas-

asas lainnya yang termuat di dalam sila-sila

yang lain.

Secara sadar, Penulis menyadari bahwa

tulisan ini masih menyisakan permasalahan

yang patut diteliti lebih mendalam, yaitu

berkaitan dengan konkretisasi dari asas

musyawarah mufakat ke dalam bentuk norma-

norma hukum sehingga menjadi mengikat

secara hukum bagi setiap masyarakat.

A. SIMPULAN

Bahwa di dalam membentuk Sistem Hukum,

maka dibutuhkan pengetahuan yang cukup

mengenai Politik Hukum, sedangkan

43 Teguh Prasetyo & Arie Purnomosidi, Op.cit., hlm. 57.

Page 40: Indigenous peoples law review

35 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

untuk menentukan suatu Politik Hukum maka

Filsafat Hukum menjadi peran yang sangat

penting dalam membentuk Ilmu Hukum yang

sesuai berdasarkan jiwa bangsa.

Memperbincangkan “kearifan lokal”,

secara umum selalu dibahas melalui sudut

pandang ilmu Antropologi Hukum, namun di

dalam penulisan ini, Penulis konsisten

membahas melalui kajian Ilmu Hukum

Normatif. Dimana berdasarkan kajian Ilmu

Hukum, secara aspek filosofi terlihat jejak

pengakuan adanya “kearifan lokal” tersebut

baik di dalam konstitusi maupun di beberapa

peraturan perundang-undangan. Walaupun

belum meresap dengan baik ke dalam Sistem

Peradilan Pidana.

Dimana penerapannya sangat tergantung

kepada Hakim dalam melakukan penemuan

hukum dan penciptaan hukum sebagaimana

diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat

(1), yang menegaskan sebagai berikut:

“Hakim dan hakim konstitusi wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat.”

Sehingga, konsekuensinya adalah rasa

keadilan masyarakatlah yang hendaknya

dijadikan sebagai parameter dari suatu putusan

pengadilan, dan bukan pemenuhan unsur-unsur

dari suatu pasal yang memuat suatu tindak

pidana.

Asas Musyawarah Mufakat sebagai

turunan dari Asas Kerukunan merupakan ciri

khas dari keagungan “kearifan lokal” yang

masih dimiliki oleh Bangsa Indonesia, hingga

saat ini tidak mampu dan/atau tidak dapat

dilakukan proses konkretisasi ke dalam Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia.

Page 41: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 36

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Apeldorn, Van LJ. Pengantar Ilmu Hukum,

(Jakarta: Pradnya Paramita, 1985).

Arizona, Yance. Antara Teks dan Konteks:

Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap

Hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya

Alam di Indonesia, (Jakarta: HuMA,

2010).

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana

Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2011).

Effendi, Tolib. Sistem Peradilan Pidana:

Perbandingan Komponen dan Proses

Sistem Peradilan Pidana di Beberapa

Negara, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,

2013).

Friedmann, Lawrence M. The Legal System: A

Social Science Perspective, (Bandung:

Nusamedia, 2011).

Hartono, CFG. Sunaryati. Politik Hukum

Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,

(Bandung: Alumni, 1991).

Junaidi, Veri. Et.al. Politik Hukum Sistem

Pemilu: Potret Keterbukaan dan

Partisipasi Publik Dalam Penyusunan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,

DPRD dan DPD, (Jakarta: Yayasan

Perludem, 2013).

Kusumaattmadja, Mochtar. Konsep-Konsep

Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung:

Alumni, 2006).

Kusumaatmadja, Mochtar & Sidharta, Arief

Bernard. Pengantar Ilmu Hukum: Buku I,

(Bandung: Alumni, 2013).

Marzuki, Mahmud Peter. Pengantar Ilmu

Hukum, (Jakarta: Kencana, 2013).

MD, Mahfud Moh. Membangun Politik

Hukum: Menegakkan Konstitusi, (Jakarta:

LP3ES, 2006).

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum:

Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

2002).

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan

Pidana, (Semarang: Badan Penerbit

UNDIP, 1995).

Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca

Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta:

Penerbit Kaukaba 2013).

Prasetyo, Teguh & Purnomosidi, Arie.

Membangun Hukum Berdasarkan

Pancasila, (Bandung: Nusa Media, 2014).

Purbacaraka, Purnadi & Soekanto, Soerjono.

Renungan Tentang Filsafat Hukum,

(Jakarta: Rajawali Press, 1985).

Sahetapy, JE. Et.al. Problematika Pembaruan

Hukum Pidana Nasional, (Jakarta:

Komisi Hukum Nasional RI, 2013).

Sidharta, Arief Bernard. Refleksi Tentang

Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar

Maju, 2009).

--------------------------------. Ilmu Hukum

Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu

Hukum Sistematik Yang Responsif

Terhadap Perubahan Masyarakat,

(Bandung: Genta Publishing, 2013).

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2011).

Strong, CF. Konstitusi-Konstitus Politik

Modern. Studi Perbandingan tentang

Sejarah dan Bentuk, (Bandung:

Nusamedia, 2014).

Page 42: Indigenous peoples law review

37 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum,

Paradigma, Metode dan Masalah,

(Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002).

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil

Penelitian

Arief, Nawawi Barda. Beberapa Aspek

Pengembangan Ilmu Hukum Pidana

(Menyongsong Generasi Baru Hukum

Pidana Indonesia), Pidato

Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum,

(Semarang: Undip, 1994).

Badan Pembinaan Hukum Nasional

(BPHN), Laporan Hasil Seminar

Pembangunan Hukum Nasional VIII,

(Bali: BPHN, 2003).

Dimyati, Khudzaifah. Dominasi Pemikiran

Hukum Positivistik: Otokritik dan

Otensitas dan Kemiskinan Ke-

Indonesia-an, Makalah

dipresentasikan pada Konferensi

Nasional ke-3 Asosiasi Filsafat

Hukum Indonesia (AFHI), (AFHI,

Epistime Institute dan FH Unair,

2013).

Harkrisnowo, Harkristuti. Rekonstruksi

Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan

Terhadap Proses Legislasi dan

Pemidanaan di Indonesia, Pidato

Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum,

(Depok: UI, 2003).

Gunarto, Priyo Marcus. Asas

Keseimbangan Dalam Konsep

Rancangan Undang-Undang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana,

Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24,

Nomor 1, Februari 2012.

Kriekhoff, J.L. Valerine. Arah

Pembaharuan Hukum Pidana

Nasional-Penggunaan Hukum Adat,

Makalah dipresentasikan pada

Seminar Pengkajian Hukum Nasional

(SPHN), Jakarta: Komisi Hukum

Nasional (KHN), 2013).

Lubis, Solly. Pembangunan Hukum

Nasional, Makalah disampaikan

dalam Seminar Pembangunan Hukum

Nasional VII, (Bali: BPHN, 2003).

Sidharta, Arief Bernard. Asas, Kaidah, dan

Sistem Hukum, makalah tidak

dipublikasikan, (Bandung, 20 Juli

2004).

--------------------------------. Filsafat

Hukum Pancasila, Makalah Bahan Ajar

Program Pascasarjana Universitas Islam

Indonesia (UII), tidak dipublish, Tahun

2012.

Internet

Laporan Akhir Komisi Hukum Nasioanl

(KHN) mengenai “Hak Memperoleh

Akses Peradilan Pidana”,

www.komisihukum.go.id

Perjalanan Rancangan KUHAP, Sumber:

http://kuhap.or.id/perjalanan-

rancangan-kuhap/, diakses tanggal 21

Januari 2015.

Page 43: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 38

PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN EKSISTENSI

MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA M. Doni Ramdani, Sekolah Tinggi Hukum Jakarta

Jl. Masjid 1 No. 5 Karet Tengsin, Jakarta Pusat 10220 Email: [email protected]

ABSTRAK

Eksistensi akan masyarakat adat adalah suatu kenyataan sejarah yang mana tidak dapat dihindari atau disangkal oleh pemerintah. Secara formal pengakuan, penerimaan, atau pembenaran adanya masyarakat adat di dalam struktur ketatanegaraan baru diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan hasil penelitian bahwa persoalan penguasaan tanah oleh negara menjadi masalah serius yang mengancam eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa konstruksi hak menguasai negara atas tanah ini adalah bentuk yang lebih buruk dari domein verklaring, oleh karena jika domein verklaring masih mengakui adanya hak atas ulayat maka hak menguasai negara atas tanah malah menafikannya sama sekali. Jika ditelaah secara lebih teliti, baik secara teoretikal maupun dari praktek pelaksanaannya, ternyata bahwa hak menguasai negara atas tanah ini lebih merupakan pencabutan hak ulayat dari kesatuan masyarakat adat. Jika ditelaah secara lebih teliti, baik secara teoretikal maupun dari praktek pelaksanaannya, ternyata bahwa hak menguasai negara atas tanah ini lebih merupakan pencabutan hak ulayat dari kesatuan masyarakat adat. Kata Kunci: Eksistensi, Masyarakat Adat, Hak atas Tanah.

ABSTRACT

The existence of indigenous peoples is a historical fact which can not be avoided or denied by the government. Formally recognition, acceptance, or justification of the indigenous peoples in the new constitutional structures provided for in chapter 18 of the constitution of 1945. Based on the research that the issue of land ownership by the state becomes a serious problem that threatens the existence of indigenous people in indonesia. It is no exaggeration to say that the construction control of the state over land rights is a worse form of domains verklaring, therefore if the domain verklaring still recognize the customary rights over the land rights of control over the country even deny them altogether. If explored more thoroughly, both theoretically and from the practice of its implementation, it turns out that the right to control the country on this land over the revocation of customary rights of indigenous peoples unity. If explored more thoroughly, both theoretically and from the practice of its implementation, it turns out that the right to control the country on this land over the revocation of customary rights of indigenous peoples unity. Keywords: Existence, Indigenous People, Land Rights.

Page 44: Indigenous peoples law review

39 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)

A. PENDAHULUAN

Produk hukum nasional yang mengakui

akan adanya suatu keberadaan masyarakat adat

yang ada di Indonesia, diantaranya terdapat

dalam UUD 1945, pengakuan dan

penghormatan terhadap masyarakat adat,

termaktub di dalam pasal 18B ayat 2, yaitu

“Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat Indonesia dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur

dalam undang-undang”. Pasal ini, memberikan

posisi konstitusif pada masyarakat adat dalam

hubungannya dengan negara, serta menjadi

landasan konstitusional bagi pihak

penyelenggara negara, bagaimana seharusnya

komunitas diperlakukan. Dengan demikian

pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang

kewajiban konstitusional bagi negara untuk

mengakui dan juga menghormati masyarakat

adat, dan juga sebagai hak konstitusional

masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan

serta penghormatan terhadap hak-hak

tradisionalnya.

Apa yang termaktub di dalam Pasal 18B

ayat 2, juga merupakan mandat konstitusi yang

harus ditaati oleh pihak penyelenggara negara,

untuk mengatur pengakuan dan penghormatan

atas keberadaan masyarakat adat dalam suatu

bentuk undang-undang. Pasal lain yang

berkaitan dengan masyarakat adat diatur dalam

Pasal 28I ayat 3 UUD 1945, yang

menyebutkan identitas budaya dan hak

masyarakat tradisional harus dihormati selaras

dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memberikan

mandat kepada negara agar pemanfaatan bumi

(tanah), air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya sebesarbesarnya

digunakan untuk menciptakan kemakmuran

bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu, maka

semua peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai tanah, air dan semua

sumber daya alam di Indonesia seharusnya

merujuk tujuan yang hendak dicapai negara

melalui Pasal 33 UUD 1945.

Dalam rangka menjalankan mandat

konstitusi tersebut maka pada sektor

kehutanan sebagai salah satu kekayaan sumber

daya alam yang ada, pemerintah menyusun

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan (untuk selanjutnya disebut

UU Kehutanan). Pasal 3 UU Kehutanan

menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan

kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan

berkelanjutan”.

Faktanya sejak UU Kehutanan ini berlaku

telah dijadikan sebagai alat oleh negara untuk

mengambil alih hak kesatuan masyarakat adat

atas wilayah hutan adatnya untuk kemudian

dijadikan sebagai hutan negara, yang

selanjutnya justru atas nama negara diberikan

dan/atau diserahkan kepada para pemilik

modal melalui berbagai skema perizinan untuk

dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta

Page 45: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 40

kearifan lokal kesatuan masyarakat adat di

wilayah tersebut, hal ini menyebabkan

terjadinya konflik antara kesatuan masyarakat

adat tersebut dengan pengusaha yang

memanfaatkan hutan adat mereka. Praktik

demikian terjadi pada sebagian besar wilayah

Negara Republik Indonesia, hal ini pada

akhirnya menyebabkan terjadinya arus

penolakan atas pemberlakukan UU

Kehutanan.1

Dalam prakteknya, Pemerintah sering

mengeluarkan keputusan penunjukan kawasan

hutan tanpa terlebih dahulu melakukan

pengecekan tentang klaim kesatuan

masyarakat hukum adat atas kawasan tersebut

yang bahkan pada kenyataannya telah ada

pemukiman‐pemukiman masyarakat adat di

dalamnya. Data Kementerian Kehutanan dan

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan

bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi

dengan hutan dan 71,06 % dari desa‐desa

tersebut menggantungkan hidupnya dari

sumber daya hutan Secara umum, masyarakat

yang tinggal dan hidup di desa‐desa di dalam

dan sekitar hutan baik yang mengidentifikasi

diri sebagai masyarakat adat atau masyarakat

lokal hidup dalam kemiskinan. CIFOR (2006)

menyebutkan bahwa 15% dari 48 juta orang

yang tinggal di dalam dan sekitar hutan

merupakan masyarakat miskin.

1 Lihat Bukti P-3 dalam Putusan Nomor 35/PUU-

X/2012 tentang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. hlm 3-4.

Hukum adat merupakan hukum yang

bersumber pada ugeran-ugeran atau norma-

norma kehidupan sehari-hari yang langsung

timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang

Indonesia asli dalam hal ini sebagai

pernyataan rasa keadilan dalam hubungan

pamrih, sehingga jelas disini bahwa hukum

adat di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah hukum asli Indonesia yang

dibuat oleh masyarakat Indonesia secara turun

temurun berdasarkan value consciousness

mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan

hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran

nalar dan rasa keadilan mereka. Dengan

demikian jika kembali pada pemikiran Von

Savigny bahwa hukum adalah cerminan jiwa

rakyat, maka hukum adatlah yang merupakan

jiwa bangsa Indonesia.2

Setiap bangsa dan peradaban memiliki

karakter yang unik. Bahkan setiap bangsa

memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang

secara intrinsik tidak ada yang bersifat

superior satu diantara yang lainnya. Dalam

hubungannya dengan pembentukan sistem

hukum, von Savigny menyatakan bahwa suatu

sistem hukum adalah bagian dari budaya

masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu

tindakan bebas (arbitrary act of a legislator),

tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam

jiwa masyarakat. Hukum secara hipotetis

dapat

2 Soerojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-Asas

Hukum Adat, Bandung, Alumni, 1979, hlm. 64.

Page 46: Indigenous peoples law review

41 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)

dikatakan berasal dari kebiasaan dan

selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas

hukum (juristic activity).3

Oleh karena itu, karakteristik dan

identitas suatu bangsa sangat menentukan

dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di

dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari

salah satu konsensus dasar yang termaktub

dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang

tujuan atau cita-cita bersama (the general

goals of society or general acceptance of the

same philosophy of government).4 Hal itu

memiliki konsekuensi bahwa konstitusi selalu

dibuat dan berlaku untuk suatu negara tertentu.

Konstitusi dibuat berdasarkan pengalaman dan

akar sejarah suatu bangsa, kondisi yang sedang

dialami, serta cita-cita yang hendak dicapai.

Masyarakat adat merupakan satu kesatuan

masyarakat dalam satu wilayah adat yang

bersifat otonom, dimana mereka mengatur

sistem kehidupannya secara mandiri (antara

lain: hukum, politik, ekonomi, dan

sebagainya) dan juga bersifat otonom, yaitu

suatu kesatuan masyarakat adat yang lahir atau

dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan

dibentuk oleh kekuatan lain, misal kesatuan

desa dengan Lembaga Ketahanan Masyarakat

Desanya. Kehidupan komunitas masyarakat

adat kini tidak sepenuhnya bersifat otonom

dan terlepas dari proses integrasi ke dalam

kesatuan organisasi kehidupan negara bangsa

yang berskala besar dan berformat nasional.

Sehingga rumusan mengenai masyarakat adat

3 M.D.A. Freeman. Lloyd’s Introduction to

Juricprudence, Seventh Edition, London, Sweet & Maxweel Ltd, 2001, hlm. 904-905.

4 Ibid., hlm. 12-13.

yang dibuat pada masa sebelum kemerdekaan

cenderung bersifat kaku dalam kondisi

masyarakat adat yang statis tanpa tekanan

perubahan, sedangkan rumusan tentang

masyarakat adat yang dibuat setelah

kemerdekaan lebih bersifat dinamis melihat

kenyataan masyarakat adat saat ini dalam

tekanan perubahan.5

Pada dasarnya, adanya suatu regulasi yang

secara khusus mengatur tentang bagaimana

sumber daya alam berupa hutan dilindungi dan

dimanfaatkan serta dikelola adalah sesuatu

yang penting dan merupakan keharusan,

supaya sumber daya alam berupa hutan yang

ada dan dimiliki oleh bangsa ini dapat dikelola

dan dimanfaatkan secara baik dan lestari

dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat secara berkeadilan, namun

pelaksanaannya UU Kehutanan telah

digunakan untuk menggusur dan mengusir

kesatuan masyarakat hukum adat dari kawasan

hutan adat mereka, yang merupakan bagian

yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

mereka, atas dasar pemikiran tersebut maka

keberadaan dan keberlakuan Pasal 1 Angka 6

sepanjang kata “negara”, Pasal 4 ayat (3)

sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya

masih ada dan diakui keberadaannya, serta

5 Martua Sirait, et. al., “Bagaimana Hak-Hak

Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur”, Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 24 hlm. 5.

Page 47: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 42

tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional”, Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3)

sepanjang frasa “dan ayat (2); dan hutan adat

ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya

masyarakat hukum adat yang bersangkutan

masih ada dan diakui keberadaannya”, dan

ayat (4) , serta Pasal 67 ayat (1) sepanjang

frasa “sepanjang menurut kenyatannya masih

ada dan diakui keberadaannya”, ayat (2), dan

ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2)”, UU

Kehutanan;

A. RUMUSAN MASALAH

Pengakuan dan perlindungan atas

eksistensi masyarakat adat dilakukan dalam

konstruksi hukum positif negara, sedangkan

eksistensi masyarakat adat beserta hak-haknya

adalah suatu hal yang hidup dalam

konstruksi hukum adat yang sama sekali

berbeda dan dalam banyak hal kontradiktif

dengan hukum negara. Maka pertanyaanya,

bagaimanakah pengakuan dan

perlindungan eksistensi masyarakat adat

beserta hak-hak tradisionalnya dilakukan

melalui hukum negara ? Permasalahan inilah

yang diangkat dalam tulisan ini dengan

mengambil contoh kasus pada konflik

agraria antara masyarakat adat melawan

negara.

B. PEMBAHASAN

Eksistensi Masyarakat Adat

Secara sosiologis, kesatuan masyarakat

hukum adat memiliki keterikatan yang sangat

kuat pada hutan dan telah membangun

interaksi yang intensif dengan hutan. Di

berbagai tempat di Indonesia, interaksi antara

masyarakat adat dengan hutan tercermin dalam

model-model pengelolaan masyarakat adat

atas hutan yang pada umumnya didasarkan

pada hukum adat, yang biasanya berisi aturan

mengenai tatacara pembukaan hutan untuk

usaha perladangan dan pertanian lainnya,

penggembalaan ternak, perburuan satwa dan

pemungutan hasil hutan. Padahal keberadaan

berbagai praktek pengelolaan hutan oleh

masyarakat adat dikenal dengan berbagai

istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur,

Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan

Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di

Kalimantan Barat, Repong pada Masyarakat

Peminggir di Lampung, Tombak pada

masyarakat Batak di Tapanuli Utara, dikenal

dengan Hutan Titipan; yaitu kawasan hutan

yang tidak boleh diganggu atau dirusak.

Kawasan ini biasanya dikeramatkan. Secara

ekologis, kawasan ini juga merupakan

kawasan yang sangat penting dalam menjaga

lingkungan dan merupakan sumber kehidupan,

dan Hutan Tutupan; yaitu kawasan hutan yang

dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan

masyarakat. Umumnya, pemanfaatannya

secara terbatas yaitu untuk pemanfaatan hasil

hutan non-kayu, tanaman obat, rotan, madu.

Selain itu, kawasan ini juga berfungsi sebagai

penjaga mata air;

Praktek-praktek tersebut menunjukan bahwa

kesatuan masyarakat hukum adat telah

Page 48: Indigenous peoples law review

43 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)

melakukan pengelolaan sumber daya alam

(hutan) secara turun-temurun. Pola-pola ini

diketahui memiliki sistem yang sangat terkait

dengan pengelolaan hutan alam, hutan

tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga

bentuknya sangat beragam, dinamis, terpadu

yang menghasilkan berbagai manfaat bagi

masyarakat dan lingkungan, baik secara

ekonomi, sosial budaya, religi, dan ekologi.

Kondisi masyarakat adat itu dapat dibagi

ke dalam tiga kelompok, yaitu 1. kesatuan

masyarakat adat yang sudah mati sama sekali;

2. kesatuan masyarakat adat yang sudah tidak

hidup dalam praktek tetapi belum mati sama

sekali sehingga masih dapat diberi pupuk agar

dapat hidup subur; 3. kesatuan masyarakat

adat yang memang masih hidup.6

Masyarakat adat yang dapat dikategorikan

tidak hidup lagi, dengan kata lain sudah mati

sama sekali adalah: 1. Masyarakatnya sudah

tidak asli lagi, tradisinya pun sudah tiada dan

catatannya pun tidak ada, kecuali hanya ada

dalam legenda-legenda yang tidak tertulis; 2.

Masyarakatnya tidak asli lagi, tradisinya pun

sudah menghilang dari praktek, tetapi

catatannya masih tersedia dan sewaktu-waktu

dapat dihidupkan lagi; 3. Masyarakatnya

memang masih asli, tetapi tradisinya sudah

tiada, dan tidak ada pula catatan sama sekali.

Ketiga kategori masyarakat adat tersebut di

atas, tidak dapat lagi dikatakan hidup.

Sekiranya pun catatan tentang tradisi asli itu

masih tersimpan baik seperti pada kategori

6 Asshiddiqie, Jimly. Hak Konstitusional

Masyarakat Hukum Adat, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional, Jakarta 10 Desember 2007. hlm. 8.

kedua, tetapi ini tidak dapat dikatakan masih

hidup. Kalaupun dihidupkan kembali karena

catatannya masih lengkap, misalnya untuk

kepentingan industri pariwisata, tentu saja

namanya bukan lagi masyarakat adat yang

bersangkutan. Demikian pula pada kategori

ketiga, meskipun masyarakatnya masih asli,

tetapi tradisinya tidak dipraktekkan lagi dan

catatannya pun tidak tersedia. Sekiranya ingin

dihidupkan kembali, hal tersebut tidak

menjamin bahwa tradisi yang dimaksud

memang sesuai dengan tradisi hukum adat

yang mana memang pernah dipraktekkan

sebelumnya. Karena itu, pengertian kesatuan

masyarakat hukum adat yang hidup seperti

dimaksud salah satunya dalam Pasal 18B ayat

2 UUD 1945, tidak mencakup ketiga kategori

kesatuan masyarakat adat sebagaimana telah

diuraikan di atas.

Sementara itu, kelompok kategori kedua

adalah masyarakat adat yang masih dapat

dihidupkan, yaitu masyarakat adat yang masih

asli, tetapi tradisinya tidak dipraktekkan lagi,

namun tersedia rekaman atau catatan tertulis

yang cukup memadai untuk dipupuk kembali.

Aktivitas hukum adat di masyarakat adat

kategori ini mungkin tidak terlihat lagi dalam

kegiatan praktek sehari-hari.7

Negara telah membuat berbagai peraturan

perundang-undangan tentang prosedur yang

7 Jimly Ashiddiqie, Ibid., hlm. 10.

Page 49: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 44

perlu ditempuh untuk memperoleh pengakuan

atau pengukuhan terhadap eksistensi kesatuan

masyarakat adat, yang pada dasarnya

dilakukan dengan peraturan daerah kabupaten,

dengan asumsi bahwa pemerintah daerah

kabupatenlah yang paling mengetahui

keberadaan kesatuan masyarakat adat di

daerahnya; Walaupun demikian dapat

dipertanyakan mengapa sampai saat ini hanya

dua kesatuan masyarakat adat yang sudah

mempunyai peraturan daerah kabupaten yang

mengukuhkan eksistensi dan hak-hak

tradisionalnya, yaitu kesatuan masyarakat

Baduy di Provinsi Banten dan kesatuan

masyarakat adat Pasir di Provinsi Kalimantan

Timur. Fakta bahwa demikian sedikitnya

jumlah kesatuan masyarakat adat yang sudah

dilindungi oleh peraturan daerah kabupaten

dapat ditafsirkan baik sebagai kecilnya

kemauan politik untuk memberi perlindungan

hukum kepada kesatuan masyarakat adat,

maupun oleh karena demikian ruwetnya proses

pembentukan peraturan daerah kabupaten.

Oleh karena itu, bagian terbesar dari kesatuan

masyarakat adat ini secara yuridis telah

terancam kehilangan legalitas sebagai

kesatuan masyarakat adat.8

Akan tetapi, gagasan-gagasan dasarnya

masih tersimpan dalam impian dan dalam cara

pandang masyarakatnya yang juga masih asli

dalam arti bukan terdiri atas para pendatang

baru, dan rekaman atau catatan mengenai

tradisi dimaksud juga masih tersedia dengan

baik. Menghilangnya tradisi hukum adat yang

bersangkutan dari kegiatan praktek sehari-hari,

8 Ibid.

sangat mungkin disebabkan oleh banyak

faktor, termasuk karena adanya intervensi

kebijakan pemerintahan secara terpusat dan

seragam secara nasional yang diterapkan

selama ini, yang mana mengakibatkan

hancurnya berbagai sendi hukum adat di

berbagai kalangan masyarakat hukum adat asli

di tanah air.9

Kesatuan masyarakat adat seperti ini,

yaitu yang masyarakatnya masih asli, tetapi

tradisinya tidak dipraktekkan, namun tersedia

rekaman atau catatan tertulis, masih dapat

dihidupkan kembali sebagaimana mestinya,

asalkan memenuhi beberapa persyaratan,

yaitu: 1. sesuai dengan perkembangan

masyarakat menuju ke tingkat peradaban yang

semakin maju; 2. sesuai dengan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia; dan 3. diatur

dilakukan menurut aturan yang ditentukan

dalam undang-undang yang berkaitan.

Artinya, meskipun kesatuan masyarakat adat

yang termasuk dalam kategori ini masih dapat

dihidupkan lagi, tetapi untuk itu harus

diperhatikan ketiga syarat tersebut. Jika nilai-

nilai hukum adat yang terkandung di dalamnya

tidak sesuai lagi dengan perkembangan rasa

kemanusiaan di zaman sekarang, misalnya,

tradisi balas dendam berdarah, tentu tidak

9 Jimly Ashiddiqie, Ibid., hlm. 12.

Page 50: Indigenous peoples law review

45 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)

boleh dihidupkan kembali karena tidak sesuai

dengan perkembangan masyarakat.

Demikian pula apabila tradisi masyarakat

adat yang bersangkutan itu bertentangan

ataupun dapat mengakibatkan terganggunya

upaya dalam rangka mempertahankan dan

memperkuat prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, tentu juga tidak boleh

dihidupkan lagi. Misalnya jika ada satu

kesatuan masyarakat adat di daerah perbatasan

yang lebih berorientasi kepada kesatuan

masyarakat adat yang berpusat di negara lain

di perbatasan, tentu dapat membahayakan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.8

Kelompok yang ketiga adalah kategori

masyarakat adat yang memang dapat

dikategorikan masih hidup dalam kenyataan,

yaitu: 1. Masyarakat masih asli, tradisinya

juga masih dipraktekkan, dan tersedia catatan

mengenai tradisi tersebut; 2. Masyarakatnya

masih asli tradisinya masih ada, tetapi catatan

tidak tersedia; 3. Masyarakatnya sudah tidak

asli lagi, tetapi tradisinya masih dipraktekkan

dan catatannya pun tersedia cukup memadai;

4. Masyarakatnya tidak asli lagi, dan juga

tidak tersedia catatan mengenai hal itu, tetapi

tradisinya masih hidup dalam praktek.

Meskipun dalam praktek sangat

dimungkinkan tidak akan pernah menjadi

kenyataan, tetapi secara teoritis mungkin saja

terjadi adanya kategori ketiga dan keempat

dari penjelasan di atas. Persoalannya adalah

apakah keaslian warga masyarakat di dalam

kesatuan masyarakat adat yang bersangkutan

merupakan faktor yang menentukan atau tidak

8 Ibid.

untuk menentukan hidup matinya suatu

masyarakat adat. Jika ukuran utamanya adalah

tradisi hukum adatnya, maka meskipun

orangnya sudah berganti dengan para

pendatang baru, selama tradisinya masih hidup

dalam praktek, maka dapat saja dikatakan

bahwa masyarakat adat yang bersangkutan

masih hidup.9

Hukum Adat dalam Sistem Hukum Positif

Indonesia

Sebagai negara yang menganut tradisi

Civil Law System, maka dalam membaca

sistem hukum positif Indonesia haruslah

berangkat dari hierarkhi perundang-undangan

yang paling kuat yakni konstitusi yang

diwujudkan dalam UUD 1945. Begitu pula

dalam mengelaborasi pengaturan mengenai

eksistensi masyarakat adat dan hukum adat

dalam sistem hukum positif Indonesia, hal

yang paling mudah adalah dengan pertama

kali mengkaji pengaturannya dalam UUD

1945. Di dalam UUD 1945, tidak terdapat

peraturan yang secara spesifik mengatur

tentang hukum adat, melainkan hanya

peraturan tentang eksistensi masyarakat

hukum adat, yakni dalam pasal 18B ayat 2

dan pasal 28I ayat 3.

Pasal 18B ayat 2 berbunyi:

9 Jimly Ashiddiqie, Ibid., hlm. 14.

Page 51: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 46

“Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

serta hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

diatur dalam undang-undang.”

Sedangkan Pasal 28I ayat 3 berbunyi:

“Identitas budaya dan hak masyarakat

tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban.”

Berdasarkan ketentuan kedua pasal di

atas, jelas terlihat adanya bentuk

pengaturan bahwa eksistensi masyarakat adat

dan atau masyarakat tradisional diakui hanya

jika memenuhi kriteria dalam kata-kata yang

tercetak miring di atas, yakni: tidak

bertentangan dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip NKRI.

Pada tingkatan undang-undang, Undang-

Undang Pokok Agraria (yang selanjutnya

disebut UUPA) No. 5 Tahun 1960 adalah

produk hukum yang pertama kali menegaskan

pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini

dapat dilihat di Pasal 5 UUPA yang

menyebutkan bahwa hukum agraria yang

berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional dan negara yang

didasarkan atas persatuan bangsa. Serta

merupakan rumusan atas kesadaran dan

kenyataan bahwa sebagian besar rakyat tunduk

pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum

yang dimiliki bangsa Indonesia adalah

kesadaran hukum berdasarkan adat. Hanya

saja memang semangat UUPA ini, dikemudian

waktu banyak ditinggalkan, karena adanya

pergeseran politik ekonomi dan hukum

agraria. Kendati demikian, UU ini hingga

sekarang masih menjadi hukum yang positif

yang mengatur mengenai agraria. Karenanya

masih menjadi alat legal dalam memperkuat

hak-hak komunitas adat. Namun seiring

dengan arus reformasi, kesadaran terhadap

pengakuan, penghormatan dan perlindungan

hak-hak masyarakat adat menjadi salah satu

isu politik yang mengemuka. Sejumlah

undang-undang telah diproduk menyertai

UUPA.

Pengaturan mengenai masyarakat adat

dan hak-hak tradisionalnya di bawah

konsep pengakuan terbatas sebagaimana linier

dengan UUPA juga dapat ditemui pada UU

Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999).

Beberapa pasal yang mengatur tentang

eksistensi masyarakat adat dalam UU

Kehutanan ini antara lain adalah pasal 4 ayat

3, dan pasal 67.

Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan menyebutkan:

“Penguasaan hutan oleh negara tetap

memperhatikan hak masyarakat hukum

adat, sepanjang kenyataannya masih ada

dan diakui keberadaannya, serta tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional”

Page 52: Indigenous peoples law review

47 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)

Sedangkan pasal 67 UU ini menyebutkan:

1. Masyarakat hukum adat sepanjang

menurut kenyataannya masih ada dan

diakui keberadaannya berhak:

a. Melakukan pemungutan hasil hutan

untuk pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari masyarakat adat yang

bersangkutan;

b. Melakukan kegiatan pengelolaan

hutan berdasarkan hukum adat yang

berlaku dan tidak bertentangan dengan

undang-undang; dan

c. Mendapatkan pemberdayaan dalam

rangka peningkatan kesejahterannya.

2. Pengukuhan dan hapusnya keberadaan

masyarakat hukum adat sebagaimana

dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan

Peraturan Daerah.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Lebih jauh lagi, penjelasan pasal 67

menyebutkan: “Ayat (1): Masyarakat

hukum adat diakui keberadaannya jika

menurut kenyataannya memenuhi unsur

antara lain:

a. Masyarakat masih dalam bentuk

paguyuban (rechtsgemeenschap);

b. Ada kelembagaan dalam bentuk

perangkat penguasa adatnya;

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. Ada pranata dan perangkat hukum,

khususnya peradilan adat, yang masih

ditaati; dan

e. Masih mengadakan pemungutan

hasil hutan di wilayah hutan

sekitarnya untuk pemenuhan

kebutuhan hidup sehari-hari.”

Berdasarkan uraian di atas, maka

menurut UU Kehutanan, eksistensi

masyarakat adat diakui keberadaannya hanya

jika keberadaannya tersebut telah ditetapkan

Perda yang mendasarkan diri pada kriteria

sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan

pasal 67 ayat 1 di atas, dan hal yang

paling fundamental di atas itu semua

adalah bahwa pengakuan keberadaan

masyarakat adat tersebut tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan nasional

sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4 ayat 3.

Di dalam negara hukum, aturan perundangan-

undangan yang tercipta, harus berisi nilai-nilai

keadilan bagi semua orang. Seperti yang

dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, dari Wolfgang

Friedman dalam bukunya, Law in a Changing

Society, membedakan antara organized public

power (the rule of law dalam arti formil),

dengan the rule of just law (the rule of law

dalam arti materil). Negara hukum dalam arti

formil (klasik) menyangkut pengertian hukum

dalam arti sempit, yaitu dalam arti peraturan

perundang-undangan tertulis, dan belum tentu

menjamin keadilan substanstif. Negara hukum

dalam arti materiel (modern) atau the rule of

just law merupakan perwujudan dari Negara

hukum dalam arti luas yang menyangkut

pengertian keadilan di

Page 53: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 48

dalamnya, yang menjadi esensi dari pada

sekedar memfungsikan peraturan

perundang-undangan dalam arti sempit.13

Dari perspektif historis adalah

merupakan suatu ironi, bahwa hak

kesatuan masyarakat adat yang dihormati

dan diakui tanpa syarat oleh pemerintah

kolonial Hindia Belanda justru dikebiri

oleh pemerintah nasional Negar Kesatuan

Republik Indonesia melalui berbagai

kondisionalitas. Bertentangan dengan

semangat Pasal 33 ayat (3) Undang-

undang Dasar 1945, tanah ulayat kesatuan

masyarakat adat yang dikuasai Negara

tersebut bukannya digunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi

diserahkan penggunaannya kepada

perusahaan-perusahaan besar swasta yang

bergerak dalam bidang pertanian,

perkebunan, atau pertambangan, yang

tentu saja bertujuan untuk mencari

keuntungan sebesar-besarnya;

Dengan demikian maka hak

penguasaan negara, Pemerintah secara de

jure dan secara de facto telah mengadakan

pencabutan hak (onteigening) terhadap hak

kesatuan masyarakat adat, nota bene tanpa

ganti rugi sama sekali, dan hal itu

bertentangan dengan: a) alinea keempat

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

yang mencantumkan dengan jelas salah

13 Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum yang

Demokratis, Jakarta, PT Bhuana Ilmu Populer, 2009, hlm. 253.

satu tugas dari empat tugas Pemerintah

untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia; dan

b) dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-

Undang Dasar 1945, yang menyatakan

bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan digunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat;

Konflik Agraria Antara Masyarakat

Adat Melawan Negara

Persoalan tanah adat telah menjadi salah satu perhatian khusus para pendiri bangsa Indonesia, terlihat dari perdebatan-perdebatan tentang masyarakat adat dalam konteks negara yang sedang dibangun pada masa-masa awal kemerdekaan telah mendapatkan porsi yang besar dalam sidang-sidang BPUPKI, yang kemudian terkristalisasi dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam Penjelasan II Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) dikemukakan bahwa: dalam territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Selanjutnya disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan

Page 54: Indigenous peoples law review

49 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)

mengingati hak-hak asal-usul daerah

tersebut.13

Beberapa contoh kasus konflik di dalam

kawasan hutan pada fungsi hutan dan areal

yang berbeda-beda antara lain: Konflik

Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi

Tenggara dengan Pengelola Taman Nasional

Rawa Opa Watumohai pada Kawasan

Konservasi. Dalam sejarah Sulawesi

Tenggara, masyarakat adat Moronene

merupakan suku asli tertua yang mendiami

daratan Sulawesi Tenggara, di samping orang

Tolaki dan Mekongga. Masyarakat adat

Moronene menyebar hingga 6 kecamatan.

Masyarakat adat Moronene di Kecamatan

Rumbia terbagi atas 11 tobu (wilayah adat).

Kepemimpinan lembaga adat dikenal dengan

sebutan Mokole. Mereka telah mengelola

wilayah leluhurnya di Hukaeka, Lampopala

dan sekitarnya sejak tahun 1920-an. Selain

perkampungan lahan digunakan untuk kebun,

lahan pengembalaan kerbau dan kuda, kebun

jati, tambak bersama pada muara-muara

sungai, kuburan dan lain-lain. Pada tahun

1952, 1953 serta tahun 1960 mereka terpaksa

mengungsi meninggalkan tanah leluhurnya

karena gangguan keamanan oleh gerombolan

dan kini mereka tinggal berpencar pada

kampung-kampung sekitarnya setelah

beberapa kali dikumpulkan dan dipindahkan.14

13 Lihat dalam Putusan MK Nomor Tahun 2012

(Bukti P-6), hlm. 6. 14 Konflik yang terjadi di masyarakat adat

Peminggir, Lampung, atas pengelolaan Hutan Lindung. Sejak sekitar seabad yang lalu masyarakat adat Peminggir atau Pesisir Krui membangun Repong Damar. Dimulai dari pembukaan hutan, berladang (padi dan sayuran), berkebun (kopi, lada), lalu membentuk agroforest (kebun-hutan) yang

Kasus ini merupakan salah satu contoh

kasus tentang bagaimana cara pandang

birokrasi pemerintah terhadap masyarakat adat

yang tinggal di dalam dan sekitar hutan

berkenaan dengan pengelolaan kawasan

konservasi, dan menunjukkan bahwa

masyarakat adat masih dilihat sebagi ancaman

terhadap kelestarian kawasan dan ditindak

seakan akan mereka bukan sesama manusia.

Konflik pada masyarakat adat Dayak

Simpang, di Kalimantan Barat pada Hutan

Produksi Terbatas. Masyarakat adat Simpang

yang kini bermukim di wilayah Desa

Semandang Kiri, Kecamatan Simpang Hulu,

Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan

Barat diperkirakan mengelola hutan sejak abad

ke 16-17. Tempat tinggal mereka tersebar

dalam beberapa kampung yang dikenal

wilayahnya sebagai umang desa sembilan

domong sapuluh atau disebut juga Kawasan

Adat Banua Simpakng atau Tonah Simpang

Sakayok. Batas antar Banua dikenal dengan

didominasi oleh pohon damar (shorea javanica) selain buah, kayu dan tumbuhan bermanfat lainnya. Keseluruhan repong Damar di pesisir Krui mencapai 50-an ribu hektar. Wilayah di masyarakat adat Peminggir berbatasan langsung dengan Samudra Hindia di sebelah barat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di sebelah timur (dulu Cagar Alam Ratu Wilhemina). Pada zaman Belanda tanah adat diakui sebagai tanah marga dari 16 Marga yang memiliki wewenang disana. Batas Bochwessen (BW, Kawasan hutan) dan tanah Marga dihormati oleh pihak pemerintah Belanda maupun masyarakat sekitarnya.Liat Besse Sugiswati, "Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat Di Indonesia", Jurnal Perspektif, Volume XVII No. 1 Tahun 2012 Edisi Januari, hlm. 33.

Page 55: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 50

nama Sapat Banua atau kesepakatan batas

benua yang dihormati sebagai batas wilayah

kewenangan adat masing-masing Banua.

Kelembagaan adat di dalam Banua terdiri dari

seorang Patinggi, beberapa orang Pateh dan

Tamogokng untuk tiap-tiap kampung. Pola

pengelolaan Sumber Daya Hutan telah

dilakukan secara turun-temurun dengan cara

menggolongkan pola-pola penggunaan lahan

sebagai berikut: Rima makong utatn torutn

yaitu sebagai hutan cadangan, Bawas belukar

lako uma sebagai tanah pertanian, Kampbokng

temawakng buah janah sebagai kebun buah

dan kayu-kayuan, Tonah colap torutn pusaka

sebagai wilayah keramat, Kampokng loboh

sebagai wilayah pemukiman, dan Are sunge

sebagai wilayah sungai untuk tambak dan

tempat menjala. Selain wilayah adat,

kelembagan adat serta pola pengelolaan

sumber daya hutan tersebut, masyarakat adat

ini terikat atas suatu hubungan kekerabatan

dan adat istiadat yang sama.

Konflik masyarakat adat Simpang ini

berbentuk tumpang tindih peruntukan lahan

dan pemberian ijin usaha bagi perusahaan atas

wilayah adatnya. Berdasarkan pemetaan

partisipatif yang dilakukan, terlihat bahwa di

wilayah masyarakat adat tersebut terdiri atas

8.894 ha hutan cadangan, 2.848 ha tanah

pertanian, 11.200 ha kebun campuran, 81 ha

wilayah pemukiman (total 23.023 Ha),

setengah dari lahan itu menurut RTRWP-

Kalbar 2008 menjadi Kawasan Budidaya

nonKehutanan sedangkan sebagian lagi

menjadi Kawasan Budidaya Kehutanan (HPT

pada TGHK 1982). Lebih dari itu, wilayah

tersebut telah dikeluarkan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan pada tahun 1997 diberikan

bagi beberapa Perusahaan Kehutanan (HPH

PT Inhutani II, HPHTI TTJ, PT GDB) dan

Perkebunan (P PMK, BSP II, dan PT KOI).

Sehingga tidak ada lagi kepastian serta

jaminan bagi masyarakat adat atas hak-hak

adatnya (wewenang atas wilayah,

kelembagaan serta pola pengelolaan sumber

daya alam) yang telah dilakukan secara turun-

temurun (Kanyan 1999 draft III).15

Konflik yang terjadi di masyarakat adat

Peminggir, Lampung, atas pengelolaan Hutan

Lindung. Sejak sekitar seabad yang lalu

masyarakat adat Peminggir atau Pesisir Krui

membangun Repong Damar. Dimulai dari

pembukaan hutan, berladang (padi dan

sayuran), berkebun (kopi, lada), lalu

membentuk agroforest (kebun-hutan) yang

didominasi oleh pohon damar (shorea

javanica) selain buah, kayu dan tumbuhan

bermanfat lainnya. Keseluruhan repong Damar

di pesisir Krui mencapai 50-an ribu hektar.

Wilayah di masyarakat adat Peminggir

berbatasan langsung dengan Samudra Hindia

di sebelah barat dan Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan di sebelah timur (dulu Cagar

Alam Ratu Wilhemina). Pada zaman Belanda

tanah adat diakui sebagai tanah marga dari 16

Marga yang memiliki wewenang disana. Batas

15 Martua Sirait, et. al., Op.Cit. hlm. 17.

Page 56: Indigenous peoples law review

51 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)

Bochwessen (BW, Kawasan hutan) dan tanah

Marga dihormati oleh pihak pemerintah

Belanda maupun masyarakat sekitarnya.

Bentuk yang diharapkan masyarakat adat

adalah bukan pemberian hak pengusahaan

repong damar yang dapat dicabut sewaktu

waktu dan masih kuatnya intervensi

pengaturan oleh Departemen Kehutanan dan

Perkebunan tetapi suatu bentuk hak atas dasar

pengakuan keberadaan masyarakat adat,

wilayah adatnya serta pola pengelolaanya

kebun damarnya sebagai suatu usaha

pertanian. Masyarakat adat Krui tengah

mempersiapkan pendekatan litigasi untuk

mendapatkan kembali hak kepemilikan

tanahnya atas usaha tani kebun damarnya.

Walaupun pemberian hak pengusahaan

belum memenuhi harapan masyarakat adat

Krui akan tetapi SK ini menunjukan

pengakuan atas pola pengelolaan sumber daya

hutan oleh masyarakat adat dalam bentuk

aslinya (Repong Damar) dan jaminan bahwa

pola tersebut dapat dilanjutkan.16

Eksistensi akan masyarakat adat adalah

suatu kenyataan sejarah yang mana tidak dapat

dihindari atau disangkal oleh pemerintah.

Masyarakat adat merupakan suatu segmen riil

di dalam masyarakat Indonesia. Secara formal

pengakuan, penerimaan, atau pembenaran

adanya masyarakat adat di dalam struktur

ketatanegaraan baru diatur di dalam Pasal 18

Undang-undang Dasar 1945. Sebagaimana

ditegaskan pada penjelasan pasal tersebut;

secara sebagian-sebagian pengakuan,

penerimaan, dan/atau pembenaran terhadap

16 Martua Sirait, et. al., Ibid., hlm. 20.

adanya masyarakat adat terdapat di dalam

beberapa peraturan perundang-undangan,

padahal dalam lingkup pergaulan internasional

pemerintah Republik Indonesia masih bersikap

setengah hati mengakui, menerima,

membenarkan adanya masyarakat adat dengan

segala hak dan kewajibannya, di tengah-

tengah pengakuan, penerimaan dan

pembenaran yang telah dilakukan oleh negara

lain.

Merujuk pada Pasal 33 Undang Dasar

1945, negara mengembangkan landasan

teoretikal baru untuk menguasai tanah ulayat

kesatuan masyarakat adat dengan konstruksi

hak menguasai negara atas tanah. Jika ditelaah

secara lebih teliti, baik secara teoretikal

maupun dari praktek pelaksanaannya, ternyata

bahwa hak menguasai negara atas tanah ini

lebih merupakan pencabutan hak ulayat dari

kesatuan masyarakat adat, notabene tanpa

ganti rugi sama sekali. Tidaklah berlebihan

jika dikatakan bahwa konstruksi hak

menguasai negara atas tanah ini adalah bentuk

yang lebih buruk dari domein verklaring, oleh

karena jika domein verklaring masih mengakui

adanya hak atas ulayat maka hak menguasai

negara atas tanah malah menafikannya sama

sekali.

D. SIMPULAN

Di dalam negara hukum, aturan perundangan-

undangan yang tercipta, harus

Page 57: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 52

berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang.

Bahwa hak kesatuan masyarakat adat yang

dihormati dan diakui tanpa syarat oleh

pemerintah kolonial Hindia Belanda justru

dikebiri oleh pemerintah nasional Negar

Kesatuan Republik Indonesia melalui berbagai

kondisionalitas. Masyarakat adat merupakan

suatu segmen riil di dalam masyarakat

Indonesia. Secara formal pengakuan,

penerimaan, atau pembenaran adanya

masyarakat adat di dalam struktur

ketatanegaraan baru diatur di dalam Pasal 18

Undang-Undang Dasar 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum

yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana

Ilmu Populer, 2009).

Bailey, Kenneth D. Methods of Social

Research, Second Edition, (New York:

The Free Press-Devision of MacMillan

Publishing Co. Inc, 1982).

Freeman, M.D.A. Lloyd’s Introduction to

Juricprudence, Seventh Edition,

(London: Sweet & Maxweel Ltd,

2001).

Wignjodipuro, Soerojo. Pengantar dan

Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung:

Alumni, 1979).

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil

Penelitian

Asshiddiqie, Jimly. Hak Konstitusional

Masyarakat Hukum Adat, Makalah

disampaikan dalam Lokakarya

Nasional, Jakarta 10 Desember 2007.

Besse, Sugiswati. "Perlindungan Hukum

Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat

Di Indonesia", Jurnal Perspektif,

Volume XVII No. 1 Tahun 2012 Edisi

Januari.

Sirait, Martua et. al., “Bagaimana Hak-Hak

Masyarakat Hukum Adat dalam

Mengelola Sumber Daya Alam Diatur”,

Southeast Asia Policy Research

Working Paper, No. 24.

Page 58: Indigenous peoples law review

53 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)

PENGAKUAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

MELALUI GUGATAN CITIZEN LAWSUIT Ariezha Pratama, Kantor Advokat & Konsultan Hukum MACOIR

Jl. Tebet Barat X No. 27 Jakarta 12810 Email: [email protected]

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk memahami seperti apa bentuk pengakuan Negara terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, khususnya pada peraturan perundang-undangan tertulis yang menjamin pengakuan kepada Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Sehingga jika dikemudian hari wilayah ataupun keberlangsungan hidup yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang itu diabaikan maka dengan menggunakan model gugatan Citizen Lawsuit Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dapat memperjuangkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum di setiap Pengadilan Negeri pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata Kunci: Pengakuan, Kesatuan Masyarakat Adat, Citizen Lawsuit.

ABSTRACT

This paper aims to understand what kind of recognition of the Unitary State of the Law of Indigenous Peoples, particularly in laws-laws that guarantee a written acknowledgment to the Unity of Indigenous Peoples. So if in the future survival of the area or guaranteed by the constitution and laws-laws that are ignored then using the model Citizen Lawsuit lawsuit Indigenous Peoples Unity can fight for fairness, certainty and legal expediency in each district court in the territory of the Republic of Indonesia.

Keywords: Recognition, Indigenous Peoples, Citizen Lawsuit

Page 59: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 54

A. PENDAHULUAN

Keberadaan kesatuan masyarakat hukum

adat merupakan bagian dari keberadaan

Indonesia sebagai bangsa dan Negara.

Kesatuan masyarakat hukum adat merupakan

unsur esensial dalam tatanan masyarakat

hukum nasional di dalam lingkup Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Indonesia sebagai bangsa yang majemuk

(plural) terdiri atas ratusan suku bangsa dan

bahasa, yang terdiri atas ribuan pulau besar

dan kecil. Konstitusi Indonesia secara tegas

mengakui dan menghormati kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-undang.1

Salah satu pandangan Kesatuan

Masyarakat Adat yang dapat digunakan adalah

pandangan sebagaimana yang dikemukakan

oleh ahli Ilmu Hukum Adat Hazairin, yaitu:

“Masyarakat Hukum Adat seperti desa di

Jawa, marga di Sumatera Selatan, Nagari di

Minangkabau adalah kesatuan-kesatuan

kemasyarakatan yang mempunyai

kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup

berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan

hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan

lingkungan hidup berdasarkan hak bersama

atas tanah dan air”2

1 Lihat Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945 2 Hazairin. Demokrasi Pancasila, Jakarta,

Tintamas, 1970, dalam Soerjono Soekanto & Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1983, hlm. 62.

Secara konkrit, kesatuan masyarakat

hukum adat bisa berwujud dalam bentuk

berbagai organisasi yang berada di luar

institusi-institusi pemerintah yang mempunyai

cukup kekuatan untuk melakukan counter atau

mengimbangi terhadap Negara Atau, berupa

kelompok-kelompok yang melakukan aktifitas

di wilayah pedalaman dan menuntut adanya

transformasi demokrasi meski mungkin tidak

terorganisir ketat seperti kelompok mayarakat

asli pribumi yang mendiami suatu wilayah

secara turun temurun. Dalam hal ini Soetandyo

Wignjosoebroto mengungkapkan bahwa:

“Pengakuan oleh Negara atas hak-hak tanah

masyarakat adat pada hakikatnya adalah

suatu refleksi kesediaan para pengemban

kekuasaan Negara untuk mengakui eksistensi

masyarakat adat yang otonom, dan kemudian

dari pada itu juga untuk mengakui hak-hak

masyarakat itu atas tanah dan segenap

sumber daya alam yang ada di atas dan/atau

di dalam tanah itu yang bernilai vital untuk

menjamin kelestarian fisik dan non fisik

masyarakat tersebut.”3

Sementara itu pada level internasional pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum ada ini telah menjadi agenda yang digunakan dalam Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries menyebutkan bahwa:

3 Soetandyo Wignjosoebroto. “Kebijakan Negara

untuk Mengakui atau Tidak Mengakui Eksistensi Mayarakat Adat Berikut Hak-hak atas Tanahnya”, 1996, Makalah yang Disampaikan Pada Diskusi Meja Bundar “Hak-hak Masyarakat Adat Atas Tanah dalam Konteks Kebijakan Pertanahan Ordebaru”, di selenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 21 Oktober 1996

Page 60: Indigenous peoples law review

55 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)

“Masyarakat hukum adat di Negara-negara

merdeka yang dianggap sebagai pribumi

karena mereka adalah keturunan dari

penduduk yang mendiami Negara yang

bersangkutan, atau berdasarkan wilayah

geografis tempat Negara yang bersangkutan

berada pada waktu penaklukan atau

penetapan batas-batas negara saat ini dan

yang, tanpa memandang status hukum

mereka, tetap mempertahankan beberapa

atau seluruh institusi sosial, ekonomi, budaya

dan politik mereka sendiri.”4

Walaupun kenyataannya sampai dengan

hari ini Pemerintah Indonesia masih belum

meratifikasi intrumen internasional tersebut

melalui hukum positif akan tetapi di dalam

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, instrument mengenai keberadaan Desa

Adat sudah diakui secara yuridis melalui

ketentuan khusus dalam Bab XIII Pasal 103

sampai dengan Pasal 110 yang pada intinya

mengatur kewenangan Desa Adat berdasarkan

hak asal-usul yang dimiliki oleh Desa Adat

termasuk juga di dalamya pengaturan dan

pengurusan ulayat atau wilayah adat.5

Dengan demikian kesatuan masyarakat

hukum adat memiliki kepentingan yang sama

terhadap suatu wilayah, yang jika dirugikan

kepentingannya tersebut dianggap telah

memenuhi syarat-syarat formil untuk

4 Lihat Pasal 1ayat (1) huruf a, Konvensi ILO

(International Labour Organization) No. 169 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries, Genewa, 1989

5 Lihat Pasal 103 huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, TLN Nomor 5495-LN Nomor 7 Tahun 2014

mengajukan gugatan ke Pengadilan. Namun

model gugatan seperti apa dan upaya hukum

yang bagaimana dapat digunakan oleh

kesatuan masyarakat hukum adat untuk

memperjuangkan hak-haknya secara konstitusi

maupun undang-undang. Karena itu penulis,

akan mengangkat model gugatan Citizen

Lawsuit sebagai suatu model gugatan yang

tepat untuk digunakan dalam beracara di

Pengadilan melalui rumusan masalah dibawah

ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada kedudukan gugatan

Citizen Lawsuit dalam sistem hukum di

Indonesia untuk menjamin keadilan bagi

Kesatuan Mayarakat Hukum Adat maka dapat

dirumuskan beberapa masalah yang timbul

yaitu:

1) Bagaimana bentuk pengakuan Negara

terhadap kesatuan masyarakat hukum adat

?

2) Bagaimana gugatan Citizen Lawsuit dapat

menjamin kepentingan kesatuan

masyarakat hukum adat ?

C. PEMBAHASAN

Dinamika Pengakuan Konstitusional

Negara terhadap Eksistensi dan Hak

Tradional Masyarakat Hukum Adat, 1960-

1998.

Sampai sekitar tahun 1960, pengakuan

konstitusional terhadap masyarakat hukum

adat ini tidak banyak dipersoalkan, apalagi

digugat. Sebagian faktor penyebabnya adalah

oleh karena jaminan tersebut dianggap sudah

seyogyanya demikian, sebagian lagi oleh

Page 61: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 56

karena Republik masih sibuk dengan perang

kemerdekaan. Namun perlindungan terhadap

eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini

merosot tajam sejak tahun 1960, seiring

dengan meningkatnya kepentingan negara

terhadap sumber daya alam, yang

bagaimanapun juga berada dalam wilayah

ulayat masyarakat hukum adat, terutama di

luar pulau Jawa. Dengan berbagai peraturan

perundang-undangan,Negara mengembangkan

berbagai kebijakan, yang intinya adalah

mengurangi, menghalangi, membatasi, dan

atau mencabut hak-hak tradisional serta hak

sejarah masyarakat hukum adat yang ada, nota

bene tanpa memberikan ganti rugi sama sekali.

Secara retrospektif dapat dikatakan bahwa

sengaja atau tidak sengaja, seluruh kebijakan

negara yang mengurangi, menghalangi,

membatasi, dan atau mencabut hak-hak

tradisional serta hak sejarah masyarakat

hukum adat tersebut merupakan pelanggaran

terhadap hak asasi manusia.6

Secara khusus perlu dicatat sikap

ambivalen yang dianut oleh undang-undang

dan konstitusi terhadap hukum adat dan

masyarakat hukum adat. Pada suatu sisi,

undang-undang dan konstitusi secara tegas

6 Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat penjelasan bahwa: “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi, mengahalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseoarang atau sekelompok orang yang diajamin oleh Undang-undang ini, dan tiak mendapatkan atau dikahwatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

menyatakan bahwa hukum adat merupakan

sumber dari hukum agraria nasional kita.

Namun pada sisi lain, eksistensi masyarakat

hukum adat yang merupakan konteks sosio

cultural lahirnya hukum adat tersebut dibebani

dengan beberapa kondisionalitas, yang cepat

atau lambat membuka peluang untuk

dinafikannya masyarakat hukum adat tersebut.

Sudah barang tentu, masyarakat hukum adat

tidak berdiam diri terhadap pengurangan,

pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak

tradisionalnya itu. Di seluruh Nusantara telah

terjadi kritik, protes, bahkan perlawanan

terbuka, dari warga masyarakat hukum adat,

yang pada umumnya gagal untuk dalam

mempertahankan esksistensi dan hak-hak

tradisionalnya itu. Seperti dapat diduga,

mereka tidak berada pada posisi yang dapat

membela diri, karena tidak mempunyai akses

pada kekuasaan, baik pada cabang legislatif,

eksekutif, ataupun yudikatif.

Keadaan yang secara sistematis

meminggirkan eksistensi masyarakat hukum

adat serta menegasikan hak-haknya seperti itu

secara umum berlangsung terus sejak tahun

1960 sampai tahun 1998, sewaktu secara

bertahap dalam era Reformasi telah diletakkan

kembali landasan hukum untuk pengakuan

formal terhadap eksistensi dan hak-hak

tradisional masyarakat hukum adat ini, yang

sudah barang tentu memerlukan waktu untuk

benar-benar terlaksanaan dalam kenyataannya.

Page 62: Indigenous peoples law review

57 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)

Saafroedin Bahar dalam tulisannya

berpendapat bahwa ada suatu kemajuan yang

perlu dicatat secara khusus sebelum era

Reformasi, yatu dibentuknya Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada

tahun 1993 dengan Keputusan Presiden

Nomor 50 Tahun 1993. Banyak pihak yang

menduga bahwa pembentukan komisi ini lebih

merupakan hasil tekanan internasional

terhadap Indonesia pasca terjadinya Peristiwa

Dilli 1991, dan bukannya merupakan hasil dari

kebijakan dan strategi nasional sendiri.

Namun, walau pada mulanya banyak fihak

yang menyangsikan efektifitas komisi ini,

akan tetapi semangat, integritas pribadi, serta

kesungguhan anggota-anggotanya dalam

menangani berbagai kasus pelanggaran hak

asasi manusia yang berat pada umumnya

berhasil menimbulkan kepercayaan

masyarakat. Seperti dapat diduga, dalam

tahun-tahun pertama yang mengharuskan

komisi ini berjuang untuk memperoleh

kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi

dirinya itu, belum banyak waktu yang

dialokasikan secara khusus untuk

penghormatan, perlindungan, dan

perlindungan masyarakat hukum adat.

Hak-hak Tradisional Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat

Pembahasan mengenai hak masyarakat

hukum adat masih sangat kompleks. Pada

dasarnya hubungan masyarakat adat dengan

sumber daya alam, lingkungan atau wilayah

kehidupannya lebih tepat dikategorikan

sebagai hubugan kewajiban daripada hak.

Hubungan tersebut baru dikategorikan sebagai

hak bila mereka berhubungan dengan pihak

luar, baik itu komunitas lain, pengusaha

bahkan dengan pemerintah. Ketika

berhubungan dengan pihak luar, maka

konsepsi tentang hak kemudian menjadi

sesuatu yang bermuatan politis yang

diperebutkan sekaligus menjadi objek

peraturan di dalam hukum.

Mengenai fungsi hak-hak tradisional

Moh. Koesnoe mengemukakan terdapat empat

fungsi yang berkaitan dengan hak-hak

tradisional dalam persekutuan masyarakat

hukum pedesan (adat) berkenaan dengan

menjaga tata harmoni antara masyarakat

dengan tata semesta meliputi: Fungsi

pemerintahan, Fungsi pemeliharaan roh,

Fungsi pemeliharaan agama, dan fungsi

pembinaan hukum adat.7

Latief Fariqun mendefinisikan pengakuan

sebagai:

“Pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan hak-hak warga Negara baik sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk

7 Irfan Nur Rahman. Dasar Pertimbangan Yuridis

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011), hlm. 4.

Page 63: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 58

menghormati, melindungi dan memenuhi

hak-hak asasi warga negara”8

Terdapat dua hal utama dalam Undang-

undang nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan mengenai pengakuan masyarakat

hukum adat, yakni:

Pertama, bahwa sumber daya hutan

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikatakan

juga bahwa penguasaan hutan oleh ngeara

bukan merupakan kepemilikan, namun Negara

memberi sejumlah kewenangan kepada

pemerintah, termasuk kewenangan untuk

memberikan izin dan hak kepada pihak lain

untuk melakukan kegiatan di bidang

kehutanan. Hak menguasai negara membawa

konsekuensi dimasukkannya hutan yang

dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke

dalam hutan negara. Dengan demikian,

cakupan hutan negara bukan hanya hutan yang

tidak dibebani hak-hak atas tanah, tetapi juga

mencakup hutan yang dikuasai oleh

masyarakat hukum adat atau yang biasa

disebut dengan hutan adat.9

Kedua, dimasukannya hutan negara tidak

lantas meniadakan hak-hak masyarakat hukum

8 A. Latief Fariqun. “Pengakuan Hak Masyarakat

Hukum Adat atas Sumberdaya Alam dalam Politik Hukum Nasional”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya, 2007), hlm. 81.

9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Atas Pengujian Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Menyatakan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.

adat sepanjang kenyataannya masih ada dan

diakui keberadaannya, untuk melakukan

pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Namun,

masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu

harus dikukuhkan keberadaannya lewat

peraturan daerah.

Keberadaan masyarakat hukum adat di

Indonesia merupakan sebuah hal keniscayaan

yang tidak terbantahkan. Keberadaan

masyarakat hukum adat dewasa ini juga perlu

mendapatkan perhatian secara optimal,

mengingat bahwa keberadaan masyarakat adat

beserta hukum adatnya mengalami degradasi

pengakuan.

Konstitusi tidak menjelaskan hak-hak apa

saja yang harus dipenuhi Negara terhadap

masyarakat adat. Di dalam konstitusi hak

tersebut diistilahkan dengan hak-hak

tradisional masyarakat hukum adat. Sampai

saat ini belum ada penjelasan yang memadai

untuk menjelaskan apa saja yang digolongkan

menjadi hak-hak tradisional masyarakat

hukum adat. Diseluruh peraturan perundang-

undang yang ada hanya menyalin saja

rumusan hak-hak tradisional masyarakat

hukum adat di dalam konstitusi tanpa

memberikan penjelasan.

Perjuangan Masyarakat Hukum Adat di

Tingkat Internasional

Perjuangan untuk perlindungan,

pengakuan, dan penghormatan terhadap

masyarakat hukum adat ini tidak hanya

berlangsung pada tataran nasional, tetapi juga

Page 64: Indigenous peoples law review

59 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)

pada tataran internasional. Sudah jelas bahwa

upaya ini sungguh teramat sukar, bukan saja

oleh karena setiap negara masih tetap

bertumpu pada asas kedaulatan negara (state

souvereignty) yang tidak akan menolerir setiap

sanggahan dan penyebalan terhadap

kedaulatan negara, tetapi juga oleh karena

masih belum berkembangnya doktrin

mengenai hak asasi manusia yang bersifat

kolektif (collective rights).

Selain itu, sampai tahun 1993 pada

tataran konseptual negara-negara di dunia

masih terbagi atas dua kubu, yaitu negara-

negara demokrasi liberal yang memusatkan

perhatian pada hal sipil dan politik yang

memberi prioritas pada hak-hak perseorangan,

dan kubu negara-negara sosialis dan komunis

yang memusatkan perhatian pada hak

ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam suasana

konflik ideologi tersebut, adalah jelas bahwa

wacana tentang hak masyarakat hukum adat

tidak akan memeperhatian yang memadai.

Baru pada tahun 1993, pasca runtuhnya kubu

negara-negara sosialis dan komunis, telah

dapat dimasuki babak baru pada Konferensi

Wina yang selain mengintegrasikan kedua

‘sayap’ hak asasi manusia tersebut, juga sudah

mengidentifikasi pentingnya pengakuan

terhadap hak masyarakat hukum adat.

Walaupun demikian, ada suatu langkah

yang secara diam-diam terus memperjuangkan

hak masyarakat hukum adat ini dalam artian

indigenous peoples dan tribal groups yang

dilakukan oleh The International Labour

Organization (ILO). Berturut-turut pada tahun

1957 dan tahun 1989 lembaga khusus

Perserikatan Bangsa Bangsa ini berhasil

mengesahkan konvensi tentang perlindungan

dan pengakuan terhadap hak masyarakat

hukum adat. Sudah barang tentu, daya ikat

berlakunya konvensi ILO tersebut bergantung

pada apakah konvensi tersebut diratifikasi oleh

negara-negara anggota PBB atau tidak.

Selain itu, dalam dasawarsa 1980-an

dalam lingkungan PBB telah dapat dibentuk

The U.N Permament Forum for Indigenous

Issues, yang mengkaji masalah-masalah yang

berkenaan dengan hak masyarakat hukum adat

ini. Dengan kegigihan dan ketabahan yang

mengagumkan, bersama dengan The U.N High

Commissioner of Human Rights serta UNDP,

personil forum ini mengadakan advokasi

tentang hak masyarakat hukum adat. Pada

tahun 2004-2007 secara proaktif kantor

regional UNDP di Bangkok mengadakan

kerjasama dengan dan memberikan dukungan

kepada Komnas HAM serta Departemen

Sosial, untuk memajukan hak masyarakat

hukum adat ini. Suatu terobosan historis

terhadap kebuntuan yang dialami selama

berpuluh dalam perjuangan melindungi,

mengakui, dan menghormati hak masyarakat

hukum adat ini tercapai sewaktu Sidang

Umum PBB mensahkan U.N. Declaration on

the Rights of the Indigenous Peoples, 13

September 2007. Sudah barang tentu, sebagai

dokumen yang nonlegally binding, deklarasi

ini tidak memerlukan ratifikasi, namun norma-

Page 65: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 60

norma yang terkandung di dalamnya

bermanfaat sebagai salah satu rujukan hukum

internasional yang dapat dipegunakan untuk

membentuk sebuah rancangan undang-undang

tentang hak masyarakat hukum adat.

Kedudukan Citizen Lawsuit Dalam Sistem

Peradilan di Indonesia

Ketika mengkaji suatu permasalahan

hukum maka pertanyaannya adalah undang-

undang apa yang digunakan untuk mengetahui

sanksi apa yang tepat untuk diterapkan. Sistem

peradilan pidana adalah sistem dalam suatu

masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.

Menanggulangi disini berarti usaha untuk

mengendalikan kejahatan agar berada dalam

batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini

dianggap berhasil apabila sebagian besar dari

laporan maupun keluhan masyarakat yang

menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan,

dengan diajukannya pelaku kejahatan ke

sidang pengadilan dan diputus bersalah serta

mendapat pidana.10

Citizen Lawsuit merupakan klaim atau

tuntutan atau kehendak dari masyarakat

terorganisir menyangkut kepentingan umum

yang dilanggar oleh siapapaun. Atas

pelanggaran kepentingan umum ini diperlukan

10 Latifah Zahrah. Penegakan Hukum Terhadap

Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Penempatan Calon Tenaga Kerja (CTKI) / Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Yang Dilakukan Oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Dalam Sistem Peradilan Pidana, Tesis: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Juli, 2011, Hlm 10

kontrol yang bersifat fundamental dari warga

negara melalui Citizen Lawsuit, secara

sederhana Citizen Lawsuit diartikan sebagai

gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga

Negara, tanpa pandang bulu, dengan

pengaturan oleh Negara.11

Munculnya mekanisme gugatan Citizen

Lawsuit dalam hukum acara perdata di

Indonesia adalah upaya untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat yang belum

terakomodir di dalam hukum acara perdata di

Indonesia dan untuk memenuhi kebutuhan

bagi masyarakat yang mencari keadilan

(justiciabelen). Adanya transplantasi hukum

untuk mengadopsi suatu sistem hukum di

suatu Negara bukanlah hal yang tidak

mungkin terjadi. Terlebih lagi, kehidupan

manusia yang terus berkembang yang

menuntut perkembangan hukum pula. Seperti

yang dikemukakan oleh Soetandyo

Wignjosoebroto12 bahwa hukum undang-

undang sebagai teks tidaklah selamanya sama

dan sebangun dengan relitasnya dalam konteks

sosio kultural.

Berangkat dari konstruksi pemikiran ini

maka dapat dipastikan bahwa Citizen Lawsuit

merupakan gugatan yang diajukan atas nama

kepentingan masyarakat, sementara itu

gugatan yang mengatasnamakan kepentingan

11 E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class

Action (Suatu Studi perbandingan & Penerapannya di Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2000, Hlm 18

12 Soetandyo Wignjosoebroto. Hukum dalam Masyarakat Edisi 2, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2013, Hlm 6

Page 66: Indigenous peoples law review

61 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)

umum yaitu gugatan perwakilan kelompok

(Class Action), sudah secara formal diatur

dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung

No.1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan

Class Action. Meskipun secara substansi

peraturan tersebut memang masíh sangat sumir

tetapi sudah ada beberapa kasus mengenai

gugatan secara class action yang telah

disidangkan di pengadilan, seperti antara lain

kasus pemadaman arus listrik (antara YLKI-

PLN), kasus gas elpiji (antara YLKI-

Pertamina), dan kasus gugatan yang diajukan

oleh masyarakat desa Mandalawangi Garut

yang menjadi korban longsor terhadap

pemerintah yang dalam hal ini PN.

PERHUTANI .

Disamping itu, dalam praktik akhir-akhir

ini mulai marak diajukan jenis tuntutan

perdata yang berasal dari hukum acara perdata

asing yang tidak dikenal dalam sistem hukum

Indonesia, yang dikenal dengan Actio

Popularis atau Citizen Lawsuit. Menurut

Syahdeini,10 yang dimaksud dengan Actio

Popularis adalah prosedur pengajuan gugatan

yang melibatkan kepentingan umum secara

perwakilan. Dalam hal ini, pengajuan gugatan

ditempuh dengan acuan bahwa setiap warga

Negara tanpa kecuali mempunyai hak

membela kepentingan umum.

Bentuk gugatan dengan

mengatasnamakan kepentingan umum ini

memang belum dikenal dalam sistem hukum 10 Sudikno Mertokusumo. Actio Polaris,

http://sudikno.blogspot.com, Diakses 18 Januari 2015

Indonesia, namun tampaknya konsep tersebut

mulai sering digunakan dalam sistem peradilan

kita. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat misalnya

telah menerima model gugatan Citizen

Lawsuit.

Putusan Hakim Harus Berlandaskan

Norma dan Asas-asas Hukum

Untuk mengetahui ruang lingkup suatu

pristiwa hukum atas pristiwa konkrit, maka

terlebih dahulu perlu adanya kepastian

mengenai sengketa yang telah terjadi. Hal ini

dilakukan oleh hakim pada saat proses

persidangan. Hakim akan memperhatikan

semua kejadian yang telah diuraikan oleh

pihak penggugat dan tergugat. Dari proses ini,

maka hakim akan menemukan pristiwa yang

sebenarnya disengketakan oleh kedua belah

pihak. Pokok sengketa inilah yang oleh hakim

diseleksi untuk kemudian dibuktikan

kebenarannya oleh para pihak.

Berdasarkan teori tersebut, maka salah

satu cara agar hakim mengetahui bahwa suatu

sengketa harus diselesaikan berdasarkan

norma dan asas-asas hukum adalah dengan

melalui tahap Tanya jawab antara para pihak

penggugat dan tergugat yang menyatakan

dengan dalil-dalil. Dalam memutus suatu

perkara hakim dituntut untuk berusaha

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum dan keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Hal ini sesuai dengan doktrin

Gustav Radbruch tentang tujuan hukum,

Page 67: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 62

dimana Radbruch menciptakan ajaran prioritas

yang memeberikan keutamaan pada aspek

keadilan dibandingkan aspek kemanfaatan dan

kepastian hukum. Kepastian hukum adalah

aspek terakhir yang harus dipertimbangkan

karena hukum adalah instrument yang

diciptakan manusia untuk mewujudkan tujuan-

tujuan luhur seperti keadilan, kesejahteraan,

dan kemanusiaan.

Bagaimana jika keadilan yang tumbuh

dalam suatu kesatuan masyarakat hukum adat

ternyata bertentangan dengan kepentingan

nasional. Maka berdasarkan teori hukum,

terdapat kebiasaan yang dapat menyimpangi

undang-undang, yaitu yang disebut kebiasaan

derogatoir. Namun tidak semua undang-

undang dapat disimpangi dengan kebiasaan.

Hanya undang-undang yang sifatnya

pelengkap (aanvulen) yang dapat disimpangi.

Oleh sebab itu, satu-satunya mekaanisme yang

dapat ditempuh untuk mengakui dan

menguatkan nilai keadilan di suatu masyarakat

ayng bertentangan dengan peraturan tertulis

yang sifatnya imperatif adalah dengan praktek

peradilan (yurisprudensi) oleh hakim.

Hakim-hakim ini umumnya akan disebut

hakim-hakim yang beraliran progresif meski

dengan segala konsekuensi pembatalan dari

peradilan yang lebih tinggi. Keberanian para

hakim untuk menyimpangi undang-undang ini

sesuai dengan ajaran realisme yang

berkembang dalam tradisi sistem hukum

Anglo-Saxon di Amerika Serikat, dimana

hakim adalah law making (pembentuk hukum)

dan bukan hanya melaksanakan apa yang

ditulis oleh undang-undang sehinggga

perasaan hukum dan keadilan di masyarakat

merupakan sumber utama bagi hakim dalam

menemukan hukumnya.

Citizen Lawsuit Sebagai Jaminan Keadilan

Terhadap Kesatuan Mayarakat Hukum

Adat

Hukum tidak lepas dari kehidupan

manusia, maka untuk membicarakan hukum

kita tidak dapat lepas membicarakannya dari

kehidupan manusia.14 Sudah menjadi sifat

pembawaannya bahwa manusia hanya dapat

hidup dalam masyarakat. Manusia adalah

Zoon Politicon atau mahluk sosial. Manusia

dan masyarakat merupakan pengertian

komplementer. Di dalam masyarakat manusia

selalu berhubungan satu sama lain. Kehidupan

bersama itu menyebabkan adanya interkasi,

kontak atau hubungan satu sama lain. Kontak

dapat berarti hubungan yang menyenangkan

atau menimbulkan pertentangan atau konflik.

Mengingat akan banyaknya kepentingan tidak

mustahil menjadi konflik atau bentrokan

antara sesama manusia, karena

kepentingannya saling bertentangan. Konflik

kepentingan itu terjadi apabila dalam

melaksanakan atau mengejar kepentingannya

seseorang merugikan orang lain. Di dalam

14 Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu

Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2003, hlm. 1.

Page 68: Indigenous peoples law review

63 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)

kehidupan bersama atau masyarakat konflik

itu tidak dapat dihindarkan.15

Oleh karena itu di dalam kehidupan

bermasyarakat dibutuhkan adanya

perlindungan kepentingan. Perlindungan

kepentingan itu akan tercapai dengan

terciptanya pedoman, patokan, atau ukuran

untuk berprilaku atau bersikap dalam

kehidupan bersama yang disebut norma atau

kaedah. Kaedah hukum merupakan pedoman

tentang bagaimana seyogyanya manusia

bertingkah laku di dalam masyarakat: kaedah

hukum merupakan ketentuan tentang perilaku.

Pengaruh sistem hukum common law terhadap

hukum acara perdata di Indonesia muncul

kembali pada tahun 2003. Gugatan Citizen

Lawsuit (Gugatan Warga Negara) diajukannya

pertama kalinya atas nama Munir c.s. atas

penelantaran negara terhadap buruh migran

yang di deportasi di Nunukan. Gugatan Citizen

Lawsuit (gugatan warga negara) ini merupakan

model gugatan perdata yang dikenal di sistem

hukum common law. Sejarah pengajuan

gugatan Citizen Lawsuit (gugatan warga

negara) diajukan terhadap kasus mengenai

lingkungan, namun dalam perkembangannya

pengajuan gugatan Citizen Lawsuit (gugatan

warga negara) mencakup berbagai bidang

yang memang dianggap negara telah lalai dan

melanggar hak-hak warga negara.

Sistem hukum di Indonesia tidak

mengenal adanya gugatan Citizen Lawsuit

(gugatan warga negara), hal ini dapat dilihat 15 Ibid, hlm. 3.

dari hukum acara perdata posisitf di Indonesia

yang masih menggunakan peninggalan

Belanda yakni, HIR dan RBg maupun

Reglementop de Burgerlijke Rechtsvordering

(selanjutnya disebut Rv) tidak mengatur

mengenai gugatan Citizen Lawsuit (gugatan

warga negara). Gugatan Citizen Lawsuit

(Gugatan Warga Negara) dalam kasus

Nunukan yang menyangkut nasib warga

negara Indonesia yang menjadi buruh migran

di Malaysia yang dideportasi di Nunukan

merupakan pemahaman konsep baru bagi

hukum di Indonesia.

Persoalan mengenai gugatan Citizen

Lawsuit dalam kasus pelanggaran terhadap

kepentingan umum adalah mengenai prosedur

pengajuan gugatan yang dikenal di sistem

hukum Common Law yang dianut oleh negara-

negara anglo saxon, namun dalam kasus ini

digunakan di Indonesia yang menganut sistem

hukum Civil Law, tidak mengenal adanya

gugatan tersebut. Terlebih lagi di dalam

peraturan hukum acara perdata di Indonesia

bersifat imperatif, yang berarti bersifat

memaksa, tidak dapat disimpangi dan hakim

harus tunduk. Hakim tidak dapat menciptakan

peraturan yang mengikat setiap orang secara

umum. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat yang menangani kasus Munir c.s. dalam

perkara buruh migran, melalui Putusan

Nomor: 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST,

menerima bahkan mengabulkan sebagian

gugatan Citizen Lawsuit ini.

Page 69: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 64

Masuknya mekanisme gugatan Citizen

Lawsuit di Indonesia adalah upaya untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat yang belum

terakomodir di dalam hukum acara perdata di

Indonesia. Mekanisme gugatan Citizen

Lawsuit ini dapat diterapkan di dalam sistem

hukum di Indonesia karena adanya

transpalansi hukum, namun tanpa diimbangi

oleh peraturan perundang-undangan yang ada.

Hal inilah yang menjadi perdebatan di dalam

sistem peradilan di Indonesia. Adanya

transpalansi hukum, sistem suatu negara lain

dapat diterapkan, namun mengacu pada

sumber hukum utama adalah undang – undang

maka dengan mandasarkan hal tersebut

mekanisme gugatan Citizen Lawsuit yang

belum diatur di dalam perundang-undangan

tidak dapat diterapkan.

Perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST

yang merupakan gugatan Citizen Lawsuit yang

pertama kali diajukan di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, dalam penetapannya Majelis

Hakim menetapkan bahwa gugatan Citizen

Lawsuit yang diajukan para penggugat

diterima dan menyatakan bahwa pemeriksaan

perkara dapat dilanjutkan. Majelis hakim

mempertimbangkan ketentuan Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok

Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun

1999, dalam Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 27,

yang sekarang diubah dengan Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 10 ayat (1) dan pasal 5.

Dengan adanya penetapan tersebut, Majelis

Hakim telah menerapkan transplantasi dari

sistem Common Law yaitu mekanisme gugatan

Citizen Lawsuit ke dalam mekanisme hukum

acara di Indonesia.

Selama ini pengertian yang dijadikan

sebagai acuan bagi kepentingan umum adalah

pengertian yang diambil dari peraturan

perundang-undangan, juga digunakan

pengertian secara gramatikal, doktrin, dan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Pengertian kepentingan umum bisa

ditemukan dalam beberapa peraturan

perundan- undangan, antara lain:

a) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara. Kepentingan Umum

adalah kepentingan bangsa, negara,

masyarakat bersama, dan/atau

pembangunan.

b) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Kepentingan umum adalah kepentingan

bangsa dan negara dan/atau kepentingan

masyarakat luas.

Sedangkan menurut Kamus Istilah Aneka

Hukum, Kepentingan Umum yaitu:

”Kepentingan hukum dari tiap badan dan

peraturan perundangan negara serta

kepentingan umum tiap-tiap manusia (jiwa,

Page 70: Indigenous peoples law review

65 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)

raga, tubuh), kemerdekaan, kehormatan, hak

milik atau harta benda.”16

Oleh karena itu berdasarkan pendekatan

hukum positif, doktrin, dan kamus, ditemukan

bahwa tolak ukur pertama dari kepentingan

umum adalah ”titik keseimbangan” terhadap

kelangsungan hidup yang meliputi: Manusia

pribadi dengan martabatnya, rakyat sebagai

komunitas warga negara atau, penduduk, dan

pemerintah dengan segala tindakan dan

keputusannya.

Sudikno Mertokusumo setelah

menganalisis berbagai batasan kepentingan

umum dalam peraturan perundang-undangan

yang ada di Indonesia, berpendapat bahwa

yang dimaksud dengan pengertian kepentingan

umum adalah kepentingan yang menyangkut

kepentingan bangsa dan negara, pelayanan

umum dalam masyarakat luas, rakyat banyak,

dan/atau pembangunan di berbagai bidang

kehidupan (atau dengan perkataan lain

kepentingan yang harus di dahulukan dari

kepentingan-kepentingan lainnya), dengan

tetap memperhatikan proporsi pentingnya dan

kepentingan-kepentingan yang lain. Secara

teoritis dapat dikatakan bahwa kepentingan

umum merupakan resultan dari hasil

menimbang-nimbang sekian banyak

kepentingan-kepentingan dalam masyarakat

dengan menetapkan kepentingan mana yang

lebih utama dari kepentingan lain secara

proporsional dengan tetap menghormati semua 16 C.S.T. Kansil. Kamus Istilah Aneka Hukum,

Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm. 227.

kepentingan dan dengan mengacu kepada

rumusan umum dalam undang-undang.17

Penyelenggaraan kepentingan umum

yang menyangkut kehidupan bermasyarakat

pada dasarnya merupakan tugas pemerintah

sehingga Citizen Lawsuit pada umumnya

ditujukan kepada pemerintah. Kepentingan

umum dalam berbagai bidang adakalanya juga

diselenggarakan oleh pihak swasta yang ikut

menyelenggarakan kepentingan umum

tersebut.

Oleh karena itu Satjipto Rahardjo18

menjelaskan bahwa terdapat empat klausula

yuridis yang menjadi kriteria eksistensi

masyarakat hukum adat disertai komentarnya

sebagai berikut:

a) Sepanjang Masih Hidup

Kita tidak semata-mata melakukan

pengamatan dari luar, melainkan juga dari

dalam, dengan menyalami perasaan

masyarakat setempanya (pendekatan

partisipatif).

b) Sesuai Dengan Perkembangan Masyarakat

Syarat ini mengandung resiko untuk

memaksakan (imposing) kepentingan

raksasa atas nama “perkembangan

masyarakat”. Tidak memberi peluang untuk

membiarkan dinamika masyarakat setempat

berproses sendiri secara bebas.

17 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 45. 18 Hendra Nurtjahjo & Fokky Fuad. Legal

Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Salemba Humanika, 2010, hlm. 12.

Page 71: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 66

a) Sesuai Dengan Prinsip NKRI

Kelemahan paradigm ini melihat NKRI dan

masyarakat adat sebagai dua antitas yang

berbeda dan berhadap-hadapan.

b) Diatur Dalam Undang-undang

Indonesia adalah Negara berdasar hukum,

apabila dalam Negara yang demikian itu

segalanya diserahkan kepada hukum, maka

kehidupan sehari-hari tidak akan berjalan

dengan produktif. Hukum yang selalu ingin

mengatur ranahnya sendiri dan merasa

cakap untuk itu telah gagal (bila tidak

melibatkan fenomena sosial lainnya).

Jika berdasarkan keputusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor

36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan

Pedoman Penanganan Perkara Perdata

Lingkungan dimana Gugatan Warga Negara

(Citizen Lawsuit) menjadi salah satu hak

gugat.19 Meskipun tidak ada peraturan yang

khusus yang mengatur perihal gugatan Citizen

Lawsuit, setidaknya selama masyarakat

kesatuan hukum adat tersebut masih hidup,

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan RI maka dapat

melakukan atau mengajukan gugatan ke

Pengadilan Negeri (selaku penggugat terhadap

kerugian yang dialami) yang telah diakui

keberadaannya oleh Mahkamah Agung.

Terutama dalam hal pelanggaran Lingkungan

Hidup.

19 Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup

D. SIMPULAN

1) Negara Indonesia adalah Negara hukum.

Yang berdiri diatas norma dasar berupa

konstitusi yang mengamanatkan pengakuan

dan penghormatan atas keberadaan

kesatuan masyarakat hukum adat.

2) Dengan adanya amanat konstitusi disertai

undang-undang yang menjamin

keberlangsungan hidup kesatuan

masyarakat hukum adat, maka sudah

seharusnya kerugian yang akan timbul

nantinya terhadap kesatuan masyarakat

hukum adat harus diajukan upaya hukum

yang menjadi tujuan untuk mencari

keadilan, kepastian dan kemanfaatan

hukum.

3) Dengan telah dibentuknya Undang-undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sudah

tentu akan berdampak pada adanya

perlindungan secara optimal yang

digunakan untuk kedaulatan hukum.

Walaupun sistem hukum Indonesia belum

memberikan ruang secara khusus terhadap

gugatan Citizen Lawsuit melalui

pemebentukan peraturan perundang-undangan

yang mengatur secara Lex Specialis tentang

prosedur dan tata cara pengajuan gugatan

Citizen Lawsuit, namun sudah ada payung

hukum Surat Keputusan Ketua Mahkamah

Agung pada tahun 2013

Page 72: Indigenous peoples law review

67 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)

Daftar Pustaka Buku Hazairin. Demokrasi Pancasila, (Jakarta:

Tintamas, 1970). Kansil, C.S.T., Kamus Istilah Aneka

Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002)

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003)

Nurtjahjo dan Fuad, Hendra, Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010).

Nur Rahman, Irfan. Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011).

Soekanto & B. Taneko, Soerjono, Soleman. Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1983).

Sundari, E. Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi perbandingan & Penerapannya di Indonesia), (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2000).

Wignjosoebroto, Soetendyo, Hukum dalam Masyarakat: Edisi 2, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013).

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian

Fariqun, A. Latief. “Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Alam dalam Politik Hukum Nasional”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya, 2007)

Wignjosoebroto, Soetendyo. “Kebijakan Negara untuk Mengakui atau Tidak Mengakui Eksistensi Mayarakat Adat Berikut Hak-hak Atas Tanahnya”, 1996, Makalah yang Disampaikan Pada Diskusi Meja Bundar “Hak-hak Masyarakat Adat Atas Tanah dalam Konteks Kebijakan Pertanahan Ordebaru”, di selenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta: 21 Oktober 1996

Zahrah, Latifah. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Penempatan Calon Tenaga Kerja (CTKI) / Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Yang Dilakukan Oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Dalam Sistem Peradilan Pidana, Tesis: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum-Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Juli, 2011.

Internet Sudikno Mertokusumo. Actio Polaris,

http://sudikno.blogspot.com, Diakses 18 Januari 2015

Page 73: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 68-71 68

PROFILE MASYARAKAT ADAT1 Nama Masyarakat Adat : Semende Banding Agung

Wilayah : Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur Provinsi

Bengkulu Kondisi Geografis : Pegunungan

Mata Pencaharian : Petani

Bahasa : Semende

Pola Pengambilan Keputusan : Musyawarah

Pembagian Ruang Wilayah Adat : 1. Hutan Adat

2. Kawasan Cagar Budaya

3. Kawasan Kelola Rakyat

Sejarah Singkat

Pada zaman jajahan Inggris, beberapa warga Semende Lembak yang berasal dari pulau

beringin (Sumbagsel) yang berjumlah 8 (delapan) orang beserta keluarganya mengungsi dari

ancaman akan adanya jajahan Belanda ditempat asalnya menuju suatu tempat dan membuat

pemukiman. Daerah pemukiman ini dikenal dengan kampung Tumbu’an (Daerah Ulu Air

Nasal Kiri). Delapan orang tersebut adalah: 1) Raja Mekute; 2) Tadin Guruh; 3) Pati Alam; 4)

Singa di Bukit; 5) Mas Pandan; 6) Meile; 7) Dirahman; 8) Murrhammid (Ninik di Pulau)

sebagai ketua rombongan.

Sebagaimana layaknya sebuah perkampungan, bahasa sehari-hari yang mereka gunakan

adalah bahasa semende. Mereka membuat rumah dengan bentuk panggung yang dindingnya

berupa pelupuh bambu dan atapnya terbuat dari ijuk enau, belahan bambu (gelumpai) atau

kepingnya kayu (sirap) serta tiang rumah berupa potongan kayu bulat. Semua bahan-bahan

untuk membuat rumah mereka diambil dari sumber daya hutan yang ada disekeliling

pemukiman mereka. Sedangkan untuk penerangan mereka menggunakan obor yang terbuat

dari bambu dengan bahan bakar getah damar yang disebut Jehangkang.

Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah penduduk Kampung Tumbuan semakin bertambah oleh adanya kelahiran dari masing-masing keluarga mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka, warga kampung mengerjakan cocok tanam padi dan palawija baik didarat maupun disawah sambil memlihara ayam. Selain itu juga warga menanam tanaman keras seperti petai, durian dan pohon damar mata kucing.

1 Data Litbang, Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu.

Page 74: Indigenous peoples law review

69 Profile Masyarakat Adat Semede Banding Agung-(Litbang, AMAN Bengkulu)

Beberapa waktu kemudian, kampung Manula semakin ramai baik oleh adanya

pendatang susulan maupun oleh penambahan kelahiran. Diangkatlah seorang Depati pertama

dengan gelar Depati Linggang Negara di perkampungan Ulu Manula (yang kemudian dikenal

dengan nama Dusun Banding Agung). Dusun Banding Agung dalam pembagian

kewilayahannya termasuk kedalam Marga Muara Nasal.

Depati Linggang Negara mengangkat 7 (tujuh) orang bersaudara yang datang ke

Manula tersebut sebagai Hulu Balang yang kemudian dikenal dengan Hulu Balang Tujuh

yang dipimpin oleh Togoeh.

Beberapa tahun kemudian, pemerintah Belanda melalui Akte yang ditandatangani oleh

Door Mij Controluer van Kaoer (Vanhille) tertanggal 22 Agustus 1891 mengangkat warga

dusun Banding Agung bernama Amat sebagai Depati dusun Banding Agung Marga Muara

Nasal dengan gelar Depati Matjan Negara. Depati Matjan Negara memimpin dusun Banding

Agung selama 2 periode dan setelah itu dilanjutkan oleh Depati Djagoek (anak dari Nagaran,

Pesirah Marga Ulu Nasal yang bergelar Ratu Semong).

Pada kepemimpinan Depati Djagoek, warga Semende dusun Banding Agung didatangi

oleh 4 (empat) orang utusan pemerintah Belanda yang memerintahkan agar warga Banding

Agung pindah ke suatu wilayah pesisir pantai dengan maksud agar mudah dikoordinir oleh

pemerintah Belanda saat itu, namun warga menolak untuk pindah atau meninggalkan dusun

Banding Agung. Sehubungan dengan itu 4 orang utusan Belanda tersebut mengalami nasib

dibunuh oleh warga Banding Agung.

Mengetahui kejadian itu pemerintah Belanda merasa ditantang dan mengutus lagi

beberapa orang utusan untuk menemui warga Banding Agung dengan membawa beberapa

perintah kepada warga dusun Banding Agung, agar : 1) mengganti/menebus kematian 4

orang utusan yang dibunuh itu dengan ketentuan 40 orang untuk pengganti 1 jiwa yang

terbunuh (bearti 40 X 4 = 160 jiwa). 2) warga harus membayar upeti serta tunduk dan patuh

kepada pemerintah Belanda. 3) jika warga tidak mengindahkan perintah tersebut, maka

seluruh wilayah dusun Banding Agung beserta isinya akan dibumi hanguskan oleh

pemerintah Belanda.

Walau demikian, warga Banding Agung tidak ada yang mengindahkan perintah itu

walaupun keseluruhan warga terus dihantui kecemasan dan ketakutan akan serangan dari

penjajah Belanda. Oleh sebab itulah dalam waktu yang tidak terlalu lama, seluruh warga

Banding Agung secara berangsur-angsur meninggalkan wilayah adatnya dan pndah menuju

ke beberapa tempat/dusun, seperti : Pulau Duku, Air Pisang Kalianda, Prau Dipo, Semong

(Lampung Selatan) dan Muara Dua.

Page 75: Indigenous peoples law review

Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 68-71 70

Seperti halnya Teragal, Rimban dan Depati Djagoek memilih pindah ke Muara Dua. Depati Djagoek kemudian mencalonkan diri menjadi pesirah Ulu Nasal bersama Pangeran Aboestam, namun pencalonan beliau ditolak oleh pemerintah Belanda dengan alasan bahwa Djagoek bukanlah penduduk asli Marga Ulu Nasal melainkan berasal dari Marga Muara Nasal. Depati Djagoek akhirnya pindah dan meninggalkan desa Muara Dua menuju ke Semong.

Sehingga pada waktu itu dusun Banding Agung tidak lagi dihuni oleh warganya, namun dalam waktu tertentu seperti ketika sedang musim panen pada setiap tahunnya masih banyak keturunan dari warga Banding Agung yang datang ke wilayah adat Semende Banding Agung untuk melihat dan membersihkan serta mengambil hasil kebun tanaman keras yang telah diwariskan pendahulunya.

Demikian dari tahun ke tahun berjalan, dusun Banding Agung tidak lagi dihuni seperti layaknya sebuah perkampungan, namun pada prinsipnya wilayah adat suku Semende ini tidak pernah ditinggalkan oleh warganya.

Pada tahun 1950, anak Depati Djagoek yang bernama Zulkarnain menuliskan surat wasiat yang berisi tentan kepemilikan lahan kebun dan tanamannya di wilayah dusun Banding Agung. Tahun 1998, beberapa warga suku Semende mulai membuka kembali lahan pada wilkayah adat mereka untuk berladang dan berkebun serta membuat pemukiman yang disebut dengan Talang. Warga yang pertama memulai kembali mengelola tanah adat suku Semende dusun lama Banding Agung adalah Jupran, Nasirwan dan Marpu’i. Tahun 1999 hingga sekarang dusun Banding Agung sudah mulai banyak warganya, mereka membuat pemukiman dalam bentuk Talang. Hingga saat ini dusun Banding Agung terdiri dari 5 Talang yaitu : 1) Talang Tengah. 2) Talang Sinar Semende. 3) Talang Kepayang. 4) Talang Batu Betiang. 5) Talang Cemara. Lembaga Adat Ketue Adat : Orang yang dipilih oleh masyarakat untuk menjadi

pemimpin adat yang berwenang untuk mengesahkan setiap keputusan yang diambil melalui musyawarah adat

Ulu Balang : Orang yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah adat

Malim : Orang yang ditunjuk sebagai dukun pria Rebia : Orang yang ditunjuk sebagai dukun perempuan Raje Bujang : Orang yang ditunjuk sebagai ketua kaum pemuda

(Bujang) Raje Gadis : Orang yang ditunjuk sebagai ketua kaum pemudi (Gadis) Kaum Lime / Pengurus Masjid

: Imam, Khotib, Bilal, Gharim, Datuk.

Page 76: Indigenous peoples law review

71 Profile Masyarakat Adat Semede Banding Agung-(Litbang, AMAN Bengkulu)

Hukum Adat Pengelolaan Wilayah & Sumber Daya Alam

Wilayah Kelola:

1. Dilarang jual beli lahan, kecuali ganti rugi tanam tumbuhan dengan seizin dan atau

sepengetahuan perangkat adat dusun Banding Agung. Sanksi terhadap pelanggaran

tersebut berupa:

a. Denda adat berupa serabi 40 buah dan lemang 10 batang;

b. Dicabut hak pengelolaan;

c. Tidak diperbolehkan berkebun di dusun Banding Agung.

2. Dilarang menelantarkan kebun, sankasi terhadap pelanggaran tersebut, berupa:

a. Denda adat berupa serabi 40 buah dan lemang 10 batang;

b. Dicabut hak pengelolaan.

3. Masyarakat diwajibkan memaksimalkan lahan yang sudah dikelola untuk meningkatkan

kesejahteraan;

4. Tidak diperbolehkan membuka lahan kebun dengan membuka rimba/hutan kecuali belukar

(lahan tidur) dengan luasan maksimal 1 hektare per kepala keluarga.

Hutan Adat:

1. Hutan adat dalam manajemen pengelolaan hanya pemanfaatan hasil hutan non kayu

seperti rotan/manau, buah-buahan hutan, tanaman obat-obatan dan madu dengan tidak

menebang pohon demi kelestarian alam;

2. Pelanggaran ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi, berupa:

a. Denda adat berupa serabi 40 buah dan lemang 10 batang;

b. Lahan yang sudah rusak tidak boleh dikelola dan yang merusak hutan harus

memulihkan lahan tersebut dengan menanam pohon sesuai dengan jumlah pohon yang

ditebang;

Jika tidak mematuhi aturan adat ini maka akan diusir secara paksa dari wilayah adat.

Page 77: Indigenous peoples law review

MITRA BESTARI

Tim Redaksi Indigenous Peoples Law Review mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah berkenan melakukan review terhadap

naskah tulisan yang dikirim penulis dalam Jurnal Indigenuos People Law Review Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu Edisi Maret 2015.

1. Dr. Ashibly, S.H., M.H.

2. Wagiman, S. Fil., S.H., M.H.

3. KMS Herman, S.H., M.H., M. Si.

Page 78: Indigenous peoples law review

PEDOMAN PENULISAN

Tim Redaksi menerima naskah artikel berupa hasil refleksi, penelitian, atau kajian teoritik suatu fenomena dan konsep yang memiliki kompleksitas permasalahan terkait isu hukum masyarakat adat, dengan ketentuan sebagai berikut: FORMAT NASKAH Naskah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, naskah diketik diatas kertas ukuran kwarto (A4) antara 20-30 halaman, 1,5 spasi. Ketikan menggunakan huruf (font) Times new Roman berukuran 12, halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. SISTEMATIKA PENULISAN A. JUDUL NASKAH

Judul ditulis menggunakan huruf Times New Roman 14, diketik dengan huruf kapital, ditebalkan (bold), dan diletakkan ditengah margin (center text). 1. Nama Penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis diperbolehkan maksimal 2 orang, dibawahnya dicantumkan alamat lembaga tempat penulis bekerja dan akun email. Semua keterangan diketik dengan huruf Times New Roman 12, diletakkan di tengah margin (center text).

2. Abstrak Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maksimal 220 kata dalam satu paragraf. Abstrak disertai kata kunci (keywords) tidak lebih minimal 3 kata dan maksimal 5 kata.

B. PENDAHULUAN Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan fakta yang menjadi inti permasalahan.

C. RUMUSAN MASALAH Subbab ini memuat formulasi permaslahan yang akan menjadi fokus utama yang akan dianalisis dalam pembahasan. Rumusan masalah diformulasikan dalam bentuk pertanyaan.

D. PEMBAHASAN Subbab ini berisi analisis dari permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah, analisis disusun secara logis dan terfokus, yang didalamnya terkandung pandangan orisinil dari penulis.

E. SIMPULAN Subbab ini memuat jawaban secara secara lengkap dan singkat dari rumusan masalah.

PENGUTIPAN Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan footnote, dengan urutan nama penulis/lembaga, udul tulisan, penerbit, tempat penerbitan, tahun terbit, dan halaman tulisan yang dikutip. Contoh: Andang Nusa Putra. Dinamika Hukum Masyarakat Adat, AMAN Bengkulu, Bengkulu, hlm. 121. Andang Nusa Putra & Fitriansyah. Dinamika Hukum Masyarakat Adat, AMAN Bengkulu, Bengkulu, hlm. 121. (jika penulisnya 2 orang) Andang Nusa Putra, Fitriansyah & Riki Aprizal. Dinamika Hukum Masyarakat Adat, AMAN Bengkulu, Bengkulu, hlm. 121. (Jika Penulisnya 3 orang) Andang Nusa Putra, et. al., Dinamika Hukum Masyarakat Adat, AMAN Bengkulu, Bengkulu, hlm. 121. (jika penulisnya lebih dari 3 orang)

Page 79: Indigenous peoples law review

DAFTAR PUSTAKA - Bahan referensi yang diajadikan bahan rujukan hendaknya menggunakan edisi paling

muktahir. - Penulisan daftar pustaka diklasifikasikan berdasarkan jenis acuan yang digunakan, contoh:

Buku/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian, Internet dan Peraturan Perundang-undangan - Penggunaan referensi dari internet hendaknya menggunakan situs resmi yang dapat

dipertanggungjawabkan validitasnya.

PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim dalam bentuk soft copy ke alamat email: [email protected] Dengan tembusan ke alamat email: [email protected] Contact Person: Fahmi Arisandi (+628-1215-496-418) Alamat Redaksi: Jl. Merapi No. 01 RT/RW 04/02 Kel. Panorama Kec. Sinagaran Pati Bengkulu-38226 Telpon: 0736-341942