BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada garis besarnya banyak faktor yang menentukan maju tidaknya suatu daerah
yang salah satunya adalah menyangkut keunggulan komparatif yang dimiliki oleh daerah
itu sendiri. Hal ini akan tercermin dalam Product Domestik Regional Bruto yang tidak
lain merupakan suatu parameter yang menggambarkan kegiatan ekonomi produktif yang
berlangsung di suatu daerah. Akan tetapi dalam perkembangannya, tidak semua kota
mencapai tingkat perkembangan seperti yang diinginkan. Keterbatasan kualitas dan
kuantitas faktor-faktor produksi seperti sumber daya alam, manusia dan modal
menyebabkan terjadi perbedaan pada tingkat perkembangan masing-masing kota
tersebut.
Perbedaan kapasitas faktor-faktor produksi dari masing-masing daerah tersebut
menyebabkan terjadinya fenomena supply and demand dikarenakan suatu daerah dituntut
untuk melepaskan kelebihan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan akan
sumber daya yang tidak dimiliki oleh daerah tersebut. Proses pertukaran faktor-faktor
produksi antar daerah yang memicu terjadinya interaksi tersebut, secara tidak langsung
akan dapat menggambarkan seberapa besar keberadaan potensi sumber daya daerah yang
bersangkutan, sehingga dapat dikatakan bahwa intensitas interaksi antar daerah yang
terjadi akan sangat tergantung pada besaran kebutuhan dari masing-masing daerah akan
faktor-faktor produksi yang ada. Pemenuhan akan kebutuhan sumber daya bagi suatu
daerah melalui proses interaksi tersebut sangatlah wajar dikarenakan kemampuan suatu
1
daerah untuk dapat berkembang akan sangat ditentukan oleh seberapa besar potensi
sumber daya yang dimiliki sebagai sector basis (Alkadri et al., 1999).
Potensi sumber daya dapat dikatakan sektor basis apabila eksistensinya telah
dapat dimanfaatkan sebagai komponen penting dalam mendukung proses pengembangan
daerah yang bersangkutan, sehingga kelebihan kapasitas produksi dari sektor ini dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan daerah akan sumber daya yang
tidak dimiliki.
Keberadaan sektor basis di suatu daerah juga akan memberikan pengaruh yang
tidak sedikit baik ke dalam maupun keluar daerah tersebut. Hal tersebut dikarenakan
munculnya unit-unit produksi baru yang mendukung sektor basis akan membutuhkan
pasokan bahan baku, manusia, modal dan teknologi yang tidak sedikit (Alkadri et
al.,1999), sehingga adakalanya unit-unit produksi baru tersebut juga akan berkembang
menjadi sector basis yang juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan
daerah.
Pada kota-kota di Indonesia yang sebagian besar berfungsi sebagai pusat
pelayanan bagi wilayah belakangnya, sektor basis didominasi oleh kegiatan berbasis non
agraris seperti manufaktur, perdagangan dan jasa yang melibatkan sumber daya alam,
manusia, modal dan teknologi yang relative besar, sehingga dampak dari kegiatan ini
akan memberikan pengaruh yang besar pula, tidak hanyac pada daerah yang
bersangkutan tetapi juga pada daerah-daerah yang berada di sekitarnya seperti
meningkatnya proses aliran barang dan penduduk (Alkadri et al., 1999).
Berkembangnya sektor manufaktur, perdagangan dan jasa dengan pesat di daerah
perkotaan yang mendorong tersedianya infrastruktur yang mendukung sektor tersebut,
2
tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur serupa pada sektor-sektor agraris di
wilayah perdesaan. Hal ini menyebabkan timbulnya kesenjangan perkembangan wilayah
antara daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat dan daerah perdesaan sebagai
pinggiran (fenomena center-periphery) dikarenakan keberadaan infrastruktur di daerah
perkotaan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh kalangan yang bergerak di sektor
agraris, sedangkan disisi lain faktor-faktor produksi yang ada di daerah perdesaan
cenderung mengalir ke daerah perkotaan guna memenuhi kebutuhan akan sektor basis di
daerah perkotaan tanpa memberikan efek balik positif (spread effect) yang seimbang
(Alkadri et al., 1999)
Khususnya struktur perekonomian Kab. Bolaang Mongondow mempunyai
karakteristik yang unik dibandingkan dengan daerah lain yang ada di Propinsi Sulawesi
Utara. Pilar-pilar ekonomi yang dibangun lewat keunggulan sector pertanian sebagai
sektor pemimpin (Leading Sector), telah membuka beragam peluang yang dapat
mendorong aktivitas ekonomi serta pengembangan etos kerja masyarakat. Dimensi itu
tergambar dari meluasnya kesempatan kerja dimana 80 % masyarakatnya bermata
pencarian utama di sector pertanian. Dengan dukungan sector pertanian tersebut yang
sangat besar itu telah menyebabkan sector sektor yang mempunyai keterkaitan langsung
baik ke depan (forward lingkage) maupun ke belakang (backward lingkage) seperti
perdagangan, pengangkutan, keuangan dan jasa-jasa memberikan sumbangan yang
cukup besar terhadap pembentukan PDRB Kab. Bolaang Mongondow.
Struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) itu sendiri terdiri dari
Sembilan sektor, yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan,
listrik dan air minum, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan
3
komunikasi, keuangan-persewaan dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa. Dalam bidang
ekonomi regional yang merupakan sempalan ekonomi makro regional, melalui berbagai
metode analisis yang dimiliki oleh bidang ilmu ini, mampu mengidentifikasi sektor-
sektor basis dan non basis dalam perekonomian regional atau nasional.
Pengertian sektor basis atau unggulan pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu
bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun
nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sector dikatakan basis
atau unggulan jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sector yang sama dengan
negara lain. Sedangkan dengan lingkup nasional, suatu sector dapat dikategorikan sebagai
sektor basis apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama
yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik. Apabila sektor tersebut
menjadi sektor basis atau unggulan, maka sektor tersebut harus mengekspor produknya
ke daerah lain. Apabila sektor tersebut menjadi sektor non basis (bukan unggulan), maka
sector tersebut harus mengimpor produk sektor tersebut dari daerah lain.
Namun demikian dalam usaha mengembangkan sektor-sektor basis yang
ditetapkan atau diidentifikasi tentu diperlukan sumber pembiayaan atau investasi yang
cukup, terlebih lagi di tengah krisis ekonomi global yang turut berpengaruh pada
perekonomian Indonesia, maka analisis yang cermat menyangkut kebutuhan investasi
untuk sektor-sektor basis tersebut sangat perlu dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian ”Analisis Sektor Basis Dalam Rangka Pertumbuhan Ekonomi Kab. Bolaang
Mongondow”.
4
1.2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraian sebelumnya maka, tujuan
penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi sektor-sektor basis dan non sektor basis dalam perekonomian Kab.
Bolaang Mongondow.
2. Menganalisis besarnya kebutuhan investasi masing-masing sektor basis yang
diidentifikasi pada butir 1.
5
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Arah dan Kebijakan Otonomi Daerah
Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma
pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan
pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain
diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang diatur dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-Undang No. 32 tahun
2003 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2003 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama,
otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa
Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan
pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber
daya manusia (SDM). Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan
langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan
memperkuat basis perokonomian daerah.
Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah
daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh
6
pengaturan pembagian, dan pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah kuatnya upaya untuk
mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas,
peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD. UU ini
memberikan otonomi secara penuh kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk
dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat
sekarang daerah sudah diberi kewenangan penuh untuk merencanakan, melaksanakan,
mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan
semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian akan
mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan
pergeseran orientasi pemerintah, dari command and control menjadi berorientasi pada
tuntutan dan kebutuhan publik. Orientasi yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar
bagi pelaksanaan peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan
entrepreneur (wirausaha) dalam proses pembangunan.
Arahan yang diberikan oleh Undang-Undang No 32 Tahun 2003 sudah sangat
baik. Tetapi benarkah ia dapat mewujudkan pemerintah daerah otonom yang efisien,
efektif, transparan, dan akuntabel secara berkesinambungan? Jawabannya tergantung
pada formula atau rumusan yang diberikan oleh peraturan-peraturan pemerintah dan
peraturan pelaksanaan lainnya. Apabila semua peraturan pelaksanaan tersebut sudah
searah dengan undang-undang tersebut maka kemungkinan potensi untuk mencapai
tujuan tersebut akan semakin besar
7
2.2 Otonomi Daerah sebagai Upaya Memperkuat Basis Perekonomian Daerah
Saat ini, hampir tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era
perdagangan bebas, baik dalam kerangka AFTA, APEC maupun WTO. Setiap negara
berupaya secara maksimal untuk menciptakan kerangka kebijakan yang mampu
menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong masyarakat untuk bermain
di pasar global. Salah satu implikasi dari kondisi di atas adalah adanya tuntutan
masyarakat yang semakin tinggi terhadap efisiensi, dan efektivitas sektor publik
(pemerintahan). Hal tersebut disebabkan pasar tidak akan kondusif jika sektor publiknya
tidak efisien.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas,
dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk
mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih
adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana
publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Dengan kondisi seperti ini,
peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu
utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (enginee of growth). Daerah juga
diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
serta menimbulkan efek multiplier yang besar.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada
daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi
utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu:
8
1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta
(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Globalisasi ekonomi telah meningkatkan persaingan antar negara-negara dalam suatu
sistem ekonomi internasional. Salah satu cara menghadapi dan memanfaatkan
perdagangan internasional adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi
dan produktivitas kerja. Sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan
produktivitas, perlu dilakukan perubahan struktural untuk memperkuat kedudukan dan
peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional.
Perubahan struktural adalah perubahan dari ekonomi tradisional yang subsistem
menuju ekonomi modern yang berorientasi pada pasar. Untuk mendukung perubahan
struktural dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi moderen diperlukan
pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, penguatan teknologi dan
pembangunan sumber daya manusia. Langkah-langkah yang perlu diambil dalam
mewujudkan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut (Sumodiningrat, 1999):
a. Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi, yang paling
mendasar adalah akses pada dana.
b. Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
c. Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka kualitas sumber
daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi.
d. Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri rakyat
yang terkait dengan industri besar. Industri rakyat yang berkembang menjadi
9
industri-industri kecil dan menengah yang kuat harus menjadi tulang punggung
industri nasional.
e. Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri
sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi wirausaha
kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang.
f. Pemerataan pembangunan antar daerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar di seluruh
penjuru tanah air, oleh karena itu pemerataan pembangunan daerah diharapkan
mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi rakyat.
Sejalan dengan upaya untuk memantapkan kemandirian Pemerintah Daerah yang
dinamis dan bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah
dalam lingkup yang lebih nyata, maka diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan
efisiensi, efektivitas, dan profesionalisme sumber daya manusia dan lembaga-lembaga
publik di daerah dalam mengelola sumber daya daerah. Upaya-upaya untuk
meningkatkan pengelolaan sumber daya daerah harus dilaksanakan secara komprehensif
dan terintegrasi mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga
otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Dari aspek perencanaan, Daerah sangat membutuhkan aparat daerah (baik
eksekutif maupun legislatif) yang berkualitas tinggi, bervisi strategik dan mampu berpikir
strategik, serta memiliki moral yang baik sehingga dapat mengelola pembangunan daerah
dengan baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada di daerah sangat dibutuhkan
agar perencanaan pembangunan daerah benar-benar mencerminkan kebutuhan daerah dan
berkaitan langsung dengan permasalahan yang dihadapi daerah. Dari aspek pelaksanaan,
10
Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem manajemen yang mampu
mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintahan
daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah
dan anggaran daerah. Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah.
Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya
pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai
alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan
keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan
datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk
memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit
kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan APBD hendaknya
difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan program dan aktivitas yang
menjadi preferensi daerah yang bersangkutan. Untuk memperlancar pelaksanaan program
dan aktivitas yang telah direncanakan dan mempermudah pengendalian, pemerintah
daerah dapat membentuk pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility centers)
sebagai unit pelaksana.
Untuk memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah
dilakukan sebagaimana mestinya (sesuai konsep value for money), perlu dilakukan
evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah daerah. Evaluasi dapat dilakukan oleh pihak
internal yang dapat dilakukan oleh internal auditor maupun oleh eksternal auditor,
misalnya auditor independen. Untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas publik,
pemerintah daerah perlu membuat Laporan Keuangan yang disampaikan kepada publik.
11
Pengawasan dari semua lapisan masyarakat dan khususnya dari DPRD mutlak
diperlukan agar otonomi yang diberikan kepada daerah tidak “kebablasan” dan dapat
mencapai tujuannya.
2.3 Pengembangan Ekonomi Rakyat
Ekonomi rakyat sering disebut dengan berbagai istilah lain yang terkait, yaitu
perekonomian rakyat ataupun ekonomi kerakyatan. Ini mengandung makna yang spesifik.
Jika ekonomi rakyat menggambarkan tentang pelaku ekonominya, maka perekonomian
rakyat lebih menunjuk pada objek atau situasinya. Makna yang lebih luas ada dalam
ekonomi kerakyatan yang mencerminkan suatu bagian dan sistem ekonomi. Ekonomi
kerakyatan dapat dikatakan sebagai subsistem dari Sistem Ekonomi Pancasila (Hamid,
2006:33).
Dilihat secara harfiah, kata rakyat merujuk pada semua orang dalam suatu
wilayah atau negara. Dengan demikian, jika dilihat dari terminologi ini, maka yang
dimaksud dengan ekonomi rakyat adalah ekonomi seluruh rakyat Indonesia. Namun
demikian, dalam konteks yang berkembang, istilah ekonomi rakyat muncul sebagai
akibat ketidakpuasan terhadap perekonomian nasional yang bias kepada unit-unit usaha
besar. Oleh karena itu, makna ekonomi rakyat lebih merujuk pada ekonomi sebagian
besar rakyat Indonesia, yang umumnya masih tergolong ekonomi lemah, bercirikan
subsisten (tradisional), dengan modal dan tenaga kerja keluarga, serta teknologi
sederhana (Hamid, 2006:33-34).
Ekonomi rakyat berbeda dengan ekonomi konglomerat dalam sifatnya yang tidak
kapitalistik, dimana ekonomi konglomerat yang kapitalistik mengedepankan pengejaran
keuntungan tanpa batas dengan cara bersaing, kalau perlu bahkan saling mematikan (free
12
fight competition). Sebaliknya dalam ekonomi rakyat semangat yang lebih menonjol
adalah kerjasama, karena hanya dengan kerjasama berdasarkan asas kekeluargaan tujuan
usaha dapat dicapai (Mubyarto, 1998: 40-46 dalam Hamid, 2006:33-34).
Istilah ekonomi rakyat sendiri merupakan istilah ekonomi sosial (social
economics) sekaligus istilah ekonomi moral (moral economy), yang sejak zaman
penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah. Bung Karno
menyebutnya sebagai kaum marhaen. Kegiatan produksi dan bukan konsumsilah yang
menjadi titik tekan dalam hal ini, sehingga buruh pabrik tidak termasuk dalam profesi
atau kegiatan ekonomi rakyat, mengingat buruh adalah bagian dari unit produksi yang
lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Dengan demikian meskipun pelaku usaha
UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dapat dimasukkan dalam kategori ekonomi
rakyat, namun bukan berarti bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat
disebut sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu
ekonomi perusahaan (Mubyarto, 2002).
Ini menunjukkan bahwa ekonomi rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi bagi
masyarakat kecil, orang kecil, wong cilik, yang karena merupakan kegiatan keluarga,
tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak juga secara resmi diakui sebagai
sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur
ekonomi pembangunan ia biasa disebut sebagai sektor informal, “underground
economy”, atau “extralegal sector”. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia produksi tidak
hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya
dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (Mubyarto, 2002).
13
Namun demikian jika paradigma yang digunakan dirubah dan melihat bahwa peran
ekonomi rakyat tidak terbatas pada peran-peran di sektor formal yang terdokumentasi
oleh data pemerintah, maka peran ekonomi rakyat dalam ekonomi nasional, tidak hanya
dalam pertumbuhan akan tampak lebih nyata. Hal ini dapat dilihat dari besarnya porsi
pelaku ekonomi rakyat dalam struktur ekonomi Indonesia. Dengan jumlah mancapai
hampir 100% dari total unit usaha yang ada di Indonesia, maka dengan sendirinya
ekonomi rakyat terbukti memiliki peran dalam membentuk ‘kue pembangunan’ nasional,
sehingga perannya dalam pertumbuhan pun tidak bisa dianggap kecil.
2.4 Perencanaan Strategik
Aspek perencanaan memiliki peranan yang penting bagi suatu daerah. Aktivitas
pemerintah akan terlaksana dengan lebih baik jika seluruh tahapan proses perencanaan
dilaksanakan secara konsekuen. Perencanaan strategik mendorong pemikiran ke depan
dan menjelaskan arah yang dikehendaki di masa yang akan datang. Barry (1986)
meyakini bahwa kinerja organisasi yang menggunakan perencanaan strategik, baik
organisasi besar maupun kecil, jauh melampaui organisasi lainnya yang tidak
menggunakan perencanaan strategik. Hal ini antara lain karena perencanaan itu
didasarkan atas visi dan misi strategik yang jelas. Visi dan misi strategik itu sendiri
mampu mengendalikan arah perencanaan yang baik.
Perencanaan strategik memiliki peranan yang penting bagi pemerintah daerah,
karena di sanalah terlihat dengan jelas peranan Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan
semua unit kerjanya. Bagi kebanyakan pemerintah daerah, perencanaan strategik akan
membantu dalam menentukan arah masa depan daerahnya, kecamatannya dan desanya
(Mercer, 1991). Dengan melaksanakan perencanaan strategik secara benar, para eksekutif
14
daerah dapat meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat terasnya dalam mengevaluasi,
memilih, dan mengimplementasikan berbagai pendekatan alternatif untuk membiayai dan
memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakatnya.
Secara lebih spesifik, dengan konsep perencanaan strategik berarti kita
membicarakan hubungan antara lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Konsep ini
memberi petunjuk bagaimana menghadapi dan menanggulangi perubahan yang terjadi di
lingkungan eksternal melalui serangkaian tindakan di lingkungan internal. Lebih dari itu,
perencanaan strategik bahkan mampu memberikan petunjuk bagi para eksekutif dalam
upaya mempengaruhi dan mengendalikan lingkungan itu dan tidak hanya sekedar
memberi reaksi atas perubahan di tingkat eksternal tersebut. Dengan demikian,
pemerintah daerah diharapkan tetap mampu mengendalikan arah perjalanannya menuju
sasaran yang dikehendaki.
Di tingkat internal, perencanaan strategik mampu menciptakan sinergi dan l’esprit
de corps, yaitu semangat korp yang penuh integritas, sehingga dapat melicinkan jalan
menuju sasaran yang diinginkan. Semangat itu diharapkan akan meningkatkan
produktivitas kerja, sehingga daerah akan mampu memanfaatkan peluang dan
mengantisipasi tantangan seoptimal mungkin. Hal ini pada akhirnya akan berdampak
pada semakin baiknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan dunia usaha.
Begitupun halnya bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow
dalam menyusun perencanaan strategic harus secara baik dan benar serta tepat sasaran
di maksudkan guna memaksimalkan alokasi sumber daya yang terbatas (sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan manusia) sehingga menjadi efisien.
15
Untuk itulah perlu di ketahui sector-sektor unggulan (basis) yang di harapkan mampu
menjadi stimulus dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi secara komprehensif.
Dalam sudut pandang teori ekonomi makro regional, sektor basis (unggulan)
inilah yang memiliki potensi dikembangkan, karena akan mampu menghasilkan surplus
kepada daerah dari keunggulan sumberdaya (endowment) yang dimiliki. Untuk
mengidentifikasi sektor basis dalam suatu perekonomian dapat dilakukan dengan
Menggunakan peralatan analisis Location Quotient (LQ), yaitu perbandingan antara
peranan relatif sektor atau subsektor regional terhadap nilai tambah total regional
PDRB) dengan peranan relatif sektor atau subsektor yang sama di tingkat nasional
dengan nilai tambah total nasional (PDB). Jika LQ > 1 berati sektor atau subktor
tersebut adalah sektor basis dan sebaliknya jika LQ < 1 berarti sektor tersebut adalah
sektor non basis. Jika telah diidentifikasi sektor-sektor basis dalam perekonomian Kab.
Bolaang Mongondow, maka dengan menggunakan formula Incremental Capital Output
Ratio (ICOR=ΔKt/ΔYt), maka akan dapat diperkirakan kebutuhan investasi masing-
masing sektor basis dan non basis tersebut. Dari hasil analisis ini akhirnya akan dapat
diambil suatu rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah Kab. Bolaang
Mongondow.
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Teoritik ”Analisis Kebutuhan Investasi Sektor Basis
Dalam Rangka Pertumbuhan Ekonomi Kab. Bolaang Mongondow”
16
17
Metode Location Quotientvi vt
LQ =Vi Vt
Sektor Basis dalam Perekonomian Maro Bol-
MongLQ > 1
Sektor Non Basis dalam Perekonomian Maro Bol-
MongLQ < 1
ICOR = ΔKt/ΔYt ΔKt = It = ICOR x ΔYt ΔYt = gt x Y t-1 gt = ΔYt / Y t-1 ΔKt = It = ICORx gt x Y t-1
Rekomendasi kebijakan
Sektor dan Sub Sektor dalam Perekonomian Makro Regional .
Bol-Mong
Perekonomian Makro Regional .Bol-Mong
Perencanaan ekonomi Makro Regional Bol-Mong
Kebutuhan Investasi Sektor Basis dalam Perekonomian Makro Regional Bol-Mong
BAB III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif ekonomi makro regional yang
berbasis angka-angka. Sedangkan sifat penelitian yaitu verifikatif-kuantitatif, yaitu
menggunakan formula-formula ekonomi regional terhadap data makro regional Kab.
Bolaang Mongondow yang bersumber pada dokumen-dokumen atau laporan-laporan
yang tersebar di berbagai instansi pemerintah baik di tingkat Pemerintah Propinsi
Sulawesi Utara maupun di tingkat Pemerintah Daerah Kab. Bolaang Mongondow.
Dengan demikian tidak dikenal istilah populasi dan pengambilan sampel seperti halnya
penelitian-penelitian bersifat mikro yang bertumpu pada data primer tingkat lapang.
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Kab. Bolaang Mongondow, didasarkan atas beberapa
pertimbangan, yaitu: (1) Perekonomian Kab. Bolaang Mongondow sangat unik
dibandingkan dengan daerah lainnya, karena banyak sektor terkait dengan pertanian, (2)
Belum diketahuinya sektor-sektor basis dalam perekonomian Kab. Bolaang Mongondow,
dan (3) Belum pernah dilakukan penelitian serupa.
3.3. Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data. Data yang dikumpulan untuk penelitian ini adalah data sekunder
bersifat makro regional Kab. Bolaang Mongondow, yang bersumber dari beberapa
instansi pemerintah, antara lain: Bappeda Kab. Bolaang Mongondow, Badan Pusat
Statistik Jakarta, Badan Pusat Statistik Provinsi, Badan Pusat Statistik Kab. Bolaang
18
Mongondow, Dinas-Dinas Teknis Lingkup Pemkab Kab. Bolaang Mongondow dan
lain-lain.
b. Jenis data. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa
laporan Produk Domestik Bruto Kab. Bolaang Mongondow secara time series,
laporan Produk Domestik Bruto Propinsi Sulawesi Utara secara time series, target-
target pertumbuhan ekonomi Kab. Bolaang Mongondow dan Propinsi Sulut dll.
c. Metode Pengumpulan Data. Pengumpulan data dalam penelitian Menggunakan
metode studi dokumentasi yakni mempelajari dokumen-dokumen dan laporan-laporan
tahunan yang tersebar di berbagai instansi Pemerintah Kab. Bolaang Mongondow dan
Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara
3.4. Metode Analisis
1. Location Quitient (LQ)
Metode Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengidentifikasi atau
menentukan sektor basis atau sektor unggulan dalam perekonomian Provinsi Kab.
Bolaang Mongondow, mengacu pada pada formula Hoover (1975: 147), Azis (1994:
154); Bendavid-Val (1991). Prinsip metode analisis ini adalah membandingkan
persentase sumbangan masing-masing sektor dalam PDRB Kab. Bolaang Mongondow
dengan persentase sumbangan sektor yang sama pada PDRB Propinsi Sulawesi Utara.
Adapun persamaannya sebagai berikut:
vi /vt LQ = Vi /Vt Di mana :
LQ = Location Quotient
vi = Nilai tambah sektor i di Kab. Bolaang Mongondow
19
vt = Nilai tambah total di Kab. Bolaang Mongondow
Vi = Nilai tambah sektor i Propinsi Sulut
Vt = Nilai tambah total Propinsi Sulut
Kriterianya adalah :
1. Jika LQ > 1 menunjukkan sektor ke-i di Kab. Bolaang Mongondow tergolong sektor
basis, atau sektor i di Kab. Bolaang Mongondow lebih spesialis dari pada sektor yang
sama di Indonesia.
2. Jika LQ < 1 menunjukkan sektor ke-i di Kab. Bolaang Mongondow tergolong sektor
non basis, atau sektor i di Kab. Bolaang Mongondow kurang spesialis dari pada sektor
yang sama di Indonesia.
3. Jika LQ = 1 menunjukkan keswasembadaan (self-sufficiency) sektor i Kab. Bolaang
Mongondow, atau sektor i di Kab. Bolaang Mongondow memiliki spesialis yang
sama dengan sektor yang sama di Indonesia.
2. Incremental Capital-Output Ratio (ICOR)
Metode Incremental Capital Output Ratio (ICOR) digunakan menentukan
kebutuhan tambahan kapital atau investasi sektor-sektor basis dan non basis dalam
perekonomian di Kab. Bolaang Mongondow. Formula yang digunakan untuk
memperkirakan besarnya kebutuhan investasi, mengacu pada Kadariah (1981: 27) dan
Arsyad (1999: 233-251), yaitu:
ICOR = ΔKt/ΔYt
ΔKt = It = ICOR x ΔYt
ΔYt = gt x Y t-1
gt = ΔYt / Y t-1
20
Jadi: ΔKt = It = ICORx gt x Y t-1
di mana:
ICOR = Rasio pertambahan modal dan output (Incremental Capital Output Ratio)
(umumnya ICOR sektor pertanian 3, sektor industri 5 dan sektor jasa5)
ΔKt =It = Tambahan kapital/modal untuk investasi sektor ke-i tahun ke-t,
ΔYt = Tambahan nilai tambah atau output atau PDRB sektor ke-i tahun ke-t akibat
adanya pertumbuhan ekonomi tahun ke-t,
Yt-1 = nilai tambah bruto atau output atau PDRB sektor ke-i tahun ke-t-1,
gt = Pertumbuhan sektor ke-i tahun ke-t atau target pertumbuhan sektor ke-i tahun
ke-t.
3. Trend Linear
Proyeksi target pertumbuah sektor-sektor ekonomi dan proyeksi nilai tambah
bruto (PDRB) suatu sektor periode 2004-2010 sebagai jangka waktu perencanaan
menggunakan metode Trend Linear, dengan formula sebagai berikut:
Y = a + bX + e
n ΣXY - ΣX ΣYb =
n ΣX2 - (ΣX)2 _ _a = Y - b X
di mana:
Y = pertumbuhan ekonomi periode 2004-2010
X = tahun 2003-2008
a = intersep
b = koefisien regresi atau pengaruh variabel X terhadap Y
e = error term
21
BAB IV
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Identifikasi Sektor Basis dan Non Basis dalam Perekonomian Regional Kab.
Bolaang Mongondow
Sebelum melakukan perhitungan kebutuhan investasi sektor basis dan nonbasis,
terlebih dahulu dilakukan identifikasi sektor basis dan non basis dalam perekonomian
Kab. Bolaang Mongondow. Identifikasi ini penting dilakukan sebagai dasar perencanaan
pengalokasian alokasi sumberdaya investasi, karena sektor basis adalah sektor yang
memiiliki potensi untuk dikembangkan yang akan mendatangkan tambahan pendapatan
atau devisa dari ekspor atas kelebihan (surplus) produk yang dihasilkan oleh sektor basis
tersebut setelah terpenuhi kebutuhannya sendiri. Dampak dengan pengalokasian secara
tepat sasaran maka memungkinkan secara efek berantai meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah Kabupaten Bolaang Mongondow.
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan formula Location Quetiont (LQ),
yakni membandingkan secara relatif nilai tambah suatu sector (PDRB sektor) terhadap
nilai tambah total (PDRB Kab. Bolaang Mongondow) dengan nilai tambah sector yang
sama (PDRB Propinsi Sulut ) terhadap nilai tambah total PDRB Propinsi Sulut.
Hasil identifikasi secara umum menemukan bahwa dari 9 sektor yang ada dalam
perekonomian Kab. Bolaang Mongondow, 8 di antaranya belum mampu swasembada
yang ditunjukkan oleh nilai LQ kurang dari 1 (satu). Artinya secara umum perekonomian
Kab. Bolaang Mongondow belum mampu memenuhi segala kebutuhannya dari produksi
22
sendiri (lihat tabel 4.1). Hanya terdapat 1 sektor yakni sector pertanian yang merupakan
sector basis di mana memiliki nilai LQ tertinggi sebesar 13,54.
Temuan ini sejalan dengan fakta empirik bahwa Kabupaten Bolaang Mongondow
terkenal dengan branding sebagai daerah lumbung beras untuk Propinsi Sulawesi Utara.
Jika dilacak per subsektor, yakni subsektor yang menjadi sektor basis dan non basis
ditemukan bahwa dari sembilan sektor dalam perekonomian Kab. Bolaang Mongondow,
hanya 5 (lima) sektor adalah sektor basis yang ditunjukkan oleh nilai LQ > 1. Sektor-
sektor tersebut yaitu: sektor pertanian (LQ = 13,54) dengan sub sector basisnya adalah
tanaman bahan makanan, Peternakan dan hasilnya serta perkebunan. sektor
Pertambangan dan penggalian secara agregat tidak termasuk dalam sector basis yang
ditunjukkan dengan perolehan LQ = -2,02. Namun jika di analisis secara sub sector maka
sector pertambangan tanpa migas adalah merupakan sector basis (LQ=3,82). Hal yang
sama terjadi dalam sektor keuangan persewaan bangunan dan jasa perusahaan di mana
secara agregat tidak termasuk dalam kategori sector basis (LQ = 0,63), namun jika di
telaah secara sub sector maka sewa bangunan merupakan sector basis.
Fakta-fakta hasil temuan sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya
mengindikasikan bahwa khusus pertanian di anggap telah mampu berproduksi untuk
memenuhi kebutuhan sendiri serta , mampu juga memasok ke daerah lain sehingga
seyogyanya kebijakan Pemerintah Daerah di arahkan dalam pengembangan sector
pertanian tersebut. Adapun sektor pertambangan tanpa migas yang di kategorikan sebagai
sector basis mencerminkan bahwa total produksi yang dihasilkan sector tersebut terjadi
dalam jumlah maksimum walau untuk itu tidak di ikuti dengan peningkatan penggalian.
23
Tabel 4.1
Sektor-Sektor Basis dan Non Basis dalam Perekonomian Kab. Bolaang
Mongondow, 2004-2008
SEKTOR 2004 2005 2006 2007 2008 KET.
1. PERTANIAN 1.35 2.01 1.44 3 13.54 Basis
a. Tanaman Bahan Makanan 3.32 4.69 7.27 9.5 14.63 Basis
b. Tanaman Perkebunan 0.73 -0.48 -1.64 0.76 2.33 Basis
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1.18 0.69 -2 1.02 4.46 Basis
d. Kehutanan 23.02 -1.77 2.17 19.98 -24.17 NonBasis
e. Perikanan 0.66 0.97 -332.43 1.01 0.56 NonBasis
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN -1.6 -1.55 1.64 1.35 -2.02 NonBasis
a. Minyak dan Gas Bumi 0 0 0 0 0 NonBasis
b. Pertambangan tanpa Migas -0.21 -0.14 1.3 1.47 3.82 Basis
c. Penggalian 0.95 1.13 1.9 1.36 -3.11 NonBasis
3. INDUSTRI PENGOLAHAN -0.37 0.18 0.06 0.13 0.27 NonBasis
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 0.48 0.19 0.17 0.41 0.57 NonBasis
a. Listrik 0.58 0.21 0.16 0.46 0.67 NonBasis
b. Air Bersih 0.17 -0.3 0.3 0.15 0.15 NonBasis
5. BANGUNAN 0.23 0.26 0.74 1.54 0.39 Non basis
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 0.79 0.79 1.5 0.37 0.43 Non basis
a. Perdagangan Besar & Eceran 0.65 0.77 1.79 0.32 0.5 NonBasis
b. Hotel 2.06 1.81 0.92 0.86 0.21 NonBasis
c. Restoran 0.2 0.2 0.5 0.68 0.51 NonBasis
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 0.32 0.19 0.44 0.34 0.22 NonBasis
a. Pengangkutan 0.39 0.22 0.56 0.37 0.26 NonBasis
b. Komunikasi 0.05 0.04 0.06 0.15 0.05 NonBasis
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUS 0.37 0.27 0.27 0.49 0.63 NonBasis
a. Bank 0.35 0.2 0.17 0.59 0.61 NonBasis
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank 0.19 0.05 0.09 0.09 0.35 NonBasis
c. Jasa Penunjang Keuangan NonBasis
d. Sewa Bangunan 0.6 0.58 0.91 0.7 1.07 Basis
e. Jasa Perusahaan 0 0 0 0 0 NonBasis
9. JASA-JASA 1.26 2.33 1.75 -3.95 -1.51 NonBasis
a. Pemerintahan Umum 2.06 4.94 2.48 -11.46 -2.87 NonBasis
b. Swasta 0.55 0.45 0.84 1.08 0.62 Non asis
Sumber: Dihitung berdasarkan PDRB Kab. Bolaang Mongondow dan PDRB Sulut atas dasar harga konstan
24
Perhitungan LQ menggunakan formula, yaitu:
Vi/VtLQ =
vi/vt
Di mana: LQ = Location Quotient; vi = Nilai tambah sektor i di Kab. Bolaang
Mongondow; vt = Nilai tambah total di Kab. Bolaang Mongondow; Vi = Nilai tambah
sektor i propinsi Sulut; dan Vt = Nilai tambah total propinsi Sulut
Kriterianya adalah :
1. Jika LQ > 1 menunjukkan sektor ke-i di Kab. Bolaang Mongondow tergolong sektor
basis, atau sektor i di Kab. Bolaang Mongondow lebih spesialis dari pada sektor yang
sama di Indonesia.
2. Jika LQ < 1 menunjukkan sektor ke-i di Kab. Bolaang Mongondow tergolong sektor
non basis, atau sektor i di Kab. Bolaang Mongondow kurang spesialis dari pada sektor
yang sama di Indonesia.
3. Jika LQ = 1 menunjukkan keswasembadaan (self-sufficiency) sektor i di Kab. Bolaang
Mongondow, atau sektor i di Kab. Bolaang Mongondow memiliki spesialis yang
sama dengan sektor yang sama di Indonesia.
4.2. Kebutuhan Investasi Sektor Basis dan Non Basis dalam Perekonomian Regional
Kab. Bolaang Mongondow
4.2.1. Determinan Kebutuhan Investasi Sektor Ekonomi
Dalam perhitungan kebutuhan investasi sektor basis (juga sektor non basis), ada
tiga determinan utama yang menentukan besarnya kecilnya kebutuhan investasi atau
tambahan modal setiap tahun, yaitu: (1) rasio tambahan kapital dan output (Incremental
Capital Output Ratio, ICOR) suatu sektor, (2) target pertumbuhan sector yang
25
direncanakan tahun ke-t (gt), dan (3) nilai tambah bruto (PDRB) sektor sebelum tahun
ke-t (Yt-1). Jika ketiganya diungkapkan dalam bentuk formula matematika sederhana,
sbb.: ICOR = ΔKt/ΔYt
ΔKt = It = ICOR x ΔYt
ΔYt = gt x Y t-1
gt = ΔYt / Y t-1
Jadi ΔKt = It = ICOR x gt x Y t-1
(1) (2) (3)
Dalam realitanya, tidak semua investasi tahun ke-t menghasilkan output (nilai
tambah bruto) pada tahun ke-t, karena ada beberapa sifat investasi yang membutuhkan
tenggang waktu (time lag) mulai awal investasi sampai mampu berproduksi. Misal,
investasi bidang perkebunan. Namun untuk memudahkan dan menyederhanakan
perhitungan kebutuhan investasi atau tambahan modal tahun ke-t (ΔKt=It), maka
formula: ICOR=ΔKt/ΔYt, mengasumsikan bahwa sebagian besar investasi tahun ke-t
tersebut mampu menghasilkan tambahan nilai tambah bruto pada tahun ke-t (ΔYt) juga,
atau dengan kata lain tambahan nilai tambah bruto tahun ke-t (ΔYt) dihasilkan sebagian
besar oleh investasi tahun ke-t (ΔKt=It) dan sebagian kecil mungkin dihasilkan oleh
investasi tahun-tahun sebelumnya (ΔKt-n=I t-n).
Sedangkan pembagian tambahan nilai tambah bruto tahun ke-t (ΔYt) oleh nilai
tambah bruto sebelum tahun ke-t (Y t-1) akan diperoleh pertumbuhan ekonomi atau
pertumbuhan sektor tahun ke-t (gt). Jadi berdasarkan formula ICOR, secara sederhana
dapatlah dipandang ada korelasi positif antara kebutuhan investasi tahun ke-t (It) dengan
26
pertumbuhan ekonomi tahun ke-t (gt) atau tambahan nilai tambah bruto yang dihasilkan
sebelum tahun ke-t (ΔY t-1).
4.2.2. Kebutuhan Investasi Sektor Basis dan Non Basis: Skenario-1
Skenario-1 menggunakan asumsi sebagai berikut:
ΔKt = It = ICORx gt x Y t-1 (1) (2) (3)
1. ICOR sektor pertanian, industri dan jasa masing-masing 3, 5 dan 5;
2. Target pertumbuhan sektor-sektor ekonomi (gt) yang direncanakan periode 2009-2014,
baik untuk sektor basis maupun sektor non basis didasarkan atas trendlinear (tabel
4.2).
Tabel 4.2Proyeksi Target Pertumbuhan Sektor Basis dan Non Basis dalam Perekonomian
Kab. Bolaang Mongondow Atas Dasar Harga Konstan 2003 untuk periode Tahun 2009-2014 (%)
(Skenario-1)
SEKTOR
PERTUMBUHAN EKONOMI (%) RATA
2009 2010 2011 2012 2013 2014 RATA
1. PERTANIAN 3.81 3.67 3.54 3.42 6.62 3.1 4.03
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 3.11 3.01 2.92 2.84 2.76 2.69 2.89
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 1.64 1.62 1.59 1.57 1.54 1.52 1.58
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 2.88 2.8 2.73 2.65 2.59 2.52 2.70
5. BANGUNAN 4.19 4.02 3.87 3.72 3.59 3.47 3.81
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 4.42 4.23 4.06 3.9 3.75 3.62 4.00
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 3.49 3.38 3.27 3.16 3.07 2.98 3.23
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 2.89 2.81 2.73 2.66 2.59 2.53 2.70
9. JASA-JASA 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
P D R B 3.87 3.23 3.13 3.04 2.95 4.42 3Catatan:
1. Cetak tebal = sektor basis
2. Proyeksi target pertumbuhan sektor basis dan non basis menggunakan metode Trend
Linear, berdasarkan data pertumbuhan sektor-sektor ekonomi deret waktu 2003-2008
27
3. Proyeksi Nilai Tambah Bruto (PDRB) sektor-sektor ekonomi sebelum tahun ke-t
(Yt-1), baik sektor basis maupun non basis didasarkan atas trend linear.
Dari proyeksi nilai tambah sektor-sektor ekonomi (Yi t) berdasarkan trend linear, baik
basis maupun non basis basis periode 2009-2014, akan diperoleh nilai tambah sektor
sebelum tahun ke-t (Yit-1) atau pertambahan nilai tambah setiap sector ekonomi (ΔYit)
pada tahun ke-t (tabel 4.3 dan tabel 4.4).
Dari hasil perkalian ketiga determinan yang masing-masing telah diasumsikan
sebelumnya, maka diperoleh hasil perhitungan kebutuhan investasi setiap sector-sektor
basis dan juga sektor non basis dalam perekonomian Kab. Bolaang Mongondow seperti
disajikan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3
Proyeksi Nilai Tambah Bruto Sektor Basis dan Non Basis dalam Perekonomian
Kab. Bolaang Mongondow Atas Dasar Harga Konstan 2003,
periode Tahun 2009-2014 ( juta rupiah)
(Skenario-1)
S E K T O R 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1. PERTANIAN 473,354.35 491402.85 509451.36 527499.86 545548.36 581645.37 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 57,934.32 59,733.91 61,533.50 63,333.09 65,132.68 66,932.27
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 21,786.22 22,144.51 22,502.80 22,861.08 23,219.37 23,577.66 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 3,158.86 3,249.95 3,341.03 3,432.12 3,523.21 3,614.29
5. BANGUNAN 111,412.12 116,081.85 120,751.57 125,421.30 130,091.02 134,760.75 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 115,621.96 120,728.54 125,835.11 130,941.68 136,048.25 141,154.82 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 40,436.50 41,849.75 43,263.00 44,676.25 46,089.50 47,502.75 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN. 32,448.50 33,387.01 34,325.52 35,264.02 36,202.53 37,141.04
9. JASA-JASA 167,732.91 168,468.74 169,204.57 169,940.40 170,676.24 171,412.07
P D R B 1,023,885.74 1,057,047.11 1,090,208.46 1,123,369.80 1,156,531.16 1,207,741.02
Catatan:
1. Cetak tebal = sektor basis
28
Tabel 4.4
Proyeksi Pertumbuhan Nilai Tambah Bruto Sektor Basis dan Non Basis dalam
Perekonomian Kab. Bolaang Mongondow Atas Dasar Harga Konstan 2003,
periode Tahun 2009-2014 ( juta rupiah)
(Skenario-1)
S E K T O R 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1. PERTANIAN 12,554.09 18,048.50 18,048.5018,048.5
018,048.5
036,097.0
1
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 4,486.71 1,799.59 1,799.59 1,799.59 1,799.59 1,799.58
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 335.34 358.29 358.28 358.29 358.29 358.29
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 85.37 91.08 91.09 91.09 91.08 91.09
5. BANGUNAN 4,929.09 4,669.72 4,669.73 4,669.72 4,669.73 4,669.72
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 7,295.61 5,106.57 5,106.57 5,106.57 5,106.57 5,106.57
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 1,724.37 1,413.25 1,413.25 1,413.25 1,413.25 1,413.25
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 887.13 938.51 938.5 938.51 938.51 938.51
9. JASA-JASA 5,914.85 735.83 735.83 735.84 735.83 735.83
Sumber : Diolah dari Tabel 4.3.
Catatan: Cetak Tebal = Sektor Basis
Tabel 4.5
Proyeksi Kebutuhan Investasi Sektor Basis dan Non Basis dalam Perekonomian
Kab. Bolaang Mongondow, 2010-2014 (Dalam juta rupiah)
(Skenario-1)
SEKTOR 2010 2011 2012 2013 2014
1. PERTANIAN 5211631.39 5218698.27 5226970.95 10476147.2 5073599.75
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 871911.516 872115.086 873775.7 873996.642 876034.546
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 176468.382 176048.855 176646.98 176030.316 176467.212
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 44224.04 44361.8175 44268.6475 44445.954 44392.446
5. BANGUNAN 2239383.61 2246183.8 2245979.2 2251312.34 2257079.2
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 2445404.45 2450789.36 2453784.65 2455156.5 2462473.33
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 683376.85 684243.413 683555.4 685780.438 686733.55
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERSH. 455901.425 455732.687 456529.416 456669.059 457962.005
9. JASA-JASA 335465.82 336937.48 338409.14 339880.8 341352.48
Total kebutuhan Investasi 12463767.49 12485110.76 12499920.08 17759419.26 12376094.51
a. Pemerintah Daerah (40%) 4985507 4994044.31 4999968.03 7103767.71 4950437.8
b. Swasta (60%) 7478260.5 7491066.46 7499952.05 10655651.6 7425656.71Catatan: Cetak tebal = sektor basis
29
4.2.3. Kebutuhan Investasi Sektor Basis dan Non Basis: Skenario-2
Skenario-2 menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
ΔKt = It = ICOR x gt x Y t-1
(1) (2) (3)
1. ICOR sektor pertanian, industri dan jasa berturut-turut 3, 5 dan 5;
2. Target pertumbuhan sektor-sektor ekonomi (gt) yang direncanakan periode 2009-2010,
untuk sektor basis didasarkan atas target optimistik (lebih tinggi dari pada target trend
linear pada skenario-1, sedangkan untuk sektor non basis didasarkan atas trend linear
(tabel 4.6);
Tabel 4.6
Proyeksi Target Pertumbuhan Sektor Basis dan Non Basis dalam Perekonomian
Kab. Bolaang Mongondow Atas Dasar Harga Konstan 2003
Periode Tahun 2009-2014 (%)
(Skenario-2)
SEKTOR
PERTUMBUHAN EKONOMI (%) RATA
2009 2010 2011 2012 2013 2014 RATA
1. PERTANIAN 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 5.25
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 3.11 3.01 2.92 2.84 2.76 2.69 2.89
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 1.64 1.62 1.59 1.57 1.54 1.52 1.58
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 2.88 2.8 2.73 2.65 2.59 2.52 2.70
5. BANGUNAN 4.19 4.02 3.87 3.72 3.59 3.47 3.81
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 4.42 4.23 4.06 3.9 3.75 3.62 4.00
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 3.49 3.38 3.27 3.16 3.07 2.98 3.23
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 2.89 2.81 2.73 2.66 2.59 2.53 2.70
9. JASA-JASA 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
P D R B 4.5 3.6 3.8 4 4.2 4.4Catatan:
1. Cetak tebal = Sektor Basis
30
2. Pertumbuhan sektor basis didasarkan atas target optimistik (lebih tinggi dari pada
target Trend Linear),sedangkan sektor non basis didasarkan atas metode Trend Linear
menggunakan basis data deret waktu 2003-2008
3. Nilai tambah (PDRB) sektor-sektor ekonomi sebelum tahun ke-t (Y t-1), baik untuk
sektor basis maupun sektor non basis mengikuti asumsi 2, sehingga dari hasil
perhitungan diperoleh hasil seperti disajikan pada tabel 4.7 dan 4.8. Asumsi 2
menimbulkan implikasi pada asumsi 3 yang membedakan skenario-1 dan skenario-2.
Asumsi 2 pada skenario 2, target-target pertumbuhan sektor basis dibuat atau sengaja
dipasang lebih tinggi dengan interval teratur, sedangkan sektor-sektor non basis
mengikuti trend linear sama seperti skenario-1.
Asumsi 2 pada skenario 2 menghasilkan proyeksi nilai tambah bruto (PDRB)
sektor basis sebelum tahun ke-t lebih tinggi dari pada proyeksi nilai tambah bruto sektor
basis sebelum tahun ke-t pada skenario-1 (bandingkan tabel 4.3 dan tabel 4.4). Perbedaan
ini akhirnya menghasilkan perhitungan kebutuhan investasi yang berbeda, dimana
kebutuhan investasi sektor basis dan total investasi pada skenario-2 lebih tinggi dari pada
skenario-1.
Berdasarkan asumsi-asumsi pada skenario-2 kemudian dilanjutkan dengan
perhitungan, maka akan diperoleh kebutuhan investasi atau tambahan modal pertahun
pada periode perencanaan 2010-2014, seperti disajikan pada Tabel 4.9. Hasil
selengkapnya untuk pertambahan nilai bruto PDRB untuk periode tahun 2009 sampai
dengan 2014 dapat dilihat pada tabel berikut ini :
31
Tabel 4.7
Proyeksi Nilai Tambah Bruto Sektor Basis dan Non Basis dalam Perekonomian
Kab. Bolaang Mongondow Atas Dasar Harga Konstan 1993,
Tahun 2009-2014 ( juta rupiah)
(Skenario-2)
S E K T O R 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1. PERTANIAN 479,232.27 500,797.72 525,837.61 554,758.67 588,044.19 626,267.07 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 57,934.32 59,733.91 61,533.50 63,333.09 65,132.68 66,932.27
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 21,786.22 22,144.51 22,502.80 22,861.08 23,219.37 23,577.66 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 3,158.86 3,249.95 3,341.03 3,432.12 3,523.21 3,614.29
5. BANGUNAN 111,412.12 116,081.85 120,751.57 125,421.30 130,091.02 134,760.75 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 115,621.96 120,728.54 125,835.11 130,941.68 136,048.25 141,154.82 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 40,436.50 41,849.75 43,263.00 44,676.25 46,089.50 47,502.75 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERSH. 32,448.50 33,387.01 34,325.52 35,264.02 36,202.53 37,141.04
9. JASA-JASA 167,732.91 168,468.74 169,204.57 169,940.40 170,676.24 171,412.07
P D R B 1,029,763.66 1,066,441.98 1,106,594.71 1,150,628.61 1,199,026.99 1,252,362.72
Catatan:
1. Proyeksi menggunakan asumsi-asumsi skenario-2
2. Cetak tebal = sektor basis
Hasil pengolahan sebagaimana pada tabel 4.7 sebelumnya dapat dilihat bahwa
terjadi kecenderungan peningkatan nilai tambah Product Domestik Regional Bruto
(PDRB) untuk Sembilan sector yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow.
Peningkatan ini mengindikasikan bahwa prospek ekonomi di Kabupaten Bolaang
Mongondow cukup cerah di mana sektor Pertanian masih menempati rangking tertinggi
dalam memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan Product Domestik Regional
Bruto (PDRB). Ini berarti bahwa sector pertanian adalah sector unggulan yang harus di
prioritaskan dalam kerangka mendorong pertumbuhan ekonomi Kab. Bolaang
Mongondow.
32
Tabel 4.8
Proyeksi Pertumbuhan Nilai Tambah Bruto Sektor Basis dan Non Basis dalam
Perekonomian Kab. Bolaang Mongondow Atas Dasar Harga Konstan 2003,
Periode Tahun 2009-2014 ( juta rupiah)
(skenario-2)
SEKTOR 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1. PERTANIAN18,432.0
121,565.4
5 25,039.8928,921.0
633,285.5
2 38,222.88
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 4,486.71 1,799.59 1,799.59 1,799.59 1,799.59 1,799.59
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 335.34 358.29 358.28 358.29 358.29 358.29
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 85.37 91.08 91.09 91.09 91.08 91.09
5. BANGUNAN 4,929.09 4,669.72 4,669.73 4,669.72 4,669.73 4,669.72
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 7,295.61 5,106.57 5,106.57 5,106.57 5,106.57 5,106.57
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 1,724.37 1,413.25 1,413.25 1,413.25 1,413.25 1,413.25
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 887.13 938.51 938.5 938.51 938.51 938.51
9. JASA-JASA 5,914.85 735.83 735.83 735.84 735.83 735.83
Sumber : Diolah dari Tabel 4.7.
Catatan: Cetak Tebal = Sektor Basis
Tabel 4.9
Kebutuhan Investasi Sektor Basis dan Non Basis dalam Perekonomian
Kab. Bolaang Mongondow, 2010-2014
(Skenario-2)
SEKTOR 2010 2011 2012 2013 2014
1. PERTANIAN 6469636 7511966 8676321 9985656 11466862
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 871911.516 872115.086 873775.7 873996.642 876034.546
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 176468.382 176048.855 176646.98 176030.316 176467.212
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 44224.04 44361.8175 44268.6475 44445.954 44392.446
5. BANGUNAN 2239383.61 2246183.8 2245979.2 2251312.34 2257079.2
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 2445404.45 2450789.36 2453784.65 2455156.5 2462473.33
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 683376.85 684243.413 683555.4 685780.438 686733.55
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERSH. 455901.425 455732.687 456529.416 456669.059 457962.005
9. JASA-JASA 335465.82 336937.48 338409.14 339880.8 341352.48
Total kebutuhan Investasi 13721772.09 14778378.5 15949270.13 17268928.05 18769356.77
a. Pemerintah Daerah (40%) 5488708.837 5911351.399 6379708.053 6907571.22 7507742.708
b. Swasta (60%) 8233063.256 8867027.099 9569562.08 10361356.83 11261614.06
Catatan: Cetak Tebal = Sektor Basis
33
4.2.4. Pembahasan
4.2.4.1. Kebutuhan Investasi Sektor Pertanian
Jika diperbandingkan antara skenario-1 dan skenario-2 tampak bahwa target
pertumbuhan sektor pertanian pada skenario-2 lebih tinggi dari pada skenario-1, dan ini
akan membawa implikasi terhadap kebutuhan investasi. Jika kebutuhan investasi
terpenuhi dan benar-benar terealisasi, maka akan membawa konsekuensi berupa
peningkatan nilai tambah bruto atau output sector pertanian pada tahun ke-t+n. Mungkin
muncul pertanyaan, kebutuhan dana investasi sektor basis pertanian pada tahun ke-t harus
dialokasikan ke subsektor mana, karena suatu sektor terdiri atas sub-subsektor, dan ke
kecamatan mana karena wilayah Kab. Bolaang Mongondow sudah terkapling-kapling
menjadi wilayah Pemerintah Kabupaten?.
Dalam pengkajian ini memang tidak dilakukan pemecahan perhitungan
(Breakdown Accounting) kebutuhan investasi sampai ke tingkat subsektor basis di
tingkat kecamatan, dengan pertimbangan perhitungan sangat rumit dan kalaupun
diperoleh besaran angka sifatnya sangat relatif dan kurang fleksibel. Agar ada
fleksibilitas dalam alokasi dana investasi oleh para perencana pembangunan di tingkat
kabupaten, maka perhitungan kebutuhan dana investasi tingkat sektor sudah cukup
memadai.
Untuk menjawab dari dua pertanyaan di atas, yakni: (i) Alokasi dana investasi
suatu sektor dapat diprioritaskan ke subsektor basis dan jika dalam sector tersebut
terdapat lebih dari satu subsektor basis, maka alokasinya dipertimbangkan secara merata
atau ada prioritas-prioritas berdasarkan pertimbangan si perencana, seperti potensi
subsektor, prospek pemasaran produk (domestik atau ekspor), tingkat penyerapan tenaga
34
kerja, ketersediaan infrastruktur penunjang seperti jalan, pelabuhan, listrik, air minum,
peraturan-peraturan investasi termasuk prosedur pengurusan izin, dll.; (ii) Alokasi dana
investasi suatu sektor basis dapat diprioritaskan ke kecamatan yang memiliki sektor basis
yang sama dengan kabupaten, sehingga dana investasi menjadi tepat guna pada sektor
potensial dan pemanfaatannya menjadi efisien.
Dari lima subsektor pada sektor pertanian yang merupakan sektor basis dalam
perekonomian Kab. Bolaang Mongondow, teridentifikasi tiga subsektor basis yaitu:
subsektor tanaman bahan makanan, subsektor peternakan dan hasil-hasilnya, dan
subsektor perkebunan. Berdasarkan pertimbangan seperti diuraikan sebelumnya, para
perencana dapat memprioritaskan investasi ke sub sektor perkebunan melalui
pengembangan komoditi tanaman yang memiliki nilai tambah (added value) yang tinggi
seperti tanaman kelapa contohnya. Pada lahan-lahan perkebunan kelapa milik Pemerintah
Daerah yang berlokasi di Kecamatan Lolak, Bolaang perlu di adakan peremajaan kembali
mengingat umur tanaman kelapa pada daerah tersebut sudah tergolong kurang produktif
lagi. Terkait dengan hal tersebut maka manajemen Perusahaan Daerah Gadasera selaku
lembaga yang mengelola asset pemerintah daerah tersebut perlu di di tingkatkan
statusnya menjadi Perseroan Terbatas. Ini dengan pertimbangan demi guna
memaksimalkan akselerasi manajemen perusahaan tersebut dalam menjalin kemitraan
dengan pihak-pihak investor.
Berikutnya investasi dapat diarahkan atau dialokasikan ke subsektor peternakan,
karena produk subsektor ini sebagian dibutuhkan oleh masyarakat umum dan pariwisata
seperti daging ayam, daging sapi, telur dan produk peternakan lainnya, dan sebagian lagi
35
diantar pulaukan,seperti sapi hidup dikirim ke Tarakan, telur ayam dikirim ke kota-kota
di Maluku dan Ternate serta Gorontalo.
Namun patut pula diingat bahwa anjuran investasi ke subsektor perkebunan dan
peternakan harus disertai dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif oleh
pemerintah pusat, provinsi ataupun kabupaten, sehingga investor tertarik berinvestasi di
dua subsektor ini. Kompas, Senin 29 Agustus 2005 halaman 18 menurunkan berita
dengan headline “Iklim Investasi di Sektor Perikanan Mencemaskan”. Berita yang
bersumber dari wawancara empirik dengan beberapa pengusaha perikanan asing,
menyoroti beberapa hal dalam kaitan dengan investasi, yaitu: (1) kepastian hukum
dijalankan setengah hati; (2) Biaya tinggi ekonomi semakin meresahkan; (3) Tarif listrik
dan harga bahan bakar minyak memberatkan; (4) Jatuhnya nilai tukar rupiah atas dollar
AS yang sulit doprediksi; (5) Kelompok tertentu (mafia) monopoli produk tertentu; dan
(6) Ada aksi teror dan perusakan pabrik. Jadi jika pemerintah serius meningkatkan
investasi di di daerahnya, lebih khususnya di Kab. Bolaang Mongondow, maka aspek-
aspek yang kurang mendukung ini harus disingkirkan atau dikurangi, sehingga investor
tidak hengkang dan bahkan dapat menarik lebih banyak investor asing.
Investasi pemerintah daerah yang berkisar sekitar 40% dari total investasi yang
dibutuhkan setiap tahun dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur penunjang
yang dianggap belum memadai seperti penyediaan jaringan listrik, air minum, dermaga
laut yang lebih luas dan memadai dll. Sedangkan investasi swasta dapat langsung
diinvestasikan untuk pembangunan industrinya, seperti pembelian kapal, pabrik
pengolahan, dsb. Subsektor basis lainnya pada sektor pertanian dalam arti luas adalah
subsektor tanaman bahan makanan yang memegang peranan penting dalam penyediaan
36
pangan. Pemberdayaan subsektor ini dapat dilakukan melalui investasi pada produk-
produk pangan organik yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti hortikultura dan
sayur-mayur yang dibutuhkan oleh hotel dan restoran, di samping akan mampu
meningkatkan pendapatan petani dan pengusaha produsennya, juga akan meningkatkan
ketahanan pangan daerah Kab. Bolaang Mongondow. Jadi jika tersedia dana yang
bersumber dari pemerintah (goverment expenditure) atau swasta juga dapat diarahkan
agar dialokasikan ke subsektor ini, karena subsektor tanaman bahan makanan sangat
menjanjikan keuntungan bagi suatu investasi. Penyediaan infrastruktur pada daerah basis
pertanian khususnya tanaman pangan perlu di lakukan secara berhati-hati mengingat nilai
tambah yang dihasilkan oleh komoditi tanaman pangan cenderung lebih rendah bila di
bandingkan dengan komoditi perkebunan dan peternakan. Besaran kapasitas produksi
yang di hasilkan oleh daerah basis tanaman pangan perlu di jadikan sebagai salah satu
pertimbangan dalam pembangunan infrastruktur (jalan,jembatan dsb) di daerah tersebut.
Jika menggunakan terminologi saat ini yakni agribisnis sebagai pengganti
terminologi pertanian, maka ketiga subsektor basis yaitu tanaman bahan makanan,
peternakan dan hasil-hasilnya, dan perkebunan adalah motor penggerak agribisnis Daerah
Kab. Bolaang Mongondow, menyangkut subsistem agroindustri hulu sebagai penyedia
masukan dan agroindustri hilir sebagai pengguna keluaran atau output, yang terkait erat
dengan kepariwisataan di Kab. Bolaang Mongondow. Bila di masa-masa yang akan
datang perekonoian bertambah baik sehingga pendapatan masyarakat meningkat dan
penduduk pasti akan terus bertambah secara absolut, maka permintaan akan produk-
produk agribisnis akan meningkat dan ini dapat direspon dengan meningkatkan pasokan
melalui peningkatan investasi, baik investasi swasta maupun dari investasi pemerintah.
37
4.2.4.2. Kebutuhan Investasi Sektor Pertambangan dan Penggalian
Secara umum sector pertambangan dan penggalian tidak dalam kualifikasi sector
basis yang terbukti dari perolehan nilai LQ < 1 (tabel 4.1). Namun jika di telah secara sub
sector maka pertambangan tanpa migas adalah termasuk sector basis. Keadaan ini di picu
oleh adanya aktivitas pertambangan skala besar dari beberapa perusahaan asing
sebagaimana avocet dengan penggunaan tekhnologi tinggi, sehingga walau sub sector
penggalian tidak mengalami peningkatan secara signifikan namun sebagai implikasi
penggunaan teknologi dalam penggalian telah meningkatkan total produksi aktivitas
pertambangan.
Kebutuhan investasi sector ini perlu di arahkan pada pembukaan daerah-daerah
wilayah pertambangan baru terutama pada kawasan daerah yang tidak rawan banjir
seiring itu pula dengan penyediaan infrastruktur yang mendukung dalam aktivitas
pertambangan yang ramah lingkungan.
4.2.4.3. Kebutuhan Total Investasi Perekonomian Regional Kab. Bolaang Mongondow
Kebutuhan total investasi perekonomian Kab. Bolaang Mongondow merupakan
penjumlahan kebutuhan investasi semua sektor atau penjumlahan kebutuhan investasi
sector-sektor basis dan sektor-sektor non basis. Jika dibandingkan antara kedua skenario,
tampak bahwa kebutuhan total investasi untuk seluruh sektor dalam perekonomian Kab.
Bolaang Mongondow lebih besar pada skenario-2 dari pada skenario-1. Hal ini
disebabkan pada skenario-2 target pertumbuhan sektor-sektor basis (pertanian) lebih
tinggi dari pada skenario-1 yang hanya menggunakan proyeksi trend linear. Jadi jika
Pemerintah Kab. Bolaang Mongondow menginginkan tingkat pertumbuhan ekonomi
lebih tinggi agar mampu menciptakan kesempatan kerja lebih banyak, maka
38
membutuhkan investasi lebih tinggi. Sedangkan jika menginginkan pertumbuhan
ekonomi sedang-sedang (moderate), maka membutuhkan investasi lebih rendah.
Hasil perhitungan kebutuhan investasi yang diperoleh tampaknya realistik, baik
pada skenario-1 maupun skenario-2 jika dibandingkan dengan data historis Pembentukan
Modal Tetap Domestik Bruto (realisasi total investasi) pada PDRB Kab. Bolaang
Mongondow dari sisi penggunaan untuk periode 2003-2008 menurut harga konstan 2003,
berturut-turut sebesar Rp 818297,56 juta (2003), Rp 850859,92 juta (2004), Rp
897334,04 juta (2005), Rp 928820.13 juta (2006), Rp 959321.08 juta (2007), Rp.
985673.1 juta (2008). Sedangkan kebutuhan investasi periode 2009-2014 seperti telah
disinggung sebelumnya lebih tinggi dari pada realisasi investasi tahun 2008, dan
cenderung meningkat secara perlahan, yaitu sebesar Rp 12463767.49 juta (2010), Rp
12485110.76 juta (2011), Rp 12499920.08 juta (2012), Rp 17759419.26 juta (2013) dan
Rp 12376094.51 juta (2014). Jadi realistik dan logisnya perhitungan ini terletak pada
kecenderungan yang meningkat secara perlahan, antara realisasi investasi periode 2003-
2008 dengan proyeksi kebutuhan investasi periode 2010-2014.
Dalam kaitan realistik tidaknya suatu perhitungan kebutuhan investasi, Basri
(2004) sempat mempertanyakan perkiraan kebutuhan investasi Indonesia sebesar Rp
379,8 triliyun untuk tahun 2004 dan Rp 471,4 trilyun untuk tahun 2005 yang dibuat
sekelompok ekonom dan diberitakan di berbagai media masa. Realistiskah kebutuhan
investasi itu untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 5% tahun 2004 dan 5,5%
tahun 2005?. Dibandingkan dengan data investasi nominal tahun 2003 yang dikeluarkan
oleh Bappenas sebesar Rp 285,12 triliyun (Kompas, 19/3), Basri menganggap perkiraan
kebutuhan investasi tahun 2004 dan 2005 untuk mencapai pertumbuhan ekonomi masing-
39
masing sebesar 5% dan 5,5,% dianggap tidak realistik atau tidak logis karena dianggap
overestimate, yaitu peningkatan nilai investasi nominal yang sangat besar untuk tahun
2004 dan 2005 dibandingkan dengan nilai investasi nominal tahun 2003.
40
BAB V.
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat dirumuskan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari sembilan sektor dalam perekonomian Kab. Bolaang Mongondow, hanya 1 sektor
teridentifikasi sebagai sektor basis yang ditunjukkan oleh nilai LQ > 1, yaitu sektor
pertanian (LQ = 13,54). Sedangkan delapan sektor adalah sektor non basis yang
ditunjukkan oleh LQ < 1, yaitu: sektor pertambangan dan penggalian (LQ= -2.02),
sektor industri pengolahan (LQ = 0,27), sektor listrik, gas dan airbersih (LQ = 0,57),
sektor bangunan (LQ = 0,39), sector perdagangan, hotel dan restoran (LQ=0.43),
sector pengangkutan dan komunikasi (LQ=0.22), sektor keuangan persewaan dan jasa
perusahaan (LQ = 0,63) dan sector jasa-jasa (LQ= -1.51).
2. Berdasarkan ICOR, target pertumbuhan dan nilai tambah bruto (PDRB) sektor-sektor
basis sebelum tahun ke-t (Yt-1), maka dapat diperkirakan kebutuhan investasi masing-
masing sektor basis dan kebutuhan total investasi untuk perekonomian Kab. Bolaang
Mongondow sebagai berikut:
a. Skenario-1:
1. Kebutuhan investasi sektor pertanian periode 2010-2014 berturut-turut Rp 5211631,39
juta (2010); Rp 5218698,27 juta (2011); Rp 5226970.95 juta (2012); Rp 10476147.2
juta (2013); dan Rp 5073599.75 juta (2014), atau kebutuhan total investasi selama
enam tahun Rp 31.207047.56 juta atau 31,20 milyar.
41
2. Kebutuhan total investasi untuk perekonomian Kab. Bolaang Mongondow periode
2010-2014 berturut-turut Rp 12463767.49 juta (2010), Rp 12485110.76 juta (2011),
Rp 12499920.08 juta (2012), Rp 17759419.26 juta (2013), dan Rp 12376094.51 juta
(2014), atau total kebutuhan investasi selama enam tahun Rp 675843,12 juta, atau Rp
67.58 Milyar. Kebutuhan total investasi nominal ini untuk mendukung tercapainya
pertumbuhan ekonomi berturut-turut sebesar 3.23% (2010), 3.13% (2011), 3.04%
(2012) dan 2.95% (2013), dan 4.42% (2014), atau pencapaian nilai tambah bruto
(PDRB) berturut-turut sebesar Rp 1,057,047.11 juta (2010), Rp 1,090,208.46 juta
(2011), Rp 1,123,369.80 juta (2012), Rp 1,156,531.16 juta (2013) dan Rp
1,207,741.02 juta (2014).
b. Skenario-2:
1. Kebutuhan investasi sektor pertanian periode 2010-2014 berturut-turut Rp 6469636
juta (2010), Rp 7511966 juta (2011), Rp 8676321 juta (2012), Rp 9985656 juta
(2013), dan Rp 11466862 juta (2014), atau total kebutuhan investasi selama enam
tahun Rp 44.110.441 juta, atau Rp 44.110 milyar.
2. Kebutuhan total investasi untuk perekonomian Kab. Bolaang Mongondow periode
2010-2014 berturut-turut Rp 13721772.09 juta (2010), Rp 14778378.5 juta (2011), Rp
15949270.13 juta (2012), Rp 17268928.05 juta (2013), dan Rp 18769356.77 juta
(2014) atau total kebutuhan investasi selama lima tahun Rp 80.487.705,54 juta, atau
Rp 80.487 Milyar. Kebutuhan total investasi nominal ini untuk mendukung
tercapainya pertumbuhan ekonomi berturut-turut sebesar 3,6 % (2010), 3.8 % (2011),
4 % (2012), 4.2 % (2013), dan 4.4 % (2010), atau pencapaian nilai tambah bruto
(PDRB) berturut-turut sebesar Rp 1,066,441.98 juta (2010), Rp 1,106,594.71 juta
42
(2011), Rp 1,150,628.61 juta (2012), Rp 1,199,026.99 juta (2013) dan Rp
1,252,362.72 juta (2014).
5.2. Rekomendasi Kebijakan
1. Dalam rangka perencanaan ekonomi makro regional Kab. Bolaang Mongondow
sebaiknya Pemerintah Daerah Kab. Bolaang Mongondow cq. Badan Perencanaan
Pembangunan, Penanaman Modal dan Statistik Kab. Bolaang Mongondow
menerapkan prinsip-prinsip perencanaan makro secara ilmiah. Artinya perencanaan
yang berbasis data dan informasi yang akurat, metode dan peralatan analisis ilmiah,
sehingga menghasilkan rencana (program dan kegiatan) yang layak diterapkan untuk
mencapai tujuan dan target-target perencanaan secara tepat.
2. Sumberdaya investasi yang semakin terbatas, baik bersumber dari pemerintah maupun
swasta dalam dan luar negeri, agar alokasinya diprioritaskan untuk pengembangan
sektor-sektor basis, yaitu sektor pertanian dalam arti luas, terutama subsektor tanaman
pangan, perkebunan dan peternakan sehingga akan menjadi motor penggerak
perekonomian Kab. Bolaang Mongondow.
3. Pemerintah Kabupaten Cq. Badan Perencanaan Pembangunan, Penanaman Modal dan
Statistik Kabupaten di Kab. Bolaang Mongondow perlu melakukan analisis sektor-
sektor basis dalam perekonomian daerah kecamatan. Ini berkaitan dengan rencana
alokasi sumberdaya investasi Pemerintah Kab. Bolaang Mongondow ke sektor-sektor
basis di setiap kecamatan yang ada di Kab. Bolaang Mongondow.
43
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 1999. ’Ekonomi Pembangunan’. Edisi keempat, BPFE Yogyakarta
Azis, Iwan Jaya. 1994. ‘Ilmu Ekonomi Regional dan beberapa Aaplikasinya di Indonesia’. Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Basri, Mohammad Chatib. 2004. Kebutuhan Investasi: Realistiskah?. Dalam Kompas, Selasa 23 Maret 2004. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Bendavid-Val, Avrom. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practioners. Praeger Publisher, New York and London, Foourt Edition.
Hamid, Edy Suandi,2005, ‘Sistem Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan Isu-isu Ekonomi Politik Indonesia’, UII Press: Yogyakarta.
Hoover, Edgar M. 1975. ‘An Introduction to Regional Economics. Alfred A. Knopf, New York, Second Edition.
Kadariah. 1981. ‘Ekonomi Perencanaan’. Lembaga Penerbit fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
Mubyarto, 2002, Ekonomi Rakyat Indonesia, Jurnal Ekonomi Rakyat Th. 1 No. 1 Maret 2002, didownload dari http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_2.htm
Sumodiningrat, Gunawan (l999) ‘Pemberdayaan Rakyat’, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta..
44